The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Perpustakaan Fakultas Farmasi Unissula, 2024-01-23 03:55:13

Proceeding of 14th Mulawarman Pharmaceutical Converences "Pesan Covid-19 untuk Laboratorium Riset Kefarmasian Indonesia"

PCD004FF
Fak. Farmasi Universitas Mulawarman, 2021

Keywords: Covid-19,Laboratorium Riset Kefarmasian,Prosiding,Universitas Mulawarman

Formulasi Sediaan Mouthwash Ekstrak Daun Sirih Hitam (Piper sp.) Terhadap Streptococcus mutans dan Candida albicans 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 229 6 mm. Black betel leaf extract was dissolved with a variation of the concentration of glycerin 1:4; 1:8 and 1:12 and tested on Streptococcus mutans and Candida albicans bacteria, then tested for stability of the preparations, including organoleptic, pH and viscosity. The results obtained from various solvents were glycerin as the most stable solvent compared to 96% ethanol, tween 80 and aquades. The results obtained from the antimicrobial test with ANOVA analysis were for Streptococcus mutans bacteria p=0.004 (p<0.05) which means the p-value was significant between concentration variations and bacteria and for the fungus Candida albicans p=0.295 (p>0.05) which meant the p-value was not significant difference between concentration variations and fungi. The results of the evaluation test for the stability of the preparation, namely the organoleptic data, pH and viscosity at a temperature of 25ºC were relatively stable. Keywords: Black Betel, Mouthwash, Antimicrobial DOI: https://doi.org/10.25026/mpc.v14i1.550 1 Pendahuluan Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati yang berlimpah. Adanya kecenderungan masyarakat untuk mengarah kembali ke alam (back to nature), berbagai tanaman obat kembali dicari, dibudidayakan dan dimanfaatkan masyarakat untuk kesehatan. Pengelolaan tumbuhan obat merupakan salah satu warisan budaya bangsa berdasarkan pengalaman secara turun temurun. Berbagai macam penyakit dan keluhan ringan hingga berat dapat diobati dengan memanfaatkan tumbuh-tumbuhan tertentu yang mudah didapat di lingkungan sekitar. Penyakit mulut seperti karies gigi dan penyakit periodontal umumnya hampir dialami seluruh penduduk di dunia. Karies gigi dan penyakit periodental umumnya disebabkan oleh kebersihan mulut yang buruk, sehingga terjadi akumulasi plak yang mengandung berbagai macam bakteri. Selain itu plak juga merupakan penyebab utama keradangan. Kondisi ini menunjukkan bahwa penyakit gigi walaupun tidak menimbulkan kematian, tetapi dapat menurunkan produktivitas kerja [1]. Mikroorganisme yang paling banyak tumbuh didalam rongga mulut adalah Streptococcus mutans. Streptococcus mutans merupakan bakteri utama penyebab terjadinya karies gigi dan juga merupakan suatu bakteri asidogenik yang dapat menghasilkan senyawa asam, yang dapat menyebabkan penimbunan senyawa asam pada gigi, sehingga dapat menyebabkan terjadinya dekalsifikasi (hilangnya kalsium) dan juga terkikisnya permukaan gigi, yang nantinya dapat menyebabkan terjadinya karies gigi [2]. Selain Streptococcus mutans, ada juga mikroorganisme lain yang banyak tumbuh di dalam rongga mulut yaitu, Candida albicans. Candida albicans merupakan jamur yang dapat menyebabkan salah satu penyakit mulut dan gigi yaitu kandidiasis oral atau orang awam menyebutnya dengan sebutan sariawan. Sariawan terjadi karena adanya infeksi pada rongga mulut yang disebabkan oleh pertumbuhan jamur Candida albican yang berlebihan [3]. Seiring dengan berkembang pesatnya teknologi, sekarang telah banyak beredar berbagai macam produk pembersih gigi salah satunya yaitu obat kumur. Obat kumur dapat didefinisikan sebagai sediaan larutan dengan rasa yang nyaman, mengandung antimikroba dan juga berguna untuk menyegarkan mulut [4]. Kelarutan berperan penting dalam menentukan bentuk sediaan dan untuk menentukan konsentrasi yang dicapai pada sirkulasi sistemik untuk menghasilkan respon farmakologi. Pada umumnya, sediaan obat kumur komersial yang beredar dipasaran mengandung kadar alkohol yang cukup tinggi yaitu sebesar 25% atau lebih, penggunaan obat kumur dengan kadar alkohol tinggi dapat meningkatkan risiko tumbulnya kanker mulut, tenggorokan dan faring sekitar 50% [5].


Formulasi Sediaan Mouthwash Ekstrak Daun Sirih Hitam (Piper sp.) Terhadap Streptococcus mutans dan Candida albicans 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 230 Salah satu tanaman berkhasiat obat yang bisa digunakan masyarakat yaitu sirih hitam (Piper sp.). Sirih hitam (Piper sp.) tergolong tanaman obat yang masih kurang diketahui masyarakat luas, di Kalimantan Timur tanaman ini dapat ditemukan salah satunya yaitu di Samarinda, namun untuk budidaya sirih hitam ini masih terbatas. Sirih hitam (Piper sp.) merupakan salah satu spesies sirih yang banyak terdapat di Indonesia. Spesies lainnya dari tanaman ini, sering digunakan masyarakat untuk berbagai pengobatan, salah satunya adalah untuk penyakit mulut seperti radang gusi, karies gigi dan penyakit bau mulut yang disebabkan oleh mikroorganisme yang ada di dalam mulut. Berbagai teori mengatakan, tanaman yang berasal dari spesies yang sama kemungkinan memiliki kandungan metabolit sekunder yang tidak jauh berbeda. Sirih hitam (Piper sp.) memiliki kandungan senyawa alkaloid, karatenoid, senyawa fenolik, flavanoid, saponin, tanin, steroid, dan triterpenoid. Senyawa yang memiliki fungsi sebagai antimikroba adalah tanin, senyawa fenolik, saponin, flavanoid, alkaloid, dan steroid [6]. Berdasarkan uraian tersebut perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui aktivitas ekstrak daun sirih hitam yang di forumlasikan sebagai mouthwash antimikroba. Sehingga ekstrak daun sirih hitam dapat dijadikan alternatif pengganti zat kimia sebagai bahan antimikroba dari bahan alam yang lebih aman. 2 Metode Penelitian 2.1 Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah autoclave, batang pengaduk, blender, botol vial, bunsen, cawan petri, cawan porselen, corong buchner, erlenmeyer, gelas kimia, gelas ukur, hot plate, inkubator, Laminar Air Flow (LAF), magnetic stirer, mikrometer sekrup, mikropipet, oven, ose bulat, pencadang, pinset, pipet ukur, pipet tetes, propipet, pH meter, rak tabung reaksi, Rotary evaporator, sendok tanduk, spatel logam, spuit, tabung reaksi dan timbangan analitik. Bahan yang digunakan adalah ekstrak daun sirih hitam, aquadest, asam benzoat, biakan streptococcus mutans dan candida albicans, etanol 70%, gliserin, menthol cair, NaCl 0.9%, Nutrient Agar, natrium benzoat, Peppermint oil, potato dextrose agar, sorbitol, spiritus dan tween 80. 2.2 Penyiapan Sampel Daun Sirih Hitam Proses diawali dengan pengumpulan sampel daun sirih hitam sebanyak 1 Kg kemudian dilakukan sortasi basah, dicuci dengan air mengalir dan ditiriskan. Kemudian dikeringkan sampel dengan cara dianginanginkan tanpa terkena sinar matahari langsung. Sampel yang sudah kering kemudian dirajang dan siap untuk di ekstraksi. 2.3 Pembuatan Ekstrak Sirih Hitam Proses diawali dengan menimbang simplisia kering sebanyak 180 gram, masukkan kedalam wadah maserasi dan ditambah pelarut etanol 70% sampai simplisia terendam dan dibiarkan selama 3x24 jam dalam keadaan tertutup dan terlindung dari sinar matahari. Simplisia yang di maserasi diaduk beberapa kali untuk didapatkan konsentrasi jenuh. Hasil maserat disaring dan dilakukan remaserasi. Maserat hasil maserasi dan remaserasi diuapkan dengan rotary evaporator. 2.4 Pembuatan Suspensi Mikroba Uji Biakan murni bakteri uji yang telah diremajakan dalam medium Nutrient Agar (NA) dan Potato Dextrose Agar (PDA) diambil dengan 1 ose yang telah dipijarkan terlebih dahulu, lalu dimasukkan kedalam larutan NaCl steril 0,9% sebanyak 10 ml, kemudian dihomogenkan. Selanjutanya hasil dari pengenceran tersebut diambil sebanyak 2,5 ml , kemudian dimasukkan kedalam tabung reaksi lain yang telah berisi NaCl steril 0,9% sebanyak 7,5 ml. Sehingga didapatkan suspensi bakteri dengan perbandingan 1:40. 2.5 Pengujian Aktivitas Antimikroba (Metode Difusi Agar) Sebanyak 50 µL suspensi masing-masing mikroba uji dimasukkan ke dalam masingmasing cawan petri steril untuk pengujian kemudian ditambahkan 15 mL medium NA dan PDA pada masing-masing cawan petri kemudian di homogenkan dan ditunggu hingga memadat, buat lubang sumuran dengan menggunakan pencadang baja steril berukuran 6 mm. Masing-masing sampel dipipet sebanyak


Formulasi Sediaan Mouthwash Ekstrak Daun Sirih Hitam (Piper sp.) Terhadap Streptococcus mutans dan Candida albicans 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 231 50 μl kemudian diteteskan pada sumuran. Kemudian diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37°C selama 24 jam. Diukur diameter daerah zona hambat menggunakan micrometer sekrup. 2.6 Pembuatan Formula Mouthwash Ditimbang ekstrak sirih hitam sebanyak 1,5 gram masing-masing terbagi kedalam 4 gelas kimia 150 mL. Ditambahkan gliserin sebanyak 6 mL pada gelas kimia 1 diaduk hingga larut (formula 1). Ditambahkan gliserin sebanyak 12 mL kedalam gelas kimia 2 diaduk hingga larut (formula 2). Ditambahkan gliserin sebanyak 18 mL kedalam gelas kimia 3 diaduk hingga larut (formula 3). Ditambahkan tween 80 sedikit demi sedikit kedalam gelas kimia 4 diaduk hingga larut (sebagai kontrol). Dilarutkan natrium benzoate sebanyak masingmasing 0,15 gram pada wadah yang berbeda, kemudian asam benzoate sebanyak masingmasing 0,15 gram dilarutkan dengan peppermint oil sebanyak 20 tetes sampai larut diwadah yang berbeda pula dan tambahkan menthol masing-masing sebanyak 0,75 mL kedalam wadah. Ditambahkan tween 80 sebanyak 9 mL pada masing-masing wadah yang berisi larutan asam benzoate dan peppermint oil diaduk hingga terbentuk emulsi. Setelah terbentuk emulsi ditambahkan sorbitol masing-masing sebanyak 15 mL kemudian dicampur dengan larutan natrium benzoate, setelah bahan-bahan telah tercampur di tambahkan aquades ad 150 mL dan di homogenkan menggunakan magnetic stirrer dengan kecepatan 100 rpm selama 15 menit. Dimasukkan larutan obat kumur ke dalam wadah,tertutup dan disimpan ditempat yang sejuk. Tabel 1. Formula Mouthwash antimikroba ekstrak daun sirih hitam Komposisi %(b/v) Formula Fungsi Bahan K(-) F1 F2 F3 Ekstrak Sirih Hitam 1 1 1 1 Zat aktif Gliserin - 4 8 12 Cosolven Tween 80 6 6 6 6 Surfaktan Sorbitol 10 10 10 10 Perasa Asam benzoat 0.1 0.1 0.1 0.1 Pengawet Natrium benzoat 0.1 0.1 0.1 0.1 Pengawet Menthol 0.5 0.5 0.5 0.5 Perasa Peppermint oil 20 tetes 20 tetes 20 tetes 20 tetes Pengaroma Aquades ad 100ml 100ml 100ml 100ml Pelarut 2.7 Pengujian Stabilitas Sediaan Mouthwash 2.7.1 Uji Organoleptis Pengamatan organoleptis dilakukan secara visual meliputi warna, kejernihan, pemisahan fase, bau dan homogenitas. Nanoemulsi yang stabil ditandai dengan warna bening dan jernih serta tidak berbau tengik. 2.7.2 Uji pH Pengukuran pH sediaan dilakukan dengan menggunakan pH meter. Sebelum digunakan, elektroda dikalibrasi atau diverifikasi dengan menggunakan larutan standar dapar pH 4 dan 7. Proses kalibrasi selesai apabila nilai pH yang tertera pada layar telah sesuai dengan nilai pH standar dapar dan stabil. Setelah itu elektroda dicelupkan ke dalam sediaan. Nilai pH akan tertera pada layar. Pengukuran pH dilakukan pada suhu ruangan. 2.7.3 Uji Viskositas Uji viskositas sediaan dilakukan menggunakan viskometer Ostwald. Sediaan sebanyak 10 mL dimasukkan melalui tabung B kemudian dihisap menggunakan propipet hingga cairan melewati bagian A dan melewati batas “a”. Cairan kemudian dibiarkan mengalir dari batas “a” sampai batas “b”. Waktu yang diperlukan sediaan untuk mengalir dihitung menggunakan stopwatch. Pengukuran viskositas diulang sebanyak masing-masing 3 kali untuk setiap sediaan. Dihitung waktu yang diperlukan untuk mengalir [7].


Formulasi Sediaan Mouthwash Ekstrak Daun Sirih Hitam (Piper sp.) Terhadap Streptococcus mutans dan Candida albicans 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 232 2.8 Pengujian Sediaan Mouthwash Sebagai Antimikroba Dimasukkan sebanyak 50 µL suspensi bakteri/jamur kedalam cawan petri, kemudian ditambahkan medium Nutrient Agar/Potato Dextrose Agar sebanyak 15 mL kedalam cawan petri ditunggu hingga memadat. Dibuat lubang sumuran sebanyak 4 lubang dengan menggunakan pencadang baja steril. Masingmasing sampel dipipet sebanyak 50 μl kemudian diteteskan pada sumuran. Kemudian diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37°C selama 1x24 jam. Diukur diameter daerah hambatan menggunakan micrometer sekrup. 2.9 Analisis Data Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode analisis data kualitatif dan kuantitatif. Analisis data kualitatif berupa data deskriptif dengan tabel yang diperoleh dari pengamatan langsung oleh peneliti terhadap uji organoleptis, uji pH dan uji viskositas. Analisis data kuantitatif diperoleh dari analisis data terhadap uji aktivitas antibakteri menggunakan metode statistik One Way Anova. 3 Hasil dan Pembahasan 3.1 Uji Kelarutan Ekstrak Daun Sirih Hitam Penelitian ini dilakukan dengan melakukan pengumpulan sampel daun sirih hitam yang kemudian di ekstraksi menggunakan etanol 70% yang kemudian dikembangkan menjadi formulasi mouthwash antimikroba berbahan aktif ekstrak daun sirih hitam. Pengujian pertama yang dilakukan yaitu dengan menguji kelarutan ekstrak daun sirih hitam ke dalam beberapa pelarut mulai dari yang polar hingga nonpolar. Tujuannya adalah untuk mengetahui pelarut stabil yang akan digunakan sebagai basis dalam pembuatan mouthwash ekstrak daun sirih hitam. Hasil dari pengujian kelarutan yang dilakukan selama 6 hari yang terlampir pada tabel 2 berikut. Tabel 2. Hasil uji kelarutan ekstrak daun sirih hitam Pelarut Perbandingan EDSH : Pelarut Hasil Aquades 1:5 Terbentuk 2 fase Etanol 96% 1:6 Homogen Tween 80 1:7 Homogen Gliserin 1:8 Homogen Pengujian kelarutan ekstrak daun sirih hitam dilakukan dengan melarutan ekstrak daun srih hitam pada aquades, etanol 96%, gliserin, dan tween 80. Hasil yang diperoleh dengan melarutkan ekstrak daun sirih hitam kedalam pelarut aquades dilarutkan hingga didapatkan perbandingan 1:5, pada pelarut etanol 96% ekstrak daun sirih hitam dilarutkan hingga didapatkan perbandingan 1:6, pada pelarut Tween 80 ekstrak daun sirih hitam dilarutkan hingga didapatkan perbandingan 1:7 dan pada pelarut gliserin ekstrak daun sirih hitam dilarutkan hingga didapatkan perbandingan 1:8. Kemudian didiamkan sampai terbentuk 2 fase pada salah satu pelarut, hal ini bertujuan untuk mengetahui pelarut yang stabil diantara keempat pelarut tersebut. Kelarutan ekstrak daun sirih hitam pada aquades mengalami ketidakstabilan, hal ini ditandai dengan terbentuknya 2 fase antara pelarut dan juga ekstrak daun sirih hitam. Pemisahan pelarut yang terjadi ini akibat adanya pengaruh kelarutan komponen senyawa sirih hitam dengan aquades, senyawa seperti flavonoid, fenolik, saponin dan tanin merupakan senyawa yang bersifat polar [8,9] sedangkan senyawa seperti alkaloid, karatenoid, steroid dan triterpenoid merupakan senyawa yang bersifat nonpolar. Sehingga, aquades yang umumnya bersifat polar hanya mampu menarik senyawa yang memiliki karakteristik seperti aquades, oleh karena itu terjadilah pemisahan fase antara pelarut aquades dengan ekstrak daun sirih hitam. Pelarut etanol 96%, tween 80 dan gliserin tidak mengalami pemisahan fase, gliserin ditetapkan sebagai pelarut yang paling stabil, hal ini dikarenakan gliserin merupakan pelarut yang berfungsi sebagai humektan yang dapat menurunkan tegangan permukaan pada senyawa nonpolar sehingga lebih mudah terdispersi [10], selain itu gliserin juga dapat memperlama waktu kontak dengan mulut dan gigi pada saat di formulasikan menjadi mouthwash [11].


Formulasi Sediaan Mouthwash Ekstrak Daun Sirih Hitam (Piper sp.) Terhadap Streptococcus mutans dan Candida albicans 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 233 Gambar 1. Uji kelarutan ekstrak daun sirih hitam terhadap pelarut 3.2 Uji Stabilitas Sediaan Evaluasi stabilitas fisik sediaan mouthwash dilakukan dalam beberapa pengujian diantaranya yaitu uji organoleptis, uji pH dan uji viskositas sediaan. Pengujian ini dilakukan pada hari ke 0, 7, 14 dan 21 pada suhu 25ºC. Sediaan mouthwash dibuat menjadi 4 formula dengan konsentrasi ekstrak daun sirih hitam yang digunakan untuk semua formula sama yaitu 1%. Variasi konsentrasi yang berbeda dilakukan pada gliserin dengan konsentrasi 0%, 4%, 8%, dan 12%. 3.2.1 Uji Organoleptis Pengujian organoleptis yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui karakteristik sifat fisik dan kimia sediaan mouthwash. Pengujian ini dilakukan secara visual dengan melakukan pengamatan selama beberapa minggu. Tabel 3. Hasil uji organoleptis K(-) F1 F2 F3 Hari ke-0 Bentuk Cair Cair Sedikit agak kental Agak kental Warna Hijau kehitaman Hijau kehitaman Hijau kehitaman Hijau kehitaman Kejernihan Keruh Keruh Keruh Keruh Bau Khas aromatis (Sirih) Khas aromatis (Sirih) Khas aromatis (Sirih) Khas aromatis (Sirih) Rasa Pahit Mint Mint Mint Homogenitas Homogen Homogen Homogen Homogen Hari ke-7 Bentuk Cair Cair Sedikit agak kental Agak kental Warna Hijau kehitaman Hijau kehitaman Hijau kehitaman Hijau kehitaman Kejernihan Keruh Keruh Keruh Keruh Bau Khas aromatis (Sirih) Khas aromatis (Sirih) Khas aromatis (Sirih) Khas aromatis (Sirih) Rasa Pahit Mint Mint Mint Homogenitas Homogen Homogen Homogen Homogen Hari ke-14 Bentuk Cair Cair Sedikit agak kental Agak kental Warna Hijau kehitaman Hijau kehitaman Hijau kehitaman Hijau kehitaman Kejernihan Keruh Keruh Keruh Keruh Bau Khas aromatis (Sirih) Khas aromatis (Sirih) Khas aromatis (Sirih) Khas aromatis (Sirih) Rasa Pahit Mint Mint Mint Homogenitas Homogen Homogen Homogen Homogen Hari ke-21 Bentuk Cair Cair Sedikit agak kental Agak kental Warna Hijau kehitaman Hijau kehitaman Hijau kehitaman Hijau kehitaman Kejernihan Keruh Keruh Keruh Keruh Bau Khas aromatis (Sirih) Khas aromatis (Sirih) Khas aromatis (Sirih) Khas aromatis (Sirih) Rasa Pahit Mint Mint Mint Homogenitas Homogen Homogen Terbentuk 2 fase Terbentuk 2 fase Keterangan: F = Formula K(-) = kontrol negatif F1 = konsentrasi gliserin 4% F2 = konsentrasi gliserin 8% F3 = konsentrasi gliserin 12% Bedasarkan hasil pengujian organoleptis yang telah dilakukan terhadap bentuk, warna, kejernihan, bau, rasa, dan homogenitas keempat formula dari hari ke-0, 7, 14 dan 21 didapatkan hasil yang tidak jauh berbeda. Pada bentuk sediaan kontrol negatif dan f1 memiliki bentuk yang cair sedangkan pada f2 dan f3 memiliki bentuk yang sedikit kental hingga agak kental, hal ini dikarenakan adanya perbedaan variasi konsentrasi gliserin yang digunakan. Sedangkan parameter rasa pada sediaan mouthwash untuk kontrol negatif memiliki rasa yang pahit


Formulasi Sediaan Mouthwash Ekstrak Daun Sirih Hitam (Piper sp.) Terhadap Streptococcus mutans dan Candida albicans 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 234 dikarenakan pada kontrol negatif tidak dilakukan penambahan gliserin, yang dimana gliserin merupakan salah satu pelarut yang memiliki rasa yang manis [12]. Parameter homogenitas pada sediaan mouthwash untuk keempat formula mengalami perubahan dimana pada hari ke-14 dan ke-21, f2 dan f3 mengalami pemisahan fase. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan massa jenis ekstrak daun sirih hitam dan massa jenis pelarut. 3.2.2 Uji pH Pengujian pH dilakukan untuk mengetahui perubahan besaran pH yang terjadi pada sediaan mouthwash ekstrak daun sirih hitam selama masa penyimpanan. Tabel 4. Hasil Uji pH Formula Nilai pH Hari ke-0 Hari ke-7 Hari ke-14 Hari ke-21 K (-) 5.85±0.02 5.85±0.06 5.84±0.07 5.83±0.10 F1 5.54±0.22 5.43±0.05 5.39±0.10 5.42±0.12 F2 5.75±0.05 5.80±0.09 5.62±0.05 5.62±0.04 F3 5.63±0.01 5.75±0.07 5.53±0.03 5.53±0.01 Keterangan: F = Formula K(-) = kontrol negatif F1 = konsentrasi gliserin 4% F2 = konsentrasi gliserin 8% F3 = konsentrasi gliserin 12% Hasil pengujian pH sediaan mouthwash ekstrak daun sirih hitam yang telah dilakukan pada hari ke-0, 7, 14 dan 21 memiliki rentang nilai 5.39-5.85 selama masa penyimpanan. Standar mutu mouthwash herbal memiliki nilai pH pada kisaran 5-7 [13]. Nilai pH yang didapat cenderung bersifat asam dikarenakan mendekati pH ekstrak daun sirih hitam yang memiliki pH asam yaitu 5.2 [14]. Selain itu nilai pH yang bersifat asam pada sediaan mouthwash ekstrak daun sirih hitam juga dipengaruhi oleh pH dari bahan tambahan lain yang digunakan yaitu sorbitol dengan nilai pH 4.5 [7]. 3.2.3 Uji Viskositas Viskositas suatu sediaan sangat mempengaruhi tingkat kekentalan sediaan mouthwash saat digunakan untuk berkumur. Tujuan dilakukannya uji viskositas ini adalah untuk mengetahui tingkat konsistensi kekentalan sediaan. Tabel 5. Hasil uji viskositas Formula Viskositas (cP) Hari ke-0 Hari ke-7 Hari ke-14 Hari ke-21 K (-) 1.925±0.012 3.963±0.556 5.365±1.359 8.946±2.735 F1 2.329±0.443 2.235±0.726 4.92±1.031 5.704±0.161 F2 3.872±0.508 7.136±0.740 3.853±0.506 4.707±0.723 F3 4.134±0.289 3.963±0.556 3.868±0.525 4.891±0.06 Keterangan: F = Formula K(-) = kontrol negatif F1 = konsentrasi gliserin 4% F2 = konsentrasi gliserin 8% F3 = konsentrasi gliserin 12% Hasil analisis viskositas sediaan mouthwash ekstrak daun sirih hitam yang telah dilakukan pada hari ke 0, 7, 14 dan 21 berkisar antara 1.925-8.946 cP. Nilai viskositas sediaan mouthwash ekstrak daun sirih hitam memiliki nilai yang lebih besar daripada viskositas air, hal ini dikarenakan adanya pengaruh bahan tambahan lain yang dapat meningkatkan viskositas dari suatu sediaan mouthwash. Gliserin dan sorbitol merupakan bahan yang dapat meningkatkan viskositas suatu sediaan. Viskositas yang dimiliki air yaitu sekitar ±1 cP. Semakin dekat tingkat viskositas sediaan suatu formulasi mouthwash dengan viskositas air, maka semakin mudah dan nyaman digunakan untuk berkumur [7]. 3.3 Pengujian Aktivitas Sediaan Mouthwash Sebagai Antimikroba Pengujian aktivitas antimikroba sediaan mouthwash dilakukan pada hari ke 0 dan hari ke-21. Tujuan dilakukannya pengujian ini adalah untuk membandingkan daya hambat yang terbentuk pada setiap formula serta untuk mengatahui pengaruh perbedaan konsentrasi gliserin terhadap daya hambat mikroba selama masa penyimpanan. Pegujian ini dilakukan menggunakan metode difusi agar (sumuran).


Formulasi Sediaan Mouthwash Ekstrak Daun Sirih Hitam (Piper sp.) Terhadap Streptococcus mutans dan Candida albicans 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 235 Tabel 6. Hasil Data Antimikroba Sediaan Mouthwash terhadap Streptococcus mutans dan Candida albicans Hari ke-0 Mikroba Formula Diameter Zona Hambat (mm) Kategori Kekuatan Daya Antimikroba Nilai ANOVA SM K (-) 6.803±0.846 Sedang 0.917 (Sig>0.05) Tidak Signifikan F1 1.803±2.192 Lemah F2 2.555±3.002 Lemah F3 1.749±2.631 Lemah CA K (-) 9.142±2.870 Sedang 0.295 (Sig>0.05) Tidak Signifikan F1 0±0 Tidak terdapat aktivitas antimikroba F2 0±0 F3 0±0 Tabel 7. Hasil Data Antimikroba Sediaan Mouthwash terhadap Streptococcus mutans dan Candida albicans Hari ke-21 Mikroba Formula Diameter Zona Hambat (mm) Kategori Kekuatan Daya Antimikroba Nilai ANOVA SM K (-) 6.971±0.327 Sedang 0.004 (sig<0.05) Signifikan F1 0.306±0.966 Lemah F2 0±0 Tidak terdapat aktivitas antimikroba F3 6.201±2.519 Sedang CA K (-) 0±0 Tidak terdapat aktivitas antimikroba Tidak terdapat aktivitas antimikroba F1 0±0 F2 0±0 F3 0±0 Keterangan: SM = Streptococcus mutans CA = Candida albicans Data yang diperoleh dari hasil pengujian antimikroba dianalisis dengan menggunakan analisis statistik Oneway ANOVA. Pada pengujian hari ke-0 hasil yang didapatkan dari bakteri Streptococcus mutans untuk f1 sampai f3 memiliki kategori antibakteri yang lemah sedangkan untuk kontrol negatif memiliki kategori antibakteri yang sedang. Hasil pengujian menggunakan ANOVA pada bakteri Streptococcus mutans didapatkan nilai p=0.917 (p>0.05) yang berarti nilai p tidak signifikan antara variasi konsentrasi dan bakteri. Sedangkan pada hari ke-21 hanya f3 dan kontrol negatif yang memiliki aktivitas antibakteri dalam kategori sedang dengan nilai p=0.004 (p<0.005) yang berarti nilai p signifikan antara variasi konsentrasi dan bakteri. Pada jamur Candida albicans pada pengujian hari ke-0 untuk f1 sampai f3 tidak didapatkan aktivitas antijamur dan kontrol negatif memiliki aktivitas antijamur yang sedang. Hasil pengujian menggunakan ANOVA pada jamur Candida albicans didapatkan nilai p=0.295 (p>0.05) yang berarti nilai p tidak signifikan antara variasi konsentrasi dan jamur. Sedangkan pada hari ke21 tidak terdapat aktivitas antimikroba yang terbentuk. Hasil yang diperoleh pada tabel 6 dan tabel 7 menandakan bahwa pengaruh konsentrasi gliserin sangat berpengaruh terhadap daya hambat mikroba. Pada f1 sampai f3 dimana tingkat konsentrasi gliserin semakin bertambah sehingga membuat kekentalan sediaan mouthwash ekstrak daun sirih hitam juga meningkat, akibatnya sediaan mouthwash ekstrak daun sirih hitam semakin kental sehingga menyebabkan sulitnya terdifusi pada media mikroba. Sedangkan pada kontrol negatif yang dimana tidak ada penambahan gliserin lebih memudahkan untuk terdifusi sehingga memiliki aktivitas antimikroba dengan kategori sedang. Pada pengujian hari ke-21 untuk f3 memiliki aktivitas antibakteri dengan kategori sedang, penelitian yang dilakukan oleh Anastasia [11] mengatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi gliserin maka semakin besar zona hambat yang terbentuk. Hal ini ditandai dengan adanya zona hambat yang terbentuk pada f3 di hari ke-21. 4 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka diperoleh hasil kelarutan ekstrak daun sirih hitam dengan pelarut gliserin dengan perbandingan 1:8 sebagai pelarut yang paling stabil digunakan dalam pembuatan formulasi sediaan mouthwash ekstrak daun sirih hitam. Hasil pengujian stabilitas terkait organoleptis, pH dan viskositas sediaan mouthwash ekstrak daun sirih hitam yang diperoleh relatif stabil dan adanya pengaruh


Formulasi Sediaan Mouthwash Ekstrak Daun Sirih Hitam (Piper sp.) Terhadap Streptococcus mutans dan Candida albicans 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 236 perbedaan gliserin menunjukkan adanya daya hambat terhadap mikroba Streptococcus mutans dan Candida albicans pada f3. 5 Kontribusi Penulis Deschania Noor Qhorina sebagai peneliti utama. Fajar Prasetya dan Mirhansyah Ardana sebagai peneliti pendamping. 6 Konflik Kepentingan Tidak ada konflik kepentingan dalam penelitian ini. 7 Daftar Pustaka [1] Tjahja, Indirawati. 2007. Status Kesehatan Gigi dan Mulut Ditinjau dari Faktor Individu Pengunjung Puskesmas DKI Jakarta Tahun 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis: Jakarta. [2] Putri MH, Herijulianti E, Nurjannah N. 2010. Ilmu Pencegahan Penyakit Jaringan Keras dan Jaringan Pendukung Gigi. Jakarta: EGC. [3] Shulman, S. T., Phair, J. P., Sommers, H. M., 1994. Dasar Biologi dan Klinis Penyakit Infeksi Edisi Keempat, diterjemahkan oleh Wahab, A. S., Yogyakata. Gadjah Mada University Press. [4] Rieger, M. 2001. Harry’s Cosmetology, 8th edition. Hal: 745 – 753. Chemical Publishing. [5] Bahna P, Hanna HA, Dvorak T, Vaporciyan A, Chambers M, and Raad I. 2007. Antiseptic effect of a novel alcohol-free mouthwash: A convenient prophylactic alternative for high risk patients. Oral Oncology J. 43:159-64. [6] Lemmens, R.H.M.J. & N Wulijarni Soejipto.1999. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara, No. 3, Tumbuhtumbuhan Penghasil Pewarna dan Tanin. PT. Balai Pustaka: Jakarta. [7] Handayani, Fitri dkk. 2017. Formulasi Dan Uji Aktivitas Antibakteri Streptococcus Mutans Dari Sediaan Mouthwash Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium Guajava L.). Jurnal Sains dan Kesehatan. 2017. Vol 1. No 8. [8] Prayoga,Eka D.G.,dkk. 2019. Identifikasi Senyawa Fitokimia Dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Kasar Daun Pepe (Gymnema reticulatum Br.) Pada Berbagai Jenis Pelarut. Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan Vol. 8, No. 2, 111-121. [9] Romadonu,dkk. 2014. Pengujian Aktivitas Antioksidan Ekstrak Bunga Lotus (Nelumbo nucifera). J.Fishtech vol iii Nomor 01. [10] Fury, Debby Nataya. 2018. Optimasi Tween 80 dan Gliserin Pada Formula Mouthwash Ekstrak Daun Kelor (Moringa oleifera L) dan Uji antibiofilm terhadap Streptococcus mutans. SKRIPSI. Universitas Sanata Dharma: Yogyakarta. [11] Anastasia, Apriyanti.,dkk.2017. Formulasi Sediaan Mouthwash Pencegah Plak Gigi Ekstrak Biji Kakao (Theobroma cacao L) Dan Uji Efektivitas Pada Bakteri Streptococcus mutans. GALENIKA Journal of Pharmacy Vol. 3 (1) : 84 – 92. [12] Rowe, R.C., P.J. Sheskey, dan M.E. Quinn. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients, 6th Edition. Pharmaceutical Press. London. [13] Hidayanto, Arif.,dkk. 2017. Formulasi Obat Kumur Ekstrak Daun Kemangi (Ocimum Basilicum L) dengan Pemanis Alami Stevia (Stevia Rebaudiana Bertoni). The 6th University Research Colloquium Universitas Muhammadiyah: Magelang. [14] Sari,Karmila Puspita. 2020. Karakteristik Gel Sariawan Ekstrak Daun Sirih Hitam Sebagai Antimikroba Dengan Variasi Konsentrasi Carbopol. SKRIPSI. Uniersitas Mulawarman: Samarinda.


14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 222 Journal homepage: https://prosiding.farmasi.unmul.ac.id Evaluasi Penggunaan Obat Antiemetik pada Penderita Kanker Payudara Pasca Kemoterapi Evaluation of Antiemetic Drugs Use in Breast Cancer Patients After Chemotherapy Dhea Amanda Sabilla Fauzi, Hajrah, Yurika Sastyarina* Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian “Farmaka Tropis”, Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman, Samarinda, Indonesia *Email korespondensi: yurika@farmasi.unmul.ac.id Abstrak Data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2018 menunjukkan 42.100 perempuan mengalami kanker payudara. Kemoterapi menjadi terapi pilihan utama untuk mengatasi kanker. Akan tetapi, kemoterapi memiliki efek samping salah satunya yaitu mual muntah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien, klasifikasi resiko mual muntah pada kemoterapi dan kesesuaian penggunaan antiemetik. Penelitian ini menggunakan metode penelitian observasional dengan pengumpulan data secara retrospektif berdasarkan rekam medis pasien pada periode JanuariDesember 2020. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien kanker payudara adalah perempuan di rentang usia 46-55 dengan persentase 38,1% dan memiliki kondisi Indeks Massa Tubuh (IMT) Obesitas I sebanyak 33,33%. Kombinasi Antibiotika dan Taksan paling banyak digunakan sebesar 71,45% dan memiliki klasifikasi resiko mual muntah sedang paling banyak terjadi. Antiemetik yang paling banyak digunakan yaitu kombinasi obat golongan 5-Hydroxitryptamin-3, Antagonis Histamin 2, dan Deksametason. Sedangkan untuk kesesuaian penggunaan antiemetik yang tercapai sebanyak 96,2% dan yang tidak tercapai sebanyak 3,8%. Kata Kunci: Kanker Payudara, Mual Muntah, Kemoterapi, Antiemetik Abstract Data from the Ministry of Health Republic Indonesia in 2018 showed 42,100 women had breast cancer. Chemotherapy is the main choice of treatment for treating cancer, but it has several side effects, such as nausea and vomiting. The aims of this research, to identify characteristics breast cancer patient, classification risk of chemotherapy induce of nausea and vomiting also appropriate use of Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals Conferences


Evaluasi Penggunaan Obat Antiemetik pada Penderita Kanker Payudara Pasca Kemoterapi 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 223 antiemetic to prevent chemotherapy side effect. Observational research had been use for this study with retrospective data collection based on patient medical records in January-December 2020. The results showed that breast cancer patients were women with age range of 46-55 years with percentage 38.1% and 33.33% had Body Mass Index (BMI) Obesity I. Combination of Antibiotics and Taxanes is the most widely used by 71.45% and has the most common risk classification of moderate nausea and vomiting. The most widely used antiemetic is a combination of 5-Hydroxitryptamine-3, Antagonists Histamine 2, and Dexamethasone. 96.2% compliance with antiemetic use was achieved and 3.8% was not achieved. Keywords: Breast Cancer, Nausea and Vomiting, Chemotherapy, Antiemetic DOI: https://doi.org/10.25026/mpc.v14i1.551 1 Pendahuluan Data dari Global Cancer Observator (2018) menyatakan bahwa kanker merupakan penyakit yang menyebabkan kematian dengan jumlah terbanyak kedua di dunia. Menurut data Global Cancer Observator (2018) dari World Health Organization (WHO) menunjukkan kasus kanker yang paling banyak terjadi di Indonesia adalah kanker payudara yakni 58,256 atau 16,7% dari total 348,809 kasus kanker [1]. Hasil dari Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur jumlah penderita kanker payudara 179 orang pada tahun 2014 dan pada tahun 2015 kanker payudara naik menjadi 424 orang, maka dikatakan terjadi peningkatan yang signifikan pada kasus kanker payudara dari tahun 2014 sebanyak 56,28% dan juga angka kematian sebanyak 36,85% [2]. Salah satu upaya untuk menekan angka kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh kanker payudara maka dilakukan kemoterapi dengan tujuan untuk menghambat pertumbuhan sel kanker. Akan tetapi, terdapat permasalahan terkait terapi ini yaitu, sekitar 70% sampai 80% pasien yang menerima kemoterapi mengalami mual-muntah, karena efek samping dari kemoterapi ini maka diberikan terapi tambahan antiemetik, jika pemberian antiemetik tidak sesuai maka tidak mengurangi efek samping mual muntah dari kemoterapi yang diderita pasien yang menyebabkan rasa tidak nyaman dan stress dan membuat penderita memilih untuk menghentikan siklus kemoterapi sehingga berpotensi meningkatkan progresivitas kanker dan dapat mengurangi harapan hidup pasien [3]. Hal ini mendorong peneliti untuk melakukan penelitian terhadap pasien kanker payudara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien, mengetahui klasifikasi resiko mual muntah yang disebabkan kemoterapi, dan mengetahui kesesuain penggunaan antiemetik pada pasien kanker payudara di Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. 2 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian observasional dengan rancangan deskriptif dari data retrospektif yang bersumber dari data rekam medis pasien kanker payudara pada bulan januari- desember 2020 di Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Data pasien yang diambil berupa data karakteristik pasien kanker payudara, data pengobatan kemoterapi dan data pengobatan antiemetik, kemudian dianalisis secara deskriptif yang disajikan dalam bentuk persentase, tabel atau diagram. 3 Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian yang diperoleh dibagian rekam medis Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie Samarinda dengan total sampel rekam medis pasien kanker payudara yang didapatkan yaitu sebanyak 105 sampel, Pada kasus kanker payudara yang menerima terapi


Evaluasi Penggunaan Obat Antiemetik pada Penderita Kanker Payudara Pasca Kemoterapi 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 224 kemoterapi di Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie Samarinda menunjukkan 100% terjadi pada perempuan. Ada 1 pasien laki-laki namun tidak mendapatkan terapi kemoterapi sehingga tidak dibahas dalam penelitian ini. Hal ini menunjukkan jika kanker payudara tidak terjadi hanya pada perempuan saja, akan tetapi laki-laki juga dapat terkena kanker payudara. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya (Azizah, 2017) yang menunjukkan kasus kanker payudara terjadi pada perempuan sebanyak 99,1% dan pada laki-laki sebanyak 0,9% [4]. Hal ini juga dapat disebabkan oleh peningkatan hormon estrogen dan progesteron pada perempuan lebih cepat dibandingkan pada lakilaki. Tabel 1. Karakteristik pasien Kanker Payudara Karakteristik Jumlah Persentase Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki 105 0 100% 0 Usia 0-5 tahun 5-11 tahun 12-16 tahun 17-25 tahun 26-35 tahun 36-45 tahun 46-55 tahun 56-65 tahun >65 tahun 0 0 0 1 10 37 40 12 5 0 0 0 0,95% 9,52% 35,24% 38,1% 11,43% 4,76% Indeks Massa Tubuh (IMT) Berat Badan Kurang (<18,5) Normal (18,5-22,9) Kelebihan Berat Badan (23-24,9) Obesitas I (25-19,9) Obesitas II (>30) 5 33 19 34 11 4,9% 32,35% 18,63% 33,33% 10,79% Data karaketeristik usia pada rentang usia 17-25 tahun terdapat 1 kasus, 26-35 tahun terdapat 10 kasus, 36-45 tahun terdapat 37 kasus, 46-55 tahun terdapat 40 kasus, 56-65 tahun terdapat 12, dan >65 tahun terdapat 5 kasus. Kanker payudara paling banyak terjadi di rentang usia 46-55 tahun sebanyak 38,1%, risiko kanker payudara terjadi paling banyak pada usia 40-60 tahun, hal ini disebabkan karena semakin bertambahnya usia seseorang maka paparan estrogen yang dialami akan lebih banyak [5]. Data karakteristik Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan berat badan kurang sebanyak 5 kasus, normal sebanyak 33 kasus, kelebihan berat badan sebanyak 19 kasus, obesitas I sebanyak 34 kasus, dan obesitas II sebanyak 11 kasus. Kasus kanker payudara paling banyak terjadi pada berat badan obesitas yaitu obesitas I yaitu sebanyak 33,33%. Berat badan berpengaruh dalam menentukan dosis obat, terutama pada penderita obesitas karena adanya deviasi yang besar dari komposisi tubuh dibandingkan dengan orang yang berat badannya normal. Obesitas merupakan salah satu faktor risiko terjadi kanker payudara, penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya (Irena, 2018) yang mengatakan ada hubungan anatara obesitas dengan kanker payudara, hal ini karena resiko pada kegemukan akan meningkat karena meningkatnya sintesis estrogen pada timbunan lemak. Tingginya kadar estrogen akan berpengaruh terhadap pertumbuhan jaringan payudara. Pertumbuhan jaringan yang berlebihan dan tidak adanya batas kematian sel akan menyebabkan sel membelah secara terus menerus sehingga dapat menyebabkan kanker payudara [6]. Hasil penelitian di Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie Samarinda menunjukkan bahwa resiko mual muntah tinggi sebanyak 6 kasus, resiko mual muntah sedang sebanyak 88 kasus, dan resiko mual muntah rendah sebanyak 11 kasus. Berdasarkan Tabel 2, klasifikasi resiko mual muntah yang paling banyak terjadi adalah resiko mual muntah sedang dengan persentase yaitu sebanyak 83,81%. Kemoterapi yang diberikan pada pasien dengan terapi tunggal golongan obat Taksan sebanyak 1 kasus, terapi kombinasi (Antibiotika; Taksan) sebanyak 75 kasus, (Antibiotika; Alkilator) sebanyak 1 kasus, (Taksan; Antimetabolit) sebanyak 2 kasus, (Taksan; Alkaloid vinka) sebanyak 1 kasus, (Taksan; Miscellaneous Agent) sebanyak 4 kasus, (Tracetat; Tamophen) sebanyak 1 kasus, (Antibiotika; Taksan; Alkilator) sebanyak 4 kasus, (Antibiotika; Taksan; Trastuzumab) sebanyak 5 kasus, (Antibiotika; Taksan; Gonadorelin) sebanyak 3 kasus, (Antibiotika; Taksan; Miscellaneous Agent) sebanyak 3 kasus, (Antibiotika; Alkilator; Alkaloid vinka) sebanyak 1 kasus, (Taksan; Miscellaneous Agent; Trastuzumab) sebanyak 1 kasus, (Taksan; Antimetabolit; Tamophen; Tracetat) sebanyak 1 kasus, (Trastuzumab; Gonadorelin; Antibiotika; Taksan) sebanyak 2 kasus. Kemoterapi terbanyak yang diberikan kepada


Evaluasi Penggunaan Obat Antiemetik pada Penderita Kanker Payudara Pasca Kemoterapi 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 225 pasien kanker payudara kemoterapi kombinasi Antibiotika dan Taksan yaitu sebanyak 71,45%. Hasil penelitian menunjukkan kesesuaian terapi antiemetik tercapai lebih banyak dibandingkan yang tidak tercapai. Hal itu dikarenakan terapi yang diberikan telah sesuai dengan tatalaksana CINV. Menurut National Comprehensive Cancer Network (2017) regimen kemoterapi dengan resiko mual muntah tinggi direkomendasikan pemberian antiemetik kombinasi dihari pertama yaitu 5- Hydroxitryptamin-3; Deksametason; Aprepitant, lalu dianjutkan dihari ke 2-4 Aprepitant dan Deksametason. Regimen kemoterapi dengan resiko mual muntah sedang direkomendasikan pemberian antiemetik kombinasi dihari pertama yaitu 5-Hydroxitryptamin-3 dan Deksametason, lalu dilanjutkan dihari ke2-4 diberikan 5-Hydroxitryptamin-3 dan Deksametason. Regimen kemoterapi dengan resiko mual muntah rendah direkomendasikan pemberian terapi tunggal Deksametason [7]. Tabel 2. Kesesuaian Antiemetik Berdasarkan Resiko Mual Muntah Golongan Obat Kemoterapi Klasifikasi Resiko Mual Muntah Golongan Obat Antiemetik Kesesuaian Terapi Jumlah Persentase Hari 1 Hari 2,3,4 Taksan Rendah 5HT3; PPP; Deksametason 5HT3; Antagonis H2 Tercapai 1 0,95% Antibiotika; Taksan Sedang 5HT3; Antagonis H2; Deksametason 5HT3; Antagonis H2 Tercapai 44 41,91% 5HT3; Antagonis H2; Deksametason 5HT3; PPP Tercapai 2 1,91% 5HT3; PPP; Deksametason 5HT3; Antagonis H2 Tercapai 10 9,53% 5HT3; PPP; Deksametason DRA; PPP Tercapai 2 1,91% 5HT3; PPP; Deksametason 5HT3; PPP Tercapai 12 11,43% 5HT3; PPP; Deksametason DRA Tidak Tercapai 1 0,95% 5HT3; Antagonis H2; Deksametason - Tidak Terapai 1 0,95% 5HT3; Antagonis H2; Deksametason DRA PPP Tercapai 2 1,91% PPP; Deksametason 5HT3; PPP Tercapai 1 0,95% Antibiotika; Alkilator Tinggi 5HT3; PPP; Deksametason 5HT3; PPP Tercapai 1 0,95% Taksan; Antimetabolit Rendah 5HT3; Antagonis H2; Deksametason - Tercapai 1 0,95% 5HT3; Antagonis H2; Deksametason PPP Tercapai 1 0,95% Taksan; Alkaloid vinka Rendah 5HT3; Antagonis H2; Deksametason 5HT3; Antagonis H2 Tercapai 1 0,95% Taksan; Miscellaneous Agent Rendah 5HT3; Antagonis H2; Deksametason 5HT3; Antagonis H2 Tercapai 3 2,86% 5HT3; PPP; Deksametason 5HT3; Antagonis H2 Tercapai 1 0,95% Tamophen; Tracetat Rendah PPP; DRA - Tercapai 1 0,95% Antibiotika; Taksan; Alkilator Tinggi 5HT3;PPP; Deksametason DRA; PPP Tercapai 1 0,95% 5HT3; Antagonis H2; Deksametason DRA; PPP Tercapai 1 0,95% 5HT3; Antagonis H2; Deksametason 5HT3 Tercapai 1 0,95% 5HT3; Antagonis H2; Deksametason - Tidak Tercapai 1 0,95% Antibiotika; Taksan; Trastuzumab Sedang 5HT3; Antagonis H2; Deksametason 5HT3; Antagonis H2 Tercapai 4 3,82% 5HT3; PPP; Deksametason 5HT3; Antagonis H2 Tercapai 1 0,95% Antibiotika; Taksan; Gonadorelin Sedang 5HT3; Antagonis H2; Deksametason 5HT3; Antagonis H2 Tercapai 3 2,86% Antibiotika; Taksan; Miscellaneous Agent Sedang 5HT3; Antagonis H2; Deksametason 5HT3; Antagonis H2 Tercapai 2 1,91% 5HT3; Antagonis H2; Deksametason - Tidak Tercapai 1 0,95% Alkilator; Alkaloid vinka; Antibiotika Tinggi 5HT3; Antagonis H2; Deksametason 5HT3; Antagonis H2 Tercapai 1 0,95% Taksan; Miscellaneous Agent; Trastuzumab Rendah 5HT3; Antagonis H2; Deksametason 5HT3; Antagonis H2 Tercapai 1 0,95% Taksan; Antimetabolit; Tamophen: Tracetat Rendah 5HT3; Antagonis H2 Deksametason; Pumpisel Tercapai 1 0,95% Trastuzumab;Gonadorel in; Antibiotika: Taksan Sedang 5HT3; Antagonis H2; Deksametason PPP Tercapai 1 0,95% 5HT3; Antagonis H2; Deksametason 5HT3; Antagonis H2 Tercapai 1 0,95% Keterangan: 5HT3: 5-Hydroxitryptamin-3 PPP: Penghambat Pompa Proton DRA: Dopamine Receptor Antagonist Terapi antiemetik dapat ditambahkan Antagonis Histamin 2 atau Penghambat Pompa Proton [8]. Ranitidin tidak termasuk obat antiemetik yang digunakan pada pasien kemoterapi, ranitidin merupakan antagonis reseptor H-2 yang akan memblokir reseptor H2 sel pariental lambung yang akan menghambat sekresi lambung, sehingga kombinasi ondansentron dan ranitidin sering digunakan dalam mengatasi mual muntah karena


Evaluasi Penggunaan Obat Antiemetik pada Penderita Kanker Payudara Pasca Kemoterapi 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 226 kemoterapi [9]. Menurut National Comprehensive Cancer Network Clinical Practice Guidelines in Oncology (2012), obat golongan H2 bloker seperti ranitidin dapat direkomendasikan sebagai terapi tambahan untuk pencegahan mual muntah akibat pemberian agen kemoterapi dengan resiko mual muntah tinggi, sedang, rendah, dan minimal [10]. Kemoterapi menyebabkan gejala mual muntah yang merupakan sindrom dispepsia, Penghambat Pompa Proton seperti omeprazol berfungsi untuk menurunkan asam lambung pada sindrom dispepsia sehingga memungkinkan untuk dipergunakan pada pasien kanker yang menerima kemoterapi [11]. 4 Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Karakteristik jenis kelamin pada pasien kanker payudara 100% terjadi pada perempuan dengan rentang usia 46-55 sebanyak 38,1% dan dengan klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) terjadi pada obesitas I sebanyak 33,33%. 2. Klasifikasi resiko mual muntah sedang paling banyak terjadi yaitu sebanyak 83,81% dengan penggunaan obat paling banyak yaitu kombinasi Antibiotika dan Taksan sebanyak 71,45%. 3. Kesesuaian terapi antiemetik yang tercapai sebanyak 96,2% dan yang tidak tercapai sebanyak 3,8%, dengan antiemetik yang paling banyak digunakan yaitu kombinasi obat golongan 5-Hydroxitryptamin-3, Antagonis Histamin 2, dan Deksametason. 5 Ucapan Terima Kasih Ucapan terimakasih penulis sampaikan berkat bantuan dari berbagai pihak yang berperan dalam penelitian ini, dosen pembimbing, Kepala DIKLIT, Komite Etik, serta staf rekam medis RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda yang telah berkenan memberikan izin pengambilan data pada penelitian ini. 6 Kontribusi Penulis Dhea Amanda Sabilla Fauzi: Melaksanakan pengumpulan data rekam medis, analisis data dan pustaka, membahas hasil penelitian serta penyusunan draft manuskrip. Yurika Sastyarina dan Hajrah: Pengarah, pembimbing, serta penyelaras akhir manuskrip 7 Konflik Kepentingan Seluruh penulis menyatakan tidak ada konflik kepentingan dari penelitian ini. 8 Etik Surat persetujuan kelayakan etik oleh Komite Etik Penelitian Kesehatan RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda, No: 354/KEPKAWS/IX/2021 9 Daftar Pustaka [1] Global Burden Cancer (GLOBOCAN). 2018. Tentang data kasus kanker payudara dan kanker serviks [2] Mardiana, A., & Kurniasari, L. 2021. Hubungan Pengetahuan Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) Dengan Kejadian Kanker Payudara Di Kalimantan Timur. Borneo Student Research (BSR), 2(2), 1052-1059. [3] Shinta, Nindya R., & Bakti, S. 2016. Terapi Mual Muntah Pasca Kemoterapi. Jurnal THT, 9(2), 74- 83. [4] Azizah, N. 2017. Evaluasi Efektivitas Antiemetik pada Pasien Kanker Payudara Pasca Kemoterapi di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar). [5] Kurniati, Y. P., & Nafiah, I. 2019. Fenotipe Estrogen Reseptor Berdasarkan Usia dan Pekerjaan Pada Kanker Payudara Invasif. Proceeding of The URECOL, 709-715. [6] Irena, R. 2018. Hubungan Obesitas dengan Kejadian Kanker Payudara di RSUD Bangkinang. Prepotif: Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2(1), 1-8. [7] Berger, M. J., Ettinger, D. S., Aston, J., Barbour, S., Bergsbaken, J., Bierman, P. J., ... & Hughes, M. 2017. NCCN guidelines insights: antiemesis, version 2.2017. Journal of the National Comprehensive Cancer Network, 15(7), 883-893. [8] Utaminingrum, W., Hakim, L., & Raharjo, B. (2013). Evaluasi Kepatuhan Dan Respon Mual Muntah Penggunaan Antiemetik Pada Pasien Kanker Payudara Yang Menjalani Kemoterapi Di Rsud Prof. Dr. Margono Soekarjo. Pharmacy: Jurnal Farmasi Indonesia (Pharmaceutical Journal of Indonesia), 10(2). [9] Giovani, A., Hasmono, D., Surdijati, S., & Semedi, J. 2020. Studi Penggunaan Carboplatin untuk Penderita Kanker Payudara di RUMKITAL Dr. Ramelan Surabaya. Jurnal Farmasi Sains dan Terapan, 7(1), 27-35.


Evaluasi Penggunaan Obat Antiemetik pada Penderita Kanker Payudara Pasca Kemoterapi 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 227 [10] National Comprehensive Cancer Network. 2012. NCCN clinical practice guidelines in oncology antiemesis, Version 1. [11] Simbolon, P. D. H., Nafianti, S., Sianturi, P., Lubis, B., & Lelo, A. 2018. The addition of omeprazole to ondansetron for treating chemotherapyinduced nausea and vomiting in pediatric cancer patients. Paediatrica Indonesian, 58(1), 42-7.


14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 214 Journal homepage: https://prosiding.farmasi.unmul.ac.id Evaluasi Penggunaan Antibiotik Secara Kuantitatif dan Kualitatif pada Pasien Bedah Digestif di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda Quantitative and Qualitative Evaluation of Antibiotic Use in Digestive Surgery Patients at Abdul Wahab Sjahranie Hospital Samarinda Enjelina Natasya Sihite*, Adam M Ramadhan, Erwin Samsul Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian “Farmaka Tropis”, Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman, Samarinda, Indonesia *Email korespondensi: enjelinatasya99@gmail.com Abstrak Antibiotik merupakan golongan obat yang paling sering digunakan dalam mengatasi infeksi bakteri. Pemberian resep antibiotik tinggi dan kurang bijak akan berdampak merugikan, salah satunya yaitu meningkatkan terjadinya resistensi antibiotik. Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui karakteristik pasien, kuantitas serta kualitas penggunaan antibiotik pada pasien bedah digestif di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda periode Januari–Desember 2020. Penelitian ini merupakan penelitian observasional secara retrospektif dengan teknik pengambilan data menggunakan metode purposive sampling. Hasil penelitian diperoleh data karakteristik pasien terbanyak pada kategori usia dewasa (26–45 tahun) sebanyak 35 pasien (48%), laki-laki sebanyak 45 pasien 60%), lama rawat 4– 5 hari sebanyak 30 pasien (40%), pekerja swasta sebanyak 23 pasien (30,7%), dan jenis penyakit apendisitis sebanyak 27 pasien (36%). Penggunaan antibiotik terbanyak yaitu seftriakson sebesar 64,41 DDD/100 patient-days dan yang masuk segmen DU 90% adalah seftriakson dan metronidazol. Kualitas penggunaan antibiotik sebanyak 54,91% termasuk dalam kategori 0 meliputi seftriakson, metronidazol, sefpirom dan levofloksasin, kategori IIIB sebanyak 35,26% meliputi seftriakson, metronidazol, sefpirom dan sefiksim, kategori IIIA sebanyak 4,05% meliputi seftriakson dan metronidazole, kategori IVC sebanyak 4,62% meliputi seftriakson dan sefiksim, dan IVA sebanyak 1,16%, meliputi metronidazol. Kata Kunci: Gyssens, ATC/DDD, DU 90%, Bedah Digestif Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals Conferences


Evaluasi Penggunaan Antibiotik Secara Kuantitatif dan Kualitatif Pada Pasien Bedah Digestif di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 215 Abstract Antibiotics are drugs that are the most widely prescribed to treat bacterial infections. Prescription of high and not wise antibiotics has a detrimental impact: increasing antibiotic resistance. This study aimed to determine patient characteristics, quantity, and quality of antibiotic use in digestive surgery patients at Abdul Wahab Sjahranie Hospital Samarinda from January-December 2020. This study is a retrospective observational study with data collection techniques using the purposive sampling method. The results obtained 75 medical records, with the majority of the adults (26-45 years old) were 35 patients (48%), men were 45 patients (60%), length of stay 4-5 days were 30 patients (40%), private workers were 23 patients (30.7%), and type of disease appendicitis were 27 patients (36%). The most used antibiotic is ceftriaxone, which is 64.41 DDD/100 patient days, and antibiotics included in segment 90% were ceftriaxone and metronidazole. The quality of antibiotic use was 54.91% included in category 0 including ceftriaxone, metronidazole, cefpirom, and levofloxacin, category IIIB as 35.26% including ceftriaxone, metronidazole, cefpirom, and cefixime, category IIIA as 4.05% including ceftriaxone and metronidazole, the IVC category as 4.62% including ceftriaxone and cefixime, and IVA as 1.16% including metronidazole. Keywords: Gyssens, ATC/DDD, DU 90%, Digestive Surgery DOI: https://doi.org/10.25026/mpc.v14i1.552 1 Pendahuluan Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan yang amat penting terutama pada negara berkembang. Obat yang paling sering dipakai untuk mengatasi infeksi bakteri adalah antibiotik. Secara umum antibiotik didefinisikan sebagai obat yang paling sering digunakan untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri [1]. Berdasarkan penelitian WHO tahun 2015, di antara 10.000 penduduk dari 12 negara termasuk Indonesia, sebesar 53-62% menghentikan penggunaan antibiotik saat merasa sudah sembuh. Berdasarkan hal tersebut, resistensi antibiotik kini masih menjadi ancaman terbesar terhadap kesehatan masyarakat dunia [2]. Di Indonesia, penyakit infeksi termasuk dalam sepuluh penyakit terbanyak, dimana peresepan antibiotik yang tinggi dan kurang bijak dapat meningkatkan kejadian resistensi. Resistensi antibiotik dapat menyebabkan peningkatan morbiditas, mortalitas serta biaya kesehatan [1]. Bedah digestif termasuk salah satu dari pembedahan mayor abdomen, dimana hampir semua bedah digestif termasuk kedalam kategori terkontaminasi (clean and dirty) sehingga tingkat risiko infeksi yang ditimbulkan cukup tinggi. Bedah digestif memiliki karakteristik tindakan yang beragam, seperti herniorafi, kolesistektomi, reseksi colon, apendiktomi, laparotomi eksplorasi, dan lainlain [3]. Pembedahan pada daerah abdominal merupakan salah satu faktor risiko infeksi pada luka operasi. Pembedahan digestif mencakup tindakan invasif pada sistem pencernaan terutama bagian abdominal. Pada proses bedah, akan terjadi luka terbuka pada daerah pembedahan yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi pada pasien. Infeksi luka operasi menyebabkan pemberian antibiotik tambahan sebagai penanganan infeksi tersebut, sehingga akan meningkatkan risiko terjadinya resistensi bakteri [4]. Pembedahan abdomen terbukti memiliki resiko 4,46 kali mengalami IDO (Infeksi Daerah Operasi) dibandingkan tindakan bedah lainnya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Alam Nirbita [3] mengenai faktor risiko terjadinya IDO pada bedah digestif di rumah sakit swasta, ditemukan sebesar 30% angka kejadian IDO yang memenuhi kriteria IDO superfisial incision. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan perhatian khusus terhadap


Evaluasi Penggunaan Antibiotik Secara Kuantitatif dan Kualitatif Pada Pasien Bedah Digestif di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 216 penggunaan antibiotik pada pasien bedah digestif. Evaluasi penggunaan antibiotik dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kuantitas penggunaan antibiotik, mengetahui serta mengevaluasi kualitas penggunaan antibiotik, menjadi dasar dalam penetapan surveilans penggunaan antibiotik secara sistematik dan terstandar, dan menjadi indikator kualitas layanan rumah sakit. Dalam evaluasi penggunaan antibiotik secara kuantitatif, WHO (World Health Organozation) menetapkan sistem ATC/DDD sebagai standar pengukuran internasional. Tujuan dari ATC/DDD adalah sebagai alat untuk memantau dan meneliti pemanfaatan obat dalam rangka peningkatan kualitas penggunaan obat. Sedangkan kualitas penggunaan antibiotik dilakukan dengan menggunakan metode Gyssens untuk mengevaluasi ketepatan penggunaan antibiotik [1]. Metode Gyssens berbentuk sebuah algoritma untuk mengklasifikasi resep obat dalam berbagai kategori penggunaan yang tidak tepat. Algoritma ini memungkinkan evaluasi setiap parameter kepentingan yang terkait dengan peresepan obat antimikroba, seperti : penilaian peresepan, alternatif pengobatan lebih efektif, lebih tidak toksik, lebih murah, spektrum antibiotik yang lebih sempit, lama pengobatan dan dosis, interval dan rute pemberian, serta waktu pemberian obat [5]. 2 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Rekam Medik Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie, dimana data yang diambil merupakan data pasien bedah digestif periode Januari–Desember 2020. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pengambilan data secara retrospektif yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien, kuantitas serta kualitas penggunaan antibiotik pada pasien bedah digestif di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Metode pengambilan data dengan metode purposive sampling. Populasi pasien bedah digestif yang diperoleh sebanyak 75 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Kriteria inklusi pada penelitian ini, yaitu: pasien bedah digestif yang menggunakan antibiotik, berusia diatas 18 tahun dengan data catatan medik lengkap. Kriteria yang masuk dalam kriteria eksklusi, yaitu: pasien pulang paksa/meninggal/ pindah rumah sakit lain dan data catatan medik yang tidak bisa dibaca. Penelitian ini dilakukan dengan menganalisa data rekam medik, kemudian ditentukan karakteristik pasien, dilakukan analisia secara kuantitatif dengan menggunakan metode ATC/DDD dan DU 90%, serta secara kualitatif menggunakan alogaritme Gyssens. Data kemudian dianalisis secara deskriptif kemudian disajikan dalam bentuk persentase dan diagram. 3 Hasil dan Pembahasan 3.1 Karakteristik Pasien Hasil kerakteristik usia pasien dapat dilihat pada Gambar 1, dimana usia terbanyak yaitu pada pasien kategori dewasa (26-45 tahun) sebanyak 35 orang dengan persentase 48%. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Warsinggih tahun 2016 pada pasien digestif, dimana didapatkan pasien terbanyak yaitu pada usia ≤ 40 tahun [6]. Gangguan pencernaan disebabkan oleh perubahan organik dan struktural yang berkaitan dengan penuaan dan efek dari kondisi patologis seperti penyakit hati, diabetes, penyakit pankreas serta polifarmasi. Pada masa penuaan terjadi beberapa perubahan antara lain, penurunan sekresi lambung, motilitas tertunda, perubahan dinding mukosa bikarbonat, penurunan absorbsi, dan lain-lain. Perubahan tersebut dapat berpengaruh terhadap gangguan pencernaan [7]. Selain itu, Adhyatma [8] menjelaskan bahwa mulai umur 30 tahun, seseorang akan mengalami penurunan fungsi fisiologis dan perubahan struktur tubuh yang dapat menyebabkan penurunan kekuatan otot maupun mudahnya seseorang menderita suatu penyakit seperti penyakit yang menyebabkan peningkatan intraabdomen yang merujuk pada penyakit hernia. Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin, didapatkan hasil terbanyak pada pasien laki-laki sebesar 60%. Dari data tersebut terlihat bahwa pasien berjenis kelamin laki-laki merupakan pasien terbanyak yang melakukan prosedur bedah digestif. Hasil yang sama juga


Evaluasi Penggunaan Antibiotik Secara Kuantitatif dan Kualitatif Pada Pasien Bedah Digestif di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 217 ditunjukkan pada penelitian Nirbita pada tahun 2014 dimana pasien berjenis kelamin laki-laki yang paling banyak menjalani prosedur bedah digestif yaitu sebesar 56% [3]. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan pola makan dimana laki-laki banyak menghabiskan waktu diluar rumah untuk bekerja sehingga lebih cenderung mengkonsumsi makanan cepat saji, sehingga hal ini dapat menyebabkan beberapa komplikasi atau obstruksi pada usus yang bisa menimbulkan masalah pada sistem pencernaan [9]. Karakteristik berdasarkan lama rawatnya, didapatkan bahwa lama rawat pasien bedah digestif terbanyak adalah pada 4-5 hari dengan persentasi sebesar 40%, pada 1-3 hari sebesar 24%, lama rawat lebih dari 7 hari sebesar 21,33% dan paling kecil pada lama rawat 6-7 hari yaitu sebesar 14,67%. Hasil ini sesuai dengan penelitian terkait yang dilakukan oleh Adani di Semarang, dimana pasien bedah digestif paling banyak dirawat selama kurang dari lima hari yaitu sebanyak 21 orang dengan persentasi 58,3%. Semakin lama pasien dirawat, maka pasien semakin rentan terhadap resiko infeksi nosokomial sehingga biaya yang harus dikeluarkan untuk perawatan pun juga meningkat [10]. Gambar 1 Karakteristik Berdasarkan Usia Gambar 2 Karakteristik Berdasarkan Jenis Kelamin Gambar 3 Karakteristik Berdasarkan Lama Rawat Gambar 4 Karakteristik Berdasarkan Jenis Pekerjaan 11 (14,7) 35 (29,3) 23 (29,3%) 6 (8%) 0 5 10 15 20 25 30 35 40 18-25 tahun 26-45 tahun 46-65 tahun 65-71 tahun Jumlah Pasien 45 (60%) 30 (40%) 0 10 20 30 40 50 60 Laki Laki Perempuan Jumlah Pasien 18 (24%) 30 (40%) 11 (14,67%) 16 (21,33%) 0 20 40 60 1-3 Hari 4-5 Hari 6-7 Hari ≥ 7 Hari Jumlah Pasien 23 (30,7%) 5 (6,7%) 7 (9,3%) 4 (5,3) 4 (5,3) 14 (18,7) 6 (8%) 12 (16%) 0 5 10 15 20 25 Jumlah Pasien


Evaluasi Penggunaan Antibiotik Secara Kuantitatif dan Kualitatif Pada Pasien Bedah Digestif di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 218 Gambar 5 Karakteristik Jenis Penyakit Gambar 4 menunjukkan pasien bedah digestif paling banyak dialami oleh pasien dengan pekerjaan swasta sebesar 30,7%. Pekerja swasta memiliki tingkat kesibukan tinggi sehingga tidak memiliki waktu untuk memperhatikan kesehatan. Hal ini juga kemungkinan berkaitan dengan perubahan pola makan, baik dari segi waktu maupun jenis makanan yang dikonsumsi yang akan berakibat pada kesehatan organ pencernaan [11]. Karakteristik berdasarkan jenis penyakit, pasien bedah digestif paling banyak menderita apendisitis dengan persentasi sebesar 36%, kemudian kolelitiasis sebesar 24%, hernia sebesar 22,7%, dan ditemukan juga diagnosis klinis lain yaitu: sirosis hepatis, tumor gaster, abdominal pain dan obstruktif jaundice. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Alam Nirbita dan Adani dimana pasien digestif paling banyak menderita penyakit apendisitis dengan persentasi masingmasing 38% dan 50% [3,10]. 3.2 Kuantitas Penggunaan Antibiotik Berdasarkan ATC/DDD dan DU 90% Evaluasi penggunaan antibiotik secara kuantitatif dilakukan menggunakan metode ATC/DDD dan DU 90%. Berdasarkan 75 catatan rekam medik pasien bedah digestif pada tahun 2020, didapatkan 173 peresepan antibiotik. Dalam penelitian ini didapatkan 5 variasi penggunaan antibiotik yang digunakan sebagai penanganan pada bagian bedah digestif RSUD Abdul Wahab Sjahranie dengan total 81,21 DDD/100 patient-days. Hal ini diartikan bahwa dari antara 100 pasien yang dirawat inap ada sekitar 81 orang yang mendapatkan terapi antibiotik. Data kuantitas penggunaan antibiotik dapat dilihat pada Tabel 1, berdasarkan data tersebut semakin besar nilai DDD/100 patient-days, maka semakin besar juga penggunaan antibiotik. Penggunaan antibiotik terbanyak adalah seftriakson dengan 64,41 DDD/100 patientdays yang artinya diantara 100 pasien yang dirawat inap ada sekitar 65 orang yang mendapatkan terapi 2000 mg antibiotik seftriakson. Kuantitas tingginya penggunaan seftriakson ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mahmudah tahun 2016 bahwa antibiotik terbanyak yang digunakan adalah seftriakson dengan 8,77 DDD/100 patient-days. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Octavianty [12] pada tahun 2021 juga diketahui bahwa antibiotik seftriakson paling banyak digunakan pada pasien bedah di salah satu RS swata Kota Surabaya yaitu sebesar 105,04 DDD/100 patient-days. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Dirga di bangsal penyakit dalam RSUD. Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung dilaporkan bahwa seftriakson merupakan antibiotik dengan nilai DDD patient-days tertinggi sebesar yaitu 62,31 [13]. Terdapat lima jenis antibiotik yang dikonsumsi pasien Bedah Digestif pada periode tahun 2020, dua diantaranya masuk kedalam segmen DU 90% penggunaan terbanyak yaitu seftriakson dan metronidazol, sedangkan antibiotik yang masuk kedalam segmen DU 10% yaitu sefiksim, levofloksasin dan sefpirome (Tabel 2). Semakin banyak variasi jenis antibiotik akan menyebabkan rentannya kejadian resistensi terhadap antibiotik yang digunakan. Berdasarkan penelitian ini jenis antibiotik yang masuk kedalam segmen DU 90% hanya seftriakson dan metronidazol yang dapat menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik sudah rasional. Tabel 1 Kuantitas penggunaan antibiotik dengan DDD/100 patient – days No Nama Antibiotik Kode ATC Dosis (g) DDD DDD/100 1 J01DD04 Seftriakson 554 277 64,41 2 J01XD01 Metronidazol 82,5 55 12,79 3 J01MA12 Levofloksasin 5,25 10,5 2,44 4 J01DD08 Sefiksime 2 5 1,16 5 J01DE02 Sefpirome 7 1,75 0,41 Total 650,75 344,25 81,21 27 (36%) 17 (22,7%) 24 (32%) 7 (9,3%) 0 5 10 15 20 25 30 Apendisitis Hernia Kolelitiasis Lain-lain Jumlah Pasien


Evaluasi Penggunaan Antibiotik Secara Kuantitatif dan Kualitatif Pada Pasien Bedah Digestif di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 219 Tabel 2 Penggunaan antibiotik berdasarkan DU 90 No Nama Antibiotik DDD/100 DU% Segmen DU 1 Seftriakson 64,41 79,31 90% 2 Metronidazol 12,79 15,75 3 Levofloksasin 2,44 3 4 Sefiksime 1,16 1,43 10% 5 Sefpirome 0,41 0,51 3.3 Kualitas Pengguunaan Antibiotik Berdasarkan Alogaritme Gyssens Antibiotik yang diresepkan oleh dokter dapat digolongkan dalam tiga jenis, yaitu profilaksis, empiris dan definitif. Penggunaan antibiotik untuk terapi empiris merupakan penggunaan antibiotik pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya. Sedangkan antibiotik terapi definitif merupakan terapi yang diberikan setelah hasil pemeriksaan mikrobiologi keluar. Berdasarkan jenis terapi tersebut, didapatkan hasil penggunaan antibiotik terbesar yaitu terapi empiris sebesar 55,49%, kemudian terapi profilaksi sebesar 42,77% dan terapi definitif sebesar 1,74% (Tabel 3). Tingginya penggunaan antibiotik terapi empiris disebabkan karena tidak semua dilakukan kultur. Hal tersebut disebabkan oleh faktor biaya, dan pasien dengan jaminan kesehatan juga tidak bisa langsung melakukan pengujian kultur, sehingga pengujian tertunda menunggu proses persetujuan pengajuan jaminan. Selain itu pengujian kultur membutuhkan waktu 4 – 7 hari sedangkan pengobatan harus segera dimulai [14]. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seftriakson merupakan antibiotik yang paling sering diresepkan pada pasien bedah digestif baik dalam penggunaan sebagai profilaksis maupun terapi pasca operasi. Seftriakson merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi III yang mempunyai waktu paruh lebih panjang dibanding golongan sefalosporin lainnya. Pada umumnya seftriakson kurang aktif terhadap kokus gram positif jika dibandingkan dengan generasi pertama, namun jauh lebih efektif terhadap Enterobacteriaceae. Enterobacteriaceae merupakan kelompok batang gram negative yang mencakup Escherichia coli, salmonella, shigella dan lainlain. Pada penelitian yang dilakukan oleh Yuwono pada tahun 2013 disebutkan bahwa Escherichia coli merupakan bakteri yang paling sering ditemukan pada luka pada bedah digestif. Hal tersebut menunjukkan penggunaan antibiotik seftriakson telah sesuai [15, 16]. Seftriakson sebagai antibiotik profilaksis juga telah digunakan di beberapa rumah sakit seluruh dunia dan telah terbukti lebih efektif untuk mengurangi risiko SSI (Surgical Site Infections) selain itu penggunaannya juga terbukti menghemat biaya medis [17]. Penilaian kualitas penggunaan antibiotik berdasarkan alogaritme Gyssensterbagi dalam V – 0 kategori. Hasil penilaian kualitas antibiotik dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4, dimana diperoleh bahwa dari 173 peresepan antibiotik pada pasien bedah digestif sebanyak 54,91% peresepan antibiotik yang tergolong kategori 0 (rasional), 35,26% kategori IIIB (pemakaian terlalu singkat), 4,05% kategori III A (pemakaian terlalu lama), 4,62% kategori IVC (ada alternatif lebih murah) dan 1,16% kategori IVA (ada alternatif lebih efektif). Kategori IVA menyatakan ketidakrasionalan penggunaan antibiotik yang disebabkan adanya antibiotik lain yang lebih efektif. Hal ini terjadi pada penggunaan antibiotik metronidazol tunggal sebagai profilaksis, dimana metronidazol kurang efektif jika digunakan secara tunggal dengan laju infeksi diatas 10% [18]. Kategori IVC (ada alternatif lebih murah) dimana ada 6 peresepan antibiotik yang seharusnya bisa diberikan alternatif yang lebih murah. Antibiotik dengan kandungan sama bisa berbeda hingga 100 kali lebih mahal dibandingkan generiknya. Ketidaktepatan selanjutnya adalah pada kategori IIIB (Pemakaian terlalu singkat) dan IIIA (Pemakaian terlalu lama, dimana durasi pemberian antibiotik terapi pada pasien dengan bedah intra-abdominal adalah 4-7 hari [19]. Tabel 3 Kualitas Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Alogaritme Gyssens Antibiotik Jenis Terapi Kategori Gyssens P E D VI V IV III II I 0 A C A B Ceftriaxone 70 74 3 0 0 0 6 5 49 0 0 87 Metronidazole 3 12 0 0 0 2 0 2 5 0 0 6 Cefpirome 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 Cefixime 0 8 0 0 0 0 2 0 6 0 0 0 Levofloksasin 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 Total 74 96 3 0 0 2 8 7 61 0 0 95 Keterangan : P: Profilaksi , E: Empiris, D: Definitif


Evaluasi Penggunaan Antibiotik Secara Kuantitatif dan Kualitatif Pada Pasien Bedah Digestif di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 220 Tabel 4. Kualitas Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Alogaritme Gyssens Kategori Keterangan Jumlah Persentase (%) IV A Ada Alternatif Lebih Efektif 2 1,16 IV C Ada Alternatif Lebih Murah 8 4,62 III A Pemakaian Terlalu Lama 7 4,05 III B Pemakaian Terlalu Singkat 61 35,26 0 Tepat (Rasional) 95 54,91 Total 100 4 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh sebaran karakteristik pasien bedah digestif terbanyak berusia 26 – 45 tahun sebesar 35 pasien (48%), jenis kelamin laki-laki merupakan sebanyak 45 pasien (60%), lama rawat paling banyak pada rentang 4-5 hari sebanyak 30 pasien (40%), pekerjaan terbanyak yaitu pekerja swasta sebanyak 23 pasien (30,7%), dan jenis penyakit terbanyak yaitu pasien apendisitis sebanyak 27 pasien (36%). Pola penggunaan antibiotik yang paling banyak digunakan adalah golongan sefalosporin generasi ketiga yaitu seftriakson sebesar 64,41 DDD/100 patient-days dan antibiotik yang masuk kedalam segmen DU 90% yaitu, seftriakson dan metronidazol. Sedangkan berdasarkan hasil evaluasi kualitas penggunaan antibiotik dengan metode Gyssens, pemberian antibiotik pada pasien bedah digestif sebanyak 54,91% termasuk dalam kategori 0 yaitu penggunaan antibiotik yang rasional. Sebanyak 45,09% lainnya termasuk ke dalam penggunaan antibiotik yang tidak rasional (kategori I-VI). 5 Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih disampaikan kepada Pimpinan, Kepala Diklit, Komite Etik, serta staf rekam medis RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda yang telah mengizinkan dan memfasilitasi penulis untuk melakukan penelitian ini. 6 Kontribusi Penulis Enjelina Natasya Sihite: Melaksanakan penelitian, pengumpulan dan analisis data dan pustaka, membahas hasil penelitian serta penyusunan draft manuskrip. Adam M Ramadhan dan Erwin Samsul : Pengarah, pembimbing, serta penyelaras akhir manuskrip 7 Konflik Kepentingan Tidak ada konflik kepentingan dalam penelitian ini. 8 Etik Surat persetujuan kelayakan etik oleh Komite Etik Penelitian Kesehatan RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda, No: 357/KEPKAWS/IX/2021 9 Daftar Pustaka [1] Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Terapi Antibiotika Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. [2] WHO. 2015. “Antibiotic Resistance: MultiCountry Public Awareness Survey.” WHO Press 1–51. [3] Nirbita Alam, Elsye Maria R, and Ekorini Listiowati. 2017. “Pengaruh Faktor Risiko Infeksi Daerah Operasi (IDO) Terhadap Kejadian Infeksi Daerah Operasi (IDO) Pada Bedah Digestive Di Sebuah Rumah Sakit Swasta.” Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat 11(2):93–98. [4] Mahmudah Febrina, Sri A. Sumiwi, and Sri Hartini. 2016. “Study of the Use of Antibiotics with ATC/DDD System and DU 90% in Digestive Surgery in Hospital in Bandung.” Indonesian Journal of Clinical Pharmacy 5(4):293–98. doi: 10.15416/ijcp.2016.5.4.293. [5] Gyssens Inge C. 2005. “Audits for Monitoring the Quality of Antimicrobial Prescriptions.” Antibiotic Policies: Theory and Practice (Table 1):197–226. doi: 10.1007/0-387-22852-7_12. [6] Warsinggih, Nindy Agista Kasim, Hidayah Harahap, and Prihantono Prihantono. 2018. “Factors Related with Length of Stay (LOS) on Digestive Surgical Patient in Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital, Makassar, Indonesia.” International Journal of Research in Medical Sciences 6(8):2587. doi: 10.18203/2320- 6012.ijrms20183237. [7] Carrera Jiménez, Dinorah, Paola MirandaAlatriste, Ximena Atilano-Carsi, Ricardo CorreaRotter, and Ángeles Espinosa-Cuevas. 2018. “Relationship between Nutritional Status and Gastrointestinal Symptoms in Geriatric Patients with End-Stage Renal Disease on Dialysis.” Nutrients 10(4). doi: 10.3390/nu10040425. [8] Adhyatma Arie. 2018. “Karakteristik Pasien Hernia Inguinalis Berdasarkan Umur Dan Jenis Kelamin Di Rs Haji Medan 2015.” Skripsi Fakultas Kedokteran:1–47.


Evaluasi Penggunaan Antibiotik Secara Kuantitatif dan Kualitatif Pada Pasien Bedah Digestif di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 221 [9] Arifuddin Adhar., Lusia. Salmawati, and Andi. Prasetyo. 2017. “Faktor Risiko Kejadian Apendisitis Di Bagian Rawat Inap Rumah Sakit Umum Anutapura Palu.” Jurnal Preventif 8(April):1–58. [10] Adani Fadiah Rahma, Endang Sri Lestari, and V. Rizke Ciptaningtyas. 2015. “Kualitas Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Bedah Digestif Di Rsup Dr Kariadi Semarang.” Media Medika Muda 4(4):755–62. [11] Mardiah Rodiatul, Sri Mudayati, and Ani Sutriningsih. 2017. “Gambaran Karakteristik Pasien Pasca Bedah Appendictomy Di Perawatan Bedah RSUD Kabupaten Kotabaru.” Nursing News 2:80–87. [12] Octavianty, Clara. 2021. “Profil Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pada Pasien Bedah Di Salah Satu RS Swata Kota Surabaya.” Media Kesehatan Masyarakat Indonesia 20(3):168–72. [13] Dirga, Sudewi Mukaromah Khairunnisa, Atika Dalili Akhmad, Irfanianta Arif Setyawan, and Anton Pratama. 2021. “Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Rawat Inap Di Bangsal Penyakit Dalam RSUD. Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.” Jurnal Kefarmasian Indonesia 11(1):65–75. doi: 10.22435/jki.v11i1.3570. [14] Sumiwi, Sri. 2014. “Quality of Antibiotics Use in Patients with Digestive Surgery in Hospital in Bandung City.” Indonesian Journal of Clinical Pharmacy 3(4):135–40. doi: 10.15416/ijcp.2014.3.4.135. [15] Yuwono. 2013. “Pengaruh Beberapa Faktor Risiko Terhadap Kejadian Surgical Site Infection ( SSI ) Pada Pasien Laparotomi Emergensi.” Jmj 1(1):16–26. [16] Amelia, Kiki, and Hafid Komar. 2019. “Kajian Pola Penggunaan Antibiotik Profilaksis Hubunganya Dengan Angka Kejadian Infeksi Daerah Operasi (IDO) Pada Pasien Bedah Digestif.” Jurnal Sains Farmasi & Klinis 6(3):186. doi: 10.25077/jsfk.6.3.186-190.2019. [17] Rokhmah, Nisa Najwa, Retnosari Andrajati, and Maksum Radji. 2017. “Cross-Sectional Study of Surgical Prophylactic Antibiotic Administration in Marzoeki Mahdi Hospital, Bogor, Indonesia.” Asian Journal of Pharmaceutical and Clinical Research 10(11):87–89. doi: 10.22159/ajpcr.2017.v10i11.20286. [18] Bratzler Dale W., E. Patchen Dellinger, Keith M. Olsen, Trish M. Perl, Paul G. Auwaerter, Maureen K. Bolon, Douglas N. Fish, Lena M. Napolitano, Robert G. Sawyer, Douglas Slain, James P. Steinberg, and Robert A. Weinstein. 2013. “Clinical Practice Guidelines for Antimicrobial Prophylaxis in Surgery.” Surgical Infections 14(1):73–156. doi: 10.1089/sur.2013.9999 [19] Charles F. L, Lora L. A dan Morton P. G, 2013, Drug Information Handbook. 22th ed. USA: Lexi Comp.


14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 204 Journal homepage: https://prosiding.farmasi.unmul.ac.id Pengujian Maksimal Penggunaan Ulang Masker Kain dengan Berbagai Jenis Bahan Baku Masker Maximum Testing of Cloth Mask Reuse with Different Types of Mask Materials Eni Ayu Putri1*, Hajrah2, Niken Indriyanti2 1Mahasiswa Program Studi Sarjana Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman, Samarinda, Indonesia 2KBI Farmakologi, Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman, Samarinda, Indonesia *Email korespondensi: eniayuputrii@gmail.com Abstrak Masker kain digunakan sebagai alat pelindung diri dari paparan partikel asing di udara, penggunaan masker kain sekaligus dapat menekan angka limbah masker medis yang meningkat belakangan ini. Masker kain pada penggunaannya perlu dicuci berulang kali, sehingga perlu diketahui pengaruh pencucian terhadap efektivitas dan maksimal lama penggunannya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas penggunaan masker kain setelah melalui proses pencucian berulang dengan melihat karakteristik dan kemampuan filtrasinya dalam menyaring bakteri. Metode penelitian eksperimental dilakukan dengan membuat 3 jenis masker kain dari bahan baku masker yang berbeda, masker kain dicuci sebanyak 10, 20, 30, 40, dan 50 kali. Kemudian dikarakterisasi dengan melihat daya serap air, filtrasi uap, kemampuan tembus cahaya, dan kemampuan dalam menyaring bakteri Streptococcus aureus. Hasil penelitian rata-rata daya serap masker pada pencucian ke-10 yaitu >60 detik, sedangkan pada pencucian ke-50 yaitu <60 detik. Hasil uji filtrasi uap hanya 4,5% masker yang mengalami perubahan karakteristik. Hasil uji kemampuan tembus cahaya pada pencucian ke-10 yaitu 7,4 ±1,67 lux sedangkan pada pencucian ke-50 diperoleh rata-rata 11,4 ±1,94 lux. Hasil uji penyaringan bakteri masker pada pencucian ke-10 yaitu 5,3±5,57 koloni sedangkan pada pencucian ke-50 diperoleh rata-rata 1,9±2,2 koloni. Berdasarkan uji karakteristik dan uji penyaringan bakteri, ketiga jenis masker pada setiap pencucian tidak mengalami perubahan signifikan sehingga ketiga jenis masker masih efektif sampai pencucian ke-50 kali. Disimpulkan bahwa masker kain yang dibuat berpotensi untuk digunakan masyarakat sebagai upaya pencegahan penularan penyakit infeksi. Kata Kunci: Masker kain, Pencucian, Penyaringan bakteri Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals Conferences


Pengujian Maksimal Penggunaan Ulang Masker Kain dengan Berbagai Jenis Bahan Baku Masker 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 205 Abstract Cloth masks are used as personal protective equipment from exposure to foreign particles in the air, the use of cloth masks while can reduce the number of medical mask waste number. Cloth masks in use need to be washed repeatedly, so it is necessary to know the effect of washing on the effectiveness and maximum duration of use. The purpose of this study was to determine the effectiveness of the use of cloth masks after going through a repeated washing process by looking at their characteristics and filtration ability in filtering bacteria. The experimental research method was carried out by making 3 types of cloth masks from different masks raw materials, cloth masks were washed 10, 20, 30, 40, and 50 times. Then it is characterized by looking at water absorption, steam filtration, translucency, and ability to filter Streptococcus aureus bacteria. The results showed that the average absorption capacity of the mask in the 10th wash was >60 seconds, while in the 50th washing it was <60 seconds. The results of the steam filtration test are only 4.5% of the masks that have changed characteristics. The results of the translucency test in the 10th wash were 7.4 ±1.67 lux while in the 50th washing the average was 11.4 ±1, 94 lux. The results of the bacterial mask filtering test in the 10th washing were 5.3±5.57 colonies, while in the 50th washing the average was 1.9±2.2 colonies. Based on the characteristic test and bacterial filtering test, there was no significant change in the three types of cloth masks in each wash so that the three types of cloth masks were still effective until the 50th washing. The conclusion is that the cloth masks made have the potential to be used by the public as an effort to prevent the transmission of infectious diseases. Keywords: Cloth mask, Washing, Bacterial filter DOI: https://doi.org/10.25026/mpc.v14i1.553 1 Pendahuluan Alat pelindung diri seperti masker digunakan baik dalam perawatan kesehatan maupun masyarakat umum untuk mencegah penyebaran penyakit menular selama wabah mikroba. Masker wajah adalah komponen penting dari APD untuk mencegah bio-aerosol dan droplet yang menjadi media penularan suatu penyakit [1]. Masker digunakan sebagai alat pelindung diri dan telah menjadi salah satu adaptasi kebiasaan baru di Indonesia, penggunaan masker diwajibkan dan merupakan bagian dari rangkaian komprehensif langkah pencegahan dan pengendalian yang dapat membatasi penyebaran penyakit-penyakit saluran pernapasan tertentu, termasuk COVID19 akibat kewajiban penggunaan masker tersebut menyababkan terjadi peningkatan dramatis pada masker wajah dan limbah medis selama pandemi COVID-19 [2,3]. Studi yang memperkirakan jumlah penggunaan masker wajah dan limbah medis selama pandemi COVID-19, menunjukkan bahwa negara yang paling banyak menggunakan masker wajah sehari-hari adalah Cina (989.103.299 buah), India (381.179.657 buah), dan diikuti oleh Indonesia dengan total 159.214.791 buah [3]. Untuk menekan angka penggunaan masker medis serta karena suplai masker medis yang sempat beberapa waktu lalu tidak mencukupi membuat masyarakat dan pemerintah memperbolehkan penggunaan masker kain [4]. Beberapa penyakit saluran pernapasan umumnya disebarkan melalui droplet, penyebaran droplet saluran napas dapat terjadi apabila individu yang terinfeksi penyakit dengan gejala-gejala pernapasan seperti batuk atau bersin melakukan kontak dengan orang lain (berada dalam jarak 1 meter, atau berbicara). Dalam keadaan tersebut droplet dapat mencapai mulut, hidung, dan mata orang yang rentan sehingga dapat menimbulkan infeksi. Droplet saluran napas memiliki ukuran diameter >5-10 μm [5]. Masker kain tidak hanya secara efektif memblokir droplet yang memiliki ukuran besar (yaitu, 20-30 mikron atau lebih)


Pengujian Maksimal Penggunaan Ulang Masker Kain dengan Berbagai Jenis Bahan Baku Masker 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 206 tetapi juga dapat memblokir droplet dan partikel (aerosol) yang lebih kecil dari 10 mikron. Masker kain berlapis dapat memblokir 50-70% dari tetesan dan partikel halus, di beberapa penelitian masker kain memiliki kinerja setara dengan masker bedah [6]. Pada dasarnya menggunakan masker kain dengan tujuan untuk mengontrol infeksi pernapasan merupakan hal yang tepat. Misalnya, pasien dengan gejala batuk atau bersin umumnya disarankan untuk memakai masker, hal ini sama halnya juga berlaku pada pasien dengan peyakit yang penularannya dapat melalui udara seperti tuberkulosis paru, atau penyakit yang penularannya melalui droplet seperti influenza atau COVID-19 [7]. Masker kain minimal harus terdiri atas 3 lapis bahan kain yang berbeda, dimana kombinasi kain yang ideal untuk masker kain harus mencakup tiga lapisan, yaitu untuk lapisan paling dalam yang terbuat dari bahan hidrofilik (seperti katun atau campuran katun), lapisan terluar terbuat dari bahan hidrofobik atau kain waterproof, kemudian untuk lapisan tengah yang digunakan sebagai filtrasi dapat menggunakan bahan tanpa tenun sintesis seperti polipropilena atau lapisan katun yang dapat meningkatkan filtrasi atau menahan dropet [2]. Menurut Badan Standarisasi Nasional masker kain dapat terdiri dari bahan kain tenun atau kain rajut, dari berbagai jenis serat. Masker kain yang beredar di pasaran ada yang terdiri dari satu lapis, dua lapis dan tiga lapis. Penggunaan masker dari kain memiliki kelebihan yaitu dapat dicuci dan digunakan berulang kali [8]. Masker kain yang memiliki kemasan benang tinggi dan pori-pori yang lebih kecil bekerja lebih baik daripada masker kain yang memiliki pori-pori lebih besar. Studi terbaru menunjukkan bahwa masker kain yang dirancang dari kain yang memiliki pori-pori lebih kecil dan benang tinggi atau kemasan benang dapat menyaring lebih banyak partikel [9]. Menurut Badan Standarisasi Nasional (BSN) masker kain dapat dipakai berkali-kali dan perlu dicuci, masker kain harus diganti setiap 4 jam sekali, sehingga seseorang harus memiliki banyak cadangan masker dan selalu diganti dalam beberapa waktu. hal ini sesuai dengan anjuran WHO yang menganjurkan agar masker kain harus sering dicuci dan ditangani dengan hati-hati agar tidak mengontaminasi barang-barang lain [8,10]. Masker dengan beberapa bahan tertentu saat dipakai akan terjadi perenggangan bahan, serta saat berulang kali dicuci kemungkinan akan merubah kerapatan kain sehingga pori kain akan membesar yang dapat membuat permeabilitas udara menjadi tinggi. Hal tersebut membuat peluang partikular mikroorganisme untuk menembus masker semakin besar. 2 Metode Penelitian 2.1 Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain autoklaf, batang pengaduk, botol spray, buret, corong kaca, diffuser, erlenmeyer, gelas kimia, hot plate, kaca arloji, labu ukur, Laminar Air Flow (LAF), laser, lux meter, kamera handphone, oven, statif dan klem, stopwatch, dan timbangan analitik. Sedangkan bahan yang digunakan antara lain akuades, BaCl3, Bakteri Staphylococcus aureus, benang godam, detergen, H2SO4, kapas, kasa, masker kain, NaCl 0,9%, Nutrient Agar, spiritus, spuit, dan Triptic Soy Broth (TSB). 2.2 Persiapan sampel uji Sampel uji yang digunakan pada penelitian ini adalah 3 jenis masker kain dengan bahan baku masker yang berbeda. Ketiga jenis masker kain dicuci dengan interval pencucian 10, 20, 30, 40, dan 50 kali. Pencucian dilakukan dengan cara merendam masker ke dalam larutan air dan detergen, didiamkan selama 10 menit. Masker ditekan lembut dan perlahan, kemudian masker dibilas sampai bersih dengan air mengalir. Masker dijemur di tempat yang terpapar cahaya matahari, panas, dan memiliki ventilasi udara yang baik. Masker yang telah kering dikelompokkan ke dalam wadah plastik yang terpisah berdasarkan interval pencucian dan jenis masker kain. 2.3 Uji Daya Serap Uji daya serap air dilakukan dengan meneteskan air menggunakan bantuan buret yang diatur 15 sampai dengan 25 tetesan per ml. Masker ditegangkan dengan bantuan lingkaran penyulam dengan posisi 10 mm di bawah ujung tetesan buret. Waktu yang diperlukan tetesan air menyerap sampai kilauan air menghilang


Pengujian Maksimal Penggunaan Ulang Masker Kain dengan Berbagai Jenis Bahan Baku Masker 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 207 dengan meninggalkan bekas basah pada bagian permukaan masker diukur menggunakan stopwatch, perlakuan yang sama diulangi sebanyak 10 kali untuk tiap jenis masker kain, kemudian dicatat waktu penyerapan air. 2.4 Uji Filtrasi Uap Uji ini dilakukan sebagai pendekatan uji kemampuan filtrasi droplet. Dilakukan dengan alat diffuser yang memiliki ukuran uap 5 µm yang diisi air pada wadah diffuser, pada bagian keluarnya uap pada diffuser ditutup dengan masker kain yang diuji. Dipancarkan cahaya laser pada bagian keluarnya uap, digunakan kamera ponsel sebagai dokumentasi visualisasi uap yang berhasil keluar menembus masker. Hasil visualisasi uap yang terlihat kemudian dilakukan perbandingan pada ketiga jenis masker di semua interval pencucian, semakin banyak uap yang tampak keluar diartikan bahwa efektivitas masker semakin rendah. 2.5 Uji Kemampuan Tembus Cahaya Metode untuk menganalisis penyerapan intensitas cahaya dari berbagai jenis masker dilakukan dengan alat ukur cahaya lux meter. Metode yang dilakukan yaitu dengan menutup dengan masker kain pada bagian keluarnya cahaya senter, cahaya yang tampak akan diukur intensitasnya menggunakan alat lux meter dengan pengukuran sejauh 30 cm dari sumber cahaya. Intensitas cahaya yang terukur dari masing-masing masker kain akan dilakukan perbandingan nilai intensitas cahaya yang dihasilkan. 2.6 Pembuatan Suspensi Bakteri Tantang Bakteri Staphylococcus aureus yang telah diremajakan disuspensikan ke dalam media Triptic Soy Broth (TSB) kemudian dihomogenkan menggunakan shaker selama 1x24 jam. Suspensi bakteri kemudian diencerkan menggunakan NaCl 0,9% steril sampai kekeruhannya setara dengan larutan standar McFarland 0.5. 2.7 Uji Penyaringan Bakteri Masker kain yang telah dicuci dengan interval pencucian 10, 20, 30, 40, dan 50 kali disiapkan. Kemudian suspensi bakteri S. aureus disemprotkan dengan bantuan botol spray berdiameter nozel 0.3 mm sebanyak satu kali semprot (±1 ml) disemprotkan ke media NA yang permukaannya ditutupi dengan masker kain sebagai sampel uji dengan jarak semprot 30 cm. Diinkubasi media selama 1x24 jam pada suhu 37oC, kemudian diamati kepadatan bakteri yang tumbuh serta dilakukan perhitungan jumlah bakteri. Data yang terkumpul kemudian dianalisis. 3 Hasil dan Pembahasan Masker kain yang diuji merupakan masker 3 lapis dengan jenis kain yang berbeda pada tiap lapisannya, ketiga jenis masker memiliki perbedaan pada kain lapisan tengah syang digunakan sebagai filter. Ketiga jenis masker tersebut yaitu masker A yang merupakan masker yang terdiri dari bahan bagian belakang merupakan kain katun, lapisan tengah kain f, dan lapisan depan kain waterproof. Masker S merupakan masker yang terdiri dari bahan bagian belakang merupakan kain katun, lapisan tengah kain s, dan lapisan depan kain waterproof, dan masker P dimana lapisan belakangnya merupakan kain katun, lapisan tengah kain p, dan bagian depan merupakan kain waterproof. Ketiga jenis masker dilakukan pencucian berulang kali dengan interval 10, 20, 30, 40, dan 50 kali kemudian diuji karakteristiknya serta diuji kemampuannya dalam menyaring bakteri. Masker kain minimal harus terdiri atas 3 lapis bahan kain yang berbeda, dimana kombinasi kain yang ideal untuk masker kain harus mencakup tiga lapisan berikut, yaitu untuk lapisan paling dalam yang terbuat dari bahan hidrofilik (seperti katun atau campuran katun), lapisan terluar terbuat dari bahan hidrofobik atau kain waterproof, kemudian untuk lapisan tengah yang digunakan sebagai filtrasi dapat menggunakan bahan tanpa tenun sintesis seperti polipropilena atau lapisan katun yang dapat meningkatkan filtrasi atau menahan dropet [2]. Menurut Badan Standarisasi Nasional (BSN) masker kain dapat dipakai berkali-kali dan perlu dicuci, hal ini sesuai dengan anjuran WHO yang menganjurkan agar masker kain harus sering dicuci dan ditangani dengan hati-hati agar tidak mengontaminasi barang-barang lain. WHO membuat instruksi cara pencucian masker kain sesuai dengan jenis bahan yang digunakan agar tidak merusak


Pengujian Maksimal Penggunaan Ulang Masker Kain dengan Berbagai Jenis Bahan Baku Masker 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 208 bahan kain pada masker. Pengaruh pencucian terhadap karakteristik masker kain penting untuk diketahui guna memaksimalkan masker kain dalam penggunaannya, sehingga pada penelitian ini dilakukan uji karakteristik guna mengetahui apakah masker kain mengalami perubahan karakteristik atau tidak. 3.1 Hasil Uji Daya Serap Hasil pengujian karakteristik berupa uji daya serap air yaitu menunjukan bahwa ketiga jenis masker kain pada interval pencucian 10 sampai 30 kali tidak mengalami perubahan karakteristik dimana waktu yang ditempuh air untuk meresap ke bahan masker rata-rata >60 detik, hal ini telah sesuai dengan SNI 0279:2013. Pada pencucian ke-40 kali hasil uji daya serap ketiga jenis masker beberapa kali diperoleh hasil <60 detik, yaitu pada masker A replikasi 1 pada uji ke-6 dengan waktu serap air selama 49 detik, masker A replikasi 2 pada uji ke-1 dengan waktu serap air selama 58 detik, dan masker A replikasi 3 pada uji ke 4 sampai 7 dengan waktu serap air berturut-turut selama 37; 55; 56, dan 59 detik, juga pada uji ke-10 dengan waktu serap selama 55 detik. Pada masker S juga diperoleh waktu daya serap <60 detik yaitu pada masker replikasi 1 uji ke-1 sampai 3 dengan waktu tempuh daya serap 43; 50; dan 56 detik secara berturut-turut, pada uji ke 6 waktu daya serap didapatkan 44 detik dan pada uji ke 8 selama 58 detik. Masker S replikasi 2 hanya diperoleh 1 uji yang waktu serapnya <60 detik yaitu selama 57 detik pada uji ke-9, sedangkan pada masker S replikasi 3 terdapat waktu daya serap <60 detik pada uji ke-1, ke-3, dan ke-10 dengan waktu penyerapan secara berturutturut selama 34;43; dan 55 detik. Sedangkan pada masker P hanya terdapat 2 hasil daya serap <60 detik yaitu pada masker P replikasi 3 uji ke-7 dan ke-8 dengan waktu daya serap selama 48 dan 53 detik. Pada pencucian ke-50 waktu daya serap pada ketiga jenis masker di setiap replikasi pada setiap pengulangan uji ke1 sampai ke-10 kali rata-rata diperoleh nilai daya serap <60 detik. Pada uji daya serap kain, jika waktu pembasahan semakin rendah maka akan makin besar daya serap kainnya (SNI, 2013). Tabel 1. Hasil Uji Daya Serap Air Jumlah Pencucian Sampel Daya Serap Air (s) R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 10 x Ma >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 Ms >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 Mp >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 20x Ma >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 Ms >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 Mp >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 30x Ma >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 Ms >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 Mp >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 40x Ma >60 >60 >60 >60 >60 <60 >60 >60 >60 >60 Ms <60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 >60 Mp >60 >60 >60 <60 <60 <60 <60 >60 >60 <60 Ma <60 <60 <60 <60 <60 <60 >60 <60 >60 >60 Ms <60 <60 <60 <60 <60 <60 <60 <60 <60 >60 Gambar 1. (a) Masker P pencucian 10 kali; (b) Masker P pencucian 50 kali replikasi 2; (c) Masker P pencucian 50 kali replikasi 3. a b c


Pengujian Maksimal Penggunaan Ulang Masker Kain dengan Berbagai Jenis Bahan Baku Masker 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 209 3.2 Hasil Uji Filtrasi Uap Hasil uji filtrasi uap pada masker jenis A dan masker jenis S konsisten tidak memperlihatkan adanya uap yang tampak keluar menembus masker pada semua interval pencucian 10 sampai 50 kali. Pada masker jenis P uap tidak tampak menembus masker sampai pencucian ke-40 kali, namun uap tampak berhasil menembus masker P pada replikasi 2 dan 3 di pencucian ke-50 kali. Sehingga presentase dari ketiga jenis masker di setiap replikasi dan pada semua interval pencucian hanya 4,5% masker yang mengalami perubahan karakteristik pada uji filtrasi uap dari 100% masker kain yang diuji. Droplet saluran napas memiliki ukuran diameter >5-10 μm [3]. Penelitian ini menggunakan alat diffuser sebagai pendekatan kemampuan filtrasi masker kain dalam menyaring droplet. Diffuser yang digunakan memiliki ukuran uap 0,5 μm, dimana ukuran diameter tersebut lebih kecil dari ukuran diameter droplet. Rata-rata pada semua interval pencucian, ketiga jenis masker mampu menghalau keluarnya uap pada alat diffuser sehingga dapat dikatakan masker kain juga mampu menghalau droplet yang ukurannya lebih besar dari uap yang dikeluarkan oleh diffuser yang digunakan saat uji filtrasi uap. 3.3 Hasil Uji Intensitas Cahaya Hasil uji kemampuan tembus cahaya diukur dengan alat lux meter. Pertama dibandingkan intensitas cahaya ketiga jenis masker berdasarkan jumlah pencucian. Pada pencucian 10 kali diperoleh intensitas cahaya 7,444±1,667 lux, pada pencucian 20 kali diperoleh intensitas cahaya 8,222±1,787 lux, pada pencucian 30 kali diperoleh intensitas cahaya 7,556±1,922 lux, pada pencucian 40 kali diperoleh intensitas cahaya 8,778±1,922 lux, dan pada pencucian 50 kali diperoleh intensitas cahaya 11,444±1,944 lux. Analisis data yang diperoleh dengan uji Kruskal Wallis dan One Way Annova. Sebelumnya dilakukan uji normalitas data yang diuji dengan Shapiro-Wilk diperoleh hasil data yang terdistribusi tidak normal (p<0.05) pada interval pencucian 10, 20, 30, dan 50 kali, sedangkan pada pencucian ke40 kali data yang diperoleh terdistribusi normal (p>0.05). Data pada pencucian ke 10, 20, 30, dan 50 kali dilanjutkan dengan uji Shapiro-Wilk sedangkan untuk pencucian ke 40 dilanjutkan dengan uji One Way Annova pada kedua uji menunjukkan hasil tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0.05) antara interval pencucian ketiga jenis masker kain yang diuji baik itu masker kain A, masker kain S, maupun masker kain P. Perbandingan intensitas cahaya antara data kelima interval pencucian terhadap masing-masing jenis masker. Pada masker jenis A pencucian 10 kali diperoleh intensitas cahaya 6,667±2,082 lux, pada pencucian 20 kali diperoleh intensitas cahaya 8,667±1,528 lux, pada pencucian 30 kali diperoleh intensitas cahaya 7,333±1,528 lux, pada pencucian 40 kali diperoleh intensitas cahaya 7,667±1,528 lux, dan pada pencucian 50 kali diperoleh intensitas cahaya 9,667±0,577 lux. Kemudian pada masker jenis S pencucian 10 kali diperoleh intensitas cahaya 7,000±1,732 lux, pada pencucian 20 kali diperoleh intensitas cahaya 7,000±1,732 lux, pada pencucian 30 kali diperoleh intensitas cahaya 7,333±0,577 lux, pada pencucian 40 kali diperoleh intensitas cahaya 8,667±2,082 lux, dan pada pencucian 50 kali diperoleh intensitas cahaya 11,333±2,082 lux. Selanjutnya, pada jenis masker P di pencucian 10 kali diperoleh 8,667±0,577 lux, pada pencucian 20 kali diperoleh 9,000±2,000 lux, pada pencucian 30 kali diperoleh 8,000±2,646 lux, pada pencucian 40 kali diperoleh 10,000±2,000 lux, dan pada pencucian 50 kali yaitu 13,333±0,577 lux. Hasil analisis data menggunakan uji Kruskal Wallis pada masker jenis A, masker jenis S, dan masker jenis P secara berturut-turut diperoleh nilai signifikasi 0,162; 0,133; dan 0,104 (p>0.05), dengan demikian tidak ada perbedaan signifikan pengaruh pencucian pada interval 10 sampai 50 kali terhadap data intensitas cahaya pada masing-masing jenis masker. Data kemudian dirata-rata kan dan dicari nilai standar deviasinya berdasarkan tiga jenis masker sekaligus, pada masing-masing kelompok pencucian. Intensitas cahaya pada ketiga jenis masker sekaligus pada pencucian 10 kali diperoleh nilai 7,444±1,667 lux, pada pencucian ke-20 kali diperoleh intensitas cahaya rata-rata 8,222±1,787 lux, pada pencucian ke-30 kali diperoleh 7,556±1,590 lux, pada pencucian ke-40 kali diperoleh intensitas


Pengujian Maksimal Penggunaan Ulang Masker Kain dengan Berbagai Jenis Bahan Baku Masker 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 210 cahaya 8,778±1,922, dan pada pencucian ke-50 kali diperoleh nilai rata-rata intensitas cahaya 11,444±1,944. Kemudian dilakukan analisis data dengan uji Kruskal Wallis untuk melihat perbedaan signifikannya, dan diperoleh nilai signifikasi 0.003 (p<0.05) maka terdapat perbedaan signifikan antara jumlah pencucian 10 sampai 50 pada ketiga jenis masker. Tabel 2. Hasil perbandingan Intensitas Cahaya ketiga jenis masker berdasarkan jumlah pencucian. Jumlah Pencucian Jenis Masker Intensitas Cahaya (lux) Nilai Kruskal Wallis/ANOVA 10x Ma1 7,444±1,667 0,370 (Sig.<0,05) Signifikan Kruskal Wallis Mp1 Mc1 20x Ma2 8,222±1,787 0,310 (Sig.>0,05) Tidak Signifikan Kruskal Wallis Mp2 Mc2 30x Ma3 7,556±1,590 0,802 (Sig.>0,05) Tidak Signifikan Kruskal Wallis Mp3 Mc3 40x Ma4 8,778±1,922 0,376 (Sig.>0,05) Tidak Signifikan ANOVA Mp4 Mc4 50x Ma5 11,444±1,944 0,079 (Sig.>0,05) Tidak Signifikan Kruskal Wallis Mp5 Mc5 Tabel 3. Hasil perbandingan Intensitas Cahaya kelima interval pencucian berdasarkan jenis masker. Jenis Masker Intensitas Cahaya (lux) Jumlah Pencucian Intensitas Cahaya (lux) Nilai Kruskal Wallis R1 R2 R3 Ma 9 5 6 10x 6,667±2,082 0,162 (Sig.>0,05) Tidak Signifikan 7 9 10 20x 8,667±1,528 9 6 7 30x 7,333±1,528 9 6 8 40x 7,667±1,528 10 9 10 50x 9,667±0,577 Ms 6 9 6 10x 7,000±1,732 0,133 (Sig.>0,05) Tidak Signifikan 6 6 9 20x 7,000±1,732 7 8 7 30x 7,333±0,577 11 8 7 40x 8,667±2,082 9 13 12 50x 11,333±2,082 Mp 8 9 9 10x 8,667±0,577 0,104 (Sig.>0,05) Tidak Signifikan 7 9 11 20x 9,000±2,000 9 10 5 30x 8,000±2,646 12 10 8 40x 10,000±2,000 13 14 13 50x 13,333±0,577 Tabel 4. Hasil Perbandingan Intensitas Cahaya semua jenis masker pada kelima interval pencucian Jenis Masker Jumlah Pencucian Intensitas Cahaya (lux) Nilai Kruskal Wallis Ma Ms Mp 10x 7,444±1,667 0,003 (Sig.<0,05) Signifikan Ma Ms Mp 20x 8,222±1,787 Ma Ms Mp 30x 7,556±1,590 Ma Ms Mp 40x 8,778±1,922 Ma Ms Mp 50x 11,444±1,944


Pengujian Maksimal Penggunaan Ulang Masker Kain dengan Berbagai Jenis Bahan Baku Masker 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 211 Tabel 5. Hasil perbandingan pertumbuhan jumlah bakteri Staphylococcus aureus ketiga jenis masker berdasarkan jumlah pencucian Jumlah Pencucian Jenis Masker Jumlah Koloni Nilai Kruskal Wallis/ANOVA 10x Ma1 5,333±3,368 0,054 (Sig.<0,05) Signifikan Kruskal Wallis Mp1 Mc1 20x Ma2 9,444±8,691 0,555 (Sig.>0,05) Tidak Signifikan ANOVA Mp2 Mc2 30x Ma3 3,556±4,531 0,479 (Sig.>0,05) Tidak Signifikan Kruskal Wallis Mp3 Mc3 40x Ma4 8,667±19,039 0,126 (Sig.>0,05) Tidak Signifikan Kruskal Wallis Mp4 Mc4 50x Ma5 1,889±2,205 0,538 (Sig.>0,05) Tidak Signifikan Kruskal Wallis Mp5 Mc5 Tabel 6. Hasil perbandingan pertumbuhan jumlah koloni bakteri Staphylococcus aureus kelima interval pencucian berdasarkan jenis masker. Jenis Masker Intensitas Cahaya (lux) Jumlah Pencucian Intensitas Cahaya (lux) Nilai Kruskal R1 R2 R3 Wallis Ma 9 5 6 10x 6,667±2,082 0,162 (Sig.>0,05) Tidak Signifikan 7 9 10 20x 8,667±1,528 9 6 7 30x 7,333±1,528 9 6 8 40x 7,667±1,528 10 9 10 50x 9,667±0,577 Ms 6 9 6 10x 7,000±1,732 0,133 (Sig.>0,05) Tidak Signifikan 6 6 9 20x 7,000±1,732 7 8 7 30x 7,333±0,577 11 8 7 40x 8,667±2,082 9 13 12 50x 11,333±2,082 Mp 8 9 9 10x 8,667±0,577 0,104 (Sig.>0,05) Tidak Signifikan 7 9 11 20x 9,000±2,000 9 10 5 30x 8,000±2,646 12 10 8 40x 10,000±2,000 13 14 13 50x 13,333±0,577 Tabel 7. Hasil Perbandingan Junlah Pertumbuhan Bakteri Semua jenis masker pada kelima interval pencucian Jenis Masker Jumlah Pencucian Jumlah Koloni Nilai Kruskal Wallis Ma Ms Mp 10x 5,333±5,568 0,105 (Sig.<0,05) Tidak Signifikan Ma Kruskal Wallis Ms Mp 20x 9,444±8,691 Ma Ms Mp 30x 3,556±4,531 Ma Ms Mp 40x 8,667±19,039 Ma Ms Mp 50x 1,889±2,205 3.4 Hasil Uji Kemampuan Penyaringan Bakteri Hasil uji perbandingan pertumbuhan jumlah bakteri pada ketiga jenis masker berdasarkan interval pencucian yaitu, pada pencucian ke-10 kali diperoleh hasil 5,333±3,368 koloni. Pada pencucian ke-20 kali diperoleh hasil 9,444±8,691 koloni. Pada pencucian ke-30 kali diperoleh hasil 3,556±4,531 koloni. Pada pencucian ke-40 kali diperoleh hasil 8,667±19,039 koloni. Pada


Pengujian Maksimal Penggunaan Ulang Masker Kain dengan Berbagai Jenis Bahan Baku Masker 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 212 pencucian ke-50 kali diperoleh hasil 1,889±2,205 koloni. Data yang diperoleh selanjutnya dilakukan uji normalitas data dengan Shapiro Wilk, pada data pencucian ke10, 30, 40, dan 50 kali didapatkan hasil data yang tidak terdistribusi normal (p<0.05) sehingga pada keempat kelompok pencucian tersebut dilanjutkan dengan uji Kruskal Wallis. Pada pencucian ke-10, 30, 40, dan 50 secara berturut-turut diperoleh nilai 0,05; 0,479; 0,126; dan 0,538 (p>0.05) sehingga keempat kelompok pencucian tersebut pada ketiga jenis masker yang diuji tidak terdapat data yang berbeda signifikan. Sedangkan, pada pencucian ke-20 pada uji normalitas dengan Shapiro Wilk didapat data yang terdistribusi normal (p>0.05) sehingga dilanjutkan dengan uji One Way Anova pada uji ini diperoleh nilai signifikasi 0,555 (p>0.05) sehingga pada pencucian ke-20 juga tidak terdapat perbedaan signifikan pengaruh pencucian terhadap kemampuan penyaringan jenis masker kain yang diuji. Hasil uji perbandingan pertumbuhan jumlah bakteri kelima interval pencucian berdasarkan jenis masker diuraikan sebagai berikut, pada masker jenis A pencucian 10 kali diperoleh bakteri dengan rata-rata 6,667±2,309, pada pencucian ke-20 kali diperoleh rata-rata 7,000±8,718, pada pencucian ke-30 kali diperoleh rata-rata 6,667±6,667, pada pencucian ke-40 kali diperoleh rata-rata 23,000±31,321, dan pada pencucian ke-50 kali diperoleh rata-rata 3,333±3,215. Selanjutnya, pada masker jenis S pada masing-masing pencucian diperoleh nilai yaitu, pencucian 10 kali didapatkan rata-rata 9,333±7,024, pada pencucian ke-20 diperoleh rata-rata 7,000±8,718, pada pencucian ke-30 diperoleh rata-rata 2,000±1,732, pada pencucian ke-40 diperoleh rata-rata 0,667±0,577, dan pada pencucian ke-50 diperoleh rata-rata 1,333±1,155. Kemudian pada masker jenis P, pada pencucian ke-10 didapatkan nilai rata-rata dan standar deviasi 0±0, pada pencucian ke-20 kali diperoleh 7,000±4,000, pada pencucian ke-30 diperoleh 2,000±1,732, kemudian pada pencucian ke-40 diperoleh 2,333±2,082, terakhir pada pencucian ke-50 diperoleh 1,000±1,732. Dilakukan analisis dengan uji Kruskal Wallis dan diperoleh nilai pada masker jenis A, jenis S, dan jenis P secara berturut-turut 0,750; 0,164, dan 0,092 dimana nilai tersebut tidak berbeda secara signifikan (p>0.05) maka hasil analisis ketiga jenis masker pada kelima interval pencucian yaitu, jumlah pencucian tidak memiliki pengaruh terhadap kemampuan penyaringan bakteri pada masing-masisng jenis masker. Selanjutnya juga diperoleh data ratarata jumlah koloni bakteri pada ketiga jenis masker di semua interval pencucian, pada pencucian ke-10 kali rata-rata dan standar deviasi jumlah koloni bakteri yaitu 5,333±5,568, pada pencucian ke-20 yaitu 9,444±8,691, pada pencucian ke-30 diperoleh senilai 3,556±4,531, kemudian pada pencucian ke-40 yaitu 8,667±19,039, selanjutnya pada pencucian ke-50 yaitu 1,889±2,205. Analisis kemudian dilakukan untuk melihat apakah terdapat perbedaan signifikan antara semua masker pada semua jumlah pencucian, analisis dilakukan dengan uji Kruskal Wallis dan diperoleh nilai signifikasi 0,105 dimana nilai tersebut menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan sginifikan pada semua masker di setiap pencucian. 4 Kesimpulan Berdasarkan data yang didapatkan, ketiga jenis masker dengan lapisan filter yang berbeda pada semua interval pencucian rata-rata tidak mengalami perubahan karakteristik, serta jumlah pertumbuhan bakteri pada uji kemampuan penyaringan bakteri tidak berbeda secara signifikan pada semua interval pencucian. Hal ini dapat diartikan fungsi filtrasi secara garis besar masih baik untuk mencegah masuknya bakteri, sehingga dapat disimpulkan bahwa masker kain yang dibuat berpotensi untuk digunakan masyarakat sebagai upaya pencegahan penularan penyakit infeksi. 5 Kontribusi Penulis Eni Ayu Putri berkontribusi dalam melakukan penelitian mulai dari penyiapan alat dan bahan, proses pengujian, pengumpulan data maupun pustaka. Hajrah dan Niken Indriyanti : Pengarah dan pembimbing pembuatan artikel. 6 Konflik Kepentingan Tidak ada konflik kepentingan dalam penelitian ini


Pengujian Maksimal Penggunaan Ulang Masker Kain dengan Berbagai Jenis Bahan Baku Masker 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 213 7 Daftar Pustaka [1] Neupane B, Giri B. 2020. Current understanding on the effectiveness offace masks and respirators to prevent the spread of respiratory viruses. EngrXiv DOI 10.31224/osf.io/h3wg [2] WHO. (2020a). Anjuran mengenai penggunaan masker dalam konteks COVID-19. World Health Organization, Juni, 1–17. [3] Sangkham, S. (2020). Face mask and medical waste disposal during the novel COVID-19 pandemic in Asia. Case Studies in Chemical and Environmental Engineering, 2(August), 100052. https://doi.org/10.1016/j.cscee.2020.100052 [4] Atmojo, J. T., Iswahyuni, S., Rejo, R., Setyorini, C., Puspitasary, K., Ernawati, H., Syujak, A. R., Nugroho, P., Putra, N. S., Nurrochim, N., Wahyudi, W., Setyawan, N., Susanti, R. F., Suwarto, S., Haidar, M., Wahyudi, W., Iswahyudi, A., Tofan, M., Bintoro, W. A., … Mubarok, A. S. (2020). Penggunaan Masker Dalam Pencegahan Dan Penanganan Covid-19: Rasionalitas, Efektivitas, Dan Isu Terkini. Avicenna : Journal of Health Research, 3(2), 84–95. https://doi.org/10.36419/avicenna.v3i2.420 [5] WHO. (2020b). Transmisi SARS-CoV-2 : implikasi terhadap kewaspadaan pencegahan infeksi. Pernyataan Keilmuan, 1–10. [6] Centers for Disease Control and Prevention. (2021). Science Brief: Community Use of Cloth Masks to Control the Spread of SARS-CoV-2, n.d. [7] Esposito, S., Principi, N., Leung, C. C., & Migliori, G. B. (2020). Universal use of face masks for success against COVID-19: Evidence and implications for prevention policies. European Respiratory Journal, 55(6). https://doi.org/10.1183/13993003.01260- 2020 [8] SNI. (2020). Tekstil – Masker dari kain. Tekstil – Masker Dari Kain, SNI 8914:2, 1–25. [9] Konda, A., Prakash, A., Moss, G. A., Schmoldt, M., Grant, G. D., & Guha, S. (2020). Aerosol Filtration Efficiency of Common Fabrics Used in Respiratory Cloth Masks. ACS Nano, 14(5), 6339–6347. https://doi.org/10.1021/acsnano.0c03252 [10] Sunjaya, A. P., & Morawska, L. (2020). Evidence Review and Practice Recommendation on the Material, Design, and Maintenance of Cloth Masks. Disaster Medicine and Public Health Preparedness, 14(5), e42–e46. https://doi.org/10.1017/dmp.2020.317


14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 196 Journal homepage: https://prosiding.farmasi.unmul.ac.id Identifikasi Drug Related Problems Pada Pasien Congestive Heart Failure di Rumah Sakit “X” Balikpapan Identification of Drug-Related Problems in Patients with Congestive Heart Failure at “X” Hospital Balikpapan Esa Wi Fatma1,*, Nur Masyithah Zamruddin, Adam M. Ramadhan Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian “Farmaka Tropis”, Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman, Samarinda, Indonesia *Email korespondensi: esawifatma8@gmail.com Abstrak Gagal jantung merupakan kondisi kegagalan jantung dalam memompa darah untuk memenuhi kebutuhan jaringan. Pasien CHF umunya diberikan paling sedikit 4 jenis obat yaitu ACEI, beta bloker, diuretik dan digoxin. Akibatnya jika tidak dipertimbangan dengan baik akan merugikan pasien. Penelitian ini merupakan penelitian observasional non eksperimental dengan pengambilan data secara retrospektif terhadap data rekam medik pasien yang memenuhi kriteria inklusi dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik pasien, mengetahui gambaran penggunaan obat dan mengetahui angka kejadian DRPs pasien CHF di Rumah Sakit “X” Balikpapan. Hasil yang didapatkan dari 106 pasien, pasien laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan sebesar 68 pasien (64,15%), usia paling tinggi pada kategori lansia akhir (56-65 tahun) sebanyak 40 pasien (37,73%), komorbid tertinggi yaitu HHD 31 pasien (29,24%), VES 16 pasien (15,10%), renal insufficiency 13 pasien (12,26%) dan hipokalemia 13 pasien (12,26%). Gambaran penggunaan obat pada pasien CHF meliputi aspilet 77 pasien (72,64%), furosemid 62 pasien (58,49%) dan bisoprolol 49 pasien (46,22%). Kejadian DRPs pada kategori interaksi obat 88 pasien (83,01%), indikasi tanpa obat 10 pasien (9,43%), obat tanpa indikasi 4 pasien (3,77%), ketidaktepatan pemilihan obat 2 pasien (1,88%), dan kegagalan dalam menerima obat 1 pasien (0,94%), tidak ditemukan kejadian pada kategori dosis rendah, dosis lebih dan ADR. Kata Kunci: Gagal Jantung Kongestif, Drug Related Problems, Rumah Sakit Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals Conferences


Identifikasi Drug Related Problems Pada Pasien Congestive Heart Failure di Rumah Sakit “X” Balikpapan 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 197 Abstract Heart failure is a condition where the heart fails to pump blood to meet the needs of the tissues. CHF patients are generally given at least 4 types of drugs, namely ACEIs, beta blockers, diuretics and digoxin. As a result, if it is not considered properly, it will be detrimental to the patient. This study is a non-experimental observational study with retrospective data collection on medical record data of patients who meet the inclusion criteria with the aim of knowing patient characteristics, knowing the description of drug use and knowing the incidence of DRPs in CHF patients at Hospital "X" Balikpapan. The results obtained from 106 patients, male patients were taller than female by 68 patients (64.15%), the highest age was in the late elderly category (56-65 years) as many as 40 patients (37.73%), the highest comorbid namely HHD 31 patients (29.24%), VES 16 patients (15.10%), renal insufficiency 13 patients (12.26%) and hypokalemia 13 patients (12.26%). The description of drug use in CHF patients included aspirin in 77 patients (72.64%), furosemide 62 patients (58.49%) and bisoprolol 49 patients (46.22%). The incidence of DRPs in the drug interaction category was 88 patients (83.01%), indicated without drugs 10 patients (9.43%), drugs without indications 4 patients (3.77%), inaccuracy of drug selection 2 patients (1.88%) , and failure to receive medication in 1 patient (0.94%), no incidence was found in the low dose, over dose and ADR categories. Keywords: Congestive Heart Failure, Drug Rellated Problems, Hospital DOI: https://doi.org/10.25026/mpc.v14i1.554 1 Pendahuluan Gagal jantung merupakan kondisi kegagalan jantung dalam memompa darah dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan jaringan atau hanya mampu memenuhi kebutuhan jaringan dengan peningkatan tekanan pengisian yang dikarenakan kelainan fungsi jantung [1]. Sejak tahun 2000 hingga 2019 kematian akibat penyakitkardiovaskular meningkat lebih dari 2 juta menjadi 8,9 juta kematian pada 2019 [2]. Sedangkan menurut Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) (2018) pravelensi penyakit jantung berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk semua usia di Indonesia sebesar 1,5% atau setara dengan 1.017.290 penduduk [3]. Pada pasien gagal jantung pada umunya diberikan paling sedikit 4 jenis obat dalam pengobatannya yaitu ACEI inhibitor, beta bloker, diuretik dan digoxin. Penanganan pada pasien gagal jantung kongestif menjadi lebih sulit dan membutuhkan berbagai macam obat dikarenakan adanya komorbid. Akibatnya jika tidak dipertimbangkan dengan baik akan merugikan pasien dan perubahan efek terapi [4]. Drug related problems (DRPs) adalah peristiwa atau keadaan yang melibatkan terapi obat yang aktual atau berpotensi mengganggu hasil kesehatan yang diinginkan [5]. DRPs dapat menyebabkan peningkatan biaya perawatan serta mempengaruhi morbiditas dan mortalitas [6]. Farmasis memiliki 3 fungsi utama dalam pharmaceutical care yaitu mencegah terjadinya DRPs potensial, mengatasi DRPs yang terjadi aktual, dan mengidentifikasi DRPs baik yang potensial maupun aktual [7]. 2 Metode Penelitian 2.1 Alat dan Bahan Alat penelitian yang digunakan yaitu alat tulis, laptop untuk mengumpulkan dan mengolah data berdasarkan rekam medik, Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung (PERKI) 2015 untuk menganalisis ketidaktepatan pemilihan obat, Stockley’s drug interaction 8th edition, Website http://www.drugs.com/drug.interaction.php, Database Medscape.com untuk menganalisis interaksi obat, The Monthly Index of Medical


Identifikasi Drug Related Problems Pada Pasien Congestive Heart Failure di Rumah Sakit “X” Balikpapan 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 198 Specialities untuk menganalisis penggunaan dosis dan interval pemberian obat serta jurnaljurnal terkait. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu catatan rekam medik pasien. 2.2 Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini yaitu pasien instalasi rawat inap di Rumah Sakit “X” Balikpapan periode Januari-Desember 2019. Sampel diambil dengan Teknik purposive sampling yang didasarkan pada kriteria inklusi yaitu Pasien rawat inap yang terdiagnosa gagal jantung kongestif dan Berusia ≥ 18 tahun dengan atau tanpa komorbid di Rumah Sakit “X” Balikpapan periode Januari-Desember 2019. Sedangkan Kriteria ekslusi yaitu Pasien meninggal dunia saat pengobatan dan Rekam medis yang tidak lengkap dan penulisan yang tidak jelas. 2.3 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif observasional (non eksperimental) dengan pengambilan data secara retrospektif. Data penelitian yang diambil berasal dari data rekam medik pasien rawat inap di Rumah Sakit “X” Balikpapan periode Januari-Desember 2019. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Desember 2020- Februari 2021. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data yang didapatkan berupa data karakteristik pasien berupa usia, jenis kelamin, komorbid, diagnosa, catatan keperawatan dan obat yang diterima beserta dosisnya. 3 Hasil dan Pembahasan 3.1 Data Karakteristik Umur dan jenis kelamin Berdasarkan gambar 1 dapat dilihat bahwa persentase tertinggi pasien yang menderita CHF adalah yang berusia 56-65 tahun sebanyak 40 pasien (37,73%) kategori lansia akhir. Pertambahan usia akan meningkatkan risiko seseorang mengalami penyakit jantung. Hal ini dikarenakan terjadi penurunan fungsi jantung seiring bertambahnya usia. Risiko terjadinya aterosklerosis yang mengakibatkan terganggunya aliran darah ke organ jantung juga akan semakin meningkat akibat penuaan [8]. Pada usia 45 tahun keatas, risiko penyakit CHF akan semakin meningkat akibat menurunnya fungsi ventrikel [6]. Gambar 1 Karakteristik pasien CHF berdasarkan usia dan jenis kelamin dalam bentuk diagram batang Hasil karakteristik berdasarkan jenis kelamin (Gambar 1) didapatkan hasil persentase tertinggi pada pasien berjenis kelamin laki-laki sebanyak 68 pasien (64,15%), kemudian perempuan sebanyak 38 pasien (35,84%). Hal ini sesuai menurut American Heart Association (AHA) bahwa laki-laki memiliki risiko lebih besar terkena penyakit jantung dari pada perempuan. Pada perempuan hormon estrogen endogen memiliki sifat protektif yang dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit jantung pada perempuan [9]. Hormon estrogen berperan dalam keseimbangan kolesterol LDL dan kolesterol HDL melalui peningkatan kolesterol HDL dan penurunan kolesterol LDL [10].


Identifikasi Drug Related Problems Pada Pasien Congestive Heart Failure di Rumah Sakit “X” Balikpapan 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 199 3.2 Komorbid Gambar 2 Karakteristik pasien berdasarkan komorbid dalam bentuk diagram batang Hasil karakteristik berdasarkan komorbid (Gambar 3) pada penelitian ini didapatkan hasil yaitu komorbid yang paling tinggi berturutturut adalah penyakit HHD sebanyak 31 pasien (29,24%), VES sebanyak 16 pasien (15,10%), renal insufficiency sebanyak 13 pasien (12,26%) dan hipokalemia sebanyak 13 pasien (12,26%). HHD adalah penyakit yang berkaitan dengan dampak sekunder pada jantung akibat hipertensi sistemik yang lama serta berkepanjangan. Perubahan struktur miokard, pembuluh darah dan sistem konduksi jantung dapat terjadi akibat hipertensi yang tidak terkontrol dan berkepanjangan [11]. Kemudian komorbid tertinggi kedua yaitu VES. VES merupakan salah satu penyakit aritmia ventrikel yang ditandai dengan kemunculan kompleks QRS abnormal dan durasi leboh dari 0,12 detik. [12]. Selanjutnya komorbid tertinggi ketiga adalah renal insufficiency dan hipokalemia masing-masing sebanyak 13 pasien (12,26%). Insufisiensi ginjal merupakan keadaan penurunan fungsi ginjal yang tidak diikuti dengan perubahan kadar biokimia [13]. Mortalitas pasien CHF akan semakin tinggi seiringan dengan semakin buruk fungsi ginjal karena ginjal berperan dalam mekanisme respon neurohormonal pada kondisi CHF yang berhubungan dengan peningkatan pengaturan adrenergik dan aktivasi sistem RAAS dengan tujuan untuk mempertahankan volume darah yang tidak adekuat [14]. Komorbid selanjutnya yaitu hipokalemia sebanyak 13 pasien (12,26%). Hipokalemia disebabkan oleh berkurangnya jumlah K+ total dalam tubuh atau akibat dari gangguan perpindahan ion K+ ke dalam sel yang ditandai konsentrasi K+ dibawah 3,5 mEg/L [15]. 3.3 Gambaran Penggunaan Obat Gambar 3 Gambaran penggunaan obat pasien CHF Berdasarkan gambar 4 obat yang digunakan pada pengobatan pasien CHF di Rumah Sakit “X” Balikpapan adalah aspilet sebanyak 77 pasien (72,64%), furosemid sebanyak 62 pasien (58,49%) dan bisoprolol sebanyak 49 pasien (46,22%), ramipril sebanyak 37 pasien (34,90%), candesartan sebanyak 31 pasien (29,24%), ISDN sebanyak 30 pasien (28,30%), digoxin sebanyak 11 pasien (10,37%) dan amiodaron sebanyak 4 pasien (3,77%). Aspilet merupakan obat golongan antiplatelet yang berfungsi untuk mengurangi agregasi platelet dan thrombosis arteri. Penggunaan obat aspilet yaitu sebanyak 49 pasien (46,22%) (gambar 4) yang bertujuan


Identifikasi Drug Related Problems Pada Pasien Congestive Heart Failure di Rumah Sakit “X” Balikpapan 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 200 untuk mencegah artherotrombotisis ketika rupture plak terjadi yang dapat menimbulkan acute coronary syndrome [16]. Penggunaan obat furosemid yaitu sebanyak 62 pasien (58,49%) (Gambar 4). Hal ini sesuai dengan tatalaksana PERKI (2020) bahwa obat lini pertama yang digunakan pada pasien CHF adalah obat golongan diuretik yang bermanfaat untuk mengatasi retensi cairan pada pasien dengan CHF [17]. Bisoprolol merupakan obat golongan beta 1 selective beta blocker yang bekerja dengan cara menghambat secara selektif reseptor beta-1 [18]. Penggunaan obat bisoprolol yaitu sebanyak 49 pasien (46,22%) (Gambar 4). Hal ini juga sesuai dengan tatalaksana PERKI (2020) bahwa beta bloker merupakan lini pertama dalam pengobatan pasien CHF. Pemberian bisoprolol pada pasien CHF yaitu untuk memperbaiki fungsi ventrikel, kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan menurunkan mortalitas [17]. 3.4 Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Tabel 1 Kejadian DRPs pada pasien CHF di Rumah Sakit "X" Balikpapan No. Kategori DRPs Keterangan Solusi Jumlah (n=106) Persentase (%) 1. Indikasi Tanpa Obat a. Atrial fibrilasi Belum mendapatkan terapi kombinasi/tambahan Pemberian beta- bloker sebagai alternatif pertama 4 3,77 b. Hiperglikemia Belum mendapatkan terapi Pemberian metformin 3 2,83 c. Batuk Belum mendapatkan terapi Pemberian obat batuk 2 1,88 d. Hipokale mia Belum mendapatkan terapi Pemberian suplemen KCL 1 0,94 Total 10 9,43 2. Obat Tanpa Indikasi a. Allupuri nol Pasien tidak mengalami hiperurisemia Menghentikan penggunaan allupurinol 3 2,83 b. Simvasta tin Pasien tidak ada riwayat ACS/STEMI/NSTEMI/Kolestrol dan tidak ada data lab menunjukkan kadar kolesterol tinggi Menghentikan penggunaan simvastatin 1 0,94 Total 4 3,77 3. Ketidaktepatan Pemilihan Obat a. Ramipril Resiko pada kontraindikasi penggunaan obat Menghentikan penggunaan ramipril karena kontraindikasi 1 0,94 Tabel 2 Potensi kejadian interaksi obat pada pasien CHF di Rumah Sakit "X" Balikpapan No Obat A Obat B Tingkat Keparahan Tipe Jumlah Persentase Interaksi (n=106) (%) 1. Candesartan Spironolak ton Mayor Farmakodinamik 7 6,60 2. KSR Spironolak ton Mayor Farmakodinamik 6 5,66 3. Ramipril KSR Mayor Farmakodinamik 2 1,88 4. Ramipril Aspilet Moderat Farmakodinamik 17 16,03 5. Simvastatin Brilinta Moderat Farmakokinetik 7 6,60 6. Furosemid Ramipril Moderat Farmakokinetik 5 4,71 7. Furosemid Aspilet Minor Farmakodinamik 16 15,09 8. Bisoprolol Aspilet Minor Farmakodinamik 15 14,15 3.4.1 Indikasi Tanpa Obat Indikasi tanpa obat adalah kondisi medis yang membutuhkan inisiasi terapi obat [19]. Indikasi yang tidak diterapi dapat terjadi dikarenakan faktor ekonomi pasien atau kelalaian dari tim medis [20]. Pada kategori ini dapatkan hasil sebanyak 10 pasien (9,43%) mengalami indikasi tanpa obat (Tabel 1). Persentase kejadian indikasi tanpa obat yang paling tinggi terjadi pada 4 pasien (3,77%)


Identifikasi Drug Related Problems Pada Pasien Congestive Heart Failure di Rumah Sakit “X” Balikpapan 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 201 (kasus 3,12,20,97) yang terdiagnosa dan memiliki komorbid atrial fibrilasi namun belum mendapatkan obat. Menurut Pedoman Tatalaksana Jantung PERKI (2020) perlu dilakukan kontrol laju ventrikel pada pasien dengan kondisi tersebut dengan cara alternatif pertama langkah 1 menggunakan beta bloker, digoxin untuk pasien yang tidak toleran terhadap beta bloker, amiodaron untuk pasien yang tidak toleran dengan beta bloker dan digoxin. Kemudian terdapat 3 pasien (2,83%) (kasus 86,87,92) yang memiliki riwayat serta komorbid NIDDM (kasus 86) dan komorbid NIDDM (kasus 87 dan 92) dengan kadar gula darah sewaktu berturut-turut yaitu 278 mg/dL, 302 ml/dL dan 508 mg/dL namun belum mendapatkan terapi antidiabetik. Menurut Pedoman Tatalaksana Jantung PERKI (2020) hingga saat ini terapi yang paling sering digunakan dan aman untuk pasien CHF dengan DM adalah metformin [17]. Terdapat 2 pasien (1,88%) (kasus 27 dan 104) pasien mengeluhkan batuk dan tidak kunjung berkurang hingga pasien keluar rawat inap namun belum diberikan terapi obat untuk mengurangi batuk tersebut. Pemberian obat batuk pada pasien CHF perlu mempertimbangan efek samping yang dapat mempengaruhi jantung. Hindari obat batuk yang mengandung pseudoefedrin karena obat tersebut merupakan obat simpatomimetik [21]. Selain itu terdapat terdapat 1 pasien (0,94%) (kasus 53) memiliki komorbid hipokalemia namun belum mendapatkan terapi suplemen kalium untuk meningkatkan kadar K+ dalam tubuh. Pasien juga memiliki komorbid VES. Carlotti et all (2013) menyatakan faktor penyebab aritmia ventrikel adalah hipokalemia dan dalam penelitian Kjeldsen (2010) mengatakan jika pasien dengan hipokalemia memiliki resiko kematian lebih tinggi karena aritmia yang fatal dan sudden cardiac death [22]. Menurut Pedoman Tatalaksana Jantung PERKI (2020) saran tindakan penanganan hipokalemia dengan mempertimbangkan pemberian suplemen kalium hanya bila benar-benar dibutuhkan, misalnya adanya aritmia [17]. 3.4.2 Obat Tanpa Indikasi Obat tanpa indikasi merupakan adanya obat yang diberikan kepada pasien namun dengan indikasi yang tidak tepat [19]. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan kejadian DRPs kategori obat tanpa indikasi (tabel 1) didapatkan hasil sebanyak 4 pasien (3,77%). Terdapat 1 pasien (0,94%) (kasus 7) mendapatkan obat simvastatin namun pasien tidak memiliki riwayat dan kadar kolestrol yang tinggi. Simvastatin dapat menimbulkan efek samping berupa peningkatan serum transaminase, anemia, gangguan pencernaan seperti konstipasi, nyeri abdomen, mual, muntah, dan diare. Terdapat 3 pasien (2,83%) (kasus 3) mendapatkan terapi allupurinol namun pasien tidak mengalami hiperurisemia dan tidak ada riwayat asam urat. Allopurinol dapat menimbulkan efek samping berupa mual, muntah, diare, demam, meningkatkan TSH darah, sakit kepala, miopati dan gastritis [23]. 3.4.3 Ketidaktepatan Pemilihan Obat Ketidaktepatan pemilihan obat adalah keadaan dimana obat yang diberikan tidak paling efektif untuk indikasi pengobatan, terdapat faktor resiko kontraindikasi pada obat atau obat efektif namun tidak aman [19]. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil 2 pasien (1,88%) (Tabel 1) mengalami ketidaktepatan pemilihan obat. Terdapat 1 pasien (0,94 %) (kasus 95) kontraindikasi dengan obat ramipril namun diberikan obat tersebut. karena pasien memiliki kadar kreatinin yang lebih dari batas normal sebesar 4,5 mg/dL. Menurut PERKI (2020) penggunaan ramipril dikontraindikasikan pada pasien dengan kadar serum kreatinin lebih dari 2,5 mg/dL [17]. Hal ini disebabkan karena ramipril merupakan obat golongan inhibitor ACE yang penggunaannya dapat menurunkan fungsi ginjal ditandai dengan kenaikan kreatinin serum [24]. Selain itu terdapat 1 pasien (0,94 %) (kasus 97) mengalami hiperkalemia dengan kadar kalium sebesar 5,6 mmol/L dan diberikan terapi spironolakton. Spironolakton harus dihindari pemberian nya pada pasien dengan kondisi hiperkalemia karena dapat memperparah kondisi hiperkalemia pasien [25]. 3.4.4 Interaksi Obat Interaksi obat dikatakan terjadi ketika efek dari suatu obat berubah dikarenakan adanya obat lain, obat herbal, minuman, makanan atau agen kimia lainnya [26]. Interaksi yang termasuk ke dalam tingkat keparahan mayor salah satunya yaitu interaksi obat antara obat


Identifikasi Drug Related Problems Pada Pasien Congestive Heart Failure di Rumah Sakit “X” Balikpapan 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 202 candesartan dengan spironolakton sebanyak 7 pasien (6,60%) termasuk ke dalam interaksi farmakodinamik (Tabel 2). Efek yang ditimbulkan dari interaksi ini yaitu terjadi peningkatan serum K+ sehingga dapat menyebabkan peningkatan resiko hyperkalemia [27]. Interaksi obat yang termasuk ke dalam tingkat keparahan moderat yaitu salah satunya interaksi obat antara ramipril dengan aspilet sebanyak 17 pasien (16,03%) termasuk interaksi farmakodinamik (Tabel 2). Efek dari interaksi kedua obat ini adalah menyebabkan penurunan efek hipotensi ACEI, hiperkalemia dan kerusakan ginjal. Mekanisme interaksi antara kedua obat ini kemungkinan terkait dengan kemampuan NSAID untuk menurunkan sintesis prostaglandin di ginjal [26]. Interaksi obat yang termasuk ke dalam tingkat keparahan minor yaitu yang interaksi obat antara furosemid dan aspilet sebanyak 16 pasien (15,09%) (Tabel 2) yang termasuk ke dalam interaksi farmakodinamik. Penggunaan bersama furosemid dan aspilet (aspirin) dapat menyebabkan penurunan efek dari furosemid dalam menurunkan tekanan darah. Mekanisme yang mungkin terlibat adalah penghambatan sintesis prostaglandin oleh NSAID (aspirin) yang dapat menyebabkan retensi cairan dan natrium yang bertolak belakang dengan efek yang dihasilkan oleh furosemide [26]. 3.4.5 Gagal Menerima Obat Kegagalan menerima obat merupakan keadaan dimana pasien mempunyai kondisi medis tetapi tidak mendapatkan obat yang diresepkan [19]. Terdapat 1 pasien (0,94%) (kasus 13) seharusnya mendapatkan obat glimepirid namun pasien menolak karena merasa ingin muntah (Tabel 1). 4 Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan dari 106 pasien jumlah pasien laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan yaitu laki-laki sebanyak 68 pasien (64,15%) dan perempuan sebanyak 38 pasien (35,84%). Pada rentang usia yang paling banyak yaitu pada usia 56-65 tahun sebanyak 31 pasien (29,24%). Kemudian pada kategori komorbid yang tertinggi yaitu HHD sebanyak 31 pasien (29,24%), ventricular extrasystoles (VES) sebanyak 16 pasien (15,10%), renal insufficiency sebanyak 13 pasien (12,26%) dan hipokalemia sebanyak 13 pasien (12,26%). Gambaran penggunaan obat pada pasien CHF rawat inap di Rumah Sakit “X” Balikpapan meliputi aspilet sebanyak 77 pasien (72,64%), furosemid sebanyak 62 pasien (58,49%) dan bisoprolol sebanyak 49 pasien (46,22%). Kejadian DRPs di Rumah Sakit “X” Balikpapan yang paling tinggi terjadi pada kategori interaksi obat sebanyak 88 pasien (83,01%), indikasi tanpa obat 10 pasien (69,43%), obat tanpa indikasi sebanyak 4 pasien (3,77%), ketidaktepatan pemilihan obat sebanyak 2 pasien (1,88%), dan kegagalan dalam menerima obat sebanyak 1 pasien (0,94%). Lalu tidak ditemukan kejadian pada kategori dosis rendah, dosis lebih dan adverse drug reaction (ADR). Disarankan bagi apoteker, dokter serta tenaga kesehatan lainnya lebih bekerja sama sehingga kejadian drug related problems pada pasien dapat dicegah dan diminimalkan. 5 Kontribusi Penulis Esa Wi Fatma: Melakukan pengumpulan data rekam medik pasien CHF di Rumah Sakit Pertamina Balikpapan. Adam M. Ramadhan dan Nur Masyithah Z. : Pengarah dan pembimbing pembuatan artikel. 6 Konflik Kepentingan Tidak ada konflik kepentingan dalam penelitian ini. 7 Daftar Pustaka [1] Mary Baradero WD dan YS. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Kardiovaskular. Buku Kedokteran EGC:Jakarta. [2] World Health Organization (WHO). 2016. Cardiovascular Disease. Diunduh dari: www.who.int/news-room/factsheets/detail/cardiovascular-diseases-(cvds). 24 Maret 2021. [3] Tim RISKESDAS.2008. Laporan Provinsi Nasional RISKESDAS. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. [4] Sinjai, Joshua., Weny Wiyono D.M. 2018. Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Congestive Heart Failure (CHF) di Instalasi Rawat Inap RSUP Prof. DR. R. D. Kandou Manado.Journal Pharmacon 7(4).


Identifikasi Drug Related Problems Pada Pasien Congestive Heart Failure di Rumah Sakit “X” Balikpapan 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 203 [5] Pharmaceutical Care Network Europe Foundation. Classification for Drug related problems V 8.01. Published online 2017:1-10. https://www.pcne.org/upload/files/215_PCN E_classification_V8-01.pdf [6] Utami P., Cahyaningsih I., dan Setiawardani R.M. Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Congestive Heart Failure (CHF) di Rumah Sakit Periode Januari- Juni 2015. Jurnal Farmasi Sains dan Praktis Vol.IV (37-43) No.1. [7] Rufaidah A, Putu Pramanta I dewa S, Ika P. Kajian Drug Related Problems Pada Terapi Pasien Gagal Drug Related Problems Evaluation in the Therapy of Inpatients With. Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi-. 2015;5(2):3-5. [8] Harigustian Y., Dewi A. dan Khoiriyati A.2016.Gambaran Karakteristik Pasien Gagal Jantung Usia 45 – 65 Tahun Di Rumah Sakit Pku Muhammadiyah Gamping Sleman. Indonesian Journal of Nursing Practices Vol 1 No.1. [9] Sulistiyowatiningsih E, Nurul Hidayati S, dan Febrianti Y.2016. Kajian Interaksi Obat Pada Pasien Gagal Jantung Dengan Gangguan Fungsi Ginjal Di Instalasi Rawat Inap Rsup Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2009-2013. Jurnal Ilmu Farmasi ISSN: 1693- 8666 12(1). [10] Setyawan, Febri Endra Budi. 2017. Kajian Tentang Efek Pemberian Nutrisi Kedelai (Glicine max) Terhadap Penurunan Kadar Kolesterol Total Pada Menopause. Jurnal UNIMUS Vol. 1 No. 4. [11] Ningrum, Ajeng Fitria. 2020. Penatalaksanaan Holistik Pada Pasien Hypertensice Heart Disease. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia Vol.8 No.1. [12] Halim, Ronaldo Agustian., M. Rizky Felani. 2018. Frequent Ventricular Extrasystoles. Jurnal CDK Vol. 45 No. 10. [13] Indra, Imai. 2013. Anestesia Pada Insufisiensi Renal. Idea Nursing Journal Vol. 4 No. 1. [14] Basalamah, Muhammad A. 2007. Tatalaksana Gagal Jantung Akut pada Pasien dengan Gangguan Fungsi Ginjal. Jurnal Kardiologi Indonesia Vol. 28 No. 1. [15] Nathania, Maggie. 2019. Hipokalemia-Diagnosis dan Tatalaksana. Jurnal CKD Vol. 46 No. 2. [16] Wulandari, Tri, Nurmainah dan Robiyanto. 2015. Gambaran Penggunaan Obat Pada Pasien Gagal Jantung Kongestif Rawat Inap di Rumah Sakit Sultan Syarif Mohamad Alkadrie Pontianak. Jurnal Farmasi KALBAR Vol. 3 No. 1. [17] PERKI.2015. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. [18] Sari, M.S., Cahaya N., dan Susilo Y.H. 2020. Studi Penggunaan Obat Golongan Beta- Blocker pada Pasien Rawat Inap Rumah Sakit Ansari Saleh Banjarmasin. Jurnal Farmasi Udayana Vol. 9 No.2. [19] Cipolle R.J., Strand L.M M.2007. Pharmaceutical Care Practice: The Clinician’s Guide.Edisi II. Mc Graw-Hill. [20] Rosmiati, K.2016. Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Gagal Jantung Kongestif di Bangsal Interne RSUP DR. M. Djamil Padang. Jurnal Sains dan Teknologi Laboratorium Medik Vol.1 No.1:12-28. [21] Prayono., Rusdi Lamsudin dan Pernodjo Dahlan. 2016. Phenylpropanolamine Sebagai Faktor Risiko Stroke Perdarahan. Jurnal Berkala Neurosains Vol. 15 No. 2. [22] Kjeldsen, Keld. 2010. Hypokalemia and Sudden Cardiac Death. Journal Exp Clin Cardiol Vol. 15 No. 4. [23] Meditata.2021. MIMS Petunjuk Konsultasi. Bhuana Ilmu Populer:Jakarta. [24] Pascayantri, Asniar., Elly Wahyudin dan Hasyim Kasim. 2018. Kajian Penggunaan Captopril dan Ramipril Terhadap Parameter Fungsi Ginjal Pada Pasien CHF. Jurnal Universitas Hasanudin 22(3): 73-75. [25] Katzung, Bertram G., Susan B. Masters dan Anhtony J. Trevor. 2013. Farmakologo Dasar dan Klinik. Jakarta: EGC [26] Karen Baxter.2008. Stockley’s Drug Interactions. Pharmaceutical Press. [27] Holidah, Diana. 2011. Aliskiren, Obat Antihipertensi Baru Dengan Mekanisme Penghambata Renin. Jurnal Trop. Pharm Chem. Vol. 1 No.3.


14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 190 Journal homepage: https://prosiding.farmasi.unmul.ac.id Uji Toksisitas Ekstrak Berbasis Nades dari Daun Kadamba (Mitragyna Speciosa Korth) terhadap Mencit (Mus Musculus) Toxicity of Nades-Based Extract from Kadamba Leaf (Mitragyna Speciosa Korth) on Mice (Mus Musculus) Fauzan Afandi*, Vita Olivia Siregar, Islamudin Ahmad Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian “Farmaka Tropis”, Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman, Samarinda, Indonesia *Email korespondensi: islamudinahmad@farmasi.unmul.ac.id Abstrak Secara tradisional daun kadamba memiliki manfaat untuk mengatasi diare, diabetes, nyeri, rematik, asam urat dan terbukti secara ilmiah mampu sebagai antinosiseptif dan menghambat sel kanker payudara T47D, hingga saat ini para peneliti terus berusaha dalam penemuan dan pengembangan daun kadamba sebagai kandidat obat baru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui toksisitas ekstrak berbasis NADES dari daun kadamba dengan melihat nilai LD50 serta pengaruhnya terhadap berat badan dan tingkah laku mencit. Mencit yang digunakan sebanyak 15 ekor yang terbagi menjadi 5 kelompok dengan masing-masing kelompok sebanyak 3 ekor. Ekstrak berbasis NADES dari daun kadamba diberikan secara oral dengan variasi dosis yaitu 4000 mg/KgBB, 8000 mg/KgBB, 16000 mg/KgBB, dan 32000 mg/KgBB serta satu kelompok diberikan pelarut. Masing-masing kelompok diamati dalam rentang waktu 30, 60, 120, 180, dan 240 menit setelah pemberian ekstrak dan pengamatan dilanjutkan selama 14 hari untuk mengamati gejala toksik, perubahan berat badan dan kematian. Berdasarkan hasil penelitian tidak ditemukan kematian pada kelompok pelarut, 4000 mg/KgBB, dan 8000 mg/KgBB. Untuk kelompok dengan dosis 16000 mg/KgBB ditemukan kematian sebanyak 2 ekor mencit dan kelompok dengan dosis 32000 mg/KgBB ditemukan kematian sebanyak 3 ekor mencit, sehingga nilai LD50 yang didapatkan sebesar 14,256 g/KgBB yang termasuk dalam kategori praktis tidak toksik. Kata Kunci: Toksisitas, Daun Kadamba, Mus musculus Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals Conferences


Uji Toksisitas Ekstrak Berbasis Nades dari Daun Kadamba (Mitragyna Speciosa Korth) terhadap Mencit (Mus Musculus) 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 191 Abstract Traditionally, kadamba leaves have benefits for treating diarrhea, diabetes, pain, rheumatism, gout and have been scientifically proven to be antinociceptive and inhibit T47D breast cancer cells. This study aims to determine the toxicity of NADES-based extract from kadamba leaves by looking at the LD50 value and its effect on body weight and behavior of mice. The 15 mice used were divided into 5 groups with 3 mice in each group. The NADES-based extract from kadamba leaves was given orally with various doses of 4000 mg/KgBB, 8000 mg/KgBB, 16000 mg/KgBB, and 32000 mg/KgBB and one group was given a solvent. Each group was observed for 30, 60, 120, 180, and 240 minutes after administration of the extract and the observations were continued for 14 days to observe toxic symptoms, changes in body weight and death. Based on the results of the study, no deaths were found in the solvent group, 4000 mg/KgBB, and 8000 mg/KgBB. For the group with a dose of 16000 mg/KgBW, 2 mice died and the group with a dose of 32000 mg/KgBW found the death of 3 mice, so the LD50 value obtained was 14.256 g/KgBW which was included in the practically non-toxic category. Keywords: Toxicity, Kadamba leaf, Mus musculus DOI: https://doi.org/10.25026/mpc.v14i1.555 1 Pendahuluan Mayoritas penduduk di negara berkembang seperti Indonesia sering memanfaatkan obat tradisional untuk mencegah dan mengobati penyakit, dimana telah terbukti secara empiris maupun dalam uji praklinis, berbeda halnya dengan obat sintetik yang telah terbukti memiliki efek secara klinis, namun dilaporkan memiliki efek samping sehingga diperlukan adanya upaya eksplorasi obat tradisional dari bahan alam sebagai alternatif pengobatan yang diharapkan memiliki efek samping minimum [1–4]. Menurut WHO syarat utama obat harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan antara lain obat harus aman (safety), bermutu (quality), dan bermanfaat (efficacy). Untuk membuktikan keamanan suatu obat dapat dilakukan dengan melakukan uji toksisitas [5,6]. Uji toksisitas merupakan suatu pengujian yang berfungsi untuk mengetahui serta mendeteksi tingkat toksisitas/ketoksikan suatu bahan atau zat uji yang akan digunakan sebagai bahan obat baru. Pengujian toksisitas akan memperoleh hasil yang dapat memberikan informasi mengenai tingkat keamanan suatu bahan atau zat pada biakan biologi tertentu atau menggunakan hewan coba [6]. Daun kadamba (Mitragyna speciosa) secara empiris memiliki manfaat sebagai stimulan, antipiretik, antidiabetes, mengatasi diare, mengatasi nyeri, rematik, asam urat, susah tidur, hipertensi, gejala stroke, menambah stamina, batuk, tipes, kolestrol, dan untuk menambah nafsu makan, secara ilmiah daun kadamba juga memiliki aktivitas sebagai antinosiseptif dan mampu menghambat sel kanker payudara T47D. Saat ini para peneliti terus berupaya dalam penemuan dan pengembangan daun kadamba sebagai kandidat obat baru [7–12]. Natural Deep Eutectic Solvent (NADES) merupakan suatu campuran yang tersusun atas dua komponen senyawa atau lebih, senyawa penyusun NADES tersebar di alam seperti basa dan asam organik, gula protein, alkohol, polialkohol, protein, asam amino, dan gula. NADES terbentuk karena adanya interaksi antarmolekul pada masing-masing senyawa penyusun dalam rasio tertentu [13,14]. NADES diketahui memiliki keunggulan seperti aman, tidak beracun, ramah lingkungan, persiapan yang cenderung sederhana, bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat NADES mudah didapatkan, melimpah, harganya murah, dan dapat dimakan [15,16]. NADES memiliki rentang polaritas yang lebar dimana kepolaran


Uji Toksisitas Ekstrak Berbasis Nades dari Daun Kadamba (Mitragyna Speciosa Korth) terhadap Mencit (Mus Musculus) 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 192 dari NADES dapat lebih tinggi dari pada air atau sama dengan metanol dan NADES terbukti mampu menarik metabolit yang memiliki kepolaran yang rendah hingga menengah baik yang sukar larut dalam air bahkan tidak larut dalam air [15]. Berdasarkan uraian tersebut maka tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui toksisitas ekstrak berbasis NADES dari daun kadamba dengan melihat nilai LD50 serta pengaruhnya terhadap berat badan dan tingkah laku mencit. 2 Metode Penelitian 2.1 Alat dan Bahan Alat yang digunakan yaitu microwave, box, tempat minum, jaring penutup, gelas ukur, labu alas bulat, botol kaca, timbangan analitik, spuit 1 ml dan sonde, erlenmeyer, stirer, hot plate, sendok tanduk, pisau, kertas saring, corong, plastik wrap, dehydrator, dan kaca arloji. Bahan yang digunakan yaitu daun kadamba, kolin klorida, sorbitol, dan aquades. 2.2 Preparasi NADES Penelitian ini menggunakan pelarut NADES dengan kombinasi kolin klorida dan sorbitol dengan perbandingan 1:2 g/g. Kolin klorida dan sorbitol yang digunakan ditimbang berdasarkan rasio yang telah digunakan. Kolin klorida dan sorbitol yang telah ditimbang dimasukkan kedalam gelas ukur kemudian di stirrer hingga jernih diatas hot plate. Campuran kolin klorida dan sorbitol yang telah jernih kemudian ditambahkan aquades sejumlah campuran yang didapatkan. Selanjutnya dihomogenkan kemudian pelarut NADES yang didapatkan di masukkan ke dalam botol. 2.3 Ekstraksi Ditimbang simplisia daun kadamba sebanyak 5 g, kemudian dimasukkan didalam labu alas bulat dan ditambahkan pelarut NADES klorin klorida: sorbitol (1:2) sebanyak 50 ml, selanjutnya dimasukkan kedalam microwave selama 10 menit dengan power sebesar 50%, hasil yang didapatkan disaring menggunakan kantong teh, selanjutnya filtrat dibuang dan ekstrak cair yang didapatkan dimasukkan kedalam dehydrator untuk mendapatkan ekstrak kental. 2.4 Pengujian Toksisitas Hewan coba dikelompokkan menjadi 5 kelompok yang terdiri dari kelompok dosis 4000 mg/KgBB, 8000 mg/KgBB, 16000 mg/KgBB, dan 32000 mg/KgBB dan 1 kelompok diberi pelarut. Masing-masing kelompok terdiri dari 3 mencit yang memiliki berat badan diantara 20-30 gram. Sebelum perlakuan semua mencit diadaptasi dengan lingkungannya selama 7 hari dan sebelum diberikan pemberian zat uji secara oral, mencit dipuasakan terlebih dahulu selama 10 jam namun tetap diberikan air. Dilanjutkan pemberian ekstrak berbasis NADES dari daun kadamba pada masing-masing kelompok kemudian diamati gejala toksik yang muncul pada waktu ke 30, 60, 120, dan 240 menit dan pengamatan berlanjut selama 14 hari untuk mengamati gejala toksik, berat badan, dan kematian. 3 Hasil dan Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terlihat pada Tabel 1 dimana tidak adanya gejala toksik dan kematian pada kelompok dengan dosis 4000 mg/KgBB dan kelompok pelarut dalam waktu 4 jam setelah pemberian ekstrak uji. Sementara pada kelompok dengan dosis 8000 mg/KgBB mengalami poliuria dan tidak ada kematian pada waktu 4 jam setelah pemberian ekstrak uji. Pada kelompok dengan dosis 16000 mg/KgBB terjadi kematian sebanyak 2 ekor mencit dalam waktu ± 30 menit, namun sebelum mengalami kematian 2 ekor mencit tersebut mengalami gejala toksik seperti piloereksi, tremor, cairan merah berlebih, nyeri, grooming, dan kejang selama beberapa detik. Satu mencit yang tersisa tidak mengalami kematian selama 4 jam setelah pemberian ekstrak uji, namun mengalami gejala toksik seperti piloereksi, tremor, cairan merah berlebih, nyeri, dan hiperaktivitas, dan melakukan grooming dalam rentang waktu 1 jam. Kelompok dengan dosis 32000 mg/KgBB mengalami tanda gejala toksik seperti tremor, grooming, hiperaktivitas, dan kejang serta mengalami kematian pada seluruh jumlah mencit uji dalam waktu ± 30 menit setelah pemberian ekstrak uji.


Uji Toksisitas Ekstrak Berbasis Nades dari Daun Kadamba (Mitragyna Speciosa Korth) terhadap Mencit (Mus Musculus) 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 193 Pengamatan dilanjutkan selama 14 hari untuk melihat gejala toksik dan kematian pada seluruh kelompok yang disajikan dalam Tabel 2, pada kelompok pelarut dan 4000 mg/KgBB tidak ditemukan gejala toksik dan kematian selama 14 hari. Sementara pada kelompok 8000 mg/KgBB dan 16000 mg/KgBB ditemukan gejala toksik seperti piloereksi dan tremor sehari setelah pemberian ekstrak uji, namun pada hari ketiga hingga 14 hari setelah pemberian tidak ditemukan gejala toksik dan kematian. Tabel 1 Hasil pengamatan gejala toksik dalam 4 jam. Pengamatan Gejala Toksik (Menit) Perilaku Sebelum 30 60 120 180 240 Piloereksi N K4 K4 K4 K4 K4 Kejang N K4,K5 N N N N Tremor N K4,K5 K4 K4 K4 K4 Cairan merah berlebih N K4 K4 K4 K4 K4 Nyeri N K4 K4 K4 K4 K4 Grooming N K4,K5 K4 N N N Hiperaktivitas N K4,K5 K4 K4 K4 K4 Poliuria N K3 K3 K3 K3 K3 Mati N K4,K5 K4,K5 K4,K5 K4,K5 K4,K5 Tabel 2 Hasil pengamatan gejala toksik dilanjutkan dalam 14 hari. Pengamatan Gejala Toksik (Hari) Perilaku 2 4 6 8 10 12 14 Piloereksi K3,K4 N N N N N N Kejang N N N N N N N Tremor K3,K4 N N N N N N Cairan merah berlebih N N N N N N N Nyeri N N N N N N N Grooming N N N N N N N Hiperaktivitas N N N N N N N Poliuria N N N N N N N Mati K4,K5 K4,K5 K4,K5 K4,K5 K4,K5 K4,K5 K4,K5 Keterangan: N = Semua Kelompok Normal K1 = Kelompok Pelarut (3 ekor mencit) K2 = Kelompok 4000 mg/KgBB (3 ekor mencit) K3 = Kelompok 8000 mg/KgBB (3 ekor mencit) K4 = Kelompok 16000 mg/KgBB (3 ekor mencit) K5 = Kelompok 32000 mg/KgBB (3 ekor mencit) Tabel 3 Hasil rata- rata berat badan mencit. Kelompok (mg/KgBB) Pengamatan Hari ke 2 5 8 11 14 Pelarut 23.67 25.00 25.00 25.33 25.67 4000 25.67 25.67 25.33 25.67 26.33 8000 24.00 24.33 25.33 25.67 26.33 16000 25.00 25.00 25.00 25.00 26.00


Uji Toksisitas Ekstrak Berbasis Nades dari Daun Kadamba (Mitragyna Speciosa Korth) terhadap Mencit (Mus Musculus) 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 194 Gambar 1 Grafik perubahan berat badan selama 14 hari Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, tidak terjadinya kematian pada kelompok pelarut, 4000 mg/KgBB, dan 8000 mg/KgBB. Sementara pada kelompok dengan dosis 16000 mg/KgBB terjadi kematian sebanyak 2 ekor mencit. Pada kelompok dengan dosis 32000 mg/KgBB terjadi kematian sebanyak 3 ekor mencit. Sehingga nilai LD50 yang diperoleh yaitu sebesar 14,256 g/KgBB yang termasuk dalam kategori praktis tidak toksik. Berat badan pada seluruh kelompok diamati setiap hari selama 14 hari, terlihat pada Tabel 3 dan Gambar 1 dimana, terjadi kenaikan berat badan pada kelompok pelarut dalam waktu 5 hari setelah pemberian dan tidak adanya kenaikan berat badan pada hari ke 8, namun kembali mengalami kenaikan hingga hari ke 14, sedangkan pada kelompok 4000 mg/KgBB terjadi penurunan pada hari ke 8 dan mengalami kenaikan hingga hari ke 14. Pada kelompok dengan dosis 8000 mg/KgBB terjadi kenaikan berat badan hingga hari ke 14. Sementara pada kelompok dengan dosis 16000 mg/KgBB hingga hari ke 11 tidak terjadi perubahan berat badan, namun terjadi kenaikan berat badan pada hari ke 14. Perubahan berat badan mencit dapat menggambarkan efek toksik setelah pemberian ekstrak uji, dimana ekstrak uji memiliki efek samping yang bermakna terhadap suatu hewan, jika terjadi penurunan berat badan lebih dari 10 % dari sebelum pengujian [17,18]. Hasil Wilcoxon test terhadap perubahan berat badan sebelum dan sesudah 14 hari, menunjukan tidak adanya perubahan yang bermakna (p≥0,05), tidak adanya perubahan berat badan sebelum dan sesudah 14 hari menandakan bahwa pemberian ekstrak berbasis NADES dari daun kadamba tidak mempengaruhi berat badan mencit. 4 Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil : 1. Nilai LD50 ekstrak berbasis NADES dari daun kadamba sebesar 14,256 g/KgBB yang termasuk dalam kategori praktis tidak toksik. 2. Tidak adanya pengaruh pada perubahan berat badan selama 14 hari 5 Etik Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Farmasi Universitas Mulawarman dengan nomor 81/KEPKFFUNMUL/EC/EXE/2021. 6 Kontribusi Penulis Fauzan Afandi: melakukan penelitian, pengumpulan data, pustaka, dan menyiapkan draft manuskrip. Vita Olivia Siregar dan Islamudin Ahmad : Pengarah, pembimbing, dan penyelaras akhir manuskrip. 23.50 24.00 24.50 25.00 25.50 26.00 26.50 0 2 4 6 8 10 12 14 16 Berat Badan Hari ke Pelarut 4000 mg/KgBB 8000 mg/KgBB 16000 mg/KgBB


Uji Toksisitas Ekstrak Berbasis Nades dari Daun Kadamba (Mitragyna Speciosa Korth) terhadap Mencit (Mus Musculus) 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 195 7 Konflik Kepentingan Tidak ada konflik kepentingan dalam penelitian ini. 8 Daftar Pustaka [1] Jugran AK, Rawat S, Devkota HP, Bhatt ID, Rawal RS. Diabetes and plant-derived natural products: From ethnopharmacological approaches to their potential for modern drug discovery and development. Phyther Res. 2021;35(1):223-245. doi:10.1002/ptr.6821 [2] Mustapa MA, Taupik M, Hanapi F. Uji Praklinik Kombinasi Obat Herbal Kopi Pinogu (Coffea canephora var Robusta) Dan Bunga Cengkeh (Syzygium aromaticum) Terhadap Penurunan Kadar Asam Urat Pada Mencit. Parapemikir J Ilm …. 2019;8(2):14-20. https://repository.ung.ac.id/get/karyailmiah/ 3900/uji-praklinik-kombinasi-obat-herbalkopi-pinogu-coffea-canephora-var-robustadan-bunga-cengkeh-syzygium-aromaticumterhadap-penurunan-kadar-asam-urat-padamencit.pdf [3] Tran N, Pham B, Le L. Bioactive Compounds in Anti-Diabetic Plants : Biology (Basel). 2020;9(252):1-31. [4] Yakubu OE, Imo C, Shaibu C, Akighir J, Ameh DS. Effects of Ethanolic Leaf and Stem-bark Extracts of Adansonia digitata in Alloxan-induced Diabetic Wistar Rats. J Pharmacol Toxicol. 2019;15(1):1-7. doi:10.3923/jpt.2020.1.7 [5] WHO. WHO Lists Two Additional COVID-19 Vaccines for Emergency Use and COVAX RollOut. WHO.int. Published 2021. Accessed June 10, 2021. https://www.who.int/news/item/15-02- 2021-who-lists-two-additional-covid-19- vaccines-for-emergency-use-and-covax-rollout [6] Meles DK. Peran Uji Praklinik Dalam Bidang.; 2010. [7] Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional. Laporan Nasional Riset Khusus Eksplorasi Pengetahuan Lokal Etnomedisin dan Tumbuhan Obat Berbasis Komunitas di Indonesia (RISTOJA) Tahun 2015. Balai Besar Besar Penelit dan Pengemb Tanam Obat. Published online 2015:69. http://labdata.litbang.depkes.go.id/risetbadan-litbangkes/menu-riskesnas/menurikus/418-rikus-ristoja-2015 [8] Ismail I, Wahab S, Sidi H, Das S, Lin LJ, Razali R. Kratom and Future Treatment for the Opioid Addiction and Chronic Pain: Periculo Beneficium? Curr Drug Targets. 2017;20(2):166-172. doi:10.2174/1389450118666170425154120 [9] Veltri C, Grundmann O. Current perspectives on the impact of Kratom use. Subst Abuse Rehabil. 2019;Volume 10:23-31. doi:10.2147/sar.s164261 [10] Luliana S, Islamy MR. Aktivitas Antinosiseptif Fraksi Diklorometana Daun Kratom (Mitragyna speciosa Korth.) Rute Oral Pada Mencit Jantan Swiss. Pharm Sci Res. 2018;5(2):58-64. doi:10.7454/psr.v5i2.3895 [11] Tiaravista AG, Robiyanto R, Luliana S. Aktivitas Antinosiseptif Fraksi N-Heksan Daun Kratom (Mitragyna Speciosa Korth.) Melalui Rute Oral Pada Mencit Jantan Swiss. Farmaka. 2019;17:40-51. [12] Ikhwan D, Harlia, Widiyantoro A. Karakterisasi Senyawa Sitotoksik Dari Fraksi Etil Asetat Daun Kratom (Mitragyna speciosa Korth.) dan Aktivitasnya Terhadap Sel Kanker Payudara T47D. J Kim Khatulistiwa. 2018;7(2):18-24. [13] Paulucci VP, Couto RO, Teixeira CCC, Freitas LAP. Optimization of the extraction of curcumin from Curcuma longa rhizomes. Rev Bras Farmacogn. 2013;23(1):94-100. doi:10.1590/S0102-695X2012005000117 [14] Choi YH, van Spronsen J, Dai Y, et al. Are natural deep eutectic solvents the missing link in understanding cellular metabolism and physiology? Plant Physiol. 2011;156(4):1701- 1705. doi:10.1104/pp.111.178426 [15] Dai Y, van Spronsen J, Witkamp GJ, Verpoorte R, Choi YH. Natural deep eutectic solvents as new potential media for green technology. Anal Chim Acta. 2013;766:61-68. doi:10.1016/j.aca.2012.12.019 [16] Vanda H, Dai Y, Wilson EG, Verpoorte R, Choi YH. Green solvents from ionic liquids and deep eutectic solvents to natural deep eutectic solvents. Comptes Rendus Chim. 2018;21(6):628-638. doi:10.1016/j.crci.2018.04.002 [17] Raza M, Al-Shabanah OA, El-Hadiyah TM, AlMajed AA. Effect of prolonged vigabatrin treatment on hematological and biochemical parameters in plasma, liver and kidney of Swiss albino mice. Sci Pharm. 2002;70(2):135-145. doi:10.3797/scipharm.aut-02-16 [18] Jothy SL, Zakaria Z, Chen Y, Lau YL, Latha LY, Sasidharan S. Acute oral toxicity of methanolic seed extract of Cassia fistula in mice. Molecules. 2011;16(6):5268-5282. doi:10.3390/molecules16065268


14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 186 Journal homepage: https://prosiding.farmasi.unmul.ac.id Optimasi Basis Formulasi Sediaan Handsanitizer Gel Ekstrak Daun Sirih Hitam (Piper betle var nigra) Sebagai Antibakteri Optimization of the Hand Sanitizer Gel Preparation Base for Black Betel Leaf Extract (Piper betle var nigra) as an antibacterial Felina Alfiany1,*, Novita Eka Kartab Putri1, Fajar Prasetya2 1Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian “Farmaka Tropis”, 2Program Studi Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman, Samarinda, Indonesia *Email korespondensi: felinaalfiany@gmail.com Abstrak Tumbuhan Daun Sirih Hitam (Piper betle var nigra) merupakan salah satu tanaman yang berpotensi sebagai antibakteri. Penelitian ini merupakan eksperimental laboratorium dan bertujuan untuk mengetahui konsentrasi basis handsanitizer gel yang optimum yang selanjutnya akan digunakan dalam formulasi sediaan handsanitizer gel berbahan aktif daun sirih hitam. Optimasi dilakukan selama 7 hari dengan melihat sifat fisik sediaan gel yaitu organoleptis, homogenitas, uji Ph, viskositas, dan uji daya sebar. Handsanitizer gel dibuat dalam tiga formula dengan tiga konsentrasi Carbopol 940 yang berbeda yaitu A, B, dan C. Hasil yang diperoleh pada evaluasi uji organoleptik adalah diamati warna yang bening, bentuk sediaan semisolid dan berbau Carbopol 940. Uji homogenitas untuk ditunjukkan dengan tidak adanya butiran kasar pada sediaan,. Uji pH yaitu pH sediaan gel yang stabil pada pH 7. Uji daya sebar 5-7 cm menunjukkan konsistensi semisolid yang sangat nyaman dalam penggunaan. Uji viskositas menunjukan viskositas gel berada pada kisaran 1.206 cps - 1,820 cps. Hasil evaluasi basis handsanitizer gel yang optimum diperoleh jika memiliki kualitas fisik yang baik dan memenuhi kriteria sediaan gel. Berdasarkan hasil evaluasi pada optimasi basis handsanitizer gel diperoleh basis gel Carbopol 940 dengan konsentrasi A telah memenuhi kriteria pembuatan sediaan gel. Kata Kunci: Optimasi basis; Daun Sirih Hitam Abstract Black betel leaf (Piper betle var. nigra) is one of the plants that has the potential as an antibacterial. This research is a laboratory experiment and aims to determine the optimum concentration of hand Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals Conferences


Optimasi Basis Formulasi Sediaan Handsanitizer Gel Ekstrak Daun Sirih Hitam (Piper betle var nigra) Sebagai Antibakteri 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 187 sanitizer gel base which will then be used in the formulation of hand sanitizer gel preparations with the active ingredient of black betel leaf. Optimization was carried out for 7 days by looking at the physical properties of the gel preparation, namely organoleptic, homogeneity, pH test, viscosity, and spreadability test. Handsanitizer gel was made in three formulas with three different concentrations of Carbopol 940, namely A, B, and C. The results obtained in the evaluation of the organoleptic test were observed in clear color, semisolid dosage form and smelled of Carbopol 940. Homogeneity test was indicated by the absence of granules. rough on the preparation. The pH test is the pH of the gel preparation which is stable at pH 7. The dispersion test of 5-7 cm shows a semisolid consistency which is very comfortable to use. The viscosity test showed that the gel viscosity was in the range of 1,206 cps - 1,820 cps. The results of the evaluation of the optimum hand sanitizer gel base are obtained if it has good physical quality and meets the criteria for gel preparation. Based on the evaluation results on the optimization of the hand sanitizer gel base, it was obtained that the Carbopol 940 gel base with a concentration of A had met the criteria for making gel preparations. Keywords: Base optimization; Black Betel Leaf DOI: https://doi.org/10.25026/mpc.v14i1.556 1 Pendahuluan Memelihara kebersihan tangan merupakan salah satu cara untuk menjaga kesehatan tubuh. Salah satu upaya untuk mencegah terjadinya infeksi melalui tangan yaitu dengan pemakaian antiseptik sebagai pengganti sabun dan air. Antiseptik merupakan zat yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme yang hidup di permukaan tubuh. Salah satu bentuk teknologi modern produk antiseptik yaitu handsanitizer. Handsanitizer memiliki kelebihan dibandingkan handwash, yang terutama yaitu dalam segi kepraktisannya. Salah satu sediaan untuk handsanitizer adalah gel. Salah satu tumbuhan asli Indonesia yang dapat berfungsi sebagai obat tradisional adalah sirih hitam. Sirih hitam merupakan salah satu spesies dari tanaman sirih yang banyak terdapat di Indonesia [1]. Sirih hitam termasuk ke dalam Piperaceae yang berpotensi dapat menyembukan berbagai penyakit. Kandungan minyak atsiri pada daun sirih hitam kemungkinan memiliki khasiat sebagai antibakteri. Secara umum daun sirih mengandung minyak atsiri sampai 4,2%, senyawa fenil propanoid, dan tanin. Senyawa ini bersifat antimikroba dan antijamur yang dapat menghambat beberapa jenis bakteri antara lain Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Salmonella sp, Pasteurella sp, Klebsiella sp, dan dapat menghambat pertumbuhan Candida Albicans. Sirih hitam (piper betle var nigra) mengandung metabolit sekunder berupa alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, steroid, triterpenoid, dan polifenolat [2]. Farmakope Indonesia edisi IV menyatakan bahwa gel adalah suatu sistem dispersi semipadat terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar. Handsanitizer merupakan salah satu bahan antiseptik berupa gel yang sering digunakan masyarakat sebagai media pencuci tangan yang praktis [3]. 2 Metode Penelitian 2.1 Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Autoclave, batang pengaduk, blender, bunsen, cawan petri, corong kaca, dehydrator, gelas kimia, hot plate, inkubatator, jarum ose, kertas saring, erlenmeyer, jangka sorong, LAF (Laminar Air Flow), mortir dan stamper, pH meter, plat kaca, Rotary evaporator, sendok tanduk, sentrifuge, spatel, tabung reaksi dan timbangan analitik.


Optimasi Basis Formulasi Sediaan Handsanitizer Gel Ekstrak Daun Sirih Hitam (Piper betle var nigra) Sebagai Antibakteri 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 188 Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Aquades, biakan bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli, carbopol 940, metil paraben, trietanolamin, gliserin, medium Na, dan NaCl 0,9%. 2.2 Prosedur Basis gel yang terdiri dari Carbopol 940, gliserin, TEA, metil paraben, dan aquades dibuat menjadi 3 formula berbeda yaitu dengan membuat variasi konsentrasi dari carbopol yaitu sebanyak 0,5%, 1% dan 2%. Gel dibuat dengan cara Carbopol 940 ditimbang dan ditaburkan diatas aquades yang sudah dipanaskan. Carbomer 940 yang sudah ditaburkan diaduk cepat di dalam mortir sampai terbentuk masa gel dan ditambahkan TEA. Metil paraben ditimbang dan dilarut dalam aquades, dimasukkan ke dalam mortir, diaduk sampai homogen. Gliserin ditambahkan kedalam mortir, diaduk sampai homogen. [4]. Tabel 1. Formula basis Bahan Konsentrasi (%) FA FB FC Carbopol 940 0,5 1 2 Trietanolamin 1 1 1 Gliserin 10 10 10 Metil Paraben 0,2 0,2 0,2 Aquades Ad 100 Ad 100 Ad 100 Keterangan: FA= Formula basis ke-1 dengan konsentrasi Carbopol 0,5% FB= Formula basis ke-2 dengan konsentrasi Carbopol 1% FC= Formula basis ke-3 dengan konsentrasi Carbopol 2% 3 Hasil dan Pembahasan Pengujian organoleptis dilakukan dengan pengamatan visual terhadap sediaan gel handsanitizer yang dibuat yang meliputi warna, bau dan bentuk gel selama 7 hari. Diperoleh bentuk sediaan gel yang semisolid, tidak berbau dan berwarna bening. Hasil pada basis handsanitizer menunjukan bahwa semakin tinggi konsentrasi Carbopol semakin kental gel yang diperoleh. Pengujian homogenitas dilakukan dengan cara mengoleskan sediaan gel handsanitizer yang akan diuji pada sekeping kaca atau bahan lain yang cocok harus menunjukkan susunan yang homogen dan tidak menunjukkan butiran kasar. Pada pengujian homogenitas diperoleh gel yang homogen dan tidak terdapat butiran kasar. Uji pH dilakukan dengan pengukuran pH gel menggunakan indikator pH universal. pH optimal untuk pembuatan handsanitizer harus sesuai dengan pH kulit yang berkisar diantara 4,5- 6,5[]. Pada Pengujian pH dapat diketahui bahwa pH dari sediaan gel tetap stabil dari hari pertama hingga hari ke tujuh dimana pada konsetrasi carbopol 0,5 % memiliki pH 6, Carbopol 1% memiliki pH 6 dan pada Carbopol 2 % memiliki pH 5. Semua konsentrasi masuk kedalam rentang pH sediaan topikal yaitu 4- 8. Pengujian daya sebar dilakukan dengan cara 0,5 gram sampel gel diletakkan di atas kaca bulat berdiameter 15 cm, kaca lainnya diletakkan di atasnya dan dibiarkan selama 1 menit. Diameter sebar gel diukur. Setelahnya, ditambahkan 150 gram beban tambahan dan didiamkan selama 1 menit lalu diukur diameter yang konstan. Daya sebar 5-7 cm menunjukkan konsistensi semisolid yang sangat nyaman dalam penggunaan. Pada pengujian daya sebar diperoleh gel dengan konsentrasi 0,5% memiliki daya sebar paling baik yaitu pada hari pertama sebesar 5,1 cm dan hari ketujuh sebesar 5,9 cm dan memenuhi syarat daya sebar sediaan gel yaitu 5-7 cm untuk penggunaan yang nyaman. Pengujian Viskositas menggunakan Viskometer Rheosys Merlin dengan kecepatan 20 rpm selama 1 menit. Pengujian dilakukan selama 7 hari. Pada pengujian viskositas, untuk setiap formula yang memenuhi syarat viskositas sediaan gel yaitu menurut SNI 6000 – 50.000 cps. Viskostas sediaan gel mengalami perubahan selama masa penyimpanan. Tabel 2. Uji Organoleptik dan Homogenitas Organoleptik Hari ke-1 Hari ke-7 0,5 % 1% 2% 0,5 % 1% 2% Warna Bening Bening Bening Bening Bening Bening Bau Tidak berbau Tidak berbau Tidak berbau Tidak Berbau Tidak berbau Tidak berbau Bentuk Semi Solid Semi Solid Semi Solid Semi Solid Semi Solid Semi Solid Homogenitas Homogen Homogen Homogen Homogen Homogen Homogen


Optimasi Basis Formulasi Sediaan Handsanitizer Gel Ekstrak Daun Sirih Hitam (Piper betle var nigra) Sebagai Antibakteri 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 189 Tabel 3 Hasil Evaluasi Basis Gel PARAMETER Konsentrasi Hari ke-1 Hari ke-7 pH ( 4-8) 0,5% 6,72 6,69 1% 6,25 6,32 2% 5,27 5,47 Daya Sebar ( 5-7 cm) 0,5% 5,1 cm 5,9 cm 1% 4,4 cm 5,1 cm 2% 3,8 cm 4,3 cm Viskositas 6.000-50.000 cps 0,5% 8.033 cps 7.271 cps 1% 11.491 cps 12.525 cps 2% 14.098 cps 12.863 cps 4 Kesimpulan Berdasarkan hasil evaluasi pada optimasi basis handsanitizer gel diperoleh basis gel Carbopol 940 dengan konsentrasi 0,5% telah memenuhi kriteria pembuatan sediaan gel. 5 Kontribusi Penulis Felina Alfiany : Melakukan pengumpulan data pustaka serta menyiapkan draft manuskrip. Novita Eka Kartab Putri dan Fajar Prasetya: Pengarah, pembimbing, serta penyelaras akhir manuskrip 6 Konflik Kepentingan Tidak ada konflik kepentingan dalam penelitian ini. 7 Daftar Pustaka [1] Prasetya, Fajar. (2012). Formulasi Pasta Gigi Berbahan Aktif Ekstrak Daun Sirih Hitam Sebagai Antimikroba Penyebab Radang Gusi (Gingivitis) Dan Gigi Berlubang (Caries). J. Trop. Pharm. Chem., Vol 2. No. 1. [2] Junairiah, J., Amalia, N. S., Manuhara, S. W., Matuzzahroh, N., & Sulistyorini, L. (2019). Pengaruh Variasi Zat Pengatur Tumbuh IAA, BAP, Kinetin Terhadap Metabolit Sekunder Kalus Sirih Hitam (Piper betle L. Var Nigra). Jurnal Kimia Riset, Volume 4 No. 2, 121-132 [3] Asngad, A., Nopitasari, & R, A. B. (2018). Kualitas Gel Pembersih Tangan (Handsanitizer) dari Ekstrak Batang Pisang dengan Penambahan Alkohol, Triklosan dan Gliserin yang Berbeda Dosisnya. Bioeksperimen, Vol 4. No.2. [4] Widyawati, L., Mustariani, B. A., & Purmafitriah, E. (2017). Formalasi Sediaan Gel Hand Sanitizer Ekstrak Etanol Daun Sirsak (Annona muricata linn) Sebagai Antibakteri Terhadap Staphylococcus aureus. Jurnal Farmasetis, Volume 6 No 2, 47-57.


Click to View FlipBook Version