Karakteristik Granul Gastroretentive Mukoadhesif Amoksisilin dengan menggunakan Kitosan-Alginat, Na.CMC dan HPMC 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 306 ukuran partikel berkisar antara 426-850 μm. Presentase granul dengan ukuran 426-850 μm pada formula F1, F2, F3, F3, F4, F5, F6, F7, F8, F9 secara berturut yaitu 44.6, 58.2, 53.5, 62.4, 67.4, 62.5, 56.6, 50.7 dan 57.1 %. Tabel 4. Tabel hasil uji distribusi ukuran partikel Formula Bobot Granul tiap Mesh (%) Mesh 20 (426-850 μm) Mesh 40 (251-425 μm) Mesh 60 (181-250 μm) Mesh 80 (151-180 μm) Mesh 100 (<150 μm) F1 44.6 33.5 9.5 2.9 5.1 F2 58.2 26.2 2.2 0.3 1.4 F3 53.5 26.2 9.0 0.6 2.5 F4 62.4 15.7 1.9 0.3 0.4 F5 67.4 29.5 8.6 3.1 1.8 F6 62.5 35.2 5.7 2.2 2.9 F7 56.6 24.9 5.8 2.4 6.3 F8 50.7 24.6 6.9 3.0 9.6 F9 57.1 33.3 4.7 2.2 2.7 Gambar 1. Hasil pengukuran distribusi ukuran partikel granul gastroretentive mukoadhesif amoksisilin 4 Kesimpulan Berdasarkan hasil evaluasi karakteristik yang telah dilakukan terhadap granul gastroretentive mukoadhesif amoksisilin dapat disimpulkan bahwa formula F1-F8 memenuhi persyaratan laju alir, sedangkan hasil kecepatan F9 memiliki laju alir yang tidak baik. Hasil pengukuran sudut diam pada formula F1, F2 dan F4 memiliki daya alir yang baik yaitu dibawah 30o, berbeda dengan F3, F5, F6, F7, F8, dan F9 yang memiliki sudut diam 30-40o dengan daya alir baik. Hasil uji distribusi ukuran partikel, granul yang paling dominan yaitu pada ukuran 426-860 μm. Berdasarkan data tersebut maka disimpulkan granul memenuhi persyaratan. 5 Kontribusi Penulis Siti Rofi’ah Febryani: Melakukan penelitian, pengumpulan data serta menyiapkan draft manuskrip. Sabaniah Indjar Gama dan Angga Cipta Narsa : Pengarah, pembimbing, serta penyelaras akhir manuskrip 6 Konflik Kepentingan Tidak ada konflik kepentingan dalam penelitian ini. 7 Daftar Pustaka [1] Sweetman, S.C. 2009. Martindale The Complete Drug Reference Thirty Sixth Edition Pharmaceutical Press : New York [2] Srifiana, Ari Widayanti dan Nopriyadi. 2019. Sodium Alginat as A Mucoadhesive Polymer to Adhesion Strength and Amoxicillin Mucoadhesion Granul Release. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia Volume 17 Nomor 1: 56- 61. E-ISSN: 2614-6495 [3] Hendrika, Yan, Julia Reveny, Sumaiyah Sumaiyah. 2018. Formulation and In Vitro Evaluation of Gastroretentive Floating Beads of Amoxicillin Using Pecting From Banana Peel (Musa Balbisiana Abb). Asian Journal Pharmaceutical and Clinical Research, Vol 11, Issue 3, 2018, 72-77. DOI: http://dx.doi.org/10.22159/ajpcr.2018.v11i4. 23511. [4] Hamsinah, Jufri, Ermina Pakki. 2016. Formulasi dan Evaluasi Granul Gastroretentive Mukoadhesif Amoksisilin. JF FIK UINAM Vol.4 No.3 : 83-89. [5] Elisabeth, Victoria, Paulina V.Y. YamLean, Hamidah Sri Supriati. 2018. Formulasi sediaan granul dengan bahan pengikat pati kulit pisang goroho (Musa acuminafe L.) dan pengaruhnya pada sifat fisik granul. Pharmacon Jurnal Ilmiah Farmasi Vol. 7 No. 4. ISSN 2302-2493. [6] Aulton, M. E. 2002. Pharmaceutics the Science of Dosage Form Design Second Edition 530. ELBS Fonded by British Government. [7] Anonim. 2014. Farmakope Indonesia Edisi V. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Hal. 1515-1516
14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 307 Journal homepage: https://prosiding.farmasi.unmul.ac.id Penggunaan Soy wax dan Beeswax sebagai Basis Lilin Aromaterapi Use of Soy wax and Beeswax as Aromatherapy Candle Base Theresia Fenny Oktarina*, Wisnu Cahyo Prabowo, Angga Cipta Narsa Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian “Farmaka Tropis”, Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman, Samarinda, Indonesia *Email korespondensi: theresiafny@gmail.com Abstrak Penggunaan lilin parafin secara terus menerus menghasilkan polutan yang berdampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan. Lilin soy wax dan beeswax merupakan bahan yang ramah lingkungan karena menghasilkan polutan yang lebih sedikit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui formula terbaik dalam pembuatan sediaan lilin aromaterapi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode eksperimental. Pembuatan lilin aromaterapi dilakukan dengan melelehkan soy wax, beeswax, dan asam stearat. Dilakukan optimasi basis pada perbandingan formula 75%:25% (F1), 50%:50% (F2), 25%:75% (F3) dengan melakukan evaluasi sifat fisik meliputi uji organoleptik, uji titik leleh, dan uji waktu bakar untuk mendapatkan basis lilin aromaterapi terbaik dari penggunaan bahan soy wax dan beeswax dengan penambahan asam stearat. Hasil optimasi basis soy wax pada uji organoleptik, F1 dan F2 memiliki warna yang merata dan tidak retak, pada F3 memiliki warna yang tidak merata dan tidak retak. Titik leleh sediaan lilin yaitu 48OC-52OC, waktu bakar 373 menit-463 menit. Pada basis beeswax uji organoleptik F1 dan F2 memiliki warna yang merata dan tidak retak, F3 memiliki warna yang tidak merata dan retak. Titik leleh basis lilin 53OC-54OC, dan waktu bakar 443 menit-499 menit. Dari hasil optimasi didapatkan formula terbaik yaitu F1 dan F2 memenuhi standar sesuai dengan SNI yaitu warna merata dan tidak retak dan titik leleh berkisar 42OC-60OC. Kata Kunci: Soy wax, beeswax, basis, lilin aromaterapi Abstract The continuous use of paraffin wax produces pollutants that have a negative impact on health and the environment. Soy wax and beeswax candles are environmentally friendly materials because they produce fewer pollutants. This study aims to determine the best formula in the manufacture of aromatherapy candle preparations. This research was conducted using an experimental method. Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals Conferences
Penggunaan Soy wax dan Beeswax sebagai Basis Lilin Aromaterapi 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 308 Aromatherapy candles are made by melting soy wax, beeswax, and stearic acid. Apply optimization based on the ratio formula of 75%:25% (F1), 50%:50% (F2), 25%:75% (F3) by evaluating physical properties such as organoleptic, melting point test, and burning time test to get the base The best aromatherapy candles from the use of soy wax and beeswax ingredients with the addition of stearic acid. The results of optimization of soy wax based on an organoleptic test, F1 and F2 have an even color and do not crack, F3 has an uneven color and does not crack. The melting point of wax preparations is 48°C-52°C, burning time 373 minutes-463 minutes. On the basis of the organoleptic test beeswax, F1 and F2 had an even color and did not crack, F3 had an even color and cracks. The melting point of the basic wax is 53°C-54°C, and the burning time is 443 minutes-499 minutes. From the results, it was found that the best formulas, namely F1 and F2, met the standards according to SNI, namely the color was uniform and not cracked and the melting point ranged from 42°C-60°C. Keywords: Soy wax, beeswax, base, aromatherapy candle DOI: https://doi.org/10.25026/mpc.v14i1.589 1 Pendahuluan Menurut KBBI [1] Lilin merupakan bahan yang terbuat dari bahan parafin yang mudah mencair saat dipanaskan dan dapat digunakan sebagai pelita serta untuk membatik. Bentuk aromaterapi saat ini dipasaran bermacammacam, salah satunya yaitu lilin aromaterapi. Lilin umumnya digunakan sebagai sumber pencahayaan dan memiliki bentuk yang tidak menarik [2]. Lilin aromaterapi dinilai lebih praktis dan hemat energi karena penggunaanya tidak membutuhkan listrik [3]. Lilin aromaterapi digunakan sebagai alternatif pengobatan secara inhalasi melalui aroma saat dibakar yang dihasilkan dari beberapa tetes minyak atsiri [4]. Salah satu bahan baku pembuatan lilin aromaterapi yang sering digunakan yaitu paraffin wax. Paraffin wax terbuat dari minyak bumi yang penggunaannya secara terus menerus dapat menghasilkan polutan yang berdampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan. Soy wax merupakan wax yang terbuat dari minyak kedelai yang dicampur dengan larutan hidrogen. Penggunaan soy wax menghasilkan polutan yang lebih sedikit dibandingkan dengan penggunaan paraffin wax [5]. Beeswax atau lilin lebah merupakan lilin yang dihasilkan dari sarang lebah dan memiliki manfaat untuk menjernihkan udara. Kedua bahan ini diyakini aman digunakan karena terbuat dari bahan alami [6]. 2 Metode Penelitian 2.1 Alat dan bahan Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah batang pengaduk, gelas kimia, cawan porselen, cetakan lilin, pipet tetes, termometer, stopwatch, timbangan, hot plate. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu soy wax, beeswax, asam stearat, dan sumbu lilin. 2.2 Formulasi sediaan lilin Pembuatan basis lilin dengan cara menyiapkan alat dan bahan, kemudian semua bahan ditimbang sesuai dengan yang dibutuhkan. Soy wax, beeswax dan asam stearat dilelehkan secara terpisah dalam cawan porselen diatas hotplate. Selanjutnya dicampuran soywax dengan asam stearat dan beeswax dengan asam stearat sambil diaduk hingga merata. Disiapkan cetakan lilin yang telah diberi sumbu kemudian dituang basis lilin yang telah dibuat dan diamkan hingga mengeras.
Penggunaan Soy wax dan Beeswax sebagai Basis Lilin Aromaterapi 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 309 Tabel 1 Formulasi sediaan lilin Formula Komposisi Bahan (% Soy wax Beeswax Asam Stearat F1A 75 - 25 F2A 50 - 50 F3A 25 - 75 F1B - 75 25 F2B - 50 50 F3B - 25 75 2.3 Evaluasi sifat fisik sediaan 2.3.1 Uji organoleptik Pengujian dilakukan dengan mengamati secara visual terhadap warna lilin, bentuk fisik dan aroma. Keadaan fisik lilin yaitu memiliki warna yang sama dan tidak retak, tidak cacat dan tidak patah [7]. 2.3.2 Uji titik leleh Pengujian dilakukan dengan mengambil lelehan lilin menggunakan pipet tetes. Pipet tetes yang berisi lelehan lilin disimpan dalam lemari es selama 16 jam dengan suhu 4oC-10oC. Siapkan panci berisi 500 ml air, diletakkan gelas kimia kosong kedalam panci. Dimasukan pipet tetes kedalam gelas kimia dan letakan termometer ke mulut pipet tetes dan dipanaskan. Saat lilin dalam pipet jatuh kedalam gelas kimia, angka yang terlihat pada termometer dicatat sebagai hasil titik leleh [8]. 2.3.3 Uji waktu bakar Pengujian waktu bakar lilin dilakukan dengan membakar sumbu lilin, kemudian dihidupkan stopwatch hingga sumbu lilin habis terbakar. Waktu bakar diperoleh dari selisih antara waktu awal pembakaran hingga sumbu habis terbakar (lilin padam) [9]. 3 Hasil dan Pembahasan 3.1 Uji Organoleptik Pengujian organoleptik bertujuan untuk mengetahui kesukaan terhadap produk lilin. Pengujian organoleptik merupakan pengujian dengan menggunakan indera sebagai alat untuk mengukur penampakan fisik dan penerimaan sediaan. Berdasarkan SNI keadaan fisik lilin yang baik yaitu warna yang sama atau merata, tidak retak, tidak cacat dan tidak patah [8]. Hasil yang didapatkan yaitu pada F1A, F2A, F1B, dan F2B memenuhi standar SNI yaitu bentuk lilin tidak patah dan tidak retak. Sedangkan pada formula F3A bentuk permukaan lilin seperti kristal dan warna tidak merata. F3B didapatkan bentuk lilin retak dan patah serta warna tidak merata. Pada penelitian zuddin [10] menunjukkan adanya pengaruh perbedaan nyata antara penampakan lilin berdasarkan komposisi bahan stearin dan parafin. Bahan dengan komposisi 30 stearin:10 parafin keadaan bentuk fisik lilin warna tidak merata dan pecah. Sedangkan bahan dengan komposisi 20 stearin:20 parafin didapatkan hasil penampakan lilin yang warna merata, tidak retak, dan tidak cacat dan paling banyak disukai. Penambahan komposisi bahan stearin lebih banyak akan menghasilkan bentuk lilin yang retak dan tidak disukai. F1A F2A F3A F1B F2B F3B Gambar 1. Hasil Pengujian Organoleptik Basis Lilin
14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 310 Tabel 2. Hasil Pengujian Organoleptik Formula Bentuk Warna F1A Padat, tidak retak Putih,merata F2A Padat, tidak retak Putih,merata F3A Padat, tidak retak Putih, tidak merata F1B Padat, tidak retak Kuning tua, merata F2B Padat, tidak retak Kuning, merata F3B Padat, retak Putih kekuningan, tidak merata 3.2 Uji Titik Leleh Tujuan menentukan titik leleh yaitu mengetahui temperatur suhu terhadap titik leleh sediaan lilin [9]. Hasil pengujian titik leleh pada keenam formula didapatkan titik leleh berkisar 48OC-54OC. Titik leleh ini memenuhi syarat evaluasi sifat fisik lilin menurut SNI yaitu 42OC-60OC. Titik leleh tertinggi didapatkan pada formula F3B yaitu 54OC. Titik leleh terendah yaitu Formula F1A 48OC. Hasil yang didapatkan serupa dengan penelitian zuddin [10] dikatakan bahwa lilin titik leleh sediaan berkisar antara 50OC-56OC, dengan komposisi bahan 30 stearin : 10 parafin memiliki titik leleh tertinggi. Lilin dengan Formula F2A, F3A, F1B, dan F3B memiliki titik leleh tinggi dibandingkan dengan F1A karena penambahan asam stearat mempengaruhi titik leleh basis lilin, semakin banyak jumlah asam stearat maka titik leleh lilin akan semakin tinggi [11]. Pada penelitian Sandri [12] hasil uji titik leleh lilin dengan basis lilin lebah tanpa adanya penambahan aroma kamboja berkisar antara 60OC-64 oC dengan titik leleh tertinggi pada suhu 64 oC. Dikatakan bahwa kandungan jumlah asam oleat dalam lilin lebah sedikit sehingga titik leleh pada lilin lebah lebih tinggi. Tabel 3. Hasil Uji Titik Leleh Formula Titik Leleh (°C) Parameter (°C) F1A 48 42-60 F2A 49 F3A 52 F1B 53 F2B 53 F3B 54 3.3 Uji Waktu Bakar Pengujian waktu bakar lilin yaitu selang waktu daya tahan lilin dibakar hingga habis. Dibakar lilin yang telah dicetak secara bersamasama dan hidupkan stopwatch untuk mengetahui selisih waktu lilin sebelum dibakar dan setelah habis terbakar [12]. Hasil penelitian waktu bakar, didapatkan basis lilin soy wax memiliki waktu bakar berkisar 373 menit-463 menit. Dan waktu bakar dengan basis lilin beeswax yaitu 443 menit-499 menit. penelitian zuddin [10], waktu bakar lilin dengan komposisi bahan 30 stearin:10 parafin mempunyai waktu bakar yg lama sedangkan waktu bakar paling cepat yaitu komposisi bahan 10 stearin:30 parafin. Hasil penelitian yang didapat sesuai dengan hasil penelitian zuddin, dimana komposisi bahan yang digunakan sama yaitu lilin dengan penambahan asam stearat memiliki waktu bakar yang lebih lama dibandingkan dengan sedikit penambahan asam stearat. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sandri [12] waktu bakar lilin lebah tanpa aromaterapi lebih lama dibandingkan dengan penambahan aromaterapi. Penelitian Danh [13] dikatakan bahwa lilin kedelai adalah lilin yang memiliki bentuk yang relatif lunak sehingga waktu lelehnya lebih cepat dibandingkan dengan waktu lilin lebah. Dimana lilin lebah mempunyai kekerasan yang tinggi. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi waktu bakar lilin diantaranya letak sumbu, komposisi lilin, dan wadah lilin. Apabila sumbu lilin berada ditengah maka lelehan lilin dari hasil pembakaran merata dan daya tahan baik [12]. Lilin dengan penambahan asam stearat akan menghasilkan lilin yang padat, keras dan berbentuk kristal sehingga pada saat pembakaran lilin tersebut tidak cepat meleleh. Pemanasan pada saat pembakaran lilin akan sulit menembus struktur lilin yang padat dan keras [14]. Tabel 4. Hasil Uji Waktu Bakar Formula Waktu (menit) F1A 373 F2A 395 F3A 463 F1B 443 F2B 440 F3B 499 4 Kesimpulan Dari hasil evaluasi sifat fisik basis lilin aromaterapi didapatkan formula terbaik dari
Penggunaan Soy wax dan Beeswax sebagai Basis Lilin Aromaterapi 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 311 hasil evaluasi sifat fisik yang memenuhi parameter SNI yaitu F1 dan F2 dengan menggunakan basis soy wax dan beeswax. 5 Kontribusi Penulis Theresia Fenny Oktarina : Melakukan pengumpulan data serta menyiapkan draft manuskrip. Angga Cipta Narsa dan Wisnu Cahyo Prabowo : Pengarah dan pembimbing pembuatan manuskrip. 6 Konflik Kepentingan Tidak ada potensi konflik kepentingan yang dilaporkan oleh penulis. 7 Daftar Pustaka [1] KBBI, 2021. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). [Online, diakses tanggal 7 desember 2021) [2] Herawaty, Nana., Sari Prabandari., Susiyanti. 2021. Formulasi dan Uji Sifat Fisik Lilin Aromaterapi Kombinasi Minyak Atsiri Daun Kemangi (Ocimum sanctum L) dan Sereh (Cymbopogon citratus). Jurnal Ilmiah Farmasi Vol. 1 No. 1 [3] Prabandari, Sari dan Riski Febriyanti. 2017. Formulasi dan Aktivitas Kombinasi Minyak Jeruk dan Minyak Sereh pada Sediaan Lilin Aromaterapi. Jurnal Para Pemikir Volume 6 Nomor 1. [4] Rusli, Nirwati., dkk. 2018. Formulasi Sediaan Lilin Aromaterapi Sebagai Anti Nyamuk Dari Minyak Atsiri Daun Nilam (Pogostemon cablin Benth) Kombinasi Minyak Atsiri Buah Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia Swingle). Jurnal Mandala Pharmacon Indonesia, Volume 4 Nomor 1. [5] Louisa, Michelle., Deddi Duto Hartanto., Merry Sylvia. 2020. Perancangan Komunikasi Visual Pengenalan Manfaat Aromaterapi Bagi Kesehatan Melalui Produk Aromaterapi. Jurnal DKV Adiwarna Vol. 1 No. 16 [6] Minah, Faisaliyah N., Tri Poepowato., Siswi Astuti., dkk. 2017. Pembuatan Lilin Aroma Terapi Berbasis Bahan Alami. Industri Inovatif Vol. 7 No. 1 [7] Sipahelut, Sophia G., dkk. 2018. Efektivitas Lilin Aromaterapi Minyak Atsiri Daging Buah Pala terhadap Kesukaan Konsumen. Jurnal Sains dan Teknologi Pangan (JSTP) Volume 3 Nomor 3. [8] Lestari, Ema., Fatimah., Khusnul Khotimah. 2020. Penggunaan Lilin Lebah dengan Penambahan Konsentrasi Minyak Atsiri Tanaman Serai (Cymbopogon citratus) sebagai Pengusir Lalat (Musca domestica). Agrium ISSN 0852-1077 Vol. 22 No. 3 [9] Djarot, Prasetyorini., dkk. 2019. Lilin Aromatik Minyak Atsiri Kulit Batang Kayu Manis (Cinnamomum Burmannii) Sebagai Repellent Lalat Rumah (Musca Domestica). Jurnal Ilmiah Ilmu Dasar dan Lingkungan Hidup Volume 19 Nomor 2. [10] Zuddin, Riva Rainiza., dkk. 2019. Pengaruh Kondisi Daun Dan Waktu Penyulingan Terhadap Rendemen Minyak Kayu Putih. Jurnal Dunia Farmasi Volume 3 Nomor 2. [11] Hilmarni., Suci Fauzana., dan Riki Ranova. 2021. Formulasi Sediaan Lilin Aromaterapi dari Ekstrak Kecombrang (Etlingera elatior), Sereh Wangi (Cymbopogon nardus L), dan Cengkeh (Syzygium Aromaticum). Journal Of Pharmacy and Science (JOBS) Vol. 4 No. 2 [12] Sandri, Dwi., Fatimah, Erfan al dhani., Lisda Erlinda. 2016. Optimasi Penambahan Minyak Atsiri Bunga Kamboja terhadap Lilin Aromaterapi dari Lilin Sarang Lebah. Jurnal Teknologi Agro-Industri Vol. 3 No.1 [13] Dahn, Pham Hoang., Tri Nhut Pham., Do Thi Kim Nga., et all. 2020. Preparation and Characterization of Naturally Scented Candles Using the Lemongrass (Cymbopogon citratus) Essential Oil. Material Science Forum Vol. 977 [14] Aisyah, Siti ., dkk. 2020. Optimasi Pembuatan Lilin Aromaterapi Berbasis Stearic Acid dengan Penambahan Minyak Atsiri Cengkeh (Syzygium Aromaticum). Jurnal Hexagro Volume 4 Nomor 1.
14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 332 Journal homepage: https://prosiding.farmasi.unmul.ac.id Uji Aktivitas Antikoagulan Ekstrak Daun Ciplukan (Physalis Angulata L) Secara Invitro Anticoagulant Activity Test of Ciplukan Leaf Extract (Physalis Angulata L) Invitro Uswatun Khasanah Duri Putri* , Hajrah, Adam M Ramadhan Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian “Farmaka Tropis”, Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman, Samarinda, Indonesia *Email korespondensi: duriputri.09@gmail.com Abstrak Daun ciplukan (Physalis angulata L) secara empiris digunakan sebagai obat hiperkoagulasi. Kandungan metabolit sekunder flavonoid berpotensi sebagai antikoagulan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil rendemen ekstrak dan fraksi daun ciplukan, kandungan golongan metabolit sekunder, dan aktivitasnya sebagai antikoagulan, Metode yang digunakan pada pengujian aktivitas antikoagulan yaitu Lee White dan apusan darah. Daun ciplukan diekstraksi dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 70%. Sampel uji ekstrak dan fraksi dibuat dalam 3 variasi konsentrasi 0,1%; 0,5%; dan 1%. Hasil rendemen ekstrak etanol 70%, fraksi n heksan, ftaksi etil asetat, dan fraksi aquades berturut turut adalah 14,284%; 12,9%; 10%; dan 19,5%;. Hasil uji skrining fitokimia ekstrak etanol 70 % mengandung senyawa metabolit sekunder flavonoid, alkaloid, tanin, fenol, saponin, steroid, triterpenoid. fraksi n−heksan mengandung alkaloid, steroid dan triterpenoid. Fraksi etil asetat mengandung flavonoid, fenol dan tanin. Sedangkan fraksi aquades mengandung flavonoid, fenol, tanin dan saponin. Berdasarkan hasil pengujian metode Lee White ekstrak dan fraksi daun ciplukan memiliki aktivitas antikoagulan dimana tidak terjadi pembekuan darah setelah pengamatan selama 2 jam. Pada metode apusan darah, sel darah berbentuk bulat dan tidak berkelompok. Konsentrasi sampel uji terbaik yaitu pada konsentrasi 1%. Aktivitas antikoagulan kontrol positif lebih baik dibandingkan dengan sampel uji ekstrak dan fraksi daun ciplukan. Kata Kunci: Antikoagulan, Physalis angulata L, Metabolit sekunder Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals Conferences
Uji Aktivitas Antikoagulan Ekstrak Daun Ciplukan (Physalis Angulata L) Secara Invitro 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 333 Abstract Ciplukan leaf (Physalis angulata L) is empirically used as a hypercoagulation drug. The content of flavonoid secondary metabolites has potential as an anticoagulant. This study aims to determine the yield of ciplukan leaf extract and fraction, the content of secondary metabolites, and its activity as an anticoagulant. The method used in testing anticoagulant activity is Lee White and blood smear. Ciplukan leaves was extracted by maceration method using 70% ethanol solvent. The test samples for the extract and fraction of ciplukan leaves were made in 3 variations of concentration, that is 0.1%; 0.5%; and 1%. The results of ciplukan leaf extract, n hexane fraction, ethyl acetate and distilled water fraction were 14.284%; 12.9%; 10%; and 19.5%. The results of the phytochemical screening test of 70% ethanol extract contain secondary metabolites of flavonoids, alkaloids, tannins, phenols, saponins, steroids, triterpenoids. n−hexane fraction contains alkaloids, steroids and triterpenoids. The ethyl acetate fraction contains flavonoids, phenols and tannins. While the distilled water fraction contains flavonoids, phenols, tannins and saponins. Based on the test results of the Lee White method, extracts and fractions of ciplukan leaves have anticoagulant activity where blood clots do not occur after 2 hours of observation. In the blood smear method, the blood cells are round and not clustered. The best test sample concentration is at a concentration of 1%. The anticoagulant activity of the positive control was better than that of the ciplukan leaf extract and fraction. Keywords: anticoagulant, Physalis angulata L, secondary metabolites DOI: https://doi.org/10.25026/mpc.v14i1.590 1 Pendahuluan Hiperkoagulasi adalah kondisi dimana darah mudah membeku, kondisi hiperkoagulasi tidak hanya merupakan faktor risiko kejadian trombosis vena serebralis namun juga sebagai faktor predisposisi kejadian iskemia serebral akibat sumbatan arteri serebralis pada pasien berusia muda. Hiperkoagulasi berhubungan sebanyak 47.6% pada penderita stroke iskemik [1]. Antikoagulan merupakan obat yang digunakan untuk mengatasi hiperkoagulasi dengan mekanisme menghambatan aktivasi protrombin menjadi trombin[2]. Obat obat sintetik antikoagulan memiliki efek samping berupa trombositopenia dan resiko pendarahan tinggi pada pasien lanjut usia serta dalam penggunaan jangka waktu lama dapat menyebabkan osteoporosis[3]. Masyarakat Indonesia telah menggunakan bahan alam sebagai pengobatan tradisional secara turun temurun. Penelitian terdahulu telah menguji beberapa tanaman yang dapat digunakan sebagai alternatif pengobatan tradisional hiperkoagulasi. Ciplukan (Physalis angulata L) secara empiris telah digunakan sebagai obat stroke, dimana salah satu penyebab stroke adalah hiperkoagulasi. Daun ciplukan kaya akan kandungan metabolit sekunder diantaranya flavonoid, alkaloid, tanin, terpenoid dan steroid[4]. Kandungan flavonoid pada daun ciplukan berpotensi sebagai antikoagulan yaitu dengan menghambat pembentukan faktor Xa, sehingga tidak terjadi pembekuan[5]. 2 Metode Penelitian 2.1 Alat Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu neraca analitik, toples kaca, batang pengaduk, gelas kimia, rotary evaporator, corong pisah, kaca arloji, spatel, pipet tetes, pipet ukur, propipet, tabung reaksi, mikropipet, vortex, spoit, tabung non EDTA, cover glass, objek glass, mikroskop kamera. 2.2 Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah daun ciplukan (Physalis angulata L) yang diperoleh dari desa Kedang Murung, kecamatan
Uji Aktivitas Antikoagulan Ekstrak Daun Ciplukan (Physalis Angulata L) Secara Invitro 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 334 Kota Bangun, kabupaten Kutai kartanegara, Kalimantan Timur. Bahan ini telah dideterminasi di Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Pelarut etanol 70%, etil asetat, n-heksan, uji skrining fitokimia NaOH 10 %, pereaksi mayer, pereaksi wagner, pereaksi dragendof, aquades, besi (III) klorida, asam asetat anhidrat, asam asetat pekat, dimethyl sulfoxide (DMSO), ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA), pewarna giemsa, alumunium foil, plastik wrap. 2.3 Ekstraksi Daun ciplukan (Physalis angulata L) dicuci dengan air mengalir kemudian dikering anginkan hingga kering atau berupa simplisia. Diekstraksi menggunakan metode maserasi, simplisia sebanyak 500 gram dimaserasi menggunkan pelarut etanol 70% dan dilalukukan pengadukan setiap hari. Penggantian pelarut dilakukan setiap 3 hari hingga pelarut tidak berubah warna, kemudian dikeringkan menggunakan rotary evaporator setelah itu didapatkan ekstrak kental dan dikering anginkan hingga ekstrak kering. 2.4 Skrining Fitokimia Senyawa Metabolit Sekunder Daun Ciplukan 2.4.1 Identifikasi Flavonoid Ekstrak dilarutkan dengan etanol kemudian dimasukkan kedalam tabung reaksi dan ditambahkan 2 – 4 NaOH 10%, apabila memberikan warna kuning maka reaksi positif. 2.4.2 Identifikasi Alkaloid Ekstrak dilarutkan dengan etanol kemudian di saring untuk mendapatkan filtrat, kemudian filtrat dibagi 3 masing masing filtrat 1 ml dan dimasukkan kedalam tabung reaksi lalu ditambahkan pereaksi. Pada pereaksi mayer reaksi positifnya terbentuk endapan putih atau kuning, pada pereaksi wagner reaksi positifnya terbentuk endapan coklat hingga hitam dan pada pereaksi dragendof reaksi positifnya terbentuk endapan jingga. Ekstrak positif mengandung alkaloid apabila terbentuk dua atau tiga endapan yang dimaksud. 2.4.3 Identifikasi Fenol Ekstrak dilarutkan dengan etanol kemudian ditambahkan pereaksi FeCl3 1 % dimana hasil reaksi positif apabila terjadi perubahan warna ungu kehitaman atau biru kehitaman. 2.4.4 Identifikasi Tanin Ekstrak dilarutkan dengan etanol kemudian ditambahkan pereaksi FeCl3 dimana hasil reaksi positif apabila terjadi perubahan warna ungu ungu kehitaman atau biru kehitaman. 2.4.5 Identifikasi Saponin Ekstrak ditambahkan 5 ml air suling panas dan dilarutkan sambil dipanaskan diatas penangas air lalu dikocok kuat−kuat bila terbentuk buih dan setelah 10 menit buih tidak hilang kemudian ditambahkan HCl 2N buih tetap tidak hilang maka reaksi positif saponin. 2.4.6 Identifikasi Steroid dan Triterpenoid Ekstrak dilarutkan dengan kloroform lalu ditambahkan 0,5 ml asam asetat anhidrat, kemudian ditambahkan 1−2 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung. Jika hasil yang diperoleh berupa cincin kecoklatan atau violet pada perbatasan dua pelarut maka reaksi positif triterpenoid, sedangkan jika terbentuk warna hijau kebiruan reaksi positif steroid 2.5 Fraksinasi Ekstrak sebanyak 20 gram dilarutkan dalam aquades 200 mL, dimasukkan kedalam corong pisah dan ditambahkan 400 mL nheksan digojok dan diamkan hingga terbentuk 2 fase. Fase atas dipisahkan dan di rotav dengan rotary evaporator, fase bawah ditambahkan etil asetat 400 mL digojok dan diamkan hingga terbentuk 2 fase. Dipisahkan fase bawah dan fase atas dan di rotav dengan rotary evaporator, dan didapatkan 3 fraksi yaitu fraksi n-heksan, fraksi etil asetat dan fraksi aquades. 2.6 Uji antikoagulan metode Lee White Kontrol negatif yang digunkan yaitu DMSO dengan penambahan DMSO 50µL pada sampel darah 0,5 mL dan kontrol positif yang digunakan yaitu EDTA dengan menambahkan 0,5 mL EDTA kedalam darah 0,5 mL. Larutan uji ekstrak etanol 70%, fraksi n-heksan, fraksi etil asetat dan fraksi aquades dibuat dalam 3 replikasi dengan variasi konsentrasi 0,1 %; 0,5% dan 1%. Larutan uji ditambahkan
Uji Aktivitas Antikoagulan Ekstrak Daun Ciplukan (Physalis Angulata L) Secara Invitro 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 335 sebanyak 50 µL kedalam sampel darah 0,5 mL. Semua perlakuan diamati selama 2 jam, darah membeku apabila viskositas darah meningkat menjadi lebih kental hingga membeku. 2.7 Uji antikoagulan metode apusan darah Diambil darah hasil uji antikoagulan metode Lee White kemudian ditotolkan diatas preparat dan diapus kemudian difiksasi dengan etanol setelah itu preparat direndam dalam pelarut giemsia lalu dibilas dengan air mengalir dan diamati dibawah mikroskop perbesaran 100 kali. 3 Hasil dan Pembahasan Hasil rendemen yang didapatkan dari ekstraksi menggunakan metode maserasi dengan pelarut etanol 70 % sebesar 14,284%, kemudian dilakukan fraksinasi dengan pelarut n-heksan, etil asetat dan aquades. Tujuan fraksinasi adalah memisahkan senyawa berdasarkan tingkat kepolarannya[6], hasil rendemen dari proses fraksinasi dengan pelarut n-heksan, etil asetat dan aquades berturut-turut adalah 12,9%; 10%; dan 19,5%. Data nilai rendemen didapatkan dari berat ekstrak daun ciplukan dibagi berat simplisia daun ciplukan dikali 100%, semakin tinggi nilai rendemen yang dihasilkan maka semakin banyak ekstrak yang dihasilka[7]. Nilai rendemen juga berkaitan dengan banyaknya kandungan senyawa metabolit sekunder yang terkandung pada daun ciplukan [8]. Dalam tabel 1 hasil skrining fitokimia pada ekstrak etanol 70% daun ciplukan mengandung golongan metabolit sekunder alkaloid, flavonoid, fenol, tanin, saponin, steroid dan triterpenoid. Etanol merupakan pelarut universal yang dapat menarik senyawa– senyawa yang larut dalam pelarut non polar hingga polar. Pada fraksi n−heksan mengandung golongan senyawa metabolit sekunder alkaloid, steroid dan triterpenoid. N−heksan merupakan pelarut non polar yang dapat menarik senyawa-senyawa yang bersifat non polar, alkaloid merupakan senyawa semi polar yang dapat tertarik pada senyawa polar maupun non polar sedangkan steroid dan triterpenoid bersifat non polar [9] . Etil asetat merupakan pelarut semi polar, fraksi etil asetat mengandung golongan metabolit sekunder flavonoid, fenol dan tanin. Sedangkan fraksi aquades yang merupakan pelarut polar mengandung golongan metabolit sekunder flavonoid, fenol, tanin dan saponin. Senyawa metabolit flavonoid dan alkaloid memiliki aktivitas antikoagulan, mekanisme flavonoid pada aktivitas antikoagulan yaitu dengan menghambat pembentukan faktor Xa dalam proses koagulasi sehingga tidak terjadi pembekuan darah[5]. Sedangkan pada alkaloid yaitu menghambat jalur koagulasi melalui penghambatan produksi faktor Xa, trombin dan menghambat TNF−α yang diinduksi oleh PAI−1 [10]. Tabel 1. Skrining fitokimia golongan metabolit sekunder daun ciplukan (Physalis angulata L) Uji Fitokimia Pereaksi Hasil Pengamatan Keterangan reaksi Ekstrak Etanol 70% Fraksi n-heksana Fraksi etil asetat Fraksi aquades Alkaloid Mayer +++ +++ − − Endapan putih Wagner +++ +++ − − Endapan coklat muda Dragendorff +++ +++ − − Endapan coklat muda Flavonoid NaOH 10 % ++ − + ++ Larutan kuning Fenol FeCl3 +++ − ++ ++ Larutan hijau kehitaman Tanin FeCl3 +++ − ++ ++ Larutan hijau kehitaman Saponin HCl 2N + − − + Terbentuk buih Steroid Asam asetat anhidrida + Asam sulfat pekat +++ ++ − − Larutan hijau Triterpenoid Asam asetat anhidrida + Asam sulfat pekat +++ ++ − − Cincin kecoklatan Keterangan : (+) Cukup Jelas, (++) Jelas, (+++) Sangat Jelas, (−) Tidak Terdeteksi
Uji Aktivitas Antikoagulan Ekstrak Daun Ciplukan (Physalis Angulata L) Secara Invitro 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 336 Tabel 2. Hasil uji aktivitas antikoagulan metode Lee White Perlakuan Konsentrasi Waktu Pengamatan Replikasi 1 Replikasi 2 Replikasi 3 Konrol negatif (DMSO) 310 detik 371 detik 360 detik Kontrol positif (EDTA) ∞ ∞ ∞ Ektrak etanol 70% 0,1% ∞ ∞ ∞ 0, 5 ∞ ∞ ∞ 1% ∞ ∞ ∞ Fraksi n-heksana 0,1% ∞ ∞ ∞ 0, 5 ∞ ∞ ∞ 1% ∞ ∞ ∞ Fraksi etil asetat 0,1% ∞ ∞ ∞ 0, 5 ∞ ∞ ∞ 1% ∞ ∞ ∞ Fraksi aquades 0,1% ∞ ∞ ∞ 0, 5 ∞ ∞ ∞ 1% ∞ ∞ ∞ Keterangan : ∞ = Darah tidak membeku Berdasarkan tabel 2 hasil uji aktivitas antikoagulan kontrol negatif yang diberi DMSO mengalami pembekuan pada detik ke-310 replikasi 1 , 371 detik replikasi 2, dan 360 detik replikasi 3. Pembekuan darah normal terjadi pada kisaran 3−18 menit [11]. Pada pengujian kontrol positif tidak mengalami pembekuan darah dimana kontrol positif menggunakan EDTA, EDTA berfungsi sebagai antikoagulan yang mengikat ion kalsium sehingga tidak tejadi proses pembekuan dalam darah [12]. Dalam pengujian sampel dengan ektrak, fraksi nheksan, etil asetat dan aquades setelah diamati selama 2 jam, tidak terjadi pembekuan darah. Diperlukan waktu selama 2 jam sampai terjadinya efek yang diinginkan, pengamatan selama 2 jam merupakan ketetapan waktu dimana semua faktor pembekuan darah tidak terbentuk sehingga tidak tejadi koagulasi [12]. (a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar 1. Hasil pengamatan uji aktivitas antikoagulan metode Lee White Keterangan : a : kontrol positif ; b : kontrol negatif ; c : ektrak daun ciplukan ; d : fraksi n−heksan ; e : fraksi etil asetat ; f : fraksi aquades. Diamati dengan mikroskop pada perbesaran 100 kali Hasil pengamatan dibawah mikroskop perbesaran 100× didapatkan pada kontrol negatif sel darah tidak berbentuk bulat dan berkelompok karena darah telah mengalami pembekuan atau koagulasi. Sedangkan pada kontrol postif, ekstrak, n-heksan, etil asetat dan aquades sel darah berentuk bulat dan sel darah tidak berkelompok. Sel darah yang tidak membeku umumnya berebentuk bulat seperti mata uang logam[12].
Uji Aktivitas Antikoagulan Ekstrak Daun Ciplukan (Physalis Angulata L) Secara Invitro 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 337 Tabel 3 Hasil uji aktivitas antikoagulan metode Lee White Konsentrasi terbaik Sampel uji Konsentrasi Waktu Pengamatan (Hari ke−) 1 2 3 4 5 6 Ektsrak etanol 70 % 0,1% − − − 92 j ● ● 0,5% − − − − 106 j ● 1% − − − − − 131 j Fraksi n−heksan 0,1% − − 67 j ● ● ● 0,5% − − − 92 j ● ● 1% − − − − 106 j ● Fraksi etil asetat 0,1% − − 58 j ● ● ● 0,5% − − − 86 j ● ● 1% − − − − 99 j ● Fraksi aquades 0,1% − − − 86 j ● ● 0,5% − − − − 99 j ● 1% − − − − − 122 j Keterangan : (−) Belum membeku, (● ) Telah membeku Tabel 4 Hasil uji aktivitas antikoagulan terbaik dibandingkan dengan EDTA Sampel Uji Waktu Pengamatan (Hari ke−) 1 2 3 4 5 6 Kontrol positif (EDTA) - − − − − ∞ Ekstrak etanol konsentrasi 1% − − − − − 131 j Fraksi aquades konsentrasi 1% − − − − − 122 j Keterangan : (−) Belum membeku, (∞) Darah tidak membeku Hasil pengujian antikoagulan, konsentrasi 1% merupakan konsentrasi terbaik karena sampel uji mengelami pembekuan paling lama yaitu 6 hari. Hal ini menunjukkan semakin tinggi konsentrasi larutan uji maka semakin lama waktu pembekuan darah atau memiliki aktivitas antikoagulan yang lama. Golongan metabolit sekunder yang terkandung pada setiap fraksi dan ekstrak mempengaruhi lama waktu pembekuan darah. Sampel uji ekstrak etanol 70 % konsentrasi 1 % mengalami pembekuan darah pada waktu ke 131 jam, waktu tersebut lebih lama dibandingkan sampel uji lain dikarenakan berdasarkan pengamatan pengujian metabolit sekunder ekstrak etanol 70 % memiliki kandungan metabolit sekunder flavonoid, alkaloid, fenol, tanin, saponin, steroid, dan triterpenoid. Hal ini yang mempengaruhi ekstrak daun ciplukan memiliki waktu koagulasi sampel uji paling lama dibandingkan sampel uji yang lain. Senyawa yang telah terbukti memiliki aktivitas antikoagulan yaitu flavonoid dan alkaloid, ekstrak daun ciplukan memiliki dua golongan senyawa tersebut. Fraksi aquades konsentrasi 1 % membeku pada waktu ke 122 jam dimana fraksi aquades memiliki kandungan golongan metabolit sekunder flavonoid, fenol, tanin dan saponin dimana lebih lama membeku dibandingkan fraksi n−heksan dan fraksi etil asetat. Hal ini dipengaruhi oleh golongan senyawa metabolit sekunder yang terkandung pada fraksi. Hasil pengujian antikoagulan terbaik yaitu pada sampel ekstrak etanol 70 % konsentrasi 1 % dan fraksi aquades konsentrasi 1 % yaitu pada waktu 131 jam dan 122 jam. Hasil ini dipengaruhi oleh kandungan golongan metabolit sekunder yang terkandung pada sampel uji tersebut. Perlu dilakukan uji toksisitas untuk mengetahui waktu pembekuan darah dan konsentrasi yang aman serta efektif sebagai aktivitas antikoagulan. Kontrol positif tidak mengalami pembekuan viskositas darah tetap normal tetapi terjadi perubahan warna pada darah yang diakibatkan dari oksidasi, kontrol positif yang digunakan pada pengujian ini yaitu EDTA, EDTA berfungsi sebagai antikoagulan yang mengikat ion Ca2+ sehingga proses pembekuan darah tidak terjadi. Ca2+ diperlukan pada proses aktivasi fibrin lunak menjadi fibrin dengan gumpalan keras pada proses koagulasi [11]. 4 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan persentase rendemen ekstrak daun ciplukan, fraksi n heksan, ftaksi etil asetat, dan fraksi aquades berturut turut adalah 14,284%; 12,9%; 10%; dan 19,5%. Sedangkan
Uji Aktivitas Antikoagulan Ekstrak Daun Ciplukan (Physalis Angulata L) Secara Invitro 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 338 hasil skrining fitokimia pada daun ciplukan mengandung golongan metabolit sekunder alkaloid, flavonoid, fenol, tanin, saponin, steroid dan triterpenoid. Hasil pengujian metode Lee White ekstrak dan fraksi daun ciplukan memiliki aktivitas antikoagulan dan pada metode apusan darah sel darah berbentuk bulat dan tidak berkelompok 5 Kontribusi Penulis Uswatun Khasanah Duri Putri sebagai penulis satu yang berkontribusi dalam melaksanakan penelitian, menganalisis data dan membahas hasil penelitian serta menyusun naskah artikel. Hajrah sebagai pengarah, pembimbing, serta penyelaras akhir naskah artikel. Adam M Ramadhan sebagai pengarah, pembimbing, serta penyelaras akhir naskah artikel 6 Konflik Kepentingan Tidak terdapat konflik kepentingan dalam penelitian, penyusunan artikel, maupun publikasi artikel ilmiah ini. 7 Daftar Pustaka [1] Abdi Z, Dhanu R, Handayani S, et al. Perbandingan Status Koagulasi Penderita Stroke Iskemik Dengan Non Stroke. Maj Kedokt Nusant J Med Sch. 2012;45(2):96-99. [2] Gross PL, Weitz JI. New antithrombotic drugs. Clin Pharmacol Ther. 2009;86(2):139-146. doi:10.1038/clpt.2009.98 [3] Krisnayanti MW. Penggunaan Antikoagulan Oral Baru Pada Fibrilasi Atrium. J Farm Udayana. 2019;8(1):1. doi:10.24843/jfu.2019.v08.i01.p01 [4] ROHYANI IS. Kandungan fitokimia beberapa jenis tumbuhan lokal yang sering dimanfaatkan sebagai bahan baku obat. Pros Semin Nas Masy Biodiversitas Indones. 2015;1:388-391. doi:10.13057/psnmbi/m010237 [5] Choi JH, Kim KJ, Kim S. Comparative Effect of Quercetin and Quercetin-3-O-β-d-Glucoside on Fibrin Polymers, Blood Clots, and in Rodent Models. J Biochem Mol Toxicol. 2016;30(11):548-558. doi:10.1002/jbt.21822 [6] Pratiwi L, Fudholi A, Martien R, Pramono S. Ethanol Extract, Ethyl Acetate Extract, Ethyl Acetate Fraction, and n-Heksan Fraction Mangosteen Peels (Garcinia mangostana L.) As Source of Bioactive Substance Free-Radical Scavengers. JPSCR J Pharm Sci Clin Res. 2016;1(2):71. doi:10.20961/jpscr.v1i2.1936 [7] Selawa W, Revolta M, Runtuwene J, et al. KANDUNGAN FLAVONOID DAN KAPASITAS ANTIOKSIDAN TOTAL EKSTRAK ETANOL DAUN BINAHONG [Anredera cordifolia(Ten.)Steenis.]. Pharmacon. 2013;2(1):18-23. doi:10.35799/pha.2.2013.1018 [8] Dewatisari WF, Rumiyanti L, Rakhmawati I. Rendemen dan Skrining Fitokimia pada Ekstrak Daun Sanseviera sp. J Penelit Pertan Terap. 2018;17(3):197. doi:10.25181/jppt.v17i3.336 [9] Padmasari PD, Astuti KW, Warditiani NK. Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol 70% Rimpang Bangle (Zingiber purpureum Roxb.). Journal. 2013;366:1-7. [10] Ku SK, Lee IC, Kim JA, Bae JS. Antithrombotic activities of pellitorine in vitro and in vivo. Fitoterapia. 2013;91:1-8. doi:10.1016/j.fitote.2013.08.004 [11] Armiyanti L, Paransa DS, Gerung GS. Uji Aktivitas Antikoagulan Pada Sel Darah Manusia dari Ekstrak Alga Coklat Turbinaria ornata. J Pesisir Dan Laut Trop. 2013;1(2):21. doi:10.35800/jplt.1.2.2013.2094 [12] Tangkery RAB, Paransa DS, Rumengan A. UJI AKTIVITAS ANTIKOAGULAN EKSTRAK MANGROVE Aegiceras corniculatum. J Pesisir Dan Laut Trop. 2013;1(1):7. doi:10.35800/jplt.1.1.2013.1278
14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 312 Journal homepage: https://prosiding.farmasi.unmul.ac.id Formulasi Lilin Aromaterapi Berbahan Aktif Minyak Atsiri Sereh Wangi (Cymbopogon winterianus) dan Jeruk Lemon (Citrus limon) Aromatherapy Candle Formulation with Active Ingredients of Citronella (Cymbopogon winterianus) and Lemon (Citrus limon) Essential Oils Vika Aura Rislianti*, Fika Aryati, Laode Rijai Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian “Farmaka Tropis”, Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman, Samarinda, Indonesia *Email korespondensi: vikaurar@gmail.com Abstrak Aromaterapi adalah terapi yang menggunakan senyawa aroma untuk mengobati, mengurangi, atau mencegah suatu penyakit, infeksi, dan kegelisahan dengan cara menghirupnya. Sereh wangi (Cymbopogon winterianus) dan Jeruk lemon (Citrus limon) memiliki minyak atsiri yang berfungsi sebagai aromaterapi. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan sediaan lilin aromaterapi dari minyak atsiri Sereh wangi dan jeruk lemon. Penelitian dilakukan secara eksperimental dengan membuat sediaan lilin aromaterapi dari formulasi stearic acid dan paraffin wax dengan perbandingan 30%:70% (F1), 40%:60% (F2), 50%:50% (F3), 60%:40% (F4), 70%:30% (F5) dan penambahan kombinasi minyak atsiri Sereh wangi dan minyak atsiri jeruk lemon dengan perbandingan 1%:5% (A1), 2%:4% (A2), 3%:3% (A3), 4%:2% (A4), 5%:1% (A5), dilakukan pengujian stabilitas fisik berupa waktu bakar dan titik leleh serta penentuan kesukaan panelis berupa kesukaan terhadap visual, aroma lilin sebelum dibakar, aroma lilin setelah dibakar, deteksi aroma lilin pertama kali, dan efek terapi yang dirasakan. Basis lilin terbaik yaitu 60%:40% (F4) dan formulasi lilin aromaterapi terbaik kombinasi minyak atsiri Sereh wangi dan minyak atsiri jeruk lemon 4%:2% (A4) dan 5%:1% (A5) untuk menghasilkan efek terapi nyaman dan segar. Kata Kunci: Aromaterapi, Sereh Wangi, Jeruk Lemon, Lilin Abstract Aromatherapy is therapy that uses aromatic compounds to treat, cut or prevent disease, infection, and anxiety by inhaling them. Citronella (Cymbopogon winterianus) and lemon (Citrus limon) have essential oils that work as aromatherapy. The aim of the study was to get aromatherapy candle Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals Conferences
Formulasi Lilin Aromaterapi Berbahan Aktif Minyak Atsiri Sereh Wangi (Cymbopogon winterianus) dan Jeruk Lemon (Citrus limon) 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 313 preparations from essential oils of citronella and lemon. The research was carried out experimentally by making aromatherapy wax preparations from the formulation of stearic acid and paraffin wax with a ratio of 30%: 70% (F1), 40%: 60% (F2) , 50%: 50% (F3), 60%: 40% (F4), 70%: 30% (F5) and adding a combination of citronella essential oil and lemon essential oil in a ratio of 1%: 5% (A1), 2%: 4% (A2), 3%: 3% (A3), 4%: 2% (A4), 5%: 1% (A5), tests of physical stability were performed as burn time and melting point and determination of panellist’s preferences in the form of visual preference, candle aroma before combustion, candle aroma after combustion, detection of candle odor for the first time and perceived therapeutic effect. The best wax base is 60%: 40% (F4) and the best aromatherapy wax formulation is a combination of citronella essential oil and lemon essential oil 4%: 2% (A4) and 5% : 1% (A5) to produce a comfortable and pleasant therapeutic effect. Keywords: Aromatherapy, Citronella, Lemon, Candle DOI: https://doi.org/10.25026/mpc.v14i1.591 1 Pendahuluan Lilin aromaterapi adalah alternatif aplikasi aromaterapi secara inhalasi (penghirupan), yaitu penghirupan uap aroma yang dihasilkan dari beberapa tetes minyak atsiri dalam wadah berisi air panas. Lilin aromaterapi akan menghasilkan aroma yang memberikan efek terapi bila dibakar. Saat ini lilin aromaterapi banyak diformulasikan dengan mempunyai fungsi ganda, yaitu selain sebagai aromaterapi juga berfungsi sebagai anti nyamuk. Lilin aromaterapi merupakan terapi yang di hasilkan oleh uap dari minyak atsiri yang di kemas menjadi produk lilin.[1] Aromaterapi adalah metode yang menggunakan minyak atsiri untuk meningkatkan kesehatan fisik dan emosi. Aromaterapi yaitu terapi menggunakan senyawa aroma atau volatile untuk mengobati, mengurangi, atau mencegah suatu penyakit, infeksi, dan kegelisahan dengan cara menghirupnya. Minyak atsiri adalah minyak alami yang di ambil dari tanaman immunostimulan. Seorang ahli pengobatan terkenal di India bernama Ayurveda, juga telah mencoba dengan menggunakan berbagai macam minyak esensial dalam praktek pengobatannya. Hal ini diakui oleh Hippokrates, tokoh kedokteran dari Yunani yang menyatakan bahwa mandi dan melakukan pemijatan dengan menggunakan bahan-bahan wewangian (minyak esensial) bisa menjadikan tubuh selalu segar dan tetap sehat. Pendapat senada juga dikemukakan pula oleh Theophrastus, bahwa kandungan zat aromatis yang terdapat dalam tanaman ternyata memeiliki respons yang baik terhadap kondisi pikiran, perasaan dan kesehatan tubuh. Berbagai efek minyak atsiri yaitu sebagai immunostimulan, antimikroba, antivirus, dan anti jamur, zat immunostimulan, antiradang, antitoksin, zat balancing, immunostimulan, pembunuh dan pengusir serangga, mukolitik dan ekspektoran. Upaya mengurangi penggunaan bahan kimia sintetik pada antinyamuk, sangatlah bijak bila mengoptimalkan penggunaan tumbuhan yang mempunyai kemampuan insektisida alami terutama bagi nyamuk.[2] Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam hayati sehingga dijuluki negara agraris. Namun, sampai saat ini masih belum bisa memanfaatkan sumberdaya hayatinya secara optimal, salah satunya tanaman penghasil minyak atsiri. Indonesia menghasilkan 40–50 jenis tanaman penghasil minyak atsiri dari 80 jenis minyak atsiri yang diperdagangkan di dunia dan baru sebagian dari jenis minyak atsiri tersebut yang memasuki pasar dunia, diantaranya nilam, sereh wangi, gaharu, cengkeh, melati, kenanga, kayu putih, cendana, dan akar wangi. Tanaman jeruk dan Sereh merupakan salah satu jenis tanaman yang banyak dibudidayakan di Indonesia yang dapat di manfaatkan sebagai sediaan yang berguna untuk terapi ataupun obat-obatan. Hal itu
Formulasi Lilin Aromaterapi Berbahan Aktif Minyak Atsiri Sereh Wangi (Cymbopogon winterianus) dan Jeruk Lemon (Citrus limon) 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 314 karena Indonesia terkenal kaya akan keanekaragaman hayati, termasuk jenis tumbuhan yang mengandung bahan aktif insektisida.[3] Salah satu tanaman yang diketahui mempunyai daya penolak nyamuk adalah Sereh Wangi (Cymbopogon winterianus L). Tanaman obat yang dipilih adalah daun Sereh wangi karena selain memiliki aroma yang tidak disukai oleh nyamuk, tanaman ini sangat mudah didapatkan, dikembangkan, dan diolah menjadi sebuah produk obat semprot pengusir nyamuk. Sebenarnya tanpa diolah pun tanaman ini sudah dapat digunakan untuk mengusir nyamuk, namun harapannya setelah pengolahan daun Sereh ini, dapat dengan mudah digunakan. Minyak atsiri Sereh wangi (Cymbopogon winterianus) mempunyai kandungan zat aktif citronelal dan geraniol yang dapat digunakan sebagai penolak nyamuk.[4] Tanaman yang juga dapat digunakan sebagai penolak nyamuk adalah Buah Jeruk Lemon (Citrus limon). Jeruk lemon mengandung sitrat, geranil asetat, felandren dan limonen yang berfungsi sebagai anti nyamuk. Senyawa limonen merupakan zat yang berbau khas dan berasa pahit sehingga ampuh untuk menolak nyamuk. Beberapa variasi dari penggunaan obat nyamuk mulai dari antinyamuk oles atau lotion antinyamuk, antinyamuk semprot kaleng, antinyamuk cair (dimasukkan ke dalam alat semprot), antinyamuk elektrik, dan antinyamuk bakar yang paling sedikit dipakai.[5] 2 Metode Penelitian 2.1 Alat dan Bahan Alat penelitian yang digunakan yaitu timbangan analitik, spatel logam, gelas kimia, batang pengaduk, pipet ukur, sendok tanduk, cawan porselin, hot plate, kaca arloji, thermometer, sumbu lilin, gelas lilin, penjepit tabung, pipet tetes, dan pemantik api. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu minyak atsiri sereh wangi, minyak atsiri jeruk lemon, Stearic Acid, dan paraffin wax. 2.2 Pembuatan Optimasi Basis Lilin Aromaterapi Penelitian dilakukan secara eksperimental dengan membuat sediaan lilin aromaterapi dari formulasi stearic acid dan paraffin wax dengan perbandingan 30%:70% (F1), 40%:60% (F2), 50%:50% (F3), 60%:40% (F4), 70%:30% (F5). Ditimbang paraffin wax dan stearic acid sebanyak yang dibutuhkan. Dimasukkan Paraffin wax dan stearic acid kedalam cawan porselin sesuai dengan konsentrasi yang sudah ditentukan, kemudian dilelehkan sempurna di atas hot plate pada kisaran suhu 65-84⁰C. Kemudian dimasukkan ke dalam cetakan yang sudah dipasangkan sumbu lilin pada bagian tengahnya dan ditunggu hingga lilin memadat menjadi lilin. 2.3 Pembuatan Formula Lilin Aromaterapi Minyak Atsiri Sereh Wangi dan Jeruk Lemon Penelitian dilakukan secara eksperimental dengan membuat sediaan lilin aromaterapi dari formulasi stearic acid dan paraffin wax dengan perbandingan 60%:40% (F4) dan penambahan kombinasi minyak atsiri Sereh wangi dan minyak atsiri jeruk lemon dengan perbandingan 1%:5% (A1), 2%:4% (A2), 3%:3% (A3), 4%:2% (A4), 5%:1% (A5). Ditimbang paraffin wax dan stearic acid sebanyak yang dibutuhkan. Dimasukkan Paraffin wax dan stearic acid kedalam cawan porselin sesuai dengan konsentrasi yang sudah ditentukan, kemudian dilelehkan sempurna di atas hot plate pada kisaran suhu 65-84⁰C. Setelah itu diaduk dan dihomogenkan menggunakan batang pengaduk, ditunggu hingga suhunya turun pada kisaran 55⁰C yaitu pada suhu dimana Stearic Acid mulai memadat kembali, kemudian diteteskan kombinasi minyak sereh wangi dan minyak jeruk lemon sesuai dengan konsentrasi yang telah ditetapkan, diaduk dan dihomogenkan dengan menggunakan batang pengaduk. Kemudian dimasukkan ke dalam cetakan yang sudah dipasangkan sumbu lilin pada bagian tengahnya dan ditunggu hingga lilin memadat menjadi lilin. 2.4 Evaluasi pada Sediaan Lilin Aromaterapi Minyak Atsiri Sereh Wangi dan Jeruk Lemon 2.4.1 Uji Organoleptis Pengujian ini dilakukan dengan cara pengamatan secara visual terhadap lilin secara subjektif oleh masing masing panelis, jumlah
Formulasi Lilin Aromaterapi Berbahan Aktif Minyak Atsiri Sereh Wangi (Cymbopogon winterianus) dan Jeruk Lemon (Citrus limon) 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 315 panelis yang digunakan pada uji ini sebanyak 10 orang. Hasil penilaian panelis dimuat dalam skala yang sudah ditentukan. 2.4.2 Uji Titik Leleh Pengujian titik leleh menggunakan metode pipet tetes. Lelehan lilin dihisap kedalam pipet tetes, kemudian disimpan dalam lemari es pada suhu 4 sampai 10⁰C selama 16 jam. Pipet tetes diikatkan pada termometer dan dimasukkan ke dalam gelas beker 600 ml yang berisi air setengah bagian. Gelas beker dipanaskan. Pada saat lilin dalam pipa kapiler bergerak pertama kali, angka yang terlihat pada termometer dicatat sebagai titik leleh lilin. Titik leleh lilin berdasarkan SNI 06-0386- 1989 tentang lilin berkisar antara 50 - 58°C.[6] 2.4.3 Uji Waktu Bakar Pengujian ini dilakukan dengan cara membakar sumbu lilin sehingga terbentuk nyala api pada lilin. Waktu bakar diperoleh dari selisih antara waktu awal pembakaran dan waktu saat sumbu lilin habis terbakar (padam). 2.4.4 Uji Hedonik Pengujian ini dilakukan dengan memberikan kuisioner kepada 10 panelis. Kuisioner yang diberikan kepada panelis memuat pertanyaan tentang sediaan lilin aromaterapi. Hasil pengujian aktivitas antinyamuk panelis terhadap sediaan lilin secara keseluruhan dimuat dalam skala yang sudah ditentukan. 3 Hasil dan Pembahasan 3.1 Optimasi Basis Lilin Aromaterapi Berdasarkan tabel 3.1 telah didapatkan hasil basis terbaik yang merupakan F4 dimana terdapat 40% paraffin wax dan 60% stearic acid. Dalam pengamatan organoleptis semua formulasi memiliki warna yang sama yaitu putih merata dan tidak ditemukannya adanya keretakan pada sediaan basis lilin aromaterapi. Terdapat adanya sedikit cekungan pada F1, F2, F3, dan F4 serta cekungan yang lebih dalam pada F5. Selanjutnya, setelah dilakukan uji titik leleh didapatkan juga hasil yang sesusai standar yang ada yaitu SNI 0386-1989-A/SII 0348-1980 tentang titik leleh lilin berkisar antara 50 sampai 58°C[6] yang mana semua formulasi lilin masuk ke dalam rentang tersebut. Dalam pembuatan lilin penggunaan staric acid yang banyak dapat meningkatkan jumlah asam oleat. Semakin banyak jumlah asam oleat maka lilin yang terbentuk akan memiliki titik leleh yang rendah. Penambahan stearic acid kedalam paraffin wax akan menurunkan titik leleh lilin. Dilanjutkan dalam pengujian waktu bakar dilakukan dengan menghitung waktu lamanya lilin menyala saat dibakar, dan didapatkan hasil bahwa semakin banyak stearic acid makan akan semakin lama lilin menyala. Hal tersebut juga dapat dipengaruhi dengan kualitas sumbu lilin yang letaknya lurus atau tidak lurus. Tetapi dalam pengamatan tersebut sesuai denga teori yang mana stearic acid digunakan untuk meningkatkan daya tahan dan konsistensi nyala lilin. [7] Tabel 1 Optimasi Basis Lilin Aromaterapi No Formulasi Organoleptis Titik Leleh Waktu Bakar 1. F1 Putih merata, tidak retak, dan cekungan sedikit 57 °C 3 Jam 31 Menit 2. F2 Putih merata, tidak retak, dan cekungan sedikit 57 °C 3 Jam 34 Menit 3. F3 Putih merata, tidak retak, dan cekungan sedikit 54 °C 4 Jam 15 Menit 4. F4 Putih merata, tidak retak, dan cekungan sedikit 54 °C 4 Jam 12 menit 5. F5 Putih merata, tidak retak, dan cekungan dalam 52 °C 4 Jam 1 menit Keterangan; F1: Stearic Acid 30%; Paraffin Wax 70% F2: Stearic Acid 40%; Paraffin Wax 60% F3: Stearic Acid 50%; Paraffin Wax 50% F4: Stearic Acid 60%; Paraffin Wax 40% F5: Stearic Acid 70%; Paraffin Wax 30% 3.2 Fomulasi Lilin Aromaterapi Minyak Atsiri Sereh Wangi dan Jeruk Lemon Berdasarkan tabel 3.2 yang menggunakan F4 sebagai konsentrasi pada formulasi menggunakan minyak atsiri karena menghasilkan evaluasi yang baik. Dalam pengamatan organoleptis semua formulasi memiliki warna yang sama yaitu putih merata, tidak ditemukannya adanya keretakan, dan adanya sedikit cekungan pada sediaan lilin aromaterapi dengan kombinasi minyak atsiri. Selanjutnya, setelah dilakukan uji titik leleh didapatkan juga hasil yang sesusai standar yang ada yaitu SNI 0386-1989-A/SII 0348-1980 tentang titik leleh lilin berkisar antara 50
Formulasi Lilin Aromaterapi Berbahan Aktif Minyak Atsiri Sereh Wangi (Cymbopogon winterianus) dan Jeruk Lemon (Citrus limon) 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 316 sampai 58°C yang mana semua formulasi lilin masuk ke dalam rentang tersebut. Dalam pembuatan lilin penggunaan staeric acid yang banyak dapat meningkatkan jumlah asam oleat. Semakin banyak jumlah asam oleat maka lilin yang terbentuk akan memiliki titik leleh yang rendah. Penambahan stearic acid kedalam paraffin wax akan menurunkan titik leleh lilin. Dilanjutkan dalam pengujian waktu bakar dilakukan dengan menghitung waktu lamanya lilin menyala saat dibakar, dan didapatkan hasil bahwa semakin banyak stearic acid makan akan semakin lama lilin menyala. Hal tersebut juga dapat dipengaruhi dengan kualitas sumbu lilin yang letaknya lurus atau tidak lurus. Tetapi dalam pengamatan tersebut sesuai denga teori yang mana stearic acid digunakan untuk meningkatkan daya tahan dan konsistensi nyala lilin.[7] Tabel 2 Formulasi Lilin Aromaterapi Kombinasi Minyak Atsiri Sereh Wangi dan Jeruk Lemon No Formulasi Organoleptis Titik Leleh Waktu Bakar 1. A1 Putih merata, tidak retak, dan cekungan sedikit 53 °C 4 Jam 42 Menit 2. A2 Putih merata, tidak retak, dan cekungan sedikit 53 °C 5 Jam 49 Menit 3. A3 Putih merata, tidak retak, dan cekungan sedikit 54 °C 5 Jam 20 Menit 4. A4 Putih merata, tidak retak, dan cekungan sedikit 52 °C 5 Jam 5 menit 5. A5 Putih merata, tidak retak, dan cekungan sedikit 51 °C 5 Jam 20 menit Keterangan; 1. A1: Stearic Acid 54%; Paraffin Wax 40%; Minyak Atsiri Sereh Wangi 1%; Minyak Atsiri Jeruk Lemon 5% 2. A2: Stearic Acid 54%; Paraffin Wax 40%; Minyak Atsiri Sereh Wangi 2%; Minyak Atsiri Jeruk Lemon 4% 3. A3: Stearic Acid 54%; Paraffin Wax 40%; Minyak Atsiri Sereh Wangi 3%; Minyak Atsiri Jeruk Lemon 3% 4. A4: Stearic Acid 54%; Paraffin Wax 40%; Minyak Atsiri Sereh Wangi 4%; Minyak Atsiri Jeruk Lemon 2% 5. A5: Stearic Acid 54%; Paraffin Wax 40%; Minyak Atsiri Sereh Wangi 5%; Minyak Atsiri Jeruk Lemon 1% 3.3 Evaluasi Sediaan Lilin Aromaterapi Minyak Atsiri Sereh Wangi dan Jeruk Lemon 3.3.1 Uji Penampakan Lilin Secara Keseluruhan Pengujian ini dilakukan dengan aspek yang diuji berupa keadaan fisik lilin adalah warna sama merata, tidak retak, tidak cacat dan tidak patah menurut SNI 0386-1989-A/II 0348-1980. Persentase kesukaan lilin secara keseluruhan dapat Dilihat pada Gambar 3.1 Gambar 1 Hasil Uji Penampakan Lilin Secara Keseluruhan Hasil pengamatan kesukaan panelis terhadap penampakan lilin secara keseluruhan dimuat dalam skala 1-5. Konsentrasi lilin memiliki nilai kesukaan yaitu pada skala 2 (Kurang Suka) dengan persentase kesukaan 10% pada A2, A4, dan A5. Pada skala 3 (Biasa saja) dengan persentase kesukaan 30% yaitu A2; 40% yaitu A1 dan A3; dan 50% yaitu A4 dan A5. Pada skala 4 (Suka) dengan persentase 40% yaitu A4 dan A5; 50% yaitu A2 dan A3; 60% yaitu A1. Pada skala 5 (Sangat Suka) dengan persentase kesukaan 10% yaitu A2 dan A3. 3.3.2 Uji Kesukaan Terhadap Aorma Lilin Sebelum Dibakar Pengujian ini dilakukan dengan aspek yang diuji berupa tingkat kesukaan panelis terhadap aroma lilin pada sebelum dibakar. Persentase kesukaan panelis terhadap aroma lilin sebelum dibakar dapat dilihat pada Gambar 3.2. Hasil pengamatan kesukaan panelis terhadap aroma lilin sebelum dibakar dimuat dalam skala 1-5. Konsentrasi lilin memiliki nilai kesukaan yaitu pada skala 1 (Tidak Suka) dengan persentase kesukaan 10% pada A4. Pada skala 2 (Kurang Suka) dengan persentase kesukaan 10% pada A4 dan A5. Pada skala 3 (Biasa saja) dengan persentase kesukaan 40% yaitu A1; 60% yaitu A3; dan 70% yaitu A1. Pada skala 4 (Suka) dengan persentase 30% yaitu A2 dan A3; 40% 0% 10% 0% 10% 10% 40% 30% 40% 50% 50% 60% 50% 50% 40% 40% 0% 10% 10% 0 0 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% A1 A2 A3 A4 A5 Kurang Suka Biasa Saja Suka Sangat Suka
Formulasi Lilin Aromaterapi Berbahan Aktif Minyak Atsiri Sereh Wangi (Cymbopogon winterianus) dan Jeruk Lemon (Citrus limon) 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 317 yaitu A1; 70% yaitu A4; dan 80% yaitu A5. Pada skala 5 (Sangat Suka) dengan persentase kesukaan 10% yaitu A3, A4 dan A5. Gambar 2 Hasil Uji Kesukaan Terhadap Aroma Lilin Sebelum Dibakar 3.3.3 Uji Kesukaan Terhadap Aroma Lilin Saat Dibakar Pengujian ini dilakukan dengan aspek yang diuji berupa tingkat kesukaan panelis terhadap aroma lilin pada saat dibakar. Persentase kesukaan panelis terhadap aroma lilin saat dibakar dapat dilihat pada Gambar 3. Hasil pengamatan kesukaan panelis terhadap aroma lilin saat dibakar dimuat dalam skala 1-5. Konsentrasi lilin memiliki nilai kesukaan yaitu pada skala 1 (Tidak Suka) dengan persentase kesukaan 10% pada A1 dan A2. Pada skala 2 (Kurang Suka) dengan persentase kesukaan 10% pada A2, A4, dan A5. Pada skala 3 (Biasa saja) dengan persentase kesukaan 30% yaitu A5; 60% yaitu A1, A2, dan A4; dan 70% yaitu A3. Pada skala 4 (Suka) dengan persentase 10% yaitu A3; 20% yaitu A4; 30% yaitu A1 dan A2; 40% yaitu A5; dan 80% yaitu A5. Pada skala 5 (Sangat Suka) dengan persentase kesukaan 10% yaitu A3 dan A4 dan 20% yaitu A5. Gambar 3 Hasil Uji Kesukaan Terhadap Aroma Lilin Saat Dibakar 3.3.4 Uji Deteksi Aroma Pertama Kali Pengujian ini dilakukan dengan aspek yang diuji berupa waktu saat aroma lilin dideteksi atau dirasakan oleh panelis pertama kali. Hasil deteksi aroma pertama kali memberikan selang waktu yang berbeda-beda untuk setiap lilinnya. Selang waktu terbaik yaitu 0-61 detik dengan persentase 40% pada lilin (A4) dan 30% pada lilin (A3) dan (A5), 61-120 detik dengan persentase terbesar 50% pada lilin (A1), pada lilin (A2) dengan persentase 40% dan 30% pada lilin (A3) dan (A5). Pada lilin (A3) dengan persentase 30% dengan selang waktu 181-240 detik. Persentase selang waktu deteksi aroma pertama kalidapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4 Hasil Uji Deteksi Aroma Pertama Kali 0% 0% 0% 10% 0 20% 0% 0% 10% 10% 40% 70% 60% 0 0 40% 30% 30% 70% 80% 0% 0% 10% 10% 10% 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% A1 A2 A3 A4 A5 Tidak Suka Kurang Suka Biasa Saja Suka Sangat Suka 10% 0% 10% 0% 0% 0% 10% 0% 10% 10% 60% 60% 70% 60% 30% 30% 30% 10% 20% 40% 0% 0% 10% 10% 20% 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% A1 A2 A3 A4 A5 Tidak Suka Kurang Suka Biasa Saja Suka Sangat Suka 20% 20% 30% 40% 30% 50% 40% 30% 20% 30% 20% 20% 30% 20% 20% 0% 10% 10% 10% 10% 10% 10% 0% 10% 10% 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% A1 A2 A3 A4 A5 0-60 Detik 61-120 Detik 121-180 Detik 241-500 Detik >300 Detik
Formulasi Lilin Aromaterapi Berbahan Aktif Minyak Atsiri Sereh Wangi (Cymbopogon winterianus) dan Jeruk Lemon (Citrus limon) 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 318 3.3.5 Uji Efek Terapi Yang Dirasakan Pengujian ini dilakukan dengan aspek yang diuji berupa apa efek terapi yang dirasakan setelah mencium aroma lilin beberapa saat setelah dicium. Persentase efek terapi yang dirasakan dapat dilihat pada Gambar 3.5. Gambar 5 Hasil Uji Efek Terapi Yang Dirasakan Pengujian terhadap efek terapi yang dirasakan dimuat dalam skala 1- 11.Hasil penilaian terhadap efek terapi yang dirasakan panelis berdasarkan pendapat masing-masing panelis, hasil yang diperoleh menunjukkan lilin (A4) dan (A5), menghasilkan efek terapi yang terbaik yaitu rileks, nyaman dan segar. 4 Kesimpulan Basis lilin terbaik yaitu lilin dengan perbandingan stearic acid dan paraffin wax 60%:40% (F4), waktu bakar terlama dengan titik leleh terbaik ditunjukkan oleh formula (F4). Tahap kedua diperoleh hasil titik leleh yang sesuai dengan SNI, waktu bakar terlama yang di peroleh oleh formula (A4), penampakan yang disukai panelis (A1); (A2); (A3), aroma lilin yang disukai sebelum dibakar (A4) dan (A5), aroma lilin yang disukai saat dibakar (A1); (A2); (A5), deteksi aroma pertama kali yang paling cepat (A1) dan (A2), dan efek terapi yang dirasakan berupa segar dan nyaman paling banyak pada formula (A4) dan (A5). Formulasi lilin aromaterapi terbaik yang dihasilkan dengan perbandingan stearic acid dan paraffin wax 60%:40%, konsentrasi kombinasi minyak atsiri serai wangi dan minyak atsiri jeruk lemon 4%:2% (A4) dan 5%:1% (A5) untuk menghasilkan efek terapi rileks, nyaman dan segar. 5 Kontribusi Penulis Vika Aura Rislianti: Melakukan penelitian, melakukan pengumpulan data pustaka, serta menyiapkan draft manuskrip. Laode Rijai dan Fika Aryati: Pengarah, pembimbing, serta penyelaras manuskrip. 6 Konflik Kepentingan Tidak ada konflik kepentingan dalam penelitian ini. 7 Daftar Pustaka [1] Primadiati, R. 2002. Aromaterapi : Perawatan Alami Untuk Sehat dan Cantik. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. [2] Zuddin, Riva Rainiza, Hafizhatul Abadi, and Tetty Noverita Khairani. "Pembuatan dan Uji Hedonik Lilin Aromaterapi dari Minyak Daun Mint (Mentha piperita L.) dan Minyak Rosemary (Rosmarinus officinalis)." Jurnal Dunia Farmasi 3.2 (2019): 79-90. [3] Faidliyah. (2017). Pembuatan Lilin Aroma Terapi Berbasis Bahan Alami. Jurnal Prodi Teknik Kimia Intitut Teknologi Malang. [4] Guenther, E., 1990, Minyak Atsiri, Penerjemah S. Ketaren dan R. Mulyono J., Jilid IV A, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. [5] Nizhar, U.M. 2012. Level Optimum Sari Buah Lemon (Citrus limon) sebagai Bahan Penggumpal pada Pembentukan Curd Keju Cottage. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak. Jurusan Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Hasanudin. Makasar [6] Rusli, Nirwati, and Yolanda Wirayani Rante Rerung. "Formulasi Sediaan Lilin Aromaterapi Sebagai Anti Nyamuk Dari Minyak Atsiri Daun Nilam (Pogostemon Cablin Benth) Kombinasi Minyak Atsiri Buah Jeruk Nipis (Citrus Aurantifolia Swingle)." Jurnal Mandala Pharmacon Indonesia 4.1 (2018): 68-73. [7] Oppenheimer, B. 2001. The Candlemakers Companion. Massachusetts USA: Storey Books. Halaman 46-47. 50% 40% 30% 30% 20% 10% 0% 0% 20% 10% 0% 0% 10% 10% 10% 20% 30% 20% 20% 20% 0% 10% 0% 10% 20% 10% 10% 30% 10% 20% 10% 10% 10% 0 0 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% A1 A2 A3 A4 A5 Tidak Ada Efek Sesak Rileks Nyaman Segar Agak Segar Tenang
14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 319 Journal homepage: https://prosiding.farmasi.unmul.ac.id Hubungan antara Pengetahuan dan Perilaku Masyarakat Kecamatan Biatan Kabupaten Berau terhadap Penggunaan dan Resistensi Obat Antibiotik The Relationship between Knowledge and Behavior of the People of Biatan District, Berau Regency on the Use and Resistance of Antibiotic Drugs Vina Mardiyanti Aprilia*, Adam M. Ramadhan, Nur Mita, Riski Sulistiarini Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian “Farmaka Tropis”, Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman, Samarinda, Indonesia *Email korespondensi: Vinamardiyantia14@gmail.com Abstrak Antibiotik merupakan obat yang digunakan untuk mengatasi infeksi. Infeksi merupakan suatu masalah penyakit yang sering terjadi di negara berkembang Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan perilaku masyarakat dalam penggunaan antibiotik serta adanya hubungan antara pengetahuan terhadap perilaku dalam penggunaan obat antibiotik pada masyarakat Kecamatan Tanjung Redeb Kabupaten Berau. Penelitian ini dilakukan dengan cara membagikan kuesioner kepada 119 responden menggunakan metode cross sectional dengan pemilihan responden secara purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat Kabupaten Berau cukup baik yakni 47,89% dan hasil penelitian berdasarkan perilaku masyarakat yaitu berperilaku baik dengan persentase sebesar 42,01%. Hasil analisis korelasi spearman menunjukkan bahwa terdapatnya hubungan antara tingkat pengetahuan terhadap perilaku dengan koefisien korelasi 0,258 maka hubungan antarvariabel rendah. Kata Kunci: pengetahuan, perilaku, resisntensi, antibiotik Abstract Antibiotics are drugs used to treat infections. Infection is a disease problem that often occurs in developing countries in Indonesia. The purpose of this study was to determine the level of knowledge and behavior of the community in the use of antibiotics and the relationship between knowledge and behavior in the use of antibiotic drugs in the people of Tanjung Redeb District, Berau Regency. This research was conducted by distributing questionnaires to 119 respondents using a cross sectional method with purposive sampling of respondents. The results showed that the level of knowledge of Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals Conferences
Hubungan antara Pengetahuan dan Perilaku Masyarakat Kecamatan Biatan Kabupaten Berau terhadap Penggunaan dan Resistensi Obat Antibiotik 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 320 the people of Berau Regency was quite good, namely 47.89% and the results of research based on community behavior were well-behaved with a percentage of 42.01%. The results of the Spearman correlation analysis show that there is a relationship between the level of knowledge on behavior with a correlation coefficient of 0.258, so the relationship between variables is low. Keywords: knowledge, behavior, resistance, antibiotics DOI: https://doi.org/10.25026/mpc.v14i1.592 1 Pendahuluan Berdasarkan laporan (WHO) bahwa telah banyak ditemukan kasus resistensi terhadap antibiotik dan ini merupakan masalah yang terjadi di seluruh dunia [1]. Antibiotik merupakan obat yang digunakan untuk mengatasi infeksi. Infeksi merupakan suatu masalah penyakit yang sering terjadi di Negara berkembang salah satunya yaitu Indonesia [2]. Berdasarkan hal tersebut peneliti ingin mengetahui karakteristik masyarakat Kabupaten Berau terhadap penggunaan antibiotik dan resistensinya, mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat Kabupaten Berau mengenai obat antibiotik dan resistensinya, mengetahui perilaku masyarakat Kabupaten Berau dalam menggunakan obat antibiotik dan mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan terhadap perilaku masyarakat Kabupaten Berau dalam penggunaan obat antibiotik dan resistensinya. Antibiotik merupakan senyawa yang dapat digunakan untuk membunuh atau menghambat suatu mikroorganisme [3]. Prinsip kerja antibiotik atau antimikroba berbeda dengan obat pada umumnya, hal tersebut dikarenakan obat antibiotik masuk atau penetrasi ke dalam sel bakteri dan bakteri mengganggu proses metabolisme bakteri sehingga bakteri tersebut menjadi tidak aktif atau mati, akan tetapi efek toksik pada sel host diharapkan dapat seminimal mungkin [4]. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2011) Tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotika, dengan penggolongan obat antibiotik berdasarkan mekanisme kerjanya yaitu: Pertama yaitu obat antibiotik yang menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri yakni golongan Beta-laktam, Vankomisin dan Basitrasin. Kedua yakni obat yang memodifikasi atau menghambat sintesis protein yakni obat golongan aminoglikosida, Tetrasikli, Kloramfenikol, Makrolida, Klindamisin, Mupirosin, dan Spektinomisin. Ketiga yakni obat antimetabolit yang dapat menghambat enzim-enzim esensial dalam metabolisme folat. Antibiotik yang masuk ke dalam golongan ini yaitu, Sulfonamid dan Trimetoprim. Keempat yakni obat antibiotik yang dapat mempengaruhi sintesis atau metabolisme asam nukleat yakni golongan Kuinolon dan Nitrofuran [5]. 2 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu bersifat observasi dengan pendekatan cross sectional, dimana cross sectional merupakan suatu metode penelitian yang dilakukan dengan mengamati obyek dalam suatu periode tertentu dan hanya diamati satu kali dalam prosesnya. Kemudian akan dianalisis menggunakan uji korelasi spearman dengan menggunakan aplikasi SPSS (Statistical Package fir the Social Sciences) versi 26, dimana uji korelasi spearman bertujuan untuk mengetahui korelasi antara tingkat pengetahuan terhadap perilaku dalam menggunakan 320ntibiotic. Teknik pengambilan sampel yaitu menggunakan purposive sampling berdasarkan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi, yang mana kriteria inklusi pada penelitian ini yaitu berusia minimal 18 tahun, berdomisili di Kabupaten Berau, pernah menggunakan obat antibiotic, dan bersedia untuk menjadi responden.
Hubungan antara Pengetahuan dan Perilaku Masyarakat Kecamatan Biatan Kabupaten Berau terhadap Penggunaan dan Resistensi Obat Antibiotik 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 321 Sedangkan untuk kriteria ekslusi yakni tidak bersedia untuk menjadi responden dan merupakan seorang mahasiswa yang masih aktif kuliah. Data hasil jawaban yang diperoleh dari pengisian kuesioner tentang pengetahuan oleh responden dengan kategori jawaban “benar” dan “salah”,jika jawaban benar akan diberi skor 1 sedangkan untuk jawaban salah akan diberi skor 0 yang kemudian akan dilakukan pengelompokkan berdasarkan nilai presentase yang didapat dengan nilai pengetahuan baik dengan presentase ≥75%, cukup baik 56-74%, dan kurang ≤55% [6]. Sedangkan untuk kategori jawaban tentang perilaku untuk hasil yang diperoleh akan dikategorikan menjadi perilaku baik 76-100%, cukup 56-75%, dan kurang ≤55% [7]. 3 Hasil dan Pembahasan 3.1 Karakteristik Masyarakat Kabupaten Berau terhadap Penggunaan Antibiotik dan Resistensinya Hasil analisis pada penelitian didapatkan data karakteristik responden sebagai berikut: Tabel 1. Data Karakteristik Responden Karakteristik Jumlah (n=119) Persentase (%) Jenis Kelamin Laki-Laki 40 33,6% Perempuan 79 66,4% Usia Remaja Akhir (18-25) 8 6,7% Dewasa Awal (26-35) 21 17,6% Dewasa Akhir (36-45) 44 37% Lansia Awal (46-55) 31 26,1% Lansia Akhir (56-65) 12 10,1% Manula (>65) 3 2,5% Pendidikan Terakhir SD 8 6,7% SMP 1 0,8% SMA/SMK 48 40,3% S1 60 50,4% S2 2 1,7% Pekerjaan Bekerja 112 94,1% Tidak Bekerja 7 5,9% Hasil dari data karakteristik berdasarkan jenis kelamin di atas dapatkan jumlah responden dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak dari pada laki-laki, yakni responden perempuan sebanyak 66,4% Klasifikasi usia yang didapatkan paling banyak yakni pada rentang usia 36-45 tahun dengan persentase 37% [8]. Pada data karakteristik pendidikan terakhir dikategorikan berdasarkan tingkat pendidikan terakhir responden paling dominan adalah S1 dengan jumlah persentase 50,4%. Pada karakteristik berdasarkan pekerjaan didapatkan paling banyak adalah yang bekerja yaitu pekerjaan sebagai Ibu Rumah Tangga dengan persentase 35,3%. 3.2 Tingkat Pengetahuan Masyarakat Kabupaten Berau mengenai Obat Antibiotik dan Resistensinya Hasil analisis data tingkat pengetahuan responden terhadap obat antibiotik dapat dilihat pada Table 6.2 serta diagram persentase tingkat pengetahuan terhadap antibiotik dapat dilihat pada Gambar 6.2. Tabel 2. Data Tingkat Pengetahuan Terhadap Obat Antibiotik Pengetahuan Jumlah (n=119) Persentase (%) Baik 39 orang 32,77 Cukup Baik 57 orang 47,89 Kurang Baik 23 orang 19,32 Berdasarkan hasil dari tingkat pengetahuan mengenai obat antibiotik yang telah diperoleh yaitu responden dengan jawaban yang baik adalah 32,77%, dengan jawaban yang cukup baik adalah 47,89%, dan jawaban yang kurang baik adalah 19,32%. Data tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat mengenai obat antibiotik merupakan kategori cukup baik. Pengetahuan masyarakat terhadap obat antibiotik cukup baik sehingga diperlukan edukasi kepada masyarakat mengenai antibiotik untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat agar lebih baik lagi sehingga dapat menggunakan obat antibiotik dengan tepat. Berikut merupakan pertanyaan dari kuesioner tingkat pengetahuan pada Tabel 6.3 serta jumlah jawaban responden yang benar pada Gambar 6.2.
Hubungan antara Pengetahuan dan Perilaku Masyarakat Kecamatan Biatan Kabupaten Berau terhadap Penggunaan dan Resistensi Obat Antibiotik 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 322 Tabel 3. Pertanyaan Kuesioner Tingkat Pengetahuan terhadap Antibiotik No Pertanyaan Skor Pilihan Jawaban Benar Salah 1. Penggunaan antimikroba yang sembarangan atau kurang benar menyebabkan munculnya masalah resistensi yang semakin meningkat. 1 0 2. Resistensi Antimikroba berarti jika digunakan terlalu sering, maka antimikroba cenderung tidak bekerja di masa depan. 1 0 3. Bakteri menyebabkan flu dan influenza. 0 1 4. Resistensi Antibiotik adalah masalah kesehatan masyarakat global yang yang penting dan serius. 1 0 5. Perawatan yang tidak efektif dapat terjadi karena penggunaan antimikroba yang sembarangan dan tidak hari-hati. 1 0 6. Antibiotik adalah obat yang aman, sehingga dapat menjadi obat yang umum digunakan. 0 1 7. Melewatkan satu atau dua dosis dari penggunaan Antibiotik tidak memberikan pengaruh pada perkembangan resistensi antibiotik. 0 1 8. Efek samping antimikroba dapat dikurangi dengan menggunakan lebih dari satu antimikroba dalam satu waktu pengobatan yang sama. 0 1 9. Penggunaan antimikroba secara tidak hati-hati memperpendek durasi penyakit (menyebabkan cepat sembuh) 0 1 10. Ketika anda mengalami batuk dan sakit tenggorokan, antimikroba adalah obat pilihan pertama untuk pengobatan dini dan untuk mencegah munculnya strain yang resisten. 0 1 Gambar 2. Data Jumlah Jawaban Kuesioner Pengetahuan Responden yang Benar Pada Gambar 2 menunjukkan bahwa jawaban kuesioner tingkat pengetahuan masyarakat terhadap obat antibiotik. Adapun hasil jawaban yang termasuk ke dalam kategori baik yakni pada kuesioner nomor 1, 2, 4, 5 dan 9 dengan persentase jawaban ≥75% Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa pengetahuan masyarakat mengenai antibiotik adalah baik. Selain kategori baik berikut merupakan hasil jawaban yang termasuk ke dalam kategori cukup baik dengan persentase 56-74% yakni pada jawaban kuesioner nomor 7, 8 dan 10 Berdasarkan dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa pengetahuan masyarakat terhadap penggunaan yang kurang tepat dapat menyebabkan resistensi terhadap obat antibiotik adalah cukup baik. Sedangkan untuk jawaban dari kuesioner yang paling banyak dijawab dengan salah atau termasuk kedalam kategori kurang baik dimana persentase pada kategori tersebut adalah ≤55% yakni pada kuesioner nomor 3 dan 6. Hal tersebut dapat pula dikarenakan masih kurang pengetahuan masyarakat dalam membedakan antara virus dan bakteri sebagai penyebab flu dan influenza serta masyarakat banyak menganggap bahwa obat antibiotik merupakan obat yang umum sehingga aman untuk digunakan untuk mengobati flu dan demam [9]. 3.3 Perilaku Masyarakat Kabupaten Berau dalam Menggunakan Obat Antibiotik Perilaku merupakan sebagian tindakan seseorang yang dapat diamati dan dipelajari. 82.35% 85.71% 17.64% 88.23% 94.11% 34.45% 62.18% 72.26% 94.95% 57.14% 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Persentase Jawaban Pertanyaan
Hubungan antara Pengetahuan dan Perilaku Masyarakat Kecamatan Biatan Kabupaten Berau terhadap Penggunaan dan Resistensi Obat Antibiotik 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 323 Tingkat pengetahuan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perilaku manusia atau masyarakat [10]. Hasil analisis data tingkat perilaku responden dalam menggunakan antibiotik dapat dilihat pada Tabel 4 serta persentase dalam bentuk diagram pada gambar 3. Tabel 4. Data Perilaku Masyarakat dalam Menggunakan Obat Antibiotik Kriteria Jumlah (n=119) Persentase (%) Baik 50 orang 42,01 Cukup Baik 37 orang 31,09 Kurang Baik 32 orang 26,89 Berdasarkan data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa perilaku masyarakat dalam menggunakan obat antibiotik yaitu responden dengan perilaku yang baik adalah 42,01%, perilaku cukup baik adalah 31,09%, dan perilaku kurang baik adalah 26,89%. Berikut merupakan pertanyaan dari kuesioner tingkat perilaku pada Tabel 5 serta jumlah jawaban responden yang benar pada Gambar 4. Tabel 5. Pertanyaan Kuesioner Tingkat Perilaku dalam menggunakan Antibiotik No Pertanyaan Skor Pilihan Jawab Iya Tidak 1. Dokter meresepkan antibiotik untuk anda. Setelah mengkonsumsi 2-3 dosis obat, anda telah merasa baikan. Apakah anda berhenti untuk mengkonsumsi obat antibiotik lebih lanjut ? 0 1 Apakah anda akan menyimpan antibiotik yang tersisa untuk pengobatan ketika anda mengalami sakit lagi ? 0 1 Apakah anda akan membuang obat antibotik yang tersisa ? 1 0 Apakah anda akan memberikan obat antibiotik yang tersisa kepada teman anda jika mereka sedang sakit ? 0 1 Apakah anda menyelesaikan pengobatan anda hingga obat antibiotik yang diresepkan habis ? 1 0 2. Apakah anda berkonsultasi dengan dokter sebelum mulai mengkonsumsi antibiotik ? 1 0 3. Apakah anda mengecek tanggal kadaluarsa dari obat antibiotik sebelum anda mengkonsumsinya ? 1 0 4. Apakah anda lebih suka minum antibiotik ketika mengalami batuk dan sakit tenggorokan ? 0 1 Gambar 4. Data jumlah jawaban kuesioner perilaku masyarakat yang benar Pada Gambar 4 menunjukkan kuesioner perilaku responden dengan kategori baik yakni pada kuesiner nomor 2 dan 3 dengan rentang persentase 76-100% Berdasarkan dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa masyarakat bijaksana dalam menggunakan obat antibiotik dimana masyarakat akan berkonsultasi terlebih dahulu sebelum menggunakan obat antibiotik serta sebelum menggunakan obat antibiotik maka akan mengecek tanggal kadaluarsa 68.90% 53.78% 54.62% 82.35% 66.38% 84.03% 94.11% 73.10% 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% 1.a 1.b 1.c 1.d 1.e 2 3 4 Persentase Jawaban Pertanyaan
Hubungan antara Pengetahuan dan Perilaku Masyarakat Kecamatan Biatan Kabupaten Berau terhadap Penggunaan dan Resistensi Obat Antibiotik 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 324 sebelum menggunakan obat tersebut. Sedangkan pada kategori cukup baik yakni pada kuesioner nomor 1 dan 4 dengan rentang persentase 56-75% Berdasarkan dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa masyarakat cukup patuh dalam menggunakan obat antibiotik berdasarkan resep dokter serta cukup bijaksana dalam menggunakan obat antibiotik yakni tidak memberikan obat tersebut kepada teman terdekat maupun keluarga serta tidak menggunakan obat antibiotik untuk mengobati batuk dan sakit tenggorokan. 3.4 Hubungan Tingkat Pengetahuan terhadap Perilaku Masyarakat Kabupaten Berau dalam Penggunaan Obat Antibiotik dan Resistensinya Pada penelitian ini perlu dilakukan pengujian terhadap hubungan antara tingkat pengetahuan terhadap perilaku masyarakat Kabupaten Berau, untuk mengetahui seberapa besar hubungan kedua variabel tersebut. Hasil dari uji korelasi spearman yang didapatkan yaitu sebagai berikut: Tabel 6. Hasil Uji Korelasi Spearman Perilaku Total Sig r Hitung Baik Cukup Baik Kurang Baik Pengetahuan Baik Jumlah 23 8 9 40 0,005 0,258 Persentase (%) 19,3% 6,7% 7,6% 33,6% Cukup Baik Jumlah 23 22 11 56 Persentase (%) 19,3% 18,5% 9,2% 47,1% Kurang Baik Jumlah 5 6 12 23 Persentase (%) 4,2% 5% 10,1% 19,3% Total Jumlah 51 36 32 119 Persentase (%) 42,9% 30,3% 26,9% 100% Ket: P>0,05 hipotesis ditolak P< 0,05 hipotesis diterima Berdasarkan pada tabel 6 didapatkan hasil uji normalitas kemudian dilanjutkan dengan analisis uji korelasi dengan menggunakan uji korelasi spearman dari data tersebut didapatkan melalui nilai koefisien korelasi. Berdasarkan dari interval nilai koefisien yakni nilai r hitung lebih besar dari pada r tabel yakni (0,258>0,195) maka kekuatan hubungan antara tingkat pengetahuan terhadap perilaku termasuk kedalam kategori hubungan yang rendah, dengan nilai r hitung lebih besar dari pada r tabel dan nilai signifikansi kurang dari α = 0,05 (0,005<0,05) maka dapat dinyatakan bahwa H1 diterima. Pada hasil data tersebut dapat dinyatakan bahwa terdapatnya hubungan antara tingkat pengetahuan terhadap perilaku dalam penggunaan obat antibiotik pada masyarakat Kecamatan Tanjung Redeb Kabupaten Berau. Hasil koefisien korelasi bernilai positif maka hubungan antar variabel searah oleh karena itu semakin baik tingkat pengetahuan terhadap obat antibiotik maka semakin baik pula perilaku masyarakat dalam menggunakan obat antibiotik. 4 Kesimpulan Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah didapatkan maka dapat ditarik kesimpulan khusus bahwa: 1. Karakteristik seperti jenis kelamin, usia, pendidikan terakhir dan pekerjaan dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan masyarakat dalam menggunakan obat antibiotik. 2. Tingkat pengetahuan masyarakat paling tinggi di Kecamatan Tanjung Redeb Kabupaten Berau terhadap obat antibiotik adalah cukup baik yakni 47,89%. 3. Adapun perilaku paling tinggi di masyarakat dalam menggunakan obat antibiotik adalah pada kategori baik yakni 42,01%. 4. Terdapatnya hubungan baik antara tingkat pengetahuan terhadap perilaku dalam menggunakan obat antibiotik dengan hasil persentase 19,3% dikarenakan nilai r hitung korelasi lebih besar dari pada r tabel serta signifikansi lebih kecil dari nilai α = 0,050
Hubungan antara Pengetahuan dan Perilaku Masyarakat Kecamatan Biatan Kabupaten Berau terhadap Penggunaan dan Resistensi Obat Antibiotik 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 325 (0,000 < 0,050). Dikarenakan koefisien korelasi adalah 0,258 maka hubungan antar variabel rendah. 5 Kontribusi Penulis Vina Mardiyanti Aprilia : Melakukan pengumpulan data pustaka serta menyiapkan draft manuskrip. Adam M. Ramadhan, Nur Mita, dan Riski Sulistiarini : Pengarah, pembimbing, serta penyelaras akhir manuskrip 6 Konflik Kepentingan Tidak ada konflik kepentingan dalam penelitian ini. 7 Daftar Pustaka [1] Wowiling; Chalvy, Lily Ranti Goenawi, Gayatri Citraningtyas.2013.Pengaruh Penyuluhan Penggunaan Antibiotika Terhadap Tingkat Pengetahuan Masyarakat Di Kota Manado. Jurnal Ilmiah Farmasi – Unsrat Vol. 2 No. 03. Program Studi Farmasi Fmipa Unsrat Manado. [2] Nurmala; Sara, Dewi Oktavia Gunawan.2020.Pengetahuan Penggunaan Obat Antibiotik Pada Masyarakat Yang Tinggal Di Kelurahan Babakan Madang. Fitofarmaka Jurnal Ilmiah Farmasi Vol.10, No.1. Universitas Pakuan Bogor. [3] Goodman dan Gilman. 2012. Dasar Farmakologi Terapi. Jakarta. [4] Amin; Lukman Zulkifli. 2014. Pemilihan Antibiotik yang Rasional. Medical Review Vol. 27, No.3. Fakultas Kedokteran. Universitas Indonesia. [5] Menteri Kesehatan RI. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2406/Menkes/Per/XII/2011 Tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. [6] Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta. [7] Nursalam. 2014. Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalam Praktek Keperawatan Profesional. Jakarta. [8] Amin, Muchammad Al Dan Dwi Juniati 2017. Klasifikasi Kelompok Umur Manusia Berdasarkan Analisis Dimensi Fraktal Box Counting Dari Citra Wajah Dengan Deteksi Tepi Canny. Jurnal Ilmiah Matematika Volume 2 No. 6. Fmipa, Universitas Negeri Surabaya. [9] Nashrullah; Allief, Supriyono dan Muhammad Kharis. 2013. Pemodelan Sirs Untuk Penyakit Influenza Dengan Vaksinasi Pada Populasi Manusia Tak Konstan. UNNES Journal of Mathematics. FMIPA. Universitas Negeri Semarang. [10] Ika Purnamasari dan Anisa Ell Raharyani. 2020. Tingkat Pengetahuan Dan Perilaku Masyarakat Kabupaten Wonosobo Tentang Covid -19. Jurnal Ilmiah Kesehatan. FIKES UNSIQ Wonosobo.
14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 326 Journal homepage: https://prosiding.farmasi.unmul.ac.id Formulasi dan Evaluasi Nutrasetikal Gummy Candy dari Perasan Daun Kelakai (Stenochlaena Palustris (Burm.F.) Bedd) Formulation and Evaluation Nutraceutical Gummy Candy from Kelakai Leaf Juice (Stenochlaena Palustris (Burm.F.) Bedd) Winiaksa Tri Asdini, Hanggara Arifian, Nur Mita, Rolan Rusli* Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian “Farmaka Tropis”, Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman, Samarinda, Indonesia *Email korespondensi: rolan@farmasi.unmul.ac.id Abstrak Daun kelakai (Stenochlaena palustris (Burm.F.) Bedd) merupakan tumbuhan khas Kalimantan Timur dengan kandungan zat besi yang tinggi yang berpotensi mengatasi anemia. Perasan daun kelakai diformulasi menjadi sediaan nutrasetikal gummy candy dengan menggunakan metode Simplex Lattice Design (SLD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perasan daun kelakai dapat dijadikan sebagai sediaan gummy candy dengan hasil evaluasi yang memenuhi standar dengan konsentrasi perasan 9%, pH 5,4, tekstur kenyal, elastis, aroma essens strawberry, rasa asam serta warna kuning kecoklatan, kadar air 11,52%, dan kadar abu 2,30%. Kata Kunci: Daun kelakai, Nutrasetikal, Simplex Lattice Design, Permen Jelly Abstract Kalekai leaf (Stenochlaena palustris (Burm.F.) Bedd) is a typical plant of East Kalimantan with high iron content which can overcome anemia. The juice of anchovies was formulated into a nutraceutical gummy candy preparation using the Simplex Lattice Design (SLD) method. The results showed that the juice of anise leaves could be used as a gummy candy preparation with an evaluation results that meet the standard with a juice concentration of 9%, pH 5.4, chewy texture, elastic, strawberry essence aroma, sour taste, and brownish yellow color, 11.52% water content, and 2.30% ash content. Keywords: Kelakai leaf, Nutraceutical, Simplex Lattice Design, Gummy Candy Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals Conferences
Formulasi dan Evaluasi Nutrasetikal Gummy Candy dari Perasan Daun Kelakai (Stenochlaena Palustris (Burm.F.) Bedd) 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 327 DOI: https://doi.org/10.25026/mpc.v14i1.593 1 Pendahuluan Tumbuhan kelakai (Stenochlaena palustris) merupakan tumbuhan sejenis pakis yang khas dari Kalimantan Timur yang biasanya dijadikan sebagai tumbuhan obat, selama ini bagian tumbuhan kelakai yang dikonsumsi oleh masyarakat dan dipercayai sebagai bahan obat tradisional adalah bagian daun [1]. Kelakai memiliki keunggulan kandungan dalam daun nya yaitu per 100 gram mengandung zat besi 291,32 mg [2]. Tumbuhan kelakai mudah didapat dan memiliki banyak manfaat seperti penambah darah, menunda penuaan, antidiare, dan sebagai sayuran yang lezat [3]. Gummy candy merupakan salah satu produk pangan yang disukai semua orang dari kalangan anak-anak hingga dewasa. Gummy candy dibuat dari air atau sari buah dan bahan pembentuk gel, yang berpenampilan jernih transparan serta mempunyai tekstur dengan kekenyalan tertentu. Permen jelly tergolong dalam semi basah, oleh karena itu produk ini cepat rusak bila tidak dikemas secara baik [4]. Perkembangan confectionery di dunia khususnya permen, sekarang ini mengarah kepada produk yang bergizi dan baik untuk kesehatan, sehingga diharapkan permen sebagai makanan tersier mampu memberi asupan gizi seimbang dan menyehatkan. Selain produk permen telah dikenal luas oleh masyarakat luas terutama anak-anak, produk tersebut mempunyai bentuk yang praktis dan mudah dalam pengemasannya serta mudah dalam mengkonsumsinya, sehingga cocok untuk makanan ringan bagi masyarakat dengan mobilitas tinggi [5]. Optimasi basis gummy candy dilakukan dengan metode Simplex Lattice Design (SLD) dengan software Design Expert 10.0.3 untuk menemukan formula basis gummy candy yang optimum secara fisik. Jika telah memenuhi syarat sediaan gummy candy, basis yang optimum akan digunakan dalam pembuatan sediaan gummy candy berbahan aktif daun kelakai. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan daun kelakai sebagai bahan baku gummy candy yang berfungsi sebagai sediaan nutrasetikal. 2 Metode Penelitian 2.1 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah batang pengaduk, gelas kimia, cawan porselin, labu ukur, pipet tetes, tabung reaksi, rak tabung, hot plate, waterbath, spatel besi, sendok tanduk. 2.2 Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Gelatin, Karagenan, Sodium propionat, Asam sitrat, Madu, Essens Strawberry, Asam Nitrat (HNO3), Kalium Tiosianat (KSCN) 2N serta Aquades. 2.3 Optimasi basis gummy candy Basis gummy candy terdiri dari gelatin, karagenan, sodium propionat, asam sitrat, madu, essens dan aquades dibuat sesuai running formula dengan metode Simplex Lattice Design yaitu terdapat 5 formula dengan variasi gelatin (12,5%, 14%, 12%, 13,5% dan 13%) dan karagenan (3,5%, 2%, 4%, 2,5% dan 3%) dibuat dengan cara dilarutkan gelatin dan karagenan sesuai konsentrasi yang dibuat didalam aquades yang telah dipanaskan aduk hingga homogen, masukkan sodium propionat, asam sitrat, madu, dan essens sesuai konsentrasi formula aduk hingga homogen. Didapatkan adonan gummy candy masukkan kedalam cetakan. Didiamkan selama 1 jam pada suhu ruang, masukkan kedalam lemari pendingin selama 24 jam. 2.4 Pembuatan Perasan Daun Kelakai Daun kelakai dibersihkan dan ditimbang sebanyak 100 gram dan ditambahkan 500 mL aquades kemudian diblender dan diperas dengan kain bersih atau kain flannel. Dipekatkan perasan dengan waterbath dengan
Formulasi dan Evaluasi Nutrasetikal Gummy Candy dari Perasan Daun Kelakai (Stenochlaena Palustris (Burm.F.) Bedd) 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 328 suhu 40-50°C hingga perasan menjadi pekat. Disimpan perasan daun kelakai pekat kedalam wadah. 2.5 Formulasi Gummy Candy Perasan Daun Kelakai Formulasi gummy candy dengan zat aktif yaitu daun kelakai dan konsentrasi gelatin dan karagenan yang optimum serta bahan tambahan yaitu sodium propionat, asam sitrat, madu, essens dan aqudes dengan konsentrasi yang sesuai pada formula optimum dari basis yang telah diverifikasi oleh metode Simplex Lattice Design yaitu pada formula basis F3 dengan konsentrasi gelatin dan karagenan (12%:4%), seperti terlihat pada Tabel 1. Dilarutkan gelatin dan karagenan didalam aquades panas diaduk hingga homogen. Masukkan bahan tambahan sodium propionat, asam sitrat, madu dan essens didapatkan basis gummy candy diaduk hingga homogen. Ditambahkan perasan daun kelakai 4,5 gram diaduk hingga homogen dan didapatkan adonan gummy candy masukkan kedalam cetakan. Didiamkan selama 1 jam pada suhu ruang, masukkan kedalam lemari pendingin selama 24 jam. Formula optimum gummy candy dibuat dengan zat aktif. 2.6 Analisis Kualitatif Besi Analisis kualitatif besi menggunakan sampel yang telah diabukan menggunakan tanur pada suhu 600°C selama 6-8 jam terlebih dahulu kemudian menambahkan larutan Asam Nitrat 65% sebanyak 2 mL dan pereaksi Kalium Tiosianida 2N sebanyak 10 tetes. Reaksi positif bila terjadi larutan berwarna merah darah. Tabel 1 Formula Gummy Candy Perasan Daun Kelakai No. Nama Bahan Konsentrasi (%) Fungsi Bahan 1. Daun Kelakai 9 Zat aktif 2. Gelatin 12-14 Pengental 3. Karagenan 2-4 Pengental 4. Sodium Propionat 0,3 Pengawet 5. Asam Sitrat 0.1 Pengatur keasaman 6. Madu 10 Pemanis 7. Essens 5 gtt Pengaroma 8. Aquades Ad 50 mL Pelarut 3 Hasil dan Pembahasan Optimasi basis gummy candy dilakukan untuk memperoleh gummy candy yang stabil secara fisik dengan memperoleh formula optimasi dari software Design Expert 10.0.3 dengan metode Simplex Lattice Design (SLD). Metode Simplex Lattice Design digunakan untuk mengoptimasi sesuai data variabel dan data pengukuran respon yang dimasukkan. Optimasi dilakukan dengan menentukan Batasan (goal) kriteria respon yang dikehendaki dengan range yang memungkinkan untuk dicapai. Formula yang paling optimal adalah formula dengan nilai desirability maksimum. Nilai desirability merupakan nilai fungsi untuk tujuan optimasi yang menunjukkan kemampuan program untuk memenuhi keinginan berdasarkan kriteria yang ditetapkan pada produk akhir. Nilai desirability yang semakin mendekati nilai 1,0 menunjukkan program untuk menghasilkan produk yang dikehendaki semakin sempurna [6]. Optimasi formula gummy candy dilakukan dengan mengoptimasi gelling agent yaitu gelatin dengan konsentrasi 12% - 14% dan karagenan 2% - 4%. Respon yang digunakan dalam optimasi basis gummy candy yaitu pH, kadar air, dan kadar abu. Setiap respon tersebut digunakan untuk menentukan formula yang optimum sediaan gummy candy dengan metode Simplex Lattice Design (SLD) menggunakan software Design Expert 10.0.3. Dalam penentuan formula optimum dilakukan dengan cara mengolah data dari setiap respon yang digunakan. Pengujian organoleptik dilakukan dengan pengamatan secara visual terhadap sediaan gummy candy yang dibuat meliputi warna, rasa, tekstur dan aroma [7]. Pengujian pH dilakukan untuk menunjukkan keadaan asam atau basa dari permen jelly yang dihasilkan. Nilai pH sangat berhubungan dengan kondisi pertumbuhan mikroba, selanjutnya berhubungan dengan masa simpan permen jelly. Nilai pH permen jelly yaitu pH 3,5 hingga 6,0. Pengujian kadar air dilakukan untuk menentukan kualitas dan ketahanan pangan terhadap kerusakan yang mungkin terjadi. Semakin tinggi kadar air suatu bahan pangan, akan semakin besar kemungkinan kerusakannya baik sebagai akibat aktivitas biologis internal maupun masuknya mikroba perusak dengan menggunakan alat moisture
Formulasi dan Evaluasi Nutrasetikal Gummy Candy dari Perasan Daun Kelakai (Stenochlaena Palustris (Burm.F.) Bedd) 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 329 analyzer pada suhu 105°C [8]. Pengujian kadar abu dilakukan untuk untuk menujukkan keberadaan kandungan mineral atau bahan – bahan organik yang terkandung pada suatu bahan, kemurnian suatu bahan dan kehigienisan yang dihasikan. Penentuan kadar abu memiliki hubungan dengan mineral pada suatu bahan. Batas maksimum kadar abu permen jelly yaitu sebesar 3% sesuai dengan syarat mutu SNI 02-3547-2008. Penentuan kadar abu dilakukan dengan metode pengabuan cara langsung dengan tanur suhu 600°C selama 6-8 jam [9]. Pada B1 basis didapatkan hasil nilai 0,25 untuk gelatin dan nilai 0,75 untuk karagenan. Data tersebut kemudian dikonversikan didapatkan hasil pada gelatin 12,5% dan pada karagenan 3,5%. Hasil evaluasi sediaan basis gummy candy pada uji organoleptik sediaan basis gummy candy yaitu warna kuning, aroma essens strawberry, tekstur kenyal, elastis, lengket dan mudah rapuh, rasa asam. Sediaan basis gummy candy memiliki nilai pH sebesar 5,4, kadar air 14,33% dan kadar abu 2,39%. Pada B2 basis didapatkan hasil nilai 1 untuk gelatin dan 0 untuk karagenan. Data tersebut kemudian dikonversikan didapatkan hasil pada gelatin 14% dan karagenan 2%. Hasil evaluasi sediaan basis gummy candy pada uji organoleptik yaitu warna kuning, aroma essens strawberry, tekstur kenyal, elastis dan lengket, rasa asam. Sediaan basis gummy candy memiliki nilai pH sebesar5,5, kadar air 20,62%, dan kadar abu 2,70%. Pada B3 basis didapatkan hasil nilai 0 untuk gelatin dan 1 untuk karagenan. Data tersebut kemudian dikonversikan didapatkan hasil pada gelatin 12% dan karagenan 4%. Hasil evaluasi sediaan basis gummy candy pada uji organoleptik yaitu warna kuning, aroma essens strawberry, tekstur kenyal dan elastis, rasa asam. Sediaan basis gummy candy memiliki nilai pH sebesar 5,4, kadar air 17,41%, dan kadar abu 1,90%. Pada B4 basis didapatkan hasil nilai 0,75 untuk gelatin dan 0,25 untuk karagenan. Data tersebut kemudian dikonversikan didapatkan hasil pada gelatin 13,5% dan karagenan 2,5%. Hasil evaluasi sediaan basis gummy candy pada uji organoleptik yaitu warna kuning, bau essens strawberry, tekstur kenyal, elastis dan lengket, rasa asam. Sediaan basis gummy candy memiliki nilai pH sebesar 5,5, kadar air 26,69% dan kadar abu 3,23%. Pada B5 basis didapatkan hasil nilai 0,5 untuk gelatin dan 0,5 untuk karagenan. Data tersebut kemudian dikonversikan didapatkan hasil pada gelatin 13% dan karagenan 3%. Hasil evaluasi sediaan basis gummy candy pada uji organoleptik yaitu warna kuning, bau essens strawberry, tekstur kenyal dan elastis, rasa asam. Sediaan basis gummy candy memiliki nilai pH sebesar 5,6, kadar air 14,58% dan kadar abu 2,13%. Hasil Prediksi formula optimum dari basis gummy candy yang dilakukan dengan software Design Expert 10.0.3 dengan metode Simplex Lattice Design (SLD). Berdasarkan hasil analisis diperoleh formula optimum dengan konsentrasi gelatin 0,000 (12%) dan karagenan 1,000 (4%) dengan nilai desiribility 1,00 (satu) dimana dari berbagai variasi formula campuran, formula optimum merupakan formula yang memiliki hasil evaluasi berada dalam batas rentang pada setiap parameter yang diinginkan. Lalu dilihat menggunakan derajat desiribilitiy, formula yang memiliki derajat desirability 1 merupakan formula yang terbaik/optimum [10]. Besarnya kadar pH formula optimum hasil prediksi 5,420 sedangkan hasil percobaan 5,4. Kadar air pada hasil prediksi 17,946 % sedangkan hasil percobaan yang mendekati17,41 %. Kadar abu pada hasil prediksi 1,982 % sedangkan hasil percobaan 1,90 %. Hal ini menujukkan nilai respons optimum yang diperoleh telah terpenuhi. Dari hasil analisis juga yang menunjukkan formula optimum pada basis 3 dengan konsentrasi gelatin dan karagenan (12:4). Pengujian organoleptik dilakukan dengan mengamati warna, aroma, tekstur dan rasa dari sediaan gummy candy dari perasan daun kelakai. Diperoleh warna kuning kecoklatan, aroma essens strawberry, tekstur yang elastis dan kenyal dan rasa yang asam seperti terlihat pada Tabel 2. Pengujian pH (Tabel 3)dilakukan dengan menggunakan pH meter yang sebelumnya telah dikalibrasi dengan dapar fosfat pH 7. Diperoleh pH yaitu 5,4 pada 3 replikasi dimana semua konsentrasi masuk kedalam rentang pH gummy candy yaitu 3,5-6,0. Pengujian kadar air (Tabel 3) dilakukan dengan alat moisture analyzer suhu 105°C. Diperoleh hasil kadar air yaitu pada replikasi 1 9,30%, replikasi 2 11,21%, replikasi 3 14,06% dan dihasilkan rata-rata 11,52%. Dimana hasil
Formulasi dan Evaluasi Nutrasetikal Gummy Candy dari Perasan Daun Kelakai (Stenochlaena Palustris (Burm.F.) Bedd) 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 330 yang didapatkan sesuai dengan rentang kadar air yaitu maksimal 20%. Pengujian kadar abu (Tabel 3)dilakukan dengan tanur pada suhu 600°C selama 6-8 jam. Diperoleh hasil kadar abu yaitu pada replikasi 1 2,85%, replikasi 2 1,58% dan replikasi 3 2,49% dan dihasilkan rata-rata 2,30%. Dimana hasil yang didapatkan sesuai dengan rentang kadar abu yaitu maksimal 3%. Tabel 2. Uji Organoleptik Gummy Candy dari Perasan Daun Kelakai Formula Hasil organoleptik Warna Aroma Tekstur Rasa R1 Kuning kecoklatan Aroma essens Kenyal dan elastis Asam R2 Kuning kecoklatan Aroma essens Kenyal dan elastis Asam R3 Kuning kecoklatan Aroma essens Kenyal, elastis dan mudah rapuh Asam Tabel 3. Uji pH, Kadar air dan Kadar abu gummy candy Perasan Daun Kelakai Formula pH Kadar Air Kadar Abu R1 5,4 9,30 % 2,85 % R2 5,4 11,21 % 1,58 % R3 5,4 14,06 % 2,49 % Rata-rata 5,4 11,52 % 2,30 % Analisis kualitatif dilakukan untuk menguji ada atau tidaknya zat besi (Fe) dilakukan dengan menggunakan larutan Kalium Tiosianida 2N. Hasil yang diperoleh pada sampel yang telah dilakukan pengabuan didapatkan hasil positif mengandung zat besi (Fe). Kemudian sampel yang telah menjadi abu ditambahkan dengan HNO3 bertujuan untuk melarutkan logam besi dimana HNO3 merupakan oksidator kuat yang dapat melarutkan hampir semua logam dan dapat mencegah pengendapan unsur dan menghasilkan ion besi (III). Kemudian uji kualitatif dilakukan dengan perekasi Kalium Tiosianat 2N (KSCN) sebanyak 10 tetes dengan membentuk warna merah darah yang menujukkan adanya reaksi antara kalium tiosianat dan ion besi (III). Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Warna merah darah yang ditimbulkan karena adanya reaksi antara Kalium tiosianida dan besi (III) klorida [9]. Tabel 4. Hasil Analisis Kualitatif Besi No. Sampel Warna Prosedur Hasil 1. Perasan Daun Kelakai Kuning kecoklatan Sampel perasan + 2 mL HNO3 + 10 tetes KSCN 2N (+) merah darah 2. Abu Abu-abu Sampel abu + 2 mL HNO3 + 10 tetes KSCN 2N (+) merah darah 3. Abu Abu-abu Sampel abu + 2 mL HNO3 + 10 tetes KSCN 2N (+) merah darah 4. Abu Abu-abu Sampel abu + 2 mL HNO3 + 10 tetes KSCN 2N (+) merah darah 4 Kesimpulan Berdasarkan hasil evaluasi pada optimasi dan pembuatan formula yang optimal diperoleh basis dan formula gummy candy dari Perasan daun kelakai (Stenochlaena Palustris (Burm.F.) Bedd) yang telah memenuhi kriteria dalam pembuatan sediaan nutrasetikal gummy candy dan memiliki kandungan zat besi ditandai dengan hasil analisis kualitatif positif terbentuk warna merah darah. 5 Kontribusi Penulis WTA: Melakukan penelitian, pengumpulan data, Pustaka serta menyiapkan draft manuskrip. RR, NM, dan HA: Pengarah, pembimbing, serta penyelaras akhir manuskrip. 6 Konflik Kepentingan Tidak ada konflik kepentingan dalam penelitian ini. 7 Daftar Pustaka [1] Saragih, B 2017. Potensi Pangan Dari Lahan Gambut “Bagian Dari Riset Komoditi Lokal Potensial Lahan Gambut”. Badan Restorasi Gambut Republik Indonesia dan Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Mulawarman Samarinda. [2] Maharani D. M., S. N. Haidah dan Haniyah. 2006. Studi Potensi Daun Kelakai (Stenochlaena palustris (Burm.F) Bedd) Sebagai Pangan Fungsional. Kumpulan Makalah PIMNAS XIX. Malang. [3] Miftahul K. 2012. Skrining Fitokimia Kandungan Golongan Senyawa yang terdapat pada Daun Kelakai (Stecnochlaena palustris (Burm. F) Bedd) sebagai Obat Tradisional. Tugas Akhir Ahli Madya Farmasi, Jurusan Farmasi, Fakultas
Formulasi dan Evaluasi Nutrasetikal Gummy Candy dari Perasan Daun Kelakai (Stenochlaena Palustris (Burm.F.) Bedd) 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 331 Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Palangkaraya. Palangkaraya. [4] Malik. 2010. Permen Jelly. http://www. malik. wordpress.com. Diakses pada tanggal 11 Februari 2015. [5] Jumri, Yusmarini, dan Netti, M. 2015. Mutu Permen Jelly Buah Naga Merah (Hylocereus polyrhizus) dengan Penambahan Karagenan dan Gum Arab. JOM FAPERTA Vol. 2 No. 1. [6] Ramadhani, Reshita Amalia., Dody Herdian Saputra Riyadi., Bayu Triwibowo., Ratna Dewi Kusumaningtyas. 2017. Review Pemanfaatan Design Expert untuk Optimasi Komposisi Campuran Minyak Nabati sebagai Bahan Baku Sintesis Biodiesel. Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang, Semarang, Indonesia. Jurnal Teknik Kimia dan Lingkungan Vol.1 No.1. [7] Godhwani, T., Chhajed, M., Chajed, A., and Tiwari, D., 2012, Formulation Development and Evaluation of Unit Moulded Semisolid Jelly for Oral Administration as a Calcium Supplement, World Journal of Pharmaceutical Research, 1(3), pp. 629 [8] Daud, Ahmad., Suriati Nuzulyanti. 2019. Kajian Penerapan Faktor yang Mempengaruhi Akurasi Penentuan Kadar Air Metode Thermogravimetri. Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan, Program Studi Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan, Politeknik Pertanian Negeri Pangkep, Indonesia. Lutjanus Vol.24 No.2 [9] Sudarmadji, Slamet, Bambang Haryono, dan Suhardi. 2007. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta [10] Hidayat., Iyan Rifky., Ade Zuhrotun., Iyan Sopyan. 2021. Design-expert Software sebagai Alat Optimasi Formulasi Sediaan Farmasi. Fakultas Farmasi, Universitas Padjajaran. Majalah Farmasetika Vol.06 No.01.
14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 375 Journal homepage: https://prosiding.farmasi.unmul.ac.id Kajian Interaksi Obat Pasien Gagal Ginjal Kronis Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Samarinda Medika Citra Study of Drug Interaction of Patients with Chronic Kidney Failure at the Inpatient Installation of Samarinda Medika Citra Hospital Angelina Theodora Hanyaq*, Adam M Ramadhan, Erwin Samsul Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian “Farmaka Tropis”, Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman, Samarinda, Indonesia *Email korespondensi: hanyaqangelina18@gmail.com Abstrak Pasien gagal ginjal kronis umumnya memiliki penyakit penyerta yang mengakibatkan pengobatan Gagal Ginjal Kronis menjadi kompleks sehingga jumlah obat yang diterima pasien meningkat. Banyaknya obat yang dikonsumsi pasien akan meningkatkan potensi kejadian interaksi obat. Tujuan penelitian untuk mengetahui karakteristik, pola pengobatan dan interaksi obat potensial pasien gagal ginjal kronis di Rumah Sakit Samarinda Medika Citra. Metode penelitian yang dilakukan ini merupakan penelitian non-eksperimental (obseravasional) secara deskriptif dengan pendekatan retrospektif. Pengambilan data dilakukan berdasarkan lembar rekam medis pasien Gagal Ginjal Kronis di ruang rawat inap Rumah Sakit Samarinda Medika Citra dan didapatkan 59 pasien. Hasil Penelitian data karakteristik berdasarkan usia dengan persentase tertinggi pada usia lansia sebanyak 52,54%, berdasarkan jenis kelamin, persentase jenis kelamin terbanyak ada pada jenis kelamin laki – laki yaitu 50,85 % dan perempuan sebanyak 49,15%. Penyakit penyerta terbanyak adalah anemia 50,84%. Penggunaan golongan obat yang paling banyak adalah kombinasi 4 terapi dengan golongan Antihipertensi+Suplemen, Vitamin, Mineral + Antitukak + Antiemetik sebanyak 79,66%. Potensi interaksi obat yang paling banyak ditemukan yaitu interaksi ranitidine dengan calos sebanyak 35,59% dengan keparahan minor. Kata Kunci: Gagal Ginjal Kronis, Rawat inap, Interaksi obat Abstract Patients with chronic kidney failure generally have comorbidities that cause the treatment of chronic kidney failure to be complex so that the number of drugs received by patients increases. The number Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals Conferences
Kajian Interaksi Obat Pasien Gagal Ginjal Kronis Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Samarinda Medika Citra 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 376 of drugs consumed by the patient will increase the potential for drug interactions. The purpose of this study was to determine the characteristics, treatment patterns and potential drug interactions of patients with chronic kidney failure at Samarinda Medika Citra Hospital. The research method used is a non-experimental (observational) descriptive study with a retrospective approach. Data collection was carried out based on the medical record sheet of Chronic Kidney Failure patients in the inpatient room at Samarinda Medika Citra Hospital and obtained 59 patients. The results of the study of characteristic data based on age with the highest percentage in the elderly as much as 52.54%, based on gender, the highest percentage of sex was in the male sex, namely 50.85% and female as much as 49.15%. The most common comorbidities was anemia 50.84%. The most use of drug class is combination of 4 therapies with Antihypertensive + Supplement, Vitamin, Mineral + Antiulcer + Antiemetic group as much as 79.66%. The most common potential drug interactions found was the interaction of ranitidine with calos as much as 35.59% with minor severity. Keywords: Chronic Kidney Failure, Hospitalization, Drug interactions DOI: https://doi.org/10.25026/mpc.v14i1.598 1 Pendahuluan Menurut World Health Organization (2018) [1], pasien yang menderita gagal ginjal kronis telah meningkat 50% dari tahun sebelumnya, secara global kejadian gagal ginjal kronis lebih dari 500 juta orang dan yang harus menjalani hidup dengan bergantung pada cuci darah (hemodialisa) adalah 1,5 juta orang. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 [2] dan 2018 [3] menunjukan bahwa prevalensi penyakit gagal ginjal kronis di Indonesia ≥ 15 tahun berdasarkan diagnosis dokter pada tahun 2013 adalah 0,2% dan terjadi peningkatan pada tahun 2018 sebesar 0,38%. Provinsi Kalimantan Timur prevalensi penderita penyakit ginjal kronik mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada tahun 2018 yaitu 0,42%. Prevalensi gagal ginjal kronik meningkat seiring bertambahnya usia, didapatkan meningkat tajam pada kelompok umur 25-34 tahun (0,23%), diikuti umur 35-44 tahun (0,33%), umur 45-54 tahun (0,56%), umur 55-64 tahun (0,72%), dan tertinggi pada kelompok umur 65- 74 tahun (0,82%). Prevalensi pada laki-laki (0,42%) lebih tinggi dari perempuan (0,35%) [3]. Penyakit Gagal Ginjal Kronis (GGK) merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah besar di dunia. Gagal ginjal kronis merupakan suatu penyakit yang menyebabkan fungsi organ ginjal mengalami penurunan hingga akhirnya tidak mampu melakukan fungsinya dengan baik. Gangguan fungsi ginjal ini terjadi ketika tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah. Kerusakan ginjal ini mengakibatkan masalah pada kemampuan dan kekuatan tubuh yang menyebabkan aktivitas kerja terganggu, sehingga kualitas hidup pasien menurun [4]. Polifarmasi cenderung terjadi pada pasien gagal ginjal yang disebabkan terdapat beberapa penyakit komplikasi serta penyakit komorbid yang kompleks yang mengakibatkan pengobatan gagal ginjal kronik kompleks dan bervariasinya regimen pengobatan yang terdiri atas berbagai kelas terapi dan sub terapi seperti anti hipertensi, antidiabetes, antianemia dan lainnya sehingga akan berpengaruh terhadap menurunnya kualitas hidup seseorang [5]. Meningkatnya kejadian interaksi obat dengan efek yang tidak diinginkan adalah akibat makin banyaknya dan makin seringnya penggunaan obat - obat yang dinamakan polifarmasi atau multiple drug therapy [6]. Interaksi obat dianggap penting secara klinis jika berakibat meningkatkan toksisitas dan atau mengurangi efektifitas obat yang berinteraksi sehingga terjadi perubahan pada efek terapi [7].
Kajian Interaksi Obat Pasien Gagal Ginjal Kronis Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Samarinda Medika Citra 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 377 2 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian noneksperimental (obseravasional). Pengambilan data dilakukan secara retrospektif berdasarkan lembar rekam medis pasien Gagal Ginjal Kronis di ruang rawat inap Rumah Sakit Samarinda Medika Citra periode Januari sampai dengan Desember 2019. Populasi penelitian adalah pasien gagal ginjal kronis berusia < 25 tahun dengan penyakit penyerta. Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 59 pasien yang diperoleh dalam periode data Januari – Desember 2019. Data yang diperoleh akan dipaparkan secara deskriptif. 3 Hasil dan Pembahasan 3.1 Karakteristik Pasien Data karakteristik pasien berdasarkan usia dapat dilihat pada gambar 1. Hasil penelitian menunjukkan pasien terbanyak pada rentang usia lansia 46 – 65 tahun (52,54%) sebanyak 31 pasien diiukuti kelompok usia dewasa sebanyak 28,81% dan usia manula sebanyak 18,65%. Prevalensi gagal ginjal kronik meningkat seiring bertambahnya usia, didapatkan meningkat tajam pada kelompok umur 25-34 tahun (0,23%), diikuti umur 35-44 tahun (0,33%), umur 45-54 tahun (0,56%), umur 55-64 tahun (0,72%), dan tertinggi pada kelompok umur 65- 74 tahun (0,82%). Secara klinik pasien usia >60 tahun mempuyai risiko 2,2 kali lebih besar mengalami Gagal Ginjal Kronis dibandingkan dengan pasien usia <60 tahun [8]. Hal ini menunjukkan bahwa semakin bertambah usia, semakin berkurang fungsi ginjal karena disebabkan terjadinya penurunan kecepatan ekskresi glomerulus dan penurunan fungsi tubulus pada ginjal [9]. Gambar 1 Karakteristik Berdasarkan Jenis Kelamin Berdasarkan hasil penelitian pada gambar 2 distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin sebagian besar didominasi oleh laki-laki 50,85% sedangkan jenis kelamin perempuan sebanyak 49,15%. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 prevalensi pada laki-laki (0,42%) lebih tinggi dari perempuan (0,35%) [3]. Secara klinik laki-laki mempunyai risiko mengalami penyakit ginjal kronis 2 kali lebih besar dari pada perempuan. Hal ini dimungkinkan karena perempuan lebih memperhatikan kesehatan dan menjaga pola hidup sehat dibandingkan laki-laki, Pola hidup seperti merokok, mengonsumsi alkohol yang merupakan faktor risiko terjadinya penyakit ginjal yang ditemukan lebih banyak pada laki-laki dibandingkan perempuan sehingga laki-laki lebih mudah terkena penyakit ginjal kronis dibandingkan perempuan. Dan juga hasil tersebut kemungkinan berkaitan dengan kejadian penyakit penyebab GGK, seperti batu ginjal, yang juga banyak terjadi pada jenis kelamin laki – laki [10]. Gambar 2 Karakteristik Berdasarkan Usia Berdasarkan gambar 3 penyakit penyerta terbanyak pada pasien gagal ginjal kronis adalah anemia sebanyak 50.84%. Salah satu komplikasi GGK yang paling sering terjadi yaitu anemia. Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronis. Berdasarkan PERNEFRI 2011, dikatakan anemia pada penyakit ginjal kronis jika Hb ≤ 10 gr/dl dan Ht ≤ 30%. Anemia pada GGK terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoietin. Munculnya anemia menandakan suatu progresivitas dari PGK dan muculnya 50.85% 49.15% 48% 49% 50% 51% Laki - Laki Perempuan
Kajian Interaksi Obat Pasien Gagal Ginjal Kronis Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Samarinda Medika Citra 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 378 masalah baru dalam produksi sel darah merah. Seiring menurunnya fungsi ginjal dan meningkatnya stadium GGK menyebabkan prevalensi dan insidensi anemia semakin meningkat, dan mengenai hampir semua pasien GGK [11]. Anemia pada GGK terutama disebabkan karena defisiensi factor dari eritropoietin (EPO), namun ada faktor-faktor lain yang dapat mempermudah terjadinya anemia, antara lain memendeknya umur sel darah merah, inhibisi sumsum tulang, dan paling sering defisiensi zat besi dan folat. Anemia yang terjadi pada pasien GGK dapat menyebabkan menurunnya kualitas hidup pasien. Selain itu anemia pada pasien GGK juga meningkatkan terjadinya morbiditas dan mortalitas [12]. Data penyakit penyerta dapat dilihat pada gambar 3. 3.2 Penggunaan Obat Berdasarkan gambar 4 penggunaan golongan obat yang paling banyak dikombinasi adalah kombinasi 4 terapi dengan golongan Antihipertensi + Suplemen, Vitamin, Mineral + Antitukak + Antiemetik sebanyak 79,66% dan diikut dengan kombinasi 3 terapi yaitu Antihipertensi + Suplemen, Vitamin Mineral + Antitukak sebanyak 76,27%. Terapi antihipertensi dapat mencegah kerusakan ginjal. Menurut JNC-7 [13] dan rekomendasi NKF K/DOQI Hypertension and Diabetes Executive Committee [14], tujuan terapi tekanan darah penderita hipertensi pada pasien gagal ginjal kronik dan diabetes adalah <130/80 mmHg. Pengontrolan tekanan darah sangat penting dalam menghambat gagal ginjal kronik. JNC-7 merekomendasikan ACEI dan ARB menjadi pilihan utama bagi penderita hipertensi dan gagal ginjal kronik. Jenis obat antihipertensi yang paling sering digunakan pada pasien gagal ginjal kronis di Instalasai Rawat Inap Rumah Sakit Samarinda Medika Citra yaitu furosemide yang merupakan golongan Loop diuretic bekerja menghambat reabsorbsi Na dan Cl menyebabkan naiknya ekskresi air, Na, dan Ca [15]. Yang kedua yaitu Amlodipine, menurut Sani dalam Prasetyo et al (2015) [15], amlodipine menghambat proses berpindahnya kalsium menuju sel otot jantung dan otot polos dinding pembuluh darah, dan akan merelaksasi otot pembuluh darah dan menurunkan resistensi perifer serta menurunkan tekanan darah. Jenis obat ketiga yaitu candesartan dengan mekanisme kerja menghambat angiotensin II pada reseptor subtipe 1, dimana jika tidak dihambat akan menyebabkan vasokontriksi sehingga tekanan darah naik. Angiotensin II pada Reseptor subtipe 2 tidak dihambat karena reseptor ini memberi efek vasodilatasi sehingga tekanan darah turun [16].
Kajian Interaksi Obat Pasien Gagal Ginjal Kronis Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Samarinda Medika Citra 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 379 Gambar 3. Karakteristik Berdasarkan Penyakit Penyerta
Kajian Interaksi Obat Pasien Gagal Ginjal Kronis Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Samarinda Medika Citra 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 380 Gambar 4. Data Penggunaan Obat Terapi Kombinasi pada Pasien Gagal Ginjal Kronis Penggunaan obat golongan suplemen, vitamin dan mineral yang paling banyak digunakan yaitu Asam folat. Menurut Seguchi dalam Tuloli (2019) [17] penyebab utama anemia pada GGK diperkirakan adalah karena defisiensi relatif dari eritropoetin (EPO). Penyebab lainnya yang ikut berperan terhadap terjadinya anemia pada GGK yaitu defisiensi besi, asam folat atau vitamin B12, inflamasi Kronis, perdarahan, racun metabolik yang menghambat eritropoesis dan hemolisis baik oleh karena bahan uremik ataupun sebagai akibat dari hemodialisis. Penggunaan kelompok suplemen, vitamin dan mineral seperti asam folat yang dikonsumsi oleh penderita gagal ginjal kronis. Penggunaannya bertujuan untuk mengatasi kondisi anemia yang muncul pada pasien dengan kondisi defisiensi asam folat, defisiensi besi, defisiensi vitamin B12, dan akibat fibrosis sumsum tulang belakang. Asam folat dikonsumsi menjadi antianemia karena kebanyakan penderita gagal ginjal merasakan kurang darah sebagai dampak dari kerusakan ginjal yang dideritanya [18].
Kajian Interaksi Obat Pasien Gagal Ginjal Kronis Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Samarinda Medika Citra 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 381 Golongan obat antitukak yang paling banyak digunakan adalah ranitidine dan sukralfat. Ranitidin berperan dalam mengurangi faktor agresif dengan cara menghambat histamin pada reseptor H2 sel parietal sehingga sel parietal tidak terangsang mengeluarkan asam lambung. Sedangkan sukralfat berperan dalam meningkatkan faktor devensif dengan cara melindungi mukosa lambung [19]. Golongan antiemetik yang paling banyak digunakan yaitu ondansetron yang merupakan obat selektif terhadap antagonis reseptor 5-hidroksi-triptamin (5-HT3) di otak, dan bekerja pada aferen nervus vagus untuk mengatasi mual dan muntah [20]. 3.3 Data Potensi Interaksi Obat Berdasarkan tabel 1 dimana dilakukan analisis dengan menggunakan literatur drugs interactions checker pada aplikasi drugs.com dan Medscape diperoleh 5 potensi interaksi obat terbanyak pada pasien gagal ginjal kronis di Rumah Sakit Samarinda Medika Citra selama periode Januari – Desember 2019. Tingkat keparahan interaksi dapat diklasifikasikan dalam tiga tingkatan: minor jika interaksi mungkin terjadi tetapi dianggap tidak berbahaya untuk signifikansi potensial [21]. Pada interaksi minor efek yang ditimbulkan hanya sedikit berpengaruh pada pasien sehingga jarang dilakukan intervensi tambahan pada jenis interaksi ini, namun untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan terjadi, apoteker dapat melakukan monitoring gejala dan nilai laboratorium terkait dengan penggunaan obat [22]. Tabel 1 Data Potensi Interaksi Obat Pasien Gagal Ginjal Kronis di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Samarinda Medika Citra periode Januari – desember 2019 No Obat A Obat B Tingkat Keparahan Tipe Interaksi Level Signifikansi Jumlah Kasus Persentase (%) 1 Ceftriaxone Ca. Glukonat Mayor Farmakokinetik Absorpsi 1 3 5,08 2 Amlodipine Calos Moderat Farmakodinamik Antagonis 4 7 11,86 3 Ceftriaxone Furosemide Moderat Farmakodinamik Sinergis 4 8 13,55 4 Lansoprazole Furosemide Moderat Farmakodinamik 4 7 11,86 5 Ranitidine Calos Minor Farmakokinetik Absorpsi 5 21 35,59 Interaksi minor dari penelitian ini yang terdapat pada tabel 1 adalah ranitidine dengan calos sebanyak 35,59%, dimana jenis interaksi secara farmakokinetik absorpsi dan level signifikansi 5, calos yang merupakan golongan antasida dapat menurunkan konsentrasi plasma ranitidine yang merupakan antagonis reseptor H2 selama pemberia bersama oral. Mekanismenya mungkin terkait dengan absorbsi dan bioavaibilitas dikarenakan penetralan asam. Jika dilihat dari waktu paruh ranitidine yaitu 2,5 - 3, maka disarankan untuk menggunakan antagonis reseptor H2 tiga jam sebelum antasida supaya dapat mencegah terjadinya interaksi antara kedua obat tersebut [23] [24]. Selain itu, interaksi moderat dimana terjadinya interaksi yang dapat mengurangkan efektifitas obat bahkan meningkatkan efek samping obat [21]. Interaksi yang terjadi berdasarkan dari tabel 1 ada 3 potensi interaksi dengan keparahan moderat, yang pertama adalah Interaksi antara furosemide dengan ceftriaxone sebanyak 13,55%, dimana jenis interaksi secara farmakodinamik dan level signifikansi 4, penggunaan furosemide atau golongan obat loop diuretic dengan beberapa antibiotik golongan sefalosporin berpotensi menyebabkan nefrotoksik, terutama penggunaan antibiotik sefalosporin dosis tinggi baik melalui intravena maupun oral. Penggunaan obat ceftriaxson dengan furosemide secara bersama harus hati – hati dan direkomendasikan untuk monitoring fungsi ginjal dengan menghitung nilai laju filtrasi glomerulus terutama pada dosis tinggi, pasien geriatrik, maupun pasien dengan gangguan ginjal, untuk menghindari terjadinya interaksi obat, disarankan untuk memberi jeda pemberian furosemid 3 hingga 4 jam sebelum obat golongan sefalosporin [7].
Kajian Interaksi Obat Pasien Gagal Ginjal Kronis Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Samarinda Medika Citra 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 382 Interaksi dengan tingkat keparahan moderat yang kedua yaitu amlodipine dan calos sebanyak 11,86%, dimana jenis interaksi secara antagonis farmakodinamik dengan level signifikansi 4, Efek dari kombinasi kedua obat tersebut berupa penurunan efek amlodipin oleh calos, amlodipin pada awalnya berfungsi untuk memperlambat pergerakan kalsium untuk masuk ke dalam sel jantung dan dinding arteri kemudian arteri menjadi rileks sehingga tekanan darah ke jantung dapat diturunkan, namun adanya asupan calos dapat menurunkan efektivitas CCB karena terjadi penjenuhan saluran kalsium oleh adanya penumpukan kalsium. Hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi efek dari interaksi dari kedua obat ini adalah tidak memberikan kedua obat secara bersamaan. Penggunaan amlodipin dan calos harus diberikan jeda waktu sekitar 3-4 jam. Selain itu harus dilakukan pemantauan agar tidak terjadi efek samping yang merugikan [25]. Interaksi dengan keparahan moderat yang ketiga adalah lansoprazole bersama dengan furosemide sebanyak 11,86% dengan jenis interaksi secara farmakodinamik dan level signifikansi 4, penggunaan secara bersama lansoprazole dengan furosemid dapat menyebabkan kondisi yang disebut hipomagnesemia, atau kadar magnesium dalam darah rendah. Obat yang dikenal sebagai inhibitor pompa proton termasuk lansoprazole dapat menyebabkan hipomagnesemia bila digunakan dalam waktu lama, dan risiko dapat lebih ditingkatkan bila dikombinasikan dengan diuretik atau agen lainnya yang dapat menyebabkan kehilangan mangnesium, salah satunya furosemide. Dalam kasus yang parah, hipomagnesemia dapat menyebabkan ritme jantung tidak teratur, jantung berdebar, kejang otot, tremor, atau kejang. Pemantauan kadar magnesium serum dianjurkan sebelum memulai terapi dan berkala sesudahnya jika inhibitor pompa proton digunakan dalam jangka waktu yang lama [23]. Selanjutnya yaitu, interaksi mayor dimana potensi bahaya dari interaksi obat terjadi pada pasien sehingga beberapa jenis monitoring/intervensi seringkali diperlukan. Potensi bahaya yang dimaksudkan yaitu, jika ada probabilitas tinggi dari peristiwa yang merugikan pasien, termasuk kegiatan yang terkait dengan kehidupan pasien dan kerusakan organ yang permanen [25]. Interaksi dengan keparahan mayor adalah Ceftriaxone dan kalsium glukonat sebanyak 5,08% dengan jenis interaksi secara farmakokinetik absorpsi dan level signifikansi 1, dimana ceftriaxone dan kalsium dapat membentuk kristal bila dicampur bersama dalam larutan atau dalam aliran darah. Reaksi yang mengancam jiwa dan fatal telah terjadi ketika kristal menumpuk di paru-paru dan ginjal bayi yang baru lahir [23]. Jika dilihat dari waktu paruh ceftriaxone yaitu 5 – 9 jam, maka disarankan untuk menggunakan ceftriaxone sembilan jam sebelum Ca. Glukonat supaya dapat mencegah terjadinya interaksi antara kedua obat tersebut [23] [24] 4 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah didapatkan maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Data karakteristik pasien gagal ginjal kronis dengan persentase usia tertinggi yaitu pada rentang usia lansia sebanyak 52,54%, persentase jenis kelamin paling mendominasi pada pada laki – laki sebanyak 50,85% dan perempuan sebanyak 49,15%. Penyakit penyerta terbanyak adalah anemia sebanyak 50,84%. 2. Penggunaan golongan obat yang paling banyak dikombinasi adalah kombinasi 4 terapi dengan golongan Antihipertensi + Suplemen, Vitamin, Mineral + Antitukak + Antiemetik sebanyak 79,66% dan diikut dengan kombinasi 3 terapi yaitu Antihipertensi + Suplemen, Vitamin Mineral + Antitukak sebanyak 76,27%. 3. Potensi interaksi obat yang paling banyak ditemukan ditemukan yaitu interaksi ranitidine dengan calos sebanyak 35,59 % dengan keparahan minor, diikuti potensi interaksi dengan keparahan moderat yaitu ceftriaxone dan furosemide sebanyak 13,55 %, amlodipine dengan calos sebanyak 11,86 %, dan lansoprazole dengan furosemide sebanyak 11,86 %; terakhir potensi interaksi dengan keparahan mayor yaitu ceftriaxone dengan Ca. Glukonat sebanyak 5,08 %.
Kajian Interaksi Obat Pasien Gagal Ginjal Kronis Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Samarinda Medika Citra 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 383 5 Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih kepada pimpinan, kepala diklat, serta staf rekam medis Rumah Sakit SMC. 6 Kontribusi Penulis Angelina Theodora Hanyaq: Melaksanakan penelitian, pengumpulan dan analisis data dan pustaka, membahas hasil penelitian serta penyusunan draft manuskrip. Adam M Ramadhan dan Erwin Samsul : Pengarah, pembimbing, serta penyelaras akhir manuskrip. 7 Etik Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan dari Komisi Etik Fakultas Farmasi Universitas Mulawarman melalui terbitnya Surat Keterangan Layak Etik No.38/KEPK/FUNMUL/ECE/EXE/10/2020. 8 Konflik Kepentingan Tidak ada konflik kepentingan yang dilaporkan dalam penelitian ini. 9 Daftar Pustaka [1] World Health Organization (WHO). 2018. Deafness and hearing loss. Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/f s300/en/. [2] Kemenkes Ri. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang Kemenkes RI. http://labdata.litbang.kemkes.g o.id/images/download/laporan/RKD/2013/La poran_riskesdas_2013_final.pdf. [3] Kemenkes RI. 2018. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang Kemenkes RI. http://www.depkes.go.id/resou rces/download/infoterkini/materi_rakorpop_2 018/Hasil%20Riskesdas%202018.pdf. [4] Ali, Alfians R Belian., Gresty N M Masi., dan Vandri Kallo. 2017. Perbandingan Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronik dengan Komorbid Faktor Diabetes Melitus dan Hipertensi Di Ruangan Hemodialisa RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jurnal Keperawatan. Volume 5 Nomor 2. [5] Pratiwi, Ayu., Eka Kartika Untari., dan Muhammad Akib Yuswar. 2019. Hubungan Antara Pengobatan Dengan Persepsi Penyakit Gagal Ginjal Kronik Dan Kualitas Hidup Pasien Yang Menjalani Haemodialisa Di Rsud Soedarso Pontianak. Jurnal Farmasi. Volume 4, Nomor 1. [6] Gapar, R.S. 2003. Interaksi Obat Beta-Blocker dengan Obat-obat lain. Bagian Farmakologi FK USU, Medan. [7] Pasangka, Intan T., Heedy Tjitrosantoso., dan Widya Astuty Lolo. 2017. Identifikasi Potensi Interaksi Obat Pada Pasien Gagal Ginjal Rawat Inap di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jurnal Ilmiah Farmasi. Volume 6 Nomor 4. [8] Pranandari, Restu., dan Woro Supadmi. 2015. Fak tor Risiko Gagal Ginjal Kronik Di Unit Hemodialisis RSUD Wates Kulon Progo. Majalah Farmaseutik, Volume. 11 Nomor. 2. [9] Supadmi, Woro. 2011. Evaluasi Penggunaan Obat Anti Hipertensi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis Yang Menjalani Hemodialisis. Jurnal Ilmiah Kefarmasian. Volume. 1, Nomor. 1. [10] Aisara, Sitifa., Syaiful Azmi., dan Mefri Yanni. 2018. Gambaran Klinis Penderita Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. Volume 7. Nomor 1. [11] Aisyafitri, Ullya., Willy B Uwan., dan , Agus Fitriangga. 2018. Gambaran Anemia pada Pemeriksaan darah tepi Penderita Penyakit Ginjal Kronis dengan Terapi Hemodialisis di RSU Santo Antonius Pontianak. Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 4. Nomor 2. [12] Ismatullah, Ahmad.2015. Manajemen terapi Anemia pada Pasien Gagal Ginjal Kronis . Jurnal Kedokteran. Volume 4, Nomor 2. [13] JNC VII. 2003. The seventh report of the Joint National Committee on prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure. NIH publication 03-5233. [14] KDOQI Advisory Board Members. Clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classification, and stratification. Am J Kidney Dis. 2004; 39:S46-S75. [15] Prasetyo, Eko Yudha., Oetari., dan Tri Wijayanti. 2015. Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi pada Penyakit Hipertensi Disertai Gagal Ginjal Kronik (ICD I12.0) Pasien Geriatri Rawat Inap di RSUD A.W. Sjahranie Samarinda pada Tahun 2012 dan 2013 dengan Metode ATC/DDD. Jurnal Farmasi Indonesia. Volume. 12 Nomor. 1. [16] Ulfa, Ninik Mas . 2017. Analisis Efektivitas Kontrol Penurunan Tekanan Darah pada Pasien Hipertensi yang Mendapat Terapi Obat Antihipertensi Golongan Angiotensin Receptor Blocker’s (Candersartan, Valsartan, Kalium Losartan) Journal of Pharmacy and Science. Volume. 2, Nomor 2. [17] Tuloli, Teti Sutriyati., Madania., Moh Adam Mustapa., dan Evania P. Tuli. 2019. Evaluasi Penggunaan Obat Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis Yang Menjalani Hemodialisis Di Rsud Toto Kabila Periode 2017-2018. Jurnal Farmasi. Volume 8. Nomor 2.
Kajian Interaksi Obat Pasien Gagal Ginjal Kronis Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Samarinda Medika Citra 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 384 [18] Kamaliah, Nurul Izzah Al., Noor Cahaya., dan Siti Rahmah 2021. Gambaran Karakteristik Pasie Gagal Ginjal Kronis Yang Menggunakan Suplemen Kalsium di Poliklinik Sub Spesialis Ginjal Hipertensi Rawat Jalan RSUD Ulin Banjarmasin. Jurnal Pharmascience. Volume. 08, Nomor 01. [19] Wardaniati, Isna,. Almahdy A., dan, Azwir Dahlan. 2016. Gambaran Terapi Kombinasi Ranitidin Dengan Sukralfat dan Ranitidin Dengan Antasida Dalam Pengobatan Gastritis di SMF Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ahmad Mochtar Bukittinggi. Jurnal Farmasi Higea. Volume. 8, Nomor 1. [20] Sakti, Yuhantoro Budi Handoyo Sakti, dan M. Hidayat Budi K. 2016. Perbandingan Antara Pemberian Ondansetron Dengan Pemberian Metoklopramid Untuk Mengatasi Mual Dan Muntah Paska Laparatomi di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo. SAINTEKS . Volume XIII, Nomor 1. [21] Ramatillah, Diana Laila., Stefanus Lukas., dan Tri Hastut. 2014. Analisis Interaksi Obat Pada Penyakit Ginjal Tahap V (On Hemodialisa) Berdasarkan Resep Di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Selama Januari-Juni 2013. Jurnal Farmasi Higea. Volume. 6, Nomor. 1. [22] Hanutami, Berlian., dan Keri Lestari Dandan. 2019. Identifikasi Potensi Interaksi Antar Obat Pada Resep Umum di Apotek Kimia Farma 58 Kota Bandung Bulan April 2019. Jurnal Farmaka. Volume 17 Nomor. [23] Drugs.com, 2018, Prescription Drug Information, Interactions & Side Effects, Terdapat di:https://www.drugs.com/drug_interactions. html [Diakses pada Februari, 2021]. [24] Medscape.com. 2021. Drug Interaction Checker, Terdapat di: https://reference.medscape.com/ drug- interactionchecker [Diakses pada Februari, 2021] [25] Anggriani, Ani., Eva Kusumahati., dan Irfan Hilmi Multazam. 2021. Potensi Interaksi Obat Amlodipin Pada Pasien Hipertensi Di Salah Satu Puskesmas Kabupaten Sumedang. Jurnal Riset Kefarmasian Indonesia Volume.3 Nomor.1.
14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 348 Journal homepage: https://prosiding.farmasi.unmul.ac.id Formulasi Sediaan Masker Gel Peel Off dari Minyak Atsiri Sereh (Cymbopogon citratus) Formulation of the Preparation of Peel Off Gel Mask from Cymbopogon Citratus Essential Oil (Cymbopogon citratus) Annisa1,*, Andi Tenri Kawareng2, Niken Indriyanti3 1Mahasiswa Program Studi Sarjana Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur 2KBI Gizi, Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman, Samarinda, Indonesia 3KBI Farmakologi, Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman, Samarinda, Indonesia *Email korespondensi: nissazoo99@gmail.com Abstrak Sereh (Cymbopogon citratus) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri yang dikenal dengan nama Lemongrass oil dengan kandungan utama senyawa sitral. Minyak atsiri sereh diketahui memiliki aktivitas antioksidan. Aktivitas antioksidan minyak sereh dapat dimanfaatkan untuk perawatan kulit berupa masker gel peel off. Tujuan dari penelitian ini adalah memformulasikan sediaan masker gel peel off dari minyak atsiri sereh (Cymbopogon citratus) dan mengetahui hasil evaluasi fisik dari masker gel peel off. Sediaan masker gel peel off dibuat dalam tiga formula dengan perbedaan konsentrasi PVA, yaitu F1 (10%), F2 (13%), dan F3 (16%). Pengujian evaluasi fisik meliputi uji organoleptik, homogenitas, viskositas, pH, daya sebar, dan waktu mengering. Masker gel peel off pada ketiga formula didapatkan bentuk gel yang kental, berwarna putih, dan berbau khas sereh. Hasil yang diperoleh berdasarkan evaluasi fisik menunjukkan bahwa ketiga formula telah memenuhi parameter standar yang dipersyaratkan. Kata Kunci: Masker gel peel off, minyak atsiri sereh, PVA Abstract Lemongrass (Cymbopogon citratus) is one of the essential oil producing plants known as Lemongrass oil with the main content of citral compounds. Lemongrass essential oil is known to have antioxidant activity. The antioxidant activity of lemongrass oil can be used for skin care in the form of a peel off gel mask. The purpose of this study was to formulate a peel off gel mask preparation from lemongrass Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals Conferences
Formulasi Sediaan Masker Gel Peel Off dari Minyak Atsiri Sereh (Cymbopogon citratus) 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 349 essential oil (Cymbopogon citratus) and to know the results of the physical evaluation of the peel off gel mask. The peel off gel mask was made in three formulas with different concentrations of PVA, namely F1 (10%), F2 (13%), and F3 (16%). Physical evaluation tests include organoleptic tests, homogeneity, viscosity, pH, dispersion, and drying time. The peel off gel mask in the three formulas was obtained in the form of a thick gel, white in color, and had a characteristic lemongrass smell. The results obtained based on the physical evaluation showed that the three formulas had met the required standard parameters. Keywords: peel off gel mask, lemongrass essential oil, PVA DOI: https://doi.org/10.25026/mpc.v14i1.599 1 Pendahuluan Sereh (Cymbopogon citratus) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri yang dikenal dengan nama lemongrass oil dengan kandungan utama senyawa sitral [1]. Minyak atsiri adalah kelompok besar minyak nabati yang berwujud cairan kental pada suhu ruang dan mudah menguap sehingga memberikan aroma yang khas [2]. Minyak atsiri sereh diketahui memiliki aktivitas antioksidan. Berdasarkan penelitian Lawrence., dkk [3] didapatkan nilai IC50 minyak atsiri sereh dengan metode DPPH sebesar 0,5 mg/mL. Kulit merupakan lapisan tubuh yang berperan sebagai proteksi dari pengaruh luar. Paparan sinar ultraviolet (UV) terhadap kulit wajah dapat menimbulkan beberapa masalah kulit. Perawatan kulit merupakan upaya dalam mengatasi masalah pada kulit wajah [4]. Sediaan farmasi dalam bentuk gel banyak digunakan dalam sediaan kosmetik. Kosmetika adalah bahan atau sediaan yang digunakan pada bagian luar tubuh manusia terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan, dan/atau memperbaiki bau badan atau memelihara tubuh pada kondisi baik [5]. Salah satu sediaan perawatan kulit wajah adalah masker gel peel off. Masker gel peel off merupakan salah satu jenis masker wajah yang memiliki kemudahan dalam penggunaan yang lebih praktis karena setelah kering mudah dilepas atau diangkat seperti membran elastis tanpa harus dibilas. Kosmetik wajah dalam bentuk masker peel off bermanfaat dalam merelaksasi otot-otot wajah, sebagai pembersih, penyegar, pelembab, dan pelembut bagi kulit wajah [4]. Untuk memperoleh masker gel peel off dengan kualitas yang baik diperlukan pengetahuan mengenai waktu mengering, kemudahan penggunaan, dan kinerja pembentukan film pada kulit [6]. Sehingga berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan formulasi dan evaluasi fisik sediaan masker gel peel off dari minyak atsiri sereh (Cymbopogon citratus). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil evaluasi fisik dari masker gel peel off minyak atsiri sereh (Cymbopogon citratus). Manfaat dari penelitian ini adalah dapat digunakan sebagai acuan bahwa minyak atsiri sereh dapat diaplikasikan dalam bentuk sediaan masker gel peel off, sehingga dapat memberikan wawasan baru dalam pengembangan sediaan farmasi terutama yang berasal dari tanaman obat yang bernilai ekonomi. 2 Metode Penelitian 2.1 Alat dan Bahan penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah batang pengaduk, gelas kimia, gelas ukur, hotplate, kaca arloji, cawan porselin, kaca objek, cawan petri, mortir dan stemper, pH meter, pipet ukur, timbangan analitik, dan viscometer rheosys. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak atsiri sereh (Cymbopogon citratus) yang didapat dari PT. Darjeeling Sembrani Aroma, Bandung, PVA, HPMC, metil
Formulasi Sediaan Masker Gel Peel Off dari Minyak Atsiri Sereh (Cymbopogon citratus) 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 350 paraben, propil paraben, propilen glikol, dan aquades. 2.2 Formulasi masker gel peel off Formula masker disajikan pada Tabel 1. Tabel. 1 Formula masker gel peel off minyak atsiri sereh Bahan Formula (%) Fungsi 1 2 3 Minyak atsiri sereh 3 3 3 Zat aktif PVA 10 13 16 Pembentuk film HPMC 7 7 7 Gelling agent Propilen Glikol 10 10 10 Humektan Metil Paraben 0,18 0,18 0,18 Pengawet Propil paraben 0,2 0,2 0,2 Pengawet Aquades Ad 100 Ad 100 Ad 100 Pelarut Keterangan : F1 : Formulasi sediaan masker gel peel off minyak atsiri sereh 10% PVA F2 : Formulasi sediaan masker gel peel off minyak atsiri sereh 13% PVA F3 : Formulasi sediaan masker gel peel off minyak atsiri sereh 16% PVA 2.3 Pembuatan sediaan masker gel peel off Masker gel peel off dibuat dalam tiga formula dengan perbedaan konsentrasi PVA, yaitu F1 (10%), F2 (13%), dan F3 (16%). Pembuatan masker gel peel off dimulai dengan penimbangan masing-masing bahan. Dikembangkan HPMC dalam aquades suhu 80ᵒC selama 24 jam (wadah 1). Selanjutnya PVA dikembangkan dengan aquades suhu konstan 80ᵒC di atas hotplate (wadah 2). Dilarutkan metil paraben dan propil paraben dengan propilen glikol (3). Wadah 1 dan 3 dicampurkan secara berturut-turut ke dalam wadah 2, kemudian digerus homogen. Minyak atsiri dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam wadah 2 lalu digerus kembali. Setelah itu ditambahkan sisa aquades hingga berat masker mencapai 100 gram (aquades ad 100%) dan diaduk homogen membentuk masker gel peel off. 2.4 Evaluasi Fisik Sediaan Masker Gel Peel Off 2.4.1 Pengujian Organoleptik Pengujian organoleptik dilakukan untuk melihat tekstur fisik sediaan dengan cara pengamatan langsung terhadap bentuk, warna, dan bau dari sediaan [7]. 2.4.2 Pengujian homogenitas Pengujian ini dilakukan dengan meletakkan sejumlah tertentu sediaan masker gel peel off dan dioleskan pada dua keping kaca objek. Lalu dilihat ada tidaknya gumpalan atau partikel pada sediaan [7]. 2.4.3 Pengujian viskositas Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kekentalan dari sediaan. Pengujian viskositas menggunakan viscometer Rheosys dengan menggunakan spindle plate and cone 5/30 mm dengan kecepatan 20 rpm [8]. 2.4.4 Pengujian Daya Sebar Pengujian ini dilakukan dengan meletakkan 1 gram sediaan di tengah cawan petri yang telah ditempeli kertas milimeter blok. Kemudian cawan petri diberi beban 0 gram, 50 gram, 100 gram, dan 150 gram. Kemudian diukur diameter penyebaran sediaan pada setiap penambahan beban selama 1 menit [9]. 2.4.5 Pengukuran pH Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter. Sebanyak 1 gram masker gel peel off dilarutkan dengan 10 ml aquades, setelah itu diukur pH larutan dengan alat pH meter yang telah distandarisasi [10]. 2.4.6 Pengujian Waktu Mengering Pengujian ini dilakukan untuk melihat waktu yang dibutuhkan sediaan membentuk lapisan film yang mengering. Pengujian ini dilakukan dengan mengoleskan sediaan ke punggung tangan. Kemudian diamati waktu yang diperlukan untuk mengering, yaitu dari saat mulai dioleskan hingga membentuk lapisan yang kering [10].
Formulasi Sediaan Masker Gel Peel Off dari Minyak Atsiri Sereh (Cymbopogon citratus) 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 351 3 Hasil dan Pembahasan Tabel. 2 Pengujian Organoleptik masker gel peel off minyak atsiri sereh Organoleptik Hari ke0 7 14 21 28 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 Bentuk + + + + + + + + + + + + + + + Warna + + + + + + + + + + + + + + + Bau + + + + + + + + + + + + + + + Keterangan : (+) : Tidak terjadi perubahan (-) : Terjadi perubahan Bentuk : Kental Warna : Putih Bau : Khas sereh Tabel 3. Pengujian Homogenitas masker gel peel off minyak atsiri sereh Formula Homogenitas Hari ke-0 Hari ke-7 Hari-14 Hari ke-21 Hari ke-28 F1 (10%) Homogen Homogen Homogen Homogen Homogen F2 (13%) Homogen Homogen Homogen Homogen Homogen F3 (16%) Homogen Homogen Homogen Homogen Homogen Tabel 4. Pengujian viskositas masker gel peel off minyak atsiri sereh Formula Viskositas Hari ke-0 Hari ke-7 Hari ke-14 Hari ke-21 Hari ke-28 F1 (10%) 3,789 3,056 5,591 4,984 4,129 F2 (13%) 7,745 7,790 8,869 8,250 8,706 F3 (16%) 9,062 10,061 9,423 9,682 8,957 Tabel 5. Pengujian daya sebar masker gel peel off minyak atsiri sereh Formula Daya Sebar Hari ke-0 Hari ke-7 Hari ke-14 Hari ke-21 Hari ke-28 F1 (10%) 6,8 cm 6,9 cm 5,9 cm 6,3 cm 6,3 cm F2 (13%) 5,8 cm 5,9 cm 5,7 cm 5,8 cm 5,7 cm F3 (16%) 6 cm 5,6 cm 5,8 cm 5,8 cm 5,6 cm Tabel 6. Pengukuran pH masker gel peel off minyak atsiri sereh Formula pH Hari ke-0 Hari ke-7 Hari ke-14 Hari ke-21 Hari ke-28 F1 (10%) 5,38 5,37 5,36 5,36 5,36 F2 (13%) 5,43 5,39 5,39 5,37 5,37 F3 (16%) 5,51 5,48 5,48 5,48 5,47 Tabel 7. Pengujian waktu mengering masker gel peel off minyak atsiri sereh Formula Waktu Mengering Hari ke-0 Hari ke-7 Hari ke-14 Hari ke-21 Hari ke-28 F1 (10%) 21 menit 17 menit 24 menit 17 menit 19 menit F2 (13%) 22 menit 25 menit 21 menit 23 menit 23 menit F3 (16%) 24 menit 26 menit 24 menit 21 menit 21 menit Pengujian organoleptik meliputi parameter bentuk, warna, dan bau. Pengujian organoleptik dilakukan dengan melihat bentuk atau tekstur, warna, dan mencium bau dari sediaan masker gel peel off yang dibuat [7]. Hasil yang didapatkan menunjukkan parameter bentuk, warna, dan bau tidak berbeda nyata antara formula. Masker gel peel off yang didapatkan berbentuk gel yang kental, berwarna putih, dan berbau khas sereh. Warna
Formulasi Sediaan Masker Gel Peel Off dari Minyak Atsiri Sereh (Cymbopogon citratus) 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 352 putih dan bau sereh yang dihasilkan berasal dari penambahan minyak sereh. Hasil pengamatan organoleptik yang telah dilakukan selama 28 hari pada ketiga formula menunjukkan tidak terjadi perubahan baik pada bentuk, warna, dan bau. Uji homogenitas bertujuan untuk melihat penyebaran zat aktif [11]. Pengujian homogenitas masker gel peel off berdasarkan pada ada tidaknya gumpalan atau partikel kasar pada sediaan. Hasil yang didapatkan dari ketiga formula selama 28 hari pengujian yaitu sediaan homogen. Sediaan yang homogen akan memberikan absorbsi yang baik dan merata ketika diaplikasikan pada kulit [11]. Sehingga homogenitas ketiga formula sesuai dengan persyaratan sediaan gel yang baik. Pengujian viskositas adalah faktor yang mempengaruhi parameter daya sebar dan pelepasan zat aktif dari masker gel peel off [12]. Pengujian viskositas bertujuan untuk mengetahui tahanan dari suatu cairan untuk mengalir. Viskositas dari masing-masing formula yaitu F1 (3,056-5,591 Pa.s ), F2 (7,745- 8,869 Pa.s ), dan F3 (8,957-10,061 Pa.s). F1 menunjukkan nilai viskositas yang lebih rendah dibandingkan F2 dan F3. Hal ini dikarenakan semakin meningkat konsentrasi PVA dapat meningkatkan viskositas sediaan masker gel peel off [13]. F1 dan F2 jika dilihat pada hari ke0 dan hari ke-28 mengalami peningkatan viskositas, peningkatan ini dapat terjadi karena gel memiliki sifat tiksotropi, yaitu apabila dibiarkan tanpa gangguan seperti pengadukan akan meningkatkan viskositas sediaan [14]. Sedangkan F3 dilihat pada hari ke-0 dan hari ke28 mengalami penurunan viskositas. Hal ini dapat disebabkan karena semakin lama waktu penyimpanan maka semakin lama sediaan terpengaruh oleh lingkungan, selain itu kemasan yang kurang kedap dapat menyebabkan sediaan menyerap uap dari luar sehingga menambah volume air dalam sediaan [12]. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ketiga formula berada pada rentang viskositas gel yang baik yaitu 2-50 Pa.s. Pengujian daya sebar dilakukan untuk mengetahui kemampuan penyebaran gel saat dioleskan pada kulit [15]. Hasil pengujian daya sebar masing-masing formula yaitu F1 (5,9-6,9 cm), F2 (5,7-5,9 cm), dan F3 (5,6-6 cm). Kenaikan daya sebar disebabkan karena viskositas sediaan mengalami penurunan, begitu pula sebaliknya daya sebar yang menurun disebabkan viskositas sediaan yang meningkat. Hal ini dikarenakan viskositas masker gel peel off berbanding terbalik dengan daya sebar yang dihasilkan [12]. Daya sebar masing-masing formula selama 28 hari berada dalam rentang daya sebar gel yang baik, yaitu 5- 7 cm. Pengukuran pH dimaksudkan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu sediaan dengan tujuan untuk melihat keamanannya. pH yang terlalu asam dapat mengiritasi kulit, sedangkan pH yang terlalu basa dapat menyebabkan kulit bersisik [16]. Hasil pengukuran pH masingmasing formula yaitu F1 (5,36-5,38), F2 (5,37- 5,43), dan F3 (5,47-5,51). Setiap formula mengalami penurunan pH pada hari ke-0 dan hari ke-28. Penurunan pH dapat terjadi karena pengaruh O2 yang bereaksi dengan air dalam sediaan masker gel peel off sehingga menjadi asam [12]. Namun, penurunan pH yang terjadi masih berada pada syarat pH kulit, yaitu 4,5-6,5, sehingga pH masker gel peel off yang dihasilkan aman/tidak mengiritasi kulit [16]. Hasil pengujian waktu mengering ketiga sediaan masker gel peel off yaitu F1 (17-24 menit), F2 (21-25 menit), dan F3 (21-26 menit). Perubahan waktu mengering yang fluktuatif disebabkan oleh suhu ruang dan kelembapan udara yang berubah-ubah selama proses pengujian [17]. Uji waktu mengering dari ketiga formula berkisar antara 17 menit sampai 26 menit. Hasil evaluasi uji mengering ini masih memenuhi waktu mengering masker gel peel off yang baik yaitu berkisar antara 15-30 menit [7]. 4 Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh masker gel peel off minyak atsiri sereh berdasarkan hasil pengujian evaluasi fisik, meliputi pengujian organoleptik, homogenitas, viskositas, daya sebar, pH, dan waktu mengering yang memenuhi parameter standar sediaan gel yang disyaratkan. 5 Kontribusi Penulis Annisa : Melaksanakan penelitian, melakukan pengumpulan data pustaka, serta menyiapkan draft manuskrip. Niken Indriyanti
Formulasi Sediaan Masker Gel Peel Off dari Minyak Atsiri Sereh (Cymbopogon citratus) 14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 353 dan Andi Tenri Kawareng : Pengarah, pembimbing, serta penyelaras akhir manuskrip. 6 Konflik Kepentingan Tidak ada konflik kepentingan dalam penelitian ini. 7 Daftar Pustaka [1] Z. Zaituni, R. Khathir, and R. Agustina, “Penyulingan Minyak Atsiri Sereh Dapur (Cymbopogon Citratus) Dengan Metode Penyulingan Air-Uap,” J. Ilm. Mhs. Pertan., vol. 1, no. 1, pp. 1009–1016, 2016. [2] Nuryoto, Jayanudin., R. Hartono, “Karakterisasi Minyak Atsiri dari Limbah Daun Cengkeh,” Pros. Semin. Nas. Tek. Kim. Kejuangan, pp. C07-1, 2011. [3] D. Gupta, “Antioxidant activity of lemon grass citratus) grown in North Indian plains (Cympopogon Reena Lawrence *, Kapil Lawrence **, Rashmi Srivastava *** and,” Researchgate.Net, vol. IV, no. October, pp. 23– 29, 2015. [4] A. Sulastri and A. Y. Chaerunisaa, “Formulasi Masker Gel Peel Off untuk Perawatan Kulit Wajah,” Farmaka, vol. 14, no. 3, pp. 17–26, 2018. [5] S. Septiani, N. Wathoni, and S. R. mita Mita, “Formulasi Sediaan Masker gel Antioksidan Dari Ekstrak Etanol Biji Belinjo,” Fak. Farm. Univ. Padjajaran, pp. 2–4, 2011. [6] D. Beringhs, A.O., M.R Julia., K.S Hellen., “Green clay and aloe vera peel off facial masks: Response Surface Methodology Applied to the Formulation Design.,” AAPS PharmSciTech, vol. 14(1), pp. 445–455, 2013. [7] S. Y. Wardani H, Oktaviani R, “FORMULASI MASKER GEL PEEL-OFF EKSTRAK ETANOL UMBI BAWANG DAYAK (Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb.) Husnul,” Media Sains, vol. 9, no. 2, pp. 167–173, 2016. [8] Aprilianti, N., Hajrah, H., Sastyarina, Y. “Optimasi Polivinilalkohol (PVA) Sebagai Basis Sediaan Gel Antijerawat,” Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals Conferences vol. 11, pp. 17–21, 2020. [9] A. Garg, A., Aggarwal, D., Garg, S., Singla, “Spreading of Semisolid Formulations: an update.,” Pharm. Technol., vol. 26(9), pp. 84– 104, 2002. [10] Y. Arista, N. Kumesan, P. V. Y. Yamlean, and H. S. Supriati, “Formulasi Dan Uji Aktivitas Gel Antijerawat Ekstrak Umbi Bakung (Crinum Asiaticum L.) Terhadap Bakteri Staphylococcus Aureus Secara in Vitro,” PHARMACON J. Ilm. Farm. – UNSRAT, vol. 2, no. 02, pp. 2302–2493, 2013. [11] N. Rantika, F. F. Sriarumtias, N. Amalia, and Nurhabibah, “Formulation and physical stability test of peel-off gel mask from sticky rice (Oryza sativa L. glutinosa) as antioxidant,” J. Ilm. Farm. Bahari, vol. 10, no. 1, pp. 65–75, 2019. [12] Y. P. Tanjung and A. M. Rokaeti, “Formulasi dan Evaluasi Fisik Masker Wajah Gel Peel Off Ekstrak Kulit Buah Naga Merah (Hylocereus Polyrhizus),” Maj. Farmasetika., vol. 4, no. Suppl 1, pp. 157–166, 2020. [13] F. Indradewi Armadany and M. Sirait, “Formulasi Sediaan Masker Gel Peel-off Antioksidan dari Ekstrak Sari Tomat (Solanum lycopersicum L. var. cucurbita),” Maj. Farm., vol. 1, no. 2, pp. 29–32. [14] N. M. A. Sukmawati, C. I. S. Arisanti, and N. P. A. D. Wijayanti, “Pengaruh Variasi Konsentrasi PVA, HPMC, dan Gliserin terhadap Sifat Fisika Masker Wajah Gel Peel-Off Ekstrak Etanol 96% Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L.),” J. Farm. Udayana, vol. Vol. 2, no. No. 3, pp. 35– 42, 2014. [15] N. Manus, P. V. Y. Yamlean, and N. S. Kojong, “FORMULASI SEDIAAN GEL MINYAK ATSIRI DAUN SEREH (Cymbopogon citratus) SEBAGAI ANTISEPTIK TANGAN,” Pharmacon, vol. 5, no. 3, pp. 1–5, 2016. [16] M. Syarifah, N. Sugihartini, and L. H. Nurani, “Formulasi dan Uji Anti Infl amasi Masker Peel Off Ekstrak Etanol Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L) (Formulation of Peel Off Mask Ekstract Etanol Noni Fruit (Morinda citrifolia L.) and Activity as Anti Infl amatory),” J. Ilmu Kefarmasian Indones., vol. 17, no. 2, pp. 175– 182, 2019. [17] M. Buckle, K.A., Edwards, R.A., Fleet, G.H., Wooton, “Ilmu Pangan., Penerjemah: H. Purnomo dan Adiono.,” 2013.
14 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2021. e-ISSN: 2614-4778 10-12 Desember 2021 339 Journal homepage: https://prosiding.farmasi.unmul.ac.id Skrining Fitokimia dan Profil KLT Ekstrak dan Fraksi dari Daun Berenuk (Cresentia cujete L.) serta Uji DPPH Phytochemical Screening and TLC Profile of Extracts and Fractions from Leaves of Berenuk (Cresentia cujete L.) and DPPH Test Brigita Olivia Intan Kinam1,*, Rolan Rusli1, Wisnu Cahyo Prabowo1, Supriatno Salam1, 2 Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian “Farmaka Tropis”, Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman, Samarinda, Indonesia *Email korespondensi: brigitaolivia03@gmail.com Abstrak Daun Berenuk atau Maja (Cresentia cujete L.) merupakan tanaman yang tumbuh pada daerah tropis. Di Indonesia, pemanfaatan Daun Berenuk bagi kesehatan belum dimanfaatkan secara maksimal, serta masih minimnya penelitian mengenai tanaman ini. Untuk dapat dikembangkan sebagai bahan obat tradisional, perlu diketahui kandungan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada ekstrak daun berenuk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui senyawa metabolit sekunder yang terkandung pada ekstrak daun berenuk melalui skrining fitokimia, profil KLT yang terdapat pada daun C. cujete L. Ekstraksi dilakukan menggunakan metanol dengan cara maserasi. Kemudian dilakukan fraksinasi dengan pelarut n-heksana dan etil asetat. Dilakukan skrining fitokimia dan Profil KLT Golongan metabolit sekunder yang terkandung pada C. cujete L. ialah Alkaloid, tanin, saponin dan steroid atau triterpenoid. C. cujete L. memiliki aktivitas antioksidan yang ditandai dengan bercak kuning pada plat KLT yang disemprotkan DPPH. Kata Kunci: Cresentia cujete L., skrining fitokimia, profil klt, metabolit sekunder, DPPH Abstract Berenuk or Maja Leaves (Cresentia cujete L.) is a plant that grows in the tropics. In Indonesia, the use of Berenuk Leaves for health is not utilized optimally, and there is still a lack of research on this plant. To be able to be developed as a traditional medicinal ingredient, it is necessary to know the content of secondary metabolites contained in berenuk leaf extract. This study aims to determine the secondary metabolites contained in berenuk leaf extract through phytochemical screening, TLC profile in C. cujete L. leaves. Extraction was carried out using methanol by maceration. After fractionation were Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals Conferences