The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by edy begonggong, 2024-06-15 22:24:39

eBook Pendidikan Kewarganegaraan

eBook Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan Kewarganegaraan Mendidik Generasi Milenial yang Berwawasan Kebangsaan


Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2: 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak, ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72: 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).


PENERBIT UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA Pendidikan Kewarganegaraan Mendidik Generasi Milenial yang Berwawasan Kebangsaan Mali Benyamin Mikhael Sutrisno Mukka Pasaribu Ronny Samsulhadi Henry Valentino


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial yang Berwawasan Kebangsaan ©Penerbit Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Penerbit Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Anggota IKAPI–Ikatan Penerbit Indonesia–Jakarta Anggota APPTI–Afiliasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia Penerbit Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jl. Jend. Sudirman Kav. 51 Jakarta 12930 Indonesia Phone : (021) 5703306 psw. 631 E-mail : [email protected] Website : http://www.atmajaya.ac.id Cetakan Pertama, Juli 2022 Penulis : Mali Benyamin Mikhael, Sutrisno, Mukka Pasaribu, Ronny Samsulhadi, Henry Valentino Reviewer : Febiana Rima K, SS., M.Hum Drs. Kasdin Sihotang, M. Hum. Penyelaras Akhir : Febiana Rima K, SS., M.Hum Layout Naskah : Adi Yuwono Desain Sampul : Adi Yuwono ISBN: Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.


v Kata Pengantar Buku Kewarganegaraan berjudul Pendidikan Kewarganegaraan ini adalah karya para dosen pengampu Mata Kuliah Kewarganegaraan. Buku ini merupakan respon atas kebutuhan referensi bagi Mahasiswa terkait pembelajaran Kewarganegaraan yang sangat penting bagi setiap Mahasiswa dalam rangka menghasilkan lulusan unggul terkait pemahaman kebangsaan dan kecintaan kepada tanah air Indonesia. MPK adalah unit yang mengoordinir perkuliahan mata kuliah - mata kuliah wajib negara ( Kewarganegaraan, Pancasila, Agama) dan wajib universitas (Multikulturalisme dan Logika) MPK bertanggung jawab untuk memastikan bahwa nilai-nilai inti institusi Unika Atma Jaya yakni Kristiasi, Unggul, Profesional dan Peduli (KUPP) terintegrasi dalam mata kuliah - mata kuliah yang dikoordinir. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai proses INDONESIANISASI sesungguhnya sudah dengan sendirinya merupakan suatu proses sosialisasi dan internalisasi NILAI-NILAI INTI UNIKA ATMA JAYA, yaitu: Kristiani, Unggul, Profesional dan Peduli. Bahkan lebih dari itu, Pendidikan Kewarganegaraan, juga tentu saja Pendidikan Pancasila, dalam konteks sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai KUPP patut dipandang sebagai dua mata kuliah “induk” bagi KUPP. Mengapa? Karena, KUPP itu adalah karakter-karakter yang menandai ciri dan citra seorang warga negara yang berkualitas. Dan Indonesia yang sedang membangun membutuhkan warga negara yang berkualitas unggul: unggul imannya sebagai orang beragama, unggul ilmunya sebagai seorang sarjana, unggul dalam profesinya sebagai seorang yang terdidik, dan unggul dalam relasi sosialnya sebagai seorang warga negara Indonesia berkemanusiaan yang adil dan beradab. Nilai-nilai KUPP secara tersirat dapat ditemukan di dalam Kelima Nilai Dasar BELA NEGARA: (1) Cinta akan Tanah Air; (2) Kesadaran


vi berbangsa dan bernegara; (3) Keyakinan akan Pancasila sebagai ideologi nasional; (4) Rela berkorban untuk bangsa dan negara; (5) Memiliki emampuan dasar bela negara. Maka bila mahasiswa benar-benar serius mempelajari materi-materi yang disajikan dalam 11 bab buku Pendidikan Kewarganegaraan ini, kiranya mereka secara langsung maupun tidak langsung telah membangun dalam diri mereka nilai-nilai KUPP. Gambaran singkat tentang isi buku bisa dilihat melalui ringkasan bab-bab buku berikut. Bab 1 Pendahuluan berisi suatu pengantar umum ke dalam materi kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Di sana dikemukakan gagasan tentang hakikat pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu proses INDONESIANISASI, proses meng-indonesia-kan orang-orang Indonesia, dalam hal ini, para mahasiswa. Istilah ‘indonesianisasi’ sesungguhnya bukan suatu istilah yang sama sekali baru, mengingat Amerika Serikat, sebagai negara pertama yang memperkenalkan matapelajaran ini, memandang Pendidikan Kewarganegaraan sebagai suatu proses AMERIKANISASI, proses mengamerika-kan bangsa Amerika Serikat yang senyatanya berciri ‘bangsa yang majemuk’. Jika Indonesia adalah negara yang majemuk, karena masyarakatnya terdiri dari ratusan suku-bangsa yang berbeda-beda dalam banyak hal,seperti etnis/ras, adat-istiadat, budaya, agama, bahasa daerah, sejarah dan lain-lain serta hidup tersebar di ribuan pulau Nusantara, demikian pula bangsa Amerika adalah bangsa majemuk karena terdiri dari aneka suku bangsa yang datang dari berbagai belahan dunia. Dalam kondisi kemajemukan seperti ini, tidaklah mengherankan, bila karakter keamerika-an dan ke-indonesia-an serta masalah persatuan dan kesatuan serta solidaritas antara semua komponen bangsa terasa sungguh sebagai suatu kebutuhan real yang sangat urgen dan vital. Pendidikan Kewarganegaraan dipandang sebagai sarana yang sangat strategis untuk menanamkan nilai-nilai kerakyatan, kebangsaan, dan kenegaraan pada generasi muda. Penanaman nilai-nilai ini melibatkan seluruh kepribadian, dalam arti: harus diketahui dan dipahami ‘akal-


vii budi’ (koqnitif), diresapkan dalam hati, dihayati dan dicintai (afeksi), dan diwujudkan dalam perbuatan nyata (psikomotorik). Hasilnya ialah kita memperoleh sosok-sosok warga negara yang berkualitas unggul: unggul akal budinya, unggul nuraninya dan unggul keterampilan kewarganegaraannya. Bab 2 hingga Bab 7 berbicara tentang segala sesuatu terkait Indonesia sebagai bangsa yang menegara. Di dalamnya dikemukakan segala hal ihwal kerakyatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia, mulai dari : (1) negara dan konstitusi, (2) hak dan kewajiban warga negara dan negara, (3) identitas nasional dan integrasi nasional, (4) ciri Indonesia sebagai sebuah negara hukum yang bersifat demokratis, dan (5) otonomi daerah sebagai suatu kebijakan politik ketatanegaraan orde reformasi, yang menerapkan asas desentralisasi dalam politik administrasi pemerintahan. Tujuan babbab kebangsaan dan kenegaraan ini dimaksudkan untuk membekali para mahasiswa dengan materi-materi seputar Negara Indonesia – yang dalam kerangka Pendidikan Kewarganegaraan tidak dibahas secara tuntassetuntasnya, namun dirasa cukup sebagai bekal-bekal dasar pembentukan kepribadian sebagai warga negara Indonesia. Berbekalkan materi Bab 2 hingga Bab 7, kita memasuki 3 bab puncak dari Pendidikan Kewarganegaraan, yaitu: Bab 8 tentang Geopolitik Indonesia, yang lazim disebut Wawasan Nusantara. Bab 9 tentang Geostrategi Indonesia, yang disebut Ketahanan Nasional. Bab 10 tentang Bela Negara. Ketiga bab terakhir ini kita sebut “puncak-puncak” mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, karena sebagai suatu proses Indonesianisasi, Pendidikan Kewarganegaran pada akhirnya harus menyadarkan mahasiswa bahwa watak kepribadian Indonesia yang telah terbentuk dalam diri masing-masing mahasiswa harus berujung pada suatu “komitmen dan bakti” pada Nusa dan Bangsa Indonesia yang sedang


viii membangun, dengan berpartisipasi aktif dalam pembangunan nasional sesuai profesi masing-masing berdasarkan ‘wawasan Nusantara’ sebagai geopolitik nasional Indonesia. Komitmen dan bakti terhadap Nusa dan Bangsa ini,selain mencerminkan semangat nasionalisme dan patriotisme, juga sekaligus berfungsi membangun suatu postur ‘ketahanan nasional’ yang tangguh, tahan uji, dan tahan banting di tengah rongrongan aneka ragam ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, langsung maupun tidak langsung, nyata maupun tidak/belum nyata, bersifat militeristik maupun nir-militeristik. Itulah semangat BELA NEGARA. Dari antara aneka ragam masalah nyata yang merongroang tubuh bangsa dan negara ini, salah satu yang sangat potensial menghancurkan Indonesia dari dalam adalah KORUPSI, KOLUSI dan NEPOTISME. Maka seluruh materi ditutup dengan Bab 11 tentang MEMBANGUN BUDAYA ANTIKORUPSI. Budaya antikorupsi harus dikembangkan di kalangan generasi muda, agar pada saatnya mereka memimpin bangsa dan negara ini, mereka setidak-tidaknya telah memiliki suatu ‘kebiasaan yang jauh dari perilaku koruptif. Akhir kata sebagai Kapus MPK saya mengucapkan terima kasih kepada para dosen pengampu yang sudah bekerja keras menghasilkan buku ini dalam waktu kurang dari satu semester. Para pengampu yang dengan rela dan sukacita membagikan ilmu serta menularkan kecintaannya kepada para peserta didik atas tanah air Indonesia. Kepada para pengampu mata kuliah kewarganegaraan Mali Benyamin Mikhael, Sutrisno, Mukka Pasaribu, Ronny Samsulhadi, Henry Valentino, saya mengucapkan selamat atas terbitnya buku ini dan sekaligus terima kasih. Selamat melanjutkan menularkan kecintaan atas bangsa dan negara ini melalui mendidik mahasiwa-mahasiswa kita. Febiana Rima K, SS., M.Hum Kampus MPK


ix Daftar Isi KATA PENGANTAR ....................................................................... v DAFTAR ISI................................................................................... ix BAB 1 Pendahuluan............................................................................... 1 BAB 2 Negara dan Konstitusi.................................................................. 41 BAB 3 Hak dan Kewajiban Warga Negara Dan Negara ............................ 87 BAB 4 Identitas Nasional Indonesia ....................................................... 129 BAB 5 Integrasi Nasional........................................................................ 159 BAB 6 Indonesia Negara Hukum-Demokratis dan Hak Asasi Manusia..... 173 BAB 7 Otonomi Daerah.......................................................................... 199 BAB 8 Geopolitik Indonesia: Wawasan Nusantara.................................. 233


x BAB 9 Geostrategi Indonesia: Ketahanan Nasional................................. 273 BAB 10 Bela Negara ................................................................................ 329 BAB 11 Membangun Budaya Antikorupsi ................................................ 347 BAB 12 Penutup ...................................................................................... 367 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 371


Bab 1 Pendahuluan 1. Pengantar Hakikat sesungguhnya dari matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) adalah INDONESIANISASI.1 Dengan istilah ini, mau dikatakan bahwa PKn itu adalah suatu upaya sadar untuk “meng-indonesia-kan orang-orang Indonesia”. Mengapa? Karena mayoritas anak bangsa ini, khususnya mahasiswa/i peserta matakuliah ini. baik secara ius soli maupun ius sanguinis lahir di Indonesia dan dari pasangan suami-istri berkewarganegaran Indonesia, namun belum semuanya sungguhsungguh menghayati dan mengamalkan nilai-nilai keindonesiaan; belum sungguh-sungguh tampil 100% Indonesia. Maka dengan PKn sebagai proses ‘indonesianisasi’, para mahasiswa tahap demi tahap: (1) membentuk dalam dirinya karakter keindonesiaan. Di sini PKn merupakan proses nation and character building; (2) menyadari makna ‘kewarganegaraan’-nya, dalam kerangka tugas dan peran mereka di masa depan sebagai generasi penerus estafet kepemimpinan naional. Dengan kesadaran diri ini, mereka tergerak untuk mengenal dan memahami segala sesuatu mengenai bangsa dan negaranya: Indonesia. Oleh pengenalan dan pemahaman itu, rasa dan semangat nasionalisme 1 Mali Benyamin Mikhael, dkk, CIVIC EDUCATION – Pendidikan Kewarganegaraan, Upaya Mengindonesiakan Orang Indonesia, Edisi 4, Bekasi: Immaculata Press, hlm. 2-8; 97-100. Baca juga, RISTEKDIKTI, Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: 2016, hlm. 1-2.


Bab 1 Pendahuluan 2 dan patriotisme tumbuh dan berkembang dalam diri mereka. Di dalam semangat itu, ada rasa cinta akan Indonesia, tumbuh semangat rela berkorban dan semangat patriotisme: membela Indonesia berhadapan dengan segala ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan, baik dari dalam maupun dari luar negeri, langsung maupun tidak langsung, nyata atau belum nyata. INDONESIA dalam arti apa? Dalam arti, Indonesia dalam empat dimensi yang membentuk keutuhannya, yaitu (a) Indonesia sebagai wilayah, yang disebut “Tanah Air Fisik”, yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, Miangas ke Pulau Rote, dengan 3 matranya: darat, laut, dan udara, beserta segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya; (b) Indonesia sebagai bangsa, penduduk yang mendiami wilayah negara itu dan sekaligus menjadi ‘rakyat’ dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan sebagai ‘rakyat’, bangsa ini sekaligus adalah salah satu unsur pembentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bangsa ini terkenal sangat majemuk dalam semua aspek: etnis dan ras, adat-istiadat dan kebudayaan, agama, bahasa daerah, pandangan hidup dan watakkepribadian; (c) negara, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang disebut: “Tanah Air Formal” dengan segala aturan perundangundangannya, lembaga-lembaga negaranya, dan lain-lain; dan sebagai (d) Indonesia sebagai ideologi. Di sini, PANCASILA adalah jati diri Indonesia. Tanpa Pancasila, tidak akan ada NKRI. Oleh sebab itu, Pancasila disebut “Tanah Air Mental”. Tanah air ini bukan suatu wilayah teritori, melainkan gagasan-gagasan dasar di atasnya NKRI didirikan, sekali untuk selamanya.2 Dengan mengenal dan memahami empat dimensi Indonesia ini, besar harapan kita bahwa para mahasiswa bertumbuh menjadi warga negara Indonesia yang nasionalistik dan patriotistik, yang terdidik dan bertanggung jawab, yang demokratis sekaligus nomokratis, 3 yang sungguh 100% Indonesia. Mengapa? Karena di dalam empat dimensi 2 Bdk, Mali Benyamin Mikhael, dkk, CIVIC EDUCATION, Ibid, hlm. 97-98. 3 Sifat ‘demokratis’ dan ‘nomokratis’ terkait erat hakikat Indonesia sebagai sebuah negara hukum demokratis, di mana ‘kedaulatan-rakyat’ (demokrasi) harus diimbangi dengan ‘kedaulatan-hukum’ (nomokrasi). Kedaulatan hukum (nomokrasi) menjadi pembatas bagi kedaulatan rakyat (demokrasi).


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 3 itu, mahasiswa mengenal dan memahami Indonesia secara utuh, baik wilayahnya, bangsanya, negaranya, juga ideologinya. Seluruh materi yang disajikan di dalam matakuliah ini pada dasarnya berbicara tentang Indonesia dan Keindonesiaan. Pembelajaran yang berlangsung hendak membantu mahasiswa untuk: (a) membentuk diri menjadi sungguh warga negara Indonesia; (b) menyadari diri sebagai warga negara Indonesia sekaligus menyadari kondisi dan kebutuhan bangsa dan negaranya, serta (c) semakin memanusiakan diri sebagai warga negara Indonesia. Dengan mengetahui dan memahami segala hal-ihwal seputar negara dan kewarganegaraan, diharapkan mereka mencintai bangsa dan negaranya dan termotivasi untuk berbakti bagi bangsa dan negaranya. Dengan begitu mereka menjadi orang yang berkepribadian Indonesia, yang memiliki rasa dan semangat kerakyatan dan kebangsaan, yang rela berkorban bagi bangsa dan negara, yang memiliki keyakinan yang kuat akan ideologi Pancasila, dan yang memiliki kecintaan terhadap Indonesia.4 Dalam bab satu ini kita coba menelusuri hal-hal mendasar seputar hakikat matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan dengan memaparkan suatu pemandangan umum seputar materi kuliah ini. 2. Pendidikan Kewarganegaraan Mata kuliah ini bernama “PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN” (disingkat: PKn). Ada dua tema dasar di dalamnya, yaitu ‘pendidikan’ dan ‘kewarganegaraan’. Sifat ‘wajib’ yang ditetapkan pemerintah mengisyaratkan adanya suatu keharusan dari negara – entah karena alasan konstitusi negara atau alasan politik pembangunan bangsa – untuk mendidik warganya dalam hal-hal yang bertalian erat dengan: (a) keanggotaan seseorang dalam negara, seperti: hak-hak (termasuk hak-hak asasi) dan kewajiban-kewajibannya, kedudukan dan peran warga negara dalam dan bagi negara; juga segala hal yang bertalian dengan: (b) eksistensi negara sebagai suatu kesatuan politis dan persekutuan hidup 4 Karakter seperti ini merupakan nilai-nilai dasar cinta akan tanah air. Lihat, Mali Benyamin Mikhael, dkk, Ibid, hlm. 344-349.


Bab 1 Pendahuluan 4 bersama: konsep tentang negara, kedudukan dan peran negara, hak dan kewajiban negara, tata tertib hidup bernegara, dan tata kelola pemerintahan negara, identitas nasional dan integrasi nasional, sejauh diatur di dalam Konstitusi Negara dan sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. Oleh sebab itu, hal pertama yang hendak kita pelajari adalah menelisik makna nama matakuliah ini. Tujuannya ialah agar para mahasiswa mengetahui dan memahami segala hal-ihwal seputar negaranya – sebagaimana dikatakan di atas –lalu atas dasar pengetahuan dan pemahaman itu, ‘mencintai’ negaranya dan termotivasi berbuat sesuatu bagi negaranya, baik demi membela negaranya maupun demi memajukannya. Pertanyaan kita ialah apa artinya ‘mendidik’ para para mahasiswa tentang hal-hal terkait kewarganegaraan? Mengapa mereka harus dididik dan untuk apa? Dalam hal apa saja mereka dididik? 2.1 Pendidikan5 Pendidikan merupakan tugas dan tanggung jawab fundamental negara. Tugas ini merupakan perintah konstitusi, dan imperatif politik pembangunan bangsa dan negara (lihat: Pembukaan UUD NRI 1945 Alinea Keempat), demi kelangsungan eksistensi negara dan kemajuan bangsa dan negara. Tetapi apa itu pendidikan? Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” Apa pun definisi kita tentang pendidikan, pendidikan itu pada hakikatnya adalah wadah dan proses pembentukan, penyadaran, dan 5 Ibid, hlm. 6-8.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 5 pemanusiaan manusia (baca: warganegara) yang berlangsung secara sadar dan terencana, di mana berbagai ilmu pengetahuan, kecakapankecapakan, dan kebiasaan-kebiasaan ditransfer melalui pengajaran, pelatihan, dan bimbingan hingga terjadi perubahan-perubahan pada intelek, kehendak, dan perasaan (cipta, rasa, karsa, kognitif, afektif, dan psikomotorik), juga jasmani dalam diri si terdidik. (1) Pembentukan (formation––transformation): Pendidikan pada hakikatnya adalah pembentukan watak dan kepribadian – proses membentuk manusia muda dalam segala bidang kepribadian dan kehidupan agar ia bertumbuh dan berkembang menjadi manusia yang hidup selaras cita-citanya sebagai manusia. Di dalamnya, penguasaan ilmu pengetahuan dan aneka ragam keterampilan menjadi bagian integral. Pendidikan sebagai ‘pembentukan’ tidak terbatas hanya pada membentuk dan menempa seorang manusia muda agar menjadi orang yang memiliki moralitas yang tinggi saja, apa pun ukuran moralitas yang kita pakai, melainkan juga agar ia menjadi orang yang menguasai ilmu pengetahuan dan aneka keterampilan untuk mampu bekerja, dan dengan begitu dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan berperan serta dalam kehidupan masyarakat dan negara. Sebaliknya, pendidikan sebagai ‘pembentukan’ tidak hanya membentuk anak menjadi orang yang pandai, serba tahu bahkan tahu banyak, dan serba bisa, tanpa moralitas yang baik. Dua-duanya harus seiring sejalan. Proses ini berlangsung mulai dari suatu tahapan awal yang belum ‘berbentuk’ hingga menjadi ‘berbentuk’, dari “bodoh” menjadi “pintar dan arif”, dari “tidak tahu” menjadi “tahu”, bahkan “tahu banyak”, dari “tahu dan tahu banyak” menjadi “bijak-bestari”. Proses ini menghasilkan “transformasi diri”, suatu perubahan dalam diri-pribadi. Pendidikan seperti ini memerlukan suatu format atau pola yang dirancang dengan sengaja. Itulah yang disebut visi dan misi pendidikan. Hasil dari pembentukan itu adalah perubahan bentuk, atau transformation. Dengan demikian, PKn tidak hanya bermaksud membentuk generasi muda agar memiliki moralitas baik dan tinggi saja, melainkan juga agar mereka mengetahui juga segala seluk-beluk kehidupan berbangsa dan


Bab 1 Pendahuluan 6 bernegara, sambil menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang penting bagi kehidupan pribadi dan kehidupan bangsa dan negara. (2) Penyadaran (conscientization – konsientisasi): pendidikan bertugas membuat seseorang “sadar diri”: tahu akan kekuatan dan kelemahannya, peluang dan tantangan yang menghadang, serta mau meningkatkan kekuatannya dan meminimalisasi kelemahannya, tahu dan cerdas memanfaatkan peluang-peluang yang tersedia dan berani menghadapi segala rintangan yang menghadang. Jadi, pendidikan pada hakikatnya adalah kegiatan (a) menyadarkan manusia muda akan segala kemampuan, bakat, dan talentanya sehingga dia termotivasi untuk mengembangkannya dan dengan begitu ia dapat menjadi manusia yang mandiri, kritis, kreatif, inovatif; (b) menyadarkan manusia muda akan situasi dan kondisi hidupnya, keluarganya, masyarakat dan negaranya, sehingga ia belajar sungguh-sungguh agar dapat menjadi orang yang berguna bagi dirinya, masyarakat, dan negara. PKn bermaksud menyadarkan semua warga negara, khususnya generasi muda, akan segala bakat dan kemampuan mereka, situasi dan kondisi hidup mereka, juga situasi dan kondisi hidup bangsa dan negaranya beserta segala kekuatan dan kelemahannya, peluang dan tantangannya. Dengan kesadaran itu, diharapkan para warganegara, khususnya generasi muda, termotivasi untuk membenahi diri dan membekali diri sejak masa muda dan masa studi dengan membina suatu kepribadian yang unggul, dan penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang perlu bagi kehidupan bangsa dan negaranya, sekarang dan di masa depan. (3) Pemanusiaan (humanization): pendidikan pada hakikatnya adalah proses memanusiakan manusia muda dalam keutuhan pribadinya sebagai makhluk jasmani-rohani, individual-sosial, dan sebagai makhluk personal yang punya otonomi (kendatipun otonominya itu adalah sebuah otonomi yang terbatas). Dalam dan oleh pendidikan, tiga kesanggupan psikologis manusia, yaitu cipta (ratio), rasa (emotio), dan karsa (volutio) dibentuk, ditempa, dan dikembangkan secara bersamaan melalui berbagai kegiatan pendidikan, sehingga dia bertumbuh menjadi manusia yang “utuhseimbang”, tidak terpecah-pecah. Diharapkan oleh kepribadian yang


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 7 utuh itu, ia sanggup memainkan perannya sebagai warga negara denggan berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negaranya. Untuk maksud itu, mata kuliah PKn di sekolah merupakan salah satu sarana pendidikan karakter warganegara yang sangat strategis. Dalam konteks pembangunan nasional, yang menurut Bung Karno harus dimulai dengan nation and character building, PKn berperan besar dalam proses “Indonesianisasi” – meng-indonesia-kan orang Indonesia. Dalam pidato kenegaraan tanggal 17 Agustus 1962, Bung Karno berbicara tentang pentingnya character building dalam kaitannya dengan nation building dan perjuangan pembebasan Papua atau Irian Barat dari Belanda: …membangun manusia Indonesia baru tidaklah mudah. Apalagi bangsa Indonesia pernah dijajah Belanda selama tiga setengah abad lamanya dan Jepang selama tiga setengah tahun. Bangsa Indonesia sudah terbiasa sebagai bangsa kuli di antara bangsa-bangsa lainnya… …pembangunan nasional Indonesia di segala bidang, terutama pembangunan character dan nation yang universal, baik ekonomi, sosial, mental akhlak, keagamaan maupun politik. Dalam Amanat Penderitaan Rakyat ada beberapa unsur politik, ekonomi, sosial, akhlak dan agama, juga kebudayaan, yaitu kultur yang membuat manusia Indonesia baru. …saya selalu anjurkan agar Indonesia ini bangun kembali, membuang jauh-jauh mental penjajah dan kembali kepada kepribadian bangsa Indonesia. Character and nation building penting sekali, karena merupakan dasar dari segala kehidupan bangsa Indonesia. Mau membangun negara dan bangsa diperlukan karakter, akhlak yang mulia, mental yang baik. Suatu bangsa tidak akan membangun apa pun dengan karakter mental yang bobrok, karakter dan mental yang sudah rusak. Maka dari itu pembangunan karakter adalah penting sekali, [meskipun] sukar sekali, dan memerlukan waktu yang tidak pendek, memerlukan waktu lama…


Bab 1 Pendahuluan 8 …dalam masa nation building bermacam-macam bahaya dan godaan timbul. Karena itu, nation building membutuhkan bantuan berupa revolusi mental. Segala pekerjaan, baik kecil maupun besar, tidak dapat dikerjakan oleh tenaga-tenaga yang tidak mempunyai akhlak yang mulia dan bermental baik... Penggalan pidato di atas menyiratkan pesan, bahwa proses pembangunan bangsa dan negara Indonesia Merdeka pada dasarnya adalah proses membangun manusia Indonesia baru. Pembangunan nasional itu harus dimulai dari: (i) pembangunan manusia-nya (human development) atau meminjam istilah David C. Korten: “people centered development” atau “putting people first”. Artinya, manusia (rakyat) adalah ‘asas pembangunan’ (principle of development), ‘agen pembangunan’ (agent of development), sekaligus ‘tujuan utama dari pembangunan’ (the main and ultimate goal of development). Namun, agar sukses, pembangunan yang berpusatkan manusia itu harus dimulai dari: (ii) penyadaran akan nilai-nilai dasar kemanusiaan: kesamaan, kebebasan, solidaritas, keadilan dan kebenaran, kerja sama dalam semangat gotong royong dan persaudaraan, dan sebagainya. Agar penyadaran akan nilainilai dasar kemanusiaan itu sukses, maka penyadaran itu harus dimulai dari: (iii) penyadaran dan pemahaman akan hakikat manusia sebagai makhluk jasmani-rohani, individu-sosial, pribadi yang otonom sekaligus ber-Tuhan.” Dengan demikian, pembangunan nasional sungguh menjadi suatu “pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya” atau “pembangunan nasional adalah pengamalan Pancasila”. 2.2 Kewarganegaraan6 Pokok pikiran kedua adalah kewarganegaraan. Di sini kita berhadapan dengan apa yang disebut warga, negara, warga negara, warga negara Indonesia, warga negara asing, rakyat, penduduk. 6 Ibid, hlm. 9-15. Baca juga RISTEKDIKTI, Op.cit., hlm. 2-4.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 9 Di Indonesia, istilah “warga negara” itu merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda, staatsburger. Selain istilah staatsburger, ada juga istilah lain, yaitu onderdaan, yang menurut Soetoprawiro (1996), tidak sama dengan ‘warga negara’ (staatsburger). Onderdaan itu ‘ semi warga negara’ atau yang lazim disebut Istilah ‘kawula negara’. Istilah onderdaan yang diterjemahkan dengan ‘kawula negara’ itu muncul karena budaya kerajaan yang feodalistik di Indonesia. Setelah Indonesia memasuki era kemerdekaan dan era modern, istilah ‘kawula negara’ sudah tidak digunakan lagi dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam bahasa Inggris, istilah “warga negara” dikenal dengan istilah “civic”, “citizen”, atau “civicus”. Apabila ditulis dengan mencantumkan “s” di bagian belakang kata civic menjadi “civics” berarti disiplin ilmu kewarganegaraan. = Warga: anggota, member (keluarga, RT, RT, koperasi, negara). Kewargaan berarti hal-hal yang berhubungan dengan keanggotaan itu, misalnya hak dan kewajiban (Kamus Umum Bahasa Indonesia (disingkat: KBBI). Hak harus disadari, dituntut, dan dipenuhi oleh pihak lembaga di mana seseorang menjadi anggotanya. = Warga Negara (citizen; citoyen) berarti anggota dari suatu negara, orang-orang yang secara hukum, menurut undang-undang negara atau suatu perjanjian, merupakan anggota dari suatu negara, atau diakui sebagai warga negara. Warga negara adalah anggota dari sekelompok manusia yang hidup atau tinggal di wilayah hukum tertentu dengan hak dan kewajibannya. Jadi, warga negara berarti anggota sebuah negara atau bangsa, entah berdasarkan asas keturunan (ius sanguinis), atau tempat kelahiran (ius soli). Termasuk di dalamnya ‘orang asing’ yang melalui proses ‘naturalisasi’ menjadi warga negara. Sementara orang ‘bukan-warga negara’ adalah orang-orang yang tinggal di suatu negara, tetapi secara hukum bukan anggota negara itu. Oleh karena mereka hidup dan bekerja di negara itu, maka mereka tunduk pada pemerintah negara itu beserta segala aturan hukum negara itu (para duta besar


Bab 1 Pendahuluan 10 beserta keluarga dan staf, kontraktor asing, para misionaris asing, dan sebagainya). Sebagai anggota, seorang warga negara adalah bagian integral dari negara itu. Ia adalah ‘pemilik sah’ negara itu, serta merupakan pendukung utama kehidupan negara itu. Untuk itu, ia diberi tanda-tanda identitas sebagai warga negara, seperti Kartu Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akte Kelahiran, dan lain-lain. Ia juga mempunyai macam-macam hak dan kewajiban yang harus disadari dan dipenuhi. Dalam konteks hidup bernegara, istilah ‘warga negara’ terkait dengan ‘pemerintahan’ dan ‘lembaga-lembaga negara’ seperti lembaga Dewan Perwakilan Rakyat, Pengadilan, Kepresidenan dan sebagainya. Di sini, ‘warga negara’ lazim dikenal dengan istilah ‘rakyat’ sebagai ‘yang diperintah’. = Kewarganegaraan berarti hal-hal yang berhubungan dengan warga negara, atau keanggotaan sebagai warga dari suatu negara, seperti: hak-hak dan kewajiban-kewajiban, peran dan kedudukannya dalam negara. Hak-hak harus diketahui dan disadari serta dituntut bila tidak diperhatikan dan dipenuhi, baik oleh negara maupun oleh warga negara lainnya. Sedangkan, kewajiban-kewajiban harus dilaksanakan demi kebaikan umum bersama. = Rakyat. Istilah ‘warga negara’ berkaitan erat dengan istilah ‘rakyat’. KBBI mengartikan ‘rakyat’ sebagai (a) penduduk suatu negara; (b) orang kebanyakan, orang biasa; (c) anak buah, bawahan. Dalam arti (a) yaitu penduduk, rakyat berarti semua orang yang berada, berdiam, bekerja mencari nafkah di suatu wilayah negara dan tunduk pada kekuasaan negara itu. Terdiri atas ‘penduduk’ dan ‘bukan penduduk’: (a) ‘penduduk’: orang-orang yang mendiami suatu wilayah negara secara menetap. Seluruh kehidupannya sejak lahir berlangsung di wilayah negara itu. (b) ‘bukan penduduk’: orang-orang yang berada di suatu wilayah negara hanya selama suatu jangka waktu tertentu karena suatu kepentingan. Misalnya, para turis asing, tamutamu instansi tertentu. ‘Penduduk’ terbagi lagi atas ‘warga negara’


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 11 (yang di Indonesia dikenal dengan singkatan WNI), dan ‘bukan warga negara’ yang biasa disebut ‘orang asing’, atau ‘warga negara asing’ (disingkat: WNA). Namun dalam arti (b), yaitu ‘orang kebanyakan’, istilah ‘rakyat’ tidak bisa dikenakan pada para pengusaha kaya-raya atau para petinggi negara yang tidak mengalami kesulitan apa pun dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Memang benar, bahwa para pengusaha kaya dan petinggi negara itu juga adalah ‘rakyat’ dalam arti (a), yaitu: penduduk. Namun dari sudut pandang ekonomi, ekonomi mereka jelas jauh berbeda dengan ekonomi rakyat, ekonomi orang kebanyakan (“the common people”). Sri-Edi Swasono dengan sangat jelas dan tandas mengulas makna kata “rakyat” ini dalam konteks debat tentangkemungkinan amandemen terhadap Pasal 33 UUD NRI 1945 tentang perekonomian rakyat. Berikut kutipannya: “Rakyat” adalah konsepsi politik, bukan konsepsi aritmatik atau statistic. Rakyat tidak harus berarti seluruh penduduk. Rakyat adalah “the common people”, rakyat adalah “orang banyak”. Pengertian rakyat berkaitan dengan “kepentingan publik”, yang berbeda dengan “kepentingan orang-seorang”. Pengertian rakyat mempunyai kaitan dengan kepentingan kolektif atau kepentingan bersama. Ada yang disebut “public interest” atau “public wants”, yang berbeda dengan “private interest” dan “private wants”. Sudah lama pula orang mempertentangkan antara “individual privacy” dan “public needs” (yang berdimensi domain publik). Ini analog dengan pengertian bahwa “social preference” berbeda dengan hasil penjumlahan atau gabungan dari “individual preferences”. Istilah “rakyat” memiliki relevansi dengan hal-hal yang bersifat “publik” itu. Mereka yang tidak mampu mengerti “paham kebersamaan” (mutuality) dan “asas kekeluargaan” (brotherhood, bukan kinship) pada dasarnya karena mereka tidak mampu memahami arti dan makna


Bab 1 Pendahuluan 12 luhur dari istilah “rakyat” itu, tidak mampu memahami kemuliaan adagium “vox populi vox Dei”, di mana rakyat lebih dekat dengan arti “masyarakat” atau “ummat”, bukan dalam arti “penduduk” yang 210 juta. Rakyat atau “the people” adalah jamak (plural), tidak tunggal (singular). Dalam konteks ini, kita melihat bahwa negara dan warga negara (baca: rakyat) ibarat dua sisi mata uang. Keduanya saling mengadakan, saling mengandaikan, dan saling mengartikan untuk meraih ‘sesuatu’ yang menjadi cita-cita dan tujuan bersama, yaitu kesejahteraan umum, kebaikan umum, kepentingan umum (bonum commune, bonum publicum, state of well-being). Negara ada, maju, dan tetap eksis, terutama karena ada rakyat (tentu saja di samping unsur pembentuk negara lainnya, seperti: wilayah dan pemerintahan yang sah, juga dukungan negara lain). Sebaliknya, rakyat ada karena ada negara sebagai suatu “persekutuan hidup bersama” yang dibentuk atas dasar kesepakatan (consensus) bersama antarpara pendiri atas nama seluruh rakyat. Bila negara tidak ada, rakyat pun tidak ada. Tanpa negara, sekelompok manusia yang kebetulan hidup bersama di suatu wilayah hanyalah sekumpulan orang, bahkan sekerumunan orang. Bukan ‘rakyat’! Keeratan hubungan antara negara dan warga negara dapat dilihat, misalnya, dari indikator pemeringkatan negara atas: negara maju, negara berkembang, negara terbelakang, atau pemeringkatan negara berdasarkan “Indeks Pembangunan Manusia” (Human Development Index -- HDI), yang didasarkan pada penilaian terhadap: (a) tingkat kesehatan rakyat: usia harapan hidup, dengan melihat kualitas hidup yang sehat dan umur yang panjang (b) tingkat pendidikan rakyat: tingkat melek huruf atau baca tulis untuk mengukur tingkat pengetahuan dan pendidikan; (c) tingkat pendapatan per kapita rakyat: yang mengukur standar hidup layak dengan melihat persentase penguasaan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita dalam paritas daya beli. Berdasarkan HDI dari 187 negara sedunia, negara-negara


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 13 dibagi atas: (1) Negara Kelas Satu yang disebut: “Very High Human Development” (peringkat 1–47); (2) Negara Kelas Dua yang disebut: “High Human Development”; (3) Negara Kelas Tiga yang disebut: “Medium Human Development”; dan (4) Negara Kelas Empat yang disebut: “Low Human Development” (peringkat 142–187). Indonesia termasuk negara dengan status “Medium Human Development” sama dengan Afrika Selatan dan Kiribati. Dengan demikian, profil rakyat mencerminkan profil negara. = Negara: Negara kita adalah INDONESIA (dari kata ‘indus’ (Latin) yang berarti ‘Hindia’ dan ‘nesos’ (Yunani) yang berarti ‘pulau’ atau ‘gugusan pulau’). Ia adalah sebuah negara kesatuan yang berbentuk “republik” [UUD NRI 1945 Pasal 1 ayat (1)], bukan sebuah ‘monarki’, bukan juga sebuah ‘aristokrasi’, dan bukan pula sebuah ‘teokrasi’. Maksudnya jelas, negara Indonesia ini didirikan untuk kepentingan umum seluruh rakyat, kesejahteraan umum (res + public artinya: kepentingan umum). Bukan untuk kesejahteraan keluarga raja (monarki), kaum bangsawan (aristokrasi), atau untuk kejayaan sebuah agama (teokrasi). Kata ‘Indonesia’ berarti wilayah Hindia Kepulauan, atau kepulauan yang berada di Hindia, yang menunjukkan bahwa nama ini terbentuk jauh sebelum Indonesia menjadi sebuah negara merdeka dan berdaulat. Sebagai ‘wilayah’, Indonesia adalah sebuah negarakepulauan (archipelagic-state) terbesar dan terluas di dunia, terdiri atas: darat, laut, dan udara. Disebut juga Nusantara: gugusan pulaupulau yang terletak di antara 2 benua (Asia–Australia) dan 2 samudra (Hindia–Pasifik). Dengan posisi silang ini, Indonesia dipengaruh dan mempengaruhi negara di sekitar dalam semua aspek kehidupan: ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan-keamanan. Lautlebih luas dari darat(3:1).Hampir 70% atau 2/3 wilayah Indonesia adalah laut: 3.257.357 km², dan luas daratan: 2.028.087 km2 ; jadi, luas total wilayah Indonesia adalah 5.285.444 km2 . Wilayah darat terbentang dari Sabang sampai Merauke. Ada 17.508 pulau, besarkecil; sekarang tinggal 17.499 buah. Ada 5 pulau besar: Sumatera


Bab 1 Pendahuluan 14 (473.606 km2 ), Jawa (132.107 km2 ), Kalimantan (pulau terbesar ke-3 di dunia - 539.460 km2 ), Sulawesi (189.216 km2 ), dan Papua (421.981 km2 ). Ada 7870 pulau telah memiliki nama, sedangkan 9.634 pulau lainnya belum memiliki nama, dan 6.000 pulau tidak berpenghuni. Dengan luas laut yang lebih besar dari daratan, Indonesia sesungguhnya adalah sebuah ‘negara maritim’, bahkan sebuah ‘benua maritim’. Hidupnya sesungguhnya harus bertumpu pada laut sambil mengusahakan wilayah ‘daratan’ sebagai pendukung. Demikian pula bidang pertahanan dan keamanan negara seharusnya lebih bertumpu pada pertahanan maritim, sambil didukung oleh pertahanan udara dan darat. Menurut Fika M. Komara seorang pemerhati masalah geostrategi, dalam bidang perdagangan internasional melalui jalur perhubungan laut (“sea lanes of communication”), tercatat 7 jalur perdagangan internasional, dan 4 jalur di antaranya terdapat di dalam wilayah kedaulatan NKRI, yaitu Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Makasar. Ketujuh jalur perhubungan laut ini secara politik dan ekonomi sangat strategis karena menyangkut kelangsungan hidup sejumlah negara di dunia. Jalur pelayaran laut ini membentang dari Teluk Persia ke arah barat menuju Eropa Barat, dan ke arah Timur menuju Asia Timur dan Amerika Serikat. Wilayah perairan yang strategis itu meliputi Selat Boshporus yang memisahkan Turki bagian Eropa dan Turki bagian Asia, serta menghubungkan Laut Marmara dengan Laut Hitam. Selain itu adalah Selat Hormuz yang memisahkan Iran dengan Uni Emirat Arab, terletak di antara Teluk Oman dan Teluk Persia. Sementara wilayah perairan strategis bagi pelayaran internasional di kawasan Pasifik melewati Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur. Sedangkan yang berada di wilayah kedaulatan Indonesia adalah Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Makasar. Saat era perdagangan dunia bergeser ke wilayah Asia Pasifik, yang sebelumnya di Eropa dan Amerika, kawasan tersebut muncul sebagai salah satu pusat strategis maritim dunia di abad 21. Di era perdagangan Trans-Pasifik, Selat Malaka mengambil peran yang sangat penting karena merupakan jalur


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 15 laut terpendek yang bisa menghubungkan antara dua samudera penting di dunia, yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Rute perdagangan dari Samudera Hindia menuju Samudera Pasifik akan menjadikan Selat Malaka sebagai rute tercepat di antara dua samudera ini, yang berarti menghemat biaya operasional. Rute pelayaran strategis dapat juga melewati Selat Sunda yang menghubungkan Laut Cina Selatan dan Samudera Hindia. Rute pelayaran alternatif lainnya adalah melalui Selat Lombok dan Selat Makasar. Selain melewati Samudera Hindia, kedua selat ini terhubung pada Samudera Pasifik dan Laut Filipina di utara dan Australia di selatan. Selain sebagai wilayah, kata ‘Indonesia’ juga berarti ‘BANGSA’: bangsa Indonesia. Bangsa ini terbentuk karena kesamaan nasib sebagai bangsa jajahan, dan kesamaan cita-cita, yaitu menjadi bangsa yang merdeka dan berdiri sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat. Jadi, bukan kesamaan genealogis, dalam arti: se-keturunan, se-silsilah, se-nenek moyang, mengingat asal-usul bangsa Indonesia tidak hanya satu. Dahulu di seantero wilayah Nusantara ini berdiamlah aneka ragam suku bangsa dengan aneka ragam adat-istiadat dan kebudayaan, agama, bahasa, silsilah, dan sebagainya. Peristiwa yang mempersatukan aneka ragam suku itu dalam satukesatuan yang “solid” adalah Soempah Pemoeda, 28 Oktober 1928. Pada peristiwa ini para pemuda, yang berasal dari aneka ragam suku dan organisasi pemuda yang tersebar di seantero Nusantara berkumpul dalam Kongres Pemuda II di Jakarta dan bersumpah: bertanah air satu, berbangsa satu, berbahasa persatuan yang satu: INDONESIA. Bermula dari peristiwa bersejarah ini dan selanjutnya dalam berbagai bentuk perjuangan pergeakan, bangsa ini meraih kemerdekaannya, 17 tahun kemudian, yaitu Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945, oleh Soekarno–Hatta, atas nama seluruh rakyat Indonesia. Dalam konteks ini, PKn di satu pihak membentuk, menyadarkan, dan memanusiawikan para warga negara agar tahu bagaimana berperilaku hidup yang baik sebagai seorang warga negara (good citizen), atas dasar hak dan kewajibannya, sejauh diatur di dalam Konstitusi dan tidak


Bab 1 Pendahuluan 16 bertentangan dengan Konstitusi itu dan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Sedangkan di pihak lain PKn menggerakkan para warga negara agar mengetahui sedikit-dikitnya seluk-beluk tentang negara: sejarahnya, bentuknya, sistem pemerintahannya, lembaga-lembaganya, tata aturan hukumnya, dan tata cara penyelenggaraan pemerintahannya. Diharapkan oleh pengetahuan itu, para warga negara tergerak untuk berpartisipasi aktif dalam memajukan bangsa dan negara. Dengan demikian, pada dasarnya hakikat PKn adalah penanaman dan penyadaran generasi muda akan hal-hal yang berkaitan dengan: (i) Warga Negara (hak dan kewajibannya, kedudukan dan perannya), (ii) Bangsa dan Negara (hak dan kewajibannya, kedudukan dan perannya, sejarah perjuangannya, Konstitusinya, Rule of Law, dan semua perkembangan aktual yang terjadi atas negara, semisal: Reformasi dan Amandemen UUD NRI 1945, Otonomi Daerah dan Desentralisasi), (iii) Pembangunan Nasional (Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional). Maka jelaslah bahwa PKn sangat penting untuk mempersiapkan generasi muda bagi kehidupan berbangsa dan bernegara dan bagi perkembangan demokrasi. PKn memungkinkan generasi muda berani dan mampu membuat keputusannya sendiri dan bertanggung jawab atas keputusan itu dan atas kehidupan mereka sendiri dan masyarakatnya. Di sini PKn merupakan kesempatan emas bagi generasi muda untuk mengeksplorasi pandangan sosial dan pandangan politiknya,sesuatu yang mulai redup di kalangan generasi muda di tengah hingar-bingar dunia modern dewasa ini. Jika PKn diajarkan dengan baik dan disesuaikan dengan kebutuhan lokal, ia akan meningkatkan keterampilan berdemokrasi dan nilai-nilai kehidupan demokrasi, hak dan kewajiban, mulai dari sekolah dan memancar keluar kepada masyarakat.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 17 2. Pendidikan Kewarganegaraan7 2.1 Pengertian Achmad Sanusi memberi pengertian Civics sebagai “ilmu yang berbicara tentang kedudukan dan peranan warga negara dalam menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dan sepanjang batas-batas ketentuan konstitusi negara yang bersangkutan.” Cogan mengartikan ‘civic education’sebagai “...the foundation course work in school designed to prepare young citizensfor an active role in their communities in their adult lives” –– mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warga negara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalammasyarakatnya. Sedangkan ‘citizenship education’ atau ‘education for citizenship’ oleh Cogan digunakan sebagai istilah yang memiliki pengertian yang lebih luas mencakup ”… both these in-school experiences as well as out-of school or non-formal/informal learning which takes place in the family, the religious organization, community organization, the media, etc. which help to shape the totality of the citizen” –– “... baik pengalaman di sekolah maupun pembelajaran non-formal/informal di luar sekolah yang berlangsung dalam keluarga, organisasi keagamaan, organisasi masyarakat, media, dan lain-lain, yang membantu membentuk kepribadian warga negara.” PKn pada dasarnya digunakan dalam pengertian yang luas seperti “citizenship education” atau “education for citizenship” yang mencakup: (i) pendidikan kewarganegaraan di dalam lembaga pendidikan formal (dalam hal ini sekolah dan dalam program pendidikan guru) dan (ii) di luar sekolah, baik berupa program penataran atau program lainnya yang sengaja dirancang atau sebagai dampak pengiring dari program lain yang berfungsi memfasilitasi proses pendewasaan atau pematangan warga negara Indonesia yang cerdas dan baik. 7 Ir. Soekarno, ‘Tahun Kemenangan’. Di Bawah Bendera Revolusi. Jilid Kedua. Cetakan Kedua. Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, hlm. 498. Dalam: Raka, Gede. (2008). Pembangunan Karakter dan Pembangunan Bangsa: Menengok Kembali Peran Perguruan Tinggi. Risalah ‘Kuliah Akhir Masa Jabatan’ sebagai Guru Besar Fakultas Teknologi Industri ITB, disampaikan pada tanggal 28 Nopember 2008 di Gedung Balai Pertemuan Ilmiah (BPI) ITB di Jalan Surapati Bandung. (historia66.wordpress.com/2009/ 10/09/ kutipan-bung-karnocharacter-and-nation-building/).


Bab 1 Pendahuluan 18 Di samping itu PKn digunakan sebagai nama dari suatu bidang kajian ilmiah yang melandasi sekaligus menaungi pendidikan kewarganegaraan sebagai program “pendidikan demokrasi” (democratic education): “upaya sistematis yang dilakukan negara dan masyarakat untuk memfasilitasi individu warga negara agar memahami, menghayati, mengamalkan dan mengembangkan konsep, prinsip, dan nilai demokrasi sesuai dengan status dan perannya dalam masyarakat.” Pendidikan demokrasi berlangsung dalam berbagai konteks pendidikan: (a) pendidikan formal (di sekolah dan perguruan tinggi), (b) pendidikan nonformal (pendidikan di luar sekolah) dan (c) pendidikan informal (pergaulan di rumah dan masyarakat kultural) untuk membangun cita–cita, nilai, konsep, prinsip, sikap, dan keterampilan berdemokrasi.8 2.2 Tiga dimensi Pendidikan Kewarganegaraan Dari pengertian ‘pendidikan’ di atas, baik sebagai wadah dan proses pembentukan, penyadaran, dan pemanusiaan manusia, maupun dari pengertianPendidikanKewarganegaraansebagai ilmu, tersirattigadimensi PKn, yaitu: (i) dimensi pengetahuan dan pemahaman kewarganegaraan (civic knowledge and understanding), (ii) dimensi nilai dan watak kewarganegaraan (civic values and dispositions), dan (iii) dimensi keterampilan dan kecakapan kewarganegaraan (civic skills and aptitudes).9 Pada dimensi pengetahuan dan pemahaman kewarganegaraan, PKN membantu peserta didik mengetahui dan memahami (knowing and understanding): hak-haknya (hak sosial, hak ekonomi, hak politik dan sipil) dan kewajiban-kewajibannya, dasar-dasar hidup bernegara dan tata cara pengelolaan negara, pembangunan nasional dan kondisi aktual negara, konteks perkembangan politik kontemporer bangsanya, semua 8 Pendidikan Kewarganegaraan sering disebut juga civic education, citizenship education, bahkan ada yang menyebutnya sebagai democracy education. Dalam kerangka pendidikan demokrasi, Pendidikan Kewarganegaraan sangat penting untuk menumbuhkan civic culture, demi keberhasilan pengembangan dan pemeliharaan pemerintahan demokrasi. Lihat: Prof. Dr. H. Kaelan, MS dan Drs. H. Achmad Zubadi, M.Si, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Paradigma), hlm. 1-2. Istilah Latin untuk kewarganegaraan adalah civis; darinya lahirlah kata Inggris civic, yang berarti segala hal mengenai warga negara atau kewarganegaraan. Dari istilah civic, terbentuk kata civics: ilmu kewarganegaraan (civics education). (Lihat: Prof. Drs. CST. Kansil, SH & Christine ST. Kansil, SH., MH, Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Pradnya Paramita), hlm. 3-5. 9 Winaputra, 2006:12, 19 dalam: http://masri.blog.com/2009/10/27/demokrasi-dan-pendidikan-demokrasi/, diakses, Rabu, 16 April 2014).


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 19 aturan kelakuan yang berlaku di negaranya (law and rules), demokrasi, media, hak-hak asasi manusia, perbedaan-perbedaan, uang dan kegiatan ekonomi, dunia sebagai suatu komunitas global, kekuasaan dan rule of law, kebebasan, kesamaan. Pengetahuan dan pemahaman akan hal-hal di atas menggerakkan mereka untuk berpartisipasi secara aktif, kreatif, dan efektif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dimensi ini menjadikan warga negara seorang terdidik (becoming informed citizens). Ia menjadi motor penggerak warga negara untuk terlibat aktif dalam hidup berbangsa dan bernegara. Seorang warga negara yang tidak tahu apa-apa tentang dan tidak memahami semua hal yang dikatakan di atas, tentu saja akan bersikap pasif dan acuh tak acuh terhadap semua yang terjadi atas dirinya dan atas bangsanya. Pada dimensi nilai dan watak kewarganegaraan, PKn membantu peserta didik untuk membangun dan mengembangkan pola pikir dan pola sikap yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal (kebebasan, kesamaan, solidaritas, keadilan, kebenaran, toleransi, keterbukaan, keberanian membela kebenaran, kerja sama, kemauan untuk mendengarkan orang lain, bekerja sama dengan orang lain, dan melayani orang lain) dan nilai-nilai hidup yang khas dari masyarakat bangsanya, filosofi bangsa dan negara, konstitusi negara, demokrasi dan rule of law. Termasuk di dalam pembentukan watak itu juga adalah pembentukan kepekaan sosial, simpati dan empati sosial mengingat negara pada hakikatnya adalah suatu persekutuan hidup, kebersamaan hidup yang dibentuk atas dasar kesepakatan bersama seluruh rakyat. Singkatnya, watak yang mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan dan keindonesiaan. Pada dimensi keterampilan dan kecakapan kewarganegaraan, PKn membantu peserta didik agar memiliki kemampuan dan kecakapan: berpikir kritis dan mampu menganalisis setiap informasi tentang kebijakan-kebijakan pembangunan nasional di semua bidang kehidupan: ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan-keamanan (ipoleksosbudhankam), turut aktif memecahkan permasalahan bangsa dan negara,mengungkapkan pendapat, berpartisipasi dalamdiskusi dan debat, bernegosiasi, dan berpartisipasi dalam kegiatan komunitas. Keterampilan


Bab 1 Pendahuluan 20 dan kecakapan-kecakapan itu perlu dilatih untuk mempertajam daya nalar, memperluas wawasan berpikir, menumbuhkan kepekaan dan keprihatinan sosial, serta menggerakkan kemauan untuk aktif terlibat dalam memecahkan permasalahan bangsa. Termasuk dalam kecakapan atau keterampilan kewarganegaraan adalah kecakapan bernegosiasi, memutuskan dan mengambil bagian secara bertanggung jawab dalam kegiatan-kegiatan sekolah atau masyarakat bangsa. Dari tiga dimensi di atas, PKn sesungguhnya merupakan suatu sarana pemberdayaan yang kritis dan efektif untuk meningkatkan keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Partisipasi warga negara itu terbangun melalui perlindungan terhadap hak-hak individual maupun hak-hak kolektif serta jaminan penghargaan terhadap kewajibankewajiban setiap warga negara terhadap masyarakat di mana mereka menjadi bagiannya. PKn dapatjugamemainkan suatu peran penting dalam upaya menurunkan angka kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 10 Di Indonesia, pada tingkat Pendidikan Tinggi, berdasarkan UndangUndang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Departemen PendidikanNasionalNo. 43/DIKTI/Kep/2006 tentang RambuRambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi, bersama-sama dengan mata kuliah Pendidikan Agama dan Bahasa Indonesia, PKn masuk dalam rumpun Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK). Sebagai Mata kuliah Pengembangan Kepribadian, PKn membentuk watak dan kepribadian warga negara (baca: mahasiswa, generasi muda) dan menggerakkan mereka untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta berbagai keterampilan agar pada saatnya dapat memainkan perannya dalam kehidupan politik bangsa dan negaranya. Dalam kerangka ini, patut disadari bahwa mahasiswa sebagai generasi muda mau tidak mau harus bersiap diri untuk mengambil alih 10 United Nation Development Programme Bureau for Development Policy, Civic Education – Practical Guidance Note, hlm. 5.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 21 tanggung jawab kepemimpinan bangsa dan negara di masa depan dengan segala permasalahannya. Sebagai sebuah negara hukum-demokratis, Indonesia membutuhkan warga negara yang aktif, kritis, kreatif, inovatif, terdidik dan bertanggung jawab, yang mau dan mampu mengambil tanggung jawab bagi diri mereka sendiri dan bagi masyarakat bangsa dan negara, serta aktif berpartisipasi dalam pembangunan nasional, dan punya kontribusi dalam proses-proses politik bangsa dan negaranya. Dalam hal ini patut disadari bahwa semua orang, sejauh sebagai warga negara, hidup di dalam politik, dari politik, oleh politik, dan untuk politik. Tak seorang pun boleh merasa diri terlepas dari politik dan lalu cuci tangan dari urusan politik, dan tidak mau terlibat dalam politik. Politik telah meliputi kehidupan kita sejak kita berada dalam kandungan hingga maut menjemput, kapan pun dan di mana pun.11 Contoh dapat kita temukan dalam pengalaman hidup kita sehari-hari: ketika lahir, kita butuh akte kelahiran dari negara; ketika menikah, kita butuh akte perkawinan dari negara; ketika mati, kita butuh surat keterangan kematian dari negara. Selama hidup, seluruh kebutuhan dasar kita: sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, disediakan oleh negara, dan bila negara gagal menyediakan semua kebutuhan itu, kita marah dan berdemonstrasi. Kemajuan demokrasi di tanah air tergantung pada semua warga negara Indonesia, yang: 1. Sadar akan hak, kewajiban, dan tanggung jawab mereka sebagai warga negara; 2. Melek dan terdidik baik tentang kehidupan sosial dan politik bangsanya serta terlibat aktif di dalamnya; 3. Menaruh perhatian dan keprihatinan terhadap kesejahteraan orang lain; 4. Mampu mengungkapkan pikiran dan pendapat serta argumen mereka; 11 W UNDP, ibid. hlm. 5-6.


Bab 1 Pendahuluan 22 5. Sanggup menjadi agen-agen perubahan dalam masyarakat (agent of change), dan agen pembangunan (agent of development) bahkan mampu mempengaruhi dunia; 6. Aktif dalam komunitas masyarakatnya; 7. Tidak melakukan tindakan-tindakan kriminal yang merugikan orang lain atau negara, dan bila sudah melakukannya siap bertanggung jawab atas tindak perbuatannya itu. Sebaliknya, dari pihak negara (baca: pemerintah) pun dituntut tanggung jawab dan komitmen yang tulus dan setia dalam hal-hal menyangkut “tata kelola pemerintahan yang baik” (good governance), serta mentalitas dan moralitas pengabdian yang tinggi bagi kemajuan bangsa dan negara berdasarkan nilai-nilai kebangsaan dan kerakyatan, dua doktrin dasar yang melatar-belakangi pembentukan negara Indonesia Merdeka. Dengan Good Governance, bangsa dan negara ini akan mampu ber-TRISAKTI: “berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan” (TRISAKTI SOEKARNO), dan mampu meraih cita-cita dan tujuannya: “masyarakat adil dan makmur, lahir dan batin, berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945.” Keberhasilan PKn dapat dilihat dan diukur dari sejauh mana mahasiswa sebagai generasi muda memahami dan mencerap materi yang disajikan, dan sejauh mana proses formasi dan transformasi diri terjadi atas mahasiswa, yang sebagai generasi muda akan mengambil alih estafet kepemimpinan negara dan mengemban tanggung jawab atas pembangunan bangsa dan negara di kemudian hari. 3. Latar Belakang Pendidikan Kewarganegaraan Bahwa PKn masih juga diberikan di Perguruan Tinggi sebagai suatu mata kuliah wajib, hal itu bukan saja karena peran strategis mata kuliah ini dalam kerangka nation and character building, namun lebih-lebih karena dilatarbelakangi oleh aneka masalah kritis yang melilit bangsa dan negara ini, baik karena faktor internal maupun faktor eksternal, yang


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 23 semuanya bersumber pada belum memadainya kualitas sumber daya manusia Indonesia, hampir dalam semua segi tinjauan. Misalnya, dari segi penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, segi profesionalisme dalam tata kelola penyelenggaraan negara (pemerintahan, birokrasi), segi mentalitas dan moralitas, segi semangat kebangsaan dan kerakyatan. Oleh sebab itu, kiranya baik dan perlu, bila kita menelaah sejenak faktor-faktor internal dan eksternal yang menjadi latar belakang dari adanya mata kuliah PKn ini dalam kurikulum Pendidikan Tinggi. 3.1 Faktor-Faktor Internal Cukuplah dikemukakan dua faktor internal berikut, yaitu keinginan batin dan aneka krisis. a. Keinginan batin sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat untuk “menukik” ke dalam diri sendiri, guna lebih “mengenal jati diri kita”.12 Pertama, ‘jati diri individual’ kita masingmasing sebagai warga negara Indonesia: kita mau melihat apa kedudukan dan peran kita, serta apa hak dan kewajiban kita sebagai warga negara, sesuai dan sepanjang batas-batas ketentuan konstitusi negara kita. Kedua, ‘jati diri kolektif’ kita sebagai satu bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat: kita mau melihat negara dengan tugas, fungsi, dan tujuannya; apa hak dan kewajibannya, prinsip-prinsip orientasi dasar apa yang sebaiknya diperhatikan agar kehidupan negara diselenggarakan secara semestinya, apa saja yang harus dimiliki negara agar dapat berfungsi optimal dalam menjalankan tugasnya, apa saja yang menjadi ciri khas yang membedakan bangsa dan negara kita dari bangsa dan negara lain (identitas nasional). Karena negara kita adalah sebuah negara hukum-demokratis, kita juga mau melihat apa hukum dan demokrasi itu, apa ciri dan manfaat keduanya, dan sebagainya. 12 M. Sastrapratedja, SJ, “Restorasi Pendidikan Politik Berdasarkan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”, dalam: Jurnal Iman Ilmu Budaya, Vol. 3, No. 3 Sept – Des. 2004, hlm. 100-102.


Bab 1 Pendahuluan 24 Dalam konteks ini, apa yang dikatakan Ernest Renan tentang hakikat nasionalisme13 menjadi relevan bagi kita. Menurut Renan, nasionalisme pada hakikatnya adalah keinginan untuk hidup bersama, untuk membentuk suatu kehidupan bersama dalam bentuk sebuah negara, bertumpu pada kesadaran akan adanya jiwa dan prinsip spiritual yang berakar pada kepahlawanan masa lalu yang tumbuh karena kesamaan penderitaan dan kemuliaan pada masa lalu. Akhirakhir ini, nasionalisme dan patriotisme ala Renan itu mulai pudar dan merosot, digusur oleh semangat primordialistik dan sektarian, yang cenderung mencurigai dan mencap kelompok lain sebagai kelompok yang tidak punya hak hidup di negeri ini; berkembang juga suatu semangat dan kecenderungan tidak saling percaya antarsesama anak bangsa, baik vertikal maupun horisontal, sejalan dengan semakin menjalarnya korupsi dan manipulasi di semua lini dan tingkatan birokrasi negara kita. Seiring dengan itu, tanda-tanda disintegrasi bangsa mulai tampak. Satjipto Rahardjo14 menyebut gejala ini sebagai penyakit “kehilangan keindonesiaan” atau “tidak menjadi Indonesia”, atau gejala atomisasi Indonesia. Dalam atomisasi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa ini, Indonesia tidak atau belum dilihat sebagai suatu realitas sejarah, tetapi baru sebatas sesuatu yang diimpikan, dibayangkan, suatu imagined nation. Menurut Satjipto, inilah penyakit yang sesungguhnya merupakan akar permasalahan dari gejala keterpurukan dan krisis multidimensi yang melanda Indonesia, bukan baru sekarang ini, melainkan sudah sejak lama. b. Aneka krisis: Kita menghadapi tantangan-tantangan dari dalam bangsa sendiri berupa masalah-masalah kritis dalam semua bidang 13 Pengenalan diri membuat kita menjadi bangsa yang sadar diri, dan karena sadar diri, kita mulai berupaya membentuk dan mendidik seluruh warga masyarakat, terutama generasi muda dalam seluruh hal ihwal ‘kewarganegaraan’ agar semua dapat mengambil bagian sesuai peran dan kedudukannya dalam proses pembangunan bangsa. Semua gejala anarkisme dan disintegrasi bangsa sesungguhnya mencerminkan (dan hendaknya dibaca sebagai) gejala kita tidak mengenal dan mencintai diri sendiri serta tidak mau menjadi diri sendiri. Dengan kata lain, gejala merosotnya rasa ‘kebangsaan’ (nasionalisme) disebabkan kurang atau tiadanya ‘pendidikan kewarganegaraan’. Prof. Dr. Koento Wibisono Siswomihardjo (Universitas Gajah Mada), ”Identitas Nasional,” Makalah yang dipresentasikan pada Pelatihan Dosen Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan Kewarganegaraan, tanggal 14-17 September 2006 di Padang. 14 Satjipto Rahardjo, ”Menjadi Indonesia,” Harian KOMPAS, Sabtu 11 November 2006.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 25 vital kehidupan berbangsa dan bernegara: ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan yang pada hakikatnya tidak mencerminkan dan tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila Dasar Negara.15 Di bidang ideologi, ideologi Pancasila belum sepenuh hati dan akal diterima dan diakui sebagai ideologi nasional perekat bangsa, apalagi dihayati dan diamalkan dalam hidup nyata. Di bidang politik, kita menyaksikan lahirnya banyak partai politik sebagai akibat dari kebebasan yang ditiupkan Gerakan Reformasi dan permainan politik biaya tinggi (money politics) yang menyeret banyak politisi dan pejabat ke dalam praktik korupsi. Partai-partai umumnya lebih mementingkan agenda partai daripada memperhatikan peningkatan kesejahteraan rakyat. Amandemen UUD NRI 1945 melahirkan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dengan sejumlah konsekuensi, antara lain: korupsi dan egoisme daerah. Penegakan dan penguatan supremasi hukum (law enforcement) belum maksimal. Ibarat pisau, hukum terkesan ”tumpul ke atas, tajam ke bawah.” Demokrasi dan demokratisasi di satu pihak menunjukkan tanda-tanda positif, namun di pihak lain kerap disalahgunakan sebagai dasar pembenaran tindakan-tindakan yang melawan hukum. Reformasi birokrasi untuk menciptakan good governance (tata kelola pemerintahan yang baik) belum juga berhasil sehingga praktik KKN terus marak terjadi. Di bidang ekonomi, pendekatan pembangunan ekonomi yang mengutamakan pertumbuhan tanpa pemerataan, masih terus diterapkan, kendatipun tidak berimbas pada program pencegahan dan pengentasan kemiskinan rakyat, pengurangan angka pengangguran, dan minimalisasi kesenjangan dan ketimpangan. Bahkan kecenderungan pembangunan ekonomi berdasarkan paham 15 Bahan bacaan untuk bagian ini diambil dari materi-materi berikut. (1) Koento Wibisono Siswomihardjo, op. cit. (2) Tujuh prinsip etika politik yang dikemukakan oleh Franz Magnis-Suseno, SJ, yang menegaskan bahwa Indonesia sebagai sebuah negara hukum-demokratis, dalam Pancasila Dasar Negara, secara tegas menjamin sepenuhnya tuntutan-tuntutan dasar keberadaan sebuah negara, antara lain: (a) negara menjamin tegaknya keluhuran martabat manusia dengan seluruh hak asasinya sebagai manusia; (b) negara mengusahakan terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Ini berarti ketidakadilan sosial dalam berbagai bentuknya tidak punya tempat untuk boleh hidup di negeri ini; (c) negara menjamin kebebasan beragama bagi segenap umat beragama dan berkepercayaan, dan (d) negara menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. (3) Kaelan, op. cit. (4) Bernard Raho, “Konflik di Indonesia, Problem dan Pemecahannya Ditinjau dari Perspektif Sosiologis,” dalam Guido Tisera, ed., Mengolah Konflik Mengupayakan Perdamaian, (Maumere: LPBAJ, 2002), hlm. 121-164. (5) Prof. Dr. H.A. Prayitno & Drs. Trubus, MS, Pendidikan KADEHAM, Kebangsaan, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Universitas Trisakti), hlm. 1-4.


Bab 1 Pendahuluan 26 ekonomi neoliberal, menyeret bangsa dan negara ini ke dalam suatu model penjajahan baru yang lebih dahsyat daya rusaknya. Neoliberalisme, perdagangan bebas, dan pasar bebas membuka peluang bagi penguasaan banyak sumber daya alam Indonesia. Di bidang sosial-budaya, semangat persaudaraan, persatuan dan kesatuan antaranak bangsa atas nama BHINEKA TUNGGAL IKA semakin meredup tergusur oleh semangat primordialisme (SARA). Banyak orang Indonesia semakin meninggalkan budaya bangsanya, dan mulai lebih mengadopsi budaya-budaya asing, padahal kecenderungan itu bertentangan dengan nilai-nilai budaya bangsa sendiri. Dalam situasi ini, tidaklah mengherankan bila konflik sosial bernuansa SARA marak terjadi. Sumber-sumber kekayaan alam yang terkandung dalam bumi Indonesia semakin dikuasai negara-negara asing, dengan strategi dan taktik pengelabuan tingkat tinggi, mulai dari pembiayaan penyusunan Undang-undang hingga peraturan pemerintah. Akibatnya, secara tak tersadari, bangsa ini kembali mengalami suatu model penjajahan gaya baru, yang telah dibayangkan Soekarno sebagai NEKOLIM (neokolonialisme dan imperialisme), atau istilah lain: NEOKOLONISASI NUSANTARA, atau NEOLIBERALISME.16 Para mahasiswa sebagai generasi muda penerus estafet kepemimpinan bangsa harus menyadari bahaya di balik masalah-masalah kritis di atas, guna membangun suatu sikap baru dalam mengemban tugas masa depan. 2.2 Faktor Eksternal Faktor eksternal yang paling berpengaruh luas dan mendalam adalah globalisasi. 17 Berbarengan dengan globalisasi lahirlah neoliberalisme dan 16 Sri-Edi Swasono, Neolib itu Penjajahan Model Baru. Dalam: http://www.eramuslim.com/ berita/nasional/prof-dr-sri-edi-swasononeolib-itu-penjajahan-model-baru.htm, diakses 12 Februari 2014. 17 Bahan bacaan untuk bagian globalisasi diambil dari: (1) Drs. Slamet Soemiarno (Universitas Indonesia), ”Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi,” makalah dipresentasikan pada Pelatihan Dosen Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan Kewarganegaraan, tanggal 14-17 September 2006 di Padang. (2) Dr. Kaelan, M.Si, ”Pancasila sebagai Falsafah Bangsa dan Negara Indonesia,” makalah yang dipresentasikan dalam Pelatihan Dosen Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian – Pendidikan Kewarganegaraan, 14-17 September 2006 di Padang. (3) Sr. Francino Hariandja, CB, Kongregasi Carolus Borromeus Mengarungi Zaman – Cita-cita Awal dan Penerapannya, Jakarta: Pustaka CB Indonesia, 2006, hlm. 389-405.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 27 neokapitalisme yang tampak dalam adagium borderless world (dunia tanpa batas) atau one world development (pembangunan satu dunia), melalui berbagai kesepakatan yang dituangkan melalui Konferensi Internasional, seperti GATT, WTO, APEC, AFTA, dan lain-lain dengan implikasi tumbuhnya suatu tata sosial baru. Globalisasi membuat benua, kawasan, dan masyarakat di seluruh bulatan bumi (globus) ini mulai menuju arah suatu kesatuan dan persatuan baru. Oleh sarana-sarana komunikasi dan transportasi canggih, informasi dan komunikasi yang cepat dan akurat, mulai lahirlah secara perlahan-lahan suatu hubungan antarmanusia dan masyarakat lintas batas negara, lintas bangsa dan suku bangsa, lintas kebudayaan dan agama di bidang ekonomi dan perdagangan, di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, di bidang ekologi, bahkan di bidang sosial-politik dan kebudayaan. Globalisasi membawa dampak positif sekaligus negatif. Bumi terasa kecil. Orang berbicara mengenai satu desa sejagat (global village). Orang makin menyadari bahwa bumi yang kecil ini merupakan planet yang dihuni bersama. Oleh sebab itu, semua individu dan masyarakat di negara mana pun diharapkan bertanggung jawab terhadap planet yang satu dan sama ini. Kesadaran ekologis bertumbuh pesat. Seluruh dunia mulai berteriak kalau hutan kita di Kalimantan atau di Sumatera terbakar, demikian pula kalau hutan tropis di kawasan kita atau di Brasilia dimusnahkan. Sebab hutan tropis merupakan paru-paru kita bersama. Bertanggung jawab terhadap eksistensi, bahkan terhadap keindahan serta kelestarian planet yang kita huni, itulah yang ingin ditanamkan pada semua warga dunia. Berkembanglah globalisasi di bidang ekologi. Namun di pihak lain, Ingomar Hauchler mengatakan: ”Perkembangan global ditandai oleh dua tendensi yang bertentangan. Sementara dunia makin berhubungan satu sama lain, kemampuan untuk menyelesaikan masalah-masalah dunia makin berkurang. Terjadi kesenjangan antara globalisasi dan kemampuan bertindak secara politis. Pada tahuntahun terakhir ini, kita makin jauh dari tujuan yang diharapkan, yaitu menciptakan satu tata dunia untuk perkembangan dan perdamaian. Malah muncul tendensi, kerja sama politis secara global melemah.


Bab 1 Pendahuluan 28 Harapan, bahwa dengan PBB telah diletakkan satu dasar bagi tata dunia internasional sampai hari ini belum terpenuhi. Tampaknya, pemikiran dan tindakan global lebih dibahayakan oleh cita-cita negara-negara nasional dan etnosentris.”18 Selain di bidang ekonomi, globalisasi terjadi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Di mana-mana di dunia orang mempelajari ilmu yang sama, yang dikembangkan dengan metode dan cara kajian yang sama pula. Masyarakat manusia mengenal dan meyakini paham, teori, paradigma, hipotesis, dan tesis-tesis yang sama. Lebih dari itu, ilmu pengetahuan dan teknologi menghasilkan berbagai ragam alat, mulai dari yang sederhana, seperti penanak nasi listrik sampai dengan yang canggih, seperti dengan hukum-hukumnya. Oleh karena itu, manusia di satu pihak dapat memanfaatkan alam dan personal computer dan labtop. Iptek menye-babkan manusia lebih mendalami seluk-beluk alam kekuatankekuatannya, tetapi di lain pihak menyadari bahwa perlu dipelihara kelangsungan dan kelestarian alam itu sendiri. Pada era globalisasi tidak saja semangat perdagangan bebas, tetapi manusia juga mendambakan menjadi manusia yang kosmopolitan, manusia yang berpandangan bahwa seseorang tidak perlu mempunyai kewarganegaraan, tetapi menjadi warga dunia. Pada era inilah timbul konsep dunia tanpa batas, yang sudah barang tentu akan ditolak oleh negarawan dan politisi nasional. Hakikat konsep ini sebenarnya merupakan perkembangan berdirinya perusahaan antarbangsa (multinational corporation), yang tak lain merupakan bentuk liberalisasi ekonomi dunia. Globalisasi, menurut John Naisbitt, menyebabkan timbulnya paradox global, yaitu banyak perusahaan besar melemah dan jatuh bangkrut (terpecah), namun perusahaan kecil menguat karena mampu memanfaatkan jaringan teknologi komunikasi yang makin kuat/ luas. Dengan demikian, perusahaan/organisasi kecil makin kuat, karena kaya fungsi dan lebih efisien. Ini berakibat pula bahwa persyaratan kerja menjadi tinggi, tidak saja persyaratan pengetahuan dan keterampilan, 18 Hauchler Ingomar, ed. Globale Trends 1996, Fakten Analysen Prognosen, (Frankfurt, Fischer, 1995), hlm. 11-12.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 29 tetapi juga masalah perilaku (terkait masalah etos kerja), kemampuan mengenali adat istiadat dan budaya lokal. Para pekerja dituntut untuk menguasai persyaratan ini. Apabila tidak dipahami, akan mudah timbul konflik yang sudah barang tentu terkait dengan masalah budaya setempat. Globalisasi yang tak terelakan ini harus kita hadapi dengan berusaha mempersiapkan segenap lapisan masyarakat Indonesia, khusus para generasi muda, melalui program-program pembinaan dan pelatihan yang relevan agar dapat berkecimpung dengan baik dan manusiawi dalam era globalisasi, berkemampuan kompetitif untuk memperoleh lapangan kerja. Program-program pembinaan untuk menghadapi tantangan globalisasi ini menjadi program perjuangan nonfisik yang berlandaskan nilai-nilai budaya dan perjuangan bangsa sehingga kita tetap memiliki wawasan dan kesadaran berbangsa dan bernegara, serta kesatuan bangsa dalam rangka tetap utuh dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pembinaan dan pelatihan yang relevan menyangkut beberapa hal di bawah ini.19 a. Penguasaan berbagai jenis ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya jenis yang kurang diminati, tetapi sangat diperlukan demi peningkatan mutu kehidupan, seperti ilmu alam, biologi, fisika, kimia, dan matematika. Kesalahan umum yang dilakukan sistem pendidikan nasional kita harus dihindari. Tidak perlu seluruh kawasan ilmiah dijelajahi. Harus dibuat seleksi ketat. Yang wajib dipelajari dengan cermat adalah hal-hal inti yang penting bagi pengembangan kompetensi-kompetensi dasar (basic competencies). b. Penguasaan keterampilan-keterampilan teknis. Di sini pun dibuat seleksi ketat. Keterampilan dasar dipelajari, selanjutnya diberikan peluang untuk pengembangan berbagai keterampilan yang bertumpu pada keterampilan dasar tersebut. c. Penanaman sikap-sikap keprofesian, artinya sikap yang dibutuhkan agar seseorang dapat menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab, sekaligus gembira dan bangga atas pekerjaan dan hasil pekerjaannya. 19 Sr. Francino Hariandja, CB, Kongregasi Carolus Borromeus Mengarungi Zaman – Cita-Cita Awal & Penerapannya, (editor: Dr. Jan Riberu), (Jakarta: Pustaka CB Indonesia), hlm. 404-406.


Bab 1 Pendahuluan 30 Ada sikap yang berbeda yang dituntut oleh profesi yang berbeda. Seorang penyimpan arsip, misalnya, diharapkan mampu bungkam seribu bahasa dan tidak menceritakan apa saja yang diketahuinya, hanya karena pekerjaan kearsipannya. Padahal, seorang public relation justru harus mampu membuka mulutnya, berkomunikasi ke kiri dan kanan, bahkan sedikit ”ngecap” agar sesuatu dapat diminati orang lain. Akan tetapi, ada sikap umum dan dasar yang dituntut oleh semua profesi, seperti ketelitian, taat waktu, taat prosedur, taat janji, jujur, dan dapat dipercaya. d. Penanaman sikap-sikap kemanusiaan luhur, seperti peka terhadap pendapat, kehendak dan aspirasi orang lain, rela membantu, terbuka secara ikhlas. e. Sambil mengembangkan sikap, sudah disentuh apa yang sekarang dianggap lebih penting untuk keberhasilan manusia, yaitu aspek kecerdasan emosional (emotional intelligence). Salah satu aspek penting kecerdasan emosional adalah kemampuan bersimpati dan berempati, kemampuan memahami gejolak perasaan sendiri, lalu mengendalikannya, dan kemampuan berkomunikasi dan memimpin (leadership). Di satu sisi perlu dikembangkan kemandirian berdasarkan percaya diri yang seimbang, tetapi di sisi lain perlu dibina dan dilatih kemampuan bekerja sama dalam tim. Hal-hal ini sangat penting, baik untuk bekerja sama maupun untuk bersaing secara fair. f. Dalam rangka bekerja sama antarbangsa, mutlak diperlukan penguasaan bahasa asing, khususnya bahasa internasional. Jangan kita dihambat oleh patriotisme picik yang menyebabkan peluangpeluang diambil orang lain. Sehubungan dengan ini, penguasaan teknik berkomunikasi dan berinteraksi melalui media komunikasi canggih perlu pula dikuasai. g. Supaya dapat bertindak secara global, orang harus memiliki global mental set yang intinya adalah memiliki pandangan dan sikap luas, yang selalu menempatkan diri sebagai warga dunia yang bertanggung jawab terhadap kepentingan masyarakat manusia. Masalah-masalah


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 31 masyarakat dunia seperti yang sudah dikedepankan sebelum ini harus diinternalisasi menjadi masalah keprihatinannya juga. h. Pembinaan dan pelatihan harus dilakukan bukan dengan cara-cara satu arah, yang mengung-kung kemandirian, dinamika, prakarsa, kreativitas dan improvisasi. Semua dilakukan dalam proses interaksi aktif, yang merangsang komunikasi, mendorong kreasi dan prakarsa. Maklum, di era globalisasi, inventiveness yang mengandalkan prakarsa dan kreativitas diperlukan. Secara singkat, dalam menghadapi era globalisasi, tugas kita semua adalah mengupayakan agar hasil didikan Indonesia berkemampuan kompetitif untuk memperoleh lapangan kerja, dengan persyaratan kerja meliputi: a) pengetahuan dan keterampilan, berupa kemampuan menghitung, menganalisis, mensintesis, kemampuan manajerial dan komunikasi, serta mema-hami bahasa asing, b) perilaku menghadapi pekerjaan, yang meliputi sifat kepemimpinan, mampu bekerja dalam tim, dapat bekerja lintas budaya dan berkepribadian, c) mengenal sifat pekerjaan, meliputi terlatih etika kerja, paham globalisasi, fleksible, pemilihan kerja. Persyaratan kemampuan hasil didik kini pun berubah, yaitu kemampuan analisis, mampu bekerja sama, serta dapat kerja lintas budaya dan lintas disiplin. Karena itu, pendidikantinggi dituntut agarlebih humanis serta diharuskan memuat nilai-nilai hak asasi manusia. Tuntutan lainnya adalah pendidikan diharapkan menyatu dengan gerak pembangunan (link and match), proses pembelajaran sepanjang hayat (long life education) serta mampu bersaing dalam internasionalisasi lapangan kerja. Adalah tugas kita semua untuk membangun dan membina kemampuan kompetitif. Kemampuan kompetitif bangsa (nasional) hanya dapat berhasil atas dasar kepribadian nasional yang kuat dan berbudaya. Dalam kaitan ini, menjadi tanggung jawab Perguruan Tinggi untuk menyiapkan peserta didik dengan ilmu pengetahuan dan pemahaman sebagai masyarakat madani yang baik dan mengarah pada kehidupan yang layak.


Bab 1 Pendahuluan 32 4. Visi dan Misi Pendidikan Kewarganegaraan Dalam SK Menteri Pendidikan Nasional No. 232/U/2000, pemerintah menegaskan bahwa PKn bersama Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama tergolong dalam kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK), yaitu kelompok bahan kajian dan mata pelajaran untuk mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian mantap dan mandiri, serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. MPK bertujuan pendayaan wawasan, pendalaman intensitas, pemahaman dan penghayatan. MPK wajib diberikan dalam kurikulum setiap program studi/kelompok program studi. Untuk itu, PKn membekali dan memantapkan mahasiswa dengan pengetahuan dan kemampuan dasar dalam hal ihwal hubungan warga negara Indonesia yang Pancasilais dengan negara, dan hubungan antarsesama warga negara, kedudukan dan peran warga negara dalam menjalankan hak serta kewajibannya selaras dan sepanjang batas-batas ketentuan konstitusi negara Indonesia, serta Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN). Tujuannya ialah agar para mahasiswa menjadi warga negara yang dapat diandalkan dalam kancah pembangunan bangsa dan negara Indonesia di segala bidang kehidupan serta dalam kancah pergaulan antarbangsa. Dengan kemampuan dasar ini, mahasiswa diharapkan mampu menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari, memiliki kepribadian yang mantap, berpikir kritis, bersikap rasional, etis, estetis, dan dinamis, berpandangan luas, bersikap demokratis dan berkeadaban. Pengembangan manusia Indonesia sebagaimana dikatakan di atas mengandung makna pengembangan suatu kepribadian yang memancarkan ciri keindonesiaan, kepribadian yang mencirikan citra diri, peran, dan kedudukan sebagai warga negara Indonesia. Singkatnya, kepribadian yang meng-indonesia. 20 Kepribadian seperti ini pada hakikatnya tidak 20 Di atas telah dikemukakan sederet kualitas manusia Indonesia yang mau dihasilkan oleh atau menjadi tujuan kelompok MPK, yaitu manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, berkepribadian mantap, dan mandiri serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Kami meringkas semua kualitas itu ke dalam apa yang disebut Kepribadian Keindonesiaan atau Kepribadian yang Mengindonesia, Kepribadian Pancasila.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 33 lain tidak bukan adalah kepribadian Pancasilais21: kepribadian yang dibangun atas dasar nilai-nilai dasar dan luhur yang menjadi fundamen bangsa ini sebagaimana termaktub dalam kelima sila Pancasila. Dalam lima sila itulah terdapat jati diri bangsa, jiwa dan roh bangsa, pandangan hidup (weltanschaung), dan falsafah dasar bangsa. Oleh terbentuknya kepribadian Pancasilais ini, dapat diharapkan tumbuhnya semangat nasionalisme dan patriotisme dalam diri setiap warga negara. Namun, tujuan PKn di Indonesia tidak hanya terbatas pada pembentukan suatu kepribadian keindonesiaan atau kepribadian yang mengindonesia atau kepribadian Pancasila. Dalam konteks globalisasi dan pergaulan internasional dewasa ini, kita tidak boleh hanya menjadi orang-orang yang sangat eksklusif Indonesia dengan suatu semangat nasionalistik yang picik dan tertutup. Memang, di satu pihak, de facto dan de jure kita adalah warga dari negara Indonesia. Namun, di lain pihak, pada saat yang bersamaan, sesungguhnya kita juga adalah warga dunia ini seutuhnya. Sebagai warga kosmopolitan, kita harus berperilaku seturut dan selaras tuntutan hidup kosmopolitan itu. Tuntutan seperti itu semakin hebat seiring arus globalisasi dewasa ini. Bila tidak mau menjadi mangsa globalisasi dan kehidupan kosmopolitan, kita hendaknya membina suatu kepribadian kosmopolit, tidak hanya kepribadian keindonesiaan. Tujuannya ialah agar kita juga sanggup berperan-serta secara aktif dan kritis dalam pergaulan internasional, dan dalam membangun suatu “dunia baru” (new world) bersama bangsa-bangsa lain. Dengan kata lain, selain mengindonesia, kita juga mendunia; selain menjadi orang yang 100% Indonesia berdasarkan nilai-nilai Pancasila, kita juga menjadi orang yang 100% mendunia berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan universal (humanisme universal). 21 Yang dimaksudkan dengan Kepribadian Pancasila adalah kepribadian yang memancarkan nilai-nilai luhur bangsa sebagaimana terdapat dalam kelima sila Pancasila, Dasar Negara kita. Bila Pancasila disebut kepribadian nasional Indonesia, seyogianya model kepribadian yang dibentuk dan dikembangkan dalam diri setiap individu warga negara Indonesia adalah Kepribadian Pancasila juga. Bukankah seluruh proses pendidikan yang kita jalankan di Indonesia berada dalam kerangka dasar menciptakan manusia Indonesia yang Pancasilais? Bdk. Prof. Dr. H. Kaelan, MS dan Drs. H. Achmad Zubadi, M.Si, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Paradigma), hlm. 1-2.


Bab 1 Pendahuluan 34 Berdasarkan Keputusan DIRJEN DIKTI No. 43/DIKTI/Kep/2006, tujuan PKn dirumuskan dalam visi, misi,dankompetensi sebagaimana diuraikan di bawah ini. Visi PKn di Perguruan Tinggi merupakan sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi, guna membantu mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai manusia seutuhnya. Hal ini berdasarkan pada suatu realitas yang dihadapi, bahwa mahasiswa adalah generasi bangsa yang harus memiliki visi intelektual, religius, berkeadaban, berkemanusiaan dan cinta tanah air dan bangsanya. Misi PKn di Perguruan Tinggi adalah untuk membantu mahasiswa memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar Pancasila, rasa kebangsaan dan cinta tanah air dalam menguasai, menerapkan, dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dengan rasa tanggung jawab dan bermoral. Kompetensi yang diharapkan adalah menjadi ilmuwan dan profesional yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air, demokratis, berkeadaban. Selain itu, menjadi warga negara yang memiliki daya saing, berdisiplin, berpartisipasi aktif dan kritis dalam membangun kehidupan yang damai berdasarkan sistem nilai Pancasila. Visi Pendidikan Tinggi Nasional yang mau dicapai berkenaan dengan mata kuliah PKN adalah: (a) hendak mengembangkan kemampuan intelektual mahasiswa agar menjadi warga negara yang berkualitas dan bertanggung jawab bagi kemampuan bersaing bangsa mencapai kehidupan yang bermakna, dan (b) hendak membangun suatu sistem pendidikan tinggi yang punya kontribusi dalam pembangunan masyarakat Indonesia yang demokratis, berkeadaban, inklusif, dan memelihara kesatuan dan persatuan nasional. Dari rumusan visi di atas, misi mata kuliah PKn adalah membantu mahasiswa memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar Pancasila, rasa kebangsaan, dan cinta tanah air dalam menguasai, menerapkan, dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dengan rasa tanggung jawab. Atau, membantu mahasiswa selaku warga negara agar mampu menghayati


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 35 dan mewujudkan nilai-nilai dasar perjuangan bangsa Indonesia serta kesadaran berbangsa dan bernegara dalam menerapkan ilmunya secara bertanggung jawab terhadap kemanusiaan. Dengan kata lain, misi mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan adalah “membantu mahasiswa mem-batin-kan atau menginternalisasikan nilai-nilai luhur bangsa yang selama ini mendasari perjuangan bangsa Indonesia (baik perjuangan ‘meraih kemerdekaan’ dengan perlawanan fisik dan bersenjata maupun perjuangan ‘mengisi kemerdekaan’ dengan pembangunan di segala bidang) sehingga mereka secara sadar, aktif, kritis dan bertanggung jawab turut serta membangun bangsa dan negara dengan segala ilmu pengetahuan yang dimilikinya demi kemanusiaan”. 5. Landasan Pendidikan Kewarganegaraan22 5.1 Landasan Ilmiah PKn didasarkan pada pemikiran bahwa setiap dan semua warga negara dituntut menjadi pribadi-pribadi yang berguna dan bermakna bagi bangsa dan negaranya. Mengapa? Karena ada kesalingtergantungan antara rakyat/warga negara dan negara; antar-keduanya terdapat suatu hubungan ”saling mengartikan” dan ”saling mengandaikan”: rakyat/warga negara membutuhkan negara untuk meraih suatu kehidupan yang lebih manusiawi, dan negaramembutuhkan rakyat/warga negara dalamseluruh proses pembangunan di segala bidang kehidupan, menuju tercapainya apa yang dicita-citakan. Dalam hal ini, baik rakyat/warga negara maupun negara harus menjalankan kewajibannya masing-masing agar kebutuhan masing-masing dapat terpenuhi. Apa yang merupakan hak warga negara menjadi kewajiban negara, sedangkan apa yang merupakan hak negara menjadi kewajiban warga negara. Sebagai suatu mata kuliah dan ilmu, PKn memiliki objek pembahasan, baik objek material maupun objek formal. Objek material (materi yang dibahas) PKn adalah segala hal yang berkaitan dengan warga negara: a) 22 Lihat: Prof. Dr. H. Kaelan, MS dan Drs. H. Achmad Zubadi, M.Si, op. cit. hlm. 3.


Bab 1 Pendahuluan 36 hak dan kewajiban warga negara, b) pemerintah dan kepemerintahan, serta c) negara dengan hak dan kewajibannya. Sementara objek formalnya adalah a) hubungan antarwarga negara dan negara, termasuk di dalamnya hubungan antarwarga negara, dan b) pembelaan negara. Dengan demikian, pembahasan PKn terarah kepada warga negara Indonesia dan pada upaya pembelaan negara Indonesia. Tujuannya ialah untuk menumbuhkan dalam diri para mahasiswa suatu wawasan kebangsaan dan kesadaran bernegara, serta membentuk sikap dan perilaku cinta tanah air yang bersendikan nilai-nilai luhur budaya bangsa serta pengalaman sejarah bangsa. 5.2 Landasan Ideologis Landasan ideologis bagi PKn tentu saja adalah Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah bangsa, yang juga mengandung muatan identitas nasional Indonesia serta pendidikan pendahuluan bela negara. Tentu saja Bhineka Tunggal Ika juga sebagai semboyan nasional. Hal ini didasarkan pada kenyataan yang terdapat di semua negara, bahwasanya pembinaan kesadaran akan demokrasi serta perwujudan nilai-nilai demokratis senantiasa dikembangkan atas dasar falsafah bangsa, identitas nasional, kenyataan dan pengalaman sejarah bangsa tersebut, serta dasar-dasar kemanusiaan dan keadaban. Oleh karena itu, diharapkan PKn mempersiapkan para generasi muda (mahasiswa) untuk memiliki kepribadian yang demokratis, beriman, berkemanusiaan, berkeadilan, dan berkeadaban. 5.3 Landasan Hukum PKn didasarkan pada landasan hukum berikut. a. UUD 1945 1) Pembukaan UUD 1945, khususnya pada alinea kedua dan keempat, yang memuat cita-cita, tujuan, dan aspirasi bangsa Indonesia tentang kemerdekaannya.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 37 2) Pasal 27 (1) yang menyatakan: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” 3) Pasal 30 (1) yang menyatakan: “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara.” 4) Pasal 31 (1) yang menyatakan: “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan peng-ajaran.” b. Ketetapan MPR No. II/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. c. Undang-Undang No. 20 Thn. 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Jo. UU No. 1 Thn 1988). 1) Dalam pasal 18 (a) disebutkan bahwa hak dan kewajiban warga negara yang diwujudkan dengan keikutsertaan dalam upaya bela negara diselenggarakan melalui Pendidikan Pendahuluan Bela Negara sebagai bagian tak terpisahkan dalam sistem Pendidikan Nasional. 2) Dalam pasal 19 (2) disebutkan bahwa Pendidikan Pendahuluan Bela Negara wajib diikuti oleh setiap warga negara dan dilaksanakan secara bertahap. Tahap awal pada tingkat Pendidikan Dasar sampai Pendidikan Menengah ada dalam Gerakan Pramuka. Tahap lanjutan pada tingkat Pendidikan Tinggi ada dalam bentuk Pendidikan Kewiraan. d. Undang-Undang No. 20 Thn 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa dan No. 45/U/2002 tentang Kurkulum Inti Pendidikan telah ditetapkan bahwa Pendidikan Agama, Pendidikan Bahasa, dan PKn merupakan kelompok Mata


Bab 1 Pendahuluan 38 Kuliah Pengembangan Kepribadian, yang wajib diberikan dalam kurikulum setiap program studi/kelompok program studi. e. Ada pun pelaksanaannya berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional No. 43/ DIKTI/Kep/2006, yang memuat rambu-rambu pelaksanaan kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. 6. Sejarah Pendidikan Kewarganegaraan Menanggapi usulanUNESCOagarsetiap negara di Asia Pasifikmemberikan bahan ajar yang mengarah kepada pembangunan karakter bangsa, maka salah satu bahan ajar adalah PKn, civic education, civics. Civics pertama diperkenalkan di USA pada tahun 1790 dalam rangka “mengamerika-kan bangsa Amerika” atau yang dikenal dengan nama “theory of Americanization”. Materi yang dibahas adalah masalah pemerintah dan kepemerintahan, serta hak dan kewajiban warga negara. Selanjutnya, konsep ini diikuti oleh negara-negara lain, termasuk negara-negara jajahan, dengan isi yang berbeda-beda. Namun, pada hakikatnya, adalah bagaimana menjadi warga negara/kawula negara yang baik dan dapat melaksanakan hak dan kewajiban, serta berupaya agar peserta didik menjadi patriot bagi negaranya. Di Indonesia, PKn mulai diselenggarakan pada tahun ajaran 1973/1974 sebagai bagian dari kurikulum pendidikan nasional. Tujuannya adalah menumbuhkan kecintaan pada tanah air dalam bentuk Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN), yang dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu tahap awal, yang diberikan kepada peserta didik Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah dan Pendidikan Luar Sekolah dalam bentuk Pendidikan Kepramukaan, sedangkan tahap lanjut diberikan di Perguruan Tinggi dalam bentuk Pendidikan Kewiraan. Pada awal penyelenggaraan, PKn diberi nama mata kuliah Pendidikan Kewiraan, berdasarkan Surat Keputusan Bersama Mendikbud dan Menhankam tahun 1973. Dalam surat keputusan itu, Pendidikan


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 39 Kewiraan merupakan realisasi pembelaan negara melalui jalur pengajaran dengan tujuan agar mahasiswa: (a) cinta tanah air, (b) sadar berbangsa dan bernegara, (c) yakin akan Pancasila sebagai ideologi negara, (d) rela berkorban untuk bangsa dan negara, serta (e) memiliki kemampuan awal bela negara. Isi kurikulum lebih mengarah pada ajaran tentang pertahanan keamanan nasional, dan sangat berciri doktrinal. Dengan diundangkannya UU No. 20/1982 tentang Pokok-Pokok Penyelenggaraan Pertahanan Keamanan Negara dan UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, ditentukan bahwa pendidikan kewiraan adalah bagian dari PKn dan wajib diikuti oleh semua mahasiswa warga negara Indonesia. Isinya masih berciri doktrinal sama dengan Pendidikan Kewiraan. Amanat UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional tampaknya baru ditindak-lanjuti pada era Reformasi, melalui Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi. Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti No. 38/DIKTI/Kep/2002, tujuan PKn dirumuskan sebagai berikut: (a) mengantarkan peserta didik memiliki wawasan kesadaran bernegara untuk bela negara dan memiliki pola pikir, pola sikap, dan perilaku untuk cinta tanah air Indonesia, (b) menumbuhkembangkan wawasan kebangsaan, kesadaran berbangsa dan bernegara sehingga terbentuk daya tangkal sebagai ketahanan nasional, dan (c) menumbuhkembangkan peserta didik untuk mempunyai pola sikap dan pola pikir yang komprehensif, integral pada aspek kehidupan nasional. Sebelum Sistem Pendidikan Nasional diundangkan pada era Reformasi, pada Lokakarya Dosen PKn disarankan kompetensi PKN adalah (a) menjadi warga negara yang commited terhadap nilai-nilai HAM dan demokrasi dan berpikir kritisterhadap permasalahanHAM dan demokrasi, (b) berpartisipasi dalam upayamenghentikan “budaya kekerasan” dengan “budaya damai”, (c) berpartisipasi dalam menyelesaikan konflik dalam masyarakat, dilandasi Sistem Nilai Pancasila, (d) memiliki pengertian internasional, menjadi warga negara yang kosmopolit, dan e) kontribusi terhadap berbagai persoalan publik.


Click to View FlipBook Version