The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by edy begonggong, 2024-06-15 22:24:39

eBook Pendidikan Kewarganegaraan

eBook Pendidikan Kewarganegaraan

Bab 10 Bela Negara 340 pada tahun 1925. Dari keanekargaman subkultur diatas terkristalisasilah suatu core culture (budaya inti) yang kemudian menjadi basis eksistensi negara-negara (nation state) Indonesia, yaitu nasionalisme. Jadi, pada tahapan penjajahan, semua suku bangsa dan subkultur yang berada di bawah tekanan penjajahan Belanda, oleh kesadaran dan keterjajahannya, mulai bangkit dan menegaskan diri sebagai satu bangsa (tunggal), yaitu bangsa Indonesia. Itulah sebabnya, nasionalisme anti-kolonialisme, antiimperialisme dan anti-diskriminasi. Ciri nasionalisme ini terungkap jelas dalam Sumpah Pemuda: • Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. • Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. • Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Dengan demikian, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dapat disebut sebagai penggerak jiwa manusia di seantero Nusantara untuk membentuk suatu negara yang merdeka dan berdaulat: Indonesia. Fungsi itu berjalan dan mewujud dalam peristiwa proklamasi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dan pengesahan Undang-undang Dasar pada tanggal 18 Agustus 1945. Negara Kesatuan Republik Indonesia berlandaskan semangat merdeka dan berdaulat seluruh bangsa dibawah kepemimpinan para pendiri negara, yang kemudian secara formal dirumuskan dalam Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-undang Dasar 1945. Dewasa ini semangat yang sama kiranya perlu terus diaktualisasikan dan diwujudkan dalam sikap dan perilaku warga negara yang rela berkorban membela negara demi menjamin kelangsungan dan pengembangan perikehidupan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejak awal kemerdekaan hingga era reformasi sekarang ini, peristiwa sejarah sebagai wujud hak dan kewajiban bela negara itu dapat dikelompokkan berdasarkan periodisasi sebagai berikut:


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 341 a) Periode 1945 – 1949, yakni perang kemerdekaan menghadapi Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Pada periode ini wujud hak dan kewajiban warga negara dalam pembelaan negara lebih terlihat dalam keikutsertaan dalam perang kemerdekaan, baik bersenjata maupun tidak bersenjata. Hal ini selaras dengan pidato Jendral Soedirman pada tanggal 12 November 1945 menyatakan: “Bahwa Negara Indonesia tidak cukup dipertahankan oleh tentara saja, maka perlu sekali mengadakan kerja sama yang seerat-eratnya dengan golongan serta badan-badan diluar tentara”. b) Periode 1950-1965. Pada periode ini bangsa Indonesia mengalami berbagai bentuk gangguan keamanan dalam negara. Periode ini juga diwarnai dengan perjuangan Trikora merebut kembali Irian Barat dan perjuangan Dwikora. Oleh sebab kondisi demikian ini, perwujudan hak dan kewajiban warga negara dalam pembelaan negara sudah mengarah pada perwujudan keIndonesiaan yang dicita-citakan, namun mengingat kondisi dan situasi, warna perjuangan melalui kegiatan pertahanan dan keamanan, baik bersenjata maupun tidak bersenjata, lebih mengemuka. Pada periode ini juga dilaksanakan KonferensiAsiaAfrika (1955), Pemilu untuk anggotaDPR/Konstituante (1955), Pembentukan Gerakan Non Blok (GNB), keluarnya Indonesia sebagai anggota PBB, berlakunya Nasakom/ demokrasi terpimpin, makin kuatnya PKI, dibubarkannya partai-partai yang bertentangan dengan PKI, dibentuknya Front Nasional yang lebih menentukan politik/kebijakan pemerintah dan terjadinya G30S/PKI. c) Periode 1966-1998 atau periode Orde Baru. Bangsa Indonesia memasuki periode pembangunan dengan tantangan yang semakin kompleks dan penuh ketidakpastian. Pada periode ini perwujudan hak dan kewajiban warga negara dalam pembelaan negara tampak dalam kegiatan terpadu keamanan dan pertahanan, yang terfokus pada stabilitas nasional. d) Periode reformasi sejak tahun 1998, tantangan kebangsaan Indonesia semakin maya karena pengaruh arus globalisasi yang menuntut


Bab 10 Bela Negara 342 transparansi dan kehidupan bangsa yang lebih demokratis. Pada periode ini hakikat hak dan kewajiban bela negara terarahkan kepada peningkatan ketahanan nasional, sama seperti periode Orde Baru, dengan menitikberatkan demokratisasi dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Dari rangkaian peristiwa sejarah upaya bela negara sebagaimana diuraikan diatas, tampak dinamika kehidupan bangsa untuk mencapai tujuan dan cita-cita nasional. Seluruh warga negara menjalankan hak dan kewajibannya dalam wujud yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi dan berkembang pada zamannya. Pada periode perang fisik, para warga negara menjalankan hak dan kewajibannya dengan mengangkat senjata, sedangkan pada masa damai sekarang ini, perwujudan cita-cita dan tujuan nasional dilakukan melalui pembangunan nasional, dimana para warga negara memperlihatkan komitmen kebangsaannya melalui profesionalisme nya dibidang masing-masing. 4.4 Landasan Sosiologis Landasan sosiologis bagi pendidikan kesadaran bela negara bertumpu pada negara sebagai kesatuan atau ikatan dasar sosial terbesar yang memiliki kekuasaan tertinggi atas bentuk-bentuk masyarakat lainnya, dan manusia (rakyat,warga negara) sebagai makhluk sosial yang membentuk negara. Sebagaimana kita tahu, oleh kesosialannya, manusia selalu mau atau tergerak untuk hidup bersama orang lain. Kecenderungan ini menghasilkan berbagai tingkatan kesatuan atau ikatan sosial, mulai dari keluarga sebagai unit terkecil masyarakat, lalu meluas kepada masyarakat, hingga bangsa dan negara. Di dalam ketentuan-ketentuan sosial itu, manusia individual berinteraksi dengan sesamanya didalam lingkungan sekitar tempat ia tinggal dan beraktifitas. Dalam dunia modern dewasa ini, ia tidak saja berinteraksi dengan lingkungan terdekatnya, tetapi juga dengan lingkungan seluas dunia melalui segala sarana teknologi modern. Ia di satu pihak (dapat) mempengaruhi sesama dengan masyarakat dengan pola


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 343 pikir dan seluruh sikap hidupnya, tetapi di pihak lain ia juga dipengaruhi oleh masyarakat dengan paham-paham, nilai-nilai, dan norma-norma yang dianut masyarakat, bangsa dan negara. Lingkungan tempat ia tinggal dan beraktifitas menetapkan apa yang baik yang boleh dilakukan dan apa yang buruk yang tidak boleh dilakukan. Ia akan diterima oleh lingkungan sosialnya seajuah ia mengakui dan menghayati paham, nilai dan norma yang dianut masyarakat, serta turut serta dalam berbagai tugas sosial demi terciptanya kebaikan umum. Sebaliknya, ia akan ditolak jika ia hidup dan bertingkah laku tidak selaras dengan paham, nilai, dan norma yang dianut masyarakat, dan dengan begitu tidak memberikan sumbangan apapun bagi kebaikan umum masyarakat. Didalam kesatuan-kesatuan sosial itu, manusia individual menjalani proses personisasi, proses penyempurnaan diri sebagai pribadi. Disana pula ia mewujudkan dimensi politis kehidupannya dengan melakoni peran-peran sosial itu serta seluruh kehidupannya, ia membaktikan diri bagi kebaikan umum seluruh masyarakat, bangsa dan negara. Dalam konteks negara sebagai kesatuan atau ikatan sosial terbesar yang dibentuk oleh rakyat atas dasar konsensus bersama, individu warga negara bertumbuh dalam kesempurnaan dirinya sebagai manusia. Negara, sesuai tugas pokoknya, menyediakan berbagai fasilitas yang memungkinkan warga negara mengembangkan dirinya dan mengusahakan kesejahteraannya. Maka pada gilirannya, warga negara mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu disamping hak-haknya, terhadap negara. Salah satu hak dan kewajiban dasar warga negara adalah hak dan kewajiban membela negara. 4.5 Landasan Religius Negara Kesatuan Republik Indonesa pada hakikatnya bukan negara agama dan bukan juga negara sekular. Namun hampir seluruh rakyatnya menganut salah satu dari agama-agama besar dunia, dan percaya akan suatuWujud Tertinggi yang Esa.Oleh karena itu,sejak awal para pendirinya mendasarkan bangunan bangsa dan negara ini diatas landasan imankepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dijiwai semangat kemanusiaan


Bab 10 Bela Negara 344 yang adil dan beradab, persatuan dan kesatuan bangsa, dan kerakyatan untuk menciptakan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Keberhasilan perjuangan bangsa Indonesia meraih kemerdekaannya diyakini terutama sebagai rahmat Tuhan. Hal itu tampak jelas didalam rumusan Alinea Ketiga Pembukaan Undang-undang Dasar 1945: “Atas berkat rakhmat Tuhan yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakatan dengan ini kemerdekaannya”. Oleh sebab itu, nasib bangsa dan negara ini ke depannya, tidak bisa bertumpu semata-mata pada kekuatan duniawi dan manusiawi seluruh rakyatnya, tetapi lebih-lebih harus bertumpu pertama-tama pada imankepercayaan yang kukuh akan penyertaan Tuhan yang Maha Kuasa. Pendidikan kesadaran bela negara disamping mendasarkan diri pada kelima landasan diatas, harus pula dilandaskan pada kekuatan imankepercayaan tiap-tiap dan seluruh warga negara dalam agama masingmasing. Kecuali itu, dalam konteks pembelaan negara, adalah suatu kesalahan besar apabila kemerdekaan bangsa dan negara yang sudah dikaruniakan oleh Tuhan yang Maha Kuasa, dibiarkan diporak-porandakan oleh berbagai ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan, bukan terus dibela dan dipertahankan. Dalam iman-kepercayaan yang kukuh akan penyertaan Tuhan dalam seluruh perjuangan anak-anak bangsa ini, sambil terus berusaha melepaskan diri dari segala praktik-praktik penyelenggaraan negara yang tidak selaras dengan ajaran Tuhan (KKN, perilaku diskriminasi, mental feodalisme, dll), kiranya seluruh anasir negatif: ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan, diatas dapat teratasi, dengan gilang gemilang. 4.6 Maksud dan Tujuan Pendidikan Bela Negara 4.6.1 Maksud Pendidikan Bela Negara Pendidikan Bela Negara dimaksudkan sebagai cara untuk memberikan pemahaman tentang hak dan kewajiban warga negara dalam upaya pembelaan negara, dengan menumbuhkan kecintaan pada tanah air,


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 345 kesadaran berbangsa dan bernegara, yakin akan Pancasila sebagai ideologi negara, kerelaan berkorban untuk bangsa dan negara, serta memberikan kemampuan awal bela negara, baik psikis maupun fisik. 4.6.2 Tujuan Pendidikan Bela Negara Pendidikan Bela Negara bertujuan untuk: a). Agar peserta didik/mahasiswa mengerti dan mampu menjelaskan pengertian, spektrum, esensi dan makna bela negara serta nilai-nilai bela negara yakni: cinta tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara, yakin akan Pancasila sebagai ideologi negara, rela berkorban untuk bangsa dan negara serta memiliki kemampuan awal bela negara. b) Agar peserta didik/mahasiswa mampu memahami dan menghayati nilai-nilai bela negara. c) Agar peserta didik/mahasiswa mampu bersikap dan berprilaku sesuai dengan nilai-nilai bela negara serta mengimplementasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pertanyaan Pemahaman: 1. Apa yang menjadi tujuan pendidikan bela negara? 2. Apa yang dimaksud dengan bela negara dalam konteks mencapai Tujuan Nasional? 3. Mengapa negara harus dibela? Uraikan pendapat saudara dalam kaitannya dengan unsur-unsur pembentukan sebuah negara. 4. Usaha apa yang anda lakukan sebagai generasi muda dalam membela negara? 5. Sebut dan jelaskan landasan-landasan yang digunakan dalam bela negara. 6. Apa yang menjadi tujuan utama dari bela negara?


Bab 10 Bela Negara 346 Daftar Pustaka Agus Surata, dkk, 2003. Widya Mwat Yasa. Yogyakarta: UPN Veteran Yogyakarta Press. As’ad Said Ali, dkk. 2010. Nasionalisme dan Pembangunan Karakter Bangsa. Editor: Surono. Yogyakarta: PSP Press. Bratakusumah, D.S dan D. Solihin. 2001. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Caves, R. Jeffrey A.Frankel and Ronald W. Jones. 1993. World and Payments: An Introduction. Sixth Edition, New York: Harper Collins College Publishers. Dirjen Pothan Departemen Pertahanan RI. 2005. Jakarta: Himpunan Perundang-undangan yang Terkait dengan Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pertahanan. Dirjen Pothan Dephan RI. 2006. Tataran Dasar Bela Negara. Jakarta: Dephan RI. Dirjen Pothan Dephan RI.2010. Pedoman Pendidikan Bela Negara. Santoso, Kabul dkk. 2005.Pembangunan Moral Bangsa. Surabaya: PT Java Pustaka Media.


Bab 11 Membangun Budaya Anti Korupsi 1. Pengertian Korupsi Masyarakat luas sering mendengar kata – kata Korupsi, Kolusi dan Nepotisme atau yang sering disebut dengan KKN. Dalam situs resmi Komisi Pembrantas Korupsi (KPK) disebutkan pengertian KKN ini1 . Korupsi merupakan tindak pidana sebagaimana dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi, adapun undang-undang yang mengatur mengenai Korupsi saat ini adalah undang-undang nomor 31 tahun 1999, tentang Tindak Pidana Koupsi Jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan undangundang nomor 31 tahun 1999, tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi; Kolusi merupakan permufakatan atau kerjasama melawan hukum antar penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan/atau negara; Nepotisme merupakan setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum untuk menguntungkan keluarganya dan/atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Dari pemaparan di atas kita akan bahas mengenai pengertian Korupsi, baik dari asal kata, maupun dari bahasa undang-undang, Kolusi dan 1 https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/14/140000269/korupsi-kolusi-dan-nepotisme-kkn-pengertian-pencegahan-dan-sanksi, diunduh 23 Oktober 2021, pukul 06.40 WIB.


Bab 11 Membangun Budaya Anti Korupsi 348 Nepotisme merupakan bagian dari Korupsi yang merugikan masyarakat, bangsa dan negara. (Priyono, 2018: 22)2 Dalam buku “ Etika Anti Korupsi Menjadi Profesional Berintegritas” Korupsi diturunkan dari bahasa Latin corruptio yang berarti hal merusak, godaan, bujukan, atau kemerosotan. Kata kerjanya adalah corrumpere (corrumpo, saya menghancurkan) yang berarti menimbulkan kehancuran, kebusukan, kerusakan, kemerosotan. Bahasa Latin juga menamai pelaku korupsi dengan corruptor. Bahasa Indonesia pun menamai pelaku korupsi dengan koruptor. Referensi lain membicarakan pengertian korupsi dalam bahasa Perancis disebut corruption dan dalam bahasa Belanda disebut dengan coruptie. Agaknya dari bahasa Belanda itulah lahir kata korupsi dalam bahasa Indonesia. Korup berarti busuk, buruk; suka menerima uang sogok memakai kekuasaannya untuk kepentingan sendiri. Korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok. Jadi Nepotisme dan Kolusi merupakan bagian dari Korupsi adalah suatu perbuatan untuk kepentingan sendiri dalam hal ini kroni atau teman teman dekatnya atau untuk menguntungkan diri sendiri bersama keluarga yang menimbulkan kehancuran, kemerosotan baik dalam lingkungan kecil, masyarakat bahkan dapat merusak sendi-sendi bangsa dan negara, terutama dalam sosial budaya perekonomian, sehingga dapat membawa dampak yang kurang baik dalam bidang perpolitikan, yang lebih khusus dalam pencapaian masyarakat adil dan makmur. Shah dan Schacter (2004: 43)3 menyatakan bahwa korupsi terjadi atas tiga kategori, yaitu: (1) grand corruption, yaitu perilaku penyalahgunaan kekuasaan/ kewenangan menggunakan sumber daya publik secara masif yang dilakukan oleh sejumlah pejabat; (2) state capture atau influence peddling, yaitu kolusi antara swasta terhadap sejumlah pejabat publik untuk memperoleh keuntungan pribadi maupun keuntungan secara bersama-sama; dan (3) bureaucratic corruption atau petty corruption, 2 Komisi Pemberantas Korupsi, ““ Etika Anti Korupsi Menjadi Profesional Berintegritas” , Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK, Jakarta, hal. 12 3 Jefirstson Richset Riwukore, Hilda Manafe, Fellyanus Habaora, Yohanes Susanto, dan Tien Yustini “Strategi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Pemerintah Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur” dalam Jurnal Aspirasi: Jurnal Masalah-Masalah Sosial, Volume 11, No. 2 Desember 2020, hal 232.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 349 yaitu korupsi yang terjadi atas kemudahan yang diberikan dalam suatu birokrasi seperti melalui suap atau sogok atau mengalikan sejumlah sumber daya ke pihak tertentu karena pertimbangan untuk memperoleh suap. Indonesia Corruption Watch (ICW)4 melaporkan bahwa modus atau cara korupsi yang sering dilakukan antara lain melalui penyalahgunaan anggaran, penggelapan, mark-up, penyalahgunaan wewenang, laporan fiktif, suap atau gratifikasi, pemerasan, mark-down, pungli, dan anggaran ganda. 2. Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa karena: Dapat dilakukan oleh setiap orang , Setiap orang dapat melakukan bukan saja oleh PejabatPejabat Negera, Aparat Sipil Negara (ASN) , tetapi orang-orang di luar pemerintahan dalam ini pihak swasta; Menimbulkan korban untuk masyarakat luas; Terorganisasi. Korupsi secara khusus adalah merugikan keuangan negara; suap menyuap (sogok menyogok atau pelicin); penggelapan dalam bidang jabatan; pemerasan; perbuatan curang; pengadaan. Perbuatan ini sangat merugikan masyarakat, yang lebih luas dapat menghancurkan kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dapat menghambat tujuan dari negara yaitu mencerdaskan kehidupan dan pencapaian keadilan sosial menuju masyarakat yang adil dan makmur. Korupsi merupakan kejahatan luar biasa, merugikan keuangan masyarakat dan keuangan bangsa dan negara, untuk itu negara hadir dengan mendasari kejahatan yang luar biasa tersebut dengan perintah melalui undang-undang yaitu undang-undang nomor 31 tahun 1999, tentang Tindak Pidana Korupsi Jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan undang-undang nomor 31 tahun 1999, tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi. 4 Ibid, hal 233


Bab 11 Membangun Budaya Anti Korupsi 350 Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur seperti perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dapat dijelaskan lebih lanjut: i) kerugian keuangan negara; ii) suap; iii) penggelapan dalam jabatan; iv) paksaan mengeluarkan uang (pemerasan); v) perbuatan curang vi) bentuk kepentingan dalam pengadaan; vii) gratifikasi. 2.1 Kerugian Keuangan Negara Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. (pasal 2 dan pasal 3 uu no 31 tahun 1999). 2.2 Suap Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut. (pasal 13 uu no. 1999 jo pasal 5 (1) uu no 20 tahun 2001). 2.3 Penggelapan Dalam Jabatan Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut. (pasal 8 uu no. 20 tahun 2001)


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 351 pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi (pasal 9 uu no. 20 tahun 2001). pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja: menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, ataumembuattidak dapat dipakai barang, akta,surat, atau daftartersebut. 2.4 Paksaan Mengeluarkan Uang (Pemerasan) Paksaan mengeluarkan uang atau pemerasan ini dilakukan oleh Penyelenggara Negara atau Pegawa Negeri atau Aparat Sipil Negara (pasal 12 butir e,f dan g uu no 20 tahun 2001) 1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri; 2. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau


Bab 11 Membangun Budaya Anti Korupsi 352 penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; 3. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; 2.5 Perbuatan Curang Perbuatan curang ini dilakukan oleh orang – orang seperti dalam paparan di bawah ini pasal 7 ayat 1 butir (a) ,(b),(c) dan (d) uu no 20 tahun 2001: a, pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang; b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a; c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c. Pasal 12 butir (h) uu no 20 tahun 2001: pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolaholah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 353 2.6 Benturan Kepentingan dalam Pengadaan Pasal 12 butir (i) uu no 20 tahun 2001: pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya 2.7 Gratifikasi Gratifikasi adalah pemberian biasa yang pada dasarnya boleh dilakukan, akan tetapi menjadi tindak pidana apabila penerimanya adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara. Ketentuan mengenai Gratifikasi diatur lebih jauh dalam pasal 12 uu no 20 tahun 2001 1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; 2. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; 3. Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; 4. Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau


Bab 11 Membangun Budaya Anti Korupsi 354 pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili; 5. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri; 6. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; 7. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; 8. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundangundangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau 9. Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.” Jadi dapat disimpulkan gratifikasi pemberian hadiah atau janji kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara padahal diketahui atau patut


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 355 diduga hadiah atau janji itu diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Penjelasan Pasal 12 B uu no, 20 tahun 2001 memberi pengertian mengenai Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, meliputi pemberian uang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan perjalanan wisata, pengobatan cumacuma, dan fasilitas lainnya yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri. dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Sebelum adanya uu no 20 tahun 2001 sudah ada putusan putusan Yurisprudensi mengenai pemberian hadiah atau janji kepada pejabat negara mengenai Gratifikasi Yurisprudensi Mahkamah Agung (M.A). 19 November 1974 No. 77 K/Kr/1973 Terdakwa dipersalahkan melakukan korupsi c.q. menerima hadiah, walaupun menurut anggapannya uang yang diterima itu dalam hubungannya dengan kematian keluarganya, lagipula penerima barangbarang itu bukan terdakwa melainkan istri/atau anak-anak terdakwa.5 Perbedaan Suap dan Gratifikasi Dalam suap harus terdapat meeting of mind (sepikiran), dalam gratifikasi tidak. Bahkan bisa terjadi, pemberi gratifikasi tidak mengetahui apa yang ia kehendaki dari si penerima. Gratifikasi diberikan, BUKAN: supaya pejabat berbuat sesuatu; karena pejabat telah berbuat sesuatu; TETAPI semata-mata karena ia pejabat! Gratifikasi tidak dianggap sebagai suap apabila penerima menyampaikan laporan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, selambatlambatnya 30 hari sejak menerima gratifikasi tersebut, pasal 12 C uu no 20 tahun 2021. Ungkapan sehari-hari yang mengindikasikan adanya perbuatan korupsi berupa gratifikasi yang diucapkan (terutama) pada saat dilakukannya perbuatan memberi:“ucapan terima kasih” “anggap saja sedekah”; “bagi-bagi rejeki”; “uang perkenalan” ;“lagi happy” ;“oleh5 https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/23792.html, diunduh 23 Oktober 2021


Bab 11 Membangun Budaya Anti Korupsi 356 oleh” ;“kenang-kenangan” ;“sudah biasa”;“tidak ada maksud apa-apa”, termasuk di dalamnya memberikan hadia ulang tahun atau kue ulang tahun. Gagasan Plato (427 SM – 347 SM) Para pelayan bangsa harus memberikan pelayanan mereka tanpa menerima hadiah-hadiah. Mereka yang membangkang, kalau terbukti bersalah harus dibunuh “tanpa upacara”.“Tidak sepantasnya pegawai negeri/pejabat publik menerima pemberian atas pelayanan yang mereka berikan” “Seseorang tidak berhak meminta dan mendapat sesuatu melebihi haknya sekedar ia melaksanakan tugas sesuai tanggungjawab dan kewajibannya” Salah satu catatan tertua mengenai perubahan makna gratifikasi ini dapat ditemukan dalam tulisan seorang Biksu Budha I Tsing (Yi Jing atau Zhang Wen Ming) pada abad ke 7. Menurut I Tsing, sejak abad ke 7 sudah ada praktik pemberian hadiah oleh pedagang dari Champa (Vietnam dan Kamboja) dan Cina kepada para prajurit penjaga pada saat ingin bertemu dengan pejabat kerajaan Sriwijaya. Praktik seperti ini lama kelamaan menjadi sebuah kebiasaan, sehingga pemberian hadiah dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Tsing menggambarkan bahwa para pedagang tersebut memberikan koin-koin perak kepada para prajurit penjaga pada saat akan bertemu dengan pihak kerabat Kerajaan Sriwijaya yang menangani masalah perdagangan. Adapun pemberian tersebut diduga bertujuan untuk mempermudah komunikasi. Para pedagang Champa dan Cina pun tidak merasa terpaksa karena tujuannya adalah untuk menjalin hubungan baik dengan pihak Kerajaan Sriwijaya.6 3. Penyebab Terjadinya Korupsi Korupsi dapat dimana saja, dan dapat dilakukan oleh siapapun, bentuknya dapat bermacam-macam, apabila direnungkan lebih dalam, korupsi merupakan sebuah perilaku yang menyimpang. Pada umumnya 6 Komisi Pemberantas Korupsi, Op Cit, hal 16


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 357 perilakunya: tidak memperhatikan kepentingan umum atau kepentingan orang lain, suka manipulasi informasi dan melakukan mark-up. Herry Priyono dalam bukunya yang berjudul Korupsi, Melacak Arti, Menyimak Implikasi menjelaskan bahwa para ahli ekonomi dewasa ini percaya bahwa ada motif ekonomi di balik korupsi.7 Pendapat lain mengatakan korupsi dapat di di bedakan menjadi dua: Ada dua penyebab seseorang melakukan korupsi8 , pertama, karena adanya kebutuhan (corruption by need), yaitu tindakan untuk memeras(ada unsur paksaan) dalam melakukan kegiatan-kegiatan pelayanan publik, seperti suap untuk kemudahan memperoleh administrasi kependudukan, maupun menyogok untuk memperoleh pelayanan istimewa di rumah sakit. Kedua, korupsi juga disebabkan karena adanya sikap serakah (corruption by greed), yaitu kongkalikong (kerja sama) dalam mendapatkan keuntungan pribadi melalui kolusi yang saling menguntungkan dan melibatkan sejumlah aktor, seperti kolusi proyek dan jabatan di pemerintahan. Selain uraian di atas , penyebab korupsi juga dapat terjadi karena beberapa Faktor, seperti Faktor Politik: Politik merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal ini dapat dilihat ketika terjadi instabilitas politik, kepentingan politis para pemegang kekuasaan, bahkan ketika meraih dan mempertahankan kekuasaan. Perilaku korup seperti penyuapan dan politik uang merupakan fenoma yang sering terjadi; Faktor Hukum : Faktor hukum bisa dilihat dari dua sisi, di satu sisi dari aspek perundang-undangan dan sisi lain lemahnya penegakan hukum. Ini bisa meliputi aturan yang diskriminatif dan tidak adil, rumusan yang tidak jelas-tegas (non lex certa) sehingga multi tafsir hingga sanksi yang terlalu ringan; Faktor Organisasi : Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi atau di mana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena membuka peluang atau kesempatan untuk terjadinya korupsi. 7 Ibid, hal 20 8 Jefirstson Richset Riwukore, Hilda Manafe, Fellyanus Habaora, Yohanes Susanto, dan Tien Yustini , Loc Cit, hal 234


Bab 11 Membangun Budaya Anti Korupsi 358 Yang lebih menyedihkan faktor korupsi karena di pengaruhi oleh faktor budaya, terutama faktor budaya kolonial dan budaya feodal. Faktor budaya bersifat mutlak, karena menyangkut orientasi moral sebuah masyarakat. Egoisme dan relasi komunal dalam sebuah masyarakat dapat mendorong tumbuhnya korupsi dalam sebuah negara. Studi-studi antropologi dapat menjelaskan bahwa praktik-praktik korupsi dapat berkembang pesat terutama dalam kebudayaan dengan ciri-ciri sebagai berikut9 1. Menempatkan proyek-proyek besar di tempat di mana terdapat kerabat, suku, dan agamanya. 2. Memberikan pekerjaan kepada seseorang yang tidak memiliki kualifikasi untuk pekerjaan yang menuntut keahlian dan kualitas tertentu. 3. Menuntut penambahan pembayaran untuk pekerjaan yang dilakukan. 4. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi 4.1 Penanggulan Korupsi Melalui Hukum Negara Indonesia adalah negara hukum, sebagai negara hukum seperti yang tertulis dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) maka sudah pasti hukumlah yang menjadi panglima tertinggi. Oleh karena itu supremasi hukum sangat dijunjung tinggi oleh anak bangsa negeri ini. Baik oleh jajaran pemerintah, polisi, jaksa, hakim, pengacara, para birokrat, mahasiswa, maupun oleh seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini bertujuan agar kebenaran dan keadilan bisa ditegakkan dengan tanggungjawab. Sebagai sebuah negara hukum, maka hukum harus dipahami dan dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem. Sebagai sebuah sistem, hukum terdiri dari elemen-elemen: (1) kelembagaan (institutional), (2) kaedah aturan (instrumental), (3) perilaku para subjek hukum yang 9 Komisi Pemberantas Korupsi, Loc Cit, hal 22


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 359 menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu (elemen subjektif dan cultural). Ketiga elemen sistem hukum tersebut mencakup (a) kegiatan pembuatan hukum (law making), (b) kegiatan pelaksanaan hukum atau penerapan hukum (law administrating), dan (c) kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum (law adjudicating) atau yang biasa disebut dengan penegakan hukum dalam arti sempit (law enforcement). Dari uaraian di atas kita sebagai Warga Negara Indonesoia adalah manusia pribadi sebagai subjek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan hukum, terutama dalam tindak pidana koruspsi yang dapat mengakibatkan rusaknya nilai-nilai masyarakat dan dapat meruntuhkan bagsa dan negara ini. Meski telah terdapat Pasal dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi yang memberikan ancaman hukuman mati kepada pelaku korupsi, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 Juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 TentangPemberantasanTindakPidanamengaturpidanamatidalampasal2 ayat (2) yang menyatakan bahwa seseorang yang melakukan korupsi dapat dipidana mati, tetapi masih banyak pro-kontra tentang hal ini. Penerapan hukuman mati sampai saat ini masih merupakan perdebatan yang tidak berkesudahan dikalangan praktisi hukum, LSM, akademisi dan masyarakat umum. Tidak sedikit yang menolak dan menyetujuihukumanmatidijatuhkan.Kalanganyangmenolakberargumen bahwa eksekusi hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 28A, 28I UUD NRI 1945, Pasal 4 dan 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Adnan Buyung Nasution10 mengemukakan bahwa secara prinsipal hukuman mati atau pidana mati haruslah dihapuskan dan sebagai penggantinya cukuplah sanksi pidana maksimum berupa hukuman seumur hidup. 10 Oksidelfa Yanto, “ Penjatuhan Pidana Mati Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Keadaan Tertentu, Jurnal Legilisasi Indonesia, Vol. 14 N0. 01 - Maret 2017 : 49 – 56.


Bab 11 Membangun Budaya Anti Korupsi 360 Tanggung jawab mengenai tindak pidana Koruposi bukan hanya di pundak pemerintah yang berkuasa untuk menghilangkan budaya korupsi di negara Indonesia. Indonesia juga punya aparat penegak hukum dan punya undang-undang yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi ini. Kini tinggal bagaimana aparat hukum seperti Polisi, Jaksa, Hakim dan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan aturan yang telah ada melaksanakan tugas untuk menghantarkan Indonesia menjadi negara yang bebas korupsi dengan menjatuhkan hukuman yang amat berat, tegas, dan tanpa pandang bulu bagi para koruptor. Tetapi tanggungjawab terbesar adalah di pundak generasi muda, bagaimana kedepannya bangsa dan negara ini akan dibawa menyongsong 100 tahun kemerdekaan Indonesia dan terus kedepannya untuk berdiri tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. 4.2 Pencegahan Korupsi Melalui Pendidikan Moral Korupsi tidak hanya merupakan masalah hukum, tetapi juga merupakan sebuah masalah moral. korupsi memiliki pengertian yang jauh lebih substansial dari yang dapat dipahami oleh pendekatan legal. Jantung pengertian korupsi bukanlah persoalan hukum. Ini berarti sebuah tindakan dipahami sebagai korupsi bukan pertama-tama karena alasan ilegalitas, melainkan karena ciri immoral korupsi itu sendiri. Dengan perkataan lain, korupsi merupakan sebuah masalah moral karena menunjuk pada perbuatan yang seharusnya (kebaikan) terjadi tetapi tidak terjadi. Disebut melawan moral karena melawan kebaikan perbuatan manusia yang seharusnya ada, ternyata tidak ada.11 Untuk mencegah tindak pidana korupsi bagi generasi muda untuk itu perlu mendapat pendidikan moral atau pendidikan etika. etika berarti ilmu tentang yang baik dan yang buruk secara moral atau studi tentang moralitas manusia, dalam arti inilah, etika sama dengan filsafat moral. Etika12 tidak hanya membantu kita untuk mengarahkan hidup individual kita, tetapi juga memberi orientasi moral dalam menata 11 Komisi Pemberantas Korupsi, Loc Cit, hal 33 12 Ibid, hal. 34


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 361 kehidupan profesional seperti hukum, politik, bisnis, rekayasa teknik, kedokteran, dan masih banyak yang lain. Ketika etika digunakan dalam menelaah masalah-masalah profesi, maka terbentuklah apa yang disebut dengan etika profesi. Karena itu, kita dapat mengatakan secara umum, yang dimaksud dengan etika profesi adalah sebuah refleksi rasional mengenai fondasi dan prinsip-prinsip moral yang dibangun oleh profesi. Kewajiban terhadap hukum moral, merupakan pertimbangan setiap orang yang seharusnya bertanggungjawab secara moral atas perbuatanperbuatannya dan bertanggungjawab atas tindakan-tindakannya. Setiap orang adalah pelaku moral yang menghidupi norma-norma moral, dan karena itu terikat pada rasionalitas moral. Bertolak dari pengertian mengenai moralitas tersebut, korupsi merupakan tindakan yang secara moral buruk dan bertentangan dengan hukum moral. Seperti uraian di atas tindak pidana korupsi bukan hanya tanggungjawab pemerintah, penegak hukum, tetapi juga tanggungjawab masyarakat, terutama pendidik. Pendidik mempunyai tugas sebagai bagian konstitutif dari kebudayaan yang baik, sesuai dengan nilai nilai luhur bangsa ini, untuk menempa manusia muda Indonesia menjadi mahluk pembuat nilai yang adi luhung dan memberi makna pada nilai, untuk mencegah prilaku tindak pidana korupsi. Pendidik harus di mulai dari usia dini hingga pendidik lanjutan sampai jenjang Strata 3, atau pendidikan dari seorang pendidik tidak tebatas dalam dunia formal, tetapi dalam segala tempat, kegiatan, atau dimanapun medianya (saat ini memberi nilai-nilai yang baikpun dapat melalui media sosial). 4.3 Best Practices of Character Building Tugas pendidik di masa sekarang ini dimana media sosial merupakan kebutuhan primer, paling tidak tugas pendidik adalah menyiapkan generasi muda dalam menanamkan pondasi nilai-nilai kebangsaan terutama moralitas yang baik.


Bab 11 Membangun Budaya Anti Korupsi 362 Prof. Dr. Slamet Iman Santoso13 “Bahwa satu orang guru yang pintar akan menghasilkan setidaknya 100 orang murid yang pintar, Satu orang guru yang bodoh akan menghasilkan setidaknya 100 murid yang bodoh”. Pengertian disini tugas pendidik adalah memberi pemahaman bahwa tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang bertentangan dengan moral dan tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang baik dari bangsa ini yaitu nilai semangat Persatuan Indonesia, karena dengan maraknya korupsi maka membuat masyarakat menjadi tidak nyaman dan merugikan masyarakat, sehingga Persatuan Indonesia dapat terpecah belah. Pendidikan Karakter adalah sangat penting, terutama di mana dunia digital sudah merajai, pendidik dan peserta didiknya sudah tidak saling jumpa / perjumpaan dalam kelas secara nyata. Bagaimana pendidik mengupayakan pembangunan karakter bagi murid-muridnya? Paling tidak untuk Anak Anak Usia Dini, menanamkan nilai kebangsaan dengan mengumandangkan memberi hapalan terus mengenai Pancasila: 1) Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Permusyawaratan/Perwakilan; 5) Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Penanaman untuk menghapalkan lagu-lagu nasional dan lagu-lagu daerah, sehingga nanti melangkah ke jenjang SD (Sekolah Dasar), SMP (Sekolah Menegah Pertama), SMA (Sekolah Menengah Atas) atau pun Sekolah Kejuruan, bahkan sampai Perguruan Tinggi, nilai-nilai yang dihapal dari usia dini, sudah mengakar dan tertanam dalam sanubari peserta didik calon penerus bangsa ini. Nilai yang paling penting adalah kejujuran, yang membuat peserta didik mempunyai karakter, hal ini perlu dipelajari, dilatih, dibentuk dan dievaluasi. Kejujuran adalah potensi yang dimiliki setiap orang, yang membutuhkan proses realisasi, dengan pelatihan terutama dalam pengambilan keputusan dalam bidang moral. 13 Sularto, ST, “Inspirasi Kebangsaan Dari Ruang kelas”, Penerbit Kompas, 2016, hal. 47


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 363 Untuk mendukung pribadi yang jujur diperlukan enam (6) karakter, yakni: (1) Kecerdasan; (2) Kepedulian; (3) Tanggun Jawab; (4) Ketangguhan; (5) Keberanian; (6) Keterbukaan. Secara Khusus Unika Atma Jaya-Jakarta, memberikan penanaman moralnya melalui Kristiani; Unggul; Profesional, dan Peduli; Kritiani: bagaimana kita mencintai semua mahluk hidup, terutama manusia, apabila kita sudah mencintai sesama manusia, untuk itu kita juga tidak akan melakukan korupsi yang dapat nerugikan setiap orang dan menghancurkan masyarakat Unggul: sebagai bagian dari civitas akaedmik Unika Atma Jaya, kita harus unggul, bermatabat, sehingga kita tidak melakukan tindak pidana korupsi Profesional: sebagai anak yang dilahirkan dari rahim Unika Atma Jaya, kita dapat menjalankan kehidupan kita secara baik dan matang mampu menempatkan diri, bahwa kita adalah bagian dari suatu kebaikan. Peduli: Unika Atma Jaya, memberikan kita semua Pendidikan yang baik, terutama bagaimana kita peduli, mari mahasiswa kita belajar peduli dengan sesama. Bagaimana kita peduli dengan karyawan kecil terutama petugas kebersihan, security, karyawan administrasi. Dengan kepedulian kita terhadap mereka yang lemah, maka kita bisa menghargai kepedulian yang lebih besar lagi dalam masyarakat, terutama mari kita cegah korupsi, dalam diri, kelompok kita, keluarga dan masyarakat sehingga negara ini bebas dari korupsi.


Bab 11 Membangun Budaya Anti Korupsi 364 Soal Pendalaman 1. Silakan mahasiswa ceritakan pengalaman atau sepengetahuan mahasiswa mengenai korupsi, bagaimana menurut kalian apakah korupsi itu baik? 2. Hubungkan nilai-nilai KUPP dengan perbuatan Korupsi, dengan mempergunakan opini mahasiswa pribadi! 3. Apakah menurut mahasiswa peraturan atau Undang-Undang yang saat ini berlaku sangat memadai untuk membrantas Korupsi? 4. Apa yang akan mahasiswa lakukan apabila dalam suatu organisasi yang mahasiswa ikuti, pengurus lainnya mengajak anda untuk melakukan kecurangan dalam Laporan Pertanggungjawaban keuangan, Uraikan! 5. Apa yang mahasiswa laukan sebagai alumni Unika Atma Jaya yang telah mendapat nilai-nilai KUPP, setalah bekerja nanti, apabila lingkungan anda mengajak anda untuk Korupsi. Uraikan!


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 365 Daftar Pustaka Komisi Pemberantas Korupsi, “Etika Anti Korupsi Menjadi Profesional Berintegritas” , Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK, Jakarta. Sularto, ST, “Inspirasi Kebangsaan Dari Ruang kelas”, Penerbit Kompas, 2016. Jurnal Jefirstson Richset Riwukore, Hilda Manafe, Fellyanus Habaora, Yohanes Susanto, dan Tien Yustini “Strategi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Pemerintah Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur” dalam Jurnal Aspirasi: Jurnal Masalah-Masalah Sosial, Volume 11, No. 2 Desember 2020. Oksidelfa Yanto, “Penjatuhan Pidana Mati Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Keadaan Tertentu, Jurnal Legilisasi Indonesia, Vol. 14 N0. 01 - Maret 2017. Internet https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/14/140000269/korupsikolusi-dan-nepotisme-kkn-pengertianpencegahan-dan-sanksi, diunduh 23 Oktober 2021, pukul 06.40 WIB. https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/23792.html, diunduh 23 Oktober 2021


Bab 12 Penutup 1. Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan pada hakikatnya adalah proses INDONESIANISASI, proses meng-indonesia-kan orang-orang Indonesia, dalam hal ini para ‘mahasiswa’, agar sungguh menjadi Indonesia. Keseluruhan materi kuliah diharapkan mengantar para mahasiswa pada ‘penemuan-diri dan penegasan-diri’ sebagai orang Indonesia: AKU INDONESIA – AKU PANCASILA. Bab Penutup ini berisi suatu rangkuman singkat tentang keseluruhan materi kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dari bab 1 hingga bab 11. Tujuannya ialah untuk mengingatkan kembali seluruh mahasiswa intisari seluruh perkuliahan, terutama mengingatkan kembali akan tujuan matakuliah ini sebagai upaya pembentukan karakter-kepribadian mahasiswa sebagai warga negara dalam kerangka tugas masa depan mereka sebagai pemimpin bangsa dan negara. 2. Intisari Perkuliahan Seluruh materi dalam perkuliahan ini terdiri dari 11 bab yang secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut:


Bab 12 Penutup 368 Bab 1 Pendahuluan berisi suatu pengantar umum ke dalam materi kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Di sana dikemukakan gagasan tentang hakikat pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu proses INDONESIANISASI. Istilah ‘indonesianisasi’ sesungguhnya bukan suatu istilah yang sama sekali baru, mengingat Amerika Serikat, sebagai negara pertama yang memperkenalkan matapelajaran ini, memandang Pendidikan Kewarganegaraan sebagai suatu proses AMERIKANISASI, proses mengamerika-kan bangsa Amerika Serikat yang senyatanya berciri ‘bangsa yang majemuk’. Jika Indonesia adalah negara yang majemuk, karena masyarakatnya terdiri dari ratusan suku-bangsa yang berbeda-beda dalam banyak hal,seperti etnis/ras, adat-istiadat, budaya, agama, bahasa daerah, sejarah dan lain-lain serta hidup tersebar di ribuan pulau Nusantara, demikian pula bangsa Amerika adalah bangsa majemuk karena terdiri dari aneka suku bangsa yang datang dari berbagai belahan dunia. Dalam kondisi kemajemukan seperti ini, tidaklah mengherankan, bila karakter keamerika-an dan ke-indonesia-an serta masalah persatuan dan kesatuan serta solidaritas antara semua komponen bangsa terasa sungguh sebagai suatu kebutuhan real yang sangat urgen dan vital. Pendidikan Kewarganegaraan dipandang sebagai sarana yang sangat strategis untuk menanamkan nilai-nilai kerakyatan, kebangsaan, dan kenegaraan pada generasi muda. Penanaman nilai-nilai ini melibatkan seluruh kepribadian, dalam arti: harus diketahui dan dipahami ‘akalbudi’ (koqnitif), diresapkan dalam hati, dihayati dan dicintai (afeksi), dan diwujudkan dalam perbuatan nyata (psikomotorik). Hasilnya ialah kita memperoleh sosok-sosok warga negara yang berkualitas unggul: unggul akal budinya, unggul nuraninya dan unggul keterampilan kewarganegaraannya. Bab 2 hingga Bab 7 berbicara tentang segala sesuatu terkait Indonesia sebagai bangsa yang menegara. Di dalamnya dikemukakan segala hal ihwal kerakyatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia, mulai dari : (1) negara dan konstitusi, (2) hak dan kewajiban warga negara dan negara, (3) identitas nasional dan integrasi nasional, (4) ciri Indonesia sebagai sebuah


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 369 negara hukum yang bersifat demokratis, dan (5) otonomi daerah sebagai suatu kebijakan politik ketatanegaraan orde reformasi, yang menerapkan asas desentralisasi dalam politik administrasi pemerintahan. Tujuan babbab kebangsaan dan kenegaraan ini dimaksudkan untuk membekali para mahasiswa dengan materi-materi seputar Negara Indonesia – yang dalam kerangka Pendidikan Kewarganegaraan tidak dibahas secara tuntassetuntasnya, namun dirasa cukup sebagai bekal-bekal dasar pembentukan kepribadian sebagai warga negara Indonesia. Berbekalkan materi Bab 2 hingga Bab 7, kita memasuki 3 bab puncak dari Pendidikan Kewarganegaraan, yaitu: Bab 8 tentang Geopolitik Indonesia, yang lazim disebut Wawasan Nusantara, Bab 9 tentang Geostrategi Indonesia, yang disebut Ketahanan Nasional, dan Bab 10 tentang Bela Negara. Ketiga bab ini kita sebut “puncak-puncak” mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, karena sebagai suatu proses Indonesianisasi, Pendidikan Kewarganegaran pada akhirnya harus menyadarkan mahasiswa bahwa watak kepribadian Indonesia yang telah terbentuk dalam diri masing-masing harus berujung pada suatu “komitmen dan bakti” pada Nusa dan Bangsa Indonesia yang sedang membangun, dengan berpartisipasi aktif dalam pembangunan nasional sesuai profesi masing-masing berdasarkan ‘wawasan Nusantara’ sebagai geopolitik nasional Indonesia. Komitmen dan bakti terhadap Nusa dan Bangsa ini,selain mencerminkan semangat nasionalisme dan patriotisme, juga sekaligus berfungsi membangun suatu postur ‘ketahanan nasional’ yang tangguh, tahan uji, dan tahan banting di tengah rongrongan aneka ragam ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, langsung maupun tidak langsung, nyata maupun tidak/belum nyata, bersifat militeristik maupun nir-militeristik. Itulah semangat BELA NEGARA. Dari antara aneka ragam masalah nyata yang merongrong tubuh bangsa dan negara ini, salah satu yang sangat potensial menghancurkan Indonesia dari dalam adalah KORUPSI, KOLUSI dan NEPOTISME. Maka seluruh materi ditutup dengan Bab 11 tentang MEMBANGUN BUDAYA ANTIKORUPSI. Budaya antikorupsi harus dikembangkan di kalangan


Bab 12 Penutup 370 generasi muda, agar pada saatnya mereka memimpin bangsa dan negara ini, mereka setidak-tidaknya telah memiliki suatu ‘kebiasaan yang jauh dari perilaku koruptif. 3. KUPP dalam Pendidikan Kewarganegaraan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai proses INDONESIANISASI sesungguhnya sudah dengan sendirinya merupakan suatu proses sosialisasi dan internalisasi NILAI-NILAI INTI UNIKA ATMA JAYA, yaitu: Kristiani, Unggul, Profesional dan Peduli. Bahkan lebih dari itu, Pendidikan Kewarganegaraan, juga tentu saja Pendidikan Pancasila, dalam konteks sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai KUPP patut dipandang sebagai dua mata kuliah “induk” bagi KUPP. Mengapa? Karena, KUPP itu adalah karakter-karakter yang menandai ciri dan citra seorang warga negara yang berkualitas. Dan Indonesia yang sedang membangun membutuhkan warga negara yang berkualitas unggul: unggul imannya sebagai orang beragama, unggul ilmunya sebagai seorang sarjana, unggul dalam profesinya sebagai seorang yang terdidik, dan unggul dalam relasi sosialnya sebagai seorang warga negara Indonesia yang berkemanusiaan yang adil dan beradab. Nilai-nilai KUPP secara tersirat dapat ditemukan di dalam Kelima Nilai Dasar BELA NEGARA: (1) Cinta akan Tanah Air; (2) Kesadaran berbangsa dan bernegara; (3) Keyakinan akan Pancasila sebagai ideologi nasional; (4) Rela berkorban untuk bangsa dan negara; (5) Memiliki kemampuan dasar bela negara. Maka bila mahasiswa benar-benar serius mempelajari materi-materi yang disajikan dalam 11 bab buku Pendidikan Kewarganegaraan ini, kiranya mereka secara langsung maupun tidak langsung telah membangun dalam diri mereka nilai-nilai KUPP. SEMOGA!


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 371 Daftar Pustaka Adolf Heuken, SJ, Ajaran Sosial Gereja – Menghadapi Masalah-Masalah Aktuil, cet. ke-2, Jakarta: Yayasan CLC, 1982. Agus Surata, dkk, Widya Mwat Yasa, Yogyakarta: UPN Veteran Yogyakarta Press, 2003. Al Hakim, 2001. Jurnal Pendidikan dan Kewarganegaraan. Edisi Khusus Okt. Lab. PPKn. Malang: Universitas Negeri Malang. Alo Liliweri, Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta: PT LkiS Pelangi Angkasa, 2007. As’ad Said Ali, dkk. 2010. Nasionalisme dan Pembangunan Karakter Bangsa. Editor: Surono. Yogyakarta: PSP Press. Astim Riyanto, Teori Konstitusi, Bandung: Yapemdo, 2000. Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung, 1997. Bernard Raho, “Konflik di Indonesia, Problem dan Pemecahannya Ditinjau dari Perspektif Sosiologis,” dalam Guido Tisera, ed., Mengolah Konflik Mengupayakan Perdamaian, (Maumere: LPBAJ, 2002). Boediono Kusumohamijoyo, Ketertiban Yang Adil, Problematik Filsafat Hukum, Jakarta,1999. Bratakusumah, D.S dan D. Solihin. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001. Caves, R. Jeffrey A. Frankel and Ronald W. Jones, World and Payments: An Introduction. Sixth Edition, New York: Harper Collins College Publishers, 1993. Dini Rizki Fitriani, “Mewujudkan Good Governance melalui Pelayanan Publik dalam Era Otonomi Daerah”, dalam: WEDANA, Jurnal Pemerintahan, Politik dan Birokrasi, Vol. III Nomor 1 April 2017.


Bab 12 Penutup 372 Dirjen Pothan Departemen Pertahanan RI, Himpunan Perundangundangan yang Terkait dengan Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pertahanan, Jakarta: 2005. Dirjen Pothan Dephan RI, Tataran Dasar Bela Negara. Jakarta: Dephan RI, 2006. Dirjen Pothan Dephan RI, Pedoman Pendidikan Bela Negara. Dephan RI, 2010. Dr. Hotma P. Sibuea, SH. MH. Ilmu Negara, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2014. Dr. Kaelan, M.Si, ”Pancasila sebagai Falsafah Bangsa dan Negara Indonesia,” makalah yang dipresentasikan dalam Pelatihan Dosen Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian – Pendidikan Kewarganegaraan, 14-17 September 2006 di Padang. Dr. Max Boli Sabon, SH, M.Hum, Ilmu Negara, Bahan Pendidikan Untuk Perguruan Tinggi, Jakarta; Penerbit Universitas Atma Jaya Jakarta, 2012. Drs. Slamet Soemiarno (Universitas Indonesia), ”Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi,” makalah dipresentasikan pada Pelatihan Dosen Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan Kewarganegaraan, tanggal 14-17 September 2006 di Padang. Ermaya Suradinata, Hukum Dasar Geopolitik dan Geostrategi dalam Kerangka Keutuhan NKRI, Suara Bebas, 2005. Gray, Colin S.; Geoffrey Sloan, Geopolitics, Geography and Strategy. London and Portland, Oregon: Frank Cass, November 30, 1999. Hauchler Ingomar, ed. Globale Trends 1996, Fakten Analysen Prognosen, Frankfurt, Fischer, 1995. Ir. Soekarno, ‘Tahun Kemenangan’. Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid Kedua, Cetakan Kedua. Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 373 James D. Fearon, What Is Identity (As We Now Use the Word)?, Stanford University: Department of Political Science, Stanford, CA 94305, 1999. Jefirstson Richset Riwukore, Hilda Manafe, Fellyanus Habaora, Yohanes Susanto, dan Tien Yustini, “Strategi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Pemerintah Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur” dalam: Jurnal Aspirasi: Jurnal Masalah-Masalah Sosial, Volume 11, No. 2 Desember 2020. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Bernegara Praksis Kenegaraan Bermartabat dan Demokratis, Malang: Setara Press, 2015. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: Konstitusi Press, 2005. Juliardi, Budi, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi-Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Buku Modul Kuliah Kewarganegaraan, 2012. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi-Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Mata Ajar Kuliah Wajib Pendidikan Kewarganegaraan, 2016. Komisi Pemberantas Korupsi, Direktorat Pendidikan dan Pelayanan MasyarakatKPK, “EtikaAntiKorupsiMenjadiProfesionalBerintegritas” Jakarta. Koento Wibisono, dalam: Srijanti dkk, 2011, Pendidikan Kewarganegaraan di PT: Mengembangkan Etika Berwarga Negara, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2011. Lemhannas, Bunga Rampai Wawasan Nusantara II. Jakarta: Lemhannas, 1981.


Bab 12 Penutup 374 Mali Benyamin Mikhael, dkk, CIVIC EDUCATION – Pendidikan Kewarganegaraan, Upaya Mengindonesiakan Orang Indonesia, Edisi 4, Bekasi: Immaculata Press. 2021. M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Bandung: Mandar Maju, 2008. Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya, Jogyakarta, 1998. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, 2006. Modul Pengajaran “Pertemuan Ke-6, berjudul, Skenario Modul Identitas Nasional, tanpa pengarang, tanpa tahun. M. Sastrapratedja, SJ, “Restorasi Pendidikan Politik Berdasarkan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”, dalam: Jurnal Iman Ilmu Budaya, Vol. 3, No. 3 Sept – Des. 2004. Moh. Kusnardi dan Bintan Saragih R., Ilmu Negara, Edisi Revisi, Jakarta: Gaya Media, Pratama, 1988. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Sinar Bakti, 1988. Muhaimin, Y & Collin MA. Masalah-masalah Pembangunan Politik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995. Muhamad Erwin, Pendidikan Kewarganegaraan Republik Indonesia, PT Refika Aditama, 2013. Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat), Bandung: Refika Aditama, 2009. Nasroen, Asal Mula Negara, Jakarta: Aksara Baru, 1986. Oesman, Oetojo dan Alfian. Pancasila Sebagai Ideologis Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7 Pusat, 1992. Oksidelfa Yanto, “Penjatuhan Pidana Mati Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Keadaan Tertentu”, dalam: Jurnal Legilisasi Indonesia, Vol. 14 N0. 01 - Maret 2017.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 375 Padmo Wahyono, “Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Kehidupan Ketatanegaraan” dalam: Oetojo Oesman dan Alfian, Pancasila Sebagai Ideologis Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7 Pusat, 1992. Parlaungan Adil Rangkuti, Membangun Kesadaran Bela Negara, Penerbit; IPBPress, 2007. Pdf unduhan dari internet berjudul: Negara dan Konstitusi, tanpa nama, tanpa tahun. Peraturan Presiden nomor 80 tahun 2011 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Indonesia 2010-2025. Prof. Dr. H. Kaelan. M.S & Drs. H. Achmad Zubaidi, M.Si, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Penerbit Paradigma, Yogyakarta, 2007. Prof. Drs. CST. Kansil, SH & Christine ST. Kansil, SH., MH, Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi, Jakarta: Pradnya Paramita. Prof. Dr. Koento Wibisono Siswomihardjo (Universitas Gajah Mada), ”Identitas Nasional,” Makalah yang dipresentasikan pada Pelatihan Dosen Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan Kewarganegaraan, tanggal 14-17 September 2006 di Padang. Prof. Dr. H.A. Prayitno & Drs. Trubus, MS, Pendidikan KADEHAM, Kebangsaan, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Universitas Trisakti. Raka, Gede. (2008). Pembangunan Karakter dan Pembangunan Bangsa: Menengok Kembali Peran Perguruan Tinggi. Risalah ‘Kuliah Akhir Masa Jabatan’ sebagai Guru Besar Fakultas Teknologi Industri ITB, disampaikan pada tanggal 28 Nopember 2008 di Gedung Balai Pertemuan Ilmiah (BPI) ITB di Jalan Surapati Bandung. RISTEKDIKTI, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi, Cet. 1, 2016.


Bab 12 Penutup 376 Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan, Bandung, 1988. Satjipto Rahardjo, ”Menjadi Indonesia,” Harian KOMPAS, Sabtu 11 November 2006. Soejono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 1983 Solly Lubis, Ilmu Negara, Bandung Alumni, 1981. Sr. Francino Hariandja, CB, Kongregasi Carolus Borromeus Mengarungi Zaman – Cita-Cita Awal & Penerapannya, (editor: Dr. Jan Riberu), Jakarta: Pustaka CB Indonesia. Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung, 1984. Sunardi, Pembinaan Ketahanan Bangsa, PT Kuartanita Adidarma, Jakarta, 2004. Santoso, Kabul dkk., Pembangunan Moral Bangsa. Surabaya: PT Java Pustaka Media, 2005. Sularto, ST, Inspirasi Kebangsaan Dari Ruang Kelas, Penerbit Kompas, 2016. Suparman Marzuki, Politik Hukum Hak Asasi Manusia, Jakarta: Erlangga, 2014. Tim Nasional Dosen Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Kewarganegaraan Paradigma Terbaru Untuk Mahasiswa, Alfabeta, 2011. Tukiran, Materi Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi Dalam Menghadapi Tantangan Era Global, FKIP Universita Muhammadiyah Purwokerto, Cakrawala Pendidikan , November , 2006 Th. XXIV.No.3. UU Republik Indonesia No. 43 Thn. 2008 tentang Wilayah Negara. United Nation Development Programme Bureau for Development Policy, Civic Education – Practical Guidance Note.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 377 Universitas Sriwijaya, Buku Panduan Kewarganegaraan, UPT Matakuliah Pengembangan Kepribadian, 2014. Usep Ranawijaya, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-dasarnya, Jakarta, 1982. Wibowo, I., Negara dan Masyarakat: Berkaca dari Pengalaman Republik Rakyat Cina, Jakarta: PT Gramedia, 2000. Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007. Sumber dari Internet: Bohlan. 2005. Integrasi Nasional. http://www.basic.-integrasi-nasioal. org , diakses tanggal 10 November 2021. Nikolas. 2007. Pentingnya Integrasi Nasional Indonesia.(http://www. education-pentingnya-integrasi-nasional.org Rahmat HM, “Terbanyak di Dunia, Indonesia Miliki 1340 Suku Etnis”, dalam: https://suarapemerintah.id/2021/07/terbanyak-di-duniaindonesia-miliki-1340-suku-etnis/ 08 Jul 2021, diakses, Rabu 19 Januari 2022. Sri-Edi Swasono, Neolib itu Penjajahan Model Baru. Dalam: http://www. eramuslim.com/berita/nasional/prof-dr-sri-edi-swasono-neolibitu-penjajahan-model-baru.htm, diakses 12 Februari 2014. Winaputra, 2006:12, 19 dalam: http://masri.blog.com/2009/10/27/ demokrasi-dan-pendidikan-demokrasi/ , diakses, Rabu, 16 April 2014). historia66.wordpress.com/2009/10/09/kutipan-bung-karnocharacterand-nation-building/


Bab 12 Penutup 378 https://www.google.com/search?q=etymology+of+constituere&oq=et ymology+of+constituere&aqs=chrome..69i57.33580j0j7&sourceid= chrome&ie=UTF-8;”constituere” –WordSense Online Dictionary (7th February, 2022) URL: https://www.wordsense.eu/constituere/ Data Luas wilayah dikutip dari CIA Word Factbook. Lihat: https:// ilmupengetahuanumum.com/daftar-negara-yang-tidak-memilikilaut-negara-terkurung-daratan/ diunduh, Senin, 20 Desember 2021. https://kumparan.com/berita-hari-ini/fungsi-garis-khatulistiwa-dan-ciriiklim-wilayah-yang-dilaluinya-1v6y5KWU6DG/full https://id.wikipedia.org/wiki/Ernest_Renan diakses, Kamis, 15 Desember 2021. https://www.suara.com/news/2018/11/10/132947/indonesia-jadinegara-dengan-pahlawan-nasional-terbanyak diakses, Senin 24 Januari 2022. https://nasional.kompas.com/read/2019/07/16/16415871/mendagrisedih-masih-ada-ormas-yang-menolak-pancasila https://nasional.sindonews.com/berita/1428406/15/persoalan-ideologipancasila-dinilai-jadi-pekerjaan-rumah-bersama https://www.suara.com/news/2019/08/09/175605/survei-organisasibertentangan-pancasila-cyrus-network-fpi-peringkat-4 https://id.wikipedia.org/wiki/Geostrategi, diunduh tanggal 21 Oktober 2021 https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/11/27/dampak-covid19-ketahanan-nasional-menurun?status=sukses_login&status_ login=login&isVerified=false, diunduh tanggal 22 Oktober 2021 https://www.wordsense.eu/identitatem/


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 379 https://www.globalfirepower.com/country-military-strength-detail. php?country_id=indonesia#viewNotes, diunduh tanggal 22 Oktober 2021 http://lib.lemhannas.go.id/public/media/ catalog/0010-011600000000028/swf/1867/files/basic-html/page13. html, diunduh tanggal 3 Nopember 2021 https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/23792.html, diunduh 23 Oktober 2021 https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/14/140000269/korupsikolusi-dan-nepotisme-kkn-pengertian-pencegahan-dan-sanksi, diunduh 23 Oktober 2021. https://paulusmtangke.wordpress.com/otonomi-daerah-landasanhukum-asas-dan-pemda/ diakses Jumat, 6 Juni 20018. https://www.mindmeister.com/701019495/otonomi-daerah , diakses Senin 16 Juli 2018. https://www.gdrc.org/u-gov/governance-understand.html diakses, Kamis, 12 Juli 2018. https://paulusmtangke.wordpress.com/otonomi-daerah-landasanhukum-asas-dan-pemda/ diakses Jumat: 6 Juni 20018. https://www.gdrc.org/u-gov/governance-understand.html diakses, Kamis, 12 Juli 2018. http://www.wikiwand.com/en/Gubernaculum_(classical) http:// wordinfo.info/unit/933/s:a%20steersman diakses, Kamis 12 Juli 2018. https://www.etymonline.com/word/right , diakses tanggal 23 Oktober 2021.


Click to View FlipBook Version