The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by edy begonggong, 2024-06-15 22:24:39

eBook Pendidikan Kewarganegaraan

eBook Pendidikan Kewarganegaraan

Bab 6 Negara Hukum Demokratis dan Hak Asasi Manusia 190 saran atas kemungkinan aksesi (pengaksesan) dan atau ratifikasi (pengesahan dokumen negara oleh parlemen). Mengkaji dan meneliti berbagai peraturan perundang-undangan untuk memberi rekomendasi atas pembentukan, pengubahan, serta pencabutan peraturan perundangundangan yang berhubungan dengan hak asasi manusia. Menerbitkan hasil pengkajian dan penelitian. Melakukan studi kepustakaan, studi lapangan dan studi banding tentang hak asasi manusia di negara lain. Membahas masalah tentang perlindungan, penegakan serta pemajuan hak asasi manusia. Melakukan kerja sama pengkajian dan penelitian dengan organisasi, lembaga atau pihak lain, baik di tingkat nasional, regional maupun internasional, dalam bidang hak asasi manusia. Fungsi penyuluhan memiliki tugas dan wewenang untuk: Menyebarluaskan wawasan tentang hak asasi manusia ke masyarakat Indonesia. Mengupayakan peningkatan kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia, lewat lembaga pendidikan formal dan non formal serta kalangan lainnya. Melakukan kerja sama dengan organisasi, lembaga atau pihak lain, baik di tingkat nasional, regional maupun internasional, dalam bidang hak asasi manusia. Fungsi pemantauan memiliki tugas dan wewenang untuk: Melakukan pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan menyusun laporan hasil pengamatannya. Menyelidiki dan memeriksa peristiwa di masyarakat yang patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia. Memanggil pihak pengadu atau korban maupun pihak yang dilakukan untuk dimintai serta didengar keterangannya. Memanggil saksi untuk diminta dan didengar keterangannya serta meminta saksi pengadu untuk menyerahkanbuktiyangdiperlukan.Meninjautempatkejadiandantempat lainnya yang dianggap perlu. Memanggil pihak terkait untuk memberi keterangan tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya yang telah disetujui oleh Ketua Pengadilan. Memeriksa pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan, terhadap perkara pelanggaran hak asasi manusia yang proses peradilannya sedang berjalan. Fungsi mediasi memiliki tugas dan wewenang untuk: Mendamaikan kedua belah pihak. Menyelesaikan perkara lewat konsultasi, negosasi, mediasi, konsiliasi serta penilaian ahli. Memberi saran kepada pihak bersangkutan


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 191 untuk menyelesaikan sengketa lewat pengadilan. Menyampaikan rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya. Menyampaikan rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada DPR untuk ditindaklanjuti. Tujuan Komnas HAM dari Pasal 75 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Komnas HAM memiliki dua tujuan penting. 1) mengembangkan kondisi yang konduksif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; 2) meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan. Maka bisa dikatakan jika tujuan Komnas HAM ialah mengembangkan situasi yang kondusif untuk pelaksanaan hak asasi manusia, serta meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia. 12. Pelanggaran HAM Dalam perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia kepada warga masyarakat, ada pelanggaran-pelangaran yang terjadi, menjadi pertanyaan kapan suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia? Menurut UU RI No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, telah dijelaskan mengenai pengertian pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau sekelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU ini, dan tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Pelanggaran HAM yang sering muncul biasanya terjadi dalam dua bentuk yaitu diskriminasi dan penyiksaan.


Bab 6 Negara Hukum Demokratis dan Hak Asasi Manusia 192 Jenis pelanggaran HAM berdasarkan sifatnya, pelanggaran dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pelanggaran HAM berat dan ringan. Berikut ini penjelasannya: Pelanggaran HAM berat Pelanggaran HAM yang bersifat non-derogable rights, yang hakya tidak dapat dikurangkan dalam keadaan apa pun termasuk pelanggaran HAM berat. Hak-hak tersebut meliputi hak untuk hidup, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari perbudakan, hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (utang), hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut, hak sebagai subyek hukum dan hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama. Negaranegara pihak yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak dalam jenis ini, sering akan mendapat kecaman sebagai negara yang melakukan pelanggaran serius HAM (gross violation of human rights). Pelanggaran HAM yang bersifat berat menurut UU RI No. 16 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pelanggaran HAM ringan Pelanggaran yang derogable bersifat hak-haknya boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara-negara pihak. Hak dan kebebasan termasuk dalam jenis ini adalah hak atas berkumpul secara damai, hak atas kebebasan berserikat, hak berpendapat dan berekspresi. 13. Pengadilan Hak Asasi Manusia Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia dibentuk berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dengan tugas dan wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara “khusus” terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, yaitu yang menyangkut pelanggaran yang meliputi kejahatan Genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 193 14. Kejahatan Genosida Kejahatan Genosida sebagaimana yang telah diatur di dalam UndangUndang menyebutkan setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok, etnis, dan kelompok agama dengan cara: 1. Membunuh anggota kelompok; 2. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok; 3. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagaiannya; 4. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran didalam kelompok; 5. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain 15. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan ialah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dariserangan yang meluas atau sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, seperti: 1. Pembunuhan; 2. Pemusnahan; 3. Perbudakan; 4. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; 5. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok Hukum Internasional; 6. Penyiksaan;


Bab 6 Negara Hukum Demokratis dan Hak Asasi Manusia 194 7. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentukbentuk kekerasan seksual yang setara; 8. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; 9. Penghilangan orang secara paksa; 10. Kejahatan apartheid. 16. Hukum Acara Peradilan HAM di Indonesia Ruang Lingkup kewenangan Pengadilan HAM berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dapat dirangkum sebagai berikut: 1. Memeriksa dan memutus perkara pelanggran HAM berat (Pasal 4) 2. Memeriksa dan memutus perkara pelanggran HAM yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah RI (pasal 5) 3. Pelanggaran HAM yang berat (pasal 7), meliputi: 4. Kejahatan genosida 5. Kejahatan terhadap kemanusiaan 6. Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksan dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan (Pasal 6) 17. Penutup Dalam sebuah negara hukum yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 195 Dalam negara hukum mempunyai prinsip, antara lain: Asas legalitas Pembatasan kebebasan warga negara (oleh pemberintah) harus ditentukan dasarnya dalam undang-undang yang merupakan peraturan umum. Undang-undang secara umum harus memberikan jaminan (terhadap warga neraga) dari tindakan (pemberintah) yang sewenangwenang, kolusi, dan berbagai jenis tindakan yang tidak benar. Pelaksanaan wewenang oleh organ pemerintah harus dikembalikan dasarnya pada undang-undang tertulis, yakni undang- undang formal; Perlindungan hakhak asasi; Pemerintahan terikat hukum; Hukum harus dapat ditegakkan, ketika hukum tersebut dilanggar. Pemerintah harus menjamin bahwa ditengah masyarakat terdapat instrument yuridis penegaka hukum. Pemerintah dapat memaksa seseorang yang melanggar hukum melalui sistem peradilan negara. Memaksankan hukum publik secara prinsip merupakan tugas pemberintah; Pengawasan oleh hakim yang merdeka. Superioritas hukum tidak dapat ditampilkan, jika aturan-aturan hukm hanya dilaksanakan organ pemerintah. Oleh karena itu dalam setiap negara hukum diperlukan pengawasan oleh hakim yang merdeka. Hak Asasi Manusia adalah sebuah konsep hukum dan normatif yang menyatakan bahwa manusia memiliki hak yang melekat pada dirinya karena ia adalah seorang manusia. Hak Asasi Manusia berlaku kapanpun, di manapun, dan kepada siapapun, sehingga sifatnya universal. HAM pada prinsipnya tidak dapat dicabut. Hak Asasi Manusia juga tidak dapat dibagi-bagi, saling berhubungan, dan saling bergantung. Hak Asasi Manusia biasanya dialamatkan kepada negara, atau dalam kata lain, negaralah yang mengemban kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Jadi dapat disimpulkan hukum Indonesia menjamin mengenai Hak Asasi Manusia, dari dasar konstitusi yaitu UUD 1945, sampai UU HAM, Pengadilan HAM, pada dasarnya adalah jaminan pelaksanaan HAM di Indonesia.


Bab 6 Negara Hukum Demokratis dan Hak Asasi Manusia 196 Soal Pendalaman 1. Dari Bacaan di atas sudah jelas mengenai apa itu hukum, dan Hak Asasi Manusia (HAM), uraikan menurut kamu hukum itu apa (ceritakan mempergunakan opini mahasiswa)? Dan apakah HAM menurut mahasiswa (ceritakan mempergunakan opini mahasiswa)? 2. Banyak orang membicarakan Hak Asasi Manusia, tapi lupa menjalankan Kewajibannya, silahkan mahasiswa mencari mengenai Kewajiban Asasi di dalam Undang-Undang no. 39 Tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia, dan menurut mahasiswa perlukah adanya kesimbangan antara Hak Asasi dan Kewajiban Asasi 3. Bagaimana menurut kalian mengenai Tujuan Penting dari Hak Asasi Manusia 4. Dalam Pengadilan HAM, hal-hal apa saja yang perlu dilindungi 5. Silahkan kalian menceritakan apakah pelaksanaan HAM di Indonesia sudah berjalan dengan baik? Daftar Pustaka Soejono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 1983 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Bernegara Praksis Kenegaraan Bermartabat dan Demokratis, (Malang: Setara Press, 2015). Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005). Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Sinar Bakti, 1988. Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat), Bandung: Refika Aditama, 2009. Suparman Marzuki, Politik Hukum Hak Asasi Manusia, Jakarta: Erlangga, 2014.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 197 Internet http://bowolampard8.blogspot.com/2011/08/pengertian-dan-tujuanhukum.html, diunduh 2 Mei 2019 https://fh.unpatti.ac.id/prinsip-prinsip-negara-hukum-dan-demokrasi/ (diunduh 5 November 2021) https://www.sembilanbintang.co.id/perkembangan-ham-di-duniainternasional-maupun-di-indonesia/ (diunduh 5 November 2021)


Bab 7 Otonomi Daerah 1. Pengantar Negara pada hakikatnya adalah suatu organisasi politik dan kekuasaan yang didirikan untuk mengupayakan kesejahteraan umum seluruh rakyat. Maka bicara tentang OTONOMI DAERAH (OTDA) berarti bicara tentang POLITIK dan KEKUASAAN pemerintahan dalam kerangka perwujudan kesejahteraan umum rakyat. Dalam OTDA, ada pelimpahan kekuasaan dan kewenangan memerintah dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang dipandang lebih dekat berhubungan dengan rakyat dan lebih mengenal kebutuhan real rakyat di daerahnya. Pertanyaan dasarnya ialah “bagaimana ‘politik dan kekuasaan’ itu sebaiknya ditempatkan dan dikelola sehingga negara dapat memainkan perannya seoptimal mungkin dalam upaya meraih cita-cita dan tujuan nasional? Bagaimana sebaiknya ‘politik dan kekuasaan’ itu digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran (properity) dan ketenteraman/keamanan (security) rakyat sehingga dari sudut pandang etis-moral, politik dan kekuasaan itu dapat dipertanggungjawabkan karena menjunjung tinggi nilai-nilai dasar kemanusiaan dan bermanfaat bagi kemanusiaan?” Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas membawa kita kepada kesimpulan bahwa Otonomi Daerah untuk negara seperti Indonesia


Bab 7 Otonomi Daerah 200 merupakan suatu tuntutan aktual dan kebutuhan mendesak dalam kerangka percepatan perwujudan cita-cita dan tujuan nasional. Bab ini akan membahas hal ihwal OTDA itu, yang sekarang hangat dijalani sebagai suatu kebijakan politik pemerintahan di era Reformasi. Kita tidak menguraikan segala seluk-beluk terkait OTDA itu. Di sini kita hanya akan mempelajari beberapa pokok pikiran tentang OTDA itu agar sebagai generasi muda, kita mengetahui pokok-pokok pikiran yang mendasari pilihan politik pemerintahan dari era Reformasi ini. 2. Otonomi Daerah Dengan memperhitungkan (i) ciri khas Indonesia sebagai sebuah negara-kesatuan berbentuk republik dan negara hukum-demokratis, serta sebuah negara-bangsa (nation-state) yang sangat majemuk dan negara-kepulauan (archipelagic-state) terluas di dunia dengan puluhan ribu pulau, besar-kecil, di seantero Nusantara, sambil memperhatikan (ii) perkembangan “lingkungan strategis” 1 , baik nasional, regional, maupun internasional, yang terus berubah setiap saat, OTDA dilaksanakan berdasarkan amanat UUD 1945.2 Dalam Bab VI tentang “Otonomi Daerah”, Pasal 18 UUD 45 dikatakan: (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang 1 Lingkungan Strategis adalah seluruh perubahan terkini yang terjadi di segala bidang kehidupan: (ipoleksosbudhankam), baik di dalam negeri maupun di luar negeri, juga yang terjadi dalam konteks hubungan antar negara sedunia yang mempunyai pengaruh besar terhadap ketahanan nasional suatu negara. Pada tingkat nasional, misalnya: krisis moneter dan ekonomi yang memicu gerakan reformasi nasional, terrorisme, radikalisme, narkoba, KKN dan upaya pemberantasannya, separatisme, politik SARA, reformasi birokrasi, semuabentuk PROXY WAR, dll. Pada tingkat regional, misalnya: pasar bebas ASEAN (MEA – Masyarakat Ekonomi ASEAN), konflik Laut Cina Selatan, ISIS, perdagangan obat-obat terlarang oleh jaringan internasional di Indonesia melalui Cina dan Malaysia, ancaman perang nuklir Korea Utara, dll. Pada tingkat internasional, misalnya: gerakan liberalisasi perdagangan dan investasi terus berkembang dengan komitmen Indonesia terhadap AFTA, APEC, WTO dan kesepakatan IMF, dengan persaingan yang kian tajam dalam pasar internasional. 2 Sejak awal kemerdekaan OTDA dilaksanakan berdasarkan Pasal 18 UUD 1945 (yang asli), dan UU pelaksanaannya, yaitu: UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 2 Tahun 1948 yang selanjutnya diperbaharui sesuai dengan UUDS RI tahun 1950 melalui UU No. 1 Tahun 1957, PENPRES No. 6 Tahun 1959, PENPRES No. 5 Tahun 1960, dan setelah kembali pada UUD 45 diubah lagi dengan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Implementasi OTDA berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974 sangat lambat dan tersendat-sendat sampai dengan diterbitkannya PP No. 45 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan titik Berat pada Dati II. Untuk lebih mendorong realisasi Otonomi Daerah tersebut, diterbitkan pula PP No. 8 Tahun 1995 tentang Penyerahan Sebahagian Urusan Pemerintahan kepada 26 Dati II Percontohan. Namun rangkaian upaya penyelenggaraan Otonomi Daerah tersebut belum juga mampu mewujudkan Otonomi Daerah di seluruh wilayah Indonesia seperti yang diharapkan.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 201 tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. (2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. (3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. (4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. (5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluasluasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. (6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. (7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang. Namun hal yang lebih penting dari penerapan OTDA di era Reformasi itu adalah latar belakang faktual dan aktual yang memicu penerapan OTDA itu sendiri secara lebih serius, yaitu ‘gagalnya sistem pemerintahan sentralistik lebih-lebih era Orde Baru dalam menerapkan secara serius “otonomi daerah” sebagaimana tertuang di dalam undang-undang yang disahkan di awal Indonesia Merdeka, khususnya UU No. 5 Tahun 1974 tentang Otonomi Daerah, di zaman Orde Baru.’ Mengapa ‘latar belakang’ itu penting? Karena, senyatanya OTDA itu sendiri – seturut catatan sejarah Indonensia – sudah ada sejak Indonesia merdeka, bahkan sejak zaman penjajahan (Belanda dan Jepang), bukan suatu gagasan politik


Bab 7 Otonomi Daerah 202 pemerintahan yang baru sama sekali, yang baru diterapkan di Indonesia seusai tumbangnya rezim Orde Baru.3 Kebijakan ini sudah dilaksanakan sejak zaman penjajahan meskipun dengan tujuan yang berbeda.4 Ketika Indonesia merdeka hingga zaman Orde Baru, konsep otonomi daerah sudah diundangkan dalam UU No. 1 Tahun 1945 yang kemudian mengalami penggantian melalui UU No. 22/1948, UU No. 1/1957, UU No. 18/1965, UU No. 5/1974. Ketika Orde Baru runtuh, masalah Otonomi Daerah kembali digulirkan dan menjadi salah satu agenda sidang MPR hasil Pemilu 1999, dalam proses amandemen UUD 1945. Pada kesempatan itu, dalam konteks pembahasan tentang “Otonomi daerah”, UU No. 5 Tahun 1974 tentang Otonomi Daerah kembali disorot. Ada kelompok yang Pro dan ada yang Kontra. Dari sana lahirlah UU No. 22/1999, dan terakhir adalah UU No. 32 Tahun 2004. SENTRALISASI 5 yang dijalankan oleh rezim Orde Baru kiranya didasarkan atas: (1) ciri khas Indonesia sebagai (a) ‘negara kesatuan berbentuk republik, dan (b) negara-bangsa yang sangat majemuk, dan negara kepulauan yang terdiri dari ribuan pula di seantero Nusantara dan karena itu sangat rentan dengan isu SARA dan SEPARATISME, dan (2) perkembangan lingkungan strategis di dalam negeri maupun luar negeri, terkait misalnya perkembangan paham komunisme, gerakan antiideologi Pancasila, misalnya oleh PKI dan DI/TII, atau pemberontahan kedaerahan seperti PRRI/PERMESTA. Bayang-bayang ketakutan akan bahaya ‘separatisme’ dan disintegrasi nasional atas dasar isu SARA dan ideologi komunisme sangat kuat. Dalam kondisi seperti ini, kiranya sistem pemerintahan ‘kendali ketat oleh pusat’ (sentralisasi) merupakan pilihan 3 Parlaungan Adil Rangkuti, Membangun Kesadaran Bela Negara, Penerbit; IPBPress, 2007, hlm. 433. 4 Intisari ‘otonomi daerah’ sebagai pelimpahan kekuasaan dan kewenangan kepada pemerintahan daerah, untuk mengurus rumah tangganya sendiri, berdasarkan potensi sumber daya manusia dan potensi sumber daya alamnya sudah ada sejak zaman penjajahan. Dengannya penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Hanya tujuannya adalah demi kepentingan kolonial Belanda. Gubernur Jenderal memberikan kewenangan kepada pemerintah swapraja ataupun daerah Gubernemen, para pemimpin rakyat (Volks Hoofden) untuk memerintah rakyatnya sendiri, namun tidak boleh menghalangi kepentingan kompeni untuk mengumpulkan kekayaan alam di daerah masing-masing. Lihat: (i) Parlaungan Adil Rangkuti, Membangun Kesadaran Bela Negara, Penerbit; IPBPress, 2007, hlm. 433. (ii) https://paulusmtangke.wordpress.com/otonomi-daerah-landasan-hukum-asas-dan-pemda/ diakses Jumat, 6 Juni 20018. (iii) https://www.mindmeister.com/701019495/otonomi-daerah, diakses Senin 16 Juli 2018. 5 Sentralisasi adalah pemusatan kekuasaan dan wewenang pemerintahan pada Pemerintah (pusat) yang berkedudukan di ibukota negara. Pemusatan ini didasari paham Indonesia sebagai ‘negara kesatuan berbentuk republik” yang rakyatnya hidup bertebaran di ribuan pulau di seantero nusantara dan berpotensi besar untuk tercerai-berai karena aneka perbedaan suku, ras, budaya, agama, dll.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 203 politik yang pas untuk zaman itu untuk menyelamatkan bangsa dan negara Indonesia dari berbagai rongrongan dan ancaman.6 Anggapan umum yang berkembang saat itu terkait seluruh gerak penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, dapat ditelisik dari ungkapan, misalnya: “Pusat mengetahui segala sesuatu yang dibutuhkan oleh daerah dalam segala bidang kehidupan.” Maka secara TOP-DOWN, Pusat mengatur semua program pembangunan di daerah. Untuk itu dilakukanlah “screening” terhadap siapa yang layak menjadi gubernur dan bupati/walikota; Kepatutan dan kelayakan seseorang untuk menjadi gubernur dan bupati/walikota didasarkan pada kriteria ‘bersih-diri” dan “bersih-lingkungan”, dan sikap “monoloyalitas”. Maka yang umumnya layak dan pantas menjadi gubernur dan bupati/walikota adalah adalah figur-figur yang lulus “screening” dan yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan, bukan pilihan demokratis rakyat melalui pemilihan umum seperti sekarang ini. Praktik ini mengandung banyak kelemahan dalam tata kelola pemerintahan di seluruh negeri yang tampak di dalam hal-hal berikut: (i) lambannya pemerintah daerah merespons dinamika kehidupan daerah beserta segala permasalahan yang terjadi di daerah; (ii) lemahnya atau bahkan lumpuhnya daya kreatitivitas dan kemampuan mengambil inisiatif pemerintah daerah dalam menyelesaikan berbagai masalah dan menjawab berbagai tantangan. Pemerintah daerah hanya menjadi orangorang yang bekerja mengikuti instruksi dan/atau yang pasif menunggu instruksi dari Pusat dalam melaksanakan tugas kepemerintahan. Mereka harusbekerja berdasarkan pedoman dari Pemerintah (pusat) yang berisi: petunjuk teknis [juknis] dan petunjuk pelaksanaan [juklak]. Semua keputusan penting hanya bisa diambil oleh Pemerintah pusat. (iii) tidakmemadainya pelayanan publik hampir di seluruh instansi pemerintah 6 Sejarah perjuangan bangsa Indonesia, terutama setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, menghadapkan kita pada aneka ragam kesulitan, tantangan, dan ancaman, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri, dalam segala bidang kehidupan masyarakat: ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan-keamanan. Di bidang ideologi, golongan DI/TII berusaha meniadakan Pancasila, sedangkan PKI beberapa kali berusaha mengganti Pancasila dengan ideologi komunis. Di bidang politik, sekelompok kecil bangsa Indonesia dengan bantuan negara asing (Belanda) berusaha mengubah ”negara kesatuan” menjadi ”negara federal”. Juga sudah pernah diupayakan penerapan demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin sebagai pengganti sistem demokrasi Pancasila. Di bidang ekonomi, sejak merdeka, bangsa Indonesia mengalami berbagai kesulitan hidup hingga tahun 1960-an. Sistem ekonomi terpimpin dipaksakan, yang ternyata kemudian menimbulkan kesulitan besar.


Bab 7 Otonomi Daerah 204 daerah, (iv) tersendatnya pembangunan di daerah, serta (v) maraknya praktik KKN, suap dan gratifikasi. Dalam keadaan demikian, partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan publik di daerah menjadi sangat lemah, bahkan hampir tidak ada. 7 Melihat segala kelemahan sentralisasi, maka desentralisasi menjadi pilihan politik yang tepat, dan merupakan kebutuhan real-mendesak, tidak saja demi menyelamatkan kelangsungan hidup bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, melainkan pula demi kemajuan Indonesia di masa depan dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional. Desentralisasi melahirkan ‘OTDA’. Dalam dan oleh OTDA, sebagian besar kekuasaan pemerintah pusat, khususnya kekuasaan politik dan administrasi, diserahkan kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan sendiri pemerintahan, termasuk kegiatan pembangunan di daerahnya untuk meningkatkan tarid hidup seluruh rakyat.8 Dalam kerangka ini, ada kekuasaan keuangan (wewenang untuk memanfaatkan anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah pusat) dan kekuasaan ekonomi (wewenang untuk membangun ekonomi daerah dengan memanfaatkan seoptimal mungkin anggaran yang diberikan oleh Pusat). Tujuan akhirnya ialah terwujudnya “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dan “kesejahteraan umum”, melalui ‘pelayanan-publik’ (public-service) yang berlangsung cepat, murah, transparan, bermartabat, dan efisien-efektif. Dengan begitu rakyatsecara nyatamenikmati “manfaat dari adanya NKRI”. 7 Dampak negatif lain dari sentralisasi, misalnya: (i) kepemimpinan daerah (gubernur dan bupati/walikota) biasanya dijabat oleh orang-orang yang dikehendaki pemerintah pusat; “monoloyalitas” pada pemerintah pusat adalah sikap dasar; untuk itu dilakukanlah screening untuk mengetahui layak-tidaknya seseorang sebagai pemimpin daerah; (ii) hal ini menciptakan ketergantungan pemerintah daerah pada pemerintah pusat. Rancangan pembangunan daerah harus mengacu pada pedoman dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak boleh bertindak ‘mandiri’ dalam hal-hal yang strategis. Hal ini memberi kesan bahwa pemerintah daerah “tidak mampu” alias “bodoh”. (iii) ketergantungan pada gilirannya melahirkan sikap pasif, apatis, tidak kreatif dan inovatif dalam mengelola pemerintahan dan dalam membangun daerahnya. Hal ini mengakibatkan pelayanan publik berjalan tersendat-sendat karena menunggu perintah. 8 Kekuasaan yang tetap dipegang oleh Pemerintah Pusat dan tidak dilimpahkan kepada pemerintah daerah guna tetap mempertahankan ciri sebuah ‘negara kesatuan dan negara hukum-demokratis, negara-bangsa dan negara-kepulauan adalah kekuasaan-kekuasaan di bidang (i) pertahanan dan keamanan (domain Kementerian Pertahanan dan Kepolisian RI), (ii) kebijakan luar negeri (domain Kementerian Luar Negeri), (iii) kebijakan fiskal-moneter dan makroekonomi (domain Kementerian Keuangan), (iv) hukum, peradilan dan penegakan HAM (Kementerian Hukum dan HAM) dan (v) agama (domain Kementerian Agama).


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 205 2.1 Pengertian Otonomi Daerah Secara etimologi, ungkapan “otonomi daerah” terbentuk dari kata: “otonomi” dan “daerah”.9 Otonom(i) artinya ‘mengatur diri sendiri, memerintah diri sendiri, bersemayam atas diri sendiri’, karena memiliki ‘kekuasaan’ untuk mengatur dan memerintah. Daerah adalah “wilayah negara yang dihuni oleh sekelompok masyarakat yang merupakan satu kesatuan politik dan hukum dengan segala cirikhasnya.” Maka, “otonomi daerah” dapat dimaknai sebagai hak dan kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur dan memerintah sendiri daerahnya guna memajukan daerahnya dan mewujudkan kesejahteraan rakyat di daerahnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Atau, “hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri rumah tangga daerahnya, berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku dengan mengandalkan segala sumber daya, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang dimilikinya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat di daerahnya dan kemajuan daerahnya.” UU No. 32 Tahun 2004 memahami “otonomi daerah” sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (atau dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia). Otonomi Daerah melahirkan Daerah Otonom, Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah “kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.”10 9 Kata “otonom” berasal dari bahasa Yunani, dari akar kata “autos” yang artinya adalah sendiri dan “nomos” yang artinya adalah aturan. 10 Selain istilah “Otonomi Daerah”, baiklah juga dikemukakan di sini istilah: (a) Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. (b) Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945; (c) Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. (d) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah; (e) Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan


Bab 7 Otonomi Daerah 206 Dari pengertian di atas dapat kita rumuskan tujuan dari “otonomi daerah” yaitu: (i) memberi kepercayaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus diri sendiri daerahnya sesuai cirikhasnya masing-masing dengan memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada; (ii) “mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat di daerah” oleh karena pelayanan sosial bagi seluruh rakyat langsung dapat dilakukan oleh pemerintah daerah; (iii) meringankan beban pemerintah pusat dalam berbagai tugas kepemerintahan, baik di bidang politik maupun administrasi; (iv) memberdayakan potensi daerah, baik potensi sumber daya alam maupun potensi sumber daya manusia, agar daerah bekerja professional dan dengan begitu mampu bersaing; (v) m e m b e r i k a n kesempatan kepada masyarakat di masing-masing daerah untuk berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan-keputusan politik di daerah. Agar tujuan ini dapat tercapai, maka untuk menjadi suatu daerah otonom, suatu daerah harus memenuhi syarat administratif dan syarat teknis. Syarat administratif itu meliputi: (a) adanya persetujuan DPRD dan Kepala Daerah dengan dukungan seluruh rakyat; (b) adanya rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri. Syarat teknis meliputi: (a) ketersediaan SDM dan SDA yang memadai agar daerah otonom yang terbentuk dapat dikelola secara profesional; (b) kondisi sosial-budaya yang kondusif’ (c) Luas daerah sebagai syarat fisik wilayah: Lima Kabupaten untuk sebuah Propinsi baru, Lima Kecamatan untuk kabupaten baru, Empat Kecamatan untuk sebuah Kota yang baru. 2.2 Asas-asas Otonomi Daerah11 OTDA diterapkan berdasarkan Pedoman Pemerintahan sebagaimana terdapat di dalam Pasal 20 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat. 11 Yang dimaksud dengan “asas otonomi” adalah prinsip dasar penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan Otonomi Daerah. Tiga asas: ‘desentralisasi, de-konsentrasi, dan tugas pembantuan’ hendaknya dipahami dalam konteks ciri khas Indonesia sebagai suatu “negara-kesatuan berbentuk republik dan negara hukum-demokratis’ serta sebuah “negara-bangsa dan negara kepulauan” yang sedang “membangun” di segala bidang kehidupan untuk meraih cita-cita dan tujuan nasionalnya.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 207 Daerah, yaitu: asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan asas tugas pembantuan (wedebewind). Desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi. Atau, penyerahan dan/atau pelimpahan kekuasaan atau wewenang 12 dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur sendiri urusan rumah tangga pemerintahannya berdasarkan aturan perundangundangan yang berlaku dengan mengandalkan seluruh sumber daya yang dimilikinya, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Singkatnya, penyerahan wewenang oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI. UU. No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mendefenisikan desentralisasi sebagai “penyerahan/pelimpahan kekuasaan atau wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Pelimpahan kekuasaan ini sesuai dengan amanat UUD NRI 1945, dan ditempuh untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan publik dan pemberdayaan, dan peran-serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya pada bagian “menimbang” di dalam undang-undang ini disebutkan bahwa efisiensi dan efektivitas13 penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih 12 Kekuasaan di sini terdiri dari ‘kekuasaan-politik’ dan ‘kekuasaan-administratif’. Kekuasaan politik adalah kekuasaan (power) dan wewenang (authority) untuk membuat dan memutuskan kebijakan. Sedangkan kekuasaan administrasi adalah kekuasaan dan wewenang untuk menjalankan kebijakan yang telah diambil. Kedua-duanya bertujuan untuk mempercepat laju pembangunan di daerah menuju terwujudnya kesejahteraan seluruh rakyat di daerah masing-masing. Di samping dua kekuasaan itu (politik dan administrasi) lahir juga kewenangan di bidang keuangan (fiskal) dan ekonomi, dalam arti: (a) pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengurus keuangan daerahnya sendiri; (b) pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengurus pembangunan ekonomi daerah dengan mengelola sumber daya ekonomi yang ada di daerah demi kemajuan daerah dan kesejahteraan rakyat. 13 Efisien dan efektif merupakan dua istilah yang saling bertalian dalam mengerjakan sesuatu demi hasil yang memuaskan. Efisien berarti “doing the thing right” (melakukan sesuatu dengan benar), sedangkan ‘efektif’ berarti “doing the right thing” (melakukan sesuatu yang benar). Efisiensi tampak di dalam penggunaan sumber daya secara minimum guna mendapatkan hasil yang optimum. Di sini diandaikan bahwa ‘tujuan’ kita melakukan sesuatu itu sudah benar. Untuk mencapai tujuan itu, kita berupaya mencari dan menggunakan cara-cara yang paling tepat agar biaya yang dikorbankan sesedikit mungkin dengan hasil yang sebanyak/sebesar mungkin. Sedangkan Efektivitas tampak di dalam pencapaian tujuan secara tepat dengan menetapkan cara-cara yang tepat pula. Dari situ kita mengukur keberhasilan dalam meraih tujuan yang telah ditentukan.


Bab 7 Otonomi Daerah 208 memperhatikan aspek-aspek hubungan antar lembaga pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara. Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal14 di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum. Kuasa dan wewenang itu hanya sebatas kuasa/wewenang administratif, sementara wewenang politik tetap berada di tangan Pemerintah Pusat. Dekonsentrasi ini merupakan perpaduan dari sentralisasi dan desentralisasi. Dasar hukum dekonsentrasi diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 39 Tahun 2001 tentang Pembagian Wilayah dan Wewenang yang harus dijalankan oleh badan-badan dari pemerintah tersebut. Tujuannya ialah untuk: (1) meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan; (2) mengelola pembangunan dan pelayanan terhadap kepentingan umum; (3) menjaga tetap terjalinnya komunikasi sosial kemasyarakatan dan sosial budaya dalam sistem administrasi negara; (4) mewujudkan keharmonisan dan kesatuan langkah dalam pelaksanaan pembangunan nasional; (5) menjaga keutuhan wilayah NKRI. Dekonsentrasi tampak dalam: penyelenggaraan pelayanan pajak di setiap daerah, dinas perhubungan, dinas pekerjaan umum, penyelenggaraan event, misalnya “Asian Games”. Tugas Pembantuan (medebewind) ialah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk 14 Instansi Vertikal adalah perangkat kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian yang mengurus Urusan Pemerintahan yang tidak diserahkan kepada daerah otonom dalam wilayah tertentu dalam rangka Dekonsentrasi.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 209 melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi. Dengan kata lain, tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah (pusat) kepada pemerintah daerah dan desa, serta pemerintah daerah kepada pemerintah desa guna melaksanakan tugas tertentu. Pelaksanaan tugas ini disertai pembiayaan, sarana, serta prasarana, juga sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya ataupun mempertanggungjawabkan kepada pihak yang menugaskan. Sifatnya adalah membantu pemerintah pusat atau pemerintah yang lebih tinggi kekuasaannya dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Tugas Pembantuan dapat juga diartikan sebagai “tugas pemerintah daerah untuk mengurusi urusan pemerintahan pusat atau pemerintah yang lebih tinggi, dengan kewajiban mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskannya. Demi keberhasilan tugas pembantuan, Pemerintah pusat berkewajiban memberikan suatu perencanaan umum, petunjuk-petunjuk serta biaya. Sedangkan praksis pelaksanaannya sejak dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi terhadap kegiatan tersebut dipercayakan kepada pejabat atau aparatur pemerintah pusat yang ada di daerah. Maksud dari Tugas Pembantuan ini dalam pembangunan di daerah adalah agar keterbatasan jangkauan aparatur pemerintah pusat dapat ditanggulangi melalui pembantuan dari aparatur daerah. Perlu diingat bahwa tugas-tugas pembantuan itu merupakan sebagian dari urusan pemerintahan di luar lima urusan yang bersifat mutlak yang menurut peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Kelima urusan pemerintahan yang mutlak itu adalah: (a) politik luar negeri; (b) pertahanan dan keamanan; (c) hukum dan peradilan serta penegakan HAM; (d) moneter dan fiskal nasional; dan (e) agama. Pelaksanaan tugas pembantuan itu dapat dilakukan berdasarkan Keputusan Kepala Daerah, atau Peraturan Daerah. Misalnya urusan tugas pembantuan berupa program INPRES Sekolah Dasar yang diwujudkan dalam bentuk Keputusan Kepala Daerah.


Bab 7 Otonomi Daerah 210 2.3 Prinsip-prinsip Otonomi Daerah Prinsip Otonomi Daerah yang dianut oleh Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 adalah (a) otonomi seluas-luasnya, (b) otonomi nyata, serta (c) otonomi yang bertanggung jawab. Hal ini mengandung arti bahwa kewenangan yang diberikan kepada daerah itu adalah kewenangan seluas-luasnya, kewenangan yang nyata, dan juga kewenangan yang bertanggung jawab. a. Dalam Otonomi Seluas-luasnya, daerah diberi kewenangan seluas-luasnya untuk mengurus serta mengatur semua urusan pemerintahan di daerah. Kewenangan ini mencakup semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan-keamanan, agama, moneter-fiskal, hukum atau peradilan, serta kewenangan di bidang lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Kewenangan seluas-luasnya ini juga bersifat utuh dan bulat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi. b. Dalam Otonomi Nyata, daerah diberi kewenangan guna menangani urusan pemerintahan berdasarkan tugas, kewajiban, dan wewenang yang senyatanya sudah ada serta berpotensi untuk tumbuh, berkembang dan hidup sesuai dengan potensi dan kekhasan suatu daerah. c. Dalam Otonomi yang bertanggung jawab, kewenangan yang diberikan hendaknya dipergunakan oleh daerah secara bertanggung jawab dan benar-benar sejalan dengan tujuan serta maksud pemberian otonomi, yakni untuk memberdayakan daerah, termasuk meningkatkan kesejahteraan dan keamanan masyarakat yang merupakan tujuan nasional. 2.4 Manfaat Otonomi Daerah Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, kita dapat melihat beberapa manfaat kebijakan politik Otda sebagai berikut:


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 211 1. Meningkatkan prinsip-prinsip dasar pemerintahan yang baik di mana adanya keterbukaan politik, partisipasi, toleransi 2. Meningkatkan kapasitas pemerintah daerah untuk mendistribusikan barang atau fasilitas publik secara lebih adil 3. Meningkatkan representasi politik dari berbagai kelompok sosial di masyarakat seperti agama, etnik, dan budaya 4. Memungkinkan pembuatan kebijakan publik menjadi lebih dekat dengan warga masyarakat 5. Dapat meningkatkan kreativitas, inovasi dari semua institusi pemerintahan dalam merespon kebutuhan publik, meningkatkan kualitas pembangunan wilayah, dapat memobilisasi sumber daya privat untuk investasi dalam fasilitas dan infrastruktur 3. Dasar Hukum Otonomi Daerah15 Dasar hukum OTDA terdapat di dalam: (i) UUDNRI 1945 (yang diamandemen); (ii) Undang-Undang (UU); dan (iii) Peraturan Pemerintah (PP). 3.1 UUD 1945 Pasal-pasal UUD 1945 yang dapat dirujuk sebagai dasar hukum bagi Otonomi Daerah adalah: (1) Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik”. Dengan demikian, adanya daerah yang mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri harus diletakkan dalam kerangka negara kesatuan bukan negara federasi. (2) Pasal 18, 18A dan 18B yang menegaskan prinsip-prinsip dasar pemerintahan daerah dalam rangka OTDA. 15 Untuk materi bagian Landasan Hukum Otonomi Daerah, saya mengikuti ulasan dari: (i) Parlaungan Adil Rangkuti, op.cit., hlm. 434-436. (ii) https://paulusmtangke.wordpress.com/otonomi-daerah-landasan-hukum-asas-dan-pemda/ diakses Jumat: 6 Juni 20018. Bdk.


Bab 7 Otonomi Daerah 212 Berdasarkan pasal-pasal tersebut (pasal 18, 18 A dan 18 B), maka: (a) Daerah tidak bisa disebut “staat” atau negara sehingga tidak terjadi “negara dalam negara”; (b) Wilayah Indonesia dibagi dalam provinsiprovinsi; (c) lalu provinsi dibagi dalam daerah-daerah kabupaten dan/atau kota; (d) Daerah-daerah itu (provinsi dan kabupaten/kota) adalah daerah otonom atau daerah administrasi; (e) Di tiap-tiap daerah otonom terdapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang anggota-anggotanya dipilih melalui Pemilihan Umum langsung oleh rakyat di daerah masing-masing; (f) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa serta kesatuan masyarakat hukum adat dengan hak-hak tradisionalnya. Pokok pikiran ini menjadi dasar pembentukan Daerah Istimewa dan pemerintah Desa. (g) Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan; (h) Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya (Pasal 18 ayat 5); (i) Prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan adil (Pasal 18 ayat 2). 3.2 Undang-Undang Undang-undang organik sebagai tindak lanjut pengaturan pemerintahan daerah di Indonesia berdasarkan konstitusi telah mengalami beberapa pergantian. (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1945. Adanya UU ini menunjukkan bahwa sudah sejak awal kemerdekaan, kebijakan OTDA telah mendapat perhatian. UU ini dibuat dalam semangat demokrasi menyusul proklamasi kemerdekaan yang memang menggelorakan semangat kebebasan. UU ini berisi enam pasal yang pada pokoknya memberi tempat penting bagi Komite Nasional Daerah (KND) sebagai alat perlengkapan demokrasi di daerah. Asas yang dianut oleh UU ini adalah asas otonomi formal, dalam arti: menyerahkan urusan-urusan kepada daerah-daerah tanpa secara spesifik menyebut jenis atau bidang urusannya. Ini berarti bahwa daerah bisa memilih sendiri urusannya selama tidak ditentukan bahwa urusan-


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 213 urusan tertentu diurus oleh pemerintah pusat atau diatur oleh pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi. (2) UU No. 22 Tahun 1948. UU ini disahkan untuk menyempurnakan UU sebelumnya (No. 1 Tahun 1945) namunmasih dualistik, yangmenganut asas otonomi formal dan materiil sekaligus. UU ini mengatur susunan pemerintahan daerah yang demokratis dengan dua jenis daerah otonom, yaitu: “daerah otonom biasa” dan “daerah otonom istimewa”. Dengan tiga tingkatan daerah otonom: provinsi, kabupaten/kota, dan desa. (3) UU No. 1 Tahun 1957. Di era demokrasi liberal, ketika berlaku UUDS 1950, gagasan otonomi nyata yang seluas-luasnya tidak dapat dibendung. Dirancang dan disahkanlah UU No. 1 Tahun 1957 di mana mulai dikemukakan gagasan “pemilihan kepala daerah secara langsung”, meski tidak sempat dilaksanakan karena adanya perubahan politik. Dalam UU ini, DPRD dijadikan tulang punggung otonomi daerah, sedangkan tugastugas pembantuan dilakukan oleh Dewan Pemerintah Daerah (DPD). (4) UU No. 18 Tahun 1965. Pada era demokrasi terpimpin, pasca terbitnya Dekrit 5 Juli, dan berlakuknya kembali UUD 1945, dikeluarkanlah UU Nomor 18 Tahun 1965. UU ini merupakan perwujudan Penpres No. 6 Tahun 1959 yang mempersempit otonomi daerah. Istilah “otonomi seluas-luasnya” masih dipakai sebagai asas, tetapi elaborasinya di dalam sistem pemerintahan justru merupakan pengekangan yang luar biasa atas daerah. Kepala daerah ditentukan sepenuhnya oleh pemerintah pusat dengan wewenang untuk mengawasi jalannya pemerintahan di daerah. Demikian juga wewenang untuk menangguhkan keputusan-keputusan DPRD sehingga lembaga ini praktis sama sekali tidak mempunyai peran. (5) UU No. 5 Tahun 1974. UU ini dikeluarkan di zaman Orde Baru. Pada zaman ini, “demokrasi terpimpin” a la Soekarno digantikan dengan “demokrasi Pancasila”. Politik hukum “OTDA” kembali diubah. Melalui Tap MPRS No.XXI/MPRS/1966 digariskan politik hukum otonomi daerah yang seluas-luasnya disertai perintah agar UU No. 18 Tahun 1965 diubah guna disesuaikan dengan prinsip otonomi yang dianut oleh Tap MPRS tersebut. Selanjutnya, melalui Tap MPR No.IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang, sejauh menyangkut hukum otonomi


Bab 7 Otonomi Daerah 214 daerah, penentuan asasnya diubah dari otonomi “nyata yang seluasluasnya” menjadi otonomi “nyata dan bertanggung jawab”. Ketentuan GBHN tentang politik hukum otonomi daerah ini kemudian dijabarkan di dalam UU No. 5 Tahun 1974 yang melahirkan sentralisasi kekuasaan dan menumpulkan otonomi daerah. Dengan UU yang sangat sentralistik itu terjadilah ketidakadilan politik dan ketidakadilan ekonomi. Ketdakadilan politik tampak di dalam kecenderungan UU ini yang lebih menitikberatkan efisiensi manajemen pemerintah, daripada mendorong demokratisasi sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini antara lain terlihat dari kedudukan DPRD sebagai unsur dari Pemerintah Daerah dan cara penetapan Kepala Daerah. Di sinilah ketidakadilan politik. Ketidakadilanekonomitampakdidalamkecenderunganpenyerahan urusan hanya mengenai hal yang bersifat administratif tanpa diiringi upaya yang memadai dalam pemberian insentif yang memungkinkan Pemerintah dan masyarakat Daerah Otonomi bergairah untuk melakukan upaya-upaya peningkatan ekonomi di daerahnya, sehingga Pendapatan Asli Daerah sulit meningkat. Kekayaan daerah lebih banyak disedot oleh pusat untuk kemudian dijadikan alat operasi dan tawarmenawar politik. Di sinilah terjadi ketidakadilan ekonomi. Pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional serta perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah belum dilaksanakan secara proposional sesuai dengan prinsip demokrasi, keadilan, dan pemerataan. (6) UU No. 22 Tahun 1999. Pada era reformasi, otonomi daerah kembali mendapat perhatian serius. Otonomi daerah, yang di masa Orde Baru tertuang di dalam UU No. 5 Tahun 1974, kembali dipersoalkan karena dianggap sebagai instrumen otoritarisnisme pemerintah pusat. Melalui UU No. 22 Tahun 1999, prinsip otonomi luas dalam hubungan pusat dan daerah dikembalikan. Ada tiga hal yang menjadi visi UU No. 22 Tahun 1999, yaitu: (a) membebaskan pemerintah pusat dari beban mengurus soal-soal domestik dan menyerahkannya kepada pemerintah lokal agar pemerintah lokal secara bertahap mampu memberdayakan dirinya untuk


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 215 mengurus urusan domestiknya; (b) pemerintah pusat bisa berkonsentrasi dalam masalah makro nasional; dan (c) daerah bisa lebih berdaya dan kreatif. (7) UU No. 32 Tahun 2004. UU ini menganut prinsip yang sama dengan UU No. 22 Tahun 1999, yakni otonomi luas dalam rangka demokratisasi. Prinsip otonomi luas itu mendapat landasannya di dalam pasal 18 UUD 1945 yang telah diamandemen. Dalam UU ini juga ditegaskan juga sistem pemilihan langsung kepala daerah (Pilkada). Rakyat diberi kesempatan yang luas untuk memilih sendiri kepala daerah dan wakilnya. Menurut pasal 57 ayat (1), Kepda/Wakepda dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. 3.3 Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan ini menjadi dasar hukum otonomi daerah dalam melaksanakan kewenangan di daerah. PP No. 38 Tahun 2007 ini merupakan penjabaran langsung untuk dapat melaksanakan Pasal 14 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004. 4. Good Governance, Good Government, Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan Nasional dan Daerah yang Efektif16 Pertanyaan dasar kita sebagaimana dikemukakan pada awal bab ini adalah: “bagaimana ‘politik dan kekuasaan’ itu sebaiknya ditempatkan dan dikelola sehingga negara dapat memainkan perannya seoptimal mungkin dalam upaya meraih cita-cita dan tujuan nasional? Bagaimana sebaiknya ‘politik dan kekuasaan’ itu digunakan bagi sebesar-besarnya 16 Bdk. Dini Rizki Fitriani, “Mewujudkan Good Governance melalui Pelayanan Publik dalam Era Otonomi Daerah”, dalam: WEDANA, Jurnal Pemerintahan, Politik dan Birokrasi, Vol. III Nomor 1 April 2017. Lihat juga: https://www.gdrc.org/u-gov/governance-understand.html diakses, Kamis, 12 Juli 2018.


Bab 7 Otonomi Daerah 216 kemakmuran (properity) dan ketenteraman-keamanan (security) rakyat sehingga dari sudut pandang etis-moral, politik dan kekuasaan itu dapat dipertanggungjawabkan karena menjunjung tinggi nilai-nilai dasar kemanusiaan dan bermanfaat bagi kemanusiaan?” Salah satu jawaban atas pertanyaan itu ialah desentralisasi sebagai transfer kekuasaan serta tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurus sendiri pemerintahan di daerahnya, dan Otonomi Daerah sebagai hasil desentralisasi. Sekarang desentralisasi dan otonomi daerah itu sudah dilaksanakan di seluruh tanah air. Namun kenyataan menunjukkan bahwa masih banyak daerah otonom belum berhasil dalam melaksanakan otonominya, bahkan banyak yang menimbulkan masalah. Oleh karena itu, pertanyaan kita selanjutnya ialah “bagaimana sebaiknya dan seharusnya OTDA itu dikelola agar secepatnya mencapai apa yang menjadi tujuannya?” Untuk pertanyaan ini ada empat syarat esensial yang harus dipenuhi, yaitu: (i) tata kelola pemerintahan yang baik (good governance); (ii) pemerintah yang baik (good government), (iii) reformasi birokrasi (bureaucratic reformation), dan (iv) kepemimpinan nasional dan kepemimpinan daerah yang efektif. Keempat syarat esensal ini saling mengandaikan: (i) good governance mengandaikan good government; (ii) good governance dan good government mengandaikan bureaucratic reformation; (iii) good governance, good government, dan bureaucratic reformation mengandaikan kepemimpinan nasional dan kepemimpinan daerah yang efektif, dilandasi jiwa nasionalistik – patriotistik yang optimistik untuk kemajuan bangsa dan negara, serta “kebutuhan akan prestasi” (The Need for Achievement—N-Ach). 17 Untuk memahami keempat syarat esensial di atas, di bawah ini kita uraikan keempat syarat tersebut satu per satu, yang semuanya dapat 17 Teori motivasi “Need for achievement (N-Ach)” yang dipopulerkan oleh psikolog David McClelland, merujuk pada keinginan tiap-tiap orang untuk sukses dan berprestasi signifikan dalam hidupnya, bahwasanya jika orang ingin sukses dan berprestasi, ia harus berjuang dan bekerja serius, disiplin, intens, berdaya tahan, dan jatuh-bangun dalam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaannya, termasuk yang sulit.. “Need for achievement motivates an individual to succeed in competition, and to excel in activities important to him or her”.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 217 secara singkat tampak di dalam ungkapan: “pemerintah yang baik tampak di dalam caranya ia memerintah dan caranya ia melaksanakan pemerintahan, dan ketiganya itu tampak di dalam dan tergantung pada kepemimpinan nasional dan daerah yang efektif.” 4.1 Pemerintahan yang baik (good governance) Pemerintahan (bestuurvoering, governance) adalah pelaksanaan tugas-tugas pemerintah atau tindakan atau proses memerintah, khususnya terkait petunjuk dan pengawasan dari pemerintah sebagai penguasa. Ini mengandung arti: (i) segala proses, cara, dan aktivitas memerintah; (ii) segala sesuatu yang dilakukan oleh (aparatur) negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan umum, termasuk di dalamnya ‘pelayanan publik yang prima’ bagi masyarakat, dan menegakkan kepentingan negara. Agar suatu pemerintahan disebut “baik”, maka segala urusan negara yang dikerjakannya hendaknya dilakukan secara profesional, bertanggung jawab (responsibility dan accountability), transparan (transparency), efektif-efisien (effective-eficiency), partisipatif dan antisipatif (participation-anticipation), visioner, holistik-komprehensif dengan berdasarkan kontitusi dan berpedoman pada cita-cita dan tujuan nasional. Karena dalam pelaksanaan tugas itu, pemerintah bersentuhan dengan berbagai elemen masyarakat, maka makna “pemerintahan” sebagai pelaksanaan tugas-tugas pemerintah dapat dipahami juga sebagai “interaksi antara institusi-institusi formal dengan semua institusi dalam masyarakat-warga atau masyarakat-madani (civil society).” Istilah “pemerintahan” merujuk pada suatu proses di mana elemen-elemen dalam masyarakat menggunakan kekuasaan, wewenang, dan pengaruhnya untuk membuat kebijakan-kebijakan dan keputusan-keputusan mengenai peningkatan taraf hidup sosial masyarakat dan kemajuan bangsa dan negara. 18 18 https://www.gdrc.org/u-gov/governance-understand.html diakses, Kamis, 12 Juli 2018.


Bab 7 Otonomi Daerah 218 World Bank memahami good governance sebagai “suatu penyelenggaraan manajemen pemerintahan yang solid dan bertanggung jawab sejalan dengan prinsip demokrasi, pasar yang efisien, pencegahan korupsi (kolusi, nepotisme, suap, gratifikasi), menjalankan disiplin anggaran dan penciptaan kerangka hukum dan politik (yang baik, adil dan pasti) bagi tumbuhnya aktivitas swasta.” Dalam Peraturan Pemerintah No.101 tahun 2000, good governance dirumuskan sebagai: “pemerintahan yang (dalam pelaksanaan tugaskewajibannya) mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektivitas, supremasi hukum, dan dapat diterima seluruh masyarakat.” Dalam good governance, kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur yang ditempuh dan dilakukan pemerintah dalam melaksanakan tugastugas kepemerintahan memberi kepastian bahwa segala tugas itu berjalan dengan baik. Di sini good governance tidak melulu berkaitan dengan masalah hukum dan peraturan, ia lebih merupakan suatu sikap mental, suatu budaya etis organisasi dan perilaku orang-orang yang berada dalam lembaga-lembaga negara, untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan secara terbuka (transparency), bertanggung jawab (responsibility, accountability), partisipatif (participation), efektif dan efisien. Good governance terkait erat dengan penyelenggaraan sistem pengaturan pembangunan negara yang bertanggung jawab dengan tetap memperhatikan prinsip demokrasi dan prinsip pasar yang efisien. Di dalamnya ada upaya menghindari kesalahan-kesalahan dalam alokasi dana pembangunan dan upaya mencegah terjadinya korupsi di segala bidang. Apa yang disebut sebagai ciri-ciri tata kelola pemerintahan yang baik pada umumnya sudah dikatakan di atas: partisipasi masyarakat, bertanggung jawab (akuntabel), transparansi, efektif dan efisien, dan lain-lain. Tetapi khusus untuk Indonesia, “tata kelola pemerintahan yang baik”, dapat kita lihat dalam ciri-ciri di bawah ini:


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 219 1. Berjiwa nasionalis–patriotik: Setia dan komit total dan tunggal terhadap Empat Pilar Kehidupan Berbangsa serta cita-cita dan tujuan nasional Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang berjiwa nasionalis dan patriotik. Seluruh kinerjanya mencerminkan kesetiaan dan komitmen total dan tunggal terhadap Empat Pilar Kehidupan berbangsa dan bernegara: PANCASILA, UUDNRI 1945, NKRI, dan BHINEKA TUNGGAL IKA, serta pada cita-cita dan tujuan nasional sebagaimana dirumuskan di dalam Pembukaan UUD 1945. Kesetiaan dan komitmen total itu harus menjadi JIWA, PEDOMAN, dan MOTOR PENGGERAK tata kelola penyelenggaraan pemerintahan. Tanpa itu tidak mungkin ada ada Good Governance di Indonesia. 2. Berorientasi Kepentingan Umum bukan Kepentingan Sendiri/ Kelompok Atas dasar kesetiaan dan komitmen total terhadap Empat Pilar Kehidupan berbangsa dan bernegara, seluruh orientasi kerja pemerintahan terarahkan kepada perwujudan “kepentingan umum” bangsa dan negara serta terwujudnya cita-cita dan tujuan nasional, dan tertutup semua kemungkinan untuk praktik-praktik yang terarah kepada kepentingan diri sendiri, keluarga, dan kelompok, seperti misalnya: KKN, suap dan gratifikasi, tindak diskriminasi, serta semua bentuk pengkhianatan terhadap bangsa dan negara. 3. Penegakan Nilai-nilai Demokrasi dan Supremasi Hukum. Kesetiaan dan komitmen total terhadap empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara (1) dan pengutamaan kepentingan umum bangsa dan negara, tata kelola pemerintahan yang baik, tercermin di dalam penegakan nilai-nilai dasar kemanusiaan dan nilai-nilai demokrasi: (a) kesamaan (dalam politik dan hukum), (b) kebebasan (beragama, berbicara, beropini, berkumpul dan berorganisasi) yang bertanggung jawab, (c) solidaritas – kesetiakawanan sosial, (d) transparansi – keterbukaan, (e) partisipasi masyarakat dalam proses


Bab 7 Otonomi Daerah 220 pengambilan keputusan politik, dalam mengawasi jalannya kinerja pemerintah dan mencegah tindak pidan KKN, (f) konsultasi rakyat untuk membina komunikasi dengan rakyat dan untuk menyerap aspirasi-aspirasi rakyat. Demikian juga sebagai sebuah “negara-hukum”, tata kelola pemerintahan yang baik tampak di dalam penegakan hukum dan hak asasi manusia tanpa perbedaan dan tindak diskriminasi, oleh karena kesamaan semua warga negara di depan hukum (equality before the law). Produk-produk hukum pun, secara material dan formal, harus baik, adil dan pasti.Hal ini dimaksudkan untukmenciptakan keamanan dan tertib nasional, memberikan keadilan bagi masyarakat. 4. Bekerja berdasar Visi – Misi Pembangunan yang jelas dan terukur, holistik-komperehensif VISI menunjuk pada gambaran ideal tentang tujuan yang mau diupayakan ketercapaiannya oleh suatu pemerintahan. MISI menunjuk pada apa yang harus dikerjakan oleh suatu pemerintahan untuk meraih VISI. Suatu tata kelola pemerintahan yang baik tercermin di dalam visi - misi pembangunannya yang jelas dan terukur, holistikkomprehensif mengenai semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, serta berdampak jauh ke depan. Visi–Misi pembangunan itu merupakan dasar penyusunan seluruh program kerja serta kebijakan-kebijakan publik dalam suatu periode kepemimpinan, sekaligus dasar evaluasi. 5. Bersikap empati, peka dan tanggap terhadap persoalan bangsa dan rakyat Seluruh kinerja pemerintahan dimaksudkan untuk memajukan bangsa dan negara serta meningkatkan taraf hidup rakyat. Maka seluruh proses penyelenggaraan pemerintahan tentu tidak sepi dari berbagai masalah bangsa dan rakyat. Pemerintahan yang baik harus menunjukkan empati, kepekaan serta tanggap terhadap semua persoalan bangsa dan negara, serta rakyat, serta bertindak cepat dan


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 221 cekatan untuk mengatasinya. Di situlah, pemerintah menghadirkan negara, dan rakyat merasakan manfaat dari keberadaan negara. 6. Bekerja sama yang saling menguntungkan dengan semua pihak Selain LEGISLATIF, EKSEKUTIF, YUDIKATIF sebagai lembaga-lembaga negara yang bertanggung jawab penuh terhadap nasib bangsa dan negara, negara juga dikelola bersama oleh tiga kekuatan, yaitu: PEMERINTAH, DUNIA USAHA, dan MASYARAKAT MADANI (civil society, LSM). Tata kelola pemerintahan yang baik harus mengupayakan sekuat tenaga hubungan kerja sama yang kondusif dan konstruktif baik antara eksekutif, legislatif dan yudikatif berdasarkan prinsip check and ballances demi kemajuan bangsa dan negara, maupun dengan dunia usaha (dalam dan luar negeri) dan masyarakat warga dalam segala bidang, terutama politik, ekonomi, sosial-budaya. Pelayanan yang cepat, murah, dan bermartabat terhadap semua lembaga itu merupakan kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi. 7. Pemanfaatan dan Pengalokasian Sumber Daya: SDM, SDA, dan SDB Negara membangun berdasar sumber daya yang dimilikinya, entah sumber daya manusia (rakyat dan aparatur negara), sumber daya alam (kekayaan alam Indonesia di daerat, laut dan udara), maupun sumber daya buatan (teknologi). Pemerintahan yang baik tampak di dalam kemampuannya memanfaatkan dan menempatkan seluruh sumber daya yang dimilikinya bagi kemajuan bangsa dan negara di semua bidang kehidupan. 8. Pertanggungjawaban yang jelas Lembaga-lembaganegara:legislatif,eksekutifdanyudikatif,khususnya eksekutif sebagai pelaksana tugas kepemerintahan merupakan penanggung jawab utama dari kelangsungan dan kemajuan bangsa dan negara. Maka ‘pertanggungjawaban’ atas kinerja pemerintahan merupakan suatu tuntutan konstitusional yang harus diberikan. Pemerintahan yang baik tercermin di dalam rutinitas memberikan laporan pertanggungjawaban yang jelas kepada seluruh rakyat,


Bab 7 Otonomi Daerah 222 dalam hal ini kepada DPR sebagai wakil rakyat untuk selanjutnya dievaluasi oleh rakyat atau DPR selaras dengan tugasnya “mengawasi dan meminta pertanggungjawaban pemerintah (eksekutif). 4.1.1 Pemerintah yang baik (good government) 19 Pemerintah itu pada hakikatnya adalah organ/alat atau aparatur negara atau penguasa suatu negara yang menjalankan pemerintahan. Dalam arti luas, “pemerintah” adalah semua alat kelengkapan negara: eksekutif, legislatif, dan yudikatif, yang menjalankan pemerintahan berdasarkan suatu sistem (sistem pemerintahan: Parlementer atau Presidensial).20 Sedangkan dalam arti sempit, “pemerintah” adalah kekuasaan eksekutif dari pusat hingga daerah: Presiden bersama menterimenterinya, Gubernur, Bupapti/Walikota beserta jajaran pimpinan di semua Satuan Kelengkapan Pemerintah Daerah (SKPD). Mereka memiliki kebijakan tersendiri (visi dan misi) untuk mengelola manajemen pemerintahan, serta mengatur jalannya sistem pemerintahan berdasarkan konstitusi. Seturut pengertian dari Kamus Umum Bahasa Indonesia tentang “pemerintah”,21 kita dapat menjelaskan istilah “pemerintah” itu sebagai: sekelompok orang (aparat negara) yang secara bersama-sama memikul tanggung jawab terbatas dalam menggunakan kekuasaannya untuk “memerintah” (seluruh rakyat) di sebuah negara. Atau, organ/alat atau aparat yang menjalankan pemerintahan: segenap aparatur negara beserta lembaga-lembaga kenegaraan yang bertugas melakukan segala sesuatu di berbagai bidang kehidupan bangsa dan negara untuk mencapai 19 Istilah “pemerintah” yang dalam bahasa Inggris “government” berasal dari bahasa Latin, dari kata kerja “gubernare” artinya “mengemudi” (to steer), menguasai, memerintah (to rule), dan kata benda “gubernaculum” yang berarti “kemudi kapal” (ship rudder) atau dayung kemudi (steering oar). Dan dari kata Yunani “kubernan” (to steer) yang berarti nakhoda kapal, dan “menatap ke depan”. Pemerintah dianalogikan sebagai nakhoda kapal, yang mengemudi kapalnya sambil menatap ke depan menuju tujuan. Pemerintah menyusun aturan-aturan kelakuan (hukum), menentukan berbagai kebijakan, memperkirakan arah perkembangan masyarakat pada masa yang akan datang, dan mempersiapkan langkah-langkah kebijakan untuk kebaikan umum masyarakat, serta mengelola dan mengarahkan masyarakat ke tujuan yang ditetapkan.Lihat:http://www.wikiwand.com/en/Gubernaculum_(classical); http://wordinfo. info/unit/933/s:a%20steersman diakses, Kamis 12 Juli 2018. 20 Sistem pemerintahan adalah sistem bagaimana mekanisme pemerintahan negara dijalankan oleh Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan Negara. Atau, mekanisme bekerjanya lembaga eksekutif yang dipimpin oleh presiden baik selaku kepala pemerintahan maupun sebagai kepala negara. Indonesia, setelah amandemen UUD 1945, menganut sistem presidensial atau disebut juga dengan sistem kongresional. Dalam sistem ini kekuasan eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) dipilih melalui pemilihan umum (pemilu) dan terpisah dengan kekuasan legislatif dan yudikatif. 21 Lihat entri “perintah” dalam KBBI, hlm. 859.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 223 tujuan negara. Atau, sekelompok orang yang mempunyai wewenang dan kekuasaan untuk melaksanakan segala sesuatu yang bermanfaat bagi pencapaian cita-cita dan tujuan nasional. Itulah sebabnya, orang-orang ini biasanya dikenal sebagai “penguasa suatu negara atau bagian negara.” Istilah “penguasa” dan “kekuasaan” mengandung arti bahwa istilah “pemerintah” itu mengandung makna “jabatan” (office), “wewenang” (authority) atau fungsi dari memerintah (function of governing). Orang-orang yang disebut “pemerintah” ini menjalankan fungsi kepemerintahannya dengan dan dalam suatu sistem, yang lazim kita kenal sebagai “sistem pemerintahan), entah parlementer atau presidensial.Maka “pemerintah”dapatdiartikanjuga sebagai: “sistem menjalankan wewenang dan kekuasaan untuk mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu negara atau bagian-bagiannya,” guna mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional. Ada 2 (dua) fungsi utama aparat pemerintah dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Pertama: fungsi memerintah (besturen functie)sebagai fungsi pokok dan utama yang biasanya diistilahkan dengan “tupoksi” (tugas pokok dan fungsi). Kedua: fungsi pelayanan (verzorgen functie), sebagai fungsi penunjang yang bersifat relatif dan ditujukan bagi terwujudnya kesejahteraan warga negaranya melalui organ pemerintah. Pelayanan merupakan salah satu produk organisasi berupa jasa. Namun demikian, fungsi pelayanan ini memiliki nilai strategis karena berpotensi menentukan kelanggengan, perkembangan dan keunggulan bersaing organisasi di masa yang akan datang. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa “pemerintah yang baik” (good government) adalah “pemerintah yang berkarater unggul” sebagaimana tampak di dalam sikap-sikap kemanusiaannya dan sikap-sikap kenegarawanannya: nasionalispatriotistik, profesional, bertanggung jawab, transparan, responsif, antisipatif dan partisipatif, efektif-efisien. Semuanya demi tercapainya cita-cita dan tujuan nasional. Pemerintah disebut “baik” kalau ia menguasai dan mengurus (negara, daerah, dsb) dengan baik, atau kalau ia menggunakan ‘kekuasaan dan


Bab 7 Otonomi Daerah 224 wewenang’ yang dipercayakan rakyat kepadanya bagi kemajuan bangsa dan negara serta kesejahteraan hidup rakyat. Kekuasaan dan wewenangnya bukan untuk menguasai dan merajai, melainkan untuk melayani, mengayomi, melindungi, serta mendukung kehidupan masyarakat. Di sini tindakan sewenang-wenang tidak diperkenankan untuk dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyat sebagai pihak “yang diperintah”. 4.1.2 Reformasi Birokrasi Masalah mendasar yang meruntuhkan Orde Baru dan melahirkan Orde Reformasi terletak pada masalah kualitas (tata kelola) pemerintahan dan pemerintah itu sendiri yang selama masa Orde Baru dinilai sebagai “buruk” (bad). Keburukan tata kelola pemerintahan dan pemerintah di zaman itu memberi peluang lebar bagi praktik KKN, suap dan gratifikasi dari pusat hingga daerah, yang mengakibatkan lemahnya fundamental ekonomi Indonesia dan krisis moneter di tahun 1997/98. Oleh karena itu, Good Governance dan Good Government sungguh merupakan tuntutan logis dan real serta kebutuhan mendesak di Orde Reformasi, dan reformasi birokrasi menjadi bagian penting dalam mewujudkan good governance (tata kelola pemerintahan yang baik). Titik berat good governance itu ada pada upaya peningkatan kualitas pelayanan publik, serta pemberantasan korupsi secara terarah, sistematis, dan terpadu. Selain latar belakang historis di atas, good governance dan good government serta reformasi birokrasi juga dituntut oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi serta perubahan lingkungan strategis, dinamika perkembangan dunia dan tuntutan masyarakat. Apa yang sekarang sedang terjadi dengan reformasi birokrasi di Indonesia sesungguhnya merupakan langkah-langkah yang bersifat mendasar, komprehensif, dan sistematik, yang dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan, (tidak radikal dan revolusioner) sehingga tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan efektif dan efisien.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 225 Untuk mencapai good governance itu perlu dilakukan suatu “gerakan reformasi” disertai suatu “revolusi menal” langsung mengena para birokrat yang bekerja di biro-biro pemerintahan atau lembaga-lembaga negara agar mereka me-reform diri dan menjadi birokrat-birokrat handal yang reformis, profesional, transparan, akuntabel, efektif-efisien, kritiskreatif, inovatif, dan yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman dan tuntutan masyarakat. Gerakan inilah yang kita sebut “reformasibirokrasi”. Apa itu? Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap mentalitas para birokrat (sumber daya manusia aparatur negara) di berbagai lembaga negara. Caranya ialah dengan menerapkan suatu sistem penyelenggaraan pemerintahan yang credibel, terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business prosess), agar tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang dicita-citakan dapat terwujud. Dengan kata lain, reformasi birokrasi adalah langkah strategis untuk membangun aparatur negara yang profesional, lebih berdayaguna dan berhasil-guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Ia menjadi indikator terwujudnya good governance dan good government oleh karena terpenuhinya prinsipprinsip: (i) partisipasi masyarakat; (ii) tegaknya supremasi hukum, (iii) transparansi, (iv) kepedulian kepada stakeholders, (v) berorientasi pada konsensus, (vi) kesetaraan, (vii) efektivitas dan efisiensi,(viii) akuntabilitas, dan (ix) visi strategis. Penerapan konsep good governance menuntut adanya perubahan mendasar praktik penyelenggaraan pemerintahan secara struktural, fungsional, maupun kultural. Perubahan paradigma dari government (pemerintah) ke governance (tata kelola pemerintahan) menuntut perubahan mind-set (pola pikir) dan orientasi birokrasi yang semula melayani kepentingan kekuasaan menjadi peningkatan kualitas pelayanan publik atau melayani masyarakat. Tujuan reformasi birokrasi adalah menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional, berkarakter unggul, berintegritas, berkinerja tinggi,


Bab 7 Otonomi Daerah 226 bebas dan bersih dari praktik KKN, mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara. Upaya ini diarahkan kepada “terwujudnya suatu pemerintahan kelas dunia” dengan ciri-ciri: profesional, berintegritas, mampu memberi suatu pelayanan publik yang prima kepada masyarakat, mampu mengelola pemerintahan yang demokratis. VISI “pemerintahan kelas dunia” di atas hendak diwujudkan melalui MISI: 1. Membentuk/menyempurnakan peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. 2. Melakukan penataan dan penguatan organisasi, tatalaksana, manajemen sumber daya manusia aparatur, pengawasan, akuntabilitas, kualitas pelayanan publik, mindset, dan cultural set. 3. Mengembangkan mekanisme kontrol yang efektif. 4. Mengelola sengketa administrasi secara efektif dan efisien. Untuk itu, berbagai permasalahan yang menghambat dan yang mengakibatkan sistem penyelenggaraan pemerintahan berjalan tidak semestinya dan tidak baik harus dieliminir, untuk kemudian diganti dengan cara yang baru, yang lebih efektif dan efisien. Titik tolaknya dimulai dari upaya-upaya ‘mrngubah mentalitas dan perilaku dari aparatur negara di berbagai lembaga negara.’ Mengapa mulai dari “aparatur negara?” Karena: (i) senyatanya masih banyak birokrat yang bersikap arogan dan menganggap rakyat sebagai pihak yang membutuhkan pelayanannya, (ii) masih terjadi banyak praktik KKN, dan (iii) dan mentalitas dan ethos kerja birokrat yang masih jauh dari harapan. Oleh karen itu, reformasi birokrasi demi pelayanan publik yang baik, cepat, murah dan bermartabat menjadi titik strategis untuk memulai pengembangan good governance. Sebab, pertama, pelayanan publik menjadi ranah interaksi antara negara yang diwakili pemerintah dan lembaga-lembaga non-pemerintah (masyarakat sipil dan mekanisme pasar). Dan, kedua, berbagai aspek good governance dapat diartikulasikan


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 227 secara lebih mudah pada ranah pelayanan publik, sekaligus lebih mudah dinilai kinerjanya. Pelayanan publik dewasa ini menjadi isu yang kian strategis karena memiliki implikasi yang luas pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Perbaikan kinerja pelayanan birokrasi di bidang ekonomi misalnya, akan mendorong terciptanya iklim kondusif bagi kegiatan usaha dan investasi, yang pada gilirannya akan membuka kesempatan kerja lebih luas. Secara politis, perbaikan kinerja pelayanan publi dari birokrasi akan berdampak pada tumbuhnya kepercayaan (trust), dan legitimasi terhadap pemerintah sehingga mendorong partisipasi masyarakat. Pelayanan publik yang berkualitas merupakan salah satu indikator terjadinya perubahan penyelenggaraan pemerintahan yang berpihak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk melaksanakan fungsi birokrasi secara tepat, cepat, dan konsisten guna mewujudkan birokrasi yang akuntabel dan baik, maka pemerintah telah merumuskan sebuah peraturan untuk menjadi landasan dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia, yaitu Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2011 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025.22 Diharapkan dan diupayakan agar dengan Perpres ini reformasi birokrasi menjadi tulang punggung dalam perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara. Good governance sering diartikan sebagai indicator terealisasikannya reformasi birokrasi dengan terpenuhinya prinsip-prinsip, partisipasi masyarakat tegaknya supremasi hukum, transparansi, kepedulian kepada stakeholders, berorientasi pada konsensus, kesetaraan, efektivitas dan efisiensi, akuntabilitas, dan visi strategis. Penerapan konsep good governance menuntut adanya perubahan mendasar praktik penyelenggaraan pemerintahan secara struktural, fungsional, maupun kultural.Perubahan paradigma dari government (pemerintah) ke governance (tata kelola pemerintahan) menuntut perubahan mind-set (pola berpikir) dan orientasi birokrasi yang semula melayani kepentingan kekuasaan menjadi peningkatankualitas pelayanan publik atau melayani masyarakat. 22 Lihat Peraturan Presiden nomor 80 tahun 2011 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Indonesia 2010-2025.


Bab 7 Otonomi Daerah 228 Untuk mencapai visi dan misi serta tujuan dari reformasi birokrasi tersebut, maka ditetapkan 8 (delapan) area perubahan sekaligus hasil yang hendak dicapai: 1. Organisasi: organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukuran. 2. Tata laksana: sistem, proses, dan prosedur kerja yang jelas, efektif – efisien, terukur dan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance. 3. Sumber daya manusia aparatur: SDM aparatur yang berintegritas, netral, kompeten, capable, profesional, berkinerja tinggi dan sejahtera. 4. Peraturan perundang-undangan: regulasi yang lebih tertib, tidak tumpang tindih, dan kondusif. 5. Pengawasan: meningkatnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. 6. Akuntabilitas: meningkatnya kapasaitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. 7. Pelayanan publik: pelayanan prima sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat. 8. Budaya kerja aparatur: birokrasi dengan integritas dan kinerja yang tinggi. Dan dalam rangka mempercepat pencapaian hasil area perubahan reformasi birokrasi tersebut, ditetapkanlah Sembilan Program Percepatan Reformasi Birokrasi yang digunakan oleh seluruh instansi pemerintah untuk mendukung pelaksanaan reformasi birokrasi di instansi masingmasing baik Kementerian, Lembaga dan Pemerintah Daerah. Sembilan Program itu adalah sebagai berikut: 1. Penataan Struktur Organisasi Pemerintah 2. Penataan Jumlah dan Distribusi PNS 3. Pengembangan Sistem Seleksi dan Promosi Secara Terbuka 4. Peningkatan Profesionalisasi PNS 5. Pengembangan Sistem Pemerintahan Elektronik yang terintegrasi


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 229 6. Peningkatan Pelayanan Publik 7. Peningkatan Integritas dan Akuntabilitas Kinerja Aparatur 8. Peningkatan Kesejahteraan Pegawai Negeri 9. Peningkatan Efisiensi Belanja Aparatur Tingkat keberhasilan pelaksanaan program percepatan dan reformasi birokrasi tersebut ditentukan berdasarkan tiga indikator utama, yakni: (i) Indeks Persepsi Korupsi, (ii) Peringkat Kemudahan Berusaha dan (iii) Jumlah Instansi Pemerintah yang Akuntabel. 4.1.3 Kepemimpinan Nasional dan Kepemimpinan Daerah Terwujudnya good governance dan good government, juga reformasi birokrasi mengandaikan ‘kepemimpinan nasional’ dan ‘kepemimpinan daerah’ yang baik juga.23 Tidak bisa tidak! Negara membutuhkan kepemimpinan nasional yang kuat dan berwibawa. Memang apa yang disebut “kepemimpinan nasional”, juga “kepemimpinan daerah”, pada hakikatnya adalah suatu kepemimpinan kolektif negara yang bekerja sebagai satu kesatuan. Namun tanpa mengingkari makna kepemimpinan kolektif bangsa di atas, di sini apa yang dimaksudkan dengan ‘kepemimpinan nasional’ dan ‘kepemimpinan daerah’ lebih terarahkan kepada figur Presiden dan Wakil Presiden sebagai pemimpin nasional, serta Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota sebagai pemimpin daerah. Mereka harus mampu dengan cara apa pun mempengaruhi seluruh jajaran birokrat dari pusat hingga daerah, dan seluruh komponen bangsa untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, sehingga pada akhirnya dalam suatu proses bertahap berhasil mencapai cita-cita dan tujuan nasional dan daerah otonom. Mereka harus mampu “mempengaruhi seluruh jajaran aparatur negara” dengan keteladanan hidup dan kerjanya memberi 23 “Kepemimpinan nasional” dan “kepemimpinan daerah” di sini lebih terarahkan kepada: Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan wakil Walikota. Kepemimpinan mereka yang baik berpengaruh besar terhadap kepemimpinan kolektif bangsa dan negara yang disandang oleh pimpinan dari semua kementerian dan lembaga negara, juga terhadap seluruh rakyat. Contoh konkret yang dapat dengan terang-benderang membuktikan kebenaran pentingnya “kepemimpinan yang baik” dapat dilihat dalam kepemimpinan (mantan) Gubernur dan Wakil Gubernur DKI: Basuki Tjahaya Purnama - Djarot Syaiful Hidayat, dan penggantinya: Gubernur Anies Baswedan dan Wakilnya: Sandiago Uno.


Bab 7 Otonomi Daerah 230 atau menunjukkan tujuan, arah, dan motivasi sambil bekerja bersama mereka untuk melaksanakan tugas-tugas kenegaraan, sambil tahap demi tahap me-reformasi diri dan me-reformasi tata kelola pemerintahan.”24 Tanpa keteladanan mereka, reformasi birokrasi akan berjalan tersendatsendat, dan hanya akan menjadi slogan kosong. Diharapkan sekali bahwa mereka sungguh-sungguh menggunakan peluang, kuasa dan wewenang mereka untuk mengatasi segala hambatan dan gangguan terhadap jalannya pemerintahan pada umumnya, dan program good governance, good goverment, dan reformasi birokrasi pada khususnya, sehingga pada akhirnya pembangunan nasional dan pembangunan daerah berhasil. 5. Rangkuman Otonomi Daerah dengan asas-asas: desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan telah menjadi suatu produk politik andalan Orde Reformasi dalam kerangka mempercepat pencapaian cita-cita dan tujuan nasional. Otonomi Daerah merupakan bagian penting dari perkembangan dan kemajuan demokrasi di Indonesia. Olehnya terbuka lebar pintu partisipasi rakyat di masing-masing daerah dalam proses pembuatan dan pengambilan keputusan-keputusan politik, termasuk kebijakankebijakan pembangunan daerah yang sangat fundamental, Akan lahir pula dari padanya kebijakan-kebijakan pembangungan yang responsif terhadap kepentingan dan kebutuhan warga negara sehingga percepatan peningkatan taraf hidup rakyat sangat dimungkinkan. Dengan Otonomi Daerah, pemerintah daerah ditantang untuk mempercepat laju pembangunan di daerah dan rakyat langsung dapat menikmati manfaat kewarganegaraannya oleh pelayanan publik yang diberikan oleh putra/putri daerahnya sendiri. Ada kemajuan signifikan di hampir seluruh daerah otonom, meskipun di sana-sini masih tampak kebelum-berhasilan. Untuk itu, reformasi birokrasi kurang-lebih merupakan suatu gerakan yang tepat untuk memacu pembaharuan di 24 Bdk, Prof. Dr. H. Soebagio Sastrodiningrat, MPA, Jakarta: 1999, hlm.14; The Center for Army Leadership, 2004, hlm. 5-9.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 231 semua birokrasi pemerintahan, hingga akhirnya dapat terwujudlah suatu tata kelola pemerintahan yang baik dan ideal. Soal-soal Pendalaman 1. Penerapan asas desentralisasi yang melahirkan otonomi daerah, selain didasarkan pada UUD 1945 (hasil amandemen) Pasal 18, juga memperhitungkan perkembangan “lingkungan strategis”. Apa itu “lingkungan strategis”? 2. Ada tiga asas yang mendasari penerapan kebijakan Otonomi Daerah, yaitu: desentralisasi, dekonsentrasi dann tugas pembantuan. Terangkanlah kektiga asas itu! 3. Apa saja yang menjadi kelemahan sistem pemerintahan yang bersifat ‘sentralistik’ dan ‘desentralistik’? Jelaskanlah! 4. Dalam Otonomi Daerah terjadi pelimpahan sebagian besar kekuasaan pemerintahan kepada pemerintah daerah. Kekuasaan apa saja yang tidak diserahkan oleh Pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah? Mengapa? Terangkanlah! 5. Era Otonomi Daerah diwarnai dengan kebijakan “good governance”. Bagaimana caranya good governance itu bisa terwujud? Terangkanlah secara singkat!


Bab 8 Geopolitik Indonesia: Wawasan Nusantara Setiap bangsa hidup dan berdiam diwilayahnya. Wilayah suatu negara merupakan wadah atau ruang hidup dalammenjalankan segala aktivitasnya. Bangsa dan warga negara yang mendiami wilayah negara harus memiliki kesadaran akan ruang hidupnya. Karena wilayah dengan segala kekayaan alam yang terkandung didalamnya akan memberi kesejahteraan. Oleh sebab itu ruang hidup dengan segala dinamikanya harusselalu menjadi perhatian. Melalui kesadaran itulah mahasiswa selaku generasi muda senantiasa harus memperhatikan fenomena atau gejala atau perisrtiwa yang terjadi pada wilayahnya terutama yang dapat mengancam keberadaannya sehingga upaya menjaga serta mengembangkannya menjadi suatu kewajiban agar bangsa dan negara tetap eksis. Tanpa kesadaran akan ruang hidup akan menimbulkan disorientasi yang akan membahayakan kelangsungan hidup suatu bangsa dan negara. Bangsa Indonesia memiliki pedoman dalam memandang ruang hidup, yakni Wawasan Nusantara. Wawasan Nusantara sebagai geopolitik bangsa Indonesia yang secara harfiah, wawasan nusantara berarti konsep kepulauan; secara kontekstual istilah ini lebih tepat diterjemahkan sebagai “visi kepulauan Indonesia”. Wawasan nusantara adalah cara bagi Indonesia untuk memandang dirinya sendiri (secara geografis) sebagai satu kesatuan antara ideologi, politik, ekonomi, social-budaya, serta


Bab 8 Geopolitik Indonesia: Wawasan Nusantara 234 masalah keamanan dan pertahanan. Dengan berlandasakan Wawasan Nusantara akan menjadikan bangsa Indonesia tetap utuh dan bersatu. Kesatuan dan persatuan merupakan kepentingan nasional yang paling hakiki. Mengacu pada kepentingan nasional atau selalu memperhatikan kepentingan nasionalnya maka bangsa Indonesia akan dapat meraih citacita dan tujuan nasional sebagaimana yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Wawasan Nusantara sebagai geopolitik bangsa Indonesia didasarkan pada nilai- nilai Pancasila yang rumusannya tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945. Dengan berlandaskan Pancasila menjadikan Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang cinta damai, tetapi lebih cinta kemerdeklaan. Maknanya Bangsa Indonesia menolak segala bentuk penjajahan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. 1. Konsep Geopolitik Frederic Ratzel (1844- 1904) berpandangan bahwa geopolitik sebagai ilmu bumi politik (Political Geogrephy). Istilah geopolitik kemudian dikembangkan dan diperluas oleh sarjaan ilmu politik Swedia, Rudolph Kjellen (1864-1922) dan Karl Haushofer (1869-1964) dari Jerman menjadi Geographical Politic dan disingkat Geopolitik. Perbedaan dari dua istilah di atas terletakpada titik perhatian dan tekanannya, apakah padabidang geografi ataukah pada politik. Ilmu bumi politik (Political Geography) mempelajari fenomena geografi dari aspek politik, sedangkan geopolitik mempelajari fenomena politik dari aspek geography. Geopolitik menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan kebijakan nasional untuk mewujudkan tujuan tertentu. Prinsip-prinsip dalam geopolitik telah dipraktekan sejak abad XIX, dimana setiap kebijakannya dikaitkan dengan masalah-masalah geografi wilayah yang menjadi tempat tinggal suatu bangsa. Secara etimologi Geopolitik berasal dari kata geo (bahasa Yunani) yang berarti bumi, tanah atau negara yang menjadi wilayah hidup.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 235 Sedangkan kata politik berkaitan dengan pemerintahan, urusan sipil, atau pemerintahan. Bila diambil   dari bahasa Latin politicus artinya warga negara atau negara1 . Kata politik juga diperkenalkan oleh Aristoteles dalam tulisan yang berjudul political animal yang dalam bahasa Yunani disebut politikon zōon . Binatang yang dimaksudkan untuk tinggal di kota. Intinya para politicus yatu warga negara dan negara mendiami sebuah kota dijaman itu atau negara dengan tujuan agar warga negaranya menjalankan kehidupan yang layak. Dari uraian diatas geopolitik dapat dimaknai sebagai bumi atau ruang dimana mereka dapat mewujudkan kepentingan bersama yang selanjutnya dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan negara yang setiap kebijakan yang dikaitkan dengan masalah-masalah geografi wilayah atau r u a n g h i d u p suatu bangsa . 2. Teori-Teori Geopolitik Geopolitik sebagai studi yang mampu menjelaskan dan menganalisis hubungan antara aspek geografi dengan politik suatu negara dengan melihat konsep struggle (perjuangan) , people (orang) , time dan space (ruang dan waktu) sebagai dasar pemikirannya. Guna mendalami pemahan terhadap konsep geopolitik secara global, berikut ini adalah teori-teori mengenai geopolitik yang pernah ada di dunia; 2.1 Teori Geopolitik Frederich Ratzel Frederich Ratzel (1844–1904) berpendapat bahwa negara adalah organisme ruang (spatial organism) yang tumbuh seperti organisme hidup layaknya. Negera identik dengan ruang yang ditempati oleh sekelompok masyarakat (bangsa). Pertumbuhan negara mirip dengan pertumbuhan organisme yang memerlukan ruang hidup (lebensraum) agar dapat tumbuh dan berkembang . Semakin luas ruang hidup maka negara akan semakin dapat bertahan, kuat, dan maju. Oleh karena itu, jika 1 https://www.etymonline.com/word/right, diakses tanggal 23 Oktober 2021


Bab 8 Geopolitik Indonesia: Wawasan Nusantara 236 negara ingin tetap hidup dan berkembang membutuhkan ekspansi (perluasan wilayah sebagai ruang hidup). Teori ini dikenal sebagai teori organisme atau teori biologis. 2.2 Teori Geopolitik Rudolf Kjellen Rudolf Kjellen (1964–1922) melanjutkan ajaran Ratzel, tentang teori organisme. Berbeda dengan Ratzel yang menyatakan negara seperti organisme, maka Rudolf Kjellen menyatakan dengan tegas bahwa negara adalah suatu organisme. Negara adalah satuan dan sistem politik yang menyeluruh yang meliputi bidang geopolitik, ekonomi politik, demo politik, sosial politik, dan krato politik. Negara sebagai organisme yang hidup dan memiliki intelektual harus mampu mempertahankan dan mengembangkan dirinya dengan melakukan ekspansi maka lahirlah paham ekspansionisme dengan pemikirah bahwa batas negara hanya bersifat sementara karena suatu waktu bisa diperluas. Untuk memperlaus negara diperlukan strategi, yaitu membangun kekuatan darat yang dilanjutkan kekuatan laut. Pandangan Ratzel dan Kjellen hampir sama yaitu negara memerlukan ruang hidup (lebensraum), serta mengenal proses lahir, tumbuh, mempertahankan hidup, menyusut dan mati. Mereka juga mengajukan paham ekspansionisme yang kemudian melahirkan ajaran adu kekuatan (Power Politics atau Theory of Power). 2.3 Teori Geopolitik Karl Haushofer Karl Haushofer (1896–1946) melanjutkan pandangan Ratzel dan Kjellen terutama pandangan tentang lebensraum dan paham ekspansionisme. Jika jumlah penduduk suatu wilayah negara semakin banyak sehingga tidak sebanding lagi dengan luas wilayah, maka negara tersebut harus berupaya memperluas wilayahnya sebagai ruang hidup (lebensraum) yang diperuntukan bagi warga negaranya. Untuk mencapai maksud tersebut, negara harus mengusahakan antara lain :


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 237 a. Autarki, yaitu cita-cita untuk memenuhi kebutuhan sendiri tanpa bergantung pada negara lain. Hal ini dimungkinkan apabila wilayah negara cukup luas sehingga mampumemenuhi kebutuhan itu. Untuk itu politik ekspansi dijalankan. Berdasarkan asumsi demikian, Karl Haushofer membagi dunia menjadi beberapa wilayah (region) yang hanya dikuasai oleh bangsa-bangsa yang dikatakan unggul, seperti Amerika Serikat, Jerman, Rusia, Inggris, dan Jepang. b. Pembagian wilayah-wilayah yang perlu dikuasai (pan-regional), yaitu: 1. Pan Amerika sebagai “perserikatan wilayah” dengan Amerika Serikat sebagai pemimpinnya. 2. Pan Asia Timur, mencakup bagian timur Benua Asia, Australia, dan wilayah kepulauan di mana Jepang sebagai penguasa. 3. Pan Rusia India, yang mencakup wilayah Asia Barat, Eropa Timur, dan Rusia yang dikuasai Rusia. 4. Pan Eropa Afrika, mencakup Eropa Barat – tidak termasuk Inggris dan Rusia – dikuasai oleh Jerman. Teori Geopolitik Karl Haushofer ini dipraktikkan oleh Nazi Jerman di bawah pimpinan Hittler sehingga menimbulkan Perang Dunia II. Pemikiran Karl Haushofer mewarnai geopolitik Nazi Jerman dibawah pimpinan Hitler. Pemikiran Haushofer disamping berisi paham ekspansionisme juga mengandung ajaran rasialisme yang menyatakan bahwa ras Jerman adalah ras paling unggul sehingga harus menguasai dunia. Pandangan semacam ini juga berkembang di dunia, Jepang menamakannya ajaran Hako Ichiu yang dilandasi oleh semangat militerisme dan fasisme. c. Pokok-pokok Pemikiran Haushofer adalah sebagai berikut: 1. Suatu bangsa dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya m e n g i k u t i hukum alam. Hanya bangsa yang unggul a ta u berkualitas saja yang dapat bertahan hidup dan terus berkembang. Pemikiran ini jelas menjurus kearah rasialisme.


Bab 8 Geopolitik Indonesia: Wawasan Nusantara 238 2. Kekuasaan imperium daratan yang kompak akan dapatmengejar kekuasaan imperium maritime untuk menguasai pengawasan di lautan. 3. Beberapa Negara besar di dunia akan timbul dan akan menguasai Eropa, Afrika, dan Asia Barat (yakni Jerman dan Italia). Sementara Jepang akan menguasai wilayah Asia Timur Raya. 4. Geopolitik dirumuskan sebagai ba ta s ruang hidup bangsa dengan kekuasaan ekonomi dan social yang rasialmengharuskan pembagian baru kekayaan alam dunia. Geopolitik adalah landasan ilmiah bagi tindakan politik untuk memperjuangkan kelangsungan hidupnya dan mendapatkan ruang hidupnya. Berdasarkan teori yang bersifat ekspansionisme ini maka wilayah dunia dibagi-bagi menjadi region-region yang akan dikuasai oleh bangsa- bangsa yang unggul seperti Amerika Serikat, Jerman, Rusia, Inggris, dan Jepang. 2.4 Teori Geopolitik Halford Mackinder Halford Mackinder (1861–1947) mempunyai konsepsi geopolitik yang lebih strategik, yaitu dengan penguasaan “daerah-daerah jantung dunia”, sehingga pendapatnya dikenal dengan teori “Daerah Jantung”. Barang siapa menguasai “Daerah Jantung” (Eropa Timur dan Rusia) maka ia akan menguasai pulau dunia (Eropa, Asia, dan Afrika) yang pada akhirnya akan menguasai dunia. Untuk menguasai dunia dengan menguasai daerah jantung terlebih dahulu dibutuhkan kekuatan darat yang besar sebagai prasyaratnya. Berdasarkan hal ini muncullah konsep Wawasan Benua atau konsep kekuatan di darat. Berdasarkan pemikiran tersebut muncullah konsep Wawasan Benua atau konsep kekuatan di darat.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 239 2.4.5 Teori Geopolitik Alfred Thayer Mahan Alfred Thayer Mahan (1840–1914) mengembangkan lebih lanjut konsepsi geopolitik dengan memperhatikan perlunya memanfaatkan serta mempertahankan sumber daya laut, termasuk akses laut. Sehingga m e m e r l u k a n pembangunan armada laut dan juga kekuatan maritime. Berdasarkan pemikiran tersebut maka muncul-lah konsep Wawasan Bahari atau konsep kekuatan di laut. Barang siapa menguasai lautan akan menguasai kekayaan dunia. 2.4.6 Teori Geopolitik Guilio Douhet, William Mitchel Guilio Douhet (1869–1930) dan William Mitchel (1878–1939)mempunyai pendapat lain dibandingkan dengan para pendahulunya. Keduanya melihat kekuatan dirgantara lebih berperan dalam memenangkan peperangan melawan musuh. Untuk itu mereka berkesimpulan bahwa membangun armada atau angkatan udara lebih menguntungkan sebab angkatan udara dapat beroperasi sendiri tanpa dibantu oleh angkatan lainnya. Di samping itu, angkatan udara dapat menghancurkan musuh di kendang musuh itu sendiri atau di garis belakang medan peperangan. Berdasarkan hal ini maka muncullah konsepsi Wawasan Dirgantara atau konsep kekuatan di udara. 2.4.7 Teori Geopolitik Nicholas J. Spijkman Nicholas J. Spijkman (1879–1936) terkenal dengan teori Daerah Batas. Dalam teorinya, ia membagi dunia dalam empat wilayah atau area : 1. Pivot Area, mencakup wilayah daerah jantung. Pivot diambil dari bahasa Perancis artinya poros atau wilayah yang menjadi sentra kehidupan. Telah dijelaskan diatas bahwa barang siapa menguasai ”Daerah Jantung‟ (Eropa Timur dan Rusia) maka ia akan menguasai pulau dunia (Eropa, Asia, dan Afrika) yang pada akhirnya akan menguasai dunia 2. Offshore Continent Land, mencakup wilayah pantai benua Eropa – Asia.


Click to View FlipBook Version