The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by edy begonggong, 2024-06-15 22:24:39

eBook Pendidikan Kewarganegaraan

eBook Pendidikan Kewarganegaraan

Bab 3 Hak dan Kewajiban Warga Negara dan Negara 90 suatu negara apabila kedua orang tuanya adalah warga negara tersebut. Dengan kata lain, penetapan seseorang menjadi warga dari suatu negara didasarkan atas status kewarganegaraan orang tuanya, tanpa memperhitungkan di mana orang tersebut dilahirkan. Contoh, Paulus dan Paulina adalah warga negara Indonesia. Mereka tinggal dan bekerja di negara India. Di sana mereka melahirkan Paulo. Maka, Paulo, sang anak, secara otomatis menjadi warga negara Indonesia mengikuti status kewarganegaraan kedua orang tuanya, dan bukan warga negara India. • Kedua, asas kewarganegaraan berdasarkan perkawinan. Asas ini dibedakan atas dua: a) Asas kesatuan hukum: artinya kewarganegaraan yang diperoleh didasarkan atas komitmen yang sama dari suami-isteri untuk menjalankan hukum yang sama. Asas ini mendasarkan kewarganegaraan pada paradigma bahwa suami-istri atau ikatan keluarga merupakan inti masyarakat yang membutuhkan kesejahteraan, kebahagiaan, dan keutuhan dalam keluarga. Oleh karena itu, keluarga senantiasa diharapkan tunduk pada hukum yang sama sehingga keluarga akan tetap utuh. Contoh, Alex, pemuda WNI menikahi Bertha warga negara Belanda. Alex dan Bertha sepaham dan berkomitmen untuk tunduk pada hukum Indonesia, maka mereka sepakat menjadi warga negara Indonesia. (b) Asas persamaan derajat. Maksudnya, pasangan suami-isteri yang melakukan perkawinan beda kewarganegaraan masih tetap memegang teguh kewarganegaraan aslinya masing-masing. Pandangan yang melatarbelakangi asas ini adalah bahwa perkawinan tidak dapat menyebabkan perubahan status kewarganegaraan masing-masing pihak, baik suami ataupun istri. Oleh karena itu, suami ataupun istri dapat tetap menganut dan memiliki kewarganegaraan asalnya. Contoh, Andre pemuda WNI menikah dengan Beatrix, seorang warga negara Belanda. Kedua belah pihak (Andre dan Beatrix) tetap mempertahankan kewarganegaraannya masing-masing. Dengan kata lain, keduanya tidak bersedia mengubah kewarganegaraannya.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 91 2.2 Naturalisasi: Prosedur Lain untuk Memperoleh Status Kewarganegaraan Selain kedua asas di atas (kelahiran dan perkawinan), kewarganegaraan seseorang dapat diperoleh melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan. Jadi, naturalisasi adalah proses memperoleh status kewarganegaraan (mis: menjadi warga negara Indonesia) melalui pengajuan permohonan. Prosedur naturalisasi ini berbeda-beda antarnegara, sesuai dengan filosofi, kebijakan, dan hukum yang berlaku di negara masing-masing. Ada dua cara atau sistem naturalisasi, yaitu sistem aktif dan sistem pasif. Dalam sistem aktif (kewarganegaraan aktif), orang yang berkeinginan menjadi warga negara secara sadar dan aktif melakukan suatu tindakan hukum tertentu supaya dia bisa menjadi warga negara (naturalisasi biasa). Tindakan hukum itu ialah “mengajukan permohonan.” Di sini ia menggunakan hak yang disebut hak opsi, yaitu hak untuk memilih atau mengajukan permohonan menjadi warga negara dari suatu negara. Sementara dalam sistem pasif (kewarganegaraan pasif), di mana seseorang dengan sendirinya dianggap menjadi warga negara tanpa melakukan suatu tindakan hukum tertentu (naturalisasi istimewa). Dalam hal ini, ia menggunakan hak yang disebut hak repudiasi: hak untuk menolak pemberian kewarganegaraan dari suatu negara. Untuk Indonesia, prosedur pewarganegaraan diatur dalam UndangUndang No. 62 Tahun 1958. Dalam undang-undang ini ditetapkan tujuh cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia, yaitu karena a) kelahiran, b) pengangkatan, c) dikabulkan permohonan, d) pewarganegaraan, e) perkawinan, f) turut ayah dan/atau ibu, dan g) pernyataan. 3. Kewarganegaraan Republik Indonesia Seorang Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang diakui oleh UU sebagai warga negara Republik Indonesia. Kepada orang ini akan diberikan Kartu Tanda Penduduk berdasarkan kabupaten atau (khusus


Bab 3 Hak dan Kewajiban Warga Negara dan Negara 92 DKI Jakarta Propinsi, tempat ia terdaftar sebagai penduduk/warga. Kepada orang ini akan diberikan nomor identitas yang unik (Nomor Induk Kependudukan, NIK) apabila ia telah berusia 17 tahun dan mencatatkan diri di kantor pemerintahan. Paspor diberikan oleh negara kepada warga negaranya sebagai bukti identitas yang bersangkutan dalam tata hukum internasional. Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Menurut UU ini, orang yang menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) adalah: 1. Setiap orang yang sebelum berlakunya uu tersebut telah menjadi WNI, 2. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu wni, 3. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah wni dan ibu warga negara asing (WNA), atau sebaliknya, 4. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu wni dan ayah yang tidak memiliki kewarganegaraan atau hukum negara asal sang ayah tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut, 5. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah, dan ayahnya itu seorang wni, 6. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu wni, 7. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu wna yang diakui oleh seorang ayah wni sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin, 8. Anak yang lahir di wilayah negara republik indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya, 9. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara republik indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui, 10. Anak yang lahir di wilayah negara republik indonesia apabila ayah dan ibunya tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya,


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 93 11. Anak yang dilahirkan di luar wilayah republik indonesia dari ayah dan ibu wni, yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan, dan 12. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia. Selain itu, diakui pula sebagai WNI bagi: 1. Anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun dan belum kawin, diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing, 2. Anak wni yang belum berusia lima tahun, yang diangkat secara sah sebagai anak oleh wna berdasarkan penetapan pengadilan, 3. Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah ri, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan indonesia, dan 4. Anak wna yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh WNI. Kewarganegaraan Indonesia juga diperoleh bagi seseorang yang termasuk dalam situasi sebagai berikut: 1. Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia. 2. Anak warga negara asing yang belum berusia lima tahun yang diangkat sebagai anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh warga negara Indonesia. Di samping perolehan status kewarganegaraan seperti tersebut di atas, dimungkinkan pula perolehan kewarganegaraan Republik Indonesia melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan.


Bab 3 Hak dan Kewajiban Warga Negara dan Negara 94 Warga negara asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia dan telah tinggal di wilayah negara Republik Indonesia sedikitnya lima tahun berturut-turut atau sepuluh tahun tidak berturutturut dapat menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan pejabat yang berwenang, asal tidak mengakibatkan kewarganegaraan ganda. Berbeda dari UU Kewarganegaraan terdahulu, UU Kewarganegaraan tahun 2006 ini memperbolehkan dwikewarganegaraan terbatas, yaitu untuk anak yang berusia sampai 18 tahun dan belum kawin sampai usia tersebut. Pengaturan lebih lanjut mengenai hal ini dicantumkan pada Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2007. Dari Undang-Undang ini terlihat bahwa secara prinsip Republik Indonesia menganut asas kewarganegaraan ius sanguinis; ditambah dengan ius soli terbatas (lihat poin 8-10) dan kewarganegaraan ganda terbatas (poin 11). 3.1 Dua Status Kewarganegaraan Akibat dari dua asas penentuan kewarganegaraan di atas (ius soli dan ius sanguinis), dijumpailah dalam kenyataan sehari-hari adanya dua status kewarganegaraan dalam diri seseorang, yang pada hakikatnya disebabkan persoalan pribadi, lokasi tempat tinggal, dan kepentingan tertentu. Seseorang misalnya dapat berpindah-pindah domisili secara tetap dalam jangka waktu lama dari satu negara ke negara lain. Hal ini dapat menimbulkan permasalahan serius berkaitan dengan status kewarganegaraan apabila suatu negara menerapkan secara tegas satu asas kewarganegaraan. Ia dapat saja bipatride, yaitu memiliki sekaligus dua kewarganegaraan; dapat juga apatride, artinya: tidak memiliki dan/ atau kehilangan kewarganegaraan. Bipatride adalah orang-orang yang memiliki status kewarganegaraan rangkap. Apatride adalah orang-orang yang tidak memiliki atau kehilangan status kewarganegaraan sama sekali. Di samping karena berbagai faktor, misalnya penduduk yang berada di daerah perbatasan dua negara, mereka memiliki dua kewarganegaraan


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 95 (bipatride), juga melahirkan berbagai persoalan hukum, sosial, dan keluarga. Contoh kemungkinan bipatride. Apabila pasangan suami-istri, Alex dan Bertha, berkewarganegaraan X, yang menganut asas ius sanguinis, melahirkan seorang anak (Cecil) di negara Y yang menganut asas ius soli, maka anak yang mereka lahirkan – (Cecil) – akan memiliki dua kewarganegaraan sekaligus, yaitu warga negara X (mengikuti kewarganegaraan orang tuanya) dan warga negara Y (menurut tempat di mana ia dilahirkan). Sebaliknya seseorang juga mempunyai kemungkinan tidak memiliki atau kehilangan kewarganegaraan. Hal ini dapat terjadi jika, umpamanya pasangan suami-istri Andre dan Agnes, warga negara dari negara M yang menerapkan asas ius soli, melahirkan Anita di negara N yang menerapkan asas ius sanguinis. Anita tidak akan memiliki satu pun kewarganegaraan, baik kewarganegaraan orang tuanya (negara M) karena Anita tidak dilahirkan di negara M, dan juga Anita tidak akan memiliki kewarganegaraan N yang menerapkan ius sanguinis, karena orang tuanya (Andre dan Agnes bukan keturunan bangsa/negara N). Dengan demikian, Anita adalah orang yang tidak berkewarganegaraan sama sekali. Dengan kata lain, Anita itu apatride. Adanya peraturan atau ketentuan yang tegas dari setiap negara dalam menerapkan asas kewarganegaraan sangat penting. Hal ini untuk mencegah munculnya seseorang yang memiliki dwikewarganegaraan (bipatride) atau seseorang tanpa kewarganegaraan sama sekali (apatride). Ketentuan tegas itu amat perlu juga untuk membedakan hak dan kewajiban bagi warga negara dan bukan warga negara. Berikut hal-hal yang berkaitan dengan pewarganegaraan. Hal-hal yang berkaitan dengan ‘pewarganegaraan’ bagi orang Indonesia yang ingin memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia dapat dilihat pada uraian berikut.


Bab 3 Hak dan Kewajiban Warga Negara dan Negara 96 3.2 Pewarganegaraan Menurut UU No 12 tahun 2006 yang disahkan DPR 11 Juli 2006, sistem penerapan kewarganegaraan menganut asas ius sanguinis (kewarganegaraan mengambil garis darah ayah) anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan antara wanitaWNI dengan priaWNA, otomatismengikuti kewarganegaraan sang ayah. Sasarannya untuk melindungi anak-anak hasil perkawinan WNI dengan pria WNA. Juga melindungi anak-anak yang lahir dan tinggal di luar negeri. Bagi sang istri yang berkewarganegaraan Indonesia, dalam undang-undang ini tidak bisa serta merta langsung mengikuti kewarganegaraan sang suami, tetapi diberi tenggang waktu selama tiga tahun untuk menentukan pilihan status kewarganegaraan. Selain itu, apabila istri memutuskan tetap menjadi WNI, atau selama masa tenggang tiga tahun itu, dia bisa menjadi sponsor izin tinggal suaminya di Indonesia. Bagian penting dari terbitnya undang-undang ini adalah menetapkan kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran (asas campuran antara ius sanguinis dan ius soli). Juga mengakui kewarganegaraan ganda pada anak-anak hasil kawin campur dan anak yang lahir dan tinggal di luar negeri hingga usia 18 tahun. Itu berarti anak bisa diizinkan berkewarganegaraan ganda sampai usia 18 tahun ditambah tenggang waktu 3 tahun untuk persiapannya. Persoalan sempat muncul dari luar negeri, ketika para orang tua ingin mendaftarkan anak-anak hasil kawin campur yang mulai menginjak usia 18 tahun. Pasalnya, kebijakan sama juga ditetapkan oleh negara tempat di mana sang anak bermukim. Ini berarti berbarengan dengan sistem perolehan kewarganegaraan yang diterapkan di Indonesia. Dalam Keputusan Presiden tanggal 15 Februari 2007, disebutkan biaya kepengurusan ditetapkan sebesar Rp 500.000.00 (lima ratus ribu rupiah). Besaran biaya tersebut tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2007 yang sudah ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak 15 Februari silam. PP ini mengubah aturan lama, yakni


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 97 PP No. 75 Tahun 2005 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Mereka yang ingin mendapatkan duplikat Keputusan Menteri tentang menyatakan memilih kewarganegaraan bagi anak berdwikewarganegaraan setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin harus mengeluarkan biaya Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). Biaya-biaya tersebut jelas dicantumkan dalam PP 19 Tahun 2007. Dasar hukum untuk memperoleh kewarganegaraan RI, di antaranya: a) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. b) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia. c) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.01-HL.03.01 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pendaftaran untuk Memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 41 dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. d) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. M.02-HL.05.06 Tahun 2006 tentang Tata Cara Menyampaikan Pernyataan Untuk Menjadi Warga Negara Indonesia. Dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M.01-HL.03.01 Tahun 2006 dijelaskan pengertian dari istilah-istilah di bawah ini. a) Anak adalah anak yang lahir sebelum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia diundangkan dan belum berusia 18 tahun atau belum kawin. b) Pemohon adalah warga negara Indonesia yang tinggal di luar negeri dan kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia sebelum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan


Bab 3 Hak dan Kewajiban Warga Negara dan Negara 98 Republik Indonesia diundangkan karena tidak melaporkan diri ke perwakilan Republik Indonesia. c) Perwakilan Republik Indonesia adalah Kedutaan Besar Republik Indonesia, Konsulat Jenderal Republik Indonesia, Konsulat Republik Indonesia, atau Perutusan Tetap Republik Indonesia. d) Pejabat yang ditunjuk oleh menteri untuk menangani masalah kewarganegaraan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut pejabat adalah Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Tata cara pendaftaran anak untuk memperoleh kewarganegaraan dan yang dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia adalah sebagai berikut. a) Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara Indonesia dan ibu warga negara asing. b) Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu warga negara Indonesia. c) Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah warga negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin. d) Anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu warga negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan. e) Anak warga negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing; dan anak warga negara Indonesia yang belum berusia 5 (lima) tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan pengadilan.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 99 Cara Pendaftaran a) Pendaftaran untukmemperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak dilakukan oleh salah seorang dari orang tua atau walinya dengan mengajukan permo-honan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup. b) Permohonan pendaftaran bagi anak yang bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia diajukan kepada menteri melalui pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal anak. c) Permohonan pendaftaran bagi anak yang bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia diajukan kepada menteri melalui kepala perwakilan Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal anak. d) Dalam hal di negara tempat tinggal anak belum terdapat perwakilan Republik Indonesia, permohonan pendaftaran dilakukan melalui kepala Perwakilan Republik Indonesia terdekat. Berikut adalah dokumen-dokumen yang harus dilengkapi. a) Melengkapi formulir permohonan pendaftaran yang telah disediakan yang sekurang-kurangnya memuat nama lengkap, alamat tempat tinggal salah seorang dari orang tua atau wali anak nama lengkap, tempat dan tanggal lahir serta kewarganegaraan kedua orang tua. b) Nama lengkap, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir, status perkawinan anak serta hubungan hukum kekeluargaan anak dengan orang tua; dan kewarganegaraan anak. Pemohon diminta melampirkan dokumen-dokumen sebagai berikut. a) Fotokopi kutipan akte kelahiran anak yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atau perwakilan Republik Indonesia. b) Surat pernyataan dari orang tua atau wali bahwa anak belum kawin.


Bab 3 Hak dan Kewajiban Warga Negara dan Negara 100 c) Fotokopi kartu tanda penduduk atau paspor orang tua anak yang masih berlaku yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atau perwakilan Republik Indonesia. d) Pas foto anak terbaru berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 6 (enam) lembar. Selain melampirkan dokumen-dokumen tersebut, perlu diperhatikan juga hal-hal berikut. a) Bagi anak yang lahir dari perkawinan yang sah harus melampirkan fotokopi kutipan akte perkawinan/buku nikah atau kutipan akte perceraian/surat talak/perceraian atau keterangan/kutipan akte kematian salah seorang dari orang tua anak yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atau perwakilan Republik Indonesia. b) Bagi anak yang diakui atau yang diangkat harus melampirkan fotokopi kutipan akte pengakuan atau penetapan pengadilan tentang pengangkatan anak yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atau perwakilan Republik Indonesia. c) Bagi anak yang sudah berusia 17 tahun dan bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia harus melampirkan fotokopi kartu tanda penduduk warga negara asing yang disahkan oleh pejabat yang berwenang. d) Bagi anak yang belum wajib memiliki kartu tanda penduduk yang bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia melampirkan fotokopi kartu keluarga orang tua yang disahkan oleh pejabat yang berwenang. 3.3 Tata Cara Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia Warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun atau lebih tidak melaporkan diri kepada perwakilan Republik Indonesia dan telah kehilangan


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 101 kewarganegaraan Republik Indonesia sebelum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia diundangkan dapat memperoleh kembali kewarganegaraannya dengan mendaftarkan diri di perwakilan Republik Indonesia dalam waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia diundangkan sepanjang tidak mengakibatkan kewarganegaraan ganda. Tata Cara Pendaftaran Pendaftaran diri diajukan oleh pemohon denganmengajukan permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup kepada perwakilan Republik Indonesia yang terdekat dengan tempat tinggal pemohon. Persyaratan Dokumen yang harus Dilengkapi 1. Melengkapi formulir permohonan pendaftaran yang telah disediakan yang sekurang-kurangnya memuat: a) Nama lengkap, alamat tempat tinggal pemohon, b) Tempat dan tanggal lahir serta status kewarganegaraan pemohon, c) Pekerjaan pemohon; jenis kelamin pemohon, d) Status perkawinan pemohon, e) Nama istri/suami pemohon, dan f) Nama anak pemohon yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin. 2. Melampirkan dokumen-dokumen sebagai berikut. a) Fotokopi kutipan akte kelahiran, surat kenal lahir, ijazah, atau surat-surat lain yang membuktikan tentang kelahiran pemohon yang disahkan oleh perwakilan Republik Indonesia. b) Fotokopi paspor Republik Indonesia, surat yang bersifat paspor, atau surat-surat lain yang disahkan oleh perwakilan Republik


Bab 3 Hak dan Kewajiban Warga Negara dan Negara 102 Indonesia yang dapat membuktikan bahwa pemohon pernah menjadi warga negara Indonesia. c) Fotokopi kutipan akte perkawinan/buku nikah atau kutipan akte perceraian/surat talak/perceraian atau kutipan akte kematian istri/suami pemohon yang disahkan oleh perwakilan Republik Indonesia bagi pemohon yang telah kawin atau cerai. d) Fotokopi kutipan akte kelahiran anak pemohon yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin yang disahkan oleh perwakilan Republik Indonesia. e) Melengkapi formulir yang telah disediakan mengenai pernyataan tertulis bahwa pemohon akan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan akan membelanya dengan sungguh-sungguh serta akan menjalankan kewajiban yang dibebankan negara sebagai warga negara Indonesia dengan tulus dan ikhlas. f) Melengkapi formulir yang telah disediakan mengenai pernyataan tertulis dari pemohon bahwa pemohon bersedia menanggalkan kewarganegaraan asing yang dimilikinya apabila memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia. g) Daftar riwayat hidup pemohon. h) Pasfoto terbaru pemohon berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 6 (enam) lembar. Formulir-Formulir yang Digunakan a) Formulir Pendaftaran Anak Berkewarganegaraan Ganda b) Formulir Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia c) Pernyataan Kesetiaan Terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia d) Pernyataan Kesediaan Menanggalkan Kewarganegaraan Asing


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 103 e) Biaya permohonan pendaftaran kewarganegaraan akan ditentukan dalam Surat Keputusan Duta Besar sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2007. 4. Masalah-masalah Kewarganegaraan yang Pernah Terjadi di Indonesia 4.1 Masalah Dwi Kewarganegaraan (Bipatride) Indonesia yang bekas jajahan Belanda menerapkan asas ius soli. Sebagai Negara yang masyarakatnya pluralistik, Indonesia didiami banyak penduduk keturunan Tionghoa-RRC, Arab, India dsbnya. Khusus dengan penduduk keturunan Tionghoa-RRC, pemerintah Indonesia menghadapi masalah kewarganegaraan yang pelik pada tahun-tahun sebelum 1960- an, karena RRC menerapkan asas kewarganegaraan ius sanguinis. Artinya orang-orang Tionghoa yang lahir di Indonesia dan di mana saja secara otomatis diakui sebagai warga negara RRC. Oleh sebab itu, warga keturunan Tionghoa-RRC yang lahir di Indonesia otomatis memiliki dwi kewarganegaraan (bipatride). Masalah dwi kewarganegaraan ini tidak bisa dibiarkan berlangsung terus, karena sangat merugikan bagi kepentingan nasional Indonesia. Ketika diadakan Konperensi Asia-Afrika di Bandung 1955, kesempatan itu dimanfaatkan oleh Indonesia dan RRC untuk menyelesaikan masalah dwi-kewarganegaraan para warga keturunan Tionghoa dengan landasan persamaan derajat, saling memberi manfaat serta tidak saling campur tangan dalam urusan politik dalam negeri masing-masing negara. Hasil persetujuan R.I. dan RRC ditetapkan dalam Undang-Undang No 2 tahun 1958. Dalam undang-undang ini antara lain ditetapkan: a) Keturunan Tionghoa-Cina yang memiliki dwikewarganegaraan diwajibkan menentukan pilihannya sendiri, yaitu melepaskan kewarganegaraan RRC dan menjadi warga negara Indonesia, atau b) Kehilangan kewarganegaraan Indonesia dan tetap menjadi warga negara RRC.


Bab 3 Hak dan Kewajiban Warga Negara dan Negara 104 c) Kewajiban memilih hanya dibebankan kepada mereka yang telah dewasa (18 tahun ke atas atau pernah menikah). d) Anak-anak yang belum dewasa menyatakan pilihannya dalam waktu satu tahun setelah mereka menjadi dewasa. e) Bagi yang dewasa tetapi tidak menyatakan pilihannya dalam waktu dua tahun berlaku ketentuan sbb: (1) Jika ayahnya keturunan Cina, ia dianggap telah memilih kewarganegaraan RRC. (2) Jika ayahnya keturunan Indonesia, ia dianggap telah memilih kewarganegaraan Indonesia. 4.2 Kehilangan Kewarganegaraan Indonesia Seorang warga negara Indonesia dapat kehilangan kewarganegaraannya apabila ia melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Orang Indonesia akan dicabut kewarganegaraannya antara lain jika: a) Seorang perempuan menikah dengan laki-laki asing kecuali jika yang bersangkutan tetap menyatakan menjadi warga negara Indonesia (WNI). b) Putusnya perkawinan wanita asing dengan laki-laki Indonesia, kecuali ia menyatakan tetap menjadi WNI. c) Anak dari orang tua yang kehilangan kewarganegaraan Indonesia. d) Memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri. e) Tidak melepaskan atau tidak menolak kewarganegaraan lain. f) Mempunyai paspor dari negara lain. Orang yang telah kehilangan kewarganegaraan Indonesia diberi peluang untuk memperoleh kembali kewarganegaraannya asal memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 105 5. Hak dan Kewajiban Warga Negara Ada hak, ada kewajiban. Keduanya juga saling memuat, saling mengandaikan. Artinya,didalamhak ada kewajiban,didalamkewajibanadahak;hakdengan sendirinya menuntut kewajiban, dan kewajiban dengan sendirinya menuntut hak. Tidak ada kewajiban tanpa hak sebagai sesuatu yang mewajibkan. Hak menuntut sesuatu dari pihak yang mempunyai kewajiban, tetapi tuntutan itu ada apabila dilakukan atas dasar hak. Dengan begitu, hak mengandung implikasi ‘tuntutan keras’ pada pihak lain. Tentang ’hak dan kewajiban’ ini, baiklah disadari bahwa di satu pihak memang benar bahwa setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama, tetapi di lain pihak benar juga bahwa hak dan kewajiban itu berbeda-beda pada setiap orang tergantung, misalnya, pada kedudukan atau jabatan seseorang dalam masyarakat. Seorang pejabat negara misalnya tentu saja mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda dari seorang rakyat biasa, karena beban tugas dan tanggung jawabnya berbeda dengan beban tugas dan tanggung jawab seorang rakyat biasa. 5.1 Pengertian Hak Profesor Notonagoro mendefinisikan ‘hak’ sebagai “kuasa untuk menerima atau melakukan sesuatu yang semestinya diterima atau dilakukan oleh pihak tertentu, dan tidak dapat oleh pihak lain manapun juga yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa olehnya.” Tanpa perlu mempersoalkan definisi Prof. Notonagoro di atas, definisi itu sendiri menimbulkan pertanyaan berikut: “Dari mana datangnya atau manakah sumber ‘kuasa untuk menerima atau melakukan sesuatu itu?” Jawabannya ialah ‘dari diri orang itu sendiri’ yaitu bahwa ‘sesuatu’ itu melekat pada diri orang itu sebagai bagian integral dari dirinya, sebagai “MILIK, KEPUNYAAN”. Dengan demikian, “hak” itu sesungguhnya adalah: a. (1) “milik” atau kepunyaan, dan oleh sebab itu dapat ‘dituntut’ dan tuntutan itu ‘wajib dipenuhi’, (2) kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan, dsb), (3)


Bab 3 Hak dan Kewajiban Warga Negara dan Negara 106 kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, dan (4) wewenang menurut hukum.7 b. Kuasa, wewenang, otoritas moral atau legal untuk memiliki, menagih, menuntut, dan menggunakan sesuatu sebagai miliknya sendiri. 8 Di sini hak (rights), sebagai kata benda (hakku, haknya), menunjuk kepada objeknya, yaitu: keadilan. Bila seseorang menyatakan dia mempunyai hak atas sesuatu, itu berarti ia memiliki kuasa atau wewenang atas sesuatu itu, yang wajib orang lain akui dan hormati, dan bila ditagih, diminta, dan dituntut, harus dipenuhi. Hak pada dasarnya berbeda dari “kewajiban” (obligation). Dalam kewajiban, kita harus, sedangkan dalam hak, kita boleh melakukan atau mengabaikan sesuatu. Sekali lagi, hak adalah suatu otoritas moral atau legal. Otoritas ini berbeda dari penguasaan secara fisik. Seorang pencuri (yang tak terlacaki) secara fisik menguasai barang yang dicurinya, namun dia sesungguhnya tidak punya hak sedikit pun atas barang itu. Sebaliknya, perbuatan pencuri itu merupakan suatu bentuk ketidakadilan yang menyeretnya ke dalam pelanggaran hak (an injustice, a violation of right). Agar tidak terjerat sanksi hukum, ia mau tidak mau harus mengembalikan barang yang dicurinya itu kepada pemiliknya. Disebut sebuah “otoritas moral atau legal” karena hak terpancar dari hukum yang memberikan kepada seseorang kuasa atas sesuatu dan membebankan pada orang lain kewajiban untuk menghormati kuasa itu. Di dalam hak seseorang terdapat kewajiban (obligation) pada pihak lain sehingga hak dan kewajiban saling mempengaruhi. Tanpa kewajiban, hak menjadi suatu ilusi saja. Misalnya, jika saya mempunyai hak atas uang Rp1.000.000,00 dari seseorang karena ia meminjamnya, seseorang itu berada dalam kewajiban untuk mengembalikan uang itu kepada saya, ketika saya menagihnya. Klausul “memiliki, meminta, menagih, menuntut, dan menggunakan sesuatu sebagai milik sendiri” menunjuk kepada objek dari hak, yaitu ‘keadilan’. Keadilan menuntut setiap orang memberikan kepada orang lain apa yang menjadi haknya (“tribuere ius suum cuique”). Ketika seseorang menyatakan bahwa sesuatu itu miliknya, harta pribadinya, atau


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 107 kepunyaannya, itu berarti bahwa sesuatu itu berada dalam hubungan yang khusus dengan dirinya, dan dimaksudkan pertama-tama untuk penggunaannya sendiri, dan bahwa ia dapat mengaturnya sesuai kehendaknya, tanpa perlu peduli dengan orang lain. SESUATU di sini tidak semata-mata berarti barang material, tetapi juga yang nonmaterial namun ‘berguna-bermanfaat’ (usefully) bagi manusia. Misalnya kegiatan-kegiatan (actions), hasil-hasil karya cipta (penemuan-penemuan, buku, lagu, patung, ukiran dan lukisan, yang memberi ‘hak cipta’ atau ‘hak kekayaan intelektual’), dan sebagainya. Hubungan antara sesuatu tertentu dengan orang tertentu, hingga orang itu bisa menyatakan bahwa sesuatu itu miliknya, harus berdasarkan fakta-fakta konkret. Seseorang dapat saja memberikan atau mewariskan miliknya, tetapi apa yang merupakan miliknya ditentukan oleh fakta-fakta. Banyak hal secara fisik menjadi milik seseorang, sejak ia dikandung atau lahir – tubuh beserta organ-organnya dan ciri-cirinya, kesehatan, dan sebagainya. Kita mengakui bahwa, sejak dari penciptaannya, Sang Pencipta telah memberikan kepada setiap orang kemampuan-kemampuan fisik dan rohani: tubuh, akal budi, kehendak, bakat-bakat. Semua pemberian Tuhan itu pertama-tama dimaksudkan untuk si pemiliknya sendiri; semua pemberian itu dimaksudkan untuk menyanggupkan dan mendukung dia dalam mengembangkan potensi-potensi dirinya demi memenuhi tugas-tugas kehidupannya. Pemberian-pemberian itu adalah “barang” miliknya sendiri sejak awal keberadaannya, dan barang siapa dengan sengaja merongrong, merebut, merusak, atau mencabut pemberian-pemberian itu dari pemiliknya, ia melanggar hak sang pemilik. Kecuali itu, ada banyak hal lain lagi dihubungkan dengan pribadi manusia, tidak secara fisik, tetapi hanya secara moral. Dengan kata lain, dalam hubungan dengan kenyataan tertentu, setiap orang mengakui bahwa hal-hal tertentu secara khusus diperuntukkan bagi penggunaan seseorang, dan semua orang lain harus mengakui itu. Orang-orang yang membangun sebuah rumah kediaman, membeli peralatan rumah tangga, menciptakan alat-alat permainan, dan sebagainya menjadi pemilik atas barang-barang ini, dan mereka mengklaim barang-barang ini sebagai


Bab 3 Hak dan Kewajiban Warga Negara dan Negara 108 barang-barang milik mereka. Orang-orang lain yang mencuri, mengambil, dan mengklaim barang-barang itu sebagai milik mereka, atau merusaknya, melakukan pelanggaran atas hak-hak pemiliknya. Orang yang secara sah memesan suatu produk, atau dihadiahi sesuatu oleh orang lain, boleh menganggap sesuatu itu sebagai miliknya yang sah secara hukum dan berhak atas barang itu, karena ia sudah menggantikan kedudukan orang lain itu sebagai pemilik. Di sini kita dapat membedakan empat unsur hak: (a) the holder: orang yang memiliki hak, (b) the object: sesuatu yang menjadi sasaran hak, (c) the title: kenyataan atas dasar mana seseorang boleh menganggap dan menuntut sesuatu sebagai miliknya, dan (d) the terminus of the right: orang yang memiliki kewajiban yang berkaitan dengan hak tersebut. 5.2 Hak dan Keadilan Di atas telah dikatakan bahwa hak menunjuk kepada keadilan sebagai objeknya. Maka, hak sesungguhnya bertalian erat dengan masalah keadilan: ‘memberi setiap orang apa yang menjadi haknya’ (Latinnya: “tribuere ius suum cuique” --- ungkapan terkenal dari Ulpianus, ahli hukum Romawi, yang kemudian diambil alih oleh ahli-ahli filsafat hukum). Di dalam definisi tradisional ini terdapat pengakuan dan perlakuan terhadap hak yang sah. Jika seseorang memberikan kepada orang lain apa yang menjadi hak orang lain itu, ia disebut adil. Hal ini berarti bahwa pembicaraan tentang ‘hak’ tidak hanya berada dalam konteks ‘hukum’, tetapi juga dalam konteks ‘moral’. Sifat hak tergantung dari sifat hukum yang mendasarinya. Apabila suatu hak berdasarkan hukum negara, misalnya hak atas sebidang tanah, kita berbicara tentang ‘hak hukum’. Hak itu diberikan kepada seseorang oleh masyarakat dengan mengesahkan hukum yang mendasarinya. Namun, seseorang itu pun mempunyai ‘hakhak moral’, misalnya hak untuk ‘dipercayai’. Hak-hak yang dimiliki oleh manusia karena berdasarkan martabatnya sebagai manusia dan bukan karena pemberian masyarakat atau negara disebut hak asasi manusia.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 109 Bersama dengan ‘cinta kasih’ (charity, caritas), keadilan mengatur hubungan manusia dengan sesamanya. Namun, ada perbedaan antara keduanya. Cinta kasih (charity) adalah daya batin yang mendorong kita menolong sesama yang menderita tanpa pamrih, tanpa memperhitungkan kepentingan-kepentingan pribadi kita, sementara keadilan mengajar kita memberikan kepada orang lain apa yang menjadi hak atau miliknya. Tentang hal ini, kita sering mengatakan bahwa seorang pengangguran mempunyai hak atas pekerjaan, bahwa orang-orang miskin yang berada dalam keadaan serba membutuhkan bantuan mempunyai hak atas bantuan dari kita. Pernyataanpernyataan itu memang mengandung kebenaran, kalau dipandang dalam konteks pemahaman hak sebagai suatu tuntutan cinta kasih (charity), bukan hak sebagai suatu tuntutan keadilan (justice). Seturut hukum kodrat (natural law) dan pengalaman sehari-hari, dalam konteks keadilan, bantuan yang dituntut orang miskin itu bukan merupakan milik atau haknya, karena bantuan yang diminta itu “belum” diberikan kepadanya, dan oleh sebab itu, ia tidak atau belum mempunyai hak untuk menuntut. Manakala bantuan itu “sudah” diberikan, barulah bantuan itu menjadi milik dan haknya, dan oleh sebab itu – dalam konteks keadilan – ia boleh menuntutnya. Tuntutannya sebelum bantuan diberikan didasarkan pada kenyataan bahwa ia adalah sesama manusia yang berada dalam keadaan bahaya atau dalam keadaan serba membutuhkan bantuan, dan persaudaraan merupakan fakta dirinya (his title) yang menggerakkan rasa kasihan, simpati, dan bantuan kita. Tentu, bisa saja terjadi, bahwa ‘hukumpositif’(positive law) setempat telah menetapkan suatu jaminan resmi dan/atau hak legal bagi kaum miskin dan para pengangguran untuk mendapatkan bantuan dan pekerjaan. Bila demikian, tuntutan mereka merupakan suatu tuntutan keadilan. Suatu klaim dalam konteks keadilan, atau suatu hak dalam arti tegas, merupakan suatu kemampuan untuk berbuat, untuk memiliki, untuk membutuhkan sesuatu. Kemampuan ini sekaligus bersifat moral dan hukum. Kalau klaim itu merupakan suatu kemampuan melakukan sesuatu secara moral dan hukumdemi kebaikan orang lain, itu termasuk kelompok ’hak-hak yurisdiksi’ (the class of rights of jurisdiction). Jadi,seorang bapak mempunyai hak kodrati


Bab 3 Hak dan Kewajiban Warga Negara dan Negara 110 untuk mendidik anaknya, bukan demi dirinya sendiri, melainkan demi kebaikan anaknya. Seorang raja yang secara hukum berkuasa mempunyai hak untuk memerintah atau memimpin rakyatnya menuju terciptanya kesejahteraan umum. Kelompok hak-hak yang paling luas yang dituntut keadilan untuk kita lakukan terhadap orang lain adalah “hak-hak kepemilikan” atau “hak milik” (the rights of ownership). Kepemilikan merupakan kemampuan moral untuk menggunakan sesuatu yang kita miliki demi kemajuan kita sendiri. Pemilik sebuah rumah berkuasa atas rumahnya sesuai keinginannya. Ia bisa saja mendiaminya, membiarkannya kosong, menelantarkannya, menjual-nya, meruntuhkannya; ia bisa saja mengubah gayanya (eksterior, interior); secara umum ia bisa melakukan apa saja sesuai kehendaknya. Ia mempunyai suatu hak untuk segala macam penggunaan dan kemajuan, karena rumah itu miliknya. Rumah itu harta miliknya, dan sebagai harta miliknya, seluruh keberadaan rumah itu harus melayani kebutuhan dan kebaikannya. Karena rumah itu miliknya, dalam hal penggunaan rumah itu, ia sebagai pemilik harus lebih diutamakan daripada orang lain. Dalam konteks ini, ia mempunyai hak untuk mengeluarkan orang lain yang mendiami rumah itu. Kalau orang lain itu menggunakan rumah tersebut tidak seperti yang dikehendaki pemiliknya, ia bertindak melawan keadilan, dan dia tidak menghormati orang yang memiliknya. Sampai di sini, hak yang kita bicarakan adalah hak-hak individual. Hakhak individual berkaitan dengan keadilan individual, keadilan partikular, atau keadilan komutatif (commutative justice -- “keadilan tukarmenukar). Keadilan komutatif mengatur hubungan antaranggota-anggota masyarakat, dan bertujuan menjamin bahwa setiap anggota masyarakat memberikan kepada sesama apa yang menjadi hak sesamanya itu (ingatlah definisi keadilan di atas!). Keadilan tukar-menukar atau komutatif (commutative justice) bertalian erat dengan ’perjanjian’ (contract) atau ’pertukaran’ (exchange). Ia mewajibkan kita menghormati hak-hak sesama sebagai individu; ia berkaitan dengan hak dan kewajiban di antara anggota


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 111 masyarakat. Keadilan jenis ini menampilkan ‘kewajiban’ dalam arti yang sepenuh-penuhnya. Keadilan komutatif adalah keadilan dalam arti kata sepenuh-penuhnya, setegas-tegasnya, karena dengannya seseorang harus memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap individu-individu lain. Makna keadilan komutatif persis seperti definisi keadilan itu sendiri: kehendak, kemauan yang kokoh dan langgeng dari seorang individu untuk memberikan kepada individu lain apa yang menjadi haknya dalam arti yang tegas. Oleh sebab itu, pelanggaran terhadapnya selalu melahirkan kewajiban untuk melakukan ‘ganti-rugi’. Selain keadilan komutatif (commutative justice), ada juga “keadilan legal” (legal justice) dan “keadilan distributif” (distributive justice). Dua jenis keadilan ini (legal dan distributif) mengatur hubungan antara warga negara dan negara, negara dan warga negara. Keadilan umum atau legal (legal justice) mewajibkan kita sebagai warga negara untuk menghormati hak-hak negara. Jadi, arah geraknya dari warga kepada masyarakat atau negara, demi kesejahteraan umum (common good, bonum commune) atau demi tercapainya tujuan negara. Dengan kata lain, dalam keadilan legal, kewajiban ada pada warga, sedangkan hak ada pada negara. Warga negara wajib memberikan kepada negara apa yang menjadi hak negara. Warga harus taat kepada negara, termasuk pada hukum-hukum yang ditetapkan negara. Negara mempunyai hak untuk meminta, menagih, atau menuntut dari para warganya apa yang perlu bagi kebaikan umum atau kesejahteraan umum dan apa yang perlu bagi pencapaian tujuantujuan negara. Termasuk di sini, negara mempunyai hak dan kuasa untuk membuat hukum, dan untuk menghukum setiap pelanggaran terhadap hukum, dan secara umum mempunyai hak dan kuasa untuk mengatur segala sesuatu bagi kesejahteraan umum. Hak dan kuasa negara ini dibenarkan dan diterima karena hanya di dalam negara, para warga dapat berkembang selaras martabatnya sebagai manusia. Keadilan ini disebut “legal” karena didasarkan pada dan ditentukan oleh hukum-hukum yang berlaku dalam negara. Karena kesejahteraan


Bab 3 Hak dan Kewajiban Warga Negara dan Negara 112 atau kepentingan umum lebih diutamakan di atas kesejahteraan dan kepentingan pribadi dari setiap warga negara, maka keadilan legal kerap kali menuntut individu atau kelompok warga negara untuk melepaskan kepentingan pribadinya atau kelompoknya sendiri demi kebaikan umum masyarakat sebagai keseluruhan. Sebaliknya, keadilan membagi atau keadilan distributif mewajibkan negara menghormati hak-hak kita sebagai warga negara. Jadi, arah geraknya dari negara kepada warga. Keadilan distributif mewajibkan negara mendistribusikan sumber-sumber daya (resources) dan hasilhasil pembangunan kepada warganya berdasarkan kebutuhan, martabat, dan hak setiap warganya. Keadilan distributif lebih menyangkut proporsionalitas hak yang diperoleh, bukan kesamaan hak dalam arti yang ketat, karena kesamaan yang ketat kadang-kadang juga tidak adil. Jadi, keadilan distributif menuntut negara mendistribusikan barang-barang kebutuhan warga harus sesuai dengan kebutuhan warga masing-masing.10 Singkatnya, dalam memenuhi hak-hak rakyat, negara berkewajiban melaksanakan dengan sebaik-baiknya apa yang menjadi tugas-tugasnya:11 a) Melindungi penduduk/rakyat dari segala ancaman, baik dari dalam maupun dari luar; b) Mendukung kehidupan rakyat, atau langsung menyediakan pelbagai pelayanan kehidupan masyarakat dalam bidang sosial, ekonomi dan kebudayaan, antara lain dengan menciptakan kondisi-kondisi atau langsung menyiapkan segala sarana dan prasarana yang memungkinkan warganya dapat melangsungkan kehidupan secara manusiawi dan mencapai kesejahteraan, dan c) Menjadi wasit yang tidak memihak dalam suatu konflik sosial. Kelalaian atau kegagalan negara melaksanakan kewajiban dan tugastugasnya berarti lalai dan gagal memenuhi hak-hak rakyat. Ini berarti negara melanggar, atau paling tidak mengabaikan hak-hak warga negara.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 113 Atas dasar gagasan tentang hak di atas, objek hak dapat ditentukan secara lebih tepat. Pertama, objek dari hak yang berkaitan dengan keadilan komutatif adalah kebebasan pemilik hak untuk menggunakan miliknya. Namun, mengingat ciri sosialitas manusia, kebebasan pribadi menggunakan hak tidak selalu dalam arti “tanpa batas”; batas kebebasan kita adalah kepentingan orang lain, yang hidup bersama kita dalam masyarakat. Kedua, objek dari hak yang berkaitan dengan keadilan legal adalah kebaikan umum atau kesejahteraan umum masyarakat/negara. Tentang hak ini, kita tidak boleh dan tidak bisa berkata, “Tak seorang pun dibatasi untuk menggunakan haknya” (no one is bound to make use of his right), karena kapan dan di mana saja, jika kepentingan umum menuntutnya, masyarakat/negara — atau, lebih tepat: para pemimpin — harus menggunakan hak-hak publik untuk menyela-matkan masyarakat/ negara. Akhirnya, ketiga, objek dari hak yang berkaitan dengan keadilan distributif adalah pembelaan diri warga berhadapan dengan masyarakat/ negara atau para pemimpinnya; warga tidak boleh terlalu dibebani dengan beban-beban publik yang melampaui batas kemampuan mereka. Sebaliknya, warga berhak menerima sebanyak mungkin kebaikan publik sebagai syarat bagi kesejahteraan mereka. Meskipun dalam hubungan dengan ketiga jenis keadilan di atas, setiap jenis hak mempunyai objek langsungnya sendiri, ketiga-tiganya secara umum terarah kepada satu tujuan jauh yang sama, yaitu rasa aman dan terjamin dalam hidup bersama di masyarakat. Sebab setiap orang memperoleh bagi dirinya sendiri apa yang menjadi haknya. 5.3 Macam-Macam Hak 5.3.1 Hak Legal, Hak Moral, Hak Konvensional Hak legal. Hak legal adalah hak yang diperoleh dan dimiliki seseorang atas dasar ketentuan hukum. Misalnya, hak atas tunjangan pensiun bagi seorang karyawan tetap di suatu perusahaan atau lembaga, entah swasta atau negeri. Hak ini diatur misalnya dalam Undang-Undang Tenaga


Bab 3 Hak dan Kewajiban Warga Negara dan Negara 114 Kerja yang dikeluarkan oleh negara. Maka, setiap karyawan tetap berhak menerima tunjangan tersebut ketika ia memasuki usia pensiun. Seseorang dinyatakan memiliki hak legal atas sebidang tanah karena kepemilikan atas tanah itu dikukuhkan dengan sertifikat hak milik tanah yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional. Hak moral. Hak moral adalah hak yang dimiliki seseorang atas dasar prinsip-prinsip etis-moral. Setiap orang memiliki hak untuk dihargai, dihormati, bahkan dicintai oleh orang lain karena atau demi martabatnya sebagai manusia. Orang itu sendiri mungkin tidak menuntut untuk dihargai, dihormati, dan dicintai. Namun, martabat kemanusiaannya dengan tegas menuntut penghargaan, penghormatan, dan cinta itu. Hak konvensional. Hak konvensional adalah hak yang diperoleh seseorang karena keanggotaannya dalam suatu perkumpulan yang aturan-aturan dan konvensi-konvensinya ia setujui. Misalnya, seseorang menjadi anggota perkumpulan arisan bapak-bapak di lingkungan tempat tinggalnya. Sebagai anggota, ia memiliki hak atas sejumlah uang sebagaimana disepakati bersama oleh seluruh anggota arisan. Hak konvensional berbeda dengan hak legal karena aturan-aturan suatu perkumpulan bukanlah aturan-aturan hukum. Maksudnya, aturan-aturan perkumpulan itu tidak tercantum dalam sistem hukum negara. Demikian juga hak konvensional berbeda dengan hak moral karena hak konvensional lahir dari keanggotaan sukarela dalam suatu perkumpulan dengan aturanaturan yang disepakati secara sukarela pula. Sementara hak moral lahir dari kemanusiaan seseorang. 5.3.2 Hak Positif dan Hak Negatif Hak Negatif. Kelompok hak ini diperjuangkan oleh liberalisme untuk melindungi kehidupan pribadi dari campur tangan negara dan kekuatankekuatan sosial lainnya. Hak-hak ini melukiskan bahwa seseorang bebas untuk melakukan sesuatu atau memiliki sesuatu tanpa campur tangan orang lain. Dengan kata lain, orang lain tidak boleh menghalangi seseorang untuk melakukan atau memiliki sesuatu. Oleh sebab itu, hak-


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 115 hak negatif ini disebut juga hak-hak kebebasan. Disebut negatif karena hak-hak ini dirumuskan dengan kata “tidak”: tidak dikatakan apa yang boleh, melainkan apa yang tidak boleh dilakukan, misalnya, “Kehidupan saya tidak boleh dicampuri oleh orang lain.” Misalnya, hak atas kehidupan, hak mengemukakan pendapat. Hak negatif terbagi lagi menjadi dua macam, yaitu hak negatif aktif dan hak negatif pasif. Hak negatif aktif adalah hak untuk berbuat atau tidak berbuat seperti orang kehendaki. Contoh, saya mempunyai hak untuk pergi ke mana saja saya suka, atau mengatakan apa yang saya inginkan. Hak-hak negatif aktif ini bisa disebut hak kebebasan. Sementara hak negatif pasif adalah hak untuk tidak diperlakukan orang lain dengan cara tertentu. Contoh, saya mempunyai hak bahwa orang lain tidak mencampuri urusan pribadi saya, bahwa rahasia saya tidak dibongkar, bahwa nama baik saya tidak dicemarkan. Hak-hak negatif pasif ini bisa disebut hak keamanaan. Hak Positif. Jika hak-hak negatif meniadakan campur tangan negara atau kekuatan sosial lain dalam urusan pribadi manusia, sebaliknya hakhak positif justru menuntut campur tangan negara dalam bidang tertentu. Terdapat pelayanan yang wajib diberikan oleh negara kepada warga negara. Misalnya, hak atas pendidikan, hak atas pelayanan kesehatan, hak atas perlindungan hukum. Di sini termasuk hak atas perlakuan yang sama di depan hukum, hak agar suatu pelanggaran terhadap hak-hak yang dimiliki tidak dibiarkan, hak-hak yang menjamin keadilan di pengadilan. Juga termasuk hak warga masyarakat atas kewarganegaraan. 5.3.3 Hak Khusus dan Hak Umum Hak Khusus. Hak khusus timbul karena ada suatu relasi khusus antara beberapa orang atau karena fungsi khusus yang dimiliki seseorang terhadap yang lain. Misalnya, jika seseorang meminjam sejumlah uang dari orang lain dengan janji akan ia kembalikan dalam kurun waktu tertentu, orang lain itu mendapat hak khusus, yaitu hak untuk menagih yang timbul dari perbuatan meminjam uang itu.


Bab 3 Hak dan Kewajiban Warga Negara dan Negara 116 Hak Umum. Hak umum dimiliki seseorang bukan karena ada suatu hubungan atau fungsi tertentu, melainkan semata-mata karena ia manusia. Hak ini dimiliki oleh semua manusia tanpa kecuali. Hak-hak ini biasanya disebut hak-hak asasi manusia. 5.3.4 Hak Individual dan Hak Sosial Hak Individual. Hak individu adalah hak yang dimiliki individu-individu terhadap negara. Negara tidak boleh menghindari atau mengganggu individu dalam mewujudkan hak-hak yang ia milki. Misalnya, hak beragama dan beribadah menurut keyakinan iman masing-masing, hak untuk bertindak mengikuti bisikan hati nurani, hak untuk mengemukakan pendapat. Semua hak individual ini termasuk dalam gugus hak negatif. Hak Sosial. Hak sosial adalah hak yang timbul dari keanggotaan kita dalam masyarakat dan negara. Hak-hak sosial ini termasuk dalam gugus hak positif. Hak-hak sosial menuntut campur tangan negara demi kesejahteraan hidup warga negara. Misalnya, hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas pelayanan kesehatan. 5.3.5 Hak Absolut Hak yang bersifat absolut adalah hak yang bersifat mutlak tanpa pengecualian, berlaku di mana saja tanpa dipengaruhi oleh situasi dan kondisi apa pun. Pertanyaan kita ialah apakah ada hak yang bersifat absolut? Jawabannya ialah tidak! Tidak ada hak yang bersifat absolut. Mengapa? Menurut para ahli etika, kebanyakan hak adalah hak prima facie atau hak pada pandangan pertama. Artinya, hak itu berlaku sampai dikalahkan oleh hak lain yang lebih kuat. Setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak ini merupakan hak yang sangat penting. Manusia mempunyai hak, misalnya, untuk tidak dibunuh. Namun, hak ini tidak berlaku dalam segala keadaan tanpa alasan yang cukup kuat. Seseorang yang membela diri terhadap penyerangan atas dirinya memiliki hak untuk membunuh jika tidak ada cara lain yang harus ia lakukan. Warga masyarakat yang mendapat tugas untuk membela tanah airnya pada


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 117 waktu perang memiliki hak untuk membunuh musuh. Kedua contoh hak tersebut adalah contoh yang menunjukkan bahwa hak atas kehidupan yang seharusnya penting dan dapat dianggap sebagai hak absolut, ternyata kalah oleh situasi, keadaan, atau suatu alasan yang cukup. Kebebasan juga merupakan salah satu hak yang sangat penting. Namun, hak ini tidak dapat disebut hak absolut karena hak kebebasan ini juga dapat dikalahkan oleh hak lain. Seseorang yang mengalami gangguan jiwa dan membahayakan masyarakat sekitarnya dipaksa masuk rumah sakit jiwa meskipun ia menolak. Kebebasan yang dimiliki orang tersebut merupakan haknya. Namun, hak tersebut akhirnya kalah oleh hak kebebasan dari masyarakat yang merasa jiwanya terancam. Jadi, hak tidak selalu bersifat absolut karena suatu hak akan kalah oleh alasan atau keadaan tertentu lain yang dapat menggugurkan posisi hak tersebut. 6. Hak Warga Negara NKRI sebagaimana Tersurat dalam Pasal-Pasal UUD a) Pasal 26. Hak untuk menjadi warga negara. Yang menjadi warga negara adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang b) Pasal 27 ayat (1): Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Pasal 27 ayat (2): Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghi-dupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 27 ayat (3) menegaskan bahwa tiap warga negara berhak untuk ikut serta dalam upaya bela negara. c) Pasal 28: tiap warga negara berhak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan atau tulisan, berhak untuk berserikat atau berkumpul. Pasal-pasal 28 A–I mengenai Hak Asasi Manusia.


Bab 3 Hak dan Kewajiban Warga Negara dan Negara 118 d) Pasal 29 ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk (baik warga negara Indonesia atau bukan warga negara) untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. e) Pasal 30 ayat (1): Tiap warga negara berhak untuk ikut serta dalam upaya pertahanan dan keamanan negara. f) Pasal 31 ayat (1): Tiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan (juga layanan kesehatan). g) Pasal 34: Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. h) Rakyat berhak atas pendampingan seorang pengacara jika ia dituduh terlibat dan/atau melakukan suatu tindak pidana kejahatan. Penerapan hak-hak yang diamanatkan dalam pasal-pasal di atas dalam perikehidupan bernegara, berbangsa, serta bermasyarakat dijabarkan dalam produk-produk hukum dan peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah.13 7. Kewajiban Warga Negara NKRI 7.1 Kewajiban KBBI mendefinisikan ‘kewajiban’ (dari kata dasar ‘wajib’) sebagai ‘sesuatu yang diwajibkan’; sesuatu yang harus dilakukan, suatu ‘keharusan’. Sifat dasar ‘kewajiban’ adalah ‘keharusan’, suatu ‘perintah’ (imperatif). Tidak ada peluang sedikit pun bagi negosiasi, ‘tawar-menawar’ dengan alasannya apa pun untuk tidak melakukannya. Perintah ini harus dilaksanakan dengan penuh kesadaran (awarenes), penuh tanggung jawab (responsibility), karena merupakan wujud karakter/kepribadian yang baik. Prof. Dr. Notonegoro mendefinisikan ‘kewajiban’ adalah ‘beban untuk memberikan sesuatu yang semestinya dibiarkan atau diberikan melulu oleh pihak tertentu, tidak dapat oleh pihak lain mana pun, yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa oleh yang berkepentingan.’


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 119 Dalam konteks ‘kewarganegaraan’, kewajiban warga negara adalah sikap perilaku serta perbuatan yang harus dilakukan oleh seorang warga negara sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku untuk memperlihatkan peran dan partisipasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bedanya dengan ‘kewajiban asasi’ ialah bahwa kewajiban warga negara terkait dengan ketentuan aturan perundangundangan negara, sedangkan ‘kewajiban asasi’ berkaitan dengan hakikat seseorang sebagai manusia dan dengan tugas-tugas kehidupannya sebagai manusia. Kewajiban asasi timbul dari ‘kemanusiaan’ seseorang, dan harus dilakukan atau dikerjakan demi kemanusiaannya. Misalnya ‘kerja’: manusia itu “makhluk kerja” (homo faber), maka dia mau tidak mau harus bekerja demi kemanusiaannya. Tanpa kerja manusia tidak bisa menjadi manusa sepenuhnya. Tanpa kerja, manusia tidak bisa memanusia, tidak bisa sepenuhnya berkembang menjadi manusia yang manusiawi, tidak bisa menyelenggarakan kehidupannya sebagai manusia. Kerja adalah kewajiban asasi. Kewajiban dibagi atas dua macam, yaitu kewajiban sempurna yang selalu berkaitan dengan hak orang lain, dan kewajiban tidak sempurna tidak terkait dengan hak orang lain. Kewajiban sempurna berkaitan dengan tuntutan keadilan,sedangkan kewajiban tidak sempurna berkaitan dengan tuntutan moral. Dalam konteks dua macam kewajiban itu, kita mengenal kewajiban: (a) terhadap orang lain (secara perseorangan), (b) terhadap masyarakat, bangsa dan negara, (c) terhadap Tuhan, dan (d) terhadap diri sendiri.14 7.2 Kewajiban terhadap Orang Lain secara Individu • Hak Hidup Dalam melakukan kewajiban, seseorang berhadapan dengan orang lain sebagai individu, perseorangan. Ia wajib melakukan kewajibannya karena orang yang ia hadapi mempunyai hak. Karena individu ini adalah manusia yang hidup maka ia mempunyai hak hidup. Kewajiban orang lain terhadap hak hidup ini ialah mengakui dan


Bab 3 Hak dan Kewajiban Warga Negara dan Negara 120 menghormati hidup itu, tidak boleh ia menghilangkan hidup orang lain (membunuh), menganiaya, dan bertindak kejam terhadap orang lain yang membahayakan hidup orang lain. Melekat erat pada hidup itu ialah hal kemerdekaan, kebebasan, dan keamanan. Sebab bagaimana mungkin seseorang dapat hidup dan berkembang selaras kemanusiaannya jika ia tidak bebas dan tidak merasa aman? Termasuk di dalam hak hidup ini adalah hak-kawin (hak untuk melangsungkan dan mempertahankan jenisnya sebagai manusia), hak milik, nama baik, hak berpikir, hak berkebangsaan. • Hukum dan Hukuman Hak manusia atas hidup, kemerdekaan, dan kemanusiaan bersifat terbatas. Setiap manusia terbatas oleh kemanusiaannya. Maka, dalam masyarakat ada aturan-aturan untuk melindungi kemanusiaan dan menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Kumpulan aturan itu disebut hukum. Hukum itu berlaku untuk semua orang yang berdiam di dalam wilayah hukum itu, justru karena mereka mengakui kemanusiaan semua orang. Hukum itu bersifat mengikat, tidak hanya ikatan batin, tetapi terutama ikatan hukum yang dapat dipaksakan dalam pelaksanaannya sehingga barang siapa melanggar, terhadapnya dikenakan hukuman. Berat-ringannya hukuman itu tergantung pada besar-kecilnya pelanggaran. Biasanya, hukuman sudah langsung tercantum pada setiap aturan hukum yang sudah disepakati. Hukuman pada hakikatnya bukanlah tujuan hukum, tetapi hanyalah alat tata tertib. Ada dua anggapan terhadap hukuman: a) balas dendam terhadap orang yang telah melakukan suatu pelanggaran hukum, dan b) alat untuk menginsafkan penjahat agar ia jera dan bertobat, dan peringatan kepada orang lain agar tidak melakukan kejahatan, pencegah agar orang jangan melakukan pelanggaran hukum yang mengganggu ketertiban umum masyarakat. Semua anggapan ini benar sejauh hukuman mempunyai efek jera dan mencegah orang untuk melanggar hukum.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 121 Kewajiban pemegang hukum dan yang menjatuhkan hukuman adalah harus selalu mengindahkan perikemanusiaan beserta segala nilai dasarnya. Semua hukum dan hukuman tidak boleh melanggar kemanusiaan (Deklarasi Dunia tentang Hak Asasi Manusia Pasal 7, 10, 11). 7.3 Kewajiban terhadap Orang Lain dalam Masyarakat dan Negara Sebagai anggota masyarakat, seseorang tidak hanya mempunyai kewajiban terhadap orang lain/sesama sebagai pribadi, tetapi juga terhadap kesatuan sosial yang lebih besar, yaitu masyarakat atau negaranya secara keseluruhan. Masyarakat atau negara mempunyai ‘hak’ atas seluruh warganya, misalnya ‘hak memerintah’. Hak ini harus dipenuhi. Di sini muncul pertanyaan menyangkut sumber hak negara untuk memerintah: dari mana negara menerima hak memerintah, yang kemudian melahirkan beberapa teori tentang sumber hak negara untuk memerintah: teokratis, kekuasaan, demokratis, dan lain-lain Terlepas dari pandangan teori-teori di atas, patut dicamkan bahwa dasar dari kewibawaan negara adalah kemanusiaan manusia sebagai warga negara. Manusia, demi kemanusiaannya, berhak hidup bermasyarakat dan bernegara. Jadi, bermasyarakat dan bernegara itu adalah tuntutan kodrat manusia sebagai makhluk ‘sosial’, makhluk yang senantiasa hidup bersama orang lain dalam masyarakat. Yang primer di sini adalah manusia individu. Kalaupun ia harus hidup bersama orang lain demi kesempurnaan dirinya sebagai pribadi (persona), ia tidak kehilangan kemanusiaan beserta seluruh hak-hak asasinya. Kalaupun manusia individual dalam hidup bermasyarakat harus berpartisipasi dalam pembangunan nasional demi tercapainya tujuan nasional, ia tidak kehilangan kemanusiaan dan hak-hak asasinya. Di sini negara tampil sebagai pengatur dan penjaga proses pelaksanaan kepentingan umum atau kesejahteraan umum. Untuk itu negara harus mempunyai wewenang untuk memerintah; negara harus mempunyai kewibawaan, otoritas. Terhadap wewenang negara dan segala aturan hukum yang dibuat negara, warga negara wajib patuh dan taat, demi


Bab 3 Hak dan Kewajiban Warga Negara dan Negara 122 tercapainya kesejahteraan umum, yang menjadi tujuan terbentuknya negara, kendati aturan hukum negara mungkin sedikit mengurangi dan membatasi kebebasan individu. Dalam praktiknya, bukan hanya kepentingan atau kesejahteraan umum yang menjadi ukuran hukum. Kepentingan umum selalu menyangkut individu warga negara. Misalnya, aturan lalu lintas diadakan demi kepentingan umum, tetapi yang melanggar aturan lalu lintas adalah individu, orang per orang, yang ditindak kalaumelanggar aturan itu. Aturan itu dipaksakan, artinya diharuskan dengan hukuman sebagai ancamannya. Untuk ini harus ada kekuasaan dan kekuatan. Lahirlah badan-badan pembuat hukum, pelaksana hukum, dan pengadilan dengan fungsi dan tugas masing-masing. 7.4 Kewajiban terhadap Tuhan Kewajiban terhadap orang lain, baik secara individual maupun kolektif, di dalammasyarakat/negara,tidakbisatidakmembawamanusia kepada satu kewajiban eksistensial lain, yaitu kewajiban terhadap Tuhan. Tuhanlah pencipta, asal, dan tujuan hidup manusia. Antara Tuhan dan manusia terjalin suatu relasi timbal-balik yang abadi. Maka, dalam konteks bahasan tentang ‘hak dan kewajiban’, harus dikatakan bahwa relasi antara Tuhan dan manusia dengan sendirinya menimbulkan ‘hak dan kewajiban’ sebagaimana terdapat di antara manusia. Namun, penjelasannya bersifat “analogis”. Hak Tuhan terhadap manusia bersifat “mutlak”, sementara manusia, di hadirat Tuhan, tidak mempunyai “hak” yang harus dituntut. Manusia adalah “abdi” Allah yang harus melayani Tuhan secara mutlak. Pengabdian manusia terhadap Tuhan ini tidak dilakukan dengan takut dan gentar, layaknya seorang hamba sahaya. Sebab Tuhan bukanlah raja lalim dan bengis yang “menguasai” belaka tanpa kompromi. Ia adalah kasih, kebaikan, kebenaran, keadilan dalam keadaan sempurna abadi. Terhadap Tuhan itu, manusia harus menunjukkan sikap serahdiri, taat-patuh-tunduk, sembah-bakti, puji dan syukur dalam doa dan ibadah, serta dalam tutur-kata, perilaku dan karya yang selaras dengan


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 123 kehendak Tuhan dan yang mencerminkan keluhuran Tuhan dan martabat kemanusiaannya. Semua itu demi keluhuran dan kemuliaan Tuhan serta demi keluhuran manusia. Bila hidup manusia berlangsung tidak selaras kehendak Tuhan, ia berada dalam keadaan yang lazim disebut “dosa”, yang memisahkan dirinya dari Tuhan. Agar bisa kembali bersatu dengan Tuhan, ia berkewajiban “bertobat”, kembali kepada Tuhan, hidup selaras kehendak Tuhan. Inilah ‘kewajiban’ manusia terhadap Tuhan. 7.5 Kewajiban Terhadap Diri Sendiri Hak dan kewajiban mengandaikan ada dua pihak: yang satu mempunyai ‘hak’, yang lain ’berkewajiban’ memenuhi hak itu. Namun, terhadap ‘diri sendiri’, bagaimana “hak dan kewajiban’ dijelaskan? Untuk itu, baiklah kita memperhatikan ungkapan-ungkapan, seperti “tahu diri”, “sadar diri”, kenal diri”, “berdialog dengan diri sendiri”, “mawas diri”, “bunuh diri”, dan sebagainya. Ungkapan-ungkapan ini menunjukkan bahwa subjek dan objek tindakan manusia adalah satu dan sama, yaitu diri sendiri. Subjek seolah-olah keluar dari dirinya sendiri, lalu memandang dirinya sendiri sebagai satu pribadi lain. Ia berhadap-hadapan dengan diri sendiri. Oleh sebab itu, meskipun hanya secara psikologis, kita bisa berbicara tentang ‘kewajiban’ manusia terhadap diri sendiri. Sebagai “persona”, pribadi, manusia adalah makhluk yang sadar diri. Kesadaran ini menumbuhkan ‘kewajiban’ terhadap diri sendiri, yaitu ‘wajib mengembangkan dirinya sendiri, mengembangkan seluruh potensi dirinya: cipta, rasa, dan karsa, serta seluruh daya jasmaninya agar ia bertumbuh sebagai manusia harmonis. Bila manusia pincang dalam pengembangan diri seutuhnya, misalnya hanya mengembangkan salah satu aspek kepribadiannya, itu berarti ia tidak memenuhi “kewajiban” terhadap dirinya sendiri, ia tidak bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Kecuali itu, ia juga berkewajiban terhadap “hidup” yang diberikan Tuhan kepadanya. Bagaimanapun, wajib terhadap diri sendiri bukanlah sesuatu yang berada di luar kewajiban-kewajiban kemanusiaan lainnya: terhadap


Bab 3 Hak dan Kewajiban Warga Negara dan Negara 124 orang lain, masyarakat/negara, dan Tuhan. Wajib terhadap diri sendiri sebenarnya sama dengan kewajiban yang lain; bedanya adalah subjek dan objeknya satu dan sama, yaitu diri sendiri. Jika orang benar-benar memenuhi kewajibannya terhadap sesama, masyarakat/negara, dan Tuhan dengan sebaik-baiknya, ia dengan sendirinya akan memenuhi kewajibannya terhadap diri sendiri. 8. Kewajiban Warga Negara NKRI Dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara, kewajiban dasar warga negara berupa seperangkat kewajiban yang harus dilaksanakan demi tegaknya keluhuran pribadi warga negara sebagai manusia. Apabila tidak dilaksanakan, itu berarti melanggar hak-hak asasi manusia warga negara (UU No. 39 Tahun 1999). Berikut kewajiban dasar sebagai warga negara yang ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Pasal 28 J). (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang, dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. (3) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara (Pasal 30 ayat 1). (4) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar (9 tahun, SD sampai dengan SLTP) dan pemerintah wajib membiayainya (Pasal 31 ayat 2).


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 125 (5) Tiap warga negara wajib menjunjung hukum dan pemerintahan, tidak ada kecualinya (Pasal 27 ayat 2). Tiap warga negara wajib ikut serta dalam upaya bela negara (Pasal 27 ayat 3). Sementara UU No. 39 Tahun 1999 menetapkan kewajiban dasar manusia sebagai warga negara sebagai berikut. (1) Setiap orang yang ada di wilayah negara RI wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara RI. (2) Setiap warga negara wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral etika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (4) Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal-balik serta menjadi tugas pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya. (5) Dalammenjalankan hak dan kebebasannya,setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Selain kewajiban-kewajiban di atas, rakyat juga mempunyai kewajiban di bidang politik, ekonomi, dan sosial. Dalam bidang politik, rakyat mempunyai kewajiban, seperti ikut serta dalam pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden serta anggota parlemen, ikut serta mengawasi dan mengkritisi kinerja pemerintah dan ikut serta dalam proses pengambilan keputusankeputusan politik penting yang berkaitan dengan kelangsungan hidup negara dan kelangsungan hidup rakyat.


Bab 3 Hak dan Kewajiban Warga Negara dan Negara 126 Dalam bidang ekonomi dan sosial, rakyat mempunyai kewajiban membayar pajak, menaati aturan-aturan hukum yang berlaku, menjadi fundamental ekonomi negara dan menjadi fundamental sosial negara. Pemerintah sebagai pelaksana undang-undang dapat memperluas kewajiban warga negara dengan cara membuat peraturan perundangundangan. 9. Hak dan Kewajiban Pemerintah/Negara Negara, sebagai organisasi masyarakat yang diberi wewenang untuk menyelenggarakan pemerintahan dalam rangka mewujudkan aspirasi serta kepentingan warga, memiliki hak dan kewajiban untuk dapat mengemban tugasnya, yaitu menyejahterakan warganya. a. Hak-Hak Pemerintah/Negara 1. Membuat peraturan perundang-undangan guna mewujudkan ketertiban dan keamanan bagiseluruh warga negara/masyarakat. 2. Monopoli terhadap seluruh sumber daya (alam, manusia maupun buatan) yang menguasai hajat hidup orang banyak. 3. Memaksakan keberlakuan hukum pada setiap warga negara/ masyarakat agar taat, patuh pada hukum yang berlaku. b. Kewajiban Pemerintah/Negara Kewajiban pemerintah/negara tidak lain adalah mewujudkan tujuan perjuangan bangsa sebagaimana diamanatkan Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. 1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. 2. Memajukan kesejahteraan umum. 3. Mencerdaskan kehidupan bangsa. 4. Ikutsertadalamupayamenciptakanketertibanduniaberdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 127 5. Menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaannya, serta melaksanakan ibadah dan semua kegiatan keagamaan. 6. Membiayai pendidikan dasar. 7. Mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. 8. Memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia. 9. Menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai salah satu kekayaan budaya bangsa. 10. Menguasai cabang-cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak. 11. Memelihara fakir miskin dan anak yatim piatu. Kewajiban pemerintah/negara di atas masih dapat berkembang dan diperluas seiring perkembangan dunia global. Soal-soal Pendalaman 1. Hubungan antara warga negara dan negara ibarat wadah dan isinya. Uraikanlah! 2. Dalam hal apa hubungan antara warga negara dan negara itu dibicarakan? 3. Jelaskanlah pentingnya ‘status kewarganegaraan’ baik bagi individu warga negara maupun bagi negara! 4. Apa itu hak dan apa itu kewajiban? 5. Mengapa kewajiban harus didahulukan, baik oleh warga negara maupun oleh negara?


Bab 4 Identitas Nasional 1. Pengantar Salah satu tanda bahwa ‘indonesianisasi’ mulai berproses dalam diri para warga negara ialah tumbuhnya kesadaran, kebanggaan, dan kecintaan para warga negara akan ‘identitas-nasional’-nya: ‘identitas-nasional-Indonesia’. Tentang ‘identitas’ ini, hal mendasar yang perlu kita sadari ialah bahwa tiap-tiap orang, keluarga, himpunan orang dalam kelompok-kelompok kategorial, suku-bangsa, bangsa, organisasi, termasuk negara punya ‘identitas-diri’ yang khas. Dengan identitas itu semuanya terbedakan satu dari yang lain. Di sini, ‘identitas’ kita pahami sebagai ciri khas, jati diri (kepribadian), karakter yang unik yang mencerminkan siapa dia atau mereka sesungguhnya; dengan identitas itu pula, dia dan/atau mereka mampu menjaga eksistensi dan kelangsungan hidupnya dalam perjalanan sejarah berhadapan dengan segala bentuk ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan (ATHG). Atas dasar penjelasan di atas, Identitas Nasional dapat didefinisikan sebagai “ciri khas dan jati diri (kepribadian, karakter) suatu bangsa yang telah menegara yang membedakannya dari atau dengan bangsa lain di dunia.” Ciri khas dan jati diri ini tercipta selaras keunikan budaya, letak geografis dan iklim, pandangan hidup (falsafah) dan perjalanan sejarah


Bab 4 Identitas Nasional 130 suatu bangsa hingga menjadi sebuah bangsa yang menegara. Dengan menyinggung hal-hal ini, mau dikatakan bahwa ciri khas dan jati diri itu terbentuk oleh berbagai faktor sebagaimana ciri khas dan jati diri seseorang sebagai ‘individu’ terbentuk oleh berbagai faktor, baik faktor internal: biologis, psikologis, genealogis, maupun faktor eksternal: sosiologis (keluarga, masyarakat, sekolah), dan politik.1 Pembahasan tentang materi ‘identitas-nasional’, khususnya ‘identitas-nasional-Indonesia’ dalam bab ini penting bagi mahasiswa agar mereka sebagai generasi muda mengenal dan memahami identitas nasional negaranya. Pengenalan dan pemahaman ini selanjutnya berguna bagi pembangkitan semangat nasionalisme dan patriotisme dalam diri mereka dalam kerangka mempertahankan eksistensi serta kelangsungan hidup bangsa dan negara di tengah gempuran aneka ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, langsung maupun tidak langsung, nyata maupun belum nyata. Pokok-pokok bahasan identitas nasional meliputi: pengertiannya, latar belakangnya, unsur-unsur pembentuknya, serta fungsi dan perannya bagi pembentukan karakter keindonesiaan dalam dalam diri mahasiswa. 2. Identitas Nasional Ungkapan ‘identitas-nasional’ terbentuk dari kata ‘identitas’ dan ‘nasional’; masing-masing mempunyai pengertiannya sendiri. Maka kita perlu menelisik dua kata ini untuk mendapatkan suatu pemahaman yang jelas dan tepat tentang apa itu ‘identitas-nasional’. 2.1 Identitas Pertama-tama baiklah disadari bahwa kata ‘identitas’ itu sendiri adalah kosa kata bahasa Latin,Di Indonesia, kata ‘identitas’ itu adalah kata serapan yang sudah lazim dipakai sehingga tidak terasa lagi sebagai bahasa asing. 1 Bdk. Prof. Dr. H. Kaelan. M.S & Drs. H. Achmad Zubaidi, M.Si, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Penerbit Paradigma Yogyakarta, 2007, hlm. 42-43.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 131 Secara etimologis, kata ‘identitas’ berasal dari kata Latin ‘identitatem’ (kata bendanya: ‘identitas’); identitatem diturunkan dari akar kata ‘idem’ yang berarti ‘sama’, ‘sameness’ (kesamaan), ‘the same as something previously mentioned’ (sama dengan sesuatu yang sudah disebutkan sebelumnya). Dalam bahasa Prancis disebut ‘identité’, Inggris disebut ‘identity’. Semuanya itu menunjuk pada makna : “sameness, oneness, state of being the same – “kesamaan, kesatuan, keadaan menjadi sama.”2 “Contoh untuk ‘sameness’ dan ‘oneness’, misalnya sebagai berikut: “Siapa namamu?” “Nama saya ‘Benyamin’”. Nama ‘‘Benyamin’ ini sama dengan saya, orang yang memakai nama itu, dengan sejumlah keterangan penjelas seperti: berasal-usul dari Timor, pengampu matakuliah PKn dan Pancasila di Unika Atmajaya Jakarta, dan lain-lain keterangan penjelas. Antara ‘nama’ dan ‘orang’-nya ada ke-SAMA-an, ada ke-SATUan, sameness and oneness. Dengan begitu, nama ‘Benyamin’ adalah (salah satu) IDENTITAS saya, PENANDA diri saya karena antara nama dan orangnya ada ‘kesamaan’, ‘sameness’, bahkan ‘oneness’. Contoh untuk ‘the same as something previously mentioned’ (sama dengan sesuatu yang sudah disebutkan sebelumnya): “Manakah alamat rumah kediaman Benyamin?” Alamat rumah Benyamin adalah: “Kampung Tante Cerewet, RT 01/RW 10, Bekasi, Jawa Barat, Indonesia”. “Manakah alamat surat-menyurat Benyamin?” Jawabannya: “IDEM” – “SAMENESS” -- ”the same as something previously mentioned” – sama dengan yang sudah disebutkan sebelumnya atau yang sudah disebutkan ‘di atas’. Dengan begitu, alamat rumah dan alamat surat-menyurat adalah juga IDENTITAS Benyamin’. Di sini ‘identitas’ dapat dipahami sebagai kondisi atau kenyataan tentang sesuatu yang sama. Berdasarkan pengertian etimologi di atas, berikut ini dikemukakan beberapa pengertian ‘identitas’ menurut para ahli.3 2 https://www.wordsense.eu/identitatem/ Banyak penulis materi seputar “identitas-nasional” mengatakan bahwa kata ‘identitas’ berasal dari kata Inggris ‘identity’. Secara etmologis, pendapat ini ‘tidak benar’. Yang benar adalah kata ‘identitas’ itu sendiri adalah kata Latin sebagaimana dijelaskan di atas. Dalam bahasa Indonesia, kata ‘identitas’ itu adalah sebuah kata serapan. 3 James D. Fearon, What Is Identity (As We Now Use the Word)?, Stanford University: Department of Political Science, Stanford, CA 94305, 1999. Email: [email protected]


Bab 4 Identitas Nasional 132 1. Identitas adalah konsep orang tentang siapa mereka, orang macam apa mereka, dan bagaimana mereka berhubungan dengan orang lain (Hogg dan Abrams 1988, 2). 2. Identitas adalah kata yang dipakai untuk menggambarkan cara individu dan kelompok mendefinisikan diri mereka sendiri dan didefinisikan oleh orang lain atas dasar ras, suku, agama, bahasa, dan budaya” (Deng 1995, 1). 3. Identitas mengacu pada cara-cara di mana individu dan masyarakat dibedakan dalam hubungan sosial mereka dengan individu dan masyarakat lain” (Jenkins 1996, 4). 4. Identitas adalah relatif stabil, pemahaman peran khusus dan harapan tentang diri sendiri (Wendt 1992, 397). 5. Identitas nasional menggambarkan kondisi di mana banyak orang telah membuat identitas yang sama dengan simbol-simbol nasional {telah menginternalisasi simbol-simbol bangsa ...} (Mekar 1990, 52). 6. Identitas adalah refleksi diri atau cerminan diri yang berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis dan proses sosialisasi. Identitas pada dasarnya merujuk pada refleksi dari diri kita sendiri dan persepsi orang lain terhadap diri kita (Stella Ting Toomey). 7. Identitas adalah pendefinisian diri seseorang sebagai individu yang berbeda dalam perilaku, keyakinan dan sikap (Gardiner W. Harry dan Kosmitzki Corinne). Deretan pengertian ‘identitas’ di atas secara singkat tercermin di dalam rumusan pengertian yang dikemukakan dalam Kamus Umum/ Besar Bahasa Indonesia, yaitu “ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang; jati diri.” Oleh ciri-ciri khusus ini, seseorang terbedakan dari orang lain. Jadi, ‘identitas’ menunjuk pada ciri khas seseorang atau penanda diri seseorang, kelompok, organisasi. Penanda diri pribadi, misalnya berwujud: KTP, ID Card, NPWP, SIM, Kartu Pelajar, Kartu Mahasiswa. Sebagai penanda


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 133 kelompok dan organisasi misalnya tampak dalam: LOGO, pakaian seragam slogan, hymne.4 Identitas juga dapat dipandang sebagai ‘simbolisasi ciri khas yang mengandung diferensiasi dan mewakili citra seseorang, sekumpulan orang dalam kelompok-kelompok kategorial atau organisasi, termasuk negara.’ Unsur umum identitas antara lain adalah: (1) Nama, logo, slogan dan mascot, (2) Sistem grafis dan elemen visual yang standar: warna, gambar, bentuk huruf dan tata letak. (3) Aplikasi pada media resmi (official) dan media pada umumnya.5 2.2 Nasional Kata nasional secara etimologis berasal dari kata Latin: natio atau nasci, diturunkan dari kata natus yang berarti ‘lahir, kelahiran’.6 Dalam bahasa Inggris disebut ‘nation’ yang berarti ‘bangsa’ atau kelompok manusia yang menjadi penduduk resmi suatu negara. Dalam perkembangannya, kata ‘nasional’ dalam kosa kata bahasa Indonesia diambil over dari kata Inggris ‘national’ (kata sifat dari ‘nation’), yang berarti ‘yang berkenaan dengan hal kebangsaan’. Dari kata ‘nation’ inilah terbentuk kata nasional, nasionalisme, nasionalis, kenasionalan, nasionalisasi. Dalam Kamus Umum/Besar Bahasa Indonesia, “nasional” berarti bersifat kebangsaan; berkenaan atau berasal dari bangsa sendiri; meliputi suatu bangsa. Dalam bahasa Inggris disebut “national” yang dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary berarti: (1) connected with a particular nation; shared by a whole nation; (2) owned, controlled or financially supported by the federal, government. 7 Lalu apa pengertian ‘bangsa’ itu? Bangsa8 berarti ‘kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri’ (Kamus Umum Bahasa Indonesia) Senada dengan KBBI, Menurut Jalobsen dan Lipman, bangsa adalah 4 Bdk. RISTEKDIKTI, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi, Cet. 1, 2016, hlm. 27. 5 Alo Liliweri, Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta: PT LkiS Pelangi Angkasa, 2007, hlm.69. 6 Mali dkk, Op.Cit., hlm. 289. 7 Bdk. RISTEKDIKTI, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi, Cet. 1, 2016, hlm. 28. 8 Mali dkk, Op.cit. hlm. 43-44.


Bab 4 Identitas Nasional 134 suatu kesatuan budaya (cultural unity) dan suatu kesatuan politik (political unity). Demikian pula Hans Kohn, bangsa adalah ‘sekumpulan manusia yang merupakan satu-kesatuan karena memiliki persamaan kebudayaan, seperti bahasa, adat-istiadat, agama, dan sebagainya.’ Sementara bagi Otto Bauer, “bangsa” adalah ‘kelompok manusia yang mempunyai kesamaan karakter; karakter itu tumbuh karena adanya kesamaan nasib.’ Ernest Renan9 mendefinisikan ‘bangsa’ (“Apa itu bangsa?”, 1882), dengan merumuskan pahamnya sebagai berikut: suatu bangsa terbentuk bukan hanya berdasarkan pada masa lampau bersama yang nyata terjadi, tapi juga pada kemauan untuk hidup bersama : “Ce qui constitue une nation, ce n’est pas de parler la même langue, ou d’appartenir à un groupe ethnographique commun, c’est d’avoir fait ensemble de grandes choses dans le passé et de vouloir en faire encore dans l’avenir” –– “Apa yang membentuk suatu bangsa, bukanlah menutur bahasa yang sama, atau menjadibagiandari kelompok etnografis yang sama,tapisempatmembuat hal-hal besar pada masa lampau dan ingin membuat lagi hal-hal besar itu pada masa depan”. Presiden Soekarno sering mengacu pada gagasan Renan ini untuk menjelaskan pahamnya tentang bangsa Indonesia. Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa bangsa adalah sekelompok orang yang memiliki: (a) cita-cita bersama yang mengikat dan menjadi satu kesatuan (baik historis, kultural maupun politik); (b) rasa senasib-sepenanggungan terkait sejarah kehidupan dan perjuangannya; (c) karakter dan pengalaman sejarah yang sama; (d) adat istiadat/budaya yang sama (kesatuan budaya); (e) satu kesatuan wilayah (mendiami suatu wilayah yang sama); (f) terorganisir dalam satu wilayah hukum (kesatuan politik). Kesimpulan dari uraian tentang ‘bangsa’ dalam enam poin (a-f) di atas hendak menegaskan bahwa istilah ‘bangsa’ (nation) dan ‘kebangsaan’ (national) dalam konteks pembicaraan tentang ‘identitas-nasional’ lebih menunjuk pada ‘bangsa yang telah menegara’, tidak menunjuk pada sekedar suatu “persekutuan hidup sekelompok manusia yang sekelahiran, seketurunan, sesuku, sebahasa, seagama, sekebudayaan dan 9 https://id.wikipedia.org/wiki/Ernest_Renan diakses, Kamis, 15 Desember 2021.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 135 lain sebagainya”. Ungkapan “bangsa yang telah menegara” mengandung makna bahwa persekutuan hidup sekelompok manusia yang sekelahiran, seketurunan, sesuku, sebahasa, seagama, sekebudayaan, sesejarah, dan lain sebagainya itu telah sepakat untuk mendirikan sebuah negara merdeka dan berdaulat sebagai satu-kesatuan politik, yang menghimpun mereka untuk secara bersama menata kehidupannya sendiri berdasarkan suatu tujuan bersama yang telah disepakati guna meraih masa depan yang dicita-citakan. Kesepakatan ini didorong oleh nasib sejarah yang sama sehingga mereka merasa senasib-sepenanggungan, yang kemudian melahirkan cita-cita yang sama, yaitu mendirikan sebuah negara baru yang merdeka dan berdaulat di atas suatu ‘wilayah-negara’. Bagi bangsa Indonesia, nasib sejarah yang sama yang menggerakkan bangsa Indonesia untuk merasa senasib-sepenanggungan, lalu secitacita adalah nasib sejarah penjajahan bangsa asing, terutama bangsa Belanda (350 tahun) dan Jepang (3,5 tahun). Hal inilah yang kiranya melahirkan gagasan dalam benak para pendiri negara Indonesia Merdeka untuk mengklaim, menjadikan dan/atau menetapkan seluruh wilayah Nusantara, yang senyatanya merupakan wilayah bekas jajahan kolonial Belanda, sebagai wilayah negara Indonesia Merdeka. 2.3 Identitas Nasional Dari pengertian kata ‘identitas’ dan ‘nasional’ di atas, kita dapat mengatakan bahwa ‘identitas-nasional’ adalah “ciri khas dan jati diri (kepribadian, karakter) dari suatu bangsa yang telah menegara, yang membedakannya dari atau dengan bangsa lain di dunia.” Dengan demikian, Identitas Nasional Indonesia adalah “ciri-ciri karakteristik dan jati diri bangsa Indonesia sebagai bangsa yang menegara, yang membedakannya dengan bangsa lain”. Ciri khas dan jati diri ini mengandung sekumpulan tata nilai yang membentuk karakter bangsa Indonesia yang tercermin di dalam pola pikir, pola sikap, dan pola tingkah laku bangsa Indonesia. Dengan begitu, identitas nasional itu sesungguhnya merupakan penanda diri yang luhur dalam tata kehidupan bangsa dan negara Indonesia, yang


Bab 4 Identitas Nasional 136 seyogianya dijunjung tinggi oleh seluruh warga negara Indonesia, karena mengandung nilai yang harusnya menjadi asas dan norma kehidupan bangsa Indonesia dalam membangun membangun negaranya. Meneguhkan rumusan pengertian ‘identitas-nasional’ di atas, di bawah ini dikemukakan beberapa pendapat ahli terkait pengertian ‘identitas-nasional’ sebagai berikut:10 1) Identitas nasional adalah sifat khas yang melekat pada suatu bangsa atau yang lebih dikenal dengan kepribadian/karakter suatu bangsa (Muhamad Erwin).11 2) Identitas nasional adalah kepribadian nasional atau jati diri nasional yang dimiliki suatu bangsa yang membedakan bangsa satu dengan bangsa yang lain (Tim Nasional Dosen Pendidikan Kewarganegaraan).12 3) Identitas Nasional adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lain. Identitas ini pada hakikatnya merupakan manisfestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam satu bangsa dengan ciri-ciri khasnya tersendiri, yang membedakan bangsa yang satu dengan bangsa lain. (Kaelan dan Achmad Zubaedi).13 4) Identitas Nasional adalah manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek kehidupan suatu bangsa dengan ciriciri khas, dan dengan yang khas tadi suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain dalam kehidupannya (Koento Wibisono).14 Identitas nasional suatu bangsa tidak dapat dipisahkan dengan jati diri atau kepribadian suatu bangsa Menurut Soemarno Soedarsono, identitas nasional mempunyai fungsi sebagai berikut:15 10 Dikutip dari satu Modul Pengajaran “Pertemuan Ke-6, berjudul, Skenario Modul Identitas Nasional, tanpa pengarang, tanpa tahun. 11 Muhamad Erwin, Pendidikan Kewarganegaraan Republik Indonesia, PT Refika Aditama, 2013, hlm 41. 12 Tim Nasional Dosen Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Kewarganegaraan Paradigma Terbaru Untuk Mahasiswa, Alfabeta, 2011, hlm 66. 13 Kaelan dan Achmad Zubaidi, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Pendidikan Tinggi, Paradigma, Yogyakarta, hlm 43. 14 Koento Wibisono, dalam: Srijanti dkk, 2011, Pendidikan Kewarganegaraan di PT: Mengembangkan Etika Berwarga Negara, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, hlm 39 15 Soemarno Soedarsono, dalam: Muhamad Erwin, Opcit, hlm 42.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 137 1) Penanda diri dan penanda eksistensi bangsa. Disini identitas nasional menjamin keberlangsungan hidup bangsa dan negara di tengah gempuran aneka ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, langsung maupun tidak langsung, nyata maupun tidak/belum nyata, militeristik maupun nirmiliteristik. 2) Pencerminan kondisi bangsa yang menampilkan kematangan jiwa, daya juang, dan kekuatan bangsa, sebagaimana dapat dilihat dalam kondisi bangsa pada umumnya maupun kondisi ketahanan nasional pada khususnya; dan 3) Pembeda dengan bangsa lain di dunia. Identitas nasional sebagai karakter bangsa tidak datang dengan sendirinya; ia terbentuk oleh berbagai faktor, antara lain falsafah hidup, kebudayaan, geografi dan iklim di mana bangsa itu hidup, serta oleh rangkaian sejarah bangsa itu. Jadi, ‘identitas nasional’ adalah identitassuatu kelompok masyarakat, suatu bangsa, yang memiliki ciri tersendiri yang membedakannya dengan kelompok masyarakat atau bangsa lain. Ciri khas ini selanjutnya melahirkan tindakan kolektif seluruh masyarakat atau bangsa itu. Dengan demikian jelaslah bahwa setiap bangsa di dunia ini sudah akan dengan sendirinya memiliki identitas sendiri-sendiri selaras keunikan, sifat, ciri serta karakter dari bangsa masing-masing. 3. Sumber Identitas Nasional Indonesia Prof. Kaelan mengatakan bahwa identitas nasional Indonesia – tentu saja termasuk identitas nasional bangsa-bangsa lain – terbentuk oleh faktorfaktor objektif(faktorkondisigeografidanlingkunganalamsertademografi) dan faktor-faktor subjektif (sejarah/historis, falsafah hidup, kondisi politik


Bab 4 Identitas Nasional 138 dan sosial-budaya) dari bangsa itu.16 Pandangan ini mengandung makna bahwa indentitas nasional itu merupakan suatu kenyataan hidup yang dialami dan dihayati secara nyata oleh bangsa Indonesia. Bila demikian, dua faktor itu dapat dipandang sebagai “sumber”, dari mana identitas nasional Indonesia itu membual keluar. Pertanyaan kita adalah “Bagaimana dua faktor ini, yang dapat dipandang sebagai “sumber”, dari mana identitas nasional Indonesia itu membual keluar, dapat dijelaskan?” Jawaban atas pertanyaan ini dapat kita jawab dengan melihat apa yang terkandung di dalam kata atau nama “Indonesia” itu sendiri. Bila orang bertanya “Apa itu Indonesia?”, secara spontan dan yakin kita akan menjawab bahwa “Indonesia itu adalah: (1) satu wilayah (negara), (2) satu bangsa, (3) satu negara, dan (4) satu ideologi.” Dalam empat aspek ‘Indonesia’ ini, kita menemukan ‘keutuhan’ dari ‘Indonesia’ itu. Dari empat aspek itu pula terpancar keluar ciri-ciri karakteristik nasional Indonesia itu. Oleh sebab itu, empat aspek Indonesia ini dapat kita sebut sebagai “sumber” dari mana kita dapat melacak dan mengenal ciri-ciri karakteristik nasional Indonesia. Sebagai WILAYAH, Indonesia adalah ‘tanah air fisik’ bagi bangsa Indonesia: tempat orang-orang Indonesia lahir, dibesarkan, dan menjalani kehidupannya sehari-hari. Tanah air fisik ini membentang dari Sabang sampai Merauke, Miangas sampai Pulau Rote, terdiri dari 17.508 pulau, besar-kecil, dan lazim disebut NUSANTARA. Sebagai BANGSA, Indonesia terdiri dari suku-suku bangsa yang berbeda-beda satu dari yang lain dalam banyak hal: sejarah, adat-istiadat, kebudayaan, agama (agama asli/suku, agama-agama dari luar), bahasa daerah, watak-kepribadian, yang dahulu kala terhimpun dalam kerajaankerajaan, kecil-besar, di pulau dan daerah masing-masing. Sebagai NEGARA, Indonesia adalah ‘tanah air formal’ bagi bangsa Indonesia. Namanya: Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). NKRI ini didirikan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh bangsa 16 Kaelan dan Achmad Zubaidi, Op.Cit, hlm 49. Lihat juga, Soemarno Soedarsono, dalam: Muhamad Erwin, Opcit, hlm 49.


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 139 Indonesia. Di dalam dan oleh NKRI yang merdeka dan berdaulat, bangsa Indonesia dapat mengembangkan seluruh potensinya. Namun, NKRI ini eksis, hanya karena para pendiri bersepakat menjadikan PANCASILA sebagai IDEOLOGI NASIONAL. Tanpa KONSENSUS ini, NKRI tidak akan pernah ada, dan bangsa yang berbeda-beda suku dan hidup bertebaran di seluruh Nusantara itu tidak pernah akan bersatu pula, sesuai pernyataan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Oleh sebab itu, ideologi PANCASILA bagi bangsa Indonesia adalah ‘tanah air mental’, bukan dalam arti suatu ‘wilayah fisik-teritorial’, melainkan dalam arti ‘gagasan-gagasan atau ide-ide dasar’ di atas mana NKRI itu berdiri. Dengan demikian, dalam konteks menemukan identitas nasional Indonesia, PANCASILA merupakan salah satu sumber dari mana identitas nasional Indonesia dapat dilacak, bahkan merupakan sumber identitas nasional yang paling fundamental, yang membedakan Indonesia dari bangsa dan negara lain di dunia. Mengapa? Karena di antara ratusan negara di dunia, HANYA Indonesia yang menjadikan PANCASILA sebagai IDEOLOGI NASIONAL dan DASAR NEGARA, meskipun kelima nilai dalam Pancasila bersifat universal: diterima, diyakini, dihayati oleh seluruh bangsa di dunia dalam mengelola bangsa dan negaranya. Pandangan ini berdasarkan teori lahirnya negara, yang mengharuskan adanya wilayah, rakyat, dan pemerintahan yang berdaulat. Jadi, sumber dari mana kita menemukan identitas nasional itu seyogianya ditelisik dalam apa yang terkandung dalam makna kata atau nama ‘Indonesia’ itu sendiri, yaitu Indonesia sebagai ‘wilayah’, ‘bangsa’, ‘negara’, dan ‘ideologi’. 3.1 Identitas Nasional dari Aspek Kewilayahan Pertama, Indonesia sebagai Wilayah. WILAYAH NEGARA merupakan salah satu syarat dan unsur berdirinya sebuah negara. Bila ditanya: “Di manakah letak Negara Indonesia itu?” Kita menjawab dengan menunjuk suatu kawasan territorial yang disebut “NUSANTARA”. Mengapa disebut ‘nusa antara’? Karena, Indonesia itu adalah gugusan ribuan pulau, besar-


Click to View FlipBook Version