Bab 1 Pendahuluan 40 Dengan merujuk pada UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PKn dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang a) memiliki rasa kebangsaan dan b) cinta tanah air. Soal-soal Pendalaman 1. Menurut pendapat Anda, mengapa negara mewajibkan matakuliah Pendidikan Kewarga-negaraan di sekolah-sekolah dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi? Apa manfaat matakuliah ini bagi Anda? 2. Kepribadian Indonesia yang hendak dibentuk oleh matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan ini adalah kepribadian Pancasilais. Apa artinya dan apa maksudnya? 3. Pendidikan Kewarganegaraan mengandung tiga dimensi: (i) dimensi pengetahuan dan pemahaman kewarganegaraan, (ii) dimensi nilai dan watak kewarganegaraan, dan (iii) dimensi keterampilan dan kecakapan kewarganegaraan. Jelaskanlah? 4. Menyebut kata INDONESIA, kita mengingat empat hal yang di dalamnya kita temukan keutuhan Indonesia. Jelaskan! 5. Buatlah sebuah refleksi singkat terkait dengan tujuan dari matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan sebagaimana tertuang dalam Keputusan Dirjen Dikti No. 38/DIKTI/Kep/2002!
Bab 2 Negara dan Konstitusi 1. Pengantar Pepatah Latin mengatakan “Ubi Societas Ibi Ius”1 artinya “Di mana ada masyarakat, di situ ada hukum”. Karena ‘negara’ adalah ‘masyarakatpolitik’ yang mempunyai atau memegang kekuasaaan tertinggi, maka ungkapan di atas dapat berbunyi: “Di mana ada negara, di situ ada hukum’. Ungkapan ini mau mengatakan bahwa ‘hukum’ itu sangat penting dan perlu untuk mengatur kehidupan bersama manusia. Tanpa hukum, kehidupan manusia akan liar tak beraturan, di mana yang kuat dapat seenaknya berlaku tidak manusiawi terhadap yang lemah, dan akan selalu menang atas yang lemah. Tujuan hukum adalah melindungi kepentingan manusia, baik kepentingan sendiri maupun kepentingan umum, demi memenuhi dan mempertahankan hak dan kewajibannya. Manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon) yang selalu ingin hidup bersama dengan manusia lain, selalu ingin bermasyarakat dan behubungan dengan yang lain. Di dalam yang lain, tiap-tiap orang memperoleh kesempurnaan dirinya sebagai manusia. Kebersamaan dengan orang lain memungkinkan tiap-tiap orang 1 Ubi Societas Ibi Ius adalah ungkapan yang tercatat pertama kalinya diperkenalkan oleh Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) seorang filsuf, ahli hukum dan ahli politik yang dilahirkan di Roma Italia. ... Hukum dasar yang menjiwai setiap lakon kita sebagai manusia yang hidup sebagai makhluk sosial (Zoon Politicon).
Bab 2 Negara dan Konstitusi 42 dapat memenuhi kebutuhannya yang beraneka ragam dan tidak mungkin dipenuhi sendiri. Bab 2 ini hendak membahas tentang “NEGARA dan KONSTITUSI”, dua pokok bahasan yang merupakan satu kesatuan yang hidup (a living unity), yang tidak bisa dipisahkan satu dari yang lain, karena saling mengandaikan danmengartikan.NEGARAadalahpersekutuanhidupbersamabagiseluruh warga negara dan merupakan suatu organisasi politik yang didirikan atas dasar consensus dari para pendiri atas nama seluruh rakyat. Sedangkan KONSTITUSI adalah HUKUM DASAR yang mengatur kebersamaan hidup di dalam negara yang adalah organisasi politik yang didirikan untuk meraih cita-cita bersama, sebagaimana dikatakan ungkapan “ubi societas, ibi ius” – di mana ada masyarakat, di situ ada hukum.” Hukum berisi normanorma objektif yang mengatur perilaku hidup bermasyarakat agar ada ketertiban dalam hidup bersama. Bila Negara Kesatuan Republik Indonesia ini (NKRI) diibaratkan sebagai sebuah bangunan rumah nasional yang menghimpun seluruh rakyat di dalamnya, maka PANCASILA Dasar Negara yang berisi NILAI-NILAI LUHUR budaya bangsa adalah FUNDASI dari rumah nasional itu, sedangkan KONSTITUSI atau UNDANG-UNDANG DASAR 1945 dan seluruh peraturan perundang-undangan di bawahnya adalah TIANG / PILAR AGUNG dan pilar-pilar penyanggah seluruh sendi bangunan rumah nasional itu. Fundasi yang kuat di atas mana didirikan pilar-pilar penyanggah yang kuat juga akan membuat rumah kokoh berdiri selamanya. Rumah ini harus dirawat dan dijaga sebaik-baiknya oleh seluruh rakyat di bawah kepemimpinan pemerintah. Dituntut “komitmen” yang sungguh-sungguh untuk menjaga dan merawat rumah nasional itu agar tetap eksis dan langgeng, beradab dan berkeadilan. Caranya ialah dengan menaati sungguh-sungguh Konstitusi yang telah ditetapkan sebagai aturan kelakuan bersama yang mengikat semua, rakyat maupun pemerintah tanpa kecuali, sehingga pada suatu ketika apa yang menjadi cita-cita dan tujuan bersama dapat terwujud. Untuk maksud itulah, perlu kiranya para warga negara (rakyat dan pemerintah) memahami hal-hal mendasarterkait‘negara’ dan ‘konstitusi’.
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 43 Bab 2 ini hendak mengemukakan beberapa pokok pikiran tentang ‘negara’ dan ‘konstitusi’ yang kita pandang sebagai hal-hal fundamental yang harus kita pahami sebagai warga negara. 2. NEGARA 2.1 Masyarakat dan Bangsa Di antara semua bentuk masyarakat yang ada, ‘negara’ pada dasarnya adalah suatu ‘masyarakat’ tetap dengan kekuasaan tertinggi. Atas semua bentuk masyarakat, negara memiliki keunggulan karena negara berkewajiban memperhatikan dan menjamin kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat/masyarakat. Namun, manakala semua kelompok masyarakat lain dalam arti tertentu tunduk pada negara, itu tidak berarti bahwa negara adalah penguasa tunggal atas semua kuasa duniawi lainnya. Maka sebelumkitamengupas apa itu ‘negara’, baiklah kitamemahami dahulu apa itu ‘masyarakat’ dan apa itu ‘bangsa’, dari padanya negara lahir dan berkembang. ’Masyarakat’ (societas, society) dapat dipahami secara berbeda-beda sesuai sudut tinjauan dan tekanannya. Masyarakat dapat didefinisikan sebagai: (a) kesatuan terbesar dari manusia yang bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan bersama atas dasar kebudayaan yang sama; (b) suatu jalinan kelompok sosial yang saling mengait dalam kesatuan yang lebih besar berdasarkan kebudayaan yang sama, dan (c) kesatuan yang tetap dari orang-orang yang hidup di daerah tertentu dan bekerja sama dalam kelompok-kelompok berdasarkan kebudayaan yang sama untuk mencapai kepentingan yang sama. Mereka hidup bersama dalam berbagai hubungan antara individu yang berbeda-beda sifat dan tingkatannya. Kehidupan bersama itu dapat berbentuk kampung, desa, kota, daerah, dan negara. Pada umumnya kita mengenal ada tiga jenis ‘masyarakat’: (a) Gemeinschaft: masyarakat berdasarkan hubungan kekerabatan: keluarga inti (suami-istri-anak), keluarga besar (meliputi segenap keluarga yang lahir dari satu nenek moyang), perkumpulan keluarga-keluarga; (b)
Bab 2 Negara dan Konstitusi 44 Gesellschaft: masyarakat berdasarkan hubungan kepentingan/pekerjaan/ profesi (serikat pekerja, perkumpulan dokter-dokter, perkumpulan ahli-ahli ekonomi, perkumpulan ahli-ahli hukum dan pengacara, dll), perkumpulan untuk kegiatan-kegiatan sosial (koperasi, arisan, dll), perkumpulan kesenian, olahraga, dll. (c) Dalam dunia modern sekarang, terbentuklah masyarakat berdasarkan hubungan ideologis, kesamaan pandangan hidup, kesamaan kepentingan, seperti: partai politik, ormas keagamaan, seperti Nahdatul Ulama, Muham-madyah, dll. Demikian juga pada tingkat hubungan antarnegara-negara sedunia, karena desakan kesaling-tergantungan (interdependensi) antara negara-negara sedunia yang semakin berkembang menjadi suatu keniscayaan, keharusan, maka lahirlah perkumpulan negara-negara, seperti: NATO, ASEAN, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), Uni Eropa, dll. Bangsa berarti ‘kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri’ (Kamus Umum Bahasa Indonesia) Senada dengan KBBI, Menurut Jalobsen dan Lipman, bangsa adalah suatu kesatuan budaya (cultural unity) dan suatu kesatuan politik (political unity). Demikian pula Hans Kohn, bangsa adalah ‘sekumpulan manusia yang merupakan satu-kesatuan karena memiliki persamaan kebudayaan, seperti bahasa, adat-istiadat, agama, dan sebagainya.’ Sementara bagi Otto Bauer, bangsa adalah ‘kelompok manusia yang mempunyai kesamaan karakter; karakter itu tumbuh karena adanya kesamaan nasib.’ Ernest Renan mendefinisikan ‘bangsa’ (“Apa itu bangsa?”, 1882), dengan merumuskan pahamnya sebagai berikut: suatu bangsa terbentuk bukan hanya berdasarkan pada masa lampau bersama yang nyata terjadi, tapi juga pada kemauan untuk hidup bersama : “Ce qui constitue une nation, ce n’est pas de parler la même langue, ou d’appartenir à un groupe ethnographique commun, c’est d’avoir fait ensemble de grandes choses dans le passé et de vouloir en faire encore dans l’avenir” –– “Apa yang membentuk suatu bangsa, bukanlah menutur bahasa yang sama, atau menjadi bagian dari kelompok etnografis yang sama, tapi sempat membuat hal-hal besar pada masa lampau dan ingin membuat lagi hal-
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 45 hal besar itu pada masa depan”. Presiden Soekarno sering mengacu pada gagasan Renan ini untuk menjelaskan pahamnya tentang bangsa Indonesia. Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa bangsa adalah sekelompok orang yang memiliki: (a) cita-cita bersama yang mengikat dan menjadi satu kesatuan (baik historis, kultural maupun politik); (b) rasa senasib-sepenanggungan terkait sejarah kehidupan dan perjuangannya; (c) karakter dan pengalaman sejarah yang sama; (d) adat istiadat/budaya yang sama (kesatuan budaya); (e) satu kesatuan wilayah (mendiami suatu wilayah yang sama); (f) terorganisir dalam satu wilayah hukum sehingga menjadi satu kesatuan politik. 2.2 Pengertian Negara dan Sifat Hakiki Negara2 Kita menelisik istilah atau konsepsi tentang ‘negara’ dengan bertanya “apa pengertian yang terkandung dalam istilah atau konsepsi ‘negara’ itu?” Menjawabi pertanyaan ini, biasanya ada metode untuk memahami ‘negara’. Pertama, metode pendekatan berdasarkan doktrin para pakar. Kedua, metode pendekatan linguistik atau metode pendekatan bahasa, khususnya metode pendekatan semantik. Metode pendekatan doktriner adalah metode pendekatan yang bertujuan untuk memahami konsep negara dengan bertitik tolak dari definisi para pakar. Dari definisi pakar dapat diketahui berbagai aspek negara karena setiap definisi biasanya bertitik tolak dari suatu perspektif sehingga dari berbagai definisi dapat diketahui berbagai aspek negara. Sedangkan metode pendekatan linguistik adalah metode pendekatan yang bertujuan untuk memahami konsep negara dengan cara membahas konsep-konsep negara. Setiap bangsa menggambarkan ‘negara’ dengan istilah yang berbedabeda, tetapi dengan maksud yang sama, yakni untuk menyebut ‘negara’. Ada berbagai macam istilah mengenai ‘negara’ dalam literatur-literatur dengan pengertian yang sangat berbeda. Namun, secara lambat laun 2 Bacaan pada bagian ini diolah dari buku Dr. Hotma P. Sibuea, SH, MH Ilmu Negara, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2014, hlm. 31-53
Bab 2 Negara dan Konstitusi 46 berkembang suatu istilah yang secara umum dapat diterima sebagai istilah yang tepat untuk menggambarkan pengertian sifat hakiki negara. Sekarang, istilah yang dipergunakan sudah seragam yakni istilah ‘state’ atau ‘staats’ yang pengertiannya menunjuk pada sifat hakiki negara sebagai ‘suatu organisasi dari suatu paguyuban masyarakat atau sebagai organisasi dari suatu kelompok anggota masyarakat.’ Pada zaman dahulu, untuk menggambarkan suatu bentuk kehidupan bersama manusia yang berkembang pada Yunani Kuno, bangsa Yunani memakai istilah Polis (city-state) yang dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ‘negara-kota’. Bangsa Romawi memakai istilah ‘imperium’. Istilah ‘imperium’ tidak mengandung makna yang sama dengan ‘polis’ pada zaman Yunani Kuno. Istilah ‘imperium’ juga tidak mengandung pengertian sebagai organisasi dari suatu bentuk kehidupan bersama manusia. Secara harfiah, ‘imperium’ adalah istilah yang mengandung pengertian sebagai pusat kekuasaan yang menunjuk pada pribadi penguasa. Pada Abad Pertengahan, ada beberapa istilah yang dikenal untuk menyebut ‘negara’ adalah yaitu civitas atau la stato. Istilah ‘civitas’ tidak mengandung pengertian yang mirip dengan pengertian ‘polis’ ataupun ‘imperium’. Istilah ‘civitas’ juga tidak mengandung pengertian yang sama dengan ‘state’ zaman moderen. Makna harfiah ‘civitas’ adalah anggota (warga). Istilah ‘la stato’ tidak mengandung pengertian sebagai organisasi paguyuban sekelompok anggota masyarakat karena makna harfiahnya adalah ‘status’ (warga). Pada zaman moderen, istilah yang dikenal adalah istilah ‘staats’ atau ‘state’sebagai pengembangan dari istilah ‘la stato’ dari Abad Pertengahan. Dengan perkataan lain, istilah ‘la stato’ diadaptasikan dalam bahasa Jerman (Staat), Belanda (Staats) dan Inggris (state) dengan makna yang sudah baku. Dalam memahami konsep ‘negara’, Nasroen, seorang pakar Ilmu Kenegaraan, berkomentar mengenai pengertian ‘negara’ dari sudut pandang sosiologis: “Menurut pendapat saya, tidak dapat disangkal bahwa negara itu suatu bentuk pergaulan hidup dan oleh sebab itu harus juga ditinjau secara sosiologis agar sesuatunya dapat jelas dan
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 47 dipahami.”3 Definisi sederhana ini, yaitu bahwa negara adalah suatu bentuk pergaulan hidup manusia, belum menampakkan dengan terang makna ungkapan ‘bentuk pergaulan hidup’ itu karena bentuk ‘pergaulan hidupmanusia’ beraneka ragam. Ada bentuk pergaulan hidup yang disebut paguyuban dan pertembayan. Pertanyaan kita adalah ‘Apakah negara termasuk paguyuban atau pertembayan atau kombinasi dari keduanya?’ Negara sebagai suatu pergaulan hidup, baik sebagai suatu paguyuban, pertembayan atau kombinasi dari keduanya adalah suatu organisasi yang secara sengaja dibentuk oleh sekelompok anggota masyarakat demi mencapai tujuan bersama. Sifat hakiki negara sebagai suatu bentuk pergaulan hidup tanpa memandang bentuknya adalah suatu organisasi. Sifat hakiki negara sebagai suatu organisasi melekat pada pengertian konsep negara pada zaman sekarang. Tentang sifat hakiki negara sebagai ‘organisasi’ ini diungkapkan Usep Ranawijaya: “Sifat pertama yang paling menonjol dari suatu negara adalah sifat sebagai organisasi, yaitu suatu bentuk kerja sama antarmanusia untuk mencapai tujuan tertentu.”4 Ada berbagai macam bentuk ‘pergaulan hidup manusia’ dengan sifat hakikinya sebagai suatu ‘organisasi’ dengan nama yang berbeda-beda.Ada bentuk pergaulan hidup yang disebut dusun, desa, kampung, gampong, huta, kota, kabupaten, provinisi dan sebagainya. Apa perbedaan yang prinsipiil antara ciri-ciri negara sebagai suatu bentuk pergaulan hidup dengan ciri-ciri bentuk pergaulan hidup yang lain seperti dusun, desa, kampung, gampong, huta dan lain-lain? Sebagai suatu bentuk pergaulan hidup, negara memiliki ciriciri khusus yang berbeda dari dusun, desa, kampung, gampong atau huta. Negara adalah bentuk pergaulan hidup yang lebih tinggi. Nasroen mengatakan: “Negara itu bukanlah suatu pergaulan hidup biasa, tetapi suatu bentuk pergaulan hidup yang khusus dan kekhususannya terletak pada syarat-syarat tertentu, yaitu rakyat, daerah (wilayah), dan pemerintah tertentu yang harus dipenuhi oleh pergaulan 3 Nasroen, Asal Mula Negara (Jakarta, 1986), hlm. 9. 4 Usep Ranawijaya, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-dasarnya (Jakarta, 1982), hlm. 173.
Bab 2 Negara dan Konstitusi 48 hidup itu agar dapat dinamakan negara.”5 Menurut Nasroen, perbedaan negara dengan desa, kampung, gampong atau huta terletak pada ‘syaratsyarat pembentuk negara’. Perbedaan syarat-syarat formal pembentukan negara dengan desa, kampung, gampong atau huta membuat Nasroen menarik suatu kesimpulan mengenai ciri-ciri khusus negara sebagai berikut: “. . . negara itu adalah suatu bentuk pergaulan hidup yang bertingkat tinggi . . . .”6 Secara formal tidak ada perbedaan prinsipiil mengenai unsur formal pembentuk negara dengan unsur formal pembentuk dusun, desa atau kampung. Pembentukan dusun, desa, kampung, gampong atau huta juga harus memenuhi unsur-unsur formal seperti wilayah, rakyat dan pemerintah desa. Unsur-unsur formal pembentuk negara seperti dikemukakan Nasroen bukan unsur hakiki yang membedakan negara dengan dusun, desa ataupun kampong. Ada ciri negara yang paling penting tetapi tidak disinggung Nasroen ialah kekuasaan yang bersifat memaksa secara sah oleh hukum. Unsur kekuasaan yang bersifat memaksa secara sah merupakan ciri negara yang paling penting. Mac Iver mengemukakan definisi ‘negara’ sebagai berikut “The state is an association which, acting through law as promulgated by a government endowed to this end with coersive power, maintains within a community territorially demarcated the external conditions of order.”7 (Negara adalah asosiasi yang bertindak melalui hukum seperti yang diumumkan oleh pemerintah yang diberi kekuasaan memaksa untuk mencapai tujuan memelihara kondisi eksternal ketertiban dalam suatu masyarakat yang dibatasi secara territorial.)” Definisi Mac Iver di atas lebih lengkap daripada definisi Nasroen. Ada beberapa aspek negara yang dapat diketahui dari definisi tersebut. Pertama, negara adalah organisasi dari sekelompok orang yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah (teritorial). Kedua, sebagai suatu asosiasi, negara bertindak berdasarkan undang-undang yang dibuat oleh 5 Ibid., hlm. 9. 6 Ibid., hlm. 51 7 Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, op. cit., hlm. 55. 40
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 49 pemerintah. Ketiga, negara berfungsi sebagai pemelihara ketertiban eksternal. Keempat, untuk memelihara ketertiban eksternal tersebut, negara dianugerahi atau diberi kekuasaan yang bersifat memaksa oleh undang-undang.Aspek terpenting dari keempat unsur negara yang disebut dalam definsi Mac Iver di atas adalah kekuasaan yang bersifat memaksa. Bukti betapa penting unsur ‘kekuasaan memaksa’ yang berlaku secara sah sebagai unsur essensial negara dikemukakan oleh Kranenburg. Kranenburg mengemukakan sebagai berikut “Negara itu pada hakikatnya adalah suatu organisasi kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok manusia yang disebut bangsa.”8 Logemaan juga mengemukakan sebagai berikut “Negara itu pada hakikatnya adalah suatu organisasi kekuasaan yang meliputi atau menyatukan kelompok manusia yang kemudian disebut bangsa.”9 Logemaan dan Kranenburg bersepakat tentang sifat dan hakikat negara sebagai organisasi kekuasaan. Akan tetapi, dalam hal pembentukan negara dan bangsa, kedua pakar mengambil posisi yang berbeda. Menurut Kranenburg, negara diciptakan oleh bangsa. Bangsa lebih dahulu terbentuk daripada negara. Menurut Logemann, negara lebih dahulu terbentuk daripada bangsa. negara yang membentuk bangsa. Sifat hakikat negara sebagai organisasi kekuasaan seperti dikemukakan Kranenburg dan Logemaan menggambarkan pemahaman bahwa kekuasaan negara merupakan kekuasaan yang diorganisir oleh sekelompok orang yang disebut bangsa. Pengorganisasian kekuasaan dilakukan secara sadar untuk mencapai suatu maksud dan tujuan tertentu. Ada berbagai macam tujuan yang hendak dicapai seperti untuk memelihara ketertiban, keamanaan, menyelenggarakan kesejahteraan bangsa dan sebagainya. Kesimpulan seperti itu selaras dengan pendapat beberapa pakar mengenai definisi negara yang dikemukakan dalam uraian berikut. Hood Philips, Paul Jackson dan Patricia Leopold mengemukakan ‘negara’ sebagai “An independent political society occupying a defined 8 Soehino, Ilmu Negara, op. cit., hlm. 142. 9 Ibid., hlm. 143.
Bab 2 Negara dan Konstitusi 50 territory, the members of which are united together for the purpose of resisting external force and the preservation of internal order.”10 (Masyarakat politik yang merdeka yang menduduki suatu wilayah tertentu yang anggota-anggotanya bergabung bersama untuk tujuan menolak kekuatan luar dan untuk pemeliharaan ketertiban internal).” Sesuai dengan pendapat di atas, pengorganisasian kekuasaan negara oleh suatu bangsa dimaksudkan untuk mencapai tujuan dan kepentingan bersama. Dengan demikian, penggunaan kekuasaan negara di luar tujuan negara adalah suatu bentuk penyalahgunaan kekuasaan negara. Jika unsur kekuasaan yang bersifat memaksa dipakai sebagai patokan untuk merumuskan sifat hakiki negara masih ada kelemahan. Unsur kekuasaan yang bersifat memaksa tidak hanya ada pada negara tetapi juga dusun, desa, kampung, huta, gampong meskipun secara terbatas. Secara konkrit, unsur kekuasaan yang memaksa tampak dalam tindakan paksa fisik yang dilakukan dusun, desa, kampong atau huta, terhadap anggotanya dan orang lain yang melanggar aturan desa. Namun, jika bertitik tolak dari unsur kekuasaan memaksa, perbedaan negara dengan dusun, desa, kampung, huta sebagai suatu bentuk pergaulan hidup manusia masih belum tampak dengan jelas. Untuk itu, masih perlu dibicarakan definisi lain supaya perbedaan negara dengan bentuk-bentuk pergaulan hidup manusia yang lain seperti desa atau huta, dapat diketahui dengan jelas. Ciri yang dapat membedakan negara dengan bentuk-bentuk pergaulan hidup yang lain seperti dusun atau desa adalah aspek monopoli kekuasaan. Monopoli kekuasaan merupakan hak istimewa negara yang tidak dimiliki desa atau kampung. Max Weber mengemukakan definisi ‘negara’ sebagai berikut “The state is human society that (successfully) claims monopoly of the legitimate use of physical force within a given territory).”11 (Negara adalah masyarakat manusia yang memiliki monopoli penggunaan paksaan fisik yang sah dalam suatu wilayah tertentu.” Unsur negara yang menonjol dalam definisi Max Weber di atas adalah monopoli penggunaan 10 O. Hood Phillips, Paul Jackson and Patricia Leopold, Constitutional and Administrative Law (London, 2001), hlm. 4. 11 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta, 2006), hlm. 39-40.
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 51 kekuasaan memaksa yang sah. Aspek monopoli kekuasaan yang memaksa tidak dimiliki bentuk pergaulan hidup yang lain. Meskipun bentuk pergaulan hidup yang lain memiliki kekuasaan yang memaksa, tetapi kekuasaan tersebut tidak bersifat monopoli. Aspek ‘monopoli kekuasaan yang memaksa secara sah’ adalah ciri yang membedakan negara dengan dusun, desa, kampung, huta, gampong dan sebagainya. Bintan R. Saragih juga sependapat bahwa monopoli kekuasaan sebagai sifat khusus negara. Bintan R. Saragih mengemukakan komentar sebagai berikut: “Sebagai organisasi di dalam masyarakat ia (maksudnya negara - - - pen.) dibedakan daripada organisasi-organisasi lainnya karena negara mempunyai sifat-sifat yang khusus. Kekhususannya terletak pada monopoli dari kekuasaan jasmaniah yang tidak dimiliki oleh organisasiorganisasi lainnya seperti gereja, partai, perserikatan-perserikatan lainnya.”12 Dusun, desa, kampung, huta, gampong memiliki kekuasaan memaksa yang berlaku sah dalam wilayah masing-masing, tetapi bukan kekuasaan yang bersifat monopoli. Kekuasaan dusun, desa, kampung, huta, gampong harus tunduk kepada kekuasaan negara. Sekalipun dusun, desa, kampung, huta, gampong memiliki kekuasaan memaksa yang sah dan berlaku dalam wilayahnya, tetapi bukan bersifat monopoli karena ada kekuasaan yang lebih tinggi yaitu kekuasaan negara. Kekuasaan dusun, desa, kampung, gampong atau huta harus tunduk kepada kekuasaan negara karena kedudukan kekuasaan desa, huta atau gampong lebih rendah. Dengan perkataan lain, negara memiliki kedaulatan atas desa, gampong atau huta. Bukti monopoli kekuasaan negara atas dusun, desa, kampung, gampong, huta terbukti dari kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang dibentuk negara. Untuk menunjukkan perbedaan tersebut, Bintan R. Saragih mengemukakan pendapat sebagai berikut: “Contoh dari monopoli itu adalah bahwa negara dapat menjatuhkan hukuman kepada setiap warga negaranya yang melanggar peraturan. Dan apabila perlu negara dapat menjatuhkan hukuman mati. Selain itu, negara dapat mewajibkan warga negaranya untuk mengangkat senjata kalau negeri itu diserang musuh. 12 Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, op. cit., hlm. 56.
Bab 2 Negara dan Konstitusi 52 Kewajiban ini berlaku juga bagi warga negara yang berada di luar negeri. Juga negara dapat memungut pajak dan menentukan uang yang berlaku di dalam wilayahnya.” 13 Monopoli kekuasaan yang memaksa dan sah oleh negara sekaligus membuat kedudukan negara lebih tinggi daripada kedudukan desa, huta, kampong, gampong dan sebagainya. Untuk menggambarkan perbedaan kedudukan negara tersebut, Harold J. Lasky mengemukakan pendapat mengenai negara sebagai berikut: “The state is a society which integrated by possessing a coercive authority legally supreme over any individual or group which part of the society.”14 (Negara adalah suatu masyarakat yang terintegrasi berdasarkan pemilikan kewenangan memaksa yang sah yang berkedudukan lebih tinggi atas setiap individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat tersebut).” Kekuasaan negara dipakai untuk menyelenggarakan kepentingan masyarakat yang mendirikan negara. Kekuasaan negara tidak boleh dipakai untuk kepentingan golongan penguasa ataupun sekelompok. Bahkan, kekuasaan yang dimiliki negara tidak boleh dipakai penguasa dengan alasan untuk kepentingan negara padahal untuk kepentingan pribadi. Demikian juga kekuasaan negara tidak dapat dipakai dengan alasan kepentingan negara tetapi dengan cara-cara yang melanggar prinsip-prinsip dasar kehidupan bersama yang sudah disepakati sebagai fondasi kehidupan bernegara. Jika negara bertindak untuk kepentingan penguasa atau sekelompok, hal itu merupakan penyimpangan dari sifat hakiki negara sebagai alat bangsa untuk menyelenggarakan kepentingan bersama. Setiap tindakan penguasa yang dilakukan atas nama kekuasaan negara harus dapat dibuktikan memang dilakukan semata-mata untuk dan demi kepentingan bersama bangsa. Dalam hal ini, kepentingan bangsa harus dipahami sebagai lebih utama daripada jenis kepentingan lain seperti kepentingan negara, penguasa ataupun kepentingan golongan. Bahkan, sesungguhnya negara tidak boleh memiliki kepentingan sehingga pemakaian ungkapan 13 Ibid. Miriam Budiardjo, op. cit., hlm. 39-40. 14 Miriam Budiardjo, op. cit., hlm. 39-40.
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 53 ‘demi kepentingan negara’ adalah sesuatu hal yang salah secara konseptual. Roger L. Soltau misalnya mengemukakan sebagai berikut “The state is agency or authority managing or controlling these (common) affairs on behalf of and in the name of community.”15 (Negara adalah alat atau kewenangan untuk mengelola atau mengendalikan masalah-masalah umum atas nama dan di dalam nama masyarakat).16 Bertolak dari uraian di atas dapat dirumuskan beberapa kesimpulan mengenai sifat hakiki negara yang memiliki monopoli kekuasaan dan kedudukan yang lebih tinggi daripada individu, kelompok dan organisasi sosial yang lain dan selalu bertindak untuk dan demi kepentingan bersama. Ciri-ciri sifat hakiki negara tersebut adalah sebagai berikut (1) memiliki monopoli kekuasaan, (2) memiliki kekuasaan yang bersifat memaksa secara sah, (3) bertindak untuk dan atas nama masyarakat dan (4) memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada individu atau bentuk pergaulan hidup lain. Sifat dan hakikat negara seperti dikemukakan di atas sama dengan pandangan Miriam Budiardjo mengenai sifat hakiki negara, yakni memiliki sifat yang (1) memaksa, (2) memonopoli dan (3) mencakup semua.17 Tanpa bermaksud mengabaikan pengertian-pengertian tentang negara sebagaimana dikemukakan para ahli di atas maupun dalam literatur lainnya, patut dikemukakan pandangan hakiki lain tentang ‘negara’ dari sudut pandang Etika Politik, yaitu bahwa ‘negara’ pada hakikatnya adalah: (a) ‘masyarakat atau wilayah yang merupakan satu kesatuan politis; dan (b) negara adalah lembaga pusat yang menjamin kesatuan politisitu, yaitu wilayah negara, lalu menatanya, dan dengan demikian menguasai wilayah itu. Mari kita lebih fokus pada definisi kedua (b) yang menampilkan negara sebagai lembaga pusat pemersatu masyarakat. Di sini dikemukakan fungsi dasar dan hakiki dari negara adalah pemersatu masyarakat. Fungsi 15 Ibid., hlm. 39. 16 Ibid., hlm. 39. 17 Miriam Budiardjo, op. cit., hlm. 40-41.
Bab 2 Negara dan Konstitusi 54 dasar ini tepat untuk menjawabi permasalahan-permasalahan yang muncul dalam negara berkenaan dengan ciri umum dalam suatu negara, yaitu kemajemukan rakyat. Empat ciri umum yag menjadi unsur konstitutif dari negara, yaitu: a) kemajemukan rakyat yang biasanya memiliki bersama suatu kebudayaan umum atau sekurang-kurangnya kepentingan-kepentingan umum yang sama, b) wilayah khusus yang didiami oleh rakyat, c) suatu otoritas publik dengan kuasa pengambilan keputusan; otoritas publik ini mempunyai keunggulan atas semua masyarakat lainnya di dalam wilayah tersebut, dan d) suatu tata aturan hukum positif dan konstitusi demi tercapainya kesejahteraan umum bersama, yang juga menentukan dan melegalisasi kuasa/otoritas politis. Berpegang pada pengertian itu, dapat kita katakan bahwa sebuah ‘negara-baru’ berdiri, karena ada satu ‘bangsa’, dalam suatu proses yang panjang dengan seluruh ciri khasnya, termasuk ‘permasalahanpermasalahan khusus’ yang melingkupinya, pada akhirnya membentuk atau mendirikan sebuah ‘negara-baru’, kemudian mengorganisasi negaranya dengan menetapkan hal-hal fundamental terkait kehidupan negara yang didirikannya. Hal-hal fundamenal itu, misalnya: ideologi negara, konstitusi dan/atau undang-undang dasar, bentuk dan sistem pemerintahan, cita-cita dan tujuan nasional, lambang negara, lembagalembaga penyelenggara kehidupan negara dari pusat hingga ke daerah (legislatif, eksekutif, yudikatif), batas-batas wilayah negara, dan lain-lain. Keberadaan ‘negara’ sebagai sebuah masyarakat politik yang tetap, independen, berdaulat dengan kekuasaan tertinggi tidak meniadakan bentuk-bentuk masyarakat yang (telah) ada di dalam tubuh bangsa itu. Memang, terhadap semua bentuk masyarakat itu, negara memiliki keunggulan karena negara berkewajiban memperhatikan dan menjamin terciptanya kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat/masyarakat, serta menjaga keutuhan wilayah negara. Namun hal itu tidak berarti bahwa negara menjadi penguasa tunggal atas semua kuasa duniawi lainnya.
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 55 2.3 Unsur-unsur Formal Pembentuk Negara18 Suatu ‘negara’ dianggap berdiri apabila memenuhi tiga unsur formal pembentuk negara, yang juga disebut unsur-unsur konstitutif negara. Unsur-unsur ini merupakan substansi yang mutlak, sebagai conditio sine quanon (syarat mutlak) yang harus ada supaya negara terbentuk, menjadi penentu eksistensi negara.19 Secara teoretis, darisudut pandang sosiologis, unsur-unsur konstitutif negara terdiri atas: (a) rakyat (b) wilayah, dan (c) pemerintah yang berdaulat. Sedangkan dari sudut pandang yuridis, unsur-unsur konstitutif negara terdiri atas: (a) rakyat (b) wilayah, (c) pemerintah yang berdaulat, dan (d) kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain. Ketiga unsur itu sesungguhnya juga terdapat pada entitas lain seperti desa ataupun kampung. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa pada hakikatnya negara dan desa itu sama saja. Keduanya berbeda meskipun memiliki unsur-unsur konstitutif sama. Untuk membedakan negara dengan desa atau kampung harus bertolak dari sesuatu hal prinsipiil yang menjadi ciri khas atau atribut negara. Dalam hal ini, yang dimaksud ciri khas atau atribut negara adalah kedaulatan. Kedaulatan merupakan atribut yang melekat hanya pada negara. Organisasi atau asosiasi lain seperti desa atau kampung tidak memiliki kedaulatan meskipun memiliki unsur-unsur formal atau unsur konstitutif yang sama seperti negara. Kedaulatan merupakan ciri yang membedakan negara dengan desa atau kampung karena kedaulatan adalah atribut negara yang tidak dimiliki desa atau kampung. 2.3.1 Rakyat Rakyat merupakan salah satu unsur dasar pembentuk negara, Tanpa rakyat tidak ada negara. KBBI mengartikan ‘rakyat’ sebagai (a) penduduk suatu negara; (b) orang kebanyakan, orang biasa; (c) anak buah, bawahan. 18 Bacaan pada bagian ini diolah dari buku: (1) Dr. Hotma P. Sibuea, SH, MH, Op.Cit., hlm. 324-354. (2) Dr. Max Boli Sabon, SH, M.Hum, Ilmu Negara, Bahan Pendidikan Untuk Perguruan Tinggi, Jakarta; Penerbit Universitas Atma Jaya Jakarta, 2012, hlm. 47-58. (3). (3) Salah satu file Pdf diunduh dari internet berjudul: Negara dan Konstitusi, tanpa nama, tanpa tahun. (4) Mali BenyaminMikhael, dkk., Civic Education, loc.cit,hlm. 36-44. 19 Moh. Koesnardi dan Bintan R. Saragih, op. cit., hlm. 101.
Bab 2 Negara dan Konstitusi 56 Dalam arti penduduk, rakyat berarti semua orang yang berada, berdiam menetap, dan bekerja mencari nafkah disuatu wilayah negara dan tunduk pada kekuasaan negara itu. Dalam arti ini ‘rakyat’ terdiri atas ‘penduduk’ dan ‘bukan penduduk’: (a) ‘penduduk’: orang-orang yang mendiami suatu wilayah negara secara menetap. Seluruh kehidupannya sejak lahir berlangsung di wilayah negara itu. (b) ‘bukan penduduk’: orang-orang yang berada di suatu wilayah negara hanya selama suatu jangka waktu tertentu karena suatu kepentingan. Misalnya, para turis asing, tamu-tamu instansi tertentu. ‘Penduduk’ terbagi lagi atas ‘warga negara’ (yang di Indonesia dikenal dengan singkatan WNI), dan ‘bukan warga negara’ yang biasa disebut ‘orang asing’, atau ‘warga negara asing’ (disingkat: WNA). Jadi, ‘rakyat’ itu adalah sekelompok orang yang menetap di suatu wilayah negara dan tunduk pada hukum negara itu. Atau menurut OppenheimLauterpacht, ‘rakyat’ adalah ‘kumpulan manusia dari kedua jenis kelamin yang hidup bersama sebagai sebuah masyarakat meskipun mereka berasal dari keturunan yang berlainan, menganut kepercayaan yang berbeda, atau memiliki warna kulit yang berbeda.20 Namun istilah ‘rakyat’ dalam arti (b) yaitu ‘orang kebanyakan’, tidak bisa dikenakan pada orang-orang kaya-raya atau para petinggi negara yang tidak mengalami kesulitan apa pun dalam memenuhi kebutuhankebutuhan dasar hidupnya. Dari sudut pandang ekonomi, ekonomi para orang kaya dan pejabat negara itu jelas jauh berbeda dari ekonomi rakyat, ekonomi orang kebanyakan (“the common people”). Menurut Sri-Edi Swasono, istilah “rakyat” adalah konsepsi politik, bukan konsepsi aritmatik atau statistik. Rakyat tidak harus berarti seluruh penduduk. Rakyat adalah “the common people”, rakyat adalah “orang banyak”. Pengertian rakyat berkaitan dengan “kepentingan publik”, yang berbeda dengan “kepentingan orang-seorang”. Pengertian rakyat mempunyai kaitandengankepentingankolektifataukepentinganbersama. Istilah ‘rakyat’ lebih dekat dengan arti “masyarakat” atau “ummat”, bukan 20 Oppenheim-Lauterpacht, dalam Solly Lubis, Ilmu Negara, Bandung Alumni, 1981, hlm.11 dikutip dalam: Dr. Max Boli Sabon, SH, M.Hum, Ilmu Negara, Op.cit. hlm. 49.
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 57 dalam arti “penduduk” yang jumlahnya 275-an juta itu. Rakyat atau “the people” adalah jamak (plural), tidak tunggal (singular). Rakyat ini disebut sebagai salah satu unsur konstitutif negara, karena tanpa rakyat tidak ada negara. Negara dan rakyat ibarat ‘wadah’ dan ‘isi’-nya. Negara dan ‘wilayah negara’ adalah ‘wadah’, dan rakyat (people) adalah ‘isi’ dari wadah. Hubungan keduanya bersifat eksistensial. Artinya: hubungan itu terkait soal ‘ADA’ dan ‘KEBERADAAN’. ADA Negara karena ADA rakyat. ADA-nya negara tak bisa dibayangkan tanpa ADAnya rakyat sebagai warganya. Demikian juga sebaliknya: ADA-nya rakyat tak bisa dibayangkan tanpa ADA-nya negara sebagai bentuk ‘kehidupan bersama’ yang tertinggi, sebagai suatu masyarakat politik, suatu kesatuan politik, yang terbentuk atas dasar ‘kesepakatan bersama’ (consensus) antar para pendiri atas nama seluruh rakyat yang mendiami wilayah negara. Kehidupan bersama ini punya suatu tujuan umum bersama, yaitu “kesejahteraan umum”. Dalam rumusan Indonesia tujuan bersama itu dirumuskan dengan ungkapan “masyarakat adil dan makmur”. Tanpa negara, orang-orang yang bersama-sama mendiami suatu wilayah hanyalah suatu kumpulan manusia-manusia dan/atau kerumunan massa, yang tidak mempunyai suatu tujuan umum bersama yang mengikat mereka. Hubungan eksistensial itu bersifat “timbal-balik” (resiprokal): “saling mengadakan, saling mengandaikan, saling mengartikan.” Apa saja yang terjadi atas negara sebagai ‘wadah’ dengan sendirinya berdampak terhadap rakyat atau dirasakan oleh rakyat sebagai ‘isi’ dari wadah. Profil Negara adalah profil rakyat. Demikian juga sebaliknya! Negara sehat, rakyat tentu sehat juga. Demikian sebaliknya! Kalau negara adilmakmur-sejahtera, rakyat tentu juga adil-makmur-sejahtera. Bila negara sebagai wadah hancur lebur berantakan karena sesuatu alasan, misalnya perang saudara atau krisis ekonomi berkepanjangan, maka dengan sendirinya rakyat sebagai isi wadah akan menderita, bahkan tercerai-berai berantakan, sebagaimana kita saksikan akhir-akhir ini dalam kehancuran beberapa negara di Timur Tengah karena perang saudara: Irak, Suriah, Lebanon, Yaman, dan lain-lain.
Bab 2 Negara dan Konstitusi 58 Rakyat ini adalah ‘warga-negara’, anggota suatu negara, orangorang yang secara hukum, menurut undang-undang negara atau suatu perjanjian, merupakan anggota dari suatu negara, atau diakui sebagai warga negara. Termasuk di dalamnya adalah ‘orang asing’ yang menjadi warga negara melalui proses ‘naturalisasi’ (pewarganegaraan). Jadi, warga negara berarti anggota sebuah negara atau bangsa, entah berdasarkan atas asas keturunan (ius sanguinis), atau tempat kelahiran (ius soli). Sementara ‘orang bukan-warga negara’ adalah orang-orang yang tinggal di suatu negara, tetapi secara hukum bukan anggota negara itu. Oleh karena mereka hidup dan bekerja di negara itu, maka mereka tunduk pada pemerintah negara itu beserta segala aturan hukum dari negara itu (misalnya: para duta besar beserta keluarga dan staf, kontraktor asing, para misionaris asing, dan sebagainya). Sebagai anggota, seorang warga negara adalah bagian integral dari negara itu. Ia adalah ‘pemilik sah’ negara itu,serta merupakan pendukung utama kehidupan negara itu. Untuk itu, ia diberi tanda-tanda identitas sebagai warga negara, seperti Kartu Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akte Kelahiran, Paspor, dan lain-lain. Ia juga mempunyai macam-macam hak dan kewajiban yang harus disadari dan dipenuhi. Warga Negara Indonesia: UUD 1945 Pasal 26 ayat 1 mendefinisikan ‘warga negara Indonesia’ sebagai orang-orang bangsa Indonesia asli atau orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Warga negara Indonesia adalah orang-orang yang berdasarkan perundang-undangan yang berlaku sejak 17 Agustus 1945 sudah menjadi warga negara Indonesia (Pasal 1, UU No. 22/1958). Warga negara Indonesia adalah pemilik dan pewaris serta penanggung jawab kebberlangsungan hidup negara Indonesia. Oleh karena itu, sebagai anggota negara Indonesia, setiap orang Indonesia memiliki tugas dan tanggung jawab terhadap maju-mundurnya bangsa dan negara. Sebagai pemilik negara dan pemegang kedaulatan negara, setiap warga negara Indonesia mempunyai hak dan kewajiban.
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 59 Seorang warga negara Indonesia belum tentu menjadi ‘penduduk’ di negaranya; mereka bisa saja tinggal menetap dan bekerja di negara lain. Sebaliknya, ada warga negara asing yang untuk jangka waktu tertentu tinggal dan bekerja di wilayah Indonesia. Penduduk yang WNA ini tidak memiliki hak maupun kewajiban seperti yang dipunyai warga negara Indonesia. Jadi, ‘penduduk’ tidak identik dengan ‘warga negara’. Penduduk adalah semua orang yang bertempat tinggal di wilayah negara Indonesia, baik yang warga negara maupun yang bukan warga negara (WNA) yang dalam jangka waktu tertentu (sesuai dengan peraturan perundangundangan) tinggal di negara Indonesia. Rumusan Pasal 28 E UUD 1945 ayat 1, yaitu “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali”, mengandung makna bahwa orang yang tinggal di wilayah negara dapat diklasifikasikan ke dalam penduduk dan bukan-penduduk. Penduduk adalah semua orang yang berdomisili atau bertempat tinggal tetap di wilayah Indonesia. Penduduk ini dapat dibedakan atas warga negara (WNI) dan bukan warga negara (WNA). Orang bukan penduduk adalah orang-orang asing yang tinggal di wilayah negara Indonesia, namun bersifat sementara, sesuai dengan visa yang diberikan oleh pemerintah Indonesia (dalam hal ini Kantor Imigrasi) dan tidak bermaksud tinggal menetap di Indonesia. Dari ‘warga negara’ diturunkan istilah ‘kewarga negaraan’, yang mengandung arti “hal-hal yang berhubungan dengan warga negara atau dengan keanggotaan sebagai warga dari suatu negara, seperti: hak dan kewajiban, peran dan kedudukannya dalam negara.” Hak harus diketahui, disadari serta dituntut bila tidak diperhatikan dan dipenuhi baik oleh negara maupun oleh warga negara lainnya demi terciptanya keadilan terhadap warga negara. Sedangkan, kewajiban harus dilaksanakan oleh warga negara demi keadilan terhadap negara dan demi kebaikan umum bersama. Di sini kerap terjadi ketimpangan dalam praktik: baik anggota maupun lembaga sama-sama lebih banyak menuntut haknya, dan abai
Bab 2 Negara dan Konstitusi 60 terhadap pelaksanaan atau pemenuhan kewajibannya. Demi keadilan dan kebaikan umum bersama perlu diupayakan keseimbangan antara hak dan kewajiban, oleh sebab “tidak ada hak tanpa kewajiban, dan tidak ada kewajiban tanpa hak”. Di dalam keseimbangan itu, kewarganegaraan memperlihatkan makna dan kualitasnya. 2.3.2 Wilayah dengan Batas-batas Tertentu Secara historis, wilayah merupakan unsur primer pembentuk negara. Dalam hubungan dengan unsur wilayah, dikenal doktrin patrimonial atau doktrin hak milik yang bertolak dari pemilikan wilayah. Yang dimaksud dengan wilayah negara ialah “batas wilayah di mana kekuasaan negara itu berlaku.” terlepas dari besar-kecilnya wilayah itu. Di luar batas wilayahnya, negara tidak punya kuasa. Di atas wilayah ini kekuasaan negara harus benar-benar diakui, dalam arti bahwa tidak boleh ada kekuasaan negara lain berada di wilayah negara itu. Wilayah itu meliputi tiga matra, yakni darat, laut, dan udara. Ketiga matra ini merupakan suatu kesatuan dan harus disepakati menurut ketentuan-ketentuan hukum internasional ataupun perjanjian internasional yang bersifat bilateral maupun multilateral. Matra darat merupakan wilayah yang sangat penting baik ditinjau dari sudut pandang hukum nasional maupun hukum internasional. Sejak dahulu kala, ketika hubungan antarnegara belum berkembang pesat seperti sekarang dan teknologi dirgantara belum dikenal, wilayah darat merupakan wilayah yang paling penting. Kepentingan matra darat itu disebabkan matra darat adalah ruang kehidupan sehari-hari bagi seluruh penduduk negara. Di samping matra darat, laut, dan udara dengan batas-batas tertentu, ada juga wilayah yang disebut ekstra teritorial. Yang termasuk wilayah ekstra teritorial adalah kapal di bawah bendera suatu negara dan kantor perwakilan diplomatik suatu negara di negara lain. Batas wilayah negara Indonesia ditetapkan dalam perjanjian dengan negara lain yang berbatasan. Batas wilayah negara Indonesia ditentukan dalam beberapa perjanjian internasional yang dulu diadakan oleh
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 61 pemerintah Belanda dengan beberapa negara lain. Berdasarkan pasal 5, persetujuan perpindahan yang ditetapkan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), perjanjian-perjanjian internasional itu sekarang berlaku juga bagi negara Indonesia. Perjanjian-perjanjian tersebut adalah Konvensi London 1814 di mana Inggris menyerahkan kembali wilayah Hindia Belanda kepada Kerajaan Belanda, dan beberapa traktat lainnya berkenaan dengan wilayah negara (Utrecht, 1966: 308). Berkenaan dengan wilayah perairan ada 3 (tiga) batas wilayah laut Indonesia. Batas-batas tersebut adalah: a) Batas Laut Teritorial Laut teritorial adalah laut yang merupakan bagian wilayah suatu negara dan berada di bawah kedaulatan negara yang bersangkutan. Batas laut teritorial tersebut semula diumumkan melalui Deklarasi Djuanda 13 esember 1957. Sesuai pengumuman tersebut, batas laut territorial Indonesia adalah 12 mil yang dihitung dari garis dasar, yaitu garis yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar Indonesia, di mana jarak dari satu titik ke titik lain yag dihubungkan tidak boleh lebih dari 200 mil. Pokok-pokok asas negara kepulauan sebagaimana termuat dalam deklarasi diakui dan dicantumkan dalam United Nation Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) tahun 1982. Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982 melalui UU. No. 17 tahun 1985 pada tanggal 31 Desember 1985. b) Batas Landas Kontinen Landas kontinen (continental shelf) adalah dasar lautan, baik dari segi geologi maupun segi morfologi merupakan kelanjutan dari kontinen atau benuanya. Pada tahun 1969, pemerintah Indonesia mengeluarkan pengumuman tentang Landas Kontinen Indonesia sampai kedalaman laut 200 meter, yang memuat pokok-pokok sebagai berikut: 1) Segala sumber kekayaan alam yang terdapat dalam kontinen Indonesia adalah milik eksklusif negara Republik Indonesia;
Bab 2 Negara dan Konstitusi 62 2) Pemerintah Indonesia bersedia menyelesaikan garis batas landas kontinen dengan negara-negara tetangga melalui perundingan; 3) Jika tidak ada perjanjian garis batas, maka batas landas kontinen Indonesia adalah suatu garis yang ditarik di tengah-tengah antara pulau terluar Indonesia dan titik terluar wilayah negara tetangga; 4) Tuntutan (claim) di atas tidak mempengaruhi sifat dan status perairan di atas landas kontinen serta udara di atas perairan itu. Batas landas kontinen dari garis dasar tidak tentu jaraknya, tetapi paling jauh 200 mil. Kalau ada dua negara atau lebih menguasai lautan di atas landas kontinen, maka batas landas kontinen negara-negara itu ditarik sama jauhnya dari garis dasar masing-masing. Sebagai contoh adalah batas landas kontinen Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka sebelah selatan. Kewenangan atau hak suatu negara dalam landas kontinen adalah kewenangan atau hak untuk memanfaatkan sumber daya alam yang terdapat di dalam dan di bawah wilayah landas kontinen tersebut. c) Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Pada tanggal 21 Maret 1980 pemerintah Indonesia mengumumkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Pengumuman pemerintah ini kemudian disahkan dengan Undang-undang No. 5 tahun 1983. Batas ZEE adalah 200 mil dari garis dasar ke arah laut bebas. Kewenangan negara di wilayah ZEE adalah kewenangan memanfaatkan sumber daya, baik di laut maupun di bawah dasar laut. Dalam Konperensi Hukum Laut tercapai kesepakatan bahwa di ZEE ini, negara tidak memiliki kedaulatan penuh tetapi memiliki hak dan yurisdiksi terbatas pada bidang-bidang tertentu. Dalam pasal 56 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 ditentukan bahwa negara pantai memiliki hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam hayati dan non hayati, dan kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi tersebut seperti pembuatan energi arus dan angin.
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 63 Sedangkan kewajiban negara di kawasan ZEE merupakan kewajiban yang berkaitan dengan status ZEE sebagai perairan laut lepas, di mana negara pantai tidak boleh menghalangi kebebasan berlayar, penerbangan di atas ZEE, dan pemasangan kabel-kabel di bawah laut. Negara pantai juga berkewajiban melakukan konservasi kekayaan laut, yaitu menjaga keseimbangan hidup sumber daya yang ada di laut. Sedangkanwilayahudara suatunegarameliputiwilayahudara yangberada di atas wilayah laut dan wilayah perairan negara yang bersangkutan. Berkaitan dengan pemanfaatan ruang udara khususnya penerbangan, oleh masyarakat internasional telah disusun perjanjian internasional utama yaitu Convention on International Civil Aviation 1944 atau secara singkat dikenal sebagai Konvensi Chicago 1944. Perjanjian internasional yang diprakarsai Amerika Serikat ini bersifat publik dan mengatur kepentingan umum yang merupakan tanggungjawab pemerintah dalam kegiatan penerbangan sipil internasional. 2.3.3 Pemerintah yang Berdaulat Istilah ‘pemerintah’ meliputi : (a) pemerintah dalam arti sempit, yaitu badan eksekutif, dan (b) pemerintah dalam arti luas, yaitu meliputi segenap organorgan penyelenggara negara. Yang dimaksud dengan ‘pemerintah yang berdaulat’ di sini adalah pemerintah dalam arti luas yang meliputi segenap organ-organ penyelenggara negara.21 Istilah ‘kedaulatan’ menunjuk pada fungsi negara sebagai lembaga yang secara definitif memastikan aturan-aturan kelakuan bagi masyarakat yang ada di dalam wilayahnya. KBBI mendefinisikan ‘kedaulatan’ sebagai kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara, daerah, dan sebagainya. Kedaulatan adalah ciri utama negara. Kedaulatan adalah hak kekuasaan mutlak, tertinggi, tak terbatas, tak tergantung, dan tanpa kecuali.22 Bila negara memiliki kekuasaan tertinggi atau berdaulat, itu berarti tidak ada pihak, baik di dalam maupun di luar negeri, yang harus dimintai izinnya oleh negara dalam menetapkan atau melakukan sesuatu. Namun, kenyataan menunjukkan 21 Moh. Koesnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, op. cit., hlm. 107. 22 Paham kedaulatan negara untuk pertama kalinya dikembangkan oleh Jean Bodin (1530-1596), seorang filsuf negara asal Prancis.
Bab 2 Negara dan Konstitusi 64 bahwa tidak ada negara yang seratus persen berdaulat. Ada juga negaranegara yang mengakui suatu hak “perlindungan” (disebut souzerainite) dari negara lain. Keanggotaan dalam organisasi-organisasi internasional, seperti: NATO, ASEAN, dan lain-lain juga secara tidak langsung dapat mengurangi kedaulatan suatu negara. Meskipun demikian, kedaulatan tetap merupakan ciri hakiki negara modern. Dalam ilmu negara dibedakan dua arah kedaulatan negara: kedaulatan ke dalam dan kedaulatan ke luar. “Kedaulatan ke dalam” berarti bahwa negara berkuasa menentukan masalah apa saja sebagai wewenangnya, dan dalamhal ini negara tidak tergantung pada pihak lain yangmempunyai wewenang lebih tinggi. ‘Kedaulatan ke dalam’ dibedakan atas dua segi: (a) kedaulatan wewenang (disebut sovereignty of competence), dan (b) kesatuan kekuasaan negara. Wewenang adalah kesanggupan dan hak untuk melakukan sesuatu. Negara tidak hanya mempunyaisegudang wewenang, tetapi juga mempunyai wewenang untuk memperluas atau mempersempit wewenang-wewenang itu. Negara berwenang untuk menentukan apakah pihak-pihak swasta berwenang membuka sekolah sendiri atau tidak, dan apa wewenang pemerintah-pemerintah daerah. “Jadi, negara juga berwenang untuk menentukan jangkauan wewenang-wewenangnya.” Kewenangan menentukan jangkauan wewenang inilah yang disebut kedaulatan wewenang atau wewenang-wewenang (competence of competence). Inilah kedaulatan khas negara. Suatu negara disebut kuat apabila ia memiliki kekuatan untuk melaksanakan wewenang itu dalam realitas kehidupan politik. 23 Kesatuan kekuasaan negara berarti dalam wilayah suatu negara tidak ada lembaga lain yang juga memiliki kedaulatan wewenang. Jadi, dalam wilayah satu negara hanya dapat ada satu pusat pemerintahan. Semua wewenang lain dalam wilayah kekuasaan itu tunduk terhadap wewenang negara itu. 23 Para ahli kenegaraan membedakan antara dua paham kedaulatan wewenang yang kurang luas dan yang lebih luas. Yang kurang luas menempatkan wewenang negara ke bawah keputusan-keputusan dasar Undang-Undang Dasar; negara hanya berwenang dalam rangka wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar itu. Jadi, negara berada dalam keadaan pouvoir constitue, bukan pouvoir constituant. Paham luas memperluas paham kedaulatan sehingga segala apa yang dapat dibuat negara, juga di luar segala dasar hukum, disebut wewenangnya. Paham itu, kalau diikuti secara taat asas, menghasilkan kontradiksi-kontradiksi. Bdk. Zippelius 1973a, 57.
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 65 “Kedaulatan ke luar” berarti “tidak ada pihak dari luar negara yang berhak mengatur sesuatu dalam wilayah negara itu. Kedaulatan ke luar dapat diungkapkan dalam dua patokan, yaitu dalam patokan kekebalan dan kesamaan kesanggupan semua negara untuk menciptakan hukumnya sendiri dan untuk bertindak. Patokan kedua mengatakan bahwa semua negara memiliki hak yang sama untuk menetapkan undang-undang dalam wilayah mereka, dan untuk bertindak atas nama negaranya sendiri berhadapan dengan negara-negara lain, entah kecil atau besar, lemah atau kuat. Patokan kekebalan (principle of impermeability) mengatakan bahwa wilayah sebuah negara tidak boleh dimasuki dalam bentuk apa pun oleh negara lain. Jadi, negara lain tidak boleh mengambil tindakan hukum atau kekuasaan dalam wilayah kekuasaan negara lain. Tanpa izin pemerintah Indonesia, misalnya, suatu patroli Malaysia tidak boleh mengejar seorang penjahat Malaysia yang menyeberang dari Sarawak ke Kalimantan Barat melampaui batas antara dua negara itu. Kata “kedaulatan” artinya adalah kekuasaan tertinggi. Dengan demikian pemerintah yang berdaulat artinya pemerintah yangmempunyai kekuasaan tertinggi, kekuasaan yang tidak berada di bawah kekuasaan negara lainnya. Ada dua macam ‘kedaulatan’: kedaulatan ke dalam dan kedaulatan ke luar. Kedaulatan ke dalam adalah kekuasaan tertinggi untuk mengatur rakyatnyasendiri. Sedangkankedaulatankeluaradalahkekuasaantertinggi yang harus dihormati oleh negara-negara lain. Dengan kedaulatannya pemerintah berhak mengatur negaranya sendiri tanpa campur tangan dari negara lain. 3. Fungsi dan Tugas Negara Apa pun pengertian kita tentang ‘negara’ sebagaimana dirumuskan oleh para ahli, sebagai masyarakat politik yang tetap, independen, dan berdaulat dengan kekuasaan tertinggi, ‘negara’ adalah lembaga pusat pemersatu masyarakat di seluruh negeri. Dalam memainkan fungsi dasar
Bab 2 Negara dan Konstitusi 66 dan hakiki sebagai pemersatu masyarakat, negara menetapkan aturanaturan kelakuan yang mengikat seluruh warga negara, baik rakyat maupun pemerintah. Aturan-aturan kelakuan itu diatur dalam Konstitusi dan/ atau Undang-Undang Dasar negara dan dalam berbagai undang-undang, serta peraturan pemerintah. Tujuannya ialah terciptanya suatu tata kehidupan kenegaraan yang selaras dengan tuntutan martabat manusia, dalam rangka meraih tujuan negara, yaitu kebaikan dan kesejahteraan umum (bonum commune), atau dalam rumusan bangsa Indonesia: “masyarakat adil dan makmur.” Atas dasar paham “kebaikan” dan “kesejahteraan umum” sebagai keseluruhan syarat kehidupan sosial yang diperlukan masyarakat agar dapat hidup sejahtera, para ahli ilmu negara membagi tugas-tugas negara atas tiga kelompok: (i) Melindungi seluruh penduduk24 dalam wilayah kekuasaannya terhadap: (a) ancaman, baik dari dalam maupun luar negeri; (b) terhadap ancaman penyakit dan/atau segala macam bentuk bahaya lainnya, termasuk bencana alam, bahaya lalu lintas, terorisme, narkoba, ideologi-ideologi berbahaya; (ii) Mendukung, atau langsung menyediakan pelbagai pelayanan kehidupan masyarakat dalam bidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan, termasuk pelayanan kesehatan, pendidikan, pembangunan jalan, dan pengadaan sarana lalu lintas lainnya, fasilitas pos dan telekomunikasi, radio dan televisi; pelbagai pelayanan sosial; menciptakan atau memberi bantuan bagi lembaga-lembaga kultural; dan, terutama di negara modern, pelbagai cara untuk mengembangkan kemampuan ekonomis bangsa, dengan tujuan agar semua anggota masyarakat, minimal, dapat hidup bebas dari kemiskinan dan ketergantungan ekonomis yang berlebihan, dan 24 Perlindungan yang diberikan negara tidak hanya ditujukan kepada para warga negara saja, melainkan juga kepada seluruh penduduk, semua orang yang menjadi penghuni negara, baik yang termasuk warga negara maupun bukan-warga negara atau orang-orang asing yang dalam jangka waktu tertentu sesuai ketentuan undang-undang bertempat tinggal di wilayah negara itu.
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 67 (iii) Menjadi wasit yang tidak memihak salah satu pihak dalam suatu konflik sosial, serta menyediakan suatu sistem peradilan/yudisial yang menjamin keadilan dasar dalam hubungan sosial masyarakat.25 Namun, semua fungsi dan tugas negara ini dapat dikembalikan pada satu fungsi formal, yaitu menetapkan, mempermaklumkan, menerapkan aturan-aturan kelakuan, dan menjamin keberlakuan aturan-aturan kelakuan itu bagi seluruh masyarakat, bila perlu dengan memaksa. Negara melaksanakan fungsi dan tugas-tugas di atas dengan menetapkan suatu tatanan hukum sebagai landasan bagi pengambilan kebijakan-kebijakan yang konkret. Oleh karena itu, perumusan tujuan negara (yaitu merealisasikan suatu keadaan dalam masyarakat: keadaan aman dan sejahtera, adil dan makmur) harus bertolak dari apa yang secara dasariah diharapkan dari hukum. Memang, tatanan hukum membatasi kelakuan para warga masyarakat. Namun, harus disadari, bahwa hukum tidak diciptakan demi pembatasan itu sendiri, melainkan demi nilai-nilai yang mau direalisasikan melalui hukum itu. Realisasi nilai-nilai itulah yang diharapkan dari negara, karena realisasi nilai-nilai itu memungkinkan negara mencapai tujuannya, yaitu merealisasikan suatu keadaan dalam masyarakat, yang mencerminkan keamanan dan kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran. Namun, untuk merumuskan keadaan mana yang harus direalisasikan oleh negara, nilai-nilai dasar yang termuat dalam paham hukum sendiri merupakan orientasi etis. Nilai-nilai dasar hukum itu adalah kesamaan, kebebasan, dan solidaritas. Dengan kesamaan (equality) hendak dikatakan bahwa setiap manusia sebagai manusia dan setiap warga negara sebagai warga negara diakui sama kedudukannya di dalam masyarakat di hadapan hukum (equality before the law). Atau bahwa segenap anggota masyarakat diperlakukan menurut kriteria objektif yang berlaku sama bagi semua. 25 Untuk Indonesia, tiga tugas itu terdapat di dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945” dalam rumusan: “… untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”
Bab 2 Negara dan Konstitusi 68 Konsekuensi langsung dari nilai kesamaan itu adalah tuntutan agar tatanan masyarakat menjamin keadilan. Nilai kebebasan (liberty) terletak dalam penolakan dan pembatasan terhadap perilaku kekuasaan yang sewenang-wenang. Pembatasan terhadap hak kita untuk bertindak, yang merupakan hakikat hukum, justru menjamin kebebasan kita dari pembatasan-pembatasan yang sewenang-wenang, yang tidak dipertanggungjawabkan, yang tidak berdasarkan pengakuan fundamental kita sendiri terhadap adanya tatanan sosial. Jadi, yang hanya berdasarkan kekuatan pihak yang berkuasa. Hukum justru menjamin kebebasan setiap orang dan kelompok untuk mengurus diri sendiri lepas dari paksaan pihak-pihak yang tidak berhak. Nilai kebebasan memuat pengakuan bahwa pembatasan kebebasan tidak boleh sewenang-wenang. Nilai solidaritas26 mengungkapkan pengandaian dasar bahwa: (a) kita mau bersatu, senasib sepenanggungan, dalam satu wadah masyarakat dan negara; (b) kita bersedia berkorban bagi bangsa dan negara, dan (c) kita merasa bertanggung jawab terhadap satu sama lain. Solidaritas itu pertama-tama adalah suatu kenyataan yang menimbulkan suatu kewajiban. Kenyataannya adalah bahwa menurut kodratnya manusia mesti hidup bermasyarakat, dan masyarakat ada demi anggotaanggotanya. Terdapat relasi timbal-balik antara kodrat manusia sebagai pribadi yang bermasyarakat dan kodrat masyarakat yang terdiri dari anggota-anggota yang berpribadi. Ada kesalingtergantungan antara setiap anggota dan masyarakat, dan sebaliknya juga ada kesalingtergantungan antara masyarakat dan setiap anggotanya:taraf pendidikan,rasa tanggung jawab sosial, ketekunan serta pandangan hidupnya. Kewajibannya adalah bahwa justru karena kesalingtergantungan itu, kita mempunyai tanggung jawab atas keadaan dan perkembangan masyarakat, artinya semua anggotanya. Dan sebaliknya, masyarakat bertanggung jawab terhadap semua anggotanya, terhadap semua lapisan masyarakat. Karena itu, tidak 26 Adolf Heuken, ibid., hlm. 66-67. Kata “solidaritas” berasal dari bahasa Prancis ‘solidaire’ yang berarti berpaut bersama, setia-kawan, rasa bersatu dalam kepentingan, kehendak dan perbuatan.
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 69 boleh ada sedikit pun yang diabaikan sebagai sampah atau “racun”. Itulah tuntutan solidaritas manusiawi. Dalam menghadapi bahaya individualisme, sektarianisme, primordialisme, politik SARA yang semakin menjadi-jadi dalam masyarakat dewasa ini, terutama di dalam masyarakat yang sangat majemuk seperti Indonesia, semangat solidaritas manusiawi harus terus disuarakan, dibangun, diperjuangkan, dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Dapat dikatakan bahwa tiga nilai ini merupakan tiga kewajiban moral dasar negara yang secara sederhana dapat dirumuskan sebagai berikut: Negara harus menjamin tatanan masyarakat sedemikian rupa hingga kesamaan, kebebasan, dan solidaritas – dalam arti yang telah dijelaskan – dapat terlaksana secara optimal. Akan tetapi, tiga prinsip dasar itu tentu saja hanya mempunyai arti berdasarkan satu prinsip lain lagi [sebagai prinsip keempat] yaitu prinsip manfaat: negara itu ada justru demi kepentingan masyarakat. Maka eksistensi negara – seluruhnya – harus bermanfaat bagi masyarakat. Negara bukanlah tujuan pada dirinya sendiri, dan negara dibentuk tidak hanya agar negara ada. apalagi tujuan negara bukanlah jaminan kehidupan dan pemerkayaan diri orang-orang yang mengurusnya, yaitu para pejabat negara. Mereka yang memegang jabatan-jabatan kenegaraan tidak bisa disebut negarawan, jika karena pola pikir dan perbuatan mereka, negara tidak bermanfaat bagi keamanan dan kesejahteraan rakyat. Tujuan negara berbeda dari misalnya tujuan sebuah kongsi dagang, yaitu menjamin kehidupan dan memperkaya pemilik dan para pengurusnya. Jadi, negara hanya mempunyai arti sejauh berguna bagi masyarakat. Negara wajib mengusahakan pemajuan kepentingan semua warga negara sebagai unsur-unsur nyata dasariah masyarakat. Alasan satu-satunya (raison d’etre) dari eksistensi negara adalah kepentingan umum, bukan kepentingan para negarawan, para pengelola negara. Prinsip manfaat ini sebenarnya sudah merupakan suatu keniscayaan, tetapi perlu sekali-sekali diungkap dengan tegas, antara lain karena, kalau prinsip manfaat ini dilalaikan, negara merosot menjadi lembaga jaminan nafkah hidup bagi para negarawan belaka.
Bab 2 Negara dan Konstitusi 70 Dalam konteks ini patut disinggung bahwa bila suatu pemerintah tidak sungguh-sungguh berusaha dalam batas-batas kemampuannya mengusahakan kesejahteraan umum, pemerintah itu kehilangan legitimasi, dan karena itu perlu segera diganti. Wewenang yang dipercayakan rakyat kepada pemerintah runtuh jika para pejabat lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau golongan daripada kesejahteraan bersama. Empat prinsip ini, yaitu kesamaan, kebebasan, solidaritas, dan manfaat bersifat material, karena menyangkut isi dari hasil yang harus terwujud melalui tindakan negara. Prinsip-prinsip ini merupakan orientasi normatif untuk menentukan tujuan negara.27 Kita dapat merumuskannya sebagai berikut: Negara wajib untuk memajukan kepentingan-kepentingan masyarakat seoptimal mungkin, berdasarkan solidaritas seluruh masyarakat, dengan menjamin kebebasan para anggota masyarakat dari campur tangan yang sewenang-wenang, dan atas prasyarat keadilan. 27 Tentang keadilan, kebebasan, dan solidaritas lihat K. Lehmann dan A. Schwann dalam Kimminich, 9-22 dan 32-38; tentang kombinasi khas empat prinsip itu lihat Downie 1971, 30-45; bdk. juga Mabbot, 93-96. Alexander Schwann merumuskan nilai-nilai yang mendasari paham negara menurut etika Barat masa kini sebagai berikut. ”Kedewasaan (Mündigkeit) individu, martabat perkembangan diri yang bebas, perlu adanya jaminan sosial menurut prinsip keadilan, tanggung jawab individu satu sama lain dan terhadap kelompok (Gemeinschaft) dan kelompok terhadap mereka, tuntutan tatanan bersama yang menurut Undang-Undang Dasar bersifat hukum, dapat diandalkan dan dikontrol, postulat partisipasi aktif individu-individu dalam perwujudan kehidupan bersama, nilai keanekaragaman sosial dan kultural, tetapi juga kesementaraan dan keterbatasan pengertian-pengertian, pengalaman-pengalaman dan bentuk-bentuk kehidupan manusia, namun sekaligus keabsahan hak-hak manusia dan rebutan-rebutan kebebasan yang tak terasingkan dan umum” (Kimminich, 44).
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 71 4. Tujuan Negara 4.1 Kesejahteraan Umum 28 Negara pada dasarnya bertujuan mengupayakan suatu kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat. Tujuan ini dicapai dengan langsung menyediakan pelbagai fasilitas dan pelayanan publik dalam bidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan, termasuk pelayanan kesehatan, pendidikan, pembangunan jalan, dan pengadaan sarana lalu lintas, fasilitas pos dan telekomunikasi, radio dan televisi, pelbagai pelayanan sosial; menciptakan atau memberi bantuan bagi lembaga-lembaga kultural; dan, terutama di negara modern, pelbagai cara untuk mengembangkan kemampuan ekonomis bangsa, dengan tujuan agar semua anggota masyarakat, minimal, dapat hidup bebas dari kemiskinan dan ketergantungan ekonomis yang berlebihan. Apa yang dimaksud dengan “kesejahteraan umum” itu? Kesejahteraan umum tidak identik dengan jumlah kesejahteraan semua anggota masyarakat. Kesejahteraan umum itu sekaligus kurang dan lebih dari jumlah semua kesejahteraan individual dalam masyarakat. Kurang, karena negara selalu hanya dapat menyelenggarakan kondisi-kondisi kesejahteraan bagi para warganya, tetapi tidak dapat memastikan bahwa mereka semua memang sejahtera. Kesejahteraan individual tidak hanya tergantung dari apa yang disediakan oleh masyarakat dan negara, tetapi juga dari individu yang bersangkutan. Lebih, karena masyarakat sendiri adalah penjumlahan semua individu yang menjadi anggotanya. 28 Yang dimaksud dengan “kesejahteraan umum” (bonum commune) ialah “keseluruhan syarat sosial, yang memungkinkan dan mempermudah manusia mengembangkan kepribadiannya secara sempurna” (Mater et Magistra no. 65) atau “sejumlah kondisi kehidupan sosial yang memungkinkan kelompok-kelompok sosial maupun individu-individu dapat mencapai kesempurnaannya dengan cara yang lebih mudah dan menyeluruh”. Menurut Gaudium et Spes 26, 1; 74,2, apa yang disebut “Kesejahteraan Umum” atau “Kepentingan Umum” tidak sama dengan kepentingan setiap individu warga negara. “Umum” berarti berguna untuk semua warga negara sebagai satu kesatuan. Manfaat itu biasanya menguntungkan semua, meskipun tidak selalu secara langsung. Menurut liberalisme, kesejahteraan umum tidak lain daripada “kebahagiaan jumlah terbesar dari anggota-anggota masyarakat”. Menurut kolektivisme, kesejahteraan umum tidak ada sangkut pautnya dengan kebahagiaan para warga negara masing-masing, karena warga negara dipandang hanya sebagai ‘onderdiil’. Sebenarnya, kepentingan perseorangan/golongan kecil harus disesuaikan secara adil dengan kesejahteraan umum, karena semestinya kepentingan perseorangan/golongan telah sedapat-dapatnya tercakup di dalamnya. Dikutip dari Adolf Heuken, SJ, Ajaran Sosial Gereja – Menghadapi Masalah-Masalah Aktuil, cet. ke-2, (Jakarta: Yayasan CLC, 1982), hlm. 62-64. Tentang paham kesejahteraan umum lihat Nell-Breuning 1968, 29-45; Downie 1971, 99s.; Zippelius 1973a, 119-121 dan passim; lihat juga: Finnis, 134-160; Liveley, 111-145; Messner, 118-140; Stankiewicz, 33-46. 7 Klose, 857.
Bab 2 Negara dan Konstitusi 72 Kesejahteraan umum sebagai kesejahteraan yang harus diusahakan oleh negara harus dirumuskan sebagai kesejahteraan yang menunjang tercapainya kesejahteraan individu anggota masyarakat. Dengan demikian, kesejahteraan umum dirumuskan sebagai jumlah syarat dan kondisi yang perlu tersedia agar para anggota masyarakat dapat hidup sejahtera. Atau “keseluruhan prasyarat-prasyarat sosial yang memungkinkan atau mempermudah manusia untuk mengembangkan semua nilainya.” Atau ”jumlah semua kondisi kehidupan sosial yang diperlukan agar setiap individu, keluarga, dan kelompok-kelompok masyarakat dapat mencapai keutuhan atau perkembangan mereka dengan lebih utuh dan cepat.” 4.2 Kesejahteraan Umum dan Kesejahteraan Individual Kesejahteraan umum terdiri dari syarat-syarat yang harus dipenuhi agar masyarakat sendiri dapat merasa sejahtera. Kapan seseorang merasa sejahtera? Jawabannya harus dirumuskan secara negatif dan positif. Secara negatif, manusia disebut sejahtera apabila ia bebas dari rasa lapar, kemiskinan, kecemasan akan hari esok, rasa takut, penindasan, apabila ia tidak merasa diperlakukan dengan tidak adil. Secara positif, manusia disebut sejahtera apabila ia merasa aman, tenteram, selamat, dapat hidup sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilainya sendiri, merasa bebas untuk mewujudkan kehidupan individual dan sosial sesuai dengan aspirasi-aspirasi serta dengan kemungkinan-kemungkinan yang tersedia baginya. Apabila kemampuan dan kreativitasnya, meskipun terbatas, bisa dikembangkan; apabila ia merasa tenang dan bebas. Rumusan ini menunjukkan sesuatu yang sangat penting: kesejahteraan seseorang bukanlah sesuatu yang dapat ditentukan dari atas secara dogmatis atau ideologis ataupun secara pragmatis, melainkan terletak dalam perasaan orang yang bersangkutan. Bukan kitalah yang dapat menentukan kapan seseorang bebas dari rasa cemas, kapan ia merasa tenteram dan bahagia. Kita hanya dapat menanyakan itu pada dia sendiri.
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 73 Di sini maksud-maksud dan kegiatan negara berhadapan dengan sebuah batas. Negara dapat mengusahakan kondisi-kondisi kesejahteraan para anggota masyarakat, tetapi tidak dapat membuat mereka merasa sejahtera. Negara tidak dapat langsung menciptakan kesejahteraan orang per orang. Kalau negara langsung mau membuat para anggota masyarakat, orang per orang, menjadi sejahtera, negara jatuh ke dalam totalitarisme. Kesejahteraan seseorang atau sekelompok orang bersama terwujud dalam perasaan mereka masing-masing. Perasaan setiap anggota masyarakat adalah kenyataan yang berada di luar kemampuan negara untuk menentukannya. Yang diciptakan negara adalah prasyaratprasyarat objektif yang perlu tersedia agar kesejahteraan setiap anggota masyarakat dapat terwujud. Negara bertugas untuk menciptakan prasarana-prasarana yang diperlukan masyarakat agar dapat merasa sejahtera, tetapi tidak dapat dijamin oleh masyarakat sendiri. Sebagai contoh, kesejahteraan seseorang juga tergantung dari kemampuannya untuk bekerja keras dan bekerja cerdas (hard and smart work!). Akan tetapi, bekerja keras pun tidak berguna kalau strukturstruktur ekonomis bersifat eksploitatif, karena dalam struktur-struktur eksploitatif berlaku bahwa semakin keras ia bekerja, semakin kaya majikannya, sementara ia sendiri tetap saja miskin. Negara bertugas untuk menciptakan struktur-struktur ekonomis agar siapa saja yang mau bekerja keras dapat menghasilkan cukup uang, agar ia dapat hidup sejahtera bersama keluarganya. Pandangan yang menomorsatukan masyarakat dan menomor-duakan negara demi terciptanya kesejahteraan umum masyarakat bertolak belakang dengan paham politik totalitarisme. 5. KONSTITUSI 5.1 Pengantar Di atas telah dikemukakan bahwa semua fungsi dan tugas negara dapat dikembalikan pada satu fungsi formal negara, yaitu menetapkan, mempermaklumkan, menerapkan aturan-aturan kelakuan, dan menjamin
Bab 2 Negara dan Konstitusi 74 keberlakuan aturan-aturan kelakuan itu bagi seluruh masyarakat, bila perlu dengan memaksa. Maksudnya, negara melaksanakan fungsi dan tugastugasnya dengan menetapkan suatu tatanan hukum sebagai landasan bagi pengambilan kebijakan-kebijakan yang konkret, dan menetapkan hal-hal fundamental terkait kehidupan berbangsa dan bernegara,seperti misalnya: ideologi negara, konstitusi dan/atau undang-undang dasar, bentuk dan sistem pemerintahan, cita-cita dan tujuan nasional, lambang negara, lembaga-lembaga penyelenggara kehidupan negara dari pusat hingga ke daerah (legislatif, eksekutif, yudikatif), batas-batas wilayah negara, dan lainlain. Dengan menetapkan tatanan hukum dan hal-hal fundamental itu, negara berupaya menciptakan ‘ketertiban dan keamanan nasional’ yang merupakan prasyarat mutlak bagi suatu corak kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang ideal bagi terwujudnya cita-cita dan tujuan nasional; asumsi dasarnya ialah ‘tanpa ketertiban dan keamanan nasional’, cita-cita dan tujuan nasional sulit bahkan mustahil terwujud.29 Ketertiban lahir dari keteraturan, sedangkan keteraturan lahir dari ketaatan terhadap peraturan (hukum dan undang-undang). Dengan demikian, kehadiran peraturan (hukum dan undan-undang) dalam kehidupan bernegara dan ketaatan seluruh komponen banga terhadapnya merupakan suatu conditio sine quanon (syarat mutlak) bagi pencapaian cita-cita dan tujuan nasional. Di sini hukum dan/atau undang-undang berfungsi sebagai sarana pengatur dan pengarah serta norma objektif bagi segenap aspek kehidupan bernegara. Maka dituntut ketaatan dan penegakan atas aturan hukum dan undang-undang itu. Hukum ditetapkan oleh negara (penguasa) sebagai aturan kelakuan terkesan “membatasi”, namun pembatasan oleh hukum bukan demi pembatasan itu sendiri, tetapi demi tegaknya nilai-nilai yang terkandung di dalam hukum itu sendiri bagi kebaikan umum bersama. Tata hukum positif yang berlaku dalam suatu negara tersusun secara berlapis-lapis, berjenjang-jenjang, bertingkat-tingkat. Maka ada suatu hierarki peraturan hukumkonkrit: ada yang tinggi kedudukannya, ada yang 29 Bdk. Boediono Kusumohamijoyo, Ketertiban Yang Adil, Problematik Filsafat Hukum (Jakarta, 1999), hlm. 122.
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 75 lebih rendah kedudukannya, dan ada pula yang paling rendah.30 Hierarki itu bertujuan agar terjamin ketertiban dalam peraturan hukum konkrit itu sendiri, karena jika tidak ada asas hierarki akan selalu ada kemungkinan terjadi pertentangan di antara semua peraturan hukum konkrit. Menurut asas hierarki, peraturan hukum konkrit yang berkedudukan lebih rendah tidak boleh menyimpang dan/atau bertentangan dengan peraturan hukum konkrit yang lebih tinggi.31 Dalam konteks ‘asas hirarki’ ini, tampak adanya peraturan-peraturan hukum konkrit tertentu yang memiliki kedudukan dan fungsi khusus dalam tata hukum positif untuk mengatur organisasi negara, hak dan kewajiban warga negara, dan lain-lain. Norma-norma hukum yang punya kedudukan dan fungsi khusus itulah yang secara umum disebut KONSTITUSI (constitution), yang lazim juga disebut UNDANG-UNDANG DASAR. 5.2 Pengertian Konstitusi Kata atau istilah ‘konstitusi’ berasal dari bahasa Latin constitutum, dari kata kerja ‘constituere’ / ‘cōnstituēre’ (terbentuk dari prefix “con-” + “statuere”/”statuo” yang berarti “menyebabkan berdiri, mengatur, memperbaiki, menempatkan, menetapkan, mengatur; membentuk sesuatu yang baru; memutuskan.”32 Kata ‘konstitusi” yang berarti pembentukan, berasal dari kata “constituer” (Perancis) yang berarti membentuk. Ada ahli yang mengatakan istilah ‘kostitusi’ berasal dari kata Prancis ‘consituer’, yang berarti ‘membentuk’. Membentuk apa? Membentuk negara! Dalam konteks pengertian ‘membentuk-negara’ ini, istilah ‘konstitusi’ mengandung makna ‘awal dari segala peraturan mengenai suatu 30 Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya (Jogyakarta, 1998), hlm.25-27 dan seterusnya. 31 Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan (Bandung, 1988), hlm. 47. 32 https://www.google.com/search?q=etymology+of+constituere&oq=etymology+of+constituere&aqs=chrome ..69i57.33580j0j7&- sourceid=chrome&ie=UTF-8; “constituere” – WordSense Online Dictionary (7th February, 2022) URL: https://www.wordsense.eu/ constituere/
Bab 2 Negara dan Konstitusi 76 negara,’33 atau ‘dasar dari susunan badan politik yang bernama negara’.34 Dari sini dapat dikatakan bahwa istilah ‘konstitusi’ menunjuk pada sebuah dokumen yang memuat peraturan-peraturan dasar tentang tata cara penyelenggaran negara. Terlepas dari aneka ragam pandangan para ahli tentang ‘konstitusi’, umumnya istilah ‘konstitusi’ digunakan dengan tiga pengertian:35 Pertama, menunjuk pada keseluruhan peraturan tentang sistem ketatanegaraan suatu negara, di mana ada yang berkedudukan legal, dan ada yang non-legal atau ekstra-legal. Terhadap yang legal, pelanggaran terhadapnya dapat dikenai sanksi tegas oleh hakim di pengadilan; sedangkan pelanggaran terhadap yang non-legal atau yang ektra-legal, hakim tidak dapat menerapkan sanksi atas pelanggarannya. Hal ini tidak berarti bahwa dalam hal ‘efektivitas’-nya, peraturan non-legal atau ekstralegal kalah efektif dari peraturan legal. Konstitusi dalam pengertian seperti inilah, yang oleh Bollingbroke dirumuskan sebagai: “kumpulan kaidah hukum, institusi, kebiasaankebiasaan ketatanegaraan yang diangkat dari asas-asas penalaran tertentu dan pasti yang memuat system umum, yang berdasarkan hal itu masyarakat setuju untuk dipertintah.” Kedua, menunjuk hanya pada peraturan-peraturan legal yang pokokpokok saja yang termuat dalam satu atau beberapa dokumen. Pengertian kedua ini menunjuk pada apa yang kita osebut UNDANG-UNDANG DASAR (Belanda: ‘grondwet’). Konstitusi dalam pengertian “undang-undang dasar” ini, oleh James Bryce dirumuskan sebagai: “kerangka negara yang dikelola melalui dan oleh hukum, yang di dalam hukum itu ditetapkan lembaga-lembaga yang permanen beserta wewenangnya.” Ketiga, istilah ‘konstitusi’ dipakai dalam pengertian yang lebih sempit dari yang pertama, tetapi lebih luas dari yang kedua, yaitu “tidak hanya meliputi aturan-aturan dasar yang tertulis, tetapi juga yang tidak tertulis. 33 M Solly Lubis, Hukum Tata Negara, (Bandung: Mandar Maju), 2008, hlm. 37. 34 Astim Riyanto, Teori Konstitusi, Bandung: Yapemdo, 2000, hlm. 344. 35 Dr. Max Boli Sabon, SH, MHum, Ilmu Negara, op.cit. hlm. 169-172.
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 77 Pengertian seperti ini yang sama dengan pengertian HUKUM D’ASAR, sebagaimana dikenal dalam PEMBUKAAN UUDNRI 1945. Kendatipun demikian, di Indonesia, istilah ‘konstitusi’ dipandang sama dengan istilah ‘undang-undang dasar’. Hal ini dapat dilihat dalam sejarah berlakunya undang-undang dasar di Indonesia: (1) UUD 1945 (18 Agustus 1945 s/d 27 Desember 1949); (2) UUD RIS (27 Desember 1949 s/d 17; Agustus 1950); (3) UUD Sementara 1950 (17 Agustus 1950 s/d 5 Juli 1959); (4) UUD 1945 (5 Juli 1959 s/d 19 Oktober 1999); (5) UUD 1945 Masa Amandemen (19 Oktober 1999 s/d 10 Agustus 2002); (6) UUD 1945 Amandemen (10 Agustus 2002 s/d Sekarang). Ketiga pengertian seperti di atas dipakai dengan berorientasi pada negara sebagai organisasi yang mempunyai kedaulatan (kekuasaaan tertinggi). Implementasi ‘kedaulatan’ itulah yang dilakukan melalui KONSTITUSI, terhadapnya seluruh warga negara, tanpa kecuali para penyelenggara, harus tunduk-taat-patuh tanpa kecuali demi tertib nasional dan demi tercapainya cita-cita dan tujuan nasional. Selain ketiga pengertian di atas, Konstitusi juga mempunyai pengertian yang sempit dan luas. • Dalam arti sempit, istilah ‘konstitusi’ mengarah pada hukum dasar negara yang tertulis atau undang-undang dasar. Atau seperangkat norma-norma hukum yang bersifat dasar yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Norma-norma atau kaidah-kaidah hukum dasar tersebut dituangkan dalam suatu atau beberapa dokumen tertulis yang berkaitan. Tentang hal ini K. C. Wheare mengatakan bahwa: Pada hampir setiap negara, kecuali Inggris, istilah konstitusi dipergunakan dalam arti yang lebih sempit. Istilah konstitusi dipergunakan bukan untuk menggambarkan segenap peraturan, hukum maupun nonhukum, melainkan suatu himpunan peraturan yang biasanya telah dituangkan dalam satu atau beberapa dokumen yang berkaitan. • Dalam arti luas, Konstitusi adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan dasar yang menjadi dasar dibentuknya suatu negara dari mulai
Bab 2 Negara dan Konstitusi 78 sistem pemerintahan, pembentukan kebijakan, hingga sistem ketatanegaraan. Atau sebagaimana pendapat K. C. Wheare, juga Elly Chaidir, dalam arti luas, konstitusi merupakan kaidah-kaidah hukum dan kaidah sosial lain yang mengatur atau menjadi pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam garis besar, kaidahkaidah konstitusional tentang kehidupan bernegara tersebut meliputi kaidah (a) yang bersifat hukum seperti undang-undang dasar dan undang-undang maupun (b) kaidah-kaidah non-hukum seperti kebiasaan, adat-adat istiadat, aturan-aturan bertingkah laku menurut kepatutan moral dan sebagainya. Atau yang oleh Eric Barent dikatakan: “menunjuk pada himpunan peraturan hukum dan peraturan nonhukum, yang misalnya mengatur sistem pemerintahan, menggariskan kekuasaan menteri-menteri dan parlemen dan mengatur hubungan di antara lembaga-lembaga negara tersebut.” Jadi, pengertian konstitusi dalam arti luas tidak hanya berkaitan dengan peraturan-peraturan hukum seperti undang-undang dasar dan undang-undang, tetapi juga norma-norma atau kaidah-kaidah sosial yang lain seperti kebiasaan, adat-istiadat, norma-noma kepatutan, asasasas penalaran (ratio) dan sebagainya sepanjang berkenaan dengan atau merupakan pedoman yang mengatur kehidupan bernegara. Dari pengertian ‘konstitusi’ di atastampak apa sesungguhnyaHAKIKAT KONSTITUSI itu. KONSTITUSI itu pada hakikatnya adalah: 1. Peraturan dasar yang membatasi kekuasaan penguasa agar tidak menjadi penguasa absolut. 2. Peraturan dasar yang merupakan sumber bagi semua peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya (Ingat: hirarki peraturan). 3. Atas dasar konstitusi itulah dibentuk peraturan-peraturan lain sehingga konstitusi merupakan hal absolut di bidang norma sebagaimana disebut norma-normarum (norma di atas segala norma). Sifat ‘absolut’ lainnya dirumuskan dengan istilah ‘forma-formarum (bentuk di atas segala bentuk). Misalnya, jika telah dirumuskan bentuk pemerintahannya ’demokrasi’ (kedaulatan rakyat), maka tidak akan
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 79 ada lagi di dalam negara sumber kewenangan lain selain bersumber dari rakyat atau wakil rakyat. 5.3 Unsur-unsur atau Materi Muatan yang Terdapat dalam Konstitusi Jika ‘konstitusi’ atau ‘undang-undang dasar’ negara tidak hanya berfungsi membatasi kekuasaan pemerintah, akan tetapi juga menggambarkan struktur pemerintahan suatu negara, pertanyaan kita adalah apa saja unsur-unsur atau materi-muatan yang terdapat di dalam konstitusi? Padmo Wahyono mengemukakan bahwa beberapa hal mendasar yang lazim dituangkan dalam konstitusi adalah sebagai berikut:36 a. Hal-hal yang dianggap fundamental dalam berorganisasi seperti misalnya kepala negara, warga negara, perwakilan, kewenangan kenegaraan dan sebagainya, b. Hal-hal yang dianggap penting dalam hidup berkelompok oleh suatu bangsa,sekalipun oleh bangsa lain tidak dianggap demikian, misalnya soal pekerjaan yang layak di dalam UUD 1945, soal pendidikan nasional dan sebagainya, c. Hal-hal yang dicita-citakan, sekalipun hal itu seolah-olah sulit untuk dicapai karena idealistik. Aspek ini berperan sebagai daya pemersatu, menstabilkan arah gerak kenegaraan dan pemberi dinamika gerak kenegaraan.” Dengan begitu, menurut pandangan Padmo Wahyono, konstitusi bukan hanya merupakan norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang mengatur hal-hal fundamental mengenai negara seperti organ-organ negara, kepala negara, hak-hak warga negara dan sebagainya, tetapi juga mengatur hal-hal ideal atau hal-hal yang hendak direalisasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, seperti keadilan sosial, kesejahteraan masyarakat (kesejahteraan bangsa) dan sebagainya, 36 Padmo Wahyono, “Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Kehidupan Ketatanegaraan” dalam: Oetojo Oesman dan Alfian, op. cit., hlm. 122, sebagaimana dikutip Dr. Hotma P. Sibuea, SH,MH, Ilmu Negara, op.cit. hlm. 451.
Bab 2 Negara dan Konstitusi 80 kendatipun hal-hal ideal seperti itu sulit direalisasikan dalam kehidupan nyata. Bagir Manan dan Kuntana Magnar mengemukakan pandangan bahwa materi-muatan konstitusi mengatur 4 (empat) hal penting bagi kehidupan bernegara yakni:37 a. Dasar-dasar mengenai jaminan terhadap hak-hak dan kewajiban penduduk atau warga negara, b. Dasar-dasar susunan atau organisasi negara, c. Dasar-dasar pembagian dan pembatasan kekuasaan lembagalembaga negara dan d. Hal-hal yang menyangkut identitas negara seperti bendera dan bahasa nasional. Sri Soemantri juga mengemukakan pendapat yang kurang lebih sama dengan beberapa pakar yang dikemukakan di atas mengenai materimuatan konstitusi. Menurut Sri Soemantri, konstitusi mengandung materi-muatan yang berkenaan dengan hal-hal mendasar mengenai negara, sebagai berikut:38 1. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara, 2. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan yang bersifat mendasar, 3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental. 5.4 Fungsi Konstitusi Setelah melihat unsur-unsur atau materi-muatan dalam konstitusi, pertanyaan kita adalah “apa fungsi konstitusi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara?” Ada berbagai macam pendapat pakartentang fungsi konstitusi dalamkehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 37 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia (Bandung, 1997), hlm. 45, sebagaimana dikutip Dr. Hotma P. Sibuea, SH,MH, Ilmu Nebara, Ibid. hlm 452. 38 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung, 1984, hlm. 45. sebagaimana dikutip Dr. Hotma P. Sibuea, SH,MH, Ilmu Negara, Ibid. hlm 453.
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 81 Fungsi utama konstitusi adalah membatasi kekuasaan negara (penguasa atau pemerintah). Pembatasan ini dicantumkan di dalam konstitusi berdasarkan 2 (dua) macam alasan atau tujuan: Pertama, untuk mencegah penguasa melakukan perbuatan yang sewenang-wenang. Kedua, untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak rakyat (warga negara). Tentang ‘fungsi konstitusi’, K.C. Wheare mengemukakan pendapat bahwa fungsi konstitusi adalah mengatur lembaga-lembaga, menata pemerintah. Sementara Sheperd L. Witman dan John J. Wuest mengemukakan pendapat bahwa fungsi utama konstitusi adalah menetapkan asas-asas fundamental bagi organisasi dan menuntun pemerintah. Pembatasan kekuasaan dapat dilakukan dengan dua cara berikut: Pertama, menetapkan batas-batas ruang lingkup wewenang dan tugas organ-organ negara. Jika batas-batas kewenangan sudah ditetapkan, organorgan negara hanya dapat bertindak dalam batas-batas kewenangannya saja. Tindakan organ negara di luar kewenangannya mengandung arti ‘tindakan tanpa kewenangan’ atau tindakan yang sewenang-wenang’. Kedua, mengatur dan menetapkan secara tegas hak-hak warga negara (rakyat). Jika hak-hak warga negara secara tegas diatur dalam konstitusi, pemerintah atau penguasa diharapkan dapat menghormati dan tidak melanggar hak-hak warga negara tersebut. Namun, harus diakui bahwa dalam kenyataan, harapan demikian sering kali tidak diwujudkan. Namun berdasarkan materi-muatan konstitusi di atas, kiranya fungsi konstitusi , tetapi hanya terkait dengan pembatasan terhadap kekuasaan dan mengatur serta menetapkan secara tegas hak dan kewajiban warga negara dan negara tetapi juga terkait dengan semua hal fundamental terkait negara, seperti wilayah negara dan batas-batasnya, simbol-simbol kenegaraan dan lain-lain. Dalam konteksitu, fungsi-fungsi konstitusi di bawah ini dapat menjadi suatu bahan pemikiran bagi kita.
Bab 2 Negara dan Konstitusi 82 The Functions of a Constitution • Constitutions can declare and define the boundaries of the political community. These boundaries can be territorial (the geographical borders of a state, as well as its claims to any other territory or extraterritorial rights) and personal (the definition of citizenship). Thus, a country’s constitution often distinguishes between those who are inside and those who are outside the polity. (• Konstitusi dapat menyatakan dan menentukan batas-batas komunitas politik. Batasbatas ini dapat berupa teritorial (batas geografis suatu negara, serta klaimnya atas wilayah lain, atau hak ekstra-teritorial) dan pribadi (definisi kewarganegaraan). Dengan demikian, konstitusi suatu negara sering membedakan antara mereka yang berada di dalam dan mereka yang berada di luar pemerintahan.) • Constitutions can declare and define the nature and authority of the political community. They often declare the state’s fundamental principles and assumptions, as well as where its sovereignty lies. For example, the French Constitution declares that ‘France is an indivisible, secular, democratic and social Republic’ and that ‘National sovereignty belongs to the people, who exercise it through their representatives and by means of referendums’ (Constitution of the Fifth French Republic). The Constitution of Ghana (1992) states that, ‘The Sovereignty of Ghana resides in the people of Ghana in whose name and for whose welfare the powers of government are to be exercised’. (• Konstitusi dapat menyatakan dan mendefinisikan sifat dan otoritas komunitas politik. Konstitusi sering menyatakan prinsip dan asumsi dasar negara, serta di mana letak kedaulatannya. Misalnya, Konstitusi Prancis menyatakan bahwa ‘Prancis adalah Republik yang tak terpisahkan, sekuler, demokratis, dan sosial’ dan bahwa ‘kedaulatan nasional adalah milik rakyat, yang melaksanakannya melalui perwakilan mereka dan melalui referendum’ (Konstitusi Republik Prancis Kelima ). Konstitusi Ghana (1992) menyatakan bahwa, ‘Kedaulatan Ghana berada di tangan
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 83 rakyat Ghana yang atas nama dan kesejahteraannya kekuasaan pemerintah harus dijalankan’.) • Constitutions can express the identity and values of a national community. As nationbuilding instruments, Constitutions may define the national flag, anthem and other symbols, and may make proclamations about the values, history and identity of the nation. (• Konstitusi dapat mengungkapkan identitas dan nilai-nilai komunitas nasional. Sebagai instrumen pembangunan bangsa, Konkstitusi dapat menetapkan bendera nasional, lagu kebangsaan dan simbol lainnya, dan dapat membuat pernyataan umum tentang nilai-nilai, sejarah dan identitas bangsa.) • Constitutions can declare and define the rights and duties of citizens. Most constitutions include a declaration of fundamental rights applicable to citizens. At a minimum, these will include the basic civil liberties that are necessary for an open and democratic society (e.g. the freedoms of thought, speech, association and assembly; due process of law and freedom from arbitrary arrest or unlawful punishment). Many constitutions go beyond this minimum to include social, economic and cultural rights or the specific collective rights of minority communities. And some rightsmay apply to both citizens and noncitizens,such asthe rightto be free fromtorture or physical abuse. (Konstitusi dapat menyatakan dan mendefinisikan hak dan kewajiban warga negara. Sebagian besar konstitusi mencakup deklarasi hakhak dasar yang berlaku bagi warga negara. Paling tidak, ini akan mencakup kebebasan sipil dasar yang diperlukan untuk masyarakat yang terbuka dan demokratis (misalnya kebebasan berpikir, berbicara, berserikat dan berkumpul; proses hukum yang wajar dan kebebasan dari penangkapan sewenang-wenang atau hukuman yang melanggar hukum). Banyak konstitusi melampaui batas minimum ini untuk memasukkan hak-hak sosial, ekonomi dan budaya atau hakhak kolektif khusus komunitas minoritas. Dan beberapa hak mungkin
Bab 2 Negara dan Konstitusi 84 berlaku untuk warga negara dan bukan warga negara, seperti hak untuk bebas dari penyiksaan atau kekerasan fisik.) • Constitutions can establish and regulate the political institutions of the community— defining the various institutions of government; prescribing their composition, powers and functions; and regulating the relations between them. It is almost universal for constitutions to establish legislative, executive and judicial branches of government. In addition, there may be a symbolic head ofstate, institutionsto ensure the integrity ofthe political process(such as an electoral commission), and institutions to ensure the accountability and transparency of those in power (such as auditors, a court of accounts, a human rights commission or an ombudsman). The institutional provisions typically provide mechanisms for the democratic allocation and peaceful transfer of power(e.g. elections) andmechanismsforthe restraint and removal of those who abuse power or who have lost the confidence of the people (e.g. impeachment procedures, motions of censure). (• Konstitusi dapat membentuk dan mengatur lembaga-lembaga politik masyarakat—mendefinisikan berbagai lembaga pemerintahan; menentukan komposisi, kekuasaan dan fungsinya; dan mengatur hubungan di antara mereka. Hampir universal bagi konstitusi untuk menetapkan cabang-cabang pemerintahan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Selain itu, mungkin ada kepala negara simbolis, lembaga untuk memastikan integritas proses politik (seperti komisi pemilihan), dan lembaga untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi dari mereka yang berkuasa (seperti auditor, pengadilan akun, komisi hak asasi manusia atau ombudsman). Ketentuan kelembagaan biasanya menyediakan mekanisme untuk alokasi demokratis dan transfer kekuasaan secara damai (misalnya pemilihan umum) dan mekanisme untuk menahan dan menyingkirkan mereka yang menyalahgunakan kekuasaan atau yang telah kehilangan kepercayaan rakyat (misalnya prosedur pemakzulan, mosi kecaman)).
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 85 • Constitutions can divide or share power between different layers of government or sub-state communities. Many constitutions establish federal, quasi-federal or decentralized processes for the sharing of power between provinces, regions or other sub-state communities. These may be geographically defined (as in most federations, such as Argentina, Canada or India), or they may be defined by cultural or linguistic communities (e.g. the 1994 Constitution of Belgium, which establishes autonomous linguistic communities in addition to geographical regions). (• Konstitusi dapat membagi atau membagi kekuasaan antara berbagai lapisan pemerintah atau komunitas sub-negara bagian. Banyak konstitusi menetapkan proses federal, kuasi-federal atau desentralisasi untuk pembagian kekuasaan antara provinsi, wilayah atau komunitas sub-negara bagian lainnya. Ini mungkin didefinisikan secara geografis (seperti di sebagian besar federasi, seperti Argentina, Kanada atau India), atau mereka dapat ditentukan oleh komunitas budaya atau linguistik (misalnya Konstitusi Belgia 1994, yang menetapkan komunitas linguistik otonom di samping wilayah geografis). • Constitutions can declare the official religious identity of the state and demarcate relationships between sacred and secular authorities. This is particularly important in societies where religious and national identities are interrelated, or where religious law has traditionally determined matters of personal status or the arbitration of disputes between citizens. (• Konstitusi dapat menyatakan identitas agama resmi negara dan membatasi hubungan antara otoritas sakral dan sekuler. Hal ini sangat penting dalam masyarakat di mana identitas agama dan nasional saling terkait, atau di mana hukum agama secara tradisional menentukan masalah status pribadi atau arbitrase perselisihan antar warga negara.) • Constitutions can commit states to particular social, economic or developmental goals. This may take the form of judicially enforceable socio-economic rights, directive principles that are politically binding
Bab 2 Negara dan Konstitusi 86 on the government, or other expressions of commitment or intent. (• Konstitusi dapat mengikat negara bagian untuk tujuan sosial, ekonomi atau pembangunan tertentu. Ini dapat berupa hak-hak sosial ekonomi yang dapat ditegakkan secara hukum, prinsip-prinsip arahan yang secara politik mengikat pemerintah, atau ekspresi komitmen atau niat lainnya.) Pertanyaan Pendalaman: 1. Jelaskanlah hubungan erat antara negara dan konstitusi! 2. Uraikanlah “tiga tugas negara” dengan fungsinya sebagai ‘lembaga pusat pemersatu masyarakat’? 3. Apa itu Kesejahteraan Umum dan Kesejahteraan Individu? Di mana perbedaannya? 4. Apa tiga pengertian yang biasanya dipakai untuk memahami ‘konstitusi’? Jelaskanlah! 5. Hal-hal apa saja yang menjadi materi-muatan dalam suatu konstitusi?
Bab 3 Hak dan Kewajiban Warga Negara dan Negara 1. Pengantar Dalam bab ini, kita mau bicara tentang hak dan kewajiban warga negara dan negara. Pertanyaannya ialah atas ‘dasar apa’ kita membicarakan hak dan kewajiban itu? Dasar itu ialah hubungan yang erat antara warga negara dan negara. Hubungan itu terjadi dalam kerangka: (i) pembangunan nasional untuk meraih cita-cita dan tujuan nasional sebagaimana tercantum di dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945, dan (ii) bela negara: perjuangan mempertahankan keberadaan dan keberlangsungan hidup bangsa dan negara sepanjang masa dari segala ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan (ATHG). Dalam dua kerangka ini, keseimbangan memenuhi hak dan kewajiban merupakan suatu keharusan kewarganegaraan. Baik rakyat maupun pemerintah tidak boleh hanya menuntut ‘hak’ masing-masing, melainkan harus lebih mengutamakan ‘kewajiban’ masing-masing. 2. Status dan Asas Kewarganegaraan5 Status ’kewarganegaraan’ dalam suatu negara selalu menjadi suatu masalah kenegaraan yang penting dan aktual. Tanpa status ini, seseorang
Bab 3 Hak dan Kewajiban Warga Negara dan Negara 88 tidak memiliki identitas politik dan hukum yang jelas dan pasti, dan negara tidak mempunyai kewajiban apa pun terhadap orang-orang ini. Akibatnya banyak. Misalnya: keberadaannya tidak diakui negara, dan karena itu, ia tidak memiliki hak-hak kewargaan seperti orang lain, seperti hak politik, hak ekonomi, hak sosial, dan hak sipil. Dengan begitu, ia tidak memiliki suatu jaminan pasti atas dirinya sepanjang hidup. Betapa berat hidup seperti itu! Setiap orang dan setiap negara mempunyai kepentingan masingmasing dengan status kewarganegaraan rakyatnya. Kepentingan warga negara adalah pengakuan politis yang jelas dan pasti dari negara atas keberadaannya. Sedangkan kepentingan negara adalah kejelasan dan kepastian status seseorang dalam segala urusan menyangkut hak dan kewajiban orang itu sebagai warga negara. Kepentingan negara itu semakin tinggi, karena peran dan kedudukan warga negara atau rakyat sebagai poros dan tulang-punggung serta komponen pendukung utama negara. Negara juga terbentuk untuk menciptakan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat pendukungnya. Di sini negara bermanfaat bila ia berhasil menciptakan kesejahteraan umum itu. Status kewarganegaraan seseorang dalam suatu negara ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara itu. Status ini sangat penting dan dibutuhkan negara atau pemerintah karena berhubungan dengan hak dan kewajiban timbal-balik antara negara atau pemerintah dan warga negara atau rakyat. Di satu pihak, negara berkewajiban memenuhi hak-hak warga negara, misalnya melindungi rakyat dari segala macam ancaman baik dari dalam maupun dari luar (perang, penyakit, kelaparan, kemiskinan dengan segala akibat turunannya, ideologi-ideologi yang bertentangan dengan ideologi negara, jaringan internasional narkotika, proxy war, dsb.), memberikan perlindungan hukum kepada warga negara, mendistribusikan hasil-hasil pembangunan secara adil kepada rakyat. Di pihak lain, negara berhak menuntut dari segenap warga negara partisipasi aktif dalam seluruh proses pembangunan nasional, misalnya dengan membayar pajak, mobilisasi dalam kerangka bela negara dalam situasi darurat perang. Singkatnya, apa yang menjadi hak
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Mendidik Generasi Milenial Yang Berwawasan Kebangsaan 89 pemerintah adalah kewajiban warga negara; dan apa yang menjadi hak warga negara adalah kewajiban negara.6 Dalam konteks itu, pemerintah berkepentingan mengetahui dengan jelas “status kewarganegaraan” seseorang. Sementara itu, hal ihwal ASAS kewarganegaraan pun sangat penting dan amat dibutuhkan bagi negara untuk menentukan apakah seseorang ber-STATUS Warga Negara atau tidak. Kepentingan ini berhubungan dengan kewajiban negara untuk melindungi dan memenuhi hak-hak (termasuk hak-hak asasi) warga negara serta menuntut mereka untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya masing-masing. 2.1 Asas Kelahiran (Ius Soli, Ius Sanguinis) dan Perkawinan (Kesatuan Hukum dan Kesamaan Derajat) Peraturan perundang-undangan yang menentukan status kewarganegaraan seseorang ini kemudian dijadikan asas kewarganegaraan. Setiap negara bebas menetapkan asas kewarganegaraan, karena perbedaan latar belakang budaya, sejarah, dan tradisi. Tentang asas ini, biasanya dikenal dua macam asas, yaitu asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan perkawinan. • Pertama, asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran. Asas kelahiran dibedakan atas: (a) asas ius soli atau asas tempat kelahiran. Artinya, kewarganegaraan seseorang ditentukan menurut tempat (negara) di mana dia dilahirkan. Dengan kata lain, bila seseorang dilahirkan di suatu negara, ia memiliki kewarganegaraan dari negara itu, serta mendapatkan hak dan kewajiban sebagai warga negara dari negara tersebut. Contoh, Ricci dilahirkan di suatu negara (umpamanya: India), maka Ricci secara otomatis menjadi warga negara India, walaupun Rico dan Rika, kedua orangtuanya, adalah warga negara Indonesia. Hal ini mengandaikan bahwa negara tersebut (India) menganut asas kewarganegaraan ius soli. Akan lain halnya bila negara itu menganut asas ius sanguinis. (b) Asas ius sanguinis (keturunan, hubungan darah), artinya seseorang mendapatkan kewarganegaraan