BAGIAN 1
POTRET HISTORIOGRAFI
KLASIS TANIMBAR SELATAN
Keinginan menghadirkan buku sejarah Klasis dan
jemaat-jemaat di Klasis GPM Tanimbar Selatan
didorong oleh beberapa alasan. Pertama, dalam rangka
memenuhi himbauan Persidangan Sinode XXXIII GPM Tahun
1995,1 maka setiap jemaat dan klasis menyusun sejarahnya
masing-masing. Oleh karena itu, sekitar setahun kemudian
hadir buku “Menguak Tabir Yamdena” yang ditulis oleh Pdt.
Z. Sedubun. Tentu menarik, karena buku itu hadir bertepatan
dengan usia 350 tahun Gereja Protestan Maluku (GPM)
berkarya di Kepulauan Tanimbar. Dan, klasis diberi
kehormatan oleh Sinode GPM sebagai tuan rumah bagi
pelaksanaan Sidang XVIII Badan Pekerja Lengkap Sinode
GPM pada bulan Oktober 1996.2
Memang ada beberapa tulisan lepas tentang klasis dan
jemaat-jemaat di Tanimbar Selatan yang diliris oleh Pdt. Max
Syauta dan teman-teman. Isinya relatif sama. Yang berbeda
pada kondisi dan problema selama kepemimpinan mereka.
1
Kedua, sekitar dua dekade kemudian, tiba lagi moment
yang mirip. Bertepatan dengan pelaksanaan Persidangan
MPL Ke-40 GPM Tahun 2018 di Saumlaki, hadir buku
“Menenun Injil di Bumi Lelemuku“. Berbeda dari
sebelumnya, buku ini lebih spesifik, karena dikaji secara
mendalam, dikerjakan sesuai prosedur ilmiah, dan digumuli
sebagai karya bersama dalam Seminar Sejarah
Perkembangan Protestantisme di Tanimbar Selatan pada
tanggal 14 -15 September 2018 di Saumlaki.
Berdasarkan dua peristiwa sejarah tersebut, dapatlah
dipahami, jika Pdt. Lenny Bakarbessy, M.Th pada suatu
percakapan bersama Wakil Ketua Sinode GPM Pdt. Polly
Refialy, S.Th., mengungkapkan, “sangat bermanfaat jika
setiap persidangan MPL, klasis penyelenggara persidangan
dapat menerbitkan sejarah jemaat dan klasisnya, sehingga
sejarah GPM secara keseluruhan dapat ditulis secara
bertahap”.
Ketiga, sangat penting setiap warga gereja mengetahui
asal-usul, perkembangan jemaat-jemaat dan klasis agar
dijadikan pegangan dalam rangka menata pelayanan yang
relevan menyongsong masa depan ideal. Karena, tidak
mungkin orang dapat mencintai Bangsa dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Gereja Protestan
Maluku, kalau tidak mengenal sejarahnya. Jemaat-jemaat di
Klasis GPM Tanimbar Selatan sebagai bagian utuh dari NKRI
2
pun tidak akan mengerti, menghayati dan melayani gereja
dan masyarakat dengan baik tanpa memahami latar
belakang sejarahnya. Sebab, salah satu syarat untuk
menentukan kedudukan dan fungsi dalam gereja dan
masyarakat, mesti mempelajari secara teliti bagaimana
masyarakat dan jemaat-jemaat di Klasis GPM Tanimbar
Selatan hidup di masa lampau. Dari sana, digali pengertian
tentang hakikat, wujud, dalam rangka memahami dan
menghayati panggilan sebagai umat Tuhan dalam konteks
gereja dan masyarakat majemuk di era global.
Seyogianya kesadaran untuk menulis sejarah di
lingkungan GPM telah dicetuskan sejak Rapat Sinode GPM
pada tanggal 11 Maret 1946.3 Namun selalu tertunda dalam
jangka amat lama. Sungguh tidak mudah menulis sejarah di
wilayah Tanimbar Selatan yang dikenal sebagai daerah
yang tidak terkenal (Terra Incognito). Selain terpencil,
terisolasi, data otentik sangat terbatas, sebagian besar
dokumen yang dibutuhkan justru tertulis dalam aksara
Belanda kuno dan bahasa asing yang sulit dipahami,4 tenaga
profesional masih langka, serta dibutuhkan keberanian dan
kejujuran moral untuk mengungkapkan fakta serta temuan
dari berbagai sumber yang digunakan. Jika, “Menenun Injil di
Bumi Lelemuku” dapat diterbitkan, maka klasis dan jemaat-
jemaat di Tanimbar Selatan dapat berkaca dari pengalaman;
3
belajar tentang kebaikan serta keterbatasan dari perspektif
ilmu sejarah dan sejarah gereja.
Sejarah gereja yang dimaksudkan di sini, tidak lain
dari sejarah panggilan Tuhan terhadap umat-Nya di
Tanimbar Selatan. Di satu sisi, bentuk panggilan Tuhan itu
dipengaruhi oleh lingkungan, latar belakang, ajaran, dan
corak kerohanian dari pihak yang mendatangi. Mulai dari
pendeta dengan corak kekristenan Calvinis, zendeling di
zaman Hindia Belanda, hingga Pendeta Bantu, Guru Jemaat,
Guru Injil, Tuagama, dan kini tidak sedikit pendeta jebolan
Fakultas Teologi sebagai bagian integral dari Universitas
Kristen Indonesia Maluku (UKIM) yang berkarya di seluruh
wilayah pelayanan GPM. Di sisi lain, sejarah itulah pula
sejarah jawaban orang Tanimbar Selatan terhadap
panggilan Tuhan dalam ruang dan waktu tertentu yang
meliputi pengalaman sehari-hari di enam belas jemaat,
kemudian bertambah dan bertumbuh menjadi tujuh belas
jemaat dalam wilayah kerja Klasis GPM Tanimbar Selatan
sebagai institusi.
Terhadap pihak yang didatangi, turut diperhitungkan
betul aspek “kesadaran sejarah”, karena aspek ini sangat
berkaitan dengan pandangan orang Tanimbar Selatan
tentang asal-usul peranan di dunia dan hari depannya.
Semua itu diliris sebagai historiografi “Menenun Injil di
Bumi Lelemuku” sesuai kerangka kerja historis. Dikatakan
4
historiografi, karena dikemukakan juga fakta yang diperoleh
melalui penelitian ilmiah, lantas diinterpretasikan
berdasarkan kerangka teoritis tertentu sehingga diperlukan
analisa sejarah yang bertujuan untuk memeriksa dan
menjelaskan asal-usul, sumber dan perkembangan teks
sejarah serta ide yang terdapat di dalamnya.
Untuk menghasilkan buku sejarah yang tertanggung
jawab secara metodologis, maka masalah keterbatasan
sumber tekstual mesti ditanggulangi. Sumber primer
diperoleh dari sumber primer yang dipublikasi dan belum
dipublikasi yang menyimpan aneka informasi semisal benda
material berupa laporan-laporan para zendeling, laporan
residen, korespondensi antarmajelis gereja, gedung, serta
dokumen lain yang relevan. Sedangkan benda imaterial
berupa kepercayaan, agama, tradisi, dan lainnya yang
berkaitan dengan Tanimbar.
Mengingat para pelaku sejarah di banyak desa, jemaat
dan klasis telah tiada atau berpindah tempat, belum lagi
dokumen yang dibuang, disobek, dibakar atau kumal dan
usang dimakan usia dan rayap, maka dibutuhkan informasi
akurat tentang berbagai peristiwa yang pernah terjadi.
Menyikapi masalah mendasar mengenai bagaimana
menemukan kebenaran tentang apa yang sungguh terjadi di
masa silam, maka diikutsertakan pula tua-tua negeri dari
tujuh belas desa dan jemaat untuk memberikan informasi
5
dalam seminar sehari di Saumlaki. Selanjutnya melalui uji-
silang secara sistematis, menimbang secara analogis dan
dengan menggunakan suatu tolok-ukur, maka disusun
deskripsi yang akurat tentang apa yang sesungguhnya terjadi
di masa silam. Deskripsi yang benar mengenai masa lampau
(rekonstruksi) itu yang membantu gereja agar menerima
kisah tentang pembentukan, pertumbuhan dan
perkembangan kekristenan di desa-desa dan jemaat-jemaat,
di Klasis GPM Tanimbar Selatan.
Karena klasis dan jemaat merupakan sistem dalam
pengelolaan gereja, maka yang ditulis tidak hanya struktur
tetapi juga pelayan, sehingga dibutuhkan pendekatan yang
relevan, yakni pendekatan strukturis. Pendekatan ini,
menurut Anthony Giddens, tidak semata menekankan
struktur atau individu, tetapi merupakan simbiosis antara
Pendekatan Struktural dan Pendekatan Individu (agency).
Dalam pendekatan Struktural, masyarakat atau jemaat
ditempatkan sebagai determinan dari tindakan individu.
Strukturasi dimaksudkan individu yang melaksanakan
aturan semisal ajaran gerejawi, diimbasi oleh nilai semisal
teologi, ajaran, liturgi, seruan pastoralia, dan sebagainya,
sehingga institusi mengalami perubahan dikarenakan
individu mengandung arti tindakan yang mengubah. Dan,
tindakan pelaku sejarah di jemaat dan Klasis GPM Tanimbar
Selatan bersifat berulang-ulang, tentu saja karena mereka
6
memiliki pengetahuan (knowledgeablility; teologi dan
organisasi) mengenai suatu kegiatan (praktik). Setiap
kegiatan dalam bentuk pelayanan apa pun, dikarenakan
pelayan memiliki motivasi, melakukan rasionalisasi tentang
kegiatan itu, dan dimonitor menjadi Reflective form of the
Knowledgeability.5 Jadi, aspek perubahan dan penyebabnya
hendak dipaparkan sehingga tampak perkembangan dan
perubahan yang menjadikan jemaat-jemaat di Klasis GPM
Tanimbar Selatan bertumbuh dan berkembang.
Dengan demikian, maka metode sejarah yang
dilakukan meliputi upaya: mengumpulkan sumber primer
(dan sekunder), mengritik sumber-sumber itu agar
diperoleh otensitas dan validitas yang digunakan sebagai
data yang kelak menghasilkan fakta sebagai kesimpulan yang
kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan. Kemudian,
menafsirkan agar diperoleh makna dari data yang dihimpun
untuk diteruskan dalam bentuk analisis dan penjelasan
kepada jemaat, gereja, dan masyarakat. Akhirnya
historiografi menghasilkan tulisan yang pantas disadur
secara ilmiah populer dalam bentuk buku “Menenun Injil di
Bumi Lelemuku”.
Semoga dengan cara kerja ini, dapat dicapai hasil atau
tujuan bersama menghasilkan buku “Menenun Injil di Bumi
Lelemuku” dalam rangka: Membangun kesadaran orang
Tanimbar Selatan terhadap pentingnya sejarah bagi
7
pengembangan desa dan jemaat; Membangun motivasi
pelayanan di kalangan pelayan dan orang Tanimbar Selatan
agar dapat menebar karya penyelamatan Tuhan secara
kontekstual; Meningkatkan spirit bergereja orang Tanimbar
Selatan agar terus berelasi dengan Tuhan dalam konteksnya
yang berubah dan menantang.
Semua harapan mulia itu direnda dalam kisah tentang
Allah yang bertindak melalui Roh-Nya, yang memberikan
makna pada cara leluhur bereksistensi serta pekerja-Nya
mampu berkarya di Bumi Lelemuku sehingga generasi anak
zaman ini menjadi pelaku sejarah yang handal dan mampu
menciptakan hari esok; mengubah “yang kemudian menjadi
yang terdahulu” berdasarkan kasih dan spirit kebersamaan.
CATATAN AKHIR BAGIAN 1
1 Gereja Protestan Maluku, PIP/RIPP Gereja Protestan Maluku 1995-2005,
Ambon: Panitia Pelaksana Sidang Ke-XXXIII Sinode Gereja Protestan Maluku, 21-
31 Oktober 1995), hlm. 40.
2 Z. Sedubung. Menguak Tabir Yamdena – 350 Tahun Gereja Protestan
Berkembang di Kepulauan Tanimbar. Saumlaki: Klasis GPM Tanimbar
Selatan, 1996, hlm. iii.
3 Geredja Protestant Maloeka. Hikajat Geredja Protestant Maloeka (G.P.M.) Sedari
Tahoen 1615 Sampai Sekarang Ini. Ambon: GPM, 1949, hlm. 3, 5, 8.
4 Th. van den End dalam “Laporan Mengenai Proyek Penerbitan Sumber-sumber
Sejarah Gereja Protestan Maluku” dan “Laporan mengenai perjalanan ke Ambon
dalam rangka proyek penggalian sumber-sumber sejarah GPM di Maluku, 1-5
November 1993”. Lihat juga: W. Bogtman. Het Nederlandsche Handschrift in
1600. Haarlem: W. Bogtman, 1973.
5 Anthony Giddens, The Constitution of Society, London: Polity Press, 1984; Lihat
juga: Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, Ratna Saptari, Perspektif Baru
Penulisan Sejarah Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, KITLV-Jakarta, Pustaka
Larasan, 2008.
8
BAGIAN 3
SENTUHAN KEKRISTENAN
DI KEPULAUAN TANIMBAR
DOMINEE JACOBUS VERTRECHT
Setelah Belanda mengambil alih kekuasaan dari
Portugis dan dilakukan Ibadah Syukur di Benteng
Victoria Ambon pada 27 Februari 1605, berdatangan
secara bergelombang dari Belanda pendeta atau dominee
(disingkat: Ds.), proponent (kandidat pendeta) dan
ziekentrooster (pelayan orang sakit) dengan misi utama
membina kerohanian para pegawai Perusahaan Dagang
Belanda Verenigde Oost-Indie Compagnie (VOC).
Sadar benar pada panggilan Ilahi, mereka
meninggalkan kaum keluarga, lingkungan dan bangsanya
menuju Nusantara yang masih perawan dan misteri. Seribu
satu kemungkinan dan resiko dihadapi kala menebar Injil
di Maluku. Susul-menyusul datang Ds. J. Stollenbecker,
Proponent M. Broecke, Ds. Sebastiaan Danckaerts, Ds.
Helmichius Helmichii, Ds. Johannes Theodorusz
Heemstede, Ds. Justus Heurnius, dan Ds. Jacobus Vertrecht
22
[Vertrechtius] sebagai Bapak Rohani; sosok dan figur
pelayan yang patut dihormati dan dihargai. Tanpa
mengabaikan yang lain-lain, Bapak Rohani Ds. Vertrecht,
diandaikan pion; tidak kenal jalan balik menuju wilayah
Tanimbar yang oleh Nico de Jonge dan Toos van Dijk
disebut “Kepulauan yang Terlupakan di Indonesia”.
Ds. Vertrecht lahir pada tahun 1605/06. Dalam usia
relatif muda sudah mendalami ilmu teologi pada Seminari
Indicum, setara dengan Het Theologisch Seminarie voor de
Opleiding van predikanten tot de dienst in Oost-Indie di
Leiden pada tahun 1625. Sekolah Teologi ini pada waktu
itu mendidik dan menyiapkan sumber daya manusia untuk
menjadi pendeta kemudian diutus ke Nusantara. Setelah
menamatkan pendidikan, dua tenaga muda potensial Ds.
Vertrecht dan Scotus, diutus ke Batavia, seperti dilaporkan
Ds. Heemstede dalam sepucuk surat yang disampaikannya
kepada Majelis Gereja di Batavia (Kerkenraad van Batavia),
tertanggal Ambon September 1633.1
Vertrecht, secara khusus hadir dan berkarya di
Ambon (1634 - 1636) yang dikepalai oleh gubernur. Dalam
laporan 28 Mei 1634 kepada Majelis Gereja di Batavia, Ds.
Vertrecht mengisahkan pelayaran dari Banjarmasin ke
Ambon dengan menumpang kapal De Gouden Leeuw pada
3 Mei 1634. Baik di Kota Ambon dan sekitarnya maupun di
luar Pulau Ambon, Ds. Vertrecht mengabarkan Injil. Agar
23
ajaran Tuhan dapat dipahami dengan baik, maka bahasa
Melayu menjadi pilihan utama. Jika tidak demikian, ajaran
Calvinisme tidak akan dipahami, apalagi dihayati. Setelah
memperhitungkan luas medan pelayanan yang berbanding
terbalik dengan tenaga pelayan dan literatur gereja seperti
Alkitab, kitab nyanyian yang nyaris ditemukan di jemaat-
jemaat, hadir istrinya Louwel, putri Letnan Louwel, yang
mahir berbahasa Melayu sebagai sosok penting di balik
keberhasilan Ds. Vertrecht. Betapa tidak, Ds. Gidionsz yang
lebih awal bekerja di Uliasser masih menggunakan bahasa
asing, sementara Ds. Vertrecht membimbing pemuda dan
memimpin ibadah menggunakan bahasa Melayu.2
Di samping kemampuan dan peran istrinya, Ds.
Vertrecht sendiri menunjukkan kualitas tamatan
pendidikan teologi yang dimiliki. Pada dirinya tercermin
konsep murid dalam arti pupil yang menekankan relasi
murid – guru hingga menjadi pemimpin (future leader),
dan murid dalam arti disciple untuk mencapai formasi
spiritualitas yang dapat mengubah pikiran, karakter,
relasi, kebiasaan, dan pengaruh. Konsep (teologi) dan
tindakan praktis Ds. Vertrecht tampak lewat laporan resmi
yang disampaikan kepada pimpinan di Batavia. Perjalanan
dan pekerjaannya diinformasikan juga kepada Prof.
Antonius Walaeus, dosen yang mengajarinya di Leiden.
24
Sampai dengan Januari 1636, Ds. Vertrecht sudah
melayani negeri-negeri dan kampung-kampung di sekitar
Kastil (Benteng Nieuw Victoria), Halong, Soya, dll,3 yang
dinilai baik oleh Majelis Gereja Ambon sehingga terbersit
kiat agar Ds. Vertrecht menetap dalam jangka lama. Tetapi,
akhirnya Majelis Gereja merelakannya pergi pada bulan
Mei untuk misi penginjilan yang lebih luas dengan
membawa atestasi kepada Majelis Gereja di Batavia.4
Kembali beliau memperlihatkan kesetiaan dan kualitas
kerja, menyebabkan Klasis Amsterdam pun memberikan
apresiasi sebagaimana tertuang dalam surat Klasis 20 Mei
dan 12 Juli.5 Ds. Vertrecht diskenariokan dalam strategi
penginjilan yang lebih luas di kawasan Maluku.
SAVARI PI PERTAMA: BANDA – TANIMBAR
Di wilayah Timur, dijumpai tiga pusat kekristenan di
Maluku. Ambon untuk Maluku Tengah, Ternate untuk
Maluku Utara, dan Banda untuk Maluku Tenggara. Dalam
strategi penginjilan, Ds. Vertrecht yang pernah di Ambon
dimutasikan ke Banda agar menjangkau wilayah-wilayah
yang jauh di bagian Tenggara Maluku. Ds. Vertrecht
ditempatkan di Neira, Jac. Pontcaes sudah lebih dulu
menetap di Pulau Ai.6
25
Penempatan Ds. Vertrecht di Neira berkaitan dengan
misi khusus menyebarkan Injil Yesus Kristus kepada
jemaat di Banda, dan di Maluku Tenggara, termasuk
Tanimbar.7 Strategi itu dipahami betul oleh Klasis
Walcheren (Classis Walcheren) sesuai isi korespondensi
Majelis Gereja Banda dengan Klasis Walcheren di Belanda.8
Dalam salah satu dokumen (verslag) abad ke-17
dikisahkan tentang Savari Pekabaran Injil ke Tanimbar
pada 9 April 1646 sebagai upaya meretas jalan ke
“Kepulauan yang Terlupakan di Nusantara”. Ia menulis
jurnal harian secara apik di atas perahu layar (galjoot;
zeilschip), kapal kompeni ukuran kecil (compagniesvloot)
yang dinahkodai oleh komandan Adriaan Dortsman.9
Bersama beberapa rekan, Ds. Vertrecht melakukan
pelayaran pada 16 Februari 1646 saat matahari secara
perlahan membenami diri di ufuk Barat. Tetapi, tak
terduga, mendadak cuaca berubah menjadi tidak
bersahabat; Hujan deras, angin berhembus kencang
menguji nyali menuju Tanimbar. Tekad sudah bulat,
pelayaran dimulai, kendati hingga esok pagi, 17 Februari
1646, pelayaran masih diselimuti awan gelap, ditampar
angin kencang, dan laut yang menggelora. Semua
tantangan alam dihadapi hingga siang hari tampak dari
kejauhan pulau Quey (Kei Kecil dan Besar). Sehari
berikutnya (18 Februari 1646), agak melegakan karena
26
dapat melihat bayang-bayang negeri Wera (Fera), sebuah
pulau kecil dekat Kei Besar.
Tidak lama menikmati pelayaran, muncul tantangan
tak terduga yang lebih menakutkan; tiga arombai dipenuhi
orang-orang dengan busur panah dan alat perang lengkap,
merapat. Setelah menenangkan diri, dijelaskan bahwa
mereka adalah orang-orang Belanda (Hollanders) dalam
pelayaran dari Banda menuju Tanimbar untuk maksud
penginjilan. Syukurlah, tidak terjadi apa-apa, dan mereka
diizinkan melanjutkan pelayaran sampai 19 Februari pagi,
negeri Wera semakin lenyap dari pandangan, dan muncul
Elat di keesokannya (20 Februari), dan seterusnya mulai
kelihatan kepulauan Aru seperti dilaporkan Ds. Jacobus
Vertrecht, Hendrick Feyt, Daniel Ariaensz, dan Pieter
Vercouwe.10
Sampai akhir Februari 1646 belum dijumpai aktivitas
apa yang dilakukan, kecuali pelayaran yang
menggambarkan tantangan arus dan gelombang medan
pelayanan menuju Tanimbar. Baru pada 2 April 1646
malam, diperoleh laporan tentang pelayaran diiringi
tiupan angin Selatan sampai tampak dari kejauhan sudut
Caco Majcoor – Tandjung Fatujuring (Tanjung Fatujuring),
titik barat laut dari kepulauan Mackor, selanjutnya mereka
menuju Tanimbar pada 3 April 1646.
27
Sungguh sulit mencapai Tanimbar, karena sekian
lama diombang-ambingkan gelora laut. Pada 5 April 1646
pagi tampak bagian Timur pulau Tanimbar. Angin Timur
yang menggigilkan mengiringi pelayaran, hingga malam
tampak negeri Evenour – yaitu Awear di kepulauan
Fordate, lantas menuju Lamdesar Timur atau Lamdesar
Barat keesokan harinya (6 April 1646).
Sesuai isi dokumen 7 April 1646, Evert de Lieffde,
seorang personil dari Tanimbar dengan arombai yang agak
besar menuju Seira di bagian Barat pulau Yamdena. Pada 8
April 1646, dicatat sejumlah penduduk datang, dan setelah
dilakukan pelayanan, bergabung pula orancays van
Tenimber (orangkaya dari Tanimbar).
Savari pekabaran Injil ke Tanimbar ini, dilaporkan
Vertrecht dalam suratnya kepada Klasis Amsterdam yang
diselesaikannya ketika kembali ke Banda pada
pertengahan 1646. Dalam laporan itu dituturkan upaya
pengkristenan terhadap orang-orang “kafir” yang
mendiami beberapa daerah Tenggara dari pulau Banda
yang kala itu kental dengan cara hidup anarkis dan brutal.
Korespondensi antara Majelis Gereja di Banda dan
Majelis Gereja di Batavia (Banda Neira 9 Agustus 1646)
menyungguhkan perjalanan savari pekabaran Injil Ds.
Vertrecht ke kepulauan Aru, Tanimbar, Dammar.11 Melalui
kerja Ds. Vertrecht diketahui adanya umat menyandang
28
masalah sosial yang menyedihkan, semisal Jacob Martens
van Tenimber; buta sejak lahir, tinggal di Rumah Miskin (‘t
Armhuys) yang dikhususkan untuk orang-orang tidak
berada dan tidak berdaya di Neira.
Sampai di sini rekam jejak penginjilan. Hampir satu
dekade di Banda, kemudian Ds. Vertrecht diutus ke Taiwan
pada tahun 1648 hingga Januari 1651. Kees Groeneboer
dalam tulisannya “Djalan ke Barat” menuturkan pekerjaan
Vertrecht sebagai pendeta (predikant) di salah satu distrik
di Formosa dan mengajar pendidikan agama dalam bahasa
Belanda dan Formosa. Materi ajar yang pernah
disampaikan kepada sebagian umat yang dijumpainya di
Tanimbar, diteruskan juga kepada masyarakat Formosa,
seperti: Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman, Sepuluh
Penyeruhan, Doa Pagi, Doa Malam, Doa Makan, Doa setelah
Makan, Doa sebelum Belajar, Doa sesudah belajar,
Percakapan bersama orang Belanda dan Orang Formosa,
pelajaran Kristen (Christelijke Leerspreuken), Tanya-Jawab
tentang Doa Tuhan Yesus, Bimbingan singkat tentang
Baptisan Kristen.12 Setelah menunaikan misi dengan
penuh tanggung jawab, beliau ditarik lagi ke Batavia (7
Desember 1652), selanjutnya menuju Fakultas Teologi di
Leiden, Belanda.13
Menjelang akhir abad ke-17, informasi tentang
kekristenan di pulau-pulau Tanimbar sulit diperoleh,
29
kecuali pada tahun 1682 ditempatkan seorang guru
sekolah, namun informasi lebih lanjut tidak ditemukan
dikarenakan pulau-pulau Tanimbar tidak segera menarik
perhatian gereja; miris dan memprihatinkan sehingga
kekristenan di sini mengalami degradasi mahadahsyat.
Apalagi keadaan di Maluku Tenggara yang jauh dari
Ambon sebagai pusat kekristenan di Maluku, dan Banda
untuk wilayah di Maluku Tenggara.
INDICHE KERK
Sejak Pemerintah Hindia Belanda mengambil alih urusan
VOC, tugas gerejawi yang dulu ditangani VOC, diserahkan
kepada Nederlandsch Hervormde Kerk yang secara praktis
diselenggarakan oleh Klasis Amsterdam. Namun dengan
diterbitkannya Undang-Undang Belanda Tahun 1815, maka
gereja di daerah jajahan berada di bawah pemerintah; Raja
berdaulat atas daerah-daerah jajahan dan membantu gereja
sebagai salah satu kewajiban utama. Justru itu, Raja Willem I
bermaksud menggabungkan gereja-gereja menjadi satu.
Selang dua tahun, di Den Haag (1817) dibentuk Komisi untuk
Urusan Gereja-gereja Protestan di Hindia Belanda Timur dan
Barat (Indische Commissie), populer dengan nama Haagsche
Commissie. Komisi ini memilih, mengusulkan, mengangkat
dan mengutus pendeta atau zendeling ke Hindia Belanda.
30
Sekitar dua dekade kemudian, pemerintah menerbitkan
Koninklijke Besluit No. 88 tanggal 11 Desember 1835 dan
dimaklumkan dalam Staatsblad 1844 No. 34; Raja Willem III
menetapkan “Golongan Protestan di Hindia Belanda” sebagai
Persekutuan Gereja (kerkgenootschap), sedangkan Pengurus
Gereja (Hogere Kerkbestuur) berkedudukan di Batavia.
Seiring perkembangan, terbit lagi Koninklijk Besluit No.
57 tanggal 28 Oktober 184014 (diberlakukan pada 1844);
Gereja Protestan dipimpin oleh Pengurus Gereja yang
diangkat oleh Gubernur Jenderal. Gereja ini diketuai oleh
seorang aparatur negara, berkedudukan di Batavia. Anggota-
anggotanya meliputi pendeta-pendeta Gereja Protestan di
Batavia dan tiga anggota jemaat terkemuka. Sedangkan
jemaat dipimpin oleh majelis yang tidak dipilih oleh jemaat.
Para pendeta diangkat dan dipekerjakan oleh gubernur
jenderal melalui usul badan tersebut. Besluit tersebut yang
diberlakukan pada tahun 1844 menjadikan gereja sebagai
“gereja negara”. Struktur gereja disesuaikan dengan struktur
pemerintah; Negara mengurus semua hal. Tugas yang dulu
dilakukan majelis gereja di Batavia, sekarang dikerjakan oleh
Pengurus Gereja (Keerkbestuur). Jadi, sebelum tahun 1850,
majelis gereja hanya terdapat di kota; semua jemaat berada
di bawah Majelis Ambon Kota, namun diawasi oleh pengurus
Gereja Protestan di Batavia. Badan ini bertahan hingga paroh
31
pertama abad ke-20 dengan fungsi mengatur, mengawas
semua jemaat Kristen pribumi di Maluku.
Karena Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG)
sudah berkarya di Ambon, maka dikeluarkan Peraturan
Sementara yang menyatakan bahwa para zendeling memiliki
kebebasan mengatur waktu, cara kerja, tetapi Majelis Gereja
wajib mengawas dan merawat sehingga jemaat-jemaat yang
lama tidak mendengar khotbah dan mendapat pelayanan
sakramen, boleh dipimpin oleh mereka. Selain itu, setahun
sekali pada bulan September atau Oktober, yang harinya akan
ditentukan oleh Majelis di Ambon, para zendeling di jemaat
yang jauh diundang menghadiri rapat gereja di Ambon agar
dalam persaudaraan dan kekeluargaan membicarakan
kepentingan gereja dan mengajukan usul-usul.15 Tradisi ini
masih bertahan dan berkembang sesuai konteks GPM.
Pada awal abad ke-20, terbit lagi Koninklijk Besluit 13
Oktober 1910, No. 21 menyangkut Reorganisasi Gereja
Protestan. Reorganisasi ini dikerjakan oleh Staatscommissie
yang dibentuk oleh pemerintah.16 Komisi ini kemudian
menyampaikan hasil kerjanya mencakup Struktur Organisasi
dan Tata Gereja. Gereja Protestan dibagi atas tujuh klasis yang
dalamnya terdapat tiga Klasis Bumiputra: Minahasa, Ambon,
Timor. Secara organisasi dikenal Ressort, Classikaal, Synode;
kemudian menjadi Jemaat, Resort, Klasis, Sinode. Pemimpin
jemaat dibedakan atas kategori godsdienstonderwijzer (guru
32
agama), leeraar (guru), prediker (pengkhotbah atau pendeta).
Gereja Protestan di Ambon merupakan Klasis yang
berkedudukan di Ambon; Secara struktural, berada di bawah
pengawasan Pengurus Gereja Protestan di Batavia. Dalam
perkembangan, Gubernur Jenderal melalui suratnya (5 Mei
1927 No. 19) dan Staatsblad 1927 No. 155 menetapkan De
Protestantche Kerk in Nederlandch-Indie dan Zelfstandige
onderdelen merupakan Badan Hukum. Dalam Staatsblad
1935 No. 607 dengan Keputusan Gubernur Jenderal
ditetapkan De Moluksche Protestantche Kerk sebagai
zelfstandige onderdelen dari Gereja Protestan di Hindia
Belanda.17
Pada masa ini sampai terbentuknya GPM, jemaat-jemaat
dilayani pendeta (predikant) - alumni Sekolah Teologi di
Belanda, pendeta pembantu (hulpprediker), pendeta pribumi
(inlands leeraar) jebolan School tot Opleiding voor Inlands
Leeraar (Stovil) dan guru jemaat yang biasanya dididik oleh
pendeta pembantu yang kadang merangkap sebagai guru
sekolah. Ada pula utusan Injil dan tuagama sebagai tenaga
tidak terdidik namun dipercayakan memelihara jemaat jika
guru jemaat berhalangan.18 Beberapa dari mereka yang
secara khusus melayani jemaat-jemaat di Kepulauan
Tanimbar.
33
NEDERLANSCH ZENDELING GENOOTSCHAP
Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) merupakan
awal dari zending modern di Belanda; bukan awal dari
zending Belanda;19 dibentuk mengikuti model London
Missionary Society oleh J.Th. Van der Kemp. Tujuannya untuk
“membimbing orang non-Kristen dan orang Kristen statistik,
di Negeri Belanda dan di daerah seberang laut menuju
pertobatan dan peradaban”.20 Boone dalam bab pertama dari
disertasinya melukiskan karya pekabaran Injil yang
diselenggarakan NZG sebagai “proses profesionalisasi”; lebih
dari sekadar “panggilan”. Fungsi ini sangat terasa di lapangan
pekabaran Injil, baik yang dilakoni oleh para zendeling,
maupun dengan didirikannya lembaga pendidikan untuk
mendidik tenaga pribumi. Lembaga pendidikan dimaksud
sangat dipengaruhi oleh wawasan reformator seperti Martin
Luther, Philip Melanchthon, Johannes Calvin, serta wawasan
Pietisme dan Pencerahan.
Pietisme menekankan pertobatan batin seseorang
disertai perubahan perilaku saleh, memiliki spirit menginjil,
dan disiplin tinggi turut mewarnai kerja para zendeling di
medan pekabaran Injil.21 Pencerahan yang mengandalkan
rasio menjadikan manusia kritis terhadap segala sesuatu,
bebas dari kuasa yang mengungkung, seperti alam, adat-
kebiasaan, agama tradisional, lembaga kenegaraan dst.
Sebagai perkumpulan yang menyebarkan Injil dalam hati
34
manusia sesuai ajaran Kristus dan para rasul berdasarkan
Kitab Suci, maka NZG mendidik penduduk pribumi yang tidak
terhalang oleh kedudukan, pekerjaan dsb., untuk menjadi
zendeling. Jadi, peranan gereja di bidang pendidikan sangat
berkaitan erat dengan hal masuk dan berkembangnya Injil
yang disebarkan badan Zending.
Perjumpaan NZG dengan masyarakat Maluku dan
Pemerintah Hindia Belanda baru terjadi ketika J. Kam diutus ke
Maluku (1815-1833). Datang sebagai zendeling dengan
bendera Inggris, kemudian ditahbiskan menjadi pendeta
Indische Kerk, menunjukkan genootschap Kam yang pietis itu
tereduksi menjadi tenaga resmi gereja yang telah mapan alias
Gereja Negara di Maluku. Maka dapat dipahami jika spirit
Pietisme tidak serta-merta hilang, tetapi turut mewarnai Kam
melayani jemaat-jemaat dan masyarakat di Maluku.
JOSEPH KAM
Joseph Kam, lahir di Den Bosch pada tahun 1769. Setelah
menamatkan sekolah rendah, pernah menjadi penjual kulit,
tukang pos di Den Haag dan Amsterdam. Setelah kematian istri
dan anaknya, Kam berhasrat menjadi penginjil. Hasrat itu mulai
dijejakinya pada tahun 1809, kala usianya mencapai 40 tahun.
Bersama Supper dan Brückner, ia diterima NZG dan tinggal di
Rotterdam selama dua tahun sambil menunggu kesempatan ke
35
Inggris.22 Selama di Rotterdam (1811), Kam yang tergolong
pandai dan menyenangi musik, namun tidak tertarik pada
pengetahuan non-teologis. Justru itu yang antara lain
mengharuskannya menambah pengetahuan di Inggris (1812-
1813).
Selama masa penantian, mereka ke Moravische
Broedergemeente di Zeist untuk digembleng oleh Pendeta
Hervormd sampai tiba waktu ke London pada 16 Agustus 1812.
Di London, mereka belajar teologi; bahasa Latin, Yunani dan
Ibrani di Sekolah Guru di Gosport (dekat Portsmouth)
pimpinan Dr. David Bogue.
Menjelang akhir abad ke-18, kekristenan di Ambon dan
sekitarnya sangat memprihatinkan. Di Kota Ambon tidak lagi
ditempatkan pendeta yang berfungsi sebagai guru tetap
sehingga aktivitas gerejawi seperti Sakramen, Peneguhan
Sidi, Pemberkatan Nikah, dan aktivitas sekolah macet total.
Dalam keadaan demikian Residen William Byam Martin
berusaha memperbaiki kehidupan keagamaan dan
kesusilaan umat Kristen. Ia berusaha mengangkat harkat dan
martabat anak-anak pribumi Ambon [Maluku] dari
kebodohan dan ketidaktahuan. Justru itu ia berencana
membangun sekolah pusat di Ambon.
Pada tahun 1813 diajukan permohonan kepada
gubernur Inggris di Calcuta yang waktu itu dijajah Inggris
agar didatangkan ahli pendidikan yang berminat pada
36
pekabaran Injil. Lantas William Carey, misionaris terkenal
dari Baptist Missionary Society mengajak putra kandungnya
Jabes Carey, jurutulis pada salah satu kantor pengacara.
Segera Jabes Carey dinikahkan, dan ditahbiskannya pada
Januari 1814, kemudian diutus ke Ambon sebagai guru dan
misionaris.
Ketika Kam tiba di Ambon pada tahun 1815,
hubungannya dengan Residen William Byam Martin yang saleh
dan menaruh minat pada sekolah dan agama cukup baik.
Namun kemudian renggang dikarenakan pada tahun 1817 Kam
menyampaikan permohonan supaya kegiatan pendidikan
dikelola oleh gereja atau Zending. Saran Kam yang mewakili
pikiran abad ke-16 itu ditolak pemerintah yang dipengaruhi
Pencerahan. Apalagi pada tahun 1817, dari Benteng Nieuw
Victoria dikeluarkan aturan bahwa gereja hanya berurusan
dengan pemberitaan firman dan sakramen. Hal-hal
menyangkut pendidikan, justisi, dan sebagainya menjadi
kompetensi pemerintah; bukan gereja atau zending.
Walaupun permohonannya tidak diterima, Kam tetap
berusaha. Akhirnya pada 14 Juni 1819 Kam diizinkan
mendirikan sekolah gereja berpola seminari yang bernama
“Lembaga Pendidikan Pembantu-pembantu yang Terampil”. Di
sekolah ini dan beberapa sekolah rendah yang
diselenggarakannya, sebagian isi pelajaran terfokus pada
pengetahuan Alkitab dan ajaran Kristen, musik dan nyanyian
37
gerejawi. Tamatan dari lembaga pendidikan itu yang kelak
bekerja di jemaat-jemaat di lingkungan GPM.
Sampai tahun 1834 mulai tampak hasil penginjilan
karena hampir setiap negeri Kristen memiliki gedung gereja,
sekolah dan guru yang menjalankan tugas rangkap. Di Ambon
terdapat 67 sekolah, 64 guru (4 dari sekolah NZG), 3
opperschoolmeesters (guru kepala di tiap pulau (“Guruw
Besar”) dan 4 omloopende schoolmeester (calon guru yang
belum ditempatkan). Jumlah murid mencapai ± 7.000 orang.23
Para alumni yang terbatas jumlahnya itu kelak bertambah dan
berkarya di seluruh kepulauan Maluku. Untuk Maluku
Tenggara, ditelusuri dari Savari Pekabaran Injil Joseph Kam.
SAVARI PI KEDUA: AMBON – TANIMBAR
Enklaar menyadari betapa terbatas informasi tentang
pulau-pulau di Selatan Daya dan Tenggara yang baru
diperoleh pada abad ke-19 (tahun 1825). Dalam bukunya
“Apostel der Molukken” disebutkan bahwa jumlah total warga
gereja di Ambon dan dua gugus pulau tersebut mencapai
angka 2560 orang (dua ribu lima ratus enam puluh).
Enklaar memang tidak menjelaskan secara rinci, namun
diyakini bahwa pertumbuhan itu dikerjakan oleh Tuhan
dengan cara-Nya. Yang pasti, dua tahun sebelumnya, Maret
1823, Joseph Kam melakukan Savari pekabaran Injil
38
perdana di bagian Tenggara Maluku dan pulau-pulau Barat
Daya seperti Wetar, Kisar, Leti, Moa, Roma, Dama[e]r,
Lakor, Luang, Sermata, Babar, Tanimbar; termasuk ke
pulau-pulau antara Timor-Alor.24 Selama 7 bulan Kam
melayani ibadah, khotbah, Baptisan, Perjamuan Kudus. Dalam
perjalanan itu, ia membawa Alkitab dan buku-buku berisi
pokok ajaran Kristen. Medan pelayanan yang diarungi
mendorongnya menjadi pemilik kapal-layar (schoener) di
Bandar Ambon.25 Kam memiliki wawasan kelautan selama
lebih kurang satu dekade berada di Maluku.
Di samping itu, patut disebutkan peran Gubernur
Merkus (1822-1828) terhadap masyarakat di bagian
Timur, khususnya di Maluku, kendati bermuatan politis.
Merkus mengirim kapal perang “Dourga” pimpinan Letnan
D.H. Kolff ke Pulau-pulau Tenggara dan Barat Daya untuk
menjajaki keadaan politis, sosial, religius, dan militer
dalam rangka memulihkan kekuasaan Belanda di
kepulauan tersebut yang sejak kemunduran VOC tidak lagi
mendapat perhatian. Bagi Merkus, penanaman dan
perluasan agama Kristen identik dengan menciptakan
penduduk yang setia pada pemerintah Hindia Belanda.
Justru itu, tidak tepat menempatkan utusan Injil asal Eropa
karena yang telah berkeluarga sulit menetap di daerah
terpencil. Strategi jitu adalah menambah jumlah guru
pribumi. Maka pada tahun 1825 tercatat tujuh guru
39
bekerja di Kepulauan Aru, masing-masing seorang di Kisar,
Banda, Damer, Letti. Kemudian ditambahkan seorang guru
di Aru, dua di Leti, masing-masing seorang di Moa, Wetar,
Lakor, Luang, Sermata, Babar, dan seorang atau dua guru
di kepulauan Tanimbar. Dari perspektif penginjilan, Kam
turut mendorong pemerintah sehingga pada tahun 1830
ditempatkan guru P. Huwae di Babar dan guru C. Tanasale
di Sermata.26
Akhirnya pada 5 Mei 1833 dengan menumpang
Nautilus “kapal” miliknya, Kam melanjutkan Savari
Pekabaran Injil ketiga menuju Tanimbar dan mampir di
Watidal di Pulau Larat.27 Dari laporan kunjungan ke Pulau
Tanimbar diketahui bahwa hampir semua penduduk masih
diselimuti “kekafiran”, sangat tertinggal dalam banyak hal
sehingga patut diperhitungkan sebagai arena tempat
perjumpaan antara kekristenan dan penduduk asli.
Zendeling G.F.A. Gericke dalam tulisannya kepada
Pengurus Pusat NZG (9 Juni 1833), memandang luas
wilayah Maluku tidak sebanding dengan jumlah pelayan,
sehingga kekristenan nyaris dipertanyakan jika hanya satu
atau dua hari setahun dilakukan pendidikan kepada warga
pribumi setempat, atau umat Kristen di Tanimbar dan Aru
baru dikunjungi setiap 10 atau 20 tahun.28
40
KEVAKUMAN DI AWAL ABAD KE-20
Pada awal abad ke-20, tidak banyak diperoleh
informasi yang dapat membantu penggambaran
keadaan di Maluku Tenggara, khususnya kepulauan
Tanimbar; Kecuali dari beberapa laporan Residen Ambon
kepada Gubernur Jenderal Heutsz.
Dari Residen Quarles, diketahui ada ketegangan di
Yamdena dan berakhirnya aksi militer di kepulauan
Tanimbar dan Babar, tanpa uraian. Begitu pula Residen
Van Hille hanya melaporkan ketegangan di salah satu dari
beberapa tempat di Kepulauan Tanimbar, tanpa ulasan.
Residen Sieburgh melaporkan bahwa Seram Timur, Seram
Laut, pulau-pulau Goram, Kepulauan Aru, Kei, Tanimbar
dan pulau-pulau di Barat Daya termasuk dalam
Bandagroep. Pembagian ini dimuat dalam Staatsblad 1866
No. 139 yang menyatakan bahwa afdeeling Banda
termasuk dalam Residensi Amboina. Sebelumnya,
Stastsblad 1882 No. 36 menyatakan bahwa Kepulauan Aru,
Kei, Tanimbar, pulau-pulau di Tenggara dipisahkan dari
Afdeeling Banda (Peta 3); sejalan dengan Nota Kielstra
tentang afdeeling kepulauan Aru, Kei, dan Tanimbar.
Laporan lain kepada Direktur De Graaf (25 Juni 1909)
menyinggung percakapan serius tentang latar belakang
sejarah di kepulauan Aru, Kei dan Tanimbar. Kemudian
Residen Oldenbarnevelt (12 Juni 1915) menyinggung
41
Protestantisme; pekerjaan yang dilakukan Gereja
Protestan di Hindia Belanda, dan penempatan sejumlah
predikers (inlandsche leeraars dan goeroe djamaat), tempat
dan wilayah kerja kring para pendeta dan Pendeta Bantu
ditetapkan dengan Gouvernement Besluit 27 Oktober 1911
Nomor 73. Dilaporkan perkembangan kekristenan, kendati
masih banyak yang “kafir” di Kepulauan Tanimbar, Babar,
Kei, dan Aru. Oleh karena itu di beberapa tempat perlu
ditempatkan guru untuk mendidik anak-anak daerah.29
Tidak kalah menarik informasi dari Residen Ambon
I.H.W. van Sandick. Dalam rapat yang bersifat rahasia antara
Gereja Protestan dan Misi Gereja Katolik membicarakan
beberapa kesulitan di lapangan. Pertemuan itu
diselenggarakan oleh pihak Gereja Protestan yang diwakili oleh
Ds. Wesseldijk (Ketua Komisis Para Pendeta Bantu), Ds. Van
den Wijgaard (Pendeta Ambon), Pendeta Bantu dari Tanimbar-
Babar dan Eckenhausen (Pendeta Bantu) dari Kepulauan Kei
dan Aru. Kemudian, pada 30 Juni 1921, Residen Ambon
mengajak Monseigneur J. Aerts dalam perjalanan menuju Tual
agar terlibat aktif dalam pertemuan dengan menitipkan
harapan agar Pengurus – Protestantsche Zending dan Roomsch-
Katholieke Missie di Tual dan kepulauan Tanimbar sesering
mungkin berdamai. Tidak semata dengan pihak Katolik, karena
dalam Memori van Sandick (30 September 1926), diketahui
sejak 1921 terjadi propaganda Adventis yang pada tahun 1925
42
masuk melalui pusat Adventis di Singapura. Propaganda itu
didukung oleh pensiunan militer asal Ambon, yang ditawan di
luar Ambon. Beberapa dari mereka ditawan bersama tentara
Belanda dan menjalani masa tahanan selama di kamp pada
Perang Dunia II, ada pula yang dimobilisasi, dan ada yang ke
pulau Kei, Aru dan Tanimbar.30 Sedangkan pengkristenan
berlangsung di Luang, Barat Daya, Aru, Kei dan Tanimbar. Nota
Ds. T.J. van Oostrom Soede (15 Agustus 1926) dalam
kedudukan sebagai Pendeta Ketua Konferensi para Pendeta di
Ambon, melaporkan tentang organisasi, zending dan Gereja
Protestan di residen Ambon dan bagian-bagian tertentu dari
Ternate. Untuk Maluku Tenggara, sangat dibutuhkan Pendeta-
pendeta Bantu, seperti Tual di kepulauan Kei dan Aru, Utara
Yamdena, Larat, Fordata, Moloe dst. Saumlaki butuh Pendeta
Bantu di bagian Selatan Yamdena, Sera, dan Selaru.31
Bercermin dari laporan-laporan di atas, tampak sejumlah
persoalan yang jejak-jejaknya terasa hingga kini. Sebut saja
ketegangan – entah menyangkut sejarah negeri entah
menyangkut Protestan Katolik Advent, atau masalah lain di
kepulauan Tanimbar sehingga pihak berwajib mesti melerai.
Pernah digagas dengan harapan untuk mengakhirinya melalui
percakapan bersama. Dalam kondisi tersebut, peran “Tiga Batu
Tungku” sangat efektif. Pihak penguasa di satu pihak, menyusul
para hamba Tuhan yang menyejukkan, kemudian pendidik
yang mencerahi.
43
Khusus untuk Protestan di Kepulauan Tanimbar,
dibutuhkan peran bersama. Salah satu hal mencolok adalah
guru bantu. Untuk Tanimbar, khususnya di Saumlaki, dijadikan
tempat yang mendapat pengawasan dari pengurus afdeeling
Kepulauan Tanimbar dan Babar dari Residensi Ambon serta
komandan Polisi Militer. Para pendeta pembantu sesuai bidang
kerjanya mengurus administrasi, korespondensi gereja, dan
melakukan kunjungan ke jemaat-jemaat yang berada dalam
wilayah kerjanya. Menariknya, bahwa di Saumlaki disediakan
sebuah rumah singgah dari pemerintah untuk pendeta bantu.
Di situ dijumpai sejumlah warga yang menderita penyakit
malaria, frambusia, sakit perut, dan sakit kulit dalam jumlah
cukup banyak. Para penderita itu memang ditangani oleh
dokter yang memiliki kompetensi, namun Pendeta Bantu pun
kadang dibutuhkan.32 Dr. Kraemer dalam perjalanan ke Ambon
dan Minahasa (2 September 1926 – 8 November 1926),
melaporkan bahwa di Ressort Ambon, Gereja Protestan
memiliki Pendeta Bantu di Ambon-kota, Tual (Kepulauan Kei
dan Aroe), Larat (di Utara Kepulauan Tanimbar), Saumlaki
(Selatan Tanimbar).
Mengakhiri bagian ini, patut disebutkan bahwa setelah
Ds. Vertrecht meninggalkan Nusantara, perkembangan
kekristenan selama abad ke-18 di kepulauan Tanimbar tetap
misteri. Van den End mencatat, pada tahun 1710 dan 1746
tidak ditemukan informasi yang terpercaya tentang adanya
44
orang Kristen di kepulauan Tanimbar. Namun jika pada abad
ke-19 (tahun 1893), Van den End mengungkapkan bahwa
telah ada 65 (enam puluh lima) orang Kristen di Tanimbar,
itu sangat luar biasa. Jumlah mereka terus bertambah dari
3.246 di tahun 1913, menjadi 8.959 untuk Tanimbar Utara di
tahun 1923, dan menjadi 22.014 orang di tahun 1937.33
Informasi lebih jauh, baru diketahui lagi dari satu dekade
pertama abad ke-19 dengan tampilnya Joseph Kam, utusan
NZG di pentas sejarah kekristenan di Maluku, khususnya di
Tanimbar Selatan. Perubahan itu terjadi, tentu dikarenakan
Allah yang memberikan pertumbuhan. Yang lainnya hanya
menanam dan menyiram. Tidak lebih dari itu.
CATATAN AKHIR BAGIAN 3
1 H.E. Niemeijer, Th. Van Den End. Bronnen Betreffende Kerk en School in
de Gouvernmenten Ambon, Ternate en Banda ten Tijde van de Verenigde
Oost-Indische Compagnie 1605-1791. Deel I. Gouvernement Ambon, Band
1, 1605-1690. Den Haag: Huygens ING (KNAW), 2015, hlm. 155. Lihat:
Brief van de Kerkenraad van Ambon aan de Kerkenraad van Batavia.
Ambon, 25 September 1633; ANRI, Archief Kerkenraad Batavia 136, fol.
109-111.
2 H.E. Niemeijer, Th. Van Den End. Deel I. Band 1. Op.cit., hlm. 181, 187;
Brief van Ds. Justus Heurnius aan de Kerkenraad van Batavia, Saparua, 3
Agustus 1635; Verslag van De Kerkenraad van Ambon Betreffende de
Staat van Kerken en Scholen op Ambon, Ambon, 14 September 1635.
3 Niemeijer, Van Den End. Deel I. Band 1. Op.cit., hlm. 200. Brief van de
Kerkenraad van Ambon aan de Classes Amsterdam en Walcheren. Ambon,
12 Juli 1636.
4 Niemeijer, Van Den End. Deel I. Band 1. Op.cit., 204; Brief van De
Kerkenraad van Ambon aan de Classess Amsterdam en Walcheren,
Ambon, 12 Juli 1636.
45
5 Niemeijer, Van Den End. Deel I. Band 1. Op.cit., hlm. 212; Brief van de
Kerkenraad van Ambon aan de Kerkenraad van Batavia, Ambon, 18
September 1636.
6 Niemeijer, Van Den End. Deel I. Band 1. Op.cit., hlm. 226; Fragment uit
een Rapport over de Toestand van het Christendom in Oost-Indie door ds.
Justus Heurnius. Z.p., 1639.
7 H.E. Niemeijer, Th. Van Den End. Bronnen Betreffende Kerk en School in
de Gouvernmenten Ambon, Ternate en Banda ten Tijde van de Verenigde
Oost-Indische Compagnie 1605-1791. Deel III. Gouvernement Banda 1625-
1790. Den Haag: Huygens ING (KNAW), 2015, hlm. 95; Brief van de
Kerkenraad van Banda aan de Kerkenraad van Batavia. Banda, 28 Agustus
1643.
8 Niemeijer, Van Den End. Deel III. Op.cit., hlm. 101; Brief van de
Kerkenraad van Banda aan de Classis Walcheren. Banda-Neira, 2 Agustus
1644.
9 Niemeijer, Van Den End. Deel III. Op.cit., hlm. 124, 125; Verslag van Ds. J,
Vertrecht Betreffende een Reis naar Tanimbar, Kei en Aru. Tanimbar, 9
April 1646.
10 Niemeijer, Van Den End. Deel III., hlm. 137. Verslaag van Ds. J. Vertrecht
Betreffende een Reis naar Tanimbar, Kei en Aru. Tanimbar, 9 April 1646.
11 Brief van de kerkenraad van Banda aan de Kerkenraad van Batavi,
tertanggal Banda Neira, 9 Agustus 1646.
12 Kees Groeneboer. Weg tot het Westen, Nederlnds voor Indie 1600-1950.
Leiden: KITLV Uigeverij, 1993, hlm.69.
13 H.E. Niemeijer, Th. Van Den End. Bronnen Betreffende Kerk en School in
de Gouvernmenten Ambon, Ternate en Banda ten Tijde van de Verenigde
Oost-Indische Compagnie 1605-1791. Deel IV. Inleiding, Bijlagen en
Registers. Den Haag: Huygens ING (KNAW), 2015, hlm. 58.
14 Berita G.P.I. (Gereja Protestan di Indonesia), Intern Anggota, Nomor 1,
Tahun Ke-1 – Oktober 1979, hlm. 10, 11.
15 Archief Raad van de Zending, Oegstgeest, 34/1.
16 Lihat De Reorganisatie van de Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indië,
Batavia-Weltevreden: G. Kolff & Co, 1914.
17 Berita G.P.I. op.cit., hlm. 11.
18 Th. Van End & J. Weijtjes, S.J., Ragi Carita 2, Sejarah Gereja di Indonesia,
1860-an – Sekarang. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1993, hlm. 44-45.
19 Th. van den End (et al.). Twee eeuwen Nederlandse zending 1797-17997
- Twaalf opstellen. Zoetermeer: Boekencentrum, 1997, hlm. 1. Lihat: H.D.J.
Boissevain (et al.). De Zending In Oost En West - Verleden En Heden, Deel I.
‘s-Gravenhage: N.V. Algemeene Boekhandel voor Inwendige En
Uitwendige Zending, n.y.), hlm. 116.
20 A.Th. Boone, A.Th. Bekering en beschaving - De agogische activiteiten van
het Nederlandsch Zendelinggenootschap in Oost-Java (1840-1865).
Zoetermeer: Boekencentrum, 1997, hlm. 11, 194.
46
21 Ernest E. Stoeffler. The Rise of the Evangelical Pietism. Holland, Leiden:
Brill E.J., 1971, hlm. 28-31.
22 E.F. Kruijf. Geschiedenis van het Nederlandsche Zendelinggenootschap en
Zijne Zendingsposten. Groningen: J.B. Wolters, 1894, hlm. 83-84.
23 I.J. Brugmans. Geschiedenis van het Onderwijs in Nederlandsch-Indië.
Groningen-Batavia: J. B. Wolters’ Uitgevers-Maatschap-pij, N.V., 1938,
hlm. 116.
24 I.H. Enklaar. Joseph Kam – ‘Apostel der Molukken. ’s-Gravenhage:
Boekencentrum N.V., 1963, hlm. 179.; I.H. Enklaar. Joseph Kam – Rasul
Maluku. (terjemahan). Jakarta Pusat: BPK Gunung Mulia, 1980, hlm. 92.
25 Schoener diusahakan Kam tanpa sepengetahuan Pengurus Pusat di
Rotterdam dalam suratnya, Amboina 15 April 1824; ARvdZ S. Kam 1821.
26 Chr.G.F. de Jong. De Protestantse Kerk in de Midden-Molukken 1803-1900.
Eerste Deel: 1803-1854. Leiden: KITLV Uitgeverij, 2006, hlm. 203.
27 I.H. Enklaar. Joseph Kam – Rasul Maluku. (terjemahan dalam bahasa
Indonesia). Jakarta Pusat: BPK Gunung Mulia, 1980, hlm. 92, 100, 152.
28 Chr.G.F. de Jong. Sumber-sumber tentang Sejarah Gereja Protestan di
Maluku Tengah 1803-1900. Jilid I: 1803-1854. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2012, hlm. 288. Diangkat dari G.F.C. Gericke kepada Pengurus Pusat NZG,
Ambon, 9 Juni 1833; ArvdZ 29/5/A; Chr.G.F. de Jong. De Protestantse Kerk
in de Midden-Molukken 1803-1900. Eerste Deel: 1803-1854. Leiden: KITLV
Uitgeverij, 2006, hlm. 251.
29 P. Jobse. Bronnen Betreffende de Midden-Molukken, 1900-1942. Deel 1. Den
Haag: Instituut voor Nederlandse Geschiedenis, 1997, hlm. 112, 145, 146,
165, 190, 398. Lihat: Mr. 329/1907. Vb. 24 April 1908, No. 38; Mr. 804/1907.
Vb. 24 April 1908 No. 38; Mr. 1284/1908. Vb. 9 Maart 1909 No. 50; No. 3949.
Extract. Mr. 1413/1908. Vb. 17 Juni 1909 No. 41; No. 4712. Exh. 17
December 1912 No. 2. Mail 4/10-’12-1184/31. ARA, Minkol, doss. A. 7271;
No. 3160. Mr. 2082/1914. Vb. 21 Dec. 1914 No. 28. 190, 398; ARA, Memories
van Overgave, Ministerie van Kolonien, 313. Gedeeltelijk gepubliceerd in
TBB, 49 (1916) 265-272.
30 Richard Chauvel. Nationalist, Soldiers and Separatists – The Ambonese
Islands from Colonialism to Revolt 1880-1950. Leiden: KITLV Press, 1990,
hlm. 195-196.
31 Ch.F. van Fraassen. Bronnen Betreffende de Midden-Molukken, 1900-1942.
Deel 2. Den Haag: Instituut voor Nederlandse Geschiedenis, 1997, hlm. 601,
666, 687, 694; Mr. 2336/1926, 1601/1927. Vb. 11 April 1927 No. 1. ARA,
Memories van Overgave, Ministerie van Kolonien, 329-330.
32 Johan Saimima. Autonome Moluksche Kerk – Perjuangan Mendapatkan
Gereja Maluku yang Otonom, 1931-1933. Ambon: Tahuri SC Press, 2012,
hlm. 111.
33 Th. Van den End dan J. Weitjens, SJ. Ragi Carita – Sejarah Gereja di
Indonesia 2 – 1860-an – Sekarang. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999, hlm.
68.
47
BAGIAN 5
PROTESTANTISME DI
TANIMBAR SELATAN
Dominee Jacobus Vertrecht ditempatkan di Banda
Neira dengan misi menyebarkan Injil Yesus Kristus
kepada umat Tuhan di Banda, sekaligus meretas jalan ke
“Kepulauan yang Terlupakan di Nusantara” itu. Savari
Penginjilan ke Tanimbar direkam sampai 9 April 1646.
Jejak-jejaknya telah dimulai dengan disiplin spiritual dan
dituangkan dalam jurnal harian yang ditulis secara apik.
Savari penginjilan berikut dilakukan Pendeta Joseph
Kam yang genootschap-nya direduksi ke dalam Gereja
Protestan, namun sifat pietisnya mewarnai kerja di gereja
calvinis yang mapan. Pemetaan savari penginjilan dua
hamba Tuhan itu perlu dipelajari secara mendalam dan
dipikirkan tapak tilasnya selain bentuk penghargaan dan
penghormatan lain terhadap proses penginjilan yang
berlangsung di Kepulauan Tanimbar. Yang pasti,
penerimaan agama Kristen Protestan oleh jemaat-jemaat
di Klasis GPM Tanimbar Selatan perlu dilukiskan agar
79
daripadanya dipetik hikmah, spirit dan kemurahan Tuhan
untuk membangun gereja di masa yang sedang datang.
Penentuan waktu masuknya agama Kristen atau
berdirinya jemaat merupakan pekerjaan yang sulit kalau
tidak cukup data yang secara eksplisit berkaitan dengan
peristiwa yang menandai masuknya agama Kristen atau
berdirinya suatu Jemaat. Pada umumnya penentuan
berdirinya gereja atau jemaat ditentukan oleh salah satu dari
tiga point utama. Pertama, ditandai dengan pekabar Injil
pertama tiba di tempat tersebut; kedua, ditandai dengan
baptisan pertama terhadap orang-orang yang berada di
tempat tersebut; Ketiga, ditandai dengan Sidang Gereja
(Sinode/Jemaat) pertama dilakukan di tempat tersebut.
Mengacu pada tiga point tersebut, maka waktu
penerimaan agama Kristen Protestan yang dibawa oleh para
pekabar Injil di Kepulauan Tanimbar Selatan cukup beragam.
Selain tiga butir tersebut, ternyata ada juga jemaat yang
menentukan waktu terbentuknya berdasarkan Surat
Keputusan Penetapan Jemaat yang definitif dari Badan
Pekerja Harian (BPH) Sinode GPM, ada peristiwa tertentu
yang bersifat kasuistis sehingga membuat jemaat harus
eksodus dari tempat asal ke tempat yang baru dan
menentukan waktu terbentuknya ketika tiba di tempat.
Berdasarkan perspektif Sejarah Gereja, maka waktu
berdirinya jemaat-jemaat GPM Klasis Tanimbar Selatan,
80
menurut narasi sejarah yang dimiliki masing-masing jemaat
sebagai berikut: (1). Jemaat GPM Lermatang menentukan
waktu penerimaan agama Kristen Protestan ditandai dengan
Baptisan Pertama terhadap anggota jemaat setempat pada
tahun 1823; (2). Jemaat GPM Seira menentukan waktu
penerimaan agama Kristen Protestan ditandai dengan
pemberitaan Injil yang pertama kepada jemaat pada tahun
1881; (3) Jemaat GPM Namtabung menentukan waktu
penerimaan agama Kristen Protestan ditandai dengan
Baptisan Pertama terhadap anggota jemaat pada tahun 1895;
(4). Jemaat GPM Adaut menentukan waktu penerimaan
terhadap agama Kristen Protestan ditandai dengan
pemberitaan Injil yang pertama kepada jemaat pada tahun
1896; (5). Jemaat GPM Latdalam menentukan waktu
penerimaan agama Kristen Protestan ditandai dengan
pekabar Injil yang pertama masuk dan memberitakan Injil
kepada jemaat pada 7 Agustus 1905; (6). Jemaat GPM Kandar
menentukan waktu penerimaan agama Kristen Protestan
ditandai dengan pekabar Injil pertama tiba di jemaat pada
tahun 1911; (7). Jemaat GPM Werain menentukan waktu
penerimaan agama Kristen Protestan ditandai dengan
pekabar Injil pertama tiba di jemaat pada tahun 1912; (8).
Jemaat GPM Lingat menentukan waktu penerimaan agama
Kristen Protestan ditandai dengan pekabar Injil pertama tiba
di jemaat pada 12 Februari 1912 dan memberitakan Injil
81
kepada jemaat; (9). Jemaat GPM Eliasa menentukan waktu
penerimaan agama Kristen Protestan ditandai dengan
Baptisan pertama terhadap anggota jemaat pada 1912; (10).
Jemaat GPM Wermatang menentukan waktu penerimaan
agama Kristen Protestan ditandai dengan pekabar Injil
pertama tiba di jemaat pada tahun 1912/1913; (11). Jemaat
GPM Saumlaki menentukan waktu penerimaan agama
Kristen Protestan ditandai dengan pekabar Injil pertama tiba
di jemaat pada 1913; (12). Jemaat GPM Makatian
menentukan waktu penerimaan agama Kristen Protestan
ditandai dengan pekabar Injil pertama tiba di jemaat pada
tahun 1914; (13). Jemaat GPM Fursuy menentukan waktu
penerimaan agama Kristen Protestan ditandai dengan
Baptisan pertama terhadap anggota jemaat pada 8 Mei 1917;
(14). Jemaat GPM Batu Putih menentukan waktu berdirinya
jemaat yang ditandai dengan waktu pertama jemaat
menginjakkan kaki di Batu Putih pada tanggal 25 Agustus
setelah keluar dari Ottimer 1972; (15). Jemaat GPM
Marantutul menentukan waktu berdirinya jemaat ditandai
dengan waktu pertama jemaat tiba di Marantutul pada 26
Agustus 1972 setelah keluar dari Ottimer; (16). Jemaat GPM
Matakus menentukan waktu pendirian agama Kristen
ditandai dengan Penetapan Jemaat GPM Matakus sebagai
Jemaat Mandiri berdasarkan Surat Keputusan Badan Pekerja
Harian Sinode GPM pada Tahun 1989; (17). Jemaat GPM
82
Wesawak menentukan waktu pendirian jemaat ditandai
dengan Surat Keputusan BPH Sinode GPM pada 12
September 2010.
Meskipun jemaat-jemaat telah menentukan waktu
penerimaan Injil atau agama Kristen Protestan, namun masih
terbuka ruang untuk melihat kembali secara metodologis
penetapan waktu penerimaan agama Kristen Protestan pada
setiap jemaat. Hal ini perlu dilakukan supaya sejarah
terhindar dari anakronisme historis yang belum dapat
dipahami jemaat dan masyarakat pada umumnya
sehubungan dengan menempatkan tejadinya peristiwa pada
waktu dan tempat yang sesungguhnya. Untuk melakukan
pekerjaan ini diperlukan sumber sejarah yang valid,
sehingga sekecil mungkin bisa terhindar dari kesalahan
sejarah yang fatal. Kendati begitu, uraian seputar sejarah
klasis dan jemaat-jemaat di Tanimbar Selatan merupakan
awal yang baik, serta mendorong warga GPM untuk belajar
dari pergumulan jemaat-jemaat GPM dalam kesejarahannya,
sehingga jemaat-jemaat dan klasis dapat menentukan visi
pembaruan dan pertumbuhan ke masa depan.
83