The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Dakam buku ini sepintas digambarkan penginjilan abad ke-17 dan ke-19, serta diuraikan secara berkesinambungan sejarah jemaat-jemaat dan pergumulan Kepulauan Tanimbar, khususnya Taimbar Selatan pada masa Gereja Protestan di Hindia Belanda (Indische Kerk) sampai terbentuknya Gereja Protestan Maluku (GPM) dan Klasis Tanimbar Selatan.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by johansaimimasinaga, 2021-12-12 08:17:51

Menenun Injil di Kepulauan Tanimbar: Sejarah Perkembangan Protestantisme di Tanimbar Selatan

Dakam buku ini sepintas digambarkan penginjilan abad ke-17 dan ke-19, serta diuraikan secara berkesinambungan sejarah jemaat-jemaat dan pergumulan Kepulauan Tanimbar, khususnya Taimbar Selatan pada masa Gereja Protestan di Hindia Belanda (Indische Kerk) sampai terbentuknya Gereja Protestan Maluku (GPM) dan Klasis Tanimbar Selatan.

Keywords: Injil,Protestantisme,Tanimbar Selatan

DINAMIKA SOSIAL BUDAYA

Masyarakat Tanimbar pada umumnya memiliki budaya
yang dikenal dengan sebutan Duan-Lolat. Sebagai bagian dari
masyarakat Kepulauan Tanimbar, orang Makatian dalam
hidup keseharian mereka ditata oleh budaya Duan-lolat
menjadi seperangkat nilai normatif yang terorganisasi, dan
mengatur perilaku masyarakat dalam hubungan yang
melibatkan pihak duan dan pihak lolat secara khusus, tetapi
juga masyarakat umumnya; Baik dalam hal penyelesaian
masalah, pemberian sanksi dan pembayaran denda,
penyelenggaraan adat masuk rumah, syukur kelahiran,
perkawinan adat, maupun pengelolaan sumber daya alam.

Bahasa lokal yang digunakan masyarakat Makatian
adalah bahasa Seluwasa, yang digunakan juga oleh penduduk
Desa Batuputih, Marantutul, dan Wermatang. Bahasa
Seluwasa digunakan dalam komunikasi setiap hari, dalam
acara adat, termasuk penyampaian informasi publik oleh
Pemerintah Desa.

Pendidikan menjadi salah satu sarana yang
menghasilkan perubahan sosial di masyarakat Makatian.
Data statistik Jemaat GPM Makatian menunjukkan bahwa
penduduk tamatan Sekolah Dasar (SD) lebih besar dibanding
jenjang pendidikan di atasnya. Di Makatian terdapat dua
lembaga pendidikan usia dini (PAUD Tihan Mase dan TK

234

Michael IV), dua SD Kristen Makatian dan SD Inpres
Makatian, dan satu Sekolah Menengah Pertama (SMP Negeri
2 Wermaktian). Adanya lembaga pendidikan turut
membantu desa Makatian mengalami perkembangan; Anak
usia SD umumnya dapat membaca, menulis, dan menghitung.
Sebagian besar lulusan SMP Makatian belakangan ini
melanjutkan pendidikan SMU di Saumlaki dan kota-kota lain
di Maluku. Orang tua mulai memandang penting pendidikan.
Jumlah tenaga pengajar pun makin bertambah, semisal yang
terjadi pada tahun 2014.

Untuk membiayai hidup sehari-hari, masyarakat
Makatian pada umumnya bekerja silih-berganti sebagai
petani dan nelayan serta pegawai/honorer meskipun hanya
sedikit. Aktivitas lain adalah memasang jerat dan berburu
(babi, kerbau), mencari kemiri, mengolah kayu. Hal ini yang
banyak dilakukan masyarakat untuk mendapatkan uang
secara cepat.

KISAH KOLFF DI TEPI PANTAI MAKATIAN

Pada bulan Mei 1825 kapal Dourga di bawah pimpinan
Letnan H. Kolff berlayar menuju Kepulauan Tanimbar. Dari
kejauhan memandang Makatian, kemudian Kolff berkata
“Bila dipandang dari kejauhan, sepuluh atau dua belas rumah
yang membentuk kampung ini tampak indah”.40 Maka, ia

235

memerintahkan anak buahnya untuk merapat lebih dekat ke
tepian pantai Maktian. Akhirnya kapal Dourga dikandaskan
di atas lumpur tanpa khawatir ada yang merusak lambung
kapal. Kepentingan kapal disandarkan di pantai Makatian ini
berhubungan dengan kebutuhan air bersih yang diperlukan
Kolff dan sejumlah kecil pasukan yang bersamanya.
Sementara mereka di pantai Makatian, orang kaya dari Serra
telah menanti Kolff dan anak buahnya di perairan dekat
Maktia. Kelihatannya, kampung Makatian tidak berpenghuni.
Kolff dan anak buahnya tidak melihat siapa pun, kecuali dua
orang laki-laki tanpa senjata berjalan meninggalkan
kampung itu. Meski tidak ada tanda bahaya, Kolff menasihati
anak buahnya untuk tetap waspada. Dari kapalnya, Kolff
mengirim beberapa orang prajurit yang ditemani oleh
beberapa anak buah orang kaya Serra ke hutan di pinggir
kampung untuk mencari sumber air segar, tetapi mereka
kembali dengan hampa.

Setelah menerima petunjuk dari orang kaya Serra, Kolff
kembali mengutus prajurit-prajuritnya ke kampung dan
mereka kembali membawa air segar yang diisi penuh dalam
dua batang bambu. Prajurit-prajurit itu tidak melihat
seorang pun di kampung. Mereka diperintahkan oleh Kolff
untuk setelah menemukan air segar, kembali ke pantai dan
menyalakan api untuk menanak nasi.

236

Kolff turun ke pantai. Ia hendak bicara dengan
penduduk setempat, tetapi tidak seorang pun dijumpainya.
Maka ia mengeluarkan sehelai baju dan bendera kecil, lalu
menggantungkannya pada satu dari banyak pepohonan di
pinggir pantai. Pada saat itu, dua laki-laki tanpa senjata
menampakkan diri di kejauhan. Kolff berlari kembali ke arah
perahu kecil yang mengantarnya ke pantai, karena tiba-tiba
beberapa anak panah melesat dari balik semak belukar di
sekitar mereka. Anak panah yang ditembakkan itu mengenai
J. Moll, seorang prajurit angkatan laut yang waktu itu sedang
mengumpulkan kayu bakar. J. Moll segera membuang
senjatanya, dan berteriak meminta pertolongan. Ia diantar ke
dalam perahu, sementara dua orang rekannya yang lain
berlari menuju semak belukar untuk mencari orang-orang
yang menyerang mereka, tetapi tidak ditemukan.

Orang kaya Serra kemudian menyarankan agar Letnan
Kolff membawa serta anak-anak buahnya yang berjumlah
lima belas orang, ditambah anak-anak buah Kolff untuk
membumihanguskan kampung, tetapi Kolff tidak ingin
melakukannya karena ia ditugaskan oleh Pemerintah
Belanda untuk mengadakan pembicaraan damai dengan
masyarakat agar mau menerima kembali Belanda setelah
Inggris menyerahkan kekuasaannya atas Maluku. Joseph
Kam yang ada dalam kapal Dourga pada saat itu tidak turun
di Makatian; hanya memandang dari jauh.

237

AGAMA KRISTEN PROTESTAN MASUK DI MAKATIAN

Menurut Z. Sedubun, pada tahun 1911 sampai 1913
Inlandsche Leraar (Guru Jemaat) Hursepuny memberitakan
Injil kepada masyarakat Makatian. Selanjutnya, pada 1914
orang Makatian dilayani oleh Guru Jemaat Lopulalan. Guru
Jemaat ini berhasil melakukan pembaptisan pertama pada 14
Oktober 1914 terhadap 45 orang. Peristiwa pembaptisan ini
tidak dapat dipisahkan dengan pemberitaan Injil yang
sebelumnya didengarkan oleh orang Makatian dari Guru
Jemaat Hursepuny sebagai Guru Jemaat pertama.

Dalam Daftar Permandian Djumat Makatian yang
diperbaiki oleh Guru Jemaat A. Melmambesy pada 14
November 1950, terdapat nama-nama dari 45 anak yang
dibaptiskan beserta ‘nama hindu’ ayah dan ibu mereka.
Berdasar pada bukti ini, Jemaat GPM Makatian memutuskan
untuk merayakan “Seratus Tahun Injil di Makatian” pada 14
Oktober 2014. Hal ini didasarkan pada pemahaman bersama
bahwa pemberitaan Firman dan pelayanan Sakramen
Baptisan yang dilakukan menjadi dasar berdirinya jemaat.
Mereka yang dibaptis, antara lain bermarga Laiyan,
Manuhury, Huninhatu, Kudmasa, Rumkedy, Metaloby,
Rumenga, Basar, Manutmasa, dan Sairatu.

Setelah Guru Jemaat Lopulalan melayani di Makatian, ia
digantikan oleh Guru Jemaat Louhatu. Pada masa Guru

238

Jemaat Louhatu, dibaptis seorang anak perempuan bernama
Martha Leonora pada 21 Mei 1917 dan 20 orang anak, dua di
antaranya adalah anak Guru Jemaat Louhatu, yakni Petrus
Isach Louhatu dan Semuel Louhatu, pada 18 Mei 1920.

Selanjutnya, Guru Jemaat Louhatu digantikan oleh
Onesimus Titawano pada tahun 1920. Ia seorang pendeta
pribumi yang menamatkan pendidikan di Stovil-Ambon pada
tahun 1917. Pada masa tugasnya “Selain khotbah
disampaikan, pendidikan katekisasi juga dilakukan walaupun
masih sangat sederhana, yakni dengan mengajarkan Doa
Bapa Kami, Sepuluh Hukum Taurat dan Pengakuan Iman
Rasuli. Pendidikan katekisasi dimulai pada tahun 1922. Dan
pada 27 Desember 1923, ia melakukan peneguhan anggota
sidi gereja sebanyak 61 orang. Salah satu dari 61 orang yang
diteguhkan pada waktu itu adalah Soleman Lameroeloeng,
orang kaya pertama yang memimpin Makatian. Kemudian
pada 4 Oktober 1923 Perjamuan Kudus yang pertama
dilaksanakan di jemaat Makatian”.41

Pengganti Pendeta Onesimus Titawano adalah Guru
Jemaat P. Soumokil yang bertugas di Makatian pada tahun
1926 hingga 1927. Selanjutnya, Makatian dilayani oleh Guru
Jemaat D. Sijahilatua yang menamatkan pendidikan Stovil
pada tahun 1919. Beliau bertugas di Makatian pada tahun
1928. Setelah Guru Jemaat Sijahilatua melayani di Makatian,
ia digantikan oleh Guru Jemaat Soumokil. Rumah Guru

239

Jemaat Soumokil terletak tidak jauh dari tepi pantai. Rumah
sederhana beratap daun rumbia yang terletak di antara
rumah-rumah jemaat yang umumnya berdinding palupu
atau bambu, tetapi ada juga yang membuat dinding
rumahnya dari anyaman daun rumbia.

Kegiatan pelayanan setiap minggu berlangsung di
rumah ibadah. Guru Jemaat bertugas rangkap; mengurus
pelayanan dan pemberitaan Firman, tetapi juga
menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak. Mata
pelajaran yang diajarkan, antara lain: Bahasa Melayu (murid-
murid dibiasakan tidak menggunakan bahasa Makatian),
menulis, berhitung, dan agama. Pada tahun 1932 sudah ada
enam orang murid yang belajar di sekolah tersebut.

Pada tahun 1932, Guru Jemaat Alilyaman
menggantikan Guru Jemaat Soumokil. Ia datang ke Makatian
bersama istri dan anak-anak. Mereka tinggal di rumah Guru
Jemaat yang sebelumnya telah disiapkan Jemaat. Anggota
jemaat sering membawa makanan kepada Guru Jemaat
Alilyaman. Di masa tugasnya, ibadah jemaat berlangsung
setiap minggu. Namun Ibadah yang dilakukan jarang
menggunakan nyanyian jemaat yang sudah ada (Mazmur dan
Tahlil), hanya ada satu buku lagu berjudul “Bunyi Lonceng”
yang dinyayikan hampir setiap minggu, membuat jemaat
kurang suka datang beribadah.

240

Guru Jemaat Alilyaman dibantu oleh seorang Tuagama
Yohan Manuhury yang bertugas membunyikan sburye (kulit
kerang) sebagai tanda agar umat datang berkumpul untuk
beribadah. Sburye juga dibunyikan jika ada anggota jemaat
yang meninggal dunia. Pada masa Guru Jemaat Alilyaman,
masyarakat sudah cukup teratur, meski belum banyak
penambahan jumlah penduduk.

Pada 18 Oktober 1936 Guru Jemaat K. S. Latumaerisa
sebagai Guru Jemaat di Seira mengunjungi Jemaat Makatian
untuk melayani ibadah yang dalamnya 10 anak dibaptis. Dua
tahun kemudian, tahun 1938, beliau dipindahkan dari Seira
untuk melayani Jemaat GPM Makatian selama satu tahun.
Sesudah Guru Jemaat Latumaerisa, Jemaat Makatian dilayani
oleh Guru Jemaat J. Manuputy. Dalam buku Register Baptisan
yang masih tersimpan di jemaat tampak Guru Jemaat J.
Manuputty bertugas di Makatian dari tahun 1939 hingga
tahun 1941. Selama melayani, beliau membaptis 33 orang
anak pada 7 Desember 1939. Guru Jemaat Manuputty
kemudian digantikan oleh Guru Jemaat J. N. Sahusilawane
yang tiba di Jemaat Makatian pada awal 1942.

JEMAAT MAKATIAN DI MASA PENDUDUKAN JEPANG

Tentara Nippon pernah menduduki Makatian pada
masa kekuasaannya di Indonesia (1942-1945). Harada,

241

Takamura, dan Matsuaman adalah tiga tentara Nippon yang
pertama kali tiba di Makatian. Sesudah mereka, datang lagi
beberapa tentara. Kedatangan mereka membuat penduduk
takut sehingga sebagian besar melarikan diri ke hutan di
sekitar kampung dan menetap di beberapa lokasi. Ada yang
menyingkir ke Lakbora, hutan sebelah Utara Kampung
Makatian, sebagian lagi menyelamatkan diri ke Welebit,
sedangkan sebagian lagi menuju Wesoir, hutan di sebelah
Timur Makatian.

Di hutan, mereka membangun pondok untuk
berlindung. Guru Jemaat Johannis N. Sahusilawane yang baru
datang bersama tiga anaknya, Adus, Meli, dan Itje, masih
berduka. Istrinya meninggal pada waktu melahirkan anak
yang keempat. Beliau turut menyingkir bersama anggota
Jemaat dan tinggal di Wesoir. Karena Guru Jemaat menetap
di Wesoir, maka seluruh kegiatan, baik pelayanan jemaat
maupun penyelenggaraan pendidikan darurat berlangsung
di Wesoir.

Meskipun tersebar di hutan, pelayanan ibadah dan
sekolah tetap dijalankan. Umat yang tersebar di beberapa
tempat datang beribadah, anak-anak datang untuk belajar.
Ada yang berjalan kaki, ada yang mendayung sampan dengan
jarak yang cukup jauh untuk tiba di Wesoir. Selama masa
sulit itu, ada anggota jemaat yang dalam perjalanan menuju

242

rumah ibadah di Wesoir harus mengalami kecelakaan di
sungai karena diserang buaya sehingga meninggal dunia.

Tidak jarang dalam perjalanan pulang dari sekolah di
Wesoir menuju Welebit dan Lakbora, anak-anak harus
makan arang dari batang kayu notun karena lapar yang tidak
tertahankan. Selama melarikan diri di hutan, Guru Jemaat
Sahusilawane kawin dengan seorang perempuan Makatian,
Maria Laiyan yang pada waktu itu masih usia sekitar 16
tahun. Dari perkawinan itu lahirlah seorang anak laki-laki
yang diberi nama Samuel.

Sementara semua orang menyingkir ke hutan, di
kampung hanya beberapa orang yang menetap. Di antaranya
orang kaya, Frets Huninhatu, juga kepala soa, yakni Ahab
Saikmata dan Pilipus Manutmasa. Orang-orang ini sering
disiksa oleh Tentara Nippon dengan cara diasapi dengan api.
Penderitaan demikian dialami mereka hampir tiap hari,
hanya karena kesalahan kecil atau karena kegilaan para
tentara Nippon. Semenjak Tentara Nippon tiba di Makatian,
tidak ada kebun yang menjadi milik penduduk, semua hasil
kebun adalah milik tentara Jepang.

Rumah ibadah di Kampung Maktian digunakan oleh
Tentara Nippon sebagai gudang menyimpan hasil rampasan.
Rumah ibadah yang dipenuhi berbagai hasil kebun pun
menjadi tempat pengasapan serta pengeringan jagung dan

243

kelapa. Tentara Nippon juga menggunakan mimbar gereja
sebagai ‘kamar mandi’ mereka.

Menjelang akhir pendudukan Jepang, tentara Nippon
memerintahkan semua orang dewasa turun ke kampung,
mereka akan dibawa dan dikumpulkan bersama-sama
penduduk kampung lain di Ngurangar, suatu daerah di Pulau
Seira. Tentara Nippon mewajibkan setiap orang membawa
tali untuk mengikat diri mereka dengan tali yang dibawa
sendiri itu. Keberuntungan dialami oleh anggota jemaat
Makatian bersama Guru Jemaat Sahusilawane, karena setiba
di Ngurangar kabar beredar dari Ambon bahwa tentara
Jepang sudah menyerah kepada Tentara Sekutu sehingga
rencana pembantaian itu tidak terjadi.

Kembali dari Ngurangar, penduduk mulai keluar dari
hutan-hutan; meninggalkan pondok-pondok mereka,
kembali ke kampung. Penduduk mulai membangun tempat
tinggal sementara sambil mendirikan rumah untuk
ditempati. Pelayanan dan penyelenggaraan pendidikan yang
semula berlangsung di Wesoir diselenggarakan kembali.
Semua berpusat dalam gereja di Makatian. Pada masa ini,
lonceng gereja pertama kali digunakan oleh Jemaat GPM
Makatian. Lonceng tersebut mereka gunakan dari besi
bagian hulu bom yang dijatuhkan Tentara Sekutu pada saat
menyerang Tentara Jepang.

244

Guru Jemaat Sahusilawane melayani di Jemaat GPM
Makatian hingga akhir 1945. Pada waktu itu sudah dipilih
dari antara anggota jemaat seorang penatua dan seorang
diaken untuk membantu pelayanan di jemaat.

PELAYANAN JEMAAT PASCAPENDUDUKAN JEPANG

Situasi Makatian pulih setelah kekalahan Jepang dari
Sekutu di tahun 1945, pelayanan kepada Jemaat makin
ditingkatkan oleh Majelis Jemaat. Dengan mengenakan
pakaian hitam, Penatua Martinus Basar dan Diaken Hein
Huninhatu mendatangi tiap rumah. Mereka meyakinkan
setiap orang untuk menyerahkan benda-benda peninggalan
leluhur yang sering digunakan untuk mencelakai orang. Pada
masa itu jemaat dipimpin oleh Guru Jemaat Rahandekut.
Guru Jemaat dengan bantuan Majelis Jemaat, mereka
melakukan pelayanan untuk membebaskan anggota jemaat
dari kuasa-kuasa gelap yang masih dipercayai.

Selama pelayanan berlangsung, ada kejadian yang
dialami oleh satu keluarga yang menyembunyikan barang-
barang kepercayaan mereka dalam rongga bambu. Mereka
tidak mau menyerahkan dan membebaskan diri dari kuasa
barang-barang itu. Namun, tidak lama sesudah pelayanan
berlangsung, dapur mereka lenyap dimakan api. Umat yang
menyaksikannya percaya kalau kebakaran itu merupakan

245

akibat dari tindakan mereka yang bersikeras menggunakan
benda-benda peninggalan leluhur.

Pelayanan untuk membebaskan anggota jemaat dari
benda-benda gaib masih dilakukan oleh Guru Jemaat J.
Emanratu yang bertugas sampai tahun 1952 di Jemaat GPM
Makatian. Ia melakukan banyak ‘pembersihan diri’ dari
penggunaan ilmu hitam. Ia menggembalakan umat untuk
melepaskan hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan
lama. Banyak yang datang menyerahkan benda-benda
seperti tampa siri, ikat pinggang, dan lainnya. Guru Jemaat
Emanratu mendoakan benda-benda itu, lantas dilenyapkan
dengan cara dibakar, dibuang di hutan atau di lautan. Di
samping melayani di gereja, ia juga mengajarkan agama, dan
mata pelajaran mencongak, membaca, dan menulis.

Ibadah jemaat menjadi semarak pada masa ini, karena
paduan suling yang baru dibentuk sehingga dapat
memainkan musik pengiring nyanyian jemaat. Paduan suling
ini hanya bertahan beberapa tahun, kini sudah tidak ada.

Guru Jemaat J. Emanratu meninggalkan Makatian,
digantikan oleh Guru Jemaat A. Melmambesy yang bertugas
selama empat tahun sejak 1952. Beliau mengajar anak-anak
sekolah dan berkhotbah. Pendidikan umum tidak lagi
diselenggarakan di rumah ibadah. Guru Jemaat Melmambesy
bersama-sama orang kaya Tomas Huninhatu mendirikan
ruang belajar dekat pantai,42 tidak jauh dari rumah ibadah.

246

Beliau banyak mengikutsertakan jemaat dalam lomba-
lomba kesenian. Yohanis Huninkore, pemimpin nyanyian
pada waktu itu menceritakan bahwa Guru Jemaat
Melmambesy membentuk dan melatih paduan suara yang
kemudian menjuarai lomba paduan suara di Saumlaki. Guru
Jemaat Melmambesy sudah berkeluarga, tetapi ia datang
seorang diri ke Makatian dan meninggalkan istrinya di
Watmuri. Pada masa Melmambesy telah ada kerinduan
untuk membangun gedung gereja permanen. Maka
ditunjuklah Demianus Huninhatu sebagai ketua, Yulius
Manuhury sebagai sekretaris, dan Alex Direlaklean sebagai
bendahara dari panitia yang bertugas mengumpulkan dana
untuk pembangunan gedung gereja dimaksud.

Usaha pengumpulan dana itu berlangsung bertahun-
tahun, namun gedung gereja belum juga dibangun. Sebagai
pengganti Guru Jemaat Melmabesy, bertugas Guru Jemaat P.
K. Gaspersz yang datang bersama istrinya pada tahun 1958.
Tidak berbeda dengan Guru Jemaat sebelumnya, beliau juga
mengajar mata pelajaran umum di sekolah. Guru Jemaat
Gaspersz pindah dari Makatian pada tahun 1961. Sejak itu,
tidak ada lagi yang ditugaskan di Makatian. Karena itu, Wakil
Penghentar Jemaat, Absalom Owandity, bersama anggota
Majelis Jemaat yang lain menyelenggarakan pelayanan
kepada jemaat selama bertahun-tahun.

247

Dalam kurun waktu enam tahun tanpa seorang guru
jemaat, wakil penghentar jemaat bersama tokoh-tokoh
masyarakat mengadakan rapat di balai pemuda yang terletak
di tepi pantai.43 Rapat yang dipelopori oleh Demianus
Huninhatu (Ketua PPKM Makatian), Dirk Kudmasa (Kepala
Desa Makatian), dan Absalom Owandity (Wakil Penghentar
Jemaat), menghasilkan satu keputusan yakni mengutus tiga
orang pemuda sebagai jawaban atas surat permintaan dari
Badan Pekerja Klasis Tanimbar yang meminta anak-anak
muda dengan prasyarat ijazah SR, keterangan Kepala Desa,
dan Keterangan Majelis Jemaat untuk mengikuti pendidikan
khusus penginjil di Ambon pada tahun 1966. BPK Klasis
Tanimbar merespons permintaan itu, maka berangkatlah
tiga pemuda dari Makatian ke Saumlaki, yakni Benoni Laiyan,
Albert Manuhury, dan Abner Manuhury. Mereka harus
mengikuti seleksi di Saumlaki yang dilakukan oleh Ketua
Klasis Pdt. M. Alfons. Sayangnya, hanya seorang yang
berhasil lolos seleksi dan diberangkatkan ke Ambon.

Benoni Laiyan berangkat dari Saumlaki ke Ambon pada
Desember tahun 1966, kemudian mengikuti pendidikan
penginjil pada Januari 1967 hingga selesai; Ia menjalani
masa vikaris selama enam bulan, ditahbiskan oleh Ketua
Klasis P.P. Aru, Pdt. A. J. Soplantila pada 25 Agustus 1969.

Sesudah tahun 1969, Absalom Owandity dan rekan
pelayan lainnya masih melayani jemaat Makatian. Tahun-

248

tahun berlalu hingga akhirnya diutuslah Guru Jemaat A.
Rahandekut kembali menggembalakan jemaat. Ia datang
pada tahun 1972 bersama istri dan anak-anaknya. Jemaat
mengakui bahwa Guru Jemaat Rahandekut memiliki jiwa
seni yang tinggi. Paduan suling melayani ibadah jemaat
setiap minggu dan ia turut memperhatikan kesenian yang
lain, seperti; tari-tarian dan nyanyian.

Guru Jemaat Moriolkosu menggantikan Guru Jemaat
Rahandekut pada tahun 1977. Sebelum datang, jemaat telah
memilih delapan pelayan; empat penatua dan empat diaken
sebagai Majelis Jemaat. Martinus Rumkedy adalah penatua
yang ditunjuk sebagai Wakil Ketua Majelis Jemaat, sekaligus
ketua panitia pembangunan gedung gereja yang kelak diberi
nama Bethel. Godlif Huninhatu, penatua pada masa itu,
menceritakan bahwa persiapan-persiapan pembangunan
gedung gereja, yakni pergumulan pembersihan diri;
mengkhususkan diri untuk pembangunan rumah Tuhan itu
dilakukan sungguh-sungguh.

Majelis jemaat mengunjungi rumah-rumah anggota
jemaat untuk melakukan penggembalaan guna melepaskan
pegangan-pegangan lama yang masih tersisa. Anggota jemaat
menyerahkan kepada majelis jemaat untuk dimusnahkan
dengan cara dibakar.

Pada 14 Agustus 1983 tukang-tukang telah ditunjuk
untuk pembangunan gedung gereja. Sesudah pembersihan

249

diri, penginjil Moriolkosu memberi tanggung jawab kepada
Costantin Huninhatu untuk mencari batu yang akan
dijadikan batu penjuru (batu alasan). Proses peletakan batu
alasan berlangsung khidmat. Pada malam 23 Desember
1983, di bawah guyuran hujan, para tukang bangunan dan
majelis jemaat yang mengenakan kebaya hitam, keluar dari
rumah ibadah yang lama, dan berjalan mengambil batu yang
telah disiapkan untuk dibawa ke lokasi pembangunan
gedung gereja yang baru.

Peletakan Batu pertama dilakukan pada tanggal 24
Desember 1983 dan pekerjaan pembangunan mulai
berlangsung. Orang-orang khusus dipilih ke tempat bernama
Sivsivit guna menyiapkan tiang bermula, tiang pertama yang
akan dipancangkan. Perahu Metaloby bergerak pelan
menyusuri Ranatbilam,44 orang-orang yang di atasnya
menjaga tiang bermula dengan hati-hati. Di pantai depan
kampung, seluruh umat telah menanti. Tiang bermula diarak
menuju tempatnya lalu dipancangkan sesudah didoakan.

Setahun kemudian setiap minggu terdengar bunyi
lonceng yang baru. Lonceng ini diberikan oleh salah satu
keluarga dari desa Lelingluan. Tetapi kurang lebih satu
tahun, pada hari Sabtu malam di bulan September 1985,
rumah ibadah berdinding papan yang masih digunakan itu
porak-poranda diterpa angin kencang yang bertiup
sepanjang malam. Rumah ibadah telah roboh, tetapi lonceng

250

yang baru digunakan itu tidak sampai jatuh ke tanah.
Meskipun gereja yang baru dibangun itu roboh, ibadah
minggu yang berlangsung pada keesokan hari tetap
dilakukan. Semua orang berkumpul di sekitar rumah ibadah
yang roboh. Penginjil Moriolkosu berdoa lalu mulai
mengatur pekerjaan pembangunan rumah ibadah darurat.

Tahun 1986, masih dalam proses pembangunan
gedung gereja, Martinus Rumkedy meninggal dunia. Beliau
digantikan oleh Dominggus Huninhatu yang pada waktu itu
sebagai wakil ketua panitia, dan pekerjaan pembangunan
terus dilakukan. Dalam kondisi sulit, dan melewati banyak
pertentangan, proses pembangunan diupayakan. Gedung
gereja telah hampir rampung, namun belum diresmikan.

Pendeta Batmomolin datang menggantikan Guru
Jemaat Moriolkosu dan melanjutkan pelayanan di Jemaat
GPM Makatian. Bersama panitia, beliau menyiapkan berbagai
hal supaya peresmian gedung gereja berlangsung meriah.
Acara peresmian sekaligus ibadah perdana di Gedung Gereja
Bethel berlangsung pada 16 September 1990. Ketua Sinode
GPM, Pdt. A. J. Soplantila, menempuh perjalanan yang cukup
berat akhirnya tiba di Makatian dan meresmikan gedung
gereja Bethel. Pimpinan desa Makatian pada masa itu, O. A.
Kudmasa, membantu penyelesaian pekerjaan pembangunan
gedung gereja itu dengan sekuat tenaga.

251

Pada masa kepemimpinan Pendeta Batmomolin (1991)
berlangsung Persidangan Ke-1 Jemaat GPM Makatian yang
dibuka secara resmi oleh Ketua Klasis Tanimbar Selatan, Pdt.
Z. Sedubun. Sejak tahun 1990, periodisasi Majelis Jemaat
telah berubah dari 4 tahun menjadi 5 tahun. Tidak lama
sesudah tiba di Makatian, Pendeta Batmomolin melakukan
sasi atas wilayah pantai depan kampung. Hingga sekarang,
pantai Makatian tetap terjaga kebersihannya. Pendeta
Batmomolin bertugas di Makatian hingga tahun 2003.

Sebagai pengganti Pendeta Batmamolin yang pindah
tugas pelayanan di Jemaat GPM Wermatang adalah Pendeta
Welmince Noya. Ia merupakan seorang pendeta perempuan
pertama yang menjadi Ketua Majelis Jemaat GPM Makatian.
Sampai Pendeta Noya bertugas di Jemaat GPM Makatian
hanya satu atau dua anak Makatian yang melanjutkan
pendidikan ke Perguruan Tinggi. Jemaat masih memiliki
pandangan masa lalu bahwa anak laki-laki sulung adalah
pewaris segala harta benda dan pemimpin keluarga,
karenanya tidak diperkenankan merantau, apalagi
membangun kehidupan di tempat lain. Mereka harus
menetap di kampung.

Pendeta Noya begitu gigih mendorong perubahan
pemikiran itu. Perlahan, namun pasti, orang Makatian mulai
mengambil tindakan berani melepaskan anak-anak mereka,
terutama yang laki-laki pergi bersekolah di luar Makatian.

252

Seiring bertambahnya penduduk di Jemaat GPM Makatian,
maka Majelis Jemaat membuat keputusan untuk merenovasi
Gedung Gereja Bethel beriringan dengan kebijakan
Pemerintah Desa Makatian untuk ‘buka kampung’
(memperluas wilayah kampung) bagi pembangunan rumah
penduduk yang baru. Program buka kampung digumuli, di
mana enam soa di Negeri Makatian membawa batu masing-
masing, kemudian meletakannya pada tempat yang sudah
ditentukan, lantas didoakan oleh pendeta. Pembangunan
hanya boleh berlangsung dalam batas-batas yang telah
ditetapkan bersama.

Sementara itu, pekerjaan renovasi gedung gereja dan
pembangunan Pastori Jemaat yang permanen, yang
sebelumnya sudah dikerjakan pada masa Penginjil Pendeta
Batmomolin, berhasil diselesaikan dalam pengawasan
Pendeta Noya. Banyak persoalan dilewati oleh para pelayan
dan anggota jemaat GPM Makatian dalam sejarah jemaat ini,
sejak Injil masuk sampai kini, namun atas perkenaan Tuhan
Yesus Kristus, Sang Kepala Gereja, semua tantangan
pelayanan dapat dilalui, sehingga Gereja Tuhan tetap berdiri
dan umat-Nya tetap memuliakan Nama Tuhan yang Agung.
Aku yang menanam, Apolos yang menyiram, tetapi Allah
yang memberikan pertumbuhan (1Kor. 3:6).

SOLI DEO GLORIA

253

13. JEMAAT GPM FURSUY

LETAK GEOGRAFI

Jemaat GPM Fursuy berada di pesisir bagian ujung
Timur Pulau Selaru. Jemaat ini bertetangga dengan Jemaat
GPM Lingat, Jemaat GPM Werain dan Jemaat GPM Eliasa.
Secara etimologi sebutan Fursuy artinya Hulaksu. Hulak
artinya “Ikatan terbungkus”; Su artinya “Ujung Rahasia”. Jadi,
Hulaksu adalah “sesuatu yang misteri, masih dibungkus,
masih rahasia atau bungkusan yang belum dibuka”.45 Istilah
lain dalam bahasa Yamdena untuk Fursuy yaitu Olsui artinya
“Kampung diujung”.46 Oleh sebab itu, orang Yamdena biasa
menyebutkan Fursuy adalah kampung yang ada di paling
ujung Pulau Selaru. Secara geografis, Jemaat GPM Fursuy
berbatasan dengan Laut Arafura di bagian Timur; sebelah
Barat berbatasan dengan Jemaat GPM Werain; sebelah
Selatan berbatasan dengan Jemaat GPM Eliasa, dan sebelah
Utara berbatasan dengan Jemaat GPM Lingat.

AGAMA KRISTEN PROTESTAN MASUK DI FURSUY

Pada tahun 1917, Guru Injil J. Thenu dan Guru Injil
Lopulalan memberitakan Injil di Jemaat GPM Fursuy.
Pembaptisan pertama kepada orang Fursuy terjadi pada
tanggal 8 Mei 1917 yang dilakukan oleh Pdt. Jansen. Setelah

254

masa pelayanan Guru Injil Thenu dan Lopulalan di Fursuy,
Jemaat dilayani oleh beberapa guru Injil dan pendeta.
Perkembangan pelayanan di Jemaat Fursuy terus dilakukan
sampai dibukanya Sekolah Kristen Protestan pada tahun
1935. Pembukaan Sekolah Kristen ini terjadi pada masa
tugas Guru Injil Pattikawa (1934-1936), dilanjutkan oleh M.
D. Riry dan Guru-guru Injil lainnya seperti Bpk. Aliliama, Bpk.
Amelama, Bpk. Lerebulan dan Bpk. Hanok Emanratu. Dalam
perkembangan, pada tahun 1985 sekolah ini ingin
dinegerikan oleh saudara-saudari dari GKPII bersama
Pemerintah Desa Fursuy saat itu, tetapi niat tersebut tidak
terlaksana sampai saat ini.

Anggota Jemaat GPM Fursuy mengalami goncangan
pada tahun 1976 ketika masuknya Gereja Protestan Injili
Indonesia (GKPII). Gereja ini dibawa oleh anak-anak Fursuy
dari tanah rantau yang membuat sebagian besar anggota
jemaat termasuk sebagian besar Majelis Jemaat pindah ke
GKPII. Yang bertahan adalah Pnt. Yunus Fordatkosu, Dkn.
Yulianus Luanmasar, Tuagama Adolfis Fordatkosu dan Guru
Injil Hanok Emanratu (1965-1978) bersama 7 Kepala
Keluarga (KK). Oleh sebab itu, tidak salah jika Jemaat GPM
Sumber Kasih Fursuy adalah jemaat yang paling terkecil di
Klasis Tanimbar Selatan karena didominasi oleh GKPII.
Setelah Guru Injil Hanok Emanratu pensiun, maka yang
mempertahankan Jemaat GPM Sumber Kasih Fursuy selama

255

± 25 tahun adalah Pnt. Yunus Fordatkosu, Dkn. Yulianus
Luanmasar dan Tuagama Adolfis Fordatkosu.

Berhadapan dengan kondisi Jemaat GPM Fursuy
sedemikian, aktifitas pelayanan tetap dilakukan dengan
penuh semangat. Meskipun belum ada pendeta GPM yang
bertugas di sana, Majelis Jemaat tetap bekerja keras untuk
memberitakan Injil kepda 7 KK yang tetap menjadi anggota
Jemaat GPM Fursuy.

PERKEMBANGAN JEMAAT DAN PEMBANGUNAN
GEDUNG GEREJA

Ketahanan 7 Kk sebagai anggota Jemaat GPM Fursuy
teruji ketika pemerintah Desa yang adalah anggota GKPII
mengumpulkan seluruh umat untuk bermufakat supaya
Gedung Gereja dipakai oleh Jemaat GKPII, maka diberikanlah
Gedung Gereja dan lokasi tersebut. Namun, semangat
mempertahankan GPM sebagai pembawa terang mula-mula
di Negeri Fursuy tetap dihidupkan oleh 7 Kk tersebut.
Dengan kebersamaan dan persekutuan di antara mereka,
dibangun sebuah tempat ibadah yang layak, karena tempat
ibadah lama yang terbuat dari palopo bambu dan beratap
rumbia telah usang.

Atas perjuangan dan kerja keras Bpk. Abiuth
Kelmaskosu, Bpk. Melianus Fordatkosu bersama-sama
rekan-rekan pelayan dan seluruh Jemaat GPM Fursuy,

256

mereka membangun Gedung Gereja Jemaat GPM Fursuy,
maka pada tanggal 27 Mei 1987 diadakan peletakan batu
alasan sekaligus pemancangan tiang bermula bagi
pembangunan gedung Gereja Baru oleh Pdt. N. Ipabloly, S.Th
(Mantan Ketua Majelis Jemaat GPM Eliasa). Untuk
menyukseskan pembangunan gedung gereja itu, dilakukan
kegiatan penggalangan dana oleh panitia, baik dalam bentuk
penjualan ikan di jemaat tetangga Jemaat GPM Lingat,
Werain, Kandar. Pergumulan Jemaat GPM Fursuy untuk
memiliki gedung gereja yang baru pun terpenuhi setelah
melewati waktu kerja ± 6 tahun. Gereja ini diresmikan pada
25 April 1993 oleh mantan Ketua Klasis Tanimbar Selatan,
Pdt. Z. Sedubun, Sm.Th, dengan nama Gereja Sumber Kasih.

Gedung Gereja Sumber Kasih Jemaat GPM Fursuy

Semangat 7 KK yang tetap mempertahankan Jemaat
GPM di Fursuy, akhirnya melahirkan generasi-generasi GPM
yang terus mencintai dan menggumuli Jemaat GPM Fursy di
kemudian hari. Perkembangan jemaat pun semakin baik dan

257

meningkat karena terdapat beberapa anak negeri yang
pulang dan berdiam di Fursuy sehingga secara bersama-
sama terus membangun dan mempertahankan GPM untuk
tetap hidup dan terus menabur Injil di bumi Metanleru. Pada
akhir tahun 1995, anggota keluarga bertambah menjadi 16
Kk dengan jumlah jiwa 85 orang. Saat itu, Jemaat dipimpin
oleh Pnt. A. Kelmaskosu (Alm). Keberadaan Jemaat
sedemikian mendapat perhatian dari Majelis Pekerja Klasis
dengan kebijakan menugaskan Pdt. R.N. Likumahua (Ketua
Majelis Jemaat GPM Lingat) untuk melaksanakan pelayanan
dari tahun 1993 – 1997, kemudian pada tahun 1997 -2003
pelayanan diteruskan oleh Pdt. Nn. W. Noya. S.Th.47

Seiring pertumbuhan jemaat, kebutuhan pelayanan pun
semakin bertambah sehingga muncul keinginan untuk
memiliki pendeta demi memenuhi kebutuhan pelayanan
jemaat. Keinginan ini disampaikan Majelis Jemaat kepada
Badan Pekerja Klasis (BPK) Tanimbar Selatan. BPK
menjanjikan akan menempatkan seorang pendeta, asalkan
jemaat dapat membuat pastori. Lewat arahan BPK, kemudian
umat berusaha membangun pastori yang representatif.
Namun sampai penempatan Pdt. Nn. A. Mailuhu. S.Th pada
tahun 2003 pastori yang dibangun oleh jemaat belum selesai
dan untuk sementara tinggal di rumah Kel. Bpk. Abiut
Kelmaskossu selama 7 bulan. Pastori baru diresmikan pada
tanggal 25 November 2003 oleh Ketua Klasis GPM Tanimbar

258

Selatan Pdt. W. B. Pariama, S.Th, bertepatan dengan
Pelaksanaan MPPD Daerah Tanimbar Selatan.48

Dengan ditempatkan pendeta pertama Jemaat GPM
Fursuy yakni Pdt. Nn. A. Mailuhu, maka kekosongan seorang
figur pelayan (pendeta) yang sebelumnya dirasakan oleh
umat ± 25 tahun tidak lagi dirasakan dan selanjutnya Jemaat
GPM Sumber Kasih Fursuy dilayani oleh para pelayan khusus
GPM, diantaranya Pdt. Nn. O. Mareray, S.Si; Pdt. Ny. D.
Luhukay/I, S.Si dan Pdt. Ny. V. Rumahlatu/S, S.Si dan Pdt.
Wilson Kosaplawan, S.Si.Teol (2017-hingga saat ini),
bersama dengan 2 orang penatua yaitu Pnt. Dominggus
Luanmasar; Pnt. Fiktor Temartenan; 2 orang Diaken yaitu
Dkn. Yusten Kelmaskosu; Dkn. Sin Ny. Luanmasar; 2
Tuagama yaitu Arnold Luanmasar dan Monster Fordatkosu.

Pelayanan di Jemaat GPM Fursuy sejak tahun 2003
berlangsung kepada 32 KK, dan model pelayanan yang
dilaksanakan adalah ibadah Minggu, ibadah Unit (hanya 1
unit) yang berlangsung setiap hari Sabtu sore pkl. 17.00,
ibadah Wadah Pelayanan Perempuan dan Laki-laki setiap
hari Minggu sore pkl. 17.00, ibadah AMGPM setiap hari Senin
pkl. 17.00 dan ibadah Minggu anak setiap pkl. 07.00 pagi
(sekarang tidak lagi), ibadah Sekolah Minggu dan ibadah
Tunas Muda pada hari Senin sore pukul 17.00 (sekarang
terlaksana hari Minggu, Pkl. 17.00 ).

259

Selama kekosongan Pendeta, Jemaat GPM Fursuy
belum pernah melaksanakan Persidangan Jemaat, namun
yang dilakukan adalah Rapat Jemaat. Untuk pertama kalinya,
di tahun 2004 baru dilaksanakan Persidangan Jemaat GPM
Fursuy yang dibuka oleh anggota BPK. Tanimbar Selatan,
Pnt. Otis Refualu. Sejak itu Persidangan Jemaat GPM Fursuy
terus dilakukan sampai saat ini dan sudah berada pada
Persidangan yang ke-14.

Perkembangan Jemaat GPM Fursuy jika dilihat sejak
proses Injil masuk Fursuy sampai saat ini tentunya penuh
dengan tantangan dan hambatan (dalam menerima dan
menolak Injil), ataupun letak geografis serta transportasi
pada waktu itu masih sangat miskin namun tidak
mematahkan semangat para Pekabar Injil. Mereka terus
memberitakan Injil keselamatan Allah kepada Jemaat GPM
Fursuy sampai saat ini. Dengan tuntunan Roh Kudus
perkembangan Injil di Fursuy pun semakin meningkat,
meskipun berhadapan dengan dedominasi GKPII Legito
Fursuy, GPSDI Alfa Omega. Dapat dikatakan bahwa anggota
Jemaat GPM Fursuy yang bertahan sampai saat ini adalah
mereka yang sudah memiliki integris iman yang teguh serta
tidak mudah di ombang-ambingkan. Sementara kehadiran
dedominasi di tengah medan pelayanan GPM membuat para
pemimpin gereja dan warga gereja dapat merefleksikan

260

pelayanan yang dijalankan selama ini. Apakah sudah
menjawab kegelisahan atau kebutuhan umat sampai kini?

Perkembagan Jemaat GPM Fursuy juga semakin
meningkat, sehingga membuat daya tampung gereja yang
dibangun Jemaat sejak tahun 1987 sudah tidak memadai
untuk menampung Jemaat, selain karena mengalami
kerusakan berat. Kondisi demikian, membuat Jemaat
membicarakannya dalam persidangan Jemaat dan
mengeluarkan keputusan bersama untuk membangun gereja
yang baru. Dengan semangat seluruh anggota jemaat di
Fursuy yang beranggotakan 35 KK dengan jumlah jiwa
sebanyak 130 orang,49 begitu juga Jemaat yang berada di
Saumlaki, dan kedua gereja dedominasi (GKPII dan GPSDI),
maka proses peletakan batu alasan dan pemancangan tiang
bermula pembangunan gedung Gereja Jemaat GPM Saumlaki
dilakukan pada tanggal 13 Oktober 2013. Saat itu yang
menjadi ketua Majelis Jemaat GPM Fursuy adalah Pdt. V.
Rumahlatu/S, S.Si dan Ketua Klasis Pdt. M. Syahuta, S.Th.
Acara peletakan batu pertama ini dihadiri oleh para Pendeta
Seklasis Tanimbar Selatan untuk menumpangkan tangan
terhadapnya. Proses pembangunan gedung gereja tersebut
masih tetap dilakukan sampai sekarang.

Jemaat GPM Fursuy juga memiliki beberapa
perumahan guru sebagai tempat bergumulnya para
pendidik/pengajar untuk mengajarkan anak-anak Fursuy

261

menjadi anak-anak yang berpengetahuan, juga membina
mental, moral serta karakter mereka sehingga dapat
mencapai cita-cita yang gemilang di masa depan. Namun,
sampai saat ini kemampuan Jemaat untuk memperbaiki
perumahan guru ini mengalami kendala karena berbagai
faktor yang mempengaruhinya.

Perumahan Guru SD Kristen Jemaat GPM Fursuy

KEKAYAAN DI ATAS BATU KARANG

Jemaat GPM Fursuy adalah Jemaat yang berada di atas
batu karang, namun memiliki keunikan yaitu batu karang
dapat menumbuhkan berbagai tanaman pangan lokal seperti
ubi kayu, ubi jalar, ubi-ubian yang lainnya serta bawang
merah yang terkenal pedas jika dikonsumsi, begitu juga
kelapa, pisang. Jemaat GPM Fursuy juga mempunyai
kekayaan laut, seperti ikan, teripang, lola, dan juga rumput

262

laut (agar-agar) yang sampai sekarang ramai dibudidayakan
oleh Jemaat/masyarakat Fursuy. Fursuy juga memiliki
tradisi menenun di Pulau Tanimbar dan terkenal dengan
berbagai motif. Menenun sudah menjadi kebiasaan di
Fursuy. Oleh karena itu, tidak heran kalau anak-anak usia
Sekolah Dasar pun dapat menenun.

Kekayaan pelayanan yang pernah ditebarkan oleh para
Pekabar Injil, serta kekayaan alam di tengah batu karang
dapat menghidupkan Injil serta tetap memberi semangat dan
sukacita di tengah-tengah tantangan pelayanan Jemaat GPM
Fursuy. Dengan semangat melayani itu, Jemaat GPM Sumber
Kasih Fursuy secara umum AMGPM Cab. Philia (AMGPM
Jemaat GPM Fursuy, Jemaat GPM Werain dan Jemaat GPM
Eliasa menjadi satu cabang). Lewat keputusan MPPD ke-20
di Jemaat GPM Makatian, pada tahun 2018 mempercayakan
secara khusus AMGPM Ranting Kasih Fursuy sebagai Panitia
Pelaksanaan MPPD ke-21 tahun 2019. Momen bersejarah ini
pun disambut gembira dengan melibatkan pemuda-pemudi
kedua gereja dedominasi di Fursuy dalam kepanitiaan
tersebut tetapi juga seluruh masyarakat menyambut dengan
gembira dan terlibat dalam momen bersejarah ini. Jemaat
GPM Fursuy percaya bahwa walaupun ada banyak tantangan
pelayanan yang dialami sejak para Penginjil, Majelis Jemaat
sampai para Pendeta, tetapi Jemaat GPM Fursuy masih tetap
tegak dan melakukan pelayanan di wilayah Klasis Tanimbar

263

Selatan, semuanya itu bukan karena kelebihan dan kekuatan
mereka tetapi semata-mata kasih Karunia Tuhan Allah bagi
Jemaat GPM Sumber Kasih Fursuy. Aku (Paulus) menanam,
Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan
(1 Kor. 3:6).

264

14. JEMAAT GPM BATUPUTIH

LETAK GEOGRAFI

Batuputih berada di bagian barat pulau Yamdena.
Nama Batuputih dulunya disebut Otimmer (‘otimmer dalam
bahasa Seluasa berarti kampung bambo). Jemaat GPM
Batuputih berada di kawasan Kabupaten Maluku Tenggara
Barat. Jarak dengan pusat kabupaten dan pusat Klasis dapat
di tempuh melalui jalan darat sejauh 43 km dengan waktu
kurang lebih 1 jam, dan melalui laut 6 jam, sedangkan ke
pusat kecamatan hanya dengan angkutan laut longboad 1
jam. Jemaat GPM Batuputih merupakan salah satu dari 9
desa yang berada pada wilayah kecamatan Wermaktian dan
juga tidak terlepas dari kesatuan wilayah Kabupaten Maluku
Tenggara Barat.

Dari sisi administrasi pelayanan GPM Jemaat Batuputih
memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut: sebelah Utara
berbatas dengan Jemaat GPM Makatian, sebelah Selatan
berbatasan dengan Jemaat GPM Latdalam, sebelah Barat
berbatasan dengan Jemaat GPM Seira dan sebelah Timur
berbatas dengan desa Ilngei.

Jemaat Batuputih memiliki 267 Kk dengan jumlah jiwa
sebanyak 1.150 orang yang terdiri dari 573 orang laki-laki
dan 577 orang perempuan, yang tersebar dalam 4 Sektor dan
12 Unit Pelayanan, antara lain: Sektor Betel Unit 1, 2, 3 ;

265

Sektor Imanuel Unit 1, 2, 3 ; Sektor Elshaday Unit 1, 2, 3 ;
Sektor Tunas Harapan Unit 1, 2, 3. Jumlah Pelayan, 1 orang
Pdt, 24 orang Majelis Jemaat ( 12 Penatua dan 12 Diaken), 6
0rang Tuagama. Terdapat 4 Wadah Pelayanan di Jemaat ini,
yakni: Wadah pelayanan Perempuan yang terbagi menurut 4
Sektor, 1 Wadah Pelayanan Laki-laki, 1 Wadah Pelayanan
SMTPI yang berjalan dengan baik dan terbagi dalam 4
jenjang. Angkatan Muda pada awalnya berjalan dengan baik
(1 Cabang dengan 4 Ranting), namun setelah beberapa orang
pengurus diangkat menjadi Majelis Jemaat maka Angkatan
Muda mulai berjalan tersendat dan sampai saat ini ada dalam
keadaan vakum.

Pelayanan Jemaat juga ditujukan bagi para penyandang
masalah sosial [PMS] seperti cacat, janda, duda dan yatim
piatu. Pelayanan sedemikian merupakan bagian dari
pelayanan diakonal jemaat yang peduli dengan kebutuhan
jemaatnya secara universal. Sebagian besar Jemaat GPM
Batuputih bekerja sebagai petani atau pekebun, tetapi
mereka juga sebagai nelayan dan peternak. Sejak berdiri
sampai sekarang, Jemaat GPM Batuputih masih tetap
menganut agama Kristen Protestan.

Bentuk sosial budaya yang khas dari orang Batuputih
adalah komunitas yang selalu mempertahankan dan
mempraktikkan budaya dan tradisi atau adat istiadat seperti
mata rumah, ikatan kekerabatan tetap terjalin dan

266

menentukan bentuk hubungan sosial antar warga. Di sisi lain
norma adat masih dipegang ketat oleh masyarakat termasuk
norma perkawinan terhadap kaum perempuan sampai kini.

AGAMA KRISTEN PROTESTAN MASUK DI OTIMMER
SAMPAI KE BATUPUTIH

Pada awalnya orang Otimmer memilih tiga tempat
yang ditempati, antara lain: Nirunluan, Iblori dan Otimmer.
Dari ke- 3 tempat yang ditempati ini Nirunluan dan Iblori
tidak ada air, terjal dan jurang mengakibatkan mereka harus
kembali bergabung di tempat semula yaitu Otimmer. Orang-
orang Otimmer masih hidup dalam penyembahan berhala
dan hidup mereka masih diselimuti dengan kegelapan
sehingga mereka selalu merancang hal-hal yang jahat.

Pada tahun 1912 ada seorang penginjil yang masuk di
Otimmer dengan membawa agama Kristen Katolik, namun
orang-orang Otimmer tidak menerima maka penginjil itu
pergi dan tidak kembali lagi. Kemudian pada tahun 1914, di
pagi subuh, Penginjil Soumokil datang ke Otimmer untuk
memberitakan Injil. Dengan keberanian Soumokil masuk dan
menjumpai seseorang yang bernama bapak Eduard
Samangun. Perjumpaan pertama sang Penginjil tersebut
membuka jalan untuk Injil diberitakan di Ottimer, meskipun
hanya berlangsung di tepi jalan atau di tempat-tempat
tertentu. Dalam ibadah orang Ottimer hanya memakai cawat,

267

membawa sirih pinang, tombak busur, anak panah dan arak
(minum keras). Mereka duduk bersilat kaki dan prinsip
mereka adalah jika penginjil ini menyinggung hati mereka
maka mereka akan menyakitinya, tetapi Penginjil Soumokil
tetap melaksanakan tugas penginjilannya dan berhasil
dengan baik.

Tahun 1915 Penginjil Soumokil bersama orang-orang
Otimmer mulai membangun Gedung Gereja darurat untuk
mereka beribadah. Pada tahun 1915 mereka meresmikan
gedung gereja tersebut dengan nama EBENHAEZER.
Penginjil Soumokil mengangkat Agustinus Samangun
sebagai Tuagama pertama dan dua orang Majelis Jemaat
(bahasa Belanda disebut Kerkeraad) untuk mendampingi
beliau dalam tugas pelayanan. Setelah itu, mereka
mengajukan surat permohonan kepada Badan Gereja untuk
mengeluarkan surat keputusan bagi orang orang Otimmer
supaya menjadi jemaat definitif. Lewat permohonan itu,
Badan Gereja mengeluarkan surat keputusan bagi warga
Otimmer menjadi jemaat sendiri.

Kehadiran Penginjil Soumokil di antara orang-orang
Otimmer dengan pola kehidupan yang baik telah mendorong
berkembangnya pelayanan penginjilan bagi orang-orang
Otimmer.

Pada tahun 1972, Tiga Batu Tungku (Pemerintah
,Gereja dan Pendidikan) bermusyawarah untuk berpindah

268

tempat karena tempat yang didiami tidak memadai lagi bagi
orang orang Otimmer. Sumber air hanya satu ( Sumur
Rompas) dan berada di tepi jurang, sehingga tidak dapat
menampung orang orang otimmer lagi . Keputusan
perpindahan desa telah disepakati oleh tokoh-tokoh
masyarakat, namun para pemimpin desa tidak nyaman maka
pihak gereja yang mengambil alih untuk membawa orang-
orang Otimmer pindah ke tempat yang baru. Sebelum
anggota Jemaat Otimmer keluar menuju tempat yang baru,
Penginjil Arawaman bergumul dengan satu nama gereja yang
tidak diketahui oleh siapapun untuk pada waktunya di
pasang di Batuputih dengan nama Ebenhaezer dan
Marantutul dengan nama gereja Elshaday. Saat ibadah
berlangsung, Pdt. Arawaman mempercayakan dua orang
Majelis Jemaat (Pnt. Abraham Ringringngulu dan Pnt. Ampar
Fenanlabir) untuk menggendong kedua nama gereja itu.
Pada tanggal 25 Agustus 1972, Penginjil Arawaman bersama
para pelayan membawa keluar orang-orang Otimer menuju
tempat yang baru dengan menumpangi perahu Ebenhaezer.
Ketika tiba di Batuputih, tidak semua orang Otimmer tinggal
di situ, ada sebagian orang yang melanjutkan pejalanan ke
Marantutul sehingga dari satu tempat awal Otimmer telah
terbagi menjadi dua tempat Batuputih dan Marantutul.
Berdasarkan sistem Pemerintahan, Desa Batuputih yang
berhak untuk mengatur dan menata administrasi secara

269

pemerintahan bagi dua desa ini. Nama Gereja yang
dipampang di Batuputih adalah Elshaday dan di Marantutul
Ebenhaezer. Hak waris Otimmer masih dimakan bersama
walau masyarakat sudah terpisah menjadi dua Jemaat,
karena mereka dua bersaudara dari satu pancaran darah
yang menjadi cermin bagi para leluhur hingga generasi kini.

KEADAAN JEMAAT OTIMMER DI BATUPUTIH

Setelah orang orang Otimmer berada di Batuputih
terjadilah konflik di kalangan masyarakat. Menyikapi konflik
yang terjadi, Penginjil Arawaman bergumul tanpa diketahui
oleh warga jemaat. Setelah itu, beliau pergi ke Marantutul
dan tinggal di sana. Kepergian Penginjil Arawaman ke
Marantutul berpengaruh bagi jemaat Batuputih.

Jemaat GPM Batuputih masih beribadah di gereja
darurat sampai tahun 2000. Kemudian Majelis Jemaat
periode 2000-2005 bermusyawarah untuk membentuk
panitia renovasi gedung gereja, mengingat jemaat Batuputih
akan menjadi tuan dan nyonya rumah bagi Sidang Klasis,
sehingga pada tanggal 26 Februari 2002 dilakukan proses
peletakan fondasi gedung gereja dan tahun 2003 proses
pembangunan mulai dilakukan. Panitia berkomitmen untuk
menyelesaikannya sebelum Sidang Klasis, namun dari semua
yang dirancangkan sampai saat persidangan gedung gereja

270

ini belum selesai dibangun. Karena itu, proses persidangan
berjalan di gedung gereja lama. Setelah persidangan, proses
pekerjaan pembangunan gedung gereja kembali dilanjutkan.
Meskipun, dalam pelaksanaan kerja banyak sekali lika- liku
masalah yang di hadapi oleh jemaat, tetapi puji Tuhan di
tahun 2016 lewat perjuangan Hamba Tuhan yaitu Pdt Ny. J.
Kaipaty S.Si bersama Majelis Jemaat, Panitia Pembangunan
dan warga Jemaat proses pelaksanaan pekerjaan gedung
gereja Jemaat GPM Batuputih sampai pada puncaknya.

Sebelum gedung gereja ini ditahbis, ada banyak hal
yang harus diperbaiki di dalam Jemaat. Para unsur Tibaku
duduk dan bermusyawarah untuk nama gedung gereja baru
ini, sehingga ketika dihtabis nama yang dipakai adalah
Ebenhaezer sesuai nama gereja di Otimmer. Keputusan ini
disetujui oleh para unsur Tibaku dan dalam masa persiapan
pengresmian gedung gereja, Majelis Jemaat periode 2015-
2020 bersama dengan hamba Tuhan Pdt. Ny. J. Kaipatty S.Si,
mengatur pergumulan Jemaat bersama para pelayan selama
7 malam dan diakhiri dengan pergumulan seluruh Hamba
Tuhan (Para Pendeta) se-Klasis Tanimbar Selatan selama 3
hari sebelum peresmian. Lewat hasil pergumulan para
pendeta terjadi perubahan besar bagi Jemaat Batuputih,
sehingga tepat pada tanggal 7 Agustus 2016 gedung gereja
Batuputih ditahbis dengan nama Ebenhaezer. Gedung Gereja
Ebenhaezer Jemaat GPM Batuputih ini ditahbiskan oleh Pdt.

271

P. Refialy. Pada saat itu juga nama Elshaday tidak lagi
digunakan sebagai nama gereja di Jemaat GPM Batuputih.
Akhirnya “Aku Menanam, Apolos Menyiram tetapi Allah yang
Memberi Pertumbuhan”.

Dari hasil kerja keras warga Jemaat GPM Batuputih
sampai peresmian gedung gereja ini membawa sebuah
perubahan hidup di jemaat GPM Batuputih dan juga
mewarnai kecerahan jemaat.

Perjalanan panjang yang dijalani Jemaat Otimmer-
Batuputih dapat dilalui dengan tuntunan kuasa Tuhan Yesus
Kepala Gereja. Ia masih menjaga serta melindungi kami
sampai dengan waktu sekarang, walaupun terkadang kami
diperhadapkan dengan berjuta tantangan dan persoalan.
Kami tetap berkomitmen untuk memegang teguh para
leluhur kami yang sejak itu memeluk agama kepercayaan
yaitu Kristen Protestan dan tidak berpaling kepada aliran-
aliran lain, karena kami yakin bahwa Tuhan yang kami
sembah adalah Tuhan yang hidup dan saling mengampuni
dalam sejarah perjalanan setiap orang.

Demikian penyebaran Injil di Otimmer–ke Batuputih.
“Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang
memberikan pertumbuhan”(1Kor. 3:6).

272

15. JEMAAT GPM MARANTUTUL

LETAK GEOGRAFIS

Jemaat GPM Marantutul adalah Jemaat yang terletak di
wilayah dataran pulau Yamdena Barat, berkedudukan di
sebuah desa terpencil yaitu Desa Marantutul, Kecamatan
Wermaktian Kab. Maluku Tenggara Barat. Dalam wilayah
pelayanan Gereja Protestan Maluku, batas - batas wilayah
pelayanan Jemaat GPM Marantutul adalah sebelah Utara
berbatasan dengan Jemaat GPM Batu Putih, sebelah Selatan
berbatasan dengan Jemaat GPM Latdalam, sebelah Barat
berbatasan dengan Jemaat GPM Seira, Sebelah Timur
berbatasan dengan Jemaat GPM Wesawak. Jemaat GPM
Marantutul dengan luas wilayah ± 60.000M2 yang memiliki
dataran Rendah ke Permukaan Laut. Kondisi Tekstur Tanah
adalah tanah lembab dan liat berdebu sehingga cocok untuk
bertani. Hal ini terbukti dengan mata pencaharian jemaat
adalah 90% petani, sementara 10% adalah PNS dan
Wirausaha. Berdasarkan letak geografis yang jauh dari pusat
kecamatan (±25 mil) dengan menggunakan transportasi laut
dan kota kabupaten (± 38 km) dengan menggunakan
transportasi darat.

273

AGAMA KRISTEN PROTESTAN MASUK KE OTTIMER
DAMPAI KE MARANTUTUL

Awal berdirinya Jemaat Marantutul dilatarbelakangi
oleh berbagai situasi dan kondisi yang mengharuskan
terbentuknya suatu Jemaat. Jemaat Marantutul awalnya
terletak di sebuah Desa yang bernama Ottimer. Desa Ottimer
adalah tempat pemukiman para leluhur yang masih bersifat
primitif dan kuno. Hal ini terbukti dari kedudukan desa ini
yang dibangun di atas tempat yang bertebing tinggi dan
curam, namun lokasi desanya sangat rata. Letak desa
membujur dari Utara ke Selatan dan pada tepian Timur
terbentang jurang yang sangat curam, menjurus ke tepian
laut dengan ketinggian sekitar ± 200 meter agar para
penduduk mampu mempertahankan keamanan desa bila ada
terjadi peperangan.50

Pada umumnya masyarakat Otimmer sehari-hari
bercocok tanam atau berkebun untuk memenuhi kebutuhan
hidup setiap hari. Dan dalam perkembangannya, sekitar ±
tahun 1961 beberapa anggota masyarakat mulai membuka
lahan pertanian di suatu tempat yang bernama Flafak Suin
berdekatan dengan Marantutul. Mereka pun menikmati
kekayaan alam pemberian Tuhan dan dengan tekun
mengolah alam ciptaan Tuhan yang kaya itu. Karena lokasi
perkebunan mereka itu berdekatan dengan Marantutul
mereka mulai merasa betah mendiami lahan pertanian

274

tersebut dan muncul keinginan untuk menjadikan
Marantutul sebagai tempat pemukiman bagi mereka dengan
alasan kesuburan tanah Marantutul sehingga dapat
menjamin kehidupan selanjutnya. Dengan kondisi letak desa
Ottimer yang berkedudukan di antara tebing tersebut
membuat hampir setiap tahun terjadi longsor, namun
kehidupan penduduk desa ini dalam keadaan aman dan
tertib. Melihat kondisi wilayah tempat tinggal yang terus
menerus mengalami longsor, maka oleh Bpk. M. L.
Fenanlabir sebagai seorang tokoh masyarakat berusaha
untuk memindahkan desa tersebut ke suatu tempat
perkebunan yang dikenal dengan Marantutul. Namun, oleh
beberapa orang tidak menyetujuinya dan menyarankan
untuk menuju ke Batu Putih. Hal ini mengakibatkan
terjadinya pergolakan dan pertentangan yang cukup
dirasakan oleh masyarakat dan Jemaat Ottimer yang
berlangsung kurang lebih 10 tahun lamanya (1962 – 1972).

Selain alasan diatas ada alasan-alasan lain yang
menjadi dasar bagi mereka untuk membuka pemukiman
yang baru di Marantutul yaitu; (1) Salah satu sumber mata
air yang merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat
Ottimer untuk bertahan hidup, juga terancam dengan bahaya
kekeringan jika musim kemarau tiba; (2) Karena letak
geografis desa/Jemaat Otimmer yang berada jauh dari pusat
kabupaten maupun kecamatan serta sarana pendidikan,

275

maka kurangnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh
masyarakat;51 (3) Kurangnya material lokal (kayu, batu dan
pasir) untuk pembangunan, sehingga pembangunan rumah-
rumah tempat hunian menggunakan gaba-gaba (batang
pohon rumbia), palupuh (batang pohon bambu). Karena itu,
rata-rata rumah penduduk diketgorikan termasuk rumah
tidak layak huni.52

Dengan beberapa alasan di atas dan dengan segala
pertimbangan serta memperhatikan kondisi wilayah yang
sudah tidak memungkinkan untuk terus bertahan, maka
Pemerintah Desa Ottimer pun menyetujui untuk
memindahkan Desa Ottimer kedua tempat yang diusulkan
yaitu, Batu Putih dan Marantutul. Maka pada tahun 1963,
mereka bersepakat untuk melaksanakan resolusi
menyampaikan permohonan pertama mereka kepada pihak
pemerintah desa yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil
Pemerintah Negeri adalah Bpk. Abraham Kore. Permintaan
ini ditolak karena belum berkompromi dengan berbagai
pihak yang mempunyai peran untuk memutuskannya.
Namun, mereka tidak merasa kecewa, dan dua tahun
kemudian, mereka pun melakukan penebasan pemukiman di
Marantutul sebagai bukti bahwa mereka ingin tinggal dan
menetap di pemukiman baru tersebut.

Waktu terus berjalan, namun semangat untuk
membuka pemukiman yang baru tetap berkobar. Pada tahun

276

1968 terjadi transisi pemerintahan, di mana wakil
pemerintah negeri diganti dengan Bpk. Marthen Luther
Fenanlabir dan pada saat itu resolusi mereka pun diterima.
Dengan demikian, untuk mengetahui layak dan tidaknya
suatu tempat dijadikan pemukiman, maka dimintakan
Pimpinan Kecamatan untuk dapat meninjau lokasi
pemukiman tersebut dan ternyata lokasi tersebut
(Marantutul) layak untuk dijadikan sebuah pemukiman baru.

Pada tahun 1969 Marantutul diresmikan sebagai
pemukiman yang baru. Rumah-rumah darurat pun segera
dibangun, tetapi tanpa diduga terjadinya resolusi
pembatalan dari sebagian masyarakat yang tidak
menghendaki membuka pemukiman baru di Marantutul dan
memilih lokasinya di Batu Putih. Dengan keadaan itulah
maka naskah peresmian ditunda. Akhirnya pada tanggal 25
Agustus 1972 seluruh masyarakat dan Jemaat Ottimer keluar
meninggalkan perkampungan menuju ke lokasi
perkampungan baru bernama Batu Putih yang dipimpim
oleh Hamba Tuhan Pdt. F. M. Arawaman sebagai Ketua
Majelis Jemaat GPM Ottimer. Pada tanggal 26 Agustus 1972,
tibalah sebagian lagi masyarakat Ottimer di perkampungan
baru bernama Marantutul. Sejak saat itu, kondisi desa
Ottimer terpecah menjadi 2 (dua). Dengan demikian, Jemaat
pun terpecah menjadi 2 (dua) yaitu Jemaat GPM Batu Putih
yang dipimpin oleh Ketua Majelis Jemaat Pdt. F. M.

277

Arawaman dan sekaligus ditempatkan sebagai pendeta
Jemaat GPM Marantutul.53 Jumlah jemaat di Marantutul pada
saat itu berjumlah 33 kepala keluarga, fasilitas pelayanan
pun belum ada sehingga proses pelayanan cukup terhambat.
Para pelayan harus bergantian melayani baik di Batu Puti
maupun di Marantutul. Jemaat menggunakan salah satu
rumah milik pemerintah untuk beribadah.54

Ketika perkembangan pelayanan terus berjalan, masih
juga terjadi pergolakan-pergolakan yang mengakibatkan
hamba Tuhan Pdt. F. M. Arawaman lebih memilih untuk
meninggalkan Batu Putih pada tanggal 02 Pebuari 1973 dan
menuju ke Marantutul. Pada tanggal 18 Maret 1973 Pdt. F. M.
Arawaman ditetapkan menjadi Ketua Majelis Jemaat GPM
Marantutul oleh BPH Sinode GPM. Melihat perkembangan
Jemaat Marantutul dari waktu ke waktu, maka oleh Badan
Pekerja Klasis GPM Tanimbar Selatan yang pada waktu itu
baru dimekarkan menjadi dua Klasis, yaitu Klasis Tanimbar
Selatan dan Klasis Tanimbar Utara untuk menentukan
tempat persidangan Klasis yang pertama setelah pemekaran
di Jemaat GPM Marantutul. Namun, terjadi beberapa kali
penolakan dari Warga Jemaat Marantutul dengan alasan
ketidaksiapan mereka, bahkan jumlah Kepala Keluarga pada
waktu itu masih berjumlah 33 KK. Berbagai usul dan
keberatan tersebut membuat BPH Sinode GPM secara
langsung menetapkan tuan dan nyonya rumah Persidangan I

278

Klasis Tanimbar Selatan adalah Jemaat Marantutul yang
sedianya ditetapkan di Jemaat GPM Lingat. Walaupun dengan
penuh kekecewaan, warga Jemaat pun menyatakan kesiapan
mereka untuk menerima pelaksanaan persidangan Klasis
dimaksud.

Pekerjaan persiapan dimulai dengan pembuatan
gedung gereja darurat. Pada tanggal 09 Juni 1973 dilakukan
peletakan dasar bangunan gereja dan sekaligus pencanangan
tiang I gedung gereja darurat tersebut. Pada tanggal 20
Nopember 1973 gedung gereja tersebut diresmikan dan
menjadi tempat pelaksanaan persidangan Klasis Tanimbar
Selatan yang pertama. Pada tanggal 26 Mei 1974
pelaksanaan Persidangan I Klasis Tanimbar Selatan di jemaat
GPM Marantutul dibuka oleh Pdt. O. Patikawa (Sekretaris
Klasis). Pelaksanaan persidangan berlangsung sampai pada
tanggal 04 Juni 1974.

Perkembangan jemaat Marantutul pun berjalan dengan
baik dari waktu ke waktu, sehingga warga setempat
berkeinginan untuk membentuk suatu Jemaat sesuai dengan
aturan yang berlaku di Gereja Protestan Maluku. Mereka
membentuk suatu jemaat baru yang diakui dan
dilembagakan oleh Sinode GPM pada tanggal 21 Desember
1975 dan Ketua Klasis Tanimbar Selatan, Pendeta Agustinus
Latuharhary, Sm.Th, meresmikan Jemaat ini dengan 39 Kk.
Pelembagaan Jemaat GPM Marantutul menjadi Jemaat yang

279

mandiri, sudah diawali dengan pembentukan Wadah
Pelayanan Wanita (Wapewa) pada bulan Pebuari 1974.
Perjalanan pelayanan pun dilalui dengan suka dukanya. Pada
bulan April 1983 dibentuklah 2 sektor pelayanan, yaitu:
Sektor Talitakumi dan Sektor Efata, serta 4 unit pelayanan,
yaitu: Unit Thesantos, Unit Syalom, Unit Apostolos, Unit
Kabeth. Wadah Pelayanan Pria baru dibentuk pada bulan
Maret 1990.

Pada tahun 1998 Jemaat GPM Marantutul diminta
kembali untuk menjadi tuan dan nyonya rumah persidangan
Klasis pada tahun 1998. Umat pun tidak tinggal diam,
mereka membuat persiapan untuk menerima persidangan
Klasis dengan membangun lagi sebuah gedung gereja yang
bersifat semi permanen. AMGPM Daerah Tanimbar Selatan
turut mengambil bagian dalam pekerjaan pembangunan
gedung gereja ini. Pada bulan Mei 1997 pekerjaan gedung
gereja baru mulai dilakukan dengan peletakan batu alasan
oleh Pdt. F. Lasatira, S.Th dan Gereja Jemaat Marantutul yang
baru ini diresmikan pada tanggal 25 Agustus 1997 oleh
Ketua Klasis GPM Tanimbar Selatan Pdt. Z. Sedubun.Gedung
gereja ini masih tetap digunakan sampai saat ini.55

Melihat perkembangan Jemaat Marantutul yang terus
bertambah jumlah jiwanya, maka ada keinginan untuk
kembali memekarkan unit pelayan. Pada tahun 2014 dalam
persiapan pemilihan Majelis Jemaat telah diputuskan dalam

280

Sidang Jemaat untuk melakukan pemetaan terhadap unit-
unit pelayanan dan sekaligus persiapan untuk pemekaran
serta penggantian nama-nama unit pelayanan. Oleh
kesepakatan bersama dengan Tim Pemekaran dalam
Persidangan Jemaat tahun 2015, dimekarkannya unit-unit
pelayanan dari 4 unit pelayanan menjadi 6 unit pelayanan
dan sekaligus menggantikan nama-nama unit yang berlaku
hingga saat ini: yaitu, Unit Lahai Roy I, Lahai Roy II,
Maranatha I, Maranatha II, Bethesda I, Bethesda II, dengan 3
sektor pelayanan yaitu Sektor Lahai Roy, Maranatha,
Bethesda.

Pada awalnya masyarakat Marantutul telah mengecap
pendidikan yang didirikan oleh yayasan GPM yaitu Yayasan
Dr. J. B. Sitanala di Ottimer dan itu berlanjut sampai di
Marantutul. Namun, melihat perkembangan pendidikan
anak-anak Marantutul yang banyak mengalami putus
sekolah setelah tamat SD akibat tidak tahan terhadap
tantangan untuk hidup jauh dari orang tua dan hidup
bersama orang tua pengampuh, maka ada pikiran yang
muncul untuk dapat menyelamatkan anak-anak bangsa yang
ada di Marantutul. Akhirnya dalam persidangan jemaat
tahun 2013 dicetuskan sebuah keputusan dalam bentuk
seruan yang dialamatkan kepada MPK Tanimbar Selatan
untuk bekerjasama dengan Pemerintah Daerah supaya dapat
didirikan sebuah SMP di Marantutul. Pergumulan umat di

281

Marantutul terjawab pada tahun 2016 dengan didirikannya
sebuah SMP Negeri Satu Atap dengan mekanisme, SD
Yayasan Dr. J. B. Sitanala dinegerikan dan asset gereja berupa
tanah diganti oleh pihak Pemerintah Desa (tukar guling).

Mengingat gereja hadir di tengah-tengah budaya dan
juga menjadi bagian dari wilayah pemerintahan, maka
Jemaat Marantutul juga tidak lepas dari ikatan kerjasama
dengan Pemerintah Desa sebagai mitra. Ini terbukti dalam
proses-proses persiapan pelembagaan Marantutul dari
status dusun ke desa pada tahun 2009/2010, tidak sedikit
peran gereja untuk terlibat dalam proses-proses dimaksud.
Pdt. Ny. M. Tutuhatunewa/L, S.Th yang pada saat itu
melayani umat Tuhan di Marantutul sebagai Ketua Majelis
Jemaat turut mengambil bagian dalam memperjuangkan
proses peresmian desa yang hampir saja mengalami
penundaan pada saat warga masyarakat sudah siap untuk
mensukseskan persemian dimaksud.

Jemaat GPM Marantutul sampai saat ini telah dilayani
oleh 9 orang Pendeta, dari tahun 1972 sampai dengan
sekarang. Jumlah KK sebanyak 150 dan jumlah jiwa
sebanyak 533 yang tersebar dalam 6 Unit Pelayanan.
Perkembangan umat Tuhan sampai saat ini selalu diwarnai
dengan suka dan duka pelayanan, namun oleh kasih dan
penyertaan Tuhan yang menghendaki InjilNya terus mekar
di bumi Duan Lolat ini membuat proses-proses menanam

282

dan menyiram terus dilakukan dengan sukacita. Allah selalu
berkarya dalam sejarah pembentukan iman umat di
Marantutul dan wujud respons dari umat sebagai orang-
orang yang menikmati anugerah Tuhan selalu bersyukur dan
hidup dengan saling mengasihi sebagai orang basudara
dalam Tuhan.

Demikian sejarah Jemaat GPM Marantutul yang
daripadanya lahir keyakinan bahwa “Aku menanam, Apolos
menyiram, tetapi Allah yang memberikan pertumbuhan”
(1Kor. 3:6).

283


Click to View FlipBook Version