The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Dakam buku ini sepintas digambarkan penginjilan abad ke-17 dan ke-19, serta diuraikan secara berkesinambungan sejarah jemaat-jemaat dan pergumulan Kepulauan Tanimbar, khususnya Taimbar Selatan pada masa Gereja Protestan di Hindia Belanda (Indische Kerk) sampai terbentuknya Gereja Protestan Maluku (GPM) dan Klasis Tanimbar Selatan.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by johansaimimasinaga, 2021-12-12 08:17:51

Menenun Injil di Kepulauan Tanimbar: Sejarah Perkembangan Protestantisme di Tanimbar Selatan

Dakam buku ini sepintas digambarkan penginjilan abad ke-17 dan ke-19, serta diuraikan secara berkesinambungan sejarah jemaat-jemaat dan pergumulan Kepulauan Tanimbar, khususnya Taimbar Selatan pada masa Gereja Protestan di Hindia Belanda (Indische Kerk) sampai terbentuknya Gereja Protestan Maluku (GPM) dan Klasis Tanimbar Selatan.

Keywords: Injil,Protestantisme,Tanimbar Selatan

anjing yang cukup mendapat perhatian serius dari Dinas
Kesehatan. Karena itu, gereja bersama pemerintah dan dinas
Kesehatan di Puskesmas Namtabung terus melakukan
sosialisasi bahaya rabies sehingga tidak lagi muncul kasus.

Salah satu penyakit berbahaya yang akut terjadi awal
tahun 2016 yakni kasus DBD, sebanyak 5 kasus, langsung
mendapat penanganan serius dari tenaga kesehatan
Puskesmas Namtabung dan Dinas Kesehatan Kabupaten.
Penanganan tersebut dilanjutkan dengan sosialisasi DBD
pada Februari 2016 dan Foging untuk jentik nyamuk pada
awal dan akhir Maret 2016, sehingga kemungkinan
munculnya kasus baru pada waktu-waktu berikutnya
terantisipasi secara baik. Kasus HIV/AIDS sebanyak 2 orang
yang terjangkit, namun mereka telah meninggal dunia di
tahun 2015 dan awal 2016.

134

4. JEMAAT GPM ADAUT
LETAK GEOGRAFIS
Jemaat GPM Adaut secara geografis berada pada Pusat
Kecamatan Selaru, dan secara administratif berada di
wilayah Pemerintahan Desa Adaut dengan total luas wilayah
223,09 Km²; berbatasan dengan Pulau Matakus (Jemaat GPM
Matakus) di sebelah Utara, sebelah Selatan berbatasan
dengan Desa Kandar (Jemaat GPM Kandar), sebelah Barat
berbatasan dengan Desa Namtabung (Jemaat Namtabung)
dan sebelah Timur berbatasan dengan Laut Arafura.

Untuk tiba di Pusat Klasis, digunakan transportasi laut
berupa perahu, kole-kole, perahu bermotor seperti ketinting,
kapal motor kayu dan speedboat. Pada umumnya masyarakat
bergantung dengan transportasi laut; menggunakan kapal
motor kayu dengan waktu tempuh sekitar satu jam tiga

135

puluh menit. Pada musim angin dan ombak sangat sulit
melakukan perjalanan laut sehingga warga jemaat GPM
Adaut tidak melakukan perjalanan.

DINAMIKA SOSIAL BUDAYA

Konon, setelah Pulau Beresadi ditutupi air laut,
masyarakat yang mendiaminya tersebar ke berbagai daratan
di Kepulauan Tanimbar. Ada yang berlayar ke Timur dan
Barat Pulau Yamdena, kemudian membuka perkampungan
baru. Tetapi ada juga yang memilih menuju Pulau Selaru dan
beberapa pulau kecil di sekitarnya kemudian berdiam di situ.
Mereka menyebutkan perkumpulan yang baru itu sebagai
soa yang dalamnya terdapat beberapa marga yang merasa
senasib. Ikatan soa ini terganggu apabila kelompok lain
datang dan ingin menguasai wilayah yang telah lebih dulu
ditempati. Akibat perebutan wilayah ini, maka sering terjadi
saling membunuh (“mangbesar”). Mangbesar artinya
peperangan antara dua kelompok dengan menggunakan
perahu (Lebe-lebe; Kaityeman). Konflik antarkelompok ini
tidak hanya terjadi di laut tetapi juga di darat, terutama
ketika berpapasan.

Setelah ada keinginan untuk hidup bersama yang
didasari oleh kesepakatan atau sumpah yang diucapkan
dengan bersaksi kepada para leluhur yang telah lebih dulu

136

meninggal dunia, bahwa wilayah atau petuanan masing-
masing soa merupakan harta milik bersama, maka mereka
boleh berbaur dan berusaha pada petuanan yang ada secara
bersama tanpa harus mengklaim bahwa itu petuanan atau
wilayahnya. Kesepakatan ini kemudian mengantarkan
mereka untuk hidup bersama pada satu wilayah yang
disebut Pnue Batfeny. Setelah menempati lokasi itu,
kemudian mereka bersepakat untuk berpindah ke lokasi
yang dikenal dengan nama Tnyetak atau: Bulur Tubun. Di
lokasi yang baru ini mereka tidak bertahan lama. Konon,
diakibatkan oleh penyerangan masyarakat dari ”Kampung
Alusi”. Setelah peristiwa penyerangan terjadi, mereka
memilih untuk menempati lokasi tempat tinggal mereka
yang awal yakni Pnue Batfeny (sekarang dikenal dengan
sebutan “kampung lama” atau “negeri lama”. Sebutan lain
yang akrab diucapkan untuk tempat tinggal mereka sekarang
yaitu Ondjout atau non yoyout yang artinya: “datang seperti
ombak panggil”. Ombak panggil dan memecah di pantai
dalam bahasa Yamdena disebut adoot. Menurut mereka,
karena sulitnya tentara Belanda mengucapkan adoot, maka
dipermudah dengan mengucapkan “Adaut”, dan
dipertahankan sampai sekarang.

Setelah mereka hidup dalam satu lingkungan yang
disebut “kampung” atau “Desa Adaut”, maka dibentuklah
empat soa, yaitu: Soa Onjout, Soa Owear, Soa Nuslare dan Soa

137

Lauran. Kemudian empat soa itu melebur menjadi sepuluh

soa, yakni: Soa Onjout terbagi 3, yaitu: Soa Osife, Soa Olime,

dan Soa Mitak. Kemudian Soa Owear terbagi 3, yaitu: Soa

Owear Nifmasse, Soa Owear Arunglele, Soa Owear Kelane. Dan

Soa Lauran terbagi 3, yakni: Soa Sarwempun, Soa

Botunempun, Soa Toyempun; dan Soa Nuslare.

Hampir tidak berbeda dengan kampung-kampung lain

di Kepulauan Tanimbar, masyarakat Adaut mempraktikkan

tradisi Duan Lolat serta Ure-Anak yang artinya “hidup dalam

kebinekaan tetapi tetap satu dalam ikatan adat” dan karena

itu semua warga masyarakat wajib mempraktikkan pola

kehidupan ini sebagai bagian dari praktik adat yang

sesungguhnya telah diwariskan turun-temurun oleh para

leluhur. Adat tersebut merajuk dalam semua sisi kehidupan

masyarakat, seperti: perkawinan, perceraian,

perselingkuhan, perzinahan, pelecehan, pencurian, penipuan,

pembunuhan, penghinaan, maki-makian dan pengrusakan.

Ketika masyarakat mengalami persoalan-persoalan tersebut,

mereka dapat menyelesaikannya secara adat. Biasanya

dibedakan mana yang dapat ditangani oleh Duan dan mana

yang ditangani oleh Lolat serta Ure dan Anak, sehingga dapat

menempatkan diri sesuai fungsi dan peran masing-masing,

karena dengan penempatan fungsi dan peran, semua

persoalan dapat diselesaikan.

138

Hal lain yang ditinggalkan para leluhur masih dapat
direspons berkaitan dengan pekerjaan Masyarakat Adaut
sebagai petani yang sehari-harinya hidup di tnyafar. Tnyafar
merupakan tempat kelompok tani menetap dan hidup untuk
sementara waktu selama masa berkebun. Kehidupan di
tnyafar merupakan salah satu model yang khas di Jemaat
GPM Adaut. Sebagian besar anggota jemaat memusatkan
pekerjaan pokoknya di tnyafar yang tersebar di berbagai
tempat dan pulau di sekitar Pulau Selaru. Keberadaan
anggota jemaat di tnyafar kadang cukup memberikan
pengaruh bagi implementasi program pelayanan yang
memang butuh perhatian serius, misalnya ibadah unit,
sektor, wadah pelayanan laki-laki dan perempuan, terutama
bina keluarga. Selama kurang lebih seminggu, sejak Senin
sampai Sabtu, aktifitas jemaat lebih berpusat di rumah
kebun. Sebagai petani tentu aktifitas yang dikerjakan
berkaitan dengan cocok tanam dan berkebun. Pada
umumnya, para petani masih menggunakan sistem pertanian
tradisional.

Pekerjaan di kebun membutuhkan waktu cukup lama,
apalagi jarak tempuh dari tempat kebun ke kampung sangat
lama. Dengan menggunakan alat transportasi perahu motor
tempel (bodi dengan mesin ketinting) dan bodi motor. Dalam
praktik, masyarakat Adaut (khusus petani) masih
melaksanakan tradisi yang diteruskan dari leluhur berupa

139

tradisi syukur kebun baru. Tradisi ini dilakukan sebagai
bentuk pengucapan syukur atau perayaan makan bersama
terhadap panen pengolahan kebun baru untuk tanaman
jagung atau ubi. Tradisi syukur kebun baru lahir sejak dulu,
dari kebiasaan yang bertumbuh pada kelompok sosial
masyarakat Adaut yang mata pencahariaannya bertani.
Dimulai dengan sistem pertanian tradisional yang sekarang
masih dikenal masyarakat Adaut yakni berhuma, yaitu tanah
yang baru ditebas hutannya atau teknik bercocok tanam
dengan cara membersihkan hutan dan menanamnya.

Setelah tanah tidak subur mereka pindah dan mencari
bagian hutan atau lahan lain. Kemudian mereka mengulangi
pekerjaan membuka hutan atau lahan yang baru, demikian
seterusnya. Lahan yang baru ditebas itu dipilih dan
dibersihkan secara bersama-sama oleh kelompok tani
setempat. Kelompok tani ini dipimpin langsung oleh seorang
kepala tnyafar. Sebagai pemimpin, kepala tnyafar berperan
mengorganisir kelompok taninya sejak awal penentuan
lahan baru, pembersihan lahan, menanam bibit, menjaga,
memperhatikan dari gangguan hama dan serangga perusak
tanaman, panen hasil hingga syukur kebun baru. Semua
dilakukan bersama-sama dengan maksud agar waktu panen
hasil pun dapat dilakukan serempak dan bersama-sama agar
perayaan syukur kebun baru dapat berjalan sesuai waktu.

140

Relasi dan kebersamaan itu tercipta sampai saat
perayaan syukur kebun baru dilakukan dengan
mempersiapkan perayaannya, juga hasil panen berupa
tanaman jagung atau ubi yang diolah menjadi makanan siap
saji; ubi rebus dan lele atau jagung muda yang ditumbuk
halus, dicampur kelapa parut, dibungkus kulit jagung,
kemudian dikukus. Semuanya dikumpulkan dan
mengundang tamu seperti Muspika, Pemerintah Desa dan
Pimpinan Instansi atau Organisasi, Golongan, Kelompok Tani
lain, termasuk menghadirkan pihak Majelis Jemaat untuk
memimpin ibadah. Sebetulnya tradisi ini dilakukan sebagai
bentuk kesadaran budaya setempat terhadap pewarisan nilai
budaya dari leluhur kepada generasi penerusnya. Selain itu,
ada pemahaman bahwa ungkapan syukur yang dilakukan itu
merupakan sebentuk keyakinan terhadap Ratu atau Tuhan
Pencipta Semesta yang merestui, memberkati dan menjawab
permintaan mereka dengan memberikan hasil panen
melimpah sehingga harus disyukuri dan dirayakan secara
bersama-sama.

AGAMA KRISTEN PROTESTAN DI ONDJOUT

Menurut tuturan masyarakat, tumbuhnya Injil di
ondjout berkaitan erat dengan masa penjajahan Belanda di
Kepulauan Tanimbar, terutama di beberapa wilayah yang

141

dijadikan Pusat Pemerintahan Belanda. Wilayah Seira
misalnya, dalam tahun 1881 telah ditempatkan seorang
Kepala Pemerintahan pertama bernama Baroend Soumokil,
tetapi beberapa bulan kemudian meninggalkan Seira karena
pertikaian antara lima desa yang memperebutkan hasil laut
di Pulau Sukter, Yayaru, Ngolin. Setelah Barend Soumokil
pergi, maka oleh Residen De Hiting menunjukan Tuan Moses
Krome yang jabatanya saat itu sebagai Juru Tulis di Tepa,
diperintahkan ke Seira sebagai Kepala Pemerintahan kedua
pada tahun 1882. Pada tahun 1895, pertikaian kembali
terjadi antara lima kampung di Pulau Seira, namun Tuan
Wesplat bersama dua Agen polisi berhasil mendamaikan
pertikaian tersebut. Pada tahun 1896, pertikaian lima desa
itu kembali terjadi akibat memperebutkan hasil laut di Pulau
Sukler, Yayaru, Ngolin seperti Teripang, Lola dan Batu Laga.

Kenyataan itu membuat Tuan Wesplat memutuskan
untuk mengungsi ke Adaut pada awal Agustus 1896 dan
menjadi Kepala Pemerintahan pertama di Adaut. Hadirnya
Wesplat di Adaut, membuka babak baru dalam perjalanan
Ondjout. Kehadirannya selain menjalankan misi penjajahan,
sekaligus menjalankan misi penyebaran Agama Kristen
Protestan. Sejak itu, masyarakat Ondjout mengenal
kekristenan.

Kemudian pada tahun 1902, datang Tuan Verman
menggantikan Tuan Wesplat yang saat itu dimutasikan ke

142

Damer. Pada tahun 1904, Conroleur Yasen Van Roy dibantu
oleh Komandan Krome memerintahkan Tuan Lina untuk
menggantikan Tuan Verman. Tuan Lina berada di Adaut
sejak 1904-1907 dengan menjalankan kekuasaan “Tangan
Besi”. Sampai tahun 1907 itulah Tuan Lina dipanggil dan
digantikan oleh Hogman Khenkenius dan Eisering.
Pemerintahan mereka berlangsung dari 1907-1908. Selama
masa pemerintahan, pengetahuan masyarakat Adaut tentang
Agama Kristen Protestan makin kaya. Mereka kemudian
digantikan oleh “Tuan Krome” (1909-1911).

Di awal Pemerintahan Krome sebagai Kepala
Pemerintahan di Adaut, ditempatkan pula seorang pengajar
Agama Kristen Protestan, yaitu Amahorsea. Tuan Krome
meninggalkan Adaut dan pindah ke Lakateru (sekarang:
Petuanan Olilit) 1912. Dari Lakateru, beliau pindah lagi dan
menjadi Kepala Pemerintahan pertama di Saumlaki pada
tahun 1921. Kurang lebih 15 tahun Pemerintahan Belanda di
Adaut, wilayah ini dijadikan jalur Perdagangan Internasional
antara Barat dan Timur, yaitu Belanda, Portugis dan Cina.
Hasil yang biasa diangkut dari Adaut ke luar negeri berupa
padi, garam dan tanduk penyu.

Sejak tahun 1934-1937 dibangunlah beberapa gedung
geraja darurat yang bertempat di Weri berdinding Palupu -
lokasinya tepat di rumah Bpak. Andarias Korpau (sekarang),
di Tubun - berlokasi di tempat Bpk. O. Sanamasse (sekarang),

143

dan satu gereja darurat dibangun dan berlokasi di sekitar
rumah Bpk. Cristopol Titirloloby (sekarang). Bangunan ini
memiliki dua ruangan, masing-masing difungsikan sebagai
tempat ibadah dan sekolah. Setelah itu, dibangun satu lagi
gereja semi permanen yang diberi nama “Maranatha”;
diawali dengan peletakan “batu bermula” pada 17 Februari
1937, dan diselesaikan pada 29 November 1939. Gedung

Gereja Maranatha digunakan ± 3 (tiga) tahun,
kemudian dibom oleh pasukan Jepang sehingga mengalami
rusak berat. Kehadiran Jepang di Adaut memberi dampak
tidak nyaman untuk masyarakat. Ketidaknyamanan
masyarakat saat itu diperunjing dengan peperangan antara
Jepang melawan Sekutu. Situasi ini mengharuskan
masyarakat menyelamatkan diri dan menghindar ke Tnyafar.
Setelah Jepang takluk ada Sekutu, situasi Adaut perlahan
membaik, barulah mereka memilih kembali ke kampung dan
bersepakat membangun kembali gedung gereja yang baru.
Akhirnya gereja itu dirobohkan dan dibangun tempat ibadah
sementara di sekitar kantor desa sekarang. Setelah selesai
membangun gereja berkonstruksi semi parmanen, gedung
gereja yang baru itu diberi nama Gereja Elim.

Malang tak bisa ditolak – untung tak bisa diraih,
kenyataan yang harus dihadapi jemaat yaitu runtuhnya
gedung Gereja Elim diterpa angin Topan pada tahun 1960.
Karena keinginan dan motivasi yang tinggi dari warga

144

jemaat, mereka sepakat membangun gedung gereja dan
diberi nama Imanuel. Pada tahun 1998 gedung gereja
Imanuel (semi permanen) dibongkar dengan tujuan
membangun gedung gereja permanen. Dan, pada 12 Oktober
2000 dilakukan Ibadah Peletakan Batu Penjuru Gedung
Gereja yang baru. Setelah melewati pergumulan ± 13 tahun,
gedung gereja Imanuel yang baru diresmikan pada 3 Maret
2013 bersamaan dengan pelaksanaan Persidangan Ke-39
Klasis Tanimbar Selatan.

Kesadaran terhadap penataan aktifitas pelayanan di
jemaat perlahan-lahan mulai terbangun seiring pergantian
para penginjil dan pendeta yang bertugas di Adaut. Wilayah
tubun (depan kampung) dan weri (belakang kampung)
merupakan cikal bakal pengorganisasian aktifitas pelayanan,
yakni “kelompok tubun dan kelompok weri”. Hampir semua
aktifitas pelayanan dikelompokkan berdasarkan pembagian
dua wilayah ini, yakni wijk tubun dan wijk weri. Setelah wijk,
pengorganisasian dua kelompok ini diatur untuk dua
“sektor” yakni, Sektor Tubun dan Sektor Weri. Aktifitas yang
dilakukan masih didominasi dengan “Ibadah Sektor” selain
Ibadah Ahad (Ibadah minggu untuk orang dewasa) dan
Sekolah Ahad (Ibadah minggu untuk anak-anak) yang
dilakukan secara bersama setiap hari minggu pagi.

Untuk merekatkan kekerabatan Kaum Perempuan dan
kekerabatan antara kaum Laki-laki di Adaut, maka dibentuk

145

Wadah Perempuan dan Wadah Laki-laki. Selanjutnya
dibentuk Paduan Suara “Petra”, kemudian melebur menjadi
Ebenhaezer dan Fiatorum sebagai cikal bakal Paduan Suara
Wadah Perempuan Jemaat dan “Maningkor” sebagai cikal
bakal Paduan Suara Wadah Laki-laki.

Jauh sebelum Kaum Muda Jemaat terorganisir dalam
Angkatan Muda GPM “Ranting Ebenhaezer” yang
berkedudukan di Tubun dan Ranting Satya Wacana yang
berkedudukan di Weri sebagai cikal bakal “Berangkatan
Muda”; aktifitas-aktifitas antarpemuda dilakukan dan
bersifat lintas kampung.

Sampai 2018, Jemaat Adaut terdiri dari 1.134 KK dan
4.801 jiwa yang terorganisasi dalam 14 Sektor, yaitu “Sektor
Satu” sampai “Sektor Empat Belas” yang tersebar dalam 28
Unit Pelayanan: Unit Teberias, Talitakum, Betania,
Oraetlabora, Nazaret, Betfage, Efata, Maranatha, Betlehem,
Siloam, Betsaida, Eden, Gihon, Diáspora, Dekapolis, Laharoy,
Karmel, Elsaday, Gloria, Elim, Sion, Syalom, Silo, Getsemani,
Galilea, Hermon dan Hebron. Para pelayan yang melayani di
Jemaat GPM Adaut juga terorganisasi dalam badan-badan
pelayanan, seperti: Majelis Jemaat, Bakopel Sektor, Pengurus
Unit, Pengurus Wadah Pelayanan Perempuan, Pengasuh dan
Badan Pembantu Pelayanan seperti Sub Komisi Pelayanan
Perempuan dan Sub Komisi Laki-laki, serta Panitia-panitia
untuk pelaksanaan Persidangan Jemaat, Perayaan Hari-hari

146

Besar Gerejawi di tingkat jemaat, Tim pengajar Katekisasi,
semuanya terpola dalam suatu Pola Organisasi GPM di
Tingkat Jemaat.

Sambil tetap bergandengan tangan bersama Pelayan
dan Warga Jemaat untuk terus menanam dan menyiram,
maka gereja semakin berkembang kendati menghadapi
banyak tantangan dan hambatan. Karena keyakinan bahwa
Allah dalam Yesus Kristus selalu memberi pertumbuhan, dan
selalu hidup dalam dinamika gumul Jemaat GPM Adaut,
karena Ratu Nor Kit Monuk Dedesar – Tuhan Menolong
Kita.

147

5. JEMAAT GPM LATDALAM

LETAK GEOGRAFIS

Secara administratif, Jemaat GPM Latdalam berada di
Desa Latdalam, Kecamatan Tanimbar Selatan, Kabupaten
MTB. Kedudukan Jemaat berada di pesisir Barat pulau
Yamdena. Batas-batas Jemaat GPM Latdalam, yaitu: sebelah
Timur berbatasan dengan Jemaat GPM Lermatang, sebelah
Barat dengan laut, sebelah Utara dengan jemaat GPM
Marantutul dan sebelah Selatan dengan laut. Untuk mencapai
Desa atau Jemaat GPM Latdalam dari pusat Klasis (Saumlaki)
yang jaraknya ± 40 km, dapat ditempuh dengan
menggunakan transportasi darat ± 1 jam 30 menit
perjalanan dan jika menggunakan transportasi laut ± 2 jam
30 menit.

Penduduk Latdalam (Urlatu) tidak hanya berasal dari
suatu daerah tertentu, tetapi dari Yamdena Barat, Selaru
(orang-orang Weslyeta) dan dari Pulau Selu. Awalnya orang-
orang itu tinggal berpindah-pindah (desa Lorulun, Amtufu ke
Lermatang). Baru sekitar tahun 1880, melalui kesepakatan
bersama, Latdalam (Urlatu) disepakati sebagai tempat
pemukiman tetap (± 3 Km arah Utara) dari pemukiman
sekarang. Demi mempererat hubungan persaudaraan orang
Latdalam, dibentuklah Soa-soa (Olinger Otarempun,

148

Batulelempun Lole, Mamdikyora, Mahoak, Anausu, Resa,
Rumday, Mahaluruk).

Sebelum Latdalam ditempati sebagai tempat hunian
masyarakat, pada tahun 1953 proses pencarian lokasi hunian
dilakukan oleh masyarakat. Perpindahan dari lokasi
pemukiman ke tempat baru atas inisiatif Bpk. M. Anenyaman
Solarbesain dan Bpk. Melaka Takdare, karena beberapa
faktor penyebab antara lain lokasi pemukiman yang lama
tidak memadai, sumber air cukup jauh (sungai Bubulain dan
mata air Weturleli) untuk dijangkau masyarakat. Mulanya
keinginan ini ditolak oleh pemerintah desa, namun karena
dukungan, persetujuan dan desakan dari Pemuda Urlatu,
maka pemerintah desa menyetujuinya.

Setelah keinginan untuk pindah ke lokasi pemukiman
baru yang telah disetujui oleh pemerintah desa, maka
dibentuklah Panitia Perpindahan ke kampung baru yang
beranggotakan 8 orang: Bpk. Baltasar Bururu Tahitmasama
Nanariain, Bpk Daniel Tukanduan Luturmas, Bpk. Daniel Irih
Taimasama Luturyali, Bpk. Yakonias Saidul Refualu, Bpk.
Marten Akasama Dasfordate, Bpk. Amram Ahurarama
Bulurditi, Bpk. Simon Petrus Manuyar Dasmasela dan Bpk.
Dominggus Sozmalai Rangkoratat. Dari hasil kerja panitia
bersama seluruh penduduk Latdalam, maka pada Juli 1957
dilaksanakan pembukaan dan pembersihan lokasi
pemukiman desa baru yang dipimpin oleh Pdt. M. Manuhutu,

149

mewakili Ketua Klasis GPM Tanimbar Selatan dan Kepala
Desa, Bapak Lempar Andityaman Solarbesain. Sejak tahun
1957 sampai 1959 dilakukan pembangunan perumahan
penduduk pada lokasi pemukiman yang baru. Dan, pada 4
Oktober 1959, jam 12 tengah malam Acara Perpindahan
dilaksanakan secara gerejawi dari gereja lama ke pusat
kampung yang dipimpin oleh Pdt. L. Y. Taihutu dan Kepala
Desa Bpk. Lempar Andityaman Solarbesain.

AGAMA KRISTEN PROTESTAN MASUK LATDALAM

Di zaman Hindia Belanda, Latdalam dikenal sebagai
Lokdalam pada saat para leluhur bersebar mencari tempat
tinggal yang baru akibat tenggelamnya pulau Beirsadi.
Namun, menurut penduduk setempat, kata “Latdalam”
berasal dari “Latudalam” atau “Urlatu” yang artinya “rumput
laut”, karena perairan di pelabuhan Latdalam dan sekitarnya
ditumbuhi rumput laut.

Menurut tuuturan beberapa orang tua, Injil dibawa
masuk di Latdalam oleh Guru Injil Ekber Pentury pada 7
Agustus 1905. Saat Guru Injil Ekber Pentury melayani di
Latdalam, orang-orang yang pertama menerima Injil Yesus
Kristus pada saat itu antara lain: Ilngei Alubwaman Sambonu
yang pada saat itu dipercayakan sebagai pemimpin rakyat
atau orang kaya (Kepala Desa), Alalyena Kotngoran yang

150

adalah isteri Ilngei Alubwaman, Tanlout Takdare (Kepala
Soa), Mayot Kelbulan, Lembar Solarbesain (Kepala Soa),
Atunenan Marian (Isteri Lembar Solarbesain), Farakaman
Samaran (Kepala Soa), Bunelyenan Batmanlusi (isteri
Farakaman), Nelikurun Oratmangun (Kepala Soa), Baiwarat
Rangkoratat (isteri Nelikurun), Aboyaman Bulurditi (Kepala
Soa), Tahitmasena Alaslan (isteri Aboyaman), Manlusyaman
Nanariain (Kepala Soa), dan Aratwenan Bulurditi (isteri
Manlusyaman).

Setelah mereka menerima Injil Yesus Kristus, maka
pemimpin rakyat dan staf pada saat itu dibaptis pada 8
Agustus 1905, yakni: Ruben Sambonu, Selpensina Kotngoran,
Tontji Takdare, Dolfina Kelbulan, Lambert Solarbesain,
Arjantji Marian, Frans Samaran, Ribka Batmanlusi, Simson
Oratmangun, Adelina Rangkoratat, Hermanus Bulurditi,
Ludia Alaslan, Jakobus Nanariain, Adrana Bulurditi.

Sesudah pemimpin rakyat (orang kaya) bersama
seluruh staf dibaptiskan, Guru Injil Ekber Pentury mulai
menginjili seluruh masyarakat Latdalam., dan berhasil
dibaptiskan secara masal pada 5 September 1905 di Iluteran
(alun-alun desa). Untuk menjawab kebutuhan pendidikan
masyarakat setelah menerima Injil, maka pada 1 Agustus
1909 didirikan pendidikan Sekolah Rendah yang dilakukan
oleh Gereja Protestan di Latdalam.

151

Perkembangan sejak masuknya Injil di Latdalam
berjalan baik. Anggota Jemaat GPM Latdalam membangun
kesadaran bersama untuk terus memupuk persekutuan
sebagai orang saudara tanpa membedakan asal-usul, dan
hidup dalam semangat gotong-royong. Semangat ini yang
kemudian mendorong anggota jemaat berupaya membangun
bangunan sebagai tempat ibadah, sekaligus dijadikan
sekolah pada waktu itu. Bersamaan dengan berpindahnya
penduduk Latdalam ke tempat pemukiman yang baru
(pemukiman penduduk saat ini), maka bangunan yang
dijadikan sebagai tempat ibadah dan difungsikan sebagai
sekolah itu pun turut dipindahkan.

Setelah anggota jemaat Latdalam menempati
pemukiman yang baru (saat ini), mereka telah dipersatukan
dalam pelayanan Gereja Protestan Maluku, kemudian
melembaga sebagai jemaat GPM. Pernah mengalami
persoalan karena sekitar tahun 60-an sampai tahun 70-an
jemaat ini diperhadapkan dengan masuknya denominasi lain
(GKPII) yang dibawa oleh orang Latdalam sendiri; melalui
pendekatan kekeluargaan, sehingga ada sebagian kecil warga
yang awalnya adalah warga GPM beralih ke GKPII. Selain itu,
ada jemaat yang masuk menjadi anggota Jemaat Advent.
Tidak dapat disangkali bahwa hadirnya denominasi lain
turut berakibat negatif bagi kehidupan masyarakat dalam
persekutuan desa, serta merugikan masyarakat Latdalam

152

yang mulanya merupakan satu keluarga besar. Namun,
kondisi ini tidak menyurutkan semangat jemaat Latdalam
untuk membangun persekutuan sebagai warga GPM.
Semangat ini yang kemudian melahirkan tekad bersama
untuk membangun sebuah gedung gereja baru untuk
mengantikan gedung gereja lama yang tidak lagi mampu
menampung jumlah warga jemaat Latdalam.

Pada 5 Juni 1980 dalam kepemimpinan Pdt S. Kalabory,
Sm.Th selaku Ketua Majelis Jemaat dilakukan akta peletakan
batu penjuru pembangunan gedung gereja. Pembangunan ini
memakan waktu 16 tahun, dikarenakan keterbatasan
anggaran. Sekalipun demikian, warga jemaat Latdalam terus
berupaya dengan memanfaatkan hasil alam, baik laut
maupun darat/hutan untuk dikelola sebagai sumber
pendapatan dalam membantu penyelesaian pekerjaan
pembangunan gedung gereja baru. Atas perkenaan Tuhan,
gedung gereja baru yang kemudian diberi nama Bethel dapat
diselesaikan dan ditahbiskan pada 24 Nopember 1996 oleh
BPH Sinode yang diwakili oleh Pdt. M. Siahaya, S.Th
(Sekretaris Umum). Dengan ditahbiskannya gedung gereja
baru, maka gedung gereja lama dijadikan tempat pembinaan
bagi anak-anak SMTPI. Gedung gereja Bethel ini difungsikan
selama ± 21 tahun sebagai tempat persekutuan, pelayanan
dan pembinaan umat, kemudian pada tahun 2017 dilakukan

153

renovasi karena pada beberapa bagian bangunan mengalami
kerusakan.

Tidak hanya renovasi gedung gereja Bethel, tetapi
jemaat GPM Latdalam terus berbenah diri melengkapi
berbagai sarana prasarana pelayanan di jemaat. Salah
satunya adalah membangun pastori jemaat untuk menjawab
tuntutan pelayanan. Hal ini dilakukan untuk menjawab
keputusan MPH Sinode GPM pada tahun 2011, yang
menetapkan dua pendeta di Latdalam yang pada saat itu
hanya baru memiliki satu pastori. Sebelum dibangun Pastori
Jemaat yang kedua, rumah Kel. Falirat digunakan sebagai
tempat hunian sementara Pdt. Ny. J. Boinsera/T, S.Th
(Pendeta Jemaat).

Harapan untuk memiliki pastori jemaat melengkapi
fasilitas yang ada justru mendapat respons positif dari warga
jemaat. Mereka mencari dana lewat berbagai aksi, baik
pekerjaan fisik (pengecoran bangunan, penarikan bodi-bodi
motor) maupun penjualan padi. Hasil pendapatan dari
seluruh pekerjaan itu digunakan untuk pembangunan
pastori jemaat. Pada tanggal 22 Maret 2015 dilaksanakan
peletakan batu alasan pembangunan pastori dua jemaat.
Dalam tenggang 6 bulan, pekerjaan pembangunan pastori 2
jemaat GPM Latdalam ini dapat diselesaikan, dan pada 24
Nopember 2015 dilaksanakan pengresmiannya.

154

Perkembangan Jemaat GPM Latdalam sejak keluar dari
kampung lama dan menetap di kampung baru (kini)
berlangsung baik, sehingga telah memiliki 6 sektor
pelayanan dengan 12 unit pelayanan. Seiring bertambahnya
jumlah jiwa jemaat, maka diputuskan untuk dilaksanakan
pemekaran sektor yang awalnya hanya 6 sektor menjadi 7
sektor dengan 14 unit pelayanan. Malah, dalam
perkembangan, sejak 2013 telah dibuka satu pemukiman
masyarakat baru (pemukiman nelayan) yang jaraknya
sekitar 7 Km dari jemaat induk dan saat ini ditempati 50 KK,
di antaranya ada sebanyak 30 Kk warga GPM. Untuk
menjawab kebutuhan pelayanan yang makin berkembang,
maka dalam persidangan ke-29 tahun 2015 ditetapkan lokasi
pemukiman nelayan sebagai sektor pelayanan yang baru
(Sektor 8) dengan 2 unit pelayanan. Karena letak sektor 8
yang cukup jauh dari jemaat induk, maka dalam percakapan
dengan MPK dan melalui koordinasi MPK dengan MPH
Sinode disetujui untuk ditahbiskan dua tenaga pelayan
(berdasarkan SK MPH Sinode) dalam jabatan penatua yang
kebetulan adalah sikondus hasil pemilihan Majelis Jemaat
periode 2015-2020 yang bermukim di sektor 8.

Sementara perkembangan wadah pelayanan sampai
saat ini terdapat 2 sektor pelayanan laki-laki dan 2 sektor
pelayanan perempuan. Untuk Angkatan Muda, di jemaat
memiliki 1 cabang dengan 5 ranting, begitu juga dengan

155

perkembangan SMTPI sampai saat ini memiliki 4 jenjang.
Dalam perkembangan, hingga kini jemaat Latdalam memiliki
jumlah 475 KK, 1882 jiwa dengan perincian: Laki-laki
sebanyak 928 dan perempuan sebanyak 954. Terkait
perkembangan pendidikan, sejak tahun 1909 telah ada di
Latdalam SD Kristen I Latdalam, kemudian pada 1973 dibuka
lagi SD Kristen II, namun karena berbagai faktor termasuk
ketersediaan tenaga pengajar, maka pada Agustus 2016 dua
lembaga pendidikan Kristen dimerjerkan (disatukan).

Sadar bahwa perkembangan pelayanan jemaat
Latdalam sejak awal terbentuk sampai saat ini tidak lepas
dari berbagai persoalan, namun patut disyukuri karena
Tuhan tidak pernah meninggalkan jemaat Latdalam hingga
saat ini; Malah jemaat terus berbenah termasuk
mempersiapkan diri dalam pelayanan gereja yang
dipercayakan kepada Jemaat GPM Latdalam, sebagai tempat
penyelenggaraan MPP ke-31 AMGPM. Dalam seluruh gerak
pelayanan jemaat GPM Latdalam, selalu diinspirasi oleh
motto GPM: “Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah
yang Memberi Pertumbuhan” (1Kor. 3 : 6).

156

6. JEMAAT GPM KANDAR

LETAK GEOGRAFIS

Secara geografis Jemaat GPM Kandar terletak di pesisir
Timur Pulau Selaru. Jemaat ini sebelah Utara berbatasan
dengan wilayah pelayanan jemaat GPM Adaut, sebelah
Selatan dengan Jemaat GPM Lingat dan sebelah Barat dengan
Jemaat GPM Namtabung, sedangkan sebelah Timur
berbatasan dengan Laut Arafura. Jalur yang biasa ditempuh
untuk ke pusat klasis bisa melalui desa atau jemaat Adaut,
tetapi juga mengunakan jasa motor laut dari Desa Kandar
kurang lebih 3 jam pelayaran. Jalur lainnya dengan
menggunakan transportasi darat kurang lebih satu jam
perjalanan, setelah itu melanjutkan perjalanan ke pusat
Klasis dengan menggunakan alat transportasi laut
(speed/motor), dengan jarak tempuh 45-120 menit.

Nama Kandar berasal dari bahasa daerah setempat
“Gadar” yang berarti “saya melarang”. Munculnya nama
Kandar terdapat keluarga pertama yang menemukan lokasi
ini dan mencanangkan daun kelapa muda (gadar) sebagai
tanda bahwa tempat ini menjadi miliknya. Gadar yang
dicanangkan adalah tanda larangan kepada orang lain untuk
masuk atau menghuni tempat tersebut. Bermula dari istilah
gadar (semacam sasi), nama ini kemudian berkembang
menjadi Kandar.

157

Dilakukan pemancangan sasi karena sering terjadi
perang antarsuku atau antarkelompok untuk merebut
kekuasaan, tempat, harta benda, dll. Berdasarkan cerita yang
berkembang di masyarakat, sebelumnya Desa Kandar
merupakan tempat yang tidak berpenghuni ketika
ditemukan oleh penghuni pertama pada tahun 1600.
Penghuni ini kemudian menetap di tempat tersebut sampai
terbentuk desa seperti sekarang. Pimpinan masyarakat
Kandar yang pertama, 1650-1680: Bonar Aboyaman dari
marga Halirat (Mafoak). Selanjutnya, kepemimpinan
masyarakat (kini desa) bergantian antarbeberapa marga.21

AGAMA KRISTEN PROTESTAN MASUK DI KANDAR

Setelah masyarakat Kandar menjadi satu, mulailah
aktifitas pekabaran Injil dilakukan kepada mereka. Pada
tahun 1911 Guru Jemaat Ekber Pentury melakukan aktifitas
pekabaran Injil kepada orang-orang Kandar. Ia berhasil
melakukan baptisan pertama kepada seorang masyarakat
Kandar, yakni Esau Masrikat. Setelah itu, beliau ke Lingat dan
dalam waktu yang cukup lama, Guru Injil Pentury kembali ke
Kandar dan baptisan dilakukan kepada keluarga Bpk. Esau
Masrikat bersama masyarakat negeri Kandar yang lain pada
24 Oktober 1913. Setahun sebelumnya (1912), Sekolah
Kristen Protestan dibuka di Kandar. Guru yang mengajar di

158

sekolah biasanya adalah Guru Jemaat. Jadi mereka
melaksanakan tugas rangkap sebagai Guru Jemaat sekaligus
Guru Sekolah.22

PEMBANGUNAN GEDUNG GEREJA DAN PELAYANAN
JEMAAT

Sebelum adanya gedung gereja, ibadah jemaat Kandar
dilaksanakan di alun-alun negeri, kemudian ibadah
dilaksanakan dalam gedung sekolah namun dilarang oleh guru
dengan cara memalang pintu sekolah. Akhirnya, anggota
jemaat mengadakan rapat dan memutuskan untuk
membangun gedung gereja. Jemaat mulai bekerja membangun
gereja yang terbuat dari papan, sejak tahun 1927-1937 pada
masa pelayanan Penginjil Siahaya. Setelah gedung gereja
selesai dan digunakan oleh umat untuk beribadah, Penginjil
Siahaya diganti oleh penginjil Wattimena, yang bertugas dari
tahun 1937 -1940. Semenjak itu, rotasi pelayanan di Jemaat
Kandar berlangsung terus-menerus, walaupun ada kendala
yang dihadapi hingga kini.

Aktifitas pelayanan terhadap jemaat berlangsung
dengan baik di bawah tanggung jawab Guru Jemaat, namun
ada masa di mana kekosongan pelayan dirasakan selama 12
tahun. Tidak ada penginjil yang memimpin jemaat sehingga
Wakil Majelis Jemaat, Pnt. Alexsander Masela menjalankan
tugas sebagai pemimpin jemaat sejak 1956-1969.

159

Pada masa kepemimpinan Pnt. Masela, jemaat Kandar
mengalami bencana alam. Angin topan menghantam rumah
penduduk dan bangunan gereja mengalami rusak berat.
Akhirnya, jemaat melaksanakan kebaktian di bawah pohon
sukun, halaman rumah Bpk. Alexsander Halirat. Menyikapi
kondisi sedemikian, maka anggota jemaat bersepakat
membangun gedung gereja baru pada masa kepemimpinan
Bpk. Pnt. Alexander Masela. Gereja tersebut selesai
dikerjakan dan diresmikan dengan nama Maranatha. Ibadah
jemaat berlangsung dalam gedung gereja yang baru. Sejak itu
penataan pelayanan jemaat mulai diberlakukan, seperti
pembentukan unit pelayanan berdasarkan lima soa yang ada
di Negeri Kandar, antara lain: Unit Afianak dengan diketuai
oleh Nikodemus Saiselar, Unit Mafoak diketuai oleh Markus
Oratmangun, Unit Anausu diketuai oleh Lamekh Lurusmanat,
Unit Masopa diketuai oleh Hubertus Masela, Unit Efyoar
diketuai oleh Kristofol Lodarmase.

Kemudian terjadi pergantian nama unit menurut nama
Soa di atas dengan nama-nama yang akrab dalam gereja pada
saat penginjil L. Lerebulan melaksanakan tugas di jemaat
Kandar (1969-1973). Selain itu, terjadi penambahan satu
unit dan satu ketua unit. Nama-nama unit yang mengalami
perubahan dan penambahan tersebut, adalah: Unit Doulos
(Sebelumnya: Afianak), Unit Talitakumi (Sebelumnya:
Mafoak), Unit Sebaoth (Sebelumnya: Anausu) yang diketuai

160

oleh Bpk. Yosephat Lurusmanat, Unit Apostolos
(Sebelumnya: Masopa), Unit Soar/Keluputan (Sebelumnya:
Efyoar), Unit Deaspora yang diketuai oleh Bpk. Philipus
Luturmas.

Dalam perjalanan pemberitaan Injil di dalam jemaat,
pada masa Pdt. Luturmas sekitar tahun 1978, GKPII masuk
dalam jemaat dan menimbulkan insiden yang
mengakibatkan warga jemaat GKPII harus meninggalkan
negeri dan tinggal di Fursui kurang lebih dua tahun lamanya.
Setelah melakukan pertemuan di negeri, maka keputusan
yang diambil adalah memanggil masyarakat Kandar yang
menempati desa Fursui untuk kembali dan menetap di Desa
Kandar sampai sekarang.

Pada masa Pdt. Luturmas, dilaksanakan Rapat Jemaat
yang menghadirkan pemuka masyarakat Desa Kandar untuk
membangun gedung gereja. Rapat ini berhasil memutuskan
supaya jemaat membangun gedung gereja dan harapan ini
tercapai dengan dibangunnya gedung gereja yang diberi
nama “Pengharapan“. Jemaat mendirikan gereja ini dalam
kondisi daya dan dana yang terbatas, sehingga baru selesai
sekitar 12 tahun lamanya. Gereja Pengharapan diresmikan
bersamaan dengan pastori jemaat oleh Pdt. S. P. Titaley, S.Th
sebagai Ketua Sinode GPM dan Pdt. J. R. Wattimena S. Th
(Alm) sebagai ketua Majelis jemaat.

161

Selain sumbangan dari berbagai pihak untuk
pembangunan gedung gereja Pengharapan, peran
perempuan jemaat juga luar biasa; mereka menenun dan
secara bertahap dikirimkan ke Ambon. Dengan keahlian
perempuan menenun itu menjadikan jemaat ini sebagai
salah satu dari sekian jemaat di Kepulauan Tanimbar
penghasil tenun berkualitas. Selain sebagai penenun, anggota
jemaat Kandar dikenal pekerja tangguh di bidang pertanian,
sehingga Desa Kandar dijadikan salah satu Lumbung Pangan
Kabupaten MTB.

Bangunan jemaat GPM Kandar lain yang berhasil
dikerjakan dan diresmikan belum lama ini oleh Ketua MPK
Tanimbar Selatan, Pdt. Ny. L. Rangkoratat/B. S.Th, pada 10
Desember 2017. Pastori Jemaat dikerjakan kurang lebih 3
tahun. Karena perkembangan jemaat terus meningkat, maka
dari 6 unit jemaat yang dibentuk sebelumnya mengalami
pemekaran menjadi 8 unit, dan nama unit turut mengalami
perubahan. Perubahan ini terjadi pada masa Pdt. Jemi R.
Wattimena (1992-1997), yakni: Unit Nasareth, Unit
Getsemani, Unit Lahairoi, Unit Imanuel, Unit Sanobar, Unit
Ebenhaeser, Unit Sola Grasia, dan Unit Diaspora.

Unit-unit itu kemudian dikelompokan dalam empat
sektor pelayanan: Unit Nasareth dan Getsemani menjadi
Sektor Hermon; Unit Lahairoi dan Diaspora menjadi Sektor

162

Filia; Unit Imanuel dan Senobar menjadi Sektor Seiman, dan
Unit Ebenhaeser dan Sola Gratia menjadi Sektor Petra.

Pemekaran unit pun terjadi pada masa Pdt. W.
Liklikwatil (1997-2002), khusus pada Sektor Hermon, terjadi
pemekaran terhadap 2 unit dan ditambah satu unit di
dalamnya, yakni Unit Syalom, sehingga menjadi 3 unit.
Dengan pemekaran dan terjadinya penambahan unit
menggambarkan bahwa jemaat mengalami perkembangan
dalam aktifitas pelayanan gereja. Pada tahun 2004-2005
terjadi pemekaran unit Sola Gratia dan unit yang dimekarkan
diberi nama unit Anugrah. Dengan demikian, jumlah sektor
di jemaat Kandar menjadi lima Sektor pelayanan dengan 11
unit pelayanan.

WADAH PELAYANAN LAKI-LAKI

Wadah Pelayanan Laki-laki Jemaat GPM Kandar
dibentuk oleh Guru Jemaat E. Luturmas, sekitar tahun 1984-
1986. Wadah pelayanan laki-laki itu diberi nama Pelpria
yang artinya Pelayanan Pria/Laki-laki dengan tujuan
menghimpun, bersekutu dan menumbuhkan iman laki-laki
gereja. Kegiatan-kegiatan pelayanan yang dilakukan dalam
wadah ini adalah Pastoralia dan Koinonia. Selain itu, paduan
suara dan suling bambu pun dibentuk. Pada tahun 2001
kelompok wadah pelayanan laki-laki berhasil dimekarkan

163

per sektor, dan bertugas sebagai pendukung liturgi dalam
ibadah jemaat.

WADAH PELAYANAN PEREMPUAN
Perhimpunan Perempuan Jemaat GPM Kandar
dibentuk oleh Pdt. Melkianus Masrikat. Kegiatan pelayanan
yang pernah dilakukan adalah ramah-tamah dan koinonia
bersama Jemaat Lingat, Namtabung dan Saumlaki; Juga
berlangsung kegiatan diakona melalui pelayanan kepada
janda, duda dan anak yatim piatu. Setelah Wadah Pelayanan
Perempuan terbentuk menjadi satu wadah, maka dibentuk
pengurus yang komposisinya sebagai berikut: Tanta
Minanlarat/S (Alm) sebagai Ketua, Yosina Luturmas/M
(Alm) sebagai Wakil Ketua, Amaraci Lerebulan/M sebagai
Sekretaris, Sarah Luanmas/L, Yansina Luanmas/O, dan
Adrana Bilmaskosu(Alm).
Beberapa bulan setelah terbentuk kepengurusan
Wadah Perempuan Jemaat GPM Kandar, ketua wadah tidak
menjalankan tugas secara aktif maka atas kesepakatan
pengurus diangkat ibu Sarah Luanmas/L sebagai ketua yang
bertugas selama beberapa periode. Sampai kini, persekutuan
perempuan tetap eksis menjawab panggilan pelayanan
mereka di jemaat.

164

WADAH PELAYANAN SMTPI

Sekolah Minggu Tunas Pekabaran Injil (SMTPI)
dibentuk pada tahun 1920 oleh Guru Jemaat Siahaya dengan
tujuan mengasuh, membina dan mendidik anak-anak untuk
mengetahui firman Tuhan. Pada waktu itu, pelayanan untuk
anak-anak dinamai sekolah Ahad. Seiring waktu berjalan,
nama ini diganti menjadi Zondag School, kemudian diberi
nama SMTPI. Dalam perkembangan, penataan organisasi
wadah dilakukan sesuai kebutuhan pelayanan untuk anak-
anak di GPM, yakni menurut jenjang dan sub-jenjang anak.
Agar dapat menjawab kebutuhan pelayanan anak, jemaat
mempersiapkan fasilitas pelayanan. Pelayanan SMTPI ini
kemudian menjadi cikal bakal pembentukan PAUD yang
diberi nama Pengharapan. PAUD tersebut merupakan aset
YPPK Dr. J. B Sitanala, milik GPM.

ORGANISASI AMGPM

Sebelum organisasi ini dibentuk, pemuda jemaat telah
dihimpun dalam satu persekutuan yang bernama Bestir
Pemuda. Persekutuan ini diwakili oleh setiap pemuda/i dari
tiga jemaat yaitu Kandar, Namtabung dan Adaut. Seiring
berjalannya waktu, terjadi pemekaran, sehingga pemuda
Adaut berdiri secara mandiri, sedangkan pemuda Kandar

165

dan Namtabung berjalan bersama. Namun selang beberapa
waktu terjadi perpisahan karena muncul kesepakatan
bersama untuk pelembagaan organisasi masing-masing.
Untuk menghimpun wadah-wadah pemuda yang sudah
mandiri dalam satu cabang, maka cabang “Carry” dibentuk
sebagai cabang pemersatu. Seiring perkembangan jemaat,
Cabang ini berbenah dan pada waktu masa pelayanan Pdt. S.
I. Sapulette, S. Th sebagai pimpinan Jemaat Kandar, dibangun
kerja sama dengan Ketua Cabang pada tahun 2004 dan
seluruh kader AMGPM cabang Carry membangun Baileo
AMGPM. Pada tahun 2006 Baileo ini diresmikan dan diberi
nama Gyuruyahuk menjadi tempat berhimpunya para
pemuda gereja di Jemaat.

Sampai tahun 2018, jumlah jiwa jemaat GPM Kandar
1443 dengan 344 KK yang dilayani oleh 22 Majelis Jemaat
dan dua pendeta. Disadari sungguh, hanya Tuhan Yesus yang
terus memberi kekuatan kepada para hamba dan umat-Nya
untuk terus menanam dan menyiram, namun Allah yang
memberikan pertumbuhan.

166

7. JEMAAT GPM WERAIN

LETAK GEOGRAFIS

Jemaat GPM Werain memiliki batas-batas wilayah
pelayanan: sebelah Timur berbatasan dengan Jemaat GPM
Fursuy, sebelah Selatan berbatasan dengan Jemaat GPM
Eliasa, sebelah Barat berbatasan dengan Lautan, dan sebelah
Utara berbatasan dengan Jemaat GPM Lingat. Dari Werain ke
Saumlaki, jarak yang ditempuh sekitar 73,400 km. Sebelum
ada transportasi modern, masyarakat menggunakan
angkutan perahu layar, sehingga berminggu-minggu
lamanya baru tiba di Kota Kabupaten. Kini, dengan adanya
transportasi seperti motor laut, perjalanan dari Werain ke
Pusat Kota Kabupaten hanya membutuhkan waktu 6-7 jam.
Terdapat pilihan transportasi lain untuk ke Saumlaki, yakni
melewati jalur darat dengan menggunakan mobil sampai di
pusat kecamatan, selanjutnya menggunakan speedboat
menuju pusat kota kabupaten.

ASAL-USUL DESA

Nama Werain berasal dari bahasa asli Selaru “Werau”;
Wer artinya “air” dan au artinya “rawa”, “telaga” atau
“genangan”. Mula-mula belum ada penduduk yang
menempati Werain. Seiring perkembangan karena padatnya

167

penduduk di Kepulauan Tanimbar, maka orang-orang mulai
keluar dari daerah masing-masing dan menjadikan Werain
sebagai tempat kediaman tetap. Mereka melakukan
pelayaran mencari pulau-pulau yang kosong untuk dihuni.
Tepian pantai bagian ujung Selatan Pulau Selaru menjadi
tempat tinggal moyang-moyang desa Werain.

Sebelum Werain dijadikan tempat hunian terakhir,
sudah terjadi proses perpindahan sebanyak 5 kali pada
setiap tempat yang berbeda, yakni: Serintunan, Loloan,
Hugwasa, Ftisala, Werau. Perahu yang digunakan leluhur
mencari tempat hunian disebut perahu Wailusi.

Pada saat masyarakat Werain masih menempati
Wailusi, mereka didatangi oleh zending Protestan pada
tahun 1912. Banyak guru Injil yang datang bergantian satu
dengan lainnya. Masyarakat hanya sempat mengingat bahwa
Guru Injil yang pertama bertugas di daerah itu adalah
sebagian besar Guru Injil yang berasal dari Ambon-Lease,
kemudian ada beberapa yang berasal dari Tanimbar, yakni
anak asli dari Selaru. Mereka yang tercatat sebagai pendeta
jemaat dan Guru Injil hingga saat ini kurang lebih 20 orang.

KEADAAN PENDUDUK SETEMPAT

Salah satu alasan perpindahan lokasi tempat hunian
masyarakat saat itu adalah menghindar dari sasaran bom

168

Sekutu yang hendak mengusir pasukan Jepang di wilayah
Selaru (Werain). Selain itu dikarenakan kesulitan
mendapatkan air bersih. Mereka berusaha mencari sumber-
sumber air tawar sebagai kebutuhan utama, mengingat
lokasi itu dekat pesisir pantai, sehingga air sumurnya terasa
salobar/asin. Dalam proses pencarian, mereka menemukan
lokasi air bersih di wilayah petuanan antara Werain dan
Fursuy yang diberi nama lokasi “air Abad”. Di lokasi air
Abad, penduduk merasa nyaman karena dapat
mengkonsumsi air bersih. Banyak pohon tinggi yang tumbuh
di situ, sehingga air bersih selalu terawat dan terjaga. Udara
di lokasi Abad juga sejuk, malah sangat dingin. Kebun-kebun
baru dibuka dengan ditanami berjenis-jenis tanaman seperti
jagung, umbi-umbian, sayur-sayuran, kacang-kacangan dan
bermacam buah yang disesuaikan dengan kondisi tanah
setempat, seperti mangga, semangka, kusambi, dll. Selain
hasil pertanian, laut juga memberikan hasil yang banyak
seperti: ikan, lola, teripang, lakandawan dan rumput laut.

Masyarakat Werain pernah mengalami pengalaman
pahit kurang lebih 40 tahun silam dengan masyarakat
Fursuy karena konflik batas tanah Desa Werain dan Desa
Fursuy. Namun, atas kesadaran bersama bahwa mereka
saudara, maka sampai saat ini hubungan itu tetap terjalin
baik. Gereja memandang hubungan yang baik ini
berlangsung karena pertolongan Tuhan. Mereka hidup

169

tolong-menolong, menjaga sikap untuk saling menghargai,
mengedepankan musyawarah untuk memutuskan keinginan
setiap orang dari masing-masing desa, dan menempatkan
kearifan budaya hidup bersama Duan dan Lolat sebagai
identitas.

AGAMA KRISTEN PROTESTAN MASUK DI WERAIN

Kampung pertama masyarakat Werain adalah
Serintunan. Menurut Pnt. Y. Matrutty, orang Werain di
Serintunan sejak tahun 1903-1906 berada di bawah
pimpinan Abatama Lamansyerkebu dan istrinya,
Lenunduanena. Mereka berasal dari marga Turalely yang
sampai saat ini adalah tuan tanah Werain. Di Serintunan,
orang-orang hidup berkelompok menurut anggota
keluarganya, kemudian lambat-laun mulai saling mengenal
dan membangun kebersamaan.23 Menurut informasi,
terdapat 5 keluarga pertama di Serintunan. Mereka hidup
selayaknya masyarakat saat ini. Ada tempat duduk berupa
batu/kursi khusus yang diletakan di alun-alun kampung
pertama.24 Kursi batu diatur dalam satu lingkaran untuk
rapat dan memutuskan hal–hal penting. Rumah penduduk di
lokasi itu dibuat dari kayu kanawa dan berbentuk rumah
gantung. Lima keluarga pertama di kampung Serintunan
tersebut adalah keluarga Turalely, Lamerburu, Moriolkosu,

170

Sailolin dan Amarduan.25 Mereka menganut kepercayaan
suku dengan menyembah pohon-pohon besar, seperti pohon
Gupasa, Kasawari, Toreng dan sebagainya. Tempat di mana
tumbuh pohon besar tersebut dijadikan tempat
penyembahan dan “tuhan” dianggap ada pada tempat itu.
Mereka masing-masing membawa barang berupa harta milik
dari keluarganya, digantung pada telinga dan kaki mereka
sampai mereka meninggal dunia.

Barang peninggalan Leluhur

Selain itu, barang yang merupakan harta pusaka keluarga
berupa kuningan, besi tembaga tua yang mahal dan berat
diyakini memiliki kekuatan (magic) dibawa dan diletakkan
dibawa pohon besar. Lokasi di mana penyembahan itu
dilakukan adalah tempat keramat karena di tempat itu
mereka menemukan sesuatu yang lain semacam kekuatan
besar, yang dapat menjadi penolong bagi mereka saat
mengalami kesusahan. Karena itu, semua penduduk merasa

171

takut dan tidak merasa aman ketika melewati tempat
keramat tersebut.

Kemudian mereka bepindah dari Serintunan ke
kampung kedua, yakni Loloan. Di kampung ini sudah ada
perubahan cara hidup mereka dari berkelompok menjadi
hidup bersama-sama. Mereka memilih seorang
kepala/pemimpin masyarakat setempat yang bernama Ratila
Ngoranama. Menurut Pelipus Slarmanat yang pernah
menempati kampung Loloan pada saat berusia remaj 10-16
mengemukakan bahwa di Loloan sudah ada gereja darurat
dan sekolah rakyat yang didirikan oleh para penginjil pada
tahun 1912.26

Meskipun penginjil sudah memberitakan Injil kepada
masyarakat di Loloan tetapi mereka juga belum sepenuh hati
kembali dari cara hidup yang lama. Mereka masih
berpegang kepada kekuatan lain diluar Tuhan. Sebab masih
ada penyembahan terhadap orang-orang mati, penyembahan
kepada patung dan barang pusaka milik keluarga tertentu
dan dibawa ke gua-gua kecil [Bopge-bopge, bhs. Selaru].
Namun. Seiring perkembangan suasana hidup penduduk di
Loloan semakin dipulihkan melalui berbagai pengajaran dan
pemberitaan Injil membuat mereka percaya kepada Yesus
Kristus, sehingga mereka memberi diri untuk dibaptis dan
diteguhkan menjadi anggota sidi GPM.

172

Perpindahan berikutnya adalah dari kampung Loloan
ke kampung ketiga, yakni Hugwasa. Di lokasi kampung
Hugwasa terdapat sebuah gereja yang dibuat dari pelupu,
sekolah rakyat dan rumah-rumah penduduk. Jumlah jiwa
masyarakat saat itu diperkirakan banyak. Masyarakat
dipimpin oleh seorang Kepala Kampung Wergebu (Bernadus
Kelmakosu). Ia pemimpin masyarakat di Desa Induk Werain,
Dusun Fursuy, dan Dusun Eliasa. Penduduk Desa Werain di
Hugwasa terkena dampak bom Sekutu, padahal mereka
sudah diberi tahu oleh pasukan Sekutu melalui selebaran
dalam bahasa Melayu bahwa penduduk segera menyingkir
dari lokasinya dan pasukan Jepang akan bumi-hanguskan
dari tempat persembunyiannya. Karena tidak mengerti isi
tulisan maka penduduk setempat termasuk kepala desa dan
keluarganya menjadi korban bom Sekutu. Kuburan kepala
desa dan bekas-bekas fondasi rumah yang terbakar menjadi
bukti bahwa penduduk merupakan korban bom Sekutu di
Hugwasa.27 Saat ini tempat tersebut sudah ditumbuhi pohon
kelapa yang ditanam jemaat.

Sesudah peristiwa pengeboman, masyarakat berpindah
ke tempat pemukiman yang keempat, yakni Kampung Ftisala
yang letaknya dekat pesisir pantai. Di lokasi ini dibangun
pula gereja dari pelupu dan sekolah darurat (Sekolah
Rakyat). Menurut Bpk. Pelipus Slarmanat, ia dibaptis dan sidi
bersama 8 (delapan) orang oleh penginjil Latupeirissa di

173

ditu. Sang penginjil adalah juga pengajar di Sekolah Rakyat
itu. Di lokasi ini orang masih berpegang pada kepercayaan
sebelum Kristen (penyembahan berhala). Karena itu, mereka
tetap membawa sesuatu ke pohon-pohon besar dan
menyembahnya. Kini, lokasi itu dipakai sebagai lokasi kebun
kelapa Jemaat.28

Penduduk kemudian berpindah dari Kampung Ftisala
ke kampung kelima sebagai kampung terakhir, yakni
Kampung Werau. Perpindahan ini disebabkan adanya
ketakutan masyarakat terhadap anak-anak kecil yang
bermain dekat pantai; mereka mudah tenggelam dan sering
dibawa air laut. Karena itu, mereka pindah ke kampung
Werain. Di kampung ini mereka membangun gereja darurat
dari pelupu dan sekolah yang berlokasi di Troba. Tempat
dibangunnya sekolah tersebut sekarang sudah dijadikan
tempat perkebunan kelapa oleh penduduk, sedangkan
tempat dibangunnya gereja sudah didirikan rumah
penduduk (Kel Bpk. Andris Slarmanat) yang merupakan
salah satu korban bom Sekutu.

Pada saat berada di Werau, penduduk Werain
mengalami bencana alam pada tahun 1960. Semua rumah
penduduk hancur dan kondisinya rusak total. Setelah
bencana berakhir, mereka membangun lagi rumah-rumah
penduduk sekaligus gedung gereja permanen berdinding
beton dengan bahan campuran kapur dan pasir. Setelah

174

dibangun, gedung gereja ini diresmikan dengan nama
Ebenhaezer. Di depan gedung Ebenhaezer ini benda-benda
yang dianggap memiliki kekuatan gaib dibakar; ada yang
membuangnya ke laut, namun ada yang menyimpan benda-
benda pusaka keluarga tertentu dan menggunakannya pada
acara adat tertentu.29

Tidak hanya pasca-gempa gereja jemaat Werain
dibangun, keinginan untuk memiliki gedung gereja baru
yang representatif dan permanen muncul di kalangan jemaat
pada tahun 2007. Keinginan membangun gereja itu mulai
direalisasi dengan peletakan batu penjuru gedung gereja
yang dilakukan oleh Ketua Klasis, Pdt. W. B. Pariama pada 19
Juli 2007 dan pemancangan tiang bermula yang berlangsung
pada 30 Agustus 2007 oleh Pdt. Ny. Joice Fabeat/R. Karena
kekurangan dana, pembangunan untuk sementara
dihentikan, namun umat terus berjuang mencari dana secara
bertahap bagi kelangsungan pembangunan gereja itu.
Setelah itu tanggal 19 Juni 2011 terjadi serah terima tugas
pelayanan dari Ketua Majelis Jemaat Pdt. Ny. Joice Fabeat/R
kepada Pdt. Nn. Senny Pellaupessy, baru pekerjaan
pembangunan mulai dilakukan kembali pada 5 September
2011 yang diawali dengan pelayanan peletakan batu alasan
menara lonceng dan pada 8 Agustus 2011 dilakukan
pemancangan tiang bermula menara lonceng gereja Werain.

175

Pekerjaan menara lonceng ini diselesaikan pada tahun 2012-
2013.

Selanjutnya pada tahun 2014-2015 di samping
pembangunan lantai gedung gereja dan mimbar, umat
membangun pastori jemaat. Atas semangat dan kerja keras,
pastori jemaat Werain diresmikan pada 12 November 2016
oleh Pdt. W. B. Pariama (Wakil Ketua MPH Sinode GPM) dan
gedung gereja baru yang telah dikerjakan sejak 2007 dapat
diselesaikan pada 2016 dan Gereja baru ini diresmikan oleh
Pdt. A.J.S. Werinusa (Ketua MPH Sinode GPM) dengan nama
”Hulasogwe Iboli It”. Persemian gedung gereja ini disaksikan
oleh Bpk. Bitzael S. Temmar (Bupati MTB ). Penyelesaian
pembangunan gereja ini dipandang jemaat sebagai anugerah
dan berkat pertolongan Tuhan kepada mereka dan anak
Werain yang berada di perantauan, serta berbagai pihak
yang menolong sampai gedung gereja tersebut selesai
dibangun.

Jumlah jemaat pada saat persemian gereja Hulasogwe
Iboli It sebanyak 480 jiwa dari 154 KK. Selesai gereja
diresmikan, pada 4 April 201 Werain ditunjuk menjadi tuan
dan nyonya rumah pelaksanaan Sidang ke-43 Klasis
Tanimbar Selatan. Jemaat menyambut pelaksanaan Sidang
Klasis ini dengan sukacita.

KONDISI PELAYANAN

176

Sampai saat ini, Jemaat GPM Werain memiliki 13
pelayan: 1 Ketua Majelis Jemaat, 6 Penatua dan 6 Diaken.
Wilayah pelayanan dibagi atas 3 Sektor dan 6 unit pelayanan,
yaitu Sektor Sola Fide mempunyai 2 unit pelayanan: Unit
Imanuel dan Unit Eden; Sektor Sola Gratia mempunyai 2 unit
pelayanan: Unit Sion dan Unit Pniel; dan Sektor Sola
Skriptura mempunyai 2 unit pelayanan: Unit Rehoboth dan
Unit Lahairoy. Wadah Pelayanan Laki-laki dan Perempuan
diatur berdasarkan sektor pelayanan. Angkatan Muda GPM
memiliki 1 cabang, yakni Cabang Fhilia dengan 3 ranting:
AMGPM Werain 1 ranting, AMGPM Fursuy 1 ranting dan
AMGPM Eliasa 1 ranting. Perkembangan AMGPM di jemaat
GPM Werain cukup baik, maka AMGPM dari 1 ranting
dimekarkan menjadi 2 ranting.

Pendidikan formal gereja yang diselenggarakan dari
jenjang Anak Batita, Indria, Kecil dan Remaja hingga
Katekisasi diatur secara baik dan penyelenggaraannya
disesuaikan dengan kurikulum. Para pengasuh ditatar untuk
menggunakan kurikulum dengan baik. Pada 2018 jumlah
jiwa jemaat GPM Werain mencapai 492 jiwa dari 156 KK.

Sepanjang perkembangan, jemaat ini pernah
mengalami masalah dengan denominasi lain, yakni GSJA
yang dibawa dari Lingat oleh anggota keluarga Slarmanat
(Alm. Bpk. Naftaly Slarmanat]. Ia datang, kemudian

177

membentuk kelompok kecil yang terdiri dari 10 KK dari
keluarga Slarmanat dan beribadah di rumah anggota jemaat
GPM. Kemudian kelompok GSJA dari Lingat datang dan
mendirikan papan nama aliran GSJA di depan rumah (Alm.
Bp.Yermia Slarmanat) yang mendapat tanggapan dari
jemaat, khususnya pemuda GPM. Namun, izin membangun
GSJA diberikan oleh Departemen Agama MTB sehingga GSJA
di Werain didirikan pada 2008. Jumlah jemaat GSJA di Weran
pada tahun 2015 sebanyak 36 jiwa dari 11 KK, namun saat
ini ada sebagian anggota jemaat yang kembali ke GPM.

KONDISI PENDIDIKAN
Pada awalnya penduduk Werain, Fursuy dan Eliasa
memulai pendidikan bersama selama 3 tahun di Sekolah
Rakyat. Lokasi pertama sekolah itu di kebun Florlan (antara
lokasi kebun Werain dan Fursuy). Selanjutnya sekolah
berpindah ke lokasi kedua di Troba (kebun Troba). Lantas
pada tahun 1974, sekolah-sekolah YPPK mulai dibangun dan
sampai saat ini masih sekolah SD dan SMP Kristen Werain
tetap berfungsi di Werain. Pembangunan gedung sekolah
yang baru pun sedang dikerjakan oleh anggota jemaat yang
rencananya akan dijadikan sekolah SMA. Sekolah ini
diharapkan dapat membantu kebutuhan pelayanan
pendidikan, bukan hanya kepada masyarakat Werain, tetapi
juga Fursuy, Eliasa dan Lingat.

178

8. JEMAAT GPM LINGAT

LETAK GEOGRAFIS

Secara administratif, Jemaat GPM Lingat berada pada
Desa Lingat, Kecamatan Selaru – Kabupaten Maluku
Tenggara Barat. Lingat adalah satu dari tujuh desa di Pulau
Selaru dan berkedudukan di antara desa-desa di Pulau
Selaru. Pulau Selaru merupakan Pulau Terluar atau
berbatasan langsung dengan Australia. Karena itu, Indonesia
menetapkan Selaru sebagai salah satu Pulau Terluar.

Batas-batas wilayah pelayanan Jemaat GPM Lingat,
yaitu: sebelah Utara berbatasan dengan Jemaat GPM Kandar
dan Jemaat GPM Namtabung, sebelah Selatan berbatasan
dengan Jemaat GPM Werain dan Jemaat GPM Fursuy, sebelah
Timur berbatasan dengan Laut Lepas dan sebelah Barat
dengan lautan lepas

Di Pulau Selaru, desa-desa semuanya, termasuk Lingat,
merupa-kan anggota Gereja Protestan Maluku (GPM).
Namun dalam perkembangan-nya, muncullah berbagai aliran
dan denominasi gereja lain. Penduduk desa Lingat bermukim
di atas lahan sekitar 1 x 1 Km2. Dan terletak di daerah pesisir
pantai dengan daerah yang berpasir dan berbatu.

Untuk mencapai Jemaat atau desa Lingat dapat
ditempuh lewat jalur darat (dari pusat kecamatan - Adaut)
dengan waktu sekitar 1 jam dan atau melalui jalur laut (dari

179

pusat kabupaten – Saumlaki) dengan menggunakan
speedboat selama 2 jam atau motor tempel dan ketinting
sekitar 4-5 jam. Sedangkan dari sisi aksesibilitas, baik
infrastruktur jalan, penerangan sudah menggunakan PLN
maupun informasi dan komunikasi sudah cukup baik.

DINAMIKA SOSIAL BUDAYA

Kehidupan sosial atau hidup kemasyarakatan orang-
orang Lingat kental dengan kebiasaan atau nilai-nilai budaya
setempat. Memahami kehidupan sosial orang-orang Lingat
tidak terlepas dari nama negeri mereka sendiri. Lingat
berasal dari bahasa Selaru, yaitu “Likat” atau “rumah
bersama”. Nama negeri ini sebetulnya adalah “Likat
Sinoburuan” yang artinya pondok atau rumah tempat
musyawarah. Karena pengaruh ejaan Bahasa Indonesia
sehingga menjadi “Lingat”. Arti nama ini sangat memberi
pengaruh bagi karakter dan jati diri sosial orang-orang
Lingat. Cara pandang orang-orang Lingat terhadap diri
mereka (pribadi) dan orang lain (sosial) adalah orang
basudara yang hidup bersama di satu rumah.

Terdapat empat soa besar di Lingat, yaitu Soa Anahusu
(marga Lololuan dan Lerebulan), Soa Selebu (marga
Romroma, Rangkoratat, Hanorsian, Lethulur, Baumasse dan
Matruty), Soa Fatardelak (marga Titirloloby, Sambonu,

180

Sainyakit, Kemalkossu, Maselkossu, Sumreskossu, Matamele,
Oratmangun, Tubultenan, Hulkiawar dan Loru), Soa Resa
(marga Labobar, Boritnaban, Batmanlussy, Iraratu,
Nuswarat, Bonyaktutul, Malisngorar, Saineran dan Masela)
dan diangkat seorang kepala soa untuk memimpin soa-soa
ini. Sekalipun demikian, hubungan marga-marga ini terikat
satu dengan yang lainnya. Selain karena hidup di satu “likat”
tetapi juga mempunyai ikatan persaudaraan dalam
hubungan duan-lolat yang terjadi akibat perkawinan satu
dengan yang lainnya.

Pemahaman tentang keberadaan orang-orang Lingat
yang demikian nampak dalam berbagai permasalahan sosial
yang mungkin saja terjadi, misalnya kekerasan dalam rumah
tangga, perkelahian, ataupun masalah-masalah menyangkut
lahan atau tanah selalu saja dapat terselesaikan dengan
mudah. Ketika ada masalah yang mencuat ke permukaan,
maka penyelesaiannya selalu cepat tuntas dan tidak ada
dendam. Kepala soa atau lembaga adat melalui kepala desa
dapat saja menyelesaikan masalah itu secepatnya. Bahkan
ada mekanisme-mekanisme penanganan masalah secara
adatis yang selalu dilakukan hingga sekarang dan berdampak
baik bagi kehidupan orang basudara30 tanpa harus dibawa
sampai ke pihak berwajib untuk diselesaikan.

Menariknya lagi adalah khusus bagi desa-desa di Pulau
Selaru, termasuk Lingat mempunyai kelompok-kelompok

181

masyarakat seumur yang terbentuk dalam kesatuan-
kesatuan atau tubuh-tubuh. Kesatuan atau tubuh adalah
kelompok masyarakat yang tergabung dalam umur yang
berdekatan atau di antara 3-5 tahun jaraknya.
Pengelompokan ini menampilkan kelompok usia yang
sedawar, sehingga mempermudah mereka membangun
relasi yang baik antar kelompok. Setiap kesatuan atau tubuh
mempunyai pemimpin sendiri-sendiri. Pengelompokan ini
sudah terjadi sejak negeri ini dibentuk oleh orang tua-tua
yang masih terpelihara hingga sekarang dan telah menjadi
salah bagian dari lembaga adat yang membentuk
negeri/desa Lingat sampai sekarang.

Penampakan kesatuan-kesatuan ini terasa ketika ada
masalah atau pekerjaan di dalam desa, pemerintah akan
melakukan pertemuan dengan tua-tua adat dan hasilnya
diumumkan kepada masyarakat oleh Marinyo Desa. Jika ada
tindak lanjut berupa pekerjaan yang melibatkan kesatuan-
kesatuan, maka masing-masing kesatuan akan berkumpul di
rumah kepala kesatuan untuk membangun kesepakatan
mengenai mekanisme pekerjaan yang hendak dilaksanakan
bersama-sama. Jika ada anggota kesatuan yang mengalami
keadaan duka ataupun suka, maka anggota-anggota kesatuan
akan terlibat dan memberikan dorongan, motivasi serta
partisipasi di dalamnya. Nampak bahwa tubuh-tubuh atau
kesatuan-kesatuan yang terbentuk ini cukup

182

memperlihatkan jiwa persaingan yang cukup tinggi, apalagi
dalam pekerjaan-pekerjaan di desa maupun gereja.
Persaingan ini sesungguhnya lebih menjurus kepada hal
mengerjakan atau membangun sesuatu yang bermanfaat.
Sering pula terjadi kerja sama saling membantu antar
kesatuan yang masih muda dengan kesatuan yang lebih tua.

AGAMA KRISTEN PROTESTAN DAN DINAMIKA
PERTUMBUHANNYA

Penduduk Lingat di masa para leluhur, berpencar dari
beberapa tempat, diantaranya Anaharat, Anatimur, Iniu, dan
Baruti yang punya tempat atau petuanan masing-masing.
Menurut para penutur, ada juga orang-orang Enus, ketika
terjadi perpecahan antara orang-orang di Enus (tidak jelas
alasan perpecahan tersebut), kemudian orang-orang Enus
turun dan bergabung dengan orang-orang Anaharat di
petuanan atau dusun Saekusu.

Di Saekusu inilah terukir sejarah penting yaitu atas
prakarsa orang-orang Anaharat (marga Hanorsian,
Romroma, Rangkoratat dan Sambonu) mulai diadakan
pendekatan dengan dusun-dusun yang ada demi
mempersatukan pemukiman mereka. Pendekatan ini
melahirkan pertemuan atau musyawarah bersama yang
dalam bahasa Selaru disebut “sidoun” di dalam sebuah
pondok atau rumah yang dinamakan “Likat”. Musyawarah ini

183


Click to View FlipBook Version