1. JEMAAT GPM LERMATANG
KONDISI GEOGRAFIS
Lermatang merupakan negeri adat yang diistilahkan
sebagai Yamdena Ulun atau Kepala Yamdena, karena terletak
di depan Pulau Yamdena jika dilihat dari Selatan ke arah
Utara. Nama Lermatang diambil dari bahasa Yamdena: Lere
berarti Matahari, dan Matan berarti terbit atau naik. Jadi
Lermatang berarti Matahari Terbit atau Naik. Desa
Lermatang tampak semakin menawan dengan adanya Pulau
Tanjung Tual dan Pulau Nustabung yang kini menjadi tempat
wisata di MTB, serta adanya sungai yang berair sepanjang
tahun di daerah Weminah.
Pusat administrasi pelayanan Jemaat GPM Lermatang
berkedudukan di Desa Lermatang, Kecamatan Tanimbar
Selatan. Batas wilayah pelayanan Jemaat ini: sebelah Utara
berbatasan dengan Desa Bomaki, sebelah Selatan berbatasan
dengan Jemaat GPM Matakus, sebelah Barat berbatasan
dengan Jemaat GPM Latdalam, sebelah Timur berbatasan
dengan Jemaat GPM Saumlaki dan Olilit Baru.
Wilayah Lermatang ditempati warga jemaat dari ujung
Timur-Barat sejauh 3 Km dan Utara-Selatan sejauh 3,5 Km.
Perjalanan dari jemaat menuju Saumlaki (pusat Klasis di Ibu
Kota Kabupaten) ditempuh dengan transportasi darat
sekitar satu jam atau setengah jam dengan transportasi laut.
84
Musim yang mempengaruhi aktifitas masyarakat
Lermatang adalah Musim Timur (Kemarau: April–Oktober)
dan Musim Barat (Hujan: Oktober-Februari). Musim
Pancaroba dalam bulan Maret/April dan Oktober/November.
Bulan April sampai Oktober bertiup angin Timur dan angin
Tenggara. Angin kencang musim Barat bertiup pada bulan
Januari dan Februari diikuti hujan deras dan laut bergelora.
Bulan April sampai September bertiup angin Timur
Tenggara dan angin Selatan, angin Tenggara dominan.
November sampai Maret bertiup angin Barat Laut dan angin
Barat dominan. Data Station Meteorologi Saumlaki
menunjukkan bahwa perubahan itu menyebabkan suhu di
Lermatang tidak stabil; Kelembapan udara jadi relatif,
penyinaran matahari dan tekanan udara juga mengalami
perubahan.
KONDISI UMUM
Sumber daya jemaat GPM Lermatang sebanyak 439 jiwa
(217 laki-laki, 222 perempuan) dari 100 Kk yang tersebar di
empat unit pelayanan. Rata-rata usia produktif berkisar
antara 16-59 tahun sebanyak 214 orang dan usia non-
produktif antara usia 0-15 tahun sebanyak 151 orang. Usia
produktif itu merupakan kekuatan dan potensi yang dapat
diberdayakan dalam pengembangan jemaat atau menunjang
85
kebijakan gereja. Sedangkan non-produktif merupakan
generasi potensial yang perlu disiapkan sebagai tulang
punggung jemaat, yakni anak Balita (di bawah tiga tahun)
dengan penyelenggaraan program PAUD/Play Group, juga
SM/TPI melalui pendidikan formal gereja yang efektif di tiap
jenjang, serta optimalisasi Wasmi menuju peralihan ke usia
katekisasi dan AMGPM.
Data Bina Umat Jemaat GPM Lermatang, menunjukkan
adanya penyandang masalah sosial dalam jemaat-jemaat
merupakan masalah yang tidak dapat diabaikan dalam
pelayanan; kelompok target pelayanan diakonal yang
penting untuk mendapat proses pendampingan dalam
program pelayanan mingguan dan tahunan di jemaat.
Realitas sosial budaya yang dihadapi Jemaat GPM
Lermatang bersifat pluralis, terdapat denominasi lain yang
beraktifitas dan menghendaki anggota jemaat untuk hidup
berdampingan. GKPII merupakan gereja tetangga yang hadir
sebagai hasil pecahan jemaat pada tahun 1976. Dalam
perkembangan, muncul lagi Gereja Sidang Jemaat Allah
(GSJA) yang keberadaannya menimbulkan konflik karena
dianggap melanggar ketetapan masyarakat untuk tetap
mempertahankan keberadaan GPM sebagai gereja mayoritas
bagi masyarakat Lermatang yang homogen menurut
pertalian darah. GKPII yang sudah berdiri lama di desa
Lermatang membuat dalam satu keluarga selain terdapat
86
anggota jemaat GPM juga ada anggota jemaat denominasi
GKPII. Meskipun masing-masing orang berbeda kepentingan
menurut asal gereja yang dianutnya mereka tetap satu
keluarga yang diikat oleh adat Duan-Lolat.
Kini, perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi dengan mudah diakses oleh masyarakat, serta
ketersediaan sarana transportasi darat maupun laut
memudahkan masyarakat atau Jemaat untuk
menggunakannya dalam aktifitas hari-hari dan
memperlancar hubungan kerja sama antar masyarakat
dengan pemerintah/instansi terkait atau Jemaat dengan
Klasis di Pusat Ibukota Kabupaten.
Kebutuhan ekonomi warga jemaat GPM Lermatang
terpenuhi dari berbagai ragam pekerjaan, mulai dari yang
bekerja sebagai pendeta, PNS, petani, peternak, nelayan,
wirausaha, honorer, maupun tukang atau buruh kasar, dll.
AGAMA KRISTEN PROTESTAN DAN
PERKEMBANGANNYA
Sebelum menjadi bagian pelayanan GPM secara
administratif, Jemaat GPM Lermatang merupakan salah satu
jemaat dari Indische Kerk atau Gereja Protestan di Hindia-
Belanda Resor Amboina. Register Gereja Protestan Hindia-
Belanda tahun 1823 mencatat peristiwa baptisan pertama
87
terhadap keluarga Amele Rangkoly di Perigi Tua (Wetutune
Wempas Dalam) yang artinya air suci.
Lokasi dan kondisi Perigi Tua di Lermatang
Dua tahun kemudian (1825), keluarga Isak Nusmese
dibaptiskan, disusul oleh beberapa keluarga lain. Setelah 16
KK dibaptis, mereka dihimpun menjadi satu jemaat (jemaat
mula-mula) dengan nama Jemaat Bethel di tempat asal
mereka mengakarkan hidup, yakni: Ngurmase yang berarti
Kampong Emas.
Pemeliharaan jemaat berlangsung dengan baik di
bawah tanggung jawab Guru Jemaat asal Maluku: Luhulima.
Namun pada tahun 1889 terjadi peristiwa kelam;
terbunuhnya Guru Jemaat Luhulima dan keluarga Rangkoly
di Lakateru Olilit Raya oleh Misionaris Katolik. Kendati
demikian, mereka tetap bertahan dan bertumbuh sampai
88
sekarang dengan ajaran Kristen Protestan di Olilit,
khususnya keluarga Rakoly dan Keluarga Batfutu.
Aktifitas pekabaran Injil mengalami peningkatan
seiring perubahan yang terjadi pada tahun 1905 dengan
masuknya pendidikan Kristen di Lermatang yang dibawa
oleh Guru Jemaat J. Noya. Pada masa ini, pendidikan
merupakan salah satu cara penginjilan sehingga kehidupan
spiritual iman jemaat dapat dipelihara dari masa ke masa.
Pelayanan terus berlangsung, namun sulit berkelit dari
pergolakan dalam jemaat yang mengakibatkan perpecahan.
Peristiwa di tahun 1976 itu dimulai dari perselisihan karena
kesalahpahaman antara Pdt. E. Laiyan dan Ketua Klasis
Tanimbar Selatan Pdt. B. Latuharhary.
Akibat perselisihan tersebut, Pdt. E. Laiyan dan
sebagian besar jemaat, termasuk Staf Pemerintah Desa
berpindah ke GKPII dengan membawa semua aset yang
dulunya menjadi hak milik GPM, yakni: tanah, gedung gereja,
pastori, dan aset. Aset-aset GPM yang diambil sebagai hak
milik GPM ini masih menjadi persoalan yang dibicarakan
sampai sekarang. Melalui peristiwa ini, pelayan dan seluruh
Jemaat GPM Lermatang makin tergerak mempertahankan
GPM di Tanah Lermatang dengan mendasarinya pada
semangat pekabaran Injil, demikian menurut beberapa tokoh
masyarakat.
89
Tragedi tersebut berakibat buruk bagi perkembangan
GPM di Lermatang; Ruang gerak pelayanan dibatasi sehingga
menjadi kelompok minoritas di kampung sendiri. Dalam
kondisi demikian, anggota jemaat yang tersisa tiga KK
melakukan peribadahan di rumah dinas guru yang ditempati
Kepala SD Kristen (Bpk. J. Sambonu). Namun kegiatan ini
dilarang oleh Pemerintah Desa Lermatang dengan alasan
rumah dinas, sehingga tempat ibadah dipindahkan ke rumah
keluarga Bpk. Samuel Lamere.
Pergumulan tiga KK dengan delapan belas orang yang
ada membutuhkan tempat ibadah yang layak. Kemudian
mereka membangun tempat ibadah darurat di perbatasan
kampung pada lokasi ketinggian yang pada waktu itu belum
dihuni warga. Seiring pertambahan jemaat, maka dibutuhkan
gedung gereja yang permanen dan layak. Maka, dibentuk
Panitia Pembangunan Gereja Baru yang mulai bekerja
dengan peletakan batu penjuru pada 31 Juni 1994 dalam
ibadah yang dipimpin oleh Pdt. Z. Sedubun. Pendirian Tiang
Bermula pada Nopember 1995 dalam ibadah minggu yang
dipimpin oleh Pdt. W. Pariama. Proses pembangunan ini
beberapa kali mengalami perubahan, karena bentuk dan
struktur bangunan gereja dipandang belum cocok. Waktu
yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pembangunan
gedung gereja sekitar 17-an tahun. Tepatnya pada Rabu, 14
Desember 2011, gedung Gereja Bethel diresmikan oleh Pdt.
90
W. Pariama, S.Th selaku Sekum Sinode GPM dan Pdt Ny. W.
Sabonu/H selaku ketua Majelis Jemaat GPM Lermatang di
atas tanah seluas 45x50 meter. Berdirinya gedung gereja
Bethel ini membawa sukacita kepada anggota jemaat karena
penantian panjang untuk memiliki gedung gereja yang layak
sudah terpenuhi.
Gedung Gereja Bethel Jemaat GPM Lermatang
Dinamika pelayanan Jemaat GPM Lermatang tidak
hanya terganggu dengan adanya GKPII, tetapi juga muncul
GSJA. Meskipun demikian, para pelayan dan jemaat tidak
surut namun tetap bersemangat dalam setiap aktifitas
pelayanan yang memberi dampak positif terhadap berbagai
perubahan dan perkembangan masyarakat. Dampaknya
sekarang berupa sebagian besar warga GKPII beralih ke
GPM. Jumlah KK Jemaat GPM Lermatang dari 76 KK menjadi
110 KK. Selanjutnya, ada harapan bahwa peralihan jemaat
91
dari GKPII ke GPM tidak hanya sebatas anggota tetapi juga
berbagai aset.
Kini, Jemaat Lermatang mempunyai 2 sektor dan 4 unit
pelayanan. Masing-masing adalah sektor Sion dengan 2 unit
pelayanan, yakni: Bukit Zaitun dan Maranatha, serta Sektor
Getsemani mencakup Unit Mahanaim dan Diaspora. Di setiap
unit pelayanan terjadi kenaikan jumlah jemaat yang
membuat aktifitas pelayanan di jemaat makin bertambah.
Pada tahun 2012–2015 tercatat 79 KK dengan jumlah jiwa
311 Jiwa, mengalami penambahan di tahun 2016 menjadi
100 Kk dengan total 439 Jiwa. Semua itu sebagai dampak
dari pelayanan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Oleh karena itu, peningkatan jumlah jiwa disertai
pertimbangan untuk memperkecil rentang kendali
pelayanan, maka mulai dipikirkan untuk dilakukan
pemekaran dari dua menjadi tiga sektor pelayanan, dan unit
pelayanan menjadi 5 atau 6. Dengan demikian, maka kluster
pelayanan yang cenderung semakin tinggi dapat dikontrol;
Pelayanan dapat dikontrol oleh koordinator unit dengan
melakukan pelayanan secara terpadu dan dinamis.
92
2. JEMAAT GPM SEIRA
LETAK GEOGRAFIS
Letak Jemaat GPM Seira di sebelah Utara-nya
berbatasan dengan Pulau Nuswotar (Kec. Wuarlabobar),
sebelah Selatan berbatasan dengan Perairan Yamdena dan
Jemaat GPM Latdalam (Kec. Tanimbar Selatan), sebelah
Barat berbatasan dengan laut Banda, dan sebelah Timur
berbatasan dengan Jemaat GPM Batu Putih (P. Yamdena
Barat).
Jemaat GPM ini berada di pulau Seira, salah satu pulau
kecil di antara Kepulauan Tanimbar atau di sebalah Barat
Pulau Yamdena. Dikatakan unik, karena hanya jemaat Seira
yang terdiri atas 5 desa: Desa Weratan, Desa Temin, Desa
Welutu, Desa Rumah Salut, dan Desa Kamatubun. Masing-
masing desa memiliki hak petuanan yang meliputi beberapa
pulau besar dan kecil yakni, Pulau Selu, Pulau Wuriyaru,
Pulau Kesbui, Pulau Ngolin, Pulau Kalenan, Pulau Sukler,
Pulau Yayaru, Pulau Nera, Pulau Manuk, Pulau Nuyanat Raa,
Pulau Nuyanat Roal, Pulau Nusnitu, Pulau Nusmesa, Pulau
Terry, Pulau Difin, Pulau Ngurwuli, Pulau Nusfat, Pulau
Tavtuan, Pulau Watuwawan, Pulau Wolas, dan Pulau Weru.
Pulau Seira berada pada gugus pulau terluar yang
berbatasan dengan pulau-pulau Babar. Jemaat GPM Seira
93
berada di kota Kecamatan Wer Maktian dalam kawasan
pengembangan Kabupaten MTB.
Hubungan jemaat dengan pusat Klasis dan kota
Kabupaten di Saumlaki (Yamdena Timur) dengan jarak
tempuh ± 41 Km dapat dicapai dengan menyeberang laut
dari Seira ke jemaat GPM Batu Putih, Wermatang dan
Marantutul selama 30 menit sampai satu jam, kemudian
menempuh jalan trans-Yamdena sekitar 1 jam – 1 jam 30
menit. Sebagai pusat kecamatan, di Seira telah tersedia akses
jaringan telefon seluler dan fasilitas PLN, PDAM dan Bank
BPDM.
SEIRA BLAWAT
Penduduk yang menempati Pulau Seira datang dari
berbagai pulau sekitar, seperti: Pulau Selu, Wuryaru,
Yamdena Barat; Pulau Selaru, Yamdena Timur, dari daerah
Larat-Fordata; malah ada yang berasal dari pulu Babar,
Luang, Sermatang, Kei, Seram, dan Jawa.
Hal menempati Pulau Seira itu dituturkan dalam
beberapa versi. Menurut legenda, pulau Bersadi tenggelam
(Banjir Tuat: Sageru) sehingga terjadi persebaran manusia
yang mencari pemukiman baru, termasuk di Seira, sehingga
terbentuk lima kampung yang dikenal dengan Seira Blawat,
yakni: Welutu = Nuduan, Rumasalut = Narnera, Temin =
94
Langlengar, Weratan = Lartutul, dan Kamatubun =
Loruliksana. Ada juga suku Sermuri atau Sermori (Seira
bagian belakang) yang sejak awal menempati Pulau Seira.
Namun, dalam perang suku mereka diusir dan tersebar ke
pulau Yamdena. Dalam budaya, bahasa Seira masih
serumpun dengan Larat – Fordata, walau lebih dekat dengan
Desa Selwasa (Wermatang, Batu Putih, dan Marantutul).
Menurut cerita masyarakat sekitar Yamdena Barat,
dinamakan Seira karena bentuk pulau ini seperti “pohon
sagu yang panjang”; dalam bahasa daerah disebut Seira
Blawat (“sagu panjang”). Sebagian orang menuturkannya
sebagai mitos; Pulau Seira terbentuk dari pohon sagu yang
hanyut dan kandas di skaru (karang), kemudian membentuk
pulau. Menurut versi lain, Pulau Seira terbentuk dari Kotoran
Kerbau yang membentuk pulau.
Selain berupa mitos atau cerita rakyat, ada yang
menyebut “Pulau Seira” dengan “Botavi” ( “induk” atau
“pusat”). Botavi merupakan pemberian nama dari Belanda
karena Pulau Seira menjadi pusat pemerintahan; seperti
Botavi (baca: Botawi), pusat pemerintahan Hindia Belanda di
Nusantara. Sebutan “Botavi” dituangkan dalam syair
(Syawal): Dek Botavi Bini Damar Dawan Lokat Ran Kabal,
Suma N’vara Ebingegiar. Artinya, “kalau tanpa induk
(pusat/perempuan/ibu) berarti tidak ada terang di rumah
95
tua di Larat Fordata”. Seira dipandang sebagai induk atau ibu
dari sebagian manusia di Tanimbar.
AGAMA KRISTEN PROTESTAN DI PULAU SEIRA
Sebelum mengenal Injil, orang-orang di Pulau Seira
memeluk Agama Suku; Kepercayaan pada roh-roh orang
mati, pohon, batu dan semua benda yang memiliki kekuatan,
jiwa dan kuasa. Semisal, kepercayaan pada pulau Nusnitu,
batu-batu, pohon dan kepada patung, petuanan, pasir. Dalam
kepercayaan itu, tumbuh pemahaman dan sikap bahwa
segala sesuatu dilihat secara kolektif. Apa yang dilakukan
orang lain harus dibalas secara kolektif, seperti penyakit,
pembunuhan yang terjadi dilihat secara kolektif sampai pada
tindakan membalas secara kolektif. Selain itu, magis masih
ada dan manusia ingin menggunakannya; Diikuti ritus
kepercayaan dengan mengulang apa yang terjadi di awal,
sampai pada ritus kelangsungan hidup manusia.1
Jemaat GPM Seira merupakan hasil dari pekabaran Injil,
yang masuk di Tanimbar sudah sejak 1646 dengan hadirnya
Ds. Jacobus Vertrecht; Diperkirakan ia mampir di Seira.
Dalam rentang waktu yang panjang terjadi kevakuman di
wilayah pinggiran dan tertinggal ini, sampai pada abad ke-19
barulah Injil ditaburkan lagi di Seira, bersamaan dengan
datangnya Kapal Perang Dourga yang dipimpin oleh Let.
Kolff pada tahun 1825 untuk mengatasi peperangan
96
antarsuku di kepulauan Tanimbar. Pada saat itu ikut serta
Joseph Kam dan mampir di Seira. Sejak itu, Seira mulai
ditaburi Injil, kendati belum diresponi secara serius dari
masyarakat. Kehadiran Belanda di satu sisi dapat mengatasi
perang suku di Seira. Namun, di sisi lain, belum diketahui
secara pasti, apakah kedatangan Joseph Kam itu langsung
dilakukan pembaptisan? Atau, Kam hanya menabur Injil dan
memberikan pelayanan kepada pegawai dan tentara
Belanda.
Setelah Kam, datang seorang pendeta pribumi atau
Guru Injil pribumi (inlands leraar) di tahun 1881: Barend
Soumokil, sekaligus menjadi wakil pemerintahan Belanda
(Posthouder) di Seira, tetapi berkedudukan di Weratan. Sejak
itu, Sekolah Kristen mulai dikembangkan. Antara tahun 1882
– 1902 datang Tuan Wesplat sebagai penginjil dan
Posthouder Pemerintahan Belanda.
Pada tahun 1912 datang lagi misi Roma Katolik
pimpinan Pastor Edward Cappres dari pusat misi RK di Kei.
Ia menyamar sebagai tukang kupu-kupu; Mampir di Seira,
kendati ditolak.2 Diduga, penolakan itu menjadi persoalan
antara orang Seira dan orang Sermuri yang berujung pada
permusuhan dan peperangan. Persoalan ini muncul karena
kehadiran misi Katolik yang diterima orang Sermuri,
berujung pada kepemilikan Pulau Seira. Tampaknya
persoalan tidak sebatas kepemilikan tanah, karena
97
diboncengi kepentingan Belanda yang ingin berkuasa di
Seira. Walaupun pada akhirnya orang Sermuri diusir, tetapi
kini sebagian dari mereka telah kembali ke Seira dan hidup
berdampingan dengan tenteram sehingga tidak ada lagi
istilah Sermuri, tetapi Seira untuk semuanya. Semua orang
Seira memegang kesepakatan: “Siapa pun orang Seira mau
berkebun atau membangun rumah di wilayah mana pun
dengan seizin Pemerintah Desa, maka tidak ada persoalan di
kalangan masyarakat bawah”.
Pada tahun 1914 Guru Injil Halatu ditempatkan di
Seira. Pada tahun itu juga didirikan Sekolah Kristen
Protestan. Dari hasil Pemberitaan Injil, baptisan dilakukan
pertama kali pada tahun 1915 oleh Pdt. Deham. Berkat usaha
Guru Injil Halatu, baptisan kedua dilakukan di perigi di
pantai desa Themin oleh Pdt. Baretmeyer di tahun 1916.3
PENYATUAN LIMA SATU SEIRA
Dalam perkembangan, Seira di bagi atas tiga wilayah
pelayanan yang dipimpin oleh 3 Guru Injil. Pertama, Wijk
Themin-Weratan dipimpin oleh Pendeta/Guru Injil Silahoy
yang mulai bertugas tahun 1920. Kemudian Guru Injil S.
Soumokil mengantikan Guru Injil Silahoy pada tahun 1928.
Kedua, Wijk Welutu-Rumasalut dipimpin oleh Guru Injil J.
Lawalata yang mulai bertugas tahun 1921. Karena beliau
98
meninggal dunia di Seira, maka digantikan oleh Guru Injil D.
Syahilatua pada tahun 1928, namun setahun kemudian
digantikan oleh Guru Injil J. Pattiasina 1929. Ketiga, Wijk
Kamatubun dipimpin oleh Guru Injil Pentury yang
ditempatkan pada tahun 1923. Pada masa Guru Injil J.
Patiasina, Guru Injil. S. Soumokil dan Guru Injil Pentury,
sekolah dibagi atas tiga kelas menurut Wijk masing-masing.
Kelas 1 di Wijk Themin-Weratan, Kelas 2 di Weik Kamtubun,
dan Kelas 3 di Wijk Welutu-Rumasalut.4
Dalam perkembangan, muncul pikiran untuk
menyatukan 3 wijk ini dalam satu daerah pelayanan. Hal ini
berkaitan dengan terjadinya perkelahian antara desa
Rumasalut dan desa Themin yang dapat mengganggu
keutuhan hidup, merusak persekutuan Kristen dan proses
pendidikan, serta melukai hubungan kekerabatan dalam
kehidupan masyarakat Seira. Karena itu, Pendeta A. Mairisa
yang ditempatkan pada tahun 1932 untuk menangani
persoalan tersebut. Ia mengajak pemerintah dari lima negeri
dan tua-tua adat untuk melakukan musyawarah, kemudian
tercetuslah penyatuan tiga wijk ini pada 31 Oktober 1932
bertepatan dengan hari Nasional Kerajaan Belanda.5 Untuk
memperingatinya, maka Pdt A. Mairisa menciptakan syair
yang sangat terkenal sampai saat ini dalam kehidupan
jemaat dan masyarakat. Sejak saat itu, kesatuan Seira Blawat
dipertahankan hingga kini.
99
orang berharta kenamaan di dunia
orang beragama kenamaan di surga
bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh
lima jadi satu, tentu jadi maju
satu lawan satu, tentu jadi batu
Ternyata persoalan perbedaan dan fanatisme masing-
masing negeri yang terbangun sejak dulu dapat diselesaikan
gereja; Kesatuan masyarakat lima negeri ini dimediasi
dengan baik melalui gereja. Justru itu, muncul semboyan
“Lima Satu Seira”, lima dalam satu jemaat atau satu dalam
hal apa pun. Namun, seiring perkembangan zaman diiringi
banyak kepentingan, maka kadang “kesatuan dalam satu
jemaat” pun bisa ternodai, sehingga patut dipelihara dengan
baik.
PENDUDUKAN JEPANG
Pada tahun 1932 ditempatkan Pdt. C. Latumairissa,
menggantikan Pdt. A. Mairisa. Pada masa Pdt. Latumairissa,
masuk misi RK di Seira, diparakarsai oleh Sdr. Paulus Saul
Refwalu dan Sdr. Laliak Matruti di tahun 1938. Atas izin
Pemerintah Desa Welutu (Faloli Lenunduan sebagai Kepala
Desa) dan Pemerintah Desa Rumasalut (Metlia Seralurin
sebagai Kepala Desa), maka didirikan Gedung Gereja Katolik,
kemudian diresmikan pada Oktober 1938 di Desa
Rumasalut. Sebelumnya, Misa Baptisan I terhadap seorang
100
anak (Amandus Refwalu) dilakukan di Seira (Rumasalut)
pada 7 Agustus 1938.6 Kendati demikian, umat Katolik dan
Protesatan hidup berdampingan sebagai orang basudara
sampai hari ini.
Pada tahun 1942, Pdt. C. Latumairisa diganti oleh Pdt.
J. Manuputy, Pdt. W. H. Lawalata menggantikan Pdt. J.
Manuputy pada tahun 1943; Di masa pendudukan Jepang itu
banyak orang-orang di Seira tidak mendiami negeri. Mereka
menyingkir ke tempat-tempat yang aman, seperti kebun
(nanganwan); Ngurangar, Ngorufruan, Abadwelutu dll, atau
di pulau-pulau sekitar Seira seperti: Pulau Selu (Sabal), Pulau
Vuryaru, dll. Hanya sebagian orang yang tinggal di kampung.
Pdt. Z. Sedubun mengungkapkan daftar pelayan yang
bertugas di Seira ada beberapa tenaga pelayan, namun tahun
tugasnya tidak begitu jelas, tetapi mereka ini adalah Guru
Sekolah dan Guru Injil. Guru-guru Injil dan Guru-Guru
Sekolah itu antara lain: Mailoa, D. Efruan, Tenmury, dan
Luthurmas. Bahkan salah seorang anak negeri Seira Patti
Uren ditunjuk menjadi Guru Jemaat untuk melayni orang-
orang Kamatubun dan orang Seira lainnya di tempat-tempat
kebun pada zaman itu. Jadi, yang bertugas melayani anggota
Jemaat di kampung adalah Guru Injil Sitaniapesy.7
101
SETELAH KEMERDEKAAN SAMPAI TAHUN 1989
Untuk memenuhi kebutuhan pelayanan pada masa
kemerdekaan, jemaat merasa penting untuk membangun
gedung gereja Jemaat GPM Seira. Pada tahun 1947
ditempatakan Pdt. Tuhumuri (Senior) yang kemudian
membangun gedung gereja dari papan beratap rumbia dan
diberi nama Ebenheazer. Kedudukan gerejanya diperkirakan
berada di sekitar SMP Negri 1 Wer Maktian. Kemudian Pdt.
Tuhumuri digantikan dengan Pdt. Sihaya di tahun 1952, dan
ditahun 1954 Pdt. Siahaya digantikan oleh Pdt. Papilaya
(tahun 1954 - 1956). Pada masa itu Pdt. Papilaya bersama
jemaat Seira berupaya membangun gedung gereja, namun
tidak dapat diselesaikan karena mutasi; Pdt. Papilaya diganti
oleh Pdt. M. Tuhumuri pada tahun 1956. Gedung Gereja ini
diresmikan dengan nama Imanuel pada 24 April 1959.8
Setelah itu barulah ditempatkan Pdt. P. Lohy (1960).
102
Pada masa ini beliau melakukan pembersihan terhadap
pengunaan kuasa-kuasa kegelapan dan kepercayaan magis.
Selama masa tugas Pdt. P. Lohy ditugaskan juga Pdt. E.
Latuheru (1964), namun beliau hanya 3 bulan di Seira,
kemudian dimutasikan ke Klasis, dan Pdt. P. Lohy bertugas
sampai tahun 1968. Setelah itu, Pdt. Lohy dipindahkan dan
terjadi kekosongan selama 3 tahun.
Pada masa ini terjadi beberapa kali kekosongan tenaga
pendeta. Kendati demikian, pelayanan terus berlangsung di
bawah pimpinan Pnt. E. Rerengulu yang pada waktu itu
menjabat sebagai Wakil ketua Majelis Jemaat. Nanti pada
tahun 1971 baru ditempatkan Pdt. M. Efruan, namum
kemudian digantikan oleh Pdt. A. Ayhuan pada tahun 1976.
Pada masa kepemimpinan Pdt. Ayhuan terjadi
pergolakan besar di Tanimbar Selatan menyangkut
perpindahan besar-besaran anggota jemaat GPM ke Gereja
Kristen Protestan Injili Indonesia (GKPII) yang dimotori oleh
sebagian pelayan waktu itu. Hal yang sama pula terjadi di
Seira, di mana GKPII dibawa masuk oleh Bpk. Bokan Lalaun,
namun pengaruhnya tidak terlalu terasa.9 Stelah itu,
ditempatkan lagi Pdt. J. Sahureka bersama istri Pdt. Ny.
Sahureka sebagai pendeta jemaat pada tahun 1979 dan Pdt.
A. Hanoatubun pada tahun 1984 yang melayani selama 2
tahun. Kemudian beliau dimutasikan sehingga terjadi
kekosongan tenaga pendeta di Seira. Selama kekosongan
103
pendeta, kembali Pnt. F. Watutamata bekerja sebagai Wakil
Ketua Majils Jemaat, dan melaksanakan Persidangan Jemaat
yang pertama di tahun 1986.10
Di pertengahan tahun 1986, ditempatkan Pdt. S.
Kalabory yang bertugas sampai tahun 1988. Ia dipindahkan
dan terjadi kekosongan tenaga sampai tahun 1989. Dan saat
itu Pnt. A. I. Sairdekut sebagai Wakil Ketua Majelis Jemaat
menjadi penanggungjawab sementara di Jemaat Seira.
MASA 1989 – SEKARANG
Pada tahun 1989, Pdt. N. Taberima dimutasikan ke
Seira dan bertugas sebagai Ketua Majelis Jemaat, sedangkan
istrinya Pdt. Ny. Taberima menjalankan tugas sebagai
pendeta jemaat. Pada masa ini dirasakan bahwa Gedung
Gereja Imanuel tidak memadai untuk menampung jumlah
anggota jemaat yang datang beribadah. Oleh karena itu,
jemaat berencana untuk membangun gedung gereja baru;
pada 31 Maret 1991 dilakukan peletakan batu pertama
gedung gereja baru oleh Pdt. N. Taberima. Pembangunan
gedung gereja baru ini berlangsung selama 15 tahun baru
bisa diresmikan.
Walaupun lama, pembangunan itu menjadi
tanggungjawab pembangunan lima desa di Jemaat Seira.
Tanggung jawab pembangunan itu dibagi atas lima lokal
menurut 5 desa, yakni: Lokal 1 Desa Kamatubun, Lokal 2
Desa Rumasalut, Lokal 3 Desa Welutu, Lokal 4 Desa Temin,
104
dan Lokal 5 Desa Weratan. Pengunanan istilah Lokal ini juga
berpengaruh dalam penataan pelayanan hingga saat ini.
Pada tahun 1994 terjadi mutasi, Pdt. N. Taberima
bersama istri diganti oleh Pdt. J. Lopuhaa, kemudian masuk
lagi Pdt. Nn. W. Likliwatil di tahun 1995. Dua pendeta ini
bersama jemaat Seira melanjutkan pembangunan gedung
tersebut. Tetapi kemudian Pdt. Nn. W. Lilkliwatil
dimutasikan pada tahun 1998 dan Pdt. J. Lopuhaa
dimutasikan pada tahun 1999. Pdt. R. Likumahua bertugas
sebagai Ketua Majelis Jemaat pada tahun 1999 dan istrinya
Ny. Lastriningsi sebagai Vikaris. Di tahun 2000, Ibu
Lastriningsi ditahbiskan dan ditempatkan menjadi pendeta
jemaat di Seira. Pada masa ini juga ditempatkan Pdt. E.
Laiyan dan bertugas di jemaat GPM Seira sampai pensiun di
tahun 2007.11 Dalam tahun 2001 masuk Gereja Betel
Indonesia (FBI) yang dibawakan oleh Gemabala Sidang
Robert Resimanuk di Desa Temin, namun tidak mendapat
respon baik masyarakat dan gembala sidang tersebut
meninggalkan Seira.
Setelah itu Pdt. R. Likumahua bersama istri
dimutasikan di tahun 2003 dan terjadi kekosongan tenaga
pendeta, sehingga Pnt. M. Mofun sebagai Wakil Ketua Majelis
Jemaat saat itu menjadi penangungjawab pimpinan jemaat
selama beberapa bulan, sampai datang Pdt. Nn. F. Sahetapi
(2003) sabagai pendeta jemaat untuk mengisi kekosongan
105
tenaga pelayan. Tahun 2004, Pdt. Nn. F. Sahetapi
dimutasikan, dan digantikan oleh Pdt. Ny. L Rangkoratat/B
dalam jabatan sebagai Ketua Majelis Jemaat dan pada tahun
2006, juga ditempatkan Pdt. J. Rooy sebagai pendeta jemaat,
kemudian ditarik ke Sinode GPM pada tahun 2008.
Pergumulan Jemaat GPM Seira selama 15 tahun
membangun gedung gereja baru itu baru terjawab setelah
diresmikan dengan nama Eirene pada 24 September 2006 di
masa tugas Pdt. Rangkoratat/B. Gereja ini diresmikan dan
ditabiskan oleh Pdt. Dr. J. Chr. Ruhulesin, M.Si yang
disaksikan oleh Gubernur Maluku Karel Albert Rarahalu.
Pembangunan gedung gereja ini dilakukan atas pergumulan
anggota jemaat yang tulus untuk mengorbankan waktu
tenaga, pikiran hingga selesai dan tuntas.
Dalam tahun 2008, kembali GBI dibawakan oleh
Gembala Sidang Johan Lartutul, sehingga muncul sedikit
konflik dalam kehidupan jemaat, namun bisa diredahkan.
106
Kemudian, atas kesepakatan lima kepala desa di Seira
Blawat, maka dikeluarkanlah izin pembangunan gedung
gereja GBI atas nama Kepala Desa Kamatubun N. Uren.
Dengan legalitas yang diberikan oleh Camat Wermaktian Drs.
Th. Rangotwat lewat penerbitan Kartu Tanda Penduduk
Sementara secara kolektif dengan kelompok umur anak
hingga dewasa kepada 126 jiwa, sehingga di tanggal 27
November 2010 dilakukan peletakan batu pertama oleh
Camat Wermaktian saat itu Drs. Th. Rangotwat.
Pada tahun 2009 dilakukan pengembangan pelayanan
untuk menjawab kebutuhan pelayanan di wilayah Pulau
Sabal (sebelah timur Pulau Selu) dan Wilayah Ngilyawan
(sebelah barat Pulau Wuryaru). Walaupun diliputi tantangan,
keputusan Persidangan ke-22 Jemaat GPM Seira mengutus
pelayan Majelis Jemaat ke Sabal dan Ngilyawan dengan
alasan yang sangat mendasar bahwa wilayah ini merupakan
tempat berkebun sebagian masyarakat dari desa Kamatubun
yang jarang pulang ke kampung sehingga mesti
mendapatkan sentuhan pelayanan. Pada Januari 2010
ditahbiskanlah Majelis Jemaat Seira termasuk Majelis Jemaat
untuk wilayah Sabal dan Ngilyawan.
Pada tahun 2009 Pdt. Ny. L. Rangkoratat/B terlibat
dalam proses politik demokrasi pada pemilihan legislatif,
maka beliau dibebastugaskan sementara dari jabatan Ketua
Majelis Jemaat Seira dan Pdt. Nn. M. Noya ditempatkan
107
sebagai deteser selama 3 bulan (Mei – Juli). Justru itu, Pdt. Ny.
L. Rangkoratat/B menjalankan tugas sampai tahun 2010 dan
pada tanggal 19 Desember 2010 melakukan serah terima
jabatan Ketua Majelis Jemaat kepada Pdt. H. Y. Rehy;
ditempatkan juga Pdt. Ny. D. F. Mailuhu/R (istri Pdt. H. Y.
Rehy) sebagai Pendeta Jemaat GPM Seira. Di tahun 2011,
tepatnya 14 Agustus 2011 ditempatkan Pdt. D. P. Lopulalan
sebagai pendeta jemaat bersama dua pendeta sebelumnya.
Di tahun 2012 sesuai Keputusan Persidangan ke-25
Jemaat GPM Seira, maka Sabal dan Ngilyawan dijadikan 1
Sektor pelayanan yaitu Sektor Samaria dan 2 unit pelayanan
(Ngilyawan = Unit 1 dan Sabal = Unit 2). Di tahun 2013
terjadi pergolakan dalam Jemaat GPM Seira dengan hadirnya
Gembala Sidang Gereja Pentakosta Di Indonesia (Taniwel).
Namun, pelayanan gereja ini dihentikan karena tidak
mendapat izin pelayanan sesuai dengan aturan penyiaran
agama.
Di tahun 2014 berlangsung pemilihan Majelis Jemaat,
Unit Sabal dan Ngilyawan turut dalam pencalonan dan
Pemelihan Majelis Jemaat yang ditahbiskan pada Januari
2015. Pada 13 September 2015, Pdt. H. J. Rehy dan Pdt Ny. D.
Rehy/M dimutisaikan ke Klasis Teluti, dan Pdt. D. P.
Lopulalan diangkat manjadi Ketua Majelis Jemaat GPM Seira.
Demi pengembangan pelayanan, maka dalam
Persidangan ke- 29 Jemaat GPM Seira tahun 2016
108
diputuskan untuk menyampaikan kepada Majelis Pekerja
Klasis dalam persidangan Klasis ke-43 tahun 2016 di jemaat
Werain agar pemekaran Sabal dan Ngilyawan menjadi
jemaat difinitif dan diterusakan kepada MPH Sinode GPM.
Alasan mendasar terhadap pemekaran ini, karena rentan
kendali yang sering dipengaruhi oleh kondisi alam dan
musim sehingga sulit dilakukan pengendalian
pengembangan pelayanan dari pusat jemaat di Seira. Selain
itu, pergerakan penyiaraan dan pelayanan GBI yang
menggangu keberadaan anggota jemaat di Sabal terjadi
secara intensif. Maka, pada 19 Februari 2017 ditempatkan
dua pendeta, yaitu Pdt. D. Th. Meruwela dan Pdt. Ny. R.
Meruwela/R sebagai pendeta jemaat dan bertugas hingga
saat ini. Dengan demikian, tenaga pelayan sejak tahun 1881
dari Guru Injil, Pendeta Pribumi sampai Pendeta di tahun
2018, di Jemaat GPM Seira, sebanyak 44 tenaga pelayan.
PERKEMBANGAN PELAYANAN SAMPAI SAAT INI
Sejak tahun 2010, di Jemaat GPM Seira terdapat 16
Sektor (15 di Seira, 1 di Sabal-Ngilyawan) dengan jumlah
unit 48, dilayani oleh 96 Majelis Jemaat dan 3 pendeta
dengan jumlah jiwa sebanyak 6508 atau 1511 KK. Baik
wadah pelayanan laki-laki maupun perempuan, berlangsung
di tingkat sektor. Sedangkan Sekolah Minggu berlangsung
109
pada tingkat desa (lokal) dengan memanfaatkan Balai Desa
di masing-masing desa. Tunas Pekabaran Injil dilaksanakan
pada setiap sektor. Sementara itu, dibentuk wadah pelyanan
Warga Gereja Senior yang dijalankan secara umum di gedung
gereja. Pelayanan Angakatan Muda GPM terdiri atas Cabang
Imanuel I dan Cabang II Seira dengan jumlah ranting 8.
Seira sebagai pusat kecamatan telah bertumbuh
sebagai wilayah yang plural dalam kehidupan bergereja dan
agama-agama yang tidak bisa dihindari, antara lain Gereja
Katolik, GBI, GKPII, GPDI, dan basudara dari kalangan Islam.
Sampai hari ini, lewat berbagai proses bergereja dan
bermasyarakat, kehidupan orang Seira yang terbuka
terhadap perbedaan telah membentuk kehidupan
persaudaraan dan penghargaan terhadap semua pihak.
Justru itu jika ada orang baru tiba di Seira, selalu diberikan
orang tua angkat serta nama Tanimbar (nama adat) agar
menjadi bagian dari kehidupan adat dan budaya masyarakat
setempat.
110
3. JEMAAT GPM NAMTABUNG
Nama Namtabung berasal dari bahasa Fordata (Desa
Seira) yakni Name-Tabung yang artinya kolam atau ke dalam,
sedangkan dalam bahasa setempat (bahasa Selaru) yaitu
Ulkwe Kleti yang artinya “tempat yang dalam”. Kata Name-
Tabung yang digunakan hingga sekarang dengan ejaan yang
agak berbeda yakni Namtabung.
LETAK GEOGRAFIS
Secara geografis, Jemaat GPM Namtabung memiliki
lahan seluas 2884,46 ha dengan batas-batas wilayah
pelayanan sebagai berikut: sebelah Timur berbatasan
dengan Jemaat GPM Adaut dan Jemaat GPM Kandar; sebelah
Barat berbatasan dengan Laut; sebelah Utara berbatasan
dengan Laut; sebelah Selatan berbatasan dengan Jemaat GPM
Lingat.
Jemaat GPM Namtabung merupakan salah satu jemaat
yang berada pada kawasan Klasis Tanimbar Selatan dan
pada wilayah pemerintahan Kabupaten Maluku Tenggara
Barat, Kecamatan Selaru. Jemaat GPM Namtabung adalah
satu dari 7 Jemaat GPM yang menempati Pulau Selaru yang
memiliki jarak tempuh ke pusat Kabupaten atau pusat Klasis
Saumlaki dengan menggunakan transportasi laut (speed boat
dan motor laut mesin johnson) ± 2 jam perjalanan dengan
111
biaya Rp. 50.000 per orang. Sedangkan jarak temput ke pusat
Kecamatan (Adaut) lewat jalur darat ± 1 jam perjalanan.
Kondisi transportasi saat ini berbeda dengan masa lalu;
Sarana transportasi laut masih menggunakan perahu layar
dengan waktu tempuh ke pusat Klasis/Kabupaten selama 2-3
hari pelayaran, itu pun jika kondisi alam baik dan tenang.
Untuk jalur darat dapat ditempuh dengan hanya berjalan
kaki menyusuri jalan-jalan ‘setapak’ di tengah hutan yang
cukup beresiko. Kini, akses transportasi darat sangat
memudahkan mobilisasi masyarakat untuk bepergian
antarkampung di pulau Selaru. Demikian juga jalur laut
dengan tersedianya sarana transportasi laut milik warga
masyarakat/jemaat sudah mengefisiensi waktu dan tenaga
saat melakukan pelayaran menuju pusat Klasis/Kabupaten
ataupun jemaat lainnya.
SEJARAH TERBENTUKNYA KAMPUNG/NEGERI
Asal-muasal terbentuk perkampungan sampai menjadi
desa definitif tidak berlangsung dalam waktu pendek dan di
lokasi saat ini. Waktu terbentuknya pun tidak diketahui
secara pasti, karena tidak ada arsip desa yang dapat
dijadikan sumber rujukan. Wilayah atau lokasi Desa
Namtabung sekarang merupakan wilayah kosong
pemukiman yang ditempati beberapa waktu, kemudian
112
setelah para datuk orang Namtabung meninggalkan Limiang
(salah satu daerah pesisir desa Lingat yang kini menjadi
perbatasan antara Desa Namtabung dan Desa Lingat) yang
merupakan tempat awal mereka membangun kehidupan.
Tokoh yang diangkat sebagai pimpinan kelompok
masyarakat (kemudian hijrah dan menempati kampung lama
(desa Namtabung) adalah Nabrahi Ambitiaman.
Perkampungan awal (Hnu a Ntuke: kampung tua)
terletak di dataran yang lebih tinggi dari yang sekarang
(pesisir) dan dipagari dengan timbunan batu-batu besar
(lutur) yang mengelilingi perkampungan (lihat gambar di
bawah yang diberi tanda).
Sebelum kampung lama
ditempati, dalam
perjalanan dari
Limiang, datuk moyang
orang Namtabung
berdomisili sementara
di daerah pesisir Ulkwe
Kleti di kampung sekarang dan dipimpin oleh Bpk. Ajau.
Setelah itu, mereka mendiami lokasi yang merupakan
kampung lama desa Namtabung yang terletak di dataran
tinggi, dikelilingi pohon dan bebatuan besar yang disebut
Hnu a Ntuke (kampung lama). Untuk periodisasi
kepemimpinan dalam masyarakat dapat dilihat pada
113
lampiran daftar kepemimpinan masyarakat dan atau desa
Namtabung.
Dari kehidupan sosial budaya, masyarakat Namtabung
merupakan masyarakat adat yang memiliki nilai-nilai
budaya, norma, hukum dan aturan yang telah diwariskan
dari leluhur. Semua itu dipelihara, dilaksanakan, malah
direfleksikan secara berulang sesuai konteksnya. Masyarakat
Namtabung saat ini memiliki sistem pemerintahan desa yang
dikepalai oleh kepala desa yang dipilih secara demokrasi,
bukan penunjukkan berdasarkan garis keturunan seperti
masa lampau.
Ada banyak warisan budaya adat-istiadat yang
mewarnai seluruh dinamika sosial masyarakat Namtabung
dan berpengaruh dalam pelayanan gereja. Beberapa di
antaranya, realitas sosial hidup bermasyarakat dan bergereja
di Namtabung sangat kental dipengaruhi oleh adat dan
budaya Duan-Lolat yang menjadi ciri khas dan primadona
masyarakat Tanimbar pada umumnya.
Di Namtabung secara khusus (juga Selaru), lebih
dikenal istilah Serimwany (pihak laki-laki) dan Serimfwet
(pihak perempuan). Nilai budaya ini yang selalu
memengaruhi aktifitas sosial, sehingga membentuk cara
berpikir dan bertindak dari orang Namtabung. Misalnya,
untuk membangun rumah, yang memegang tiang rumah
adalah serimwany. Begitupun juga kalau keluarga membuat
114
kal-kal atau syukuran keluarga waktu membangun rumah,
masuk rumah baru, orang meninggal [nalu], pernikahan, dan
sejenisnya, selalu melibatkan serimwany-serimfwet. Pihak
seimwany membawa kain tenun (tais) dan bahan makanan,
pihak serimfwet membawa sumbangan atau tanggungan
berupa uang
Ada juga nilai adat yang sangat menunjukkan
kekerabatan yakni pengangkatan pendatang menjadi anak
pada keluarga tertentu apabila mereka mendiami negeri
dalam waktu yang lama, termasuk pendeta atau vikaris,
menantu, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan, yang
menikah dengan anak-anak negeri. Prosesi demikian
dilakukan dengan ritual tikam tanah. Jika yang bersangkutan
hendak meninggalkan kampung untuk tidak kembali lagi,
maka dibuat juga acara pelepasan berupa “mandi kemiri”
yang dilakukan hanya oleh tua adat dari marga Watumlawar.
Adat tikam tanah (Rsau Lasmer) merupakan tradisi
turun-temurun yang diwariskan agar “memperkenalkan”
orang yang baru datang dan hendak berdiam di negeri ini
kepada leluhur. Karena itu, kepada orang baru dan anak
mantu yang berasal dari luar Pulau Selaru perlu “diadatkan”.
Hal ini pun berlaku untuk anak Namtabung yang lahir dan
dibesarkan di luar Namtabung. Prosesinya melewati
beberapa mata rumah, antara lain: mata rumah Lorkyekmata
(Muka Kampung, di bawah kawasan keluarga Lerebulan),
115
Rangkoratat, Haluruk, Laratmase, Watumlawar, Loblobly,
Kasantaru, Maskikit, Nureroan, Sambonu Satu dan Sambonu
Dua. Acara dilakukan dengan Doa Adat yang dilengkapi
barang adat berupa: sopi, siri pinang, uang natsar12 yang
semuanya diletakan di nyiru (alat penampih yang terbuat
dari anyaman daun lontar).
Sistem kekerabatan lainnya tampak dan berpengaruh
dalam kehidupan bergereja adalah pengelompokkan
masyarakat sesuai kelompok umur atau teman sebaya.
Kelompok ini disebut “tubuh”, “kesatuan” atau “koor” yang
dipimpin oleh seorang ketua atas kesepakatan bersama,
serta dilengkapi dengan struktur kepengurusannya.
Kelompok ini berperan penting dalam aktifitas pemerintah
desa dan gereja. Misalnya, dalam pembangunan di desa dan
gereja, sistem dan pembagian kerja diatur berdasarkan
kelompok “tubuh”. Bukan semata membantu masalah
pembangunan, tetapi juga menyangkut seluruh aktifitas.
Tampak pada Paduan Suara yang bertugas dalam ibadah
minggu, Panitia Hari Raya Gerejawi yang tiap tahun
dipercayakan kepada koor secara berurutan dari yang paling
senior ke junior, AMGPM pada ranting-ranting yang dibagi
bukan berdasarkan sektor sesuai aturan organisasi tetapi
kesatuan/koor. Kesatuan/Tubuh/Koor itu terbagi atas 13
Kelompok antara lain: (1). Raja Siang (Imanuel): (kelahiran
tahun 1946–1949), (2). Beta Baru (Selah Malaekot):
116
(kelahiran tahun 1950–1953), (3). Semangat Baru
(Rehoboth): (kelahiran tahun 1954–1956), (4). Gelora Baru
(Helios): (kelahiran tahun 1957–1958), (5). Tunas Baru
(Adelar): (kelahiran tahun 1959–1961, (6). Tunah Harapan
(Solafide): (kelahiran tahun 1962–1964), (7). Sinar
Wermanasar (Katrin): kelahiran tahun 1965–1966), (8).
Teluk Olender (Getsemani): (kelahiran tahun 1967–1968),
(9). Bintang Wermanasar (Via Dolorosa): (kelahiran tahun
1969–1971), (10). Wermanasar Indah (Pniel): (kelahiran
tahun 1972–1978), (11). Mitra Daiktutu (Haleluya):
(kelahiran tahun 1976–1983), (12). Panter (Kalvari):
(kelahiran tahun 1984–ke atas), (13). Talaeras (Talitakum):
(kelahiran tahun 1990–ke atas).
Bahasa Selaru adalah bahasa ibu yang masih hidup di
Namtabung; Masyarakat selalu mempergunakan bahasa ibu
dengan dialegnya yang agak berbeda dengan desa-desa
tetangga. Selain bahasa, Namtabung juga memiliki tarian
budaya berupa tarian Tnabar dan Angkosi. Tarian ini menjadi
ciri khas masyarakat Namtabung, tetapi juga masyarakat
Tanimbar umumnya. Tarian ini selalu digunakan pada acara
tertentu di desa, dan aktifitas bergereja. Agar tetap hidup,
maka pada hari nasional maupun perayaan gerejawi, tarian
tersebut selalu dilombakan antarklub/kesatuan/koor.
Untuk menjamin kelangsungan hubungan yang baik
dan harmonis antarmasyarakat, diperlukan hukum/aturan
117
yang mengatur dan mengikat masyarakat. Dalam konteks ini
yang disinggung adalah aturan/hukum adat sebagai warisan
leluhur tetapi juga merupakan refleksi terhadap kehidupan
masa kini. Jika adat tidak dijalani secara teratur, maka akan
dikenakan denda sesuai pelanggaran yang diputuskan dalam
sebuah Tata Tertib Desa,13 seperti uang tunai, babi naneri,
sopi dan siri pinang.
Sekalipun sistem budaya di Namtabung masih
patriakhis, namun pada bidang tertentu kaum perempuan
lebih memiliki peran pada bidang pendidikan, kesehatan dan
pelayanan gereja. Sedangkan bidang pemerintahan di desa
tidak ada perempuan yang dipercayakan, seperti; menjadi
Saniri negeri, BPD, LKMD, dll. Perempuan hanya menjadi
pemimpin sebatas kelompok atau organisasi, seperti
Kelompok Tenun, Dharma Wanita atau PKK. Perempuan juga
kurang menghadiri pertemuan-pertemuan desa, khususnya
dalam pengambilan keputusan. Malah dalam keluarga, istri
mesti tunduk pada suami dan tidak diperbolehkan membuat
keputusan tanpa sepengetahuan suami. Jika tidak, maka ia
dianggap melecehkan adat-istiadat karena tidak menghargai
suami dengan resiko sanksi adat berupa denda uang, sopi
dan kain tenun.14
Dalam pelayanan gereja, untuk pertama kali dalam
periode 2010-2015 terdapat 10 perempuan dipercayakan
sebagai Majelis Jemaat dan periode 2015-2020 terdapat 13
118
perempuan. Dibandingkan periode-periode sebelumnya,
hanya seorang perempuan yang terpilih sebagai Majelis
Jemaat.
AGAMA KRISTEN PROTESTAN MASUK DI
NAMTABUNG
Kapan Injil masuk di Namtabung, tidak diketahui
secara pasti. Dari tradisi lisan tentang berdirinya desa ini,
diperkirakan akhir abad ke-19 setelah leluhur mendiami
tempat kampung lama. Ada beberapa catatan sejarah yang
menunjukkan tahun-tahun baptisan dari beberapa leluhur
negeri ini.15
Dari sini tergambar sejarah
penginjiilan di negeri ini. Pada
tahun 1895 baptisan
dilakukan kepada beberapa
orang diantaranya Bpk.
Hermanus Watumlawar
(meninggal tahun 1995
tepatnya 100 tahun ia
dibaptis). Kemungkinan,
sebelumnya Injil sudah masuk karena menurut Bpk.
Dominggus Betoky (mantan Majelis Jemaat),16 aktifitias
sekolah sudah dilakukan sejak Guru Injil Bpk. Sahertian
sehingga Injil sudah diberitakan saat itu.
119
Menurut informan lain, Bpk. Oktovianus Haluruk (87
tahun) pernah Pekabar Injil Belanda dikawal oleh serdadu
Belanda di bawah pimpinan Kopral Ayal, hadir di Hnu a
Ntuke. Waktu itu, semua orang (laki-laki perempuan)
berambut panjang, namun dapat dibedakan pada laki-laki
menggunakan pewarna putih pada rambut mereka. Dengan
kehadiran pekabar Injil dari Belanda, masyarakat mulai
diperkenalkan tentang Injil.
Proses peribadahan dan belajar-mengajar mulai
dilakukan setelah masyarakat pindah dari Hnu a Ntuke
(kampung lama) ke jemaat sekarang. Tempat yang
digunakan adalah bangunan sederhana, berdinding bambu
dan atap daun kelapa, sebagai rumah ibadah dan sekolah.
Tempat peribadahan (gereja) mengalami 3 (tiga) kali
perpindahan/pembangunan baru dan dipergunakan sampai
sekarang dengan nama Sion. Gedung gereja yang sekarang
mengalami pembangunan baru karena daya tampung dan
kondisi fisik gedung semula (ke-2) tidak dapat
120
dipertahankan karena usia dan efek gempa tahun 1960.
Proses pembangunan dimulai lewat akta peletakan Batu
Alasan pada 25 April 1970 oleh Pdt. P. Lohy (Ketua Klasis
Tanimbar) dan pada masa pelayanan Pdt. P. Nahumury.
Gereja yang baru itu diresmikan pada 27 Oktober 1985 oleh
Pdt. Dr. A. N. Rajawane (Ketua Sinode), pada masa pelayanan
Pdt. S. Kalabory. Tanggal ini yang digunakan oleh Jemaat
Namtabung untuk memperingati HUT Peresmian Gereja
Sion.
Dalam hidup bergereja, umat di Namtabung telah
bertumbuh dan berakar dalam GPM, sehingga membentuk
tekad bersama untuk tetap mempertahankan GPM dan
menolak secara tegas segala bentuk proselitisme oleh
denominasi atau agama apa pun. Tekad itu teruji ketika
tahun 1976 (masa pelayanan Pdt. Mailuhu), GKPII mencoba
masuk dan rencana diresmikan pada 9 November 1976 oleh
anak-anak Namtabung Perantauan (Ambon), namun tidak
berhasil.17 Kemudian di tahun 1980, seorang guru dari Desa
Latdalam yang ditugaskan di SD Kristen Namtabung
mencoba memasukkan GKPII dengan cara membawa
beberapa orang dari Latdalam dan membuat ibadah di
rumahnya. Namun umat dan pelayan menghentikannya.
Tahun 1993 oleh Pdt. Anton Rangkoratat yang adalah anak
negeri mencoba membawa masuk GSJA, namun secara tegas
ditolak oleh umat yang diprakarsai oleh kelompok Pemuda.
121
Saat itu, rumah dari keluarga Pdt. Rangkoratat yang
dijadikan tempat ibadah dilempari dan dibubarkan kegiatan
ibadahnya.
Hal yang sama dilakukan kepada Ny. Sophia Betoky
yang membawa aliran Yehova dengan cara membagi-bagikan
buku kepada anggota Jemaat. Dengan tegas pelayan dan
umat menegur dan melarang tindakan tersebut. Dengan
sikap tegas, sampai sekarang Namtabung murni GPM.18
Prinsipnya, mereka tidak menutup diri untuk menerima
siapa pun tanpa membeda-bedakan atau melakukan
tindakan intimidasi jika kehadiran mereka tidak dibarengi
maksud dan tujuan menyiarkan dan atau melaksanakan
praktik kepercayaan yang lain (selain GPM). Hal ini terbukti
dengan hadirnya beberapa warga Islam yang bekerja sebagai
karyawan PT. Pulo Mas di desa Namtabung, khususnya
dalam pembelian tangkapan hasil laut berupa ikan kerapuh,
lobster dan pengusaha speed boat, namun keberadaan
mereka tidak pernah diintimidasi.
Dalam pembangunan gedung gereja selama 15 tahun,
bukanlah usaha yang mudah, sebab di antaranya muncul
banyak tantangan dan ancaman, semisal, peperangan antara
masyarakat Namtabung dan Lingat (± tahun 1976-1977)
yang berdampak pada ancaman kelaparan di negeri
Namtabung. Konon, dalam proses pengerjaan gereja sangat
bersifat sakral. Kepala Desa waktu itu sangat disiplin dan
122
tegas terhadap anggota masyarakat yang terlambat datang
bekerja.19 Mereka dilarang mengerjakan pekerjaan lain
apabila sedang mengerjakan gereja. Karena pembangunan
gedung gereja dulu disesuaikan dengan keberadaan umat
saat itu, maka setelah 5 tahun perjalanan ada beberapa
bagian yang mengalami kerusakan karena terbuat dari bahan
yang tidak berkualitas dan kapasitasnya pun tidak dapat
menampung umat yang terus bertambah. Karena itu, pelayan
dan umat sepakat membentuk Panitia Renovasi, sehingga
mereka mengupayakan dana pembangunan; dalam
realitasnya bukan renovasi tetapi membangun gedung gereja
baru.
Pekerjaan renovasi ini dilaksanakan secara bertahap,
sesuai kemampuan jemaat atau ketersediaan dana yang
memadai. Tahun 1990 panitia dibentuk dan dilantik,
sementara pekerjaan renovasi dimulai pada tahun 1991
dengan menggantikan bagian depan gedung gereja yang
terbuat dari kisi-kisi dengan kayu lenggua. Kemudian tahun
1994 mengerjakan bagian samping kiri & kanan bangunan,
serta pekerjaan pada tahun terakhir (2009-2012)
menggantikan model dinding berbentuk batu angin-angin
dengan menggunakan jendela kaca. Tahun 2013-2018 yang
tersisa pekerjaan renovasi gereja adalah bagian teras dan
menara lonceng.
123
Sejak diresmikan gedung Gereja Sion (yang kini
dipakai) dan gedung gereja yang lama dibongkar, tidak ada
dokumen-dokumen pelayanan gereja yang tersimpan pada
gedung gereja yang lama luput dari pemeliharaan/perhatian
Majelis Jemaat pada waktu itu. Tidak ada satu pun dokumen
pelayanan gereja yang diamankan di tempat aman. Mungkin,
ketika dibongkar, selain beberapa lembaran lepas, Buku
Register baptisan pada zaman sebelumnya diamankan Alm.
Tuagama Charles Masombe, turut hilang; dokumen tentang
pelayan yang melayani di Namtabung pun tidak ada. Karena
itu, Majelis Jemaat menempuh langkah wawancara terhadap
beberapa orang tua yang kini berusia di atas 80 tahun,
namun dulu pernah bertugas sebagai Majelis Jemaat dan
Tuagama. Namun beberapa tahun pelayanan di antaranya,
tidak diingat lagi sebagaimana terlihat pada tabel lampiran.
Guru Injil Sitania, menurut tuturan informan, tidak
tinggal di pemukiman bersama masyarakat/jemaat yang
masih mendiami Hnu a Ntuke. Beliau tinggal di dataran yang
124
lebih rendah ke arah pantai, karena itu oleh orang tatua
membuat sumur air bersih untuk digunakan oleh Guru Injil
Sitania, dan sumur tersebut masih ada sampai sekarang
namun dalam kondisi yang tidak terawat sehingga menjadi
kering dan sumur tersebut diberi nama sumur Sitania.
Proses “menanam dan menyiram” terus dilakukan
dengan berpegang pada GPM. Jumlah jiwa per akhir 2017
terhitung sebanyak 1.612 jiwa dari 453 KK yang tersebar
dalam 4 sektor dan 16 unit pelayanan yang dilayani oleh 32
orang penatua-diaken serta 2 pendeta (suami-istri).
Jemaat GPM
Namtabung telah
memiliki 1 buah Pastori
parmanen yang dibangun
pada masa pelayanan
Pdt. Johan Talaud, 1 buah
gedung SMTPI yang
diresmikan pada 12 Juni 2016, 1 buah Pastori baru yang kini
masih dalam tahap penyelesaian pekerjaan, dan 1 lokasi
lahan kebun kelapa.
Dalam aktifitas pelayanan, pengorganisasian wadah
pelayanan di Jemaat GPM Namtabung meliputi: wadah
SMTPI (Batita-Remaja) berdasarkan sub-sub jenjang,
AMGPM, Pelayanan Laki-laki dan Pelayanan Perempuan.
Selain itu, khusus di Selaru umumnya, AMGPM dan Wadah
125
Pelayanan Laki-Laki tidak terlaksana berdasarkan Sektor
Pelayanan, melainkan berdasarkan kelompok usia sedawar
yang disebut club atau koor. Untuk Wadah Pelayanan
Perempuan terorganisir pada empat sektor pelayanan.
Diakui bahwa pelayanan gereja bagi umat kategori
PMKS selama ini masih didominasi dengan pelayanan
materi/natura pada akhir tahun. Pelayanan pastoral non-
formal masih belum maksimal. Karena itu, Majelis Jemaat
menyarankan agar setiap kelompok Panitia Pelaksana Hari
Besar Gerejawi di jemaat dapat mengupayakan kegiatan
pelayanan Diakonal. Sehingga, pada tahun 2016 oleh Panitia
Hari Besar Gerejawi dari Koor Pniel, membangun 2 rumah
parmanen bagi dua ibu janda, dengan ukuran 6x4 meter yang
dilengkapi dengan beberapa set mobiler serta pemasangan
listrik PLN.
Dalam upaya meningkatkan pemberdayaan di bidang
pertanian, maka sesuai Keputusan Persidangan Jemaat Ke-29
tahun 2015 diutus seorang pemuda (tuagama) Nikolaus
Marsela untuk menjalani Pendidikan dan Pelatihan Pertanian
selama 9 bulan di Karanganyer-Solo dengan biaya APB
Jemaat. Sayangnya sampai saat ini yang bersangkutan tidak
memberdayakan keahlian ilmu pertanian yang diperoleh,
mengajarkan keahlian tersebut kepada warga Jemaat.
Di kalangan perempuan gereja, telah beberapa kali
dilakukan pelatihan menu dari bahan makanan lokal
126
sehingga perempuan di jemaat memiliki keterampilan
mengolah bahan makanan lokal menjadi menu-menu yang
variatif dan kompetitif. Keterampilan mengolah menu ini
turut meningkatkan pendapatan keluarga, selain menambah
keragaman bahan makanan lokal dengan rasa dan model
yang mengundang selera. Bagi laki-laki gereja yang
mengikuti program pemberdayaan tingkat Klasis dengan
pelatihan pembuatan kursi sofa di jemaat Matakus,
sayangnya keahlian tersebut tidak dikembangkan. Untuk
wadah Sekolah Minggu/Tunas Pekabaran Injil (SM/TPI),
khususnya Kelas 5-6 SD dan SMP, diberikan pelatihan
Komputer, tetapi proses pelatihan ini masih sebatas dasar-
dasar pengenalan operasional program office (Word dan
Power Point), karena terbatasnya waktu tenaga pelatih yang
biasanya hanya dilakukan oleh Pendeta Jemaat.
Dalam proses perkembangan Injil di jemaat (bahkan di
Klasis Tanimbar Selatan) telah banyak berperan melengkapi
dan meningkatkan kapasitas warga gereja di bidang tertentu.
Misalnya, pelatihan Tim Advokasi Anak (2017), Tim Tanggap
Bencana (2016) yang kemudian dibentuk di jemaat-jemaat,
termasuk Namtabung. Demikian pula kesehatan, pendidikan,
politik, warga gereja serta gerakan-gerakan provokasi cinta
lingkungan, serta kegiatan lainnya.
Desa-desa di Kecamatan Selaru sering mengalami
konflik batas tanah antardesa yang kadang berujung pada
127
pertikaian fisik. Terhadap konteks ini, gereja telah dan
senantiasa melakukan pembinaan dan pendampingan
tentang makna hidup sebagai satu keluarga Allah. Di
samping itu, dalam menghadapi tantangan masa depan
(dampak multidimensi bila Block Masela beroperasi), gereja
terus melakukan pencerahan agar warga gereja dapat
membekali diri sehingga tidak ceroboh dalam menentukan
pilihan atau langkah.
Jemaat Namtabung adalah jemaat yang sebagian besar
bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Sementara
yang lainnya yaitu Guru (PNS dan honorer), Petugas
Kesehatan, Pengusaha, Tukang bangunan, tukang jahit, dan
lain-lain. Profesi terbesar yang dijalani masyarakat adalah
berhubungan dengan sumber daya alam yang tersedia baik
di darat maupun di laut, sehingga pada diri seseorang bisa
melekat beberapa profesi. Artinya mereka bisa saja bekerja
di darat (petani) maupun di laut (nelayan) sebab hal ini
terkait juga dengan kondisi iklim/musim.
Usaha ekonomi umat melalui kebun-kebun dilakukan
dengan menanam beberapa jenis tanaman yang disesuaikan
dengan jenis tanah dan iklim. Jenis-jenis tanaman
perkebunan dan perladangan yang dikelolah serta upaya
yang dilakukan meliputi tanaman umur pendek (umbi-
umbian, bawang, kacang-kacangan, padi, dan sayuran), serta
tanaman umur panjang mangga, kelapa dan pohon jati.
128
Namun, usaha perkebunan yang dilakukan masih sebatas
pada memenuhi kebutuhan sehari-hari (makan), kurang
dipasarkan karena turut dikondisikan oleh rendahnya
mentalitas usaha. Justru itu, untuk memenuhi kebutuhan
lain, seperti pendidikan, tuntutan adat dan lain-lain, masih
bertumpu pada pengelolaan hasil kelapa (kopra), taripang,
lola, ikan kerapuh dan rumput laut.
Sistem berkebun pun masih dipengaruhi tradisi leluhur
–berpindah-pindah dengan membuka lahan baru dan
“membakar kebun” pada wilayah hutan.20 Pola ladang
berpindah merupakan tahapan pertanian setelah berburu
dan meramu, di mana petani berpindah dari satu lahan usaha
tani ke lahan baru yang dibuka di kawasan hutan desa. Pada
mulanya ditanami tanaman pangan seperti padi ladang,
umbi-umbian, dan jagung. Setelah 4 musim tanam kesuburan
tanah berkurang, sehingga petani meninggalkan lahan
dengan menanam tanaman kelapa, bahkan ada yang
dibiarkan dan menjadi “lahan tidur”.
Untuk pemenuhan kebutuhan sayur-mayur,
disesuaikan dengan musim. Saat musim hujan produksi
sayur yang dominan seperti, daun singkong, pepaya, jantung
pisang, kacang panjang. Saat musim panas, sayuran yang
dominan adalah sawi, kangkung, kol kepala, bayam, wortel,
dll., yang merupakan hasil pengolaan dan pemanfaatan
lahan/pekarangan rumah. Namun, pemasarannya dilakukan
129
secara lokal karena beberapa hal: hasil produksi yang kurang
maksimal, rasa malu memasarkan hasil produksi ke kota
kabupaten, besarnya biaya pemuatan (angkutan laut).
Di waktu belakangan ini, Jemaat GPM Namtabung giat
dalam pengembangan sektor perkebunan. Dalam kerjasama
Gereja dan Pemerintah, seluruh masyarakat (keluarga)
diwajibkan berkebun, sebagai langkah peningkatan
ketahanan pangan keluarga, yang bermuara pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah Desa
kini, dalam koordinasi dengan dinas terkait, menggalakan
perkebunan jagung dan kacang-kacangan di areal yang cukup
luas. Di sisi lain, masyarakat sedang memasuki musim
menanam (sayuran, umbi-umbian dll). Dari sektor
perkebunan, diharapkan anggota Jemaat dapat menekuni
secara baik untuk membantu peningkatan ekonomi
masyarakat atau keluarga. Untuk tanaman umur panjang,
yang menjadi primadona hanya kelapa karena struktur dan
kondisi tanah tidak memungkinkan untuk jenis tanaman
umur panjang lainnya, seperti; pala, cengkih. Untuk jenis
buah-buahan, seperti; jambu, mangga tersedia dalam
produksi yang cukup besar pada saat panen, ironinya hasil
tersebut tidak dimanfaatkan secara baik demi peningkatan
ekonomi keluarga.
Sebagian besar anggota jemaat mengelolah rumput laut
sejak 2006, yang tersebar mulai dari tanjung Daikutu
130
(sebelah Barat Desa) sampai ke Timur pantai Wethasa.
Mereka mengakui bahwa usaha ini sangat membantu
peningkatan ekonomi keluarga. Harga pasar yang
ditawarkan tidak statis, melainkan dinamis sesuai kebutuhan
pasar. Karena itu pada awalnya saat harga rumput laut
melonjak naik sampai Rp. 10.000/kg, antusias umat sangat
tinggi untuk mengusahakannya. Namun setelah harganya
menurun sampai Rp. 4.000/kg (Antara Januari-Juli 2012)
sebagian umat mulai meninggalkannya dan menekuni
produk lokal (kopra), selain ke aktifitas pasar seperti
memancing ikan kerapu yang memiliki nilai jual Rp. 200.000
– Rp. 300.000/kg sesuai jenis ikan. Apalagi dengan hadirnya
PT. Pulo Mas milik pengusaha dari luar daerah (dari Bali)
yang membeli hasil laut (kerapu, lopster) semakin membuat
umat tertarik untuk menjalani profesi tersebut. Para nelayan
juga dimudahkan untuk mengkredit kebutuhan
perlengkapan pancing, mulai dari mesin ketinting sampai
alat sekecil apa pun.
Sedangkan jenis biota laut yang dikelola terdiri dari
taripang dan lola yang pengelolaannya diatur oleh
Pemerintah Desa. Biasanya Pemerintah Desa bekerja sama
dengan pelayan jemaat sehingga hasil ini disasi dalam akta
gereja untuk waktu tertentu (Untuk Taripang Batu dan
lolabiasanya ditutup sasi dalam waktu setahun, sedangkan
Taripang Putih disasi dalam kurun waktu 4-5 tahun). Sasi
131
dilakukan agar hasil panennya meningkat dan dikelola
secara baik oleh masyarakat. Kelak, setelah pelayanan buka
sasi laut oleh Majelis Jemaat, pemerintah dan tuan meti baru
seluruh anggota masyarakat mengerjakannya secara
bersama. Hasil yang diperoleh ditimbang oleh pengusaha-
pengusaha (Haigosan, Tinus Watumlawar, Ulis Watumlawar,
Cada Watumlawar dan Yudi Watumlawar) di Namtabung
dengan kesepakatan harga yang dibicarakan dalam
musyawarah desa antara pemerintah, masyarakat dengan
para pengusaha tersebut.
Pada sektor peternakan, jenis hewan yang umumnya
dipelihara oleh anggota jemaat adalah babi, anjing, sapi dan
ayam. Yang dominan adalah babi, karena terkait dengan
kebutuhan adat. Namun belum dikembangkan lebih jauh
sebagai usaha peternakan demi menunjang kebutuhan
ekonomi keluarga.
Untuk ketegori ekonomi riil dan wirausaha yang
ditekuni umat pada umumnya melalui pertukangan
sebanyak 83 orang (tukang bangunan, jahit, mesin),
angkutan laut 15/keluarga orang (long boat, speed dan kapal
motor), kios 29 buah (kecil/besar), berburu 18 orang,
peramu 2 orang dan ojek 19 orang.
Dari sumber daya alam yang tersedia maka jemaat
Namtabung dapat dikatagorikan sebagai jemaat yang
memiliki potensi kekayaan yang besar karena memiliki
132
peluang usaha, dari sektor pertanian, perikanan, peternakan,
perdagangan dan lain-lain. Namun kenyataannya, kekayaan
ini belum diolah dan dimanfaatkan secara baik warga jemaat
merasa turut berpengaruh bagi pendapatan keluarga.
Di Namtabung, terdapat 1 gedung Puskesmas, 1 gedung
Rawat Inap, 1 gedung Laboratorium, 2 rumah dokter, 2
rumah dinas dan 2 buah gudang obat. Dilengkapi dengan
tenaga medis yang cukup memadai dengan status dan
spesifikasi: 12 PNS (2 Dokter), 10 perawat, 3 bidan, 1 tenaga
Kesehatan Lingkungan, 3 tenaga Gizi, 2 Bidan dan 9 tenaga
kontrak daerah (honorer) dan 3 tenaga administrasi.
Aktifitas pelayanan kesehatan berjalan rutin tiap bulan
bagi bayi dan ibu hamil serta orang tua lanjut usia. Posyandu
dilaksanakan setiap tanggal 5 bulan berjalan bagi ± 30 orang
lansia yang tercatat tiap bulan, sedangkan ibu hamil dengan
sasaran 22 orang per tahun dan sasaran balita sekitar 555
orang tiap bulan. Kesadaran umat terhadap pentingnya
kesehatan sangat tinggi, sehingga ketika terjangkit penyakit,
walau ringan, secepatnya mereka ke Puskesmas dengan
memgunakan Jamkesmas, Jamkesda, Askes, BPJS, SKTM
(Surat Keterangan Tidak Mampu) serta ada yang kena wajib
bayar bagi mereka yang tidak memiliki kartu kesehatan yaitu
Rp. 15.000,-.
Namtabung dalam satu dekade terakhir memiliki
sejarah tersebarnya kasus rabies melalui hewan piaraan
133