kemudian menetapkan Saekusu sebagai tempat tinggal
pertama dan diangkat pula seorang pemimpin yaitu
Mangantanuk atau juru bicara yaitu bapak Tumarama dari
marga Maloharat.
Akibat berbagai keadaan yang berkembang di waktu
itu, tempat pemukiman ini dipindahkan lagi ke Ababar
Takwlel dan dalam perkembangannya setelah Perang Dunia
II berakhir masyarakat kemudian menetap di kampung yang
terakhir milik Keluarga Lapney dan dinamakan “Likat Sidoun
Sinoburuan” (pondok tempat bicara bersama) yang di
kemudian hari menjadi Lingat artinya Rumah Bersama.
TERBENTUKNYA JEMAAT
Sejarah perkembangan Jemaat hampir tidak
terdokumentasikan secara tertulis sebagai dokumen gereja,
kebanyakan hanya berpatokan pada daya ingat atau tuturan.
Yang masih diketahui oleh penduduk ialah bahwa jemaat
Lingat dibentuk pada 12 Februari 1912 oleh Guru Injil Ekber
Pentury. Penentuan tanggal ini tertuang dalam syair lagu
Mars Jemaat GPM Lingat yang bertama kali dinyanyikan
dalam perayaan “100 Tahun Injil Masuk Lingat”. Lagu ini
diciptakan oleh Nick John Batmanulussy. Penggalan syair
lagu tersebut demikian:
“Pada tanggal dua belas, bulan dua, tahun Sembilan
belas dua belas
184
Dimasa kolonia Belanda, dibawah Pemerintahan
Esekheber J. B. van Crome
Inji Kristus masuk Lingat yang dibawa Pendeta Ekber
Pentury
Di awal kehidupan jemaat yang mula-mula
Ditutupi kelam hingga tak saling mengenal
Beruntung Injil Kristus masuk
Bagai Pelita yang menerangi hidup mereka.... ”
Kehadiran Guru Injil Pentury tidak lama, hanya sekitar
1 tahun saja. Kemungkinan ketika Injil masuk Lingat bukan
ditandai dengan baptisan pertama, tetapi mengumpulkan
orang-orang Lingat dan mengadakan ibadah. Dalam ibadah
itu dilakukan pemberitaan Firman sebagai cikal bakal Injil
masuk Lingat.
Pada tahun 1913, ketika kehadiran Guru Injil Salarony
menggantikan Guru Injil Pentury barulah ia melakukan
pembaptisan bagi orang-orang Lingat yang telah menerima
Injil sebelumnya31.
Setelah Injil semakin luas diberitakan dan Jemaat
semakin berkembang, sekitar tahun 1914-1915 dibangunlah
gereja yang pertama berdinding palopu dan beratap rumbia
sebagai tempat peribadahan umat dan pembangunannya
dilakukan oleh Guru Injil Pelamonia. Dengan adanya tempat
peribadahan, maka pemberitaan dan pelayanan kepada
jemaat mulai terselenggara dengan baik. Bahkan proses
Pemberitaan Injil tidak saja berlangsung bagi orang-orang
Lingat, tetapi juga meluas hingga ke Fursuy, Eliasa dan
185
Werain. Karena itu, sekitar tahun 1920-an dibentuklah
Utusan Injil (semacam Kring PI) untuk menyebarkan Injil
pada desa-desa itu. Pembentukan ini dilakukan oleh Guru
Injil Maerissa. Pada tahun 1920-an ini, rupanya
pengorganisasian pelayanan sudah mulai berjalan dan
melebar sampai ke desa-desa tetangga.
Pelayanan penginjilan lewat Pemberitaan Injil pun
berlangsung hingga masa kependudukan Jepang sekitar
tahun 1942-1945. Kehadiran Jepang dengan menjadikan
Lingat sebagai basis kekuatan darat sungguh memberikan
tantangan tersendiri bagi orang-orang Lingat. Apalagi di atas
Petuanan Lingat (ke arah Desa Werain) dijadikan sebagai
Pangkalan Militer Jepang dan ditempati oleh sekitar 1.000-an
lebih tentara Jepang di daerah tersebut. Hampir seluruh
petuanan masyarakat Lingat dijadikan sebagai basis tentara
Jepang.
Lapangan Terbang yang berada di atas petuanan desa
Lingat ini kemudian diambil oleh Angkatan Udara Republik
Indonesia (AURI) setelah Jepang menyerah kepada Sekutu
pada tahun 1945. Lapangan Terbang tersebut kini telah ada
dalam skenario strategi keamanan Nasional dengan
menempatkan Pangkalan Militer Angkatan Udara, apalagi
Pulau Selaru adalah Pulau Terluar Indonesia dan menjadi
pintu terdepan dengan Australia.
186
Kehadiran Jepang sungguh-sungguh memberikan
tekanan bagi kehidupan Jemaat. Tekanan-tekanan terhadap
kehidupan masyarakat dengan sendirinya berdampak bagi
pertumbuhan Injil itu sendiri. Selama periode pendudukan
Jepang di Lingat hingga tahun 1945, kehidupan Jemaat tidak
leluasa untuk bergerak.
Setelah kekalahan Jepang oleh Sekutu, maka proses
Injil mendapat ruang gerak yang subur untuk menanamkan
benih-benih Injil bagi orang-orang Lingat. Dengan
bertambahnya jumlah Jemaat yang telah menerima Injil,
maka ada inisiatif untuk mendirikan rumah gereja yang
representatif sebagai tempat peribadahan umat. Dan proses
pembangunannya dilakukan oleh Guru Injil Paljama.
Bersamaan dengan itu pula untuk mengorganisir pelayanan
jemaat agar berjalan dengan baik, maka dibentuklah badan
geredja atau madjelis djamaat.
Sebelumnya pelayanan dan Pemberitaan Injil di Lingat
yang dilakukan oleh para Guru Jemaat hanya dibantu oleh
dua orang tuagama yaitu Wempi Saineran dan Philipus
Masela. Keduanya adalah tuagama pertama di Jemaat Lingat
yang bertugas pada saat Injil masuk, yaitu dari tahun 1912
hingga 1947.
Sekitar tahun 1957 dilaksanakan Peletakan Batu Alasan
Pembangunan Gedung Gereja Syalom yang sekarang oleh
Pdt. Manuhutu. Sementara pembangunan berjalan dibangun
187
gereja darurat atau gereja sementara yang tidak jauh dari
gedung gereja Syalom. Bangunan gereja sementara ini
pernah hancur rata dengan tanah ketika terjadi bencana
alam pada 15 Desember 1960. Bencana Alam berupa angin
topan ini terjadi pada masa Pdt. Gaspers. Sekalipun
demikian, Jemaat kembali membangun gereja darurat
tersebut, karena pekerjaan pembangunan masih terus
dikerjakan.
Pekerjaan pembangunan gedung gereja itu
berlangsung cukup lama. Barulah pada 19 Juni 1969
dilakukan Pemancangan Tiang Bermula Gereja Syalom.
Pemancangan tiang ini dilakukan oleh Wakil Penghentar
Jemaat yaitu Penatua Onisimus Masella dikarenakan pada
masa ini tidak ada pendeta yang melayani di Jemaat GPM
Lingat.
Pengambilan tiang bermula pembangunan gedung
gereja waktu itu diambil di Adaut, setelah sebelumnya
panitia pembangunan yang diketuai oleh Bpk. Titus
Laratmasse membawa sopi dalam bentuk Gading Gajah
kepada masyarakat Adaut. Oleh tua-tua adat Adaut menunjuk
sebuah hutan yang namanya “Nurnara” sebagai tempat
untuk pengambilan tiang bermula gedung gereja Lingat.
Sedangkan untuk mendapatkan bahan-bahan, warga jemaat
pergi meramu ke Pulau Yamdena dengan menggunakan
perahu layar untuk membangun gereja mereka.
188
Proses pekerjaan gedung gereja tersebut berlangsung
dengan sangat tertib dan teratur. Orang bercerita bahwa
anggota Jemaat waktu itu bekerja dengan mendengar satu
perintah. Ketika lonceng gereja berbunyi, jemaat
berbondong-bondong bekerja bersama-sama. Nyaris tidak
ada perdebatan. Orang menganggap ini adalah pekerjaan
kudus dan Jemaat bekerja dengan rasa hormat yang
mendalam.
Dukungan dan partisipasi dari semua masyarakat
Lingat cukup besar, dikarenakan semua orang Lingat adalah
GPM dan pada sisi yang lain Ketua Panitia Pembangunan
adalah Pejabat Pemerintah Lingat saat itu. Hal ini
memperlihatkan hubungan kerja sama antara gereja dan
pemerintah berjalan seiring sejalan.
Setelah memakan waktu Enam tahun, lewat kerja keras
dan Penyertaan Tuhan bagi jemaat akhirnya gedung gereja
selesai dikerjakan dan ditahbiskan pada 25 Oktober 1975
oleh Ketua Klasis pada saat itu, yakni Pdt. A. Latuharhary.
Menurut informasi, Pdt. Latuharhary sendiri yang memberi
nama gereja Lingat sebagai gereja “Syalom”. Penamaan
Rumah Gereja ini sangat mungkin menunjuk pada keadaan
yang dialami jemaat saat itu. Sebuah keadaan atau situasi
yang telah menelan pergumulan yang tidak sedikit, tetapi
justru ditengahnya lahir semangat dan kerinduan yang kuat
untuk membangun “rumah gereja” yang baik dan
189
representatif, agar dapat menampung peribadahan jemaat.
Konon gedung gereja Lingat pada waktu itu, termasuk dalam
deretan gedung-gedung gereja mewah milik GPM.
Setelah memliki gedung gereja yang baik dan layak,
maka kosentrasi penataan pelayanan mulai berjalan dengan
baik dan terarah. Gedung gereja tersebut secara langsung
tidak hanya menjadi kebanggaan orang Lingat, tetapi juga
ikon sosial masyarakat yang turut mendorong anggota
jemaat agar membenahi rumah tinggal dengan permanen.
Seiring perkembangan waktu dan bertambahnya
jumlah anggota jemaat terasa bahwa gedung gereja Syalom
belum cukup untuk menampung keseluruhan jemaat yang
beribadah. Karena itu, ada kerinduan untuk kembali
membangun sebuah tempat peribadahan yang lebih
representatif. Hal ini mulai muncul dalam inisiatif anggota
Jemaat untuk mencari atau mengumpulkan dana melalui
kesatuan/tubuh dalam masyarakat Lingat. Bahkan menurut
Pdt. Nn. W. Noya yang bertugas pada tahun 1997-2003,
proses pengumpulan dana untuk membangun gereja yang
baru nanti sudah ada sebelum Ia bertugas di Jemaat dan
sudah ada pada masa kepemimpinan Pdt. R. N. Likumahua.
Itu berarti semangat untuk membangun rumah gereja ada
dalam kepemimpinannya.
Kerinduan tersebut kemudian terjawab dengan
dibentuknya panitia pembangunan gedung gereja baru pada
190
tahun 2004 yang diketuai oleh Bpk. A. Hanorsian, yang di
kemudian hari kepanitiaan ini direvisi oleh Pdt. S. Sahulata,
S.Th dengan memilih Bpk. Melkisedek Baumase sebagai
ketua panitia yang juga adalah Kepala Desa Lingat dan Bpk.
John Batmanlussy sebagai Bas Pembangunan Gereja.
Pengambilan bahan-bahan bangunan berupa kayu
untuk gereja baru Lingat lebih banyak diambil di Pulau
Yamdena, yaitu Desa Wermatang. Bahkan orang-orang
Wermatang sendiri telah menyerahkan satu dusun di atas
petuanan mereka untuk diramu orang-orang Lingat
menebang kayu bagi pembangunan gedung gereja baru
mereka. Di atas tanah tersebut, orang-orang Lingat telah
menanam pohon-pohon Koli sebagai bukti kerelaan hati
tanda kehadiran orang-orang Lingat di Wermatang
Penggambaran ini mengindikasikan bahwa justru
semangat bergereja orang Lingat sangat baik. Kecintaan
mereka kepada GPM tampak dalam tekad untuk membangun
gedung gereja. Sebab membangun gedung gereja bukan saja
fisiknya, tetapi secara bersamaan menyatakan pertumbuhan
iman Jemaat untuk membentuk tubuh Kristus.
191
Barulah pada 29 Juli 2007 dilaksanakan Peletakan Batu
Alasan pembangunan oleh Ketua Klasis Tanimbar Selatan
Pdt. W. B. Pariama, S.Th yang dilanjutkan dengan
Pemancangan Tiang Bermula oleh Ketua Majelis Jemaat Pdt.
R. Rikumahu, S.Th. Kini proses pembangunan gedung gereja
itu masih terus dilakukan oleh warga jemaat.
Dalam perjalanan pekerjaan pembangunan gedung
gereja baru tersebut dan perencanaan jemaat untuk
menahbiskannya pada 16 Desember 2018 ini, maka melalui
pergumulan panjang jemaat, gedung gereja Syalom lama
telah dibongkar pada Minggu, 8 April 2018. Ibadah Akta
Pembongkaran tersebut dilayani oleh oleh Pdt. Ny. L.
Rangkoratat/B, S.Th (Ketua Klasis GPM Tanimbar Selatan)
mewakili pimpinan GPM. Proses menuju pembongkaran
gereja menemui banyak penolakan, sebab muncul gejolak
atau tantangan di kalangan warga Jemaat dan bersamaan
192
dengan itu tidak sedikit pula pergumulan bersama Jemaat
dilakukan. Selama 7 hari atau seminggu menuju tanggal
pembongkaran gereja, seluruh warga Jemaat ada dalam
pergumulan pada jam-jam tertentu. Pergumulan ini turut
ditopang oleh para pendeta di Pulau Selaru dan Majelis
Pekerja Klasis Tanimbar Selatan.
Dalam pergumulan itu, penyertaan Tuhan terasa sekali
bahwa sekalipun gedung gereja ini dibongkar, namun ini
tidak berarti kita tinggalkan nilai-nilai eklesiologis yang
sangat dihormati itu. Membongkar dan membangun gereja
yang baru justru adalah kelanjutan dari nilai-nilai itu. Karena
gedung dapat saja berubah, tetapi nilai-nilainya terletak pada
kita semua selaku Jemaat yang tak mungkin berubah sampai
kapan pun, sebab nilai itu telah menjadi cara hidup Jemaat.
Suasana Ibadah Menjelang Pembongkaran Gereja Syalom
193
Secara bersamaan dengan pembangunan gedung gereja baru
dan di tengah keterbatasan anggaran, Jemaat Lingat pun
merindukan sebuah bangunan rumah pastori yang baik
sebagai tempat tinggal pendeta yang melayani di jemaat.
Rencana pembangunan tersebut menjadi tanggung jawab
panitia pembangunan gereja cabang Saumlaki yang diketuai
oleh Bpk. Piterson Rangkoratat. Atas pertolongan Tuhan,
rencana tersebut teralisasi dengan dilakukan peletakan batu
alasan pada 13 Desember 2015. Bas Pembangunan gereja
baru langsung menangani pekerjaannya, yaitu Bpk. John
Batmanlussy. Peletakan batu alasan ini dilakukan oleh Pdt.
Fredrik A. Haumahu, S.Th.
Semangat untuk menyelesaikan pastori sebelum
peresmian gedung gereja baru pada Desember 2018
menjadikan proses pekerjaan berlangsung dengan sungguh-
sungguh dan dapat terselesaikan. Kerinduan bersama, kerja
keras serta doa dari seluruh Jemaat tepat pada tanggal 1
September 2018 “Rumah Pastori” sebagai rumah pendeta
yang menjadi ruang perjumpaan dan pergumulan pelayan
dengan Tuhan bersama Jemaat yang dilayani ditahbiskan
dan menjadi milik GPM dalam kepemimpinan Pdt. Maryo
Lawalata, M.Th dan Pdt. Ny. Vidya Rumahlatu/S, S.Si.
Pentahbisannya dilakukan oleh Pdt. Ny. L. Rangkoratat/B,
S.Th, Ketua Klasis GPM Tanimbar Selatan. Sungguh Jemaat
194
benar merasakan bahwa pintu-pintu berkat itu terus
dianugerahkan Tuhan, Sumber Berkat itu.
Kini Jemaat Lingat bertumbuh semakin majemuk.
Dalam perkembangan pelayanan, telah ada dan hidup
berdampingan dengan warga GPM, yaitu gereja GKPII Irene
dan GSJA Galilea. Sejak terjadi pergolakan dalam Jemaat
dengan keberadaan gereja-gereja denominasi ini pada tahun
1970-an yang dibawa oleh anak-anak desa Lingat sendiri,
membuat sebagian kecil dari anggota jemaat GPM Lingat
telah beralih menjadi anggota GKPII dan GSJA. Meskipun
demikian telah dibangun kerja sama oikumene dengan kedua
gereja tersebut, untuk menghindari terjadinya perselisihan
di antara warga Jemaat. Bahkan dalam perjalanan pelayanan
sering terjadi ketegangan-ketegangan pelayanan, khususnya
dengan keberadaan Gereja GPI Jalan Suci dan Gereja Bethel
Indonesia (GBI) yang juga telah muncul di Lingat.Seriring
berjalannya waktu, Jemaat GPM Lingat terus bertumbuh dan
berkembang. Upaya untuk mengorganisir pelayanan terus
dilakukan dengan kehadiran pelayan-pelayan yang bertugas
di Jemaat GPM Lingat.
Perlu disampaikan juga bahwa penataan sektor dan
unit-unit pelayanan bertindisan dengan pembagian Soa-Soa
dalam Desa Lingat. Hal ini menunjukan bahwa justru
perkembangan dan pertumbuhan Jemaat berjalan
berdampingan dengan pemerintah. Sesungguhnya ini
195
menunjukan sinergisitas untuk hidup bersama di Rumah
Bersama (Lingat).
Penataan wadah pelayanan laki-laki dan perempuan
terorganisir dalam sektor pelayanan yang baru mulai ditata
mengikuti tata pelayanan GPM sekitar tahun 2001 oleh Pdt.
Nn. W. Noya, S.Th. Sebelumnya penataan ibadah-ibadah
wadah pelayanan, termasuk AMGPM Cabang Syalom
mengikuti kesatuan/tubuh dalam masyarakat yang terbagi
dalam kelompok-kelompok umur atau sedawar.
Ibadah-ibadah wadah pelayanan perempuan
berlangsung dalam kelompok-kelompok di tiap sektor
pelayanan (7 kelompok wadah), sedangkan pelayanan laki-
laki belum menunjukan partisipasi yang baik. Tantangan
kehadiran atau partisipasi laki-laki gereja khusus dalam
ibadah masih terus menjadi pergumulan. Karena itu,
pengorganisasiannya masih dilakukan secara umum di
Jemaat. Menurut informasi, pernah dilakukan upaya untuk
mengorganisir wadah laki-laki supaya berjalan per sektor
seperti wadah perempuan, tetapi justru kehadiran laki-laki
terus menurun akhirnya disatukan kembali.
Tahun 2018, Jemaat GPM Lingat berjumlah jiwa 1799
orang yang terdiri dari 916 laki-laki dan 883 jiwa perempuan
dengan jumlah 414 kepala keluarga. Pengorganisasian
pelayanan terbagi dalam 7 Sektor dan 15 Unit pelayanan,
diantaranya Silo I (Unit Pniel dan Yabok), Silo II (Unit
196
Tiberias dan Siloam), Tanah Kanaan I (Unit Laharoi dan
Bethel), Tanah Kanaan II (Unit Ora et Labora dan Elim), Efata
I (Unit Pison dan Gihon), Efata II (Unit Tigris dan Efrat),
Firdaus (Unit Eden, Bukit Zaitun dan Getsemani).
Sejak April 2017, Jemaat GPM Lingat dilayani oleh 2
pendeta, yakni Pdt. Maryo Lawalata, M.Th (Ketua Majelis
Jemaat) dan Pdt. Ny. Vidya Rumahlatu/S, S.Si (Pendeta
Jemaat) dan 30 orang Majelis Jemaat (Penatua dan Diaken),
serta dibantu oleh perangkat pelayan gereja dan badan
pembantu pelayanan yang dibentuk oleh Jemaat.
Sungguh jejak-jejak Injil ini memperlihatkan bahwa
gereja bertumbuh dalam rupa-rupa tantangan. Tetapi justru
dari situlah kita menemukan sukacita yang menolong gereja
memahami kehadirannya. Ditengah tantang pelayanan
memunculkan rasa cinta dan memiliki GPM semakin kuat. Ini
adalah jalan-jalan yang juga disaksikan oleh Rasul Paulus
yang pula menemukan berbagai sukacita dibalik jalan-jalan
Injil yang diberitakannya. Benarlah pandangan Paulus,
kitalah yang menanam dan menyiram, tetapi Allah yang
memberi pertumbuhan atasnya.
Semoga jejak-jejak ini dapat memberi jalan yang
menginspirasi Injil di gereja pulau-pulau ini. Laus Deo –
Terpujilah Allah!
197
9. JEMAAT GPM ELIASA
LETAK GEOGRAFIS
Jemaat GPM Eliasa terletak di Kecamatan Selaru,
Kabupaten Maluku Tenggara Barat, dan berada di wilayah
pelayanan Klasis GPM Tanimbar Selatan. Secara Geografis
jemaat Eliasa berada diujung Pulau Selaru bagian Selatan.
Jarak tempuh ke pusat Klasis mengunakan mobil Ke-Adaut
pusat Kecamatan kurang lebih 1: 40 menit, kemudian
mengunakan spitbot ke Saumlaki kurang lebih 45 menit
jaraknya. Jemaat Eliasa adalah sebuah perkampungan yang
di huni oleh beberapa marga, yakni: marga Silalebit,
dipimpin oleh Mararesy Atuasjaman, Entamoin dipimpin
oleh moyang Amasaman Teliawar dan anaknya Rahanlebit,
Amarduan dipipin oleh tiga moyang yaitu; Refwalu, Maburi
dan moyang Liburyaru, Boinsera Taharnur dikepalai oleh
dua moyang yaitu Sintet dan Belgit dan Boinsera nolorlan,
dipimpin moyang Amanutama. Menurut cerita, mereka
berasal dari Pulau Seram, Pulau Babar dan Luang.
Nama Eliasa sendiri berarti tempat Kawinnya Ular
sebelum terbentuk perkampungan Eliasa yang didiami oleh
beberapa marga. Sebelumnya mereka tingal dan menempati
wilayah petuanan masing-masing marga, yakni; Marga
Silalebit tingal di negeri lama mereka yang bernama Ilyas,
Entamoin di wilayah sebelah Timur yang bernama Laransui,
198
Amarduan di bagian Barat bernama bakbak lara, Boinsera
Taharnur di bagian Selatan bernama Koklogan dan Boinsera
Nolorlan di bagian Barat bernama Florlan. Masing-masing
marga dikumpulakan oleh Maranresy Atuasjaman di tempat
tinggalnya, kemudian Maranresy Atuasjaman mengajak
pemimpin dari masing-masing marga itu untuk membentuk
sebuah perkampungan dan mereka sepakat. Setelah tercapai
kesepakatan bersama mereka pun turun dari tempat
pertemuan dan berjalan menuju tempat pemukiman yang
baru. Dalam perjalanan, Maranresy Atuasjam menemukan
sebuah lubang besar yang berisikan sepasang ular berkepala
manusia yang sedang kawin, sehingga daerah itu dinamakan
Eliasa yang artinya tempat kawin ular.
Secara administratif pemerintahan pada awalnya Eliasa
adalah anak dusun dari Desa Werain. Pada tahun 2011
Pemerintah Maluku Tenggara Barat menetapkan dusun
Eliasa sebagai desa defenitif serta terpisah dari Desa Induk
Werain. Pemerintahan pertama Desa Eliasa dipimpin Oleh
Kepala Desa yang bernama M. R. D. Amarduan, S,Sos., melalui
hasil demokrasi masyarakat. Perlu diketahui bahwa secara
kelembagaan jemaat, jemaat ini telah terbentuk menjadi
jemaat yang mandiri. Tercatat sejak proses Pembritaan Injil
di kepulauan Tanimbar khususnya di Klasis Tanimbar
Selatan.
199
Jemaat GPM Eliasa memiliki batas wilayah pelayanan,
antara lain: Sebelah Timur berbatasan dengan Jemaat GPM
Fursui, sebelah Barat berbatasan dengan laut Marsela,
sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Australia dan
sebelah Utara berbatasan dengan Jemaat GPM Werain. Letak
pemukiman Jemaat GPM Eliasa berada pada pesisir pantai,
sehinga mata pencarian warga jemaat yang dominan adalah
nelayan, pengikat agar-agar dan ada juga anggota jemaat
yang menjadi petani.
AGAMA KRISTEN PROTESTAN DAN
PERTUMBUHANNYA
Sejarah Pemberitaan Injil di Eliasa telah berlangsung
lama, namun untuk mengonstruksi sejarah Jemaat GPM
Eliasa tidaklah mudah karena sulitnya mencari sumber
sejarah Jemaat ini. Sebagian besar data sejarah Jemaat sulit
ditemukan karena pada tahun 1960 terjadi bencana gempa
bumi yang mengakibatkan gedung gereja roboh, bukti-bukti
fisik berupa barang-barang peninggalan ikut hilang, serta
dokumen-dokumen tertulis lainnya hilang dan rusak.
Proses Pembritaan Injil di Eliasa merupakan bagian
dari hasil Pekabaran Injil di Kepulauan Tanimbar dan Klasis
GPM Tanimbar Selatan secara khusus. Secara umum Injil
masuk di Kepulauan Tanimbar pada abad ke-20 di zaman
Gereja Protestan Hindia Belanda. Jemaat-jemaat di
200
Kepulauan Tanimbar merupakan Jemaat-jemaat yang berada
di bawah pimpinan Pendeta Ketua Resor Amboina yang
berpusat di Kota Ambon. Tugas-tugas pendewasaan Jemaat-
jemaat di kepulauan ini, lebih banyak dilakukan oleh
penginjil dan para pendeta asal Maluku. Melalui cerita
beberapa sumber dari orang tua bahwa Pekabaran Injil di
Jemaat GPM Eliasa terjadi pada tahun 1912 yang ditandai
dengan baptisan kepada Keluarga Boinsera dan keluarga
Amarduan pada zaman tugas Penginjil Syaranamual.
Kemudian pada tahun 1914 didirikan sekolah Kristen di
jemaat GPM Eliasa, gedung sekolah itu dijadikan sebagai
tempat peribadahan umat.
Pada tahun 1942-1945 Pulau Selaru dikuasai oleh
Jepang. Akibat dari penguasaan Jepang atas Pulau ini,
pasukan Sekutu melakukan penyerangan dan pengeboman
perkampungan Werain, sehinga sekolah pada kedua Jemaat
ini tidak dapat berjalan. Menyikapi persoalan demikian, Guru
Injil J. Manuputy mengajak kedua warga Jemaat Eliasa dan
Werain untuk membangun sebuah bangunan sekolah yang
berlokasi di daerah Troba. Setelah berakhirnya pendudukan
Jepang di bumi Indonesia pada tahun 1945 Guru Jemaat G. G.
Parera kembali mengumpulkan warga Jemaat dan mengajak
mereka untuk kembali membangun perkampungan Eliasa.
Mereka pun membangun gedung gereja yang diberi nama
Pniel dan membangun sebuah sekolah Kristen pada tahun
201
1947. Pembangunan yang berlangsung dalam Jemaat GPM
Eliasa kembali mengalami persoalan ketika terjadi gempa
bumi pada tahun 1960. Gempa ini mengakibatkan beberapa
rumah warga jemaat dan gedung gereja menjadi roboh.
Setelah berakhirnya gempa tersebut, Jemaat mulai
membangun sebuah gedung gereja baru yang beratapkan
daun rumbia dan berdinding palupu.
Kemudian pada tahun 1993, Penginjil. N. S. Warlele
mempersiapkan peletakan batu alasan pembangunan gedung
gereja parmanen. Pembangunan gedung gereja parmanen ini
memakan waktu 19 tahun lamanya, terhitung dari 1993-
2012. Proses Pembangunan gedung gereja ini berlangsung
dalam masa pelayanan satu orang penginjil dan tiga pendeta
yakni; Penginjil N.S . Warlela, Pdt. Ny. TH . Septori/W, Pdt.
Ny. J. M. Tapilaha/ B dan Pdt. J.A . Luhukai. Di masa tugas Pdt.
Luhukai, gedung gereja yang dibangun tersebut diresmikan
dan diberi nama Gereja Pniel Jemaat GPM Eliasa. Penahbisan
gereja ini dilakukan oleh Sekertaris Umum Sinode GPM, Pdt.
V. Untailawan, M,Th, pada 26 November 2012.
PERTUMBUHAN JEMAAT DAN PELAYAAN DARI DULU
SAMPAI SEKARANG
Pada saat Jemaat GPM Eliasa sah menjadi Jemaat yang
mandiri tahun 1917, Jemaat ini dilayani oleh Pdt. J. A.
Luhulima. Pemberitaan Injil terus diberikan kepada anggota
202
Jemaat, meskipun pada tahun 1973 terjadi gejolak GKPII
hampir di semua Jemaat di wilayah Klasis GPM Tanimbar
Selatan. GKPII tidak memiliki pengaruh yang membuat
anggota Jemaat GPM Eliasa harus beralih pada gereja
tersebut. Walaupun mayoritas warga Jemaat GPM Eliasa
85% berpendidikan SD, tetapi mereka tetap
mempertahankan komitmen mereka terhadap GPM,
sehingga sampai saat ini masyarakat Eliasa 100% adalah
anggota Gereja Protestan Maluku.
Pengorganisasian pelayanan Jemaat GPM Eliasa
berjalan secara baik, yakni: memiliki satu orang pendeta,
enam Penatua dan enam Diaken. Jemaat Eliasa Memiliki 169
KK, 566 jiwa, dan memiliki dua sektor pelayan serta enam
unit pelayanan. Perorganisasian wadah pelayanan berjalan
dengan baik, wadah pelayanan laki-laki dan perempuan di
Eliasa terbagi dalam dua sektor. Ada juga wadah pelayanan
SMTPI dan AMGPM.
Pertumbuhan pelayanan dari tahun ke tahun
mengalami perkembangan secara baik, hal ini disebabkan
oleh adanya dukungan kehidupan sosial budaya orang Eliasa
yang melestarikan budaya kekerabatan, membangun
kebersamaan yang erat dan mesra, serta menghormati setiap
orang yang datang dari luar. Ini pun muncul dalam
penugasan pelayanan bagi para penginjil, Guru Jemaat,
sampai ke pendeta yang datang ke-Eliasa. Penghormatan dan
203
keakraban ini dibingkai dalam kebiasaan yang lahir dari
tradisi keakraban mereka yakni, setiap pendeta atau
penginjil dan setiap orang lain yang datang, akan diangkat
menjadi anak dalam satu keluarga/ marga. Dari struktur
sosial budaya orang Eliasa ini menjadi sarana untuk Injil
terus melekat dalam kehidupan keluarga dan marga serta
menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat orang Eliasa.
204
10. JEMAAT GPM WERMATANG
LETAK GEOGRAFIS
Jemaat GPM Wermatang merupakan salah satu jemaat
GPM yang terletak pada pesisir barat pulau Yamdena, yang
berada pada Desa Wermatang Kecamatan Wermaktian,
Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Secara Geografis Jemaat
GPM Wermatang memiliki batas-batas Wilayah Pelayanan,
yaitu: sebelah Utara berbatasan dengan Jemaat GPM
Makatian, sebelah Selatan berbatasan dengan Jemaat GPM
Marantutul, sebelah Barat berbatasan dengan Jemaat GPM
Batuputih, sebelah Timur berbatasan dengan Jemaat GPM
Wesawak. Waktu tempuh dari Jemaat GPM Wermatang ke
pusat Kecamatan dengan transportasi laut ± 2 jam
menggunakan sampan, ± 1 jam dengan menggunakan
longboat. Sedangkan untuk ke Ibu Kota Kabupaten dan pusat
Klasis dapat menggunakan transportasi darat, mobil dengan
kecepatan rata-rata 50 km/jam ± 1 jam, sedangkan jika
menggunakan motor dengan kecepatan rata-rata 60 km/jam
± 40 menit.
ASAL-USUL DESA WERMATANG
Bahasa yang digunakan dalam Jemaat/Desa
Wermatang adalah bahasa Selwasa. Desa Wermatang
205
memiliki dua Soa dan Soa Kecil yang didalamnya terdiri atas
beberapa marga. Dua Soa besar, yakni Soa Rumkedi terdiri
dari marga: Rananmase, Fabeat, Sainyakit. Soa Eblan terdiri
dari beberapa Soa kecil, yakni: Soa Olinger dengan marga
Kore, Soa Rolmur dengan marga Kelmanutu dan Yakitduan,
Soa Fujebun dengan marga Samangun dan Lorwe, Soa Oduk
dengan marga Laiyan dan Watumlawar. Kepala desa pertama
desa Wermatang adalah Laraman Karorot.
Sebelum menempati tempat saat ini, masyarakat
Wermatang mengalami proses perpindahan tempat hunian
sampai empat kali. Berturut-turut kampung yang pernah
ditempati oleh orang-orang wermatang adalah: pertama
Nirunluan, kedua Loyenansunan, ketiga Ufeunan, dan
keempat Wermatang. Alasan terjadinya perpindahan dari
kampung pertama Nirunluan ke kampung kedua
Loyenansunan, karena pada saat itu terjadi longsor.
Selanjutnya, perpindahan dari kampung kedua ke kampung
ketiga yaitu Ufeunan, dan dari Ufeunan ke kampong ke
empat yakni Wermatang, karena pada saat itu masyarakat
diserang oleh wabah penyakit Mebansusuye atau sarampa.
AGAMA KRISTEN PROTESTAN DAN
PERTUMBUHANNYA
Masuknya Injil di jemaat GPM Wermatang dibawa oleh
Guru Injil Eduwar Rikumahu, di kampung Ufeunan. Respons
206
masyarakat terhadap Injil yang diberitakan adalah beragam.
Misalnya, jika Injil yang disampaikan tidak berkenan di hati
mereka maka respons yang diberikan, yakni dengan
memukul tombak, parang dll. Sebaliknya, jika Injil yang
disampaikan berkenan bagi mereka maka akan direspon
dengan menganggukan kepala. Untuk menjadi percaya
terhadap Injil yang diberitakan oleh Guru Injil Rikumahu
tidak hanya sebatas mendengar pemberitaan verbal saja,
tetapi harus berdasarkan pada bukti. Misalnya, mereka akan
menjadi percaya ketika guru Injil mampu menyembuhkan
orang sakit, dll.
Ketika pemberitaan Injil disampaikan oleh Guru Injil
Rikumahu, orang-orang yang mendengar dan menerima Injil
yang diberitakan pada saat itu duduk bersila sambil
memegang parang, tombak, makan sirih pinang dan bahkan
ada yang melakukan pekerjaan. Pakaian yang dikenakan oleh
laki-laki adalah cawat dan perempuan kain tenun lontar.
Pekabaran Injil yang dilakukan oleh Guru Injil Rikumahu
mendatangkan hasil positif dengan melakukan baptisan
pertama di Ufeunan kepada orang yang pertama menerima
baptisan, yakni Korinus Kore. Selain itu, ia membangun
gereja pertama yang terbuat dari rangka kayu, dinding dari
gaba-gaba, atap terbuat dari daun rumbia dan lantai tanah.
Gereja inilah yang pertama kali dipakai sebagai sarana
pemberitaan Injil kepada orang-orang Wermatang.
207
Pada saat mendiami kampung Ufeunan, wabah
penyakit yaitu Mebansusuye atau sarampa menyerang
masyarakat sehingga menyebabkan kematian. Peristiwa ini
membuat mereka berpindah ke tempat yang baru (kampung
ke empat) yaitu Weyarmatan (Wematan), yang berasal dari
kata Weyar yang berarti air dan Matan yang berarti
mata/sumber, jadi Weyarmatan berarti mata air atau sumber
air, selain itu diartikan juga sebagai tempat dari pantun-
pantun Tanimbar. Selanjutnya Wematan disempurnakan
dalam bahasa Indonesia menjadi Wermatang dan berlaku
hingga sekarang.
Setelah menetap di Wermatang, masyarakat kemudian
membangun gedung gereja kedua pada masa pelayanan Guru
Injil Yan Telapary. Gereja tersebut didirikan pada tahun 1913
dan diberi nama Bethel. Gereja Bethel dibangun dengan
bahan kayu, dindingnya dari papan, plafon terbuat dari kulit
gaba-gaba biasanya disebut sasak dan beratap rumbia.
Gereja ini masih berdiri sampai sekarang dengan usia 105
tahun dan masih tetap dimanfaatkan untuk Pemberitaan
Injil, bahkan keasliannya masih tetap terawat. Dalam
perkembangan pelayanan di jemaat GPM Wermatang, pada
tanggal 2 September 2007 diletakkan dasar bangunan
Gedung Gereja Baru di masa pelayanan Pdt. Oktivianus
Batmomolin yang proses pembangunannya masih
berlangsung hingga sekarang. Dalam pekerjaan
208
pembangunan Gereja Baru banyak tantangan dan
pergumulan yang terus dihadapi oleh jemaat Wermatang,
tetapi hal itu tidak menyurutkan semangat umat dan pelayan
dalam proses pembangunan Gereja Baru. Kepengurusan
panitia pembangunan pun mengalami pergeseran mulai dari
ketua panitia Yan Owandity diganti oleh Luis Laiyan,
kemudian diganti lagi oleh Orgenes Kore hingga sekarang.
Pekerjaan gedung gereja baru ini sudah masuk pada tahap
penyelesaian untuk persiapan Pengresmian. Pekerjaan
pembangunan gereja baru sungguh ditopang oleh semua
pihak, baik umat, pelayan dan Pemerintah Desa. Hal ini
nampak pada setiap proses pembangunan selalu ada relasi,
komunikasi, koordinasi dan kerja sama yang baik dengan
semua pihak.
PENGARUH PENDUDUKAN JEPANG
Jemaat GPM Wermatang turut mengalami dampak
langsung pada saat Jepang menduduki Indonesia, khususnya
209
Maluku. Pada saat Jepang masuk ke Wermatang, anggota
jemaat lari ke Manglusi yang letaknya tepat di depan
kampung Wermatang dan mereka hidup di sana. Tetapi hal
itu tidak membuat semangat Pembritaan Injil hilang. Injil
tetap diberitakan oleh Guru Injil Adolof Ternate. Di Manglusi,
jemaat kemudian membangun gereja darurat, dan proses
pelayanan berlangsung seperti biasanya. Buah pelayanan
yang dilakukan adalah baptisan dan sidi gereja dilakukan
terhadap anggota jemaat selama berada di Manglusi.
Sementara gereja di Wermatang dikuasai dan dimanfaatkan
oleh Jepang sebagai gudang penyimpanan makanan, tempat
asar kelapa, masak minyak kelapa, dll. Setelah Jepang
menyerah kepada sekutu pada tahun 1945, anggota jemaat
GPM Wermatang belum langsung kembali. Dua tahun pasca
Jepang menyerah, kurang lebih tahun 1947, baru seluruh
anggota jemaat GPM Wermatang yang berada di Manglusi
kembali ke Wermatang dan memulai aktivitas mereka
seperti semula.
PEMBENTUKAN WADAH PELAYANAN
Proses Pemberitaan Injil yang dilakukan oleh guru-
guru Injil dan para pendeta kepada Jemaat GPM Wermatang
telah membuat jemaat ini bertumbuh atas penyertaan Allah.
Pengorganisasian Jemaat mulai diterapkan dengan baik
sesuai prinsip bergereja di GPM dan pembentukan sektor,
210
unit dan wadah-wadah pelayanan mulai dilakukan.
Pengorganisasian Jemaat GPM Wermatang seperti ini
diterapkan pada masa pelayanan Guru Injil Muriolkosu.
Pengorganisasian Jemaat diawali dengan pembentukan unit
pelayanan yang terdiri atas 3 unit yakni: unit Syalom,
Talitakumi dan Maranatha. Kemudian, 2 Sektor Pelayanan
dibentuk, yakni: sektor Elim dan sektor Eden. Dalam
perkembangan pelayanannya, jemaat GPM Wermatang terus
mengalami pertumbuhan sehingga pada masa pelayanan
Pendeta Fredrik Lasatira terjadi pemekaran unit dan sektor
pelayanan, sehingga menjadi 6 unit pelayanan yakni: unit
Petra, Syalom, Imanuel, Talitakumi, Maranatha dan Pniel.
Demikian juga dari 2 sektor pelayanan menjadi 3 sektor
pelayanan, yakni: sektor Elim, Eden dan Eklessia. Setelah
terbentuk unit dan sektor pelayanan, dilanjutkan dengan
pembentukan wadah-wadah pelayanan, yakni wadah
pelayanan perempuan dan laki-laki. Ketua wadah pelayanan
perempuan adalah Lenora Samangun/ Rananmase dan ketua
wadah pelayanan laki-laki pertama adalah Yan Owandity.
Demikianpun dengan optimalisasi wadah SMTPI, yang
sebelumnya telah dibentuk pada masa pelayanan Guru-guru
Injil sebelum bertugasnya Guru Injil Muriolkosu yang pada
saat itu disebut ibadah hari Ahad.
Wadah pelayanan Pemuda, Angkatan Muda Gereja
Protestan Maluku (AMGPM) juga dibentuk pada tahun 1974
211
dan ketua AMGPM pertama adalah Okto Rananmase.
Sebelum AMGPM ini dibentuk, sudah ada lebih dahulu
Persatuan pemuda Kristen Maluku (PPKM) yang dibentuk di
jemaat GPM Wermatang. Dinamika perkembangan Injil di
Wermatang pun berlangsung hingga pembentukan kring PI
antar tiga jemaat yang dinamakan Kring PI Smirna yakni
Wermatang, Batuputih dan Marantutul. Kring PI Smirna
dapat dikatakan mengalami kevakuman cukup lama, dan
pada tanggal 29 Juli 2018 di jemaat GPM Batuputih dilantik
kepengurusan Kring PI oleh Ketua Klasis GPM Tanimbar
Selatan, yakni Pdt. Lenny Bakarbessy/R. Kring PI mulai
berjalan dengan baik dengan menerapkan program bersama
yang dilakukan antar tiga jemaat.
Dalam jemaat GPM Wermatang juga dibangun SD
Yayasan Dr. J. B. Sitanala tetapi dalam perkembangannya SD
Yayasan Dr. J. B. Sitanala kemudian berubah alih status
menjadi SD Negri dan SMP Negri Satu Atap pada tahun 2016.
Hal ini disebabkan oleh banyaknya anak yang putus sekolah,
karena mempertimbangkan jarak SMP yang jauh dari desa
wermatang, biaya yang harus dikeluarkan, dll.
PERJUMPAAN JEAAT DENGAN GKPII
Pada masa pelayanan Guru Injil Luturmas tahun 1974,
jemaat GPM Wermatang berhadapan dengan ekspansi gereja
212
denominasi yakni GKPII yang dibawa oleh Pendeta Laiyan,
Pendeta Semi Niniari dan Pendeta Maisika. Mereka yang
membawa masuk GKPII adalah anak-anak negeri
Wermatang, karena itu dapat diterima dengan mudah oleh
sebagian jemaat, tetapi ada juga menolaknya. Terdapat 12
KK yang menerima GKPII dan masuk menjadi anggota gereja
GKPII. Karena sudah ada jemaat, maka GKPII membangun
gedung gereja di Wermatang pada tahun 1980. Meskipun
demikian, GKPII di Wermatang tidak dapat bertahan hingga
saat ini. Pada tahun 1997 GKPII sudah keluar meninggalkan
Wermatang dan gereja satu-satunya yang ad di Wermatang,
yakni Jemaat GPM Wermatang.
Perhatian kepada pembangunan jemaat tidak
terabaikan dalam aktifitas pelayanan jemaat GPM
Wermatang. Relasi dengan semua pihak, baik dengan
pemerintah desa, tua-tua adat, para guru dalam bidang
pendidikan dan juga tenaga medis dalam bidang kesehatan
dilakukan oleh majelis jemaat dan terjalin dengan baik
hingga sekarang, sebagai bentuk saling menopang,
mendukung dalam seluruh pelayanan gereja. bentuk relasi
yang terjalin adalah dilakukannya kerja sama untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam bidang
pendidikan dan kesehatan yang dilakukan dengan
pemerintah desa. Kerja sama tersebut terjalin dengan baik
hingga saat ini. Misalnya ada program gereja yang mendapat
213
topangan dari pemerintah desa, begitupun sebaliknya jika
ada program pemerintah desa maka gereja pun turut
mengambil bagian di dalamnya.
Penyertaan Tuhan luar biasa bagi jemaat GPM
Wermatang, hal ini dilihat dengan perkembangan jemaat
Wermatang hingga saat ini. Jumlah jiwa mengalami
pertambahan dari tahun ke tahun dan pada tahun 2018
jumlah jiwa 745 dan jumlah Kk sebanyak 198, laki-laki 377
dan perempuan 368. Kesadaran umat dalam peningkatan
ekonomi keluarga, peningkatan mutu pendidikan anak pun
semakin meningkat.
Jemaat GPM Wermatang dapat dikatakan sebagai
Jemaat yang melimpah dengan kekayaan alam laut maupun
darat. Wermatang terkenal dengan keekayaan laut, seperti:
udang, karaka, bia kamis, bia row, tiram, dll. Sedangkan
kekayaan darat, yaitu: kayu linggua, kayu besi, kayu toreng,
yang dikatakan berada di Tanimbar khususnya di
Wermatang dan Brasil, dan masih banyak lagi. Kekayaan-
kekayaan alam sebagai pemberian Tuhan bagi umat di
Wermatang dimanfaatkan guna menunjang kebutuhan
kehidupan sehari-hari dan biaya pendidikan anak-anak
maupun menunjang pelayanan gereja, seperti penjualan bia
kamis untuk dana pembangunan Gereja.
Dengan kekayaan alam secara khusus hutan yang
melimpah di jemaat GPM Wermatang, pada tahun 2009-2011
214
perusahaan kayu HPH masuk dan beroperasi di Jemaat.
Masuknya HPH sesungguhnya tidak membawa dampak
positif bagi desa dan jemaat, karena tidak adanya
penanaman kembali melainkan hutan menjadi gundul dan
kekayaan alam menjadi hilang. Kondisi ini berdampak bagi
lingkungan desa/ Jemaat GPM Wermatang, sehingga Jemaat
GPM Lermatang maupun Klasis Tanimbar Selatan
menunjukkan kepeduliannya untuk menyelamat-kan alam
dan lingkungan yang sudah rusak tersebut. Tindakan ini
merupakan respons gereja dalam menjaga, memelihara dan
mensyukuri berkat Tuhan melalui kekayaan alam yang ada.
Dalam perkembangan dan kemajuan pembangunan
infrastruktur yang semakin baik terutama jalan, maka jemaat
Wermatang pun menjadi jemaat transit bagi jemaat-jemaat
sekitar, seperti: Jemaat GPM Seira, Jemaat GPM Makatian
bahkan Jemaat GPM di Larat. Hal ini sangat menguntungkan
bagi jemaat Wermatang terutama dalam peningkatan
ekonomi keluarga, di mana banyak usaha-usaha kecil yang
muncul guna menjawab kebutuhan setiap orang yang transit
di jemaat Wermatang.
Demikian ulasan singkat masuknya Injil di jemaat GPM
Wermatang dan perkembangan pelayanannya hingga
sekarang ini. Semua yang sudah dan akan dijalani oleh
Jemaat GPM Wermatang merupakan hasil karya Tuhan untuk
menumbuhkan iman dan kemajuan Jemaat. Umat pun sadar
215
terhadap karya Tuhan tersebut dan akan selalu bersandar
padaNya. Semua yang dilakukan sepanjang sejarah
Pembritaan Injil oleh Guru-guru Injil dan Pendeta bahkan
semua pelayan, harus diakui hanya karena ada campur
tangan Tuhan, kuasa dan kebesaran Tuhan yang nyata. Aku
Apolos menanam, Paulus menyiram tetapi Allah yang
memberi pertumbuhan.
216
11. JEMAAT GPM SAUMLAKI
LETAK GEOGRAFIS DAN GAMBARAN UMUM
Jemaat GPM Saumlaki adalah salah satu jemaat yang ada
di Kepulauan Tanimbar dan satu-satunya Jemaat GPM yang
bertempat di Ibukota Kabupaten Maluku Tenggara Barat.
Jemaat Saumlaki merupakan persekutuan orang-orang percaya
yang datang dari berbagai pulau dan negeri di Tanimbar, juga
dari berbagai penjuru Maluku, bahkan Indonesia.
Letak Geografis Jemaat GPM Saumlaki sebagai berikut:
sebelah Utara berbatasan dengan Jemaat GPM Wesawak/Desa
Ilngei, sebelah Selatan berbatasan dengan Paroki Olilit Barat,
Sebelah Barat berbatasan dengan Jemaat GPM Lermatang.
SebelahTimur berbatasan dengan Paroki Olilit Timur.
Awalnya wilayah pelayanan Jemaat Saumlaki meliputi
wilayah petuanan beberapa desa adat sepanjang posisi timur
pulau Yamdena yakni: Olilit, Sifnana, Lauran, Kabiarat,
Boumaki, Wowonda, Wesawak, Ilngei, Tumbur, Lorulun,
Atubul Raya, Amdasa, Sangliat Karawain, Sangliat Dol, Arui
Bab, Arui Das. Namun, setelah Wesawak menjadi satu Jemaat
pada tanggal 13 Mei 2012 maka wilayah Pelayanan Jemaat
Saumlaki hanya terbatas di Desa Olilit sampai Desa Kabiarat
dan Desa Boumaki.
217
Bila ditelusuri sejarah Saumlaki, kota Saumlaki bukanlah
kota tua, sebab baru dikenal sesudah VOC (Verrnigde Oost
Indische Compagnie/ Badan Dagang Hindia Belanda), yakni
sesudah tahun 1910. Wilayah Saumlaki ini adalah wilayah
petuanan Desa Olilit yang berbatasan dengan petuanan Desa
Sifnana. Dulu wilayah ini ditumbuhi pohon-pohon asam jawa.
Dalam bahasa Fordata, pohon asam jawa dikenal dengan nama
“Sablaki”. Dalam perkembangannya, pemukiman penduduk
berkembang sampai di wilayah ini, sehingga wilayah yang
ditumbuhi banyak Pohon Sablaki mulai disebut-sebut dengan
nama Saumlaki. Sejak awal, orang-orang yang menempati
wilayah ini, memang bukan penduduk asli Desa Olilit atau Desa
Sifnana, tetapi mereka adalah pendatang baik dari Pulau Selaru,
Yamdena Barat (Lermatang, Latdalam, Batu Putih, Marantutul,
Makatian) dan ada juga yang beasal dari luar Kepulauan
Tanimbar. Wilayah ini mulai mendapat perhatian dan
berkembang menjadi sebuah kota pada waktu Pemerintah
Hindia Belanda menempatkan aparat mereka di Desa Olilit dan
sekitarnya pada tahun 1912.
AGAMA KRISTEN PROTESTAN DAN DINAMIKA
PELAYANAN
Kapan penduduk Saumlaki menjadi pemeluk Kristen
Protestan sangat sulit dipastikan, namun dapat dikatakan bahwa
mereka yang datang dan menetap di wilayah Saumlaki adalah
218
orang-orang yang sudah menjadi Kristen. Dari tulisan bunga
rampai sejarah Jemaat GPM Saumlaki oleh Vicaris. Heinard
Talarima, M.Th (2011) mengemukakan bahwa menurut Pastor
Bohmaris, pada tahun 1646 telah diutus Pendeta Vertregt ke
pulau-pulau Tanimbar untuk mengabarkan Injil. Kemudian pada
tahun 1683 diutus juga seorang guru ke Pulau Fordata, namun ia
tidak bertahan lama karena ditarik kembali ke Ambon.
Selanjutnya, belum ditemukan adanya catatan lain terkait
perkembangan Injil, kecuali keterangan tentang tiga kali
kunjungan Joseph Kam di Kepulauan Tanimbar, namun sangat
disayangkan setelah berakhirnya kunjungan Rasul Maluku ini,
perkembangan Pekabaran Injil secara khusus di Kepulauan
Tanimbar mengalami kevakuman selama kurang lebih 59 tahun.
Baru pada tahun 1892 dilakukan lagi pelayanan rohani kepada
Umat di Tanimbar dengan diutusnya Pendeta Nicolaas Salike
Van Ema yang bertugas di Pulau Selaru dan Yamdena (sekarang
kecamatan Selaru, Kecamatan Kormomolin, Kecamatan
Wertamrian, Kecamatan Nirunmas).
Informasi tentang keberadaan orang-orang Protestan di
Tanimbar ditemukan dalam catatan-catatan Misionaris Katolik
yang sejak tahun 1908 mulai tertarik untuk melakukan
perjalanan Pekabaran Injil di Tanimbar. Pastor Neyens, atas
anjuran Tuan Egen Van Heyden (Kepala Pemerintahan Babar)
mulai masuk ke Tanimbar Utara (Fordata – Larat) namun gagal.
Beliau kemudian melakukan survey ke Yamdena Timur dan tiba
219
di Adaut pada tahun 1910, namun kembali harus melanjutkan
perjalanan dengan perahu ke Pantai Lakateru Olilit, karena
penduduk di Adaut telah menerima Injil dari Pekabar Injil
Protestan. Misi Katolik serupa dilanjutkan lagi pada tanggal 14
September 1910 dengan datangnya 2 (dua) orang Pastor ke
Tanimbar, yakni Pastor Joseph Klerks dan Pastor Eduard
Cappers yang sekarang dikenal sebagai Misionaris Katolik
pertama di Tanimbar. Mereka juga datang di Adaut, tetapi
karena penduduknya telah memeluk Agama Kristen Protestan,
maka mereka bertolak ke pantai Lakateru kemudian menuju
Sifnana, Lauran dan wilayah Tanimbar lainnya.
Dari catatan-catatan ini, tergambar bahwa Jemaat GPM
Saumlaki terbentuk dari orang-orang yang datang merantau dari
berbagai Pulau di Tanimbar dan mereka adalah orang-orang
yang telah lebih dahulu menerima Injil dari Pekabar-pekabar
Injil Protestan di negeri asalnya. Mereka yang sudah memeluk
Protestan mulai dilayani oleh gereja dan beberapa tenaga tenaga
pendeta ditempatkan untuk melayani pekerjaan gereja terhadap
anggota Jemaat tersebut. Persekutuan orang-orang Protestan di
Saumlaki kemudian melembaga menjadi Jemaat pada tahun
1921. Pendeta-pendeta yang melayani adalah Pdt. Jhon Hesing
(1913), Pdt. D. Bunte (1924), Pdt. A.A. Dalen (1925), Pdt. A.N.
Binghuijsen (1926), Pdt. M.H. de Rooy (1935). Ditambahkan
beberapa orang Pendeta pribumi yang ditugaskan sebagai
Pendeta di Saumlaki, antara lain : Pdt. Syaranamual (1915-
220
1921), Pdt. Noya (1921-1924), Pdt. D. Bunte (1924-1925), Pdt.
A.A. Binghuysen (1926-1935). Tidak banyak yang bisa
diceritakan tentang ke 5 (lima) Pendeta ini. Hanya ada satu
catatan menarik khususnya pada masa kepemimpinan Pdt. J.
Hesing, tepatnya pada tahun 1912 sebuah gedung gereja
didirikan dan diresmikan dengan nama Gereja Ebenhaezer,
walaupun berdinding palupu (anyaman bambu) dan beratap
daun rumbia tetapi tempat ini dapat dipakai untuk beribadah.
(Lokasi gereja ini bertempat pada Sekretariat AMGPM Daerah
Tanimbar Selatan sekarang/Aula SMP Kristen).
Keberadaan Jemaat GPM Saumlaki diperkuat dengan suatu
bukti nyata, yaitu Genta (Lonceng Gereja) Jemaat GPM
Saumlaki yang pertama tertera tulisan “Ebenhaezer
Protestantsche Gemeente Saumlaki 1921”. (Gereja Ebenhaezer,
Jemaat Protestan Saumlaki, 1921)
Dari lokasi gereja awal, aktivitas peribadahan jemaat
berpindah ke lokasi “Rumah Tua’, saat kepemimpinan Pdt. D.
Souhoka (1956-1962), Pdt. E.D. Petta (1962-1965) dan Pdt. F.
Lakburlawal,S.Th (1965-1967), tetapi kemudian dipindahkan
lagi ke lokasi Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Kristen pada
masa kepemimpinan Pdt. E.P. Sopacua, Sm. Th (1967-1972).
Kegiatan peribadahan di sektor atau di rumah-rumah warga
jemaat mulai dilakukan: ibadah Minggu, ibadah Perkumpulan
Ibu-ibu dan ibadah Buka Usbu kegiatan ini biasanya dilakukan
setiap hari Senin pagi Jam 05.00 Wit, dan Ibadah Kunci Usbu
221
biasanya dilakukan setiap hari sabtu sore Jam. 16.00 Wit
dirumah-rumah warga jemaat.32 Sedangkan untuk anak-anak
diadakan ibadah dengan nama Sekolah Ahad yang berlangsung
di lokasi Gereja (lokasi SD Kristen sekarang). Semua anak-anak
digabung bersama dalam Sekolah Ahad, sekitar 3 tahun
kemudian barulah ibadahnya dibagi per jenjang pendidikan,
kelas 1 – 3 dan kelas 4 – 6 dan Sekolah Ahad ini berubah nama
menjadi Sondakh School. Sementara ibadah perempuan
berlangsung per wiyk (wiyk A dan Wiyk B). Namun, pada masa
kepemimpinan Pdt. Sopacua, Jemaat GPM dikelompokan atas 6
(enam) wilayah pelayanan yang dinamakan : “Tanjung Batu”
selakarang wilayah Unit Petra, “Harapan I” sekarang wilayah
Unit Bethel, “Harapan II” sekarang wilayah Unit Laharoy &
Diakonos, “Gunung Nona I” sekarang wilayah Unit Tigris,
“Gunung Nona II” sekarang wilayah Unit Gloria dan Kampung
Babar ”sekarang wilayah Unit Efata”. Kegiatan pelayanan
dilakukan pada wilayah masing-masing.33
Sekitar 8 (delapan) tahun peribadahan berlangsung di
gedung sementara dan atas persetujuan Kepala Pemerintahan
Setempat (KPS) Bapak Soselisa dan Pemilik Sekolah Cina,
maka dipergunakanlah lokasi Sekolah Cina (Lokasi Gedung
Gereja Ebenhaezer sekarang) untuk membangun Gedung Gereja
Ebenhaezer dengan komposisi Panitia Pembangunan dan
Majelis Jemaat, sebagai berikut.34 (lihat lampiran)
222
Gedung Gereja Ebenhaezer mulai dibangun terhitung
Peletakan Batu Pertamanya pada tanggal 18 Juli 1968.
Walaupun kondisi Jemaat serba kekurangan (jiwa jemaat sekitar
300 orang) selama pembangunan gedung gereja berlangsung,
namun setiap keluarga dengan sukacita memberikan sumbangan
tetap untuk pembangunan yang sementara mereka kerjakan. Di
sisi yang lain setiap warga jemaat turut berpartisipasi secara
gotong-royong dengan berjalan kaki mengangkat (pikul dan
keku) batu dan pasir dari Pantai Lakateru menuju lokasi
pembangunan. Bahan kayu untuk membangun Gereja
Ebenhaezer ini diambil dari Pulau Seira dan sebagaian lagi dari
Adaut. Setelah satu kali gagal karena ombak besar, untuk kedua
kalinya pelayaran mengangkut kayu dari Seira dan Adaut itu
berhasil dilakukan dengan menggunakan 7 (tujuh) Perahu Layar,
yakni : ’Sambut’ milik Bapak Ahong, ’Sainlial’ milik Bapak
Niko Uwuratuw, ’Bintang’ milik Angkatan Laut, ’Hopeng’
milik Bapak Hopeng, ’Lariana’ milik Bapak Lariana, ’Ensoan’
milik Bapak Ensoan, ’Damai’ milik Bapak Ensik Kanety.
Lima perahu tiba di Pantai Seira dan langsung memuat
kayu-kayu yang telah disiapkan oleh warga Jemaat GPM Seira.
Sementara 2 (dua) perahu lainnya, yakni Perahu Sainlial dan
Perahu Ensoan terpaksa harus membuang jangkar di Matakus,
karena tiang layar Perahu Ensoan dipatahkan oleh angin
kencang. Melalui perjuangan yang keras, akhirnya tiang layar
Perahu Ensoan berhasil diperbaiki, namun mereka memilih
223
untuk tidak lagi melanjutkan pelayaran ke Seira tetapi ke Adaut
dan mengambil kayu disana. Sewaktu ke 7 (tujuh) perahu layar
itu dilepaskan untuk pergi mengangkut kayu, selama itu juga
warga Jemaat GPM Saumlaki bersama Perangkat Pelayan tetap
melakukan pergumulan meminta pertolongan Tuhan sampai ke
7 (tujuh) perahu itu kembali ke Saumlaki.35
Selain partisipasi warga Jemaat dengan segala kekurangan
untuk membantu pembangunan Gedung Gereja Ebenhezer,
jemaat juga dibantu oleh beberapa Pengusaha yang ada di kota
Saumlaki dalam bentuk sumbangan uang maupun bantuan
semen.36 Semangat membangun gedung gereja Jemaat GPM
Saumlaki mula-mula begitu tinggi, walaupun warga jemaat
hidup dalam keterbatasan ekonomi. Dengan pergumulan dan
kerja keras seluruh Jemaat, Perangkat Majelis Jemaat dan
Panitia Pembangunan, maka Gedung Gereja Ebenhaezer ini
dapat diresmikan pada tanggal 15 Desember 1972.
Selain tantangan membangun Gereja, tantangan lain yang
dihadapi jemaat GPM Saumlaki adalah sekitar tahun 1970
masuknya Gereja Kristen Protestan Injili Indonesia (GKPII)
yang menyebabkan keadaan menjadi kacau dan beberapa
anggota jemaat terpengaruh (sekitar 6 – 7 Kepala Keluarga)
dengan GKPII. Saat itu, jemaat dipimpin oleh Pdt. Bungaa.
Namun, keadaan ini dapat dikendalikan.37
Sesudah Gedung Gereja Ebenhaezer diresmikan oleh Pdt.
Ch. Kapressy, Sm.Th pada masa pelayanannya bersama-sama
224
dengan jemaat membangun Tiang Lonceng, sedangkan pada
masa kepemimpinan Pdt. Nn. M. Uruilal,S.Th dibangun Kantor
Jemaat, sementara untuk memudahkan aktivitas pelayanan
kepada warga jemaat.
Gedung Gereja Ebenhaezer dipergunakan sebagai tempat
di mana umat bergumul dan beribadah, anak-anak belajar
mengasihi Allah, tempat umat bersama-sama bertumbuh dalam
Iman selama kurang lebih 40 tahun. Mengingat pertumbuhan
dan perkembangan Jemaat GPM Saumlaki dan usia Gedung
Gereja Ebenhaezer yang tidak lagi memadai untuk menampung
warga jemaat yang beribadah, membuat para pelayan tergerak
untuk mengupayakan Gedung Gereja Ebenhaezer yang baru.
Melalui kesepakatan bersama dalam beberapa kali persidangan
Jemaat GPM Saumlaki, maka dikeluarkan beberapa surat
keputusan untuk pembangunan Gedung Gereja Ebenhaezer yang
baru:
1. Keputusan No. 06/SJ/XX/2006 tentang Rekomendasi
Persidangan Jemaat XX Jemaat GPM Saumlaki tahun 2006
2. Keputusan No. 04/SJ/XXI/2007 tentang program pelayanan
dan keputusan No. 06/SJ/XXI/2007 Tentang Rekomendasi
Persidangan.
3. Keputusan No. 05/SJ-SL/XXII/2008 tentang Program
pelayanan dan Keputusan No. 07/SJ-SL/XXII/2008 tentang
Rekomendasi Persidangan
4. Keputusan No. 05/SJ-SL/XXIII/2009 tentang Program
Pelayanan dan Keputusan No. 07/SJ-SL/XXIII/2009 tentang
Rekomendasi persidangan
225
5. Keputusan No. 05/SJ-SL/XXIV/2010 tentang Program
Pelayanan dan Keputusan No. 07/SJ-SL/XXIV/2010 tentang
Rekomendasi persidangan
Lima tahun berturut-turut kesepakatan membangun
gedung Gereja Ebenhazer yang baru diputuskan dalam
persidangan, namun belum dapat diwujudkan. Sampai pada
tahun 2012 pada masa kepemimpinan Pdt. H. R. Tupan, M.Th,
melalui Persidangan ke XXVI lahirlah sebuah keputusan
Persidangan Jemaat GPM Saumlaki No. 05/SJ-SL/XXVI/2012
tentang Program Pelayanan dan Keputusan No. 07/SJ-
SL/XXVI/2012 tentang Rekomendasi persidangan, barulah
pembangunan Gedung Gereja Ebehaezer yang baru mulai
mendapat titik terang. Proses pembangunan gedung gereja
Ebenhaezer ini dimulai dengan mengedarkan undangan Majelis
Jemaat GPM Saumlaki kepada beberapa perwakilan warga
Jemaat dalam rangka mendiskusikan pembangunan Gedung
Gereja Ebenhaezer baru, karena daya tampung Gedung Gereja
ini tidak lagi memadai.38 Sebab, sejak Kabupaten Maluku
Tenggara Barat diresmikan tahun 1999, keadaan Jemaat
Saumlaki mengalami perubahan yang signifikan. Baik diri sisi
kuantitas Jemaat maupun Kualitas. Banyaknya pegawai yang
ditempatkan di Saumlaki dan peluang-peluang usaha yang
terbuka di wilayah kabupaten baru, mengakibatkan jemaat ini
berkembang secara drastis. Terhitung hanya kurun waktu 10
tahun, jemaat ini berangsur-angsur bertambah hingga mencapai
5.888 jiwa. Suatu keadaan yang sangat jauh berbeda dengan
226
jemaat ini 10 tahun lalu maupun 100 tahun lalu. Untuk
menjawab perkembangan jemaat yang pesat ini, maka pada
tanggal 25 Desember 2011 dalam ibadah Minggu di gedung
gereja Ebenhaezer dilakukan pelantikan Panitia pembangunan
Gedung Gereja Ebenhaezer baru dan Pastori 1, dengan
komposisi Panitia (lihat lampiran)
Akta Pembongkaran Gedung Gereja Ebenhaezer
berlangsung pada minggu, 12 Agustus 2012 dalam ibadah
minggu yang di Pimpin oleh Sekretaris Umum MPH Sinode
GPM Pdt. V. Untailawan, M.Th, sekaligus peribadahan Jemaat
dialihkan untuk sementara waktu ke Gedung Aula Kantor Klasis
GPM Tanimbar Selatan. Dua hari sesudah itu, warga Jemaat
mulai melakukan pembongkaran, sementara Panitia mulai
mempersiapkan Prosesi Peletakan Batu Pertama. Prosesi
Peletakan Batu Pertama Gedung Gereja Ebenhaezer yang baru
diawali dengan pergumulan bersama Para Pelayan, Panitia dan
seluruh warga Jemaat di lokasi Pembangunan Gedung Baru
Gereja Ebenhaezer pada hari minggu 2 September 2012. Dalam
pergumulan bersama ini seluruh warga Jemaat membawa dan
meletakan seluruh “Natsar Alas” pembangunan. Natsar dari
seluruh warga Jemaat tersebut dipergunakan untuk membiayai
pekerjaan pengecoran tiang dari pembangunan Gedung Baru
Gereja Ebenhaezer. Hal ini dimaknai secara teologis sebagai
suatu bentuk pergumulan bersama Jemaat bahwa “Tuhan Yesus
Kristuslah, dasar dari Pembangunan Gedung Baru Gereja
227
Ebenhaezer dan warga Jemaat GPM Saumlaki adalah
Persekutuan Jemaat Yang dipercayakan Tuhan Allah Untuk
Membangun”.
Momen puncak Peletakan Batu Pertama Gedung Baru
Gereja Ebenhaezer dilaksanakan bertepatan dengan Perayaan ke
77 Tahun GPM, yaitu pada hari Kamis, 6 September 2012.
Peletakan Batu Pertama dilakukan oleh Unsur Sinode yang
diwakili oleh Wakil Ketua sinode Pdt. Yop Noya. M.Th, Klasis
oleh Pdt Max Chr Syauta. S.Th dan Jemaat oleh Pdt.H.R.Tupan
serta perwakilan Pemerintah, yaitu: Bupati Maluku Tenggara
Barat. Saat serah terima dari Pdt. H. R. Tupan, M.Th kepada
Pdt. Ny. A. Ch. Sabono, S. Th tanggal 24 Mei 2015 maka
pekerjaan pembangunan dilanjutkan oleh ketua Majelis jemaat
yang baru. Selama 4 tahun 5 bulan pekerjaan pembangunan
Gedung Gereja Ebenhaezer dikerjakan oleh tukang lokal
maupun tukang yang didatangkan dari Jawa. Partisipasi jemaat
dalam pembangunan gereja pun berlangsung dengan baik,
seperti terlibat dalam pengecoran, angkat material bangunan,
pikul rangka baja kap gereja. Semua ini dikerjakan secara
gotong royong seperti kebiasaan orang-orang tatua dulu.
Peresmian Gedung Baru Gereja Ebenhaezer dilaksanakan pada
tanggal 22 Januari 2017 dalam ibadah minggu oleh Ketua
Majelis Pekerja Harian Sinode GPM Pdt. Drs. A. J. S.
Werinussa, M.Si, yang didampingi oleh Wakil Ketua I MPH
228
Sinode Pdt. P. Refialy M.Th dan Wakil Ketua II Pdt. W. B.
Pariama S.Th.
Peletakan batu pertama pembangunan Gedung Pastori 1
Jemaat GPM Saumlaki pun dilaksanakan pada tanggal 6
September 2017. Ibadah Peletakan batu pertama dipimpin oleh
Pdt Z. Manuhutu. S.Th (Pdt Jemaat GPM Saumlaki). Sampai
saat ini, Jemaat GPM Saumlaki telah memiliki beberapa pusat
pembinaan dan pendewasaan iman umat, antara lain: Gedung
Gereja Ebenhaezer, Gedung Gereja Damai yang dibangun pada
masa kepemimpinan Pdt. Ny. C. Siahaya, S.Th (1997-2003),
satu Balai Pembinaan Umat (“BPU Sejahtera”) yang biasanya
dipakai untuk tempat Peribadahan Jemaat, dan 1 (satu) buah
Gedung Paud yakni “PAUD Ebenhaezer”, dan 5 buah Pastori
dimiliki Jemaat GPM Saumlaki pada masa kepemimpinan Pdt.
H.R. Tupan M.Th dan 2 buah pastori dibangun pada masa
kepemimpinan Pdt. Ny. A. Sabono/Hanoatubun, S.Th.
Pelayanan di jemaat GPM Saumlaki selanjutnya
mengalami banyak perubahan. Ibadah unit-unit berlangsung
setiap hari Jumat Pukul 17.00, ibadah Sektor, ibadah Wadah
Laki-laki dan perempuan setiap Selasa Sore pukul 17.00
berlangsung di Sektor-sektor, tetapi juga dikemas bervariasi
dengan Koinonia Sektor maupun ibadah Gabungan sektor di
Gereja. Ibadah AMGPM dilakukan setiap hari Kamis di setiap
ranting-ranting tetapi juga ibadah Cabang yang berlangsung 1
bulan 1 kali. Selain itu, ada juga ibadah Keluarga Majelis
229
Jemaat, Ibadah Warga Gereja Profesi, Ibadah Warga Gereja
Senior, ibadah Pemuda yang dikemas dalam Kolaborasi budaya
maupun kebutuhan Pemuda. Pelaksanaan Pendidikan Formal
Gereja di Jemaat GPM Saumlaki dilaksanakan di Sektor-sektor
dengan pembagian jenjang dan sub jenjang mulai dari kelas
batita 2 dan 3, jenjang Indria 1, 2 dan 3, jenjang anak Kecil 1, 2
dan 3, Jenjang anak tanggung 1, 2 dan 3, dan jenjang Remaja 1,
2 dan 3. Sementara Katekesasi dilaksanakan di 3 kelompok
belajar mengingat jumlah siswa katekesasi bisa mencapai 250
orang siswa. Selain mengalami banyak perubahan dalam
pelayanan, Jemaat GPM Saumlaki juga mengalami peningkatan
anggaran pendapatan dan belanja yang sangat tinggi. Sepuluh
(10) tahun terakhir ini jemaat GPM Saumlaki termasuk dalam
jemaat 5 besar, pembayar Tapel pada Sinode GPM. Sehingga
keberadaan jemaat GPM Saumlaki sangat menopang jemaat-
jemaat di Klasis Tanimbar Selatan tetapi juga Sinode GPM.
Jemaat GPM Saumlaki telah menjadi suatu persekutuan
dengan jumlah anggota sebanyak 6.065 jiwa, yang terdiri dari
Laki-laki 3005 orang dan perempuan 3060 orang. Pelayanan
terbagi ke dalam 12 (dua belas) Sektor Pelayanan yang terdiri
dari 38 Unit Pelayanan. Jemaat GPM Saumlaki kini dipimpin
oleh Ketua Majelis Jemaat, Pdt. Ny. A. C. H. A. Sabono/H,S.Th
dibantu oleh 4 Pendeta Jemaat yaitu Pdt. Zeth Manuhutu, S. Th.
Pdt. Ny. Jun Lorina Feninlambir/K,S.Th dan Pdt. Ny. Adriana
Siletty/Mailuhu, Pdt F Haumahu S. Th, serta 76 Majelis Jemaat
230
periode 2015-2020 (lihat lampiran). Jumlah Jemaat yang sangat
besar dan luasnya daerah pelayanan membuat pelayanan di
jemaat GPM Saumlaki sangat unik dan kompleks, apalagi
Jemaat GPM Saumlaki menjadi kota transit bagi Jemaat-jemaat
di Klasis Tanimbar Selatan, Tanimbar Utara bahkan bagi Klasis-
klasis yang ada di Kabupaten MBD.
Hubungan Oikumenis jemaat GPM Saumlaki dengan
gereja-gereja denominasi berjalan dengan baik, termasuk
dengan basudara Muslim dan Katolik. Beberapa program
oikumene yang diputuskan dalam persidangan jemaat direalisasi
dengan melibatkan basudara Muslim dan Katolik dengan tujuan
membangun kerjasama antar dan interumat beragama (seperti
kerja bakti bersama, pembersihan teluk). Relasi jemaat dengan
Pemerintah Daerah, TNI/POLRI dan dinas/badan vertikal juga
berjalan dengan baik, di mana Jemaat GPM Saumlaki
membuka peluang bagi instansi terkait untuk mensosialisasikan
tugas-tugas mereka bagi umat lewat ibadah-ibadah unit/sektor,
ibadah gabungan maupun dalam penggembalaan.
Untuk pelayanan Pendidikan, Jemaat GPM Saumlaki
sejak dulu bertanggungjawab bagi pembangunan SD Kristen
Saumlaki, SMP Kristen Saumlaki dan SMA Kristen Saumlaki.
SD Kristen telah ada di Saumlaki pada tahun 1972 dan SMP
Kristen Saumlaki telah ada sejak tahun 1955, tetapi keberadaan
sekolah ini di kemudian hari tidak lagi beraktivitas dan sekitar
231
tahun 2002 baru SMP Kristen Saumlaki kembali dibuka,
sedangkan SMA Kristen Saumlaki didirikan tahun 2006.
Perjalanan menabur dan menyiram di kebun Anggur
Tuhan di Jemaat GPM Saumlaki bukan sesuatu yang mudah.
Selalu ada tantangan yang harus dihadapi. Namun, sejarah
memperlihatkan bahwa jika lutut dan tangan tidak kuat dilipat,
maka mungkin jemaat ini tidak sampai di saat ini. Hanya karena
kemurahan Allah yang sungguh perkasa, serta ketulusan dan
keteguhan hati umat, Jemaat GPM Saumlaki boleh dipakai
menjadi saluran berkat sampai detik ini, khususnya di Saumlaki,
di Klasis GPMM Tanimbar Selatan dan Gereja Protestan
Maluku pada umumnya.
232
12. JEMAAT GPM MAKATIAN
LETAK GEOGRAFIS
Jemaat GPM Makatian39 terletak di pesisir Barat daya
pulau Yamdena, pulau paling besar di Kepulauan Tanimbar.
Perjalanan dari Pusat Klasis di Kota Saumlaki menuju
Makatian dapat dilakukan dengan menggunakan motor laut.
Waktu yang diperlukan kurang lebih empat sampai tujuh
jam, dengan jarak tempuh ± 76 Km. Jalan lain yang dapat
dipilih menuju Makatian dengan menempuh jalan berbatu
yang menghubungkan Saumlaki dengan desa Batuputih.
Setelah itu perjalanan dapat dilanjutkan dengan menumpang
motor laut.
Secara administratif pemerintahan desa Makatian ada
di wilayah Kecamatan Wermaktian, Kabupaten Maluku
Tenggara Barat. Untuk mencapai kecamatan, dapat ditempuh
dengan menggunakan motor laut. Waktu yang diperlukan
antara satu sampai dua jam dengan jarak tempuh ± 22 Km.
Jemaat GPM Makatian memiliki batas pelayanan,
sebagai berikut: sebelah Barat berbatasan dengan Jemaat
GPM Seira; sebelah Timur berbatasan dengan Desa Arui;
sebelah Selatan dengan Jemaat GPM Wermatang; dan
sebelah Utara berbatasan dengan Desa Lelingluan.
233