The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Tonggak Sang Pencerah Sebuah Novel tentang KHA. Dahlan (Yazid R. Passandre) (z-lib.org)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by masjiddarussalam18, 2022-04-21 19:09:47

Tonggak Sang Pencerah Sebuah Novel tentang KHA. Dahlan (Yazid R. Passandre) (z-lib.org)

Tonggak Sang Pencerah Sebuah Novel tentang KHA. Dahlan (Yazid R. Passandre) (z-lib.org)

Aku persembahkan
karya ini untuk
Sang Pencerah,
Pahlawan Kusuma Bangsa:
Kiai Haji Ahmad Dahlan,
dan Muktamar Satu Abad
Persyarikatan Muhammadiyah.

Diilhami oleh film dokumenter KHA. Dahlan Sang Pencerah,
oleh Jurusan Ilmu Komunikasi UMY, 2006

Dan, berdasar naskah: Cerita tentang KHA Dahlan Catatan H.M. Syoedja

Pengarang:
Yazid Rahman Passandre

Editor:
Agung Y. Achmad
Arief Budiman Ch.

Rancang grafis:
[email protected]

Edisi pdf terbit: Januari 2018

Edisi cetak terbit:
cetakan pertama, juni 2010

oleh penerbit:
Suara Muhammadiyah
Jl. KHA. Dahlan 43 Yogyakarta 55122

Yazid R. Passandre

Penggalan Cerita

Penggalan 1: Kampung Qo’imuddin 7
Penggalan 2: Gobak Sodor 19
Penggalan 3: Apem dan Ketan 34
Penggalan 4: Benteng Vredeburg 45
Penggalan 5: Hasrat Peroebahan 55
Penggalan 6: Benih Cinta 68
Penggalan 7: Mahligai Impian 78
Penggalan 8: Baiti Jannati 88
Penggalan 9: Titah Berhaji 96
Penggalan 10: Melepas Belahan Jiwa 104
Penggalan 11: Berlayar Ke Jeddah 112
Penggalan 12: Di Pusaran Ka’bah 122
Penggalan 13: Ahmad Dahlan 129
Penggalan 14: Pulang Kampung 135
Penggalan 15: Kompas dan Maskara 141
Penggalan 16: Modal Dagang 150
Penggalan 17: Senyum Terakhir 156
Penggalan 18: Menikahkan Sang Ayah 163
Penggalan 19: Amanah 167
Penggalan 20: Kiblat 177

<> 5 <>

Tonggak Sang Pencerah
Penggalan 21: Musyawarah 166
Penggalan 22: Garis Kapur 194
Penggalan 23: Robohnya Langgar 202
Penggalan 24: Langgar 214
Penggalan 25: Lelaki Biola 224
Penggalan 26: Pertemuan Ketandan 231
Penggalan 27: Sekolah Raja 239
Penggalan 28: Sekolah Ruang Tamu 246
Penggalan 29: Menuai Protes 254
Penggalan 30: Saya 261
Penggalan 31: Lakum Dinukum Waliyadin 267
Penggalan 32: Tonggak Sang Pencerah 272

<> 6 <>

Yazid R. Passandre

Penggalan 1

Kampung Qo’imuddin

Nagari Ngayogyakarta masih kukuh, mes-
kipun ruas jalan-ruas jalannya lepuh ter-
tindas. Seperti gemuruh lindu yang terku-
rung di relung bumi, rakyat sudah tak kuasa menyekam
murka. Mereka ingin melawan tirani sampai di titik
darah penghabisan. Kesengsaraan kian meruak. Sebab,
kolonial menghendaki lebih dari sekadar mengang-
kangi wilayah. Mereka juga ingin mengeruk semua
hasil kebun dan rempah-rempah di Nagari.
Lihatlah bunga-bunga Nagari yang berguguran
menyertai jejak Raden Mas Mustahar, Bendoro
Raden Mas Ontowiryo alias Pangeran Diponegoro,
ke pengasingan. Semerbak semangat Sang Pangeran
menyulut perang sabil tak tergerus waktu. Rakyat
Nagari yang hanya berbekal keris dan bambu runcing
disabung dengan serdadu kolonial: tentara bersera-
gam terlatih yang lihai membidikkan senapan atau
menembakkan peluru meriam.

<> 7 <>

Tonggak Sang Pencerah

Inilah zaman di mana perang bukan lagi sebuah
penaklukan, melainkan alat untuk menyerbu tanah-
tanah subur, dan menggarong biji-biji tanaman.
Seolah tanpa menyulut perang, londo penjajah tak
kan menikmati kemakmuran dan kemasyhuran di
negerinya.

“Mereka lihai memecah belah keutuhan. Slogan
mereka keras: divide et impera. Pecah belah dan
jajah.”

“Bagaimana dengan Budi Utomo sendiri?”
“Budi Utomo lahir dan ada hanya untuk mendidik.
Tapi tidak mudah menjalankan misi mulia itu, Kiai.
Belanda curiga.”
“Belanda curiga dan ketakutan akibat ulah
sendiri.”
“Sebaiknya bagaimana, Kiai?”
“Kita tidak perlu takut!”
Ungkapan gentar Mas Joyosumarto dari perkum-
pulan Budi Utomo dibela tanpa basa-basi oleh Kiai
Dahlan.
Kolonial menguasai bumi Nagari tak terhalang,
mereka jagal hak-hak kaum pribumi melalui kaki
tangan Vereenigde Oost-Indische Compagni, VOC.
Zaman ini berlangsung begitu gelap, serakah dan
sadis. Belanda semakin jumawa sebagai bangsa
penjajah, merampas dan menindas. Namun,

<> 8 <>

Yazid R. Passandre

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat belum goyah.
Bentengrnya kokoh berdiri, berhias rimbun daun-
daun waringin. Pohon yang menjulang tinggi ke
langit, dan akarnya menyebar serta mencengkeram
kulit bumi, itu seperti menjadi simbul pertaruhan
akhir harga diri kaum pribumi seusai perundingan
Giyanti.

Langit muram, mentari seolah hanya bersinar di
paruh belahan. Belahan yang lain seperti goa tak
terjamah cahaya. Kepiawaian kolonial menghasut
yang tak ada tanding itu telah membelah pinang
Mataram menjadi Kasultanan Ngayogyakarta dan
Kasunanan Surakarta.

Perlahan tapi pasti bumiputra pun bergerak agar
penjajah segera hengkang, enyah tak bersisa. Kata
merdeka mulai belajar dieja dari mulut ke mulut,
dihembuskan sepoi-sepoi laksana gerak sang bayu
di pagi yang lembut. Perlawanan diam-diam
menetas, justru dari bangku-bangku mewah dan
papan tulis School Tot Opleiding Van Indische Artsen.
Sekolah yang lazim disebut STOVIA.

Bumi kelu di seantero Jawa serentak bicara.
STOVIA, sekolah kedokteran ciptaan kolonial itu,
mengilhami murid-muridnya sendiri tentang arti
penting pendidikan, dan berjuang merebut harga
diri yang tercabik sejak berabad-abad yang lalu. Tak

<> 9 <>

Tonggak Sang Pencerah

ada yang menyangka jika niat menumpas buta huruf
pada akhirnya menggerakkan revolusi besar, kelak.

Di tanah gemah ripah Ngayogyakarta yang lembut
namun terus menyekam bara perlawanan diam-
diam itulah berdiri tegak bangunan sebuah masjid
yang menjadi ruang pendamai dan keselamatan.
Masjid yang dirancang dari talenta arsitektur Kyai
Wiryokusumo atas titah Sri Sultan Hamengku
Buwono I Senopati ing Ngalogo Abdurrahman
Sayidin Panatagama Kalifatullah ing Ngayogya-
karta itu beratap tumpang tiga dengan mustaka yang
mencerminkan daun kluwih dan gada. Daun kluwih
adalah linuwih: kelebihan yang sempurna. Dan, gada
adalah simpul Tuhan Yang Maha Tunggal.

Masjid Gedhe yang megah diurus seorang
Penghulu Keraton yang dibantu ketib, atau imam
khatib. Kedua penyandang tugas mulia itu sangat
dihormati, tak segan-segan jamaah menakzimi sang
ketib. Ada pula yang bertugas selaku modin, merbot,
abdi dalem pamethakan, abdi dalem kaji kelusinan
dan abdi dalem barjamangah. Mereka sengaja
bermukim di lingkungan sekitar masjid agar mudah
melaksanakan rutinitas ibadah. Berkembanglah
kehidupan jamaah itu menjadi sebuah kampung
bernama Kauman: tempat mukim para qoimmuddin,
hidup rukun dan damai dalam ikatan iman. Masjid

<> 10 <>

Yazid R. Passandre

Gedhe semakin makmur sebagai sentrum berja-
maah di tanah Ngayogyakarta, sebuah nagari yang
kemudian masyhur dengan nama Yogyakarta.

Di tengah-tengah para qoimmuddin itu Darwisy
lahir. Kauman, kampung yang berasal dari kalimat
qoum, qoim, qoimuddin, yang punya arti khas itu:
penegak agama. Ia tumbuh sebagai titisan benih
Kiai Haji Abu Bakar, imam khatib Masjid Gedhe.
Bahkan ayahanda Darwisy, yang alim bukan main,
pernah pula mendapat tugas khusus dan sangat
penting dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII untuk
mengantar ayahanda-nya, Sri Sultan Hamengku
Buwono VI, ke Tanah Suci, Mekkah. Tak dapat
disangkal, betapa mulia tugas menghajikan seorang
sultan dari Tanah Nagari.

Darwisy terlahir dari darah keluarga pejuang yang
tak pernah lelah mewakafkan semua yang mereka
miliki untuk menjadi lentera bagi jalan hidup banyak
orang. Demikianlah silsilahnya: Kiai Haji Abu Bakar
adalah putra Kiai Haji Muhammad Sulaiman, putra
Kiai Murtadla, putra Kiai Ilyas, putra Demang Jurang
Juru Kapindo, putra Demang Jurang Juru Kapisan,
putra Maulana Sulaiman alias Ki Ageng Gribig, putra
Maulana Fadlullah, putra Maulana ‘Ainul Yakin, putra
Maulana Ishak, putra Maulana Malik Ibrahim. Sudah
masyhur di seantero Nagari, Maulana Malik Ibrahim

<> 11 <>

Tonggak Sang Pencerah

orang terkemuka di kalangan Walisongo.
Karena menolak warisan pendidikan penjajah,

Kiai Haji Abu Bakar mengasuh dan mendidik Darwisy
di rumah. Masa pendidikan langsung dari sang
ayahanda ini dijalani Darwisy hingga ia beranjak
belia, mengenal jati diri, mampu melihat sisi terbaik
dari dirinya, bahkan sampai ia sanggup menentukan
arah hidup sendiri. Darwisy menimba ilmu agama
yang mendalam dari ayahandanya. Melihat Darwisy
semakin tekun belajar dan beribadah, kedua orang-
tuanya yakin bahwa anak lelakinya itu, kelak,
berbakat menjadi lentera di tengah-tengah kehi-
dupan masyarakat.

Siti Aminah putri Kiai Haji Ibrahim, Penghulu
Besar Ngayogyakarta, yang tak lain ibunda Darwisy,
sampai bertitah. “Semoga Gusti Allah menghendaki
doa Ibu dan Bapakmu. Suatu saat nanti kamu akan
menjadi pemimpin.”

“Pemimpin?”
“Ya, panutan…”
Darwisy merunduk senyum. Ia seperti batang
padi yang tumbuh tak bersuara. Tingkahnya guyub
pertanda sebagian sifat-sifat unggulnya. Sinar
matanya teduh melukiskan benih-benih kealiman.
Saat itu, ia hanya menyimak urai kata ibundanya
dengan bahasa hati. Meskipun ia belum sepenuhnya

<> 12 <>

Yazid R. Passandre

mengerti maksud ungkapan panutan, getarannya
sudah ia rasakan. Dengan jenaka, ia sembunyikan
getar makna ungkapan itu di dadanya.

“Karena itu rajin-rajinlah menimba ilmu agama,
Nak.”

Darwisy mendongak, menatap wajah bistari
ibundanya dengan sorot mata yang memancar dari
lubuk hati. Ibundanya terguncah haru, mendekati
Darwisy, memeluk dan mendekap putranya lekat-
lekat dengan sentuhan tangan yang lembut. Dengan
penuh cinta, Darwisy pun merebahkan kepala ke
dada ibundanya.

Masa kanak Darwisy yang bersahaja ditempa
kasih sayang ayahanda dan ibundanya laksana jari-
jari telaga di kaki Lawu, mencurahkan air jernih nan
bening tiada tara. Segenap hidup Darwisy tumbuh
dalam siraman cinta bercengkerama dalam asuhan
kasih yang terdidik. Ia semai makna kehidupan dari
buah laku dan pekerti ayah-ibundanya. Memancar-
lah pada pribadi Darwisy sifat-sifat yang halus dan
budi pekerti yang luhur. Hatinya lunak ditopang
watak yang cerdas. Acap ia menunjukkan kelebihan
sebagai anak dregil.

Dari wajah bulat berseri itu tampak binar-binar
harapan yang teguh. Kulitnya hitam manis, alisnya
tak ubah lukisan peta yang membentangkan jalan

<> 13 <>

Tonggak Sang Pencerah

bagi setiap tekad. Hidungnya mancung menancap
indah dengan bibir yang selalu basah berhias
senyuman. Benih-benih kumis tipis halus itu mene-
gaskan kelembutan kelopak matanya. Dan, mata
mungilnya semakin menyorot tajam ke arah kehi-
dupan yang ia hadapi. Darwisy juga kerap mendapat
sebutan wasis.

Berbeda dari kelaziman sifat dan tingkah kawan-
kawan sebayanya, Darwisy punya kebiasaan banyak
bertanya. Banyak hal yang sering ia pertanyakan.
Sudah menjadi kebiasaannya, ia tekun memperha-
tikan kata demi kata yang ia baca dan simak, sembari
mencatat di atas lembaran-lembaran papirus. Ia
memandang jawaban yang benar sebagai ilmu, dan
ilmu layak disimpan hingga terawat selamanya.
Maka, pertanyaan menjadi niscaya agar hidup tak
berkalang sesat.

Setiap pagi, Darwisy sudah berada di rumah gu-
runya. Ia belajar memperdalam bagian penting dari
cabang ilmu agama. Mimik mukanya serius, ia terima
sungguh-sungguh pengajaran demi pengajaran.
Dan, ia simak kalimat-kalimat yang diungkapkan
gurunya dengan cermat nan penuh perhatian.

“Kita belajar ilmu agama bertujuan agar kita tidak
keblinger,” ujar gurunya yang tak lain kakak sepupu-
nya sendiri, Kiai Lurah Haji Mohammad Noor, yang

<> 14 <>

Yazid R. Passandre

lebih akrab disapa Kiai Lurah.
Darwisy mengerut kening, alisnya seolah

berhimpun dan sorot matanya lebih dulu bicara.
“Keblinger?”
Kepekaan Darwisy tumbuh dan terasah dari sifat

wasis-nya. Ia selalu ingin menyikapi segala sesuatu
yang ia lihat dan ia dengar yang belum benar-benar
ia ketahui dengan cara bertanya. Itu membuka
jalannya sendiri untuk cepat menimba dan memu-
puk pengetahuan. Laksana oase yang menggeliat
dan menerabas lapisan-lapisan tanah kedap menja-
di sungai di tengah kegersangan pengetahuan
bangsa inlanders yang gelap, semangat belajar
Darwisy mengalir. Tingkahnya kian sejuk, seumpama
mata air zam-zam menyirami bentala yang hangus
tandus menahun.

Melihat wajah Darwisy dirundung rasa ingin tahu
yang demikian menggugah, sang guru pun menukas
secara tegas.

“Orang yang diajak ke jalan yang benar sesuai Al-
Qur’an, meneladani Rasulullah, dan hidup damai,
tapi dia malah merasa terusik dan menempuh cara
hidupnya sendiri. Itu yang namanya keblinger.”

Darwisy menghela nafas, kelopaknya sontak
beriak saat bola mata itu terlonjak tajam. Begitu
mendengar ungkapan gurunya, Darwisy memba-

<> 15 <>

Tonggak Sang Pencerah

yangkan makin banyak orang yang sudah keblinger. Ia
memendam rasa heran. Tak sedikit ia saksikan
perilaku ganjil yang lalu-lalang di sekitarnya. Seolah
benak mungilnya sudah tak menampung rasa
penasaran yang hendak ia utarakan.

“Waktu saya jalan ke sini, saya melihat orang
menabur bunga melati dan beras di pojok masjid?”

Kiai Lurah tersedak. Ia sampai urung menuang-
kan air putih ke mulutnya dari gelas yang sudah di
tangan. Ia kelu memandangi wajah Darwisy, namun
anak belia itu makin berani menatap dirinya. Kiai
Lurah merasa baru mendengar ungkap pertanyaan
yang tak biasa. Darwisy seperti sengaja meminta
jawaban yang sangat mendasar. Setahu Kiai Lurah,
orang yang biasa menabur bunga dan beras di pojok
masjid bukan orang sembarang.

Orang yang dimaksud Darwisy pasti Kiai
Penghulu... pikir Kiai Lurah.

Seumpama lakon murwakala dalam wayang yang
mengisahkan proses penyucian orang yang menga-
lami sukerta, atau kesialan, maka sudah lazim di
tengah-tengah kehidupan rakyat Sultan Mataram,
bahwa untuk menghindari sukerta dan sekaligus
melakukan penyucian diri dibutuhkan ritual sema-
cam tabur bunga dan beras. Bahkan, ritual penyucian
diri dari kesialan itu juga memerlukan berbagai

<> 16 <>

Yazid R. Passandre

macam sesaji. Seperti tatkala dalang wayang dalam
lakon murwakala yang membutuhkan tuwuhan:
pisang raja yang sudah matang setundun yang
ditebang beserta batangnya ditambah cengkir
gading.

“Itu tradisi menjelang bulan Ramadan. Namanya,
ruwatan. Artinya, agar orang mendapatkan berkah
kesucian diri sebelum memasuki bulan suci.”

“Tapi…”
“Sudahlah, tidak usah terlalu dipikir.”
Kiai Lurah menepuk-nepuk pundak Darwisy,
seolah sedang menimang-nimang agar tak
melanjutkan pertanyaan yang belum waktunya ia
pikirkan. Menyoal kemapanan adat istiadat dan
perilaku beragama yang sudah dipandang lumrah,
apalagi terlontar dari mulut anak bawang, sama
artinya dengan mengerdilkan kewibawaan para
pemuka adat dan pengayom agama. Bahkan, itu
dapat dikata sebagai sikap tak hormat kepada leluhur.
Meskipun demikian, jauh di lubuk hati sang guru,
kecerdasan Darwisy itu mengundang rasa kagum
yang tak terkatakan.
“Sekali lagi, kamu harus mengerti. Itu hanya
tradisi.”
Kelopak mata Darwisy tak serta-merta mengang-
guk. Jelas ia merasa enggan hanya diam. Setelah

<> 17 <>

Tonggak Sang Pencerah
peristiwa itu, Darwisy makin tekun belajar membaca
rahasia dari tiap perilaku orang-orang di sekitarnya,
sampai ia, kelak, menaruh niat untuk melakukan
peroebahan.‡

<> 18 <>

Yazid R. Passandre

Penggalan 2

Gobak Sodor

Darwisy beranjak belia. Wajahnya yang
bulat mengembang cerah. Kuncup bibir
mungilnya menyimpan benih-benih
keramahan bak mulut giwang yang pasti mekar
merekah bila diterpa sinar. Ia sudah terbiasa me-
nyapa orang-orang di sekitarnya dengan menunjuk-
kan senyuman, menebarkan kelembutan hatinya.
Senyum adalah anjuran Rasulullah. Maknanya, kalau
tak ingin hangus berdebu-debu disaput api, sering-
seringlah bersikap ramah kepada sesama.
Ngayogyakarta bergeming direngkuh udara pagi
tropika, mentari perlahan menyengat. Namun udara
yang sejuk masih terasa dari paru-paru awan yang
lindap di ubun-ubun Kauman. Darwisy mengenakan
sarung dan baju batik lengan pendeknya, warnanya
coklat sogan, khas kota gudeg. Ia beranjak ke seram-
bi rumah, di tangannya tergenggam sehelai papirus
yang buram mengusam. Entah apa isinya, sampai ia

<> 19 <>

Tonggak Sang Pencerah

enggan bila bahan kertas purba itu jauh dari sisinya,
lepas dari tangannya. Baru setelah Darwisy mengin-
jak remaja, kelak, ia sering tuturkan kepada kawan-
kawannya bahwa dari lembar sebuah papirus itulah
ia belajar menghafal zikir-zikir Kanjeng Nabi sejak
di usia kanak-kanak.

Darwisy duduk dengan melipat kedua kakinya,
menghafal baris-baris kalimat: “Astagfirullah…
Subhanallah… Alhamdulillah… Laa ilaaha illa allah
wala haula wala kuwwata illa billah…”

Sementara suasana di luar sana masih lengang.
Sunyi. Tak ada tanda-tanda kasak-kusuk yang berbe-
nih hura-hara, seperti hari di mana buruh pabrik gula
dan perkebunan melakukan pemogokan besar-
besaran di Kalasan dan Sleman. Para buruh merasa
hanya diperas tenaganya, nyaris tanpa upah. Tak
terbayang pahit getir para wong cilik bekerja sebagai
wachtdiensten, kerja moorgan, upah tanam plaant-
loon atas perintah kolonial.

Kaum pribumi dipaksa bercocok tanam, namun
buah dari kerja keras mereka jauh dari layak. Siapa
juga yang mampu bertahan, jika orang yang bekerja
siang dan malam, membanting tulang, demi menaf-
kahi keluarga hanya diupah dengan ancaman, har-
dikan dan pukulan. Bayangkan, jika orang bertani
dan berladang di tanah milik sendiri, lalu hasilnya

<> 20 <>

Yazid R. Passandre

dikangkangi orang lain.
Mengenakan baju batik bermotif khas talenta

kaum pribumi itu, Darwisy seolah menegaskan
pergulatan hebat yang tengah berlangsung diam-
diam di sekitarnya. Tak banyak yang menyangka, jika
mbatik dan berdagang batik adalah isyarat perla-
wanan yang sedang digerakkan perlahan-lahan
menghadang gelombang kapitalisme kolonial.
Dengan berdagang, kelanjutan hidup bisa diperta-
hankan di Nagari yang hampir semua tanahnya telah
terampas.

Kolonial hendak menguasai seluruh sumber-
sumber ekonomi. Kopi, nila, tebu dan tembakau
yang tumbuh di bumi Nagari nan subur dan makmur
itu seluruhnya ingin mereka keruk. Akibatnya, ke-
miskinan dan kelaparan menjalar bak cendawan di
musim hujan. Keraton terdesak, bahkan hasil hutan
kayu keras di Gunung Kidul diambil alih pemerintah
penjajah. Sedikit kompensasinya, Sultan hanya
memperoleh kayu gratis sekadar membangun
Karaton Ambar Rukmo dan Ambar Winangun.
Seperti sudah menyadari gerak zaman yang susah,
ayah Darwisy, selain bertugas sebagai imam khatib
dan berdakwah, berjualan batik dan menjadi
pedagang terkemuka di Kauman: kampung yang hari
itu terlihat bersahaja disulam benang-benang

<> 21 <>

Tonggak Sang Pencerah

cahaya mentari di sebelah barat Alun-Alun Utara.
Tata ruang Kauman sebagai sebuah kampung

memang unik, lain dari yang lain, karena mengitari
Masjid Gedhe. Memasuki masjid itu harus melalui
gerbang gapura yang dibangun dengan beton tinggi
laksana sebuah benteng, dan konon berasal dari kata
ghofuro. Maksudnya tak lain, bila orang memasuki
masjid melewati gerbang itu sudah tentu harus
berniat masuk Islam dan layak mendapatkan
ampunan. Tak sedikit mereka yang datang melewati
pintu gapura hanya untuk mencari kedamaian mela-
lui agama yang benar, memohon ampunan dan
keselamatan di dunia dan akhirat. Mereka bersaksi
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad
utusan Allah.

Air sungai yang mengalir ke Kauman seperti se-
ngaja dibuat khusus sesuai harapan para penghuni-
nya. Menurut faham para qoum, sebutan lazim bagi
pemukim awal Kauman, air yang mengalir langsung
dari sumber aslinya adalah air bersih yang member-
sihkan. Di samping sehat untuk membilas tubuh, juga
suci dipakai berwudhu. Pandangan demikian se-
sungguhnya bersumber dari ajaran Kanjeng Nabi,
Rasulullah Muhammad Sallallahu’alahiwassalam.

Pintu gerbang Kauman tepat menghadap ke
Alun-Alun Utara yang terhampar di depan Siti Hinggil.

<> 22 <>

Yazid R. Passandre

Di balik pintu gerbangnya terhampar pula pelataran
Masjid Gedhe yang luas seperti tanah lapang. Di
sebelah selatan masjid terdapat selokan meleng-
kung panjang mengitari benteng Keraton. Semen-
tara di bagian utara masjid berbatasan dengan jalan
yang dipenuhi Ndalem Agung milik para hangabehi
—sepanjang jalan itu disebut Jalan Ngabean. Di
bagian barat terdapat jalan yang dihuni para gerjil
atau tukang jahit yang kebanyakan dari mereka
menjahit batik dan kemudian kesohor dengan nama
Jalan Gerjen. Sehari-hari, Darwisy begitu dekat de-
ngan segala hal yang berkaitan batik. Kelak, di waktu
ia sudah menginjak dewasa dan berumah tangga,
Darwisy mewarisi usaha batik ayahandanya. Dengan
usaha itu, ia cukupi segala kebutuhan hidupnya.

Setelah seharian menghafal isi kertas papirus itu,
Darwisy beralih menekuni perkerjaan yang lain. Ia
ambil batang-batang bambu yang ia simpan di
kamarnya, meletakkan di pangkuannya yang beralas
sehelai kain lalu diserut perlahan-lahan mengguna-
kan pisau dapur.

“Bikin layang-layang lagi, Le?”
“Pesanane Sipon, Bu.”
Sejak masa-masa kecilnya, Darwisy sudah menun-
jukkan jiwa mandiri dengan kebiasaan menjual layang-
layang dan gasing buatan sendiri. Talenta keterampilan

<> 23 <>

Tonggak Sang Pencerah

Darwisy terpupuk oleh teladan ayah-ibundanya yang
tak jenuh-jenuh mendidik agar ia belajar hidup percaya
diri, berbudi dan berbakti. Tak heran, di usia delapan
tahun itu, Darwisy sudah khatam serta lancar membaca
Al-Qur’an.

Begitu hari beringsut, langit menjelang petang,
Darwisy bergegas menyudahi pekerjaannya. Ia me-
nukar pakaian lalu mengenakan baju surjan, duduk
mengaji di hadapan sang ayah. Di setiap baris ayat
yang sedang ia unduh, sorot matanya layap, seolah
mencari arti dan makna kalimat tertentu. Ia tampak
tekun, duduk husuk bersila di bawah tatapan ayah-
nya yang tiada henti memperhatikan gerak-gerik
lidah anaknya.

Kefasihan Darwisy membaca Al-Qur’an adalah
buah dari kerja kerasnya belajar dengan tekun setiap
hari. Seolah tiada hari yang ingin ia lewatkan tanpa
mengaji. Tak sekali dua kali, ayahnya terkagum-
kagum mendengarkan kefasihan Darwisy, anak lelaki
satu-satunya di antara keempat anak perempuannya
itu, melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’anul Karim
dengan indah dan tartil.

Darwisy makin hanyut dilamun pesona agung
huruf dan kalimat ayat-ayat suci yang ia baca, dan
seperti tak kan pernah mau berhenti belajar mem-
baca bila berhadapan dengan Al-Qur’an. Suara yang

<> 24 <>

Yazid R. Passandre

ia lantunkan terdengar lembut, sengaja ia
hembuskan syahdu perlahan-lahan seperti anjuran
ayahnya. Di saat sedang mengaji, ia tak suka
melebih-lebihkan suara. Namun kecintaannya
kepada kitabullah kian menyingkap kecende-
rungannya terhadap ajaran Allah Ta’ala.

“Allah senang mendengar suara orang mengaji
yang dilantunkan tartil, dan perlahan-lahan. Karena
itu, kalau sedang mengaji jangan sampai terdengar
seperti suara Khimar.” Kata ayahnya.

“Khimar?”
Sang ayah mengangguk pasti.
“Keledai…”
Azan ashar berkumandang. Darwisy berhenti
belajar. Ia bangkit dan bergegas menuju kolam kecil
surau yang menampung air untuk wudhu. Ayahnya
sudah lebih dahulu berlalu ke sana, duduk berzikir
sambil menghitung butir-butir tasbih di jemarinya.
Jamaah lainnya mulai berdatangan, duduk di garis-
garis shaf satu per satu. Darwisy tak mau keting-
galan, ia bersegera duduk di shaf terdepan, siap
menegakkan salat. Wajahnya jernih tersiram air
wudhu.
Seusai menunaikan salat, Darwisy hendak keluar
dari surau. Sipon tiba-tiba muncul, mengendap-
endap, khawatir terlihat Kyai Abu Bakar yang sering

<> 25 <>

Tonggak Sang Pencerah

menegur anak-anak yang masih keluyuran di waktu-
waktu awal salat. Tubuhnya melekat ke dinding yang
tingginya sebatas dada orang dewasa. Gayanya
persis seperti laba-laba yang sedang mengintai
mangsa. Darwisy kaget melihat cara Sipon menemui
dirinya. Ia mengelus-elus dadanya, menggunyam
gerutu. Dasar pemalas, pasti dia belum salat.

“Layang-layangku, sudah selesai belum?”
“Besok, saya yang bawa ke rumahmu?”
“Apik,” ucap Sipon cepat, hampir tanpa suara,
sembari mengacungkan jempol. “Habis isya, yasinan
di rumahku. Banyak jajan dan makanan…
“Ojo lali yo, Wis.”
“Kalau saya hadir, bukan untuk makanannya.”
“Yo wes, cepat ganti pakaianmu! Teman-teman
sudah menunggu.”
Darwisy, yang tumbuh dalam bingkai tradisi
kehidupan ulama, terbawa ke dalam kebiasaan giat
belajar dan tekun beribadah. Tak sedikit pun ia surut
mengamalkan anjuran-anjuran ayahnya dalam
mengamalkan ajaran Islam tentang pentingnya
akhlakul karimah. Dan, tak serangkai salat lima waktu
dalam sehari semalam yang pernah ia lalaikan.
Namun, laiknya anak-anak, ia juga gemar bermain.
Oleh teman-teman sepermainannya, Darwisy dikenal
sebagai punjuling ngapak: berbakat memimpin dan

<> 26 <>

Yazid R. Passandre

punya pengaruh. Ia punya kepekaan yang tinggi dan
kemauan untuk cepat maju. Jujur dan suka menolong,
puji Syuja. Kelak, Syuja menjadi murid dan penopang
perjuangan Darwisy.

Darwisy tak hanya memiliki talenta keterampilan
membuat barang-barang kerajinan tangan dan
aneka permainan seperti layang-layang dan gasing,
tapi ia juga pandai mendemonstrasikan permainan-
permainan itu. Sore itu juga, ia menuruti ajakan
Sipon, pergi ke tempat mereka akan bermain gobak
sodor. Saking asyik bermain, ia sampai lupa pulang
ke rumah hingga mentari hampir tergelincir.

“Anakku lanang di mana?”
Kiai Abu Bakar celingak-celinguk, tak jua melihat
Darwisy. Ini tak biasa tak melihat Darwisy di rumah
menjelang hari gelap. “Sudah mau magrib kok belum
juga pulang? Nanti malam kan ada yasinan empat
puluh hari Pak Sukiman,” ucap sang ayah.
Tanpa kata-kata, sepenuh rasa takzim kepada
suami, ibunda Darwisy sontak bergerak tergopoh-
gopoh keluar rumah untuk mencari dan membawa
anaknya pulang. Langkah sang ibu tak ke mana-
mana, langsung menuju ke pelataran masjid. Di
pelataran masjid yang rindang itulah Darwisy
sedang bercengkerama dengan kawan-kawannya
sampai lengah waktu. Mereka lupa jika tak lama lagi

<> 27 <>

Tonggak Sang Pencerah

azan magrib akan berkumandang.
Di kecerahan sore yang masih tersisa itu, Darwisy

tampak makin menikmati permainan gobak sodor.
Ketiga kawan Darwisy, Sipon, Kemat, dan Gangsar,
tampak bersemangat. Mata mereka lincah dan awas
mengamati pergerakan lawan tanding, tak hirau apa
pun kecuali area sempit di kotak permainan. Kece-
patan mereka berlari demikian cepat untuk jarak
yang sangat pendek pada saat melewati garis yang
tak terjaga lawan, yang untuk itu mereka kadang
harus melompat dan terjatuh, lalu segera menjauh
dari garis agar tidak bisa dijangkau tangan lawan,
mirip seperti anak rusa yang terkejut.

Permainan itu juga dikenal dengan sebutan
galah asin, dan konon berasal dari ungkapan “go
back through the door” atau pergi-balik lewat pintu.
Permainan gobak sodor dijalankan dua tim. Tim
yang berkesempatan bermain menghadapi tim
lawan yang berjaga-jaga di masing-masing garis yang
telah ditentukan. Mereka harus bisa melewati garis
yang dijaga ketat itu. Mereka tak boleh bergerak di
sepanjang garis jika tidak ingin anggota tim lawan
menyambar, dan kesempatan bermain berakhir
serta berganti posisi menjadi tim penjaga. Tubuh
harus benar-benar dijaga, tak boleh sampai tersen-
tuh tangan lawan yang sedang berjaga-jaga.

<> 28 <>

Yazid R. Passandre

Para penjaga ini selalu awas dan lincah bergerak
ke kanan dan kiri, kadang gerak cepat menyamping.
Maka, selalu dicari akal agar tim penjaga lengah, dan
bisa menerabas lapisan garis-garis hingga line paling
akhir. Bila ini berjalan mulus, pemain akan kembali
ke tempat pertama dolanan dimulai. Ketika itu, tim
tersebut akan mendapatkan satu nilai. Bila ada ang-
gota tim yang tersentuh, giliran bermain diberikan
kepada grup lawan. Tim yang tersentuh akan men-
dapat giliran tugas berjaga-jaga.

Maka, bermain gobak sodor harus mampu me-
ngedepankan kecerdasan strategi, kegesitan gerak
dan kecermatan mata dalam mengawasi posisi la-
wan. Dan, untuk bisa meraih kemenangan, suatu tim
harus dapat mengumpulkan nilai lebih banyak dari
skor lawan. Demikianlah permainan itu berlangsung
di halaman Masjid Gedhe yang terhampar luas nan
hijau menawan.

Seorang takmir muda masjid sampai tak sabar dan
menombakkan jari telunjuknya keras-keras ke arah
Darwisy dan kawan-kawannya dengan pekik suara
yang membahana. Ia kesal, karena anak-anak itu
makin tak acuh terhadap peringatan.

“Bubarr…! Wis magrib!”
Permainan itu justru berlangsung makin seru.
Dua tim dari masing-masing kampung berhadap-

<> 29 <>

Tonggak Sang Pencerah

hadapan, tegang. Kampung Kauman dipimpin
Darwisy, dan kampung Ngadisuryan dipimpin
Gandar.

“Sipooon! Ayo masuk…
“Kemaaat, ayooo!”
Suara Darwisy nyaring melambung ke angkasa
saat memberi komando. Tak diragukan, di mata
kawan-kawannya, Darwisy adalah sosok pemimpin
permainan yang cerdas mengatur strategi perge-
rakan. Ia pandai membangun motivasi kawan-
kawannya di saat lawan sedang lengah. Gandar dan
pasukannya tampak kewalahan menghadapi strategi
permainan yang dirancang Darwisy. Berkali-kali
Gandar harus membuang nafas panjang, hatinya
berdegup kencang. Raut mukanya keruh. Rasa gentar
di dadanya tak dapat lagi ia sembunyikan menghadapi
gerak-gerik Darwisy dan komandonya yang tak mudah
diduga. Gandar kembali menyeka keringat yang
mengguyur keningnya.
“Hayoo…mau lari ke mana tokek!” kata Gandar
berteriak.
Sebutan tokek yang melekat pada Sipon dan
masyhur di kalangan kawan-kawan sebayanya, tak
lain karena kelebihan yang ia miliki dalam memanjat
pohon. Jika sudah melekat di batang pohon, ia persis
tokek. Tak mudah jatuh.

<> 30 <>

Yazid R. Passandre

“Ibumu salah, Dar. Harusnya namamu
Gendoruwo.” Sipon terkekeh sendiri setelah puas
membalas ejekan. Sementara Gandar tak bisa mena-
han amarah, dadanya kembang kempis mengatur
desakan nafas kesal.

“Jangan ngelamun Gangsar. Majuuu...!” Pekik
Darwisy.

Gangsar bergerak begitu mendengar gertakan
Darwisy, matanya terhunus telanjang setajam sorot
ainun nasar. Namun tiba-tiba ia mengernyit kening.
“Waduh, mati aku…

“Lupa bawa jengkol dari Mbah Dukun. Makan
pake apa bapakku di kebun?” gunyam Gangsar seje-
nak mengingat tugas yang ia lalaikan karena dilamun
keasyikan main gobak sodor. Sore itu, ia mestinya
menjemput jengkol yang sudah dikasih jampi-jampi
oleh Mbah Dukun langganan ayahnya sebagai syarat
setelah kebun selesai digarap di hari Kamis Kliwon.

Kemat menoleh ke arah Darwisy berdiri, lalu
membanting sorot matanya ke kanan. Menyadari
isyarat itu, Darwisy memutar arah pandang dan kali
ini terarah ke posisi Damar yang sedang dalam posisi
berjaga ketat menghadang. Kebetulan di samping
Damar ada sedikit celah, Darwisy melihat garis
kosong itu sebagai peluang untuk meloloskan diri.
Segerak kemudian, Darwisy menoleh ke arah

<> 31 <>

Tonggak Sang Pencerah

Gandar, peluang itu makin tampak di sana. Gandar
sendiri sedang berdiri di garis kotak belakang seperti
gaya seorang penjaga gawang. Ia awasi ketat gerakan
Sipon. Suasana menegang. Darwisy sengaja
mengerlingkan matanya, dan melempar isyarat itu
kepada Sipon.

Tanpa dinyana, Sipon berteriak keras-keras.
“Maaaaatt...!
“Kemaaaaaaaaaaaaaatt!”
Damar terlonjak kaget dan menoleh ke arah suara
keras itu. Setitik air liurnya jatuh ke tanah.
Sontak, Kemat berlari sekencang kereta meman-
faatkan kelengahan Damar. Ia masuk ke celah itu.
Damar panik. Dengan langkah segesit kuda dipacu,
Kemat tak mau lagi kehilangan kesempatan untuk
menerabas penjagaan lawan yang mulai amburadul.
Pada saat yang sama, Darwisy menyerang dari sisi
yang lain. Dengan ketangkasan dan kegesitan gerak
tubuhnya, Darwisy menunjukkan kecerdasan dalam
menyusun dan menjalankan strategi. Ia cermat
melihat situasi, matang memperhitungkan langkah
yang harus ia ambil dalam waktu yang tepat. Gandar
dibuat linglung oleh strategi Darwisy.
“Gobag sodooor...!” pekik Darwisy kemudian.
Serentak, semua anggota tim yang ia pimpin
bersorak. Kemat tampak berjingkat-jingkat seperti

<> 32 <>

Yazid R. Passandre
katak kegirangan melihat kawannya berhasil
melibas mangsa. Ia bersorak dengan suara yang
lepas tak tertahankan. Pada hari itu mereka menang
gilang-gemilang.

<> 33 <>

Tonggak Sang Pencerah

Penggalan 3

Apem dan Ketan

Rumah itu jauh dari kesan mewah. Dinding-
dinding luar tampak kusut. Bahannya
terdiri dari batu bata dilapisi semen tak
rata, dan dipoles kapur di lapis dinding paling luar.
Permukaan yang tak rata dinding-dinding itu getas
digerus usia. Genteng-genteng di atap makin tak
terawat, berlapis lumut yang mengering, kusam.
Sekali ditimpa benda sebesar buah kelumpang pasti
genting-genting itu retak. Itulah rumah Sipon.
Rumah Darwisy sendiri tak mencitrakan gaya
arsitektur bernilai tinggi seperti biasa tampak pada
rumah-rumah priyayi. Kiai Abu Bakar tak suka kepada
semua hal yang berlebihan, sebab itu ia gandrung
kepada ayat Al-Qur’an yang berbunyi: Kuluu wasro-
buu walaa tusrifuu. Artinya, makan dan minumlah,
dan janganlah berlebih-lebihan. Maka, dalam segala
hal, Darwisy menerima sikap kesederhanaan
ayahandanya. Ia tahu, bagaimana menyudahi makan

<> 34 <>

Yazid R. Passandre

sebelum merasa terlalu kenyang. Minuman kesu-
kaannya adalah air putih. Di samping mudah ia
dapatkan, air putih juga menyehatkan tubuh. Dalam
berpakaian, ia tak mengenakan baju dan celana dari
bahan kain yang mahal. Kebanyakan dari pakaiannya
adalah batik hasil keterampilan tangan sanak
kerabatnya sendiri. Jarang ia mengeluh tentang uang
jajan. Ia selalu sumringah menyambut kedatangan
hari senin dan kamis, sebab di hari itu ia bisa belajar
berpuasa sunnah.

“Kata bapakku, puasa sunnah itu banyak
pahalane.” Darwisy membujuk kawan-kawannya.

Jarak rumah Darwisy dan rumah Sipon tak terlalu
jauh. Rumah Sipon tepat berada di jalan Gerjen.
Antara Masjid Gedhe dan jalan Gerjen hanya
dipisahkan sebuah gang yang membelah kampung
Kauman. Itulah mengapa rumah Sipon yang berada
di jalan Gerjen bisa ditempuh Darwisy beberapa
menit dengan hanya berjalan kaki. Setiap hari,
Darwisy pergi ke rumah Sipon. Sudah menjadi
kebiasaan Darwisy menandangi kawan-kawan
sepermainannya, sekadar bergaul dan bermain.

Pemukim awal kampung Kauman biasa disebut
qoum lantaran mereka berasal dari negeri Arab. Di
Kauman, mereka menempati tanah di belahan timur
gang,di sektor barat bermukim orang-orang pendatang

<> 35 <>

Tonggak Sang Pencerah

selain mereka. Dari utara sampai selatan bermukim
pula anak-cucu para pendatang, seperti Kiai Noor
Sepuh yang datang dari Menoreh, Kedu, dan
berasimilasi dengan anak-cucu para qoum. Termasuk
mereka yang datang dari Mlangi dan Demakijo. Rumah
Darwisy tepat berada di sebalah barat gang, atau di
selatan tanah lapang. Lebih ke utara lagi dari rumah
Darwisy terdapat rumah Lurah Keraton dengan
pendopo yang menghadap ke selatan.

Teringat ajakan Sipon sore tadi, Darwisy buru-
buru mengenakan baju surjan. Dan, tak sabar lagi
menanti ayahandanya yang masih sedang merapikan
pakaian, melilitkan surbannya ke kepala. Surban itu
menyembul di kepala sang ayah seperti jambul yang
biasa dikenakan para qoum tiap kali mereka akan
menghadiri acara pengajian. Tak ketinggalan, biji-
biji tasbih melingkar di tangan Kiai Abu Bakar.

Bakda Isya, berbondong-bondong orang datang
memasuki pintu rumah Sipon. Mereka datang ber-
sarung, ada yang melengkapi diri dengan surban,
lengkap pula dengan kopiah di kepala masing-
masing. Mereka membawa catatan Surah Yasin.
Seperti lumrahnya, acara yasinan di rumah Sipon
akan berlangsung hikmat. Laksana paduan suara
selantun, suara jamaah yang membaca ayat-ayat suci
Al-Qur’an dalam setiap acara yasinan akan terdengar

<> 36 <>

Yazid R. Passandre

beriringan, khusuk. Bahkan terkadang saking kusuk-
nya, biasanya kepala jamaah akan ikut bergoyang-
goyang persis seperti gerak ilalang dibelai angin
yang mendesir perlahan-lahan. Bagi yang sudah
hafal Surat Yasin, mereka akan membaca sementara
mata mereka terpejam diayun kekhusukan.

Sampai di rumah Sipon, Darwisy mengambil
tempat duduk bersebelahan dengan kawan karibnya
itu. Ayahandanya bersila tepat di tengah barisan
orang-orang yang tengah duduk membentuk ling-
karan. Tak seberapa lama, dimulailah acara yasinan
dengan lantunan ayat-ayat Yasin. Semua orang yang
hadir tenggelam dalam kekhusukan. Darwisy dan
Sipon juga tak kalah larut terbuai. Acara yasinan
biasanya akan berlangsung tak lebih dari satu jam,
sebelum kemudian akan beralih ke acara hidangan.
Makan-makan.

Tak mudah sebenarnya melaksanakan yasinan
bagi orang miskin. Jangankan harus menyediakan
minuman dan makanan untuk orang banyak,
mencari nafkah buat mencukupi kebutuhan sendiri
sehari-hari saja bukan hal yang gampang. Namun,
acara yasinan dengan tradisi serba hidangan sudah
menjadi kepatutan bagi setiap orang yang
mengalami musibah kematian. Tak penting, kaya
atau miskin.

<> 37 <>

Tonggak Sang Pencerah

Yasinan sudah lumrah bagi mereka yang ditinggal
mati anggota keluarganya, seperti ibu Sipon yang
sudah empat puluh hari ditinggal wafat suami.
Meskipun tak satu orang yang bertanya: mengapa
memberi makan orang banyak sekadar mengenang
orang yang sudah wafat bagi orang yang serba
kekurangan seperti Sipon dan ibunya masih berlaku.
Wajah sendu Darwisy sebetulnya tersirat jelas ingin
mewakili pertanyaan seperti itu. Ia duduk bengong
di samping Sipon.

Namun Sipon tak terlampau hirau akan perta-
nyaan semacam itu, sedari menjelang acara yasinan
akan dimulai, ia sibuk membantu ibunya yang
malam itu menjadi koki sekaligus tuan rumah. Malam
itu, ibu Sipon terlihat ceria. Ia sambut tamunya satu
per satu bak tingkah permaisuri. Ia bangga dan baha-
gia, karena merasa masih mampu menunaikan perin-
tah agama. Sementara agak jauh di utara timur
seberang Kauman sana, di kediaman seorang resi-
den yang dikitari benteng kokoh bernama Vrede-
burg, sedang berlangsung pula sebuah kenduri:
pesta yang hidangannya jauh lebih mewah.

Seorang kolonial terdengar berbisik halus kepada
kawannya dari kaum pribumi dengan aksen bahasa
Melayu yang buruk. “Kaliang bisa belajarr dari kami,
pesta seperti ini.”

<> 38 <>

Yazid R. Passandre

Lelaki pribumi mengangguk pasti tanpa basa-
basi.

“Betul sekali, Tuan.”
“Kaliang cuga halrus bisa berldansya.”
“Enggeh, Tuan.”
Yasinan di rumah Sipon hampir berakhir, namun
Darwisy semakin gelisah. Kegelisahan itu kian me-
ngusik dirinya. Pasalnya sederhana, ia melihat sesaji.
Caranya duduk tak tekun lagi, pantatnya liar. Ia me-
nyorot tajam ke sesaji yang diletakkan di sudut
ruangan. Sesekali ia menjeda suaranya, sejenak
memperhatikan Sipon di sampingnya dan orang-
orang di sekelilingnya. Ayahnya yang makin tengge-
lam dalam khusuk sambil menggeleng-gelengkan
lembut kepalanya melantunkan irama yasinan, tak
luput dari geliat mata Darwisy yang tengah gelisah.
Pandangan mata Darwisy bergerak cepat seolah
sedang mencari tahu pelajaran di balik acara yang
telah mengakar dalam tradisi di kampungnya itu.
Saat acara mengaji usai, Sipon bangkit. Ia mengham-
bur ke dapur. Tak lama, ia muncul kembali dengan
membawa wadah yang terbuat dari serutan bambu
beralas daun pisang. Isi wadah itu, apem dan ketan.
Sipon langsung mengajak Darwisy menikmati
hidangan. Orang-orang disekeliling mereka pun
serentak beralih ke hidangan yang sudah tersaji dan

<> 39 <>

Tonggak Sang Pencerah

siap disantap. Hidangan itu bermacam-macam
jenisnya. Ada nasi dalam bentuk golong bulat
seperti bola tenis menyolok mata, menyulut gairah.
Melihat sepotong daging ayam yang berada di
sebelah bulatan-bulatan nasi, tenggorokan jamaah
tiba-tiba basah. Di luar itu, masih ada lagi beberapa
hindangan irisan sayur dan bermacam-macam
rempeyek, bahkan kolak ketela rambat manis tak
ketinggalan memeriahkan hidangan.

Pengajian bernuansa pesta kecil-kecilan itu
berakhir penuh sukacita. Tak tampak gurat-gurat
kesedihan di wajah mereka saat saling berpamitan
pulang, bahkan sesekali terdengar cuap-cuap suara
orang yang sedang bersenda-senda.

“Masakane uenak, wedangane muantep!”
“La, iku opo?”
“Biasalah, sisane dibawa pulang. Istriku paling
suka apem.”
“Makane, jangan lupa seratus harinya.”
Wajah Darwisy tak seceria mereka. Ia berjalan
pulang dengan kepala separuh runduk di samping
ayahnya, sambil menggaruk-garuk rambut di balik
kopiahnya. Ia seperti sedang menimbang suatu
perkara, sumber kegelisahan yang sedari tadi
berkecamuk di kepala, mengusik pikirannya. Sudah
jauh meninggalkan rumah Sipon, sumber

<> 40 <>

Yazid R. Passandre

kegelisahan itu masih saja menguntit langkahnya.
Ia angkat wajahnya, melirik diam kepada sang ayah.
Ternyata, pikiran Darwisy masih tertinggal di rumah
Sipon.

Tak betah lagi membungkam resah suara hatinya,
Darwisy angkat bicara. “Kenapa setiap baca Yasin
selalu ada sesaji?”

Ayah Darwisy tak serta-merta menjawab. Lama
ia hanya menatap anak dregil-nya itu berjalan di
sampingnya. Gunyam di benak sang ayah: belum
sepatutnya Darwisy bertanya hal-hal seperti itu. Ia
masih terlampau kanak-kanak untuk mendengarkan
penjelasan yang panjang tentang betapa sulit
memisahkan ajaran agama dari tradisi. Ajaran agama
dan tradisi sudah sejak dulu kala disandingkan, bak
setali mata uang, saling memengaruhi. Kadang ajaran
agama mencahayai tradisi, acap pula ajaran agama
terbenam muram dalam hiruk-pikuk tradisi.

Kepekaan Darwisy dalam membaca banyak hal
yang terlontar dari setiap pertanyaannya kerap
membuat posisi ayahnya sulit. Di usia kanak-
kanaknya, Darwisy sudah terbiasa menujukkan
perhatian tak lumrah dan letupan pertanyaan yang
mengejutkan. Pikirannya jauh melampaui usianya.

“Buat menghormati yang meninggal,” jawab
ayahnya.

<> 41 <>

Tonggak Sang Pencerah

“Memang orang meninggal bisa makan?”
“Itu hanya simbol. Artinya, kita yang hidup masih
hormat kepada yang sudah mati. Tandanya, kita
masih eling.”
Darwisy menganggukkan kepala, meskipun
masih tampak keraguan di wajahnya. Bibirnya
tergetar menahan kata. Tak ada pertanyaan lagi yang
terlontar dari celah bibir mungil itu. Namun,
esoknya, ia bergegas pergi dan menyambangi Sipon.
Jelas dari tingkahnya dan caranya berjalan yang
terburu-buru, Darwisy membawa perasaan yang
belum terpuaskan. Diam-diam, Darwisy menaruh
niat hendak bertanya kepada Sipon akan banyak hal
yang belum sepenuhnya ia mengerti di malam
yasinan itu.
Mungkin dia duluan paham... pikir Darwisy
dalam hati.
Sebelum sampai ke rumah Sipon. Dari jauh,
Darwisy melihat gelagat tak biasa. Ia sampai
mengernyitkan kening tatkala melihat Sipon
sesunggukan di pojok depan rumah, duduk tepekur
di bawah pohon kersen yang ranggas. Air mata Sipon
terlihat jelas menetesi kedua pipinya. Ingusnya naik
turun. Sesekali muncul, sesekali hilang, seperti
gerakan belut laut yang sedang mengintai mangsa.
Dengan perasaan iba, Darwisy mendekat.

<> 42 <>

Yazid R. Passandre

“Kowe kenapa?”
Sipon hanya menggeleng.
“Mungkin saya bisa bantu?”
Sipon kembali menggelengkan kepala, berusaha
sembunyikan mukanya di balik telapak tangan seraya
merunduk. Tak sepatah kata pun yang ia jawabkan.
Darwisy mulai kelimpungan menyaksikan sikap tak
lazim Sipon. Ia tak biasa melihat kawan setianya itu
bergelut kesedihan sampai kelopak matanya
bengkak. Berkali-kali Darwisy berusaha membujuk
Sipon agar mau bicara dan mengungkap ihwal
kesedihannya, namun Sipon bergeming, duduk
menekuk wajah yang basah.
“Baiklah. Kalau kamu tidak mau terus terang, kita
tidak usah berteman lagi.”
Sontak, Sipon terlonjak. Ia angkat wajahnya yang
bersimbah air mata begitu mendengar Darwisy
melontarkan kesal. Lalu, ia merentang panjang
tangannya, mengarah ke pintu rumah.
“Kowe dengar sendiri ke sana!”
Tanpa bertanya lagi, Darwisy melangkah perlahan-
lahan. Ia mendekat ke pintu rumah yang tengah
terbuka lebar-lebar itu. Ia melihat ibu Sipon sedang
duduk menghadapi tamunya, sesama perempuan. Tak
jelas apa yang sedang mereka bicarakan. Dengan sikap
yang sangat hati-hati, Darwisy memasang kupingnya

<> 43 <>

Tonggak Sang Pencerah

lebar-lebar, ia tempelkan sebelah telinganya ke dekat
daun pintu. Gerakan tubuh Darwisy sangat hati-hati,
meskipun ia ingin menguping jelas pembicaraan ibu
Sipon dan tamunya seperti yang baru saja dianjurkan
Sipon dengan isyarat tangannya. Darwisy tak ingin pula
gerakan tubuhnya diketahui dan mengusik makhluk-
makhluk usil yang biasa berkeliaran di rumah itu,
seperti laba-laba dan cicak. Mungkin juga kecoak dan
tokek. Darwisy tak ingin isi rumah itu mengetahui ada
yang sedang berusaha menguping.

“Maaf, saya betul-betul belum bisa bayar,” kata
ibu Sipon memohon konsesi.

“Terus kapan, Jeng?”
“Besok, pasti sudah bisa bayar. Maklumilah, lagi
pula uangnya juga kan buat ibadah.”
“Kalau besok telat lagi, Jeng. Saya berat
meminjami buat acara seratus hari,” tandas tamu
itu yang tak lain seorang rentenir.
Ibu Sipon hanya mengangguk pasrah, bibirnya
terlipat kecut, membersit gurat-gurat kesedihan di
wajahnya yang saat itu juga berubah masam. Si
rentenir pamit, namun Darwisy sudah lebih dulu
lesap membawa Sipon pergi entah ke mana.

<> 44 <>

Yazid R. Passandre

Penggalan 4

Benteng Vredeburg

Musim penghujan baru saja lewat,
kolonial makin angkuh di tanah
jajahannya. Mereka sebut tanah itu
Hindia. Bagian penting dari Hindia adalah Ngayog-
yakarta. Maka, sebuah benteng sengaja dibangun
mencolok mata dan nyaris bersebelahan dengan
Keraton. Sri Sultan sendiri sebenarnya tampak tak
terlalu bahagia bersenda rasa dengan bangsa yang
menyebabkan rakyatnya tertindas dan menderita.
Namun, ia nyaris tak bisa menolak semua keinginan
Belanda lantaran menghindari pecah perang yang jauh
dari kata seimbang. Tembok benteng yang tinggi
berbentuk persegi, lengkap dengan menara pemantau
dari empat arah penjuru angin, itu bernama Vredeburg.
Benteng itu seolah sengaja dibangun untuk memata-
matai kasak-kusuk di luar sana, sekaligus melindungi
segala rencana yang tengah berlangsung di dalamnya
tentang kelanjutan episode divide et impera.

<> 45 <>

Tonggak Sang Pencerah

Vredeburg bearsitekturkan klasik, khas gaya
bangunan asal negeri kolonial. Keberadaannya
mengingkari arti namanya: benteng perdamaian.
Tak kan ada damai di bumi yang terjajah. Rasa damai
tak tumbuh dari tanah yang terbelenggu. Kalaupun
seolah-olah ada perdamaian, itu isapan jempol
belaka. Maka benteng Vredeburg tak lain menara
gading, tembok kemunafikan yang hanya mem-
pertegas hasutan dan kelicikan. Bahkan, sekadar
membujuk Sri Sultan dan rakyatnya untuk memper-
erat hubungan damai yang semu, Belanda sengaja
menawarkan renovasi benteng Keraton.

Awalnya benteng Keraton hanya terbuat dari tem-
bok tanah yang diperkuat dengan tiang-tiang
penyangga dari pohon kelapa dan aren, dengan
bangunan yang di dalamnya hanya terdiri atas bambu
dan kayu beratap ilalang. Belanda lalu menawarkan
bahan baku tembok yang lebih kokoh. Setelah benteng
renovasi itu selesai, Belanda memberi nama
Rustenburg. Artinya, Benteng Peristirahatan.

Seperti suasana hati Sri Sultan dan rakyatnya di
hari itu, Darwisy tak kalah muram. Ia baru saja me-
nyaksikan peristiwa yang membuat hatinya nyaris
bingkas. Kali ini bukan tentang perilaku kasar dan
semena-mena para penjajah terhadap kaum
pribumi yang acap ia jumpai, namun tentang

<> 46 <>

Yazid R. Passandre

pandangan anak-anak terpelajar bumiputra sendiri
terhadap Islam. Ia sedih, Islam dipandang remeh dan
terbelakang justru oleh kaum terdidik Nagari.
Terlebih karena mereka juga orang Islam. Sebenar-
nya sudah lama ia mengetahui ihwal pandangan
yang salah anak-anak ambtenaar terhadap Islam dari
penuturan ayahnya, namun baru kali itu ia menyak-
sikan dengan mata kepala sendiri.

Islam memang kerap dipandang agama
terbelakang, karena kaum muslim kebanyakan tak
ingin berjalan seiring dengan segala hal yang berbau
Belanda, dan menolak model pendidikan yang saat
itu sudah berkembang pesat di belahan-belahan
Eropa. Bahkan, para pengasuh pendidikan Islam di
masjid-masjid sengaja menebarkan suatu penga-
jaran, agar santri-santri mereka menjauh dari ilmu
pengetahuan. Seolah Islam menentang sumber ilmu
apa pun untuk dipelajari selain ilmu agama. Rasa
saling curiga menjalar ke setiap kepala, bahkan
saling hujat antara kaum santri dan kaum terpelajar
merajalela.

Peristiwa memilukan hati itu berawal tatkala
ayahandanya mengajak Darwisy ikut mengantar
salah seorang calon jamaah haji ke station spoor
Tugu. Hari itu, kereta akan berangkat menuju ke
Batavia. Malioboro tampak anggun dalam

<> 47 <>

Tonggak Sang Pencerah

kerindangan pohon waringin dan cengkeh. Rom-
bongan pengantar haji memenuhi ruas jalan, ber-
gerombol dan berdesakan di mulut gerbang stasiun.
Di antara mereka, ada yang tak henti-henti melan-
tukan senandung salawat.

Darwisy berjalan di belakang ayahnya. Kian lama,
ia makin jauh tertinggal, lalu terpisah dari barisan.
Langkah Darwisy memang tertahan tiba-tiba, sebab
perhatiannya serta-merta tersita oleh sekelompok
pemuda berseragam yang berjalan berlawanan arah.
Langkah Darwisy kemudian melambat, bahkan
terhenti. Ia terkagum-kagum melihat penampilan
para pemuda itu. Mereka adalah siswa-siswa sekolah
Opleiding Schoolen Vor Inlandsche Ambtenaaren,
atau OSVIA. Sebuah sekolah yang hanya menerima
pelajar pribumi dari kalangan priyayi.

Pakain sekolah mereka rapi. Apa saya dan
teman-teman tidak bisa sekolah seperti mereka?
gumam Darwisy. Tapi, kenapa Bapak dan Ibu mela-
rang sekolah seperti mereka, padahal sebenarnya
bagus buat saya dan teman-teman.

Tak pernah Darwisy duga sebelumnya, jika dian-
tara kawanan pemuda berseragam rapi yang baru
saja melintas dari hadapannya itu akan terdengar
kelakar. “Mau antar orang ke Mekkah saja rame-
rame. Yang berangkat satu, yang mengantar seribu”.

<> 48 <>


Click to View FlipBook Version