Yazid R. Passandre
“Huhh, dasar terbelakang!” sambung yang lain
dengan nada tinggi yang sengaja meledek.
“Lihat itu, banyak yang tidak pakai alas kaki,” ucap
yang lainnya.
Serentak, mereka semua tertawa terbahak-
bahak. Bahkan ada yang sampai terpingkal-pingkal
kegirangan.
Sekolah yang dibangun kolonial dan hanya
menerima bumiputera dari kaum priyayi itu sama
dengan keberadaan Vredebug yang mewah, megah
dan menghadirkan beribu pesona. Namun, di ruang-
ruang kelas gedung sekolah itu tak sedikit terdengar
anjuran tentang feodalisme yang sesat. Meskipun
tak semua siswanya serta-merta menjadi salah
kaprah, banyak hal yang memang sengaja dapat
dianggap layak bagi anak-anak priyayi, sementara
anak-anak wong cilik sengaja ditelantarkan agar tetap
dapat dipandang rendah. Darwisy hanya menelan
ludah, sorot matanya kuyu. Maka ia pulang dengan
wajah muram.
Begitu rendahnya mereka memandang saudara
seiman, keluh Darwisy kemudian. Mulutnya terkunci
rapat.
Selama perjalanan pulang, Darwisy tak banyak
mengutarakan pertanyaan kepada ayahnya. Sengaja
ia tak mengungkap kekecewaan yang sedang
<> 49 <>
Tonggak Sang Pencerah
berkecamuk di kepalanya. Ia sudah tahu, pengadu-
annya hanya akan menambah sulut amarah ayahnya
kepada anak-anak sekolahan itu. Namun begitu
sesampai di rumahnya, ia menaruh niat yang lain. Ia
hendak mengadukan kelakar tak sedap siswa OSVIA
tadi kepada ibundanya dengan perasaan tak sudi.
Di saat Darwisy segan mengutarakan terlalu banyak
keluhan hatinya kepada ayahnya, ibundanya lah
salah satu tumpuan suara hatinya. Saat itu, sorot
matanya tak bersinar, namun alisnya mekar. Bibirnya
tergetar.
Tanpa ragu-ragu, Darwisy mengungkap semua
rasa kesalnya. “Pakaian sekolah mereka rapi-rapi.
Tapi kata-kata mereka buruk terhadap orang yang
mau pergi ibadah. Mestinya mereka ikut mendoa-
kan, bukan menertawakan.”
“Siapa yang mereka tertawakan?”
“Pengantar haji yang tidak pakai alas kaki.”
Ibunda Darwisy tersenyum.
“Itulah akibatnya pendidikan penjajah. Mereka
sekolah untuk pengajaran yang salah.”
Barulah Darwisy merasa agak lega setelah
mendengar jawaban ibunya. Mata mungilnya
kembali berbinar-binar. Ada ingatan yang tersisa:
Kulihat, tidak semua dari mereka tertawa.
Sementara itu, dari ladang perkebunan yang
<> 50 <>
Yazid R. Passandre
dikangkangi kolonial berhembus kabar tak nyaman.
Sejumlah buruh sedang terjerat hukuman Poenale
Santic. Sebuah hukum yang sengaja diciptakan
kolonial untuk memaksa para petani pribumi untuk
menyerahkan segala tenaga yang mereka miliki
sehari penuh untuk bekerja nyaris tanpa upah. Bagi
mereka yang membangkang akan didera sanksi yang
kejam. Konon, Belanda pernah juga menghukum
cambuk tujuh orang buruh perkebunan sampai
meninggal. Bahkan ada yang sengaja diseret dan
disiksa habis-habisan di sebuah bungalow dan
duburnya digosok dengan lada.
Tak ada kabar orang meninggal di perkebunan
itu, namun sekujur tubuh mereka dikabarkan luka
dan lebam oleh hantaman cambuk berkali-kali.
Mendengar semua itu, Kiai Abu Bakar tak dapat
menyembunyikan gelegar amarahnya. Ia sampai
membanting surban ke atas meja dengan ungkapan
yang keras.
“Kalau penjajah itu mati, tubuh mereka akan
merasakan juga sakitnya siksa neraka. Allah pasti
menghukum mereka!”
Darwisy berdiri merangah, memandangi sikap
ayahnya. Ia juga berang kepada ulah Belanda.
Namun sore harinya, Darwisy dan kawan-kawannya
pergi ke tanah lapang Alun-Alun Selatan. Mereka
<> 51 <>
Tonggak Sang Pencerah
akan melayani tantangan dari anak-anak Ngadi-
suryan bermain bola sepak. Sebagai kapten, Darwisy
merasa bertanggung jawab membawa pulang
kemenangan. Maka, ia susun strategi sehebat
mungkin.
Dalam permainan bola sepak itu, Darwisy sendiri
dikenal sebagai penyerang yang handal. Tak mudah
bagi lawan merebut bola dari kakinya, saat ia meliuk-
liukkan langkah dan tubuhnya secara gesit. Per-
mainan pun berlangsung sengit, tim Darwisy lang-
sung menekan ke wilayah anak-anak Ngadisuryan.
Begitu menerima umpan bola dari kaki Kemat,
Darwisy menggelinjang, menggiring bola sampai
mendekati gawang lawan. Namun, tiba-tiba ia
dihadang Gandar. Dengan sekali gerak, Darwisy
berbalik. Ia membawa bola mundur ke belakang,
dan meminta Kemat datang menerima umpannya
kembali. Gandar tak mau diam melihat bola bergulir
ke arah Kemat. Keduanya lalu terlibat saling kejar
dengan sekuat tenaga.
“Brugg…”
Benturan keras tak terhindarkan.
“Ojo kasar maine…!” Kemat melolong.
Gandar serta-merta melotot tajam.
“Ngrebut bola kok ndak oleh!”
Sekonyong-konyong Sipon meneriaki Gandar dari
<> 52 <>
Yazid R. Passandre
kejauhan dan spontan membuat ia tersentak.
“Cah Ngadisuryan maine mesti kasaaarr!”
Gandar tersinggung dan berang. Ia memberi
komando kepada timnya untuk nglurug Sipon saat
itu juga. Secepat kilat Darwisy lebih dulu berlari ke
arah Sipon. Dan, berdiri tegak di samping kawannya
itu dengan raut muka yang ciut.
“Wis, mau maen bola apa mau berkelahi?”
Gandar tak betah menahan ledakan amarahnya
yang meluap-luap. Wajah sawo matang itu sampai
memerah. Ia langsung membabi buta memukuli
Darwisy agar menyingkir dan bisa menjangkau
tubuh Sipon.
“Sipon…!
“Di belakangku…!” seru Darwisy, tetap bertahan.
Sementara Gandar makin kesurup amarah karena
belum bisa menjangkau sedikit pun tubuh Sipon
yang seolah ingin diremukkan pada saat itu juga.
Darwisy terus berjuang menghalang-halangi, dan
tiada henti menangkis serangan tangan dan kaki
Gandar yang terus menerjang. Sampai Darwisy
akhirnya kuwalahan hanya menempa serangan,
sementara tangan dan betisnya makin lebam. Aneh-
nya, ia tak sedikit pun juga berhasrat melakukan
pukulan dan tendangan balasan ke tubuh Gandar
meskipun hal sangat mungkin ia lakukan. Ia memilih
<> 53 <>
Tonggak Sang Pencerah
melindungi Sipon dengan hanya menangkis
serangan.
Saat Darwisy tak tahan lagi hanya menanggung
bogem mentah tangan dan kaki Gandar yang keras
dihiasi urat-urat setegang rotan, Darwisy tiba-tiba
mengambil keputusan.
“Lariii…!” pekiknya.
Serentak, Sipon dan kawan-kawannya mengikuti
komando itu. Mereka berlari kencang persis seperti
gerak kuda dipecut. Dan, suasana pontang-panting
tak keruan. Gandar dan anak-anak Ngadisuryan
berusaha mengejar dari belakang, namun Darwisy
dan kawanannya sudah terlampau jauh mening-
galkan. Gandar putus asa dan berteriak kesal dengan
raut muka bengis tak alang kepalang.
“Cah Kauman penakuuutt…!”
<> 54 <>
Yazid R. Passandre
Penggalan 5
Hasrat Peroebahan
Malam itu, Darwisy tak langsung pulang
ke rumahnya. Ia tertahan oleh sema
cam hasrat yang berhari-hari sudah ia
pendam, duduk di serambi Masjid Gedhe yang mulai
menyepi. Hasrat itu seumpama benda yang tak
sengaja tertelan bulat-bulat dan menggeliat di
dadanya. Ia merasa ada yang salah bila membiarkan
benda itu lebih lama mengganjal pikirannya. Sua-
sana malam yang lengang nan sunyi kian menye-
lubungi lekuk-lekuk pikirannya, sementara tak
seorang pun ada di sampingnya.
Namun pandangannya kian jauh menerawang ke
langit. Dari sorot matanya memercik sebuah ha-
rapan. Impian yang selama ini ingin ia raih. Bahwa,
ia hendak melakukan sesuatu yang berbeda.
Sesuatu yang bermanfaat dan dapat memperbaiki
nasib orang-orang di sekitarnya. Terbayang pula di
kepalanya banyak peristiwa yang membuat ia
<> 55 <>
Tonggak Sang Pencerah
bersedih hati, sebab Belanda makin membiarkan
rakyat Nagari hidup sengsara. Seolah mereka akan
selamanya mendekam dalam kebodohan dan
menjadi buruh di perkebunan. Kehidupan yang
serba layak dan berkecu-kupan hanya dinikmati
segelintir orang. Bahkan, Sipon dan ibunya terpaksa
hengkang dari kampung halaman, dan rumah
mereka akhirnya dihisap sang rentenir sebagai
tumbal hutang yang tak kunjung terbayar dan
terbelit riba. Sementara tradisi beragama tak
kunjung mencerahkan kehidupan umat, hanya
menjadi beban kebodohan dan keterbelakangan.
Demikian juga kesengsaraan yang melanda
Kemat serta keluarganya, karena ayah Kemat meno-
lak memberikan sebagian hasil kebunnya kepada
Belanda, ia kemudian dihukum. Kemat dan ibunya
pun mengungsi jauh ke pelosok Nagari. Mereka tak
tahan lagi menanggung beban kemiskinan dan
keseng-saraan yang menyerimpung kehidupan.
Sementara, tak sedikit pengayom agama seolah
hanya sibuk dengan tradisi dan kenduri. Selebihnya,
mereka banyak bicara tentang surga dan neraka.
Darwisy terkesima menatap pesona bermilyar
berkas cahaya berkelip indah di atas sana, di langit
yang membentang bertabur gemintang. Semuanya
mengisyaratkan suatu kehidupan yang lain akan
<> 56 <>
Yazid R. Passandre
tumbuh. Jalan hidup dan harapan setiap anak
manusia yang seakan terhampar di antara bintang-
bintang itu demikian lapang tergambar di mata
Darwisy hingga nafasnya terhela. Ia merunduk
takjub. Seolah sudah ia temukan suara hati yang
sekian lama hanya mendengung, namun tak pernah
terwakili kata dan tanya yang kerap ia utarakan
kepada sang ayah, kepada guru-gurunya.
“Saya yakin Islam mudah dipahami dengan akal
sehat,” desah Darwisy.
Ia kembali mendongak, pandangannya jauh
melintasi petala langit. Mungkin ia memang tengah
mencari bintang di sana, isyarat zaman yang hendak
ia jelang. Malam itu, ia merasa sudah dewasa menen-
tukan suara hatinya sendiri. Dan ia ingin memper-
juangkan suara hatinya sebagai sebuah jalan baru
bagi kaumnya.
Begitu kuat suara hati itu merambah ke relung
jiwanya sampai Darwisy tak henti-henti untuk men-
cari jalan untuk meluapkan ide-ide segarnya. Selidik
punya selidik, hasrat semacam benda yang tertelan
bulat-bulat terasa menggeliat di dadanya dan
mengganjal pikirannya itu adalah sebab yang timbul
dari getar suara hati yang tak henti mencari jalan
hidup yang lebih benar: hasrat untuk melakukan
peroebahan.
<> 57 <>
Tonggak Sang Pencerah
“Sudah delapan belas tahun.” Darwisy
mengenang usianya.
Hari-hari berlalu tanpa mengusik tradisi. Darwisy
makin tekun menimba ilmu. Dari rentang waktu
belajar, dari guru ke guru, sejak ayahnya mengajari
membaca Al-Qur’an dan ia khatam pada usia delapan
tahun, Darwisy telah menimba ilmu cukup banyak.
Ia belajar ilmu fikih kepada Kiai Saleh dan belajar
ilmu nahwu kepada Kiai Muhsin yang tak lain kakak
iparnya. Guru-gurunya yang lain adalah Kiai Abdul
Hamid dari Lempuyangan dan Kiai Lurah.
Darwisy demikian gandrung belajar ilmu tasawuf.
Ia juga belajar ilmu falaq kepada Kiai Raden Dahlan
putra Kyai Termas, serta mendalami ilmu hadis
kepada Kiai Mahfudh dan Syaikh Khayyat. Ia pun
menggali lebih banyak ilmu qiraah kepada Syaikh
Amien. Bahkan ia juga belajar ilmu bisa atau racun
binatang kepada Syaikh Hasan. Beberapa gurunya
yang lain adalah R. Ng. Sosrosugondo dan R. Wedana
Dwijosewoyo. Gurunya yang berada di tempat yang
jauh adalah Syaikh Muhammad Jamil Jambek dari
Bukittinggi.
Seiring ilmu dan pengajaran yang ia peroleh, daya
kritis Darwisy tumbuh semakin subur seperti ilalang
di bawah asuhan awan yang setiap hari disiram
hujan. Namun, saat Darwisy berguru itu, ia tak jarang
<> 58 <>
Yazid R. Passandre
terlibat silang pendapat. Perhatiannya yang begitu
mendalam terhadap perilaku budaya dan praktik
ajaran agama di lingkungannya adalah sumber
inspirasi Darwisy untuk mempersoalkan, bertanya,
serta mengukur pendapat para gurunya. Ia mulai
curiga terhadap benih-benih percampurbauran yang
tak elok antara tradisi dan ajaran agama yang dapat
mengeruhkan cahaya Islam.
Terlebih, karena tak sedikit anggapan yang
berkembang di kalangan kaum terdidik pribumi,
bahwa Islam agama terbelakang, kolot dan pasif.
Belanda sengaja melebih-lebihkan anggapan itu,
mereka tebarkan pandangan yang sesat kepada
anak-anak yang mereka didik di sekolah-sekolah agar
memandang Islam sebagai penghambat kemajuan.
Karena itu, Islam dianggap tak layak dirujuk untuk
kecerahan masa depan.
Belanda memang sedang gencar menyumbat
sumbu lentera Islam yang memberi petunjuk kepada
setiap orang ke jalan yang damai dan selamat. Di
samping karena dari Islam semangat patriotisme
untuk melawan penjajah selalu muncul, karena
ajaran agama kaum pribumi itu dianggap tak sejalan
dengan keyakinan yang mereka peluk. Islam bukan
hanya mereka anggap pemicu pemberontakan di
seantero Nagari, tapi juga api di dalam sekam. Siapa
<> 59 <>
Tonggak Sang Pencerah
pun yang memeluk Islam tentu tak suka kepada
penindasan dan kesewenang-wenangan. Maka,
Islam bagi kolonial adalah seteru. Tiada henti
mereka hanguskan semangat berislam dari hati
semua orang.
Darwisy baru beranjak meninggalkan Masjid saat
bulan sabit muncul setinggi tumit. Di rumahnya, ia
utarakan kegelisahan hatinya.
“Begitu luas ilmu Allah saat kita menyimak langit,
Bu. Ilmu yang saya punya makin terasa kurang saja.
Terang sekali, banyak yang belum saya ketahui,
padahal wajib diketahui umat Rasulullah.”
Sang ibu hanya mengangguk.
“Karena belum tahu asal-usul perkara agama, tak
sedikit orang salah melaksanakan ajaran Islam.
Apalagi di lingkungan kita,” tukas Darwisy.
“Maksudmu, di Kauman ini?”
“Begitulah, Bu”.
Ibundanya kembali mengangguk, sorot matanya
penuh arti. Ia lalu bangkit dan melangkah ke belakang
punggung anaknya. Seraya meletakkan kedua
tangannya di bahu Darwisy, memijat-mijat dengan
sentuhan kasih sayang yang lembut, sang ibu berujar,
“Itulah, Le, kenapa Bapakmu ingin supaya kamu terus
belajar, menambah ilmu agama dan ketaatan kepada
Gusti Allah.”
<> 60 <>
Yazid R. Passandre
Hasrat peroebahan itu terasa kian menggelegak
di dada Darwisy seiring hari-hari yang ia lalui. Sema-
kin banyak kenyataan yang ia lihat tak cocok di
benaknya, kian membuncah hasrat untuk melakukan
suatu tindakan: peroebahan itu. Ibundanya sangat
memahami kegelisahan Darwisy, namun sang ibu
hanya bisa menopang gejolak putranya itu secara
diam-diam. Ia yang melahirkan dan sangat mengenal
sifat dan karakter Darwisy sejak dalam buaian,
sangat yakin, bahwa semua hal yang ingin anaknya
lakukan semata-mata karena dorongan dari ketu-
lusan untuk memberikan manfaat dan kebaikan ke-
pada orang lain. Dan, ia tak sedikit pun ragu terhadap
niat mulia putra kesayangannya, sebab ia sangat
percaya kepada kecerdasan dan kejujurannya.
Bulan Ramadan semakin dekat, suasana lain di
Kauman mulai terasa, berbeda dari hari-hari biasa.
Hampir semua orang di rumah-rumah mereka
melakukan kegiatan bersih-bersih. Jalan-jalan dan
selokan tak luput mereka bersihkan. Tak sedikit
orang yang tampak sibuk mengurus segala keperluan
untuk menyambut bulan suci yang mereka tunggu-
tunggu. Bulan yang sudah sejak dulu kala diyakini
membawa berjuta berkah. Demikian pula halnya
Masjid Gedhe, suasana di sana makin berbinar-
binar.
<> 61 <>
Tonggak Sang Pencerah
Saat Darwisy melintas di kali kecil itu, ia melihat
banyak warga Kauman yang sedang melakukan
padusan, mandi suci. Mereka berenang, riang gem-
bira, bercengkerama tanpa beban dan saling me-
lempar senda sembari membersihkan tubuh dengan
niat mendapat berkah kesucian dari bulan suci yang
akan segera tiba. Darwisy hanya menggeleng-
gelengkan kepala. Ia menarik nafas dalam-dalam
ke dadanya saat menyaksikan mulut seorang tua
yang sedang komat-kamit membaca doa sebelum
mengguyurkan air ke kepalanya.
“Kok tradisi itu seperti lebih mulia dari agama,”
keluh Darwisy.
Padusan di hari itu juga tampak tak elok karena
lelaki dan perempuan yang mandi di kali tanpa
mengindahkan batasan aurat satu sama lain. Darwisy
melihat kejadian itu sebagai benih-benih maksiat
yang terlarang. Ia berjalan pulang dengan langkah
gontai dan membawa gerutu seorang diri. “Banyak
yang sudah benar-benar keblinger. Tapi, sampai
kapan semua ini harus dibiarkan?”
Saat ia berjalan di antara rumah-rumah warga,
Darwisy kian merasakan sambutan hangat orang-orang
menyongsong kedatangan bulan suci Ramadan.
Sajadah, sorban, sarung dan mukena dijemur di
halaman setiap rumah, seolah hanya pada bulan
<> 62 <>
Yazid R. Passandre
Ramadan segala sesuatu harus menjadi bersih,
cemerlang. Kembali Darwisy terperangah, langkahnya
terhenti sejenak memperhatikan ulah seorang lelaki
separuh tua yang meletakkan seuntai padi terikat dan
dilekatkan di depan pintu rumahnya.
Tiba-tiba sebuah kereta kuda melintas, tampak
di antara penumpang kereta itu Walidah dan ibun-
danya duduk bersebelahan sambil memangku
barang belanja. Begitu melihat Darwisy, Walidah
serta-merta sumringah. Terlukis kegembiraan hati
yang tak biasa disembul senyum gadis jelita itu. Ia
menoleh ke ibunya.
“Mas Darwisy, Bu…”
Sontak, ibunya membalas senyum legit Walidah
dan langsung memalingkan senyum itu ke muka
Darwisy.
“Mau ke mana, Wis?”
“Jalan-jalan saja, Bude.”
“Mampir ke rumah, hari pertama puasa buka di
rumah, ya?”
Darwisy menganggukkan kepala dan membalas
senyum ibu Walidah dengan sikap yang penuh
santun. Tampaklah sikap dan kepribadian Darwisy
yang halus dan terdidik, itulah yang seringkali
membuat orang terpesona, dan hormat kepada
kebagusan akhlaknya dan kehalusan tutur sapanya.
<> 63 <>
Tonggak Sang Pencerah
“Insya Allah, Bude.”
Hari itu, sedang berlangsung pula semacam
pertemuan di serambi Masjid Gedhe. Kiai Penghulu
dan Kiai Abu Bakar tampak di sana, duduk dikitari
para jamaah. Mereka berembuk tentang hal-hal yang
menyangkut kedatangan bulan Ramadan.
“Bulan puasa hampir tiba, jatuh temponya hari
Jumat Legi, berarti lebarannya nanti hari Kamis
Kliwon. Saya berharap acara grebeg nanti harus bisa
lebih meriah dari tahun sebelumnya, itu tandanya
jamaah makin menghormati agamanya.”
Orang-orang yang hadir sebagai peserta perte-
muan di sekeliling Kiai Penghulu hanya saling ber-
pandangan. Belum ada satu pun yang berani angkat
bicara, apalagi memotong pembicaraan orang yang
paling disegani di lingkungan Masjid Gedhe Ngayog-
yakarta itu. Lantaran belum mendapat sahutan, Kiai
Penghulu lalu melanjutkan kata-katanya dengan
nada tanpa beban.
“Apa sudah dibentuk panitia untuk penyambutan
ramadan dan ruwatan?”
Belum seorang pun yang menjawab. Semua
kepala masih tertunduk di hadapan Kiai Penghulu.
“Kalau belum, segeralah disusun. Nanti kere-
potan, terutama soal penyediaan dananya. Tidak
mudah bikin ruwatan,” timpal Kiai Haji Abu Bakar.
<> 64 <>
Yazid R. Passandre
Mendengar saran yang bijak itu, seorang takmir
muda lalu angkat bicara. Ia coba mengutarakan
perasaannya yang melihat sendiri keadaan yang
semakin sulit. Harga-harga melambung tinggi,
sementara hasil kerja masyarakat tak menentu.
“Nuwun sewu, Kiai. Mengingat saat ini harga-harga
sedang naik. Kenapa ruwatan pada tahun ini tidak
kita sederhanakan saja?”
Mendengar ungkapan itu, Kiai Penghulu menge-
rutkan kening, “Apa maksud disederhanakan itu?”
Si takmir muda merunduk, kelu. Ia tak punya daya
lagi untuk menyambung kalimatnya, apa lagi menya-
bung kata. Kiai yang mulai tegang di hadapannya
bukan orang sembarang. Tak satu pun orang yang
terbiasa berani menyalak titah Kiai Penghulu. Di
samping segan, mereka juga merasa tak punya cukup
ilmu dan pengetahuan untuk membantah perintah
Kiai Penghulu. Kiai Abu Bakar juga hanya bisa mena-
tap si takmir muda seraya menahan semua ucapan.
“Ruwatan itu ya ruwatan. Tidak ada ruwatan
sederhana atau tidak sederhana. Apalagi mengha-
dapi bulan suci Ramadan. Kalian ini anak-anak muda.
Masih kuat. Untuk kepentingan agama, kenapa takut
terhadap kenaikan harga-harga?”
Kiai Penghulu menjeda kata, ia menoleh ke wajah
Kiai Abu Bakar yang tengah tersenyum-senyum.
<> 65 <>
Tonggak Sang Pencerah
“Ikhtiar, insya Allah ada jalan…, Ngerti?!” tukas
Kiai Penghulu kemudian.
Mendengar kabar tentang sikap Kiai Penghulu
yang tak terenyuh terhadap usulan penyederhanaan
acara ruwatan, Darwisy spontan merasa tak ber-
kenan. Tapi ia tak punya posisi apa-apa. Ia hanya
remaja yang masih usia belajar. Pasti, ia akan dipan-
dang belum punya cukup pengetahuan untuk ikut
merumuskan segala hal yang berkaitan dengan
masalah agama. Meskipun, di dalam pikiran Darwisy
sendiri berkecamuk banyak unek-unek tentang ba-
gaimana semestinya ajaran agama ini diimple-
mentasikan. Maka, saat belajar di rumah gurunya,
Darwisy mengutarakan pikirannya dan mengadukan
keberatan hatinya.
“Ruwatan menyambut bulan Ramadan itu tidak
wajib, yang wajib kan menjalankan puasa.”
“Tapi, apa salahnya kalau kita menyambut Bulan
Suci?” jawab Kiai Saleh balik bertanya.
Darwisy terdiam, namun dari sorot matanya ia
masih menyisakan pikiran. Dan, dari gerak-gerik bola
mata itu terlihat pula bahwa ia sedang berpikir. Be-
lum sempat gurunya melanjutkan pelajaran yang
terjeda itu, Darwisy kembali melontarkan perta-
nyaan. Kali ini, pertanyaannya tak tanggung-
tanggung lagi.
<> 66 <>
Yazid R. Passandre
“Apa dalam Islam boleh menggampangkan suatu
perkara yang tidak pernah diajarkan Rasulullah?”
“Saya paham maksudmu…”
Kiai Saleh menarik tatapannya sejenak, dan
berucap, “Tapi kamu juga harus paham kalau
mengubah tradisi tidak semudah membalik telapak
tangan”.
Tak tahan lagi memendam kegelisahan yang
selama ini melandanya, Darwisy lalu berucap
setengah naik pitam. “Tapi rasanya kok mubazir,
semestinya dana ruwatan itu bisa digunakan untuk
hal yang lebih bermanfaat.”
“Sudahlah, ayo kita lanjutkan pelajaran berikut.”
<> 67 <>
Tonggak Sang Pencerah
Penggalan 6
Benih Cinta
Besok pagi bulan Ramadan sudah tiba.
Seluruh kaum muslimin akan menyambut
kehadirannya. Tak hanya manusia, alam
pun akan bersuka cita. Bulan itu memang penuh
rahmat dan berkah. Tak sedikit pelajaran di dalam-
nya. Tak terkecuali pelajaran cinta kasih kepada
sesama. Bahkan, di malam-malam ganjil penghujung
bulan Ramadhan terdapat satu malam yang lebih
indah dari seribu bulan. Allah menyebut malam itu
laitul qodar. Siapa pun yang beribadah di malam itu,
nilai pahalanya sama dengan nilai ibadah seribu
bulan. Bayangkan kemurahan Allah kepada hamba-
hamba-Nya. Ia tak hanya menyediakan rejeki dan
ampunan, tapi juga memberikan bobot nilai amal
yang demikian panjang terhadap satu malam
istimewa itu di setiap tahun. Maka, nikmat Allah
manakah yang layak didustakan?
Di rumahnya, Darwisy masih menekuni Al-
<> 68 <>
Yazid R. Passandre
Qur’an. Ia seperti tak hendak beranjak. Sementara
ayah dan ibundanya, seperti halnya warga Kauman
di hari itu, tampak sibuk berbenah di rumah
menyambut kedatangan bulan suci yang mereka
tunggu-tunggu. Selama bulan Ramadan nanti,
Masjid Gedhe akan menjadi sungai ibadah. Masjid
itu akan diserbu jamaah salat tarawih di malam hari
dan akan menjadi telaga sejuk di siang hari bagi
jiwa-jiwa yang kelelahan menunggu waktu buka
puasa. Dan, semua orang akan berduyun-duyun
pergi ke masjid untuk memohon ampunan dari dosa-
dosa, serta menginginkan balasan pahala yang
berlipat ganda.
Bagi mereka yang tak ragu, beribadah secara
tekun selama bulan Ramadan niscaya menjadi jalan
kesempurnaan meraih fitrah kehidupan.
Sudah lazim pula bahwa setiap tahun kedatangan
bulan Ramadan disambut dengan tradisi ruwatan.
Hampir semua orang meyakini ritual ini sebagai upaya
membersihkan diri dari segala kesialan hidup untuk
memasuki bulan yang suci. Segala tetek bengek
ruwatan menghiasi rumah-rumah warga, bahkan,
tenggelam dalam kegembiraan, mereka berbon-
dong-bondong menyerbu sungai sebagai tempat
untuk melakukan padusan. Namun, Darwisy sendiri
tak sedikit pun tergerak memburu kesucian di sungai-
<> 69 <>
Tonggak Sang Pencerah
sungai itu. Ia justru berdiam diri di rumahnya, mem-
baca kitab-kitabnya. Bahkan, anjuran ayahnya di hari
itu agar ia membaur dengan remaja masjid yang
sedang sibuk keliling kampung meminta sumbangan
untuk dana ruwatan tak serta-merta ia patuhi.
“Kenapa ndak ikut teman-temanmu narik sum-
bangan dana ruwatan, Le?”
“Saya tidak tega, Pak. Saya dengar banyak warga
yang mengeluhkan kenaikan harga-harga di pasar.
Pekerjaan tambah susah pada akhir-akhir ini.”
Kiai Abu Bakar mengangguk paham. Ia menghela
nafas berat. “Sudah saya sampaikan juga kepada Kiai
Penghulu kemarin, biar persoalan itu menjadi per-
timbangan.”
“Kasihan warga, Pak. Keadaan susah begini,
mereka harus mengeluarkan dana tetek-bengek.”
“Hus, jangan bilang tetek bengek begitu. Ndak
enak, nanti omonganmu kedengaran Kiai Penghulu.”
Kiai Abu Bakar cepat-cepat berlalu meninggalkan
Darwisy, sengaja menghindari perdebatan. Ia tahu,
Darwisy akan terus mengajukan pertanyaan sampai
benar-benar menemukan jawaban memuaskan. Tak
sekali dua kali Kiai Abu Bakar mengabaikan perta-
nyaan Darwisy yang ia rasa hanya akan menimbulkan
onar, sebab tradisi beragama bukan hal yang biasa
ditawar-tawar.
<> 70 <>
Yazid R. Passandre
Sesuai janjinya kemarin, Darwisy akan berbuka
puasa pertama kali di rumah Walidah, sepupunya.
Namun ia masih bergeming untuk merenungi banyak
hal yang membuat ia selama ini gelisah. Suara hati-
nya bahkan semakin kuat mengusik untuk menya-
takan hasrat yang sekian lama hanya ia pendam itu,
meskipun belum satu telinga yang menerima
keluhannya. Mengapa kian banyak pelajaran yang
ia pahami dalam Al-Qur’an, ia malah makin gelisah
memikirkan perilaku kaumnya. Dan, semakin meng-
gebu-gebu hasrat peroebahan yang terkurung di
dadanya.
Darwisy tak ubah seperti sepotong kayu yang
terpisah dari rangka bahtera setelah dihantam
gelombang bertubi-tubi, hanya terapung-apung
dikerubung buih. Namun, keyakinannya tak juga surut,
sebab ia merasa bahwa bukan tidak mungkin sepotong
kayu bisa menjadi sebuah tonggak. Ia yakin, kemung-
kinan itu selalu ada atas kuasa Allah. Bukankah hanya
atas kehendak Allah juga bahtera di mulut badai dapat
berlabuh damai di pantai harapan.
Darwisy tak menampik, jika suara hatinya bukan
milik orang lain. Maka, hanya ia lah yang bisa mera-
sakan kegelisahan ini. Namun, ia percaya, bahwa
kegundahan yang bersumber dari suara hati yang
paling dalam adalah jalan awal bagi sebuah
<> 71 <>
Tonggak Sang Pencerah
pencerahan. Maka, tekadnya untuk melakukan
peroebahan semakin bulat.
“Kalau bukan saya, siapa yang harus memulai
peroebahan ini?”
Darwisy bangkit, dan melangkah ke masjid. Ia
ingin suara hatinya mulai di dengar orang lain.
Sepanjang perjalanannya, ia memperhatikan
tingkah orang-orang di sekitarnya. Mereka yang
sedang bersiap-siap menyambut bulan Ramadan
dengan berbagai macam tradisi warisan leluhur.
Namun, dari cara Darwisy memandang, sorot mata-
nya belum juga bisa menyembunyikan kesedihan-
nya. Ia makin prihatin, karena tak satu pun orang
yang mau peduli dan bertanya tentang benar dan
salah perbuatan mereka.
“Siapa yang memberi mereka pahala?”
Sementara itu, Walidah semakin asyik berbincang-
bincang dengan ibunya sambil menekuni pekerjaan
masing-masing. Walidah sedang menenun kain dan
ibunya menghitung barang dagangan. Meskipun
Walidah terlihat begitu menekuni pekerjaannya,
pikirannya layap. Sesekali ia tersenyum sendiri saat
melintas bayangan wajah Darwisy, kemarin, dan
caranya menjawab teguran yang demikian santun itu.
Belum pernah ia melihat keindahan tutur sapa dan
perangai pemuda di Kauman yang seindah tutur sapa
<> 72 <>
Yazid R. Passandre
Darwisy. Di matanya, Darwisy laksana sosok Yusuf
alaihissalam: selain wajahnya yang tampan, kepri-
badiannya juga memercikkan pesona kemuliaan.
Diam-diam ternyata ibunya sudah menangkap
isyarat, bahwa gadis jelitanya menaruh rasa kagum
yang besar kepada Darwisy. Kecerdasan dan kepri-
badian Darwisy yang halus terdidik itu memang su-
dah masyhur di lingkungan keluarga dan kerabat
mereka, bahkan tak segan kawan-kawan perempuan
Walidah juga mengakui dan memuji sosok Darwisy.
Tak ada yang menyangkal, Darwisy pemuda teladan
yang giat belajar dan memiliki kelebihan berbagai
pengetahuan. Bukan hanya pengetahuan agama
seperti ilmu fiqh, nahwu, tasawuf, hadis, dan qiraah
yang ia pelajari. Namun ia juga menimba ilmu
pengetahuan seperti ilmu falaq dan pengobatan.
Bahkan ia juga paham cara membuat penawar racun
dan penyembuhan bisa binatang.
“Sudah perjaka rupanya anak pamanmu itu,” ujar
ibunda Walidah.
Setarik kelopak mata, ia melirik anak perempuan
kesayangannya yang tengah tekun menenun.
Walidah hanya membalas sekali lirikan ibunya.
Hatinya gundah.
“Anak itu pinter, kata bapakmu.”
Walidah tersipu. Senyum di bibirnya mengem-
<> 73 <>
Tonggak Sang Pencerah
bang. Terlihat jelas arti senyum itu ditingkah getar-
getar kekaguman yang tengah menggayuti hatinya.
Memang sukar dipungkiri irama hati seorang gadis
saat mengagumi perjaka. Walidah tak bisa sembu-
nyikan derai-derai perasaannya yang menggelinjang
seperti tarian air di antara batu-batu kali menuju
muara. Mungkinkah lantaran kekagumannya kepada
Darwisy selama ini sudah menjadi benih-benih cinta?
“Walidah dengar, di usia delapan tahun dia sudah
khatam Qur’an ya, Bu?”
Ibunda Walidah membalas senyum anaknya
tanpa menjawab ungkapannya. Walidah tampak
makin tersipu mengulum kalimat pujiannya sendiri.
“Kata Mas Saleh, bahasa arabnya juga lancar.”
“Kamu kok tau banyak...?”
Walidah tak dapat mengelak. Ia tak tahu bagai-
mana menyusulkan jawaban jujur yang spontan.
Pernah juga terbetik dalam pikirannya untuk berte-
rus terang kepada ibunya, perihal perasaan itu.
Mengapa setiapkali melihat Darwisy wajahnya pias,
kelopak matanya gentar dan jantungnya buncah.
Mengapa jika Darwisy menyapa dirinya, lehernya
menjadi beku, hatinya gemasah dan tubuhnya
terasa gigil dibuai-buai? Mengapa ia ingin Darwisy
selalu memperhatikan dirinya? Mengapa akhir-akhir
ini nama Darwisy tak biasa di ujung lidahnya? Karena
<> 74 <>
Yazid R. Passandre
sudah memahami perasaan Walidah, ibunya hanya
dengan sabar menunggu jawaban gadis buah hati-
nya itu tanpa berucap sepatah kata pun.
Walidah menghela nafas. Matanya hanya me-
nombak kain tenun di depannya namun pikirannya
jauh melanglang entah ke mana. Melayang-layang.
Serta-merta tingkahnya tak menentu, lalu ia
memungkas ungkapan jawab dengan perasaan yang
serba gugup.
“Teman-teman Walidah juga tahu banyak kok, Bu.
Darwisy itu sudah kesohor paling pinter di antara
pemuda kampung. Ibu tadi juga bilang begitu, kan?”
Tanpa menunggu ibunya bicara, Walidah berhenti
menenun dan merapikan lipatan-lipatan kain di
depannya. Ia bergegas berdiri dan beranjak. Tak
lama kemudian ia muncul kembali di hadapan
ibunya dengan pakaian yang berbeda, lalu pamit ke
masjid. Ibunya hanya mengangguk pelan, matanya
mengintai langkah anaknya penuh perhatian.
Terpikir di benak sang ibu kehendak luhur anaknya,
hasrat yang sembunyi di kelembutan sudut-sudut
matanya.
“Jangan-jangan Ibu sudah tahu...?” Walidah
menerka lirih.
Walidah melangkah ke masjid dengan rasa yang
semakin tak menentu. Ia punya kehendak, namun
<> 75 <>
Tonggak Sang Pencerah
tak tahu caranya mewujudkan kehendaknya.
Semuanya hanya mengawang-awang di alam
benaknya, tak tersentuh, meskipun begitu kuat ia
dicengkeram rindu.
Di serambi masjid, anak-anak sudah sedari tadi
menunggu kehadiran Walidah, mereka akan melan-
jutkan pelajaran keterampilan membuat mainan
dari kertas. Walidah memang memiliki banyak
pengetahuan keterampilan yang selalu ia ajarkan
kepada anak-anak di kampungnya. Seperti niat Dar-
wisy, Walidah pun mempunyai impian untuk mengu-
bah nasib sesama melalui cara berbagi pengetahuan
dan keterampilan yang ia miliki. Di serambi Masjid
Gedhe yang luas itu tak sedikit kegiatan anak-anak
dan pemuda Kauman biasa berlangsung. Apalagi
memasuki bulan Ramadan nanti, serambi masjid itu
pasti akan semakin ramai.
Di antara kerumunan pemuda tak jauh dari
tempat Walidah dan anak-anak itu bercengkerama,
Darwisy tampak sedang bersemangat mengung-
kapkan kegelisahan yang menjadi buah pikirannya.
Maka, tak hanya mulutnya yang bekata-kata, tapi
tangan dan wajahnya pun seolah turut bicara.
“Sudah banyak terjadi penyimpangan aqidah
Islam akibat kaum muslim sendiri lemah. Mereka
terlalu tunduk kepada Belanda. Padahal, Pangeran
<> 76 <>
Yazid R. Passandre
Diponegoro rela keluar dari Keraton demi mene-
gakkan syariat Islam.”
Darwisy memelankan intonasi. Sorot matanya
melukiskan tekad yang ingin ia gerakkan pada hari
itu juga. Namun, samar ungkapannya tadi, menerpa
telinga gadis sepupunya yang hanya berjarak
beberapa depa. Senyum bangga serta-merta mekar
di bibir Walidah, dan ia makin sulit menampik
kekaguman kepada pemuda di depannya itu.
“Tak bisakah kita meniru semangat beliau,
walaupun sekedar mengubah apa yang belum tentu
benar dalam ibadah kita,” pungkas Darwisy.
<> 77 <>
Tonggak Sang Pencerah
Penggalan 7
Mahligai Impian
Darwisy menepati janjinya. Sebelum
bedug buka puasa ditabuh menjelang
magrib, ia sudah berada di rumah Kyai
Fadlil, ayahanda Walidah. Mereka akan buka puasa
bersama. Tak mengubah hasratnya, Darwisy juga ingin
menggunakan kesempatan itu untuk meluapkan
kegelisahannya kepada ayah Walidah, yang tak lain
paman sendiri. Kegelisahan terhadap campur-baur
antara tradisi dan agama yang kurang bagus bagi
kecerahan Islam. Ia ingin ungkapkan semua kebe-
ratan hatinya jika tradisi terlalu membebani orang
dalam menjalankan ibadah, seperti acara ruwatan
yang memakan dana berlebihan hanya untuk
menyambut bulan suci Ramadan.
Darwisy khawatir jika orang yang ingin melaksa-
nakan ibadah akan merasa terbebani sedemikian
rupa dan akhirnya menjauhkan dari keikhlasan.
Bukankah beribadah tanpa niat ikhlas akan sia-sia
<> 78 <>
Yazid R. Passandre
belaka, laksana debu-debu yang beterbangan tanpa
makna? Di lubuk hatinya yang paling dalam terbersit
sebuah kehendak untuk menampilkan Islam dalam
wujudnya yang paling murni, mudah dipahami dan
tak susah dijalankan. Jangan sampai karena semakin
berat ditumpangi tradisi, Islam justru akan terbe-
nam ke dalam segala rekayasa manusia. Yang lebih
menghawatirkan Darwisy adalah jika ajaran Islam
justru hanya menjadi alat untuk melestarikan tradisi.
Kehadiran Darwisy di rumah Walidah membuat
tingkah perempuan ini berseri-seri. Ia hilir-mudik
dari kamarnya ke dapur dengan hati riang sambil
membantu ibunya menyiapkan menu buka puasa.
Sesekali ia melihat sosok dirinya di depan cermin,
memastikan bahwa ia telah dewasa. Ia merasa
sudah sanggup memangku tanggung jawab. Melihat
tingkah anaknya, ibu Walidah hanya mengulum
senyum, berusaha memahami kodrat kaum hawa
melalui bahasa tubuh anak gadis jelitanya itu. Dan,
sang ibu tak ingin mengusik kumbang-kumbang
kebahagiaan yang singgah ke lubuk hati gadis pingit-
nya yang sedang berbunga-bunga. Ia biarkan suasa-
na di hari itu mengalir apa adanya.
Tak salah orang bilang, tubuh wanita lebih dulu
bicara. Meskipun mulutnya tak mengungkap kata-
kata, gerak-geriknya mudah dibaca. Apalagi Walidah
<> 79 <>
Tonggak Sang Pencerah
yang hidup dalam pingitan, tentu tak terbiasa
mengumbar-umbar rasa. Maka semua rasa yang
hendak tumpah dari hulu dadanya masih berusaha
ia sembunyikan dalam diam, di lekuk-lekuk kelu
lidahnya.
Sementara Darwisy makin tak sabar menyimpan
unek-uneknya. Ia ingin curahkan semua keberatan
hatinya melihat perilaku beragama yang tak lagi
mencerminkan kebenaran hakiki, jauh dari naluri.
Namun, ia tak punya pengaruh apa-apa, selain
bertanya, mengeluhkan isi hati. Kiai Fadlil sudah
lebih dulu menduga semua keluhan itu dari cara
keponakannya bicara.
“Di antara hikmah bulan Ramadan itu menye-
derhanakan sikap dan hidup prihatin. Kenapa kok
menyambut kedatangannya saja kita berlebih-
lebihan, seperti acara ruwatan kemarin, Pakde?”
“Susah, Le, itu sudah menjadi tradisi. Menurutku,
yang penting kita selalu rukun dan damai di kampung
Kauman ini.”
Kiai Fadlil menghela nafas panjang, meme-
jamkan mata sejenak sebelum kemudian mengum-
bar senyumnya.
“Kata kakak iparmu, kamu memang sering mena-
nyakan hal itu. Sebenarnya niatmu itu bagus, Le. Tapi,
mungkin belum saatnya untuk membicarakan hal
<> 80 <>
Yazid R. Passandre
itu sekarang.”
“Saya hanya merasa kurang enak kalau kita tidak
bisa mengubah yang sudah saatnya kita ubah di
Kauman ini, Pakde.”
Kiai Fadlil mengangguk, bangga.
“Jika kamu bersungguh-sungguh memperdalam
Islam, dan sudah banyak menimba ilmu-ilmu Ad-din
yang belum kita ketahui semuanya seluk-beluknya di
Kauman ini, bukan ndak mungkin suatu saat nanti, di
sini, kamu bisa melakukan banyak peroebahan seperti
yang kamu cita-citakan selama ini.”
“Insya Allah, Pakde.”
Walidah tersenyum sendiri di kamarnya mende-
ngar percakapan ayahandanya dan Darwisy. Hatinya
gelisah, riak-riak impiannya mengapung, menyerbu
relung-relung hatinya. Seolah ia tengah berada da-
lam mahligai yang indah tiada tara. Ia beranjak dari
ranjang perlahan-lahan mendekat ke pintu. Merasa
masih penasaran, ia coba melangkah keluar kamar
diam-diam dan menyibak tirai sedikit sampai ia bisa
mengintip Darwisy. Tampaklah ayahnya dan Darwisy
yang sedang duduk bersila, keduanya saling meng-
hadapi satu sama lain sambil terus bicara.
Walidah lalu berbalik, kembali ke kamar. Ia ber-
alih lagi ke depan cermin, menyimak wajahnya.
Dengan lemah-lembut ia mulai menyisir rambutnya
<> 81 <>
Tonggak Sang Pencerah
yang jatuh tergerai melampaui pundak. Sorot
matanya berkaca-kaca, lamunannya jauh mener-
bangkan angannya. Bayangan indah mahligai itu
menggodanya. Dan, ia teringat kepada petuah yang
pernah ibunya ajarkan.
Dalam mahligai rumah tangga, suami adalah
panutan bagi istrinya dan istri adalah madrasah bagi
anak-anaknya. Karena itu, suami harus bersikap tegas
dan istri harus bersikap lemah lembut.
Bersanding dengan perjaka yang menyuting dan
menikahi atas nama Allah Yang Maha Indah adalah
kekayaan hidup bagi seorang gadis, nilainya tak ter-
kira. Apalagi perjaka itu memiliki kedalaman ilmu
agama dan budi pekerti yang luhur, sungguh tak ter-
lukis kebahagiaan di dalamnya. Siapa yang tak kan
damai berlayar bersama nahkoda yang sudah paham
arah dan seluk-beluk kehidupan yang dituju, pandai
meningkahi gelombang, dan tegar mengarungi
badai?
Di mata Walidah, Darwisy laksana nahkoda ulung
itu. Ia pasti mampu menempa laju bahtera di saat
arus merentang lautan dan cuaca garang sebelum
kemudian berlabuh di pantai tujuan. Tak ada yang
lebih membahagiakan batinnya pada saat itu, selain
membayangkan kehadiran seorang nahkoda bijak
bestari di sebelah untuk membawa kepada tujuan
<> 82 <>
Yazid R. Passandre
abadi setiap anak manusia: fiddunya hasanah wa
filakhirati hasanah wakina adzabannar. Maknanya,
selamat di dunia dan di akhirat serta terlepas dari
derita siksa neraka.
Nyai Fadlil tiba-tiba muncul dari balik pintu ruang
tamu. Sikapnya ramah saat menata jajanan buka
puasa di hadapan Darwisy dan suaminya yang duduk
leseh di atas sebuah tikar pandan dipadu garis-garis
merah marun berhias kembang batik. Berlesehan
sejak tadi, Darwisy sudah menaruh duga, tikar itu
pasti buatan tangan terampil Walidah. Dengan
senyum seorang ibu yang khas, Nyai Fadlil menegur
perjaka keponakannya.
“Sekarang umurmu berapa, Le?”
Walidah yang muncul dari arah belakang Nyai Fadlil
sambil membawa makanan, sayur dan lauk-pauk di
atas sebuah nampan, tersenyum kemalu-maluan
mendengar pertanyaan ibunya yang sarat arti.
“Delapanbelas tahun, Bulik.”
“Kalau memang tekadmu sudah bulat memper-
dalam agama, insya Allah diridai, Le,” sambung Kiai
Fadlil.
Usai acara santapan buka puasa, Walidah mere-
bahkan kepalanya ke pundak ibundanya. Tingkah-
nya seperti anak jenaka yang sedang meminta
sesuatu tanpa berani bicara. Ibunya hanya
<> 83 <>
Tonggak Sang Pencerah
mengelus-elus kepala Walidah dengan lembut,
penuh kasih sayang. Ia memahami tingkah anaknya
yang seolah enggan terpisah jauh dengan Darwisy
sebelum mendengar kepastian, bahwa perjaka
sandaran hatinya itu akan menjadi nakhoda
hidupnya, meskipun Walidah belum sepatah kata
mengungkapkan isi hatinya.
Tak disangka, Kiai Fadlil sekonyong-konyong
mendahului bicara seraya melempar tanya yang
membuat kepala Walidah seketika tegak.
“Bapak ndak suka memaksa anak sendiri, tapi
sebagai orangtua Bapak wajib mengarahkan anak.
Apalagi soal jodoh.”
Irama jantung yang membuncah kencang itu tak
dapat lagi Walidah sembunyikan, wajahnya sontak
menegang. Hatinya berdebar-debar. Ia curiga
kepada kalimat ayahnya yang tak tegas menyebut
nama Darwisy saat menyinggung kalimat jodoh.
Namun ia hanya mampu merunduk, kelu.
“Ibu yakin kamu ndak keberatan kalau hidup
berdampingan dengan keponakan ayahmu itu,”
tegas Nyai Fadlil sembari melirik suaminya dengan
senyum membujuk.
“Darwisy pemuda yang bagus akhlaknya, dan
punya cita-cita yang mulia untuk agamanya,” timpal
Kiai Fadlil.
<> 84 <>
Yazid R. Passandre
Walidah tak mampu lagi membendung kebaha-
giaannya saat mendengar kalimat ibundanya, terlebih
sahutan ayahandanya. Ia hanya melempar jawaban
dari umbar senyum yang melukiskan kebahagiaan.
Dalam benaknya, restu hati seorang perempuan tak
perlu terucap. Diam, atau menunjukkan ekspresi
sumringah sudah lebih dari cukup. Walidah bangkit
dan menghambur ke dalam kamar. Tak lazim ia
meninggalkan ayah dan ibunya pada saat berbicara. Ia
rebahkan tubuhnya di atas ranjang, menatap pasti ke
langit-langit kamar. Ia bayangkan dirinya di dalam
sebuah kelambu yang berhiaskan bunga-bunga
pengantin. Keindahan mahligai itu pasti tak lama lagi
akan merekah.
“Aku juga sudah bicarakan dengan Kiai Abu Bakar,
kalau Darwisy sudah ditanya dan dia ndak keberatan,
maka pernikahannya dengan Walidah akan kita
laksanakan segera setelah malam takbiran,” ujar Kiai
Fadlil kepada istrinya.
“Lebih cepat lebih baik, Kangmas.”
Kembali Walidah tersenyum seorang diri di
kamarnya mendengar jawaban ibunya.
Malam itu juga, setelah Darwisy mendengar saran
ayahnya yang hendak mempersandingkan putranya
itu dengan Walidah, ia langsung melaksanakan salat
istikharah. Ia harus bermunajat lebih dahulu sebelum
<> 85 <>
Tonggak Sang Pencerah
merasa berhak menjatuhkan pilihan. Perkara nikah
bukan hal sembarang, menyangkut keselamatan
dunia dan akhirat. Tak sedikit pelajaran yang dapat
direguk. Salah memilih pasangan bisa-bisa hidup bak
tercebur ke dalam jurang.
Sifat-sifat wanita seumpama pisau bermata dua,
dan sama tajamnya. Jika sebelah sifatnya menda-
maikan pasti sebelahnya lagi menyesatkan. Bila sifat-
sifat wanita tak diarahkan dengan ilmu yang bijak,
serta tak selalu disinari cahaya agama, bukan tak
mungkin mahligai rumah tangga akan berdarah-darah
sepanjang usia. Beku dalam lorong nafsu yang tak
kunjung membahagiakan. Malam kian melarutkan
sunyi ke dalam hati yang masih terjaga, Darwisy
semakin tenggelam dalam gembala kekhusukan
istikharahnya.
Sewaktu makan sahur, ibunya menyempatkan
bertanya kepada Darwisy ihwal dari perjalanan
istikharahnya semalam, dan ingin mendengar lang-
sung keputusan terakhirnya.
“Apa sudah dapat petunjuk?”
“Yang penting buat saya, selain agamanya, istri
saya nanti bisa mengerti kekurangan saya, Bu.”
“Insya Allah...,” sambut Kiai Abu Bakar.
Maka, pernikahan Darwisy dan Walidah dilang-
sungkan beberapa hari setelah malam takbiran.
<> 86 <>
Yazid R. Passandre
Janur kuning melengkung di pintu rumah Kiai Abu
Bakar. Gema suara rebana dan senandung Tala’al
Badru mengiringi kedua mempelai bersanding
menuju pelaminan. Mahligai impian itu dilang-
sungkan dalam suasana yang bersahaja.
<> 87 <>
Tonggak Sang Pencerah
Penggalan 8
Baiti Jannati
Seumpama sepasang merpati, Darwisy dan
Walidah bernaung seatap di bawah rumah
tangga yang anggun. Mereka berdua me-
nempati rumah yang segala isinya tampak seder-
hana. Seolah isi rumah itu hanya akan dipenuhi
kitab-kitab, sebab kegandrungan Darwisy kepada
ilmu agama makin menjadi-jadi. Namun, lihatlah
tingkah Walidah, ia tak separuh-separuh menun-
jukkan keindahan pengabdiannya, totalitas perha-
tiannya selaik istri. Seperti bunga teratai, ia mene-
rima segala keadaan suami tanpa mengubah kein-
dahannya sendiri. Itulah mengapa di atas genangan
yang keruh sekalipun bunga air itu tetap tumbuh
elok memesona. Begitulah Walidah, kian hari makin
memperlihatkan kesetiannya.
Darwis pun menyayangi istrinya sepenuh hati. Ia
tunjukkan tanggung jawab terbaiknya selaku suami.
Tak ada waktu yang ia sia-siakan. Ia bekerja keras
<> 88 <>
Yazid R. Passandre
membanting tulang untuk mencari nafkah dengan
cara ikut menopang usaha batik kedua orangtuanya
di Pasar Beringharjo, dan mencari rizkinya lewat
kegiatan perdagangan yang halal. Tak satu hal ia
lakukan tanpa berunding dengan Al-Qur’an, ber-
telinga ke bumi dan ia berusaha selalu memegang
teguh teladan Rasulullah dalam setiap gerak
hidupnya.
Setelah merasa cukup bekerja dari pagi hingga
siang hari di dalam pasar lingkungan Malioboro itu,
Darwisy segera pulang. Langkahnya yang tergesa
mengisyaratkan perhatiannya yang mendalam ke-
pada istri yang sudah seharian menunggu keha-
dirannya di rumah.
Sehabis bersenda rasa dengan istrinya, Darwisy
kembali menekuni kitab-kitabnya hingga hari
beringsut malam. Tak lelah-lelah ia pergunakan
semua waktunya untuk mencari nafkah dan menim-
ba lebih banyak ilmu, tanpa melalaikan perhatian-
nya sebagai suami kepada Walidah. Tak jarang pula
ia sisihkan waktunya untuk mengajak Walidah jalan-
jalan ke tempat-tempat nyaman untuk sekadar
bersenda, melepaskan penat kesibukannya sehari-
hari. Impian Walidah sudah berwujud kenyataan.
Perjaka yang ia damba kini telah menjadi miliknya.
Maka ia tak ingin lengah merawat keharmonisan
<> 89 <>
Tonggak Sang Pencerah
rumah tangganya.
Walidah perempuan yang teduh, jauh dari sifat-
sifat purba anak gadis priyayi kebanyakan: gila pujian
dan cenderung merendahkan. Ia tak suka berme-
gah-megah, namun ia juga tak gampang dicela.
Semua itu karena budi perkerti salehah yang luhur
menghias perangainya. Itulah Walidah yang mem-
buat banyak orang tak berat hati mengelukan. Siapa
juga yang berani mengecilkan martabat Kiai Fadlil,
hoofd Penghulu Hakim Ngayogyakarta itu.
Walidah begitu taat kepada suaminya. Tak jarang
tanpa diminta, ia hampiri suaminya lantas memijat
pundaknya. Di saat ia melihat suaminya sedang
bekerja keras mengemas barang-barang dagangan
atau sibuk menghitung bon penjualan batik, ia serta-
merta duduk mendekat dan meminta tugasnya
sendiri. Ia enggan, jika suaminya hanya bekerja
seorang diri. Saat suaminya sedang tekun membaca
kitab, ia pantang mengusik. Walidah tahu suaminya
adalah pemuda yang gadrung ilmu dan haus penge-
tahuan. Seolah semua hidupnya semata untuk bela-
jar, dan mendalami ilmu agama.
Walidah adalah istri yang peka mengambil peran.
Dengan tak terduga, ia selalu bisa membuat suami-
nya ceria. Bahkan ia sengaja berhias hanya untuk
menggembirakan mata suaminya. Tak tanggung, ia
<> 90 <>
Yazid R. Passandre
singsingkan lengan baju serupa tingkah seorang
khadim. Maka jangan heran, jika mertuanya sangat
menyayangi Walidah. Darwisy pun tak kuasa me-
nahan, tanpa basa-basi, memuji istrinya di depan
sanak kerabatnya sendiri. Ia bersyukur. Walidah
bukan hanya sungguh mencintai dirinya, tetapi juga
kasih sayangnya demikian ia rasakan. Walidah telah
menjadi wanita terbaiknya. Ia mendampingi dirinya
laksana bulan mengitari matahari. Dari kesetiannya
itu terpancar cahaya kebahagiaan yang menyejuk-
kan hati.
“Bagus dipandang seperti bunga teratai,” gumam
Darwisy saat melihat Walidah tengah sibuk berkerja
di dapur.
Tak berlebihan, jika Darwisy pernah gambarkan
sosok istrinya sebagai Siti Hajar di Kampung Kauman:
perempuan yang tak lelah-lelah mendampingi jalan
terjal dan berliku suaminya. Dialah istri Ibrahim
Alaihissalam, perempuan yang tak letih-letih
menawarkan kasih sayang dan kesetiaan kepada
anak dan suami di tengah gurun sahara kehidupan
yang getir menandus.
Walidah pun terus berusaha memahami Darwisy,
terlebih memahami gelora peroebahan yang sudah
sekian lama meledak-ledak di dada suaminya itu
untuk mengubah peri kehidupan kaumnya. Darwisy
<> 91 <>
Tonggak Sang Pencerah
tak ingin makin banyak orang yang salah mengira:
seolah Islam itu tradisi dan tradisi itu Islam. Bayang-
kan, betapa berat dan mahal beribadah kepada Allah
Ta’ala jika untuk melakukan ritual-ritual tertentu
orang harus selalu mengeluarkan ongkos, apalagi di
tengah kehidupan yang serba susah.
Rasulullah tak biasa mengajarkan kepada umat-
nya beribadah dengan menghamburkan harta untuk
setiap hal yang kurang manfaat. Beliau hanya selalu
keras bersikap dalam memberikan anjuran agar
mereka yang kaya dan mampu sudi membagi harta
di jalan Allah terhadap segala hal yang mulia dan
besar arti manfaatnya, seperti memberi makan fakir
miskin dan memelihara anak yatim. Bila tidak, jangan
sekali-kali bermimpi mandi susu dan menenggak
manisnya madu surga di akhirat kelak.
“Boleh saya tahu, kenapa Kangmas tidak setuju
untuk mengadakan ruwatan?” tanya Walidah
kepada suaminya di saat mereka berdua duduk di
beranda rumahnya, menikmati semilir angin men-
jelang hari senja.
“Sepanjang kita bergembira menyambut keda-
tangan Bulan Suci semata-mata karena kita meng-
harapkan ridha dan ampunan Allah, Kangmas pasti
setuju. Tapi, mbok ya bergembira itu yang wajar
saja.”
<> 92 <>
Yazid R. Passandre
Walidah mengangguk kagum. Senyumnya
menepis segala gundah di hati suaminya. Ia tahu
betul sifat dan karakter suaminya, tak kan sembarang
bicara tanpa ada dasarnya.
“Terus itu lo, yasinan,” lanjut Darwisy, “Maksud
saya mengaji dan berdoa, ya, cukup mengaji dan
berdoa saja.”
“Kalau sekadar menyuguh teh atau air putih
untuk pelepas haus, Kangmas?”
“Sebaiknya begitu, biar tidak terkesan ada pesta
untuk orang yang sudah mati. Masak, orang miskin
yang sudah susah ditinggal mati suaminya seperti ibu
Sipon, dulu, masih harus memberi makan banyak
orang. Sampai-sampai, Sipon menangis karena tak
tega melihat ibunya yang telah terjerat hutang itu
terus-terusan mendapat tekananan si rentinir.”
Mata Walidah berkaca-kaca. Rasa haru dan bangga
bercampur aduk setelah mendengar penuturan
suaminya. Ia juga sering menjumpai kenyataan
susahnya hidup terjerat sihir lintah darat. Memang tak
sedikit orang meniru-niru gaya ekonomi kolonial, suka
mengembangbiakkan uang dengan cara tak wajar.
Mereka tak peduli banyak orang sengsara karena cara
lintah darat menghisap darah itu. Mereka sengaja
memberi peluang agar orang-orang miskin di
sekitarnya mau menerima bantuan dengan tebusan
<> 93 <>
Tonggak Sang Pencerah
berlipat-ganda. Bila tak cepat dicegah, akan terus
mengganda dalam tempo yang singkat seperti virus.
Rasa bangga Walidah saat itu karena ia melihat begitu
dalam kepedulian dan rasa cinta suaminya kepada
sesama dan wong cilik. Seolah-olah, bila ia tak mampu
membantu derita kaum kawula itu akan menjadi
mimpi buruknya.
Sudah semenjak belia, Darwisy menampakkan
sifat-sifat yang mulia. Ia suka menolong kawan yang
kesusahan, serta melindungi yang lemah. Ia tak
betah menyaksikan kemiskinan dan kelaparan,
seperti terwakili sosok pengemis di jalanan. Sifat-
sifat mulia Darwisy makin matang di usia dewasa
tak terkecuali saat hidup bersama Walidah
Kepada istrinya Darwisy berpesan, “Jangan per-
nah kamu merasa enak makan dan tidur di rumah-
mu, jika masih ada tetangga yang kelaparan. Jangan
pernah kamu merasa senang melanjutkan perja-
lanan bila kamu melewati orang yang sedang me-
minta-minta. Jangan pernah kamu merasa hebat
sebelum kamu merasa sudah memberikan manfaat
kepada orang lain. Semua perbuatan kita akan dihi-
tung seperti butir kelereng di akhirat nanti.”
Walidah manggut-manggut. Rasa kagum perem-
puan ini tak pernah surut mengalir ke wajah suami-
nya. Semua rasa bangganya seolah akan tumpah tak
<> 94 <>
Yazid R. Passandre
terbendung. Darwisy kemudian membacakan isi
Surah Al-Fajr dengan suara yang syahdu, serta meng-
ungkap artinya yang telah sekian lama ia renungkan:
“Jangan demikian, bahkan kamu sekalian tak
memuliakan dan menghargai anak yatim. Dan tak
menganjurkan memberi makan kepada fakir miskin.
Dan suka memberi makan harta benda pusaka
dengan melampau batas. Dan kamu masih men-
cintai harta benda dengan kecintaan yang sangat.
Jangan demikian (kamu sekalian nanti akan sangat
menyesal) apabila telah digoyangkan dan dihancur-
kan bumi ini sehancur-hancurnya. Tuhanmu datang
diiringi beberapa malaikat yang berbaris-baris. Pada
hari itu didatangkan neraka jahannam, baru pada
hari itulah manusia sama ingat (akan tetapi untuk
apakah dia ingat?), sudah tak ada faedahnya.”
“Semoga rumah tangga kita seperti yang Kangmas
bilang kemarin. Baiti jannati...”
Darwisy ganti tersenyum. Semangat di wajahnya
semakin menyala, menyibakkan ungkapan rasa dan
harapan yang sama.
<> 95 <>
Tonggak Sang Pencerah
Penggalan 9
Titah Berhaji
Musim berganti. Berbulan sudah
Darwisy dan Walidah sebagai pa-
sangan muda berlalu. Namun, suasa-
na bulan madu itu belum juga berlalu. Darwisy dan
Walidah tak ubah lirik gurindam, keduanya saling
menopang irama hidup nan bersahaja. Seperti niat-
an awal ketika cinta kepada Darwisy tumbuh,
Walidah ingin menghias rumah tangganya dengan
suasana surga. Bukan saja menegakkan sebuah
mahligai, atau hanya mendekorasi hari-hari bulan
madunya.
Namun, lebih dari itu, ia benar-benar ingin mene-
gakkan cinta kasihnya seumur hidup. Tekad itu se-
nantiasa segar pada pribadi Walidah meskipun
keadaan rumah yang ia tempati bersama suaminya
ala kadarnya. Perabot di ruang tamunya tak ada yang
kenyal dan empuk. Namun di dalamnya ada rasa yang
awet, ada canda yang santun, ada gairah pengabdian
<> 96 <>
Yazid R. Passandre
yang tak kunjung surut. Tak terdengar sepatah keluh
di bibir perempuan berhati bidadari itu. Maka bukan
tingkah yang aneh jika suaminya makin betah di sisi
Walidah.
Pagi itu, Darwisy mengajak Walidah menikmati
udara di luar rumah. Keduanya berjalan berdam-
pingan dan saling mengenggam tangan hingga ke
ruas-ruas jalan sepanjang Malioboro. Jalan yang
konon namanya berasal dari istilah Sansekerta yang
berarti: karangan bunga. Di timur mentari sem-
burat, cahayanya memanjat ke batang-batang
pohon asam, merambah daun-daun waringin dan
bunga-bunga cengkeh di sekitar Vredeburg. Hangat
bumi tropika menyapa. Inilah yang membuat penja-
jah betah sampai lupa kembali ke negeri sendiri
hingga berabad-abad lamanya.
Tak lama kemudian, melintas sebuah kereta kuda
yang membawa seorang ambtenaar dan istrinya.
Kereta itu berhenti tak jauh dari tempat Darwisy dan
Walidah sedang berdiri memandangi tembok angkuh
Vredeburg. Pada saat yang sama, tampak sekelompok
orang yang berjalan beriringan sembari mengusung
bermacam sesaji. Mereka akan pergi ke bantaran Kali
Code di sebelah timur untuk melarung hasil bumi,
menenggelamkan benih-benih kesialan ke aliran arus
sungai itu agar Nagari senantiasa damai permai.
<> 97 <>
Tonggak Sang Pencerah
“Apa yang mereka lakukan?” bisik sang amb-
tenaar kepada istrinya.
“Mereka akan melakukan ritual untuk memper-
sembahkan sesaji. Itu sudah tradisi.”
“Benarkah Islam itu agama tradisi?”
Tanpa sengaja Darwisy menangkap suara mereka.
Jauh di lubuk hatinya ia tak berkenan. Ia masygul.
Ingin ia katakan pada si ambtenaar bahwa Islam
bukan warisan leluhur. Namun, ia hanya diam
memaku diri, karena si ambtenaar sudah jauh ber-
lalu memasuki pintu gerbang Vredeburg. Ia berbalik
ke Walidah, dan mengajak istrinya pulang. Sang istri
merasakan kesedihan yang serta-merta lantaran
perubahan ekspresi suaminya yang menerangkan
ketaknyamanan.
Walidah berusaha menghibur suaminya sambil
memegangi perutnya sendiri. “Anakmu gerak-gerak,
Kangmas.”
Sontak, Darwisy menoleh ke samping dan mena-
tap hangat Walidah. Ia mengumbar senyum seha-
ngat mentari pagi. Segera ia renggangkan tangan agar
Walidah bisa mengalungkan lengannya, berjalan
lekat di sampingnya. Sesekali ia usap perut Walidah
dan berpesan agar istirnya lebih berhati-hati
melangkah agar tak mengusik si jabang buah cinta
mereka. Sampai di rumah, Walidah langsung menuju
<> 98 <>