The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Tonggak Sang Pencerah Sebuah Novel tentang KHA. Dahlan (Yazid R. Passandre) (z-lib.org)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by masjiddarussalam18, 2022-04-21 19:09:47

Tonggak Sang Pencerah Sebuah Novel tentang KHA. Dahlan (Yazid R. Passandre) (z-lib.org)

Tonggak Sang Pencerah Sebuah Novel tentang KHA. Dahlan (Yazid R. Passandre) (z-lib.org)

Yazid R. Passandre

ke dapur, menyiapkan hidangan sarapan pagi.
Darwisy duduk di atas kursi ruang tamu sambil
menanti kehadiran Walidah menyuguh wedang dan
sarapan sederhana. Sambil menunggu, ia tak ingin
membuang waktu. Sebuah kitab Darwisy raih dan
dalam tempo singkat ia sudah tenggelam ke dalam
lautan ilmu di dalamnya.

***
Zaman terus bergerak pincang. Kolonial hanya
menyediakan gedung sekolah bagi anak-anak yang
mereka pandang punya derajat sosial. Itu pun hanya
untuk menjadikan mereka buruh di perkebunan
atau pegawai rendahan di pemerintah. Sedangkan
pendidikan sebagian besar rakyat Nagari makin tak
terurus.
Di tengah hari-hari gagap itu, Darwisy menun-
jukkan ketekunannya yang lain, bergumul dengan
laksa kegelisahan di dadanya. Ia menguak segala rasa
haus kepada ilmu dan pengetahuan. Makin sering
ia merenung dan membaca misteri langit dan gerak
cahaya gemintang, kian keras ia berpikir, bagaimana
agar bumi Allah ini menjadi warisan yang adil, damai,
cerah penuh cinta kasih. Ia ingin menegaskan has-
ratnya yang kuat untuk mengubah tak sedikit pan-
dangan yang keblinger di sekitarnya. Sehingga, ia
menaruh minat yang begitu besar untuk mencari

<> 99 <>

Tonggak Sang Pencerah

tahu sebab keterbelakangan kaumnya sendiri.
Tak segan-segan, Darwisy mencurigai budaya

leluhurnya, karena melihat campur baur yang tak
benar antara tradisi dan agama. Islam telah menjadi
agama yang tak mudah diyakini, jauh dari akal sehat
dan cenderung mendua dan memuja kepada benda-
benda. Sesaji dan upacara adat, misalnya, makin
marak dan mewarnai pelaksanaan ibadah, serta
diyakini dapat mengantarkan doa melayang-layang
hingga ke langit atau sampai ke hadapan Gusti Allah.

Meski, tak terpungkiri, Darwisy acap merasa
kesepian berselimut kegelisahan dengan segala
kehendak untuk melakukan peroebahan itu. Berun-
tung, ia dikarunia istri surgawi yang selalu memberi
dia semangat baru. Maka, bibirnya tak pernah kering
dengan ucapan syukur karena Allah telah menganu-
gerahi Walidah: perempuan yang paling memahami
semangatnya, ide-idenya, kegelisahannya, hingga
sanggup mendukung dirinya agar mampu mencair-
kan titik beku gairah peroebahan di sanubarinya.
Walidah adalah perempuan inspiratif bagi Darwisy.
Di saat ia sedang menikmati rasa syukurnya, duduk
membaca kitab seorang diri sambil menanti
Walidah, ayahandanya tiba-tiba muncul dari balik
pintu dan mengucapkan salam.

“Mana istrimu? Bapak mau bicara dengan kalian.”

<> 100 <>

Yazid R. Passandre

Darwisy bangkit dari kursi dan pergi ke dapur,
dan kembali bersama Walidah, lalu duduk berdam-
pingan di depan sang ayahanda. Kiai Abu Bakar
tertegun sejenak memandangi perut buncit
Walidah. Setelah menghela nafas dalam-dalam,
sang ayahanda mulai bicara.

“Sudah lama sekali niat ini aku simpan, Bapak
ingin kamu berhaji dan memperdalam Islam di
Mekkah.”

Sontak, Darwisy terkejut. Ia tak menduga akan
mendengar ungkapan ayahandanya yang membuat
ia terpana memandang Walidah di sampingnya. Istri
tersayang itu perlahan merunduk, mengelus perut-
nya. Di dalam rahim perut itu bersemayam janin
yang sedang menggeliat ke bulan ketiga. Suasana
pagi terasa hening menyelubungi pertemuan yang
isinya tak disangka-sangka itu. Ayahandanya bukan
tak melihat kekagetan Darwisy dan keengganan
Walidah melepas jauh suaminya dari sisinya.
Namun, titah berhaji itu memang sudah jatuh
tempo.

“Selama ini saya selalu berkirim surat dengan
teman-teman di Hejaz. Mereka bersedia membantu
kamu berhaji dan menuntut ilmu di Mekkah, teru-
tama soal tempat tinggal kamu di sana,” lanjut Kiai
Abu Bakar dengan raut muka yang mulai menenang.

<> 101 <>

Tonggak Sang Pencerah

Darwisy makin gelisah, “Kenapa mendadak,
Pak?”

“Ini sudah lama sekali direncanakan tanpa
sepengetahuanmu.”

“Istri saya sedang mengandung...”
“Bapak sudah tahu. Tapi kesempatanmu tahun
ini. Jangan risaukan istri dan jabang bayimu. Insya
Allah, Walidah dan anakmu akan selamat di bawah
perhatian kami di sini.”
Darwisy merunduk. Bola mata Kiai Abu Bakar
berkaca-kaca memperhatikan tingkah anaknya. Ia
lalu memalingkan pandangan ke wajah Walidah,
seolah minta restu saat itu juga. Walidah menarik
rapat kedua bibirnya, sebelah tangannya mengelus-
elus perutnya sendiri dan tangannya yang lain
menggamit erat-erat tangan suaminya. Saat Darwisy
mendongak dan menatap wajah Walidah, ia melihat
ketegaran yang menguncup di kelopak mata dan
anggukan kepalanya.
“Bagaimana, Le?”
“Baiklah, Pak. Jadi, kapan saya berangkat?”
“Insya Allah lusa. Kamu akan berangkat dari pela-
buhan Semarang. Di sana ada teman Bapak, seorang
imam masjid juga. Dari sana kamu akan berlayar ke
Singapore. Kamu akan disambut Kiai Fahal dari Kam-
pung Jawa. Kamu bermalam di sana. Perjalananmu

<> 102 <>

Yazid R. Passandre
ke Jeddah dari pelabuhan Tanjung Pager 15 hari. Di
Jeddah, kamu akan disambut Pemerintah Hejaz.
Sedangkan di Mekkah, kamu akan tinggal di Rumah
Wakaf Mataram milik Ngarsa Dalem.”

Kiai Abu Bakar menunjukkan surat di tangannya
kepada anak lelakinya. Sebelum Darwisy membaca
selembar kertas itu, ia lama tertegun. Walidah
kembali merunduk seperti daun pisang diguyur
hujan, tak dapat menutupi kesedihan.

<> 103 <>

Tonggak Sang Pencerah

Penggalah 10

Melepas Belahan Jiwa

Walidah tak seceria hari-hari sebe-
lumnya. Setiap tatapannya adalah
lukisan kesedihan. Ihwalnya tak lain
adalah kepergian Darwisy sang suami tercinta ke
Mekkah. Walidah tak menyangkal betapa mulia
orang berhaji ke tanah suci, ke tempat Rasululullah
mengabadikan jejak Islam dan berjuang untuk
keselamatan seluruh umatnya. Namun, kodratnya
sebagai perempuan yang ringkih tak membuat ia
serta-merta tegar.
Belum puas ia merasakan nikmat dan lezatnya
hidup disanding suami tercinta. Lebih-lebih anak
yang menggeliat di dalam rahimnya, bukankah sang
bayi juga ingin melihat wajah ayahandanya di hari
kelahirannya. Tak terbayangkan sepinya hidup tanpa
sentuhan sang suami yang biasa membangunkan di
setiap hari menjelang subuh dan salat berjamaah.
Belum lagi bagaimana ia harus menanggung dera

<> 104 <>

Yazid R. Passandre

kerinduan tak terperi di saat tiba waktu untuk men-
jamu suaminya di meja makan.

Tengah malam itu, Walidah bangun mendahului
suaminya yang sebentar lagi pasti bangkit mene-
gakkan salat lail. Ia tercenung, duduk menopang dagu
seorang diri dan memandangi wajah suaminya
dengan sorot mata yang teramat berat. Menjelang
hari keberangkatan Darwisy, malam-malam Walidah
laksana pohon yang tak lagi berdaun apalagi berbu-
nga. Ia merasa belum lama mereguk manisnya hidup
seatap bersama laki-laki yang paling ia cintai.

Dari lubuk hati Walidah muncul pertentangan
yang sengit, antara melepas dan menahan kepergian
Darwisy. Sebagai perempuan yang baru menjadi
pengantin, ia tak bisa memungkiri legitnya hidup
disanding suami setiap hari, apalagi mereka sedang
menanti kelahiran sang buah hati. Namun, jauh di
atas keperihan itu, terngiang pula impian sang suami
yang selalu mengutarakan hasratnya. Kelak, harus
bisa saya lakukan peroebahan.

Tanpa disadari, air mata Walidah jatuh ke pipi
suaminya. Darwisy terjaga. Ia menemukan wajah
istrinya sembap. Dengan perasaan haru dan belai
lembut, Darwisy berusaha meredam kesedihan
Walidah. Ia tahu, tak mudah bagi istrinya menerima
kepergiannya esok. Namun ia juga percaya istrinya

<> 105 <>

Tonggak Sang Pencerah

bukan perempuan sembarang. Keikhlasan dan
kesabaran yang selama ini Walidah tunjukkan pasti
mampu mengalahkan semua kesedihan itu. Darwisy
lalu menghibur Walidah dengan ungkapan yang
menegarkan.

“Saya tidak lama di sana. Paling lama setahun.”
Walidah belum mampu berucap satu kata pun,
wajahnya yang sendu ia sandarkan ke dada
suaminya. Kulup-kulup kesedihan itu bahkan
memercik dari isak tangisnya sampai air matanya
mengguyur basah pelepah pipinya. Ia tak ingin
menghalangi kepergian suaminya, tak ingin
menahan langkah kaki seseorang yang ia tahu akan
menuju ke tempat mulia, ke tanah yang paling suci
di muka bumi. Apalagi titah berhaji itu bukan hal
biasa. Namun, ia amat tak kuasa meredam hati yang
serta-merta luluh lantak, terburai dalam jerit sedih
yang tak terhalau. Ia bingung, suara hati yang mana
hendak ia dahulukan di saat hatinya benar-benar
terbelah.
“Panjenengan tidak akan bisa menguman-
dangkan azan kepada anak pertamamu ini,
Kangmas.”
“Saya azani dia di depan Ka’bah. Saya doakan
kamu dan dia di Masjidil Haram. Coba bayangkan,
bagaimana beratnya istri para sahabat melepas

<> 106 <>

Yazid R. Passandre

suami mereka ikut berhijrah ke Madinah pada waktu
itu. Tapi beliau semua rela dan mau tersenyum,
demi mengikuti jejak mulia Rasulullah dan kejayaan
Islam di kemudian hari.”

Bagai angin sejuk pagi hari, ucapan Darwisy
seolah membasuh wajah Walidah. Ada kedamaian
yang luar biasa di sana. Perlahan ia menegakkan
wajahnya di jarak yang amat dekat dengan wajah
suaminya. Ia menatap lekat-lekat, kedua bola
matanya tak lagi berkabut. Jantungnya kembali
bekerja normal, ada keseimbangan rasa lantaran
aliran darah ke seluruh tubuhnya kembali bekerja
natural. Ya, implikasi kimiawi dari dalam tubuhnya
inilah yang memberi Walidah suatu kekuatan hati,
suatu sugesti yang membugarkan secara fisik. Lebih
dari itu, ucapan laki-laki tegar yang ia kagumi itu
seperti mengusung energi batin yang mampu
melakukan kontak dengan mental spiritual Walidah,
suatu pertemuan jiwa yang melampaui batas-batas
ragawi.

Tak sanggup menahan haru dan bahagia, Walidah
menyunggingkan seuntai senyum. Indah sekali.
Bibirnya tergetar menahan haru bercampur sukacita.
Kalimat yang diungkapkan suaminya tadi telah
merobohkan tebing-tebing kesedihannya pada saat
itu juga. Rasa damai membahana jiwanya ketika

<> 107 <>

Tonggak Sang Pencerah

sebuah kecupan lembut kekasihnya mengena
keningnya. Beberapa saat. Darwisy lalu mengajak
Walidah berwudhu. Di penghujung malam itu,
keduanya menegakkan salat lail.

Namun, kesedihan itu kembali datang, relung-
relung perasaannya berkabut. Walidah sungguh tak
dapat menahan gempuran kesedihan saat suaminya
mulai mengumandangkan takbir dan melantunan al-
fatikhah. Intonasinya dan kekhasan iramanya meng-
haru hati Walidah. Itulah suara syahdu sang imam
yang esok tak kan ia dengar lagi. Darwisy sampai
terhenti sejenak mendengar isak lirih istrinya. De-
ngan sepenuh hati ia berusaha kembali kepada ke-
khusukannya. Memasrahkan segenap jiwa dan raga-
nya kepada kebesaran Allah Azza wajalla. Sampai
salat lail itu usai, airmata Walidah belum juga kering.

***
Mentari naik sepenggalah. Walidah menyiapkan
seluruh barang bawaan suaminya. Butiran-butiran
bening di matanya tak kunjung henti meleleh. Ia
tahu, semua hidupnya nanti akan menyerah kepada
satu rasa: rindu. Tak ada yang lebih berat dalam
hidupnya melainkan mengusung rasa itu. Ia tak
sanggup lagi, namun ia harus menguatkan diri.
Sementara nun jauh di sana, di penghujung
impiannya, Walidah berharap bahwa suatu saat nanti

<> 108 <>

Yazid R. Passandre

suaminya akan pulang dari tanah suci dengan surban
putih dan berjuta ilmu. Hanya impian itu yang
menghibur Walidah. Bahwa setiap titik airmatanya
yang jatuh adalah jalan menuju pencerahan dan
kebahagiaan dunia dan akhirat.

Pagi itu, para pengantar Darwisy, yang sebagian
besar saudara serta sanak kerabatnya, sudah
berkumpul di rumah Kiai Abu Bakar. Tampak pula Kiai
Fadlil dan keluarganya, juga Kiai Abdul Hamid dari
Lempuyang Wangi yang akan turut mengantar
kepergian Darwisy sampai ke Station Spoor Tugu.
Dalam suasana penuh keakraban, Darwisy menemani
ayahandanya berbicang dengan para tamu.

“Sebenarnya Darwisy belum siap pergi sekarang,
apalagi istrinya sedang mengandung. Tapi kalau
kesempatan ditunda-tunda, dikhawatirkan nanti
malah terlupakan dan ndak kesampaian,” jelas Kiai
Abu Bakar kepada para tamu.

Kiai Fadlil tersenyum, “Berhaji dan menuntut
ilmu di Tanah Suci itu dua hal mulia yang kalau
memang bisa jangan ditunda-tunda lagi. Kalau
Walidah kan pasti banyak yang ngrewangi di sini.”

Kiai Abdul Hamid menimpali, “Memang situasi
yang seperti ini ndak boleh terlalu lama dipikir-pikir
atau ditimbang-timbang. Khawatir nanti seperti
mikir mana lebih dulu ayam dan telor...”

<> 109 <>

Tonggak Sang Pencerah

Semua yang mendengar melepas tawa kecil.
Darwisy juga tampak tertawa lirih. Kiai Abdul Hamid
melanjutkan nasihatnya.

“Darwisy harus mantap berangkat ke Tanah Suci,
karena kita ndak boleh menjalankan ibadah dengan
hati yang ragu-ragu.”

Darwisy bersiap berangkat. Ia berdiri dan
menyalami ayahanda-ibundanya. Lalu, ia beralih
menyalami kedua mertuanya. Yang terakhir ia salami
adalah Kiai Abdul Hamid, sekaligus ia minta restu dan
doa. Semua pengantar bersiap-siap mengiringi
langkah Darwisy menuju ke Station Spoor Tugu. Suara
azan ngelangut dikumandangkan. Tepat pukul dela-
pan pagi, berangkatlah rombongan dengan berjalan
kaki.

Sampai di Station Spoor Tugu, Walidah masih
lekat di sisi suaminya. Seolah ia tak ingin menyia-
nyiakan waktu yang masih tersisa untuk berduan.
Tiba waktunya Darwisy harus memasuki gerbong,
Walidah tampak berusaha menyabarkan hatinya.

“Kepergianku amanah keluarga, lagi pula menim-
ba ilmu itu wajib hukumnya. Tabahkan hatimu.”

Dalam keadaan saling menggenggam tangan,
Walidah dan Darwisy bertatapan, lama. Sejenak,
Walidah menghela nafas. Ia berusaha tersenyum.
Airmatanya menggenang.

<> 110 <>

Yazid R. Passandre

“Jaga baik-baik dirimu dan anak kita. Jaga Ibu dan
Bapak. Jaga salat lail dan puasa sunnah. Jangan pernah
berhenti berdoa buat keselamatan kita dunia dan
akhirat.”

Walidah mengangguk pasrah, “Berangkatlah,
Kangmas...” Suaranya terdengar parau.

Terdengar suara muazin mengumandangkan
iqomat. Darwisy melangkah ke gerbong. Kereta
bergerak perlahan-lahan. Semua orang yang
mengantar Darwisy melambaikan tangan.

Di pintu gerbong kereta, Darwisy melambaikan
tangan, mengisyaratkan suatu perjalanan yang jauh.
Nyai Abu Bakar berurai airmata. Ia menutupi wajah
dengan kedua telapak tangannya, ia hanya mampu
mengintip kepergian anaknya lewat celah-celah
jemarinya. Suara bising spoor: tuit... jeggg jeggshh
.... tuit... dan kepulan asap hitam dari corong di atas
lokomotif membahana seolah ingin menengge-
lamkan gejolak rasa Walidah yang masih berdiri
tegak, sesetegar pohon asam di Malioboro, pada
detik-detik perpisahan itu, sementara wajah
perempuan ayu itu berlinang air mata.

<> 111 <>

Tonggak Sang Pencerah

Penggalan 11

Berlayar Ke Jeddah

Kereta meninggalkan pintu gerbang Station
Spoor Tugu menuju Semarang tepat pukul
09.30 pagi. Tanpa halangan, kereta yang
ditumpangi Darwisy sampai di jantung kota Little
Nederland itu tepat pukul empat sore. Darwisy keluar
dari gerbong, melangkahkan kaki memasuki halaman
Statiun Spoor Tawang. Ia masih mengenakan pakaian
surjan. Inilah station spoor pertama di tanah Jawa yang
dibangun kolonial. Darwisy disambut para masyayeh
dan badal-badal-nya. Mereka yang bertugas mengurus
serba-serbi kebutuhan Darwisy selama di Semarang.
Seperti kata ayahandanya, Darwisy akan tinggal di
Semarang tak lebih dari tiga hari untuk menunggu
kapal yang akan membawa dirinya berlayar dari
Tanjung Emas ke Tanjung Pager.
Tanjung Emas adalah pelabuhan besar yang
dibangun pemerintah kolonial untuk mengangkut
berbagai macam hasil bumi Nagari ke Eropa. Karena

<> 112 <>

Yazid R. Passandre

jumlah jamaah haji terus bertambah dari tahun ke
tahun, Belanda sampai berebut armada angkutan
dengan Inggris. Senja menguncup di antara riak
gelombang, kapal melaju laksana kepak kupu-kupu.
Sayap-sayapnya memercikkan buih. Selama berada
di atas kapal, Darwisy tak henti tepekur. Ia renungi
indahnya lautan yang membentang. Bibirnya tak
pernah kering memuji kebesaran Allah Azzawajalla
yang sengaja menunduk-kan lautan dengan segala
pesona dan keindahannya semata untuk keperluan
manusia.

Langit biru telungkup di atas ubun-ubun kepala.
Tepat di depan mata, laut telentang tanpa batas hamir
sewarna langit: biru tua. Perlahan, hamparan air laut
meniru lengkungan langit yang berwarna lembayung.
Darwisy masih tertegun, duduk berjuntai di kursi
panjang geladak kapal itu. Sedepa mengayunkan kaki-
kakinya, ia akan menyaksikan lambung kapal
memecah gelombang, menghempaskan serpihan-
serpihan ombak. Darwisy demikian menikmati
perjalanannya di atas gelinjang permukaan laut,
ditingkah derai angin yang membangunkan kelu jiwa,
seraya mengendus alam yang sedang berkemas
menyongsong malam. Caranya menatap mengisya-
ratkan sebuah kehendak. Ia ingin juga belajar kepada
laut, membaca arah kehidupan.

<> 113 <>

Tonggak Sang Pencerah

Di dada laut yang menawan renungannya nan luas
membentang itu, Darwisy melihat begitu besar arti
keberadaan bangsanya, dan tentu tak sedikit
kekayaan yang terkandung di dalamnya. Namun,
kekayaan itu tak tersingkap bahkan hanya menjadi
kenduri bagi bangsa panjajah akibat kebodohan
bangsa sendiri. Anugerah Tuhan berupa ribuan pulau
Nusantara yang berjajar dari Sabang sampai Merauke
di ufuk timur hingga barat, dari Pulau Miangas sampai
Pulau Rote di ufuk utara hingga selatan, serta samu-
dera yang mengitari kawasan, bukan kekayaan
sembarang. Berkali-kali Darwisy harus menghela
nafas saat merasakan sebagai bangsa besar yang
demikian tertindas. Perlahan-lahan kapal terus
menjauh dari gugusan pulau Jawa yang hijau permai
menyibakkan kekuatan yang terpendam.

Tak henti-henti Darwisy bertanya, bicara dan
berunding dengan hati nuraninya. Ia demikian
tergugah untuk mencari makna di balik rahasia laut
yang membentang dan pulau-pulau nun kian jauh
di sana.

Mengapa anugerah dan kekayaan yang begitu
besar ini dibiarkan hanya dihisap bangsa lain. Jika
rakyat terlena oleh tradisi yang gelap dan membo-
dohkan itu, tanpa pendidikan yang mencerahkan,
selamanya akan menjadi gajah yang dikerubuti

<> 114 <>

Yazid R. Passandre

semut-semut, dan lama-lama akan habis tanpa
makna.

Bakda Maghrib, terjadi keributan kecil di kamar
Darwisy. Pasalnya tak biasa, ada orang, entah sengaja
atau tidak, berak di wastafel. Seisi kamar yang mera-
sa tak nyaman kemudian melapor kepada pemimpin
rombongan. Setelah berulang-ulang semua orang
di kamar ditanya, tak satu pun yang mengaku.
Darwisy tampak sedih, ia tak bisa membayangkan
jika ada yang sengaja menyimpan kebohongan di
antara jamaah yang sedang akan menunaikan tugas
suci ke Mekkah. Menjelang subuh, pemimpin jama-
ah memberi tahu Darwisy, bahwa ia berkesempatan
untuk mengisi kuliah subuh. Kesempatan itu ia pero-
leh sebagai penghormatan sebagai putra Imam
Khatib Masjid Gedhe dan menantu Hoofd Penghulu
Besar Ngayogyakarta. Darwisy menerima kesem-
patan itu dengan senang hati.

“Siapa di antara kita yang ingin merawat iman,
rawatlah kebersihan. Karena kebersihan, adalah
sebagian dari iman. Dan, jauhkanlah diri kita dari
sifat-sifat tercela seperti berkata bohong. Karena,
berkata bohong hanya akan mengurangi kebersihan
jiwa. Ingatlah, kita sedang menuju ke Tanah Suci, di
mana hati kita juga perlu kita sucikan terlebih
dahulu.” Demikian penggalan paling akhir ceramah

<> 115 <>

Tonggak Sang Pencerah

singkat Darwisy, yang ia sampaikan dalam bahasa
yang santun.

Seusai kuliah subuh itu, seseorang serta-merta
mendekati Darwisy sembari menengok ke kanan
dan ke kiri untuk memastikan tidak ada orang yang
menyaksikan dirinya. Ia berbisik. “Saya menyesal,
tapi saya benar-benar malu kalau harus mengaku di
banyak orang. Karena itu, saya ingin mengaku
kepada dirimu saja.”

“Tentang apa?”
“Sungguh kali ini saya tidak bohong, saya yang
berak di westafel itu karena saya kira itu tempat
untuk buang air besar…”
Darwisy tersenyum memahami kesulitan lawan
bicaranya. Maka, ia hanya menjawab dalam kalimat
pendek. “Katakan kebenaran walaupun pahit.”
Darwisy melangkah keluar kamar, mulailah ia
rasakan hawa pagi. Awan meruak di lengkungan
langit terpantul di permukaan riak-riak ombak.
Mentari naik sepenggalah. Dan kawanan camar,
datang merubung seolah hendak gotong royong
mewarnai langit, melesat-lesat, menguas angkasa
raya. Sayap-sayapnya yang rucing terhunus, mem-
badik angin selatan. Terhuyung, menukik, seolah
paruhnya mematuk butiran buih. Di atas kepak sayap
burung-burung langsing menawan itu awan terus

<> 116 <>

Yazid R. Passandre

bergerak membawa serpihan-serpihan ke arah
angin pagi berhembus. Darwisy terpesona.

“Aku ingin hidup seperti burung-burung itu.
“Merdeka,” gunyam Darwisy.
Hari itu, langit dan laut tumpah dalam warna pagi.
Langit menunjukkan ciri khas yang paling rupawan,
laut begitu jelita, juga jenaka. Kapal melintasi Pulau
Sumatera di pagi yang masih kuning kemerahan,
tampaklah layar-layar Sabang terkembang. Mereka
adalah nelayan yang akan melayari laut ke tempat
ikan-ikan memijah masa depan anak-anaknya.
Darwisy kembali takjub melihat panorama ini. Ia
makin sadar, hidup yang ia arungi adalah samudera
yang dalamnya tak terdepa, luasnya tak dapat
diterka.
Darwisy simak sekali lagi gambaran hidupnya
yang bersembunyi tersipu-sipu di lekuk-lekuk
ombak yang beriak-riak sebelum terburai dihempas
badan bahtera. Sejak dua puluh dua tahun silam,
sejak kepala Darwisy keluar dari rahim ibundanya,
sejak itu pula ayahandanya sudah memancang
tekad. Sang Ayahanda meletakkan niat di kening
Darwisy setelah meniupkan suara azan ke telinga-
nya. Bahwa sang ayahanda, ingin anak lelaki harapan
satu-satunya itu mengikuti jejak hidup para nabi,
dan sampai di Tanah Suci. Berhaji dan memperdalam

<> 117 <>

Tonggak Sang Pencerah

Islam hingga suatu saat nanti, ia dapat menggatikan
peran dan kedudukan sang ayahanda selaku juru
dakwah, ulama, guru dan Imam Khatib Masjid
Gedhe.

Perjalanan mengantarkan jamaah haji sampai di
Singapore. Di negeri ini, Darwisy hanya menunggu
tak lebih dari dua hari. Pada minggu kedua perja-
lanannya sejak ia meninggalkan kampung halaman,
ia kembali berlayar menumpangi kapal Mispil dari
Mij Maclin Walson. Kali itu, ia akan berlayar dari pela-
buhan Tanjung Pager Singapore melintasi gelom-
bang Selat Malaka, sebuah selat penting seperti
kanal Suez menuju rute pelayaran antara Laut Tengah
dan Laut Arab di Samudera Hindia. Di selat ini tere-
kam sejarah keberingasan para bajak laut, sehingga
Selat Malaka kesohor dan berjuluk Pirate Gang.

Setelah melintasi Laut Merah, pelayaran menukik
ke tanah jazirah. Tanah kampung halaman Rasulullah.
Tanah di mana Ka’bah berdiri sebagai satu-satunya
kiblat kaum muslimin. Tanah di mana Masjidil Haram
dibanjiri berjuta-juta manusia dari tahun- ke tahun.
Tanah di mana Hajar berlari-lari di antara Safa dan
Marwah demi setetes air yang dimohon anaknya,
Ismail alaihissalam. Tanah di mana ketulusan
permaisuri Ibrahim alaihissalam itu mengawali
keberadaan zam-zam: mata air yang tak kan pernah

<> 118 <>

Yazid R. Passandre

kering sepanjang zaman meskipun berada di bentala
padang pasir yang gersang.

Dalam pelayarannya melintasi samudera demi
samudera, luas tiada tara selama lima belas hari,
Darwisy dipertontonkan keindahan Teluk Aden, saat
kapal melintasi laut yang terletak antara Yaman di
pesisir selatan jazirah Arab dan Somalia di Teluk Afrika
itu. Beberapa hari kemudian kapal sudah mendarat,
dan berlabuh di Jeddah.

Karena tak langsung bisa merapat ke dermaga,
Darwisy dan rombongannya turun dari kapal menaiki
sampuk, perahu yang membawa mereka merapat
ke dermaga. Persis seperti pesan ayahandanya,
Darwisy langsung disambut petugas pemerintah
Hejaz. Ia dibawa melewati sebuah pintu dengan
ucapan salam dan menjawab sedikit pertanyaan
tentang asal-usul.

“Min aina ji’ta?” tanya penjaga pintu itu meng-
gunakan bahasa ibundanya.

“Mataram,” jawab Darwisy pendek.
Sudah lazim, bangsa Arab hanya mengenal
Mataram bagi orang-orang yang datang dari tanah asal
Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai garis
keturunan Sultan Agung yang masyhur. Kebetulan
Sultan Agung mempunyai rumah wakaf di sana.
Rumah yang khusus untuk ditempati para bangsawan

<> 119 <>

Tonggak Sang Pencerah

Keraton yang datang ke tanah suci untuk berziarah
dan menunaikan ibadah haji. Bahkan, konon, Sultan
Agung juga kerap mengirim utusan khusus ke Mekkah
untuk mendalami Islam dan menerapkan ajaran itu
di bumi Nagari. Selama hidupnya, Sultan Agung men-
jalin hubungan baik yang erat dengan pemerintah
Hejaz.

Sultan Agung memang sengaja membangun rumah
wakaf itu setelah melihat sebuah kemungkinan di hari
depan, bahwa Mekkah adalah tanah penuh berkah
yang kelak akan mengilhami rakyatnya melakukan
perlawanan pada kolonial. Rumah itu dikenal dengan
sebutan Rumah Wakaf Mataram.

Di rumah wakaf itulah Darwisy mendapat tempat
tinggal khusus selama ia bermukim di Mekkah, sebab
ia putra Imam Khatib Masjid Gedhe sekaligus me-
nantu Hoofd Penghulu Besar Ngayogyakarta yang
cukup dihormati para bangsawan Keraton. Hari itu
juga, Darwisy bertemu dengan para nadzir Rumah
Wakaf Mataram, yaitu Syaikh Muhammad Shadiq,
Syaikh Abdulgani dan Syaikh Abdullah Zalbani.

“Bagaimana keadaan bapak-ibu dan mertuamu?”
“Alhamdulillah beliau semua dalam keadaan
sehat wal afiat. Salam dari beliau semua.”
“Wa’alaikumussalam,” jawab serentak para
syaikh di hadapan Darwisy.

<> 120 <>

Yazid R. Passandre
“Hanya, keadaan di Kauman dan Nagari kita be-
lum menunjukkan adanya peroebahan, ulah
Belanda tambah merajalela...”
“Maka itu, pergunakan waktumu selama bermu-
kim di sini sebaik mungkin. Mudah-mudahan ilmu
yang kamu bawa pulang, kelak, bisa menjadi
penolong kesengsaraan umat di sana.”
“Belanda harus secepatnya pergi. Hemat saya,
mereka tidak hanya menghendaki kekayaan Nagari,
tapi juga sengaja akan memadamkan cahaya Islam.
Saya gusar tentang hal itu.”
Esoknya, Darwisy mulai melaksanakan umrah yang
dimulai dengan tawaf, sa’i sampai tahallul. Setelah
memasuki hari-hari istirah, Darwisy pergunakan
waktunya untuk berziarah ke makam-makam para alim
ulama dari bumiputra yang wafat di Mekkah. Di antara
makam alim ulama yang Darwisy kunjungi, ada yang
memang dikenal nama dan asal-usulnya, namun ada
pula yang tak dikenal lagi.

<> 121 <>

Tonggak Sang Pencerah

Penggalah 12

Di Pusaran Ka’bah

Mengenakan pakaian ihram, Darwisy
bergerak mengelilingi Ka’bah. Hari
itu, ia sedang melaksanakan tawaf.
Wajahnya bersih, sebersih putih pakaian tanpa
jahitan yang ia selempangkan melewati sebelah
pundaknya, mengikat tubuhnya. Ihram, sebuah
model pakaian hanya dua lembar kain putih
unhammed. Namun, tak sedikit pantangannya.
Selama berihram, seseorang tak boleh mencukur
jenggot, rambut dan kuku. Semua orang harus
tampak bersih dengan aroma tubuh yang sama.
Orang yang mengenakan ihram berarti tengah
diingatkan agar menjauhi pertikaian, tak boleh
berseteru. Bohong adalah kalimat yang harus dihin-
dari, tangan tak diperkenankan merusak tanaman,
menutupi kepala atau wajah, apalagi membawa
senjata: dilarang! Rasa aman dan damai wajib dijaga.
Kebersamaan harus sungguh-sungguh ditegakkan

<> 122 <>

Yazid R. Passandre

sebagai manifestasi keimanan seseorang.
Maka, ihram sebetulnya adalah isyarat, bahwa

Islam tak sekadar menganjurkan kebersihan hati na-
mun juga persamaan di antara sesama manusia. Tak
ada kaya atau miskin, penguasa atau rakyat jelata.
Darwisy memperhatikan gerak-gerik lautan manusia
di hadapannya, mereka mengitari Ka’bah dalam
putaran ke kiri dan melantunkan kalimat yang sama.
Jantungnya berdegup kencang seraya bibirnya
mengumandangkan kalimat-kalimat yang indah.

“Labbaik...Allahumma labbaik...”
Kami semua telah datang Ya Allah, datang hanya
untuk menghadap Engkau.
Ka’bah yang dikenal sebagai Baitullah itu adalah
sekubus bangunan persegi empat yang konon sudah
12 kali mengalami renovasi dari sejak manusia
pertama Adam alaihi salam hingga masa kenabian
Muhammad Rasulullah shalallahu ’alaihi wassalam.
Pada masa pemeliharaan Ibrahim dan Ismail
Alahissalam, semua berhala atau patung-patung,
Tuhan buatan, di sekeliling Ka’bah dibersihkan.
Manusia diajak kembali memurnikan Ka’bah sebagai
satu-satunya baitullah, tanpa campur baur tradisi
penyembahan kepada berhala.
Warna dinding Ka’bah seluruhnya hitam, dinding
timur berukuran kira-kira 48 kaki dan 6 inci, ada lagi

<> 123 <>

Tonggak Sang Pencerah

dindingnya yang disebut hatim, ukurannya 33 kaki.
Sedangkan dinding antara batu hajar aswad dan
sudut dinding yang disebut yamani ukurannya
sekitar 30 kaki, serta ukuran dinding barat selebar
46,5 kaki.

Seorang raja bernama Abrahah yang pada
masanya dikenal tangguh tiada tanding pernah
mengerahkan ribuan pasukannya untuk meng-
gempur bangunan sangat tua ini. Abrahah berang,
karena bangunan ibadah yang ia buat tak sedikit pun
mampu menandingi kemasyhuran Ka’bah. Maka, ia
bertekad untuk meluluhlantakkan Baitullah itu tanpa
ampun. Tak ada negosiasi, Ka’bah harus serata tanah.

Namun, tanpa ia duga, Allah mengirim burung-
burung kecil yang seolah muncul dari laut, kaki
mungil burung-burung itu menggenggam kerikil.
Begitu Abrahah dan pasukannya mendekati Ka’bah,
dan siap menghancurkan rumah Allah itu, burung-
burung itu serentak menabur kerikil ke ubun-ubun
kepala mereka. Dalam sekejap waktu, semua kepala
mereka hangus dan tubuh mereka meleleh bak
bangkai dimakan ulat. Itulah bagian dari tanda-tanda
kebesaran Allah selama menjaga Ka’bah sebagai
kiblat kaum muslimin.

Darwisy makin terpesona oleh pakaian ihram di
tubuhnya. Ia elus-elus kain putih cemerlang itu,

<> 124 <>

Yazid R. Passandre

mencari maknanya. “Pakaian ini pasti mengandung
arti yang dalam. Saya harus bisa mendalami
maknanya selama bermukim di tanah haram ini.”

Seusai melaksanakan tawaf, lama Darwisy hanya
terpana. Ia pandangi Ka’bah. Matanya enggan
berkedip. Sekonyong-konyong ia bayangkan kea-
gungan Allah Azzawajalla saat Ibrahim alaihissalam
tiba-tiba geram, lalu dengan gagah berani mero-
bohkan semua berhala di sekeliling Baitullah itu,
mengabaikan risiko nasib di ujung maut. Sebab,
penyembah setia berhala kala itu berasal dari orang-
orang terpandang yang punya pengaruh. Mereka
biasa menyembelih para pembangkang tradisi lelu-
hur seperti memotong urat nadi di leher kambing.
Maka, menentang sesembahan mereka, berarti
menyuguhkan leher ke taring macan. Ilham kebe-
ranian sang ulul azmi itulah yang perlahan-lahan
menelusup ke rongga hati Darwisy.

Hasrat peroebahan kembali meledak di dadanya,
seumpama letupan gunung Merapi saat pertamakali
menyemburkan magma. Ia merasa bersalah, sebab
membiarkan dirinya terhalang untuk menegakkan
anjuran yang lurus itu sekian lama. Dan sebongkah
batu yang melekat di Ka’bah bernama Hajar Aswad,
yang diciumi berjuta-juta bibir manusia dari segala
penjuru dunia itu, seolah berseru kepadanya.

<> 125 <>

Tonggak Sang Pencerah

Hadapkanlah wajahmu hanya kepada agama
yang lurus.

Darwisy tertegun. Keringatnya mengucur deras.
Sekujur tubuhnya basah. Ia sadar, saat itu juga Allah
telah memaklumi kelemahannya, di mana ia tak
serta-merta kuat melaksanakan kehendaknya.

“Kalau Nabi Ibrahim berani membersihkan
Ka’bah dari kemusyrikan hanya mengandalkan
pertolongan Allah, kenapa saya di Kauman harus
bimbang?”

Darwisy berbalik arah, melangkah meninggalkan
Baitullah. Di hadapannya terhampar sahara. Butiran-
butiran pasir itu seperti tak berhenti mendaras,
bertasbih, memuji nikmat dan karunia hidup yang
Allah berikan. Bahkan, setiap wujud benda dan
darah seluruh makhluk yang terserak di muka bumi
semata-mata untuk keperluan manusia: sang
khalifah. Ia menghela nafasnya perlahan-lahan,
menelan udara keagungan seraya mendesah
subhanallah, saat ia melihat orang sedang bersujud
di atas sajadah. Tepat di samping orang itu, seekor
unta duduk jinak sambil mulutnya komat-kamit.

“Sudah sepantasnya jiwa raga ini hanya dipa-
srahkan semata-mata kepada Allah, bukan kepada
sesaji,” gumam Darwisy lagi.

Darwisy menjeda langkah. Ia ingin menyalami

<> 126 <>

Yazid R. Passandre

pria itu segera sesudah salat. Ia yakin, orang itu
bukan pria sembarang. Rukuk dan sujudnya begitu
khusuk. Di mata Darwisy, setiap orang yang sudah
terbiasa menegakkan salat tanpa mengenal ruang
dan waktu, pasti orang yang tinggi imannya, juga
mampu memaknai lembaran kekhusukan yang
terkandung dalam salat. Segera setelah pria berju-
bah dan jenggot berumbai seperti cemara udang itu
menolehkan wajahnya ke kanan ke kiri tanda akhir
salat, Darwisy langsung mendekat. Berbahasa Arab
yang lancar, ia menyalami pria itu, duduk di ha-
dapannya. Mengajak pria itu berbincang, tak hirau
terhadap suhu udara yang menyengat di ubun-ubun
kepala dan lupa bahwa sinar matahari itu bisa
melepuhkan setiap helai rambut, bahkan kepala.

Darwisy seperti semakin tak merasakan suhu
gerah siang itu di saat pria asing itu mulai menga-
jarkan hal-hal yang belum pernah ia ketahui.

“Baitullah bukan hanya kiblat di alam semesta
ini. Tapi juga media bagi setiap jiwa untuk menang-
kap energi positif millah Ibrahim. Allahu ahad, Allahu
somad, lamyalid walamyulad, walamyakullahu
kufuan ahad. Tentu kamu sudah paham maknanya.”

Darwisy menganggukkan kepala, airmatanya
jatuh setitik demi setitik membasahi butiran pasir.

“Itulah mengapa Rasulullah diutus untuk

<> 127 <>

Tonggak Sang Pencerah

melanjutkan misi pengembanan millah itu, sekaligus
untuk disempurnakan sebagai rahmatan lil alamin:
rahmat bagi seluruh alam semesta. Adalah tugas
manusia, kita, untuk meneruskan seruan Islam sebagai
khalifah Allah di muka bumi. Kita harus bisa mengajak
manusia ke jalan yang lurus, menyeru saudara-saudara
kita agar beramal ma’ruf nahi mungkar, dan mening-
galkan tradisi yang menyesatkan. Dengan Islam, kita
harus bisa menyatukan pandangan umat manusia
terhadap sifat-sifat Allah secara murni. Memberi
teladan yang baik, dan mendidik anak-anak kita agar
memiliki akhlakul karimah. Budi pekerti yang baik.”

Mendengar pengajaran yang hikmat itu, Darwisy
seolah akan membenamkan kepalanya ke dalam
hamparan pasir yang ia duduki. Kekuatan setiap
kalimat yang terlontar dari celah bibir pria asing itu,
menegakkan kekuatan baru di dalam jiwanya untuk
menopang hasrat yang selama ini hanya meringkuk
di dadanya. Hari itu juga, Darwisy merasa sudah me-
nemukan sandaran. Ia tak perlu lagi mencari dalih,
mengapa ia harus melakukan peroebahan.

Setelah pria itu pamit dan undur dari hadapan-
nya, Darwisy baru menyadari tikaman terik yang
membakar kepala, peluhnya bersimbah. Ia bergegas
pergi, hatinya berenda-renda.

<> 128 <>

Yazid R. Passandre

Penggalan 13

Ahmad Dahlan

Darwisy baru saja selesai menunaikan
ibadah haji. Tak kalah penting, amanah
ayahnya berikutnya sudah menanti:
mendalami Islam. Tanpa membuang waktu, Darwisy
bergegas mencari guru-gurunya untuk mengunduh
pengajaran demi pengajaran, didikan demi didikan.
Bagi jamaah haji dari Nagari Mataram dan wilayah
Nusantara, berhaji dan menuntut ilmu di Mekkah
seumpama panah dan busur. Itulah mengapa
kolonial sangat khawatir, sebab tak sedikit kaum haji
yang pulang ke kampung halaman senantiasa
membawa semangat patriotisme berapi-api, seolah
nyala api minyak zaitun yang tak mudah padam.
Menyebarkan Islam seraya menolak penindasan.
Bahkan, konon, Perang Padri yang dipelopori Imam
Bonjol di Minangkabau disulut semangat sang
pemimpin itu sepulang dari Tanah Suci.
Lihatlah Darwisy di hari itu, ia makin tekun

<> 129 <>

Tonggak Sang Pencerah

menyemai ilmu agama dalam pembinaan ulama-
ulama yang berasal dari Nagari yang bermukim di
Mekkah, seperti Kyai Makhfudz, Kyai Nakhrawi
Muhtaram dari Banyumas, Kyai Muhammad Nawawi
dari Banten. Ia juga rajin berziarah ke matsir-matsir
yang dipandang penting, seperti tempat kelahiran
Kanjeng Nabi serta keluarganya, Jabal Qubaisy, Jabal
Noor dan Jabal Tsur. Dari tempat-tempat bersejarah
itu, ia mereguk tak sedikit hikmah, bahwa Mekkah
adalah bagian dari bumi yang sengaja Allah sediakan
untuk menyemai kedamaian. Dari poros bumi ini,
Islam ditebar ke seluruh jagat raya untuk menyela-
matkan umat manusia dari lembah kegelapan.

Di Mekkah kala itu, sedang gencar-gencarnya
gerakan pembaharuan ajaran Islam untuk melu-
ruskan penyimpangan. Sebab sudah sekian lama
kehidupan kaum muslimin mengalami kejumudan
akibat percampurbauran tradisi dan Islam.
Jamaluddin Al-Afghani dan santri-santrinya sengaja
berdiri di garda paling depan untuk menyerukan
perbersihan iman dan amal. Pendidikan diarahkan
agar bisa meningkatkan kesadaran beragama yang
hanya bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah.

Umat Islam tak ubah seperti bayi yang baru turun
dari buaian, menyongsong kebangkitan. Bahkan
pemangku tahta Mekkah Al-Mukarramah sudah

<> 130 <>

Yazid R. Passandre

menutup salah satu tempat ritual di Jeddah, yang
diyakini sebagai sumber berkah selain Allah lantaran
di tempat itu Siti Hawa dimakamkan. Konon, Jeddah
artinya nenek. Maksudnya tak lain, Siti Hawa.

Tak hanya mendalami ilmu agama, Darwisy juga
rajin menghafal bait-bait syair yang mewakili suara
hatinya. Dan, melantunkan kalimat-kalimat itu
dalam suara yang syahdu. Darah seni mengalir dalam
jiwanya seiring debur semangatnya untuk
melakukan peroebahan. Malam itu, dalam temaram
lampu ditingkah hembusan angin padang pasir yang
menyentuh jiwa-jiwa resah, Darwisy bersenandung
lirih untuk menghibur diri seiring irama malam yang
kian menyepi.

Wanahju sabili, waidhun limanihtada, walakinnal
ahwaa ‘ammat faa’mat. Agamaku sudah terang ben-
derang bagi orang-orang yang mendapat petunjuk,
tetapi hawa nafsu masih merajalela di mana-mana,
dan menyebabkan akal manusia menjadi buta. Demi-
kian artinya, Darwisy mengulang-ulang senandung syair
itu, hingga rasa kantuk datang membuai, lalu
memejamkan matanya.

***
Hasrat peroebahan di dada Darwisy terus me-
numbuh bagai pohon yang makin lama kian banyak
bertunas, tumbuh ranting di dahan-dahan yang

<> 131 <>

Tonggak Sang Pencerah

kokoh, atau mengalir jernih seperti arus air kali kecil
yang beriak bening menuju sungai luas menghilir
ke muara. Ia telah menemukan tempat yang selama
ini ia harapkan, tempat untuk meluapkan segala
unek-uneknya. Keesokan hari, tak lama setelah
makan sahur dan salat subuh, Darwisy bergegas
menuju ke Masjidil Haram. Pagi itu, Darwisy dan
kawan-kawannya sudah bersepakat untuk berdis-
kusi beberapa perkara menyangkut Islam di bumi
Nagari, seperti kebiasaan kebanyakan orang berdis-
kusi di pelataran Masjidil Haram selama bulan
Ramadan.

“Tradisi itu alat dakwah, karena sebelum Islam
masuk ke bumi kita, ada banyak keyakinan dan
paham animisme yang dianut di sana,” kata seorang
kawan Darwisy mengemukakan argumennya.

“Sehingga, lama-lama tradisi itu pasti hilang
dengan sendirinya.”

Darwisy tersenyum. Ia menyambut pendapat
kawannya dengan dada terbuka dan muka yang
murah. Sikap santun dan keramahannya setiap ia
bertutur demikian tampak.

“Bisakah debu yang menempel dan mengotori
baju hilang sendiri? Kalau tidak segera dibilas, apa
debu-debut itu nanti tidak malah membatu?”

Semua mata tertuju kepada Darwisy.

<> 132 <>

Yazid R. Passandre

“Kalau sudah membatu, kita juga yang susah. Kita
yang dapat cela, karena bukan orang lain yang mau
mengenakan baju itu.”

Kawan-kawan Darwisy serta-merta mengangguk
paham, dan membenarkan ungkapannya. Tak ada
lagi suara yang menyangkal perumpamaan seder-
hana namun cerdas yang baru saja ia kemukakan itu.

Menjelang buka puasa, Darwisy dan kawan-
kawannya mengajukan hasil diskusi pagi tadi kepada
guru mereka. Sudah menjadi kebiasaan mereka, saat
berbeda pendapat dalam diskusi, mereka menga-
jukan perbedaan itu kepada sang guru.

“Darwisy benar, semua orang pasti suka melihat
pakaian yang bersih, cerah cemerlang,” tegas sang
guru, Imam Syafi’i Sayyid Bakri Syata.

Sang guru sengaja membenarkan pendapat
Darwisy karena sesuai dengan akal sehat. Apalagi
Sayyid, begitu semua santri memanggil sang guru,
tak suka Islam menjadi keruh lantaran bercampur
baur dengan warisan budaya manusia, tanpa
pemilahan yang jelas.

“Jika Allah tidak segera mengutus Rasulullah
Muhammad Sallallahu’alaihiwasallam di bumi
Mekkah ini, maka bangsa Arab pasti sampai sekarang
masih menyembah berhala. Bahkan menyembah
Tuhan dari roti yang mereka buat sendiri. Tahukah

<> 133 <>

Tonggak Sang Pencerah
kalian riwayat Khalifah Umar sebelum beliau masuk
Islam? Beliau sering membuat Tuhan dari roti.
Setelah selesai disembah, roti itu beliau makan.”

“Masa sih, Tuhan dimakan... “, gumam seorang
santri di samping Darwisy.

Di hari terakhir Darwisy menimba ilmu di pondok
Imam Syafi’i Sayyid Bakri Syata, ia tak hanya
mendapat ijazah, tetapi juga dianugerahi sang
Sayyid sebuah nama: Haji Ahmad Dahlan. Agar kelak
ia menjadi seperti Sayyid Ahmad Zaini Dahlan,
seorang ulama besar Syeikhul Islam dan Mufti
Haramain yang belum lama wafat, saat itu.

<> 134 <>

Yazid R. Passandre

Penggalan 14

Pulang Kampung

Darwisy meninggalkan Mekkah, dan
kembali ke kampung halamannya. Ia tak
hanya membawa gelar haji dan nama
ganti, namun juga ilmu yang mencerahkan akal budi.
Ia sampai di Station Spoor Tugu disambut luapan
kegembiraan ayahanda dan sanak kerabat. Pulang
ke rumahnya dikawal ratusan pengantar dan
puluhan penunggang kuda. Ia sendiri duduk bersama
ayahandanya di dalam sebuah kereta. Sepanjang
perjalanan, ia lebih banyak menuturkan tentang
perubahan keadaan di Mekkah, di mana banyak
tradisi agama tanpa dasar Al-Qur’an dan Sunnah yang
sudah ditinggalkan. Tak lupa ia sampaikan, selain
ijasah, ia juga mendapat amanah sebuah nama dari
gurunya.
“Sudah banyak sekali peroebahan di Mekkah,
Jamaluddi Al-Afghani dan santri-santrinya sedang
gencar memurnikan ajaran agama, mereka menolak

<> 135 <>

Tonggak Sang Pencerah

tradisi yang tidak sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an
dan teladan Rasulullah.”

Mendengar ungkapan itu, Kiai Abu Bakar hanya
manggut-manggut, berusaha mendengarkan dan
memahami kehendak putranya yang saat itu sudah
tak dapat dipandang remeh karena sudah pulang
dari Tanah Suci, menyandang gelar haji dan tentu
tak sedikit ilmu yang ia bawa pulang. Meskipun Kiai
Abu Bakar tak sekaligus menerima maksud
ungkapan itu, ia membalas ucapan-ucapan putranya
dengan jawaban kalimat yang arif.

“Tradisi di Kauman belum tentu bisa disesuaikan
dengan keadaan di Mekkah sekarang ini, karena
semua hal yang dilakukan harus mendapat restu dari
Ngarsa Dalem sebagai kalifatullah.”

“Tapi, Pak, pada akhirnya yang benar harus
dikatakan benar.”

“Bapak ndak melarang kamu mengajarkan hal-
hal baru menurut pengetahuan agamamu. Bapak
hanya menganjurkan agar kamu berhati-hati dalam
mengajarkan pandangan-pandanganmu itu. Jangan
sampai Ngarsa Dalem dan Kiai Penghulu merasa
ndak dihormati.”

Kereta merapat di depan rumah Kiai Abu Bakar,
dan orang-orang yang hadir langsung merangsek ke
kendaraan berkuda itu seraya saling berebut untuk

<> 136 <>

Yazid R. Passandre

dapat bersalaman dengan Darwisy lebih dulu. Wajah-
wajah mereka sumringah, tak terkecuali, tentu saja,
Walidah. Dialah perempuan yang pertama mencium
kening suaminya saat tiba di rumah. Dan, menyerah-
gendongkan ke pangkuan suaminya seorang bocah
perempuan yang jelita. Darwisy memberi putrinya
itu nama yang anggun: Johanah.

Namun, begitu melihat ketiadaan sosok ibundanya,
Darwisy serta-merta gusar. Ia menoleh ke ayahan-
danya, dan bertanya dengan kening heran.

“Di mana, Ibu?”
“Ibumu sakit, mungkin karena terlalu lama me-
nunggumu. Setiap hari, ibumu selalu memikir-
kanmu.”
Tak membuang waktu, Darwisy langsung berbalik
arah. Ia menemui sang ibunda yang sedang tergolek
lemah di pembaringan. Ia mencium kedua tangan
lembut itu lekat-lekat, seolah tak ingin lagi jauh
terpisah. Sang ibunda tampak demikian lemah. Ia
hanya mampu menyapa kepulangan anaknya
dengan bahasa senyum, dan tatapan mata yang
bicara penuh makna. Darwisy menganjurkan
ibundanya banyak istirahat, tak perlu merisaukan
Darwisy lagi karena kini putranya telah hadir kembali
di sisinya. Ayahandanya datang menyusul, duduk di
sebelahnya.

<> 137 <>

Tonggak Sang Pencerah

“Jadi namamu sekarang sudah ganti, Le?”
Darwisy mengangguk takzim. “Kalau Bapak dan
Ibu berkenan, saya akan menggunakan nama itu
selamanya.”
“Ibarat kepompong yang telah berubah jadi
kupu-kupu, nama Ahmad Dahlan adalah hasil
pengembaraanmu di Mekkah. Insya Allah berkah.”
Kiai Abu Bakar mengumumkan perubahan nama
anaknya kepada khalayak. Tersebarlah nama itu ke
seluruh Kauman. Sejak hari itu, semua orang terbiasa
memanggil Darwisy Haji Ahmad Dahlan. Seiring
perubahan namanya, Darwisy mulai membetik niat
di hatinya untuk memulai peroebahan, hasratnya
yang sekian lama ia pendam. Ia pun menyusun
rencana dan mencari cara secara diam-diam untuk
memulai menggerakkan peroebahan itu.
Dari mana harus memulai... melalui cara apa...
bersama siapa...
Haji Ahmad Dahlan mendapat kesempatan
mengajar ngaji di Serambi Masjid Gedhe setiap pagi
dan sore selaku takmir muda, calon pengganti
kedudukan ayahandanya. Sudah lazim, kedudukan
seperti itu disandangkan oleh Keraton secara turun-
temurun. Maka, Haji Ahmad Dahlan melihat
kegiatan mengajar di serambi masjid yang mulai ia
geluti sebagai peluang, di mana ia bisa memulai

<> 138 <>

Yazid R. Passandre

suatu gerakan. Menularkan nilai-nilai baru kepada
setiap orang secara perlahan-lahan. Tak cukup di
Serambi Masjid Gedhe, Haji Ahmad Dahlan juga
meneruskan kegiatannya mengajar dan mengaji di
surau ayahandanya. Sang ayahanda sudah tampak
makin uzur. Dan, tak lagi segagah dulu dalam
beraktivitas.

“Kalian harus bisa membaca Al-Qur’an secara
baik, dan wajib mengetahui artinya sedikit demi
sedikit. Karena Al-Qur’an adalah pedoman hidup
beragama seorang muslim, selain sunnah Rasulullah
Muhammad Sallallahu’alaihiwassallam. Selain Al-
Qur’an dan Sunnah, tidak ada pedoman lain.”

“Kata bapakku, tradisi juga pedoman agama.
Betul ya, Kiai?”

“Betul, tradisi itu bisa juga dijadikan pedoman,
tapi bukan pedoman hidup beragama. Tradisi itu
hanya kebiasaan nenek moyang kita saja. Tidak ada
hubungannya dengan agama.”

“Tapi, kata bapakku, kalau tidak ikut tradisi kita
bisa kuwalat. Dimurkai Allah.”

“Mosok, Gusti Allah murka lantaran kalian tidak
punya uang buat beli apem dan ketan.”

Serentak, santri-santri tertawa kecil.
“Allah akan murka kalau hamba-hamba-Nya malas
mengerjakan salat dan puasa. Jadi segala perintah

<> 139 <>

Tonggak Sang Pencerah
Allah yang wajib di dalam Al-Qur’an seperti salat dan
puasa mau tidak mau harus dilaksanakan. Itu semua
demi kebaikan kita. Karena salat dan puasa menolong
kita dari godaan-godaan setan.”

Santri-santri mengangguk paham. Mereka mulai
terbiasa menambahkan sendiri sapaan Kiai di depan
nama guru baru mereka. Seperti kebiasaan di Kauman,
saat seseorang sudah datang dari Tanah Suci dan
mengajar ngaji,maka tak hanya berlaku sebatas sapaan
haji namun juga ia pantas dijuluk kiai. Sejak saat itulah
Kiai Dahlan menjadi sapaan baru Darwisy oleh semua
kalangan. Dan, istrinya pun ketiban tambahan nama:
Nyai, atau Nyai Walidah.

“Mereka senang hati menerima perubahan
namaku. Tapi, adakah mereka juga siap terhadap
peroebahan tradisi beragama? Bahwa yang benar
harus dikatakan benar, dan yang salah harus
ditinggalkan?”

<> 140 <>

Yazid R. Passandre

Penggalan 15

Kompas dan Maskara

Di pagi yang teduh, daun-daun waringin
di halaman Keraton seperti rambut gadis
yang baru dikeramas, berderai-derai
dibasahi embun. Masjid Gedhe masih seperti
sediakala, halamannya hijau ditumbuhi rumputan.
Kiai Haji Ahmad Dahlan terlihat menekuni buku yang
ia bawa dari Mekkah. Sebuah buku yang mengge-
lorakan semangat perubahan karya sang mujaddid,
Jamaluddin Al-Afghani. Ia terus membaca, sambil
sesekali mengawasi tingkah Johanah yang mulai
menginjak ke bulan kelima, lincah memainkan
kompas di tangannya. Kompas buatan Inggris
bawaan sang ayahanda dari Mekkah.
Sekonyong-konyong Nyai Walidah muncul dari
balik pintu ruang tamu, menemani Johanah
bermain. Tapi, dari caranya menggoda, ia sengaja
menahan pandangan suaminya saat kedua wajah
mereka bertemu. Kiai Dahlan tersenyum bangga,

<> 141 <>

Tonggak Sang Pencerah

senyum itu makin mengembang seperti laut pasang
di bibir pantai, melihat kelopak mata istrinya yang
berbeda. Pasalnya, memang penampilannya tak
biasa. Bulu mata Nyai Walidah telah berhiaskan
maskara, oleh-oleh yang sengaja suaminya bawa
dari Mekkah.

Seperti hendak memulai sebuah perubahan
besar, Kiai Dahlan lalu memberikan wejangan
nasihat kepada istrinya.

“Sudah jelas banyak tradisi beragama yang salah
kaprah di sekitar kita. Hanya orang-orang belum
menyadari hal itu. Di Mekkah, sesaji sedang dipe-
rangi. Tentu, kita juga tidak boleh tinggal diam.”

“Tapi, harus hati-hati, Kangmas. Jangan sampai
para tetua kita merasa tidak dihormati.”

“Perasaan itu kadang menipu, Nyai. Bukankah
Rasulullah jauh-jauh hari sudah berpesan, “Katakan
kebenaran walaupun pahit...”

Kyai Dahlan tertegun di kursi, ia masih merenungi
isi buku Jamaluddin Al-Afghani di tangannya. Nyai
Walidah merangkul Johanah, dan membawa bayi
mungil itu ke pangkuannya, lalu duduk di samping
suaminya. Si bocah yang jelita hanya tertawa-tawa
kecil memainkan kompas. Belum satu kata yang
kembali terucap Kiai Dahlan, Nyai Walidah sudah
tak sabar ingin mendengar lebih banyak lagi

<> 142 <>

Yazid R. Passandre

wejangan nasihat tentang pentingnya perubahan
dari mulut yang sejak kecil dikenal jujur itu. Diam-
diam ia membaca aura yang memancar dari wajah
suaminya, benih-benih kecerahan yang senantiasa
memercik. Kiai mengangkat wajahnya.

“Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana
kuatnya perasaan Rasulullah saat berhadapan
dengan keluarga dan sanak kerabatnya, lebih-lebih
para pembesar Quraisy waktu itu.”

“Waktu itu beliau sedang apa, Kangmas?”
“Beliau sedang menyampaikan kabar besar,
perubahan di langit dan di bumi. Islam sudah datang
sebagai agama yang akan mengakhiri tradisi yang
gelap. Dan, beliau menyatakan kerasulannya.”
Bulu kuduk Nyai Walidah merinding, suara
suaminya terasa lain. Benar-benar sudah berbeda,
ucapan-ucapan suaminya kini lebih menggentarkan
kalbunya. Ia paham apa yang sedang menjadi mak-
sud ungkapan itu, seolah ia pun sudah mendengar
gelegar hasrat di dada suaminya.
“Bahkan Muhammad digoda dengan cara mereka
janjikan suatu kedudukan sebagai pembesar semua
suku, asalkan urung niat menyebarkan Islam. Kese-
jahteraannya akan dijamin, asalkan Muhammad mau
membiarkan tradisi menyembah berhala berjalan
sebagaimana apa adanya. Paman dan kakeknya juga

<> 143 <>

Tonggak Sang Pencerah

memohon kepada Muhammad.”
Tak mampu menahan haru, airmata Nyai Walidah

jatuh setitik menerpa helai-helai halus rambut
Johanah yang duduk di pangkuannya. Tanpa ia
rasakan, wajahnya sudah basah.

“Dengan wajah yang lurus, beliau berkata: andai
kalian letakkan matahari di tangan kananku. Bulan
di tangan kiriku...”

“Saya paham, Kangmas,” potong Nyai Walidah.
“Suarakanlah kebenaran itu. Semoga Kangmas
selalu dilindungi Gusti Allah.”

Sejak hari itu, Nyai Walidah perlahan-lahan me-
mulai perubahan dalam perilakunya dalam bera-
gama. Diam-diam ia mengikuti jejak suara hati
suaminya. Tak jarang ia sembunyi di rumahnya, dan
pura-pura tak tahu-menahu saat ibundanya meng-
ajak untuk ikut ke acara-acara tradisi. Ia menghindar
lantaran ingin memegang teguh nasihat suami,
namun juga tak ingin melukai perasaan orangtua.
Bahkan, pagi itu, Nyai Walidah kembali sembunyi
sebab ingin menghidar dari ajakan ibunya nyadran
ke kuburan kakeknya.

Nyadran biasa mereka lakukan pada bulan
Ruwah, atau di bulan Sya’ban. Ruwah berarti arwah.
Maka, setiap memasuki bulan Ruwah, semua orang
sudah terbiasa menggelar peringatan dengan cara

<> 144 <>

Yazid R. Passandre

melakukan ziarah kubur dan bersih-bersih makam.
Bahkan, konon, seperti paham mudhunan dan
munggahan itu, bulan Ruwah adalah saat turunnya
arwah para leluhur untuk mengunjungi anak cucunya
di dunia. Nyadran biasanya akan diawali dengan
membuat kue apem dan kolak ketan. Adonan tiga
jenis penganan itu akan dimasukkan ke dalam takir:
tempat makanan yang terbuat dari daun pisang, di
kanan-kirinya ditusuk lidi. Makanan itu dibawa ke
pemakaman dalam sejumlah jodang atau tandu. Di
tempat pemakaman orang yang sedang nyadran
akan menggelar kenduri dan doa bersama bagi
kerabat mereka yang telah meninggal dunia.

Namun di hari itu, rumah Nyai Walidah sepi.
Hanya pintunya masih terbuka lebar-lebar. Nyai
Fadlil menaruh curiga, bahwa anaknya pasti masih
berada di dalam rumah. Meskipun sudah berulang-
ulang mengucapkan salam, ia tak kunjung mendapat
sahutan. Ia lalu masuk begitu saja seperti ke
rumahnya sendiri, dan langsung mencari anaknya
ke kamar. Kebetulan Kiai Dahlan sedang mengajar
ngaji di serambi Masjid Gedhe. Karena tak
menemukan siapa pun, Nyai Fadlil menggerutu.

“Moso yang punya rumah keluar, pintu rumah
kok dibiarkan terbuka lebar. Kalau ada maling,
bagaimana?”

<> 145 <>

Tonggak Sang Pencerah

Nyai Fadlil hendak melangkah keluar rumah, tiba-
tiba suara Johanah melengking dari kamar. Anehnya,
suara itu dengan sekejap terhenti seolah ada yang
membekapnya. Diliputi rasa curiga, Nyai Fadlil
masuk kembali ke dalam kamar dan menelisik
secara seksama. Namun keadaan sepi seperti
sediakala. Tanpa diduga Nyai Fadlil melihat air
meleleh dari bawah ranjang, bau pesing bayi.
Kecurigaannya tambah menjadi-jadi.

Dengan gerakan yang sangat hati-hati, persis
gerakan pemburu mengintai buruan. Perlahan-
lahan Nyai Fadlil duduk menjongkok, pandangan ia
arahkan sepenuhnya ke kolong ranjang. Ia tersentak,
jauh dari dugaannya, ternyata Nyai Walidah sedang
menyusui Johanah di kolong ranjang itu.

“Apa yang kamu lakukan di situ, Nduk?”
Nyai Walidah keluar dari kolong ranjang mem-
bawa Johanah, separuh pakaian dan selendang
gendong yang melekat di badannya basah. Dengan
tingkah kemalu-maluan, ia terpaksa mengutarakan
dengan jujur keengganannya.
“Maaf, Bu. Hari ini saya tidak bisa ikut. Biar saja
saya dan Bapaknya Johanah nyadran Simbah di lain
hari.”
“Ndak bisa di hari lain to Nduk, ini sudah akhir
bulan Ruwah. Ndak ada nyadran di lain bulan.”

<> 146 <>

Yazid R. Passandre

Nyai Walidah berusaha tersenyum. Namun
senyum itu terbaca sang ibunda kaku, tak sekaligus
dapat ia sembunyikan kesukarannya untuk me-
nyampaikan hal yang ia yakin orang yang ia cintai di
depannya itu bisa langsung mengerti. Bibirnya
tergetar menahan kata.

“Maksud saya...”
Alasan yang hendak Nyai Walidah kemukakan
seperti laju mobil mogok, terhenti di tengah jalan.
Tak kuasa ia tuntaskan. Ia sadar, ia harus berhati-
hati mengemukakan alasan. Bibirnya rapat kembali.
Ada rasa iba di Nyai Fadlil memandangi wajah
anaknya. Ia makin tak tega, melihat tingkah yang
serba salah itu. Johanah serta-merta melengkingkan
suara tangis, mungkin karena sudah terlalu lama
menahan gerah. Lebih-lebih bekas pipisnya yang
belum juga dibasuh.
“Terus terang saja, Insya Allah ibu bisa paham.
Apa masalahmu?”
Nyai Walidah masih dengan kepala menunduk
ke arah wajah Johanah, tangannya mengusap-usap
kening bayi mungil itu, berusaha meredam tangis.
Lalu Nyai Fadlil mengambil alih Johanah yang belum
berhenti menangis.
“Bapaknya Johanah tidak setuju saya ikut
nyandran.”

<> 147 <>

Tonggak Sang Pencerah

“Kenapa?”
Nyai Walidah terdiam. Ia tahu harus mengung-
kapkan alasannya dengan kalimat yang terpilih. Ia
tak ingin, ibundanya menyangka menantunya sudah
tak menghormati arwah leluhur.
“Bicaralah…”
“Katanya, ziarah kubur memang harus, sebagai
renungan orang yang masih hidup kepada kematian.
Tapi, ziarah tidak untuk memberi makan orang sudah
meninggal atau makan-makan di kuburan.
“Suamimu bilang begitu?” ucap Nyai Fadlil
Nadanya tinggi.
Nyai Walidah menganggukkan kepala, pelan.
Nyai Fadlil ganti tertegun, sorot matanya lekat ke
wajah anaknya. Ia lalu memalingkan perhatiannya
kepada Johanah sembari menggoyang-goyang pelan
untuk mendiamkan tangisnya.
“Saya tidak halangi ibu nyandran, tapi izinkan
saya ikut kehendak suami.”
Nyai Fadlil manggut-manggut, seakan mengerti
betul perasaan anaknya. Sementara Nyai Walidah
merunduk kembali seraya mengurung kelu di
tempat ia berdiri. Ia khawatir ibundanya pasti
tersinggung dan berang. Tapi seperti nasihat
suaminya, ia harus bisa belajar mengutarakan
kebenaran meskipun rasanya sepahit buah mahoni.

<> 148 <>


Click to View FlipBook Version