Yazid R. Passandre
lama, Dirjo datang dan duduk di barisan Kiai
Penghulu.
“Saya tidak akan menghukum kalian kalau me-
mang kalian yang berbuat, saya rasa Kiai Penghulu
juga demikian... “
“Bukan begitu, Kiai?”
Kiai Penghulu hanya mengangguk sekenanya.
Namun di raut mukanya, berhimpun rasa kesal yang
tak gampang ia sembunyikan. Amarahnya sudah siap
meledak andai bukan Kiai Khatib Amin yang di ia
hadapi.
“Apakah saya pernah mengajarkan kepada kalian
untuk berbuat nekat?” tukas Kiai Dahlan.
Suja dan Fakhruddin beku, tubuh mereka menge-
ras seperti es balok. Bibir mereka kaku, dan lidah
mereka mengelu. Hati siapa juga tak kan ngilu bila
dihadapkan kepada masalah seberat itu.
“Takmir masjid melaporkan kepada saya, ada
sekitar empat bayangan anak muda yang tampak
melakukan ini tadi malam.”
“Tapi di Kauman banyak sekali anak muda, Kiai.
Sebagian besar takmir di Masjid Besar juga anak
muda,” jawab K iai Dahlan dengan muka yang
menenteramkan.
“Kalau mereka, ndak mungkin melakukan
perbuatan selancang ini.”
<> 199 <>
Tonggak Sang Pencerah
“Baiklah...,” suara Kiai Dahlan melunak, tapi
berat. “Kalau memang pelakunya santri-santri saya,
saya sendiri yang akan menindak.”
Wajah Kiai Dahlan terlihat demikian pasrah saat
memandangi Suja dan Fakhruddin, terbersit rasa tak
tega, apalagi ia tak sedikit pun yakin kedua santrinya
itu yang lancang berbuat onar. Namun, ia harus
mengambil sikap, sebab ia tak ingin kedua santrinya
hanya menjadi santapan amarah Kiai Penghulu. Ia
berpikir sejenak, menimbang rasa, hukuman apa
yang sepantasnya ia berikan kepada Suja dan Fakh-
ruddin. Namun, sebelum benar-benar menjatuhkan
hukuman, Suja dan Fakhruddin juga harus ditanya
dan diberi kesempatan membela diri.
Sementara Suja sudah tak mampu lagi memba-
yangkan apa yang akan ia alami, maka ia tak segerak
pun mampu mengangkat kepalanya yang lemah
seolah akan jatuh terhuyung ke lantai masjid. Ter-
lebih Fakhruddin, ia membisu, tubuhnya getar-getar
ketakutan tak tertanggungkan. Situasi makin mene-
gang, belum satu pun orang yang terdengar angkat
bicara. Kiai Penghulu hanya mengarahkan tatapan
bengis kepada Suja dan Fakhruddin, sorot matanya
mulai tak sabar, mirip mata elang yang siap
menerkam.
Dirjo tampak mulai gelisah, sekali ia
<> 200 <>
Yazid R. Passandre
merundukkan wajahnya, tak tega melihat raut muka
Kiai Dahlan yang tulus. Lebih-lebih Suja dan
Fakhruddin, tingkah mereka seperti orang yang baru
saja tersiram air keras. Tiba-tiba Dirjo menyela.
“Saya yang melakukan perbuatan itu.”
Mata Kiai Penghulu terlonjak. “Kowe?!”
“Kok, laaan...cang, Joo!!”
<> 201 <>
Tonggak Sang Pencerah
Penggalan 23
Robohnya Langgar
Setelah insiden ’garis kapur di lantai Masjid
Gedhe’ itu, Kauman seolah sedang
memasuki fase baru: fase peroebahan.
Sebuah langgar tanpa kubah dan hanya berdinding
kayu, tiang-tiangnya goyah dirubung masa, jaraknya
tak lebih seperempat kilo meter dari Masjid Gedhe,
namun setiap hari diserbu jamaah. Mereka datang
berbondong-bondong ke langgar dengan kesadaran
sendiri untuk menunaikan shalat. Langgar itu nyaris
tanpa keistimewaan fisik, tak ada mustaka, apalagi
simbul daun kluwih dan gadha. Segala sesuatu yang
ada di dalamnya tampak apa adanya. Lantainya tak
berkarpet, tak terlihat pula sajadah yang biasa digelar
memanjang di masjid-masjid besar, empuk dan
kenyal. Yang istimewa mungkin hanya arah saf di
langgar itu, menghadap ke Barat Laut.
Langgar itu berarah kiblat yang benar-benar baru
bagi warga Kauman, langgar itu bukan malah
<> 202 <>
Yazid R. Passandre
ditinggalkan jamaah. Sebaliknya, jamaah langgar ini
kian hari justru bertambah banyak. Kiai Dahlan
seolah tak hirau akan risiko yang akan menimpa
dirinya, jika Kiai Penghulu menganggap arah kiblat
langgarnya adalah bentuk pembangkangan terhadap
kewibawaan Masjid Gedhe, dan itu berarti wujud
perlawanan terhadap Kiai Penghulu. Bahkan, hal itu
dapat dianggap sebagai ketidakpatuhan kepada
Ngarsa Dalem Sri Sultan sebagai kalifatullah
Panotogama.
Tak seperti hari-hari sebelumnya, Dirjo justru
lebih sering tampak di langgar ketimbang di masjid.
Ia seperti orang kecewa, karena belum sependapat
dengan pamannya sendiri tentang arah saf. Namun,
bukan berarti ia akan dibiarkan Kiai Penghulu
membangkangi pendapat pamannya itu. Benar,
setelah pengakuan diri telah berbuat yang lancang,
Dirjo dimaki-maki seharian.
“Kamu mau merusak agamamu?” bentak Kiai
Penghulu.
Sontak, Dirjo tersentak. Tak biasa pamannya
memuntahkan suara sekeras itu kepada dia. Dan,
matanya yang melotot tajam itu persis seperti mata
harimau yang sedang kelaparan. Namun Dirjo masih
berusaha membela diri dan coba mengungkapkan
suara hatinya. Ia berharap, pamannya akan
<> 203 <>
Tonggak Sang Pencerah
memaklumi pembelaan dirinya pada kali ini.
“Saya cuma menegakkan kebenaran dalam
agama, Pakde.”
Bukannya memaklumi, begitu mendengar
jawaban Dirjo, Kiai Penghulu amarahnya makin
tersulut. Wajahnya seperti daun kering yang terpercik
api dan menyala, merah padam berkobar-kobar.
“Ngerti opo kowe soal agama, hah?”
Kembali Dirjo menelan ludah. Kerongkongannya
menyempit. Ia merasa serba salah, tak tahu harus
bagaimana. Namun, ia tak ingin pasrah begitu saja
dan masih berusaha memahamkan pamannya sekali
lagi. Ia menghela nafas sejenak. Perlahan-lahan,
udara hangat ia hembuskan melaui hidungnya.
“Apa yang dikatakan Kiai Dahlan soal shaf itu
benar, Pakde.”
“Buktine opo?!”
Tak tahan sudah Kiai Penghulu menahan amarah-
nya, suaranya sampai membuat pantat Dirjo ter-
angkat. Ia menggelegar, dan meledakkan semua rasa
kesalnya. Ia menggebrak meja dan melotot tanpa
ampun.
“Dahlan kui sopo? Kanjeng Nabi? Gusti Allah...?
Dahlan iku orang biasa. Bisa salah!”
Nafasnya tersengal beberapa saat.
“Pakdemu iki seng diangkat Ngarsa Dalem, Jo.
<> 204 <>
Yazid R. Passandre
Bukan Dahlan. Aku sing tanggung jawab terhadap
ketertiban masjid. Ndak gampang orang biasa dadi
Penghulu, pengetahuan agamanya harus kuat. Apa
yang kamu lakukan itu sama saja meremehkan
jabatanku, ilmuku, pengetahuan agamaku.”
“Paham kowe?!”
Wajah Dirjo membeku, namun suka tak suka ia
harus mengangguk. Ia tak ingin mengalami hardikan
lebih keras lagi dari mulut pamannya yang makin
diliputi amarah.
Maka, hari itu, saat Bulan Suci sudah tiba, Dirjo
lebih lapang hati menyucikan diri dan beribadah di
langgar bersama Suja dan kawan-kawannya. Selama
Bulan Suci, Kiai Dahlan menggelar pengajian
Ramadan setiap hari. Ia jadikan Bulan Suci itu sebagai
momentum untuk lebih mencerahkan cakrawala
ajaran Islam.
“Mari kita buka surah Al-Maun. Surat ini mene-
kankan pentingnya menyantuni anak yatim dan fakir
miskin.”
Dirjo menyela “Maaf, Kiai. Sudah berkali-kali
pengajian kita membahas surat itu, padahal ada 114
surah di dalam Al-Qur’an.”
Kiai Dahlan tersenyum, “Sudah berapa anak
yatim dan fakir miskin yang kamu santuni, Jo?”
Dirjo merunduk kemalu-maluan.
<> 205 <>
Tonggak Sang Pencerah
“Buat apa mengaji banyak surat kalau hanya
untuk dihafal?”
Kiai Dahlan sedang menuangkan pikiran-
pikirannya pada otak bawang santri-santrinya,
seperti menuangkan air dari bejana ke mulut gelas
kosong, menekankan perlunya mengubah cara
pandang dalam melihat Islam. Dan, tak lagi separuh-
separuh: harus satu kata dan perbuatan. Islam
mengajarkan menyantuni anak yatim dan memberi
makan fakir miskin, maka ajaran itu harus diwujud-
kan apa adanya. Ia tak lagi basa-basi dalam mendidik
santri-santrinya, agar tumbuh kesadaran yang lebih
kokoh.
Kiai Penghulu mulai merasa kesepian, warga
semakin jarang shalat berjamaah di masjid. Memang
tak ada lagi lantai yang digaris kapur, namun ia
merasa sebagian jamaahnya hengkang. Beberapa
takmir muda juga jarang ia lihat menjadi makmum-
nya. Mereka ternyata mengikuti jejak Dirjo, shalat
dan lebih sering mendengarkan pengajian di
langgar. Tak terhalang kebahagiaan Nyai Walidah,
setiap hari ia sumringah. Ia melihat suaminya selalu
dikitari banyak orang yang tekun menimba ilmu-
ilmunya. Ia hanya bergumam lembut: Allah sudah
membuka jalan-Nya.
Di hari menjelang bedug buka puasa itu, saat Kiai
<> 206 <>
Yazid R. Passandre
Dahlan, Nyai Walidah dan santri-santrinya sedang
membagi-bagikan nasi bungkus untuk buka puasa
bersama anak-anak yatim dan fakir miskin di serambi
langgar, seorang takmir muda datang menyalami.
“Amanat dari Kiai Penghulu,” sambil mengulur-
kan tangan.
Kiai Dahlan menerima surat Kiai Penghulu dan
segera membaca pesannya. Wajahnya tenang.
“Sampaikan maaf saya kepada Kiai Penghulu,
saya tidak akan menutup langgar ini.”
“Kalau tidak ditutup, Kiai Penghulu akan mem-
bongkar paksa.”
Esok paginya, Kiai Dahlan tampak gundah. Ia sudah
mengendus kabar tak sedap dari santri-santrinya,
bahwa sejumlah orang sedang berkumpul di Masjid
Gedhe di bawah arahan Kiai Penghulu. Mereka
hendak menyerbu langgar. Maka, untuk menghindari
benturan yang lebih keras, Kiai Dahlan sengaja
mengajak Nyai Walidah dan Johanah jalan-jalan
keluar Kauman. Mereka pergi ke hamparan sawah-
sawah di pinggiran kota, dan menikmati udara yang
lebih nyaman di antara tanaman-tanaman perdu dan
ilalang. Ia berharap, hari itu tak kan terjadi apa-apa
terhadap langgarnya. Siti Walidah duduk disanding
suaminya sambil menggendong Johanah. Menyimak
wajah gelisah itu.
<> 207 <>
Tonggak Sang Pencerah
“Benarkah Kiai Penghulu akan membongkar
langgar, Kangmas?”
“Kiai Penghulu orang yang bijak, beliau pasti
lebih suka menempuh jalan damai. Islam itu agama
yang damai, Nyai.”
“Terus kenapa kita ke sini?”
“Kalau saya ngajar ngaji di langgar pada hari ini,
saya khawatir situasi akan menegang. Karena saya
sudah mendengar banyak orang yang berkumpul di
masjid besar membicarakan langgar kita. Tapi, kalau
kita di sini, situasinya kan lain. Lagi pula, sudah lama
kita tidak melakukan tadabbur alam. Keindahan
ciptaan Allah seperti ini kan juga perlu dibaca,
direnungkan.”
Nyai Walidah tersenyum seraya menimang-
nimang Johanah di pangkuannya. Mereka duduk di
gubuk beratap alang-alang di tengah hamparan hijau
batang-batang padi. Sekawanan burung emprit
hinggap di dekat mereka duduk, bertengger di atap
saung, sebelum kembali meningkahi cakrawala
dengan kepak sayap yang merdeka. Jauh di Kauman,
tampak awan-awan menggumpal hitam, pasti hujan
sudah tumpah di sana.
Sementara Kiai Penghulu sedang berdiri di
antara takmir masjid, tukang kayu dan batu tampak
pula berbaris di depannya.
<> 208 <>
Yazid R. Passandre
“Ini perintah langsung dari Ngarsa Dalem, kita
harus melindungi kewibawaan Masjid Gedhe.
Perintah ini harus kita laksanakan...
“Sabda Pandito Ratu!”
Orang-orang itu lalu berduyun-duyun menyerbu
langgar. Di tangan mereka benda-benda keras dan
tajam. Linggis, palu, dan cangkul tak ketinggalan.
Mereka melangkah sambil menyeru tahlil. Sampai
di langgar, mereka hanya menemukan Suja dan
Fakhruddin. Dengan gaya helder, seorang takmir
muda yang memanggul linggis di sebelah pundaknya
angkat bicara.
“Mana Kiai kafir itu?”
Mata Suja menyala, “Di sini tidak ada Kiai kafir.
Kalian semua yang kafir!”
Tanpa mengindahkan Suja, ia memerintahkan
orang-orang untuk mulai bekerja. Apa lagi jika bukan
merobohkan langgar. Suara tak beraturan akibat
benturan antara benda-benda keras dan dan
perkakas bangunan pun pecah. Dari jarak seratusan
meter, suara-suara itu masih bisa terdengar jelas.
Suja dan Fakhruddin tak dapat berbuat banyak.
Keduanya hanya membungkam. Namun tak sedikit
airmata mereka yang menetes, kecuali tatapan mata
yang nanar.
“Langgar kita roboh, Din.”
<> 209 <>
Tonggak Sang Pencerah
“Kejam sekali,” sahut Fakhruddin.
Pring reketek gunung gamping ambrolll, braakk...
huaaaaaaaaaa! seru orang-orang suruhan Kiai
Penghulu itu setelah melihat langgar yang luluh
lantak tinggal puing.
Perlahan-lahan hujan menyirami tanah, seolah
datang hanya untuk menyingkirkan debu-debu
puing langgar yang baru saja dirobohkan itu. Kereta
kuda melintas di antara derai hujan jauh mening-
galkan sawah-sawah. Di dalam kereta itu, Kiai
Dahlan dan Nyai Walidah duduk bersebelahan,
Johanah di pangkuannya memain-mainkan kompas.
Tak seberapa lama kereta merapat di Kauman. Kiai
Dahlan memandangi reruntuhan langgarnya dengan
mata dan mulut membisu. Ia merangah sendu. Ia
tak menyangka, kerasnya perbedaan sampai
menimbulkan kekerasan, bahkan merobohkan
tempat ibadah.
Ini sudah kelewatan.
Esok paginya, di hari yang masih gelap. Kiai
Dahlan berkemas. Di tengah kegusaran Nyai
Walidah memperhatikan gerak-gerik suaminya, ia
bertanya dalam suara yang teramat lembut. Mau ke
mana, Kangmas? Habis sahur kok berkemas-kemas?
“Di luar kan hujan...”
“Tidak ada alasan untuk tetap tinggal di sini.”
<> 210 <>
Yazid R. Passandre
“Saya bagaimana? Nanti sama siapa?”
“Kemasi barangmu, bawa Johanah. Kita pergi.”
Sontak, Nyai Walidah mengemasi barang-
barangnya. Keduanya begegas menunaikan shalat
subuh. Sebelum mentari menyembul dari timur,
keduanya sudah jauh berjalan kaki meninggalkan
kampung halaman, menerjang guyuran hujan di
keremangan pagi yang sepi.
Melihat rumah yang tampak sunyi itu, dan tak
seperti biasanya, Nyai Saleh mencoba masuk,
hatinya gundah. Saat ia mengetuk pintu, tak ada
sahutan sama-sekali. Tanpa berpikir dua kali, ia
menghambur pulang, memberitahu suaminya.
“Ini ndak seperti biasanya.”
“Kamu yakin adikmu pergi tidak pamit?”
Nyai Saleh mengangguk pasti.
Kiai Saleh bangkit, melangkah tergopoh-gopoh
menuju kereta kuda. Nyai Saleh berusaha mengejar
langkahnya.
“Ke mana, Kangmas?”
“Stasiun...”
Sampai di Statiun Spoor Tugu, Kiai Saleh langsung
menuju ke peron, dan celingak-celinguk cemas di
antara lalu-lalang penumpang orang Belanda dan
Jawa. Di sudut ruangan, ia menemukan Kiai Dahlan
dan Nyai Walidah duduk termangu, masing-masing
<> 211 <>
Tonggak Sang Pencerah
memaku diri, membisu. Di sebelah mereka terge-
letak koper. Mata mereka berkaca-kaca.
“Dahlan...”
Nyai Walidah berpaling ke arah sumber suara
yang memanggil suaminya, melihat Nyai Saleh
menghambur dari belakang suaminya dan memeluk-
nya lekat-lekat. Keduanya menangis sejadi-jadinya.
“Mau ke mana, Dik?” tanya Nyai Saleh.
Nyai Walidah hanya menggelengkan kepala dan
menyeka tangisnya. Kiai Saleh menghampiri adik
iparnya, duduk di sampingnya.
“Pulanglah... “
Kiai Dahlan masih membisu.
“Ayolah, pulang!”
Nyai Saleh menimpali ucapan suaminya, “Denger-
kan Masmu, Dik. Kamu masih dibutuhkan.” Suaranya
parau menahan isak tangis.
“Sudah tidak ada tempat untuk orang seperti
saya di Kauman!”
Kiai Saleh menghela nafas. “Siapa bilang?!
Keluargamu masih menghargai kamu. Santri-santri-
mu sangat membutuhkan kau.”
“Ingat amanah Ibu, Dik. Kamu seorang pemim-
pin,” ucap Nyai Saleh kembali menghiba. “Sekali ini
saja dengarkan permohonan kami. Ayolah, kita
pulang. Langgarmu bisa dibangun lagi, kami akan
<> 212 <>
Yazid R. Passandre
membangunkan langgar baru. Percayalah ...”
Kekerasan hati Kiai Dahlan perlahan-lahan me-
luluh. Seperti surut cahaya gerhana yang berangsur-
angsur terang benderang kembali, Kiai Dahlan
akhirnya menuruti ajakan kakaknya. Mereka pulang
ke Kauman. Hari itu juga, saudara-saudaranya ber-
kumpul di rumahnya. Kiai Saleh kemudian menge-
luarkan uang dari kantung kainnya. Saudara-saudara-
nya yang lain serentak berbuat serupa. Di atas meja
sudah terkumpul uang gulden dalam bentuk kertas
dan logam.
“Bangun lagi langgarmu dengan uang itu, Dimas.
Kami semua mendukung kamu,” ucap Kiai Saleh.
Airmata Nyai Walidah berlinang, ia tak lagi
mampu menahan haru. Suaminya hanya berseru
lirih.
“Subhanallah ... “
<> 213 <>
Tonggak Sang Pencerah
Penggalan 24
Langgar
Mungkin baik jika ada sebuah pil pahit
menyehatkan bernama: patah tum-
buh hilang berganti. Dan, pil itu
semata-mata untuk menyulut semangat, membuat
setiap orang tak mudah berputus asa. Dengan uang
hasil sumbangan saudara-saudaranya, Kiai Dahlan
telah membangun sebuah langgar baru. Seolah ia
sudah meminum pil pahit yang menyehatkan itu, dan
ketegarannya tak ranggas. Riak-riak semangat
menguncup di kelopak matanya yang teduh, menas-
bihkan gelora tekad berjuang yang tak kan pernah
lekang.
Kia Dahlan semakin mengerti terhadap kenya-
taan bahwa ada pihak-pihak yang merintangi, bahkan
menghadang, gerak langkahnya selama mengibar-
kan peroebahan. Namun, ia menegari diri bahwa
jalan pencerahan memang acap, bahkan selalu,
menghadapi pengalaman-pengalaman semacam itu.
<> 214 <>
Yazid R. Passandre
Dalam ukuran sedikit lebih besar, langgar itu pun
telah tegak berdiri, seolah siap menantang realitas
zaman. Dinding dan lantainya berbahan apa adanya,
kayu tanpa serutan dan semen tiris ala kadarnya.
Yang tampak benar-benar berbeda hanya selembar
papan yang menempel di dinding depan, bertu-
liskan: Langgar Ahmad Dahlan.
Hasrat peroebahan yang dipaksa padam itu
kembali menyala seperti olympia: api abadi. Suja
makin getol menyokong gerak langkah sang guru, agar
senantiasa tegar dan terus berbuat demi peroebahan.
Seperti sediakala, Kiai Dahlan memulai lagi kegiatan-
nya, mengimami shalat dan mengajarkan ilmu-
ilmunya. Lantaran pembawaannya yang selalu san-
tun, lembut dan simpatik, Kiai Dahlan mulai kembali
menuai simpati warga Kauman. Justru, antara lain,
karena Kiai Dahlan tak segera menyerah menghadapi
ancaman dan permusuhan orang-orang terpandang
di sekitarnya. Tak ada lagi rasa gundah di sanubari
Kiai Dahlan. Ia makin yakin meletakkan peroebahan
sebagai matahari penerang masa depan umat
manusia.
Maka ia tegaskan kepada santri-santrinya pesan
yang terang benderang: Mula-mula agama Islam itu
cemerlang, kemudian kelihatan makin suram.
Sesungguhnya yang suram itu manusianya, bukan
<> 215 <>
Tonggak Sang Pencerah
agamanya. Semua santri-santrinya takzim mene-
rima pengajarannya. Muka dan kepala mereka
menghayati tiap lirik pesan sang guru. Kiai Dahlan
lalu membacakan surah Al-Jatsiyah: Afaraaita manit-
takhada ilahahu hawahu: “Mengertikah kau tentang
orang yang mempertuhankan hawa nafsunya?”
Sejak saat itu Kiai Dahlan bergiat membersihkan
pikiran santri-santrinya dari pengaruh dongeng dan
takhayul. Ia mengakhiri tausiah-nya di langgar seperti
tatkala Baginda Rasul menutup pesannya sebelum
beliau beranjak dari Madinah untuk menaklukkan
Mekkah secara damai dan penuh cinta kasih:
“Janganlah sampai Islam menjadi mistik, jauh dari
nalar, dan dipandang rendah.”
***
Di hari itu, Kiai Dahlan baru saja kembali dari Mekkah
setelah berhaji untuk keduakalinya dan menambah
kekayaan ilmu agamanya. Maka ia tak ingin lagi
setengah-setengah mengajak santri-santrinya untuk
memeluk Islam tanpa campur baur tradisi. Ia juga
mengajak setiaporang yang sudimendengarkan petuah-
petuahnya agar membersihkan hati dan pikiran dari
kepercayaan agama yang tanpa dasar, serta mengajak
mereka untuk kembali kepadasumber Islamyang murni:
Al-Qur’an dan Sunnah.
Langit memancarkan kecerahan cahaya pagi tiada
<> 216 <>
Yazid R. Passandre
tara, tak terhalang segumpal awan pun. Nyai
Walidah tampak riang gembira mendandani Johanah
yang telah menginjak usia empat belas tahun, lalu
beralih merapikan pakaian surjan Muhammad Siraj,
adik Johanah yang baru berusia enam tahun namun
sudah menginjakkan kaki mungilnya di Tanah Suci.
Muhammad Siraj sengaja dibawa serta Kiai Dahlan
pergi berhaji, sebab ia berharap anak lelakinya itu,
kelak, bisa melihat jejak nabi-nabi di usia belianya,
mengunduh pelajaran dari garis perjuangan para
kekasih Allah. Sekali waktu, Kiai Dahlan menegaskan
sebuah anjuran kepada jamaah di langgarnya.
“Manusia itu kalau melakukan pekerjaan apa
pun, sekali, dua kali, berulang-ulang, maka kemu-
dian menjadi biasa. Kalau sudah menjadi kese-
nangan yang dicintai itu sukar untuk diroebah.
Sudah menjadi tabiat, bahwa kebanyakan manusia
membela adat kebiasaan yang telah diterima, baik
itu dari sudut keyakinan atau i’tikad, perasaan,
kehendak, maupun amal perbuatan. Kalau ada
yang akan meroebah, mereka harus sanggup
membela dengan mengorbankan jiwa raga... “
“Manusia tidak menuruti, tidak mempedulikan
sesuatu yang sudah terang benar bagi dirinya.
Artinya, dirinya sendiri, fikirannya sendiri, sudah
dapat mengatakan itu benar, tetapi tidak mau
<> 217 <>
Tonggak Sang Pencerah
menuruti kebenaran itu karena takut mendapat
kesukaran, takut berat dan bermacam-macam yang
dikhawatirkan, karena nafsu dan hatinya sudah
terlanjur rusak, berpenyakit akhlaq, hanyut dan
tertarik oleh kebiasaan buruk.”
Kali itu, Kiai Dahlan sedang duduk leseh di
beranda rumahnya. Ia hanya ditemani Suja, santri
yang paling getol mendukung perjuangannya.
Wajahnya terlihat bersih, memercikkan aura
kejujuran dan ketulusan, dan makin berbinar-binar
sejak pulang dari Mekkah. Cara bicaranya semakin
santun dan tingkah lakunya bersahaja. Namun
keyakinannya untuk melakukan peroebahan tidak
surut, bahkan makin kuat. Di depan beranda rumah-
nya itu, berdirilah bangunan langgar yang makin
ramai disinggahi jamaah. Kembali ia mengutarakan
nasihatnya.
“Lengah, kalau sampai telanjur terus-menerus
lengah, tentu akan sengsara di dunia dan akhirat.
Maka dari itu jangan sampai lengah, kita harus
berhati-hati. Sedangkan orang yang mencari
kemuliaan di dunia saja, kalau hanya seenaknya,
ndak bersungguh-sungguh, ndak akan berhasil,
apalagi mencari keselamatan dan kemuliaan di
akhirat. Kalau hanya seenaknya, sungguh ndak
akan berhasil.”
<> 218 <>
Yazid R. Passandre
Berkali-kali Suja manggut-manggut terkesima
mendengar nasihat gurunya. Namun tak ada angin
tak ada hujan, Kiai lalu mengalihkan pembicaraan.
“Adakah kamu mengetahui tentang seluk-beluk
perkumpulan Budi Utomo?”
Suja tak berkedip, sorot matanya lurus dan tajam
terarah ke wajah gurunya. Ia baru saja mendengar
pertanyaan yang tak lazim ditanyakan seorang Kiai.
Ia berfikir sejenak, apa sebenarnya yang Sang Guru
inginkan dari perkumpulan itu. Suja lalu menjawab
pertanyaan Kiai Dahlan dengan ungkapan yang
pendek dan polos.
“Hanya sekilas saja, Kiai.”
“Coba ceritakan, Ja.”
Suja memperbaiki letak duduknya. Kali ini ia
duduk tegak, seperti orang yang akan bersiap
menularkan tenaga dalam. “Seperti yang saya
ketahui, Budi Utomo adalah perkumpulan terpelajar
Jawa dari keluarga priayi.”
Kiai Dahlan tertegun sesaat. Berkali-kali ia
menghela nafas, menimbang dan berfikir. Ia masih
dihinggapi rasa ragu yang dalam, setelah mendengar
kalimat priayi. Ia heran, mengapa kaum pribumi
justru mendirikan sekolah, namun tak jauh berbeda
dengan maksud dan tujuan sekolah kaum kolonial:
membeda-bedakan status sosial. Ia mengelus-elus
<> 219 <>
Tonggak Sang Pencerah
rumbai-rumbai jenggotnya yang jatuh memanjang,
tak henti menimbang. Suja hanya bengong
memandang tingkah gurunya, menunggu apa yang
hedak sang guru titahkan. Tak sabar hanya berpangku
tangan, dan gurunya belum juga mengucap sepatah
kalimat, Suja kembali menyodorkan pertanyaan.
“Apa Kiai berniat gabung dengan perkumpulan
itu?”
“Saya tidak terpelajar, Ja. Bukan dari golongan
priayi. Saya hanya santri biasa seperti kamu.”
“Seperti yang saya dengar, mereka bukan priayi
kebanyakan, Kiai.”
Kiai Dahlan sontak sumringah. “Kamu bisa
mencari tahu lebih dalam soal perkumpulan itu?”
Suja mengangguk pasti.
Entah hendak akan pergi ke mana, Suja beringsut
cepat seperti atap rumah daun-daun kelapa kering
yang dihempas angin puyuh, dan bergegas undur
dari hadapan gurunya. Kiai Dahlan pun kembali
melanjutkan membaca kitab tafsir Al-Manar karya
sang mujaddid: Muhammad Rasyid Ridla. Sudah
menjadi niatnya, sejak ia berangkat ke Tanah Suci
untuk berhaji dan memperkaya pengetahuan
agama, ia ingin menimba lebih dalam buah
pemikiran para pembaharu seperti Jamaluddin Al-
Afghani, Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh, dan
<> 220 <>
Yazid R. Passandre
sang pengarang tafsir Al-Manar itu. Selama di
Mekkah, ia juga mengembangkan pergaulannya
dengan sesama perantau ilmu dari Nagari, sampai
ia berkawan baik dengan Syaikh Muhammad Khatib
dari Minangkabau, Kiai Nawawi dari Banten, Kiai Mas
Abdullah dari Surabaya dan Kiai Fakih
Maskumambang dari Gresik.
***
Sementara itu, di Keraton, Sri Sultan masih
menjamu tamu terhormatnya, duduk berhadapan
dengan Gubernur Jenderal Belanda. Sang Gubernur
tampak gusar saat memandang ke arah tangga
menuju Bangsal Kencana yang berjumlah banyak.
Tak lama memendam rasa, ia menyingkap rahasia
kegusarannya.
“Saya khawatir akan terjadi rust en orde di
wilayah vorstenlandeen, karena banyak berdiri
kelompok-kelompok radikal.”
“Budi Utomo?”
Gubernur Jenderal mengangguk.
“Mereka bukan perkumpulan politik. Mereka
hanya membuat sekolah. Apanya yang berbahaya?”
kata Sri Sultan.
“Sekolah tidak berbahaya, tapi menghasut murid-
murid di sekolah itulah yang berbahaya. Dan, hal itu
sudah banyak terbukti.”
<> 221 <>
Tonggak Sang Pencerah
“Saya percaya Budi Utomo bukan perkumpulan
politik, tidak ada hasut-menghasut dalam perkum-
pulan itu. Sekolah yang mereka bangun juga tidak
semegah sekolah yang bangsa Anda bangun, hanya
sekolah kecil-kecilan. Tidak perlu terlalu
dirisaukan.”
“Tapi yang kecil-kecil itu, jika tidak diawasai
secara saksama akan berkembang menjadi liar dan
berbahaya.”
“Saya bisa mengawasi, Meneer. Jadi tidak perlu
terlalu mengganggu pikiran Anda. Biarkan rakyat
saya mengurus sekolah kecil-kecil itu, dan belajar
dari bangsa Anda tentang pendidikan.”
Sang Meneer tersenyum lebar, selebar rasa cemas
yang masih menggerogoti pikirannya. Di lingkaran
tengah mata birunya jelas membersit rasa gundah.
Kolonial memang mulai merasakan hawa perla-
wanan yang berbeda, dan mereka makin gerah.
Namun, lihatlah Suja, ia terus berusaha mencari
tahu lebih dalam lagi tentang Budi Utomo seperti
amanat gurunya. Meskipun ia belum tahu apa yang
hendak sang guru lakukan setelah mengetahui seluk-
beluk perkumpulan kaum terpelajar dari STOVIA itu.
Sampai akhirnya ia bisa mempertemukan gurunya
dengan Mas Joyosumarto.
“Saya banyak mendengar tentang panjenengan,
<> 222 <>
Yazid R. Passandre
Kiai, yang mengajarkan Islam dengan cara yang
berbeda. Baru kali ini saya bisa bertemu langsung,
saya kagum terhadap pemikiran dan usaha keras
panjenengan,” tutur Mas Joyosumarto memuji.
Kiai Dahlan tersipu seperti anak belia yang baru
pertama kali menerima pujian. Bola matanya makin
segar bersinar, dan bibirnya mengulum senyum yang
menyejukkan. Namun, cahaya keikhlasan yang
terpancar dari lubuk hatinya tak membuat dia
banyak bertingkah. Ia hanya menjawab dengan
ungkapan lugu.
“Saya hanya berusaha melakukan peroebahan di
Kauman saja, Dimas.”
“Tapi apa yang panjenengan lakukan sekarang ini,
tidak hanya akan berpengaruh bagi Kauman. Maka
itu, saya harus pertemukan panjenengan dengan
teman-teman Budi Utomo.”
“Saya sangat senang jika dapat kesempatan untuk
bersilaturahmi.”
<> 223 <>
Tonggak Sang Pencerah
Penggalan 25
Lelaki Biola
T ak ada yang menyangka, jika diam-diam
Sri Sultan masih memegang teguh sema-
gat perlawanan kerabatnya yang wafat
dalam belenggu kolonial di pengasingan. Siapa lagi
kalau bukan Pangeran Diponegoro. Meskipun,
semangat itu tak sampai meledak-ledak seperti
dentum petasan. Pagi itu, Sri Sultan kembali mene-
rima kedatangan Gubernur Jenderal Belanda. Sang
Gubernur seperti belum puas setelah seharian
mendapat jamuan istimewa di Keraton kemarin.
Kali ini tema perbincangan mereka bukan tentang
Budi Utomo, namun tentang yang lain, soal hiruk-
pikuk perdagangan di pasar-pasar. Dari waktu ke
waktu, kolonial memang seperti gajah senewen
melihat kecerdikan kelinci-kelinci yang makin
cerdas bertingkah. “Perdagangan di pasar-pasar
tidak boleh dibiarkan tumbuh liar, mereka harus bisa
diatur. Saya khawatir orang-orang yang pulang dari
<> 224 <>
Yazid R. Passandre
Mekkah menghasut mereka untuk menentang
pemerintah.”
“Maksud Meneer, kaum haji yang menggerakkan
perdagangan di pasar-pasar itu?”
Sang Meneer mengangguk berat. “Mereka bukan
pedagang biasa, di Solo para pedagang batik Pasar
Laweyan mendirikan Sarekat Dagang Islam dengan
alasan hanya mau berdagang, tapi ternyata mereka
menghasut rakyat untuk menentang pemerintah.”
“Anda jangan terlalu berprasangka buruk,
Meneer.”
Muka sang Meneer kembali ditohok dengan
ucapan yang tak menyenangkan hatinya. Sontak,
bola matanya melonjak, seolah ia akan mati terkejut
saat itu juga. Beberapa saat kemudian, pria bule ini
mengumbar senyuman. Bukan sikap yang aneh bagi
pembesar Belanda, tersenyum tidak selalu meng-
gambarkan ekspresi suka. Sri Sultan sudah paham
akan hal itu. Maka ia juga tak berberat hati membalas
senyum, bahkan kembali menyuguhkan minuman
dari bermacam buah-buahan yang dapat menghi-
langkan rasa tegang.
“Seperti pedagang batik itu, mereka membuka
sekolah untuk orang-orang pribumi. Tapi mereka
racuni pikiran mereka untuk membenci Belanda.”
“Kalau setiap usaha berdagang dan mencerdaskan
<> 225 <>
Tonggak Sang Pencerah
rakyat saya dianggap racun,bagaimana rakyatsaya bisa
hormat kepada bangsa Anda?”
Sang Meneer pamit membawa muka tak tenang.
Dari atas kereta kencananya, ia pandangi gerbang
Keraton dengan sorot mata yang kecut. Ia menaruh
rasa kecewa kepada Sri Sultan yang masih berusaha
menutup-nutupi keadaan sebenarnya.
Sementara Pasar Bringharjo makin ramai, lalu-
lalang manusia mengisyaratkan geliat ekonomi yang
mulai subur seperti ketela rambat yang menumuh di
tanah gembur. Tak sedikit pengunjung di hari itu
datang menyerbu gerai-gerai pasar. Belanda makin
gusar melihat semangat berdagang kaum pribumi
yang tak mengenal lelah itu. Rakyat seolah ingin
bangkit di hari itu juga, berdiri di kaki sendiri. Kiai
Dahlan tampak sedang memilih-milih buku di sebuah
gerai pasar itu. Tanpa sengaja, ia mendengar alunan
nada sebuah biola. Makin jelas terdengar, ia makin
terpikat. Segera ia berpaling dari buku-buku di
hadapannya, mengalih sorot pandangnya ke
tumpukan barang bekas di sebelah gerai buku itu,
tempat di mana seorang lelaki tengah memainkan
biola. Suaranya syahdu mendayu-dayu. Kelembutan
suara yang dihasilkan dari gesekan pada dawai-dawai
itu membawa efek syahdu.
Melihat Kiai Dahlan tengah mendekat, lelaki itu
<> 226 <>
Yazid R. Passandre
serta-merta menyudahi gesekan pada biola itu,
bibirnya kelu.
“Maafkan kalau saya mengganggu, Kiai.”
“Tidak sama sekali. Saya justru kagum terhadap
kepintaran Sampean.”
“Sekali lagi maaf, Kiai. Saya dengar Islam
mengharamkan orang main musik. Dianggap kafir...”
Kiai Dahlan tersenyum ramah, menggeleng-
gelengkan kepalanya, halus dan hormat. “Yang
haram itu main musik sambil minum arak dan ber-
foya-foya, berjoget sambil bermabuk-mabukan...
“Lagu apa itu, rasanya saya pernah dengar?”
“Iir-ilir, Kiai, gubahan Sunan Kalijaga.”
“Ah, ya! Saya ingat. Saya jarang sekali mende-
ngarkan lagu.”
“Kiai berkenan saya memainkan lagi lagu itu?”
“Tentu, saya juga ingin belajar.”
Kiai Dahlan lalu duduk di sebelah lelaki itu untuk
mendengarkan senandung ilir-ilir. Sejak saat itu Kiai
Dahlan belajar memainkan biola dan bernyanyi. Tak
jarang, di rumahnya suara Kiai terdengar seorang
diri melantunkan senandung ilir-ilir. Saking sering
mendengar suaminya memainkan biola dan
bernyanyi, Nyai Walidah lama-lama juga terpikat dan
suka mendengarkan diam-diam dari balik kamarnya.
Karena makin terpikat, ia akhirnya mendekati
<> 227 <>
Tonggak Sang Pencerah
suaminya yang sedang khusuk berdendang.
Lir ilir...., lir ilir....., tandure wus sumilir
Tak ijo royo royo, tak sengguh temanten anyar
Cah angon, cah angon..., penekna blimbing kuwi
Lunyu lunyu penekna, kanggo basuh dodot ira
Dodot ira, dodot ira, kumitir bedah ing pinggir
Dondomana, jlumatana, kanggo seba mengko
sore
Mumpung gedhe rembulane, mumpung jembar
kalangane
Ya suraka, surak hiya......!
Nyai Walidah tersenyum lebar, lalu duduk di
dekat suaminya. “Apa yang membuat Kangmas
menyukai biola dan lagu ilir-ilir itu?”
“Biola ini juga bisa menjadi alat dakwah, Nyai.
Dan, lagu ilir-ilir itu demikian dalam maknanya.”
Kiai Dahlan kemudian menjelaskan makna lagu
ilir-ilir kepada Nyai Walidah seumpama ia sedang
menyampaikan sebuah ceramah:
Lir-ilir, ilir-ilir, tandure wus sumilir. Bangunlah,
bangunlah, tanamannya sudah bersemi. Maknanya
mengingatkan kita agar bangkit dan bergerak. Tidak
boleh lagi bermalas-malasan. Harus bergegas
menyongsong peroebahan.
Tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar.
Bagaikan warna hijau yang menyejukkan, bagaikan
<> 228 <>
Yazid R. Passandre
sepasang pengantin baru. Makna warna hijau adalah
kejayaan Islam, dan Islam saumpama pengantin
baru, pasti memikat hati yang melihatnya, dapat
pula membawa kebahagiaan orang di sekitarnya.
Cah angon, cah angon, penekna blimbing kuwi.
Anak gembala, anak gembala, tolong panjatkan
pohon belimbing itu. Makna anak gembala adalah
para pemimpin. Dan, belimbing adalah buah bersegi
lima yang merupakan simbol dari lima rukun Islam
sekaligus sholat lima waktu. Jadi para pemimpin
diperintahkan agar memberi contoh kepada rakyat-
nya dalam menjalankan ajaran Islam yang benar.
Lunyu-lunyu penekna kanggo mbasuh dodot sira.
Biarpun licin, tetaplah memanjatnya, untuk mencuci
kain dodotmu. Makna dodot adalah kain kebesaran
yang biasa digunakan pada upacara atau perayaan
penting. Sedangkan buah belimbing menunjuk pada
manfaatnya yang sering digunakan sebagai pencuci
kain, terutama untuk merawat kain batik supaya
tetap awet. Jadi maknanya adalah pembersih. Maka
Islam harus dirawat bersih dengan menjalankan lima
rukun Islam dan sholat lima waktu walaupun banyak
rintangannya.
Dodot sira, dodot sira kumitir bedah ing pingggir.
Kain dodotmu, kain dodotmu, telah rusak dan robek.
Maknanya mengisyaratkan kemerosotan moral
<> 229 <>
Tonggak Sang Pencerah
karena banyak orang meninggalkan ajaran agama
sehingga kehidupan mereka tak ubah pakaian yang
rusak dan robek.
Dondomana, jlumatana, kanggo seba mengko
sore. Jahitlah, tisiklah untuk menghadap gustimu
nanti sore. Makna seba adalah menghadap orang
yang berkuasa, seperti tempat paseban menghadap
raja itu. Tak lain agar kita memperbaiki kehidupan
beragama yang telah rusak tadi dengan cara
menjalankan ajaran Islam yang benar sebagai bekal
menghadap Allah Yang Maha Kuasa.
Mumpung gedhe rembulane, mumpung jembar
kalangane. Selagi rembulan masih purnama, selagi
tempat masih lapang. Maknanya selagi masih ba-
nyak waktu, selagi masih lapang kesempatan, per-
baikilah kehidupan beragamamu.
Ya suraka, surak hiya. Ya, bersoraklah, berteriak-
lah iya. Maknanya bila kelak datang panggilan Allah
Yang Maha Kuasa, mereka yang menjaga kehidupan
beragamanya selama hidup di dunia akan mampu
menjawab setiap pertanyaan dengan riang gembira.
Insya Allah masuk surga.
Mendengar penjelasan suaminya, Nyai Walidah
hanya mengangguk takjub. Bibirnya merekah meng-
umbar senyuman, tak henti-henti...
<> 230 <>
Yazid R. Passandre
Penggalan 26
Pertemuan Ketandan
Di usia menjelang empat puluh tahun, Kiai
Dahlan semakin matang sebagai seorang
pemuda yang gagah berani nan berbudi
pekerti luhur. Selain tetap giat mendalami ilmu
agama, ia terus menambah muatan pengetahuan
berbagai ilmu. Di mejanya bertumpuk-tumpuk
kertas yang isinya, antara lain, bagan organisasi Budi
Utomo di mana Dr. Wahidin Sudiro Husodo menjadi
nakhoda di sejumlah bidang dan program, seperti
kesejahteraan, pendidikan, dan rumah sakit. Ikhtiar
Kiai Dahlan untuk memperluas cakrawala pengeta-
huannya kali ini fokus ke pendalaman arti penting
organisasi.
Kepada Budi Utomo itulah Kiai Dahlan banyak
mendapatkan pengalaman cara melakukan peng-
organisasian manusia-manusia, bagaimana ide-ide
diimplementasikan ke dalam suatu gerakan sosial
dan massal, misalnya. Kiai Dahlan juga tekun
<> 231 <>
Tonggak Sang Pencerah
memelajari silabus pendidikan yang diselenggara-
kan di sekolah Taman Siswa.
Namun, pilihan memang selalu melahirkan
risiko. Kesibukan Kiai Dahlan yang belakangan itu
telah membuat santri-santrinya kesal, karena ia
semakin jarang mengajar di langgar. Bahkan kian
hari, jumlah santri-santrinya makin berkurang. Saat
ia berdiri di depan pintu rumahnya, mengarahkan
pandangannya ke langgar, ia melihat suasana sepi.
Tak terdengar riuh-rendah suara orang yang sedang
mengaji, bahkan tak ada satu pun suara santri yang
biasa menyapa Kiai. Ia mematung bengong di seraya
memalingkan muka ke pojok langgar. Hanya Suja
seorang diri ada di sana tengah duduk menopang
dagu. Ia lalu melangkah menemui Suja yang seperti
sedang dirundung beban.
“Ada apa, Ja?”
Bibir Suja seolah pintu yang tergembok rapat-rapat,
tak segerak pun ada tanda-tanda ia akan menjawab
pertanyaan gurunya. Sorot matanya hanya terarah ke
lantai dengan kepala yang tertunduk lemah, tangannya
tak goyah menyangga dagu.
“Mana kawan-kawanmu?”
Yang ditanya masih dalam posisi tepekur dan
seolah akan membenamkan wajahnya selamanya
ke lantai langgar. “Mereka sudah pulang, Kiai.
<> 232 <>
Yazid R. Passandre
Sebagian dari santri tidak mau belajar di langgar lagi.
Mereka merasa ditinggalkan,” jawab Suja, akhirnya,
lirih.
Kiai Dahlan diam, tak segera menanggapi ucapan
Suja, sepatah ucap pun. Suja tak sabar melihat sikap
gurunya yang tak acuh terhadap pengaduannya.
“Saya sudah duga, Kiai mau bergabung dengan
perkumpulan kejawen itu? Saya menyesal memberi
tahu, Kiai. Bukankah mereka selalu menjelek-jelekkan
Islam, menganggap Islam sebagai agama terbelakang.
Saya dengar, mereka juga dianggap berbahaya oleh
goverment dan Keraton.” Nafas Suja naik turun
menahan emosi yang meledak di dadanya.
Kiai Dahlan lalu mendekati Suja, menyentuhkan
tangannya ke pundak santri setianya itu. Perlahan
Suja mendongakkan wajah kesalnya, ada rasa ia
hendak menepis sentuhan gurunya, namun ia
urungkan. Kiai Dahlan menatap Suja dalam-dalam,
berusaha memahami kemarahan santrinya.
“Saya bisa mengerti perasaanmu, Ja. Juga
perasaan santri-santri lainnya.”
“Apa Kiai sudah bosan mengaji? Akhir-akhir ini,
saya lihat Kiai bukan seperti Kiai lagi. Pakaian Kiai
sudah tidak lagi mencerminkan Kiai, Kiai juga jarang
sekali saya lihat membuka kitab. Malah lebih sering
bermain biola. Apa arti semua itu?”
<> 233 <>
Tonggak Sang Pencerah
Kiai Dahlan menghela nafas panjang, lalu duduk
di samping Suja. “Saya sedang belajar cara
berorganisasi, Ja. Cara membuat sekolah, cara
mengajar yang lebih bagus. Semua ini untuk
mewujudkan cita-cita saya mendidik umat Islam.”
“Kenapa Kiai harus belajar kepada orang-orang
kejawen itu?”
“Rasulullah pernah bilang. Islam adalah agama
yang penuh kasih sayang. Masa kamu sudah lupa?
Karena itu kita harus menyayangi semua orang.
Beliau selalu terbuka dan berprasangka baik kepada
semua orang, bahkan terhadap musuh-musuhnya
sekali pun.”
Suja mengerut keningnya, sontak alisnya
mengernyit. Ia seperti baru menyadari sesuatu.
“Bukankah ada anjuran yang bagus maknanya
agar kita menuntut ilmu sampai ke negeri China.
Apa kamu pikir China itu negeri orang Islam?”
Setelah mengutarakan ungkapan itu, Kiai Dahlan
kemudian berlalu begitu saja meninggalkan Suja
seorang diri. Suja bangkit, wajahnya menyegar,
matanya kembali berbinar. Esoknya, ia berusaha
mempertahankan jumlah santri yang tinggal
beberapa itu agar tetap mengaji di langgar.
“Lha, wong Kiai sibuk sendiri begitu, kenapa kita
harus susah-susah belajar di langgar? Kiai sudah
<> 234 <>
Yazid R. Passandre
tidak lagi pedulikan kita,” gerutu Hisyam.
“Semenjak bergabung dengan Budi Utomo, Kiai
jarang lagi mengajar? Jadi benar kata kamu, Syam.
Kita sudah tidak lagi dipedulikan, karena Kiai lebih
peduli kepada orang-orang kejawen itu!” sahut
Fakruddin.
“Kiai memang sudah terpengaruh oleh orang-
orang kejawen itu, lihat saja sekarang penampilan
beliau, tidak jauh berbeda dari penampilan orang-
orang kafir Belanda,” lanjut Hisyam.
“Hus! Ngawur kamu! Jangan suuzan!” sergah
Suja.
Sementara itu, di pagi itu Kiai Dahlan sedang
bersiap pergi ditemani Mas Joyosumarto. Ia akan
bertandang ke Ketandan, ke rumah Dr. Wahidin
Sudiro Husodo. Sampai di sana, mereka terlibat
diskusi hangat.
“Tanpa organisasi, kita tidak mungkin melakukan
perubahan, Dimas,” kata Dr. Wahidin.
“Saya mengerti, Mas. Sayangnya, saya lahir bukan
dari kalangan terpelajar. Saya hanya seorang santri.”
“Tidak penting santri atau bukan. Yang penting,
di kepala kita ada cita-cita. Banyak priayi Jawa
terpelajar, mereka masih muda, tapi mereka lebih
memilih menjadi budak bangsa Eropa. Mereka
bahkan bangga bisa berbahasa Belanda dan tidak
<> 235 <>
Tonggak Sang Pencerah
memikirkan kesejahteraan rakyat. Mereka justru
menjadikan dirinya seolah-olah tuan besar bagi
rakyat sendiri dengan cara menghisap. Namun, di
depan orang Belanda, mereka bersujud seolah
menyembah Tuhan.”
Dari cara ia menatap, Kiai Dahlan jelas tengah
dirundung kekaguman kepada orang tua yang
sedang bicara penuh semangat di hadapannya itu.
“Sudah saatnya kita melakukan peroebahan, Kiai!
Mari kita saling bergadeng tangan.”
“Saya tidak memiliki pengetahuan lain selain
agama, Mas.”
“Justru dengan pengetahuan agama yang Kiai
miliki, kita akan bisa saling melengkapi. Kita semua
Islam, tapi kita tidak tahu bagaimana menjadi orang
Islam. Karena, menurut pandangan kalangan terpe-
lajar, khususnya Eropa, Islam agama terbelakang.
Percaya kepada mistik.”
Mas Joyosumarto menimpali. “Itulah kenapa
saya kagum kepada Kiai Dahlan. Perjuangan Kiai di
Kauman membuat kami yakin bahwa Islam bisa
sejalan dengan perkembangan zaman. Tapi
ngomong-ngomong, dari mana Kiai belajar biola?”
“Dari penjual barang bekas di pasar Bringharjo.”
Mereka semua tertawa dalam suasana penuh
keakraban. Diskusi terjeda sejenak, seseorang datang
<> 236 <>
Yazid R. Passandre
bergabung, duduk di sebelah kursi Dr. Wahidin. Ia
adalah R. Budiharjo. Kiai Dahlan menyapa dan men-
jabat erat tangan seorang dari kalangan terpelajar itu.
Diskusi kembali dilanjutkan.
“Apa memungkinkan pelajaran agama Islam
menjadi salah satu mata pelajaran di sekolah
goverment? Seperti di Sekolah Raja yang Anda
pimpin?”
Dr. Wahidin melempar pandang pada R. Budi-
harjo, seolah ia memberi isyarat agar kawannya itu
yang menjawab.
“Saya harus tanyakan dulu kepada murid-murid,
apakah mereka membutuhkan mata pelajaran
agama,” jawab R. Budiharjo.
“Agama Islam masih dipandang terbelakang oleh
pendidikan modern,” timpal Dr. Wahidin.
“Islam adalah agama yang terbuka bagi siapa saja,
juga tidak pernah memaksakan kepada siapa pun.
Islam sangat mengerti umatnya. Kepada pemikiran
modern, Islam bisa sejalan, karena ada ijtihad, yakni
memecahkan persoalan kehidupan dengan
pemikiran.”
“Saya percaya itu, Kiai. Di Mesir, pemikiran Syaikh
Muhammad Abduh mengilhami gerakan pemba-
haruan di Timur Tengah. Banyak orang yang
kemudian mengikuti jejaknya.”
<> 237 <>
Tonggak Sang Pencerah
“Saya adalah salah satu yang sangat terilhami
pemikiran beliau.”
“Baiklah, saya akan bicara dengan dewan
pengajar lebih dahulu, Kiai. Kalau saya bisa tertarik
kepada penjelasan Anda barusan, kenapa mereka
tidak,” ucap R. Budiharjo mencoba meyakinkan Kiai
Dahlan.
“Nanti kita juga akan agendakan diskusi agama
di perkumpulan ini. Kiai harus selalu aktif bersama
kami.”
<> 238 <>
Yazid R. Passandre
Penggalan 27
Sekolah Raja
Siang malam Kiai Dahlan sering termenung
di meja belajarnya. Ia memikirkan apa yang
tepat dan seharusnya ia perbuat di waktu-
waktu yang akan datang. Pendidikan, menurut Kiai,
pendidikan adalah jalan yang paling terang-benderang
untuk mencerahkan kehidupan umat, membawa
mereka semua kepada kebangkitan, menyudahi
zaman gelap yang menyengsarakan. Ia tak ingin Islam
selamanya dipandang terbelakang, seperti yang selalu
ia dengar dari kawan-kawannya di Budi Utomo.
Tapi, seperti apa bentuk pendidikan yang mampu
mewujudkan misi-misi peroebahan itu, Kiai Dahlan
belum memiliki gambaran yang pasti. Kecamuk di
benak Kiai tiba-tiba terhiasi bayangan wajah-wajah
santrinya, anak-anak belia yang selama ini demikian
bersemangat menekuni ilmu Islam di langgar.
Mereka selama ini mampu menjalin keakraban yang
mengagumkan dalam hubungan antara guru dan
<> 239 <>
Tonggak Sang Pencerah
santri. Ia percaya mereka lah tunas-tunas masyarakat
Nagari yang paling bisa diharap di masa depan. serta
keakraban. Dahi Kiai tiba-tiba berkerut, antara
perasaan bangga dan sedih, karena santri-santri
harapannya itu kini makin berkurang dari hari ke hari,
sementara ia belum bisa mengambil keputusan.
Maka, diam-diam, sebetulnya Kiai sedang belajar
untuk melakukan hal yang sama dengan apa yang
dikerjakan perkumpulan kaum terpelajar itu, yakni
menggerakkan pendidikan melalui sekolah. Ia yakin,
Islam tak akan pernah bangkit dari keterbelakangan
jika hanya diajarkan di langgar dan masjid-masjid. Di
larut malam itu, Kiai Dahlan keluar dari kamarnya, dan
melangkah ke langgar dan memperhatikan dalam-
dalam akan masa depan bangunan kecil tempat ia dan
ayahnya sekian lama berjuang membina kehidupan
umat di Kauman. Tanpa terasa, airmatanya meleleh.
Ada rasa haru yang tiba-tiba menyerang perasaannya
saat ia bayangkan betapa susahnya kebangkitan Islam
direbut di Nagari bila hanya mempertahankan langgar
sebagai tempat ibadah dan sekaligus ruang sekolah.
Namun, paginya, Kiai Dahlan tampak sumringah,
ia sudah mendapat restu untuk mengajar di Sekolah
Raja yang diselenggarakan Budi Utomo. Hari itu juga,
R. Budiharjo memperkenalkan Kiai Dahlan kepada
murid-murid. Bukan hal yang mudah bagi Kiai
<> 240 <>
Yazid R. Passandre
mengajarkan hal yang benar-benar baru di kalangan
murid-murid Sekolah Raja yang terdiri dari anak-anak
priayi atau ningrat.
“Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, di
sekolah ini akan ada pelajaran agama Islam. Maka
dengan ini saya perkenalkan seorang guru yang akan
mengajarkan pengetahuan tentang Islam itu.”
“Silahkan masuk, Kiai,” kata R. Budiharjo, yang
kemudian pergi berlalu meninggalkan ruang kelas.
Kiai Dahlan berdiri di depan murid-murid Sekolah
Raja. Pagi itu Kiai mengenakan sorban. Ia tampil apa
adanya, bersahaja. Menganggap aneh gaya guru baru
ini, anak-anak seisi kelas sinis melihat Kiai. Sadar
mendapat respons yang tidak bersabahat, Kiai
berusaha tersenyum. Ia ingin lebih dulu menunjukkan
muka yang sejuk, dan tidak memedulikan perlakuan
dingin murid-murid. Mereka membisu. Sejenak ia
pandangi situasi kelas sembari menarik nafas dalam-
dalam. Kiai terus mempertahankan muka yang ramah.
Namun, seorang murid justru sengaja menunjukkan
permusuhan dengan wajah yang ketus.
Murid itu berbisik kepada kawan sebangkunya.
“Kata romo-ku, Kiai itu bau. Kakinya lebar-lebar
karena tidak pernah pake sepatu.”
Sontak, beberapa teman yang mendengar bisikan
itu tertawa lebar. Sebagian anak sengaja
<> 241 <>
Tonggak Sang Pencerah
memicingkan bibir. Kiai Dahlan lalu mengucapkan
salam, namun murid-murid sekolah priayi itu tak
sekali pun mau menyahut balik salam. Sampai ia
ucapkan salam berulang-ulang, semua mulut masih
membungkam. Ia berusaha tenang dan meneduhi
hatinya kembali. Seorang murid yang sedari awal
sudah menampakkan ketaksukaannya kemudian
dengan sengaja mengeluarkan suara kentut. Lagi-
lagi Kiai Dahlan harus menahan amarahnya, ia tak
ingin dianggap selesai sebelum memulai sesuatu.
Sampai usai Kiai menyuguhkan pelajaran
pertama tentang Islam dan mengakhiri pelajaran
dengan kembali mengucapkan salam, belum ada
satu murid pun bersuara untuk menanggapi Kiai
Dahlan. Selama rentang waktu Kiai mengajar ruang
kelas itu tak mirip kuburan yang sunyi, semua
kecerian di dalamnya mati. Seolah tak ada tempat
bagi orang seperti Kiai Dahlan di hati murid-murid
Sekolah Raja. Maka, ia sangat sedih dan merasa
terpukul oleh perlakuan murid-murid sekolah
berlatar belakang bangsawan itu.
Malam itu, Kiai Dahlan menyendiri di dalam
kamarnya dan membiarkan pintu setengah terbuka,
duduk di pinggir ranjang sambil menatap ke jendela.
Ia renungkan setiap peristiwa yang telah ia lalui. Air
matanya mengambang. Nyai Walidah menatap
<> 242 <>
Yazid R. Passandre
suaminya dari balik celah pintu. Setiap tetes air mata
itu mengetuk hati sang istri. Namun ia tahu
suaminya sedang tidak bisa diganggu. Perlahan Nyai
Walidah hendak menutup pintu dan beranjak.
“Nyai...,” sapa sang suami.
Nyai Walidah berbalik dan masuk ke kamar, “Maaf
Kangmas , saya lancang mengganggu.”
“Kehadiran seorang istri tidak pernah
mengganggu.”
Nyai Walidah lalu duduk di samping suaminya.
Kiai Dahlan menggenggam jemari istrinya erat-erat.
Perlahan malam menjadi begitu sepi.
“Kalau Kangmas seperti ini, apa yang sebaiknya
saya lakukan?”
“Tidak usah melakukan apa-apa. Nyai cukup
duduk di sini, itu sudah membuat saya merasa
tenteram.”
Ia kembali menerawang ke jendela untuk
mengurung kesedihan di hatinya. Matanya berkaca-
kaca.
“Mungkin saya terlalu sederhana memandang
hidup, sehingga orang-orang tidak bisa menerima
apa-apa yang saya ucapkan, juga perilaku saya.”
“Hidup berjalan menurut apa yang kita pikirkan,
Kangmas. Bukan sebaliknya.”
“Sebaiknya saya berlaku sebaliknya, Nyai?”
<> 243 <>
Tonggak Sang Pencerah
“Kalau itu yang menjadi pilihan Kangmas, mungkin
saya tidak akan mengenal suami saya lagi.”
Kiai Dahlan menatap Nyai Walidah. Sang Istri
merunduk mirip tangkai bunga anggrek bulan yang
sarat menahan kembang tengah mekar-mekarnya.
Perlahan matanya sembab.
“Ada banyak pemuda di Kauman. Mereka semua
putra para kiai dan priayi yang hidup berkecukupan.
Tapi Darwisy yang saya kenal sejak dulu bukan
pemuda kebanyakan. Darwisy adalah pemuda yang
bisa melihat dan merasakan sesuatu yang belum
dilihat dan dirasakan kebanyakan pemuda. Karena
itu, saya tidak pernah menjalankan istikharah seperti
yang bapak saya perintahkan. Tapi saya berhajat,
bermunajat kepada Allah. Karena tidak ada
kebimbangan dalam hati saya untuk memilih calon
suami. Darwisy itulah yang saya pilih, Kangmas.”
Airmata Nyai Walidah deras, dipacu rasa haru
oleh ucapan-ucapan sendiri. Nyai bahkan semakin
menggebu untuk menunjukkan kesetiaannya, juga
kemampuan diri untuk menegaskan di mana
posisinya di saat sang kekasih dirundung beban yang
semakin sarat.
“Darwisy adalah imamku, busur yang akan
melesatkan anak panah jiwaku ke sasaran yang tepat.
Tapi, ke mana gerangan Darwisy yang saya kenal
<> 244 <>
Yazid R. Passandre
tegar itu, Kangmas?”
“Jika begini terus, mungkin kita akan kesepian,
Nyai?”
“Kangmas sendiri yang sering mengatakan, orang
beriman tidak akan pernah kesepian.”
Kiai Dahlan mengucapkan istighfar berulang-
ulang, menyadari kekhilafan ucapannya.
“Bangun Kangmas, tatap lagi matahari timur. Saya
dan anak-anak selalu di belakangmu.”
<> 245 <>
Tonggak Sang Pencerah
Penggalan 28
Sekolah Ruang Tamu
Perlakuan murid-murid Sekolah Raja ter-
hadap Kiai Dahlan yang tak sopan, se-
sat dan jauh dari sikap respek, tak lain
adalah gambaran dari padangan kaum terpelajar
pribumi yang memandang Islam sebagai agama
terbelakang. Dan, karena itu, sebagian besar penga-
nutnya yang bukan anak sekolahan akan dilihat
sebagai kaum rendahan, yang tak sejalan gerak
zaman.
Ihwalnya sederhana, yakni berawal anggapan
yang tumbuh dari penilaian orang terhadap gedung
sekolahan yang lebih mentereng dari bangunan-
bangunan lainnya, alat-alat belajar-mengajar yang
bermacam-macam, dan model pengajarannya yang
berbeda jauh dari tradisi ngaji di masjid atau langgar.
Semua itu dianggap warisan kolonial yang selama
ini hidup dalam gelimang kemewahan dan
berkuasa. Sementara itu, di mata kaum muslimin,
<> 246 <>
Yazid R. Passandre
kolonial adalah manusia-manusia kafir yang pantas
dimusuhi dan dijauhi.
Mereka tak hanya datang untuk menindas dan
sewenang-wenang merampas hak milik kaum
pribumi, tetapi juga menganut keyakinan yang
berbeda dari agama masyarakat Nagari. Lantaran
pandangan umum ini, tak sedikit kiai yang sengaja
mengajarkan sikap dan pandangan mereka kepada
jamaah bahwa siapa pun yang berbeda keyakinan
dari masyarakat umum dianggap menyimpang,
bahkan hingga dinilai laknat, najis, dan musuh.
Perseteruan itu juga memberlakukan tata tertib,
saling melarang dan menjauhi. Jika sudah berbeda
keyakinan, warga Nagari tak boleh meniru cara
berpakaian, cara makan, cara bergaul, cara belajar,
bahkan tak boleh saling memakai alat-alat dan
barang-barang buatan masing-masing. Intinya,
warga pribumi yang menganut Islam dilarang
mengikuti cara hidup kaum kafir.
Entah siapa yang pertamakali menghembuskan
tata tertib yang keras dan berlaku turun-temurun
selama berabad-abad seperti itu. Pendeknya, segala
hubungan apa pun dengan mereka yang berbeda
keyakinan satu hukumnya: haram.
Namun, perlakuan murid-murid sekolah priayi
yang tak serta-merta menerima Kiai Dahlan selaik
<> 247 <>
Tonggak Sang Pencerah
guru yang selayaknya dihormat itu menuai hikmah.
Sebab, setelah peristiwa itu, Kiai Dahlan kemudian
bertekad membuat sekolah sendiri yang tak jauh
berbeda dari model Sekolah Raja.
Nyai Walidah, yang tak pernah bosan mendukung
suaminya, pada hari itu tak segan meyingsingkan
lengan baju untuk terjun langsung membantu
kesibukan suaminya. Dan, tak ada kata tidak alias
langsung sepakat saat suaminya meminta perse-
tujuan untuk memfungsikan ruang tamu rumah
mereka menjadi ruang kelas. Ya, rumah mereka
dijadikan sebagai sebuah sekolahan selama pagi
hingga siang hari. Ruang tamu rumah calon ruang
kelas sekolahan itu berukuran 2,5 x 6 meter.
Suja belum juga mengerti, mengapa kian hari
semakin sering gurunya melakukan sesuatu yang tak
mudah dipahami. Ada saatnya ia juga merasa demikian
haru, melihat sang guru tak lagi seperti dulu: makin
kurus dan tampak lelah. Gelembung di bawah kelopak
matanya itu makin besar. Tapi, bila menyimak
senyumnya, seolah bumi ini hamparan surga. Kalau
pun ada keluh kesah, hanya sebatas di bibir saja.
Semangat sang guru demikian kukuh, seperti pulau
karang yang tak terpecahkan amuk gelombang. Itulah
mengapa, Suja kadang merasa tak berarti apa-apa bila
harus mengikuti jejaknya. Hanya Suja sendiri tak
<> 248 <>