The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Tonggak Sang Pencerah Sebuah Novel tentang KHA. Dahlan (Yazid R. Passandre) (z-lib.org)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by masjiddarussalam18, 2022-04-21 19:09:47

Tonggak Sang Pencerah Sebuah Novel tentang KHA. Dahlan (Yazid R. Passandre) (z-lib.org)

Tonggak Sang Pencerah Sebuah Novel tentang KHA. Dahlan (Yazid R. Passandre) (z-lib.org)

Yazid R. Passandre
“Baiklah, Ibu juga ndak pergi sekarang. Kita ziarah
ke kuburan kakekmu bareng suamimu saja di lain
waktu.”
Sontak, wajah Nyai Walidah mendongak dan
berubah cerah.
“Terus apem dan kolak ketannya?”
“Untuk Johanah saja…”

<> 149 <>

Tonggak Sang Pencerah

Penggalan 16

Modal Dagang

Kiai Abu Bakar meminta semua anaknya
berkumpul di rumahnya, malam itu.
Kelima anak perempuannya sudah lebih
dulu hadir di sana. Sesuai urutan usia mereka, kelima
anak perempuan itu adalah Nyai Khatib Arum, Nyai
Muhsin, Nyai Saleh, Nyai Faqih, Nyai Abdulrahman.
Kiai Dahlan sendiri anak keempat di antara enam
saudara perempuannya. Namun, ia terlambat
datang memenuhi panggilan sang ayahanda, karena
di waktu yang sama ia harus menjamu seorang tamu.
Namun sejak ia melangkah menuju ke kediaman
ayahandanya, hatinya gundah. Ia mengerami seun-
tai rasa heran. Mengapa tiba-tiba ayahandanya
menghendaki semua anaknya berkumpul pada ma-
lam itu juga. Yang membuat ia lebih gelisah, ibun-
danya belum juga pulih, masih terbaring lemah di
tempat tidur. Sementara ayahandanya makin uzur
dan digerus usia. Sampai di sana, ternyata saudara-

<> 150 <>

Yazid R. Passandre

saudaranya yang lain sudah pamit pulang, hanya
tersisa Nyai Saleh duduk berdua dengan ayahan-
danya, menunggu kehadiran Kiai Dahlan.

“Ini bagianmu, Nduk.” Kiai Abu Bakar menyo-
dorkan uang di dalam kantong kain kepada Nyai
Saleh.

“Pakailah untuk membantu modal dagang suami-
mu. Ingat, jangan pernah membelanjakan harta
tanpa sepengetahuan suami. Biar pun uang itu
milikmu, tapi suamimu berhak memimpin kamu da-
lam segala urusan.”

“Baik, Bapak. Aku serahkan saja uang ini kepada
Mas Saleh.”

“Yang ini bagianmu, Le,” kata Kiai Abu Bakar sem-
bari berpaling kepada Kiai Dahlan yang duduk di
samping Nyai Saleh. Ia belum mengerti maksud uang
di hadapannya itu. Ia menunggu titah ayahandanya.
Sementara itu, Nyai Muhammad Saleh tersenyum
sumringah dan lebih dulu pamit pulang.

“Gunakanlah uang itu sebagai modal dagang.
Ingat, hati-hati dalam berdagang. Kita ndak tahu apa
yang akan terjadi, apalagi Belanda berulah makin
membuat kehidupan rakyat susah dari hari ke hari.
Kembangkanlah uangmu itu sebaik mungkin dengan
halal. Maklumi kurangnya, cukup-cukupkan adanya.
Hanya lima ratus gulden itu yang bisa Bapak berikan.”

<> 151 <>

Tonggak Sang Pencerah

Kiai Dahlan mengangguk takzim, segera ia
abaikan uang yang terhidang di hadapannya.

“Bagaimana keadaan Ibu, Bapak?”
“Masuklah ke kamar, sedari tadi Ibumu mena-
nyakan kamu. Saudara-saudaramu yang lain sudah
menjenguk Ibu sebelum mereka pulang.”
Kiai Dahlan bangkit dari kursi, melangkah ke
dalam kamar tempat ibundanya terbaring. Lama
keduanya hanya saling memandang, melepaskan
rindu di hulu dada. Pembicaraan keduanya tak ke
mana-mana, hanya di seputar rasa kangen. Sang anak
paham dan tahu diri, tak ingin melibatkan sang ibun-
da ke dalam obrolan yang terlalu tegang. Ia tahu,
ibundanya tak kuasa lagi menanggung lebih banyak
beban pikiran. Dan, kesehatannya makin menurun.
Lalu ia menggamit dan menciumi tangan ibundanya.
Nyai Abu Bakar hanya meraba-raba wajah putra
tercintanya, yang diimpikan akan melanjutkan
perjuangan para pendahulunya. Ibundanya memang
berharap banyak kepada Kiai Dahlan, sebab ia satu-
satunya anak lelaki. Dan, kini tanda-tanda kealiman
anaknya untuk memangku tugas pencerahan bagi
umat manusia telah dapat ia baca.
Ibuku sudah terlampau lemah, gunyam Kiai
Dahlan melihat perempuan yang telah melahirkan
dan merawat dirinya itu. Sang ibunda kini ringkih.

<> 152 <>

Yazid R. Passandre

Namun, masih berusaha tersenyum mengurai
airmata. Kelopak matanya sembap, duduk di kursi
dekat ranjang. Kiai Dahlan meletakkan tangan
ibundanya di pipi kanannya, sementara kedua
tangannya menungku di atas ranjang itu.

“Ibu lega, Le. Kamu sudah datang. Nanti kamu
akan menggantikan Bapakmu mengurus surau.
Bapak dan Ibumu ini sudah makin tua, mungkin...”

“Ibu harus banyak istirahat. Urusan nanti dipikir
nanti saja, semoga Allah cepat memberi Ibu
kesembuhan.”

“Ini bukan penyakit biasa, Le. Penyakit Ibu ini
namanya penyakit umur, orang setua Ibu sudah
lumrah sakit dan lemah seperti ini. Sudah
waktunya...”

“Tawakkal itu harus, Bu. Dan, ikhtiar juga tidak
boleh dilupakan. Ibu harus ikhtiar agar bisa pulih,
sebagai ungkapan syukur kepada Allah untuk diberi
umur panjang.”

Nyai Abu Bakar kembali memaksa diri tersenyum,
lalu terbatuk-batuk. Dadanya terasa makin ringkih.
Namun semua hidupnya telah ia persembahkan
untuk anak-anaknya. Hati seorang ibunda memang
samudera, gelombang cinta dan arus kasih sayang
tak pernah berujung. Di belahan-belahan jiwanya
adalah rahasia yang pangkal dan ujungnya teramat

<> 153 <>

Tonggak Sang Pencerah

dalam, tak mudah diterka, namun setiap waktu
menyegarkan.

Kiai Dahlan pamit pulang. Esoknya, ia bersegera
keluar rumah untuk membelanjakan modal yang ia
peroleh dari ayahandanya semalam, namun ia tak
menuju ke Malioboro atau Pasar Beringharjo,
kulakan barang-barang dagangan seperti maksud
ayahandanya. Ia justru pergi ke toko-toko buku,
membelanjakan semua uangnya di sana. Pulang-
pulang, ia membawa segepok buku, bukan seikat
barang dagangan.

“Bukannya Bapak memberi modal untuk beli
barang dagangan, Kangmas?” sapa Nyai Walidah.

“Buku-buku ini juga akan menjadi modal kita
berniaga di jalan Allah, keuntungannya bisa kita
nikmati dunia dan akhirat.”

Nyai Walidah tak dapat lagi menyembunyikan
rasa bangga yang serta-merta mengaliri hatinya. Ia
bahagia melihat kecenderungan hidup sang suami,
kehausannya terhadap ilmu. Semenjak menjadi istri
Kiai Dahlan, Walidah memeroleh banyak pelajaran
yang sangat berarti. Ia belajar hidup sederhana,
belajar menerima karunia hidup apa adanya, belajar
nilai-nilai agama dan budi pekerti dari sang suami.
Ia juga melihat pendirian yang demikian teguh dan
hasrat peroebahan dari sorot mata suaminya,

<> 154 <>

Yazid R. Passandre
semata-mata demi kemaslahatan banyak orang.
Hampir seluruh curahan perhatian dan usaha
suaminya tertuju ke sana. Setiap berbincang dengan
suami, atmosfir yang tercipta adalah memikirkan
nasib orang lain.

Suamiku sangat peduli dan mencintai
agamanya...

<> 155 <>

Tonggak Sang Pencerah

Penggalan 17

Senyum Terakhir

Kiai Dahlan semakin giat mendalami ilmu agama
dan memperluas cakrawala pengetahuannya mela-
lui buku-buku yang ia beli. Siang dan malam Kiai
Dahlan geluti buku-bukunya itu sampai ia bawa ke
tempat tidur. Tak jarang Nyai Walidah menegur
suaminya, halus.

“Akhir-akhir ini saya cemburu, Kangmas.”
“Saya kan lebih banyak di rumah pada akhir-akhir
ini, Nyai. Apa Nyai tidak salah bilang begitu?”
“Justru itu, saya cemburu.”
Kiai Dahlan meletakkan buku di tangannya, ia
berpaling kepada Nyai Walidah yang memancing
rasa penasaran.
“Bayangkan Kangmas, kalau kertas-kertas itu bisa
bicara ...”
Kiai Dahlan menyungging senyum, mengisyarat-
kan sebuah kemafhuman. Ungkapan itu terdengar
dari mulut istrinya, ada nuansa yang tak biasa.

<> 156 <>

Yazid R. Passandre

Diucapkan secara lugas, muka istrinya bisa dibilang
berbinar-binar, namun ucapannya itu menunjukkan
nada protes. Karena itu, Kiai Dahlan dibuat terpana.
Nyai Walidah bangkit dari ranjang, meninggalkan
Johanah yang tampak tidur pulas. Ia melangkah ke
depan cermin, dan sengaja mencuri pandang
senyum suaminya dari kaca itu. Ia sendiri menyem-
bunyikan senyuman.

“Pasti akan lebih banyak perempuan yang akan
merasa kehilangan, Kangmas. Meskipun suaminya
selalu di rumah atau duduk di sampingnya. Kertas-
kertas itu memang lebih pandai membujuk. Suaminya
terlena, lupa waktu, jarang makan, sampai ke tempat
tidur pun ia bersama kertas-kertas itu,” ucap Nyai
meneruskan kalimatnya yang sempat terputus.

Kiai Dahlan kembali mengumbar senyum, ia
palingkan pandangannya ke buku-buku di atas
ranjang, ia kumpulkan dan menumpuk jadi satu, lalu
ia boyong dan menata tata kitab-kitab itu ke rak. Ia
kembali dengan tangan kosong, berbaring di sam-
ping Nyai Walidah, bersanding. Sambil menelen-
tangkan tubuh, Kiai Dahlan menyandarkan kepala
pada dua belah tangannya.

“Tidakkah ada anjuran yang mewajibkan umat-
nya untuk menuntut ilmu dari buaian ibu sampai ke
liang lahad, atau mencari ilmu hingga ke negeri Cina.

<> 157 <>

Tonggak Sang Pencerah

Hanya dengan ilmu manusia bisa lebih mengenal
Tuhannya secara lebih baik, dan memikirkan
manfaat kehidupan di muka bumi ini.”

Kiai Dahlan menerawang ke langit-langit. “Sudah
saatnya kebodohan di Nagari ini diperangi, Nyai.”

***
Ngayogyakarta bergerak. Sekelompok orang
yang menamakan diri Budi Otomo seperti semut-
semut hitam yang menggeliat diterpa sinar dan
membangunkan gajah tidur. Kabar tersiar dari Jetis,
di belahan utara Ngayogyakarta itu telah berdiri
sekolah. Mereka memberi nama Sekolah Raja,
Kweekschool. Konon, nama itu hanya untuk menge-
labui kolonial karena pada akhirnya Budi Utomo tak
hanya mendidik anak-anak raja dan para pembesar
istana, melainkan semua anak Nagari tanpa melihat
sekat status sosial.
“Lebih dari satu abad semenjak kapal-kapal
Portugis merapat di Selat Sunda, Tanah Jawa memulai
sejarahnya sebagai bangsa tertindas,” ucap seorang
anggota Budi Otomo dengan muka haru.
“Petani-petani kita dirampas hak pengelolaaan
tanahnya oleh perusahaan-perusahaan Belanda,”
kata kawannya menyambung.
“Rempah-rempah kita juga dihisap untuk kepen-
tingan perdagangan Belanda, tanpa sepeser pun dari

<> 158 <>

Yazid R. Passandre

keuntungannya masuk ke lumbung kita,” ucap kawan
yang lain.

Para anggota perkumpulan Budi Utama sedang
melakukan pertemuan di Ketandan, rumah Wahidin
Sudiro Husodo. Mereka sedang merisaukan nasib
rakyat. Sang empunya rumah yang memimpin perte-
muan itu angkat bicara.

“Saya yakin, sampai seratus tahun ke depan, jika
kita tidak memulai bergerak, Nagari akan hancur
karena kebodohan. Belanda sengaja menciptakan
jurang pemisah antara pribumi dan bangsa mereka
sendiri. Sementara, kaum priayi melanggengkan itu
sebagai sistem sosial.”

Wahidin Sudiro Husodo menghela nafas panjang.
“Mereka bahkan merelakan diri untuk menjadi
budak, menelanjangi martabat mereka, menjual
anak perempuannya hanya untuk status priayi.”
“Kebodohan penyebabnya!” hentak Dwijosewoyo.
“Agama sendiri tidak bisa menjawab persoalan
zaman menyedihkan ini,” timpal Budihardjo.
Sementara Kiai Dahlan makin terinspirasi
melakukan peroebahan. Nuraninya menolak jika
Islam dipandang tak memiliki niat yang sama:
memberantas buta huruf dan mencerahkan akal
budi. Tapi, ia lebih menolak lagi bila Islam dituduh
terbelakang atau tak mampu bersanding dengan

<> 159 <>

Tonggak Sang Pencerah

desakan zaman. Maka di hari itu, ia mulai mengajar-
kan pengetahuan yang berbeda dari biasanya
kepada santri-santrinya.

“Iqro’, ini perintah pertama. Allah memerin-
tahkan kepada Rasulullah untuk membaca. Iqro’,
bacalah...”

“Apa yang dibaca, Kiai?” tanya Suja, santri yang
paling tekun mengikuti pengajaran.

“Semuanya harus dibaca, Ja. Semua: keadaan.
Membaca langit, membaca bumi, membaca diri.
Membaca sesama dan keadaan di sekitar kita.
Maknanya, agar kita bisa lebih pandai dalam melihat
dalam keagungan Allah dengan segala ciptaan-Nya.
Karena Allah tiadalah menciptakan segala sesuatu itu
sia-sia. Semuanya mengandung pelajaran.”

“Membaca langit dan bumi, Kiai?” timpal santri
yang lain, Fakhruddin.

“Langit jauh begitu, bumi, bagian mana yang
harus dibaca?”

“Membaca langit dan bumi artinya merenungi
segala ciptaan Allah di dalamnya, Din. Bagaimana
Allah menabur bintang-bintang di langit, bagaimana
pula Allah menghamparkan tanah di bumi. Semua
itu, tidak mungkin tanpa kuasa dan alasan. Itulah
bagian dari keagungan Allah sebagai Khalik, Sang
Pencipta.”

<> 160 <>

Yazid R. Passandre

Kiai Dahlan menghela nafas sejenak. Ia pandangi
wajah santri-santrinya satu persatu.

“Renungkanlah juga, betapa kerdilnya kita. Tidak
ada daya apa-apa makhluk sekecil kita kalau bukan
Allah yang memberi kita kekuatan. Memberi kita
akal pikiran. Maka, sudah sepantasnya bila akal
pikiran kita gunakan sebaik-baiknya untuk kemulia-
an agama Allah. Yang tidak masuk akal sehat, apalagi
yang tidak ada anjurannya dalam Al-Qur’an dan
Sunnah, harus bisa ditinggalkan.”

Pengajaran tak bisa dilanjutkan, sebab Nyai Walidah
tiba-tiba datang, dan bergegas mengajak Kiai Dahlan
ke rumah ayahnya. Ibunya menghendaki kehadirannya
saat itu juga. Kiai Dahlan dan Nyai Walidah langsung
menghambur ke kamar tempat sang Bunda terbaring
memanggil-manggil nama Dahlan dalam intonasi amat
lirih. Menyadari anak kesayangannya sudah berada di
sampingnya, Nyai Abu Bakar mengulurkan tangan
perlahan-lahan. Kedua tangan ibu dan anak saling
menggenggam. Kiai Dahlan mengusap-usap kening
dan rambut ibunya. Tak seberapa lama, Nyai Abu Bakar
menyunggingkan senyum terakhir. Manis sekali. Saat
itu juga, Kiai Dahlan menitikkan air mata.

“Ibu wafat,” ucap Kiai, suaranya berat.
“Inna lillahi wainna ilaihi rajiun,” sahut semua
yang hadir hampir bersamaan.

<> 161 <>

Tonggak Sang Pencerah

Kiai Abu Bakar tertegun di samping jenazah
istrinya. Anak-anaknya yang lain, keluarga dan sanak
kerabatnya serta-merta menyerbu ke dalam kamar.
Mereka semua dilanda kesedihan mendalam. Isak
tangis memenuhi seisi rumah. Bahkan, ada yang
pingsan sebab tak kuasa menahan rasa kehilangan
wanita salehah itu. Kiai Abu Bakar sampai berulang-
ulang meminta semua orang manahan diri dan tak
mengumbar tangis. “Ndak baik terlalu menangisi
takdir. Kita ini semua milik Allah dan akan kembali
ke haribaan Allah sesuai kehendak-Nya.”

Ingar-bingar sedu sedan pun mereda. Seolah
airmata berjatuhan tanpa suara. Nyai Abu Bakar
telah wafat. Kauman tumpah dalam kesedihan tiada
tara. Semua orang sudah menyangka kematian pasti
datang menjemput perempuan penuh bakti itu,
namun ketiadaannya tetap terasa tak tertanggung-
kan. Semua yang pernah mengenal Nyai Abu Bakar
merasakan kehilangan, teramat sulit mencari sosok
perempuan yang tak jenuh-jenuh menebarkan
kebajikan itu. Lebih-lebih para tetangga Nyai Abu
Bakar, mereka hanya tertunduk lesu mengenang
setiap uluran amaliyahnya.

<> 162 <>

Yazid R. Passandre

Penggalan 18

Menikahkan Sang Ayah

Meskipun tegar menerima takdir
kematian istrinya, Kiai Abu Bakar
belum stabil menjalani hari-harinya.
Sendiri. Itu pula yang membuat Kiai Dahlan gusar. Ia
tak tega melihat ayahnya dalam kesendirian. Seolah
lesap dalam hiruk-pikuk kebahagiaan anak-anaknya.
Keceriannya tak lengkap, laksana burung yang patah
sayap sebelah. Maka, Kiai Dahlan mengajak Nyai
Walidah menemani ayahnya tinggal serumah hingga
beberapa waktu untuk sekadar menghibur. Nyai
setuju.
“Bawalah Bapak kemari, tinggal sementara
bersama Johanah di sini, Kangmas.”
Pagi itu, cahaya lembut menerpa kampung
Kauman. Di bawah kecerahan yang sejuk itu, Kiai
Dahlan dan ayahnya duduk bersanding di meja makan.
Keduanya terlihat sangat akrab dalam tradisi
kesantunan khas warga Nagari. Nyai Walidah datang

<> 163 <>

Tonggak Sang Pencerah

dan menyendokkan nasi putih ke piring mertuanya,
lalu beralih lagi ke piring suaminya. Mata Kiai Abu
Bakar berkaca-kaca melihat tingkah menantunya,
jelas ia terkenang kepada istrinya. Melihat ekspresi
sang Ayah, Kiai Dahlan menghela nafasnya, lirih.
Sambil menikmati hidangan sarapan, tiba-tiba ia
berani mengungkapkan pertanyaan yang terdengar
menggoda ayahnya dalam gaya bujukan yang santun.

“Bapak betah tidur sendirian?”
“Mau bagaimana lagi, Le.”
“Andaikata Bapak menikah lagi, bagaimana?”
Kiai Abu Bakar mengulum senyum. Tiba-tiba ia
meminta Nyai Walidah mendudukkan Johanah ke
pangkuannya, lalu menimang-nimang cucunya itu
sambil menyuapkan nasi, perlahan-lahan.
“Aku sudah tua, mungkin ndak lama lagi akan
menyusul ibumu.”
“Soal menyusul, anak yang masih muda pun bisa
menyusul. Mungkin juga saya yang lebih dulu
menyusul Ibu.”
“Jangan kamu yang menyusul, Ibumu itu bagian-
ku, Le. Bagianmu menyusul istrimu kalau lebih dulu
mangkat,” ucap sang Ayah sembari melirik Walidah.
“Saya juga tidak mungkin kuat ditinggal duluan,
Pak,” timpal Nyai Walidah sambil tersenyum.
Tak dinyana, obrolan santai itu menggelinding

<> 164 <>

Yazid R. Passandre

bagai bola salju. Makin santer dibicarakan kian besar
tanggapan keluarga dan sanak kerabat. Saat Kiai
Dahlan tegas-tegas mengemukakan niatnya kepada
saudara-saudaranya untuk mencarikan ayahnya
pasangan hidup mereka bersepakat.

“Kamu yang memulai, kamu juga yang mengutara-
kan. Kami semua perempuan, tidak punya keberanian
merembukkan hal itu kepada Bapak. Tapi kami semua
sangat setuju,” ucap Nyai Saleh.

“Ibu Khatib Tengah cukup pantas untuk mendam-
pingi Bapak, insya Allah Bapak ndak akan berke-
beratan,” kata Nyai Muhsin menimpali.

Hari itu juga Kiai Dahlan kembali menghadap
ayahanda. Tanpa ragu-ragu, ia kemukakan persetu-
juan saudara-saudaranya.

Kiai Abu Bakar menundukkan kepala, “Apa mung-
kin Bapak dapat menikahi wanita yang seimbang
dengan Ibumu?”

Kiai Dahlan menjawab dengan ungkapan yang
menegarkan ayahnya, “Tentu harus diikhtiarkan, Pak.”

Kiai Abu Bakar perlahan mengangkat kepalanya.
“Siapa gerangan?”
Kiai Dahlan tak dapat menyembunyikan kegem-
biraannya. Ia menjawab dengan senyum, “Mungkin
baik untuk Bapak, Ibunda Kiai Khatib Tengah.”
Kiai Abu Bakar manggut-manggut.

<> 165 <>

Tonggak Sang Pencerah

“Siapa yang mengusulkan, apa itu dari pikiranmu
sendiri?”

“Itu hasil rundingan dengan sedulur-sedulur, Pak.
Saya juga sudah rundingkan dengan Kiai Khatib
Tengah, beliau sangat menerima dan menyambut
gembira kalau ibunya disandingkan dengan Bapak.”

Kembali ayahnya manggut-manggut.
“Biarlah Bapak istikharahkan dulu, Le.”
Setelah semua sepakat dan Kiai Abu Bakar sudah
menganggukkan kepala sebagai hasil dari istikharah-
nya, pernikahan dilangsungkan secara hikmat bersa-
haja dan dipimpin Kiai Lurah. Kiai Fadlil yang tampil
memimpin doa.
Di luar duga banyak orang, dari pernikahan Kiai
Abu Bakar dan Ibu Kiai Khatib Tengah yang sama-
sama sudah berumur itu lahir si bungsu Basir, adinda
Kiai Dahlan. Meskipun, kelak, menginjak usianya yang
keenam tahun, Basir meninggal dunia.
Tak lama dari kematian anak bungsunya itu, Kiai
Abu Bakar menyusul, wafat dalam usia uzur. Bukan
hanya warga Kauman, Ngarsa Dalem Sri Sultan
beserta kerabat Keraton dan tak sedikit rakyat Naga-
ri turut berkabung. Semua orang tumpah ke pema-
kamannya di hari itu, melukiskan betapa mulia jejak
pengabdian Kiai Abu Bakar di sepanjang hidupnya.

<> 166 <>

Yazid R. Passandre

Penggalan 19

Amanah

Kiai Dahlan tampak lebih kurus dari
sebelumnya. Belakangan ini memang tak
sedikit yang ia pikirkan. Sosok ayahnya pun
masih selalu melintas dalam kenangannya, ada saat ia
juga sangat merindukan ibunya. Gelembung di bawah
kelopak matanya itu memperjelas kebiasaannya yang
makin jarang tidur malam. Ia enggan melewatkan
malam-malamnya tanpa membaca dan berzikir. Seolah
ia telah mewajibkan shalat lail kepada dirinya.
Namun, pagi itu, Kiai Dahlan terlihat sangat gagah.
Cahaya matanya berbinar-binar, dihias kacamata yang
hampir selalu ia kenakan itu. Tubuhnya yang tinggi
semampai mengenakan jas putih, dan di kepalanya
terlilit surban. Nyai Walidah tahu, suaminya suka
memakai sarung palikat yang tak pernah melampaui
mata kaki, maka sudah sedari subuh ia siapkan. Sebab
di pagi itu juga, suaminya akan menghadap Ngarsa
Dalem Sri Sultan.

<> 167 <>

Tonggak Sang Pencerah

Pandangan mata Kiai Dahlan makin tenang dan
dalam, ia melangkah menuju gerbang Keraton. Sudah
tiba waktu ia untuk menggantikan ayahnya selaku
Imam Khatib Masjid Gedhe. Kiai Dahlan ayunkan
langkahnya dengan gerak-gerak yang terukur, santun,
cara berjalan yang lebih halus dari kebiasaannya sehari-
hari. Sampai di sana, Sri Sultan Hamengkubowono
memperkenalkan Kiai Dahlan kepada Gubernur
Jendral Belanda dan para punggawanya.

Langit teduh, awan putih bersih berarak dan
melindap di ubun-ubun Keraton. Di benak lelaki
gagah yang sorot matanya kian tandas menatap arah
kehidupan itu, kini, hanya ada satu harapan yang
melintas: “Aku harus segera melakukan
peroebahan”.

Maka ia tak ingin melewatkan kesempatan
memangku jabatan yang baru ia emban itu. Sebagai
Imam Khatib, ia jelas bukan lagi Darwisy yang lugu,
bukan pemuda yang hanya mampu menyekam
hasrat, seperti pungguk merindukan bulan. Dan, ia
tak sudi bila Islam dipeluk sebatas ritual dan
kenduri. Ia ingin menawarkan Islam sebagai jalan
pencerahan akal budi, yang membebaskan umat
manusia dari kebodohan dan kezaliman, dan
mengajak kaum muslimin untuk lebih memaknai
hubungan dengan Tuhan, tak sebatas perkara surga

<> 168 <>

Yazid R. Passandre

dan neraka. Pahala dan dosa. Halal dan haram. Pujian
dan kutukan. Tapi, Islam yang benar-benar
rahmatan lil alamin. Yakni, Islam yang mendidik dan
membebaskan manusia dari sifat-sifat purba:
serakah dan zalim.

Setelah kedudukannya diumumkan, dan amanah
itu telah ia emban, Kiai Dahlan bergegas melangkah
menemui santri-santrinya di serambi Masjid Gedhe.
Ia hendak kembali mengajar ngaji, dan mulai
memahamkan Islam yang kaffah, tak separuh-
separuh.

“Perintah shalat diturunkan agar manusia dapat
setiap waktu berhubungan dengan Allah dan
sekaligus belajar mengendalikan hawa nafsu.”

Santri-santrinya merunduk takzim. Mereka
mendengar pengajaran yang benar-benar berbeda,
belum sekali pun terlintas dalam pikiran mereka
tentang makna shalat. Dalam kepala mungil mereka,
hanya ada satu pemahaman tentang shalat: bila lalai
mengerjakan rukun Islam ketiga itu, maka dosa-dosa
akan menumpuk. Dan, berkemas-kemaslah masuk
neraka. Namun kali itu, pengajaran shalat seolah
tak ada hubungannya dengan dosa dan pahala.
Karena sang Guru lebih menekankan makna shalat
sebagai jalan hubungan dengan Allah yang wajib
dirawat.

<> 169 <>

Tonggak Sang Pencerah

“Dalam salah satu ayat Al-Qur’an secara tegas
Allah berfirman: Sesungguhnya Aku dekat dengan
hamba-Ku, maka berdoalah kepada Aku. Ayat
lainnya juga menegaskan: Sesungguhnya shalat itu
mencegah kamu dari perbuatan keji dan mungkar.
Itulah mengapa kita wajib merawat shalat.”

“Bagaimana kalau berdo’a memakai sesaji, Kiai?
Apakah hubungan kita akan tambah dekat dengan
Allah?” tanya seorang santri, Syarkawi.

“Allah tidak butuh apa-apa, kecuali kesadaran dan
keikhlasan kita. Jadi, untuk apa sesaji itu? Dalam
sebuah ayat yang lain Allah juga sudah tegaskan:
Cukuplah shalatmu sebagai penolongmu.”

“Benar juga, Ja,” ucap Fakhruddin kepada Suja
berbisik.

“Masuk akal,” sahut Suja.
“Tapi, kalau hanya shalat saja, apa itu bisa
menolong, Kiai? Kalau sesaji kan sudah terbukti bisa
mengusir bala,” timpal santri Hisyam.
Duh, Syam..Syam! gerutu Syarkawi sambil garuk-
garuk kepala. Kerjaanmu cuma mikir makanan.
Hisyam yang bertubuh bulat gempal dan perut
gendut itu paling gemar kepada acara yang meng-
hadirkan sesaji. Sebab, ia selalu berniat mendua:
ibadah dan sekaligus makan-makan. Bahkan, suatu
ketika, Kiai Penghulu menemukan Hisyam sedang

<> 170 <>

Yazid R. Passandre

memasukkan apem ke balik gulungan sarung saat ia
disuruh orangtuanya mengantar apem dan ketan ke
masjid. Tak pelak, Kiai Penghulu melototi si gendut,
dan berang.

“Sekali lagi kamu sembunyikan apem itu ke
sarungmu, saya akan menjemur kamu seharian di
halaman masjid. Biar kamu tahu panasnya api
neraka.”

Keringat dingin membasahi tubuh Hisyam, ia
gemetar ketakutan. Namun, kali ini Kiai Dahlan
menjawab pertanyaan Hisyam dengan senyum yang
menenangkan hati.

“Shalat bisa menolong kita dari perbuatan keji
dan mungkar, Syam. Shalat juga akan mendidik kita
menjadi orang yang sabar, karena hanya dengan
shalat, berzikir dan selalu mengingat Allah, hati kita
akan tentram.”

Hisyam hanya diam melongo. Andai ada lalat
terbang di dekat mulutnya yang terbuka seperti goa
itu pasti masuk ke rongga rahangnya. Setelah Kiai
Dahlan selesai mengajar ngaji dan mulai melangkah
pulang, dua orang santrinya mengejar dari arah
belakang. Mereka berjalan seiring, mengapit sang
guru bak pengantin.

“Cara pengajaran Kiai sangat berkesan, lain dari
yang lain,” kata Suja sambil berjalan di samping

<> 171 <>

Tonggak Sang Pencerah

kanannya.
“Betul, K iai,” timpal Fakhruddin di sebelah

kirinya, “Islam seperti agama yang mudah.”
“Islam memang agama yang mudah. Hanya jangan

dimudah-mudahkan.”
“Tapi, kenapa saya sering shalat, belum juga bisa

merasakan maknanya, Kiai?” tanya Suja.
Sontak, Fakhruddin menjawab dengan nada penuh

canda. “Kamu solat sambil mikir utangmu, Ja!”
Fakhruddin hendak tertawa, tapi ia bungkam

sekuat tenaga. Ia segera ingat sedang berada di dekat
siapa ketika itu.

“Apa mungkin karena saya belum tahu seperti
yang diajarkan Kiai tadi, bahwa sebenarnya kita
shalat untuk berhubungan dengan Allah. Kiai
Penghulu tidak pernah mengajarkan itu.”

“Betul. Kiai Penghulu hanya menyuruh shalat.
Kalau tidak shalat maka kita berdosa dan masuk
neraka.”

Kiai Dahlan mesem sambil menepuk-nepuk
pundak Fakhruddin. “Kiai Penghulu benar, cuma cara
penyampaiannya yang berbeda. Agama itu untuk
dipahami, bukan sekadar aturan yang ditaati.”

Suja dan Fakhruddin menjeda tanya sejenak,
melangkah tanpa suara. Kedua santri ini benar-
benar merenungkan ungkapan sang guru.

<> 172 <>

Yazid R. Passandre

“Kenapa Kiai mengajar waktu sore atau pagi saja,
saya yakin kalau waktunya ditambah, santri-santri
akan lebih baik dalam memahami Islam,” lanjut Suja.

“Datang saja ke rumah kapan saja kalian sempat.”
“Boleh, Kiai?”
“Kenapa tidak?”
Sejak itu Suja, Fakhruddin, Hisyam dan Syarkawi
mengaji setiap hari di langgar Kiai Dahlan, sebuah
langgar peninggalan ayahnya. Kian hari, jumlah santri-
santrinya semakin bertambah. Suja dan Fakhruddin
tak henti-henti mengajak kawan-kawan mereka ikut
mengaji. Tak betah hanya mengajar santri-santrinya
dan mengurus Masjid Gede, Kiai Dahlan pun tengah
menyusun niatan yang lain. Ia juga ingin memikirkan
keadaan umat di seantero Nagari. Sebenarnya sudah
lama ia menaruh niat ingin bersilaturahmi dengan
alam di luar sana, menyapa umat dari masjid ke
masjid. Banyak yang ingin ia simak, karena tak sedikit
yang mulai ia renungkan. Merenungkan perintah iqra’
dalam Al-Qur’an makin dalam, hatinya kian tergerak
untuk membaca kenyataan sosial yang lebih luas.
“Besok saya mau ziarah ke kubur Bapak”
“Biar saya temani, Kangmas?”
“Tidak usah, Nyai. Biar saya saja yang pergi.
Sekalian saya ingin berdagang batik keliling daerah,
sambil lalu bersilaturahmi ke Bantul dan Magelang.”

<> 173 <>

Tonggak Sang Pencerah

“Apa Kangmas dapat undangan silaturahmi?”
“Saya ingin mendahului, Nyai. Kalau menunggu
undangan, lama-lama hubungan silaturahmi akan
renggang.”
Nyai Walidah hanya menatap takzim suaminya.
“Rasulullah tidak ada henti menganjurkan kita
untuk bersilaturahmi, agar hubungan baik di antara
sesama umat selalu terbina dan terpelihara.”
Esoknya, Kiai Dahlan pamit kepada Nyai Walidah.
Ia akan memulai perjalanannya. Setelah berziarah
ke makam ayahnya, ia langsung melanjutkan
perjalanan ke Bantul. Menjelang ashar, ia singggah
di sebuah masjid. Masjid itu terlihat sepi, hanya
tampak tiga orang jamaah. Kiai Dahlan menghela
nafas, ia merasa prihatin. Lalu, ia memperhatikan
arah shaf yang lurus ke depan. Kemudian ia keluar
masjid dan melihat ke arah matahari. Kebetulan,
ketika itu matahari bergerak lurus ke arah barat. Ia
bergegas mengambil kompas. Dan, ia hanya
menggeleng-gelengkan kepala.
Tak lama kemudian, datang tiga orang pedagang
sapi merapat ke halaman masjid. Mereka langsung
menghambur ke tempat wudu dan mencuci muka,
lalu bersiap-siap kembali melanjutkan perjalanan.
Kiai Dahlan menghampiri mereka.
“Bapak-bapak seperti tengah kelelahan.”

<> 174 <>

Yazid R. Passandre

“Kami belum dapat pembeli yang pas. Padahal
kami sudah muter-muter ke tiga desa.”

“Ikhtiar itu harus. Tapi apa sudah dibarengi doa?”
Ketiga lelaki itu saling berpandangan.
“Sekarang sudah tiba waktu ashar, sebaiknya kita
shalat dulu. Insya Allah, hari ini dapat pembeli.”
“Tapi celana kami bau, terkena kotoran sapi.”
Kiai Dahlan lalu memberikan tiga helai kain batik
dagangannya kepada para pedagang sapi itu, dan
mengajak mereka melaksanakan shalat jamaah. Usai
shalat, Kiai Dahlan segera berkemas untuk
melanjutkan perjalanan ke Magelang. Saat hendak
naik ke atas kereta kuda, salah seorang dari pedagang
sapi itu menghampiri Kiai dan menyerahkan
kembali kain batik yang mereka pakai untuk shalat
barusan.
“Ini kain Kiai. Terima kasih banyak.”
“Diagem saja, Pak.”
“Ini batik mahal, Kiai.”
“Saya ikhlas.”
Kiai Dahlan pun berlalu dari hadapan pedagang
sapi itu menuju ke arah Magelang. Kerena sampai
di sana malam hari, ia menginap. Ia renungkan
kembali peristiwa di Bantul siang tadi. Ia mengambil
peta yang ia bawa dari Mekkah. Menatap sejurus ke
arah Mekkah, lalu menarik sebuah garis dengan

<> 175 <>

Tonggak Sang Pencerah
benang ke arah Nagari. Dan, ia melakukan perhi-
tungan sejenak.

“Masya Allah, hal ini tidak bisa dibiarkan.”
Menjelang subuh, ia pergi ke masjid untuk
menegakkan shalat berjamaah. Kembali ia terheran-
heran melihat shaf masjid yang lurus ke depan. Usai
shalat ia bergegas menemui sang imam.
“Kenapa masjid ini diarahkan ke timur laut, Kiai?”
“Disesuaikan dengan bahu jalan depan, ndak enak
dipandang kalau masjidnya melenceng dari bahu
jalan.”
Kiai Dahlan hanya menghela nafas panjang. Pagi
itu juga, ia kembali ke Kauman. Ia meredam rasa
gelisah yang demikian kuat.

<> 176 <>

Yazid R. Passandre

Penggalan 20

Kiblat

Kiai Dahlan mengutarakan semua peristiwa
yang dia jumpai selama perjalanan dari
Bantul hingga Magelang kepada istrinya. Hampir
semua masjid yang ia singgahi arah kiblatnya melen-
ceng. Ia menduga, arah kiblat di Masjid Gedhe, bisa
jadi, belum tentu benar. Nyai Walidah terkejut, dan
menyarankan suaminya agar berhati-hati dalam
mengambil tindakan. Sebab menyoal arah kiblat
Masjid Gedhe bukan hal sembarangan, menyangkut
kewibawaan banyak orang, tak terkecuali kewiba-
waan Kiai Penghulu.
Malam itu juga Kiai Dahlan renungkan saran istri-
nya dalam-dalam, ia pertimbangkan segala kemung-
kinan. Ia tak ingin gegabah mengambil tindakan.
Namun, ia juga tak ingin berpangku tangan tanpa
memastikan ketepatan arah kiblat Masjid Gedhe,
justru untuk kebenaran selamanya. Ia bayangkan
dirinya seumpama orang yang tengah berjalan di

<> 177 <>

Tonggak Sang Pencerah

atas gurun sahara dan dilanda kehausan luar biasa
dan belum satu oasis dijumpai. Hatinya bimbang:
andai ia melanjutkan perjalanan, mungkin ia akan
mati direnggut dahaga. Namun, bila ia berdiam diri,
pasti ia akan mati juga. Mati tanpa berbuat apa-apa.

Tiada pilihan lain. Bila dibiarkan, selamanya itu
akan menjadi kesalahan. Saya termasuk orang yang
paling bertanggung jawab di hadapan Allah.

Lalu, ia menoleh ke sebelahnya. Nyai Walidah
dan Johanah tampak pulas di pembaringan. Ia pan-
dangi wajah kedua orang yang ia sayangi itu lekat-
lekat, hatinya ngilu dihantui rasa bimbang. Ia pun
beranjak, mengambil Al-Quran, dan melantunkan
suaranya perlahan-lahan, selirih derai ilalang diayun
angin malam. Syahdu.

Setelah itu, ia beralih mengambil pena dan
kertas, dan menuliskan suara hatinya:

Hai Dahlan, sesungguhnya bahaya yang menyu-
sahkan itu lebih besar dari perkara-perkara yang
mengejutkan di depanmu. Dan, pasti kamu akan
menemui kenyataan yang demikian itu. Adakalanya
kamu selamat, atau tewas menemui bahaya.

Hai Dahlan, bayangkanlah dirimu hanya berha-
dapan dengan Allah saja, dan di mukamu bahaya
maut akan diajukan, hisab atau pemeriksaan, surga
dan neraka. Dan fikirkanlah, renungkanlah apa-apa

<> 178 <>

Yazid R. Passandre

yang akan mendekati kamu daripada sesuatu yang
ada di mukamu (bahaya maut) dan tinggalkanlah
yang selain itu.

Sebelum memasuki bulan Sya’ban, ia berpamit
kepada Nyai Walidah untuk kembali melakukan
perjalanan untuk berdagang keliling ke daerah-
daerah di timur hingga Semarang dan juga Wono-
kromo. Berminggu-minggu ia baru kembali, dan
menanggung letih tak terkira. Namun, keluhannya
bukan soal dagangan yang tak laku, melainkan soal
arah kiblat yang melenceng di masjid-masjid yang
ia singgahi.

Bulan Syakban sudah tiba, warga Kauman riang
gembira menyambut bulan terakhir jelang Ramadan.
Dan, tak sedikit perayaan di bulan itu. Kambing-
kambing bertumbangan disembelih, siap menjadi
santapan di perayaan. Kiai Dahlan tak tinggal diam, ia
memanggil beberapa santrinya, dan menyampaikan
niatnya untuk membuat perhelatan di hari besar itu
juga. Niat itu tak lain, memperbesar bangunan
langgarnya dan meminta sumbangan untuk menjamu
para undangan seolah sedang memperingati hari
Asyura. Yang tak kalah penting adalah niat untuk
mengumumkan perubahan arah kiblat langgarnya.
Saat ia menyampaikan niat itu, wajah-wajah orang
yang mendengar rencana Kiai itu tak terlalu gembira.

<> 179 <>

Tonggak Sang Pencerah

“Sudah saya coba melihat arah yang benar di
masjid-masjid itu, Dari Magelang, Bantul sampai
Semarang. Arah kiblat masjid-masjid itu melenceng
semua.

“Termasuk Masjid Besar Kauman, Kiai?” Tanya
Suja.

Gurunya mengangguk berat.
“Seolah-olah masjid dibangun hanya untuk
syarat.”
“Gawat, Ja”, Fakhruddin berbisik di telinga Suja.
Ia menggaruk-garuk lehernya, pipinya, dan mulutnya
seperti mulut anak kuda memamah biak. Syarkawi
dan Hisyam seolah akan membenamkan kepala ke
lantai langgar, tak mampu tegak membayangkan apa
yang akan dilakukan guru mereka selanjutnya.
Ini sudah pasti perang sabil nantinya, gerutu
Hisyam kepada Syarkawi.
Suja angkat bicara. “Tidak mudah membetulkan
arah kiblat, Kiai. Apalagi di Masjid Besar. Kiai akan
berhadapan dengan Kiai Penghulu dan Kiai Lurah.
Mereka tidak mudah dipengaruhi.”
“Saya tidak bermaksud pengaruhi siapa-siapa, Ja.”
Suja mengangguk girang dan menoleh kepada
Fakhruddin agar segera menimpali dan mendukung
maksudnya. Hisyam dan Syarkawi tiba-tiba menegak-
kan kepala mereka seperti jerapah yang sontak

<> 180 <>

Yazid R. Passandre

girang.
“Benar kata Suja, Kiai. Arah kiblat itu sudah turun-

temurun. Panjenengan bisa disalahkan ulama-
ulama se-Tanah Jawa,” timpal Fakhruddin.

Kiai Dahlan berpikir sejenak, lalu tersenyum.
Tanpa ragu kemudian berujar, “Jangan bimbang dan
takut, Jika kita kukuh dan berkemauan dalam
mewujudkan suatu cita-cita, insya Allah ada jalan.”

Pupus sudah harapan Suja dan Fakhruddin,
mereka pulang membawa ganjalan ’istimewa’.
Hisyam dan Syarkawi berpisah di tengah jalan tanpa
suara. Kiai Dahlan terus mematangkan rencananya
untuk mengundang kehadiran Kiai Lurah ke perhe-
latan ’istimewa’ di bulan Syakban di langgarnya, hari
penting yang akan sekaligus dijadikan momentum
untuk mengubah arah kiblat. Perhelatan itu siap
digelar, semua santri sudah berkumpul. Seekor
kambing dipotong diiringi ucapan takbir. Dan, tidak
diduga, justru yang pertama kali hadir adalah Kiai
Lurah beserta istrinya.

“Ahlan wa sahlan, Kangmas. Sehat-sehat?”
“Alhamdulillah, Dimas.”
Suja sampai terpicing-picing seraya memiringkan
kepalanya melihat gurunya menyambut kedatangan
Kiai Lurah. Ia menghela nafas panjang: perang baru
akan dimulai.

<> 181 <>

Tonggak Sang Pencerah

“Din, kamu lihat siapa yang datang?”
“Kiai Lurah, memangnya kenapa?”
“Kamu lupa soal kiblat?”
“Mbuh! Ben waelah...Kiai Lurah kan kakak ipar
Kiai.”
“Dasar geblek! Ini kan acara penggalangan dana
untuk langgar kita, sekaligus mengarahkan kiblat
yang benar. Nanti kalau Kiai Lurah tahu arah kiblat
langgar kita berbeda dengan Masjid Besar,
bagaimana?!”
“Wah, iya, yah...”
“Waduh, bisa ruame.”
Protokol acara maju ke depan khalayak yang
hadir, dan mengucapkan beberapa kalimat prakata.
Ia pemuda Kauman bernama Jarnawi. Sengaja Kiai
Dahlan memilih ia sebagai protokol, bukan keempat
santri setianya, agar kecemasan dan kekhawatiran
mereka tak memengaruhi proses acara berlangsung.
Tanpa ragu-ragu, Jarnawi kemudian mempersilah-
kan Kiai Lurah untuk menyampaikan sambutan.
Sontak, Kiai Lurah berdiri dari kursi, dan melangkah
ke arah mimbar.
Semua orang memandang Kiai Lurah penuh rasa
takzim. Suja menggeliat, seperti kecoa tertindih
sandal. Fakhruddin gelisah mirip cacing kepanasan.
Hisyam dan Syarkawi mematung, keduanya hanya

<> 182 <>

Yazid R. Passandre

melongo ke arah mimbar, harap-harap cemas apa
yang akan terjadi. Panjang lebar Kiai Lurah mengu-
pas topik betapa penting perayaan hari Asyura itu.

“Di sini saya maklumkan, bahwa perayaan Nisyfu
Sa’ban dan Asyura yang telah berjalan sekian tahun,
insya Allah membawa barokah...”

Hadirin tersenyum gembira.
“Terbukti banyak jamaah yang hadir di sini,
sehingga Langgar kecil ini tiada bisa lagi menampung
tamu-tamu, sampai ada yang rela harus duduk di
luar.”
Kiai Dahlan tersenyum. Keempat santri setianya
hanya menghela nafas, seolah sedang menanti
meriam meledakkan suara, bimbang tak alang-
kepalang.
“Kemarin, saya memperoleh usul dari Tibamim,
yaitu Kiai Dahlan adik ipar saya, bahwasanya sudah
saatnya langgar ini diperbesar.”
Semua hadirin saling pandang. Sujak menahan
deham di dalam dadanya, tak tahan lagi memba-
yangkan muntahan martir dari mulut Kiai Lurah.
“Sebentar lagi, Din,” bisik Suja sengau ke telinga
Fakhruddin. Hisyam tepekur, Syarkawi menggeleng
pasrah.
“Adapun biayanya, saya harapkan dari saudara-
saudara semua yang ikhlas bersedekah karena Allah.

<> 183 <>

Tonggak Sang Pencerah
Sesungguhnya, berderma untuk tempat ibadah
merupakan langkah jihad...”

“Tak luput, yang lebih penting dari itu semua,
adalah arah kiblatnya ditujukan tepat ke Masjidil
Haram, ke arah Ka’bah di Mekkah.”

<> 184 <>

Yazid R. Passandre

Penggalan 21

Musyawarah

Siang tadi, Suja dan Fakhruddin merasa
surprise karena mendapat sambutan Kiai
Lurah ramah, hal yang tak disangka-sangka.
Karena itu, berbekal pengalaman itu, dua santri ini
dalam muka cerah kembali memenuhi panggilan
Kiai Dahlan. Secerah langit yang malam itu mem-
binar-binarkan cahaya gemintang di atas sana. Di
hamparan angkasa yang seolah menghamburkan
kilau butiran-butiran pelita, dan seakan turut mera-
yakan kegembiraan Suja dan Fakhruddin: dua anak
manusia yang sedang gairah mencari kebenaran
hakiki.
“Tolong, sampaikan surat saya kepada K iai
Penghulu!”
“Surat, Kiai?”
“Ya, surat pemberitahuan musyawarah kiblat di
Masjid Besar, tunggu sebentar!”
Baru saja merasa lepas dari kunyahan rahang

<> 185 <>

Tonggak Sang Pencerah

singa, Suja dan Fakhruddin harus kembali
menghadapi ancaman taring serigala. Ini betul-betul
ora main-main, Din. Senggol Suja sambil bertopang
dagu kepada Fakhruddin yang tengah menelisik kuku
kakinya, tak tahu harus berbuat apa. Mereka
menunggu Kiai Dahlan yang sedang mengambil
surat itu.

“Tidak salah Kiai milih kita berdua, Ja?”
“Kiai tahu kalau kita pengecut, Din. Inilah
pelajarannya. Saya tidak bisa membayangkan kalau
surat itu dibaca Kiai Penghulu di depan kita....”
“Mau jadi apa kita nanti disumpahi?”
“Mending disumpahi, Ja. Kalau tidak, pipi kita
meleleh di ujung tongkat mimbar...!”
Kiai Dahlan muncul dengan sepucuk surat di
tangannya, “Sampaikan juga salam hormat saya
kepada beliau, ini surat untuk Kiai Penghulu.”
Beruntung, saat Suja dan Fakhruddin hendak
memasuki halaman rumah Kiai Penghulu, mereka
dicegat Dirjo.
“Apa itu?”
“Surat buat Kiai Penghulu.”
“Biar saya yang serahkan, Pakde belum pulang
dari masjid.”
Sebelum Suja dan Fakhrudddin berlalu, Suja
menjelaskan kepada Dirjo bahwa surat itu adalah

<> 186 <>

Yazid R. Passandre

surat pemberitahuan tentang musyawarah kiblat.
Dirjo mengangguk berat. Sedetik kemudian ia baru
menyadari dirinya telah salah mengambil alih surat
itu. Segera terbayang di depan mata bagaimana
nasibnya saat ditanya Kiai Penghulu. Namun, Dirjo
sudah telanjur menganggukkan kepala tanda
sanggup, walau itu terasa berat. Dengan langkah
berat, Dirjo memasuki rumah pamannya, menunggu
kepulangannya.

Tak lama menunggu, Kiai Penghulu muncul di
balik pintu. Dirjo langsung menyerahkan surat itu.
Kiai Penghulu membuka dan membaca isinya. Lalu
ia menibar nafas, melirik wajah Dirjo. Jantung Dirjo
berdegup acak, berharap tak menjadi sasaran
serapah yang biasa ruap dari mulut yang ditakzimi
semua orang itu.

“Siapa saja yang diundang, Le?”
“Banyak, Pakde.”
“Banyak itu siapa saja?!”
“Kiai Lurah, Kiai Muhammad Faqih, Kiai Abdul
Hamid dari Lempuyangan, Kiai Abdullah Siraj dari
Pakualaman...”
“Kiai Abdullah Siraj Pakualaman juga diundang?”
Dirjo mengangguk jujur. Ia demikian pasrah. Ia
kesal terhadap kelancangannya sendiri mengambil
alih surat berisiko itu, namun seumpama nasi, ia

<> 187 <>

Tonggak Sang Pencerah

sudah jadi bubur. Suasana menyenyap, kelopak mata
Kiai Penghulu menyipit, urat-urat di pelipisnya tiba-
tiba tampak seperti arus listrik bertegangan tinggi,
meskipun dugaan Dirjo mleset.

“Kamu paham maksud acara musyawarah di
dalam surat ini, Le?” Suara Kiai Penghulu melunak,
seolah membujuk.

Dirjo menahan diri untuk menjawab. Ia tak ingin
bersikap lancang untuk kedua kali. Cukup sudah
kelancangannya sekali itu. Ia menggelengkan kepala.

“Tidak, Pakde.”
Dirjo lekas-lekas mohon pamit pulang. Ia tak
betah berlama-lama dengan pamannya yang
mukanya mulai berubah tak karuan.
Baru saja usai melaksanakan shalat Subuh
berjamaah di Masjid Gedhe, Kiai Penghulu meng-
hampiri Kiai Lurah.
“Sudah terima undangan dari adik iparmu?”
“Sudah, Kiai.”
“Siapa saja yang diundang selain Kiai Abdullah
Siraj Pakualaman?”
“Kiai dari Blawong dan Wonokromo juga diun-
dang, Kiai.”
Sontak, Kiai Penghulu tak bisa menahan
kekagetannya.
Tak lama waktu berselang, acara musyawarah itu

<> 188 <>

Yazid R. Passandre

segera dilangsungkan. Di hari itu, berdatangan para
undangan dari berbagai daerah. Mereka ada kiai dan
alim ulama yaang mengenakan baju kebesaran
masing-masing.

“Kira-kira apa yang akan dibicarakan di perte-
muan ini? Seperti penting sekali, sampai Kiai dari
Blawong dan Wonokromo juga hadir?”

“Saya belum bisa memastikan, Kiai. Tapi saya
yakin persoalannya serius. Lebih jelasnya, biar kita
ketahui bersama sewaktu acara sudah dibuka.”

Suasana Masjid Gedhe tak tampak seperti
biasanya, yang hadir di sana bukan jamaah kalangan
awam. Masjid berhiaskan sorban. Keteduhan
tampak di semua wajah. Lalu, Kiai Dahlan angkat
bicara.

“Beberapa bulan ini, kebetulan saya berdagang
batik keliling daerah di Kotagede, Magelang,
Semarang, Demak, Surakarta sampai ke Wono-
kromo. Saya tidak menyangka, kalau masih banyak
masjid yang belum menempatkan arah kiblat yang
tepat. Termasuk di Masjid Gedhe ini. Hanya masjid
Panembahan Senopati di Kotagede saja yang sudah
tepat arah kiblatnya. Oleh karena itu, tanpa niat
menyalahkan, sangat penting acara musyawarah ini
agar kita bisa membicarakan persoalan ini dengan
akal pikiran yang jernih.”

<> 189 <>

Tonggak Sang Pencerah

Para hadirin tercengang. Kiai Penghulu menger-
nyitkan kening, wajahnya merengut. Namun, ia be-
lum sepatah kata menyela pembicaraan. Sampai
kemudian perdebatan sengit di acara musyawarah
itu tak terhindarkan.

Kiai Muhammad Faqih: Dalam soal ini, saya
sependapat dengan Kiai Siraj. Kiblat adalah soal
qalbu. Dengan qalbu yang bersih, kita jaga
kemurnian syariah Islam dari pengaruh kaum kafir.
Kita ndak boleh lengah. Maka, dengan adanya
musyawarah ini, silang pendapat di sini, saya kuatir
umat kita jadi bingung dan terpecah belah.

Kiai Dahlan: Itulah kenapa saya mengundang para
Kiai dan Alim Ulama ke sini untuk membicarakan
soal kiblat ini dengan pikiran yang jernih, dan akal
sehat. Sudah tentu, saya juga tidak menghendaki
adanya perpecahan di kalangan umat.

Kiai Lurah: Kalau begitu, buktikan pendapatmu
menurut keilmuan, insya Allah kita bisa
merenungkan.

Kiai Dahlan memberikan isyarat kepada Suja dan
Fakhruddin. Kedua pemuda itu langsung mengerti
apa yang dimaksud guru mereka. Tak seberapa lama,
Suja dan Fakhruddin membentangkan peta dunia di
atas kertas papirus. Semua hadirin menyaksikan Kiai
Dahlan yang berusaha menjelaskan pendapatnya

<> 190 <>

Yazid R. Passandre

disertai dalil-dalil ilmu falak yang sudah ia kuasai.
Wajahnya sangat serius namun tetap bersahaja.
Begitu juga para Kiai dan Ulama lainnya. Tiba-tiba
Kiai Penghulu menyela pendapat Kiai Dahlan. Tapi,
opini Kiai Penghulu kemudian diserang balik oleh
Kiai Lurah. Ketegangan semakin tajam, silang
sengketa pendapat seperti lindu dan guntur, bahkan
masing-masing berusaha saling menggempur
pandangan-pandangan orang. Sebagian kecil hadirin
ada yang sepakat arah saf-saf di masjid mereka
diperbarui, dan diarahkan tepat ke arah kiblat. Tapi,
sebagian besar belum menyepakati cara baru
menghadap kiblat itu.

Keringat Kiai Dahlan menetes setitik-setitik dari
keningnya. Berkali-kali ia mengusapkan sapu tangan
ke wajahnya. Suja dan Fakhruddin memperhatikan
perdebatan itu dari jauh, gelisah. Kiai Dahlan
berusaha menahan keluh di hatinya:

Seperti menggeser letak Merapi, tidak mudah
melakukan peroebahan...

Azan subuh berkumandang, tampak wajah-wajah
lelah para kiai dan ulama peserta musyawarah.
Musyawarah itu selesai seperti pohon yang tak
berbuah. Seluruh raut wajah peserta musyawarah
menyisakan pikiran yang mengganjal. Kiai Dahlan
menyadari bahwa pertemuan itu belum membawa

<> 191 <>

Tonggak Sang Pencerah

hasil, namun ia berlapang dada menerima kenyataan
itu.

“Alhamdulillah, musyawarah ini berjalan baik.
Saya senang bisa bertukar pikiran bersama para kiai
dan ulama. Semoga Allah senantiasa meridai kita
semua.”

Setelah menunaikan shalat subuh berjamaah
dan sejenak kembali beramah-tamah dengan
seluruh peserta musyawarah, Kiai Dahlan pun
melangkah pulang. Sementara wajah Kiai Penghulu
tampak berbinar-binar, ia gembira karena kewiba-
waannya yang seolah sedang dirongrong pada hari
itu terselamatkan. Tak ada lagi rasa gusar di hatinya,
karena sebagian besar peserta musyawarah masih
berpihak kepada arah kiblat yang mereka yakini
masing-masing. Dan, Masjid Gedhe masih tampak
seperti sediakala.

Kiai Dahlan melangkah gontai, tubuhnya lunglai.
Jelas terlihat dari wajahnya kelelahan yang tak
terkira. Namun, hatinya masih sejuk, tak sedikit pun
ia berkeluh kesah apalagi menaruh rasa putus asa
lantaran perjuangannya belum juga membuahkan
hasil seperti yang ia bayangkan. Melihat Kiai Dahlan
memasuki halaman rumah, Nyai Walidah langsung
menyambut dengan senyuman. Dalam bahasa se-
nyuman yang khas, Nyai Walidah ingin meyakinkan

<> 192 <>

Yazid R. Passandre
kepada suaminya bahwa seberat apa pun perju-
angan itu ia akan selalu hadir bersama hati yang
terbuka dan tetap berada dalam barisan yang sama.
Itulah kebiasaan Nyai begitu melihat kelelahan di
wajah suaminya.

“Bagaimana hasil akhir musawarah, Kangmas?”
Kiai Haji Ahmad Dahlan menghela nafas.
“Pada akhirnya yang terpenting bukan kata
sepakat, Nyai. Karena, menumbuhkan kesadaran
bermusyawarah di kalangan umat saja itu sudah
melebihi dari sekadar sebuah kesepakatan.”

<> 193 <>

Tonggak Sang Pencerah

Penggalan 22

Garis Kapur

Siang itu, Kiai Dahlan mengimami shalat zuhur
di langgarnya. Tak tampak di wajahnya kelelahan,
meskipun hanya sempat terlelap sekejap waktu
setelah semalaman begadang melaksanakan
musyawarah di Masjid Gedhe. Pemecahan masalah
yang hendak disepakati dalam musyawarah itu
memang mengalami jalan buntu, karena sebagian
besar peserta tetap pada pendirian semula. Tak
mengapa, perbedaan itu rahmat asalkan dilandasi
ilmu dan pengetahuan yang mendalam, bukan asal
beda.

Kiai Dahlan tak menyoal perbedaan itu, ia justru
bangga, karena pengayom umat sudah mulai
tergerak untuk melakukan musyawarah secara
terbuka berkaitan dengan persoalan bersama.
Kebiasaan semacam itu pasti juga akan mengalir
seumpama air dari dataran tinggi menuju ke tanah-
tanah pesawahan di bawahnya, maka kesadaran

<> 194 <>

Yazid R. Passandre

jamaah untuk bermusyawarah kelak akan tumbuh
bermekaran. Meskipun demikian, ia tetap mene-
gakkan shalat dan berdiri pada shaf yang mengarah
ke Barat Baut, arah di mana Ka’bah tepat menancap
di lambung Masjidil Haram. Dirjo, keponakan Kiai
Penghulu, juga tampak tegak berdiri sebagai mak-
mum menghadap ke arah yang sama. Tak terkecuali,
Suja, Fakhruddin, Hisyam dan Syarkawi. Mereka
semua menghadap ke arah yang tak sedikit pun
berbeda. Seusai shalat zuhur, seperti biasa, mereka
melaksanakan ceramah singkat, hanya berlangsung
selama sekitar tujuh menit. Kiai Dahlan sekadar
berpesan:

Allah dan Rasul-Nya mewajibkan kita menuntut
ilmu, agar kita semua dapat memahami agama
secara benar.

Pesan itu sudah terlalu sering diucapkan Kiai, dan
Suja dan kawan-kawannya telah cukup memahami
petuah ini. Namun, berada dalam suasana musya-
warah tadi malam, pesan itu terasa menemukan
konteksnya yang pas. Suja dan kawan-kawan yang
telah mampu menjiwai ucapan-ucapan Kiai lebih
dari apa yang terucap itu merasa semakin mantap
dalam menelaah tausiah singkat itu. Mereka seperti
biji-biji buah yang baru saja kembali disirami air
jernih yang akan menumbuhkan tunas-tunas

<> 195 <>

Tonggak Sang Pencerah

lembaga, lalu menjadi benih-benih tanaman unggul.
Lebih-lebih Dirjo, ungkapan singkat yang baru saja
ia dengar itu laksana gerak angin membelai lembut
jiwanya. Seolah akal pikirannya tercerahkan saat itu
juga.

Hari beringsut petang. Dirjo dan kawan-kawan-
nya merangsek ke Masjid Gedhe untuk melaksana-
kan shalat isya. Sebelum melantukan suara takbir,
Kiai Penghulu menoleh ke belakang, memperhati-
kan posisi jamaah.

“Luruskan saf!”
Namun, hingga kedua tangan Kiai Penghulu ter-
angkat dengan posisi menyerah, dan suara takbirnya
melantun memuji kebesaran Allah, posisi makmum
belum juga searah. Pasalnya, Dirjo dan kawan-
kawannya seperti hendak memberontak terang-
terangan. Mereka enggan menghadap kiblat yang
searah dengan sang imam. Jamaah lainnya tampak
kebingungan menentukan sikap, melihat paman dan
keponakan bertolak belakang. Tak pelak, dalam shalat
kali itu terdapat dua posisi yang berbeda. Sebagian
lurus, sebagiannya lagi agak miring.
Esoknya, jamaah subuh di masjid itu geger.
Penyebabnya tak lumrah: lantai masjid digaris kapur.

“Lancang!” sergah Kiai Penghulu sambil mene-
lan liur, tak dapat melanjutkan kalimatnya.

<> 196 <>

Yazid R. Passandre

“Siapa yang melakukan ini?!”
Merbot, penjaga masjid, pucat pasi, tak mene-
mukan jawaban. Dan, jamaah yang menyimak garis
itu juga terpaku.
“Cari pelakunya sampai ketemu...!” seru Kiai
Penghulu.
Tak lama, kabar sudah berhembus ke segala
penjuru Kauman, bahwa takmir Masjid Gedhe
sedang mencari pelaku penggaris kapur di lantai
masjid. Tak kalah pongah, Sujak dan Fakhruddin
kasak-kusuk di depan langgar. Keduanya mengkha-
watirkan diri mereka, dan bukan tidak mungkin pada
akhirnya akan didera tuduhan. Gayung pun bersam-
but, tak lama berselang apa yang pernah dikhawa-
tirkan bersama tentang ’perpecahan’ itu seakan
sudah berwujud kenyataan. Seorang takmir Masjid
Gedhe, langkahnya tergesa dan tubuh tergopoh-
gopoh, menemui mereka yang sedang tepekur di
pojok langgar.
“Mana, Kiai Dahlan?”
Setelah mendapat jawaban, sang takmir langsung
masuk ke dalam rumah dengan membawa sepucuk
surat.
“Maaf, Kiai. Saya membawa surat Kiai Penghulu.”
“Tidak minum-minum dulu?”
“Sudah, Kiai. Terimakasih,” ucap utusan Kiai

<> 197 <>

Tonggak Sang Pencerah

Penghulu singkat, dan segera berlalu.
Dan, sore itu, Kiai Dahlan memenuhi panggilan

Kiai Penghulu. Suja dan Fakhruddin ikut serta.
Keduanya sengaja dibawa sekaligus untuk diintero-
gasi. Selama perjalanan, belum seucap kata pun yang
terlontar dari bibir Kiai Dahlan, seolah Suja dan
Fakhruddin sudah jelas akan segera menjadi calon
pesakitan. Dan, tak lama lagi akan mendapat
hukuman yang keras. Kecurigaan jamaah Masjid
Gedhe memang sedang mengarah kepada Kiai
Dahlan dan santri-santrinya. Mereka dicurigai
sebagai pemicu huru-hara, kalau pun tuduhan tidak
bisa menyertai bukti-bukti.

“Benar-benar sial, Ja.”
“Sudah kuduga akan seperti ini jadinya, Din,”
balas Suja dalam bisikan teramat lirih.
Sampai di masjid, Kiai Dahlan langsung digiring
Kiai Penghulu melihat langsung tempat kejadian.
Lama Kiai Dahlan hanya tertegun, duduk mengha-
dapi garis putih yang tampak miring. Di depannya,
Kiai Penghulu sudah siap memuntahkan dakwaan.
“Ini pelanggaran, Kiai!”
Kiai Dahlan menghela nafas, di dadanya ter-
kurung rasa prihatin yang mendalam. Kiai memang-
gil Suja dan Fakhruddin agar duduk seiring di dekat
dirinya seraya memperhatikan garis kapur itu. Tak

<> 198 <>


Click to View FlipBook Version