The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Tonggak Sang Pencerah Sebuah Novel tentang KHA. Dahlan (Yazid R. Passandre) (z-lib.org)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by masjiddarussalam18, 2022-04-21 19:09:47

Tonggak Sang Pencerah Sebuah Novel tentang KHA. Dahlan (Yazid R. Passandre) (z-lib.org)

Tonggak Sang Pencerah Sebuah Novel tentang KHA. Dahlan (Yazid R. Passandre) (z-lib.org)

Yazid R. Passandre

menyangkal, bahwa kesetiaannya sudah terlanjur milik
gurunya, sebab ia sudah berikrar untuk selamanya
menopang perjuangan Kiai Dahlan.

“Saya berniat mendirikan Sekolah Ibtidaiyah, Ja.”
“Apa tempatnya di langgar, Kiai?”
Kiai Dahlan menggeleng ringan.
“Di rumah.”
“Rumah yang mana, Kiai?”
“Rumah yang mana lagi, Ja?”
Suja terperangah, pikirannya kembali berselimut
rasa heran. Ia hanya menggaruk-garuk kepala.
“Tidak salah itu, Kiai?”
“Apanya yang salah, Ja? Ruang tamu ini kan bisa
juga difungsikan sebagai ruang kelas.”
Suja bengang, perasaannya makin tak menentu.
Sekali saja seumur hidupnya ia ingin sekali bisa
membantah pendapat gurunya, dan ia menang
lantaran dalam posisi yang benar dan lebih maju dari
gurunya. Namun, kemenangan selalu urung, tak
sekali pun bisa ia lakukan. Bahkan, ia merasa selalu
telat mikir dan tak mampu mengejar jangkauan
pikiran gurunya yang berlari seolah kuda terbang
dan lebih dulu sampai di langit.
“Kemarin, kamu bilang mau bantu, Ja …?”
Sejenak, Kiai Dahlan terdiam.
“Bantu apa, Kiai?”

<> 249 <>

Tonggak Sang Pencerah

“Kumpulkan teman-temanmu untuk belajar lagi,
di sini...”

Sontak, Suja tergugah. Ia buru-buru menarik
liurnya yang hampir jatuh, “Baik, Kiai, saya akan
usahakan.”

Hari itu, Kiai Dahlan dibantu Suja, Fakhruddin dan,
tak ketinggalan, Nyai Walidah, membongkar ruang
tamu rumah sederhana itu menjadi ruang kelas
belajar-mengajar. Mereka semua bahu-membahu,
kerja bakti, untuk meminggirkan perabotan rumah
hingga kosong, sampai ruang tamu itu tampak seperti
ruang kelas. Setelah selesai menata ruangan, barulah
Kiai Dahlan melepas nafas lega.

“Nanti saya akan membeli meja dan kursi untuk
disusun di sini.”

“Kenapa tidak duduk di atas tikar saja?”
“Ini sekolah. Bukan langgar. Santri-santri harus
duduk di atas bangku.”
Wajah Suja menyiratkan ketidaksetujuan.
“Nanti tidak ada bedanya dengan sekolah kafir
itu, Kiai!” kata Fakhruddin lantang.
Senyum khas Kiai Dahlan mengembang saat
menatap wajah Fakhruddin. “Tidak ada sekolah kafir
atau sekolah Islam, yang ada manusia kafir dan
manusia muslim, Din.”
Sebuah papan nama terpampang di depan rumah,

<> 250 <>

Yazid R. Passandre

bertuliskan: Sekolah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah.
Suja hanya mampu mengumpulkan santri beberapa
saja, tak lebih dari sembilan orang termasuk dirinya
yang pada hari itu mulai sekolah. Namun, Suja
kembali risau, sebab gurunya seolah hanya akan
mengajarkan mereka bernyanyi. Semua santri yang
sedang belajar di sekolah itu terlihat setengah hati,
mereka belum pernah diajarkan hal-hal yang serupa
itu. Apalagi harus belajar bernyanyi lagu-lagu
Belanda. Namun, Kiai Dahlan tak henti memberikan
semangat dan pandangan-pandangan menyegarkan.

Ayo terus berlatih.
“Doo…ree…mii…fa… sol…”
“La…sii…doo…”
Esoknya, Kiai Dahlan mengajarkan agama.
“Misi pertama Rasulullah Muhammad Sallallahu
‘alaihi wasallam di tengah-tengah masyarakat
Mekkah adalah memperbaiki akhlak, memperindah
budi pekerti. Bukan yang lain.”
“Kenapa begitu, Kiai?”
“Begitulah tujuan Islam, tiada lain hanya untuk
membuat manusia saling mencintai, tolong-
menolong, berilmu dan berbudi pekerti yang baik.
Jadi, tidak ada alasan bagi umat Rasulullah untuk
berperilaku jelek, saling memusuhi, membiarkan
kesengsaraan tumbuh, atau bermalas-malasan

<> 251 <>

Tonggak Sang Pencerah

dalam menuntut ilmu.”
Kegiatan sekolah Ibtidaiyah terus berproses. Kiai

Dahlan kembali mengajarkan bernyanyi, suara
santri-santrinya masih terdengar fals. Fakhruddin
hanya menggaruk-garuk kepala dan bingung harus
bagaimana menyikapi gurunya. Hisyam lebih-lebih,
ia lunglai, dan suaranya nyaris tak terdengar persis
seperti anak keledai yang belum makan seharian.
Yang tak kalah malas adalah Syarkawi, berkali-kali ia
harus keluar-masuk ruang kelas hanya untuk
membuang cairan ingus dari hidungnya yang entah
mengapa tiba-tiba ngamber.

Tak ada santri yang betul-betul yakin bahwa
mereka bisa belajar bernyanyi dalam suasana hati
yang masih diselimuti rasa ragu. Suja juga masih
setengah hati, meskipun ia berusaha terus
mengikuti nada-nada itu.

Tiba-tiba Suja menginjak kaki Fakhruddin keras-
keras, dan Fakhruddin melolong seperti anjing
melihat maling.

“Doooooooooooo…!”
Suja kemudian memberi komando semangat.
Keringat mengucur deras di lehernya yang terlilit
urat nadi menonjol. Kawan-kawannya kaget
mendengar suara keras Suja. Ia justru semakin tak
peduli, ia terus mendendangkan nada dengan suara

<> 252 <>

Yazid R. Passandre
yang membahana. Meskipun sebenarnya, jauh di
lubuk hatinya ia tak berkenan.

“Ayo semangat…!” ucap Suja berteriak.
Doo…ree…mii…fa… sol…
La…sii…doo…

<> 253 <>

Tonggak Sang Pencerah

Penggalan 29

Menuai Protes

Meskipun sekolah itu hanya sebidang
ruang tamu, pengaruhnya meluas
cepat. Keberadaan sekolah Islam yang
sama sekali lain dari tradisi kepengajaran yang
pernah dikenal masyarakat Kauman mulai menjadi
perbincangan banyak orang. Terutama, tentu saja,
umat Islam. Tak sedikit kiai dan alim ulama yang
menganggap Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah
yang dibangun Kiai Dahlan sebagai suatu bentuk
pengingkaran.
Dari penampilannya saja, sekolah itu memang
tampak mengingkari zamannya, dan seolah hendak
membangun zaman baru: zamannya sendiri. Zaman
di mana manusia terbebaskan dari belenggu tradisi
yang membodohkan.
Santri-santrinya tak duduk di lantai langgar atau
masjid, seperti umumnya madrasah kebanyakan.
Mereka juga tak hanya belajar ilmu agama, tapi juga

<> 254 <>

Yazid R. Passandre

bernyayi dan mengunduh ilmu pengetahuan umum.
Dengan sekolah itu, Kiai Dahlan ingin menegaskan
bahwa Islam tak hanya mendidik manusia shalat dan
puasa, namun juga memiliki perhatian yang
mendalam terhadap persoalan kemanusiaan. Islam
yang ingin diperkenalkan adalah bukan ajaran yang
sama sekali tak mengabaikan kemajuan peradaban
dan kesejahteraan umat manusia. Tetapi, Islam yang
memurnikan sifat-sifat Allah, serta sekaligus
mencerahkan akal budi.

Namun, seumpama kisah shiratal mustaqim, Kiai
Dahlan harus berjalan di titian sehelai rambut—
dibelah tujuh pula—, di mana di kanan dan kirinya
jurang. Jurang di kiri adalah pihak-pihak yang selama
ini menuduh umat Islam sebagai agama terbelakang,
jauh dari akal sehat. Jurang sebelah yang lain, kanan,
adalah pihak-pihak dari kalangan umat Islam sendiri
yang mengutuk bahwa kehidupan yang mengingkari
tradisi beragama adalah kafir.

Kiai sering tepekur sendiri saat merenungi
kenyataan mengapa Islam lebih banyak diatributkan
kegiatan ritual, seperti kenduri. Mengapa ajaran
mulia itu tidak diwujudkan ke dalam aksi-aksi yang
menyejahterakan umat, yang untuk itu Islam harus
digali melalui cara yang tidak bisa seperti yang lazim
dilakukan kalangan muslim, sebatas mengaji. Ia sedih

<> 255 <>

Tonggak Sang Pencerah

bila sampai kepada etos kaum muslim yang sampai
pada taraf tertentu bisa disimpulkan telah menolak
perubahan, dan kemungkinan untuk melakukan
pembaruan itu masih jauh panggang dari api. Apa lagi
jika bukan betapa langka dan sulit menemukan orang-
orang atau pihak-pihak yang berangkat dari tradisi
keislaman yang kuat yang menginginkan langkah-
langkah menuju pencerahan dan keluar dari jeratan-
jeratan membodohkan. Maka ia menyematkan
sebuah pelajaran yang berbeda kepada santri-
santrinya:

Kebanyakan pemimpin rakyat belum berani
mengorbankan harta benda dan jiwanya untuk
berusaha tergolongnya (menghimpun) umat
manusia dalam kebenaran. Malah pemimpin-
pemimpin itu biasanya hanya mempermainkan,
memperalat manusia yang bodoh-bodoh dan
lemah.

Usai belajar di hari itu, Suja kembali membersihkan
ruang kelas dan merapikan peralatan mengajar. Ia juga
merapikan bangku-bangku berbahan kayu jati putih
serta papan tulis kayu suren. Sementara Kiai Dahlan
belum juga beranjak dari kursinya, ia masih bersitekun
mengoreksi kegiatan mengajar yang sekian lama sudah
berlangsung. Sekonyong-konyong, seorang Kiai dari
Magelang beserta dua orang santrinya datang

<> 256 <>

Yazid R. Passandre

mengucapkan salam. Terlihat jelas muka Sang Kiai yang
tak bersahabat, matanya jelalatan. Seolah, ia sedang
menggeledah seisi ruang tamu yang kini menjadi ruang
kelas itu. Melihat cara kedatangan mereka yang tak
santun, Suja merasa tak nyaman dan hendak
melangkah keluar. Namun, Kiai Dahlan menahan
langkahnya, meminta Suja tetap di tempat.

“Saya senang Kiai berkenan mampir jauh-jauh
dari Magelang, kita bisa saling mempererat tali
silaturahmi,” sapa Kiai Dahlan.

Sang tamu tak memberi senyum sedikitpun. Dua
santrinya tak jauh beda, diam dan pasang muka tak
bersahabat. Seolah kedatangan mereka hanya akan
menyulut perang. Suja makin ketar-ketir melihat
wajah-wajah yang kian mengeras itu.

Kiai Dahlan masih berusaha tersenyum,
“Bagaimana keadaan umat Islam di Magelang?”

“Itu pertanyaan yang tidak terlalu penting.”
Kembali matanya jelalatan kasar, memeriksa
keadaan di sekelilingnya dan menolak berbasa-basi.
“Yang paling penting sekarang, saya sudah
melihat sendiri apa yang selama ini diributkan umat
tentang sekolah Anda ini.”
Kiai Dahlan sontak heran mendengar ungkapan
yang maksudnya belum seluruhnya bisa dimengerti.
Suja hanya tepekur di tempat duduknya, ia bergeming

<> 257 <>

Tonggak Sang Pencerah

seperti patung. Ingin rasanya ia membantu gurunya
dan ikut mendamaikan suasana, namun tak tahu apa
yang bisa ia ucapkan.

“Ada apa dengan sekolah saya, Kiai?”
“Tentu Anda sudah tahu apa artinya Madrasah
Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah!”
“Kalau saya tidak tahu, saya tidak akan memakai
nama itu, Kiai.”
“Kalau anda sudah tahu, kenapa Anda memakai
perlengkapan yang tidak Islami?”
“Yang mana perlengkapan tidak Islami?”
Ini! Tamu menunjuk ke biola.
Itu! Tamu menunjuk ke bangku-bangku.
“Semuanya adalah perlengkapan kafir karena
jelas-jelas dibuat oleh orang-orang kafir!”
Kiai Dahlan tersenyum, sementara kepala Suja
masih juga tertunduk persis seperti pohon pisang
yang mau roboh.
“Boleh saya bertanya, Kiai?”
“Silahkan.”
“Apa Kiai datang kemari dari Magelang berjalan
kaki?”
Sang Kiai tertawa lebar, “Saya tidak mau menyiksa
diri dengan cara berjalan kaki.”
“Lalu naik apa?”
“Apa lagi kalau bukan kereta. Hanya orang bodoh

<> 258 <>

Yazid R. Passandre

yang menyiksa tubuhnya jauh-jauh berjalan kaki dari
Magelang ke Jogja.”

“Kalau begitu hanya orang bodoh yang menyebut
sekolah ini kafir.”

Sang Kiai melotot, dua muridnya sontak
menegangkan raut muka karena turut merasa terhina.

“Bukankah kereta api adalah peralatan yang
dibuat orang kafir?”

Kiai dan muridnya itu terdiam, mereka sontak
tersadar dan malu. Mereka pulang tanpa salam.
Beberapa detik kemudian barulah Suja berani
mengangkat kepalanya sembari menyuguhkan
senyum manisnya. Ia tak mengira, jika selama ini ia
salah menilai gurunya. Ia terlalu cerewet tanpa mau
merenungi setiap gerak langkah sang guru sehingga
sering tidak bisa melihat hikmah di balik langkah-
langkahnya.

Saat itu juga, Suja menggamit telapak tangan
gurunya dan menciumnya lekat-lekat. Melihat
tingkah Suja yang tak biasa, Kiai Dahlan tertegun
sejenak, memandangi Suja dalam-dalam, dan
bertanya.

“Ada apa, Ja?”
“Saya minta maaf, Kiai.”
“Soal apa?”
“Selama ini saya suuzan.”

<> 259 <>

Tonggak Sang Pencerah
Kiai Dahlan tersenyum.
“Ingatkah kamu tentang kisah Nabi Musa dan
Khidir yang dulu pernah saya ceritakan?”
Suja mengangguk perlahan.
“Sebagai murid, Musa tidak bisa mengikuti pola
pikir Khidir, gurunya. Karena Khidir melakukan
tindakan di luar akal manusia. Musa tidak bisa
melihat apa yang dilihat Khidir. Itulah yang kemudian
menjadi inti dari pendidikan.”
“Apa itu, Kiai?”
“Bertanya.”
Suja merunduk, malu.
“Sekarang, tanpa saya bertanya pun, saya sudah
tahu ke mana kaki Kiai melangkah.”

<> 260 <>

Yazid R. Passandre

Penggalan 30

Saya

S eumpama derap kaki-kaki kuda menuju
medan laga, peroebahan terus bergerak.
Kencang dan bertenaga. Iramanya mengalir dari
Kauman, dan perlahan-lahan merembes ke kampung-
kampung lainnya. Santri-santri Kiai Dahlan mulai
memahami ayun langkah guru mereka. Secercah
harapan bahwa umat manusia menggiring diri ke ufuk
yang cerah mulai menampakkan gejalanya. Kini, tak
sedikit orang turut berbaris di belakang Kiai, mengikuti
jejak guru bijak itu. Langgar mungil kini sudah tak
mampu menampung lagi jamaah setiap kali shalat
ditegakkan. Dan, semua orang yang berdiri di saf-saf
langgar itu makin terbiasa berdiri ke arah kiblat yang
benar, tepat.
Sementara itu, Madrasah Ibtidaiyah Diniyah
Islamiyah di ruang tamu rumah Kiai kian dibanjiri
santri. Tak hanya warga Kauman yang menyekolah-
kan anak-anak mereka ke madrasah itu, banyak

<> 261 <>

Tonggak Sang Pencerah

orangtua dari berbagai pelosok Nagari juga berda-
tangan untuk menitipkan putra-putri mereka untuk
menimba ilmu di sekolah Islam ’modern’ itu.

Siang itu Pasar Bringharjo memadat seperti biasa,
lalu-lalang manusia demikian berjubel. Kiai Dahlan
dan Nyai Walidah sedang membawa anak-anak jalan-
jalan untuk membeli mainan dan kebutuhan dapur
di gerai-gerai pasar. Kiai Dahlan mengajak mereka
mampir ke tempat orang berjualan minuman. Tak
diduga, Kiai Penghulu dan istrinya lewat, Nyai
Walidah segera menyapa mereka.

“Monggo mampir ...”
Sontak, istri Kiai Penghulu berpaling ke arah Nyai
Walidah, “Jeng, kok tumben minum es di sini”
“Sekali-sekali, Mbak Yu.”
Tak mau ketinggalan, Kiai Dahlan menyapa ramah
Kiai Penghulu. “Sehat-sehat, Kiai? Mari minum es
cincau, segar, terasa nikmat di saat panas-panas
begini.”
“Saya sudah tua, Badan ini ndak kuat lagi minum
yang dingin-dingin.”
“Saya masih punya obat dari Mekkah. Kalau Kiai
berkenan, saya suruh Suja yang bawakan ke rumah.”
Kiai Penghulu tersenyum dan mengangguk
lembut.
Esoknya, di Ketandan, Kiai Dahlan kembali

<> 262 <>

Yazid R. Passandre

bertemu dengan Hoofd Bestuur Budi Utomo. Per-
kumpulan kaum terpelajar itu mulai terpikat untuk
mendalami Islam dari cara pandang yang mence-
rahkan yang tidak lain berasal dari pandangan-
pandangan Kiai Dahlan. Tak segan-segan mereka
menghujani Kiai Dahlan berbagai pertanyaan.

“Apa dasar yang diletakkan Islam untuk kema-
nusiaan, Kiai?” tanya R. Budi Harjo.

“Dasar Islam adalah akhlak, perbuatan. Karena
itu, Rasulullah menyatakan kehadirannya untuk
semata-mata menyempurnakan akhlak manusia.
Maka, Islam mengembangkan kepedulian dan
persaudaraan sebagai jalan kebahagiaan bersama.”

Semua yang hadir mengangguk kagum mende-
ngar paparan Kiai Dahlan.

“Bagaimana Islam memandang ilmu pengeta-
huan?” kata yang lainnya menimpali.

“Dalam salah satu ayat, Allah mengatakan bahwa
manusia bisa menghayati kebesaran-Nya hanya
melalui ilmu. Penghayatan ilmu dalam Islam tidak
hanya dicapai melalui otak saja, tapi diimbangi
dengan nurani. Karena, ilmu tanpa nurani, ibarat
keris tanpa pegangan yang melukai pemakainya
sendiri.”

“Bagaimana Islam memandang kesejahteraan
manusia?” tanya Dr. Wahidin.

<> 263 <>

Tonggak Sang Pencerah

“Islam adalah agama yang menganjurkan manusia
untuk berharta agar bisa bersedekah. Harta yang
dibelanjakan untuk kepentingan sesama yang lebih
membutuhkan itu tidak berkurang, sebab bala-
sannya adalah pelipatgandaan oleh Allah. Semes-
tinya orang Islam tidak ada yang miskin, karena
haram hukumnya jika sampai tetangga kita kela-
paran di saat kita kekenyangan.”

Pagi itu benar-benar merupakan kesempatan
istimewa. Ada kekuatan baru merasuk ke Kiai
Dahlan. Setelah diskusi, ia bertugas untuk mengajar
di hadapan murid-murid Sekolah Raja. Pada hari itu,
Kiai mulai mendapat tempat di hati para murid. Tak
sedikit murid yang sudah menaruh simpati kepada
guru mereka itu. Semua itu, berkat kegigihannya
menampilkan Islam yang tak mencitrakan keterbela-
kangan. Sejak lama ia menunggu saat-saat seperti
itu, di mana ia akan diterima dan dihormati seperti
guru yang lain Sekolah Raja. Meskipun, masih ada
sesekali ia mendapat sindiran dan cemoohan.

Rasanya kenangan pahit itu belum terlupakan,
saat Kiai Dahlan pertamakali berdiri di ruang kelas
Sekolah Raja, bukan hanya ucapan salamnya yang
diabaikan, ia bahkan dikentuti. Ia ditertawakan
layaknya orang terbelakang dan awam yang tak
pantas menjadi bagian dari pendidikan modern.

<> 264 <>

Yazid R. Passandre

“Waktu kita sholat, apakah kita boleh membaca
doa dalam bahasa Jawa, Kiai?” tanya seorang murid.

Kiai Dahlan tersenyum paham.
“Boleh saja, tapi kalau sudah bisa pakai bahasa
Arab, bahasa Jawanya tidak boleh dipakai lagi.”
Setelah itu, Kiai Dahlan mengajarkan murid-
muridnya cara berwudu. Tiba-tiba seorang murid
bertampang Belanda mendekati Kiai.
“Bolehkah saya ikut belajar di madrasah, Kiai?”
Sontak, Kiai Dahlan keheranan. Mengapa tiba-
tiba anak priayi dan terpelajar itu tertarik juga untuk
menimba ilmu di madrasahnya.
“Dengan senang hati, saya terima”
“Bolehkah juga saya bertanya?’
“Silahkan.”
“Siapa direktur madrasah itu?”
Mata Kiai Dahlan separuh menyipit.
“Saya.”
“Pemiliknya?”
“Saya.”
“Gurunya?”
“Saya.”
Kiai Dahlan makin penasaran.
“Kalau nanti Kiai wafat, sekolah itu juga akan
wafat.”
Alis Kiai Dahlan terangkat, heran sekaligus kaget.

<> 265 <>

Tonggak Sang Pencerah
Ia tak menyangka akan timbul pikiran sejauh yang ia
dengar dari anak belia itu.

“Saya orang pertama yang tidak rela kalau sekolah
itu berhenti.”

“Saya juga. Tapi, harus bagaimana?”
“Kiai harus membuat sistem regenerasi.”
“Saya sudah melakukan hal itu. Ada beberapa
murid saya yang sudah bisa mengajar.”
“Harus dengan organisasi, Kiai.”
Kiai Dahlan tertegun.
“Organisasi yang akan mewadahi sekolah itu
secara bersama-sama. Jadi, Kiai tidak perlu bekerja
sendirian.”
Kiai Dahlan menatap mata bening anak itu dalam-
dalam, tatapan untuk mencurahkan rasa bangga.

<> 266 <>

Yazid R. Passandre

Penggalan 31

Lakum Dinukum Waliyadin

Berhari-hari sudah Kiai Dahlan merenung-
kan apa yang selanjutnya hendak ia
lakukan setelah menerima saran dari
seorang murid di Sekolah Raja. Ia makin khawatir,
apa yang telah ia lakukan kelak akan menghilang
dan sirna ditelan waktu. Maka, ia segera melaksa-
nakan saran yang ia terima itu, yakni mendirikan
sebuah wadah perjuangan, sehingga betapa pun
musim datang silih berganti, tak akan menggerus
jejak langkah peroebahan.
Pagi itu, ia kumpulkan santri-santrinya dan
mengajak mereka merembukkan suatu rencana.
Semua santri sudah berkumpul di hadapan Kiai
Dahlan dan siap menunggu isi pertemuan yang tak
lama lagi diuraikan.
Suja, yang selalu lebih dulu melangkah meme-
nuhi setiap panggilan gurunya, sudah menaruh
curiga, pasti ada hal baru lagi yang akan dibicarakan.

<> 267 <>

Tonggak Sang Pencerah

Ia tahu, seperti yang sudah menjadi ikrar sang Guru,
untuk tak akan pernah berhenti memeras otak dan
keringat untuk mengubah nasib umat. Suja tak henti
tersenyum seraya mengayunkan kaki ke kediaman
Kiai Dahlan, wajahnya kian bugar. Ia tak khawatir
lagi akan ada protes, apalagi langgar yang
dirobohkan, setelah melihat langsung cara gurunya
menekuk-lutut setiap pikiran yang masih jauh
terbelakang, seperti pada perdebatan Kiai Dahlah
dengan Kiai dari Magelang, beberapa waktu lalu.

“Apa kalian siap dan ikhlas mau membantu saya
mendirikan organisasi?” tanya sang Guru membuka
pertemuan.

“Siap, Kiai!” tegas Suja.
Suja lalu menatap kawan lainnya yang masih
tampak ragu.
“Organisasi itu apa, Kiai?” tanya Hisyam.
“Semacam perkumpulan. Di dalamnya berisi
sekelompok orang-orang yang memiliki tujuan yang
sama,” ujar Suja menimpali.
“Kalau begitu langgar kita ini bisa disebut
organisasi. Karena kita memiliki maksud dan tujuan
yang sama. Sama-sama mengabdi kepada Allah.”
“Itu berbeda, Hisyam. Organisasi itu lebih
menitikberatkan kepada aktivitas hablumminannas.”
“Contohnya seperti apa, Kiai?” tanya Fakhruddin.

<> 268 <>

Yazid R. Passandre

“Begini, saya ingin sekali kita berkumpul di sini,
tidak hanya untuk shalat dan puasa saja, tapi juga
untuk melakukan ibadah lainnya, yang menyangkut
kepentingan khalayak. Misalnya, mendirikan
sekolah dan balai pengobatan.”

Semua santri mengangguk.
“Maka, untuk melaksanakan semua itu kita butuh
sebuah wadah untuk menyusun apa-apa yang harus
kita lakukan secara terencana.”
“Setahu saya organisasi harus dapat ijin dari
pemerintah, Kiai?”
Kiai Dahlan merenung sejenak. Esoknya, ia
bergegas menemui salah seorang dari perkumpulan
Budi Utomo yang ia yakini dapat membantu dan
membimbing Kiai mencari jalan keluar proses
pendirian sebuah organisasi.
“Dibutuhkan beberapa syarat untuk mendirikan
sebuah organisasi. Pertama, harus ada pengurus
tetapnya. Kedua, nama organisasinya apa, lalu
maksud dan tujuannya,” jelas Dwijosewoyo.
“Saya sudah mengumpulkan calon pengurusnya.”
“Boleh saya tahu?”
“Mereka adalah santri-santri saya di langgar dan
beberapa dari murid-murid Kweekschool.”
Dwijosewoyo tersenyum ramah. Dari sorot mata-
nya memercik rasa kagum yang tak terbantahkan.

<> 269 <>

Tonggak Sang Pencerah

“Murid-murid Kweekscool tidak bisa menjadi
pengurus. Mereka tidak mungkin diijinkan Hoofd
Inspectuur.”

Kiai Dahlan berfikir sejenak.
“Begini saja, sebaiknya Kiai memilih pengurus
yang lain, yang lebih dewasa dan matang. Saya yakin
Kiai punya. Nanti Budi Utomo akan membantu.
Syaratnya, para pengurus itu harus masuk menjadi
anggota Budi Utomo.”
Kiai Dahlan tak berpikir lagi, ia pamit dan kembali
menemui santri-santrinya. Ia kabarkan bahwa untuk
mencapai cita-cita berorganisasi sudah terang
jalannya. Semua santrinya menyambut gembira.
Tetapi, masih ada hal yang mengganjal pikiran Suja
dan kawan-kawan. Bahwa mereka masih enggan
memenuhi satu syarat untuk pendirian organisasi
itu, yakni menjadi bagian dari Budi Utomo. Mereka
belum bisa menerima secara ikhlas jika harus
bercambur-baur dengan kelompok yang mereka
anggap tak sejalan dan paham Islam yang mereka
yakini.
“Nanti kalau masuk anggota Budi Utomo, kita
harus jadi kejawen, Kiai?” tanya Syarkawi.
Kiai Dahlan tersenyum lebar.
“Kita boleh memiliki prinsip. Tapi prinsip itu
jangan sampai membutakan diri. Islam bukan agama

<> 270 <>

Yazid R. Passandre
yang tertutup. Kita harus tunjukkan bahwa kita bisa
bekerja sama dengan semua pihak. Asalkan Lakum
dinikum waliyadin. Agamamu adalah agamamu,
agamaku adalah agamaku.”

Semua santrinya mengangguk setuju.

<> 271 <>

Tonggak Sang Pencerah

Penggalan 32

Tonggak Sang Pencerah

Mentari menyembul di ufuk timur.
Semburat kemerahan perlahan
mencerahkan dalam sorot gradasi
yang indah di lengkungan langit di atas Kauman. Jari-
jari cahaya jingga kekuningan itu naik sepenggalah,
kian benderang. Kauman, lebih dari itu Nagari,
bahkan Nusantara, tengah bermandikan cahaya.
Inilah saat di mana kegelapan perlahan menyingkir,
tersapu nur. Kampung yang semula remang-remang
kini mulai menampakkan kecemerlangannya.
Di pagi yang hangat itu, Kiai Dahlan duduk
menyandarkan punggungnya di ruang tamu yang kini
mirip ruang sekolah yang sebenarnya. Nyai Walidah
datang menghampiri. Tak lupa, ia merekahkan
senyuman manis. Terlukis keindahan di perempuan
yang tak lelah-lelah mengabdikan kesetiaannya.
Nyai Walidah menyuguhkan secangkir teh, lalu
duduk di sebelah suami.

<> 272 <>

Yazid R. Passandre

“Sudah saatnya, Nyai,” ucap Kiai Dahlan sembari
menghela nafas dalam-dalam, seakan ia menelan
semua getir perjuangan yang sekian lama ia geluti.

“Organisasi ini akan menjadi tonggak perjuang-
anku menegakkan Agama di bumi Allah ini.”

“Semoga organisasi itu nanti benar-benar menjadi
tonggak kebangkitan Islam di Nagari, Kangmas.”

Nyai Walidah menahan pandangannya yang jatuh
lembut menerpa wajah suaminya. Dan sontak
senyum menawan mengembang di kuncup bibirnya
saat ia melepas ungkapan asing namun sejuk
menyentuh daun telinga.

“Tonggak sang pencerah...”
Mendengar ungkapan itu, Kiai Dahlan serta-merta
berdiri, memegangi kedua pundak wanita yang tegak
di hadapannya seraya menggeleng-gelengkan
kepalanya. Tak lupa Kiai Dahlan membalas senyum
manis istrinya. “Jangan berlebihan menjulukiku,
Nyai. Meskipun saya suamimu.”
Nyai Walidah menghela nafas dalam umbar
senyum yang tampak awet. “Saya dan anak-anak akan
selalu berada di mana posisi Kangmas berdiri dan
mendukung segala langkah perjuangan ini.”
Tak lama kemudian Suja dan Fakhruddin muncul,
disusul Hisyam dan Syarkawi. Mereka duduk di
hadapan Kiai.

<> 273 <>

Tonggak Sang Pencerah

“Saya sudah menemukan nama organisasi kita.”
“Apa namanya, Kiai?”
Kiai Dahlan kembali menghela nafas dalam-dalam,
kecerahan tampak dari pancaran sinar matanya.
Muhammadiyah ...
“Kok seperti nama perempuan?” tanya Fakhrud-
din. Santri lainnya menatap ke arah Fakhruddin, dan
segera ia menundukkan kepala, merasa lancang.
Melihat keluguan Fakhruddin, Kiai Dahlan justru
kembali mengumbar senyum. “Itu bukan nama
perempuan, Din.”
Kiai Dahlan diam sejenak, ia pandangi wajah-
wajah belia di hadapannya. Sorot matanya yang teduh
seolah ingin selamanya menaungi kegelisahan santri-
santrinya. Dan, mewadahi semangat mereka agar
senantiasa menyala.
“Muhammadiyah memiliki makna yang dalam. Yaitu,
para pengikut Rasulullah, Nabi Muhammad Sallallahu
‘alaihi wasallam. Muhammadiyah bertujuan
memurnikan dan melestarikan ajaran Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah dengan ilmu dan akal sehat. Melalui
Muhammadiyah, kita akan bertolong-menolong dan
berbuat baik di antara sesama manusia.”
Segenap santri manggut-manggut.
“Kalau sudah mantap, segera kita kukuhkan nama
itu sebagai nama organisasi kita,” kata Suja.

<> 274 <>

Yazid R. Passandre
“Maaf, Kiai. Seandainya kita semua jadi pengurus
organisasi, apakah kita akan mendapatkan upah?”
timpal Hisyam.
Kiai Dahlan, lagi-lagi, menyunggingkan senyum.
Ia menerima semua pertanyaan santri-santrinya
dengan lapang dada, dan menunjukkan keihlasan
hatinya yang tak kan pernah bosan memberikan
jawaban. Seperti ungkapan yang pernah ia utarakan
kepada Suja: bertanya adalah inti dari pedidikan.
“Saya berharap Muhammadiyah benar-benar
bertujuan untuk pencerahan kehidupan umat.
Bukan untuk kepentingan pribadi. Maka itu, hidup-
hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari
kehidupan di Muhammadiyah.”
Semua santri menjawab guyub pesan Sang
Pencerah.
Insya Allah...

<> 275 <>

Yazid Rahman Passandre

lahir di Madura, 39 tahun lalu. Sejak SMA,
ia punya hobi menulis. Bakat

kepenulisannya terasah atas bimbingan
Herien Priyono, wartawan senior di

Yogyakarta. Tulisan-tulisan Yazid pernah
dimuat di beberapa media cetak, antara lain

Yogya Post, Kuntum, el-Qalam, Mentari, dan
lain-lain. Saat menempuh SMA

Muhammadiyah di Yogya, Yazid banyak meraih
prestasi dalam lomba penulisan. Misalnya,

juara 3 Lomba Karya Tulis Ilmiah se-DIY-Jateng
(1996), juara 2 Lomba Resensi Buku se-DIY-
Jateng (1996).

Buku pertamanya, Daeng Sandre: Kilas Jejak
Sang Pemimpin, diterbitkan di Pulau Sapeken
Madura, awal tahun 2009. Buku ini berkisah

tentang perjalanan hidup seorang kakek
ketika berlayar mengarungi lautan dari tanah

Makassar menuju Pulau Sapeken, Madura.
Alumni Ikatan Pelajar Muhammadiyah itu kini
menjadi Ketua Asosiasi Kontraktor Konstruksi

Indonesia (AKSINDO) Kabupaten Sumenep,
Madura. Penggemar sepak bola ini juga

aktivis di pergerakan pecinta lingkungan,
Front Penyelamat Lingkungan (FPL), organisasi

yang ia gagas bersama kawan-kawannya di
kampung sejak tahun 2000. Selain itu ia

menjadi Ketua Umum Forum Silaturahmi dan
Musyawarah (Forum Silas) Masyarakat

Kepulauan Sumenep.


Click to View FlipBook Version