The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by auliaibnutakdir2, 2023-10-10 10:00:31

Algoritma Astronomi

Algoritma Astronomi

Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 49 Sebuah solusi untuk masalah ini terdiri dari pengujian pada "lebih kecil dari" bukan pada 'sama dengan'. Dengan kata lain, biarkan proses iterasi berhenti ketika perbedaan antara nilai baru s dan nilai sebelumnya dalam nilai absolut, kurang dari kuantitas yang diberikan, misalnya 10-10 Pencarian biner Ada prosedur yang benar-benar sangat mudah, karena stabil dan mengerucut, dan selalu mengarah ke nilai kuantitas yang dicari dalam waktu proses tertentu untuk nilai akar yang paling tepat, mesin mampu melakukannya. Metode ini tidak mencoba untuk menemukan nilai-nilai berturut-turut lebih baik dari akarnya. Sebaliknya, metode ini hanya menggunakan pencarian biner untuk menemukan nilai akar yang benar. Mari ikuti penjelasan prosedur dengan peninjauan kembali contoh 5.b, yaitu x 5 + 17 x - 8 = 0. Untuk x = 0 dan x = 1, bagian pertama dari persamaan ini masing-masing mengambil nilai -8 dan +10. Jadi kita tahu kalau akar terletak antara 0 dan 1 5 . Mari kita coba x = 0.5, yang merupakan rata-rata aritmatik dari 0 dan 1. Untuk x = 0.5, fungsi memerlukan nilai +0.53125, yang memiliki tanda berlawanan dengan nilai fungsi untuk x = 0. Jadi sekarang kita tahu kalau akar adalah antara 0 dan 0.5. Kita sekarang coba x = 0.25, yang merupakan rata-rata aritmatik dari 0 dan 0.5. Dan seterusnya. Setelah setiap langkah, interval akarnya seharusnya diparuh dua. Setelah 32 langkah nilai akar diketahui sampai sembilan desimal tepat. (Dalam Contoh 5.b, akurasi yang sama diperoleh setelah hanya 6 langkah. Tapi, sebagaimana kita telah tunjukkan, pencarian biner adalah metode yang benar-benar aman, dan dapat digunakan ketika Prosedur iterasi 'Biasa' akan gagal). Dengan pencarian biner, orang mengetahui sejak awal akurasi setelah n langkah: itu adalah interval awal dibagi dengan 2n. Untuk contoh yang diberikan di atas, program berikut ini dapat ditulis dalam BASIC sebagai berikut (lihat halaman berikutnya). Baris 60 sebenarnya tidak diperlukan, ia dimasukkan untuk menunjukkan nilai-nilai x berturut-turut lebih baik. 10 DEF FNA(X) = X*(X^4 + 17) - 8 20 XI = 0 : Y1 = FNA(X1) 30 X2 = 1 : Y2 = FNA(X2) 40 FOR J = 1 TO 33 50 X=(Xl + X2)/2 60 PRINT J,X 70 Y = FNA(X) 80 IF Y = 0 THEN PRINT J, X : END 90 IF Y*Yl>0 THEN 120 100 X2 = X : Y2=Y 110 GOTO 130 120 XI = X : Yl = Y 130 NEXT J 140 END 5 Hal ini benar hanya jika fungsi kontinu dalam interval yang dipertimbangkan. Dari fakta itu tan 86° > 0 dan tan 93° < 0, kita tidak dapat simpulkan bahwa tan x menjadi nol untuk nilai x antara 86° dan 93°.


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 50 Bab 6. Penyortiran Bilangan Komputer adalah lebih dari sekedar mesin hitung. Komputer dapat menyimpan dan mengolah data. Salah satu contoh penanganan adalah untuk mengatur ulang atau menyortir data. Penyortiran adalah fungsi dengan aplikasi yang hampir universal untuk semua pengguna komputer. Dalam astronomi, contoh-contohnya adalah: menyortir bintang-bintang dengan Askensio Rekta, atau deklinasi; Waktu penyortiran secara kronologis; menyortir planet minor dengan peningkatan sumbu semimajor, atau menyortir mereka sesuai nama abjad. Algoritma yang berbeda tersedia untuk melakukan penyortiran. Dalam bab ini kita akan memberikan tiga metode, memberikan Program BASIC, dan membandingkan waktu perhitungan. Salah satu algoritma penyortiran yang paling sederhana ditunjukkan pada Tabel 6.A dengan nama 'SIMPLE SORT'. Kita mulai dari N bilangan: X(1), X(2), ..., X(N). Nilai-nilai elemen ini boleh acak, dan mungkin saja ada nilai yang sama lebih dari sekali. Setelah menjalankan progam, bilangan X(I) diurutkan dalam urutan yang semakin membesar. Jika seseorang ingin menyortir dengan urutan yang semakin menurun, dia harus mengganti >= pada baris 120 dengan <=, atau sebagai alternatif lain, dia dapat mengganti X(I) dengan -X(I). Pada setiap langkah, dua elemen yang dimungkinkan. Secara berturut-turut, unsur terkecil yang ditempatkan di depan (untuk I = 1), selanjutnya yang kedua, dan seterusnya, sampai N - 1 Sebagai catatan bahwa pada baris 100 indeks I harus diproses sampai N - 1, bukan sampai N. Metode ini juga disebut 'straight insertion' (penyelipan langsung). Waktu yang dibutuhkan untuk mengurutkan bilangan N tergantung, tentu saja, pada jenis komputer dan pada bahasa pemrograman, tetapi dalam hal apapun waktu penyortiran akan sebanding dengan N2. Ini Berarti bahwa metode ini tidak cocok untuk N yang besar. Metode ini disebut 'LEBIH BAIK' karena agak lebih cepat, tetapi lagi-lagi waktu penyortiran sebanding dengan N2. Prinsipnya adalah sederhana: menemukan elemen terkecil, dan menempatkannya di depan oleh permutasi dua elemen. Jika sekumpulan data yang akan diurutkan besar, metode yang jauh lebih baik adalah 'QUICKSORT', yang diciptakan oleh C.A. R. Hoare. Programnya lebih panjang, tetapi waktu komputer yang diperlukan Jauh lebih pendek. Terlebih lagi, bila N adalah cukup besar, waktu komputasi diperkirakan sebanding dengan N, bukan N2. (Pada kenyataannya, hampir proporsional sebanding dengan N log N). Teknik penyortiran QUICKSORT membutuhkan dua tambahan kecil, array satu dimensi : L(M) dan R(M). M adalah setidaknya bilangan bulat terkecil yang lebih besar dari log2 N. Sebuah nilai M = 30, tentu saja sudah cukup untuk semua tujuan praktis. TABEL 6.A: Tiga Program Penyortiran dalam BASIC SIMPLE SORT 100 FOR I = 1 TO N-l 110 FOR J = 1+1 TO N 120 IF X(J) >= X (I) THEN 160 130 A = X(I) 140 X(I) = X(J) QUICKSORT 100 DIM LC0), RC0) 110 S = 1 : L(l) = l : RA)=N 120 L= L(S) : R = R(S) 130 S = S-l 140 I = L : J = R


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 51 150 X(J) = A 160 NEXT J 170 NEXT I 150 V = X(INT((L+R)/2)) 160 IF X(I)>= V THEN 190 170 I = 1+1 180 GOTO 160 190 IF V>=X(J) THEN 220 200 J = J-l 210 GOTO 190 220 IF I>J THEN 250 230 W = X(I) : X(I)=X(J) : X(J)=W 240 I = 1+1 : J = J-l 250 IF I <= J THEN 160 260 IF J-L < R-I THEN 320 270 IF L >= J THEN 300 280 S = S + l 290 L(S) = L : R(S) = J 300 L = I 310 GOTO 360 320 IF I>= R THEN 350 330 S = S + l 340 L(S) = I : R(S) = R 350 R = J 360 IF L < R THEN 140 370 IF S <> O THEN 120 BETTER 100 FOR I = 1 TO N-l 110 M= X(I) 120 K = I 130 FOR J = 1 + 1 TO N 140 IF X(J)<M THEN M=X(J) : K = J 150 NEXT J 160 A=X(I) : X(I)=M : X(K)=A 170 NEXT I Pada Tabel 6.B disebutkan waktu perhitungan untuk beberapa nilai dari N pada HP-85 mikrokomputer untuk tiga program yang disebutkan pada Tabel 6.A. Seperti kita sudah katakan, bahwa lama waktunya akan berbeda tergantung dari komputer yang dipakai, tetapi dalam hal apapun ditemukan waktu proses meningkat seiring dengan peningkatan nilai N, kecuali algoritma QUICKSORT. Untuk mendapatkan beberapa gagasan lagi tentang kecepatan perhitungan untuk nilai-nilai N yang lebih besar, kita membandingkan dengan komputer yang lebih cepat, program yang ditulis dan dikompilasi dengan FORTRAN. Hasilnya diberikan pada Tabel 6.C. Keunggulan QUICKSORT mencolok di sini. Untuk N = 300, perhitungan waktu dengan QUICKSORT masih 15% dari algoritma "BETTER" (Tabel 6.B), Tetapi untuk 15 000 angka, hanya sepertiga dari 1 persen! Dalam beberapa kasus bahkan tidak perlu menulis sebuah program. Misalnya, TRS-80 Model I berisi fungsi built-in yang menyortir 1000 angka dalam 9 detik, dan 8000 angka dalam 83 detik. Apa yang dilakukan, waktu pensortiran sebanding dengan N di sini, tidak N2, jadi mungkin metode digunakan QUICKSORT.


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 52 TABEL 6.C Waktu yang diperlukan untuk perhitungan (dalam detik) dari tiga algoritma penyortiran di mikrokomputer HP-85 N SIMPLE SORT BETTER QUICKSORT 10 20 40 60 80 100 150 200 300 500 1000 1500 2000 0.73 3.92 15.40 38.00 63.80 104.30 254.00 453.00 1002.00 0.51 2.11 7.81 17.00 29.10 44.60 98.60 174.00 387.00 0.70 1.84 4.43 8.63 11.30 14.60 24.10 32.90 56.70 97.70 218.00 342.00 472.00 Sebagai kesimpulan, direkomendasikan 'penyisipan lurus' (SIMPLE SORT), jika data yang akan diurutkan tidak terlalu besar, misalnya untuk N <200. Untuk jumlah data yang lebih besar disarankan menggunakan QUICKSORT. TABEL 6.C Waktu yang diperlukan untuk perhitungan (dalam detik) dari tiga algoritma penyortiran di komputer besar N SIMPLE SORT BETTER QUICKSORT 1 000 2 000 3 000 4 000 5 000 10 000 15 000 20 000 25 000 30 000 13 51 114 206 321 1272 10 40 90 159 249 994 2236 < 1 1 1 2 2 5 7 10 12 15 Selain data numerik, sering string (nama) harus diurutkan, : seperti X$ (1) = "Ceres", X$(2) = "Pallas", dll. Setiap karakter memiliki nilai tersendiri. Daftar lengkap dengan semua tanda yang disebut dengan tabel ASCII, sebagian dari karakter ASCII diberikan pada Tabel 6.D. [ASCII = 'American Standard Code for Information Interchange'.]


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 53 TABEL 6.D: Karakter ASCII yang terlihat Setelah setiap karakter, kode desimalnya diberikan space ! " # $ % & ' ( ) * + , - . / 0 1 2 3 4 5 6 7 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 8 9 : ; < = > ? @ A B C D E F G H I J K L M N O 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 P Q R S T U V W X Y Z [ \ ] ^ _ ` a b c d e f g 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 h i j k 1 m n 0 P q r s t u V w X y z { | } ~ 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 54 Bab 7. Hari Julian Dalam Bab ini kita bahas sebuah metode untuk mengkonversi tanggal yang dipakai seharihari, ke dalam Kalender Julian atau Gregorian, bersesuaian urutan Nomor Hari Julian/Julian Day (JD), atau sebaliknya. Catatan Umum Angka Julian Day atau, lebih sederhana, Hari Julian6 (JD) adalah hitungan hari dan fraksinya secara terus menerus dari awal tahun -4712. Menurut tradisi, Hari Julian dimulai pada Greenwich Mean Noon (Rata-rata Greenwich siang hari), yaitu, pada Universal Time (Waktu Universal) jam 12h. Jika JD pada saat tertentu diukur dalam skala Waktu Dinamis/Dynamical Time (atau Ephemeris Time), dinyatakan dalam Hari Julian Ephemeris/ Julian Ephemeris Day (JDE) 7 seperti yang umumnya digunakan. Sebagai contoh, 26.4 UT April 1977 = JD 2443 259.9 26.4 TD April 1977 = JDE 2443 259.9 Dalam metode yang dijelaskan di bawah ini, reformasi kalender Gregorian harus diperhitungkan, dengan demikian, hari setelah 4 Oktober 1582 (kalender Julian) adalah 15 Oktober 1582 (kalender Gregorian). Kalender Gregorian tidak sekaligus secara resmi diadopsi oleh semua negara. Harus diingat, jika kita membuat penelitian di bidang sejarah. Di Inggris, misalnya, perubahan baru dilakukan akhir tahun 1752 M, dan di Turki sebelum tahun 1927 masih belum diberlakukan. Kalender Julian dibuat di masa Kekaisaran Romawi yang diperintah oleh Julius Caesar pada tahun -45 dan mencapai masa berakhirnya sekitar tahun +8. Namun demikian, kita akan mengikuti praktek para astronom yang mengekstrapolasi kalender Julian tanpa batas ke masa lalu. Dengan sistem ini, kita bisa berbicara, misalnya, dari gerhana Matahari 28 Agustus tahun -1203, meskipun pada waktu itu Kekaisaran Romawi belum didirikan dan bulan Agustus masih belum dipakai dalam kehidupan sehari-hari! Ada ketidaksepakatan antara astronom dan sejarawan tentang bagaimana menghitung tahun-tahun sebelum tahun 1. Dalam buku ini, tahun 'B.C.' dihitung secara astronomis. Dengan demikian, tahun sebelum tahun 1 adalah tahun nol, dan tahun sebelum tahun 0 adalah tahun -1. Bilangan tahun yang para sejarawan menyebut 585 SM sebenarnya adalah tahun -584. Penghitungan tahun negatif secara astronomi adalah satu-satunya yang cocok untuk tujuan ilmu hitung. Misalnya, dalam sejarah praktek penghitungan, aturan pembagian bilangan oleh 4 mengungkapkan Julian tahun kabisat (leap-year) tidak ada lagi, tahun ini, memang, 1, 5, 9, 13, ... SM. Dalam urutan astronomi, bagaimanapun, ini tahun kabisat tersebut adalah 0, -4, -8, -12 ..., dan aturan pembagian bilangan oleh 4 masih bisa diberlakukan. Kita akan tunjukkan dengan INT (x) bagian bilangan bulat dari angka x, merupakan bilangan bulat mendahului angka-angka desimalnya. contoh: INT(7/4) = 1 INT (5.02) = 5 INT (8/4) = 2 INT (5.9999) = 5 6 Dalam banyak buku yang kita baca 'Julian Date bukan' Julian Day. Bagi kami, tanggal Julian adalah tanggal di kalender Julian, hanya sebagai tanggal Gregorian mengacu pada kalender Gregorian. JD tidak ada hubungannya dengan kalender Julian. 7 Dalam buku ini tidak dituliskan dengan JED, seperti yang kadang-kadang ditulisdalam buku lain. Symbol 'E' adalah semacam indeks ditambahkan ke 'JD'.


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 55 Kemungkinan ada masalah dengan angka negatif. Pada beberapa komputer atau dalam beberapa bahasa pemrograman, INT(x) adalah bilangan bulat terbesar kurang dari atau sama dengan x. Misalnya kita memiliki INT(-7.83) = -8, sebab -7 memang lebih besar dari -7.83. Namun dalam bahasa lain, INT adalah bagian bilangan bulat dari angka yang tertulis, yaitu, bagian dari angka yang mendahului titik desimal. Dalam hal ini, INT(-7.83) = -7. Ini disebut pemotongan/pemangkasan, dan beberapa program bahasa memiliki kedua fungsi: INT(x) memiliki makna pertama yang disebutkan di atas, dan TRUNC(x) berarti pemangkasan. Oleh karena itu, berhati-hatilah saat menggunakan fungsi INT untuk angka negatif. (Untuk bilangan positif, kedua makna menghasilkan hasil yang sama). dalam rumus yang diberikan dalam buku ini, argumen dari fungsi INT adalah selalu positif. Perhitungan JD Metode berikut ini berlaku untuk tahun positif maupun negatif, tetapi tidak untuk JD negatif. Misalkan saja Y adalah tahun, M adalah urutan Bulan (untuk Januari = 1, Februari = 2, dan seterusnya sampai Desember = 12), dan D Hari kesekian dalam Bulan yang dimaksud (dengan desimal, jika ada) dari tanggal kalender tertentu. • Jika M > 2, maka biarkan Y dan M tidak berubah. Jika M = 1 atau 2, mak Y dirubah dengan Y - 1, dan M dirubah dengan M + 12. Dengan kata lain, jika tanggal adalah pada bulan Januari atau Februari, hal itu dianggap pada bulan ke 13 atau 14 tahun sebelumnya. • Dalam kalender Gregorian, menghitung Dalam kalender Julian, berarti B = 0. • Hari Julian kemudian dapat dihitung dengan rumus, JD = INT (365.25 (y + 4716)) + INT (30.6001 (M + 1)) + D + B - 1524.5 (7.1) Angka 30.6 (bukan 30.6001) akan menghasilkan hitungan yang benar, Tetapi 30.6001 lebih dianjurkan untuk digunakan sehingga bilangan bulat yang tepat akan selalu diperoleh. [Dalam prakteknya, selain angka 30.6001, kita bisa menggunakan juga 30.601 atau bahkan 30.61] Sebagai contoh, 5 kali 30.6 memberikan angka eksak 153. Namun, kebanyakan komputer tidak akan menghitung 30.6 secara eksak - lihat di Bab 2 apa yang bahas tentang BCD - dan bisa jadi memberikan hasil 152.999 9998 sebagai gantinya, yang bagian bilangan bulatnya adalah 152. Hitungan JD akan menjadi salah. Contoh 7. a — Hitung JD yang bertepatan dengan 4.81 Oktober Tahun 1957, saat peluncuran Sputnik 1. Di sini kita memiliki Y = 1957, M = 10, D = 4.81. Karena M > 2, kita biarkan Y dan M tidak berubah. Sistem Tanggal dalam dalam kalender Gregorian, jadi kita dapat menghitung:


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 56 JD = INT(365.25 x 6673) + INT(30.6001 x 11) + 4.81 - 13 - 1524.5 JD = 2436 116.31 Contoh 7.b — Hitung JD sesuai dengan tanggal 27 Januari tahun 333 pada jam 12h. Karena M = 1, kita memiliki Y = 333-1 = 332 dan M = 1 + 12 = 13. Karena sistem waktu dalam kalender Julian, kita dapatkan B = 0. JD = INT(365.25 x 5048) + INT(30.6001 x 14) + 27.5 + 0 - 1524.5 JD = 1842 713.0 Daftar berikut memberikan JD sesuai dengan tanggal kalender yang disebutkan. Data ini akan sangat berguna untuk menguji sebuah program. 1.5 Januari 2000 27.0 Januari 1987 19.5 Juni 1987 27.0 Januari 1988 19.5 Januari 1988 1.0 Januari 1900 1.0 Januari 1600 31.0 Desember 1600 10.3 April 837 12.5 Juli -1000 29.0 Februari -1000 17.9 Agustus -1001 1.5 Januari -4712 2451 545.0 2446 822.5 2446 966.0 2447 187.5 2447 332.0 2415 020.5 2305 447.5 2305 812.5 2026 871.8 1356 001.0 1355 866.5 1355 671.4 0.0 Jika seseorang hanya tertarik untuk kurun waktu antara 1 Maret tahun 1900 sampai 28 Februari 2100, maka rumus (7.1) kita dapatkan B = -13. Dalam beberapa aplikasi diperlukan untuk mengetahui Hari Julian atau Julian Day, JDo bersesuaian dengan Tanggal 0.0 Januari pada tahun yang diinginkan. Hal ini sama dengan tanggal 31.0 Desember pada tahun sebelumnya. Untuk tahun dalam kalender Gregorian, kasus ini dapat dihitung sebagai berikut: Untuk tahun 1901 sampai tahun 2099 inklusif, persamaan di atas menjadi JDo = 1721 409.5 + INT(365.25 x (tahun - 1))


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 57 Kapan suatu tahun itu dinamakan tahun kabisat? Dalam kalender Julian, suatu tahun adalah leap-year (atau tahun kabisat) berisi 366 hari apabila tahun tersebut secara numerik habis dibagi 4. Semua tahun lainnya adalah tahun biasa (365 hari). Misalnya, tahun 900 dan 1236 adalah tahun kabisat, sedangkan tahun 750 dan 1429 adalah tahun biasa. Aturan yang sama berlaku dalam kalender Gregorian, dengan pengecualian tahun centurial yang tidak dapat dibagi 400, misal 1700, 800, 1900, dan 2100 adalah tahun biasa. Tahun-tahun abad lainnya, yang dapat dibagi dengan 400, adalah tahun kabisat, misalnya 1600, 2000, dan 2400. Hari Julian yang dimodifikasi (MJD) terkadang muncul dalam pekerjaan modern, misalnya ketika menyebutkan elemen orbit dari satelit buatan. Berlainan dengan JD, Hari Julian Modifikasi dimulai pada Greenwich Rata-rata pada tengah malam. Hal ini sama dengan MJD = JD - 2400 000.5 dan karena itu MJD = 0.0 disamakan dengan 17 November 1858 jam 0h UT (Waktu Universal). Perhitungan Tanggal pada Kalender dari JD Metode berikut ini adalah berlaku baik untuk tahun positif maupun tahun negatif, namun bukan untuk Angka Hari Julian yang negatif. Tambahkan 0.5 ke JD, dan z merupakan bagian dari bilangan bulat, dan F adalah bagian pecahan (desimal)dari hasil tersebut. Jika z < 2299 161, maka A = z. Jika z sama dengan atau lebih dari 2299161, hitung: Kemudian hitung: B = A + 1524 D = INT (365.25 C) Hari dalam belum tertentu (dengan desimal) dirumuskan sebagai: B - D - INT(30.6001 E) + F Bulan dalam urutan Angka, m adalah sebagai berikut C - 4716 jika m>2 C - 4715 jika m = 1 atau 2 Lain dengan apa yang telah dikatakan sebelumnya tentang rumus (7.1), di dalam rumus di atas untuk E bilangan 30.6001 tidak dapat digantikan oleh 30.6, bahkan jika komputer menghitung secara eksak sekalipun. Jika tidak, kita akan memperoleh 0 Februari bukan 31 Januari atau 0 April bukan 31 Maret.


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 58 Contoh 7.c — Hitung tanggal Kalender yang bersesuaian dengan JD 2436 116.31. 2436116.31 + 0.5 = 2436116.81 Z = 2436 116 dan F = 0.81 Sebab Z > 2299 161, kita mempunyai: Maka akan kita dapatkan: B = 2437 653 C = 6673 D = 2437 313 E = 11 Hari dalam Bulan dimaksud = 4.81 Bulan m = E - 1 = 10 (sebab E < 14) Tahun, tahun = C - 4716 = 1957 (sebab m > 2) Karenanya, tanggal yang dicari adalah 4.81 Oktober 1957. L a t i h a n — Hitung tanggal dalam kalender bersesuaian dengan JD = 1842 713.0 dan JD = 1 507 900.13. Jawab: 27.5 Januari 333 dan 28.63 Mei -584. Interval waktu dari suatu hari ke hari yang lain Jumlah hari antara dua tanggal kalender tertentu dapat ditemukan dengan menghitung perbedaan antara Hari Julian pada masing-masing tanggal tersebut. Contoh 7.d — Periodik komet Halley melewati perihelio pada tanggal 20 April 1910 dan pada 9 Februari 1986. Berapa interval waktu antara kedua peristiwa ini? 20.0 April 1910 bersesuaian dengan JD 2418 781.5 9.0 Februari 1986 bersesuaian dengan JD 2446 470.5 Perbedaan antara keduanya adalah 27 689 hari. L a t i h a n — Temukan tanggal yang tepat, yang terjadi 10 000 hari setelah tanggal 11 Juli 1991. Jawab: 26 November 2018. Menentukan nama Hari Nama Hari dalam sepekan yang berkorelasi dengan tanggal tertentu dapat diperoleh sebagai berikut. Hitunglah JD untuk tanggal tersebut pada jam 0h, tambahkan 1.5, dan membagi hasilnya dengan 7. Sisa dari pembagian ini akan menunjukkan hari-hari dalam sepekan, misalnya: jika sisanya 0 berarti hari Minggu, jika bersisa 1 berarti Senin, 2 hari Selasa, 3 hari Rabu, 4 hari Kamis, 5 hari Jumat, dan 6 Sabtu. Hari-hari dalam sepekan tersebut tidak termasuk yang dirubah saat reformasi kalender Gregorian sebagai perubahan dari kalender Julian. Dengan demikian, pada Kamis 4 Oktober tahun 1582, diikuti Jumat 15 Oktober.


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 59 Contoh 7.e — Tentukan hari apa tanggal 30 Juni 1954. 30.0 Juni 1954 berkorelasi dengan JD 2434 923.5 2434 923.5 + 1.5 = 2434 925 Sisa pembagian 2434 925 dibagi dengan 7 adalah 3. Maka nama harinya adalah Rabu. Menentukan Hari dalam suatu Tahun Jumlah hari N dalam setiap tahun dapat dihitung dengan cara rumus berikut ini [1]. - 30 dimana M adalah urutan bulan, D urutan Hari dalam bulan tersebut, dan K = 1 untuk tahun kabisat K = 2 untuk tahun biasa N adalah bilangan bulat, dari 1 Januari (N=1) sampai 365 (atau 366 untuk tahun kabisat) pada 31 Desember. Contoh 7.f — 14 November 1978. Tahun biasa, M = 11, D = 14, K = 2 Orang akan mendapatkan: N = 318. Contoh 7.g — 22 April 1988. Tahun kabisat, M = 4, D = 22, K = 1 Orang akan dapatkan N = 113 Sekarang masalah sebaliknya: jika urutan Hari dalam tahun tertentu N, dan tanggal yang bersesuaian ingin dihitung, yaitu urutan bulan M dan urutan hari dalam bulan tersebut D. Algoritma berikut ditemukan oleh A. Pouplier, dari Societe Astronomique de Liege, Belgia [2]. Seperti di atas, lakukan K = 1 dalam hal tahun kabisat K = 2 dalam hal tahun biasa Jika N<32, maka M = 1 Daftar Pustaka 1. Nautical Almanac Office, U.S. Naval Observatory, Washington, D.C., Almanac for Computers For the Year 1978, halaman B2. 2. A. Pouplier, letter to Jean Meeus, 1987 April 10.


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 60 Bab 8. Tanggal Paskah Dalam Bab ini dibahas metode untuk menghitung tanggal Minggu Paskah untuk umat kristen dari tahun tertentu - bukan Paskah untuk kaum Yahudi. Paskah dalam kalender Gregorian Metode berikut telah diberikan oleh Spencer Jones dalam bukunya Astronomi Umum (General Astronomy), (pada halaman 73-74 dari edisi 1922). Telah diterbitkan lagi dalam Journal of British Astronomical Association, Vol. 88, halaman 91 (Desember 1977) di mana dikatakan bahwa itu dirancang pada tahun 1876 dan diterbitkan dalam Butcher's Ecclesiastical Calendar atau Kalender Gerja karya Butcher. Berbeda dengan rumus yang diberikan oleh Gauss, metode ini memiliki pengecualian dan berlaku untuk semua tahun dalam kalender Gregorian, yakni sejak tahun 1583. Prosedur untuk menemukan tanggal Paskah adalah sebagai berikut: Bagi dengan Hasil bagi Sisa tahun x 19 tahun x 100 B c b 4 4 e b + 8 25 F b - f + 1 3 G 19a + b - d - g + 15 30 h c 4 I k 32 + 2e + 2i - h -k 7 l a + 11h + 22 l 451 M h + l - 7m + 114 31 N p Lalu n = urutan bulan (3 = Maret, 4 = April), p +1 = hari pada bulan jatuhnya Minggu Paskah. Jika bahasa komputer tidak memiliki fungsi 'modulo/ modulus' atau 'remainder', perhitungan sisa dari pembagian harus diprogram dengan hati-hati. Misalkan perhitungan sisa pembagian dari 34 dengan 30. Di kalkulator saku, misalnya HP-67 dan HP-41C, kita mendapatkan: 34/30 = 1.133 333 333 bagian pecahan yaitu 0.133 333 333. Bila dikalikan dengan 30, ini memberikan hasil 3.999 999 990. Hasil ini berbeda dengan angka yang benar, yakni 4, sehingga kemungkinan menghasilkan tanggal yang salah untuk Paskah pada hasil akhir perhitungan. Cobalah program anda dengan input pada tahun-tahun ini: 1991 31 Maret 1954 18 April 1992 19 April 2000 23 April 1993 11 April 1818 22 Maret Tanggal ekstrim untuk Paskah adalah 22 Maret (seperti tahun 1818 dan 2285) dan April 25 (seperti pada 1886, 1943, dan 2038).


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 61 Aturan untuk menemukan tanggal Minggu Paskah sudah diketahui secara umum,yaitu Paskah adalah hari Minggu pertama setelah Bulan Purnama yang terjadi pada saat atau setelah ekuinoks pada bulan Maret. Sebenarnya, aturan untuk menemukan tanggal Paskah di masa lalu dilakukan oleh pendeta Kristen. Untuk tujuan aturan ini, Bulan Purnama diperhitungkan menurut perhitungan gerejawi dan bukan bulan purnama seperti pada perhitungan astronomi. Demikian juga, ekuinoks selalu diasumsikan jatuh pada tanggal 21 Maret, padahal sebenarnya dapat terjadi satu atau dua hari lebih cepat. Pada tahun 1967, misalnya, ekuinoks adalah pada tanggal 21 Maret, dan bulan purnama pada 26 Maret (tanggal UT). Minggu pertama setelah 26 Maret adalah tanggal 2 April. Namun, saat itu ditentukan hari Minggu Paskah adalah 26 Maret. Selama periode 1900-2100, hasil murni aturan menurut astronomi menghasilkan tanggal berbeda untuk hari Minggu Paskah jika dibandingkan dengan aturan gerejawi yaitu untuk tahuntahun berikut ini: 1900, 1903, 1923, 1924, 1927, 1943, 1954, 1962, 1967, 1974, 1981, 2038, 2049, 2069, 2076, 2089, 2095, dan 2096. Tanggal Paskah dalam kalender Gregorian terulang dalam jangka waktu 5 700 000. Telah ditemukan bahwa tanggal pasakal dalam kalender Gregorian yang paling sering adalah 19 April. Paskah dalam kalender Julian Dalam kalender Julian, tanggal jatuhnya Paskah dapat dihitung dengan cara sebagai berikut: Bagi dengan Hasil bagi Sisa tahun x 4 tahun x 7 b tahun x 19 c 19c + 15 30 d 2a + 4b - d + 34 7 e d + e + 114 31 f g di mana f = urutan bulan (3 = Maret, 4 = April), g +1 = hari pada bulan jatuhnya Minggu Paskah. Tanggal Paskah pada kalender Julian mempunyai periode 532 tahun. Misalnya, pada 12 April untuk tahun 179, 711,dan 1243.


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 62 Bab 9. Waktu Dinamis dan Waktu Universal Waktu Universal atau Universal Time (UT) atau Waktu Sipil di Greenwich, didasarkan pada rotasi Bumi. UT diperlukan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dan untuk perhitungan astronomi yang melibatkan sudut jam lokal. Namun, pada umumnya rotasi Bumi melambat, dan terlebih lagi hal ini terjadi dengan ketidakteraturan yang tidak bisa diprediksi. Karena itu, UT bukanlah ukuran waktu yang seragam. Tetapi astronom membutuhkan skala waktu yang seragam untuk perhitungan yang akurat (mekanika langit, orbit, ephemerides). Dari tahun 1960 sampai 1983 dalam almanak besar astronomi: seperti Astronomical Ephemeris, menggunakan skala waktu yang seragam disebut Waktu Ephemeris atau Ephemeris Time (ET) dan didefinisikan oleh hukum dinamika: itu didasarkan pada gerakan planet. Pada tahun 1984, ET diganti dengan waktu dinamik atau Dynamical Time, yang didefinisikan dengan jam atom. Dalam kenyataannya, Waktu dinamis adalah perpanjangan Waktu Ephemeris. Orang membedakan Waktu Barisentrik Dinamis atau Barycentric Dynamical Time (TDB) dan Waktu Terestris Dinamis atau Terrestrial Dynamical Time (TDT). Waktu-waktu tersebut berbeda paling besar sekitar 0.0017 detik, perbedaan itu terkait dengan gerakan orbit Bumi berbentuk elips mengelilingi Matahari (efek relativitas). Karena perbedaan ini sangat kecil, maka dapat diabaikan untuk kebanyakan keperluan praktis, selanjutnya dianggap tidak ada perbedaan antara TDB dan TDT, dan kita menyebut keduanya secara sederhana dengan TD (waktu dinamis). Nilai yang eksak dari perbedaan = TD - UT hanya dapat diperoleh dari pengamatan. Tabel 9.A memberikan nilai pada awal beberapa tahun. Kecuali untuk dua nilai terakhir, data tersebut diambil dari almanak astronomi untuk tahun 1988 [1]. Untuk epoch dalam waktu dekat, orang dapat memperkirakan nilai-nilai Tabel 9.A. Sebagai contoh, kita dapat menggunakan nilai sementara = +60 detik pada tahun 1993 = +67 detik pada tahun 2000 = +80 detik pada tahun 2010 Untuk epoch lain di luar interval waktu Tabel 9.A, nilai perkiraan T (dalam detik) dapat disimpulkan dari relasi berikut, menurut Morrison dan Stephenson [2]: di mana tahun dinyatakan dalam desimal, selanjutnya rumus ini dapat ditulis sebagai berikut: (9.1) TABEL 9.A (dalam detik) pada awal tahun Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun 1620 1622 1624 +124 115 106 1700 1702 1704 + 9 9 9 1780 1782 1784 +17 17 17 1860 1862 1864 + 7.9 7.5 6.4 1940 1942 1944 +24.3 25.3 26.2


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 63 Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun 1626 1628 1630 1632 1634 1636 1638 1640 1642 1644 1646 1648 1650 1652 1654 1656 1658 1660 1662 1664 1666 1668 1670 1672 1674 1676 1678 1680 1682 1684 1686 1688 1690 1692 1694 1696 1698 98 91 + 85 79 74 70 65 + 62 58 55 53 50 + 48 46 44 42 40 + 37 35 33 31 28 + 26 24 22 20 18 + 16 14 13 12 11 + 10 9 9 9 9 1706 1708 1710 1712 1714 1716 1718 1720 1722 1724 1726 1728 1730 1732 1734 1736 1738 1740 1742 1744 1746 1748 1750 1752 1754 1756 1758 1760 1762 1764 1766 1768 1770 1772 1774 1776 1778 9 10 + 10 10 10 10 11 +11 11 11 11 11 +11 11 12 12 12 +12 12 13 13 13 +13 14 14 14 15 +15 15 15 16 16 +16 16 16 17 17 3 1786 1788 1790 1792 1794 1796 1798 1800 1802 1804 1806 1808 1810 1812 1814 1816 1818 1820 1822 1824 1826 1828 1830 1832 1834 1836 1838 1840 1842 1844 1846 1848 1850 1852 1854 1856 1858 17 17 +17 16 16 15 14 +13.7 13.1 12.7 12.5 12.5 +12.5 12.5 12.5 12.5 12.3 +12.0 11.4 10.6 9.6 8.6 + 7.5 6.6 6.0 5.7 5.6 + 5.7 5.9 6.2 6.5 6.8 + 7.1 7.3 7.5 7.7 7.8 1866 1868 1870 1872 1874 1876 1878 1880 1882 1884 1886 1888 1890 1892 1894 1896 1898 1900 1902 1904 1906 1908 1910 1912 1914 1916 1918 1920 1922 1924 1926 1928 1930 1932 1934 1936 1938 5.4 2.9 + 1.6 - 1.0 - 2.7 - 3.6 - 4.7 - 5.4 - 5.2 - 5.5 - 5.6 - 5.8 - 5.9 - 6.2 - 6.4 - 6.1 - 4.7 - 2.7 - 0.0 + 2.6 5.4 7. +10.5 13.4 16.0 18.2 20.2 +21.2 22.4 23.5 23.9 24.3 +24.0 23.9 23.9 23.7 24.0 1946 1948 1950 1952 1954 1956 1958 1960 1962 1964 1966 1968 1970 1972 1974 1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 27.3 28.2 +29.1 30.0 30.7 31.4 32.2 +33.1 34.0 35.0 36.5 38.3 +40.2 42.2 44.5 46.5 48.5 +50.5 52.2 53.8 54.9 55.8 +56.9 58.3


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 64 di mana T Diukur dalam abad dari epoch 2000.0, atau, jika Hari Julian digunakan, rumus menjadi: Dengan rumus-rumus ini, ketidakpastian UT bisa mencapai dua jam, jika kembali ke tahun 4000 SM. Perbaikan masa depan dari rumus, pengguna mendapatkan manfaat dari konversi TD ke UT, tetapi tidak merubah algoritma, program, atau tabel ephemeris dengan waktu dengan skala seragam TD. Pada tahun 1984, Stephenson dan Morrison [3] menerbitkan dua rumus parabolik lainnya untuk di masa lalu. Periode dari 390 SM sampai 1600 M yang dicakup oleh rumus dua parabolik secara terpisah: dari -390 sampai 948 : = 1360 + 320 T + 44.3 T2 dari 948 sampai +1600 : = 25.5 T2 dimana T adalah perbedaan waktu dalam abad dari tahun 1800 M, dan yang diperoleh dalam hitungan detik. Dua tahun kemudian, Stephenson dan Houlden [4] memberikan dua lainnya belum ekspresi untuk di masa lalu: (i) pada setiap saat sebelum 948 M : = 1830 - 405 E + 46.5 E2 (ii) dari 948 sampai 1600 M : = 22.5 t 2 dimana E adalah jumlah abad 948 Masehi, dan t adalah jumlah abad tahun 1850M. Rumus (i) dan (ii) yang setara dengan Rumus-rumus berikut, dimana T adalah waktu dalam abad dari J2000.0 (T <0): sebelum 948 Masehi : 2715.6 + 573.36 T + 46.5 T2 dari 948 sampai 1600 : 50.6 + 67.5 T + 22.5 T2 Kuantitas adalah negatif dari 1871 M sampai 1901 M. Harus dicatat bahwa positif baik untuk masa lalu dan untuk masa jauh ke depan. Kecuali untuk tahun 1871 - 1901, waktu yang dinyatakan dalam UT memiliki nilai numerik yang hampir sama dengan yang dinyatakan dengan TD. Sebagai contoh, saat 27 Januari 1990 0h UT adalah saat 57 detik kemudian dari 27 Januari 1990, 0h TD. Karena kita memiliki UT = TD - . Contoh 9.a — Bulan Baru yang terjadi pada tanggal 18 Februari 1977 jam 3h37m40s Waktu Dinamis (lihat Contoh 47.a). Pada saat itu, sama dengan +48 detik. Akibatnya, Waktu Universal berkorelasi dengan fase Bulan: 3h37m40s - 48s = 3h36m52s Contoh 9.b — Anggaplah bahwa posisi Merkurius harus dihitung untuk 6 Februari pada jam 6h Waktu Universal pada tahun +333. Di sini kita memiliki: Untuk rumus (9.1) memberikan hasil = +7074 atau 118 menit. Oleh karenanya, TD = 6h + 118 menit = 7h58m, dan perhitungan harus dilakukan untuk 6 Februari tahun 333 pada jam 7h58m TD (Waktu Dinamis).


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 65 Schmadel dan Zech [5] telah membuat pendekatan berikut ini menghitung , berlaku untuk rentang waktu tahun 1800 - 1988. Hal ini merupakan nilai yang diberikan pada Tabel 9.A dengan kesalahan maksimum 1.9 detik. = -0.000 014 + 0.003 148 + 0.003 357 - 0.012 462 - 0.022 542 + 0.062 971 + 0.079 441 - 0.146 960 - 0.149 279 + 0.161 416 + 0.145 932 - 0.067 471 - 0.058 091 Dalam rumus ini, dinyatakan dalam hari, dan adalah waktu dihitung sejak 1900.0 dan dinyatakan dalam abad Julian. Schmadel dan Zech juga memberikan rumus untuk rentang waktu yang lebih pendek. Untuk tahun 1800 - 1899, Rumus berikut memberikan (dalam hari) dengan kesalahan maksimum 1.0 detik: = -0.000 009 + 0.003 844 + 0.083 563 + 0.865 736 + 4.867 575 + 15.845 535 + 31.332 267 + 38.291 999 + 28. 316 289 + 11.636 204 + 2.043 794 Untuk tahun 1900 sampai 1987, rumus berikut memberikan (dalam hari) dengan kesalahan maksimum 1.0 detik: = -0.000 020 + 0.000 297 + 0.025 184 - 0.181 133 + 0.553 040 - 0.861 938 + 0.677 066 - 0.212 591 di mana memiliki makna yang sama seperti pada rumus pertama. Harus dicatat bahwa tiga rumus ini adalah rumus empiris. Penggunaannya tidak diperbolehkan di luar batasan waktu yang diberikan! Daftar Pustaka 1 Astronomical Almanac for 1988 (Washington, DC). halaman K8 dan K9. 2 L.V. Morrison and FR Stephenson, Sun and Planetary System, Vol 96, halaman 73 (Reidel, Dordrecht, 1982). - Dikutip oleh P. Bretagnon dan J.L. Simon, Planetary Program and Tables from -4000 to 2800 (Willmann-Bell, Richmond, 1986), halaman 5 3 F.R. Stephenson and L.V. Morrison, 'Long-term changes in the rotation of the Earth', Phil. Trans. Royal. Soc., A, Vol 313, halaman 47-70 (1984). 4 F.R. Stephenson and M.A. Houlden, Atlas of Historical Eclipse Maps, Cambridge University Press, England (1986), halaman x. 5 L.D. Schmadel dan G. Zech, 'Empirical transformation from U.T. to E.T. for the period 1800 -1988 ', Astronomishe Nachrichten, Vol. 309, halaman 219-221 (1988)


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 66 Bab 10. Globe Bumi Bentuk aktual dari Permukaan Bumi, termasuk keberadaan berbagai pegunungan dan lembah, tidak mudah untuk mendefinisikan bentuk geometrisnya. Oleh karena itu, bentuk ideal yang digunakan dalam ilmu geodesi adalah permukaan laut rata-rata yang dimodelkan melalui benua. Ini yang biasa disebut geoid, yang mana di setiap titik di permukaannya tegak lurus ke lokal garis unting-unting (plumb-line). Namun, heterogenitas interior Bumi dan gaya tarik gunung sedemikian rupa sehingga permukaan geoid tidak mudah didefinisikan. Pendekatan bentuk Bumi yang cukup memadai untuk kebanyakan keperluan geografi maupun astronomi diperoleh dengan asumsi bahwa Bumi berbentuk elipsoid. Koordinat Rektangular Geosentrik dari pengamat Gambar menunjukkan penampang Bumi melalui meridian. C adalah pusat Bumi, N kutub utara, S kutub selatan, garis EF terletak pada ekuator, HK adalah permukaan horizontal dimana seorang pengamat berada dan OP tegak lurus terhadap HK. Arah OM adalah paralel dengan SN yang membentuk sudut dengan dengan OH yang merupakan Lintang geografis titik O. Sudut OPF juga sama dengan Vektor Radius OC, menghubungkan posisi pengamat ke pusat Bumi, membentuk sudut dengan ekuator CF, yang merupakan lintang geosentrik O. Kita mempunyai = di kutub dan di khatulistiwa; untuk posisi semua lintang lainnya < . Pegepengan Bumi, f, dan b/a adalah rasio NC/CF dari radius pada kutub NC = b dengan radius khatulistiwa CF = a. Pada tahun 1976 International Astronomical Union mengadopsi nilai-nilai: a = 6778.14 km, dari nilai tersebut, kita mendapatkan: b = a (1 - f) = 6356.755 km Eksentrisitas e dari meridian Bumi adalah Kita mendapatkan persamaan-persamaan sebagai berikut: Untuk tempat pada permukaan laut,


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 67 Jika H adalah tinggi pengamat di atas muka laut dalam meter, kuantitas dan diperlukan dalam perhitungan paralaks harian (diurnal), gerhana, dapat dihitung dengan cara sebagai berikut: Kuantitas mempunyai nilai positif di belahan Bumi utara, negatif di belahan selatan, sedangkan selalu positif. Kuantitas merupakan jarak pengamat ke pusat Bumi (OC lihat Gambar), radius Bumi di ekuator dipakai sebagai kesatuan. Contoh 10.a — Hitung dan untuk Palomar Observatory, yang mana = +33°21'22", H = 1706 meter Kita memperoleh, = 33°.356 111 u = 33°.267 796 sin = +0.546 861 cos = +0.836 339 Rumus lain terkait elipsoid Bumi Untuk titik tertentu pada ellipsoid, perbedaan antara lintang geografis dan lintang geosentrik dapat ditemukan dari: - = 692".73 sin 2 - 1".16 sin 4 Perbedaan - mencapai nilai maksimum untuk u = 45°. Jika dan adalah lintang geografik dan geosentrik, maka kita mempunyai: Oleh karenanya, untuk elipsoid IAU 1976, = 45°05' 46".36 = 44°54'13".64 = 11' 32".73 Kuantitas (untuk permukaan laut) dapat diperoleh dari : = 0.998 3271 + 0.001 6764 cos 2 - 0.000 0035 cos 4 Lintang paralel adalah lingkaran dengan radius:


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 68 dimana. seperti di atas, e adalah eksentrisitas elips meridian. Oleh karena itu, satu derajat sepanjang Bujur, pada Lintang mempunyai panjang Rotasi kecepatan sudut Bumi (mengacu pada bintang-bintang, bukan mengacu pada vernal equinox) adalah: = 7.292 115 018 x 10'.5 radian / detik. Sebenarnya, ini adalah nilai pada epoch 1989.5 [1]. Hal itu menurun perlahan-lahan seiring dengan waktu karena rotasi Bumi semakin melambat - lihat Bab 9. Kecepatan Linear sebuah titik di lintang akibat rotasi Bumi, adalah per detik. Jari-jari kelengkungan meridian Bumi, di lintang , adalah dan satu derajat pada lintang bersesuaian dengan panjang . mencapai nilai minimum di khatulistiwa, yaitu a (1 - e 2) = 6335.44 km, dan nilai maksimum di kutub, kilometer. Contoh 10.b — Untuk = +42°, merupakan Lintang Kota Chicago, kita mendapatkan Rp = 4747.001 km 1° sepanjang Bujur = 82.8508 km kecepatan linear = = 0.34616 km/s Rm = 6364.033 km 1° sepanjang Lintang = 111.0733 km Jarak antara dua titik pada permukaan Bumi Jika koordinat geografis dua titik pada permukaan Bumi diketahui, jarak terpendek s antara titik-titik tersebut, sepanjang permukaan Bumi, dapat dihitung. Misalkan saja titik pertama masing-masing memiliki bujur dan lintang L1 dan 1. Selanjutnya koordinat titik kedua adalah L2 dan 2. Kita asumsikan bahwa kedua titik tersebut berada di permukaan laut. Jika tidak diperlukan ketelitian tinggi, maka kita dapat menganggap Bumi sebagai bola dengan jari-jari rata-rata 6371 kilometer. Jarak sudut d antara dua titik dapat dihitung dengan rumus: (10.1) dimana d dinyatakan dalam derajat. Akurasi yang lebih tinggi dapat diperoleh dengan metode berikut, seperti yang ditulis H. Andoyer [2]; Hasil yang diperoleh berisi kesalahan relatif sebesar kwadrat pegepengan Bumi. Seperti sebelumnya, jika a adalah jari-jari ekuator Bumi, dan pegepengan Bumi f. Selanjutnya proses perhitungan dilakukan sebagai berikut:


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 69 dimana dinyatakan dalam radian dan rumus hitungan jarak menjadi Contoh 10.c — Menghitung jarak geodesik antara 0bservatoire de Paris (Perancis) dan US Naval Observatorium di Washington (DC), dengan data koordinat-koordinat sebagai berikut: Paris : L1 = 2°20'14" Timur = -2°20'14" = 48°50'11" Utara = +48°50'11" Washington : L2 = 77°03'56" Barat = +77°03'56" = 38°55'17" Utara = +38°55'17" Berturut akan kita dapatkan: F = +43°.878 8889 G = + 4°.957 5000 = -39°.701 3889 S = 0.216 426 96 C = 0.783 573 04 = 27°.724 274 = 0.48387987 radian R = 0.851 0555 D = 6172.507 km dan akhirnya s = 6181.63 km dengan kemungkinan kesalahan 50 meter. Jika kita menggunakan rumus pendekatan (10.1) dan (10.2), kita memperoleh: cos d = 0.567 146 d = 55°.448 55 s = 6166 km Daftar Pustaka 1. International Earth Rotation Service, Laporan Tahunan untuk 1989 (Observatoire de Paris, 1990). 2. Annuaire du Bureau des Longitudes pour 1950 (Paris), halaman 145.


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 70 Bab 11. Waktu Sideris di Greenwich Waktu Sideris di Greenwich, yakni di meridian Greenwich, pada jam 0h Waktu Universal bertepatan dengan tanggal tertentu, dapat diperoleh sebagai berikut. Hitung JD yang bersesuaian dengan tanggal tersebut di 0h UT (lihat Bab 7). Dengan demikian, bilangan tersebut berakhir dengan .5. Kemudian cari T dengan (11.1) Waktu sideris rata-rata di Greenwich pada jam 0h UT dirumuskan seperti tertera di bawah ini diadopsi oleh International Astronomical Union pada tahun 1982. = 6h41m 50s . 54841 + 8640 184s . 812 866 T + 0s .093 104 T2 - 0s .000 0062 T3 (11.2) Dinyatakan dalam derajat desimal, persamaan di atas dapat dituliskan sebagai berikut: = 100.460 618 37 + 36 000.770 053 608 T + 0.000 387 933 T2 - T3/38 710 000 (11.3) Penting untuk dicatat bahwa rumus (11.2) dan (11.3) hanya berlaku untuk nilai-nilai T yang bersesuaian dengan 0h UT dari suatu tanggal tertentu. Untuk menemukan waktu sideris di Greenwich untuk setiap UT kapan saja dari tanggal tertentu, kalikan saat tersebut dengan 1.002 737 909 35, dan tambahkan pada hasil perhitungan waktu sideris pada saat jam 0h UT. Waktu ratarata sideris di Greenwich, dinyatakan dalam derajat, dapat juga dirumuskan secara langsung untuk setiap saat sebagai berikut. Jika JD adalah Hari Julian bersesuaian dengan saat tertentu (tidak harus 0h UT), dapatkan T dengan rumus (11.1), dan kemudian = 280.460 618 37 + 360.985 647 366 29 (JD - 2451 545.0) + 0.000 387 933 T2 - T3/38 710 000 (11.4) Jika diinginkan akurasi tinggi, rumus ini membutuhkan penggunaan kerja komputer dengan jumlah yang memadai untuk signifikan digit. Waktu sideris diperoleh dengan rumus (11.2), (11.3) atau (11.4) adalah waktu rata-rata sideris, yaitu, sudut jam Greenwich dari titik vernal rata-rata (persimpangan ekliptika pada tanggal tertentu dengan ekuator rata-rata pada tanggal tertentu). Waktu sideris tampak, atau sudut jam Greenwich dari vernal equinox sejati, diperoleh dengan menambahkan koreksi dimana adalah Nutasi dalam bujur, dan kemiringan ekliptik (lihat Bab 21). Koreksi Nutasi ini disebut Nutasi dalam askensio rekta atau persamaan ekuinoks. Karena nilai kecil, maka dalam hal ini nilai dapat diambil ke 10" terdekat. Jika dinyatakan dalam detik busur (detik derajat), koreksi dalam detik waktu: Contoh 11.a — Dapatkan Waktu sideris rata-rata dan Waktu sideris tampak di Greenwich pada 10 April 1987 pada jam 0h UT. Tanggal ini bersesuaian dengan JD 2446 895.5. dan rumus (11.1) memberikan: T = -0.127 296 372 348


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 71 Kemudian kita dapatkan dengan rumus (11.2) = 6h41m 50s . 54841 - 1099 864.18158 detik atau, dengan menambahkan faktor perkalian 86 400 detik (Jumlah detik dalam satu hari), = 6h41m50s . 54841 + 23 335s .81842 = 6h41m50s . 54841 + 6h28m55s . 81842 = 13h10m46s .3668 yang merupakan waktu sideris rata-rata yang dikehendaki. Dari Contoh 21.a kita miliki, untuk saat yang sama, = -3".788 dan = 23°26'36".85. [Faktanya, nilai-nilai ini untuk 0h TD, bukan untuk 0h UT, tetapi di sini kita akan mengabaikan variasi yang sangat kecil selama interval waktu ]. Oleh karena itu Nutasi dalam askensio rekta adalah cos 23°.44357 = -0s .2317. dan waktu sideris tampak yang diinginkan adalah : 13h10m46s .3668 - 0s .2317 = 13h10m46s 1351. Contoh 11.b — Dapatkan Waktu sideris rata-rata di Greenwich pada 10 April 1987 pada jam 19h21m00s UT. Pertama, kita hitung waktu sideris rata-rata pada tanggal tertentu pada jam 0h Waktu Universal. Kita dapatkan 13h10m46s .3668 (lihat contoh sebelumnya). Kemudian 1.002 737 909 35 19h21m00s = 1.002 737 909 35 69 660 detik = 69 850.7228 detik = 19h24m10s .7228 dan Waktu sideris yang dikehendaki adalah: 13h10m46s .3668 + 19h24m 10s. 7228 = 32h34m57s .0896 = 8h34m57s .0896 Sebagai alternatif, kita dapat menggunakan rumus (11.4). Hari Julian yang bersesuaian dengan 10 April 1987 pada jam 19h21m00s UT. JD = 2446 896.30625 dan dengan rumus (11.1), nilai T yang bersesuaian adalah -0.127 274 30. Rumus (11.4), selanjutnya menghasilkan = -1677 831°.262 1266 atau dengan menambahkan perkalian 360°, = 128°.737 8734 Hasilnya ini adalah waktu sideris rata-rata yang diharapkan dalam derajat. Kita memperoleh waktu dalam jam dengan membaginya dengan 15 (karena satu jam bersesuaian dengan 15°). 8h.582 524 89 = 8h34m57s .0896 hasil yang sama seperti di atas.


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 72 Bab 12. Koordinat Transformasi Kita akan menggunakan simbol-simbol berikut ini: : askensio rekta. Kuantitas ini umumnya dinyatakan dalam waktu jam, menit dan detik, dan karenanya harus terlebih dahulu dikonversikan dalam derajat (dan desimal) dan kemudian, jika diperlukan, dalam radian, sebelum digunakan dalam rumus. Sebaliknya, jika telah diperoleh dengan rumus dan mesin hitung, kuantitas ini dinyatakan dalam radian atau dalam derajat, yang kemudian dapat dikonversi menjadi jam dengan membagi derajat dengan 15, dan kemudian, jika perlu, akan dikonversi menjadi jam, menit dan detik; : deklinasi, positif jika berada di utara ekuator langit, negatif jika di selatan; 1950 : askensio rekta mengacu pada ekuinoks standar B1950.0; 195O : deklinasi mengacu pada ekuinoks standar B1950.0; 2000 : askensio rekta mengacu pada ekuinoks standar J2000.0; 2000 : deklinasi mengacu pada ekuinoks standar J2000.0; : Bujur ekliptika (atau langit), diukur dari vernal ekuinoks sepanjang ekliptika; : Lintang ekliptika (atau langit), positif jika di utara ekliptika, negatif jika di selatan; l ujur galaksi; b : Lintang galaksi; h : ketinggian, positif jika di atas ufuk atau cakrawala, negatif jika di bawah; A : Azimut, diukur dari Selatan ke arah barat. Sebagai catatan bahwa bahwa di bidang navigasi dan meteorologi, orang menghitung arah kompas, atau azimuth, dari Utara (0°), ke arah Timur (90°), Selatan (180°) dan Barat (270°). Tetapi astronom tidak setuju8 dan dalam buku ini kita akan mengukur azimuth dari Selatan, karena sudut jam juga diukur dari Selatan. Oleh karena itu, benda angkasa yang persis di meridian selatan memiliki A = H = 0°; : kemiringan ekliptika, kuantitas ini adalah sudut antara ekliptika dan ekuator langit. Kemiringan ekliptika rata-rata dinyatakan dalam rumus (21.2). Akan tetapi, jika digunakan untuk askensio rekta dan deklinasi tampak (yang dipengaruhi Aberasi dan Nutasi), kemiringan sejati yakni harus diterapkan (lihat Bab 21). Jika dan mengacu pada ekuinoks standar J2000.0, maka nilai untuk 8 William Chauvenet, pada hal 20 pada buku A Manual of Spherical and Astronomical Astronomy (Edisi ke 5, 1891) Vol I: "Acuan pengukuran azimut adalah suka-suka, demikian juga dengan arah dari mana akan diperhitungkan, tetapi astronom biasanya mengambil titik selatan dari cakrawala sebagai acuan, ... Tetapi Navigator umumnya mengukur azimut dari titik utara atau selatan, mengikuti keberadaanya apakah berada di Lintang utara atau selatan, S. Newcomb, pada hal. 95 dari bukunya Compendium of Sphericlal Astronomy: "dalam prakteknya diukur baik dari titik utara atau selatan, dan di kedua arah, timur atau barat. Menurut astronom besar Amerika ini, azimut tidak memiliki preferensi tertentu. A. Danjon, pada hal. 39 pada bukunya yang hebat : Astronomie Generale (Paris, 1959): Titik Selatan (S) sebagai acuan untuk azimut yang merupakan persimpangan meridian dan cakrawal ke selatan.


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 73 epoch tersebut harus menggunakan nilai besaran , yaitu = 23°26'21".448 = 23°439 2911. Untuk ekuinoks standar B1950.0, dipakai = 23°445 7889; : Lintang pengamat, positif jika di belahan Bumi utara, negatif di belahan selatan; H : sudut jam lokal, di ukur dari Selatan ke arah barat. Jika adalah waktu sideris lokal, o waktu sideris di Greenwich, dan bujur pengamat L (positif ke arah barat, negatif ke arah timur dari Greenwich), maka sudut jam lokal dapat dihitung dari or Jika dipengaruhi Nutasi, maka waktu sideris juga harus memperhitungkannya (lihat Bab 11). Untuk transformasi dari koordinat ekuator ke koordinat ekliptika koordinat, maka rumus berikut dapat digunakan: (12.1) (12.1) Catatan terkait Bujur Geografis Dalam buku ini, bujur geografis diukur positif ke arah barat dari meridian Greenwich, dan negatif ke timur. Konvensi ini telah diikuti oleh astronom sejak lama lebih dari satu abad - lihat misalnya Referensi nomor 1 sampai 6. Sebagai contoh, garis bujur Washington, DC, adalah +77°04 dan untuk Wina, Austria, adalah -16° 23'. Kita tidak dapat memahami mengapa International Astronomical Union, pertama, telah memutuskan untuk mengukur semua Bujur planetographic (posisi planet-planet) dalam arah berlawanan dengan rotasi itu, kemudian mengubah sistem Bumi (1982). Kita tidak akan mengikuti resolusi IAU ini, dan kita akan terus menggunakan bujur barat sebagai positif. Hal ini sesuai dengan sistem bujur di planet lain. Misalnya di Mars dan Jupiter, bujur yang diukur positif ke arah barat, dan oleh karenanya mengapa bujur meridian utama di planet tersebut, seperti yang terlihat dari Bumi, bertambah seiring dengan waktu. Transformasi dari koordinat ekliptika ke koordinat ekuator adalah sebagai berikut: (12.3) (12.4) Koordinat horisontal lokal dapat dihitung sebagai berikut: (12.5) (12.6) Jika seseorang ingin memperhitungkan azimut dari utara BUKAN Selatan, tambahkan 180 dengan nilai A Mengingat dengan rumus (12.5). Transformasi dari koordinat horisontal ke koordinat ekuator:


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 74 Koordinat sistem galaksi didefinisikan International Astronomical Union pada tahun 1959. Dalam standar sistem ekuator B1950.0, Kutub Utara galaksi (Bima Sakti) mempunyai koordinat 1950 = 12h49m = 192°.25, 1950 = +27°.4 dan Acuan bujur galaksi adalah titik (di Barat Sagitarius) dari ekuator galaksi dalam jarak 33° dari titik daki atau ascending node (di bagian barat Aquila) dari ekuator galaksi dengan ekuator B1950.0. Angka-angka tersebut sudah ditentukan secara konvensional dan oleh karena itu harus dianggap sebagai hal yang benar (eksak) untuk ekuinoks standar B1950.0 yang dimaksud. Transformasi dari koordinat khatulistiwa, mengacu pada ekuinoks standar dari B1950.0, ke koordinat-koordinat galaksi: (12.7) l = 303° - x (12.8) Transformasi dari koordinat galaksi ke koordinasi ekuator mengacu pada ekuinoks standar B1950.0: = y + 12°.25 Jika Lokasi rata-rata bintang pada epoch 2000.0 digunakan sebagai pengganti epoch 1950.0, maka sebelum menggunakan rumus (12.7) dan (12.8), konversikan terlebih dahulu dan ke dan . Lihat Bab 20. Rumus (12.1), (1.3), dan seterusnya, menyajikan tan , tan , dan sebagainya, kemudian , , dan sebagainya, dihitung dengan fungsi arctangen. Namun, kuadran yang tepat harus dipertimbangkan untuk situasi sudut yang tidak diketahui. Untuk menghapus ketidakpastian sebesar 180°, sebaiknya kita menerapkan fungsi ATN2 untuk fraksi pembilang dan penyebut (tidak dengan melakukan pembagian secara langsung) atau ulasan penggunaan trik lain - lihat kembali 'Kuadran yang benar' di Bab 1. Contoh 12.a — Hitung koordinat ekliptika pada bintang Pollux ( Gem), dengan koordinat ekuator sebagai berikut: 2000 = 7h45m18s .946, 2000= +28°.01'34".26. Dengan nila = 116°.328 942, = +28°.026 183 dan = 23°.439 2911, rumus (12.1) dan (12.2) menghasilkan: = +6°.684 170 Karena dan mengacu pada ekuinoks standar 2000.0, dan juga mengacu pada ekuinoks tersebut.


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 75 L a t i h a n - Gunakan nilai-nilai , dan yang dihasilkan di atas, untuk menghitung dan lagi dengan cara seperti yang dirumuskan pada (12.3) dan (12.4). Contoh 12.b — Cari azimut dan elevasi/ketinggian Venus pada tanggal 10 April 1987 jam 19h21m00s UT (Waktu Universal) di Naval Observatorium Washington, DC, Amerika Serikat (Bujur = +77°03'56" = +5h08m15s .7, Lintang = 38°55'17"). Koordinat ekuator tampak dari planet ini, diinterpolasi dari ephemeris, adalah: = 23h09m16s .641, = -6°43'11".61 Ini adalah askensio rekta tampak dan deklinasi tampak (apparent) dari planet. Kita perlu menghitung waktu sideris tampak pada saat tertentu. Pertama-tama kita menghitung waktu sideris di Greenwich pada 10 April 1987 pada jam 19h21m00s UT, dan menghasilkan 8h34m57s .0896 (lihat Contoh 11.b). Dengan metode yang dijelaskan dalam Bab 21, kita memperoleh hasil untuk saat yang sama: Nutasi pada Bujur: = -3"868. Kemiringan ekliptika sejati: = 23°26'36"87. Waktu sideris tampak di Greenwich adalah Sudut Jam Venus di Washington: H = - L - a = 8h34m56s .853 - 5h08m15s .7 - 23h09m16s .641 =-19h42m35s .488 - 19h.709 = 8578 = -295°.647 867 = +64°.352 133 Rumus (12.5) dan (12.6) kemudian memberikan hasil h = +15°.1249 sehingga planet ini berada 15 derajat di atas ufuk antar baratdaya dan barat. Harus dicatat bahwa rumus (12.6) tidak memperhitungkan efek refraksi atmosfir, paralaks planet, tinggi pengamat di atas ufuk, lihat Bab 15. Koreksi paralaks akan dibahas dalam Bab 39. Sebagai latihan, hitunglah koordinat galaksi Nova Serpentis 1978, yang mana koordinat ekuatornya adalah: = 17h48m59s .74, = -14°43'08".2 Jawab: l = 12°.9593, b = +6°.0463.


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 76 Ekliptika dan Horizon Jika adalah kemiringan ekliptika, lintang pengamat , dan waktu sideris lokal , maka garis bujur ekliptika dua titik (yang terpisah 180°) pada koordinat horison dirumuskan sebagai berikut: (12.9) Sudut I antara ekliptika dan horison dirumuskan sebagai berikut: cos I = cos sin - sin cos sin (12.10) Dalam perjalanan satu hari sideris, sudut I bervariasi antara dua nilai ekstrim. Misalnya, untuk lintang 48°00' N, dengan = 23°26', nilai sudut I yang ekstrim adalah 90° - + = 65°26' untuk = 90° 90° - - = 18°34' untuk = 270° Harus dicatat bahwa I bukan sudut yang dibentuk oleh lintasan Matahari dengan horison. Contoh 12.c — Untuk = 23°.44, = +51°.6 = 5h00m = 75°, kita mendapatkan, dari rumus (12.9) tan = -0.1879, oleh karena itu = 169°21' dan = 349°21'. Rumus (12.10) menghasilkan I = 62°. Daftar Pustaka 1. The Nautical Almanac and Astronomical Ephemeris for the year 1835, hal. 508 (London, 1833). 2. The American Ephemeris and Nautical Almanac for the Year 2857, hal. 491 (Washington, 1854). 3. The Astronomical Ephemeris for the Year 1960, pp. 434 & fol. (London, 1958). 4. W. Chauvenet, A Manual of Spherical and Practical Astronomy, Vol. I, pp. 317 & fol. (Philadelphia, 1891). 5. A. Danjon, Astronomie Generale, hal. 46 (Paris, 1959). 6. S. Newcomb, A Compendium of Spherical Astronomy, hal. 119 (New York, 1906).


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 77 Bab 13. Sudut Paralaktik Misalkan saja pada pagi yang cerah kita melihat matahari melalui sepotong kaca gelap, dan kita melihat sunspot (titik api Matahari) yang besar di dekat lengkungan ('lurus') Matahari bagian barat (Gambar 1. A). Pada tengah hari, Matahari berada dekat meridian selatan, kita lihat sunspot berada lebih rendah (Gambar 1.B). Dan di sore hari, kita lihat sunspot bergerak masih jauh sepanjang lengkungan Matahari (Gambar 1.C). Titik api Matahari sebenarnya tidak bergerak banyak sepanjang piringan Matahari. Sehingga situasi itu seperti pada seluruh gambar Matahari diputar searah jarum jam. Hal ini dapat terlihat lebih mudah dengan Bulan (Gambar 2). Rotasi yang nampak ini mudah dipahami ketika kita mempertimbangkan gerakan harian bola langit. Setiap benda angkasa menggambarkan lingkaran paralel, busur harian (Gambar 3). Hanya ketika Matahari (atau Bulan) persis berada di meridian selatan, maka utara langit ke atas ke arah zenit. Gambar 1. Pergerakan sunspot yang tampak dalam perjalanan hari: pagi (A), mendekati siang (B), dan pada sore hari (C). di masing-masing tiga sketsa, dimana lingkaran menggambarkan piringan Matahari, dan puncaknya adalah di bagian atas. Gambar 2. Bulan seperempat pertama, bagi pengamat di belahan Bumi utara: (A) dekat selatan, sekitar saat matahari terbenam, dan (B) larut malam. Arah zenit ke atas. Gambar 3. Konstelasi ini menunjukkan efek yang sama. Untuk pengamat di belahan utara Bumi, konstelasi Orion berada cenderung bergerak naik ke 'kiri' di tenggara, tegak di selatan, dan bergerak naik ke "kanan" di baratdaya. Dalam Gambar 4, lingkaran menggambarkan piringan Matahari (atau Bulan). Busur AB adalah bagian dari busur harian bola langit. C adalah pusat dari piringan tersebut. Arah dari zenith dan arah Utara langit ditunjukkan seperti pada gambar. Utara langit mengarah tegak lurus terhadap busur AB. Z adalah titik puncak piringan, itu adalah titik paling atas piringan di langit seperti yang


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 78 terlihat oleh pengamat pada saat tertentu. N adalah titik utara piringan; CN mengarah menuju kutub Utara langit. Sudut ZCN disebut sudut paralaktik dan umumnya disimbolkan sebagai q. Sudut paralaktik ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan paralaks! Nama ini berasal dari fakta bahwa benda langit bergerak sepanjang lingkaran paralel. Bandingkan dengan pemasangan teleskop secara 'paralaktik'. Berdasarkan konvensi, sudut q negatif sebelum, dan positif setelah melewati meridian selatan. Tepat pada meridian, kita dapatkan q = 0°. Sudut paralaktik q dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: (13.1) di mana, seperti dalam Bab sebelumnya, adalah lintang geografis dari pengamat, adalah deklinasi benda-benda langit, dan H adalah sudut jam tersebut pada saat tertentu. Gambar 4 Tepatnya di zenit, sudut q tidak didefinisikan. Dalam kasus tersebut, H = 0° dan = , sehingga rumus (13.1) menghasilkan tan q = 0/0. Hal ini dapat dibandingkan dengan seseorang yang tepat padaKutub Utara Bumi: bujur geografis nya tidak dapat didefinisikan, karena semua meridian Bumi mengarah ke tempat tersebut. Untuk pengamat pada tempat tersebut, semua titik di horison mengarah ke Selatan. Ketika benda langit lewat persis pada zenit, sudut paralaktik q tiba-tiba melompat dari -90° menjadi +90°. Jika benda langit berada diufuk atau cakrawala (saat terbit atau terbenam), maka rumus (13.1) menjadi sangat sederhana, yaitu: dan dalam kasus itu tidak diperlukan untuk mengetahui Sudut Jam H.


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 79 Bab 14. Terbit, Transit dan Terbenam Sudut Jam berkorelasi dengan waktu terbit atau terbenam dari benda-benda langit yang diperoleh dengan menempatkan h = 0 dalam rumus ( 12.6). Dan rumus tersebut dapat diturunkan: cos Ho = -tan tan Namun, hasil yang didapat untuk saat tertentu mengacu pada terbit dan terbenam kenaikan geometris pusat benda langit. Karena adanya alasan refraksi atmosfir, mengacu pada fakta benda langit tersebut berada di bawah ufuk pada saat terbit dan terbenam yang nampak dengan mata. Bilangan 0°34' umumnya dipakai untuk efek pembiasan di ufuk. Untuk Matahari, umumnya waktu dihitung mengacu pada terbit dan terbenam yang nampak oleh mata. bahwa lengkungan atas Matahari menyentuh ufuk, sehingga 0°16' harus dikoreksikan karena faktor semidiameter Matahari. Sebenarnya, refraksi dipengaruhi oleh suhu, tekanan, dan ketinggian pengamat (lihat Bab 15). Perubahan suhu dari musim dingin ke musim panas dapat merubah waktu terbit dan terbenam Matahari sekitar 20 detik pada tempat dengan lintang di tengah belahan Bumi utara dan selatan. Demikian pula, Terbit dan terbenam Matahari pada tekanan barometrik yang berbeda-beda menyebabkan variasi belasan detik pada hasil perhitungan. Namun, dalam Bab ini kita akan menggunakan nilai rata-rata untuk refraksi atmosfir di ufuk, yaitu nilai 0°34' seperti yang disebutkan di atas. Kita akan menggunakan simbol berikut: L = Bujur geografis pengamat dalam derajat, diukur posisi ke arah barat dan negatif ke arah timur Greenwich = Lintang geografis pengamat, positif untuk belahan Bumi Utara dan negatif untuk belahan Bumi Selatan; T = perbedaan waktu TD - UT (Waktu Dinamis dikurangi dengan Waktu Universal) dalam detik; ho = ketinggian standar, yaitu ketinggian geometris benda langit tepat di pusatnya pada saat Benda terbit dan terbenam yang terlihat oleh mata. ho = -0°34' = -0°.5667 untuk Bintang dan Planet-planet; ho = -0°50' = -0°.8333 untuk Matahari. Untuk Bulan, masalahnya lebih rumit, karena ho tidak konstan. Dengan memperhitungkan variasi dari Semidiameter Bulan dan koreksi Paralaks, maka untuk Bulan dapat dirumuskan sebagai berikut: ho = 0.7275 - 0°34' dimana adalah horisontal paralaks Bulan.Jika tidak dikehendaki ketelitian tinggi,maka nilai ratarata ho = +0°.125 dapat dipakai untuk menghitung terbit dan terbenamnya Bulan. Misalkan, kita ingin menghitung waktu terbit, transit (ketika benda langit melewati meridian lokal pada saat kulminasi) dan terbenam benda-benda langit di tempat pengamat pada tanggal tertentu, D, dan dalam waktu Universal, kita ambil bilangan-bilangan yang diinginkan dari almanak, atau kita menghitung bilangan-bilangan itu dengan program komputer. Waktu sideris sejati pada jam 0h Waktu Universal pada hari D untuk meridian Greenwich, dikonversikan dalam derajat. Askensio rekta dan deklinasi benda langit tersebut


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 80 1 dan 1 pada hari D-1 pada jam 0h Waktu Universal 2 dan 2 pada hari D pada jam 0h Waktu Universal 3 dan 3 pada hari D+1 pada jam 0h Waktu Universal Askensio rekta harus dinyatakan dalam derajat juga. Perhatian! Test Pertama jika bagian detik adalah antara -1 dan +1 sebelum menghitung Ho. Lihat catatan 2 pada akhir bab ini. Ho dinyatakan dalam derajat. Ho harus diantara 0° dan 180°. Maka kita akan mendapatkan rumus: (14.2) bilangan yang diperoleh, m adalah waktu, pada hari D, dinyatakan dalam fraksi hari. Oleh karena itu, bilangan tersebut harus di antara 0 dan +1. Jika ada yang di luar itu, maka tambahkan atau kurangkan dengan 1. Misal, +0.3744 tidak perlu dirubah, tetapi -0.1709 harus dirubah menjadi +0.8291, dan +1.1853 harus dirubah menjadi +0.1853. Sekarang, untuk setiap dari tiga nilai m secara terpisah, lakukan perhitungan berikut ini. Carilah waktu sideris di Greenwich, dalam derajat, dari dimana m adalah mo, m1 atau m2. Untuk n = m + T / 86400, interpolasikan dari 1, 2, 3 dan interpolasikan juga dari 1, 2, 3, dengan menggunakan rumus interpolasi (3.3). Untuk perhitungan waktu transit tidak perlu menghitung . Cari sudut jam lokal dari benda Langit dari dari H = - L - dan kemudian ketinggian benda langit tersebut terhadap horison, h dengan rumus (12.6). Ketinggian ini tidak diperlukan untuk perhitungan waktu transit. Kemudian koreksikan ke m, akan diperoleh sebagai berikut: - dalam kasus transit dimana H dinyatakan dalam derajat dan nilainya harus diantara -180 dan +180 derajat. (Dalam kebanyakan kasus, H merupakan sudut kecil antara -1° dan +1° ); - dalam kasus terbit dan terbenam, dimana h dan ho dinyatakan dalam derajat.


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 81 Koreksi m merupakan kuantitas yang kecil nilainya, biasanya di antara -0.01 dan +0.01. Nilai yang terkoreksi m menjadi m + m. Jika diperlukan, perhitungan baru harus dilakukan dengan nilai baru m. Akhirnya, setiap nila m harus dikonversikan ke dalam jam dengan mengalikan dengan 24. Contoh 14.a — Venus pada tanggal 20 Maret 1988 di Boston, Bujur = +71°05' = +71°.0833, Lintang = +42°20' = +42°.3333. Dari ephemeris yang akurat, kita ambil data-data berikut ini: 20 Maret 1988 jam 0h UT : = 11h50m58s .10 = 177°.74208 19 Maret 1988 jam 0 h TD : 1 = 2h42m43s .25 = 40°.68021 20 Maret 1988 jam 0 h 2 = 2h46m55s .51 = 41°.73129 21 Maret 1988 jam 0 h 3 = 2h51m07s .69 = 42°.78204 19 Maret 1988 jam 0 h TD : 1 = 18h02m51s .4 = +18°.04761 20 Maret 1988 jam 0 h 2 = 18h26m27s .3 = +18°.44092 21 Maret 1988 jam 0 h 3 = 18h49m38s .7 = +18°.82742 Kita anggap ho = -0°.5667, T = +56s dan dengan rumus (14.1) kita akan mendapatkan cos Ho = -0.317 8735, Ho = 108°.5344, oleh karenanya hasil-hasil pendekatannya adalah: transit : mo = -0.18035, oleh karenanya mo = +0.81965 terbit : m1 = mo - 0.30148 = +0.51817 terbenam : m2 = mo + 0.30148 = +1.12113, oleh karenanya +0.12113 Perhitungan untuk hasil yang lebih akurat: terbit transit terbenam m e n a d H h Dm terkoreksi m +0.51817 4°.79401 +0.51882 42°.27648 +18°.64229 -108°.56577 -0°.44393 -0.00051 +0.51766 +0.81965 113°.62397 +0.82030 42°.59324 -0°.05257 +0.00015 +0.81980 +0.12113 221°.46827 +0.12178 41°.85927 +18°.48835 +108°.52570 -0°.52711 +0.00017 +0.12130 Perhitungan baru, menggunakan nilai-nilai m ini, menghasilkan koreksi-koreksi baru masing-masingnya adalah -0.000 003, -0.000 004, dan -0.000 004, yang mana koreksi-koreksi ini dapat diabaikan. Akhirnya kita dapatkan hasil akhir sebagai berikut: terbit : m1 = +0.51766, 24h 0.51766 = 12h25m UT transit : mo = +0.81980, 24h 0.81980 = 19h41m UT terbenam : m2 = +0.12130, 24h 0.12130 = 02h55m UT Interpolasi


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 82 C A T A T A N 1. Pada contoh 14.a, kita mendapatkan bahwa waktu terbenam di Boston adalah 2h55m UT pada tanggal 20 Maret. Namun, dikonversikan ke dalam standar waktu lokal akan berkorelasi dengan waktu sore hari sebelumnya. Jika yang diinginkan benar-benar pada 20 Maret, perhitungan harus dilakukan dengan menggunakan nilai m2 = +1.12113 pada awal proses bukan +0.12113. 2. Jika benda langit mengorbit melalui kutub (circumpolar), bagian kedua pada rumus (14.1) nilai absolutnya akan lebih dari 1, dan tidak akan ditemukan sudut Ho. Dalam kasus seperti itu, benda langit akan tetap ada di bawah atau di atas ufuk sepanjang hari. 3. Jika dengan waktu pendekatan dianggap sudah memadai, maka cukup gunakan nilai awal mo, m1 dan m2 yang diberikan dalam rumus (14.2).


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 83 Bab 15. Refraksi Atmosfir Refraksi atau pembiasan atmosfir adalah pembelokan cahaya saat melewati atmosfir Bumi. Ketika cahaya menembus atmosfir, akan melewati lapisan udara dengan densitas/kerapatan yang meningkat, sehingga membengkokkan cahaya. Akibatnya, sebuah bintang (atau Lengkungan Matahari, dan lain-lain) akan muncul lebih tinggi di langit daripada posisi yang sebenarnya. Refraksi atmosfir, adalah nol di zenit, dan semakin membesar menuju ufuk. Pada ketinggian 45°, refraksi sekitar satu menit busur, di ufuk mencapai sekitar 35'. Dengan demikian Matahari dan Bulan sebenarnya di bawah ufuk ketika terbit atau terbenam. Selain itu, pembiasan berubah dengan cepat di ketinggian rendah menyebabkan terbit dan terbenamnya Matahari nampak oval. Harus dibuat pembedaan untuk refraksi atmosfir ketika menentukan posisi, dan kita harus membedakan dua hal: - Ketinggian benda langit tampak ho diukur, dan harus dikoreksi refraksi R, dengan mengurangkan dari ho untuk mendapatkan ketinggian sejati h; - Ketinggian sejati pada ruang hampa h yang dihitung dari koordinat benda langit dan rumus trigonometri bola, dan kita menghitung refraksi R yang akan ditambahkan ke h dalam rangka untuk memprediksi ketinggian tampak ho. Hampir semua rumus refraksi yang kita temui hanya mempertimbangkan kasus pertama saja: rumus tersebut dirancang untuk menghitung ketinggian sejati dari seorang pengamat. Tetapi di sini kita akan mempertimbangkan kedua hal tersebut di atas. Untuk berbagai tujuan, sering diasumsikan berdasarkan kondisi meteorologi rata-rata. Namun, anomali refraksi dekat horison, misal oleh distorsi dari Matahari, seharusnya mengingatkan kita bahwa pada ketinggian yang sangat rendah tidak dapat dilakukan dengan sempurna. Pada ketinggian benda-benda langit yang lebih dari 15°, satu dari dua rumus berikut dapat digunakan, yaitu: R = 58".294 tan (90° - ho) - 0".0668 tan3 (90° - ho) (15.1) R = 58".276 tan (90°- h) – 0”.0824 tan3 (90° - h) (15.2) Rumus pertama diberikan oleh Smart [1], sedangkan yang kedua diturunkan oleh Jean Meeus dari rumus pertama. Untuk ketinggian di bawah 15°, rumus ini akan memberikan hasil tidak akurat, atau bahkan sepenuhnya tidak tepat. Ini terjadi bahwa di dataran tinggi, refraksinya sebanding dengan tangen dari jarak zenit. Sebuah rumus refraksi yang sederhana Tetapi mengagumkan, dengan akurasi yang baik untuk semua ketinggian dari 90° sampai 0°, diberikan oleh G.G. Bennett dari University of New South Wales [2]. Jika refraksi R dinyatakan dalam menit busur, rumus Bennett adalah (15.3) di mana ho adalah ketinggian tampak dalam derajat. Menurut Bennett, rumus ini akurat sampai 0.07 menit busur untuk semua nilai ho. Kesalahan terbesar, 0.07 menit busur, terjadi pada ketinggian 12". Perlu dicatat bahwa untuk zenith (ho = 90°), rumus (15.3) menghasilkan R = -0".08 yang seharusnya persis nol. Hal ini dapat diperbaiki dengan menambahkan +0.0013515 ke bagian kanan


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 84 rumus. Bennett juga menunjukkan bagaimana menyempurnakan rumus tersebut. Hitung R dengan cara rumus (15.3), maka koreksi R, dinyatakan dalam menit busur, adalah -0.06 sin (14.7 R + 13) dimana rumus di antara tanda kurung dinyatakan dalam derajat. Dihitung dengan cara seperti ini, kesalahan maksimum menjadi hanya 0.015 menit busur, atau 0".9, untuk seluruh rentang ketinggian 90° - 0° [Pada zenith, orang menemukan R = -0".89, sehingga rumus (15.3), tanpa koreksi lebih lanjut, dalam hal ini menjadi lebih baik]. Untuk masalah sebaliknya, yang menghitung efek ketika h ketinggian sejati diketahui, Saemundsson, dari Universitas Islandia, mengusulkan rumus berikut [3]: (15.4) Rumus ini konsisten dengan yang dituliskan oleh Bennett (15.3) dengan perbedaan kurang dari 4". Sekali lagi, rumus itu tidak memberikan secara persis R = 0 untuk h = 90°. Hal ini dapat kembali diperbaiki dengan menambahkan +0.0019279 ke bagian kedua dalam rumus tersebut. Rumus (15.1) sampai (15.4) mengasumsikan bahwa pengamatan dilakukan pada permukaan laut, bila tekanan udara adalah 1010 milibar, dan jika suhu 10° Celcius. Efek bias meningkat saat tekanan bertambah atau saat suhu menurun. Jika tekanan di permukaan Bumi adalah P milibar, dan suhu udara T derajat Celsius, maka nilai dari R diberikan oleh rumus (15.1) ke (15.4) harus dikalikan dengan Namun, ini hanya benar untuk pendekatan saja. Masalahnya lebih rumit, karena refraksi tergantung pada panjang gelombang dari cahaya juga! Rumus yang diberikan dalam Bab ini adalah untuk cahaya kuning, di mana mata manusia memiliki sensitivitas maksimum. Contoh 15.a — Hitung pegepengan lengkungan piringan Matahari tampak di dekat horison, jika lengkungan bawah berada pada ketinggian tampak persis 0°30'. Asumsikan diameter Matahari sejati tepat 0°32', dalam kondisi tekanan udara dan suhu ratarata. Untuk ho = 0°.5, pada rumus (15.3) memberikan R = 28'.754, sehingga ketinggian lengkungan bawah Matahari sejati adalah 0°30' - 0°28'.754 = 0°01'.246 dan karenanya ketinggian lengkungan atas sejati adalah h = 0°01'.246 + 0°32' = 0°33'.246 = 0°.5541 Untuk nilai h, pada rumus (15.4) menghasilkan R = 24'.618, sehingga ketinggian lengkungan atas Matahari tampak adalah 33'.246 + 24'.618 = 57'.864, dan diameter vertikal piringan Matahari tampak adalah 57'.864 - 30' = 27'.864. Akibatnya, rasio dari diameter vertikal tampak dibanding dengan diameter horisontal piringan Matahari, di bawah kondisi masalah ini, adalah 27.864/32 = 0.871. Perlu dicatat bahwa, tentu saja bahwa azimut tidak berubah oleh refraksi, diameter piringan horisontal Matahari tidak signifikan berubah oleh refraksi. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 85 ekstremitas diameter lingkaran ini dalam posisi vertikal yang bertemu di zenit. Danjon [4] menulis bahwa jelas kontraksi dari diameter horisontal Matahari praktis konstan dan tidak tergantung dari ketinggian, dan bahwa kontraksi ini adalah sekitar 0".6. Untuk ketinggian beberapa derajat di atas horison, hasil yang diperoleh harus dianalisa dengan hati-hati. Di dekat ufuk, gangguan yang sering tak terduga menjadi penting. Menurut investigasi yang dilakukan oleh Schaefer dan Liller [5], refraksi di cakrawala berfluktuasi sebesar 0°.3 di sekitar nilai rata-rata normal, dan dalam beberapa kasus ternyata lebih besar lagi. Perlu diingat bahasan di Bab tentang akurasi, harus disebutkan di sini bahwa perhitungan waktu terbit dan terbenam lebih akurat dari menit sepertinya tidak masuk akal (atau tidak diperlukan). Daftar Pustaka 1. W.M. Smart, Text-Book on Spherical Astronomy; Cambridge (Engl.) University Press (1956); halaman 68. 2. G.G. Bennett, "The Calculation of Astronomical Refraction in Marine Navigation", Journal of the Institute for Navigation, Vol. 35, halaman 255-259 (1982). 3. Þorsteinn Saanundsson, Sky and Telescope, Vol. 72, halaman 70 (Juli 1986). 4. A. Danjon, Astronomie Generale (Paris, 1959); halaman 156. 5. B.E. Schaefer, W. Liller, 'Refraction near the Horizon', Publ. Astron. Society of the Pacific, Vol. 102, halaman 796-805 (Juli 1990).


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 86 Bab 16. Sudut Separasi Jarak sudut d antara dua benda langit, yang diketahui askensio rekta dan deklinasinya, dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: (16.1) di mana dan adalah askensio rekta dan deklinasi, benda langit yang pertama, mana dan adalah askensio rekta dan deklinasi dari benda langit yang lainnya. Rumus itu dapat digunakan jika Bujur (langit) ekliptika dan lintang dari dua benda langit diketahui, maka rumus di atas , , dan masing-masing diganti dengan , dan . Rumus (16.1) tidak boleh digunakan ketika d adalah sangat dekat ke 0° atau 180° karena dalam kasus-kasus |cos d| hampir sama dengan 1 dan bervariasi sangat lambat terhadap d, sehingga d tidak dapat dihitung secara akurat. Misalnya, cos 0°01'00" = 0.999 999 958 cos 0°00'30" = 0.999 999 989 cos 0°00'15" = 0.999 999 997 cos 0°00'00" = 1.000 000 000 Jika jarak sudut kecil, katakanlah kurang dari 0° 10', kemudian jarak ini dapat dihitung dari rumus: (16.2) di mana adalah perbedaan antara askensio rekta, adalah perbedaan deklinasi, sedangkan adalah rata-rata deklinasi dari kedua benda langit tersebut. Perlu dicatat bahwa dan dapat dinyatakan dalam satuan sudut yang sama. Jika dinyatakan dalam jam (dan desimal), dalam derajat (dan desimal), maka d dinyatakan dalam detik busur (") dinyatakan dengan rumus sebagai berikut: (16.3) Jika dinyatakan dalam detik waktu (s), dalam detik busur ("), maka d dinyatakan dalam detik busur (") dinyatakan dengan rumus sebagai berikut: (16.4) Rumus (16.2), (16.3)dan (16.4) dapat digunakan hanya jika d sangat kecil. Tetapi, lihat juga rumus alternatif yang diberikan di akhir bab ini. Contoh 16.a — Hitung jarak sudut antara Arcturus ( Boo) dan Spica ( Vir). Koordinat J2000.0 dari bintang-bintang ini adalah: Boo : = 14h15m39s .7 = 213°. 9154 = +19°10'57" = +19°.1825 Vir : = 13h25m11s .6 = 201°.2983 = -11°09'41" = -11°.1614 Rumus (16.1) menghasilakn cos d = +0.840633, oleh karena itu d = 32°.7930


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 87 = 32°48' . Tentu saja, jarak ini hanya berlaku untuk epoch di mana jarak bintang 'diberikan, yaitu J2000.0. Ini bervariasi perlahan-lahan sejalan dengan waktu, dengan alasan gerakan sebenarnya dari bintang. L a t i h a n . - Hitung jarak sudut antara Aldebaran dan Antares. (Jawaban: 169° 58') Salah satu atau kedua benda langit bisa jadi bergerak. Sebagai contoh: sebuah planet dan sebuah bintang, atau dua planet. Dalam hal ini, program dapat ditulis di mana pertama, kuantitas dan ( ) diinterpolasi, setelah d dihitung dengan cara salah satu formula (16.1) atau (16.2). Petunjuk: dari kuantitas yang diinterpolasikan, hitung cos d dengan cara rumus (16.1). Kemudian, jika cos d <0.999 995, cari d, tetapi jika cos d> 0.999995, gunakan rumus (16.2). L a t i h a n . - Gunakan koordinat berikut, hitung waktu dan nilai jarak paling dekat antara Merkurius dan Saturnus. 1978 0h TD Merkurius Saturnus Sep 12 10h23m17s .65 +11°31'46".3 10h33m01s .23 +10°42'53".5 13 10 29 44 .27 +11 02 05 .9 10 33 29 .64 +10 40 13 .2 14 10 36 19 .63 +10 02 05 .9 10 33 57 .97 +10 37 33 .4 15 10 43 01 .75 + 9 55 16 .7 10 34 26 .22 +10 34 53 .9 16 10 49 48 .85 + 9 18 34 .7 10 34 54 .39 +10 32 14 .9 Jabab: Jarak sudut terdekat antara dua planet adalah 0°03'44" pada tanggal 13 September 1978 jam 15h06m.5 TD = 15h06m UT. Seperti yang kita lihat, ini mendekati konjungsi. Kita harus memegang fakta bahwa, dalam kasus seperti itu, pertama: kuantitas , dan ( - ) harus diinterpolasikan, bukan jarak itu sendiri. Jarak yang diinginkan dapat dihitung dari koordinat diinterpolasi. Misalkan, kita coba untuk menginterpolasikan jarak itu sendiri. Melalui rumus (16.1), kita mendapatkan hasil berikut ini,dalam derajat dan desimal, untuk lima waktu yang diberikan: 12.0 TD September 1978 13.0 14.0 15.0 16.0 d1 = 2°.5211 d2 = 0.9917 d3 = 0.5943 d4 = 2.2145 d5 = 3.8710 Ini merupakan bukti bahwa jarak terdekat terjadi antara 13.0 dan 14.0 September dan lebih dekat ke 14.0 daripada 13.0. Jika sekarang kita menggunakan tiga nilai pusat d2, d3, d4 dan kita hitung nilai minimum dengan cara rumus (3.4), kita memperoleh 0°.5017 = 0°30'06". Mengambil lima nilai d1 sampai d5, rumus (3.9) menghasilkan nilai lebih baik untuk nm setelah menerapkan rumus (3.8) untuk menghitung nilai fungsi untuk nilai n, hal ini menghasilkan 0°.4865 = 0°29'11". Kedua hasil tersebut benar-benar salah, namun, seperti telah disebutkan di atas, nilai yang benar untuk jarak paling dekat hanya 0°03'44". Jadi, apa yang terjadi?


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 88 Alasannya adalah bahwa konjungsi berada berdekatan. Sampai sesaat sebelum jarak terdekat, Merkurius bergerak hampir persis menuju Saturnus, dan jarak sudut antara dua planet mengalami penurunan hampir persis linear dengan waktu. Demikian pula, beberapa dalam waktu yang singkat setelah jarak terdekat, Merkurius bergerak hampir lurus menjauh dari Saturnus. Dalam Gambar pada halaman berikutnya, kurva padat mewakili benar variasi pemisahan sudut antara dua planet. kecuali sangat dekat dengan jarak setidaknya, kurva ini terdiri dari dua hampir segmen persis lurus (satu di dekat B, yang lain dari C ke 0), dan dalam kasus seperti rumus interpolasi tidak lagi berlaku! Sebagai contoh Rumus (3.3), (3.4) dan (3.5), anggaplah fungsi sebagai bagian dari kurva, adalah parabola. Tetapi kurvanya bukan parabola, kecuali sangat dekat dengan minimum, dalam persegi panjang kecil. Jika kita memanfaatkan tiga poin B, C, D, sesuai dengan tiga jarak pusat d2, d3, d4, maka dengan interpolasi rumus (3.3), kita sebenarnya menggambar parabola melalui tiga titik; itu adalah kurva putus-putus pada Gambar tersebut. Parabola ini berbeda jauh dari kurva yang sebenarnya, dan terutama minimumnya terlalu rendah. Dan itu akan sangat tidak terbantu meski menggunakan lima nilai d1 sampai d5 bukan yang tiga di tengah, karena kurva berbeda jauh dari polinomial derajat keempat sekalipun! Oleh karena itu, melakukan interpolasi berdasarkan jarak tidak bisa memberikan hasil yang akurat. Seperti yang telah dikatakan, kita harus menginterpolasikan koordinat asli secara terpisah, dan kemudian memperoleh jarak yang akurat untuk waktu menengah. Menggunakan rumus interpolasi (3.8), kita menemukan nilai jarak untuk beberapa nilai faktor interpolasi n: n = -0.50 -0.45 -0.40 -0.35 -0.30 Jarak = 0°.21437 0°.14057 0°.07790 0°.07028 0°.12815 Paling pemisahan terjadi untuk n antara -0.40 dan -0.35, jadi kami menghitung jarak sudut untuk tiga nilai, di kecil interval: n = -0.38 -0.37 -0.36 Jarak = 0°.06408 0°.06229 0°.06448


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 89 Interval tabel sekarang cukup kecil sehingga rumus (3.4) dan (3.5) dapat digunakan. Kita dapatkan bahwa jarak terdekat adalah 0°.06228 = 0°03'44 ", untuk n = -0.370 502, sesuai dengan 13.629498 September = 13 September jam 15h06m.5 TD, seperti yang disebutkan sebelumnya. Hal ini dimungkinkan, namun untuk menemukan jarak sudut tanpa mencoba beberapa nilai faktor interpolasi n, yaitu dengan menarik ke koordinat rektangular. Koordinat ini u dan v, dalam detik busur, dapat dihitung sebagai berikut [1]. Hitung kuantitas bantu: di mana 206 264.8062 adalah jumlah detik busur dalam satu radian. Kemudian: Dalam ungkapan di atas , adalah askensio rekta dan deklinasi planet pertama, dan , di mana , adalah askensio rekta dan deklinasi dari planet kedua. Mari kita hitung nilai u dan v untuk tiga waktu dengan interval sama. Untuk setiap waktu selang, maka nilai-nilai mereka dapat diinterpolasi dengan cara rumus (3.3), sedangkan variasinya (dalam detik busur per unit interval tabel) dirumuskan dengan: dimana n adalah faktor interpolasi, dan u1, u2, u3 adalah tiga nilai dihitung dari u, dan dengan ekspresi yang sama untuk variasi v'. Mulai setiap nilai interpolasi faktor n; Pilihan tepat adalah n = 0. Untuk nilai n, interpolasi u dan v dengan rumus (3.3), dan menemukan variasi u' dan v'. Kemudian koreksi n diberikan dengan: Sehingga nilai baru n adalah n + . Ulangi perhitungan dengan nilai baru dari n, sampai koreksi adalah kuantitas yang sangat kecil, misalnya kurang dari 0.000 001 dalam nilai mutlak. Untuk nilai akhir n, menghitung u dan v lagi. Kemudian jarak terdekat, dalam detik busur, akan menjadi . Mari kita terapkan metode ini untuk konjungsi yang disebutkan di atas antara Merkurius dan Saturnus. Tiga waktu dipilih adalah 13.0, 14.0 dan 15.0 September 1978. Kita peroleh nilai berikut untuk u dan v, mempertahankan satu desimal ekstra untuk menghindari kesalahan pembulatan: 13.0 Sept 14.0 Sept 15.0 Sept u -3322".44 +2088".54 +7605".36 v -1307".48 + 463".66 +2401".71 Untuk n = 0, kita mempunyai u = +2088.54 u' = +5463.90 v = + 463.66 v' = +1854.595 Karenanya = -0.368 582, dan nilai n terkoreksi adalah: 0 - 0.368 582 = -0.368 582. Iterasi baru memberikan = -0.000 003, sehingga nilai akhir n : -0.370 724 - 0.000 003 = -0.370 727.


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 90 [Nilai ini berbeda dari nilai n = -0.370 502 yang dihasilkan sebelumnya, karena dalam perhitungan ini kita menggunakan posisi planet hanya tiga waktu bukan lima. Tetapi perbedaannya adalah hanya 0.000 225 hari, atau 19 detik.] seperti yang didapatkan sebelumnya. Metode yang sama dapat digunakan jika salah satu benda langit adalah bintang. Koordinat bintang adalah kemudian konstan, tetapi penting untuk dicatat bahwa dan dari bintang harus dirujuk ke ekuinoks yang sama seperti pada benda langit yang bergerak. Jika benda langit yang bergerak adalah planet besar, yang mana askensio rekta tampak dan deklinasi tampak mengacu ekuinoks dari tanggal tertentu, maka harus digunakan juga untuk bintang koordinat tampak. Jika posisi bintang diambil dari katalog, yang mengacu pada ekuinoks standar (misalnya bahwa dari J2000.0), maka dan yang ditemukan dengan memperhitungkan gerak bintang dan efek presesi, nutasi dan aberasi, seperti dijelaskan pada Bab 22. Jika dan dari benda langit yang bergerak mengacu pada ekuinoks standar (koordinat astrometrik), maka dan dari bintang harus dirujuk ke ekuinoks standar yang sama, satusatunya koreksi adalah koreksi gerak bintang. Rumus Alternatif Meskipun rumus (16.1) benar-benar tepat, bicara secara matematik, akurasinya sangat buruk untuk nilai-nilai sudut yang sangat kecil, seperti yang terlihat pada awal Bab ini. Untuk alasan tersebut, beberapa metode alternatif telah diusulkan. Salah satunya [2] dengan menggunakan fungsi haversine lama (hav), yang dapat menjadi bantuan besar dalam perhitungan astronomi tertentu dengan melibatkan sudut kecil, karena dapat mempertahankan angka yang signifikan. Dengan definisi, untuk setiap sudut , kita memiliki Rumus cosinus (16.1) untuk jarak sudut persis ekuivalen dengan (16.5) dimana Untuk menerapkan rumus ini pada sebuah komputer kita dapat menggunakan rumus bantu lain, yaitu: Melalui rumus (16.5), jarak sudut dapat dihitung akurat untuk sudut dari hampir 180° sampai 0° dengan akurat! V.J. Slabinski [3] menawarkan pendekatan lain yang dapat digunakan: Tetapi, rumus ini tidak dapat membedakan antara sudut pelengkap, misalnya 144° dan 36°, dan memiliki akurasi yang buruk ketika d dekat dengan 90°. Daftar Pustaka 1. A. Danjon, Astronomie Generale, halaman 36, formulae 3 bis (Paris, 1959). 2. Sky and Telescope, Vol. 68, halaman 159 (Agustus 1984). 3. Sky and Telescope, Vol. 69, halaman 158 (Februari 1985).


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 91 Bab 17. Konjungsi Planet Dengan tiga atau lima posisi ephemeris dari dua planet yang lewat satu sama lain, orang dapat menulis program untuk menghitung waktu konjungsinya dalam askensio rekta, dan perbedaan deklinasi antara dua benda lagit pada saat itu. Metode ini terdiri dari perhitungan perbedaan askensio rekta , kemudian menghitung waktu terjadinya = 0 dengan cara seperti pada rumus (3.6) atau (3.7) dalam kasus tiga posisi, atau (3.10) atau (3.11) dalam kasus lima titik. Apabila waktu yang dicari sudah ditemukan, innterpolasi langsung perbedaan deklinasi dengan menggunakan rumus (3.3) atau (3.8), menghasilkan perbedaan deklinasi yang dikehendaki saat terjadinya konjungsinya. Konjungsi pada bujur bola langit dapat dihitung dengan cara yang sama, yakni menggunakan bujur dan lintang geosentrik planet sebagai pengganti askensio rekta dan deklinasi. Perlu dicatat bahwa baik waktu konjungsi pada askensio rekta maupun konjungsi pada bujur, tidaklah bertepatan dengan jarak sudut terdekat antara dua benda langit. Contoh 17.a — Hitung keadaan Merkurius-Venus , konjungsinya pada 7 Agustus 1991. Posisi berikut ini pada jam 0h Waktu Dinamis pada tanggal yang dimaksudkan di atas, data dari ephemeris yang akurat adalah sebagai berikut: Merkurius 5 Agustus 6 7 8 9 = 10h24m30s..125 10h25m00s..342 10h25m12s..515 10h25m06s..235 10h24m41s..185 = +6°26'32".05 +6°10' 57".72 +5°57'33".08 +5°46'27".07 +5°37'48".45 Venus 5 Agustus 6 7 8 9 = 10h27m27s..175 10h26m32s..410 10h25m29s..042 10h24m17s..191 10h22m57s..024 = +4°04'41".83 +3°55'54".66 +3°48'03".51 +3°41'10".25 +3°35'16".61 Pertama kita hitung perbedaan askensio rekta dan deklinasi, keduanya dalam satuan derajat desimal: 5 Agustus 6 7 8 9 = -0.737 708 -0.383 617 -0.068 863 +0.204 350 +0.434 004 = +2.363 950 +2.250 850 +2.158 214 +2.088 006 +2.042 178 Menerapkan rumus (3.10) dengan nilai-nilai , kita menemukan bahwa adalah ... untuk nilai n = +0.23797 faktor interpolasi. Oleh karena itu, konjungsinya dalam askensio rekta terjadi pada : 7.23797 Agustus 1991 = 7 Agustus 1991 jam 5h42m.7 TD = 7 Agustus 1991 jam 5h42m UT


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 92 Dengan nilai n yang ditemukan, dan menerapkan rumus (3.8) ke nilai , kita menemukan = +2°.13940 atau +2°08'. Oleh karena itu, konjungsi dalam askensio rekta, Merkurius adalah 2°08' utara Venus. Jika benda langit kedua adalah bintang, koordinatnya dapat dianggap konstan selama selang waktu tertentu. Kemudian kita memiliki Program ini dapat ditulis sedemikian rupa sehingga jika kedua obyek adalah bintang, maka, koordinatnya harus dimasukkan hanya sekali. Catatan penting diberikan di halaman 110 berlaku di sini juga: koordinat bintang dan bendabenda langit yang bergerak harus mengacu ke ekuinoks yang sama. Sebagai latihan, hitungla konjungsi pada askensio rekta antara antara planet minor 4 Vesta dan bintang Leonis pada Mei 1992. Askensio rekta dan deklinasi dari planet minor mengacu pada standar ekuinoks dari B1950.0, adalah sebagai berikut (dari ephemeris dihitung oleh Edwin Goffin): 0 h TD 8 Mei 1992 13 18 23 28 11h06m30s .379 11h08m22s .379 11h10m52s .379 11h13m57s .379 11h17m35s .379 +16°13'37".98 +15°44'26".59 +15°11'26".24 +14°34'58".49 +13°55'21".19 Koordinat bintang untuk epoch dan ekuinoks 1950.0 adalah = 11h11m37s .089 dan = +15°42'11".49, dan gerakan sentenia yang tepat (yaitu gerakan yang tepat per 100 tahun) adalah - 0s .420 pada askensio rekta dan -7".87 pada deklinasi. Sebagai konsekwensinya dari gerakan yang tepat selama 42.38 tahun (0.4238 abad) sejak 1950.0, kita dapatkan bahwa posisi bintang mengacu ekuinoks 1950.0, tetapi untuk epoch 1992.38, adalah: = 11h11m36s .911, = +15°42'08 ".15 Sekarang, hitunglah konjungsinya. Jawab: Vesta melewati 0°40' sebelah selatan dari Leo pada tanggal 19 Mei 1992 jam 7h TD (Waktu Dinamis).


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 93 Bab 18. Benda Langit pada Garis Lurus Dalam Bab ini dan bab berikutnya, kita akan membahas dua masalah yang tidak begitu penting secara ilmiah, tetapi mungkin ditujukan untuk orang-orang yang tertarik pada peristiwa langit yang bagus atau penulis artikel populer. Misalkan ( ), ( ), ( ), menjadi koordinat ekuatorial dari tiga benda langit. Benda-benda langit ini berada di 'garis lurus' - Yaitu, mereka berada di lingkaran besar yang sama di bola langit - jika (18.1) Rumus ini berlaku untuk koordinat ekliptika juga, askensio rekta digantikan dengan bujur , dan deklinasi diganti oleh lintang . Jangan lupa bahwa askensio rekta umumnya dinyatakan dalam jam, menit dan detik. Oleh karena itu harus dikonversi ke jam dan desimal, dan kemudian ke derajat dengan cara dikalikan 15. Jika satu atau dua benda langit tersebut adalah bintang, maka sekali lagi catatan penting diberikan pada halaman 110 dapat diberlakukan: koordinat bintang harus mengacu ke ekuinoks sama dengan planet-planet. Contoh 19.a — Carilah waktu saat Mars terlihat satu garis lurus dengan Pollux dan Castor di tahun 1994. Dari ephemeris Mars dan atlas bintang, ditemukan bahwa planet ini berada pada garis lurus dengan dua bintang sekitar 1 Oktober 1994. Untuk tanggal ini, koordinat ekuator tampak dari bintang-bintang tersebut adalah: Castor ( Gem) : = 7h34m16s .40 = 113°.56833 = +31°53'51".2 = +31°.89756 Pollux ( Gem) : = 7h45m00s .10 = 116°.25042 = +28°02'12".5 = +28°.03681 Untuk kasus ini, nilai-nilai , dapat dianggap konstan selama beberapa hari. Koordinat tampak Mars ( ) adalah variabel. Untuk itu nilai-nilainya diambil dari ephemeris yang akurat seperti berikut: TD 29.0 Sep. 1994 30.0 1.0 Okt 2.0 3.0 7h55m55s .36 = 118°.98067 7h58m22s .55 = 119°.59396 8h00m48s .99 = 120°.20413 8h03m14s .66 = 120°.81108 8h05m39s .54 = 121°.41475 +21°41'03".0 = +21°.68417 +21°35'23".4 = +21°.58983 +21°29'38".2 = +21°.49394 +21°23'47".5 = +21°.39653 +21°17'51".4 = +21°.29761


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 94 Menggunakan nilai-nilai ini, bagian kira dari rumus (18.1) diberikan nilai sebagai berikut: 29.0 Sept 30.0 1.0 Okt 2.0 3.0 +0.0019767 +0.0010851 +0.0001976 -0.000 6855 -0.0015641 Dengan rumus (3.10), kita mendapatlan nilainya sama dengan nol pada tanggal 1.2233 Oktober 1994 = 1 Oktober 1994 pada jam 5h TD (UT) Dalam Contoh sebelumnya, kita menggunakan posisi geosentrik Mars. Untuk alasan ini hasilnya adalah hanya berlaku untuk pengamat geosentrik, dan pengamat melihat Mars di zenit. Tetapi untuk kasus ini, tidak perlu untuk memperhitungkan paralaks planet, yang sangat kecil. Tetapi tidak lagi benar dalam kasus Bulan, yang paralaksnya mencapai 1°. Dalam hal ini, posisi topocentris Bulan harus digunakan (lihat Bab 39).


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 95 Bab 19. Lingkaran kecil berisikan tiga Benda Langit Misalkan A, B, C ada tiga benda langit yang terletak tidak terlalu jauh satu sama lain di bola langit, katakanlah lebih dekat dari sekitar 6 derajat. Kita ingin menghitung diameter sudut lingkaran terkecil berisikan tiga benda langit tersebut. Dua kasus dapat terjadi: tipe I : lingkaran terkecil memiliki diameter sebagai sisi terpanjang dari segitiga ABC, dan satu titik berada di bagian dalam lingkaran; tipe II : lingkaran terkecil adalah lingkaran melewati tiga titik A, B, C. Diameter dari lingkaran terkecil dapat dihitung sebagai berikut. Hitung panjang (dalam derajat) sisi segitiga ABC dengan cara metode yang dijelaskan di Bab 16. Misalkan a adalah panjang sisi terpanjang segitiga, dan b dan c panjang dari dua sisi yang lain. Apabila , maka dapat dikelompokkan dalam tipe I, dan Apabila , maka dikelompokkan ke dalam tipe II, dan (19.1) Contoh 19.a — Hitung diameter lingkaran kecil berisikan Merkurius, Jupiter dan Saturnus pada 11 September 1981 jam 0h Waktu Dinamis. Posisi planet-planet tersebut pada saat itu adalah: Merkurius = 12h41m08s .63 = -5°37'54".2 Jupiter 12h52m05s .21 -4°22'26".2 Saturnus 12h39m28s .11 -1°50'03".7 Jarak sudut ketiganya diperoleh dengan rumus (16.1), yaitu: Merkurius - Jupiter 3°.00152 Merkurius - Saturnus 3°.82028 Jupiter - Saturnus 4°04599 = a Karena , maka kita menghitung dengan rumus (19.1). Hasilnya adalah: = 4°.26364 = 4°16' Ini adalah contoh dari tipe II


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 96 Sebagai latihan, lakukanlah perhitungan untuk planet Venus, Mars dan Jupiter pada 20 Juni 1991 pada jam 0h TD, menggunakan posisi berikut: Venus = 9h05m41s.44 = +18°30'30".0 Mars 9h09m29 s .00 +17°43'56".7 Jupiter 8h59m47s .14 +17°49'36".8 Menunjukkan bahwa kasus ini adalah tipe I, dan = 2°19'. Sebuah program dapat ditulis yang mana pertama: askensio rekta dan deklinasi planet diinterpolasikan, setelah a, b, c, dan akhirnya dihitung. Dengan program tersebut, dimungkinkan untuk menghitung (dengan mecoba) nilai minimal dari pengelompokan tiga planet. Memang, bervariasi dengan waktu, dan metode yang dijelaskan dalam Bab ini memberikan nilai untuk satu waktu yang diberikan. Penting untuk dicatat bahwa posisi planet-planet dapat diinterpolasikan dengan cara rumus biasa, sedangkan nilai-nilai diameter lingkaran tidak bisa. Alasannya adalah bahwa variasi umumnya tidak dapat diwakili oleh polinomial, lihat misalnya grafik dalam Contoh 19.c. Contoh 19.b — Pada September 1981, ada pengelompokan planet Merkurius, Jupiter dan Saturnus. Posisi planet-planet ini adalah sebagai berikut, sebagai pengganti askensio rekta dan deklinasi, di sini kita akan menggunakan koordinat ekliptika (bujur dan lintang). 1981 Merkurius Jupiter Saturnus 0h TD 7 Sept 8 9 10 11 12 13 14 Bujur 186°.045 187°.482 188°.897 190°.290 191°.661 193°.008 194°.332 195°.631 Lintang -0°.560 -0°.696 -0°.833 -0°.971 -1°.109 -1°.246 -1°.384 -1°.521 Bujur 192°.866 193°.069 193°.272 193°.476 193°.681 193°.886 194°.092 194°.299 Lintang +1°.117 +1°.116 +1°.114 +1°.113 +1°.112 +1°.110 +1°.109 +1°.108 Bujur 189°.324 189°.439 189°.555 189°.671 189°.788 189°.906 190°.023 190°.142 Lintang +2°.226 +2°.225 +2°.224 +2°.223 +2°.222 +2°.221 +2°.220 +2°.219 Kami tidak akan memberikan rincian di sini, dan membiarkannya sebagai latihan untuk pembaca. Kita hanya sebutkan bahwa dari bulan 7.00 sampai 8.81 September merupakan pengelompokan tipe I, diameter dari lingkaran terkecil menurun hampir linear dari 7°01' sampai 5°00'. Dari 8.81 sampai 12.19 September, pengelompokan itu tipe II, dan mencapai minimal 4°14' pada tanggal 10.53 September. Dari 12.19 September, masuk pengelompokan tipe I lagi, meningkat hampir linear dengan waktu. Contoh 19.c — Mari kita mempertimbangkan kasus fiktif berikut. Pada tanggal 12.0, koordinat ekliptika (dalam derajat) dari tiga planet adalah sebagai berikut.


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 97 Bujur Lintang Gerak harian sepanjang Bujur planet P1 planet P2 planet P3 214.23 211.79 208.41 +0.29 +0.48 +0.75 +0.11 +0.20 +1.08 Anggaplah bahwa lintangnya konstan dan bujur meningkat dengan kecepatan konstan seperti yng disebutkan dalam kolom terakhir. Sekali lagi, kami menyisakan perhitungan di atas sebagai latihan untuk pembaca. Kita hanya menggambarkan variasi diameter dari lingkaran terkecil (lihat Gambar pada halaman berikutnya). Perhatikan diskontiyu pada titik A dan B. Kecuali selama dua periode singkat (15.87 sampai 15.91 Maret mendekati A, 17.93 sampai 18.05 Maret mendekati B), dimana dikelompokkan dalam tipe II, kita mempunyai tipe I. Nilai minimal A, yaitu 1°55', terjadi pada B, pada tanggal 17.94. Jika satu dari benda langit tersebut adalah bintang, sekali lagi situasi penting pada halaman 110 dapat diberlakukan: koordinat bintang harus mengacu ke ekuinoks yang sama dengan planetplanet.


Astronomical Algorithm (Algoritma Astronomi) Jean Meeus 98 Bab 20. Presesi Arah sumbu rotasi Bumi tidak benar-benar tetap dalam semesta. Seiring waktu itu mengalami perubahan secara perlahan, atau presesi, seperti sumbu berputar di bagian atasnya. Efek ini disebabkan oleh gaya tarik Matahari dan Bulan pada tonjolan ekuator Bumi. Akibat presesi, bagian utara koordinat langit (saat ini berada dekat dengan Ursae Minoris, atau Polaris) perlahan-lahan bergerak d sekitar kutub ekliptika, dengan jangka waktu sekitar 26000 tahun; sebagai konsekuensi, vernal equinox, perpotongan antara ekuator dan ekliptika, bergerak mundur sekitar 50" per tahun di sepanjang ekliptika. Selain itu, bidang ekliptika sendiri tidak tetap di ruang angkasa. Karena daya tarik gravitasi dari planet-planet terhadap Bumi, bidang itu berputar perlahan di sekitar 'garis node', kecepatan rotasi saat ini 47" per abad. Bidang ekliptika dan ekuator, dan vernal equinox, adalah bidang fundamental dan acuan dari dua sistem koordinat penting pada alam semesta: yaitu koordinat ekliptik (bujur dan lintang ) dan koordinat ekuator (askensio rekta dan deklinasi ). Jadi, karena presesi, koordinat dari bintang yang 'tetap' akan terus menerus berubah. Oleh karena itu, katalog bintang memberikan daftar askensio rekta dn deklinasi bintang-bintang pada epoch tertentu, seperti 1900.0, atau 1950.0, atau 2000.0. Dalam Bab ini, kita anggap masalah konversi askensio rekta dan deklinasi bintang , dinyatakan pada epoch tertentu dan sebuah ekuinoks bersesuaian dengan epoch ekuinoks lainnya. Hanya tempat rata-rata bintang dan efek presesi saja diperhitungkan di sini. Masalah menghitung tempat tampak dari sebuah bintang akan dibahas pada Bab 22. Akurasi rendah Jika tidak diperlukan akurasi tinggi, jika dua epoch tidak terpisah terlalu jauh, dan jika bintang tidak terlalu dekat dengan salah satu kutub langit, rumus berikut dapat digunakan untuk presesi tahunan pada askensio rekta dan deklinasi: (20.1) dimana m dan n adalah dua kuantitas yang berubah secara perlahan seiring dengan waktu. m = 3s .07496 + 0s .00186 T n = 1s . 33621 - 0s .00057 T n = 20".0431 - 0".0085 T T adalah waktu diukur dalam abad sejak 2000.0 (permulaan tahun 2000). Di bawah ini, nilai m dan n untuk beberapa epoch: Epoch m n n 1700.0 1800.0 1900.0 2000.0 2100.0 2200.0 3s .069 3.071 3.073 3.075 3.077 3.079 1s .338 1.337 1.337 1.336 1.336 1.335 20".07 20.06 20.05 20.04 20.03 20.03


Click to View FlipBook Version