The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Microsoft Word - BUKU_AJAR_PEMULIAAN_TERNAK_429_EDIT_Y.doc

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by soedito, 2019-11-02 22:30:25

Microsoft Word - BUKU_AJAR_PEMULIAAN_TERNAK_429_EDIT_Y.doc

Microsoft Word - BUKU_AJAR_PEMULIAAN_TERNAK_429_EDIT_Y.doc

pemuliaan individu. Partsial regresi dapat dicari dengan menggunakan
penyelesaian persamaan simultan dengan menggunakan prinsip least squares.

Metode lain yang sangat membantu dalam penaksiran nilai pemuliaan
adalah analisis sidik jalur (Path Coefficient Analysis) yang dikembangkan oleh
Sewall Wright (1937). Diagram sidik jalur memberikan gambaran yang
lebih .jelas mengenai hubungan biometrik individu dengan kerabat dan informasi
yang dimiliki mereka.

Memilih calon pejantan
Dalam populasi pembibitan informasi tersedia yang digunakan untuk

menyeleksi calon pejantan adalah :
1. informasi milik pejantan calon pejantan tsb
2. informasi milik induk calon pejantan
3. informasi milik kerabat

a) Penggunaan informasi dari pejantan
Pejantan adalah kerabat jantan paling dekat calon pejantan. Pejantan ini
dapat dievaluasi dengan menggunakan produksi dari progeninya. Jelas bahwa
progeni betina pejantan-pejantan tersebut adalah saudara tiri calon pejantan yang
ditaksir nilai pemuliaannya. Oleh karena itu metode seleksi yang digunakan
adalah seleksi famili. Oleh karena itu generasi interval dan umur pejantan pada
waktu seleksi uji tidak penting karena pejantan tidak akan digunakan. Anak
pejantan tersebut yang akan dipilih. Karena calon pejantan tidak memiliki
produksi jelas tidak akan ikut menentukan rerata famili ( periksa rumus yang
harus digunakan ).

Menggunakan diagram sidik jalur maka dengan mudah akan dapat
diperoleh rumus untuk menaksir nilai pemuliaan calon pejantan.

294

Pertanyaan yang perlu diajukan adalah, berapa saudara tiri yang diperlukan
untuk mendapatkan taksiran yang cukup cermat ?. Falconer (1960) melaporkan
bahwa respons akan meningkat dengan meningkatnya jumlah anggota famili,
namun di lapangan hanya jumlah tertentu yang akan memberikan maksimum
respons.

b) Penggunaan informasi induk
Produksi induk penting dalam evaluasi pejantan muda karena induk

mewariskan separuh kombinasi gen yang dimilikinya kepada anak jantannya.
Penggunaan informasi dari induk untuk menghitung nilai pemuliaan dapat
diperiksa pada diagram jalur path coefficient. Pada gambar terlihat bahwa
korelasi antar individu yang diseleksi dengan K catatan produksi induk sbb:

Penggunaan K catatan produksi induk untuk menaksir nilai pemuliaan
pejantan muda menurunkan pengaruh faktor lingkungan temporer yang
berpengaruh terhadap pengukuran produksi yang berbeda. Menggunakan K
catatan produksi menyebabkan hanya ada peluang 1 / K untuk pengaruh faktor
lingkungan temporer yang merupakan bagian dari rerata induk. Sebagai akibatnya
variansi fenotipik yang disebabkan oleh pengaruh faktor lingkungan turun, tetapi
variansi genetik aditiv tetap sama. Oleh karena itu penurunan variansi pengaruh
faktor lingkungan akan meningkatkan heritabilitas dan akhirnya penaksiran nilai
pemuliaan akan lebih efisien.

Pada kenyataannya apabila efek pengaruh faktor lingkungan temporer besar
dan repitabilitas rendah, maka dengan menggunakan beberapa catatan produksi
pada induk akan cukup membantu mengisi kelemahan tersebut. Kalau tidak
demikian maka ongkos produksi tambahan dan selama menunggu catatan
produksi tidak akan ekonomis.

295

Efek jumlah catatan produksi pada induk berbagai nilai repitabilitas dapat
diperiksa pada tabel di bawah ini.

Tabel 8.30 Pengaruh K dan repitabilitas terhadap koefisien regresi

bGI PD
K R = 0,5 R = 0,3

1 0,12 0,12
2 0,16 0,19
3 0,18 0,23
4 0,28 0,26
5 0,21 0,28

c) Penggunaan informasi kerabat atau moyang

Informasi milik maternal grand dam dan paternal grand dam ,juga dapat

digunakan untuk menaksir nilai pemuliaan individu yang diuji. Hubungannya

antara informasi tersebut dengan individu dapat diperiksa pada diagram jalur

koefisien di bawah ini.

Ppgd Go1 Po1

Gpgd Ppgd Ppgd Gs Go2 Po2 Po

Ppgd Go3 Po3
Ppd1 GI

Gs Ppd2 Ppd

Ppd3

Pmgd

296

Gmgd Pmgd Pmgd

Pmgd

Nilai pemuliaan pejantan muda dapat ditaksir dengan menggunakan
persamaan :

Terlihat dari rumus bahwa induk mewariskan 1/2 nilai permuliaannya
sedangkan maternal dan paternal grand dan hanya 1/4. Oleh karena itu informasi
induk dan pejantan lebih memberikan informasi taksiran nilai pemuliaan individu
yang diuji.

Seleksi menggunakan index

Nilai pemuliaan dapat ditaksir lebih cermat dengan menggunakan
kombinasi beberapa informasi yang berasal dari individu, saudara dan tetua.
Karena pejantan tidak memiliki catatan produksi maka informasi yang
dikombinasikan berasal dari saudara, tetua atau moyangnya.

Masalah yang dihadapi dalam menggunakan kombinasi informasi adalah
bagaimana menetapkan faktor pembobot untuk masing-masing informasi yang
digunakan dalam penaksiran. Masalah ini dapat dipecahkan dengan cara
menyusun index seleksi seperti yang telah dikaji oleh Smith (1936), Hazel
(1943), Handerson (1952, 1961), Legates and Lush (1954), dan Dickerson
(1958).

Teori Indeks Seleksi Xn maka indeks se1eksinya berbentuk
Misal tersedia informasi X1, X2

Pada kasus di atas µ adalah rerata informasi yang digunakan sedangkan b adalah
faktor pembobot yang harus ditaksir untuk masing-masing informasi yang

297

digunakan. Hazel (1943) menyatakan bahwa laju peningkatan mutu genetik
(genetic gain) hasil dari seleksi menggunakan indeks =

∆G = iRG IσG
i = intensitas seleksi
RGI = koefisien korelasi ganda
σG = simpang baku nilai pemuliaan.

Berdasar persamaan di atas ∆G dapat dimaksimumkan dengan cara memilih
nilai b sehingga RG I maksimum.

Persamaan yang digunakan untuk menaksir b adalah sebagai berikut:
Teori ini berlaku juga untuk seleksi lebih dan satu karakteristik. Henderson
(1961) menyatakan bahwa X1G dalam persamaan di atas sama dengan aiασ2G.
Nilai aiα adalah korelasi genetik antara individu dengan informasi ke i dan α
nilai pemuliaan individu yang ditaksir.
Persamaan di atas dapat ditulis dalam bentuk sbb:

Formula di atas diasumsikan bahwa seluruh variansi adalah variansi aditiv,
tidak ada korelasi antar nilai pemuliaan individu dan pengaruh faktor lingkungan,
lingkungan individu berkerabat tidak berkorelasi serta tak ada seleksi di dalam
populasi.

Apabila individu memiliki lebih satu record atau apabila rerata record
digunakan maka rumus yang digunakan

298

ni = jumlah record anggota group
Pi = jumlah individu dalam group
Fi = koeficient inbrreding anggota group
aii = intraklas korelasi

Apabila ni = 1 rumus menjadi

Prinsip di atas kemudian digunakan untuk menggabungkan informasi dari
pejantan, induk, paternal dan maternal grand dam untuk menaksir nilai
pemuliaan pejantan muda.

Berdasar hubungan biometrik korelasi koeficient teoritik antar record milik
saudara yang berbeda, dapat disusun dalam matrik. Kasus hanya benar apabila
terjadi dalam populasi kawin acak yang besar dan tidak ada korelasi invaremental
antar mereka.

PD PS Pmgd Ppgd

b’1 b’2 b’3 b’4

1 0 0,5h2√MK 0

PS b’2 0 1 0 0,25h2√NP

299

Pmgd b’3 0,5h2√MK 0 1 0
Ppgd 1
b’4 0 0,25h2√NP 0

Berdasar teori, koefisien korelasi antar catatan produksi berasal dari
berbagai kerabat, seperti dalam matrik di atas, nilai standardised partial regression
coefficient, b’1, b’2, b’3 dan b’4 dapat diperoleh dengan pemecahan persamaan
simultan di bawah ini.

rGiPD (a) = b’1 +cb’3
rGiPS (d) = b’3 +cb’1
rGiPmgd (e) = b’2 +fb’4
rGiPpgd (g) = b’4 +fb’2

Penyelesaian empat persamaan tersebut akan menghasilkan :

a-cd
b’1=

1-c2
e-fg
b’2=
1-f2

a-cd
b’3=d-c

1-c2
e-fg
b’4=g-f
1-f2

300

Menggunakan nilai b’ kemudian disusun indeks = I
I=b’1 (PD - P) + b’2(PS - P) + b’3(Pmgd - P) + b’4(Ppgd - P)

BAB IX
SISTEM PERKAWINAN
Mengontrol Pewarisan Karakteristik Kuantitatif

Tidak banyak yang dapat dilakukan oleh peternak mengontrol atau
mengatur atau mengubah pewarisan karakteristik temurun pada ternaknya. Apa
yang dapat mereka lakukan adalah memutuskan individu yang boleh beranak
atau tidak boleh beranak. Dengan sendirinya untuk dapat beranak ternak tersebut
harus dikawinkan lebih dahulu. Sekali lagi peternak dapat menentukan individu

301

yang akan dikawinkan atau disilangkan.
Untuk melaksanakan program perkawinan tersebut peternak dapat

memakai beberapa sistem perkawinan yang dibedakan atas dasar ras hubungan
keturunan yang dimiliki oleh individu yang akan dikawinkan. Karena pejantan
dan betina yang akan dipasangkan dalam perkawinan menurut sistem perkawinan
tersebut adalah dipilih lebih dahulu, maka. jelas bahwa perkawinan tersebut
bukan lagi perkawinan acak.

Apabila pasangan individu yang dikawinkan mempunyai hubungan
keturunan yang lebih dekat dari hubungan keturunan rata-rata yang ada dalam
populasi (tempat individu tersebut menjadi anggota ) maka sistem perkawinan
demikian disebut inbreeding atau silang dalam.

Apabila hubungan keturuan antara pasangan individu yang akan
dikawinkan lebih jauh dari hubungan rata-rata hubungan keturunan yang ada
dalam popu1asi (tempat kedua individu tersebut menjadi anggota) maka sistem
perkawinan tersebut disebut out breeding atau silang luar.

Dapat pula perkawinan tidak didasarkan atas hubungan keturunan tetapi
atas dasar kesamaan atau kemiripan fenotipe. Apabila pasangan individu yang
dikawinkan mempunyai lebih banyak kemiripan bila dibandingkan dengan
kemiripan rata-rata yang ada di dalam populasi (tempat dua individu tersebut
menjadi anggota) maka perkawinan tersebut disebut positive assortive matirig.
Apabila kemiripan fenotipe antara pasangan lebih jauh dari kemiripan rata-rata,
perkawinan tersebut disebut negative assortive matirig ( misal jantan besar
dikawinkan dengan betina kecil)

302

Silang dalam (Inbreeding)

Inbreeding adalah perkawinan antara dua individu yang mempunyai
hubungan keturunan, karena mempunyai moyang bersama (common ancestor).
Oleh karena mempunyai moyang bersama maka pasangan individu tersebut
mempunyai gen serupa yang berasal dari moyang bersama tersebut.

Keturunan (progeni) yang berasal dari inbreeding akan dapat mempunyai.
dua gen pada satu lokus, yang identik (AA) yang masing-masing berasal dari
tetuanya.

Salah satu cara untuk mengetahui derajat silang dalam tersebut dapat
diukur dengan mnghitung koefisien silang dalam. Wright (19..) memberi batasan
koefisien silang (F), sebagai korelasi antara gamet, yakni antara nilai genetiknya.

Pada dasarnya dua gen misal x1 dan x2, dapat merupakan gen yang
equivalent melalui dua cara. 1) Gen tersebut mempunyai fungsi yang sama,
karena mempunyai susunan nucleotida yang sama (misal pada sapi, gen yang
berada pada lokus golongan darah ). Dalam keadaan demikian kedua gen tersebut
dikatakan sama dalam status (alike in state). 2) Dua gen dapat pula identik
karena kedua gen tersebut merupakan gen yang sama yang berasal dari moyang
bersama. Dengan sendirinya kedua gen tersebut mempunyai fungsi dan
nucleotida yang sama. Dalam keadaan demikian kedua gen tersebut disebut
identik karena karena keturunan. Beberapa atau bahkan kebanyakan gen yang
identik karena status sebenarnya juga identik karena keturunan karena gen
tersebut berasal dari nenek moyang yang jauh, mungkin beberapa ratus generasi
kebelakang.

Di dalam inbreeding generasi kebelakang ke moyang bersama, disepakati
hanya sampai enam generasi. Kemudin gen yang identik karena status, dalam
populasi dasar atau awal dinyatakan bukan identik karena keturunan ( F = 0 ).
Malicot (19..) membatasi koefisien inbreeding sebagai peluang untuk dua gen
dalam satu lokus menjadi identik karena keturunan. Kalau ditinjau dari jumlah

303

total lokus, koefisien inbreeding berarti proporsi lokus sebanyak F diharapkan
akan membawa gen yang identik karena keturunan atau dalam kata lain adalah. :
F proporsi lokus yang heterozigot pada generasi awal telah menjadi homozigot.
Misal l suatu populasi (generasi awal) mempunyai 50% lokus heterozigot maka,
setelah mengalami inbreeding dan F = 40% berarti bahwa 40% lokus heterozigot
dalam populasi awal telah menjadi homozigot..

Koefisien silang dalam (koefisien inbreeding)

Koefisien inbreeding dapat dicari atau dihitung dengan cara demikian

Misalkan individu V menerima gen a1
dari tetuanya, A. Peluang individu
Y menerima gen yang sama, a1 , dari
individu A adalah ½.

Peluang individu W menerima gen a1 d.ari V adalah ½. Peluang individu
X menerima gen a1 dari individu W juga sama dengan ½.. Dengan demikian
maka peluang individu X dan Y menerima gen a1 dari A adalah = ½ x ½ x½ =
(½) 3.

Peluang individu X menerima gen a1 dari individu Y juga sama dengan ½.

Oleh karena itu jumlah peluang individu X menerima gen a1 dari kedua tetuanya

4
= (½) = 1/16.

Selanjutnya peluang individu X menerima gen a1 dari salah satu tetuanya

dan gen a2 dari tetua yang lain, apabila kedua gen tersebut adalah gen yang

identik karena keturunan dan telah dimilki oleh individu A, adalah sama dengan

FA yakni koefisien inbreeding A (tetua). Oleh karena itu jumlah (semua) peluang

supaya individu X mempunyai gen yang identik karena keturuna menjadi 1/16

(1+FA). Contoh tersebut dapat dipakai dalam bentuk umum sebagai berikut.

Apabila jumlah generasi salah satu tetua ke moyang bersama adalah n1, dan

jumlah generasi dari tetua yang lain dari satu individu ke moyang bersama adalah

304

n2, sedang koefisien inbreeding moyang bersama tersebut FA maka koefisien
inbreeding individu tersebut adalah FX
Penjumlahan tersebut tidak hanya berlaku untuk tiap moyang bersama tetapi
berlaku pula untuk setiap hubungan yang ada antara kedua tetua dan moyang
bersama. Supaya lebih jelas periksalah perhitungan koefisien inbreeding seperti
di bawah ini.

305

A – E – C – B = (½)4 + (1+ = 9/128
1/8) = 9/128A – E – D – B = (½)4 + (1+1/8) = 1/32
A – E – F –D – B = (½)5 = 11/64

FX

Cara lain menghitung koefisien inbreeding, terutama untuk populasi
kecil, ialah yang berdasarkan pada penghitungan koefisien kekerabatan
(coefficient of coancestry) yang dibuat oleh Malcot. Koefisien kekerabatan
berbeda dengan koefisien hubungan (coefficient of realtionship) Wright (19..).
Koefisien hubungan adalah korelasi antara nilai genetik individu (efek genetik
aditif). Dalam populasi kawin acak (panmiksis) koefisien hubungan
mempunyai nilai dua kali koefisien kekerabatan Malcot. Koefisien
kekerabatan dibatasi sebagai peluang satu gen pada satu individu dapat
menjadi gen identik karena keturunan dengan dua gen pada satu lokus dari
individu yang lain. Lebih jelasnya, misal gen pada satu lokus tertentu dalam
individu X diberi nama a dan b, sedang dua gen pada lokus yang sama dalam
individu Y diberi nam c dan d. Apabila p(a=b) mencerminkan peluang bahwa
gen a identik karena keturunan dengan gen b, maka koefisien kekerabatan
antara X dan Y adalah sebagai berikut.

rxy = ¼ [ P(a=c) + P(a=d) + P(b=c) + P(b=d)]

Keadaan yang istimewa adalah mencari koefisien kekerabatan seekor
individu dengan individu itu sendiri. Kalau ditinjau dari batasan di atas maka
koefisien tersebut adalah peluang satu gen dapat menjadi identik karena
keturunan dengan dua alil (gen) yang ada. Peluang untuk identik diri sendiri
adalah 1. Sedang peluang satu gen untuk identik karena keturuna dengan gen
yang lain sama dengan besarnya koefidien inbreeding individu tersebut. Nilai
rata-rata dari kedua peluang tersebut menjadi koefisien kekerabatan.

Rxx = ½(1+Fx)

Dengan menggunakan persamaan di atas maka hubungan dari koefisien
kekerabatan antara individu di dalam contoh silsilah seperti pada gambar 9.2
dapat dihitung, dan terhitung seperti pada Tabel 9.1

Tabel 9.1 Koefisien kekerabatan

A B CD EF

A 1/2 11/64 9/64 21/128 9/32 1/8

B 75/128 45/128 53/128 11/32 29/128
C 1/2 13/64 9/32 1/4
D 5/8 13/32 3/8
E 9/16 1/4
1/2
F

Supaya lebih jelas, ditinjau kembali silsilah pada Gambar 9.2

Telah diketahui bahwa F mempunyai koefisien inbreeding = 0, sedang E
mempunyai koefisien inbreeding = 1/8. Individu yang terlihat dalam silsilah
dan tidak mempunyai hubungan dengan pasangannya disebut O. Koefisien
kekerabatan dihitung sebagai berikut.
rFF = ½ ; rFxO, F = ½ (1+ FE) = ½ (1+1/8) =9/16, individu adalah E adalah
anak F, oleh karena itu
rFF = rFxO, F = ½ (rOF + rFF) = ¼ , rOF = 0, rFxO, F = rFO, F = koefisien

338

kekerabatan antara individu (progeni) hasil perkawinan [F x O] dan sesekor
tetuanya yakni F. Koefisien kekerabatan antara tetua dan anak sama dengan
nilai rata-rata koefisien kekerabatan tetua sendiri (dengan dirinya sendiri) rFF +
koefisien kekerabatan antara tetua, rFO. Individu D adalah progeni E dan F
oleh karena itu
rDE = rExF,E = ½ (rDE + rEF ) = ½ (9/16 + ¼) = 13/32 . Selanjutnya
rCE = rExO,E = ¼ (rEE + rEF) = ½ (9/16 + 0) = 9/32
rAC = rExO,ExO = ¼ (rEE + 2rEO + rOO) = ¼ x 9/16 = 9/64
rCD = rExF,ExO = ¼ (rEE + rEO + rEF + rFO) = ¼ x (9/16 + 4/16) = 13/64

Koefisien inbreeding dapat ditaksir dari koefisien kekerabatan dirinya
sendiri, misal
rDD = ½ ( 1 + FD ) , 2 rDD = 1 + FD , FD = 2rDD-1, dengan menggunakan
Tabel 13.1.1 FD = 2(5/8) – 1 = ¼
Cara yang lebih mudah adalah menggunakan koefisien kekerabatan antara
individu , misal FD = rEF = ¼
FX = rAB + rExO,CxD = ¼ (rEC + rED + rOC + rOD)
= ¼ (9/32 + 13/32 + 0 + 0) = ¼ x 44/64 = 11/64
Jelaslah bahwa hasil-hasil di atas persis seperti kalau dicari dengan memakai
rumus Wright (19..)

Dengan contoh-contoh di atas maka saudara dapat menghitung
koefisien inbreeding individu hasil sistem perkawinan yang regular. Sistem
perkawinan regular adalah suatu sistem yang mengawinkan dua individu, pada
generasi berurutan, yang mempunyai taraf hubungan yang sama. Hasil
perhitungan koefisien inbreeding tersebut akan diperoleh seperti pada Tabel
9.1

Self-feretilization

Selfing adalah inbreeding yang terkuat Selfing tak mungkin

339

dilaksanakan pada hewan tingkat tinggi tetapi biasa pada hewan tingkat rendah
dan tanaman. Pada lebah perkawinan antara lebah jantan (drone) dan ratu
induk (mother queen) mempunyai nilai sama atau equivalen dengan selfing.
Misalkan generasi ke 0 ditandai dengan A, generasi ke I dengan 1, generasi ke
2 dengan Z, maka formula umum yang berlaku adalah sebagai berikut
Generasi 1, FY = rXX = ½ (1+FX) apabila FX = 0
Generasi 2, FZ = rYY = ½ (1+FY) apabila = ½(1 + ½ ) = ¾
Apabila jumlah generasi disebut t, maka persamaan umum adalah sebagai
berikut :

Ft = ½ ( 1+ F t-1)
Selanjutnya dapat dicari persamaan untuk indeks panmiks, P, yakni peluang
bagi gen pada satu lokus supaya tidak identik karena keturunan. Persamaan
tersebut sebagai berikut.
PA = 1- FA
PY = 1- FY = 1 – ½ (1+FX) = ½ - ½ FX = ½ (1-FX) = ½ PX
PZ = 1- FZ = 1 – ½ (1+FY) = ½ PY = ¼ PX
Bentuk umum

Pt =( ½)t Po
Dengan kata lain, heterozigot akan berkurang pada tiap generasi selfing
sebesar setengah jumlah yang ada pada generasi yang terdahulu.

340

Full-sib Matirig

Full-sib matirig merupakan sistem inbreeding terkuat yang dapat
dilaksanakan pada hewan tingkat tinggi, termasuk ternak. Periksalah Gambar
13.3.1 , apabila huruf S dan V sebagai pengganti individu S, sedang T dan W
sebagai pengganti individu B maka dengan menggunakan rumus terdahulu.
FZ = rXY = rAxB,AxB

= ¼ (rAA + rBB + rAB)
apabila FA = FB
rAA = rBB = ½ (1 + F t-2)
selanjutnya
rAB = F t-1

Karena X dan Y adalah full-sib maka koefisien inbreeding tetua sama dengan
koefisien kekerabatan tetuanya. Selanjutnya persamaan umum menjadi
sebagai berikut.

Ft = ¼ (1 +F t-2 + 2 F t-1) atau dalam bentuk indeks panmiktik
Pt = ½ P t-1 + ¼ P t-2

Parent – Offspring Matirig

Perkawinan antara anak dan tetua dapat dalam dua bentuk. Anak dapat
dikawinkan dengan tetua yang lebih muda. Bentuk yang kedua anak
dikawinkan dengan salah satu tetua nya berulang kali.. Periksa Gambar 13.4.1

341

Half-sib Matirig

Apabila hubungan tersebut berupa half-sib maka

Ft = 1/8 (1 + F t-2 + 6 F t-1)

Pengertian dan Peranan Sistem Perkawinan dalam IPT (Ilmu
Pemuliaan Ternak)

Sistem Perkawinan ialah salah satu program dalam program peningkatan
mutu genetik disamping program seleksi. Sistem perkawinan digunakan untuk
penentuan mengenai bagaimana ternak yang tersedia dan bibit bibit unggul
yang telah terpilih akan dikawinkan (menentukan sistem perkawinan) sesuai
dengan tujuan peternakannya.
Di dalam program peningkatan mutu genetik sistem perkawinan akan sangat
berguna sekali apabila kita ingin meningkatkan suatu sifat yang mempunyai
heritabilitas rendah, karena dengan program seleksi kurang menguntungkan.

Macam Sistem Perkawinan

Sistem perkawinan berdasarkan ikut tidaknya campur tangan manusia,
maka sistem perkawinan dapat dibedakan menjadi dua yaitu Perkawinan Acak
dan Non Acak. Perkawinan acak, yang disebut juga Random Matirig atau
Panmixia, ialah suatu perkawinan yang terjadi apabila setiap ternak jantan
maupun betina mempunyai peluang yang sama untuk saling bertemu. Sedang
Perkawinan Non Acak atau disebut juga perkawinan Sistematis, ialah
perkawinan yang terjadi apabila ternak jantan maupun ternak betina tidak
mempunyai peluang yang sama untuk saling bertemu karena diatur oleh
manusia sesuai dengan tujuan peternakannya. Sistem Perkawinan berdasarkan
fenotipiknya dibedakan menjadi dua yaitu Assortive Matirig Positif dan
Assortive Matirig Negatif.

342

Assortive Matirig Positif ialah perkawinan antara ternak-ternak yang
mempunyai derajat kemiripan fenotipik yang sama, misalnya ayam berbulu
putih dikawinkan dengan ayam yang berbulu putih, sapi bertanduk dengan
sapi yang bertanduk dst. Sedangkan Assortive Matirig Negatif ialah
perkawinan antara ternak-ternak yang derajat fenotipiknya berbeda, misalnya
perkawinan antara ayam bulu putih dengan ayam bulu hitam, sapi bertanduk
kawin dengan sapi tak bertanduk dll.
Sedang berdasarkan genetiknya (ada tidaknya hubungan keturunan) maka
sistem perkawinan dibedakan menjadi Inbreeding dan Out Breeding.
Inbreeding ialah perkawinan antara ternak-ternak yang mempunyai hubungan
keturunan (bersaudara), misalkan perkawinan antara anak dengan induknya,
perkawinan antara saudara tiri dll.

Out Breeding ialah perkawinan antara ternak-ternak yang tidak
mempunyai hubungan keturunan (tidak bersaudara), misalkan perkawinan
antara Sapi FH dengan Sapi Brahman (beda bangsa),yang kemudian disebut
Crossbreeding, perkawinan antara sapi lokal dengan sapi import yang
kemudian disebut Grading Up, perkawinan antara sapi-sapi dalam bangsa
yang sama tetapi tidak bersaudara yang kemudian disebut Out Crossing, dan
lain sebagainya.

Pengertian Efek Genetik dan Fenotipik serta Manfaat
Inbreeding

Inbreeding ialah perkawinan antara ternak-ternak yang mempunyai
hubungan keturunan (bersaudara/berkerabat). Sedangkan dua ekor ternak (dua
individu) dikatakan bersaudara apabila dalam 1 – 6 generasi pertamanya dua
individu tersebut minimal mempunyai satu tetua bersama (tetua yang sama).
Dua individu bersaudara maka sebagai konsekuensinya kedua individu
tersebut mempunyai peluang memiliki gen identik pada suatu lokus.

343

Oleh karena itu dua individu bersaudara mempunyai kemungkinan yang lebih
besar mempunyai kombinasi gen yang serupa, sehingga apabila kedua
individu yang bersaudara tadi dikawinkan maka akibatnya keturunannya akan
lebih homozigot, karena meningkatnya loci dalam populasi yang akan menjadi
homozigot, baik homozigot dominan maupun resesif, maka dari itu akan
terjadi fiksasi gen yang disukai sama cepatnya dengan gen yang tidak disukai.
Disamping itu pula akan terbentuk famili-famili yang jelas bisa dibedakan.
Efek fenotipik akibat Inbreeding, dilaporkan diantaranya oleh Charles Darwin
(1868) bahwa perkawinan keluarga dekat yang berlangsung dalam waktu yang
lama dapat menurunkan ukuran kekuatan (vigor) badan serta fertilitas, bahkan
kadang diikuti bentuk cacat, hal ini diakibatkan oleh naiknya homozigot akibat
Inbreeding.
Berdasarkan efek genotipik Inbreeding, maka Inbreeding dapat digunakan,
apabila :

a. Peternak menghendaki mempertahankan salah satu sifat dari
tetuanya yang sudah diketahui keunggulannya.

b. Jika peternak ingin menghilangkan gen-gen resesif dalam populasi.
c. Jika peternak menginginkan suatu famili yang mempunyai

uniformitas tersendiri dari famili-famili lainnya.
d. Inbreeding yang diikuti dengan seleksi yang cermat dapat untuk

menghasilkan suatu bibit.
e. Inbreeding paling banyak digunakan untuk membentuk galur, galur

tersebut selanjutnya digunakan untuk perkawinan silang luar.

Hitungan FX

Apabila dua individu yang berkerabat dikawinkan maka terjadilah
Inbreeding, oleh karena dua individu yang dikawinkan bersaudara berarti
mempunyai peluang memiliki gen identik pada satu lokus karena keturunan

344

(identical by descent), oleh karena itu kemungkinannya akan lebih besar

mempunyai kombinasi gen yang serupa. Maka dari itu akibatnya

keturunannya (hasil inbreeding) akan lebih homozigot.

Peluang besarnya kemungkinan dua gen pada satu lokus, pada satu individu

identik karena keturunan diukur dengan koefisien silang dalam (FX).
Cara menghitung koefisien silang dalam ialah dengan menggunakan Rumus :

FX = ∑[(1 )n1+n 2 +1(1 + Fa)
2

FX = koefisien inbreeding individu X
n1 = jumlah garis generasi dari pejantan individu X ke tetua bersama
n2 = jumlah garis generasi dari induk (Ibu) individu X ke tetua bersama
Fa = koefisien inbreeding tetua bersama individu X

Langkah-langkah menghitung koefisien inbreeding menggunakan rumus
tersebut adalah :

a. Carilah pejantan (Bapak) dan induknya (Ibu) dari individu inbred
(X) yang akan dihitung koefisien inbreedingnya.

b. Carilah tetua bersama, yaitu dengan jalan menelusuri garis generasi
(anak panah) dari pejantan (Bapak) dan induk (Ibu) individu
inbreed hingga bertemu pada satu titik. Maka individu yang
terdapat pada titik bertemunya garis generasi dari pejantan dan
induk tersebut itulah yang merupakan Tetua Bersama individu
inbred.

c. Hitunglah jumlah garis generasi dari Pejantan individu inbred ke
tetua bersama dan juga dari Induk individu inbred ke tetua
bersama.

d. Hitunglah untuk setiap tetua bersama (commond ancestors)
kemungkinan seluruh jalan yang dapat ditempuh dari Pejantan
inbred lewat Tetua Bersama menuju ke Induknya inbred.

345

Perjanjian dan aturan

Perjanjian : Satu perjalanan penelusuran ialah dari Pejantan lewat

Tetua Bersama ke Induk inbred

Aturan

• Dalam menelusuri garis generasi tidak boleh searah dengan anak panah

• Dalam satu perjalanan penelusuran tidak boleh melewati satu individu dua

kali.



Menghitung RXY dan Kesukaran Pelaksanaan Inbreeding

Dua individu mempunyai hubungan keturunan, apabila dua individu

tersebut mempunyai minimal satu tetua bersama dalam 1-6 generasi

pertamanya. Sebagai konsekuensinya maka ke 2 individu mempunyai peluang

memiliki gen identik pada satu lokus karena keturunan. Peluang yang bisa

terjadi bahwa ke 2 individu yang berkerabat mempunyai kesamaan gen yang

dibawa ditunjukkan oleh koefisien kekerabatan (RXY). Rumus yang
digunakan adalah :

∑ [( 1 )n1+n2 (1 + Fa )]
2
RXY =
(1 + Fx)(1+Fa)

RXY = koefisien kekerabatan individu X dan Y
n1 dan n2 = jumlah garis generasi (anak panah) dari individu X

dan Y ke tetua bersama

FX = koefisien inbreeding individu X
FY = koefisien inbreeding individu Y
Fa = koefisien inbreeding tetua bersama

346

Cara menghitung koefisien kekerabatan (RXY) ialah sebagai berikut::
a. Carilah tetua bersama individu X dan Y, yaitu dengan menelusuri anak

panah dari X ke tetua bersama (n1) demikian pula dari Y ke tetua bersama
(n2). Di titik pertemuan n1 dan n2 inilah yang merupakan tetua bersama.
b. Hitunglah jumlah garis generasi dari individu X ke tetua bersama (n1)
demikian pula dari individu Y ke tetua bersama (n2).
c. Hitunglah untuk setiap tetua bersama kemungkinan seluruh jalan yang
dapat ditempuh dari individu X lewat tetua bersama ke individu Y.
Kesukaran-kesukaran pelaksanaan inbreeding, yaitu :
1. Hubungan yang dapat dicapai antara 2 individu ternak tidak akan

sedekat dari self fertilization.
2. Fertilitas pada hewan tidak setiggi pada tumbuhan, menyebabkan pada

suatu generasi jumlah individu tidak tercapai.
3. Generasi interval pada ternak akan lebih panjang dari pada tumbuhan,

kecuali pada hal-hal tertentu, misalnya cengkeh dengan marmut.
4. Ternak biasanya harganya lebih mahal dari pada tanaman.

Pengertian Serta Efek Genetik dan Fenotipik Crossbreeding

Out breeding ialah perkawinan antara dua individu yang tidak
mempunyai hubungan keturunan (tidak berkerabat). Perkawinan out breeding
dapat dalam bangsa maupun antar bangsa. Perkawinan antara individu yang
tidak berkerabat tetapi dalam bangsa yang sama disebut out crossing, sedang
perkawinan antara dua individu yang berbeda bangsa disebut crossbreeding.
Tujuan dari crossbreeding ialah menyatukan gen-gen yang membawa sifat
unggul dari kedua bangsa atau lebih yang dikawinkan, jadi tujuannya
menyatukan kombinasi gen dari dua atau beberapa bangsa.
Efek genotipik crossbreeding ialah meningkatkan jumlah pasangan gen yang
heterozigot yang dimiliki oleh individu keturunannya (crossbred). Sedang
pada umumnya individu heterozygote mempunyai vigor yang lebih baik dari

347

pada homozygote. Sehingga dapat diharapkan crossbreed mempunyai
kemampuan yang lebih tinggi dari salah satu atau kedua orang tuanya,
peristiwa inilah yang kemudian disebut Heterosis.
Oleh karena itu efek fenotipik dari peristiwa heterosis dapat dilihat bahwa
keturunan dari perkawinan crossbreeding (crossbred) mempunyai produksi
yang melebihi produksi populasi rata-rata salah satu atau kedua orang tuanya.

Penggunaan /Manfaat dan Kesukaran
Pelaksanaan Crossbreeding

a. Perbaikan satu sifat yang dimiliki suatu bangsa secara cepat dapat dengan
memasukkan kombinasi gen yang dimiliki oleh bangsa lain yang
keunggulannya sudah diteliti.

b. Crossbreeding dapat dipakai sebagai pembentukan bangsa baru. Jika
mendapatkan crossbred yang diingini maka crossbreed dapat
dikembangkan menjadi bangsa yang baru.

c. Menghasilkan individu crossbred yang memenuhi permintaan pasar.
Walaupun demikian ada beberapa kesulitan dalam prakteknya penggunaan
Crossbreeding antara lain :
a. Agar mendapatkan hasil yang maksimal harus mempunyai bangsa yang

amat berbeda dalam keunggulan salah satu atau beberap sifat yang
dikehendaki
b. Gen yang menguntungkan dominan terhadap gen yang merugikan tidak
selalu mutlak, sebab harus mengingat adanya faktor-faktor interaksi dan
lain sebagainya antara gen yang bukan alelnya.
c. Terbentuknya crossbred hasil persilangan baru dalam keadaan tertentu
dapat menghancurkan bangsa yang sudah cukup lama dikembangkan.

348

d. Timbulnya kesukaran dalam tatalaksananya sebab dalam pelaksanaan
crossbreeding harus mempersiapkan individu-individu tersebut sesuai
dengan keunggulan masing-masing.

1. Inbreeding (Silang dalam) pada Sapi Potong

Silang dalam adalah perkawinan antara saudara atau antara individu
yang mempunyai hubungan keturunan. Silang dalam mempunyai kejelekan
yaitu dapat menimbulkan kemerosotan kemampuan produksi, yang disebabkan
karena bersatunya kembali kombinasi gen resesif.

Efek Inbreeding terhadap kemampuan produksi sapi
Pedaging

Peneliti Amerika melaporkan bahwa kenaikan 10% koefisien inbreeding
dapat menurunkan 5 kg berat sapi. Inbreeding juga mempunyai pengaruh
jelek terhadap karakteristik produksi pada periode setelah disapih.

Setelah mempelajari efek inbreeding sampai 30% (koefisien inbreeding)
Dinkel (1968) berpendapat bahwa pengaruh jelek yang utama adalah terhadap
karakterisitk produktif pada periode sapihan. Oleh karena itu dianjurkan
dalam pemakaian inbreeding derajat inbreeding harus ditekan serendah
mungkin (misal dengan cara menggunakan 4 ekor pejantan yang tidak
mempunyai hubungan keturunan).

2. Grading up (kawin tatar)

Kawin tatar adalah perkawinan antara pejantan unggul (biasanya
import) dengan sapi betina lokal. Pemerinatah Indonesia pernah menjalankan
program grading up selama ± 20 tahun yaitu program Onggolisasi. Pada
Pelita II pemerintah berketetapan melaksanakan kawin tatar dengan
menggunakan pejantan American Brahman.

349

Kemanfaatan kawin tatar telah banyak terbukti, dengan catatan bahwa
kemanfaatan perkawinan tersebut diperoleh apabila kawin tatar diikuti dengan
seleksi yang cermat. Kemanfaatan yang nyata adalah bahwa kawin tatar dapat
digunakan untuk mengganti sapi lokal dengan bangsa sapi import. Karena
perkawinan tatar termasuk perkawinan silang maka dapat diharapkan pula
timbul heterosis. Heterosis adalah fenomena munculnya kemampuan produksi
progeni yang melebihi kemampuan produksi rata-rata tetuanya.

Persyaratan dibutuhkan untuk mensukseskan program tersebut adalah
kecukupan jumlah pejantan unggul yang dibutuhkan. Oleh karena itu
penggunaan AI (artificial insemination) dan AB (artificial breeding) sangat
diperlukan. Persyaratan untuk melaksanakan program peningkatan mutu
genetik juga perlu disediakan yakni program pencatatan kemampuan produksi,
uji kemampuan dan seleksi.

3. Crossbreeding (Perkawinan silang)

Perkawinan silang adalah perkawinan antara dua bangsa yang telah
diketahui dengan saksama kemampuan produksi masing-masing bangsa.
Perkawinan silang dapat dipakai untuk tujuan sebagai berikut.

(1) Menghasilkan ternak F1 yang memenuhi permintaan pasar.
(2) Menaikkan kemampuan produksi (memanfaatkan heterosis).
(3) Memasukkan karakteristik baru yang dimiliki suatu bangsa .
(4) Menghasilkan keturunan yang akan dipakai untuk membentuk

bangsa baru.
Rae (1970) menyatakan bahwa apabila beberapa bangsa disilangkan
maka efek non-aditif dapat menimbulkan terjadinya heterosis. Heterosis
cenderung timbul untuk karakteristik fertilitas, daya tahan hidup, dan
pertumbuhan. Oleh karena itu kawin silang mempunyai peranan yang penting
dalam produksi ternak potong.

350

Perkawinan silang pada sapi potong telah banyak dikerjakan. Faktor
yang perlu diperhatikan adalah kemampuan menilai kemampuan produksi
bangsa sapi yang digunakan dalam perkawinan silang. Berdasar bangsa sapi,
untuk karakteristik pertambahan berat badan, Preston (1973) berdasar hasil
penelitian telah menyusun Tabel urutan bangsa sebagai berikut.

Tabel 9.2. Urutan bangsa sapi ditirijau dari rataan pertambahan berat badan
harian

No Bangsa Jml acuan
1 Charolais
2 Simmental 11111 2222 11211122 1111 21
3 German Gelbieh
4 Romagnola 11111 111 111 1 12
5 Marchigiana
6 Chianina 22 41 4
7 Limousin
8 Blond d’Aquitame 112 3
9 Mame Anjou
10 Brown Swiss 21 2
11 Frisian
12 South Devon 21
13 Santa Gertrudis
14 Danish Red 23233 22 43 3 10
15 Devon
16 Brahman 31
17 Hereford
18 Angus 31
19 Shorthorn
222 42 5 2 38

332 7 2 33 1 222 11

3 223 4

31

22 3 3

434 3

51

4 2555 34 7

2 6 5666 45 8

7677 4

Preston (1973)

Data mengenai kemampuan produksi bangsa dan hasil perkawinan silangnya
dapat dipelajari di reprint yang dimiliki penulis atau pustaka yang di
perpustakaan. Sebagai contoh periksalah contoh hasil penelitian karakteristik
bangsa dan hasil persilangan, pada beberapa Tabel yang dikutip oleh penulis.

351

Tabel 9.3. Performance Testirig (on all concentrate diet ) Different Breeds
from 90 days (weaning) to 400 kg live weight.

Breeds No Weight Average to Daily Conversion
at 90 weaning gain on (kg feed/kg
Days (kg)
test gain)

Charolais 44 119 0,90 1,30 5,41

Holstein 20 90 -- 1,20 6,91

Santa Gertrudis 17 109 0,84 1,08 6,48

Brahman 37 101 0,80 0,88 7,62

Char X Bra 31 107 0,84 1,15 6,10

B.Sw X Bra 31 104 0,83 1,13 6,09

Hol X Bra 13 104 0,84 1,12 6,00

Preston (1973)

Tabel 9.4 Cracss Composition of Bulls of Different Breeds slaughtered at
Fixed live weight (400 kg)

Trait Charloais Holstein Brahman
72,5 71,5
Total edible * 75,2 29,5 27,5
8,7 12,1
First quality * 31,2 18,8 16,6
40,7 38,3
Excess fat * 7,9 3,86 4,29
54,7 56,8
Bone * 16,9 39,7 40,4
16,1 15,5
Conformation index 41,5
Preston (1973)
Meat : Bone (ratio) 4,45

Dressing % 58,2

Edible meat, % of lw 43,8

First quality, % of lw 18,2

* as percentage of cold carcass

352

Tabel 9.5 Projected Beef Surplus and Demands (‘000 tons)

Region 1970 1980 Increase
Surplus
Argentme 650 696
Australia 320 1346 133
New Zealand 170 453 104
Ireland 290 274 79
World total 2575 369 915
3490
USA & Canada 710 Demand 488
EEC & UK 1055 1198 435
USSR & China 115 1490 1103
JAPAN 1218 141
World total 25 116 2876
2252 5128 Everrit (1972)

Tabel 9.6. Breed effect on Protein Production Constant Age

Character Breed

Age (days) Frisiean Angus
Slaughter Live Weight (kg) 520* 520*
Mean Daily LW gain (kg/day) 411 352
Carcass weight (kg) 0,79 0,67
Meat weight (kg) 213 184
Meat gain/day of age (g/day) 139 126
Meat protein (kg) 267 242
Meat protein /day of age 31
60 28
54
Everrit (1972)

353

Tabel 9.7. Relative Growth and Maturity Rates of Some common Breed and
Crosses in New Zealand

Increasing Growth rate Angus Increasing early
potential Jersey maturity
Hereford
Hereford x Jersey Everrit (1971)
Charolais x Jersey
Friesian x Jersey
Hereford x Friesian
Charolais x Friesian
Friesian

Tabel 9.8. Mean Live Weight and Carcass Details of Steers of Six Breeds
Slaugthered at 30 months in trial

Angus Here- Beef Gallo- Milking Firies-
ford Short way Short an
No of steers 15 Horn Horn
Live weight (lb) at 15 15 15
start 634 14 14
At end 548 487
Gain over 530 days 1240 661 586 495
Daily gain over 530 606 1177 1101
days 629 1155 614 1268 1213
Carcass wt (lb) 114 494 682 718
119 116
Dressing out (%) 669 93 129 135
Kidney and Channel 53,9 630 596
fat 54,4 630 54,1 662 617
Excess fat (%) 17,9 54,5 52,2 50,9
Fat depth at 12th rib 12,9 15,0
Rib eye area at 12th 18,3 19,1 24,1 18,6
rib (inch) 12,5 18,8 16,8
10,59 11,6 22,3 10,5 19,8 14,1
10,06 13,6 10,76 8,8 4,4
9,19 9,00 9,64

Barton (1972)

354

Tabel 9.9. Slaugther Data and Carcass Composition

Breed of Sire Friesian Angus (A) FA
Breed of Dam (F) F AA
F
No of steers 33 19 16 43
No of heifers 15 25 26 20
Final ive weight (lb) 904 898 861 775
Frozen carcass wt (lb) 468 476 452 404
Dressing out (%) 51,9 52,9 52,3 52,0
Total meat (lb) 306 317 302 277
Total bone (lb) 117 111 107 95
Total fat (lb) 48 52 49 39
% Meat 65 66 66 67,3
% Bone 24,5 23,2 23,4 23,1
% Fat 10,3 10,8 10,6 9,5
Fat depth over eye
muscle (mm) 2,9 3,4 3,4 2,8

Height et al., (1971)

Tabel 9 .10. Calf Performance

Sire breed Friesian Angus Friesian Angus
Cow breed Friesian Friesian
Calf weight Birth (lb) Angus Angus
Weaning (age corrected) 75 72
339 389 66 58

343 319

Everrit (1971)

Tabel 9.11. Performance of F1 British X Brahman Calves as compared
To the average of the pure breeds used in the cross

Percent calf crop weaned As percentage of the average of the
Weaning weight of calves in lb pure breeds
Lb of calf weaned per cow bred 101,2
115,5
116,9
Lasley (1972)

355

Tabel 9.12. Mean Birth Weight’s (kg)

Breeds or Bulls No Heifers
Cross No Birth wt ± Sd 231 Birth wt ± Sd
451 31,2 ± 4,52 341
FxJ 339 28,8 ± 4,14 326 28,5 ± 4,85
HxJ 359 33,9 ± 5,20 264 27,0 ± 4,39
CxJ 303 24,3 ± 4,08 83 31,3 ± 5,55
JxJ 96 27,7 ± 4,53 149 22,4 ± 4,01
AxA 291 38,7 ± 4,47 25 27,1 ± 4,19
FxF 21 32,6 ± 4,04 23 37,1 ± 3,83
HxF 16 40,9 ± 7,16 30,7 ± 5,08
CxF H = Hereford A = Angus 37,3 ± 6,45
F = Friesian C = Charolais
J = Jersey Everrit (1971)

Tabel 9.13. Calf Weaning from Mixed age dams Corrected from age of dam
Where kwon, age of calf and sex

Year Weaning age Weaning Weaning Season
(days) weight of weight
1970 males (kg) females (kg) Drought
1971 178 Good
1972 140 153 144 Dry
1973 164 158 145 Dry
156 189 169
194 189

Dalton et al., (1974)

Tabel 9.14. Berat Lahir dan Lingkar Dada Pedet Betina Sapi Perah (FH)
Baturaden

356

No No Pedet Tanggal lahir Berat lahir Lingkar PBBH

1 1116 FS 25-8-75 (kg) dada (cm) (kg)
2 1115 FS 16-8-75
3 1106 FS 21-7-75 29 77 0,57
4 1101 FS 14-7-75 23 76 0,57
5 1110 FS 12-8-75 25 81 0,29
6 1117 FS 28-8-75 24 80 0,57
7 1100 FS 09-7-75 22 76 0,34
8 1105 FS 19-7-75 32 81 0,57
9 857 FS 20-6-75 28 89 0,43
10 1103 FS 16-7-75 32 89 0,72
11 1109 FS 09-8-75 28 94 0,64
12 1107 FS 02-8-75 35 87 0,43
13 1094 FS 23-5-75 28 80 0,50
14 0856 FS 05-5-75 19 78 0,50
15 0854 FS 27-4-75 26 96 0,07
16 0852 FS 15-4-75 23 104 0,21
17 0853 FS 20-4-75 27 110 0,07
18 1108 FS 08-3-75 31 107 0,14
19 1089 FS 09-4-75 31 110 0,14
20 0856 FS 23-4-75 26 112 0,29
30 108 0,29
29 99 0,28

Sri Wigati dan Munadi (1975)

Tabel 9.15 . Data Ukuran Tubuh Pedet Hasil Persilangan PO x American
Brahman di Kabupaten Rembang

357

No Jenis kelamain Umur Tiriggi Lingkar Panjang
(bulan) gumba dada (cm) badan
(cm)
1Γ 6 (cm) 120
2Γ 2 111 85 101
3Ε 5 86 121 91
4Γ 1 110 79 92
5Ε 6 79 119 93
6Γ 6 102 130 85
7Γ 1 112 93 94
8Ε 10 88 122 74
9Ε 5 111 101 98
10 Γ 1 98 85 83
11 Ε 1 81 76 70
12 Ε 7 79 110 64
13 Γ 4 100 90 87
14 Ε 9 80 135 65
15 Ε 1 110 81 89
16 Ε 1 77 82 66
17 Γ 10 79 128 63
18 Ε 2 111 90 89
19 Ε 3 87 95 107
20 Γ 3 89 107 75
21 Γ 1 97 88 87
22 Ε 5 81 94 63
23 Ε 1 95 97 78
24 Γ 8 96 101 78
113 91

Munadi (1975)

358

BAB X

SISTEM PEMBIBITAN TERNAK NASIONAL
RUANG LINGKUP TERNAK RUMINANSIA KECIL

1. Latar belakang pentingnya Sistem Perbibitan Ternak
Ruminansia Kecil

Pengembangan peternakan, ternak termasuk Ruminansia Kecil tidak
akan dapat dilaksanakan tanpa kecukupan bibit. Bibit memiliki pengertian
yang ganda, dapat diartikan bakalan ternak (jantan dan betina) yang disiapkan
untuk menghasilkan turunan, dan turunan tersebut disiapkan untuk dijual. Jadi
tekanan pengertian bibit dalam batasan ini adalah ternak (jantan dan betina )
tidak steril. Batasan yang kedua adalah ternak jantan dan betina yang
disiapkan (dibudidayakan) untuk menghasilkan calon induk dan pejantan
yang di masa datang akan dijadikan bibit (Gambar 1.)

ternak jantan bibit

ternak betina bibit

Jantan diseleksi

ternak jantan bibit

Betina diseleksi ternak betina bibit
ternak jantan bibit

ternak betina bibit

Jantan dan betina diseleksi

Gambar 1. Pola penggunaan/kebutuhan bibit

359

Sampai saat ini bibit yang digunakan atau dibutuhkan belum dapat
sediakan khusus oleh suatu kelompok, institusi, bahkan oleh pemerintah bila
ditinjau bahwa bibit yang digunakan dan dibutuhkan tersebut harus dihasilkan
oleh suatu proyek, kegiatan yang memang khusus bertujuan untuk
mengasilkan bibit. Bibit yang memenuhi syarat dari aspek gentis belum
pernah dihasilkan di Indonesia, karena Pemerintah memang belum memiliki
kebijakan perbibitan ternak nasional. Sebagai konsekuensinya produktivitas
ternak, termasuk ruminansia kecil masih rendah.

Mencermati pengembangan peternakan di Indonesia khususnya
ruminansia kecil, bibit merupakan kebutuhan pokok bagi peternak untuk dapat
menjamin keberhasilan budidaya dan mendapatkan peningkatan keuntungan
dari peningkaan produktifitas ternaknya.

Dari analisis sumbangan subsektor peternakan pada pendapat nasional
dapat direkomendasikan bahwa peternak berpotensi sebagai sumber
pertumbuhan baru. Ternak dalam pelita VI telah tercatat sebagai komoditi
yang harus dikembangakan di beberapan kawasan andalan

Hasil penelitian yang telah dilaporkan memberikan informasi bahwa
ada peluang yang besar untuk pengembangan ruminansia kecil apabila
perbaikan tatalaksana dan program peningkatan mutu dapat dilaksanakan
secara bersamaan.

Masalah yang dihadapai adalah bagaimana dapat mendisain pola
perbibitan yang dilaksanakan di Indonesia yang menjamin hasil yang
memenuhi persyaratan kualitas dan kuantitas serta peternak/kelompok
peternak dapat ikut berpartisipasi aktif, produktif dan efisien.

360

II. Tinjauan sistem pembibitan Ternak Ruminansia kecil

Sistem Perbibitan Ternak Ruminansia Kecil secara Nasional belum
pernah direncanakan dan diinformasikan. Informasi yang sudah
disebarluaskan adalah Wilayah Sumber Bibit berdasarkan SK Direktur
Jenderal Peternakan No. 87/TN.220/Kpts/Dirjenak/ Deptan/1989. Domba
memiliki wilayah sumber bibit di Jabar, Jateng, NTB, dan NTT. Kambing PE
mempunyai wilayah sumber bibit di Jateng, Jatim, NTB. Kambing Kacang
mempunyai wilayah sumber bibit di Sumut, Lampung, Jabar, Jateng, Jatim,
Sulteng, Sulsel , NTB dan NTT (Boediman, 1991).

Usaha yang berkaitan dengan perbibitan ternak rumainansia kecil telah
lama dilakukan oleh Dirjen Peternakan bekerjasama dengan para peneliti
domba dan kambing lewat lokakarya dan atau seminar (Adjisoedarmo dkk.,
1977; Amsar dkk., 1983; Abdulgani, 1987; Gunawan, 1988; Adjisoedarmo,
1989; Siregar, 1991; Soehadji, 1991; Boediman, 1991; Adjisoedarmo dkk.,
1993; Adjisoedarmo dkk., 1994; Adjisoedarmo, 1995; Adjisoedarmo dkk.,
1996).

Para peneliti melaporkan bahwa untuk dapat menghasilkan bibit unggul
genetik diperlukan penggunaan seleksi dan sistem perkawinan yang sesuai
dengan tujuan penggunaan bibit ( untuk produksi daging, wol, atau susu) yang
akan dihasilkan. Pelaksanaan seleksi membutuhkan aktivitas yang
mendahului yaitu program pencatatan produksi. Dari hasil penelitian yang
telah dilaporkan di luar negeri, diperoleh informasi bahwa tingkat reproduksi
dan produksi domba yang telah dicapai merupakan hasil dari peningkatan
mutu genetik. Bibit unggul dapat dihasilkan dengan menggunakan program
peningkatan mutu genetik (Adjisoedarmo dkk., 1996).

Eropean Association for Animal Production (EAAP) telah melaporkan
bahwa program pencatatan produksi dilaksanakan di dua puluh negara Eropa.
Komputerisasi program telah dilaksanakan di dua belas negara yaitu,

361

Bulagaria, Cekoslawakia, Irlandia, Perancis, Finlandia, Inggris, Hunggaria,
Islandia, Norwegia, Swedia, Spanyol dan Switserlandia (Croston, 1980).

Keberhasilan penggunaan program pencatatan produksi, seleksi dan
sistem perkawinan telah dilaporkan di banyak negara maju peternakan.
Peningkatan mutu genetik (PMG) domba pada dasarnya akan menghasilkan
bibit unggul genetik, yang selanjutnya digunakan untuk meningkatkan nilai
tengah populasi, ditingkat kelompok, regional dan nasional. Program PMG
pada dasarnya menggunakan seleksi dan perkawinan silang (Dickerson, 1969;
Tumer dan Young, 1969; Hight dan Rae, 1970; Rae dan Barton, 1970; Hight
dkk., 1975; Pattie, 1975; Dalton dan Rae, 1978; Tumer, 1979; Mc Quirck
dan Atkins, 1979; Watherly, 1979; Erasmus, 1979; Maulen, 1979; Smith,
1979; Boyland, 1979; Cardellino, 1979; Jhetobruch, 1979).

Progam seleksi dilakukan untuk cempe, calon induk dan pejantan,
serta induk dan pejantan. Seleksi dengan Indeks dilakukan di Cekoslowakia,
Perancis, Islandia, Norwegia, Polandia, dan Jerman barat. Indeks yang
digunakan dapat dikelompkan menjadi 1) basic indexes, menggunakan nilai
ekonomi relatif, 2) heritabilty indexes, menggunakan nilai ekonomi relatif
dikalikan dengan koefisien pewarisan, dan 3) regression indexes,
menggunakan nilai ekonomi relatif, koefisien pewarisan dan korelasi genetik
serta korelasi fenotipik.

Di Amerika Serikat, program pemuliaan domba dititik beratkan pada
evaluasi trah dan penggunaannya untuk produksi yang efisien (Boyland,
1979). Dilaksanakan demikian karena hasil penelitian manipulasi hormon dan
stimulasi hormon tidak digunakan oleh para pengusaha peternakan domba.
Dilaporkan (Shelton dan Menszies, 1968) bahwa efisiensi produksi dapat
dinaikkan dengan menggunakan trah terpilih, sistem perkawinan dan seleksi
dalam trah.

362

Di Inggris, program pencatatan produksi dilakukan sebagai prasyarat
program seleksi (King, 1979). Berat sapih dijadikan kriteria seleksi di daerah
dataran tinggi. Jumlah cempe per induk dijadikan kriteria seleksi di daerah
dataran rendah. Perkawinan silang antar trah digunakan sebelum seleksi.

Di Perancis, permintaan produksi ternak yang utama adalah karkas
cempe sapihan dengan berat 18-21 kg. Oleh karena itu program pemuliaan
bertujuan untuk meningkatkan produksi daging dan dilaksanakan melalui
perkawinan silang, menggunakan trah Romanov dan Finnish (Mauleon,
1979).

Di Selandia Baru peningkatan produksi cempe dilaksanakan dengan
program pencatatan produksi yang diikuti seleksi, dimulai tahun 1968.
Karakteristik produktif yang dijadikan kriteria seleksi adalah jumlah cempe
saat lahir, berat sapih cempe, berat pada umur 6, 9 dan 12 bulan, serta
berat wol (Rae, 1979). Hasil yang telah dicapai menunjukkan bahwa seleksi
dalam trah dapat meningkatkan mutu genetik ; dengan tolok ukur produksi
cempe per tahun, telah dilaporkan peningkatan 1,75 ekor cempe per 100 ekor
induk yang dikawinkan.

Di Selandia Baru (Dalton dan Hight, 1972), untuk memenuhi memenuhi
kebutuhan bibit, di tingkat peternak telah diterapkan kuantitatif genetik.
Praktek yang dilakukan untuk jangka pendek adalah 1) Simple Recording
System, berdasar dari hasil pencatatan kemampun reproduksi dan produksi
maka kemudian dilakukan, 2) Culling Barren Ewes, 3) Buying Bet ter
Stock, dan atau 4) Change Breeds.

Dalam jangka panjang maka kegiatan yang direncanakan adalah a)
Defme Desire Traits, b) Buy Better Ram, dan selanjutnya melaksanakan c)
Large-Scale Breeding Schemes.Pada Large-Scale Breeding Schemes ,
beberapa peternak (dapat mencapai 30) bergabung sehingga dapat memilih
ribuan induk dengan

363

performans tinggi (175%) . Induk tersebut dijadikan kelompok inti untuk

menghasilkan pejantan, bibit unggul genetik, yang dibutuhkan. Pejantan

unggul digunakan dengan imbangan per pejantan mengawini 40-50 ekor induk

.

Berdasar pengalaman tersebut maka diterbitkan Pratical Points in a
Breeding Schemes sebagai berikut.
a) Realistic and simple programe
b) Indentifying supeerior dams
c) Simple recording system
d) Twinning Ewes
e) Lamb Mortality
f) Culling Ewes lambs
g) Hogget oestrus
h) Hogget live
i) Pregnancy diagnosis

Di New Zealand dalam program uji kemampuan produksi (domba
silangan) diawali dengan menggunakan populasi yang terdiri dari 300 ekor
induk. Uji dilakukan selama 4 (empat ) kali beranak dengan menggunakan
karakteristik , berat lahir, mortalitas cempe, laju pertumbuhan dan produksi
wol. Pejantan domba yang digunakan adalah trah Finnish Landrace, East
Frisian, German Whiteheaded Mutton dan Oxford, yang memiliki litter size
dengan rentangan berturut -turut 2,2-2,7 ek; 2,1 - 2,5 ek; 1,5 -1,9 ek dan 1,5 -
1,8 ek (Mayer dkk., 1977).

Di Afrika Selatan program perbaikan mutu genetik domba (dengan
menggunakan bibit unggul) dimulai tahun 1964. Program bertujuan
meningkatkan mutu genetik domba lokal dan impor serta mencipatakan trah
baru yang dapat menyesuaikan dengan kondisi setempat dan permintaan
pasaran.

364

Indeks seleksi digunakan untuk meningkatkan berat tubuh, berat wol,
diameter wol dan nilai pintal (Erasmus, 1979).

Di Uruguay, program pencatatan produksi dimulai tahun 1969. Tujuan
utama industri domba di Uruguay adalah menghasilkan wol.
Pengembangan program pemuliaan dimulai dari sistem tradisional yang
dicirikan dengan kawin tatar dengan trah Merino.Dalam program ini
dikembangakan cara mengidentifikasi pejantan dan induk unggul
sebelum pencukuran; yang memenuhi syarat diberi tato tunggal. Dalam
tahun berikutnya domba yang bertato diamati . Domba yang telah
bertato dicatat dibuku induk. Dengan cara demikian maka dapat
dibedakan peternak yang menggunakan domba tidak bertato, bertato
tunggal dan bertato ganda.
Di Asia Tenggara, Indonesia, Burma, Malaysia dan Thailand perbaikan
mutu genetik domba masih dalam tahap uji kemampuan produksi domba
lokal dan import serta percobaan persilangan (Smith, 1979). Di Indonesia
hasil beberapa penelitian persilangan domba import dan lokal telah dilaporkan
(Purwati, 1975; Purwanto, 1980; Hardjosoebroto dkk., 1978; Noersinggih,
1980; Soediono dkk., 1979; dan Warsiti, 1982).
Adjisoedarmo dkk., (1993, 1994, 1995 dan 1996) telah melaporkan hasil
penelitiaannya menciptakan bibit unggul domba lokal menggunakan seleksi.
Metode seleksi (direct pedigree selection) yang digunakan selama empat
tahun dapat membantu untuk 1) memilih induk yang enam kali berturut-turut
selalu beranak kembar; 2) mendapat induk baru hasil turunan induk terbaik
yang juga beranak kembar; 3) penggunaan Indeks seleksi memungkinkan
memilih induk yang selalu beranak kembar (JCSI=2) dan jumlah berat cempe
sapihan umur 100 hari per induk (JBCSI) di atas 20 kg; 4) penekanan angka
kematian (menggunakan induk buatan) memungkinkan memperbanyak
jumlah calon pengganti; 5) penggunaan tata pakan yang sesuai

365

memungkinkan pemunculan kemampuan genetik yang optimal; 6) perkawinan
yang diatur dengan menggunakan kalender reproduksi ( Adjisoedarmo dan
Amsar, 1983) berhasil memperpendek selang beranak; 7) Efisiensi reproduksi
dan produksi masih memungkinkan untuk ditingkatkan dengan seleksi; 8)
Seleksi selama empat tahun belum cukup untuk menghasilkan bibit unggul
yang teruji.

Dari hasil penelitian diperoleh 10 ( induk) yang memiliki jumlah berat
sapih cempe per induk di atas 15 kg, dan minimal ber anak 3 (tiga) kali
dalam 2 (dua) selalu kembar. Dari sepuluh induk tersebut telah diperoleh 3
(tiga) ekor cempe yang telah menjadi induk dan juga beranak kembar. Metode
yang diguanakan selajutnya mulai Agustus 1996 dikembangkan di tingkat
kelompok binaan.

366

PARITAS I- VI TIPE KELAHIRAN

NO TAG IND PJT 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 JC

1 I-01 BL I 2 2
2 I-02
3 I-03 I I II III IV 2 1211 7
4 I-04
5 I-05 I I III IV 2 313 9
6 I-06
7 I-07 I II III III 2 113 7
8 I-08
9 I-09 I II III IV 2 222 ITSA
10 I-10
I II 22 4
11 I-11
12 I-12 I II III 2 23 7
13 I-13
14 I-14 I II III 2 11 4
15 I-15
16 I-16 I I II III IV 2 2222 10
17 I-17
18 I-18 I I II III 2 222 8
19 I-19
2O I-20 RM I I II III IV 2 2111 7

21 I-21 I I II IV IV 2 2131 9
22 I-22
23 I-23 I II II III III IV 2 2 2 2 2 2 12
24 I-24
25 I-25 I I II III IV IV 2 2 2 2 2 2 12
26 I-26
27 I-27 I II II III IV 2 2222 10
28 I-28
29 I-29 I I II III IV 2 2131 9
30 I-30
I II 21 3
31 I-31
32 I-32 I III IV 2 22 6
33 I-32
34 I-34 I I II III IV 2 2322 11
35 I-35
36 I-36 I II III IV 2 211 6
37 I-37
38 I-38 BN II IV 23 5
39 I-39
40 I-40 II III 21 3

II II III IV 2 111 5

II III IV 2 12 5

II III III IV 2 122 7

II II III IV IV 2 2222 10

II III 21 3

II III III 2 21 5

II III IV 2 23 7

II III IV IV 2 112 6

BM II IV 23 5

II II III 2 22 6

II III 22 4

II III III IV IV 2 1111 6

II III IV 2 22 6

II 2 2

II IV 22 4

II IV 21 3

II III 22 4

II III IV 2 21 5

RATAAN 6.3

SIMPANG BAKU 2.2

367

Berdasar catatan kemampuan produksi dapat dipilih induk yang selalu
beranakkan kembar 2 kali sampai dengan 6 kali berturut-turut

INDUK YANG SELALU BERANAK KEMBAR

TAG INDUK TAHUN PARITAS JCEMPE
56
1 234 2 2 12
2 2 12
1 I-13 I II II III III IV 2 2 2 2 2 11
2 I-14 2 10
3 I-19 I I II III IV IV 2 2 2 2 2 10
4 I-09 2 10
5 I-15 I I II III IV 2 232
6 I-26 8
7 I-05 I I II III IV 2 222 8
8 I-10 7
I II II III IV 2 222 7
9 I-07 6
10 I-29 II II III IV IV 2 222 6
11 I-18 6
12 I-32 I II III IV 2 222 5
13 I-35 5
14 I-21 I I II III 2 222 4
15 I-31 4
19 I-06 I II III 2 23 4
20 I-32 4
21 I-37 II III IV 2 23 7.315789
22 I-39 2.365651
I III IV 2 22

II II III 2 22

II III IV 2 22

BN II IV 23
BM
II IV 23

I II 22

II III 22

II IV 22

II III 22

RATAAN

SIMPANG BAKU

368

Ilustrasi peningkatan nilai tengah populasi (litter size) pada induk terpilih (7,3
ekor/induk, pada populasi 22 ekor induk)

369

III. Tantangan dan Peluang
Tantangan

Pertanyaan/tantangan awal yang membutuhkan jawaban adalah, '
Berapa jumlah bibit yang akan dihasilkan untuk digunakan sendiri dan yang
akan dijual di pasar lokal dan atau di luar daerah (desa, kecamatan,
kabupaten, propinsi atau negara) ?'

Pertanyaan tersebut tidak mudah untuk dapat dijawab. Pertama,
disebabkan karena harus diketahui lebih dahulu potensi wilayah atau daya
tampung wilayah untuk dapat menyediakan pakan (hijauan dan konsentrat)
yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan reproduksi dan produksi sapi

370

yang dipelihara. Kedua, disebabkan karena harus dapat menaksir berapa
jumlah bibit dan non bibit yang dapat dihasilkan per tahun atau dalam periode
tertentu. Ketiga, sudah siapkah SDM yang ada di wilayah asal calon
transmigran dan pemukiman berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan
pembibitan (usaha yang membutuhkan jangka waktu menengah sampai
panjang, 7-25 tahun). Keempat, kegagalan atau gangguan proses reproduksi
pada domba/kambing dapat menyebabkan penaksiran yang salah atau target
yang ditetapkan tidak akan dapat dicapai. Kelima, tersediakah atau dapatkah
para penyandang dana/Iptek diyakinkan untuk bersedia menjadi pelopor
pembangunan untuk wilayah pemukiman transmigrasi.

Apabila semua data dan kegiatan yang dibutuhkan untuk menjawab
pertanyaan atau tantangan yang merupakan issue utama yang selalu timbul di
seputar usaha pembibitan. Dapat diringkas tantangan yang dihadapai dalam
pengembanan sistem perbibitan nasional adalah sebaai berikut.

1) Penyediaan bibit unggul
2) Pengkondisian tanah untuk mempertahankan/peningkatakn kesuburan dan

produktifitasnya
3) Peningkatan produktifitas hijauan pakan dan konsentrat ternak
4) Peningkatan efisiensi reproduksi dan produksi ternak
5) Peningkatan kualitas SDM (di tirigat bawah, menengan dan atas
6) Peningkatan kinerja lembaga kemasyarakatan peternakan
7) Peningkatan dukungan dana pembanguan dari pemerintah

Peluang

a) Mengisi kesenjangan antara komsumsi dan produksi daging
b) Mengisi kebutuhan ternak untuk pemenuhan kegiatan keagamaan (haji,

kurban, kekah, hariraya, perkawinan
c) Memenuhi permintaan ekspor (ke timur tengah dan asean)

Tanpa tersedianya bibit unggul genetik yang cukup dan berkelanjutan,
telah dilaporkan bahwa produksi ternak di Indonesia pada umumnya
masih rendah.

371

Kesenjangan antara konsumi dan produksi ternak di Indonesia makin lama
main melebar. Tantangan untuk menyempitkan kesenjangan tersebut tetap
terbuka sebelum dapat memenuhi kebutuhan bibit unggul genetik untuk semua
ternak di Indonesia dapat diproduksi di dalam negeri. Bibit tersebut
diharapkan dapat menjamin peningkatan efisiensi reproduksi dan produksi
ternak di Indonesia.
Ketersediaan lahan kelas 3 (marginal) yang dapat digunakan untuk hijauan
pakan ternak masih tersedia cukup, dan selalu ditawarkan ke pihak peternakan.
Tantangan yang dihadapi adalah mampukah mengadakan pengkondisian lahan
sebelum ternak datang; mampukah mempertahankan kesuburan dan
produktifitass lahan, untuk dapat menunjang jumlah ternak yang diproduksi
makin meningkat.

Peningkatan efisiensi reproduksi dan produksi ternak dalam arti luas
membutuhan ketrampilan dan menerapkan Iptek. Sehingga dibutuhkan pula
ketersedian SDM dengan tingkat ketrampilan dan penguasan Iptek yang
sesuai.

Kebijakan Pembangunan Peternakan

1) Tahapan Pembangunan Peternakan
2) Era Tinggal Landas Pembangunan
3) Peran dan Posisi Pembangunan Peternakan
4) Konsepsi Pembangunan Peternakan

a) Kaidah dan operasionalisasi
b) Pendekatan
Pembangunan Peternakan di Indonesia dilaksanakan melalui 3 (tiga)
evolusi pendekatan yaitu 1) pendekatan teknis, 2) pendekatan terpadu
dan 3) pendekatan agribisnis (Soehadji, 1993).

5) Potensi
6) Masalah yang dihadapi
7) Sasaran

a) Sasaran jumlah ternak
b) Sasaran mutu/reproduktifitas
c) Sasaran teknis

372

Kebijakan perbaikan mutu bibit
Kebijakan perbaikan mutu bibit ditempuh lewat Perwilayahan ternak
dengan menetapkan a) wilayah sumber bibit, yaitu denga menetapkan jenis
suatu bibit ternak tertentu di suatu wilayah tertentu sebagai wilayah sumber
bibit dan b) wilayah produksi /pengembangan ternak.

a) Wilayah sumber bibit

Kebijakan menetapkan suatu jenis ternak tertentu sesuai dengan potensi
pengembangan di wilayah tersebut. Misal sapi Bali di pulau Bali dan
Sumbawa, sapi Madura di pulau Madura dan Sumba Onggole di pulau
Sumba.

Wilayah sumber bibit Domba dan Kambing mengacu kebijakan
tersebut dapat ditetapkan/diusulkan sebagai berikut; untuk domba ekor gemuk
di Jawa Timur, Domba ekor tipis di Jawa Barat dan Jawa Tengah; untuk
Kambing Kacang, Jawa randu, Etawah dan Peranakan Etawah di Jawa Tengah
dan Jawa Timur, Sumatera .........dst ditempuh

Langkah yang ditempuh di wilayah sumber bibit meliputi,

1) pemurnian bibit (ternak lokal maupun impor) dengan menetapkan jenis
bibit tertentu di suatu lokasi tertentu;

2) impor bibit unggul;
3) persilangan grading up;
4) inseminasi buatan;
5) progeny test;
6) embryo transfer;
7) random sample test.

b) Wilayah produksi/pengembangan

Pengembangan wilayah diarahkan untuk meningkatkan produksi ternak
atau sebagai wilayah sumber baru. Wilayah tersebut meliputi

373

daerah/lokasi di luar daerah sumber bibit yang telah
ditetapkan.(diusulkan di daerah padat populasi ternak yang didukung
dengan potensi pakan yang memadai)

Langkah yang ditempuh di wilayah prodouksi atau pengembangan
dilakukan melalui:

1) penyebaran bibit ternak lokal;
2) persilangan atau terminal cross;
3) inseminasi buatan.

2 Progam Pengembangan Perbibitan Ternak Ruminansia
Kecil

Mengacu pada Kebijakan Pengembangan Peternakan di Indonesia yang
telah ditetapkan (Soehadji, 1993), telah diuraikan di atas, Sistem perbibitan
Nasional belum dijelaskan secara rinci. Oleh karena konsep Sistem Perbibitan
Nasional Ternak Ruminansia Kecil diharapkan dapat mengisi kekosongan
tersebut.

Program Pengembangan Perbibitan Ternak, termasuk untuk rumansia
kecil, harus didukung landasan hukum yang jelas. Landasan tadi dapat
berupa Undang-undang, Keputusan Menteri Pertanian, Instruksi Dirjen
Peternakan, tentang Perbibitan Ternak Nasional.
Keputusan Menteri digunakan sebagai petunjuk pelaksanaan, sedang
Instruksi Dirjen digunakan untuk menyusun Petunjuk Teknis. Di dalam teknis
tersebut diuraikan secara rinci mengenai pengembangan perbibitan, termasuk
perbibitan ternak ruminansia kecil.

374


Click to View FlipBook Version