40 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH dengan terbunuhnya khalifah Ali dan bertahtanya Mu`awiyah sebagai khalifah dan pendiri kerajaan Bani Umayyah.1 Setiap masyarakat pasti mendambakan lahirnya sosok pemimpin yang ideal untuk menjalankan roda pemerintahan. Sebab, hanya melalui pemimpin yang ideal, harapan dan cita-cita hidup berbangsa dan bernegara bisa terwujud. Namun demikian, mencari seseorang yang diyakini ideal untuk memimpin, bukanlah persoalan mudah. Dalam konteks Islam, perjalanan sejarah politik negara-negara Islam atau negara-negara dengan penduduk muslim mayoritas, terbukti belum mampu mewujudkan suatu pemerintahan yang benar-benar berhasil untuk membawa masyarakatnya menjadi masyarakat yang maju, damai dan sejahtera2. Banyak para pemikir merumuskan definisi dan bentuk negara menurut perspektif Islam. Roger F. Soltau melihat bahwa negara merupakan sarana atau alat mengimplementasi kehendak dan cita-cita warga negaranya, karena tujuan setiap negara adalah mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat3 Musthāfa Kemal al-Tattūrk juga memiliki pemikiran tersendiri mengenai hubungan antara agama dan negara. Menurutnya, agama dan negara memiliki relevansi, namun dalam pengelolaan urusan agama dan negara harus terpisah. Oleh karena itu, ia telah menjadikan negara Turki sebagai negara sekuler yang memisahkan urusan dunia dengan urusan agama4 Mencuatnya persoalan-persoalan tersebut dikarenakan al-Qur`an maupun alHadis sebagai sumber hukum Islam tidak memberikan penjelasan secara pasti mengenai sistem pemerintahan dalam Islam, konsepsi kekuasaan dan kedaulatan serta ide-ide tentang konstitusi. Term bahasa Arab yang secara eksplisit bermakna negara atau pemerintahan (Daulah dan Hukumah) tidak pernah disebut-sebut oleh al-Qur`an dengan pasti. Selain itu Nabi sendiri tidak memberikan konsep pemerintahan yang baku dan mapan. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pemerintahan memiliki peluang yang besar untuk dikembangkan. Demikian pula bentuk negara dalam Islam bukan merupakan hal yang essensial, karena yang essensial adalah unsur-unsur, sendisendi, dan prinsip-prinsip dalam menjalankan pemerintahan. Kemunduran kerajaankerajaan besar Islam dalam abad XVIII membangunkan dunia Islam untuk mengamati dan mempelajari kekalahannya dan mencari pemecahan masalah yang dihadapi. Kerajaan Turki Usmani mencoba mengambil peradaban Barat yang lebih maju terutama dalam bidang teknik dan kemiliteran. Sedang di India tampil Ahmad Syah Waliyullah bin Abd al-Rahman al-Dahlawi (1703-1762 M) mengemukakan gagasan sistem pemerintahan yang telah dikembangkan oleh al-Khulafa` al-Rasyidun (para khalifah yang mendapat petunjuk).5 1 Abu al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim bin Abi Bakar Ahmad al-Syahratsani, al-Milal wa al-Nihal, Mesir : Mushtafa al-Babi wa Auladuh, 1387 H, Cet I, hal. 24. 2 Sunaryo, A. (2014). SIMBOLISME DAN ESSENSIALISME KEPEMIMPINAN. AKADEMIKA: Jurnal Pemikiran Islam, 19(1), 58-74. 3 Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2003), 39. 4 Gunawan, E. (2014). Relasi Agama dan Negara (Perspektif Pemikiran Islam). Al-Hikmah Journal for Religious Studies, 15(2), 185-200. 5 Abd Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur`an, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994.
National Proceeding on the Islamic Studies 41 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH Dalam diskursus keislaman, persoalan bagaimana membangun sebuah negara ideal, hampir selalu terjebak pada perdebatan mengenai standarisasi ideal dari sebuah negara. Apakah standarisasi ideal tersebut diukur dengan formalisasi dalam bentuk sebuah negara, sehingga hukum-hukum Allah benar-benar dapat dilaksanakan, atau bisa saja sebuah negara dikategorikan ideal ketika nilai-nilai ajaran Islam mampu menjadi spirit untuk menjalankan roda pemerintahan meskipun tidak diformalkan dalam bentuk sebuah negara Islam, hingga saat ini kedua persoalan ini masih menjadi perdebatan6 Pemikiran politik yang berkembang dalam dua abad berikutnya bercabang dari dua pola pemikiran di atas. Pengambilan dan penerapan nilai-nilai kebudayaan Barat (Westernisasi) dapat dibedakan atas bentuk ekstrem dan bentuk moderat. Westernisasi ekstrem terlihat dalam Kemalism (Aliran Kemalis, Kemalisme) yang berhasil mendirikan Republik Turki (1923 M) dan membebaskan segala institusi politik dari kekuasaan agama. Sedangkan Westernisasi moderat terlihat dalam pemikiran kelompok Turki Muda, khususnya pada tokoh-tokoh seperti Ahmad Riza (1859-1931 M) dan Pangeran Sahabuddin (1877-1948 M). Mereka ingin menerapkan nilai-nilai kebudayaan Barat yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam seperti ajaran konstitusi dan ajaran mengenai pengembangan kemampuan berdiri sendiri. Pada sisi lain aliran yang bertumpu pada ajaran Islam dapat pula dibedakan atas pemikiran yang ingin mengembalikan ajaran Islam yang bersumber al-Qur`an dan Sunnah dan yang bersumber dari fiqih para imam madzhab dan para mujtahid pengikut mereka dan pemikiran yang bermaksud mengembangkan konsepsikonsepsi dari al-Qur`an dan Sunnah. Aliran pertama yang dapat disebut sebagai aliran tradisional dalam konteks pembaharuan di Turki terlihat dalam pemikiran Nemik Kemal (1840-1888 M). Meskipun ia menghendaki pembaruan, tetapi ia tetap mempertahankan tradisi-tradisi yang ada. Aliran kedua yang dapat disebut dengan meminjam istilah Linguistik sebagai “Puritanisme”, atau mempertahankan kemurnian. Jamal al-Din al-Afghani (1839-1877 M) yang menjadi pelopor Pan Islamisme adalah contoh pemikir puritanisme dari kalangan pembaru di Mesir.7 Dijelaskan secara gamblang apa sebenarnya arti dari kepemimpinan dalam pandangan Al-Qur’an dan Sunnah. Yang tidak kalah menarik adalah sebenarnya system kepemimpinan yang mana, yang paling tidak mendekati ideal dari tiga system yang mayoritas dianut oleh masyarakat negara di dunia yaitu system demokrasi, system, kerajaa, atau system khilafah. Tentunya bila dinilai dari sudut Al-Qur’an dan Sunnah, maka kajian tentang tiga system ini akan dapat kita tarik garis lurus bahwa sesungguhnya kebersihan suatu kepemimpinan tergantung siapa yang memimpinnya, sebab di dalam Al-Qur’an dan Sunnah hampit tidak pernah dibahas tentang system kepemimpinan. Pertanyaan selanjutnya adalah modul pemimpin yang seperti apa yang diinginkan oleh al-qur’an dan sunnah? Setiap manusia adalah pemimpin dan kepemimpinan itu akan diminta pertanggungjawabannya. Ini mengisyaratkan adanya kewajiban manusia untuk bertanggungjawab terhadap diri sendiri dan apa yang dilakukannya8 Menurut 6 Sunaryo, A. (2014). SIMBOLISME DAN ESSENSIALISME KEPEMIMPINAN. AKADEMIKA: Jurnal Pemikiran Islam, 19(1), 58-74. 7 Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang, 1975. 8 Munawir Sjadjali, Pokok-Pokok Kebijaksanaan Menteri Agama dalam Pembinaan Kehidupan Beragama, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1934), hlm. 56
42 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH Mukhsin Mahdi bagi al-Farabi ada 3 golongan manusia dari segi kapasitas untuk memimpin. Yaitu: pertama, manusi ayang memiliki kapasitas untuk memandu dan menasehati. Kedua, manusia yang dapat berperan sebagai manusia yang mamimpin sekaligus yang dipimpin. Ketiga, manusia yang dikuasai sepenuhnya atau tanpa kualifikasi9. LANDASAN TEORI Tidak hanya dikalangan intelektual Barat, klangan cendikiawan muslim pun terjadi perdebatan panjang, kerena persoalan sistem politik dalam islam selalu menarik sepanjang sejarah kenegaraan kaum muslimin. Dalam sejarah islam, konsep kenegaraan yang dirumuskan oleh para ulama paling tidak terkandung dua maksud, sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Syamsuddin. Pertama, untuk menemukan idealitas islam mengenai Negara, baik secara teoritis maupun secara formalis, artinya, ini sebuahupaya untuk menjawab bagaimana bentuk Negara dalam islam. Kedua, untuk mengupayakan idealisasi dari islam tentang prosedur penyelenggaraan negara, baik pencarian substansial kenegaraan maupun segi praktis bernegara10 Al-Ghazālī merumuskan tipe pemimpin ideal, yang lahir dari berbagai kepemimpinan masa itu. Perpaduan akal dan batin yang dimiliki al-Ghazālī melahirkan buah pemikiran pemimpin baru, pemimpin yang mencerminkan figur kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. Rumusan tentang pemimpin yang disusun oleh al-Ghazālī berawal dari kekecewaannya terhadap pemimpin, raja, ulama, dan pejabat pada masa Dinasti Saljuk yang mengalami kemunduran, karena terjadinya perebutan tahta dan gangguan stabilitas keamanan dalam negeri. Korupsi nepotisme, ketidakadilan, penyuapan, serta kekejaman11. Menurut al-Farabi, seorang pimpinan utama dalam menjalankan kepemimpinannya, memiliki dua tugas utama yang saling berhubungan satu sama lain yaitu: pengajaran dan pembentukan karakter (kepribadian yang baik) al-Ta‟lim wa al-Ta‟dib. Kota utama adalah kota yang diperintah oleh penguasa tertinggi yang benar-benar memiliki berbagai ilmu dan setiap jenis pengetahuan, ia mampu memahami dengan baik segala yang harus dilakukannya. Al-Farabi menyatakan bahwa yang menjadi pimpinan pada setiap kota haruslah orang yang mempunyai nilai lebih dari warga kota yang lain sehingga dia dapat mendidik dan membimbing rakyatnya12 Al-Qur`an menggunakan Khalifah, Ulu al-Amri, Imam dan Malik untuk pengertian pemimpin. Berikut ini akan diuraikan pengertian term-term tersebut satu persatu. 9 Kurniawan, P. (2018). Masyarakat dan Negara menurut al-Farabi. Jurnal El-Qanuniy: Jurnal Ilmu-Ilmu Kesyariahan Dan Pranata Sosial, 4(1), 101-115. 10 M. Din Syamsuddin, Usaha Pencarian Konsep Negara Dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam, (Ulumul Qur‟an, No. 2 tahun 1993), hlm. 4-9 11 Afriansyah, A. (2017). Konsep pemimpin ideal menurut al-Ghazālī. NALAR: Jurnal Peradaban dan Pemikiran Islam, 1(2), 82-94. 12 Kurniawan, P. (2018). Masyarakat dan Negara menurut al-Farabi. Jurnal El-Qanuniy: Jurnal IlmuIlmu Kesyariahan Dan Pranata Sosial, 4(1), 101-115.
National Proceeding on the Islamic Studies 43 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH Khalifah Dilihat dari segi bahasa, term khalifah akar katanya terdiri dari tiga huruf yaitu kha`, lam dan fa. Makna yang terkandung didalamnya ada tiga macam yaitu mengganti kedudukan, belakangan dan perubahan. Dari akar kata di atas, ditemukan dalam al-Qur`an dua bentuk kata kerja dengan makna yang berbeda. Bentuk kata kerja yang pertama ialah khalafa-yakhlifu dipergunakan untuk arti “mengganti”, dan bentuk kata kerja yang kedua ialah istakhlafa-yastakhlifu dipergunakan untuk arti “menjadikan”.13 Pengertian mengganti di sini dapat merujuk kepada pergantian generasi ataupun pergantian kedudukan kepemimpinan. Tetapi ada satu hal yang perlu dicermati bahwa konsep yang ada pada kata kerja khalafa disamping bermakna pergantian generasi dan pergantian kedudukan kepemimpinan, juga berkonotasi fungsional artinya seseorang yang diangkat sebagai pemimpin dan penguasa di muka bumi mengemban fungsi dan tugas-tugas tertentu. Bentuk jamak dari kata khalifah ialah khalaif dan khulafa. Term khalaif dipergunakan untuk pembicaraan dalam kaitan dengan manusia pada umumnya dan orang mukmin pada khususnya. Sedangkan khulafa dipergunakan oleh al-Qur`an dalam kaitan dengan pembicaraan yang tertuju kepada orang-orang kafir. Ulu al-Amr Istilah Ulu al-Amr terdiri dari dua kata Ulu artinya pemilik dan al-Amr artinya urusan atau perkara atau perintah. Kalau kedua kata tersebut menjadi satu, maka artinya ialah pemilik urusan atau pemilik kekuasaan. Pemilik kekuasaan di sini bisa bermakna Imam dan Ahli al-Bait, bisa juga bermakna para penyeru ke jalan kebaikan dan pencegah ke jalan kemungkaran, bisa juga bermakna fuqaha dan ilmuan agama yang taat kepada Allah SWT.14 Dilihat dari akar katanya, term al-Amr terdiri dari tiga huruf hamzah, mim dan ra, ketiga huruf tersebut memiliki lima pengertian, yaitu; perkara, perintah, berkat, panji dan keajaiban. Kata al-Amr itu sendiri merupakan bentuk mashdar dari kata kerja AmaraYa`muru artinya menyuruh atau memerintahkan atau menuntut seseorang untuk mengerjakan sesuatu. Dengan demikian term Ulu al-Amr dapat kita artikan sebagai pemilik kekuasaan dan pemilik hak untuk memerintahkan sesuatu. Seseorang yang memiliki kekuasaan untuk memerintahkan sesuatu berarti yang bersangkutan memiliki kekuasaan untuk mengatur dan mengendalikan keadaan. Imam Kata Imam berakar dari huruf hamzah dan mim, kedua huruf tersebut mempunyai banyak arti, diantaranya ialah pokok, tempat kembali, jama`ah, waktu dan maksud. Para ulama mendefinisikan kata Imam itu sebagai setiap orang yang dapat diikuti dan ditampilkan ke depan dalam berbagai permasalahan, misalnya Rasulullah itu adalah imamnya para imam, khalifah itu adalah imamnya rakyat, alQur`an itu adalah imamnya kaum muslimin.15 13 Abu al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim bin Abi Bakar Ahmad al-Syahratsani, al Milal wa al-Nihal, Mesir : Mushtafa al-Babi wa Auladuh, Cet. I, 1387 H. 14 Abu al-A`la al-Maududi, Abu Hanifah and Abu Yusuf dalam M.M. Sharif (ed.) A. History of Muslim Phylosophy, Wies Baden : Otto Harrassowits, Cet. I, 1963. 15 Al-Raghib al-Ashfahani, Mufradat Alfadz al-Qur`an, Damsyiq : Dar al-Qalam, 1992.
44 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH Adapun sesuatu yang dapat diikuti dan dipedomani itu tidak hanya manusia, tapi juga kitab-kitab dan lain sebagainya. Kalau dia manusia, maka yang dapat diikuti dan dipedomani ialah perkataan dan perbuatannya. Kalau dia kitab-kitab, maka yang dapat diikuti dan dipedomani ialah ide dan gagasan-gagasannya. Tetapi jangan lupa, bahwa sesuatu yang dapat diikuti itu terbagi pada dua macam, dalam hal kebaikan dan keburukan. Malik Akar kata al-Malik terdiri dari tiga huruf, yaitu mim, lam dan kaf, artinya ialah kuat dan sehat. Dari akar kata tersebut terbentuk kata kerja Malaka-Yamliku artinya kewenangan untuk memiliki sesuatu. Jadi term al-Malik bermakna seseorang yang mempunyai kewenangan untuk memerintahkan sesuatu dan melarang sesuatu dalam kaitan dengan sebuah pemerintahan. Tegasnya term al-Malik itu ialah nama bagi setiap orang yang memiliki kemampuan di bidang politik pemerintahan.16 Kepemimpinan yang dalam bahasa Inggris disebut leadership, dan dalam bahasa Arab disebut imaamah memiliki arti sebuah tanggung jawab yang harus diemban oleh siapapun yang mendapat tugas memimpin atau memegang tampuk kekuasaan.17 Disisi lain kepemimpinan juga mengandung nilai-nilai ketuhanan dimana seorang pemimpin wajib memiliki sifat-sifat seperti yang digambarkan oleh Rosulullah SAW pada saat beliau memegang tampuk kepemimpinan di negara Madinah. Pengertian kepemimpinan sendiri banyak disajikan oleh ahli-ahli manajemen baik yang muncul dari dunia Islam maupun dari dunia barat. Diantara yang memberikan definisi kepemimpinan adalah: C. Schenk "Leadership": Infantry Journal. 1928. Kepemimpinan ialah manajemen mengenal seseorang dengan jalan persuasi dan inspirasi bukan melalui pengarahan dan semacamnya, atau bahkan paksaan, ancaman yang terselubung. Ordway Tead (1929) Kepemimpinan sebagai penggabungan perangai yang membuat seseorang mungkin dapat mendorong beberapa pihak lain untuk menyelesaikan pekerjaannya. Ensiklopedia Administrasi (disusun oleh staf Dosen Balai Pembinaan Administrasi Universitas Gadjah Mada) menyatakan pemimpin adalah orang yang melakukan kegiatan atau proses mempengaruhi orang lain dalam suatu situasi tertentu, melalui proses komunikasi, yang diarahkan guna mencapai tujuan/tujuantujuan tertentu.18 Kartini Kartono (1994 : 48) Kepemimpinan itu karakternya khas, spesifik, dibutuhkan pada satu situasi tertentu. Sebab didalam sebuah kelompok yang melakukan kegiatan-kegiatan tertentu & memiliki sebuah tujuan serta berbagai macam peralatan yang khusus. Pemimpin sebuah kelompok dengan ciri-ciri yang karakteristik adalah fungsi dari situasi tertentu.19 Menurut S.P. Siagian, kepemimpinan adalah kemampuan dan keterampilan seseorang yang menduduki jabatan sebagai pimpinan dalam suatu pekerjaan untuk mempengaruhi perilaku orang lain, terutama bawahannya supaya berpikir dan 16 Al-Raghib al-Ashfahani, Mufradat Alfadz al-Qur`an, Damsyiq : Dar al-Qalam, 1992. 17 Suryadi, 2010. Kepemimpinan, Putra Media Nusantara, Surabaya 18 Ensiklopedia Administrasi, Balai Pembinaan Administrasi Universitas Gadjah Mada. 19Aunur Rohim Fakih, 2001, Kepemimpinan Islam, UII Press, Yogyakarta
National Proceeding on the Islamic Studies 45 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH bertindak sedemikian rupa sehingga melalui perilaku positif ini memberikan sumbangan nyata dalam pencapaian tujuan organisasi.20 P. Pigors (1935) Kepemimpinan ialah proses dorong mendorong lewat keberhasilan sebuah interaksi dari berbagai perbedaan individu, mengontrol daya seseorang dalam mengejar tujuan bersama. Stephen J. Carrol dan Henry L. Tosj (1977) Kepemimpinan ialah seuatu proses mempengaruhi orang lain untuk mengerjakan apa yang kamu kehendaki dari mereka untuk mengerjakannya. Theo Haiman dan William G.Scott, kepemimpinan merupakan suatu proses beberapa orang diarahkan ,dipimpin, & dipengaruhi didalam sebuah pemilihan & pencapaian sebuah tujuan. Duben (1954) Kepemimpinan ialah kegiatan para pemegang kekuasaan & pembuat suatu keputusan. Reed (1976) Kepimpinan ialah suatu cara mempengaruhi perilaku seseorang agar perjuangan dapat dilakukan mengikuti kehendak dari seorang pemimpin. G. L. Feman dan E. K. Taylor (1950) Kepemimpinan merupakan suatu kemampuan untuk menciptakan aktifitas suatu kelompok untuk mencapai tujuan organisasi dengan efektifitas yang maksimal & kerjasama dari tiap individu. James M. Black (1961) Kepemimpinan ialah kemampuan yang mampu meyakinkan orang lain agar mau bekerjasama dibawah pimpinannya menjadi kesatuan dari tim untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dari pengertian kepemimpinan di atas, dapat dikemukakan bahwa pada kepemimpinan itu terdapat unsur-unsur, sebagai berikut: 1. Kemampuan mempengaruhi orang lain, dalam hal ini bawahan atau kelompok. 2. Kemampuan mengarahkan tingkah laku bawahan atau orang lain. 3. Untuk mencapai tujuan organisai atau kelompok. Sifat-sifat yang mendasari kepemimpinan adalah kecakapan memimpin. Paling tidak, dapat dikatakan bahwa kecakapan memimpin mencakup tiga unsur kecakapan pokok, yaitu: 1. Kecakapan memahami individual, artinya mengetahui bahwa setiap manusia mempunyai daya motivasi yang berbeda pada berbagai saat dan keadaan yang berlainan. 2. Kemampuan untuk menggugah semangat dan memberi inspirasi. 3. Kemampuan untuk melakukan tindakan dalam suatu cara yang dapat mengembangkan suasana (iklim) yang mampu memenuhi dan sekaligus menimbulkan dan mengendalikan motivasi-motivasi (Tatang M. Amirin, 1983:15). METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan penelitian ini secara kualitatif, dengan menggunakan metode literatur Review, Studi literatur dilakukan melalui pemeriksaan sistematis beberapa literatur ilmiah tentang topik pilihan, baik berupa tinjauan pustaka yang mungkin berdiri sendiri atau tertanam dalam penelitian mengingat studi ini secara kritis akan menganalisis, mengevaluasi, dan 20 B. Jowett and T. Twinning, Ariestotele`s Politics and Poetics, New York : The Viking Press, 1957.
46 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH mensintesis temuan studi yang terkait dengan area focus kajian (Efron and Ravid, 2019). Literatur akan membantu mengidentifikasi atas suatu terori atau metode, mengembangkan suatu teori atau metode, mengidentifikasi kesenjangan yang terjadi antara suatu teori dengan relevansi di lapangan / terhadap suatu hasil penelitian21 PEMBAHASAN MACAM-MACAM SISTEM KEPEMIMPINAN Kepemimpinan Dalam Sistem Demokrasi Perkembangan yang baru, terjadi dalam abad XIX akibat terjadinya kontak peradaban dengan dunia Barat. Kaum pembaru dalam dunia Islam berusaha melakukan pembaruan dengan menerapkan nilai-nilai Barat atau dengan menggali dan mengkaji ulang ajaran-ajaran Islam ataupun dengan memadu kedua unsur-unsur tersebut. Gerakan pembaruan ini berdampak antara lain dalam kehidupan politik. Kerajaan Turki Usmani yang dipandang sebagai khilafah dan pemerintahan Islam sedunia tidak dapat mempertahankan eksistensinya, ia dibubarkan pada bulan Maret 1924 setelah pembentukan Negara nasional sekuler Republik Turki tanggal 29 Oktober 1923. Dengan demikian institusi yang dipandang sebagai lambang supremasi politik Islam telah lenyap.22 Dalam Kitab Ihyā„ „Ulum ad-Dīn, al-Ghazālī berpesan: Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan, dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi, ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah lah tempat meminta segala hal23 Sebelum mereview kepemimpinan dalam sistem demokrasi, kita bahas dulu sejarah dan konsep demokrasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) demokrasi adalah bentuk ataupun sistem pemerintahan dimana seluruh rakyatnya turut memerintah melalui perantara wakil rakyat. Segala gagasan ataupun pandangan yang menomorsatukan persamaan hak serta kewajiban adalah prioritas penting dari demokrasi itu sendiri.24 Sistem Demokrasi dikenal sejak zaman Yunani kuno abad 6 s/d 1 SM. Sistem demokrasi yang berlaku pada waktu itu adalah demokrasi langsung dengan suatu majelis yang terdiri atas 5000-6000 orang. Istilah demokrasi juga berasal dari bahasa Yunani, vaitu demos yang artinya rakyat, dan kratos yang artinya pemerintahan. Sayangnya yang dianggap rakyat pada jaman Yunani kuno (Athena) berbeda dengan apa yang mungkin kita pahami sekarang ini. Pada waktu itu demokrasi hanya berlaku 21 Bettany-Saltikov, J. (2012).How to do a systematic literature review in nursing: a step-by-step guide. McGraw-Hill Education (UK). 22 Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1975. 23 Al-Ghazali, Ihyā„, II, hlm. 381. 24 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1988.
National Proceeding on the Islamic Studies 47 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH bagi orang laki-laki kota yang resmi dan lahir secara bebas, sedangkan budak, wanita, pedagang asing, dan pendatang tidak diikutkan.25 Setiap orang kota resmi mempunyai hak yang sama untuk mengambil bagian secara pribadi dalam diskusi-diskusi dan pemberian suara di lembaga perwakilan yang membahas masalah-masalah hukum, dan berbagai kebijakan yang menyangkut kehidupan komunitas. Mereka juga memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam menjalankan hukum-hukum serta kebijakan-kebijakan itu melalui pelayanan yuridis dan keanggotaan lembaga pemerintah. Sejak itu kualifikasi kekayaan sebagai syarat untuk menduduki jabatan publik dihapuskan. Sistem yang berlaku di Athena saat itu dapat dikatakan demokratis dibandingkan sistem lain yang ada pada waktu itu, akan tetapi kelembagaan klasik itu dapat dikatakan kurang demokratis, karena hak suara masih dibatasi. Gagasan demokrasi itu sempat hilang dan muncul kembali Pada tahun 1215 dalam peristiwa Magna Charta. Demokrasi modern muncul di Daratan Eropa setelah Zaman Renaissanse antara tahun 1350-1600. Pada tahun 1700-an muncul teori trias politika. kemudian muncul pula kebenaran umum, bahwa sesungguhnya hak politik manusia yang meliputi hak hidup, hak kebebasan,hak milik {life, liberty, and property). Pada tanggal 4 Juli 1776 kemerdekaan Amerika Serikat (AS) dideklarasikan, sejak itu pula dinobatkan dirinya sebagai Champion of democracy (juara demokrasi) dan guardian of democracy (pengawal demokrasi). Sejak itu pula AS mendengungkan tekadnya untuk menegakkan pelaksanaan demokrasi di seluruh dunia.26 Tekad tersebut dipertegas dengan dikeluarkannya Doktrin Carter (1980) yang berusaha mengaitkan masalah penegakan hak asasi manusia dalam kebijakan luar negeri AS terhadap negara lain. AS bahkan tidak segan-segan menjatuhkan sangsi politik, ekonomi, maupun militer kepada negara-negara yang dianggap tidak menghormati hak-hak manusia (Jatmika, 2000:1). Beberapa tindakan yang telah diambil AS terhadap negara-negara atau kelompok yang dianggap tidak-demokratis antara lain: kelompok Sandinista (Nicaragua), Jenderal Noreiga (Panama), Khmer Merah (Kamboja), Khadafi (Lybia) Iran (-1980). Irak (1991 dan 2003), Indonesia (1997) yang melarang pengusaha dari negara bagian Massachusets berdagang dengan Indonesia dalam bentuk undang-undang di House a/Representative dan lainlain.27 Barulah pada abad XIX muncul gagasan demokrasi dalam wujud yang konkrit sebagai program dan sistem politik berdasarkan azas kemerdekaan individu. Pada abab ke-20, bentuk penyelenggaraan demokrasi berubah dari pola klasik (urusan kepentingan politik bersama) menjadi pola negara kesejahteraan, di mana negara dianggap bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat dengan cara berupaya secara aktif meningkatkan taraf hidup warga negaranya (Beetham & Boyle, 1995: 25-27; Syarbaini, 2002: 90). Samuel P. Huntington dalam bukunya yang berjudul “Tle Third Ware: Democratization in The Late Twentieth Century” menyebut masa 1974-1990-an adalah sebagai gelombang demokrasi ketiga. Pada masa ini gelombang demokrasi 25 Huntington, Samuel P, 1991, Gelombang Demokrasi Ketiga, Jakarta Grafiti 26 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1988. 27 Budiarjo, Miriam, 1992, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta Gramedia.
48 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH berhembus ke seluruh dunia dalam bentuk transisi politik yang dialami sekitar tiga puluh negeri dari sistem politik nondemokratis ke sistem demokratis. Konsepsi model kepemimpinan demokrasi mensyaratkan adanya sirkulasi kepemimpinan. Setiap orang memiliki peluang yang sama untuk menjadi pemimpin. Dalam konsepsi kepemimpinan demokrasi, logika yang dipakai sebagian besar adalah pengetahuan dan keluasaan wawasan, dan bukan berdasarkan trah dan hubungan kekeluargaan. Konsepsi dan logika kepemimpinan di era demokrasi Indonesia sekarang mungkin sangat beragam. Hal ini disebabkan konstruksi pemikiran (logika) tentang pemimpin yang dibangun selama ini juga bervariasi antara satu dengan lainnya. Hal tersebut juga tidak terlepas dari pengaruh budaya dari masyarakat atas model kepemimpinan yang mereka pandang. Model kepemimpinan masyarakat Jawa berbeda dengan model kepemimpin masyarakat Sumatera, juga berbeda dengan model kepemimpin masyarakat di daerah lainnya. Di Jawa, misalnya, mereka menganggap kepemimpinan merupakan proses yang sakral dan tunggal. Karena itu, model yang dibentuk lebih didasarkan pada trah dan hubungan keluarga. Anggapan bahwa pemimpin dilahirkan oleh keluarga pemimpin tetap mendominasi ranah berpikir masyarakat. Konsepsi seperti demikian bisa kita lihat dalam model kepemimpinan yang dijalankan mantan Presiden Suharto beberapa tahun yang lalu.28 Kecenderungan masyarakat Indonesia masih menganggap persoalan kepemimpinan merupakan ranah yang hanya bisa dimasuki oleh sebagian kecil orang. Dalam kepercayaannya, mereka merupakan orang-orang pilihan dari Sang Maha Pencipta, dan dilahirkan untuk menjadi seorang pemimpin dalam masyarakat. Persoalan simbolisasi juga merupakan satu hal yang penting bagi kepercayaan yang dianut masyarakat. Simbol-simbol yang dibawa oleh seorang pemimpin sangat berbeda dengan simbol yang dibawa masyarakat awam. Kepemimpinan dalam Sistem Kerajaan Monarki atau sistem pemerintahan kerajaan berasal dari bahasa Yunani monos (μονος) yang berarti satu, dan archein (αρχειν) yang berarti pemerintah. Monarki merupakan sejenis pemerintahan yang dipimpin oleh seorang penguasa monarki. Monarki adalah sistem tertua di dunia. Pada awal kurun ke-19, terdapat lebih 900 tahta kerajaan di dunia, tetapi menurun menjadi 240 dalam abad ke-20. Sedangkan pada dekade kedelapan abad ke-20, hanya 40 takhta saja yang masih ada. Dari jumlah tersebut, hanya empat negara mempunyai penguasa monarki yang mutlak dan selebihnya terbatas kepada sistem konstitusi. 29 Perbedaan di antara penguasa monarki dengan presiden sebagai kepala negara adalah penguasa monarki menjadi kepala negara sepanjang hayatnya, sedangkan presiden biasanya memegang jabatan ini untuk jangka waktu tertentu. Namun dalam negara-negara federasi seperti Malaysia, penguasa monarki atau Yang dipertuan Agung hanya berkuasa selama lima tahun dan akan digantikan dengan penguasa monarki dari negeri lain dalam persekutuan. Pada zaman sekarang, konsep monarki mutlak hampir tidak ada lagi dan kebanyakannya adalah monarki 28 Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas “Kepemimpinan” 29 H. Munawir Sjadzali,; Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, Pemikiran, Jakarta;1993,UIPerss
National Proceeding on the Islamic Studies 49 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH konstitusional, yaitu penguasa monarki yang dibatasi kekuasaannya oleh konstitusi.30 Monarki demokratis berbeda dengan konsep penguasa monarki yang sebenarnya. Pada kebiasaannya penguasa monarki itu akan mewarisi tahtanya. Tetapi dalam sistem monarki demokratis, tahta penguasa monarki akan bergilir-gilir di kalangan beberapa sultan. Malaysia misalnya, mengamalkan kedua sistem yaitu kerajaan konstitusional serta monarki demokratis. Bagi kebanyakan negara, penguasa monarki merupakan simbol kesinambungan serta kedaulatan negara tersebut. Selain itu, penguasa monarki biasanya ketua agama serta panglima besar angkatan bersenjata sebuah negara. Contohnya di Malaysia, Yang Dipertuan Agung merupakan ketua agama Islam, sedangkan di Britania Raya dan negara di bawah naungannya, Ratu Elizabeth II adalah Gubernur Agung Gereja Inggris. Meskipun demikian, pada masa sekarang ini biasanya peran sebagai ketua agama tersebut adalah bersifat simbolis saja. Selain penguasa monarki, terdapat beberapa jenis kepala pemerintahan yang mempunyai bidang kekuasaan yang lebih luas seperti Maharaja dan Khalifah. Kepemimpinan dalam Sistem Khilafah Di antara ulama Muslim yang memiliki konsep pemerintahan yang menarik untuk diteliti adalah al-Mawardi. Ia adalah tokoh Muslim yang terkenal, tidak hanya di dunia Islam, melainkan juga di Barat. Al-Mawardi tercatat sebagai ahli diplomasi yang dapat menjembatani Dinasti Abbasiyah dan orang-orang Buwaihi31 Al-Mawardi berusaha mengompromikan realitas politik dengan idealitas politik seperti disyariatkan oleh agama, dan menjadikan agama sebagai alat justifikasi kepantasan dan kepatutan politik. Ia menegaskan bahwa kepemimpinan negara (khilâfah atau imâmah) merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia. Dalam pengelolaan negara, al-Mawardi lebih mengutamakan pendekatan institusional (kelembagaan), yaitu dengan memaksimalkan fungsi kelembagaan dan memantapkan struktur negara. Gagasan ketatanegaraan al-Mawardi sangat menarik, yang sekarang dipakai oleh masyarakat modern adalah teori kontrak sosial, yaitu hubungan antara Ahl al-Ikhtiyâr dan Ahl al-Imâmah32. Mustafa al-Maraghi, mengatakan khalifah adalah wakil Tuhan di muka bumi (khalifah fil ardli). Rasyid Ridla al-Manar, menyatakan khalifah adalah sosok manusia yang dibekali kelebihan akal, pikiran dan pengetahuan untuk mengatur. Istilah atau perkataan khalifah ini, mulai popular digunakan setelah Rasulullah saw wafat. Dalam istilah yang lain, kepemimpinan juga terkandung dalam pengertian “Imam”, yang berarti pemuka agama dan pemimpin spritual yang diteladani dan dilaksanakan fatwanya. Ada juga istilah “amir”, pemimpin yang memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk mengatur masyarakat.33 Dikenal pula istilah “ulil amir” (jamaknya umara) yang disebutkan dalam surat al-Nisa ayat 59, yang bermakna penguasa, pemerintah, ulama, cendekiawan, pemimpin atau tokoh masyarakat yang 30 Harun Nasution dan Azyumardi Azra, Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta : Yayasan Obor, 1985. 31 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1990), 58 32 Diana, R. (2017). Al-Mawardi dan Konsep Kenegaraan dalam Islam. TSAQAFAH, 13(1), 157-176. 33 Aunur Rohim Fakih, dk,.1, Kepemimpinan Islam, UII Press, Yogyakarta: 2001
50 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH menjadi tumpuan umat. Dikenal pula istilah wali yang disebutkan dalam surat alMaidah ayat 55. Dalam hadis Nabi dikenal istilah ra’in yang juga diartikan pengelolaan dan pemimpin. Istilah-istilah tersebut, memberi pengertian bahwa kepemimpinan adalah kegiatan menuntun, memandu dan menunjukkan jalan menuju tujuan yang diridhai Allah. Istilah khalifah dan “amir” dalam kontek bahasa Indonesia disebut pemimpin yang selalu berkonotasi pemimpin formal. Apabila, kita merujuk dan mencermati firman Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat 30, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku akan menciptakan khalifah di bumi. “Meraka bertanya (keheranan), Mengapa Engkau akan menciptakan makhluk yang akan selalu menimbulkan kerusakan dan pertimpahan darah, sementara kami senantiasa bertasbih memuji dan menyucikan Engkau?” Allah berfirman, “Aku Mahatahu segala hal yang tidak kemau ketahui”. Dalam pengertian ini dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan Islam secara mutlak bersumber dari Allah swt yang telah menjadikan manusia sebagai khalifah fil ardli. Maka dalam kaitan ini, dimensi kontrol tidak terbatas pada interaksi antara yang memimpin (umara) dengan yang dipimpin (umat), tetapi baik pemimpin maupun rakyat (umat) yang dipimpin harus sama-sama mempertanggungjawabkan amanah yang diembannya sebagai seorang khalifah Allah , secara komprehensi. Dalam sejarah kehidupan manusia sangat banyak pengalaman kepemimpinan yang dapat dipelajarinya. Dalam Hadis Nabi, “setiap kamu adalah pemimpin” dan terlihat dalam pengalaman sehari-hari manusia telah melakukan unsur-unsur kepemimpinan seperti “mempengaruhi, mengajak, memotivasi dan mengkoordinasi” sesama mereka. Pengalaman itu perlu dianalisis untuk mendapatkan pelajaran yang berharga dalam mewujudkan kepemimpinan yang efektif. “Untuk memahami kepemimpinan secara empiris, perlu dipahami terlebih dahulu tinjauan segi terminolgi-nya. Sacara etomologi [asal kata] menurut kamus besar Bahasa Indonesia, berasal dari kata “pimpin” dengan mendapat awalan “me” yang berarti menuntun, menunjukkan jalan dan membimbing. Perkataan lain yang disamakan artinya yaitu mengetuai, mengepalai, memandu dan melatih dan dalam bentuk kegiatan, maka si pelaku disebut “pemimpin”. Maka dengan kata lain, pemimpin adalah orang yang memimpin, mengetuai atau mengepalai. Kemudian berkembang pula istilah “kepemimpinan” (dengan tambahan awalan ke) yang menunjukkan pada aspek kepemimpinan”. MODEL PEMIMPIN YANG IDEAL Pemimpin yang Ideal Menurut Pandangan Dunia Barat Kepemimpinan menurut pakar dunia barat, melibatkan tiga unsur utama, yaitu melaksanakan tugas, membangun dan menjaga kelompok kerja, serta mengembangkan individu (Thomas, 2006). Leaders are people who do the right things, managers are people who do things right (Thomas, 2006). Pemimpin adalah mereka yang melakukan hal yang benar (efektif), sedangkan para manajer adalah mereka yang melakukan sesuatu/segalanya dengan benar (efisien). Jumlah manajer bisa banyak, namun hanya sebagian dari mereka yang dianggap sebagai pemimpin.34 34 E.I.J. Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam, London : Cambridge University Press, 1962.
National Proceeding on the Islamic Studies 51 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH Bennis (Thomas, 2006) mengatakan bahwa sosok pemimpin adalah orang yang memiliki kemampuan berikut: mampu menciptakan visi yang inspiratif, seorang komunikator yang unggul, sadar dengan tantangan yang harus dihadapi, akrab dengan konfrontasi-perubahan-perbedaan, mampu menyeimbangan pandangan jangka panjang-jangka pendek, serta menjadi contoh langsung tentang integritas. Goldman (Thomas, 2006) menyebutkan lima unsur utama kecerdasan emosional setiap pemimpin, yaitu: kesadaran diri, pengaturan diri, motivas, empati, serta keterampilan sosial. Kepemimpinan merupakan sebuah proses untuk mengarahkan, memimpin, dan mempengaruhi orang lain dalam suatu organisasi untuk pemilihan dan pencapaian tujuan bersama (Thaib, 2012). Kepemimpinan yang efektif ditunjukkan oleh upaya integrasi dan maksimasi sumber daya internal yang dimiliki yang dikaitkan dengan perkembangan lingkungan eksternal demi pencapaian tujuan organisasi dan sosial. Pemimpin entrepreneurial berfokus pada penciptaan produk (barang atau jasa) yang inovatif dan bernilai tinggi (value), menjadi lebih baik sekaligus unik (berbeda). Perkembangan teori kepemimpinan dapat diruntut dari awal keberadan manusia, hingga periode terakhir saat ini, dan akan terus berkembang. Kepemimpinan yang ideal diartikan sebagai kemampuan seseorang yang terbukti nyata dalam sikap, kata, dan tindakan saat dia memimpin orang lain pada suatu organisasi, sehingga dia mendapatkan rasa hormat (respect), pengakuan (recognition), kepercayaan (trust), kepatuhan (obedience), dan kesetiaan (loyalty) dalam upaya bersama mencapai cita-cita yang diharapkan oleh semua anggota organisasi. Kepemimpinan inspirational dicirikan dengan sikap pemimpin yang menggunakan ‘HATI’ dalam aktivitasnya. Pemimpin sejati merupakan seorang pemberi semangat, pembangkit motivasi, penyubur isnpirasi, serta maksimasi manfaat, bukan berharap pujian atau penghormatan (kultus individu). Kepemimpinan bukan milik pucuk pimpinan suatu organisasi, namun bisa muncul pada setiap strata organisasi pada setiap orang (Bass dan Riggio, 2006). Kepemimpinan transformasional dicirikan oleh empat aspek, yaitu: (1) pengaruh idealisme – melakukan hal yang benar, menetapkan standar etika dan moral yang tinggi, (2) motivasi inspirasional – visi dan misi yang membangkitkan motivasi orang lain, (3) stimulasi intelektual – membangkitkan kemampuan memecahkan persoalan dari banyak sudut pandang yang berbeda, dan (4) konsiderasi individual – menerima perbedaan antar individu untuk menghasilkan sinergi yang terbaik. Model Pemimpin yang Ideal Menurut Pandangan Dunia Islam Tidak diragukan lagi bahwa Muhammad Rasulullah Saw adalah sosok manusia yang paling ideal, sempurna dalam segala hal. Beliau bukan hanya seorang nabi dan rasul pilihan, juga sebagai kepala rumah tangga yang harmonis bagi keluarga-keluarganya, sahabat yang baik bagi sesamanya, guru yang berhasil bagi murid-muridnya, teladan bagi ummatnya, panglima yang berwibawa bagi prajuritnya dan pemimpin yang besar bagi kaumnya.35 Segala akhlak mulia ada padanya, sehingga Allah sebagai Pencipta pun memujinya, Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. “Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2209900-sejarah-kepemimpinan-dalamislam/#ixzz1qOgYF9NG
52 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. Keberhasilan beliau sebagai Pemimpin, dilandasi sifat-sifat dan atau kriteriakriteria pemimpin yang ideal: 1) Bertaqwa kepada Allah Swt; Sebagai syarat muthlak sebagai pemimpin. yang telah menjadi karakter kepribadiannya. 2) Amanah Artinya jujur, tidak pernah berdusta, menepati janji, berani mengatakan yang haq, bertindak adil dan profesional. Sifat ini harus menetap pada seseorang jauh sebelum dia menjadi pemimpin. Sebagaimana diungkapkan dalam hadits: نفسي والذي ، له أمانة ال لمن إيمان ال " : وسلم عليه هللا صلى - هللا رسول قال : قال أمامة أبي وعن الطبراني رواه . " تؤمنوا حتى الجنة تدخلوا ال بيده 3) Shiddiq Membenarkan dan meyakini apa saja yang diwahyukan Allah kepada RasulNya sekalipun tidak dapat difahami oleh akal. Tokoh pemimpin berkarakter ini, adalah Abu Bakar Ashiddiq. Seorang Shidiq sanggup berkata jujur, berani menyampaikan al-haq dengan segala resikonya, walaupun ia harus terusir dari negerinya. Sabda Rasulullah Saw: صديقا هللا عند كتب ودينه نفسه على الفتنة مخافة أرض إلى أرض من بدينه فر من" الدرداء أبي عن .يضع مجاشع فيه "شهيدا ـ وجل عز ـ هللا قبضه مات فإذا 4) Fathonah Artinya pintar, cerdas, cermat, cepat mengambil keputusan, tepat menentukan tindakan, mampu membaca keadaan, dan memahami segala permasalahan. 5) Tabligh Artinya menyampaikan, Pemimpin sebagai informan tentang segala sesuatu yang penting diketahui oleh umat. Khususnya mengenai pesan-pesan agama. 6) Tegas dan Teguh Pendirian Dalam urusan tauhid dan al-Haq dari Allah seorang pemimpin tidak boleh lemah dan ragu. Rasulullah selalu tegas dalam membela agama Islam, tidak tergoda dengan rayuan dan sogokan. Hai nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. tempat mereka adalah Jahannam dan itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali[10]. 1) Lemah Lembut 2) Rasululloh Saw terkenal dengan sifatnya yang peramah, bukan pemarah, halus tutur katanya, tidak menyinggung perasaan orang lain. Allah mengabadikannya dalam Q.S Al-Fath: Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. 3) Pemaaf Manusia tidak terlepas dari kesalahan dan dosa, apalagi prajurit, staf atau rakyat biasa, karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan. Rasulullah sangat pemaaf walaupun kesalahan sebagian sahabatsahabatnya sangat fatal yang mengakibatkan kaum Muslimin kalah perang di Uhud, dengan besar hati beliau memaafkan sahabatnya dan memohon ampunan bagi mereka.
National Proceeding on the Islamic Studies 53 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH 4) Senang bermusyawarah Musyawarah bukan untuk memaksakan kehendak, menolak usulan, otoriter dan merasa benar sendiri. 5) Bertawakal kepada Allah Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orangorang yang bertawakkal kepada-Nya. Tawakal artinya menyerahkan segala urusan kepada Allah setelah bersungguh-sungguh menyusun rencana yang dianggap matang. 6) Adil 7) Sabar 8) Bertanggung jawab KESIMPULAN Kepemimpinan adalah masalah sosial yang di dalamnya terjadi interaksi antara pihak yang memimpin dengan pihak yang dipimpin untuk mencapai tujuan bersama, baik dengan cara mempengaruhi, membujuk, memotivasi dan mengkoordinasi. Dikarenakan kepemimpinan adalah masalah social maka elemen yang terlibat didalamnya sangatlah banyak dan luas. Apalagi jika kepemimpinan ini dijabarkan lebih dalam lagi dari hanya sekedar beberapa system dan model saja yang penulis kemukakan dalam makalah ini. Al-Qur’an dan sunnah pun sudah banyak memberikan tuntunan tentang kepemimpinan yang didalamnya tidak jarang disebutkan tipe-tipe pemimpin, otoritasnya sebagai pemimpin namun juga tanggung jawabnya kelak di hadapan Sang Khaliq. Apapun, tanggung jawab seorang pemimpin adalah tanggung jawab dunia akhirat, sebab terpilihnya seseorang menjadi pemimpin bukanlah hal yang dapat direkayasa tetapi ada “campur tangan” Tuhan yang ikut bermain disana. Munculnya sang leader merupakan “garis tangan” yang menang seperti sudah digariskan oleh sang pencipta, oleh karenanya kelak Allah SWT yang akan meminta pertanggung jawabannya langsung. Apakah dia sudah menjalankan kewajibannya dengan penuh dedikasi dan tanggung jawab atau hanya sekedar memenuhi kewajiban saja tanpa tanggung jawab yang nyata. Wallahu a’lam. DAFTAR PUSTAKA Abu al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim bin Abi Bakar Ahmad al-Syahratsani, al Milal wa al-Nihal, Mesir : Mushtafa al-Babi wa Auladuh, Cet. I, 1387 H. Abu al-A`la al-Maududi, Abu Hanifah and Abu Yusuf dalam M.M. Sharif (ed.) A. History of Muslim Phylosophy, Wies Baden : Otto Harrassowits, Cet. I, 1963. Abu Abdillah Muhammad Idris al-Syafi`i, al-Umm, Beirut : Dar al-Fikr, Cet. I, 1403 H/1983 M. Al-Syafi`i, al-Fiqh al-Akbar dalam Abu Hanifah al-Nu`man al-Fiqh al-Akbar, Mishr : al- `Amirah al-Syarqiyah, 1324 H. Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya `Ulum al-Din, al-Qahirah : Muassasah al-Halabi wa Syarikah, Cet. I, 1387 H/1967 M. Abi al-Husain Ahmad Ibn Faris Zakariyya, Mu`jam Maqayis al-Lughah, Juz II, t.tp., : Dar al-Fikr, 1979. Abd Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur`an, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994.
54 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH Al-Raghib al-Ashfahani, Mufradat Alfadz al-Qur`an, Damsyiq : Dar al-Qalam, 1992. Abu Ja`far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami` al-Bayan al-Ta`wil fi Tafsir al Qur`an, Mishr : Mushtafa al-Bab al-Halabi wa Auladuh, Cet. VII, 1373 H/1954 M. Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, al-Jami` li Ahkam al-Qur`an, Mishr : Dar al-Katib al-Arabi, Cet. I, 1967. Abd al-Jabbar bin Ahmad, Syarh al-Ushul al-Khamsah, al-Qahirah : Maktabah alWahdah, 1965. Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu`i, yang diterjemahkan oleh Suryan A. Jamrah dalam Metode Tafsir Maudhu`i Suatu Pengantar, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996. B. Jowett and T. Twinning, Ariestotele`s Politics and Poetics, New York : The Viking Press, 1957. E.I.J. Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam, London : Cambridge University Press, 1962. Harun Nasution dan Azyumardi Azra, Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta : Yayasan Obor, 1985. Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang, 1975. Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, Jakarta : Gramedia, 1983. Muhammad Imarah, al-`A`mal al-Kamilah li Jamal al-Din al-Afghani, t.tp. : Dar al-Katib al-`Arabi, t.t. J.L. Davies & D.J. Vaughan, The Republic of Plato, London : Macmillan and co. Limited, 1950. M. Sirojuddin Syamsuddin, “Pemikiran Politik” (Aspek yang Terlupakan dalam Sistem Pemerintahan Islam), dalam Refleksi Pembaharuan Islam, Jakarta : LSAF, 1989. Mahmud bin Umar al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf an Haqaiq al-Tanzil wa Uyun alAqawil fi Wujuh al-Ta`wil, Mishr : Mushtafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, Cet. I, 1972. M. Quraish Shihab, Metode Penyusunan Tafsir yang Berorientasi pada Sastra, Budaya dan Kemasyarakatan, Ujung Pandang : IAIN Alauddin, 1984. Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur`an al-Hakim, Mishr : Maktabat al-Qahirah, t.t., Cet. II. Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu`jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur`an al-Karim, Beirut : Dar al-Fikr, Cet. IV, 1997 M/1418 H, hal. 303-306. Nizayi Berkes, The Development of Secularism in Turkey, Montrel : Mc Gill University Press, 1964. Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur`an, Jilid I, Kairo : Dar al-Syuruq, Cet. XVIII, 1412 H/1992 M. Thomas W. Arnold, The Caliphate, London : Routledge & Kegan Paul Ltd., 1967. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1988. Wayne S. Vucinich, The Ottoman Empire, Its Record and Legacy, Toronto : D. Van Nostron Co. Inc., 1955. Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas “Kepemimpinan” Budiarjo, Miriam, 1992, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta Gramedia. Huntington, Samuel P, 1991, Gelombang Demokrasi Ketiga, Jakarta Grafiti
National Proceeding on the Islamic Studies 55 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH G.Munawir Sjadzali, M.A; 1993; Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, Pemikiran; Jakarta ; UI-Perss Suryadi, 2010. Kepemimpinan, Putra Media Nusantara, Surabaya http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2209900-sejarah-kepemimpinandalam-islam/#ixzz1qOgYF9NG http://nuruz-zaman.blogspot.com/2011/02/rasulullah-sang-pemimpin-ideal1.html Bambale, Abdu Ja’afaru, et all, 2011. Stimulating Organizational Citizenship ehavior (OCB) Research For Theory Development: Exploration of Leadership Paradigms. International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences August (2011), Vol. 1, Special Issue Aunur Rohim Fakih, dk., 2001, Kepemimpinan Islam, UII Press, Yogyakarta
56 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH
National Proceeding on the Islamic Studie 57 KONSEP NASKH DALAM KITAB TAFSIR AYAT AL AHKAM SYEH MUHAMMAD ALI ASHABUNI DAN TAFSIR AL MISBAH QURAISH SHIHAB Ali Ma’ruf Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung Email: [email protected] Article History: Received:06-12-2022 Revised:12-12-2022 Accepted:22-12-2022 Keyword: Tafsir Ayat Ahkam Syech Muhammad Ali Ash Shabuni; Tafsir Al Misbah Karya Quraish Shihab. Abstrak: Sumber penafsiran dalam kitab tafsir Al Misbah masih menggambarkan tentang Nasakh secara umum. Penelitian ini bertujuan untuk mengkorelasi karakteristik, persamaan dan perbedaan Naskh dalam kitab tafsir Ayat Ahkam Syech Muhammad Ali Ash Shabuni dan Tafsir Al Misbah Karya Quraish Shihab. Penelitian dilakukan menggunakan metode kepustakaan (Library Research) dengan pendekatan tematik (Muqorin) yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara rnembandingkan. Sumber data menggunakan literature buku-buku, kitab-kitab Tafsir, kitab-kitab tarikh (sejarah) dan jurnal ilmiah. Teknik pengumpulan data menggunakan metode deduktif. Hasil penelitian menunjukan bahwa karakteristik Naskh dalam kitab tafsir Ayat Ahkam Syech Muhammad Ali Ash Shabuni dan Tafsir Al Misbah Karya Quraish Shihab terdapat dalam Q.S Al-Baqarah:106, Al-A’raf:154, Al-Hajj:52, dan Jatsiyah:29. Persamaan nasakh sendiri sama-sama membatalkan hukum syara’ yang terdahulu mengganti dengan hukum yang datang berikutnya, untuk kemaslahatan dan kondisi yang terjadi pada masa berikutnya dan tidak mengurangi nilai hukum tersebut. Perbedaan nasakh hanyalah dalam bidang hukum, bukan menyangkut informasi Al Qur’an. Ini menunjukan bahwa konsep naskh dalam al-Qur’an merupakan tema yang sangat luas. Namun di sisi lain, Al Qur’an, disamping dibaca juga diketahui hukum yang ada di dalamnya serta untuk diamalkan. Sedemikian itu, pembatalan di bidang hukum ada tetapi hanya meringankan saja dan memberikan maslahat dengan yang digantikan atau menghapus hukum setelah ditetapkan, menjelaskan batas masa ibadah, dan mencabut suatu ibadah yang sebelumnya berlaku. PENDAHULUAN Al-Qur’ān adalah kitab suci yang turun untuk menjadi petunjuk kehidupan bagi umat Islam dengan sifatsālih li kull zamān wa makān. Al-qur’an menjadi kajian tafsir seiring berkembangnya zaman(Kurnia, 2019).Tafsir sendiri mengalami perkembangan dan selalu dipengaruhi oleh dinamika kehidupan dan peradaban manusia(Ruslan, 2022). Tafsir ayat al-qur’an dalam studi keislaman yang marak dibincangkan ialah kedudukan nasakh(Albar, Sartika, & Kamal, 2020). Nasakh sebagai sebuah konsep dalam menggali hukum baru, pertanyaan ini menggiring ke arah pemikiran sejumlah besar ulama, terutama ulama ushul fiqh ke National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH
58 National Proceeding on the Islamic Studies dalam perbedaan pendapat (Nurmansyah, 2021).Fenomena nasakh adalah bukti dialektika hubungan antara wahyu dan realitas (Fawaid, 2019). Naskh muncul dikarenakan adanya ayat-ayat yang dianggap bertentangan (kontradiktif) dan tidak bisa dikompromikan lagi dengan metode-metode yang telah ada, di antaranya adalah takhṣiṣ al-‘ām, taqyīd almuṭlaq. tabyīn al-mujmal dan lain-lain, sehingga solusinya adalah dengan adanya teori naskh ini (Gusmian, 2015). Dogma nasakh memicu kritik bahwa ayat-ayat yang di-naskh yang disebutkan dalam Surah al-Baqarah ayat 106 adalah ayat-ayat dari kitab-kitab suci sebelumnya. Jika kembali pada keadaan yang memunculkan konsep nasakh, ayat tersebut berada pada konteks keyakinan Ahli Kitab (Fuji, 2018). Penelitian tentang Nasakh tafsir ayat al-qur’an telah dilakukan oleh peneliti terdahulu, diantaranya: (Suma, 2016) memiliki pandangan terhadap penelitian tafsir ahkam ayat-ayat ibadah. Selanjutnya, (Nasution & Bukhari, 2019) menegaskan bahwa hukum Islam kontemporer terkandung dalam ayat-ayat Ahkam. Konsep ini sejalan dengan pemikiran (Kasdi, 2014) yang menerjemahkan ayat-ayat Ahkam edisi Indonesia. Selain itu, (Al-Mawardi, 2020) juga memberikan pendapat terkait Al-Ahkam As-Shulthaniyyah hukum-hukum penyelenggaraan syariat islam. Kondisi ini memberikan dampak mengenai keberadaan Tafsir Ayat Ahkam itu sendiri. Bila diidentifikasikan masalah yang muncul dari tema di atas adalah: i) karakteristik tafsir dalam Kitab Tafsir Ayat Al Ahkam Syeh Muhammad Ali Ashabuni dalam kitab tafsir ini sangat jelas dan tegas mendesripsikan sikap Islam dalam kerangka hukum; ii) Latar Belakang Dan Motivasi Sejarah Penulisan Tafsir Ayat Al Ahkam dengan Mengkaji Ayat-Ayat Hukum; iii) Sumber penafsiran dalam kitab tafsir Al Misbah dapat menggambarkan tentang Naskh secara umum dan salah satu cara atau alternatif ketika teks-teks al-Qur’an dan Hadits yang terlihat kontradiktif tersebut tidak bisa lagi dikompromikan dengan metode-metode yang ada, seperti takhsȋs al-‘Ȃm, taqyȋd al-Mutlaq, tabyȋn al-Mujmal, dan lain sebagainya (Yusuf, 2022). Berdasarkan pemaparan di atas penelitian ini bertujuan untuk mengkorelasikan karakteristik, persamaan dan perbedaan Nasakh dalam kitab tafsir Ayat Ahkam Syech Muhammad Ali Ash Shabuni dan Tafsir Al Misbah Karya Quraish Shihab. Hasil Penelitian Hasil Pendapat Syeh Muhammad Ali Ashabuni, pertama Allah Swt. naskh yaitu memberikan yang lebih baik untuk hamba-Nya. Kebaikan meliputi dua hal, yaitu: hukum-hukum yang meringankan bagi umat manusia dan urusan akhirat yang yang lebih memberikan kemaslahatan bagi mereka. Kemudian Ali Ashabuni mengutip pendapat Al Qurtubi yang memberikan ulasannya, segi yang kedua itulah yang lebih utama, karena Alllah Swt. Dengan penjelasan ini, bahwa yang dimaksud “Kebaikan” adalah sesuatu yang lebih maslahat bagi para hamba. Kedua, Allah Swt. berfirman, “Sanuqri’uka fala tansa [kami akan membacakan (Al Qur’an) kepadaMu (Muhammad) Maka Kamu tidak akan lupa (QS. Al- A’la [87]: 6)].” Dengan demikian, Ayat ini bertentangan dengan penafsiran sebelumnya yang telah dikemukan para musafir. Ketiga, firman Allah (QS. Al-Baqarah [02]:106)” yang dimaksud dengan ‘kebaikan’ disi adalah “Keutamaan”, yaitu dalam kemudahan dan keringanan. Tegasnya, semua ayat dalam Al-Qur’an merupakan mukjizat dan semuanya adalah kalamullah, Tuhan seluruh alam.
National Proceeding on the Islamic Studie 59 Muhammad Ali Ashabun mengungkapkan ada dua macam fenomena yang terdapat nāskh ini. Yaitu; 1) Teks atau ayat al-Qur’an mengalami perubahan melalui nāskh padahal teks sudah ada sejak azali di lauh al- mahfuhz; 2) Pengumpulan alQur’an pada masa khalifah Abu Bakar mengalami problematik, hal ini muncul terkait dengan contoh-contoh yang dikemukakan oleh ulama dapat menimbulkan kesan bahwa sebagian dari bagian-bagian teks sudah terlupakan dari ingatan manusia. Menurut Syeh Muhammad Ali Ashabuni, Hikmah yang terkandung di dalam nasakh adalah karena hukum-hukum syari’at itu ditetapkan bcrdasarkan maslahat manusia. Sedangkan maslahah itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan waktu dan tempat. Jadi, jika terdapat suatu hukum yang telah ditetapkan syari’at pada suatu waktu, berarti hukum tersebut sangat dibutuhkan. Jika suatu ketika hukum tersebut sudah tidak dibutuhkan lagi, dengan sendirinya hukum tersebut sudah habis masa berlakunya. Al-Qur’an sebagai kitab pendidikan terbesar melalui konsep nāsikh mansūkh ini ingin menjelaskan bahwa: a) Sebenarnya Allah ingin mengajarkan kepada manusia dalam menganjurkan atau memberi pelajaran haruslah dilakukan secara bertahap. Sehingga apa yang diajarkan dapat mengena kepada siapa yang diajar itu juga ketika memberi sebuah pemahaman haruslah secara bertahap. b) Bahwa sebuah ilmu pengetahuan itu tidak bisa dikatakan abadi dan benar untuk selamanya, sebab suatu saat ilmu pengetahuan itu akan bisa berubah sesuai dengan perkembangan zaman, nāsikh mansūkh menggambarkan bahwa bisa jadi suatu hukum yang berlaku untuk masa yang akan datang atau dapat terjadi sebaliknya. c) Dengan nāsikh memberikan pengertian bahwa kita harus mencontoh sifat Allah yang sang maha pemurah, sebab ada kalanya Allah mengganti hukum sesuatu yang awalnya berat menjadi lebih ringan ini semua tidak lain kecuali ingin menunjukkan kemurahan Allah SWT. d) Dengan nāsikh kita juga dapat mengambil pelajaran pendidikan bahwa nilai-nilai penghargaan terhadap sesama dengan sifat saling hormat menghormati terhadapat pandangan serta gagasan yang dimiliki oleh masusi baik itu berupa pendapat fikiran, perbuatan serta perkataan kiranya terjadi kontradiktif kita dengan dewasa menyikapi hal-hal seperti itu. Dalam kaitan dengan naskh, Shihab memberikan penjelasan panjang lebar. Naskh mempunyai banyak arti, antara lain membatalkan mengganti, mengubah, menyalin, dan lain-Iain. M. Quraish Shihab, mengatakan: "Adapun jika yang dimaksud dengan naskh adalah "pergantian" seperti yang dikemukakan di atas, maka agaknya di sini terdapat keterlibatan para ahli untuk menentukan pilihannya dari sekian banyak alternatif ayat hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dalam al-Qur’an menyangkut kasus yang dihadapi. Satu pilihan yang didasarkan atas kondisi sosial atau kenyataan objektif masing-masing orang. Ada tiga ayat hukum yang berbeda menyangkut khamr (minuman keras). Ketiganya tidak batal, melainkan berubah sesuai dengan perubahan kondisi. Para ahli dapat memilih salah satu di antaranya, sesuai dengan kondisi yang dihadapinya. Berdasarkan pernyataan di atas, tampaknya M. Quraish Shihab memperbolehkan adanya pergantian hukum (naskh) oleh manusia terhadap
60 National Proceeding on the Islamic Studies kasus yang dihadapinya dengan beralih pada ayat hukum yang dianggap cocok sesuai dengan kasus yang dihadapinya tersebut. Semua ayat al-Quran tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu, karena kondisi yang berbeda. Ayat hukum yang tidak lagi berlaku baginya, tetapi dapat berlaku bagi orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula. Memahami nāskh mansūkh sangatlah penting untuk menggali ajaran dan hukum Islam dalam al-Qur’an untuk mengetahui proses tashri‟ (penetapan dan penerapan hukum) Islam sejalan dinamika kebutuhan masyarakatnya yang selalu berubah, sejauhmana perubahan hukum itu berlaku. Disamping itu untukmenelusuri tujuan ajaran, dan ilat hukum (alasan ditetapkannya suatu hukum), sehingga suatu hukum dan ajarannya boleh diberlakukan secara luas dan ketat sebagaimana hukum asalnya sesuai kondisi yang meliputinya atas dasar tujuan ajaran dan ilat hukum tersebut. kebolehan menggunakan teori nāskh bukan hanya otoritas ulama perintis. Umat Isalam kontemporer juga memiliki hak sama untuk melakukan itu sesuai dengan kebutuhan zamannya. Ia juga menawarkan konsep relevansi nāsikh bahwa nāskh lebih memperhatikan waktu turunnya ayat. Ketika ayat-ayat Madaniyah dinilai berlawanan dengan ayat-ayat Makiyyah, ayat Madaniyah yang datang belakangan yang dipilih dan diberlakukan, sedang ayat Makiyyah menjadi mansukh karenanya. An-Naim merupakan pemikir sangat maju dan berkembang, akan tetapi dalam memahami pemikirannya tidak bisa ditumpukan pada paradigma klasik. Dan ia melakukan perpaduan yang kreatif dengan tantangan permasalahan dan realitas modern. Pemikirannya ini adalah salah satu upaya untuk mewujudkan adagium alIslaam Shaalih likulli zamaan wal makaan. Term nasakh dengan segala derivasinya tertuang sebanyak empat kali dalam Alquran dan salah satunya terdapat pada Q.S. Al-Baqarah[02]: 106. Dalam ayat tersebut term naskh—masdar nun-sin-kha—adalah berkedudukan sebagai fi’il syarat. Term naskh sendiri—dalam bentuk masdar—secara etimologi dipakai dalam beberapa arti, antara lain pembatalan, penghapusan, pengubahan, dan pemindahan dari satu wadah ke wadah lain. Naskh dalam istilah ahli ushul fiqh adalah pembatalan pemberlakuan hukum syar’I dengan dalil yang datang belakangan baik secara terangterangan atau secara kandungannya saja, baik pembatalan secara umum atau pun pembatalan sebagian saja karena suatu kemaslahatan yang mengehendakinya atau naskh adalah dalil susulan yang mengandung penghapusan pemberlakuan dalil yang terdahulu. Pandangan Ibn Katsir ketika menafsirkan Q.S. Al-Baqarah[02]:106, menurutnya term naskh terambil dari istilah naskhal-kitaba yang berarti menyalin dari suatu naskah ke naskah yang lain. Ibn Abbas, Al-Kafi, Ikrimah dan Al-Hasan sepakat bahwa Q.S. Al-Baqarah merupakan bagain dari surat Madinah. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa Q.S. Al-Baqarah[02]:106 merupakan termasuk ke dalam ayat Madaniyah. Sebagai konsekuensinya sebagaimana tanda-tanda secara umum suratsurat Madaniyah adalah bahwa ayat tersebut paling tidak dapat dikatakan
National Proceeding on the Islamic Studie 61 berorientasi kepada hukum, politis, berbicara tentang orang-orang munafiq, dan seruan dakwah. Al-Syafi’i (w.204 H) mendefiniskan naskh dalam arti meninggalkan kefardhuan hukum. Sementara menurut Abu Mansur al-Baghdadi naskh adalah hilangnya hukum dengan berpindahnya dari hukum itu. Sedangkan Ibn Hazm (w. 456 H) mendefnisikan naskh dalam arti yang lebih luas yaitu menghapus hukum setelah ditetapkan, menjelaskan batas masa ibadah, mencabut suatu ibadah yang sebelumnya berlaku. Term nansakh—selanjutnya akan disebut naskh—yang terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah[02]:106 dalam susunan gramatikalnya berada tepat sebelum kata ‘min ayatin’. Meski para mufasir sendiri silang pendapat dalam memaknai kata ‘ayatin’ seperti Muhammad Abduh misalnya, yang berpendapat bahwa kata tersebut tidak dalam arti ayat Alquran, melainkan dalam arti mukjizat, pada dasarnya sepakat bahwa kata naskh dalam ayat tersebut memilki makna menghilangkan atau menggantikan. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa term naskh dengan penanda nun-sin-kha atau dalam Q.S. Al-Baqarah nun-nunsin-kha pada dasarnya merupakan petanda bahwa terdapat sesuatu yang dihilangkan atau yang kemudian dikenal istilah ‘mansukh’. Para mufasir silang pendapat dalam ‘menerjemahkan kata ‘ayatin’ dalam Q.S. AlBaqarah[02]:106 adalah persoalan lain yang tidak dapat dipaksanakan untuk mengubah makna naskh dari segi etimologinya. Persoalan perbedaan dalam menafsirkan kata ‘ayatin’ adakalanya menjurus pada polemik pro dan kontra adanya naskh dalam Alquran atau penghapusan antar ayat dalam Alquran. Kenyataan bahwa kata naskh sendiri menandakan terdapat sesuatu yang digantikan adalah adanya riwayat yang mengatakan bahwa sebab turunya Q.S. Al-Baqarah[02]:106 karena pernah suatu ketika Nabi Saw. lupa dengan terhadap sesuatu yang dikehendaki-Nya. Polemik tentang ‘pemaknaan’ term ‘ayatin’ juga menggiring pada persoalan tentang ayat mana saja yang dinaskh. Al-Nahhas menyebut 213 ayat, Ibn Hazm 214 ayat, dan Al-Suyuti misalnya mengatakan 20 ayat yang telah dimansukh. Sementara sarjana belakangan seperti Al-Dihlawi mengatakan bahwa ayat yang dimansukh 5 ayat. Meniscayakan adanya penghapusan ayat dalam Alquran dalam arti ini adalah persoalan tentang bagaiamana kemudian penerapan ayatayat Alquran yang dikatakan bertentangan dalam konteksnya masingmasing. Meletakkan ayat sesuai dengan konteks sosio-hitorisnya. Nabi Saw. misalnya meskipun pada akhirnya menyampaikan ayat tentang pengharaman khamr, pada ayat-ayat tertentu dijumpai pula bahwa pengharaman khamr bukanlah sesuatu yang secara tibatiba diharamkan. Dengan begitu artinya bahwa fleksibilitas ayat-ayat Alquran menisayakan adanya naskh tidak dalam arti sebagai penghapusan secara total. Jawaban tentang penanda naskh dalam tataran sistem linguistik adalah nun-nun-sinkha (nansakh) dengan arti ‘pembatalan’. Naskh menandai adanya suatu yang kemudian digantikan oleh sesuatu yang lain. Alur dari sistem lingustik naskh tersebut adalah bahwa naskh tidak diartikan sebagai sebuah penghapusan, melainkan adalah sebuah pembatalan. Teks Alquran yang sudah final tidak mungkin dihapus karena dengan begitu berarti menafikkan
62 National Proceeding on the Islamic Studies fungsi dari ayat-ayat tertentu yang telah dianggap mansukh. Pemaknaan tersebut kemudian menandakan bahwa terdapat sesuatu yang digantikan. Hingga pada akhirnya, pada saat yang sama naskh pun kemudain menjadi tanda akan adanya sesuatu yang baru yang baik sesuai dengan koteksnya sebagai pengganti sejalan fleksibilitas fungsi Alquran pada umunya sebagai petunjuk umat manusia. Dalam diskursus Ulumul Quran para ulama sendiri setidaknya membagi naskh intra Quranic ke dalam tiga jenis yakni naskh altilawah wa al-hukm ma’na, naksh al-tilawah duna alhukm, dan naskh al-hukm duna al-tilawah. Naskh adakalanya terjadi pada teks dan hukumnya, adakalanya teksnya saja yang dinaskh sementara hukumnya tidak, dan adakalanya sebaliknya, hukumnya yang dinaskh, sementara teksnya tidak. Contoh kasus naskh jenis yang pertama adalah hadis yang diriwayatkan Aiysah r.a. tentang penjelasan ayat ‘sepuluh susuan’ dan kemudian teks ayat tersebut dihapus oleh ayat ‘lima susuan’. Namun pada akhirnya kedua-keduanya pun dihapus. Contoh naskh jenis kedua adalah tentang kasus rajam. Sementara untuk contoh jenis ketiga adalah ayat tentang khamr. Naskh sendiri dalam pandangan Manna Al-Qattan hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang bermakna amar (perintah) atau nahy (larangan) jika hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan akidah seperti yang berfokus pada Zat Allah, kitab-kitab-Nya serta tidak berkaitan dengan etika atau akhlak. Ali As Sobuni juga menyatakan bahwa jumhurul ulama berpendapat naskh itu hanya khusus menyangkut perintah-perintah dan larangan-larangan, syarat yang disepakati adalah (a) hukum yang di-naskh (mansukh) merupakan hukum syar’i, (b) hukum yang me-naskh (nasikh) pun harus dalil syar’i, (c) dalil nasikh turun belakangan setalah dalil mansukh, dan (d) di antara kedua dalil yang kemudian menjadi mansukh dan nasikh tersebut, terjadi pertentangan hakiki, serta benar-benar tidak bisa dikompromikan. Sementara tata cara naskh sendiri sebagaimana dikatakan Abdulah Saeed dapat terjadi dalam beberapa cara, di antaranya adalah naskh ayat Alquran oleh ayat Alquran yang lain, naskh Alquran oleh hadis, naskh hadis oleh Alquran, naskh hadis oleh hadis. Naskh menjadi penanda bahwa adanya sesuatu yang baru yang lebih baik sesuai dengan konteksnya dengan begitu sebagai petanda dalam tataran mitologinya adalah justru bahwa tidak terdapat pertentangan ayat di dalam Alquran. Meski dalam tataran sistem linguistiknya naskh menandai adanya sesuatu yang digantikan dengan sesuatu yang lain bukan berarti bahwa sesuatu tersebut meski dihilangkan. Baiknya teks maupun hukumnya tetap akan tetap ada dan tetap berlaku. Hanya saja keduanya diterapkan berdasarkan sesuai dengan konteksnya. Atas dasar itulah, naskh dalam tataran makna konotasinya dalam arti sebagai penanda adalah justru tidak ada pertentangan baik dalam bentuk teks maupun hukumnya. Naskh dalam sistem mitologi ditandai dengan sesuatu yang baru dan yang baik dengan menandai tidak adanya ayat yang saling bertentangan. Naskh dengan begitu menjadi tanda dalam sistem mitologi dengan asumsi bahwa tidak ada satu pun ayat yang bertentangan dalam Alquran. Seluruh ayat Alquran merupakan ayatayat pilihan yang pasca wafatnya Nabi Saw. menemui titik finalnya. Terdiri dari ayat yang turun di Mekah dan Madinah. Menjadi petunjuk bagi pengikut Muhammad hingga hari tiba. Lebih
National Proceeding on the Islamic Studie 63 dari 6000 ayat yang terbatas tersebut tidak bisa tidak akan dihadapkan dengan konteks baru, konteks yang tidak sama dengan konteks untuk pertama kalinya ayat Alquran diekspresikan oleh Nabi Saw. dan komunitas Muslim awal. Naskh menjadi tanda dalam sistem ini dengan sejalannya Alquran dengan kontinuitas perjalanan hidup manusia. Dengan kata lain, naskh kini menjadikan Alquran sebagai kitab suci yang shalih li kulli zaman wa makan. Kitab suci yang tidak akan lapuk dimakan masa dan akan tetap berlaku di mana pun juga. Naskh merupakan penanda adanya sesuatu yang baru yang lebih baik sesuai dengan konteksnya dengan begitu disesuaikan dengan ayat-ayat Alquran yang lampau. Ayatayat yang datang belakangan dengan sendirinya kemudian mengikuti kontekskonteks ayat-ayat yang lain sehingga tidak dijumpai lagi pertentangan ayat dalam Alquran. Pada saat yang sama Alquran pun dengan begitu menjadi tanda sebagai kitab suci yang shalih li kulli zaman wa makan. Ayat Alquran diselarakan dengan konteks sosio historis yang menyelimutinya. Memberikan rambu-rambu terhadap persoalan-persoalan tertentu secara universal dengan semangat membawa perubahan terhadap konteks sosio-historis itu sendiri jika dirasa memang perlu untuk direkonstruksi. Dengan cara baca yang demikian kesan utama yang ditinggalkan Al-Quran kepada para pembacanya sebagaimana dikatakan Fazlur Rahamn bukanlah Tuhan yang selalu mengawasi dan menghukum, sebagaimana digambarkan orang Kristen, bukan juga hakim agung yang dibayangkan fuqaha, melainkan suatu kehendak yang terpadu dan terarah yang menciptakan ketertiban di alam semesta: keagungan, kesiagaan, keadilan, serta kebijaksanaan Tuhan yang digambarkan Alquran, adalah simpulan dari keteraturan cipta semesta. Ajaran al-qur’an melalui dasar literatur hukum agama (al-kuttub alfiqhiyyah) yakni jaminan dasar (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi. Maka begitu juga gambaran Tuhan yang Maha Penyayang dan Pengasih akan selaras dengan firman-Nya. Pada QS. Al-A’raf [07] dan Al-Jatsiyah [45] kita dapati kata naskh kemudian memiliki relasi dengan apa yang disebut dengan luh atau Taurat yang diturunkan kepada Musa a.s. Sementara dalam QS. AlJatsiyah[45] kata naskh digandengkan dengan menunjuk pada sebuah kitab dengan kata ganti yang disembunyikan. Dengan demikian, dalam konteks kedua ayat tersebut kata naskh smerujuk pada tradisi Arab dengan apa yang digambarkan dengan istilah naskh alkitab atau sebuah nukilan jika enggan mengatakannya sebagai sebuah catatan. Sementara pada Q.S. Al-Baqarah dan Al-Hajj kata naskh kemudian mengalami perkembangan relasi. Jika dalam surah-surat makkiyah kata naskh memiliki relasi dengan nukilan dan catatan maka dalam kedua surah madaniya tersebut kata naskh terkesan memberikan indikasi sebuah penghapusan terhadap sesuatu. Dalam Q.S. AlBaqarah misalnya kata naskh disejajarkan kata aayatin yang kemudian diterjemahkan dengan ‘dan ayat mana saja yang kami nasakhkan’. Sedangkan dalam Q.S. Al-Hajj dengan melihat objek naskhnya pada QS. Al-Baqarah objek yang dinaskh
64 National Proceeding on the Islamic Studies adalah ‘ayat lain’ sedangkan dalam QS. Al-Hajj objek yang dinaskh adalah apa yang kemudian diterjemahkan sebagai ‘apa yang dimaksukkan (godaan)’. Dengan demikian, pada kedua surat tersebut makna kata naskh setidaknya menunjuk pada sebuah objek yang telah ada sebelumnya seperti kata ‘aayatin’ dan ‘yulqi’. Oleh karena itulah, dari keempat ayat tersebut, beberapa makna relasi kata naskh antara lain catatan “luh-luh” (Taurat) QS. Al-A’raf[07]: 154, “kitab” pada QS. Al-Jatsiyah[45]: 29, “ayat” pada QS. Al-Baqarah 106, menghilangkan godaan setelah “dimasukkan/ menerima” (yulqi) QS. Al-Hajj[23]: 52. Pada makna yang pertama yaitu QS. Al-A’raf dan Al-Jatsiyah sebagai surat yang dikategorikan dalam surat makkiyah makna naskh diartikan sebagai ‘catatan’ dengan objek kitab yang berbeda dengan Al-Quran sendiri. Sementara pada surat QS. AlBaqarah dan Al-Hajj yang notabene merupakan surat madaniyah kata naskh kemudian digunakan dalam arti ‘menghapus atau menggantikan sesuatu’. Pada surat madaniyah kita mendapati objek yang mungkin berbeda dengan yang pertama. Bahwa pada periode madinah objek yang dinaskh merupakan “ayat” atau sesuatu yang memiliki konotasi buruk seperti godaan syaitan. Dengan kata lain adalah bahwa naskh dimaknai sebagai menghapus atau menghilangkan apabila yang menjadi obejk merupakan ayat dalam Al-Quran itu sendiri dan sesuatu yang berkonotasi buruk jika telah menjadi bagian dari sesuatu yang notabene baik. Perlu ditegaskan bahwa dalam konteks perdebatan tentag naskh sendiri tidak lain merupakan interpretasi terhadap kata naskh yang kemudian direlasikan dengan syara’. Term naskh yang berkembang dalam konteks makna syara’ adalah menghapus dan mengganti hukum syara’ dengan hukum lain, atau dengan hukum syara’ yang datang belakangan. Dalam hal ini Imam al-Razi berpendapat naskh diperbolehkan walaupun terdapat perberbedaan pendapat, seperti cara pandang para pengikut agama Muhammad tentang naskh ada yang berpendapat mengingkari dan ada yang berpendapat diperbolehkannya naskh. Gambaran naskh dalam perspektif ayat-ayat Alquran dengan begitu setidaknya dapat tergambarakan. Q.S. Al-Baqarah memang dijadikan dasar naqli mayoritas ulama pendukung adanya naskh dalam Al-Quran. Ulama-ulama yang melopori konsep naskh dalam Alquran sendiri menurut Ahmad Izzan adalah Asy-Syafi’I, AlSuyuti, Al-Nahhas, dan Al-Syaukani. Atas dasar interpretasi Q.S. Al-Baqarah pula konsep naskh kemudian menjadi terus berkembang dan menuai polemik. Seolah upaya-upaya menghadapkan ayat-ayat Alquran tidak menemukan titik temu. Oleh karena itulah konsep naskh kemudian diberlakukan. Pada saat yang sama metodemetode tafsir yang ada juga belum dapat mengakomodir semua permasalahan yang ada. Metode tahlili atau analisis sebagaimana dikatakan M. Quraish Shihab berusaha untuk menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Quran dari berbagai seginya, sesuai dengan pandangan, kecenderungan, dan keinginan mufasirnya yang dihidangkannya secara runtut sesuai dengan perurutan ayat-ayat dalam mushaf. Lanjut, menurutnya, metode ini memiliki beragam jenis hidangan yang ditekankan penafsirnya; ada yang bersifat kebahasaan, hukum, sosial budaya, filsafat/sains dan ilmu pengetahuan, tasawuf, dan lain-lain. Sementara metode ijmali atau global, sesuai dengan namanya metode ini hanya menguraikan makna-makna umum yang dikandung oleh ayat yang ditafsirkan, namun sang penafsir diharapkan dapat menghidangkan makna-makna
National Proceeding on the Islamic Studie 65 dalam bingkai suasana Qurani. Ia tidak perlu menyinggung asbab annuzul atau munasabah, apalagi makna-makna kosakata dan segi-segi keindahan bahasa AlQuran. Adapun dua metode yang secara umum dikenal sebagaimana dikatakan di atas adalah metode muqaran dan metode madhu’i. Hidangan yang tersedia melalui metode muqaran sebagaimana dikatakan M. Quraish Shihab adalah ayat-ayat AlQuran yang berbeda redaksinya satu dengan yang lain, padahal sepintas terlihat bahwa ayatayat tersebut berbicara tentang persoalan yang sama, ayat yang berbeda kandungan informasinya dengan hadis Nabi Saw., serta perbedaan pendapat ulama menyangkut penafsiran ayat yang sama. metode maudhu’i adalah suatu metode yang mengarahkan pandangan kepada satu tema tertentu, lalu mencari pandangan AlQuran tentang tema tersebut dengan jalan menghimpun semua ayat yang membicarakannya, menganalisis, dan semua ayat yang bersifat umum dikaitkan dengan yang khusus, yang Mutlaq digandengkan dengan yang Muqayad, dan lain-lain, sambil memperkaya uraian dengan hadishadis yang berkaitan untuk kemudian disimpulkan dalam satu tulisan pandangan menyeluruh dan tuntas menyangkut tema yang dibahas itu. Meski demikian, harus diakui bahwa metode-metode tafsir yang ada, khususnya metode tahlili dan maudhu’i sebagaimana dikatakan M. Quraish Shihab dan Moqsith Ghazali, memiliki keistimewaan dan keterbatasannya masingmasing. Polemik tentang naskh sendiri dalam beberapa sarjana modern sedikit mendapat tempat, terutama Abdullah Saeed. Dalam karyanya “Interpreting The Quran: Toward a Contemporary Approach” sebagaimana dikatakan Sahiron Syamsuddin, Saeed mencoba menawarkan pendekatan kontekstualis dan metode praktis dalam mengaplikasikan pendekatan tersebut. Pemikiran evolusioner Mahmoud Thaha adalah ide bahwa proses penangguhan nāskh dalam faktanya merupakan suatu penundaan tetapi bukandalam arti yang final dan konklusif. Ketika premis dasar ini diakui, keseluruhannya era baru jurisprudensi dapat dimulai, suatu era yang diikuti dengan perkembangan kebebasan dan kesetaraan penuh bagi umat manusia, tanpa adanya diskriminasi atas jenis kelamin dan agama atau kepercayaan. Sebagimana yang nampak dewasa ini, hukum syari’ah Islam historis telah melakukan diskriminasi atas dasar jenis kelamin dan agama. KESIMPULAN Kesimpulan dari hasil penelitian ini mengkorelasikan bahwa karakteristik Naskh dalam kitab tafsir Ayat Ahkam Syech Muhammad Ali Ash Shabuni dan Tafsir Al Misbah Karya Quraish Shihab terdapat dalam Q.S Al-Baqarah:106, Al-A’raf:154, AlHajj:52, dan Jatsiyah:29. Persamaan nasakh sendiri sama-sama membatalkan hukum syara’ yang terdahulu mengganti dengan hukum yang datang berikutnya, untuk kemaslahatan dan kondisi yang terjadi pada masa berikutnya dan tidak mengurangi nilai hukum tersebut. Perbedaan nasakh hanyalah dalam bidang hukum, bukan menyangkut informasi Al Qur’an. Ini menunjukan bahwa konsep naskh dalam alQur’an merupakan tema yang sangat luas. Namun di sisi lain, Al Qur’an, disamping dibaca juga diketahui hukum yang ada di dalamnya serta untuk diamalkan. Sedemikian itu, pembatalan di bidang hukum ada tetapi hanya meringankan saja dan
66 National Proceeding on the Islamic Studies memberikan maslahat dengan yang digantikan atau menghapus hukum setelah ditetapkan, menjelaskan batas masa ibadah, dan mencabut suatu ibadah yang sebelumnya berlaku. REFERENSI Al-Mawardi, I. (2020). Al-Ahkam As-Shultaniyyah: Hukum-hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar Publisher. Albar, D., Sartika, E., & Kamal, N. A. (2020). Variasi Metode Tafsir Al-Qur’an. Bandung: UIN Sunan Gunung Djati. Fawaid, A. (2019). Filologi Nasakh Tafsir Bi Al-Imla’ Surat Al-Baqarah Karya Kyai Zaini Mun’im. Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dan Hadist. https://doi.org/10.14421/QH.2019.2002-02 Fuji, I. N. (2018). Mitologi Naskh Intra Quranic (Studi Atas Q.S. Al-Baqarah Ayat 106 Aplikasi Teori Semiologi Roland Barthes). Jurnal Studi Al-Qur’an Dan Tafsir Nusantara, 4(2). https://doi.org/https://doi.org/10.32495/nun.v4i2.66 Gusmian, I. (2015). Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika. Jurnal Studi Al-Qur’an Dan Tafsir Nusantara, 1(1). https://doi.org/https://doi.org/10.32459/nun.v1i1.8 Kasdi, A. (2014). Tafsir Ayat-Ayat Ahkam (Edisi Indonesia). Jakarta: Pustaka AlKautsar Publisher. Kurnia, A. M. B. (2019). Metodologi Studi Al-Qur’an dan Hadits Dalam Pendidikan Islam. Jurnal Tarbiyah Syari’ah Islamiyah, 26(2). https://doi.org/https://doi.org/10.29138/tasyri.v26i2.77 Nasution, K. B., & Bukhari. (2019). Hukum Islam Kontemporer (Dari Teori ke Implementasi Ayat-Ayat Hukum). Aceh Utara - Lhokseumawe: Sefa Bumi Persada. Nurmansyah, I. (2021). Tafsir AL-Qur’an (Kajian Kodikologi dan Historis-Periodik Nasakh Tafsir Tujuh Surah dan Ayat As-Siyam Karya Muhammad Basiuni Imran). Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 23(1). Retrieved from https://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/substantia%0D Ruslan. (2022). Kandungan Hukum Islam Dalam Ayat-Ayat Mutasyabihat. Journal of Islamic and Law Studies, 6(1). https://doi.org/http://dx.doi.org/10.18592/jils.v6i1.6829 Suma, M. A. (2016). Tafsir Ahkam Ayat-Ayat Ibadah. Tangerang: Lentera Hati. Yusuf, K. M. (2022). Tafsir Ayat Ahkam: Tafsir Tematik Ayat-Ayat Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. © 2020 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/3.0/).
National Proceeding on the Islamic Studies 67 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH IJTIHAD QIYASI: Dari Al-Shafi’i Hingga Bahtsul Masa’il NU Anas Shafwan Khalid STAI Al Aqidah Al Hasyimiyyah Email: [email protected] Article History: Received:06-12-2022 Revised:12-12-2022 Accepted:22-12-2022 Keyword: Qiyas, ilhaq al-masa’il bi naza’iriha, asl, far’, illat, hikmah. Abstrak: dalam dikursus ushul fiqh, qiyas diposisikan dalam dua peran, yaitu sebagai dalil hukum yang mukhtalaf fihi, sekaligus sebagai dalil aqli yang bersifat metodik. Aritikel ini menitikberatkan pada peran kedua, yaitu melihat qiyas sebagai metode penelitian hukum secara epistemologisfilosofis. Penulis juga menggunakan pendekatan historis, untuk menekankan pada proses pertumbuhan ide-ide. Dinamika teoretik Qiyas dapat diperhatikan pada modifikasi metode tersebut dalam sidang bahtsul masa’il NU, yang mengalami adaptasi dengan tradisi intelektual mereka yang mengedepankan pandangan ulama salaf dalam al-kutub almu’tabarah. PENDAHULUAN Secara literal, qiyas berasal dari kata qa>sa, yaqi>su, qaysan wa qiya>san1, yang berarti mengukur, atau menjadikan sesuatu sebagai alat ukur. Pemaknaan ini sejalan dengan definisi ulama ushul yang mengartikan qiyas sebagai memberlakukan hukum mansus pada kasus baru yang belum dijelaskan dalam nas.2Dari definisi di atas, ada empat unsur yang membentuk qiyas, yaitu kasus asal (disebut al-asl) dan hukumnya (hukmal-asl), kasus baru (al-far’u) dan ‘illat, yaitu middle term yang menjadi titik kesamaan antara as}l dan far’. Definisi tersebut juga mengindikasikan bahwa qiyas lebih berperan sebagai metode, bahkan seperangkat prosedur penelitian terhadap teks. Sebab, ia tidak bisa berdiri sendiri sebagai sumber atau dalil hukum. Qiyas merupakan proses. Berbeda dengan Al-Quran dan As-Sunnah yang berdiri sendiri dan memiliki muatan hukum di dalamnya. Qiyas mengandalkan hukum asl dari Al-Quran dan As-Sunnah. Untuk itu, Abdul Karim Zaidan menegaskan bahwa peran Qiyas hanya sebagai penggali (muz}hir) dan bukan penentu (muthbit) hukum.3 Para ulama menghubungkan qiyas dengan praktik ijtihad yang dilakukan oleh Sahabat Muadz bin Jabal, seperti diriwayatkan dalam hadis,4 bahwa ketika 1 Ibn al-Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, (Bayru>t: Da>r al-S}a>dir, t.th) Jilid 6, 187 2 Dengan redaksi yang lebih panjang, Imam As-Sha>fi’i> menyatakan bahwa: “Semua ketentuan yang diturunkan kepada umat islam memiliki hukum yang tetap, atau signifikansi melalu metode yang akurat. Jika ia memiliki hukum yang tetap maka harus diikuti. Dan jika tidak, maka harus dicari dengan metode ijtihad yang akurat, yaitu qiyas.” Muh}ammad bin Idri>s al-Sha>fi’i>, al-Risa>lah (Mis}r: Mat}ba’ah Mus}t}afa> al-Ba>bi al-H}alabi>, 1938), 477. 3‘Abdal-Kari>m Zayda>n, al-Waji>z fi Us}u>l al-Fiqh, (Bayru>t: Mu’assasah al-Risa>lah, 2006), 195 4 Ada beberapa dalil dari Al-Quran berkenan dengan qiyas, seperti QS. Al-H}ashr: 2 dan QS. A>lu ‘Imra>n: 13 yang menyebut ‘Ibrah (pelajaran) yang secara bahasa dimaknai perlintasan antara idealitas dan realitas. Dalam bahasa al-Razi,الفرع حكم إلى األصل من عبور القياس) perpanjangan idealitas asl pada status furu’). Sementara tentang dalil hadis, al-Ra>zi> menyebut 3 orang sahabat yang menjadi objek pesan Nabi, yaitu Mu’a>dz dan Abu> Mu>sa> al-‘Ash’ari>, seperti riwayat yang sudah populer.
68 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH dihadapkan dengan persoalan hukum ia menetapkan tahapan-tahapan pemecahannya sebagai berikut: pertama dicari dalam Al-Quran. Kedua, dicari tafsiran atau alternatifnya dalam as-Sunnah, dan ketiga dengan berijtihad. Pada poin ketiga itulah qiyas menemukan artikulasinya. Secara teknis hadis ini bisa dideskripsikan bahwa penggalian hukum dalam Al-Quran melibatkan seluruh aspek kebahasaan, yang memungkinkan seseorang bertemu dengan redaksi ‘am, atau khas-mut}laq yang membutuhkan mukhas}s}is} atau taqyid dari as-Sunnah. Namun, kasus yang sama dengan jumlah yang sama atau bahkan dalil yang sama tidak menjadi niscaya bahwa kesimpulannya menjadi sama. Ada perbedaan prinsip dalam penafsiran, dan teori pengambil keputusannya.5 Ada pula porsi dalil yang digunakan oleh seorang mujtahid sangat mungkin berbeda dengan mujtahid lainnya. Inilah salah satu faktor penyebab munculnya dua madrasah fiqh yang sangat terkenal, yaitu madrasah Madinah dan Madrasah Kufah. Madrasah Madinah mengedepankan perspektif tekstual sebagai pusat teks islam. Sedangkan Kufah mengedepankan rasionalitas karena jauh dari pusat teks islam. Hingga pada akhirnya, perbedaan kedua madzhab ini menguat dan menajam. Di situlah muncul qiyas sebagai muara. Adalah Al-Imam Al-Shafi’i (w. 204 H) yang memperkenalkan qiyas secara rigid-teoretik. 6Setelah menjelaskan tentang karakteristik bayan dalam Al-Quran maupun As-Sunnah, lalu al-Shafi’iberlakulah qiyas, yang juga memiliki ketentuan tersendiri, baik berkait dengan al-as}l dan h}ukm al-as}l, al-far’u maupun tentang illat. Kecenderungan qiyas ini mengental menjadi karakter ijtihad dengan ta’lil ahkam, yaitu ijtihad dengan menemukan illat hukum dan menemukannya pada kasus lain. Ketentuan tentang h}ukm al-as}l adalah sebagai berikut7: 1) berupa hukum syar’i dan ‘amali. Artinya, bukan hukum non-syar’i, atau bukan hukum syar’i yang tidak amali; 2) bersifat rasional, artinya bisa dipahami oleh akal tentang hubungan hukum dan illatnya; 3) tidak berupa hukum khusus yang terbatas pada kasus asal. Adapun ketentuan khusus yang berlaku pada Rasulullah saja, seperti kebolehan menikah lebih dari empat orang istri, tidak bisa menjadi hukum asal. Sedangkan al-far’u8 harus: 1) tidak dijelaskan status hukumnya dalam nas. Jika terdapat nas yang menjelaskan status hukumnya, maka tidak berlaku qiyas, dan hukum ditetapkan berdasarkan acuan nas; 2) memiliki sifat yang sama dengan alaslu, sehinggga ketentuan hukumnya bisa disamakan. Sedangkan untuk sahabat yang ketiga, Ibn Mas’ud, redaksi hadis bersifat imperatif: إذا، والسنة بالكتاب اقض ,Sunnah dan Quran-Al tuntunan berdasarkan hukum putuskanlah(وجدتهما، فإن لم تجد الحكم فيهما، فاجتهد برأيك yakni jika kau dapatkan pemecahannya di sana. Jika tidak, maka berijtihadlah dengan akalmu).Fakhruddi>n Muh}ammad ibn ‘Umar al-Razi, al-Mah}s}u>l fi Ilmi Us}u>l al-Fiqh, J. 6, (t.tp: Mu’assasah al-Risa>lah, t.th), 100. 5 Ada delapan sebab munculnya perbedaan pendapat dalam ijtihad. Pertama, perbedaan qiraat; kedua, tidak mengetahui hadis dan beragam problematikanya; ketiga, meragukan otentisitas hadis; keempat, perbedaan penafsiran; kelima, ambiguitas teks; keenam, kontradiksi antar dalil; ketujuh, tidak ditemukan nas dalam sebuah permasalahan; kedelapan, perbedaan kaidah ushul. Baca selengkapnya dalam Mus}t}afa> Sa’i>d al-Khin, Athar al-Ikhtila>f fil Qawa>’id al-Us}u>liyyah fi Ikhtila>fi al-Fuqoha>, (Bayru>t: Muassasah Risa>lah, 1972), 38-117. 6 Pada dasarnya praktik ber-qiyas sudah dilakukan sejak zaman Rasulullah dan para sahabat. Rasulullah pernah mengiaskan peristiwa batalnya puasa karena pekerjaan yang berat dengan orang puasa yang berkumur. Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, 222. 7 Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Bayrut: Dar al-Fikr al-Arabi, 1958) 228 8Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, 22
National Proceeding on the Islamic Studies 69 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH Sementara illat yang merupakan sifat yang sama ada pada asl dan far’u harus: 1) berupa sifat yang nyata, dapat diidentifikasi keberadaannya pada asl dan far’i; 2) bersifat pasti, tidak hanya berlaku pada orang atau kondisi tertentu; 3) memiliki hubungan yang jelas (munasib) dengan hukum.9 Berdasarkan logika qiyas ini dalam pandangan Al-Shafi’i, bahwa hukum selalu memiliki ketentuan (nas) khusus atau memiliki indeksikalitas dengan nas lain,10maka ada perbedaan kualitas antara asl dan furu’ dalam kaitannya dengan hukum. Untuk itu, para ulama membedakan qiyas menjadi tiga macam.11 Pertama, qiyas awla, yaitu jika far’u lebih kuat dan lebih membutuhkan ketentuan hukum yang berlaku pada alasl. Sebagai contoh: وال تقل لهما اف )الشورى: 23) Yang pada intinya adalah larangan untuk menyatakan kata-kata yang tidak berkenan dan bisa menyakiti hati orang tua. Namun, larangan ini bisa juga diterapkan pada tindakan-tindakan yang tidak hanya melukai hati secara verbal, melainkan secara fisik, seperti pemukulan, penyiksaan atau pembunuhan. Logika yang muncul kemudian, jika berkata tidak sopan saja dilarang, apalagi memukul dan membunuh. Kedua, qiyas musawi, yaitu jika status al-far’u setingkat dengan al-asl. Artinya, baik al-aslu maupun al-far’u sama-sama pantas dikenai hukum, tanpa ada yang lebih utama atau lebih didahulukan dalam hukum. Contohnya adalah وال تأكلوا اموال اليتامى ظلما )النساء: 10 ) Yang menegaskan keharaman memakan harta anak yatim secara tidak sah. Jika keharaman ini diberlakukan pada kasus baru, yakni membuangnya ataupun membakarnya, maka status as}l dan far’u dalam kasus ini adalah sama, karena efek yang dirasakan sama saja, yaitu hilang atau habisnya harta si anak yatim. Ketiga, qiya>s adna>, yang berarti munasabah dan hikmah pemberlakuan hukum lebih nyata dan terlihat pada al-as}l dibanding pada al-far’u.Pada poin ini Abu Zahrah menempatkan bentuk-bentuk muskirat selain khamr berada di bawah khamr. Alasannya karena status khamr yang mansus dipandang lebih jelas hikmahnya daripada yang tidak mansus. Meski, dalam hal ini terdapat beberapa muskirat yang lebih parah efek negatifnya dibanding khamr. A. Qiyas Sebagai Solusi Krisis Epistemologis Meski masih diperdebatkan, sejarah pemikiran Islam mencatat kepioniran Imam Al-Shafi’i (w. 204 H) sebagai peletak ilmu ushul fiqh, sebuah ilmu yang sama sekali baru dan belum ditemukan di dunia mana pun. Tidak hanya bisa diterapkan dalam ilmu fiqh—begitu pula sistem hukum lainnya—ushul fiqh juga berperan menjadi barometer pemikiran islam secara keseluruhan.12 Setidaknya begitulah kesimpulan Muhammad Abid al-Jabiri (w. 2010 M), bahwa peradaban Islam adalah peradaban fiqh. Kesimpulan itu didasarkan pada peranan qiyas, yang menjadi muara yang mempertemukan dua aliran hukum sebelumnya, aliran tradisional Madinah dan 9 Berkenaan dengan syarat illat, Adil Shuwaykh mendokumentasi beberapa syarat lainnya, seperti: 1) illat tidak berupa tradisi/urf; 2) illat tidak berupa kadar yang belum tertentu; 3) tidak bertentangan dengan illat lainnya. ‘A>dil Shuwaykh, Ta’li>l al-Ah}ka>m fi al-Shari>’ah al-Isla>miyyah, (T}ant}a>: Da>r al-Basyi>r li al-Thaqa>fah wa al-‘Ulu>m, 2000), 135-160. 10 Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Risalah, 477. 11 Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, 247-248. 12 Muh}ammad ‘A>bid al-Ja>biri, Takwi>n al-‘Aql al-‘Arabi, t}ab’ah. IX, (Da>r Bayd}a>: Markas Dira>sat al-Wih}dah al-‘Arabiyyah, 2009), 96
70 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH aliran rasional Kufah. Logika tekstual-tradisional ala Madzhab Maliki bisa berbuah pada kemunculan hadis-hadis palsu mengingat “teks yang terbatas, sementara masalah baru mengalir tiada henti.”13 Untuk kepentingan menjawab problematika zaman di satu sisi, dan agar tetap dalam tuntutan teks di sisi lain, maka jumlah hadis terus membengkak. Sementara aliran rasional akan semakin jauh meninggalkan logika teks, dan makin liberal.14 Konteks seperti itulah yang melahirkan qiyas di tangan al-Imam Al-Shafi’i. Melalui logika qiyas, problematika kontemporer bisa diselesaikan secara rasional dalam bimbingan teks. Sebab, ijtihad hanya bisa berupa qiyas, al-Ijtiha>d al-qiya>s, atau huma> (al-ijtiha>d wa al-qiya>s) isma>ni lima’nan wa>h}id. 15 Hadis sebagai sumber hukum harus melalui seleksi ketat secara riwayah dan dirayah. 16 Begitu pula, logika harus mengikuti prosedur tertentu, dan dengan berpijak pada ketentuan nas yang ada. Bahkan, untuk melakukan qiyas, sebagaimana untuk berijtihad pada umumnya, seseorang harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) menguasai ulumul quran, terkait dengan nasikh-mansukh, khas, ‘am dan tata-sastranya; 2) menguasai hadis Rasulullah; 3) menguasai pemikiran para ulama klasik dan kontemporer; 4) menguasai bahasa arab; 5) mampu membedakan kata-kata polisemis; 6) menguasai teori qiyas.17 Seperti akan dibahas di akhir tulisan ini, persyaratan-persyaratan qiyas ini memalingkan ulama Indonesia dari kecenderungan qiyas, yang menempatkan nas sebagai acuan qiyas. Mereka beralih pada sebuah metode baru dalam qiyas, yang mereka sebut sebagai ilhaq al-masa’il bi naza’iriha. B. Ibtal al-Qiyas dan Al-Dalil: Kritik Ibn Hazm al-Andalusi Bagi sebagian pakar, adopsi dan sintesa dari dua aliran inilah yang membuat mazhab Shafii bisa diterima banyak kalangan dan menjadi mazhab terbesar. Namun, bagi sebagian lain, justru qiyas masih bermasalah. Bagi Abu Daud al-Zhahiri (w. 270 H), resepsi logika dalam qiyas merusak kemurnian perspektif tekstual, sehingga ia yang mula-mula mengikuti mazhab syafi’i beralih pada pemaknaan literal (zhahiriyah). Selain itu, Syi’ah dengan epistemologi irfani dan logika imamahnya tidak bisa menerima logika karena secara epistemologis memang berbeda. Ibn H}azm Al-Andalusi (w. 456 H) dengan tegas menulis “Ibt}a>l alqiya>s”yang pada prinsipnya menolak pandangan bahwa ada dua jenis nash, nash yang menyebut sesuatu secara tersurat, dan ada yang menyebut secara tersirat. Nah, yang tersirat inilah objek qiyas. Bagi Ibn H}azm pandangan seperti ini keliru. Argumen yang ia kemukakan adalah bahwa makna tersirat merupakan bagian internal dari teks, dan bukan qiyas.18 13 Abu> al-Ma’a>li al-Juwayn>i, Al-Burha>n fi Us}u>l al-Fiqh, (Qatar: Ja>mi’ah Qatar, 1399 H), 743 14 Muh}ammad ‘A>bid al-Ja>biri, Takwi>n al-‘Aql al-‘Arabi, 102 15 Muh}ammad bin Idri>s al-Sha>fi’i, al-Risalah, 477 16 Kajian ulumul hadis pada masa al-Syafi’i belum berkembang. Bahkan bisa dinyatakan bahwa al-Shafi’i lah yang memulainya dalam al-Risalah dengan membuat beberapa ketentuan, seperti nasikh-mansukh, ‘am dan khas, zahir, khabar wahid, penetapan illat melalui hadis. Muh}ammad bin Idri>s al-Sha>fi’i, al-Risalah, 56 dan seterusnya. 17 Muh}ammad Abu> Zahrah, Us}u>l al-Fiqh, 246-247. 18 Muh}ammad bin Ali> bin H}azm al-Andalusi, al-Ih}ka>m fi Us}u>l al-Ah}ka>m, Jilid 5-8, (Bayrut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th), 516-517
National Proceeding on the Islamic Studies 71 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH Tidak seperti logika Aristotelian, logika qiyas didasarkan pada argumen yang bersifat asumsi.Jika contohnya: Semua manusia akan mati, Sokrates adalah manusia, maka Sokrates akan mati; itu adalah contoh logika dan silogisme yang benar, karena tiap premisnya benar, akurat dan presisif. Tapi mengiyaskan hukum anjing dan babi pada binatang yang haram dimakan tentang najis adalah silogisme yang z}anni. Sebagian ulama mengiyaskan, sebagian lainnya tidak. Sebagian ulama melarang berbicara saat adzan, berdasarkan qiyas pada larangan berbicara dalam shalat. Namun, sebagian lain tidak.19 Perbedaan-perbedaan ini menandakan kualitas kesimpulan qiyas adalah spekulatif-zanni. Padahal “inna al-z}anna la yughni> min alh}aqqi shay’a>20.” Simpulnya, ada dua kelemahan logika dalam qiyas. Pertama, kualitas qiyas bersifat zanni. Kedua, logika dalam qiyas bukan logika internal dalam nash, melainkan logika eksternal yang dipaksakan dalam nash. Yang kedua ini bagi Ibn Hazm berarti kesimpulan tak berdasar. Mestinya, logika dalam nash itu harus berangkat dari kesimpulan dalam teks itu sendiri [wa>qi’atun tah}ta al-nas}. Wa ghayru kha>rijatin ‘anhu as}lan]. 21Itulah yang disebut oleh Ibn H}azm sebagai alDali>l, dan al-Dali>l bukan qiyas. Menurut Ibn H}azm, ada dua model al-Dali>l, 22 yaitu 1) al-Dali>l yang bersumber dari ijma’; dan 2) al-Dali>l yang bersumber dari nash. Model pertama meliputi: a) Istis}h}a>bu al-h}a>l, bahwa ketentuan tetap berlaku sebelum ada ketentuan yang meralat. Jika ketentual awal didasarkan pada dalil yang qat}’i>, maka ketentuan tersebut bisa berubah jika dalil yang meralat memiliki kualitas yang sama. b) Aqallu ma> qi>la, bahwa jika terdapat perselisihan tentang bilangan atau kadar sesuatu, maka dapat dipastikan bahwa kadar paling sedikit itu benar, yang itu menandakan bahwa sesuatu itu ada, sekalipun dengan kadar paling sedikit. Misalnya, berdebat tentang kadar jilid, sebagian memilih angka 100 dan sebagian memilih 80, maka dipastikan bahwa angka 80 atau kurang dari 80 itu benar, karena perbedaan itu tidak menyasar pada ada atau tidak adanya. c) H}ukm al-muslimi>na sawa>’, bahwa ketentuan yang berlaku bagi seseorang juga berlaku bagi orang lain dalam kasus yang sama. d) Ijma>’ al-muslimi>n ala> tarki qawl,sebagaimana pemaknaan ijmak pada umumnya. 19 Banyak sekali contoh yang diungkapkan oleh Ibn Hazm dalam al-Ihkam-nya. Baca: Muh}ammad bin Ali> bin H}azm al-Andalusi, al-Ih}ka>m fi Us}u>l al-Ah}ka>m,, 518-540 20QS. Al-Najm: 28. 21 Muh}ammad bin Ali> bin H}azm al-Andalusi, al-Ih}ka>m fi Us}u>l al-Ah}ka>m, 101. 22 Penulis menganggap perlu memuat detail teori al-dalil, sebagai pembanding bagi teori qiyas yang menekankan pada sintesa antara logika dan nas. Tujuan utama qiyas adalah memahami nas secara rasional, dan menggunakan rasio yang sejalan dengan pertimbangan nas. Dengan kata lain, qiyas mengidealkan sebuah logika teks. Sementara itu, al-dalil sebagai teori utama madzhab zahiri, berangkat dari teks dan tidak terjebak pada tekstualisme dalam pengertian yang jumud. Kesimpulan yang dibangun dari al-dalil merupakan kesimpulan literal dan bagian internal dari nas. Kesimpulan itu lebih mudah dipertanggungjawabkan. Seperti akan dipaparkan nanti tentang pemikiran al-Ghazali bahwa kesimpulan yang kuat diperoleh dari premis yang kokoh, dan di antara akurasi premis itu muncul jika didasarkan pada teks yang mutawatir, yaitu jika kedua premis dibangun dari teks, bukan asumsi illat. Pada titik ini, kita bisa melihat qiyas sebagai upaya rasional dalam memahami teks, memiliki sisi lemah yang diisi oleh perspektif zahiriyah ini. Muh}ammad bin Ali> bin H}azm alAndalusi, al-Ih}ka>m fi Us}u>l al-Ah}ka>m, 100. Bandingkan dengan Abu> H}a>mid al-Ghaza>li>, alMustas}fa> min ‘ilmi al-Us}u>l, (Bayru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 37.
72 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH Sementara al-dali>l yang merupakan logika internal dalam nash23 bisa berupa: a) Nash yang memuat dua premis tanpa disertai konklusi, maka kesimpulannya bersifat logis. Misalnya kullu muskirin khamrun, wa kullu khamrin h}ara>m. Maka kesimpulannya adalah kullu muskirin h}ara>m. Bagi Ibn H}azm inilah qiyas mant}iqi>, bukan qiya>s fiqhi>, sebab kesimpulan ini tidak didasarkan pada proses ta’li>l (masa>lik illat). b) Kalimat bersyarat, maka jika syarat yang diandaikan benar ada, maka kesimpulannya bersifat kausalitatif. In yantahu yaghfir lahum ma> qad salaf.24 Ayat ini menjadikan taubat atau berhenti dari perbuatan dosa sebagai syarat dari pengampunan, maka jika syarat itu dilakukan, maka pengampunan merupakan konsekuensi logisnya. Ini juga bukan qiyas fiqhi. c) Dala>lah i>ma>’, yaitu makna yang tersirat terkandung dari sebuah ketentuan yang bersifat tersurat, makna ini berupa konsekuensi lanjutan dari makna dasarnya. Seperti ayat, wa la> taqul lahuma> uff, 25 secara dzahir makna ayat ini berupa larangan mengatakan uff, atau kata-kata yang tak patut, dan bersifat verbal. Namun, di dalamnya terkandung makna yang bersifat fisik, seperti memukul, menyiksa atau membunuh. Makna itu juga bersifat nash, bukan qiyas. d) Salah satu dari kemungkinan yang diuji secara falsifikasi. Bahwa jika hukum tentang sesuatu bisa halal, haram dan mubah, dan setelah verifikasi terbukti tidak halal dan tidak juga haram, maka dipastikan hukumnya adalah mubah. e) Qad}a>ya> mutadarrijah,seperti jika Abu Bakar lebih utama dari Umar, dan Umar lebih utama dari Usman, maka dapat disimpulkan bahwa Abu Bakar lebih utama dari Usman. Kesimpulan ini juga bersifat logis, dapat disimpulkan dari kedua premisnya. f) ‘Aksu al-qad}a>ya>, yaitu kebalikan dari kesimpulan. Misalnya semua muskir adalah haram, maka kesimpulannya, sebagian yang haram itu muskir. g) Makna lazim, yaitu makna yang tersirat dan merupakan kelaziman, merupakan unsur pendukung. Misalnya, zaid menulis, hal itu tidak hanya berarti zaid sedang menulis, tetapi juga memiliki kemampuan menulis, memiliki anggota tubuh untuk menulis atau memiliki alat tulis. Jika dibandingkan antara praktik qiyas, seperti antara kulit anjing dan tulangnya, dengan 11 bentuk al-dali>l di atas, terlihat kualitas kesimpulan antara aldali>l dan qiyas. Di samping, terdapat inkonsistensi dalam teori qiyas, sebab illat yang digunakan sebagai middle term (al-jami’) hanya didasarkan pada z}ann, namun disebut sebagai mu>jibatun lil ‘ilm, bukan z}anni. Meski mereka tidak menyebut hasil qiyas ini sampai pada level yaqin.26 Dalam pandangan al-Jabiri, kecenderungan qiyasi ini tidak bisa lepas dari paradigma muktazilah sebagai peletak dasar al-istidla>l bi al-sha>hid ‘ala> al23 Muh}ammad bin Ali> bin H}azm al-Andalu>si>, al-Ih}ka>m fi Us}u>l al-Ah}ka>m, 100. Bandingkan dengan Sa>lim Ya>fu>t, Ibn H}azm wa al-Fikr al-Siya>si> bi al-Maghrib wa al-Andalus, (Dar Bayda: Markaz Thaqafi Arabi, 1986), 142-145. 24 QS. Al-Anfal: 37. 25 QS. Al-Isra’: 23 26 Muh}ammad A>bid al-Ja>biri>, Bunyat al-‘Aql al-‘Arabi, Dira>sat Tah}li>liyyah Naqdiyyah Li Nuz}um al-Ma’rifah fi al-Thaqa>fah al-‘Arabiyyah, Thab’ah IX, (Bayrut: Markaz Dira>sat al-Wih}dah al- ‘Arabiyyah, 2009), 122. Pada dasarnya Imam al-Shafi’i mensinyalir bahwa kualitas qiyas memang tidak sampai pada yaqin. Kebenaaran qiyas hanya berlaku pada pelaku qiyas, tidak pasti pada orang lain atau mayoritas ulama. Muhammad bin Idris al-Sha>fi’i> , al-Risa>lah, 479.
National Proceeding on the Islamic Studies 73 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH gha>’ib,berargumen dengan materi fisik untuk hal-hal metafisik.27Hal itu didorong oleh teori mereka tentang peran akal, baik sebagai penentu hukum maupun kemampuan untuk menangkap maksud syariah. Maka, selagi sifat yang disebut illat bersifat rasional, masuk akal, maka itu dianggap sebagai mu>jibatun lil ilmi. 28 Asumsi-asumsi tentang kesamaan inilah yang menjadi pusat kritik pada kritikus qiya>s, bahwa penggunaan qiya>s merupakan kesimpulan tanpa dasar. Bahkan menyamakan status dua unsur dari satu tubuh berarti menyamakan dua hal yang berbeda. Misalnya, menyamakan status najis pada tulang anjing dan ekor anjing yang diqiyaskan pada jilatan anjing. Dalam bahasa al-Jabiri, kelemahan qiyas adalah bergerak mundur dari premis minor ke premis mayor, tidak seperti logika deduktif kategoris yang bergerak dari premis mayor ke premis minor dan menuju kesimpulan.29 C. Menuju Qiyas Aristhi: Tariqat al-Muta’akkhirin30 Krisis epistemologis seperti di atas melatarbelakangi revolusi metodik oleh alImam al-Ghaza>li>(w. 505 H) yang dikenal sebagai thariqat muta’akkhirin. 31 Kecenderungan ini secara otomatis memasukkan pemikiran ushul fiqh pra-al-Ghazali sebagai thariqah mutaqaddimin. Perbedaan mendasar kedua kecenderungan i ni adalah pada adopsi manthiq, logika Aristotelian. Jika dalam al-Risa>lah, imam AlSha>fi’i>memulai karyanya dengan ma> al-baya>n, dengan mengedepankan hubungan makna dan kata, maka al-Ghazali memulai al-Mustas}fa>-nya dengan pengantar manthiq yang menekankan tentang al-burha>n. Dalam logika al-burha>n, sebuah kesimpulan yang dihasilkan dibagi berdasarkan kualitas premis-premisnya. 1) jika premisnya qat}’i>, kesimpulannya disebut burha>n; jika premisnya bisa diterima akal, kesimpulannya disebut qiyas jadali (silogisme hipotetik); 3) jika premisnya bersifat z}anni, maka kesimpulannya disebut qiyas fiqhi [seperti qiyas dalam uraian sebelumnya].32Al-Ghaza>li> dalam hal ini mengidealkan silogisme burhani, yaitu jika premis-premisnya berupa: 1) pengetahuan aksiomatik; 2) pengalaman naluriyah, seperti rasa lapar; 3) fakta 27 Muh}ammad A>bid al-Ja>biri>, Takwi>n al-‘Aql al-‘Arabi,, 122. 28 Inilah yang dikritik oleh Fakhruddi>n al-Ra>zi>, bahwa ketiadaan dalil yang membatalkan kesimpulan qiyas menguatkan posisi qiyas dan produk qiyas. Bahwa kebolehan berargumen dengan dalil zanni dikarenakan susahnya menghasilkan kesimpulan yang ilmi (derajat yaqin). Maka, rasionalitas spekulatif-hipotetis yang tidak terbantahkan akan menguat menjadi “ilmu.” Baca. Fakhruddi>n Muh}ammad ibn ‘Umar al-Razi, al-Mah}s}u>l fi Ilmi Us}u>l al-Fiqh, J. 6, 112. 29 Muh}ammad A>bid al-Ja>biri>, Bunyat al-‘Aql al-‘Arabi, 115. 30T}ari>qat al-muta’akkhiri>n merupakan revolusi metodologis terhadap konsep kalam dan fiqh yang mulanya menggunakan prinsip analogi qiyas ala Mu’tazilah (t}ari>qat al-mutaqaddimi>n). Abdurrah}ma>n ibn Muh}ammad Ibn Khaldu>n, Muqaddimat Ibn Khaldu>n, (Dimashq: Da>r al-Balkhi, 2004), 205-215 31 Ibn Khaldu>n menyebut empat tokoh dan karyanya yang menjadi pilar tariqat almuta’akhirin ini, yaitu al-Burha>n karya Abu> l-Ma’a>li> al-Juwayni>, al-Mustas}fa> min ilmi al-Us}u>l karya Abu> H}a>mid al-Ghaza>li>, al-‘Ahd karya Qa>d}i> Abdul Jabba>r dan al-Mu’tamadfi Us}u>l Fiqh karya Abu> H}usayn al-Bas}ri>. Dua karya yang pertama merupakan karya ulama Syafi’iyahAsy’ariyah, sedang dua yang terakhir dari mazhab Muktazilah. Karakteristik karya ushul dari kedua mazhab ini adalah menampilkan perdebatan teologis dalam ushul fiqh, sehingga dikenal sebagai t}ari>qah mutakallimi>n. T}a>ha> Ja>bir ‘Ulwa>ni>, MuqaddimahMuh}aqqiq dalam Fakhruddi>n Muh}ammad ibn ‘Umar al-Ra>zi>, al-Mah}s}hu>l fi Ilmi Us}u>l al-Fiqh, (t.tp: Mu’assasah al-Risa>lah, t.th), 36. 32 Abu> H}a>mid al-Ghaza>li>, al-Mustas>fa> min ‘ilmi al-Us}u>l, 31
74 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH empirik; 4) hasil penelitian aposteriori; 5) pengetahuan umum (mutawatirah); 6) fenomena awal; 7) asumsi umum. 33 Dalam kriteriaal-Ghaza>li> di atas, kualitas qiyas fiqhi berada pada level paling bawah, sebab pada umumnya, para ushuli mendasari qiyas yang mereka lakukan pada sekadar asumsi umum, di antaranya karena belum mengenal benar tentang objek yang dibicarakan. Al-Ghaza>li> mengibaratkan kualitas level terakhir ini dengan mengukur kadar lapar dalam keadaan kenyang. Cukup panjang paparan al-Ghaza>li> tentang manthiq dan prinsip-prinsip burhani. Baginya, manthiq bukan sekadar pengantar untuk memahami ushul fiqh, melainkan untuk memahami ilmu secara umum. Di sini al-Ghaza>li> menyadari krisis epistemologis yang dihadapi madzhab Syafi’i dan Mutakallimin pada umumnya. Hal terpenting yang ingin disampaikan di sini adalah bahwa al-Ghazali menilai “man la> yuh}i>t}u biha> fa la>thiqata lahu> bi ‘ulu>mihi as}lan” [orang yang tidak menguasai manthiq, ilmunya tidak bisa diterima sedikit pun.]34 Berkenaan dengan qiyas, pertama, al-Ghazali menolak pandangan bahwa Qiyas merupakan satu-satunya metode ijtihad yang benar.35Sebab, qiyas mengandaikan sesuatu yang tidak mans}u>s}, sementara proses ijtihad bisa dilakukan dengan cara istinbath, yaitu penggalian makna dari teks itu sendiri. Untuk itu, ia membedakan tiga jenis penelitian illat, yaitu tah}qi>q al-mana>t}, tanqi>h} almana>t}, dan takhri>j al-mana>t}. Tah}qi>q al-mana>t}berarti mencari bentuk aplikatif dari illat yang sudah mans}u>s>. Artinya, status illat suatu hukum sudah dijelaskan dalam nash, namun bersifat konseptual dan harus dicari bentuk praksisnya. Misalnya, illat dari kewajiban menafkahi kerabat adalah kemampuan. Illat ini masih bersifat konseptual, dan harus dicari bentuk aplikatifnya. Lalu dilakukan ijtihad dan berakhir pada kesimpulan bahwa kemampuan itu diukur dengan 1 rit}l (450 gram). Sedangkan tanqi>h} al-mana>t} berarti menyeleksi sifat-sifat internal namun tidak berdampak kepada hukum yang disebut bersamaan dengan illat dalam nash. Misalnya kewajiban membebaskan budak dalam kasus seorang a’rabi yang batal puasanya karena bersetubuh dengan istrinya di siang hari. Persetubuhan, dengan istrinya, dan status sebagai a’rabi merupakan sifat-sifat internal namun tidak memiliki pengaruh dalam hukum, dibanding illat, yaitu melanggar kehormatan bulan Ramadhan. Terakhir, Takhri>j al-mana>t} merupakan proses penelitian tentang illat yang tidak manshus. Inilah titik kelemahan qiyas yang memungkinkan spekulasi berdasar pada asumsi-asumsi umum tanpa mengenal objek secara lebih detail. Menurut alGhazali, model penelitian illat ketiga inilah yang ditolak para penentang qiyas. Sementara dua kategori sebelumnya diterima. Dalam rangka meneliti illat inilah, al-Ghazali mengajukan dua metode lain, yaitu sabr wa al-taqsi>m dan istinba>t}. Metode yang pertama mirip dengan cara kerja tanqi>h} al-mana>t}. Sedang metode kedua didasarkan pada hubungan antara 33 Abu> H}a>mid al-Ghaza>li>, al-Mustas>fa> min ‘ilmi al-Us}u>l, 36-37 34 Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustas}fa> min ‘Ilmi al-Us}u>l, 10. 35Pada dasarnya, pandangan yang ditolak al-Ghazali adalah pandangan al-Imam al-Shafi’i. Namun, secara diplomatis, al-Ghazali menyebut “qa>la ba’d}u al-fuqaha>’: al-qiya>s huwa al-ijtiha>d. Wa huwa khat}a’ [sebagian ulama berpendapat, bahwa ijtihad adalah qiyas. Pendapat itu keliru.]” sebagai cara yang halus dalam replacement logika mutaqadimin dengan muta’akhirin. Abu Hamid alGhazali, al-Mustasfa min ‘ilmi al-Ushul, 281.
National Proceeding on the Islamic Studies 75 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH illat dan hukum. Ada tiga jenis hubungan antara illat dan hukum. Pertama, illat bersifat mu’athir. Maksudnya adalah status illat itu memang karena illat tersebut berdampak pada hukum. Model ini bisa saja telah dijelaskan dalam nash, misalnya dengan diksi-diksi alasan (li’anna, fa sababiyah, fa jawab dari sebuah pengandaian) dengan demikian, illat tersebut sudah dipastikan menjadi penentu ada atau tidaknya hukum.36Tetapi, jika illat tersebut tidak dijelaskan dengan nas, maka harus dipertimbangkan pengaruh illat itu pada hukum. Misalnya, man massa dzakarahu fal yatawad}d}a’ [orang yang menyentuh kemaluannya, maka ia harus berwudhu.]Hadis tersebut cukup terang menjelaskan bahwa kewajiban mengulang wudhu adalah karena menyentuh kemaluan. Kedua, mula>’im, bahwa illat bukan penyebab hukum, tetapi ada kesamaan prinsip antara jenis sifat itu dengan hukum kasus lain. Misalnya, kadar minuman keras. Mengacu pada keharaman khamr, maka illatnya adalah muskir (bersifat adiktif). Namun, bagaimana jika pada kasus tertentu, kadar berpengaruh pada status adiktif itu? Apakah bisa dibenarkan meminum khamr selagi tidak memabukkan?Dalam kasus ini kadar khamr tidak similar dengan status hukumnya. Namun, mengacu pada kasus lain, yaitu jika ber-khalwat adalah perbuatan terlarang berdasarkanqiyaspada perbuatan zina, maka level terbawah (khalwat) juga disasarkan pada jenis sanksi yang sama (zina). Berarti jika hukum berlaku pada kadar maksimal, maka ketentuan hukumnya juga berlaku pada kadar minimal.Ma> askara kathi>ruhu> fa qali>lihu> h}ara>m. Ketiga, ghari>b, yaitu jika illat tidak memiliki hubungan “kausalitatif” dengan hukum, bahkan sifat yang sejenis tidak berpengaruh kepada kasus yang sejenis. Seperti mengiyaskan tidak sunnah mengulangi usapan ke kepala saat wudhu dengan usapan pada khaff atau saat tayammum, dengan kesamaan sebagai usapan. Tidak ada hubungan kausalitatif status usapan dengan tidak sunah tiga kali, tidak juga hubungan mula’im. Menurut al-Ghaza>li>, hanya jenis pertama dan kedua yang bisa diandalkan. Namun, ia tidak menutup mata pada pendapat ulama yang bisa menerima qiyas dengan muna>sabah ghari>bah, selagi tidak bertentangan dengan dalil lainnya. Permakluman ini muncul mengingat yang dicari dalam qiyas hanyalah ghalabatu z}ann, yaitz}ann yang tidak diiringi dengan kritik dan penolakan. Sampai di sini kita bisa menilai bahwa revolusi metodik yang dibangun alGhaza>li> tidak serta merta merontokkan bangunan atas, baik bersifat teoretik seperti qiyas, lebih-lebih bangunan fiqh madzhab Sha>fi’i>. Namun, pendasaran t}ari>qat al-muta’akhiri>n sudah tertanam, tentang penekanan burhan dalam pemikiran islam, khususnya dalam ushul fiqh. Pendasaran baru dari al-Ghaza>li> bisa mengatasi kelemahan teori qiyas para ulama pendahulunya.Tariqah ini akan menemukan titik kematangan pada diri Fakhruddi>n al-Ra>zi. (w. 603 H).37 Sampai di sini dapat dirumuskan bahwa pada dasarnya perbedaan antara kelompok pendukung dan pengkritik qiyas didasarkan pada pertimbangan nas. Bahwa, ijtihad tidak boleh dilepaskan dari pijakan qiyas, dan bahwa qiyas tidak boleh 36 Baca juga Abu Hamid al-Ghazali, Syifa’ al-Ghalil fi Bayani al-Shibh wa al-Mukhayyal wa Masalik al-Ta’lil, (Baghdad: Matba’ah al-Irshad, 1971), 27. 37Al-Ra>zi> tidak semata-mata merangkum dan menggabungkan keempat kitab tersebut, tetapi sekaligus melanjutkan logikanya lebih radikal. Sehingga catatan-catatan al-Ra>zi> menjadi temuan baru tersendiri (mustadrak). Baca: Fakhruddi>n Muh}ammad ibn ‘Umar al-Ra>zi>, alMah}s}u>l fi Ilmi Us}u>l al-Fiqh, 36.
76 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH mengurangi logika teks dengan pendekatan-pendekatan rasional dari luar teks. Namun, dalam pandangan penulis, problem qiyas tidak hanya berkenaan dengan ushul fiqh, sebagai teori penggalian hukum islam, tetapi sekaligus sebagai epistemologi pemikiran. Qiyas Versi NU: Ilh}a>q al-Masa>’il bi Naz}a’iriha> Terlepas dari kelemahannya di atas, qiyas tetap menjadi trade mark ijtihad ulama Shafi’iyyah, termasuk di Indonesia. Sebelum diperbarui oleh al-Ghaza>li> dan alRa>zi>, metode qiyas merupakan solusi bagi kemelut epistemologi hukum islam pada saat itu. Sebagaimana proses ijtihad lainnya, qiyas hanya bisa dilakukan oleh orangorang yang memenuhi kualifikasi untuk berijtihad. Atas dasar itu, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari pernah menyatakan: فيا ايها العلماء والسادة االتقياء من اهل السنة والجماعة اهل مذاهب األئمة االربعة اننم قد اخذتم العلوم ممن قبلكم ومن قبلكم ممن قبله باتصال السند اليكم وتنظرون عمن تاخذونه دينكم، فأنتم خزنتها وابوابها والتؤتوا البيوت اال من 38 ابوابها، فمن اتاها من غير ابوابها سمي سارقا. Wahai para ulama dan tuan-tuan yang takut kepada Allah dari golongan Ahlussunnah wal Jamaah, golongan madzhab imam yang empat. Engkau sekalian telah menuntut ilmu dari orang-orang sebelum kalian, dan begitu seterusnya ssecara bersambung sampai pada kalian. Dan engkau sekalian tidak gegabah memperhatikan dari siapa mempelajari agana. Maka oleh karenanya kalianlah gudang bahkan pintu ilmu tersebut. Janganlah memasuki rumah melainkan melalui pintunya. Barang siapa memasuki rumah tidak melalui pintunya, maka ia disebut pencuri. Ada beberapa kesimpulan dari pernyataan pendiri NU ini. Pertama, bahwa para ulama (salaf) merupakan silsilah keilmuan yang otoritatif dalam memahami agama. Kedua, tradisi ijtihad ulama (NU) mesti tidak mengabaikan silsilah tersebut, untuk mendapat otoritas dari silsilah tersebut. Ketiga, qiyas yang dilakukan oleh ulama NU adalah ijtihad yang berada di bawah level ijtihad para ulama sebelumnya. Stratifikasi ijtihad ini lebih dari sekadar stratifikasi ijtihad seperti dikemukakan dalam buku-buku teori ijtihad. Sebab, dalam kenyataan praksis, NU tidak justru mengambil posisi dalam kategorisasi yang ada, tetapi malah menempatkan salah seorang ulama (Imam al-Nawawi) sebagai otoritas utama, bahkan melebihi Imam al-Shafi’i.39 Tentu pemahamannya harus dalam bingkai “gudang dan pintu masuk” seperti dikemukakan KH. Hasyim Asy’ari di atas. Etika-Ijtihad ini juga dimaklumi oleh generasi-generasi ulama Shafi’iyah sebelumnya, tidak hanya di Indonesia. Perhatikan misalnya, Imam al-Nawawi sendiri menyebut karya-karya al-Shafi’i sebagai nas.40 Selain untuk kepentingan teknis citasi, penyebutan nas ini berarti menempatkan teks al-Shafi’i sebagai “tak tersentuh,” 38 KHM. Hasyim Asy’ari, Ih}ya>’ ‘Amal al-Fud}ala>: Muqaddimah Anggaran Dasar NU (Kendal: tp., 1969), 37-38. 39 Achmad Kemal Riza, “Contemporary Fatawa of Nahdlatul Ulama, Between Observing the Madhhab and Adapting the Context,” dalam Journal of Indonesia Islam, Volume 05, Number 01, June 2011, pp. 29-65. 40 Secara teknis citasi, al-Nawawi membedakan antara kutipan dari al-Nas (kitab Imam alSyafi’i) dengan kategori “qila” atau “wa fi qawl” yang ia gunakan sebagai simbol kutipan dari qawl qadim yang dipandang marjuh. Abu Zakariyya> al-Nawawi>, Minha>j al-T}a>libi>n wa ‘Umdat alMufti>n, (Jedah: Da>r al-Minha>j, 2005), 65.
National Proceeding on the Islamic Studies 77 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH dengan kata lain sebagai teks yang membutuhkan kajian yang mendalam. Untuk itu, Ibn Hajar al-Haytami menegaskan bahwa tidak boleh berfatwa dengan kitab-kitab ulama Shafi’iyyah sebelum Shaykhayn, yaitu Imam al-Nawawi (1277) dan al-Rafi’i (w. 1226 M).41 Berkenaan dengan hal ketiga, ijtihad NU pada dasarnya adalah qiyas. Mereka menyebutnya sebagai ilha>q al-masa>’il bi naz}a>’iriha> (menyamakan kasus baru dengan kasus lama yang dijelaskan dalam kitab-kitab ulama salaf.) bedanya, acuan qiyas yang diperkenalkan oleh Imam al-Shafi’i adalah teks Al-Quran dan Al-Sunnah, melalui kasus yang dijelaskan secara mansus. 42 Sementara, qiyas NU mengacu pada kasus yang dijelaskan dalam kutub mu’tabarah Shafi’iyyah. Dengan demikian, jika kualitas as}l pada qiyas al-Shafi’i bersifat otoritatif, atau paling tidak berubah, sedangkan kualitas as}l pada qiyas NU bersifat z}anni, dalam pengertian juga merupakan hasil ijtihad. Sampai di sini ada dua hal yang perlu mendapat perhatian lebih. Pertama, argumen yang dikemukakan, bahwa etika ijtihad seperti ini lebih dimaksudkan sebagai ketawadhu’an, ketundukan kepada ulama salaf.43 Lebih dari itu, ketawadhu’an ini dilatarbelakangi pula oleh tanggung jawab akademis yang sangat berat dalam pola qiyas ushuli. Selain persyaratan yang harus dipenuhi, konsekuensi teoretiknya juga lebih berat, melibatkan dalil Al-Quran dan Sunnah. Kedua, di balik kesetaraan kualitas kedua premisnya, as}l dan far’u merupakan kasus ijtihadi, pada dasarnya prinsip qiyas pada ilh}a>q al-masa>’il binaz}a>’iriha> lebih pada prinsip qawa>’id fiqhiyyah. Kesetaraan itu mengindikasikan bahwa kasus asal dan kasus baru berposisi sejajar, sebagai konsekuensi dari illat yang lebih besar, yaitu bunyi kaidah fiqh, baik dalam bingkai maslahat maupun mafsadat. Dari poin kedua ini diperoleh tiga kesimpulan turunan. 1) bahwa logika qiyas NU bersifat induktif, berangkat dari kasus-kasus spesifik, baik pada kasus baru maupun kasus asal, menuju kesimpulan universal,44 yaitu memberlakukan bunyi kaidah, bahwa kasus baru merupakan turunan dari kaidah universal (tandarij tah}ta al-qa’i>dah). 45 2) illat yang mendasari kesimpulan qiyas ini adalah illat yang abstrak, yaitu hikmah (maqasid) dari hukum itu sendiri; 3) meski berasal dari premis-premis yang ijtihadi, illat hukumnya tidak dibangun berdasarkan asas spekulasi, sehingga kesimpulannya tidak sekadar berupa kesimpulan analogis. Model ijtihad qiyasi ala NU memungkinkan ijtihad yang lebih dinamis. Bahkan kasus yang sama namun dalam konteks yang berbeda bisa beralih kasus asal, beralih illat bergantung pada tingkat kemaslahatan dan kemafsadatannya. Kesimpulan ini 41 Maysu>r Sandi al-Turshidi>, ‘Umdat al-Fud}ala>’ Sharh} ‘ala> Tadri>b al-Nujaba> fi Ba’d}i Is}t}ilah}a>t al-Fuqaha>, (Kediri, Ma’had Mahir al-Riyad, t.th), 33. 42 Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masail 1926-1999, (Yogyakarta: LKiS, 2004), 121. Baca juga Ahmad Munjin Nasih, “Bahtsul Masail dan Problematikanya di Kalangan Masyarakat Muslim Tradisional,” dalam Al-Qanun, Vol. 12, No. 1, Juni, 2009, 121. 43Dalam pandangan ulama NU, ketawadhuan merupakan bagian dari kejujuran ilmiah, yaitu dengan menyebut para penulis dan peneliti tentang kasus-kasus keagamaan sebelum seorang mujtahid melakukan ijtihadnya. Dengan kata lain, mengabaikan karya ulama salaf merupakan ketidakjujuran ilmiah. KH. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, cet. IV, (Yogyakarta: LKiS, 2004), 39. 44 Abdul Mun’im DZ, Hukum Manusia sebagai Hukum Tuhan: Berpikir Induktif, Menemukan Hakekat Hukum, Model al-Qawaid al-Fiqhiyyah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 259. 45 Luthfi Hadi Aminuddin, “Ilh}a>q al-Masa>’il bi Naz}a>’iriha> dan Penerepannya dalam Bahts al-Masa’il,” dalam al-Tahrir, Vol. 13, No. 2 November 2013: 297-320.
78 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH diambil dari pengalaman Muktamar 1927 di mana dihasilkan kesimpulan bahtsul masail yang membolehkan jual beli mercon (petasan).46 Di sisi lain, mercon dilihat dari sisi destruktifnya, yaitu kerusakan-kerusakan yang diakibatkan, maka mestinya mercon diqiyaskan dengan narkoba.47 hal itu menjadi wajar mengingat mercon pada 1927 hanya berfungsi sebagai sarana untuk memeriahkan sebuah acara, seperti pernikahan atau hari raya. Sementara akhirakhir ini, mercon berubah menjadi mainan dengan bentuk yang lebih besar dan digunakan untuk berfoya-foya. Bahkan, mercon memakan korban fisik, baik luka-luka maupun korban nyawa.48 Maka tidak mengherankan jika status qiyasnya berubah.Dinamika seperti itulah yang dijanjikan oleh qiyas ilh}a>qiala NU. 49 Jika dibanding dengan dua model qiyas sebelumnya, yaitu qiyas mutaqaddimin dan muta’akhhirin, Qiyas NU tentu tidak bisa dikategorisasi pada salah satu dari kedua model tersebut. Mengingat prinsip dalam ta’li>l ah}ka>m-nya berbeda. Namun, dilihat dari prinsip efektifitas illat, Qiyas NU lebih efektif dan mirip dengan kategori pertama yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali, yaitu muna>sib mu’athir. Atau dalam bahasa kalangan Dhahiriyah, kesimpulan NU tidak didasarkan pada asumsi tentang illat, melainkan kelanjutan dari logika teks, yaitu logika kaidah fiqh. DAFTAR PUSTAKA al-Ghaza>li>, Abu> H}a>mid, al-Mustas}fa> min ‘ilmi al-Us}u>l, (Bayru>t: Da>r alKutub al-‘Ilmiyyah, 1993. -------------, Abu Hamid, Syifa’ al-Ghalil fi Bayani al-Shibh wa al-Mukhayyal wa Masalik al-Ta’lil, Baghdad: Matba’ah al-Irshad, 1971. al-Ja>biri, Muh}ammad ‘A>bid, Takwi>n al-‘Aql al-‘Arabi, t}ab’ah. IX, (Da>r Bayd}a>: Markas Dira>sat al-Wih}dah al-‘Arabiyyah, 2009. ----------, Muh}ammad ‘A>bid, Bunyat al-‘Aql al-‘Arabi, Dira>sat Tah}lil>iyyah Naqdiyyah Li Nuz}um al-Ma’rifah fi al-Thaqa>fah al-‘Arabiyyah, T}ab’ah IX, Bayru>t: Markaz Dira>sat al-Wih}dah al-‘Arabiyyah, 2009 46Qiya>s ilh}a>qi> menempatkan mercon setara dengan hadiah atau barang ( ،المالبس، المطاعم الهدايا (yang dijualbelikan dalam rangka memeriahkan hari raya. Secara detail, ulama NU mengutip I’a>nat al-T}a>libi>n: اإلسراف في خير وال الخير في اسراف ال)tidak ada israf dalam kebaikan, dan tidak ada yang baik dalam hal-hal yang berlebihan). Mereka juga mengutip al-Jamal ala Fath al-Wahhab, dengan mengiaskan petasan dengan rokok, sebagai berikut: والحق في التعليل انه )اي الدخان( منتفع به في الوجه الذي يشترى له وهو شربه إذ هو من المباحات لعدم قيام دليل على حرمته (Sebenarnya dalam urusan dalil, bahwa rokok itu dapat dimanfaatkan oleh pihak pembeli, yaitu menghisapnya, mengingat rokok termasuk yang diperbolehkan karena tidak adanya dalil yang mengharamkannya.) Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU, 122-124. 47 Luthfi Hadi Aminuddin, Ilhaq al-Masa’il bi Nazairiha dan Penerepannya dalam Bahts alMasa’il, 314-315. 48 Sebagai bahan bacaan, “Badut Polisi Turut Sosialisasikan Bahaya Petasan,” m.republika.co.id (diakses 28 Mei 2018/14 Ramadhan 1439 H) 49 Nadirsyah Hosen melihat sisi lain dari proses dan prosedur ijtihad qiyasi ala NU, di mana sebuah ijtihad dilakukan secara kolektif, dari beragam kelompok intelektual, bahkan dari latar belakang yang berbeda. Menurutnya, NU sudah mentradisikan model ijtihad ini sejak 1926, di mana kesadaran untuk ijtihad kolektif dunia baru dimulai pada 1964 melalui Majma’ al-Buhus al-Islamiyah. Baca: Nadirsyah Hosen, “Nahdlatul Ulama and Collective Ijtihad,” dalam New Zealand Journal of Asian Studies 6, 1 (June, 2004): 5-26.
National Proceeding on the Islamic Studies 79 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH al-Juwayn>i, Abu> al-Ma’a>li, Al-Burha>n fi Us}u>l al-Fiqh, (Qatar: Ja>mi’ah Qatar, 1399 H. al-Khin, Mus}t}afa> Sa’i>d, Athar al-Ikhtila>f fil Qawa>’id al-Us}u>liyyah fi Ikhtila>fi alFuqoha>,Bayrut: Muassasah Risa>lah, 1972. al-Manz}u>r, Ibn, Lisa>n al-‘Arab, J. 6, Bayru>t: Da>r al-S}a>dir, t.th. al-Nawawi>, Abu> Zakariyya>, Minha>j al-T}a>libi>n wa ‘Umdat al-Mufti>n, (Jedah: Da>r al-Minha>j, 2005. al-Ra>zi>, Fakhruddi>n Muh}ammad ibn ‘Umar, al-Mah}s}hu>l fi Ilmi Us}u>l al-Fiqh, t.tp: Mu’assasah al-Risa>lah, t.th al-Sha>fi’i>, Muh}ammad bin Idri>s >, al-Risa>lah (Mis}r: Mat}ba’ah Mus}t}afa> alBa>bi al-H}alabi>, 1938. al-Tursyidi, Maysur Sandi, ‘Umdat al-Fud}ala>’ Sharh} ‘ala Tadri>b al-Nujaba> fi Ba’d}i Is}t}ilah}a>t al-Fuqaha>, Kediri, Ma’had Mahir al-Riyad, t.th. Aminuddin, Luthfi Hadi, “Ilhaq al-Masa’il bi Nazairiha dan Penerepannya dalam Bahts al-Masa’il,” dalam al-Tahrir, Vol. 13, No. 2 November 2013: 297-320. Asy’ari, KHM. Hasyim, Ihya’ ‘Amal al-Fudala: Muqaddimah Anggaran Dasar NU, Kendal: tp., 1969. DZ, Abdul Mun’im, Hukum Manusia sebagai Hukum Tuhan: Berpikir Induktif, Menemukan Hakekat Hukum, Model al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. H}azm, Muh}ammad bin ‘Ali> bin, al-Andalusi, al-Ih}ka>m fi Us}u>l al-Ah}ka>m, Jilid II, Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmyyah, t.th. Hosen, Nadirsyah, “Nahdlatul Ulama and Collective Ijtihad,” dalam New Zealand Journal of Asian Studies 6, 1 (June, 2004): 5-26. Khaldu>n, Abdurrah}ma>n ibn Muh}ammad Ibn, Muqaddimat Ibn Khaldu>n, Dimashq: Da>r al-Balkhi, 2004. Mahfudh, KH. Sahal, Nuansa Fiqh Sosial, cet. IV, Yogyakarta: LKiS, 2004. Nasih, Ahmad Munjin, “Bahtsul Masail dan Problematikanya di Kalangan Masyarakat Muslim Tradisional,” dalam Al-Qanun, Vol. 12, No. 1, Juni, 2009, 121. Riza, Achmad Kemal, “Contemporary Fatawa of Nahdlatul Ulama, Between Observing the Madhhab and Adapting the Context,” dalam Journal of Indonesia Islam, Volume 05, Number 01, June 2011, pp. 29-65. Shuwaykh, ‘A>dil, Ta’li>l al-Ah}ka>m fi al-Shari>’ah al-Isla>miyyah, T}ant}a>: Da>r alBasyi>r li al-Thaqa>fah wa al-‘Ulu>m, 2000. Ya>fu>t, Sa>lim, Ibn H}azm wa al-Fikr al-Siya>si> bi al-Maghrib wa al-Andalus, (Dar Bayda: Markaz Thaqafi Arabi, 1986. Zahrah, Muh}ammad Abu>, Us}u>l al-Fiqh, Bayru>t: Da>r al-Fikr al-Arabi, 1958. Zahro, Ahmad, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masail 1926-1999, Yogyakarta: LKiS, 2004. Zaidan, Abdul Karim, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Bayrut: Muassasah al-Risalah, 2006
80 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH
National Proceeding on the Islamic Studies 81 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH ANTHROPOLOGY OF FRIENDSHIP: Study of the Indonesian Muslim Intellectual Community INSISTS Yanuardi Syukur Universitas Indonesia, Jakarta-Indonesia Email: [email protected] Article History: Received: 06-12-2022 Revised: 12-12-2022 Accepted: 22-12-2022 Keywords: Friendship, Muslim Intellectual, INSISTS Abstract: Friendship is one of the constitutions of communities. This paper discusses the constitutive basis for forming a friendship in the INSISTS community: shared vision, experiences, and personal relationships. The agents that make up INSISTS are agents who consciously choose to come together supported by the friendship that has existed before. Even though they come from different backgrounds in Islamic organizations, they unite to form an intellectual community that strives to spread Islam through intellectual channels. This paper was prepared based on literature and ethnographic research on the INSISTS community. The significance of this paper lies in the understanding of friendship, which has an important influence on the formation and synergy of agents in the Muslim intellectual community. INTRODUCTION According to Pitt-Rivers, friendship is the constitutive basis of all social bonds because solidarity and cooperation cannot be carried out without a level of pleasure, which is an aspect of friendly relations (Pitt-Rivers, 2016). In this paper, I will look at friendship as a constitutive basis for the Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) community, an organization founded by Indonesians students and lecturer of ISTAC in Malaysia and later developed in Indonesia. In this paper, I will discuss the constitutive bases of friendship that make up the INSISTS community and how those bases impact INSISTS activities. As a Muslim intellectual community, INSISTS is an excellent example of how to see an organization formed out of friendship. At least this community was formed due to historical similarities as a person close to Syed Muhammad Naquib Al Attas, whether as a student or colleague at ISTAC Malaysia. In addition, because of the similar vision to be involved in the Islamization of knowledge movement developed by Al Attas and his representative at ISTAC, Wan Mohd Nor Wan Daud. LITERATURE REVIEW Studies on the anthropology of friendship have been scanty. So far, the study has been divided into friendship in traditional and contemporary urban society. Studies of friendship in simple societies show that friendship is the constitutive basis of all social
82 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH ties for the simple reason that solidarity and cooperation cannot be carried out without a degree of pleasure, and this is an aspect of friendly relations (Pitt-Rivers, 2016). Fortes (1969) talks about “kinship friendship,” which is an essential principle of kinship that inspires solidarity in both interests and hearts. This friendship excludes all forms of reckoning between them; yours and mine cease to exist, and only ours exists. In his study of Bedouin society, Cole did not find “friends” in everyday language that uses kinship metaphors to show friendly relations. Friendship is claimed to be an invention of civilized people, and primitive people do not have the 'commitment perfection' emotional attachment outside of kinship (Pitt-Rivers, 2016). This leads to the idea that kinship and friendship are linked exclusively: a person feels the pleasure of friendship only to the extent that he has dropped the chain of kinship. Meanwhile, Eric Wolf (1966) defines two typologies of friendship, namely “expressive or emotive” and “instrumental,” based on Ruben Reina's 1959 ethnography of friendship in a small village in Guatemala. According to Pitt-Rivers (2016), we must consider these friends' age and social situations. We are far more affected by childhood friendships and remember them more than we do those we bonded with later in life (Pitt-Rivers, 2016). Mauss (1990), in the Gift, does not directly discuss friendship, but he touches on the essence of friendship in the form of gifts. Gifts are the simplest model of all forms of favors exchanged by friends. Giving is not just an object with a particular value but is also a ‘self-giving’ because it is part of oneself. Mauss’s essay discusses the obligation to give, receive and return gifts. He did not discuss the problem of motivation. Meanwhile, friendship in contemporary urban society sees that contemporary urban friendship variations need to be distinguished from ritual friendship, which is arranged to avoid the anxiety and disappointment surrounding contemporary friendship (Pitt-Rivers, 2016). Pitt-Rivers added an “ideology of universal friendship” and rejected the formalism of traditional manners that prevent constant intimacy. PittRivers has yet to consider the importance of emotion in studying friendship or overlook the emotional aspect. We must distinguish between self-serving “trafficking in persons” and generous and noble “relationships” inspired by love. From these two studies, it can be concluded that in friendship, there are contracts, promises or sacred bonds, conscience, sympathy and expressions of action, friendship rituals, and reciprocity. Reciprocity (depending on customs), but if the return signal does not come, it means that friendship is rejected and the initiator is humiliated so that he will become an enemy (Pitt-Rivers, 2016). A tacit agreement will be reached if the reply is within a reasonable timeframe and follows the initiator's expectations. In action, a true friend expresses something to please his friend, and action speaks louder than words. Friendship should be expressed in words and gestures.
National Proceeding on the Islamic Studies 83 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH METHODOLOGY This paper uses the method of literature study and ethnographic field research. As an ethnographic study, I recorded various field data, then coded and analyzed the data that emerged. In compiling this paper, I started with the introduction, literature review, research methods, results, and conclusions. This study is part of a complete INSISTS study I have undertaken for my Ph.D. RESULT AND DISCUSSION The History of INSISTS Formation The history of the formation of INSISTS in 2003 cannot be separated from the response to religious discourse, especially from the Liberal Islam Network (JIL), which campaigned for the liberalization of Islam. As a researcher-cum-preacher, INSISTS agents actively participate in academic studies and campaigns for the ‘danger of liberal Islam.’ Although INSISTS was not actively involved in drafting the MUI fatwa No. 7/MunasVII/MUI/11/2005, which forbids secularism, pluralism, and liberalism, their criticism since the formation of INSISTS as a unitary movement (2003), or even before, has strengthened fears of the dangers of Islamic liberalism. According to Adian Husaini, he was not involved in formulating the MUI fatwa regarding the prohibition of secularism, pluralism, and liberalism. INSISTS comes with a ‘new color’ as an Islamic community with an educated base against liberalism. Kersten (2018a) sees the INSISTS resistance as a “puritan and reactionary” group (Kersten, 2018a) against the “progressive” group of Liberal Islam. As an intellectual movement, INSISTS can be seen as a group called Gramsci (1891-1937) as organic intellectuals who are always actively moving and acting through what Edward W. Said (1935-2003) called “…the roles of intellectuals in society” (Said, 2018: 2). As activists with a strong Islamic vision, INSISTS agents want to make fundamental changes, creating a society based on Islamic thought in democratic ways and prioritizing cognitive understanding and forming networks in Indonesia. The presence of the INSISTS community in Indonesia (from 2003-2022) has received acceptance (and criticism at the same time) because Indonesian society has long been pluralistic as a result of what Mark Woodward (1988) calls “the interaction between local culture (local rituals and texts) and Islam.” This means that historically Indonesia's diversity is varied, colorful, and not monolithic, such as the Wali Songo preaching received by the Javanese people. Or, there is a situation of “social order and human agency influencing each other” (Karp & Maynard, 1983), which in the context of INSISTS activities cannot be separated from the social order, which manifests itself in a pluralistic religious form which is established but still dynamic in Indonesian society. The motto of “Unity in Diversity,” (bhinneka tunggal ika) which is translated as “different but still one,” has a strategic meaning as the identity of the Indonesian nation. This phrase, taken from Old Javanese, means that Indonesia's diversity—which is bound by around 1,128 ethnic groups and backgrounds around 17,508 islands—before the
84 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH word “Indonesia” was first used in the writings of James Logan (Kersten, 2018b), even before the presence of the state of Indonesian nation and independence. INSISTS agents do not question this diversity but try to “Islamize,” study, and incorporate Islamic values into various activities in people's lives. This fact is also reflected in the five precepts of Pancasila, which are taken from various local Indonesian and Islamic values. The formation of INSISTS is inseparable from the inspiration of the founder of ISAC, Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib Al Attas, an intellectual of Arab-Yemeni descent born in Bogor on 5 September 1931. Al Attas had the complete experience: growing up in Sukabumi, studying and teaching in England, Canada, and America, and applying his ideas regarding ‘Islamic universities’ (1970 in Mecca) through the founding of the International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) in 1987 (starting operations in 1991) under the support of Anwar Ibrahim. ISTAC operates under a campus founded in 1983, the International Islamic University of Malaysia (IIUM). Al Attas is the inspiration for the formation of the INSISTS community. Al Attas is a scholar descended from ahlu al-bait or descendants of the Prophet Muhammad saw from the sayyid lineage in the Ba’lawi family in Hadramaut with a genealogy up to Imam Husein, the grandson of the Prophet Muhammad. At age 5, Al Attas was sent by his parents to attend Ngee Heng Elementary School (1936-1941) in Singapore, then returned to Indonesia during the Japanese occupation and continued his studies at Madrasa Al’Urwatu al Wutsqa (1941-1945) in Sukabumi. In 1951 Al Attas joined the Malay Regiment; at that time, he had an injury, so his ears could not hear. Al Attas completed his tertiary education at the University of Malaya (Singapore). Hi earned a master of arts at McGill University with a thesis related to a Sufism figure in Aceh, Nur ad-Din ar Raniri, under the guidance of Prof. Dr. H. M. Rasjidi, an Indonesian intellectual who became a reference figure for several INSISTS agents. Al Attas's Ph.D. studies were completed at SOAS University of London (1965) with the dissertation about the Mysticism of Muslim sufi Hamzah Fansuri. After completing his Ph.D., Al Attas served as chairman of the Department of Literature at the Faculty of Malay Studies. From 1968-1970 he became Dean of the Faculty of Letters at the University of Malaya. At that time, he had tried to “maintain Malay as the language of instruction in faculties and universities,” to which his colleagues responded with pros and cons. As the Senior Founder of UKM, Al Attas tried to replace the use of English—as the language of instruction in UKM—with Malay (1970). In his inaugural speech as a UKM Professor, he wrote about “Islam in Malay History and Culture” (Husaini, 2015). Since childhood, Al Attas has interacted with the minds of Muslim scientists such as Imam Al-Ghazali, Imam Al Asy'ari, Nuruddin Ar Raniri, Hamzah Fansuri, Shadruddin Shirazy, and classical philosophers and mutakallim. The breadth of his knowledge has made him known as an expert and he has mastered various disciplines such as theology, philosophy and metaphysics, history, literature, and languages, in addition to Islamic sciences. Al Attas is in direct contact with Western education and traditional Islamic education. Al Attas's ideas are related to the Islamization of contemporary science, the nonneutralization of knowledge, criticism of the Islamic Worldview against the Western
National Proceeding on the Islamic Studies 85 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH Worldview, the history of Islam in the Malay Archipelago, philosophy of science, the concept of language, the concept of happiness, justice, and education. In Mecca (1970s), Al Attas initiated Islamic education based on true metaphysics. They conveyed the main problems of Muslims, namely the science issue and the importance of the Islamization of contemporary science. The application of this idea is at ISTAC, which was established for the conceptualization, clarification, elaboration, and defining critical Islamic words relevant to the cultural, educational, scientific, and epistemological problems contemporary Muslims face. At the ISTAC campus, Al Attas invites scholars from various countries to teach on a campus that was built with the 'architectural luxury' typical of Islamic civilization, which has “aesthetic value and has the goal of developing the soul” (Husaini, 2015). Al Attas was also an expert in writing, both calligraphy and books. People knew him as a prolific and authoritative writer. In addition, his calligraphy was exhibited at the Tropen Museum, Amsterdam (1954). Adian Husaini (2015) writes, “...he [Al Attas] has also published his three bismillah calligraphy written in the form of kingfisher, rooster, fish in several of his books.” Among his books are Raniri and the Wujudiyyah of the 17th Century Acheh (1969), The Mysticism of Hamzah Fansuri (1970), The Correct Date of the Terengganu Inscription (1970), Islam in Malay History and Culture (1972) and Risalah for Muslims (2001). The books Islam and Secularism (1978) and the Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam (1995) are the primary references for INSISTS agents and their network; in fact, they are dissected and reviewed every chapter regularly. When asked by an American Islamic scholar Hamza Yusuf—in an interview on Youtube—what is the Islamic world's main problem? Al-Attas replied, “loss of adab.” Adian Husaini (2015) commented, “Losing adab makes people barbaric, and that is the key root of all crises experienced by Muslims today.” The word ‘adab’ has become very familiar in INSISTS; often discussed, elaborated on, discussed, and even becomes the topic of a thesis or dissertation. According to Al Attas, adab means putting something in its place (Husaini, 2015: 21). Al Attas inspired INSISTS agents that the problem of the Islamic world—even the world in general—is the loss of adab. The discourse contest built by INSISTS agents is inseparable from their Worldview regarding Islam, which Al Attas teach as their lecturer at ISTAC, and their enthusiasm to spread these teachings to Indonesia through various means that are possible Organizational Background of INSISTS Agents The founding agents of INSISTS were ISTAC students and lecturers from Indonesia, namely Hamid Fahmy Zarkasyi, Adian Husaini, Ugi Suharto (lecturer), Anis Malik Toha (lecturer), Adnin Armas, Syamsuddin Arif, and Nirwan Syafrin. In its journey, INSISTS then recruited new researchers to strengthen its team. From 2003 to 2022, INSISTS agents showed similarities in the vision of the ‘Islamization of knowledge’ but differed in an agency capacity and agency changes that occurred in each agent.
86 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH Background of INSISTS agent organization affiliation, which is divided into founders and non-founders. When discussing the organization's background, I looked for any Islamic organizations that were joined by agents that had more or less influence on their religious views. Ugi Suharto has no Islamic organizations—such as NU or Muhammadiyah—he joined. However, he was active in Rohis (Rohani Islam, Muslim activist during high school in Jakarta) and studied Islam formally at IIUM and ISTAC. Ugi Suharto is a ‘pure intellectual’ whose tendency towards intellectuality is higher than activism. Ugi explained: “When INSISTS was founded, I had already completed my Ph.D. and even became a lecturer at ISAC. We, friends who founded INSISTS, want to contribute Islamic thought that we studied at ISTAC when Indonesia was hit by liberal thinking at that time.” (interview 20/2/2022) When INSISTS was founded, Ugi Suharto had completed his Ph.D. and had become an ISTAC lecturer. Together with his colleagues (ISTAC Masters and Doctoral students from Indonesia), Ugi founded INSISTS to “contribute to Islamic thought,” which they had learned at ISTAC when Indonesia was being hit by liberal thinking. Ugi explained that he believes that the thoughts of Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas will be able to offer Islamic thought that adheres to the traditions of thought of earlier Islamic scholars without having to be dazzled or confused with various thoughts that have emerged in the modern and postmodern world. (interview 20/2/2022) In brief, the Islamic organizations or communities that are joined by INSISTS agents, in general, are Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Pondok Modern Gontor, Indonesian Islamic Da'wah Council (DDII), Jami'ah Al Washliyah, Islamic Ummah Association (PUI), Islamic Association (PERSIS), Jama'ah Tarbiyah. Prosperous Justice Party (PKS) and Rabithah Alawiyah. Some agents are only active in that one organization. However, there are also those who are active in the two organizations, which makes the interaction between agents complex because there are many relationships that are involved in one intersubjectivity between agents. The interplay of power relations—as one form of agency (Ortner, 2006)—impacts how the types of interactions between agents and subsequently also impact INSISTS activities as a collective. Specifically for PKS, this organization can be seen as two things at once: an Islamic organization or Jama'ah Tarbiyah and a political party. Nahdlatul Ulama. Nahdlatul Ulama (“Ulama Awakening” or “Islamic Scholars Awakening,” established January 31, 1926) is a major Islamic organization in Indonesia engaged in the educational, social, and economic fields. The NU embryo had previously been present in the continuity of the struggle of the pesantren community against colonialism through Nahdlatul Wathan (“Awakening of the Homeland,” 1916), Taswirul Afkar or Nahdlatul Fikri (“Awakening of Thought,” 1918) and Nahdlatut Tujjar (“Awakening of the Merchants,” 1918). Since the founding of Nahdlatut Tujjar to improve the people's economy, Taswirul Afkar has focused on being an overgrowing study group and educational institution. The contextual factor for the formation of NU was when King Ibn Saud in Mecca wanted to apply a ‘single principle’ (Wahabi school) and destroy Islamic and pre-Islamic
National Proceeding on the Islamic Studies 87 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH historical heritage. In Indonesia, this idea was accepted by modernists. However, it was not accepted by Islamic boarding schools, which up until now have defended diversity and rejected sectarian restrictions and the destruction of this civilizational heritage. Additionally, driven by the spirit of creating freedom of thought and preserving civilization, pesantren circles were forced to form their delegation called the Hejaz Committee, chaired by KH. Wahab Hasbullah. In the context of the ad hoc embryonic organization of the Hejaz Committee, after that, it was felt necessary to form a more inclusive and more systematic organization to anticipate the times. After coordinating with various kiai, an agreement finally emerged to form an organization called Nahdlatul Ulama (Ulama Awakening) on 16 Rajab 1344 H (January 31, 1926). KH leads this organization. Hasyim Asy'ari as Rais Akbar. The goal of the NU organization is to uphold Islamic teachings, according to Ahlussunnah Wal Jama’ah amid people’s lives, within the Unitary State of the Republic of Indonesia (NKRI). The organization's religious efforts are carrying out Islamic da'wah and increasing a sense of brotherhood based on the spirit of unity in diversity. Organize education under Islamic values to form pious, virtuous, knowledgeable Muslims. In the socio-cultural field, seek the welfare of the people and culture following Islamic and human values. In the economic field, NU strives for equal distribution of opportunities to enjoy the benefits of development by prioritizing the development of the people's economy and developing other businesses that benefit the wider community. INSISTS agents from NU backgrounds are Anis Malik Toha and Syamsuddin Arif. Anis was raised in a family of students in Pati, Central Java. His father, H. Ahmad Thoha, was a religious figure and had a kinship with the clerics in the Pati and Kudus areas, including KH. Sahal Mahfudz has served as General Chairperson (Rais Aam) of the PBNU and General Chair of the MUI. Unlike most of the founders of INSISTS, whose genealogy for the idea of the Islamization of science came from Al Attas, Anis Malik Toha was inspired by this idea from Ismail Raji' Al Faruqi in Pakistan. Anis completed her doctoral degree in comparative religion at the International Islamic University Islamabad (IIUI), Pakistan, in 2001 with a dissertation entitled Ittijahat al-Ta'addudiyyah al-Diniyyah wa al-Mawqif al-Islami minha.' She won the Gold Medal (gold medal) from IIUI, on March 12, 2005, as the best Ph.D. graduate. Meanwhile, Syamsuddin Arif sees Islam from a more philosophical, optimistic, and critical perspective. An ideological horizon that was basically built by Muslim figures such as Mohammad Natsir and Mohammad Rasyidi. Like his teacher at ISAC, Syed Muhammad Naquib Al Attas, Syamsuddin Arif is also known as an advocate for the Islamization of knowledge and Islamic worldview. His thoughts on this matter can be found in his writings, which are Islamic Science: Paradigma, Fakta dan Agenda [Islamic Science: Paradigm, Facts, and Agenda] (2016) and Islam dan Diabolisme Intelektual [Islam and Intellectual Diabolism] (2017), which describe his alignment with Islamic intellectuality. His busy life as a teacher and researcher of Islamic Philosophy at Darussalam Gontor University has kept his activity as the Founder and Researcher of INSISTS and Mustasyar NU, South Jakarta.
88 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH Muhammadiyah. Muhammadiyah is an Islamic organization founded by KH. Ahmad Dahlan in Yogyakarta (20 December 1912). As an Islamic movement, Persyarikatan Muhammadiyah was built as a concrete result of studying and deepening tadabbur Al-Qur'an. This factor is the most important one that encourages the establishment of Muhammadiyah, while other factors can be regarded as supporting or merely stimulating factors. With sufficient accuracy in studying the verses of the Qur'an, especially when studying Ali Imran's letter, verse 104, a concrete practice was finally born, namely the birth of the Muhammadiyah Association. Muhammadiyah was born because it was inspired, motivated, and encouraged by the teachings of the Qur'an. In addition, all programs by Muhammadiyah, both in the fields of education and teaching, social affairs, household affairs, economy cannot be separated from efforts to actualize and implement Islamic teachings. The Muhammadiyah movement wants to present the face of Islam in a natural, concrete, and tangible form, which the people can live, feel, and enjoy as rahmatan lil'alamin. As an Islamic da'wah movement, this characteristic emerged from its inception and remains inseparable from the identity of Muhammadiyah. The main factor that encouraged the establishment of Persyarikatan Muhammadiyah came from the deepening of KH. Ahmad Dahlan on the Qur'an, especially Ali Imran's letter 104. It was based on this letter that Muhammadiyah put down the khittah or basic strategy of its struggle, namely da'wah (calling, inviting) Islam, amar ma'ruf nahi munkar with the community as its battlefield. The Muhammadiyah movement participates in Indonesian society by building various kinds of charities that can touch the needs of many people, such as various educational institutions from kindergartens to universities, building various hospitals, orphanages, etc. All of Muhammadiyah's charitable endeavors are nothing but a manifestation of Islamic da'wah. All business charities are carried out with a single intention and purpose, namely to be used as a means and vehicle for Islamic da'wah. As a renewal or tajwid movement, or reform movement, Muhammadiyah, from the beginning, positioned itself as one of the organizations dedicated to spreading the teachings of the Islamic Religion as stated in the Qur'an and As-Sunnah. Also, cleaning up the various practices of the people who openly deviate from Islamic teachings, either in the form of superstition, shirk, or heresy, through the da'wah movement. Muhammadiyah is one of the links in the tajdid movement initiated by the great scholar Ibnu Taimiyah who combats various deviations from Islamic teachings such as shirk, khurafat, bid'ah and tajdid because all of these are considered parasites that can damage one's faith and worship. The nature of tajdid imposed on the Muhammadiyah movement is not only limited to the efforts to purify Islamic teachings from various impurities that stick to their bodies but also includes Muhammadiyah efforts to carry out various reforms in the ways of implementing Islam in social life. In connection with one of the characteristics of Muhammadiyah as a tajdid movement, Muhammadiyah can be stated as a purification movement and a reform movement.
National Proceeding on the Islamic Studies 89 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH INSISTS agents from Muhammadiyah are Adian Husaini, Adnin Armas, Syamsuddin Arif, and Fahmi Salim. The interactions between these agents are synergistic, compromising, and mutually supportive. Adnin Armas and Syamsuddin Arif only appeared to have developed a research organization within INSISTS. At the same time, Fahmi Salim founded the Al Fahmu Institute and became a colleague of INSISTS, such as Adian Husaini as the speaker. Their interactions with agents from other organizations in INSISTS are also synergistic, compromising, and mutually supportive. The differences in furu'iyah (branches, something that not fundamental in Islam) between Muhammadiyah and NU have not prevented the synergy from working. The common focus on the Islamization of knowledge and da'wah makes the synergy between these agencies run continuously. The existence of mutual understanding also determines the interaction between these agents. Persatuan Ummat Islam. The Islamic Ummah Association is an Islamic mass organization in West Java that was formed on April 5, 1952, as a combination of two Islamic mass organizations, namely the Islamic Oemmat Association (POI) from Majalengka and the Indonesian Islamic Oemmat Association (POII) from Sukabumi. On 20 Rajab 1329 or July 17, 1911, KH. Abdul Halim founded Jam'iyah Hayatul Qulub in Majalengka. The association is engaged in da'wah and Islamic education through the establishment of Madrasah I'anat Al Mu'allimin and social and economic activities through cooperatives and agricultural businesses. Twenty years after Jam'iyah Hayatul Qulub, another Islamic organization was founded in Jakarta on October 21, 1931, under the name Al Ittihadiyatul Islamiyah. Ahmad Sanusi founded the organization in response to attacks from the Cilame Sunnah Expert Council in Garut, which lean towards modernists. PUI is an organization that is based on Islam, which in practice is guided by the Qur'an and As-Sunnah according to the understanding of Ahlussunnah waljama'ah, and within the framework of the Unitary State of the Republic of Indonesia based on Pancasila. PUI's goal is to realize individuals, families, communities, nations, countries, and civilizations pleasing to Allah SWT. PUI's efforts are to foster and develop Islamic teachings according to the correct and correct understanding of Ahlussunnah waljama'ah and to carry out amar ma'ruf nahyi munkar, towards upholding aqidah and implementing Islamic shari'a in a kaffah manner. PUI also increases the people's enthusiasm to do Islamic acts of worship and mu'amalah and broadly realizes and develops Islamic da'wah, education, training, and teaching activities. The INSISTS agent from PUI is Wido Supraha. Wido has never held a strategic position at INSISTS, but as an INSISTS Researcher, he often carries this identity in various publications, apart from being an MUI and PUI administrator. Wido Supraha is an INSISTS Researcher from PUI who is active on social media and develops networks on behalf of the Adab Insan Mulia Foundation, which synergizes with INSISTS agents in their activities. The alumni factor of the BAZNAS-DDII Ulama Cadreization Program (PKU, Program Kaderisasi Ulama) at the UIKA Bogor Campus also contributed to the closeness between Wido and Adian Husaini (DDII/INSISTS/UIKA) and colleagues who