140 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH 3) Wakaf Khairi Seumur Hidup Seumur hidup maksudnya, wakif tidak menentukan jumlah total harta yang akan diwakafkan, namun bersedia senantiasa berwakaf secara rutin dalam periode tertentu selama wakif masih hidup. Dalam hal ini juga dilakukan kontrak yang menyebutkan periode dan jumlah harta yang akan diwakafkan. Cara ini cocok bagi orang yang ingin berwakaf secara terencana, namun tidak ingin memberatkan ahli warisnya. Adapun Keunggulan Wakaf Khairi, di antaranya: a) MUDAH, Karena dengan nilai berapapun kita sudah bisa berwakaf, baik atas nama kita maupun keluarga, jadi apapun status sosial kita Insya Allah bisa. b) UANG TAK BERKURANG. Dana yang diwakafkan, tidak akan berkurang jumlahnya. Sebaliknya, dana itu akan berkembang melalui investasi yang dijamin aman, dengan pengelolaan secara amanah, bertangung jawab, professional, dan transparan. c) MULTI MANFAAT. Hasil investasi dana itu akan bermanfaat untuk mendukung aktivitas pendidikan, dakwah, dan sosial, serta kesejahteraan masyarakat (social benefit). d) INVESTASI AKHIRAT. Manfaat yang berlipat itu menjadi pahala wakaf yang terus mengalir meski sudah meninggal dunia, sebagai bekal di akhirat yang disebut dalam hadist Rasulullah "Sadaqotun Jariyatun". b. Wakaf Syuyu’i Wakaf yang dilakukan dengan bersama sebagaimana yang dilakukan Rasululllah SAW saat menentukan lokasi Masjid Nabawi. Kejadian itu dilakukan kemudian oleh Bani Najjar yang membangun masjid secara bergotong-royong oleh banyak orang untuk kepentingan lebih banyak orang lagi (wakaf syuyu'i). Bahkan Zaim Zaidi (mantan Ketua Dompet Dhua’afa) mengatakan bahwa wakaf Syuyu’i dapat dilakukan dengan melalui wakaf uang yang kemudian dipergunakan untuk mengelola usaha yang lebih besar atau pelaksanaan diversifikasi usaha. Keuntungan Wakaf Syuyu’i adalah sama dengan Wakaf Khairi, namun manfaat yang diperoleh jauh lebih besar. Wakaf Syuyu’i terdiri dari semua orang yang berhak atas manfaat wakaf berdasarkan tujuan khusus, dan perhitungan suara mereka tergantung kepada banyaknya bagian yang diperolehnya. Kemudian ditambah 20 orang yang mewakili mereka dan berhak atas wakaf berdasarkan tujuan umum yang dipilih oleh penduduk setempat c. Wakaf Ahli atau Wakaf Dzurri Wakaf yang ditujukan dan diperuntukkan kepada orang-orang tertentu, seseorang atau lebih, keluarga wakif atau lainnya. Dikarenakan umumnya wakaf ini diberikan kepada ahli waris wakif, maka jenis wakaf ini disebut dengan Wakaf Ahli atau Wakaf Dzurri. Tujuan dari wakaf ini adalah membela nasib keluarga. Dalam konsep hukum Islam, seseorang yang berharta dan meninggal, maka baiknya ia meninggalkan harta untuk keturunannya terlebih dahulu, sanak saudaranya, kerabatnya dan kemudian masyarakat umum. Hal ini dimungkinkan untuk
National Proceeding on the Islamic Studies 141 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH menghindari keturunan yang tidak berharta lalu menjadi miskin dan cemoohan orang. Wakaf Dzurri terdiri dari semua orang-orang yang berhak atas wakaf atau manfaatnya, dan perhitungan suara mereka tergantung dari tingkatan bagiannya masing-masing. Hal ini dicontohkan Rasulullah kepada Abu Thalhah agar berwakaf sebagian hartanya untuk keluarga dan kerabatnya yang membutuhkan. Perbuatannya kemudian diikuti oleh beberapa sahabat lainnya, seperti Abu Bakar Ash Shiddiq, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Muaz bin Jabal dan lainnya. Sejarah Wakaf dari Masa ke Masa Perkembangan perwakafan tidak akan pernah lepas dari sistem penguasa sebagai pihak yang paling bertanggungjawab untuk memanjukan aset wakaf. Pada tulisan ini, kami akan membahas masa Kerajaan Dinasti Islam yang ada di Timur Tengah dan di Indonesia sebagai perbandingan. 1. Kerajaan Dinasti Islam Sepeninggal Rasulullah yang mewariskan prinsip ketuhanan, sistem pemerintahan, perdagangan dan kehidupan sosial bernegara, masa Shahabat melanjutkannya dengan pengembangan pemerintahan ke Hijaz. Wakaf yang dilakukan oleh kaum muslimin adalah memberikan perlengkapan sarana dan prasarana perang, penyediaan budak dan membangun tempat berteduh. Pada Dinasti Umayyah dan Abbasiyyah, perlombaan berwakaf juga dilakukan bukan saja hanya untuk memenuhi kebutuhan kaum miskin, namun juga untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan peneilitan. Banyak harta wakaf yang dipergunakan untuk membangun lembaga pendidikan, perpustakaan, membiayai operasional pendidikan dan bea siswa. Saat Dinasti Umayyah berkuasa, khususnya masa Hisyam ibn Abdul Malik, memberikan keluasan kepada Hakim Mesir yang bernama Taubah bin Ghaffar atHadrami untuk melakukan pengelolaan dan pengembangan dibawah koordinasinya dengan membentuk lembaga wakaf sendiri di Bashrah. Ketika zaman Dinasti Abbasiyyah, dibentuklah sebuah lembaga wakaf yang diberi nama Shadr al-Wukuf yang bertugas mengelola adminstrasi wakaf, memilih staf yang kompeten sehingga lebih professional. Pada kekuasaan Dinasti Fathimiyyah, saat dibawah kekuasaan Sultan Al Muiz Li Diinillah, hampir semua tanah pertanian adalah milik wakaf dan beliau perintahkan untuk membangun sebuah universitas megah dan memberikan bea siswa dari seluruh dunia hingga sekarang. Universitas itu kita kenal dengan nama Al Azhar. 2. Indonesia Sebelum Belanda menjajah, penduduk di Indonesia sudah mengenal wakaf dengan nama yang berbeda, seperti Huma di Serang, Bengkok di Jawa dan beberapa nama lainnya. Terlebih saat Kerajaan Islam di Indonesia, harta benda wakaf sangat banyak yang tersebar di lokasi strategis. Ketika kolonial Belanda berkuasa, seluruh harta benda wakaf dikuasai oleh pemerintah Belanda, hal ini dikhawatirkan akan dijadikan alat untuk melawan mereka. Pengorganisasiannya dibawah koordinasi Governemen dibawah perintah langsung sang Ratu Belanda organisasi.
142 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH Pada zaman kemerdekaan, terjadi stagnasi, maka pada tahun 1960 Pemerintah mengeluarkan perintah bahwa tanah-tanah wakaf dilakukan dibawah pengawasan Bupati dengan pencatatan dibawah kekuasaan Kementerian Agraria dan Pertanahan. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 yang mengeluarkan Kompilasi Hukum Islam dimana satu Klausulnya mengatakan bahwa tanah-tanah wakaf diadminstrasikan oleh Nazhir dengan pencatatan dibawah Badan Pertanahan Nasional. Tahun 2004, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf sebagai pengembangan KHI dan disusul dengan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Pengembangan itu membawa perubahan yang sangat signifikan yaitu merubah paradigma dari wakaf konsumtif menjadi wakaf produktif, menjadikan nazhir sebagai centre point pemberdayaan dan pengelolaan tanah wakaf, memperluas jenis harta benda wakaf, mewujudkan sebuah lembaga yang bertanggung jawab terhadap perwakafan di Indonesia. Badan wakaf mengambil keputusan yang dianggap mendasar bagi wakaf dan mengarahkan strategi produksi dan penyaluran hasilnya sehingga dapat tercapai tujuan wakaf yang sebanyak-banyaknya. Badan wakaf juga berhak mengangkat dewan pengurus dan mengawasi kinerja mereka, termasuk kinerja nadzir dan menetapkan honor yang layak bagi mereka. Di samping itu, badan wakaf juga berhak membantu pengawas keuangan dan menetapkan gajinya, serta menyetujui laporan penutupan pembukuan. Badan wakaf berkumpul setahun sekali atas undangan dari nadzir. Badan wakaf juga dapat diundang dalam sidang istimewa atas permintaan nadzir atau dewan pengurus, atau diwakilkan pada tiga orang yang dapat mewakili suara mereka atau dari pihak Kementerian Wakaf. Pada rapat pertamanya, badan wakaf dapat memilih ketuanya untuk masa pengabdian selama 5 tahun. Rapat badan wakaf dinyatakan sah, apabila dihadiri oleh mereka yang mewakili suara terbanyak, baik asli ataupun perwakilan, dan membuat keputusan berdasarkan suara mayoritas peserta rapat yang hadir. Dasar Hukum Pelaksanaan Perwakafan di Indonesia. Adapun dasar hukum yang menjamin pelaksanaan perwakafan di Indonesia antara lain diatur dalam: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik Jo PMA No. 1 Tahun 1978 Tentang Pelaksanaan PP No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik. 2. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. 3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang telah di ubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006. 4. Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. 5. Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Tata Cara Perwakafan Tanah Hak Milik. Tata cara perwakafan tanah milik secara berurutan dapat diuraikan sebagai berikut:
National Proceeding on the Islamic Studies 143 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH 1. Perorangan atau badan hukum yang mewakafkan tanah hak miliknya (sebagai calon wakif) diharuskan datang sendiri di hadapan PPAIW untuk melaksanakan Ikrar Wakaf. 2. Calon wakif sebelum mengikrarkan wakaf, terlebih dahulu menyerahkan kepada PPAIW, surat-surat sebagai berikut: a. Sertifikat hak milik atau tanda bukti kepemilikan tanah. b. Surat Keterangan Kepala Desa diperkuat oleh Camat setempat mengenai kebenaran pemilikan tanah dan tidak dalam sengketa. c. Surat Keterangan pendaftaran tanah. d. Ijin Bupati / Walikota c.q. Sub Direktorat Agraria setempat, hal ini terutama dalam rangka tata kota atau master plan city. 3. PPAIW meneliiti surat-surat dan syarat-syarat, apakah sudah memenuhi untuk pelepasan hak atas tanah (untuk diwakafkan), meneliti saksi-saksi dan mengesahkan susunan nazhir. 4. Di hadapan PPAIW dan dua orang saksi, wakif mengikrarkan atau mengucapkan kehendak wakaf itu kepada nadzir yang telah disahkan. Ikrar wakaf tersebut diucapkan dengan jelas, tegas dan dituangkan dalam bentuk tertulis (ikrar wakaf bentuk W.1). Sedangkan bagi yang tidak bisa mengucapkan (misalnya bisu) maka dapat menyatakan kehendaknya dengan suatu isyarat dan kemudian mengisi blanko dengan bentuk W.1. Apabila wakif itu sendiri tidak dapat menghadap Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), maka wakif dapat membuat ikrar secara tertulis dengan persetujuan dari Kandepag yang mewilayahi tanah wakaf dan kemudian surat atau naskah tersebut dibacakan dihadapan nazhir setelah mendapat persetujuan dari Kandepag dan semua yang hadir dalam upacara ikrar wakaf tersebut ikut menandatangani Ikrar Wakaf (bentuk W.1). 5. PPAIW segera membuat Akta Ikrar Wakaf (bentuk W.2) rangkap empat dengan dibubuhi materi menurut ketentuan yang berlaku dan selanjutnya, selambat-lambatnya satu bulan dibuat ikrar wakaf, tiap-tiap lembar harus telah dikirim dengan pengaturan pendistribusiannya sebagai berikut. Akta Ikrar Wakaf: a. Lembar pertama disimpan PPAIW. b. Lembar kedua sebagai lampiran surat permohonan pendaftaran tanah wakaf ke kantor Subdit Agraria setempat (W.7). c. Lembar ketiga untuk Pengadilan Agama setempat. Adapun Salinan Akta Ikrar Wakaf : a. Lembar pertama untuk wakif. b. Lembar kedua untuk nazhir. c. Lembar ketiga untuk Kandep. Agama Kabupatan / Kota. d. Lembar keempat untuk Kepala Desa setempat.Disamping telah membuat Akta, PPAIW mencatat dalam Daftar Akta Ikrar Wakaf (bentuk W.4) dan menyimpannya bersama aktanya dengan baik. KESIMPULAN Eksistensi wakaf dan pemberdayaannya sangat tergantung pada nazhir. Nazhir berkewajiban mengerjakan segala sesuatu yang layak untuk menjaga dan mengelola harta wakaf. Nazhir terdiri dari nazhir perorangan, organisasi atau badan hukum.
144 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH Pengelolaan wakaf lebih potensial diterapkan oleh nazhir lembaga, baik organisasi maupun badan hukum, dibandingkan dengan nazhir perseorangan yang berbasis manajemen tradisional. Selain itu, berdasarkan jumlah pengurus dan staf, nazhir organisasi dan badan hukum jumlahnya lebih besar dari pada nazhir perseorangan. Secara umum, pengelolaan wakaf dapat terarah dan terbina secara optimal, apabila nazhirnya amanah (dapat dipercaya) dan profesional. Karena dua hal ini akan menentukan apakah lembaga tersebut pada akhirnya bisa dipercaya atau tidak. Salah satu masalah di bidang keagamaan yang menyangkut pelaksanaan tugas-tugas keagrariaan adalah perwakafan tanah milik. Begitu pentingnya masalah perwakafan tanah milik tersebut ditinjau dari sudut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, sehingga perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah. Berhubung dengan masalah perwakafan tersebut bersifat untuk selama-lamanya (abadi), maka hak atas tanah yang jangka waktunya terbatas tidak dapat diwakafkan. Dalam Undang-undang Pokok Agraria hanya hak milik yang mempunyai sifat yang penuh dan bulat, sedangkan hak-hak atas tanah lainnya seperti hak guna usaha, hak guna bangunan,hak pakai, hanyalah mempunyai jangka waktu yang terbatas, sehingga oleh karenanya pemegang hak-hak tersebut tidak mempunyai hak dan kewenangan seperti halnya pemegang hak milik,oleh karena itu lebih mudah dan simple tanah yang sifatnya hak milik untuk di wakafkan. DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman Kasdi, 2017, Peran Nadzir dalam Pengembangan Wakaf, Kudus: STAI Kudus Departemen Agama, 2007, Fiqih Wakaf, Jakarta: Direktorat Wakaf. Departemen Agama, 2008, Model Pengembangan Wakaf Produktif, Jakarta: Direktorat Wakaf. Djunaidi, Achmad dkk, 2005, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Jakarta: Direktorat Wakaf. Hasymi, Sherafat Ali, 1987, “Management of Waqf: Past and Present,” dalam Hasmat Basyar (ed.), Management and Development of Auqaf Properties, Jeddah: Islamic Research and Training Institute and Islamic Development Bank. Qahaf, Mundzir, 2006, al-Waqf al-Islami; Tat}awwuruhu, Idaratuhu, Tanmiyyatuhu, Syiria: Dar al-Fikr Damaskus, cet. II. PP. No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU. No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Www.bwi.or.id. Diakses pada 12 September 2014.
National Proceeding on the Islamic Studies 145 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH ILMU BEBAS DAN TERIKAT NILAI: TELAAH HISTORIS TRAGEDI MIHNAH Ilyas Mahasiswa S3 Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Email: [email protected] Article History: Received:08-12-2022 Revised:14-12-2022 Accepted:24-12-2022 Keyword: Bebas Nilai, Terikat Nilai, Mihnah Abstract: Artikel ini dimulai dengan bahasan peradaban bangsa melayu yang erat dengan religiusitas, salah satu yang terjadi ialah diwilayah masyarakat Banjar yakni Kalimantan Selatan. Urang Banjar (masyarakat banjar) dikenal dengan kearifan lokalnya yang unik-unik. Salah satunya ialah tradisi batamat Qur’an, yang merupakan tradisi lokal bermuatan nilai-nilai ajaran agama Islam. tradisi batamat dalam kajian historis diperkirakan telah ada sejak abad 14M, namun masih tetap eksis keberadaannya hinga saat ini. Dalam kajian Al-Qur’an fenomena seperti batamat dikenal dengan istilah living Qur,an (Al-Qur’an yang hidup dalam fenomena sosial). Tradisi ini jika dicermati banyak mengandung nilai-nilai ajaran agama islam didalamya, seperti mengimani Al-Qur’an, gotong royong dan saling membantu (taawun), sedekah, hingga ekspresi rasa syukur. Tradisi batamat bagi masyarakat banjar tidak hanya sebuah tradisi lokal, namun sebagai wujud syukur dan mengharap keberkahan hingga keselamatan baik terhadap dirinya sendiri, keluarga dan lingkungan sekitar. PENDAHULUAN Kemajuan ilmu di masa Dinasti Abbasiyah akibat persentuhan dengan budaya nonarab membawa kejayaan pengetahuan yang tiada tara, arus pemikiran berkembang pesat, lembaga-lembaga pendidikan dan pengetahuan menjamur sampai ke pelosok-pelosok, serta peninggalan tertulis dan jejak tidak tertulis menjadi sebuah warisan yang tak ternilai. Di sisi lain perkembangan pengetahuan yang tak terbendung ini, membawa efek negatif yang menerobos nilai-nilai bagi pengetahuan itu sendiri. Sejak saat itu, ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah nilai dalam perspektif yang berbeda. Dalam pembahasan makalah sesuai judul di atas misalnya: Ketika Ahmad bin Hanbal (164-241 H) mengajukan pendapatnya tentang Al-Qur’an adalah Qadim. Berbeda dengan pendapat negara yang bermain mata dengan kelompok Mu’tazilah yang menyatakan Al-Qur’an itu Makhluq (hadits), sehingga terjadi interaksi antara ilmu dan nilai (yang bersumber pada kebijakan politik negara). Dari kasus Ahmad bin Hanbal tersebut, pada dasarnya mencerminkan suatu pertentangan antara ilmu yang ingin terbebas dari nilai-nilai di luar bidang keilmuan dengan ilmu yang berlandaskan pada nilai-nilai di luar bidang keilmuan. Pada penelitian ini, akan dijelaskan mengenai paradigma tentang ilmu tersebut. Tujuan dari penulisan makalah ini, secara khusus adalah mengangkat nilai positif sejarah perkembangan pengetahuan dan pemikiran Islam di masa lalu agar manusia di masa kini menghargai pendapat yang berbeda demi kemanusiaan itu
146 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH sendiri. LANDASAN TEORI Dalam kajian ulumul Qur’an terdapat teori Nuzulul Qur’anyang didasarkan pada dua riwayat “tafsir” yang berbeda antara Ibnu Abbas dan As-Sya’bi1 memicu terjadinya pertentangan pandangan teologis dalam perkembangan diskursus kalam pada masa-masa selanjutnya. Pandangan ini membelah pemikiran sekte teologis kaum Mu’tazilah dengan dalil hadisnyaAl-Qur’an dan Asy’ariyah yang menentang teori Mu’tazilah. Argumen teologis kalangan Asy’ariyah menyatakan bahwa al-Qur’an yang merupakan kalamullah adalah bagian dari sifat Dzatiyah Tuhan. Di sini, mereka mendefinisikan sifat sebagai “sesuatu yang berbeda dengan Dzat, tetapi tidak bisa dipisahkan dari Dzat-nya”. Argumen inilah yang meneguhkan pandangan teologis kelompok ini bahwa al-Qur’an bersifat kekal (qadim), karena al-Qur’an menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sifat dzat Allah yang kekal, yaitu sifat kalam. Berbeda dengan kelompok tradisional, kalangan rasional2 mengklasifikasi-kan sifat kalam Tuhan sebagai bagian dari sifat perbuatan Tuhan (shifatul fi’li). Akibatnya, sebagai hasil pekerjaan, kalam dianggap sebagai bentuk ciptaan yang baru (makhluq), terpisah dari dzat Tuhan, dan tidak kekal. Pandangan ini sesuai dengan teori Nuzulul Qur’an yang dipahami sebagai turun berangsur-angsur sejak awal. Dalam hal ini ilustrasi perbuatan Tuhan dalam berkalam yang menghasilkan al-Qur’an sama saja dengan keberlangsungan perbuatan Tuhan dalam mencipta yang menghasilkan kreasi ciptaan sesuai kehendak-Nya di sepanjang masa. Dua pendapat ini dalam posisi ilmu pengetahuan adalah suatu kewajaran dalam berijtihad, namun begitu sengitnya perbedaan dua pandangan teologis ini sampaisampai pertentangan ini membawa tragedi kelam dalam perkembangan sejarah intelektual Islam yang menyeret Imam Ahmad bin Hanbal ke dalam penjara khalifah al-Ma’mun lantaran ia tidak mau mengakui bahwa al-Qur’an adalah makhluk (hadits). Imam Ahmad baru bisa dibebaskan setelah khalifah al-Mu’tasim yang menggantikan al-Ma’mun menganti paham resmi kekhalifahan Abbasiyah dari mengikuti aliran Mu’tazilah menjadi paham tradisional sunni. METODE PENELITIAN Pembahasan mengenai Tragedi Mihnah mempunyai keterikatan erat dengan dua macam disiplin ilmu yakni, Pertama, menyangkut ilmu Al-Qur’an (Ulumul Qur’an), dan kedua sangat berkaitan erat dengan ilmu Sejarah, yakni berkenaan dengan wacana sejarah pemikiran Islam. Dalam pembahasan, kedua pendekatan keilmuan dituangkan secara terpadu, hingga pembahasannya menjadi terfokus. Lingkup pembahasan diarahkan sekitar pembentukan nalar politik Al-Ma’mun yang berkaitan dengan karakter dasar pemikiran Mu’tazilah, kebijakan politiknya, situasi dan kondisi politik pada masa itu, serta kondisi lingkungan yang ada pada waktu itu. Berdasarkan hal tersebut, sebagaimana telah disebutkan dalam pengantar, 1 Pembahasan mengenai pendapat Nuzulul Qur’an lihat Subhi As-Shalih, Mabahits fii Ulum alQur’an, (Terj.), 1999, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. Ke-7, h. 53-70. Manna’ Al-Qathan, Mabahits fii Ulum al-Qur’an, h. 100-105 2 Menurut Muhammad Baqir Ash-Shadr, Rasional adalah teori yang terangkum dalam kepercayaan adanya dua sumber konsepsi. Pertama, penginderaan (sensasi). Kedua, fithrah dalam arti akal manusia memiliki pengeertian-pengertian dan konsepsi-konsepsi yang tidak muncul dari indera. Baca Muhammad Baqir Ash-Shadr, 1999, Falsafatuna, Bandung: Mizan, Cet. Ke-7, h. 29
National Proceeding on the Islamic Studies 147 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH maka masalah pokok yang akan dibahas adalah kebijakan Al-Ma’mun yang sangat pro dengan pengetahuan dan rasio sebagai panglima di satu sisi. Dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dengan membungkam ulama dan rakyat untuk mengikuti nilai-nilai yang mereka berlakukan di sisi yang lain. Pada akhir pembahasan akan dirumuskan kesimpulan yang bersifat menjawab masalah pokok di atas secara terlebih dahulu dikemukakan isi pembahasan. Penulisan terhadap masalah dilakukan melalui pendekatanlibrary research. Literatur sejarah yang mencatat sejarah intelektual di masa Kekhalifahan Abbasiyyah khususnya sewaktu al-Ma’mun berkuasa dijadikan sumber utama, terutama sekali yang fokus membahas perdebatan teologis tentang Al-Qur’an itu makhluq atau qadim yang mengakibatkan terjadinya uji kompetensi (mihnah atau inquisition) terhadap tokoh-tokoh yangberseberangan dengan pendapat pemerintah. Buku-buku yang membahas ilmu Al-Qur’an (Ulumul Qur’an), juga dijadikan sumber utama, terutama yang lebih fokus membahas teori Nuzulul Qur’an yang berpandangan kekal (qadim) atau baru (hadis)-nya al-Qur’an. Sedangkan untuk menganalisa keterkaitan peristiwa dengan konsep ilmu yang bersifat independen (bebas) dan terikat nilai, buku-buku yang membahas filsafat nilai juga dijadikan sumber komplementer dalam penulisan makalah. Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode deskriptifanalitis. Metode deskripsi digunakan untuk membantu mengidentifikasi dan memaparkan masalah yang menjadi fokus pembahasan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia3, deskripsi adalah pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata secara jelas dan terperinci. Sedangkan analisis berarti penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan. HASIL DAN PEMBAHASAN Di awal kekuasaan Bani Abbasiyyah, ketika Abu Abbas Al-Shaffah menjadi khalifah (132-136 H/750-754 M), belum memiliki concern pada ilmu pengetahuan, hal ini disebabkan karena pemerintah fokus pada persoalan integrasi politik untuk menstabilkan kondisi negara. Penggantinya, Abu Ja’far Al-Mansur (memerintah 136- 158 H/754-775 M), masih juga menyibukkan diri dalam pembenahan pemerintahan dan pembentukkan ibu kota baru di Baghdad.4 Baru di masa Harun Al-Rasyid (memerintah 170-193 H/787-810 M) keadaan politik mulai stabil, sehingga pemerintahan dapat berkonsentrasi pada pengembangan ilmu pengetahuan. Salah satu karya monumentalnya adalah pembentukan gedung observatorium negara yang dinamakan Baitul Hikmah (wisma filsafat).5 Kegiatan ilmiah yang dilakukan pada masa Abbasiyah pertengahan awal ini membawa pengaruh revolusi berpikir bebas. Pola pikir yang cenderung bebas ini, menjadi penyebab masuknya gelombang Hellenisme6 ke arena pemikiran umat Islam 3 Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, h. 43 dan 258 4 Tsuroya Kiswali, 2007, Al-Juwaini Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, Jakarta, Penerbit Erlangga, Cet. Ke-3, h. 17-18 5 Ibid 6 Istilah Hellenisme adalah istilah modern yang diambil dari bahasa Yunani kuno Hellenizein, yang berarti berbicara atau berkelakuan seperti orang Yunani. Istilah Hellenistik mulai digunakan abad ke-19 oleh sejarawan Jerman Droysen. Untuk memudahkan pengertian periode Hellenisme,
148 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH saat itu. Kegiatan penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab digalakkan oleh Khalifah Al-Ma’mun,7 di masanya Baitul Hikmah sebagai Akademi Ilmu Pengetahuan pertama di dunia melebarkan fungsinya menjadilembaga perguruan tinggi, perpustakaan dan lembaga riset. Selain itu, ia juga mendirikan lembaga Majalis al-Munazharah, sebagai lembaga pengkajian agama yang diselenggarakan di rumah, masjid, atau istana khalifah – lembaga ini menjadi penanda Kebangkitan Timur, dimana kota Baghdad menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan dan puncak keemasan Islam.8Ia gunakan anggaran besar dari negara untuk kegiatan ini. Kegiatan besar-besaran yang dilakukan Al-Ma’mun mendapat sokongan dari kelompok Mu’tazilah yang mewakili golongan rasional dan liberal.9 Selayang Pandang Mu’tazilah Ketika berbicara mengenai sejarah kemunculan sekte Mu’tazilah, orang akan merujuk pada peristiwa diskusi Hasan Al-Bashri (w. 110 H/728 M), seorang ulama terkemuka kota Bashrah dengan muridnya yang bernama Washil bin Atha’ AlMakhzumi Al-Ghozzal. Tepatnya pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105-110 H, di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Washil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Nama Mu’tazilah dinisbahkan kepadanya, Hasan Al-Bashri mengatakan: “Washil menjauhkan diri dari kita (i’tazalaana)”, berasal dari i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis.10 Para perintis Mu’tazilah mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Ma’mun. Kaum Mu’tazilah membawa persoalan teologi yang mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dikemukakan sekte Khawarij dan Murji’ah (berorientasi pada akal sehingga mereka dijuluki sebagai kaum rasionalis Islam).11 Kaum Mu’tazilah hanya membahas masalah akal pikiran yang sukar diikuti orang awam, yakni mengenai Ilmu Tauhid. Ilmu Tauhid dan urusan kerasulan dapat dimulai sejak meninggalnya Aristoteles sampai mulai berkembangnya agama Kristen. Baca Ahmad Tafsir, 2008, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. Ke-16,h. 62 7 Al-Ma’mun Abdullah Abu Abbas bin Harun Ar-Rasyid lahir pada tahun 170 H bertepatan pada malam jum’at pertengahan bulan Rabiul Awal. Ibunya adalah Murajil, seorang mantan budak yang dinikahi ayahnya, sayang ibunya meninggal saat nifas setelah melahirkan Al-Ma’mun. Lihat Jalaluddin As-Suythi, 2010, Tarikh Al-Khulafa’, (Terj.), Bandung: Hikmah (Mizan Publika), cet. Ke-1, h. 397 dan Ibnu Khaldun, 2001, Muqaddimah, (Terj.), Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. Ke-3, h. 64 8 Baghdad runtuh setelah diserang secara beringas oleh pasukan Hulako Khan dari Tartar yang bersekutu dengan Perdana Menteri Syiah Rafadh (Ibnu Al-Qami) dan Nashiruddin ath-Thusi dari Dinasti Fathimiyah. Mereka bersekutu untuk membunuh simbol negara, yaitu Khalifah Al-Mu’tasim. Lebih lanjut baca Muhammad Sayyid Al-Wakil, 2000, Wajah Dunia Islam dari Dinasti Bani Umayyah hingga Imperialisme Modern, (Terj.), Cet. Ke-4, h. 257-261 9 Hepi Andi Bastoni, 2008, Sejarah Para Khalifah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet. Ke-2, h. 97 10 Ada beberapa versi lain tentang sejarah kemunculan aliran Mu’tazilah. Lebih lengkap lihat Harun Nasution, 1986, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, Cet. Ke-5, h. 38 11 Ibid
National Proceeding on the Islamic Studies 149 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH dibahas dengan dalil akal dan diberi komentar dalil logika12 dan filsafat. Didalam menetapkan hukum, mereka mengemukakan dalil akal terlebih dahulu, kemudian baru disesuaikan dengan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak mungkin bertentangan dengan akal pikiran yang sehat.13 ُ لَه َ ْل ق َ ُ الَ ع لَه َ ْن ي ِ ْ الَ د ن َ م َ و ُ ْل ق َ ع ُ ْن ي ِّ لدِ َ ا Artinya: “Agama adalah akal, dan tidak ada agama bagi yang tidak menggunakan akal pikirannya”. Beberapa pokok pemikiran Mu’tazilah disebut Ushulul Khamsah atau meminjam istilah Harun Nasution “Pancasila”nya Mu’tazilah, di antara ajarannya adalah:14 1. Tauhid. Mereka berpendapat : a. Sifat Allah ialah dzatNya itu sendiri. b. al-Qur'an ialah makhluk. c. Allah di alam akhirat kelak tak terlihat mata manusia. 2. Keadilan-Nya. Mereka berpendapat bahwa Allah SWT akan memberi imbalan pada manusia sesuai perbuatannya. 3. Janji dan ancaman. Mereka berpendapat Allah takkan ingkar janji: memberi pahala pada muslimin yang baik dan memberi siksa pada muslimin yang jahat. 4. Posisi di antara 2 posisi. Ini dicetuskan Washil bin Atha' yang membuatnya berpisah dari gurunya, bahwa mukmin berdosa besar, statusnya di antara mukmin dan kafir, yakni fasik. 5. Amar ma’ruf (tuntutan berbuat baik) dan nahi munkar (mencegah perbuatan yang tercela). Ini lebih banyak berkaitan dengan hukum/fikih. Pada masa kekhalifahan Al-Ma’mun, Mu’tazilah resmi menjadi madzhab teologi negara.Al-Ma’mun memaksa para pejabat dan tokoh-tokoh agama agar mengikuti paham ini, terutama yang berkaitan dengankemakhlukan Al-Qur’an. untuk itu, ia melakukan mihnah15 (inquisition), yaitu ujian aqidah terhadap para pejabat dan ulama. Materi pokok yang diujikan adalah masalah Al-Qur’an. Bagi Mu’tazilah, AlQur’an adalah makhluk (diciptakan oleh Allah SWT), tidak qadim (ada sejak awal dari segala permulaan), sebab tidak ada yang qadim selain Allah SWT. Orang yang berpendapat bahwa Al-Qur’an itu qadim berarti syirik(dosa besar yang tak terampuni). 12 Menurut Alex Lanur, “Logika adalah ilmu pengetahuan dan kecakapan untuk berpikir lurus (tepat) ... Berpikir adalah obyek material logika. Yang dimaksud dengan berpikir di sini ialah kegiatan pikiran, akal budi manusia. Dengan berpikir manusia ‘mengolah’, ‘mengerjakan’ pengetahuan yang telah diperolehnya.” Baca Alex Lanur OFM, 1991, Logika Selayang Pandang, Yogyakarta: Kanisius, Cet. Ke-7, h. 7 13 Sedangkan akal menurut Abdul Malik Al-Juwaini seorang teolog Asy’ariyah adalah bagian dari ilmu dharuri, maksudnya di sini bukanlah berarti bahwa Tuhan menjalankan akal manusia sesuai dengan kehendak dan kemauan-Nya, akal berfungsi karena mendapat energi dari Tuhan (daya Tuhan). Akal mengetahui bahwwa di alam ini terdapat dua obyek pengetahuan yang terdiri dari ada dan tiada, akal juga mengetahuai bahwa wujud ada dua yaitu qadim dan hadits. Baca Tsuroya Kiswali, op.cit, h. 166-167 14 Harun Nasution, op.cit, h. 43-45 15 Al-Mihnah mengandung arti menguji dan mencoba, suatu ujian berupa cobaan hidup yang menimpa manusia. Lihat Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah (Beirut: Dar al-Kutb, 1970), h. 750.
150 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH Untuk membebaskan manusia dari syirik, Al-Ma’mun melakukan mihnah. Dalam sejarah teologi Islam, mihnah mempunyai arti khusus berkaitan dengan peristiwa pemeriksaan paham personal (inquisition) yang menekan rakyat, tokohtokoh terkemuka, dan utamanya orang-orang yang memangku jabatan dalam pemerintahan seperti hakim (qadhi) dan gubernur (amir al-wilayah), agar menegaskan kepercayaan mereka secara terbuka bahwa “Al-Qur’an adalah firman yang diciptakan, oleh karena itu bersifat baru dan sama sekali tidak abadi”. Al-Ma’mun juga memerintahkan kepada ajudannya, Ishaq bin Ibrahim AlKhuzai untuk memeriksa Muhammad bin Sa’ad, sekretaris Al-Waqidi, Yahya bin Mu’in, Abu Khaitsamah, Abu Muslim guru Yazid bin Harun, Ismail bin Daud, Ismail bin Abu Mas’ud, dan Ahmad bin Ibrahim Ad-Daruqi – mereka semua memberikan jawaban atas mihnah hanya untuk menyelamatkan diri saja.16 Ishaq bin Ibrahim juga diperintahkan untuk menghadirkan sekelompok ahli fiqih dan hadits untuk ditanyai pendapatnya terkait Al-Qur’an. Di antara yang hadir saat itu adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Bisyr bin Walid Al-Kindi, Abu Hasan AzZiyadi, Ali bin Abu Muqatil, Fadhl bin Ghanim, Ubaidillah bin Amr Al-Qawariri, Ali bin Al-Ja’di, Sajadah, Dzayyal bin Haitsam, Qutaibah bin Sa’id, Sa’dawaih Al-Wasithi, Ishaq bin Abi Israil, Ibnu Haras, Ibnu Aliyyah Al-Akbar, Muhammad bin Nuh, A;-Ajili, Yahya bin Abdurrahman Al-Umari, Abu Nashr At-Tammar, Abu Ma’mar Al-Qathi’i, Muhammad bin Hatim bin Maimun, serta yang lainnya.17 Dari semua ulama yang diuji, hanya Ahmad bin Hanbal, Sajadah, Muhammad bin Nuh, dan Al-Qawariri yang berpendapat berbeda dengan pandangan pemerintah. Mereka akhirnya dibelenggu dan diikat, dalam keadaan demikian, Ishaq bertanya kembali berupaya mempengaruhi padangan mereka agar menerima pendapat AlQur’an adalah Makhluq (Hadits). Tampaknya Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Nuh saja yang tetap memegang teguh pemikirannya, sehingga mereka diasingkan ke Romawi.18 Dengan mengambil alih fungsi dan kebenaran agama, rezim Al-Ma’mun melakukan indoktrinasi terhadap rakyat dengan cara-cara kekerasan agar mengikuti kemauan dan pandangan yang diklaim sebagai ideologi resmi negara/kerajaan.Kebijakan ini menimbulkan keresahan di masyarakat akibat aksiaksi teror dan sangsi penyiksaan berat terhadap banyak tokoh Muslim terkemuka. Bagimana tidak, di belakang para penguasa tersebut, alat-alat kerajaan dan para petinggi hukum senantiasa siap mengemban tugas investigasi, untuk mencari kesalahan ulama, pejabat negara, dan rakyat yang tidak mau tunduk kepada pemerintah, serta menuntut kelompok yang masih ambivalen (tawaqquf) dalam menyikapi kepercayaan akan doktrin ”Al-Qur’an Yang Diciptakan” sebagai satusatunya jalan keimanan yang dijamin oleh negara. Tak pelak tragedi Al-Mihnah telah menorehkan tinta hitam dalam sejarah Islam, di mana nafsu kekuasaan tanpa sungkan-sungkan mengangkangi nilai-nilai etik-moral keagamaan. Itulah salah satu preseden buruk dan suatu anomali dalam sejarah Islam. Tokoh ulama besaryang menjadi korbanmihnah dari al-Ma’mun, adalah Imam Ahmad bin Hanbal (164-241H). Sikap pendirian yang kokoh bin Hanbal dalam pendapatnya yang berbeda dengan pemerintah bisa disebut sebagai keberanian moral. Menurut Franz Magnis-Suseno, Keberanian moral menunjukkan diri dalam 16 Jalaluddin As-Suythi, op.cit, h. 403 17 Ibid 18 Ibid, h. 406-407
National Proceeding on the Islamic Studies 151 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang telah diyakini, kemandirian merupakan keutamaan intelektual atau kognitif seseorang. Orang yang memiliki keutamaan tidak mundur dari tugas dan tanggung jawab, meskipun ia terisolasi, dibuat malu, dicela, ditentang atau diancam banyak orang, oleh orang-orang yang kuat dan mempunyai kedudukan, serta berkuasa. Keberanian moral adalah bentuk kesetiaan hati terhadap pendapatnya meskipun beresiko konflik terhadap oang lain.19 Gamal Al-Banna, adik bungsu Hasan Al-Banna, tokoh pendiri Al-Ikhwan AlMuslimin, yang serius mengkaji watak dasar kekuasaan politik, tidak terkecuali kekuasaan politik Islam, menyatakan bahwa ketika masuk ke area politik, agama hanya akan berfungsi sebagai legitimator kekuasaan dan akan bersifat sangat destruktif. Karena kekuasaan politik seperti negara pada dasarnya hanya mendistorsi agama, dan sedikit sekali membawa kemaslahatan dibanding kerusakan-kerusakan yang ditimbulkannya.20 Analisa Keilmuan Atas Tragedi Mihnah Berbicara ilmu tidak dapat terlepas dari pembicaraan tentang pengetahuan. Karena keduanya berhubungan erat. Kemudian pertanyaan yang sering muncul adalah, Apa pengertian ilmu dan pengetahuan? Dimana letak perbedaan antara keduanya? Pengetahuan, yang dalam bahasa Inggris dinyatakan dengan knowledge, menurut Jujun S. Suriasumantri, pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu, jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama.21 Dalam pembahasan ilmu terdapat paradigma bebas nilai dan terikat nilai. Bebas nilai dalam istilah bahasa Inggrisnya berarti value free, ilmu secara subtantif tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan nilai. Pembatasan-pembatasan etis hanya akan menghalangi eksplorasi pengembangan ilmu. Bebas nilai berarti semua kegiatan yang terkait dengan penyelidikan ilmiah harus disandarkan pada hakikat ilmu itu sendiri. Ilmu dikatakan bernilai karena menghasilkan pengetahuan yang dapat dipercaya kebenarannya dan tidak subyektif. Bebas di situ berarti tak terikat secara mutlak, bebas mengandung dua pengertian. Pertama, kemungkinan untuk memilih; kedua, kemampuan atau hak untuk menentukan subjeknya sendiri.22 Josep Situmorang23 mengatakan bahwa bebas nilai artinya tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ada tiga faktor sebagai indikator bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai, yaitu: 19 Franz Magnis-Suseno, 2002, Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius, Cet. Ke-13, h. 147 20 Gamal Al-Banna, 2006, Relasi Agama dan Negara, (Terj.), Jakarta: Mata Air Publishing, h. 91 21 Jujun S. Suriasumantri, 2010, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan, Cet. Ke-22, h. 104 22 N. Daldjoeni, Hubungan Etika dengan Ilmu dalam Jujun S. Suriasumantri (ed), 2012, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Cet. Ke-18, h. 313 23 Josep Situmorang, Ilmu Pengetahuan dan Nilai-nilai, dalam Rizal Muntasyir dan Misnal Munir, 2001, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 172-173
152 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH a. Ilmu harus bebas dari pengendalian-pengendalian nilai. Maksudnya adalah bahwa ilmu harus bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor ideologis, religius, kultural, dan sosial. b. Diperlukan adanya kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu terjamin. Kebebasan di sini menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri. c. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis sendiri itu bersifat universal. Kebijakan khalifah Al-Ma’mun yang menganut paham Mu’tazilah, dilandasi oleh semangat kebebasan berpikir untuk kemajuan ilmu pengetahuan, hal itu dibuktikan dengan studi-studi dan penerjemahan karya-karya Yunani yang berhaluan rasional dan kritis, ke dalam konteks sosial intelektual Islam di masa kekhalifahan Abbasiyyah. Pengetahuan di satu sisi maju dan bebas terhadap intervensi-intervensi dari sifat-sifat di luar keilmuan itu sendiri. Kebebasan berpikir itulah yang membuat manusia bebas secara eksistensial, artinya menurut Franz Magnis-Suseno adalah kemampuan manusia untuk menentukan tindakannya sendiri, kemampuan itu bersumber pada kemampuan manusia untuk berpikir dan berkehendak dan terwujud dalam tindakan. Kebebasan eksistensial pada hakikatnya terdiri dalam kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri.24 Sedangkan paradigma ilmu yang kedua adalah terikat nilai (value bond) memandang bahwa ilmu secara substantif selalu terikat dengan nilai dan harus dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek nilai. Perkembangan nilai tidak lepas dari nilai-nilai, kepentingan-kepentingan baik politik, ekonomi, sosial, keagamaan, lingkungan dan sebagainya. Menurut Ignas Kleden, sejak sebelum Socrates tujuan ilmu pengetahuan adalah kebajikan, namun arah pengetahuan bergeser menjadi kekuasaan (knowledge is power).25 Dalam pandangan Habermas, jelas sekali bahwa ilmu sendiri dikonstruksi untuk kepentingan-kepentingan tertentu, yakni nilai relasional antara manusia dan alam, manusia dan manusia, manusia dan nilai penghormatan terhadap manusia. Jika lahirnya ilmu itu terkait dengan nilai, maka ilmu itu sendiri tidak mungkin bekerja terlepas dari nilai.26 Kegiatan mihnah yang dilakukan oleh pemerintahan Al-Ma’mun telah mencederai kebebasan nilai dan pemikiran. Nilai-nilai diciptakan hanya berpedoman pada satu mazhab tertentu (Mu’tazilah), kerangka keilmuan dengan demikian terikat oleh nilai yang dikehendaki pemerintah. Kebijakan ini di satu sisi telah menumpulkan semangat kebebasan berpikir dengan menghambat pendapat-pendapat yang berlawanan dengan nilai-nilai negara. Setiap nilai menyangkut sikap, terkadang orang tidak sepakat mengenai nilainilai, ada pula yang mengatakan bahwa masalah nilai sesungguhnya merupakan masalah pengutamaan dan masalah selera orang. Ralph Barton Perry seorang realis Amerika sebagaimana dikutip oleh Louis O. Kattsoff mempertegas, sikap setuju atau menentang tersebut dikenal dengan istilah “kepentingan”.27 Di sinilah kebijakan 24 Franz Magnis-Suseno, 2002, Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius, Cet. Ke-13, h. 23-26 25 Ignas Kleden, 1988, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta: LP3ES, cet. Ke-2, h. 85 26 F. Budi Hardiman, 2003, Menuju Masyarakat Komunikatif,Yogyakarta: Kanisius, Cet. Ke-7, h, 3- 5 27 Louis O. Kattsoff, 1996, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana, Cet. Ke-7, h. 337.
National Proceeding on the Islamic Studies 153 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH khalifah Al-Ma’mun untuk membela kepentingan politik dan golongan tertentu, sehingga kebebasan yang dirintis semula menjadi pengekangan atas nama nilai-nilai negara. Sebagaimana Aristoteles menganggap nilai bukan sebagai esensi, melainkan nilai ditentukan oleh minat atau kepentingan.28 Kegiatan penelitian dan penerjemahan karya-karya asing yang disponsori oleh Al-Ma’mun sebagai penguasa negara, selain sebagai sarana pengembangan pengetahuan juga ditujukan untuk maksud dan harapan tertentu, karena keberpihakan terhadap madzhab Mu’tazilah hampir tidak dapat dipisahkan dari kepentingan politik dan ideologi. Di sinilah ilmu pengetahuan menjadi terhambat karena terikat oleh nilai-nilai yang mengekang kemandiriannya. Menurut Jurgen Habermas bahwa ilmu pengetahuan terbentuk berdasarkan kepentingan teknis. Karena tidak bisa lepas dari kepentingan teknis, ilmu pengetahuan tidak bisa bersifat netral. Setiap kegiatan teoritis yang melibatkan subjek-objek memiliki kepentingan tertentu. Aktivitas ilmiah sendiri tidak bisa terlepas dari beberapa faktor. Beberapa faktor tersebut bisa saja mempengaruhi hasil dari aktivitas ilmiah.29 Faktor- faktor tersebut di antaranya, adalah: 1. Tempat aktivitas ilmiah itu dilakukan, dalam hal ini hasil dari kegiatan ilmiah berlaku untuk seluruh wilayah kekhilafahan Abbasiyyah. 2. Siapa yang melakukan dan dari mana asalnya. Para peneliti, penerjemah, dan ilmuwan yang kegiatan ilmiahnya dibiayai negara tak terlepas dari pesan-pesan sponsor. Habermas juga membedakan ilmu menjadi tiga macam, sesuai kepentingankepentingan masing-masing:30 a. Pengetahuan yang pertama, berupa ilmu-ilmu alam yang bekerja secara empirisanalitis. Ilmu ini menyelidiki gejala-gejala alam secara empiris dan menyajikan hasil penyelidikan untuk kepentingan-kepentingan manusia. Dari ilmu ini pula disusun teori-teori yang ilmiah agar dapat diturunkan pengetahuan-pengetahuan terapan yang besifat teknis. Pengetahuan teknis ini menghasilkan teknologi sebagai upaya manusia untuk mengelola dunia atau alamnya. b. Pengetahuan yang kedua, berlawanan dengan pengetahuan yang pertama, karena tidak menyelidiki sesuatu dan tidak menghasilkan sesuatu, melainkan memahami manusia sebagai sesamanya, memperlancar hubungan sosial. Aspek kemasyarakatan yang dibicarakan adalah hubungan sosial atau interaksi, sedangkan kepentingan yang dikejar oleh pengetahuan ini adalah pemahaman makna. c. Pengetahuan yang ketiga, teori kritis. Yaitu membongkar penindasan dan mendewasakan manusia pada otonomi dirinya sendiri. Sadar diri amat dipentingkan disini. Aspek sosial yang mendasarinya adalah dominasi kekuasaan dan kepentingan yang dikejar adalah pembebasan atau emansipasi manusia. Ilmu yang tidak bebas nilai ini memandang bahwa ilmu itu selalu terkait dengan nilai dan harus dikembangkan dengan mempertimbangkan nilai. Ilmu jelas 28 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), cet. Ke-4, h. 722. Inilah yang dinamakan oleh R.B. Perry sebagai teori minat, ia mendefinisikan nilai sebagai “objek minat”. 29 Zainal Abidin Bagir, et.al., (ed.), Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi, Bandung: Mizan, 2005, h. 80 30 Santosa Irfaan, “Jurgen Habermas: Problem Dialektika Ilmu Sosial”, Komunika, Vol.3 No.1 Januari-Juni 2009, h.101-113
154 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH tidak mungkin bisa terlepas dari nilai-nilai kepentingan-kepentingan baik politik, ekonomi, sosial, keagamaan, lingkungan dan sebagainya. KESIMPULAN Kebebasan berpikir yang dianut oleh khalifah Al-Ma’mun di sini, tampaknya disalahartikan. Menurut K. Bertens, Kebebasan dalam arti kesewenang-wenangan sebenarnya tidak pantas disebut ‘kebebasan’,31 pembungkaman kepada para pihak yang dianggap berseberangan dengan pemerintah, sesungguhnya telah menodai dari prinsip keilmuan yang dipraktekkan oleh khalifah Al-Ma’mun dan sekutunya (kelompok Mu’tazilah). Kaum Mu’tazilah yang berpikiran rasional, malah bertindak sebaliknya dengan melakukan “pemaksaan” atas sikap rasionalitasnya terhadap kelompok yang berbeda pemahaman. Menurut Brian Fay, “... Berbeda bukan berarti jelek, bahwa orang hendaknya tidak diharapkan untuk melakukan berbagai macam hal sama seperti ‘kita’ (siapa pun yang dimaksud dengan ‘kita’ ini), dan hendaknya tidak dinilai tidak sempurna atau buruk karena mereka tidak mampu melakukannya.”32 Kebijakan mihnah Al-Ma’mun tampaknya diarahkan dalam rangka penyeragaman persepsi dan pendapat, ia mengkampanyekan tentang suatu nilai negara, yang berpaham Mu’tazilah. Secara tidak langsung orang yang berbeda terhadap nilai negara dianggap “jahat”, “pantas dibenci”, atau “busuk”, pada posisi ini sebagaimana pendapat Franz Magnis-Suseno tentang etika,33pemerintah berbicara untuk mengungkapkan perasaan dan pendapat yang diharapkannya juga dirasakan oleh mereka yang mendengarkannnya. Perbedaan dianggap melanggar salah satu prinsip kodrat manusia umum dan menyentuh senar yang bergema pada semua orang. Dua kebebasan sosial telah disentuh oleh pemerintah Al-Ma’mun, yang pertama kebebasan jasmani. Semua orang dipaksakan kehendaknya untuk menerima gagasan ‘Makhluq’nya Al-Qur’an dengan segenap tekanan fisik (memasukkan para pembangkang ke penjara). Yang kedua kebebasan rohani kawula (rakyat dan para ulama oposan) dibatasi oleh tekanan psikis yang dilakukan oleh pemerintah secara tidak langsung.34 Dengan makalah yang singkat ini kita dapat mengambil sebuah “nilai” bahwa Ilmu adalah hasil olah panca indera yang kemudian berkembang menjadi sebuah bidang tersendiri dalam dunia filsafat sebagai sebuah kajian. Sejalan dengan perkembangan zaman, ilmu berkembang dengan pesat untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sehingga perlu tentunya untuk mengembalikan ilmu pada esensinya semula. Yaitu suatu keyakinan, dan berhubungan dengan cara bertingkah laku dan tujuan akhir dari ilmu itu sendiri. Jelas tak dapat terpisah dari konsep awal filsafat untuk tenggelam pada ontologi, epistemologi dan aksiologi dari ilmu itu sendiri. Ilmu akan selalu mempengaruhi si pemiliknya dalam pola pikir sesuai dengan ilmu yang ia kuasai. Disinilah peran dari ilmu itu yang disebut sebagai nilai ”human value”. Sehingga aksiologi dari ilmu terlihat pada penerapannya dalam kehidupan 31K. Bertens, 2011, Etika, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Cet. Ke-11, h. 110-111 32Brian Fay, 2002, Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer, (Terj.) Yogyakarta: Penerbit Jendela, h. 131 33Franz Magnis-Suseno, 2004, 13 Model Pendekatan Etika, Yogyakarta: Kanisius, Cet. Ke-7, h. 132 34Franz Magnis-Suseno, 2002, Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, op.cit, h. 28- 29
National Proceeding on the Islamic Studies 155 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH manusia. PENGAKUAN Alhamdulillah, puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT, pencipta dan pemelihara segala apa yang ada di bumi dan langit, atas segala rahmat yang tiada henti, mencukupkan kepada kami kebutuhan dengan tiada batas dan karunia Nya, telah memberi kekuatan kepada peneliti sehingga dapat menyelesaikan penelitian dengan judul “Ilmu Bebas Nilai dan Terikat Nilai: Telaah Historis Tragedi Mihnah” Dalam penelitian ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini, peneliti menyampaikan terimakasih sebanyak-banyaknya kepada: 1. TGKH. Muslihan Habib, SS, MA., selaku Ketua STAI Al-Aqidah Al-Hasyimiyyah Jakarta, yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk melakukan penelitian. 2. Dr. Halid Alkaf, M.Ag., sebagai Dosen yang pernah membimbing peneliti khususnya Mata Kuliah Filsafat Ilmu di Program Magister Sejarah Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Seluruh Panitia ICIS ke-1 yang telah memberikan kesempatan pada peneliti untuk mempresentasikan hasil penelitiannya. REFERENSI : Al-Banna, Gamal, 2006, Relasi Agama dan Negara, (Terj.), Jakarta: Mata Air Publishing Al-Qaththan, Manna, Mabahits Fi ‘Ulum Al-Qur’an, 1973, Mansyurat al-Ashr al-Hadits: Riyad Al-Wakil, Muhammad Sayyid, 2000, Wajah Dunia Islam dari Dinasti Bani Umayyah hingga Imperialisme Modern, (Terj.), Cet. Ke-4 As-Shalih, Subhi, Mabahits fii Ulum al-Qur’an, (Terj.), 1999, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. Ke-7 As-Suyuthi, Jalaluddin, 2010, Tarikh Al-Khulafa’, (Terj.), Bandung: Hikmah (Mizan Publika), cet. Ke-1 Ash-Shadr, Muhammad Baqir, 1999, Falsafatuna, Bandung: Mizan, Cet. Ke-7 Bagir, Zainal Abidin et.al., (ed.), Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi, Bandung: Mizan, 2005 Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), cet. Ke-4 Bastoni, Hepi Andi, 2008, Sejarah Para Khalifah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet. Ke2 Bertens, K., 2011, Etika, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Cet. Ke-11 Daldjoeni, N., Hubungan Etika dengan Ilmu dalam Jujun S. Suriasumantri (ed), 2012, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Cet. Ke-18 Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Fay, Brian, 2002, Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer, (Terj.) Yogyakarta: Penerbit Jendela Hardiman, F. Budi, 2003, Menuju Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta: Kanisius, Cet. Ke-7 Irfaan, Santosa, “Jurgen Habermas: Problem Dialektika Ilmu Sosial”, Komunika, Vol.3 No.1 Januari-Juni 2009
156 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH Kattsoff, Louis O., 1996, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana, Cet. Ke-7 Khaldun, Ibnu, 2001, Muqaddimah, (Terj.), Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. Ke-3 Kiswali, Tsuroya, 2007, Al-Juwaini Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, Jakarta, Penerbit Erlangga, Cet. Ke-3 Kleden, Ignas ,1988, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta: LP3ES, cet. Ke-2 Lanur OFM, Alex, 1991, Logika Selayang Pandang, Yogyakarta: Kanisius, Cet. Ke-7 Magnis-Suseno, Franz, 2002, Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius, Cet. Ke-13 Magnis-Suseno, Franz, 2004, 13 Model Pendekatan Etika, Yogyakarta: Kanisius, Cet. Ke-7 Ma’luf, Louis, al-Munjid fi al-Lughah (Beirut: Dar al-Kutb, 1970) Nasution, Harun, 1986, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, Cet. Ke-5 Tafsir, Ahmad, 2008, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. Ke-16 Situmorang, Josep, Ilmu Pengetahuan dan Nilai-nilai, dalam Rizal Muntasyir dan Misnal Munir, 2001, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Suriasumantri, Jujun S., 2010, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan, Cet. Ke-22
National Proceeding on the Islamic Studies 157 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH PEMANFAATAN MODUL ELEKTRONIK BERBASIS INKUIRI TERBIMBING PADA MATERI KALOR Effendi Program Studi Pendidikan Fisika Universitas Nurul Huda E- mail: [email protected] Article History: Received: 07-12-2022 Revised: 13-12-2022 Accepted:23-12-2022 Keyword: e-Modul, Inkuiri Terbimbing,Materi Kalor Abstract: Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui Respon siswa dalam Menggunakan E- Modul berbasis inkuiri terbimbing pada materikalor. Penelitian ini merupakan jenis penelitian pengezmbangan (Research and Development) yang mengadaptasi model 4D (define, Design, Develop, Disseminate). Validasi dilakukan oleh ahli materi dan ahli media di diimplementasikan kepada 22 siswa kelas VIII di MTs Umbul Sari. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu angket. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 80% siswa memberikan respon yang baik yakni termasuk kategori “Sangat Tinggi”. PENDAHULUAN Tujuan pendidikan nasional yang telah di canangkan dalam Undang- Undang No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional bahwa pendidikan yang dilakukan sudah seharusnya bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradapan bangsa yang bermartabat dalam rangkamencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian maka fungsi pendidikan adalah menghilangkan segala bentuk penderitaan rakyat dari kebodohan dan ketertinggalan terhadap negara lain baik terutama berkaitan denganilmu dan teknologi. Perkembangan teknologi yang menjadi serba digital membuat manusia tidak bisa lepas dari barang elektronik, tak terkecuali hal yang terjadi di MTs Umbul Sari. Di sekolah ini sudah banyak media elektronik yang tersedia, namun masih kurang dalam pemanfaatannya. Dalam pola pembelajaran guru harus mampu untuk memanfaatkan teknologi dengan semaksimal mungkin. Sebab untuk saat ini hampir sebagian besar peserta didik memiliki akun sosial media, bukan hanya satu, melainkan lebih dari satu akun sosial media (Pitoewas et al., 2020). Oleh karena itu dalam pembelajaran inkuiri terbimbing siswa terlibat aktif dalam pembelajaran dan menemukan konseo-konsep melalui konstruksinya sendiri. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa 1). (Kimianti & Prasetyo, 2019). Pengembangan E-Modul IPA berbasis problem based learning dapat meningkatkan literasi sains siswa, (2). (Laili, 2019) Pengembangan E-Modul Project Based Learning Pada Mata Pelajaran Instalasi Motor Listrik menjadi lebih efektif. (3). (Utami et al., 2018). Pengembangan E-Modul Berbasis Etnomatematika dapat Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah. Dengan demikian yang menjadi hal baru dalam penelitian ini yang penggunaan inkuiri terbimbing sebab basis dalam pembelajarannya, sehingga diharapkandengan pembuatan dan penerapan E- Modul berbasis inkuiri terbimbing dapat memudahkan siswa dalam proses pembelajaran. LANDASAN TEORI
158 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH Pendidikan merupakan proses yang berkelanjutan dan tak pernah berakhir (Widya et al., 2019). Para guru dituntut menguasai keahlian, kemampuan beradaptasi dengan teknologi baru dan tantangan global. Dalam situasi ini, setiap lembaga pendidikan harus mempersiapkan orientasi dan literasi baru dalam bidang pendidikan (Lase, 2019). Tujuan pendidikan yaitumewujudkan murid atau pesertadidik yang berfikir kritis dan memecahkan masalah, kreatif dan berinovasi, terampil berkomunikasi, berkolaborasi, dan berkarakter (Muhammad & Syahrir, 2020). Pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang melibatkan seseorang dalam upaya memperoleh pengetahuan, keterampilan dan nilai- nilai positif dengan memanfaatkan berbagai sumber untuk belajar. Tujuan pembelajaran yaitu diharapkan kemampuan dari peserta didik seimbang. Belajar juga adalah proses mental yang mengakibatkan sebuah perubahan yang terjadi pada diri seseorang. Proses pembelajaran akan berjalan dengan baik jika didukung dengan tersedianya sumberbelajar mengajar yang memadai, media yang menarik, dan system pembelajaran yang tepat. Media pembelajaran saat ini beraneka ragam dan berkembang sesuai perkembangan teknologi. Salah satu media pembelajaran yang mengikuti perkembangan teknologi saat ini adalah yaitu media pembelajaran E- modul dengan menggunakan system berbasis elektronik. E-modul memiliki tujuan dapat mempermudah peserta didik dalam mempelajari setiap materi pembelajaran serta peningkatan hasil belajar di setiap mata pelajaran (Putri & Tivsi, 2021). Melihat banyaknya penggunaan media sosial di era teknologi bisa menjadi peluang bagi guru yaitu sebagai penghubung atau alat bantu komunikasi dengan siswanya dan untuk melakukan proses pembelajaran kearah yang lebih digital lagi (Faliyandra, n.d., 2020). Pada dasarnya fisika adalah Ilmu Pengetahuan Alam yang mencakup aspek – aspek : IPA sebagai produk, proses, sikap ilmiah, dan aplikasi. IPA sebagai produk merupakan kumpulan atau tubuh pengetahuan (“a body of knowledge”). IPA sebagai produk meliputi konsep- konsep, prisip- prinsip, hukum- hukum, dan teori-teori. IPA sebagai proses merupakan cara untuk penyelidikan (“a way ofinvestigating”) meliputi ketrampilan proses, yang antara lain berupa mengamati, mengukur, mengolah data, mengambil kesimpulan, dan sebagainya. Ketrampilan proses berperan dalam memperoleh dan mengembangkan pengetahuan melalui ketrampilan proses yang lebih dikenal sebagai metode ilmiah. IPA sebagai sikap merupakan polaberpikir (“a way of thinking”). Siapa saja yang berkecimpung di dalam IPA dalam dirinya akan tertanam sikap ilmiah seperti jujur, cermat, berpikir kritis, rasa ingin tahu, dan sebagainya. IPA sebagai aplikasi merupakan penerapan konsep yang bersifat abstrak dapat menjelma dalam bentuk konkrit sebagaimana teknologi. Dengan kata lain teknologi merpakan upaya penerapan konsep ilmiah agar bermanfaat secara praktis untuk memecahakan berbagai persoalan dalam kehidupan sehari-hari (Widha, 2018). Ilmu pengetahuan alam (IPA) merupakan pembelajaran yang ruang lingkupnya lebih kepada alam sekitar dan lingkungannya (Astalini, 2019). IPA merupakan mata pelajaran wajib yang dipelajari di sekolah menengah pertama. Salah satu konsep IPA yang sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari adalah konsep kalor.Kalor adalah energi yang berpindah. Kalor merupakan energiyang di transfer dari satu benda ke benda yang lainnya karena adanya temperatur (Desi,2020). kalor merupakan salah satu materi pelajaran IPA yang tanpa kita sadari sering kita lakukan. Dalam pengaplikasian rumusan atau perhitungan konsep kalor dalam kehidupan nyata sangat sulit untuk dijelaskan secara rill kepada peserta didik, sehingga perlu inovasi baru dalam konsep IPA dan dapat mengubah minset peserta didik agar lebih tertarik dalam belajar. Salah satu media
National Proceeding on the Islamic Studies 159 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH yang dapat membantu pemahaman konsep IPA adalah dengan memanfaatkan media yang sekarang menjadi sahabat peserta didik seperti menggunakan E- modul berbasis inkuiri terbimbing. Modul adalah sarana pembelajaran dalam bentuk tertulis atau cetak yang disusun secara otomatis yang memuat materi pembelajaran, dan tujuan pembelajaran (Haristah et al., 2019). Modul tersebut dapat dipadukan dengan beberapa model seperti model problem based learning (PBL), project basedlearning (PJBL), PAIKEM, contextual teaching and learning (CTL) dan lainnya. Namun pada peneliti ini menggunakan model inkuiri terbimbing merupakan model pembelajaran yang menentukan siswa dalam mengembangkan kemampuan berfikir dan menekankan sikap ilmiah (Endang, 2018). Modul elektronik ini nantinya dapat diakses di android tanpa harus di print dan di cetak oleh karena itu diharapkan dengan adanya E-modul berbasis inkuiri terbimbing agar siswa dapat memahami konsep IPA terutama pada materi kalor. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah metode Research And Developmen (RND). Model yang digunakan adalah pengembangan model 4-D (four D) merupakan model pengembangan perangkat pembelajaran. Yaitu: define (pendefinisian), design (perancangan), develop (pengembangan) dan desseminate (penyebaran). Metode dan model ini dipilih karena bertujuan untuk menghasilkanproduk berupa E-Modul berbasis inkuiri terbimbing. Produk yang dikembangkan kemudian diuji kelayakan dengan validitas dan uji coba produk untuk mengetahui sejauh mana peningkatan motivasi belajar dan hasil belajar peserta didik setelahpembelajaran menggunakan EModul berbasis inkuiri terbimbing pada materi kalor kelas VIII. Penelitian ini dilaksanakan di MTs Umbul Sari dengan subjek penelitian siswa kelas VIIIsebanyak 23 siswa. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan Angket dan lembar validasi. Analisis data hasil angket dengan menggunakan Dengan ketentuan: P = Persentase respon Σ = Jumlah keseluruhan jawaban responden dalam seluruh yang diberikan oleh subjek uji Σ = Jumlah seluruh peserta didik HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan diperoleh hasil bahwa aspek e modul yang terdiri dari 14 butir aspek untuk penilaian pernyataan indeks Aiken V dengan ratarata penilaian 0,87. Indeks V ini dinilai berkisaran antara 0-1. Kriteria yang digunakan untuk menyatakan media pembelajaran memiliki validasi yang memadai dapat dilihat pada tabel 3.6. Sehingga untuk aspek e-modul IPA berbasis inkuiri terbimbing pada rentang kevalidan > 0,87 yang menunjukkan kriteria tingkat validasi tinggi. Sedangkan berdasarkan hasil tanggapan peserta didik pada uji coba e-modul IPA berbasis inkuiri terbimbing yang melibatkan 18 responden, diperoleh persentase 80% dan dinyatakan bahwa e-modul berbasis inkiri terbimbing layak digunakan sebagai media pembelajaran. Penggunaan e-modul ini pada aspek kegiatan inkuiri terbimbing yang melibatkan seluruhkemampuan siswa utuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis,
160 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH logis, analisis sehingga mereka dapara merumuskan sendiri penemuan-penemuannya dengan penuhpercaya diri. Kegiatan inkuiri terbimbing terdiri dari fase orientasi, merumuskan masalah, membuat hipotesis, investigasi (mengumpulkan data dan menguji hipotesis) dan membuat kesimpilan. Selain itu model pembelajaran inkuiri terbimbing dapat melatih peserta didik dalam mengembangkan kemampuan berfikir melalui pertanyaa-pertanyaan. Pengembangan yangdilakukan secara bertahap untuk menghasilkan produk yang valid atau layak digunakan dalam proses pembelajaran mandir/kelompoki oleh peserta didik. E-modul IPA berbasis inkuiri terbimbing materi kalor dirancang sesuai dengan materi pembelajaran, Aktifitas dan evaluasi pada emodul menjadikan siswa aktif dan kreatif dalam mengikuti pembelajaran sehingga siswa bisa memberikan pendapat atau kesimpulan mengenai apa yang mereka liat dan mereka pelajari. Agar peserta didik dapat belajar secara mandiri tanpa atau dengan bimbingan pendidik. E-modul yang baik salah satunya adalah e- modul yang menarik untuk dibaca. Design produk yang dibuat dengan tampilan yang beragambaik dalam segi warna, bentuk atau font juga menentukan kemenarikan dan pemahaman peserta didik. Mengakomondasi berbagai tingkat dan kecepatan belajar peserta didik. Bagi peserta didik yang kecepatan belajarnya tinggi, maka mereka dapat belajar lebih cepat serta menyelesaikan modul dengan lebih cepat pula. Sebaliknya bagi yang lambat, maka mereka dipersilakan untuk mengulanginya kembali. Pada inti e-modul terdapat pembahasan dengan materi suhu dan kalor yang disajikan dengan tampilan yang ringkas dan mudah dipahami. Kemudian setelah melakukan pembelajaran akanadanya praktek dan evaluasi peserta didik yang bertujuan untuk mengasah dan mengulas kembali kegiatan pembelajaran yang sudah dilalui. Pada evaluasi peserta didik ini menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing yang kegiatannya meliputi : orientasi, merumuskan masalah, membuat hipotesis, investigasi (mengumpulkan data & menguji hipotesis) dan membuat kesimpulan. Respon siswa, terhadap e-modul inkuiri terbimbing peneliti melakukan uji coba lapanganuntuk mengetahui respon siswa terhadap media yang dikembangkan. Angket respon tersebut dibagikan kepada peserta didik kemudianmenilai dengan rentang 1-4 untuk setiap indikator pernyataan. Diketahui dari hasil uji coba respon siswa dengan menggunakan angket dan dilakukan di sekolahan yaitu yang terdiri dari 18 siswa. Hasil dari uji respon oleh peserta didik secara keseluruhan mendapat kategori sangat valid (80%) dapat dilihat di tabel 4.8. Dengan demikian hasil uji respon siswa dinyatakan sangat valid dengan persentase pengunaan e-modul (80%) dan mempunyai tingkat efektifan yang baik sebagai bahan ajar pembelajaran e-modul inkuiri terbimbing. Pendidikan saat ini berada dimasa pengetahuan (knowledge age) dengan percepatan peningkatan pengetahuan yang luar biasa. Pendidikan mampu membentuk kekuatan spiritual sesorang, bagaimana cara sesorang mengendalikan dirinya sendiri, membentuk kepribadian, ahlak mulia seseorang, kecerdasan dan ketrampilan yang dimiliki. Pendidikan diharapkan menghasilkan generasi yang terampil, aktif, kreatif serta mampu memanfaatkan segala sumber daya yang ada untuk pembangunan bangsa. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin mendorong upaya pembaharuan dalam pemanfaatan teknologi dalam proses belajar. Dalam praktinya penggunaan media pembelajaran dalam proses pembelajaran secara tidak langsung dapat membangkitkan keinginan, minat, motivasi dan rangsangan dalam belajar. Sehingga pada akhirnya akan memberikan kesan yang positif dan siswa lebih mudah
National Proceeding on the Islamic Studies 161 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH untuk mengingat dan mamahami materi yang disampaikan. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan penelitian pemanfaatan e-modul berbasis inkuiri terbimbing pada materi kalor dapat disimpulkan bahwa: 1) Dari aspek media yang diperoleh dari perhitungan Aiken V adalah (0,87) maka media tersebut termasuk dalam kategori sangat valid, 2) Pada aspek materi mendapatkan kategori validasi sangat valid (0,88). 3)Hasil analisis respon peserta didik terhadap e-modul berbasis inkuiri terbimbing pada materi kalor memperoleh penilaian dari jumlah peserta didik 23 siswa secara keseluruhan dengan persentase (80%) siswa mengatakan dikategorikan sangat layak digunakan. PENGAKUAN/ACKNOWLEDGEMENTS Ungkapan terima kasih disampaikan kepada Rektor Universitas nurul Huda melalui LPPM Universitas atas pemberian izin dan dukungan dalam penyelesaian kegiatan ini. Selanjutnyadisampaikan juga rasa terimakasih kepada para Bapak/Ibu Dosen yang telah memberikan semngat dan dukungan demi terselesaikannya kegiatan penelitian ini. DAFTAR REFERENSI Astalini, Dwi Agus Kurniawan. Metadata, Citation And Similar Papers at core.ac.uk. Jurnal Pendidikan Sains(JPS) Vol 07 No.1 Maret (2019) 1-7, 07(1). Kimianti, F., & Prasetyo, Z. K. Pengembangan E-Modul Ipa Berbasis Problem Based Learning. Jurnal Teknologi Pendidikan Vol: 07/02 Desember 2019, 07(02), 91– 103. Laili, I. Efektivitas Pengembangan E-Modul Project Based Learning Pada Mata Pelajaran Instalasi. Jurnal Imiah Pendidikan Dan Pembelajaran PISSN : 1858- 4543 E- ISSN : 2615-6091, 3, (2019). 306–315. Muhammad, Y., & Syahrir. Pembangunan Pendidikan Merdeka Belajar (Telaah Metode Pembelajaran). Jurnal Ilmiah Mandala Education, 6(1), (2020). 126–136. Pitoewas, B., Putri, D. S., & Yanzi, H. Analisis Kepekaan Sosial Generasi ( Z ) Di Era Digital. Jurnal Bhineka Tunggal Ika, Volume 07, Nomor 01, Mei 2020, 07(1), (2020). 17–23. Putri, Nurhalimah Erdi, & Tivsi, Rizqi Fadwa. Penggunaan E-Modul Dengan Sistem Pr…o…je…ct…B…a…se…d…L…e…ar…n…in…g…. (…Ju…r…na…l…V…ok…a…si…In…f…or…m…a…ti…ka…)…V…ol…. 1…N…o….…1…(2…0…2…1)…Utami, R. E., Nugroho, A. A., Dwijayanti, I., & Sukarno, A. Pengembangan E-Modul Berbasis Etnomatematika Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah. JNPM (Jurnal Nasional Pendidikan Matematika) September 2018 Vol. 2, No. 2, hal.268 Pengembangan, 2(2), 268–283. Widya, A. D. I., Pendidikan, J., & Volume, D. Fungsi Dan Tujuan Pendidikan Indonesia. Jurnal Pendidikan Dasar Volume. 4, Nomor 1 April 2019 ISSN: 2527-5445, April, (2019). 29–39. Widha, S. Peran Pendidik dan Ilmuwan Sains dalam Menyongsong Revolusi Industri 4.0". Journal.unipma.ac.id/index.php/snpf, (2018). 1–8.
162 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH
National Proceeding on the Islamic Studies 163 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH TRADISI BATAMAT QUR’AN (Antara Living Qur’an, Local Wisdom dan Religiusitas Masyarakat Banjar) Fikri Rizalie Ahmad1, Khabib Musthofa2 Mahasiswa Pascasarana UIN Antasari Banjarmasin 1 Universitas Muhammadiyah Banjarmasin2 Email: [email protected], [email protected] Article History: Received:08-12-2022 Revised:14-12-2022 Accepted:24-12-2022 Keyword: Batamat Quran, Living Quran, Local Wisdom Abstract: Artikel ini dimulai dengan bahasan peradaban bangsa melayu yang erat dengan religiusitas, salah satu yang terjadi ialah di wilayah masyarakat Banjar yakni Kalimantan Selatan. Urang Banjar (masyarakat Banjar) dikenal dengan kearifan lokalnya yang unik-unik. Salah satunya ialah tradisi batamat Qur’an, yang merupakan tradisi lokal bermuatan nilai-nilai ajaran agama Islam. tradisi batamat dalam kajian historis diperkirakan telah ada sejak abad 14 M, namun masih tetap eksis keberadaannya hinga saat ini. Dalam kajian Al-Qur’an fenomena seperti batamat dikenal dengan istilah living Qur,an (Al-Qur’an yang hidup dalam fenomena sosial). Tradisi ini jika dicermati banyak mengandung nilai-nilai ajaran agama Islam di dalamya, seperti mengimani Al-Qur’an, gotong royong dan saling membantu (ta’awun), sedekah, hingga ekspresi rasa syukur. Tradisi batamat bagi masyarakat Banjar tidak hanya sebuah tradisi lokal, namun sebagai wujud syukur dan mengharap keberkahan hingga keselamatan baik terhadap dirinya sendiri, keluarga dan lingkungan sekitar. PENDAHULUAN Banjar, merupakan kata yang berasal dari bahasa melayu, yang mempunyai makna kampung. Keberadaan melayu ditanah Banjar sangat erat kaitannya, dalam kajian historis urang Banjar atau masyarakat Banjar termasuk dalam golongan bangsa melayu yang hidup di Kalimantan Selatan. hal tersebut dibuktikan dengan adanya kerajaan Tanjungpura di Tabalong, yang merupakan kerajaan melayu pertama di wilayah Kalimantan Selatan.1 Bangsa Melayu dan Agama Islam merupakan ciri warga Banjar. Bahkan agama Islam keberadaannya telah menjadi identitas yang dominan. Menganut ajaran Islam merupakan ciri khas dan kebanggaan, dikarenakan dahulu terdapat fenomena peralihan kepercayaan, yang kemudian dikenal dengan istilah babarasih (membersihkan diri dan beralih kepercayaan) dari agama sebelumnya.2 Perkembangan Islam dalam perjalanannya menjadi agama yang dominan di tanah Banjar. Jika melihat data Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil yang dilansir katadata.co.id bahwasannya penduduk Kalimantan Selatan 4,1 juta jiwa (Juni 2021), dengan sebaran kepercayaan: Tabel. 1 1 Ira Mentayani, Analisis Asal Mula Arsitektur Banjar Studi Kasus : Arsitektur Tradisional Rumah Bubungan Tinggi, Jurnal Teknik Sipil & Perencanaan, Nomor 1 Volume – Januari 2008, h. 1-12. 2 Banjar Malay Center Of World Reference, Suku Banjar, https://p2k.utn.ac.id/eng/2-3077- 2966/Melayu-Banjar_43202_utn_p2k-utn.html, diakses 25 September 2022
164 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH Persentase Penganut Agama di Kalimantan Selatan Kepercayaan Presentase Jumlah Islam 97.02% 3.98 Juta Jiwa Kristen 1,33% 54,58 ribu jiwa Katolik 0,54% 22,26 ribu jiwa Hindu 0,58% 23,82 ribu Jiwa Budha 0,3%) 12,29 ribu Jiwa Konghucu 0,22% 9,08 ribu jiwa Sumber; Katadata.co.id (2021), yang telah diolah penulis, Bukti kebanggan sebagai Muslim di kalangan masyarakat Banjar terlihat bagaimana apresiasi juga ekspresi memuliakan ulama yang ada, terlebih ulama yang berasal dari pribumi. Selain itu juga tradisi-tradisi yang melibatkan Al-Qur’an di dalamnya semisal budaya batamat Quran yang hidup dan mewarnai kehidupan masyarakat Banjar mulai dahulu hingga kini. Fenomena seperti batamat, dalam kajian Al-Qur’an dikenal dengan istilah living quran (Al-Qur’an yang hidup dalam fenomena sosial).3 Tentang Al-Qur’an yang hidup pada tradisi masyarakat Banjar (batamat Qur’an) diperkirakan sudah ada sekitar abad ke 14 M, hal tersebut disampaikan Hidayat Salam dalam penelitiannya. Tradisi ini merupakan bawaan dari Sumatera. Kultur Banjar erat dengan melayu dan Sumatera sebagai tempat pertama kedatangan Islam di negeri ini. Sebagai bukti tradisi ini juga ada dalam masyarakat Sumatera bahwa dalam penelitian yang dilakukan oleh Wirdanengsih (2019) dalam penelitiannya yang berjudul “Makna dan Tradisi dalam Rangkaian Khatam Quran Anak-anak di Nagari Balai Gurah Sumatera Barat”, bahwasannya seperti khataman quran merupakan tradisi masyarakat melayu yang popular, khususnya pada masyarakat Sumatera Barat. 4 Tradisi seperti batamat Al-Qur’an merupakan bukti bangunan religiusitas yang sudah disusun sedari dini kepada anak-anak di kalangan masyarakat Banjar. Kebiasaan yang masih bertahan hingga saat ini dilakukan pada anak-anak yang baru saja menyelesaikan bacaan Al-Qur’annya, sebagai bentuk apresiasi terhadap anakanak yang telah rampung membaca kalamullah tersebut. Tidak hanya itu giat tradisi ini juga hadir pada momen pernikahan, perayaan maulid, dan lain-lain.5 Tradisi lokal masyarakat Banjar yang masih eksis inilah yang akan penulis ulas dalam karya ilmiah ini, dengan melihat dari sisi nilai-nilai Islam yang tersinergikan dalam kearifan lokal yang dimuat dalam tradisi batamat Qur’an tersebut. Fenomena tersebut yang akan penulis sampaikan dalam karya ilmiah berjudul TRADISI BATAMAT AL-QUR’AN (Antara Living Quran, Local Wisdom dan Religiusitas Masyarakat Banjar) 3 Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir, cet.III (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2017, h. 103. 4 Wirdanengsih , Makna Dan Tradisi-Tradisi Dalam Rangkaian Tradisi Khatam Quran AnakAnak Di Nagari Balai Gurah Sumatera Barat, Jurnl Gender Equality: International Journal of Child and Gender Studies, 2019. 5 Riza Saputra, Dialektika Islam dan Budaya Lokal dalam Tradisi Batamat alQur’an Urang Banjar, Mashdar: Jurnal Studi Al-Qur'an dan Hadis Vol.3, No.1, 2021.
National Proceeding on the Islamic Studies 165 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini ialah library research, dengan menggunakan pendekatan deskripstif. Penggunaan pendekatan ini diharapkan mampu menggambarkan secara lugas fenomena tradisi lokal masyarakat Banjar mengenai yaitu batamat quran. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Tradisi Batamat Qur’an dalam Kajian Historis Secara istilah, bangsa melayu sebenarnya berangkat dari Bahasa sansekerta (Malaya) yang mempunyai arti wilayah ataupun daratan yang dikelilingi oleh lautan. Bangsa melayu dikenal keberadaanya di wilayah Asia Tenggara, di nusantara sendiri keberadaannya dikenal di wilayah Sumatera, ketika di wilayah Malaysia bangsa melayu identik dengan orang berkulit sawo matang/coklat. Sementara di wilayah tanah Borneo keberadaanya erat kaitkannya dengan religiusitas yakni masyarakat muslim.6 Berdasarkan laman tafsirquran.id tulisan dari Muhammad Rafi (2022) masyarakat melayu di wilayah Banjar dan agama Islam memiliki keterkaitan erat. Dapat dilihiat dari Maha guru ataupun ulama besar yang berasal dari Kalimantan Selatan Syeh Muhammad Arsyad AlBanjari yang ternyata memiliki hubungan erat dengan Syeh Abdul al Shamad al Palimbani (Palembang) yang identik dengan bangsa melayu. Kedua ulama tersebut pernah bersama-sama belajar di Timur Tengah.7 Perkembangan ajaran agama Islam di Kalimantan Selatan tercatat dimulai sekitar tahun 1550, ketika dimulai dengan masuknya Pangeran Samudra menjadi pemeluk agama Islam. Sejak itu agama ini menjadi identitas dan perlahan menjadi mayoritas di kalangan masyarakat Banjar. Dibuktikan dengan sudah keberadaan masjid/musholla/langgar yang banyak dan dipandang sebagai tempat vital untuk rumah suci peribadatan dan wadah Pendidikan Islam. Keberadaannya yang vital membuat anak-anak kecil sudah dibina dan belajar di masjid atau langar tersebut, mulai dari belajar khazanah keilmuan islam, hingga tradisi-tradisi semisal Maulid, Barzanji, Maulid Habsyi, termasuk tradisi belajar AlQur’an di dalamnya.8 Tradisi batamat muncul dan dimulai ketika anak-anak yang belajar Al-Qur’an di masjid, langgar atau di Lembaga Pendidikan TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) yang telah selesai membaca Al-Qur’an (tamat), kemudian para orang tua sebagai wujud apresiasi dan ekspresi syukur atas karunia tersebut maka diadakanlah batamat quran. Giat batamat menjadi tradisi dan kearifan lokal masyarakat Banjar. Tradisi ini diawali dengan menyiapkan ruangan dan mendekorasinya, diadakannya bendabenda tertentu, semisal payung kembang, hingga memberikan sajian makanan atau hidangan untuk para peserta undangan. Dalam perjalannya tradisi ini menjadi budaya yang hidup dan mewarnai masyarakat Banjar dan masih eksis dilakukan, baik 6 Wahyudin, MERAJUT DUNIA ISLAM DUNIA MELAYU: Sosok Orang Melayu Banjar di Tanah Leluhur. Jurnal TOLERANSI: Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama 6.1, 2014, h. 48-58. 7 Muhammad Rafi, Tradisi Batamat Al-Qur’an di Kalangan Masyarakat Banjar https://tafsirAlQur’an.id/tradisi-batamat-Al-Qur’an-di-kalangan-masyarakat-Banjar/, 2022. 8 Wahyudin, MERAJUT DUNIA ISLAM DUNIA MELAYU: Sosok Orang Melayu Banjar di Tanah Leluhur. Jurnal TOLERANSI: Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama 6.1, 2014, h. 48-58.
166 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH sederhana hingga dilakukan secara mewah. Batamat Al-Qur’an sebenarnya tradisi yang mirip dengan khataman Al-Qur’an pada umumnya. Namun mekanismenya yang terjadi pada masyarakat Banjar mempunya ritual khusus. Ritual ini dilakukan apabila sesorang laki-laki maupun perempuan telah selesai proses ngaji atau membaca Al-Qur’an 30 Juz yang dibarengi dengan beberapa agenda di dalamnya, antara lain: a) Acara dibarengi dengan hidangan nasi ketan, yang diatasnya berisi talam, ayam gulai dan lauk lainnya disajikan secara gotong royong. b) Dalam prosesi acara terdapat paling kembang yang dirangkai terdiri dari bunga melati, cempaka, kenanga. c) Nasi yang disajikan berwarna kuning, dan tongkat nasi ketannya dipadatkan diberi bendera hiasan, dan beberapa sajian-sajian lainnya. Ketika prosesi dimulai, anak-anak duduk bersamaan, menggunakan pakaian putih dibarengi dengan membaca Surat Ad-dhuha sampai dengan selesai. Ketika sampai pada surat al-Fīl dengan lafadz, alam tara kaifafa ala rabbuka, sajian telur ayam akan diperebutkan dan dimakan. Setelah itu secara ditutup dengan bersama membaca doa khatmulquran yang kemudian dilanjutkan dengan menyalami orang tua.9 Memang dalam perjalanannya, tradisi batamat ini memiliki beberapa perbedaan, terdapat beberapa jenis mulai dari betamat pengantin (khatmul quran pada ritual pernikahan), batamat manyaratus (khatmul quran pada ritual 100 hari meninggal dunia), batamat maulid (khatmul quran yang dilakukan pada Maulid Nabi), dan lainnya. Meski dalam proses pelaksanaan berbeda pada dasarnya agenda utamanya yakni membaca Al-Qur’an secara bersama pada akhir Juz 30, dimulai dari Qs. Ad-Dhuha hingga Qs. An-Naas 2. Nila-nilai Ajaran Agama Islam dan Kearifan Lokal dalam Tradisi Batamat Qur’an Batamat Qur’an, sebenarnya aktualisasi nilai-nilai ajaran agama Islam yang dikemas melalui sebuah tradisi kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Banjar. Jika dilihat secara seksama terdapat banyak nilai-nilai ajaran agama Islam dari fenomena living quran warisan bangsa melayu di lingkungan masyarakat Banjar tersebut. Pertama, Pendidikan keimanan dengan mempercayai dan mengagungkan Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya itu secara langsung juga merupakan bentuk ibadah melalui pembacaan Al-Qur’an sebagai agenda pokok. Allah Swt berfirman dalam QS. Albaqarah Ayat 4; ُ لَۡي َك َو َمآ أ ِ ِز َل إ ن ُ ِ َمآ أ ِذي َن يُۡؤ ِمنُو َن ب َّ ِخ َرةِ ُهۡم يُوقِنُو َن َوٱل ۡۡلٓ ِٱ ِز َل ِمن قَۡبِل َك َوب ن dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. (QS. Albaqarah [2]; 4) Sebagai seorang muslim, sudah sepatutnya percaya terhadap Al-Qur’an 9 Kemendikbud RI, Warisan Budaya Tak Benda Indonesia, Batamat Al-Qur’an, https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=5737, diakses pada 26 September 2022.
National Proceeding on the Islamic Studies 167 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH sebagai kitab yang diturunkan kepada ummatnya dan digunakan sebagai pedoman hidup. Ayat Al-Qur’an Surah Al- Baqarah ayat 4 mengajarkan bahwasannya sebagai orang yang beragama Islam wajib serta percaya penuh dan mengimani Al-Qur’an juga kitab-kitab sebelumnya yang diturunkan kepada Rasul.10 Ekspresi keimanan terhadap Al-Qur’an telah teraktualisasi dalam tradisi batamat Al-Qur’an, dengan mengagungkan dan mepelajarinya sedari dini kepada anak-anak kecil dengan harapan kelak akan menjadikan keselamatan dunia akhirat bagi mereka. Kedua, nilai-nilai silaturahmi dan gotong royong. Kebersamaan yang dibangun melalui tradisi ini, mulai dari mempersiapkan acara bersama-sama dan dilakukan secara kerjasama merupakan ciri khas masyarakat muslim yang diperintahkan agar saling bersilaturahmi, saling mengenal satu sama lain, dan saling gotong-royong dalam kebaikan. Allah Swt, jauh-jauh hari dalam Al-Qur’an Surah Almaidah ayat 2 telah berfirman; َّن ِ ٱ َّّللَٰۖ إ ْ َوٱتَّقُوا ِۚ ِن َٰ َو ۡد عُ ۡ َوٱل ِم ۡ ۡۡلِث َعلَى ٱ ْ َونُوا َوََل تَعَا ٰۖ َو َٰى ۡ ِ ِ ر َوٱلتَّق ب ۡ َعلَى ٱل ْ َونُوا َوتَعَا ۘ... ِعقَا ِب ۡ ٱ َّّللَ َشِديدُ ٱل … Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. Islam dalam ajarannya mengajarkan pentingnya gotong royong dan tolong menolong (taawun) dalam hal kebaikan. Nilai tersebut telah diaplikasikan dalam tradisi batamat Al-Qur’an. Bagaimana tidak, sikap ini akan benar-benar nampak dan terlihat ketika akan memulai dan mempersiapkan ritual tradisi tersebut, mulai dari membaca Al-Qur’annya hingga persiapan pelaksanaan acara, mulai dari mempersiapkan perlengkapan hingga sajian makanan kepada peserta yang hadir, hal-hal tersebut dilakukan dengan secara bersama-sama. Nilai gotong royong sebagai informasi di kalangan masyarakat melayu merupakan warisan leluhur terlebih di wilayah Kalimantan Selatan. Sikap ini akan mengikis rasa individualisme bagi setiap orang dan sebagai alat penguat dalam hidup bersama di lingkungan masyarakat. Tradisi gotong royong merupakan nilai-nilai kearifan lokal yang sudah turun temurun dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari dil ingkungan masyarakat Banjar. Terdapat istilah yang familiar di kalangan urang Banjar (baca; masyarakat Banjar) yakni kayuh beimbai yang mempunyai makna mendayung bersama. Peribahasa ini mengajarkan tentang kebersamaan dalam masyarakat dan tentang tujuan bersama, hal tersebut disampaikan oleh Prof. Mujiburrahman Guru Besar sekaligus rektor UIN Antasari dalam penyampaiannya di Sosialisasi Wawasan Kebangsaan Lemhannas RI di Banjarmasin. 11 Ketiga, nilai-nilai sedekah dan berbagi antar sesama. Nilai ini juga 10 Syamsuri, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Erlangga, 2003, h. 15 11 Disampaikan oleh Prof. Mujiburrahman, MA “Kebangsaan dan Kearifan Lokal Masyarakat Banjar”, disampaikan dalam kegiatan ‘Dialog Wawasan Kebangsaan’ yang diselenggarakan Lemhanas, di Kalimantan Selatan pada 11-13 Mei 2022.
168 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH termanifestasi dalam ritual tradisi batamat Al-Qur’an, dikarenakan pada mekanismenya terdapat sajian atau makanan yang akan dibagikan dan dimakan bersama-sama. Hal ini mengajarkan spirit berbagi antar sesama. Hal tersebut telah tertuang dalam sebuah hadits “Jagalah dirimu dari api neraka, walau dengan bersedekkah separuh buah kurma.” (HR. Muttafaqu ‘Alaih). Sikap bersedekah dalam tradisi batamat quran ini terlihat secara jelas, ketika mereka mendapati nikmat dan karunia dari Allah, yang kemudian diekspresikan dengan khataman Alquran dan dibarengi dengan berbagi atau sedekah antar sesama. Sedekah dalam ajaran Islam termasuk sebab utama datangnya keberkahan dan dilipatkan rizqi, serta harta yang dikeluarkan harapannya akan mendapatkan keberkahan. 12 hal tersebut pula yang menjadi harapan oleh mereka yang mengadakan atau menyelenggarakan tradisi batamat quran tersebut. Keempat, ungkapan rasa syukur. Budaya batamat quran hadir sebagai ungkapan rasa syukur terhadap nikmat dan karunia yang diberikan oleh Allah swt. kepada anak atau cucu mereka yang telah berhasil menyelesaikan membaca AlQur’an 30 juz. Dapat diketahui bahwa budaya batamat ini juga mengajarkan masyarakat untuk selalu bersyukur kepada Allah atas nikmat dan karunia yang telah diberikan. Allah Swt berfirman dalam QS. Albaqarah ayat 152, yang berbunyi; ُرو ِن فُ ِلي َوََل تَكۡ ْ ۡش ُكُروا َوٱ ُكۡر ُكۡم ۡ ذ َ ٓي أ ُكُروِن ۡ فَٱذ 152. Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. Ekspresi syukur masyarakat Banjar atas pemberian nikmat tersebut yang kemudian diaktualisasikan dalam budaya batamat quran. Syukur merupakan tanda berterimakasih atas nikmat yang Allah berikan 13 ekspresi ini terlihat ketika seseorang mendapati anak-anak mereka telah mampu menyelesaikan bacaan AlQur’annya, yang kemudian diungkapan dengan tradisi khataman Alquran dan memberikan sajian hidangan yang dimakan secara bersam-sama. 3. Batamat Quran dan Ekspresi Religiusitas Masyarakat Banjar di Era Modern Adalah realitas yang tidak bisa dipungkiri ketika mendengar bahwasannya masyarakat Banjar terkenal dengan religiusitasnya. Dibuktikan dengan ribuan masjid dan langar yag hadir di tengah-tengah masyarakat. Beragam aktifitasnya erat dengan sisi Pendidikan keislaman, mulai Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) hingga majelis taklim merupakan bukti ekspresi religiusitas masyarakat tersebut. M. Arif Budiman dalam tulisannya Khazanah Islam Masyarakat Banjar bahwasannya resligiusitas masyarkat Banjar juga terlihat dari budaya lokal yang hadir, semisal maulid (Kelahiran Nabi Muhammad Saw), basunat (khitan), baayun maulid (ritual mengayun anak), ziarah makam ulam/wali, hingga batamat (menyelesaiakan bacaan Al-Qur’an). 12 Abdurrahman, Kedasyatan Bersedekah, Yogyakarta: Pustaka Rama, 2010, h. 6. 13 Muhammad Syafii el Bantanie, Dahsyatnya Syukur, Jakarta: Qultum Media, 2009, h.2
National Proceeding on the Islamic Studies 169 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH Meski ritual yang dilakukan merupakan budaya lokal. Keberadaan batamat quran sebenarnya telah muncul zaman sahabat. Ketika melihat sebagian sahabat yang khatam Al-Qur’an semisal dalam sehari, seminggu dan dalam periode tertentu. Imam Annawawi dalam kitab al-Adzkar tradisi khatam quran berkembang pada masa ulama salaf, bahkan mereka mempunyai target waktu tertentu dalam menyelesaikan atau mengkhatamkan.14 Meski terkenal tradisi lama, keberadaan batamat Quran tetap eksis ditengah era modern seperti saat ini. Terlihat dengan masih menjamurnya tradisi tersebut dilingkungan masyarakat. Hal tersebut yang patut diapresiasi dan menjadi kebanggaan masyarakat Kalimantan Selatan, ditengah arus modernisasi namun keberadaannya masih tetap eksis. Terdapat sebuah penelitian, salah satu yang membuat religiusitas masyarakat Banjar melalui tradisi lokalnya tetap eksis hingga saat ini dikarenakan hal tersebut erat kaitannya terhadap kesejahteraan. Penelitian yang ditulis oleh Manik Mutiara Sadewa dan rekannya, bahwa hubungan religusitas masyarakat muslim Kalimantan Selatan berkorelasi positif dengan kondisi kesejahteraannya.15 Dari hal tersebut sebenarnya dapat diambil pelajaran bersama mengapa tradisi-tradisi lokal bernuansa keagamaan di lingkungan masyarakat Banjar tetap bisa eksis hingga sampai saat ini, mereka percaya bahwasannya hal tersebut kelak yang akan membuat hidup menjadi lebih berkah dan dekat dengan istilah kesejahteraan. Terlebih pada tradisi batamat Quran, tradisi yang lekat di lingkungan bangsa melayu dan popular di wilayah Banjar ini sejatinya keunikan yang harus dijaga bersama-sama. Demi menjaga kearifan lokal ini bahkan Gubernur Kalimantan Selatan H. Sahbirin Noor dalam laman Republika.co.id mempunyai gagasan tentang “Gerakan Batamat Al-Qur’an” dimulai dari Masjid Raya Sabilal Muhtadin Banjarmasin, yang bukan tidak mungkin akan merambah ke masjid-masjid dan lingkungan lainnya. Hal di atas sejati menjadi bukti dan dukungan penuh dari pemerintah daerah terhadap tradisi batamat Quran yang harus dirawat bersama-sama setiap lapisan masyarakat, agar harapannya budaya-budaya religiusitas yang dibalut dengan tradisi lokal tetap hidup dan bahkan menjadi lifestyle atau gaya hidup masyarakat sekitar. KESIMPULAN 1. Kesimpulan Batamat Al-Qur’an bagi bangsa melayu merupakan tradisi yang sudah turun temurun. Hal tersebut juga bagi masyarakat Banjar, kehadiran tradisi ini diperkirakan sekitar abad 14 M, beriringan dengan masuknya Islam di tanah Banjar. Ritual tradisi ini merupakan ekspresi syukur atas tamatnya anak-anak kecil dalam membaca Al-Qur’an. Ungkapan syukur tersebut diaktualisasikan dalam bentuk batamat, atau popular dengan istilah Khatmul Quran. Setelah ditelusuri, tradisi lokal milik masyarakat Banjar ini memiliki beberapa 14Tafsirquran.id, https://tafsirAl-Qur’an.id/tradisi-batamat-Al-Qur’an-di-kalanganmasyarakat-banj ar/#:~:text=Tradisi%20batamat%20AlQur’an%20berasal%20dari,yang%20berarti%20selesai%20atau%20khatam. 15 Manik Mutiara Sadewa, Mochammad Arif Budiman, and Mairijani, "Hubungan Antara Religiusitas Dan Kesejahteraan Pada Masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan." AT-TARADHI Jurnal Studi Ekonomi 6.2 (2015): 207-218.
170 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH nilai-nilai ajaran agama Islam, di antaranya nilai mengimani Al-Qur’an, adanya Pendidikan Agama Islam sejak dini, gotong-royong dan tolong menolong dalam kebaikan, sedekah dan ungkapan rasa syukur. Meskipun tradisi lokal yang hadir di masa lampau keberadaan tradisi ini masih eksis hingga saat ini, dan tetap menjadi sebuah kebanggaan. Dan dengan optimisme melalui pemerintah daerah yang mendukung penuh dalam merawat tradisi batamat, maka bukan tidak mungkin tradisi ini akan tetap hidup menjadi kearifan lokal yang terus mewarnai masyarakat Banjar. DAFTAR REFERENSI Ira Mentayani, Analisis Asal Mula Arsitektur Banjar Studi Kasus : Arsitektur Tradisional Rumah Bubungan Tinggi, Jurnal Teknik Sipil & Perencanaan, Nomor 1 Volume – Januari 2008, h. 1-12. Banjar Malay Center Of World Reference, Suku Banjar, https://p2k.utn.ac.id/eng/2- 3077-2966/Melayu-Banjar_43202_utn_p2k-utn.html, diakses 25 September 2022 Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir, cet.III (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2017, h. 103. Wirdanengsih , Makna Dan Tradisi-Tradisi Dalam Rangkaian Tradisi Khatam Quran Anak-Anak Di Nagari Balai Gurah Sumatera Barat, Jurnl Gender Equality: International Journal of Child and Gender Studies, 2019. Riza Saputra, Dialektika Islam dan Budaya Lokal dalam Tradisi Batamat alQur’an Urang Banjar, Mashdar: Jurnal Studi Al-Qur'an dan Hadis Vol.3, No.1, 2021. Wahyudin, MERAJUT DUNIA ISLAM DUNIA MELAYU: Sosok Orang Melayu Banjar di Tanah Leluhur. Jurnal TOLERANSI: Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama 6.1, 2014, h. 48-58. Muhammad Rafi, Tradisi Batamat Al-Qur’an di Kalangan Masyarakat Banjar https://tafsirAl-Qur’an.id/tradisi-batamat-Al-Qur’an-di-kalangan-masyarakatBanjar/, 2022. Wahyudin, MERAJUT DUNIA ISLAM DUNIA MELAYU: Sosok Orang Melayu Banjar di Tanah Leluhur. Jurnal TOLERANSI: Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama 6.1, 2014, h. 48-58. Hidayat Salam, Tradisi Batamat Al-Qur’an Pada Masyarakat Banjar Kalimantan Selatan, Program Studi Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (Uin) Syarif Hidayatullah Jakarta 2021. Kemendikbud RI, Warisan Budaya Tak Benda Indonesia, Batamat Al-Qur’an, https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=5737, diakses pada 26 September 2022. Syamsuri, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Erlangga, 2003, h. 15 Disampaikan oleh Prof. Mujiburrahman, MA “Kebangsaan dan Kearifan Lokal Masyarakat Banjar”, disampaikan dalam kegiatan ‘Dialog Wawasan Kebangsaan’ yang diselenggarakan Lemhanas, di Kalimantan Selatan pada 11-13 Mei 2022. Abdurrahman, Kedasyatan Bersedekah, Yogyakarta: Pustaka Rama, 2010, h. 6. Muhammad Syafii el Bantanie, Dahsyatnya Syukur, Jakarta: Qultum Media, 2009, h.2 Https://tafsirAl-Qur’an.id/tradisi-batamat-Al-Qur’an-di-kalangan-masyarakatBanjar/#:~:text=Tradisi%20batamat%20AlQur’an%20berasal%20dari,yang%20berarti%20selesai%20atau%20khatam.
National Proceeding on the Islamic Studies 171 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH Manik Mutiara Sadewa, Mochammad Arif Budiman, and Mairijani, "Hubungan Antara Religiusitas Dan Kesejahteraan Pada Masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan." AT-TARADHI Jurnal Studi Ekonomi 6.2 (2015): 207-218
172 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH
National Proceeding on the Islamic Studies 173 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH COMMUNICATION SKILLS: UNREMARKABLE EDUCATORS’ TALENT FOR CHALLENGING WORLD BUDDY & VALAH STUDY CASE Mariati Aprilia Postgraduate Student in Islamic Studies, International Open University (IOU), Gambia India Email:- Article History: Received: 08-12-2022 Revised: 14-12-2022 Accepted:24-12-2022 Keyword: Educator, Buddy, Communication, Talent Abstract: A good teaching method will create great impact positively on the student's mark at school in any subject taught. According to Buddy & Valah study case, in which the Interpersonal Relations method has been implied, has raised the English student's mark so significant through the use of paired sample t-test method of research. One of the important strategies used is an assertive communication delivered by teacher with the combinations of reinforcement method proportionally according to the Behaviorism Revisited theory. On the other hand, there are some effective ways to direct the praise expressively such us the use of I- message. As such, the right implementation of such methods has increased the English score of primary school learners (SD) significantly. In this paper discusses about obligations for teacher, how to be an ideal one and some applicable suggestions in order to become a right educator as well as communicator for the challenging world. Teachers must equip them self with an important skill, a proficiency in communication. It is a professional requirement for teacher in order to reach the learning objective. It also involves all aspects of children's (students) personality other than intellectual ability. Strengthening the immune system of children physically through promoting the knowledge sharedis one of important obligation as an educator. The way a teacher reveals the knowledge through wisdoms also plays an important function, such as talk to them with logical reasons. It also describes a PCS (Performance, Communication and Systematic) style, a technique to attract students in order to become an ideal instructor. INTRODUCTION Education is an important basic need in life. It also plays an important role to decide whether someone is qualified one, based on the life skills attached. Therefore, to improve the performance of teacher, a competency of communication is wellneeded to reach the study goal. For that reason, some basic guidelines are explained in this paper, such as four important strategies in humanistic approach called ‘Interpersonal Relations’.Through this aspect, we find an approach that most suitable to deal with people especiallyin learning English as a foreign language. In fact, this teaching approach has created an enthusiastic and motivation from the students of Buddy and Valah to understand the subject better then affected their English mark into significant improvement.
174 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH THEORETICAL BACKGROUND A qualified teacher has determined a good reputation of a country among other nations across the world. Educators determine the future life of an individual, qualifications, job specialization through the knowledge shared especially at school or any educational institution someone graduated in. However, there are three supported factors in education in term of transferring knowledge-based to student's memory according to Yunus and Bakr are teacher, student and the knowledge itself.[1] Here, teacher plays as a mediator between two other factors since he has a capacity to choose appropriate information that eases his student's understanding about the knowledge given and of course it must ensemble the capability of their learners. a. Teacher’s obligations Becoming an educator is an honored occupation. According to Yunus and Bakr also pointed out the obligations of teacher are included within two descriptions: first, responsible in strengthening the physical aspect of immune system of the learners and its growth through the benefit of knowledge given by them. Second, learn the children's instinct and talents that innate in their behavior [1]. It means that the knowledge delivered by educators must reach to the student's brain and causes them to use their brain, produces the good behavior that will inherit into good habits at the end. Regarding this, when teacher explains about avoidance of consumerism, students must be encouraged to live in humble (future-oriented), save extra money to moneybox, bank or either, so that they allocate the saved money for more important ones like joining an English or science club activity after school. Instead of doing such, teach them how to produce any simple toys or handicraft (pencil case or invitation card) to sharpen their productive behavior and creativity as an alternative lesson of the subject taught. And second about the children's instinct and talents, in this point, educators are encouraged to know deeply about their student's tendency and preferences. Once the educator becomes aware of children leaning, he attracts them to pay attention to the lesson indirectly since there is an emotional relationship that this teacher is an understood person for them. Children are happy to recognize that his or her math teacher knows that they have a pair of cute rabbits as their pets at home. Moreover, teacher may put the student's favorite activities in relating to thecurrent lesson as an example. In fact, people are more attracted to the things they have known before rather than anything they have not experience yet. In the book about the tips to improve life and profits of teacher, Ashari (2007) quoted that: ... "communication is one of the aspects that will decide whether you could be such a boring teacher or someone who always being kept waiting by your students. It is a full- contact activity, involves all aspects of human personalities; thought, feeling, assurance, behavior, and body language after the subject competency.[2]" Means that, it is a crucial requirement that educator must have a communication ability to differentiate his responsibility among other works. The responsibilities of an instructor are not only about giving information; but also engaging in mind, emotion, conviction, performance, and body expression of children actively as their learners. Moreover, it is a skill that covers all aspect of an individual as one entity that connects and cooperates to each other. Otherwise, teacher’s occupation cannot be perceived as a profession, which requires professionalism in
National Proceeding on the Islamic Studies 175 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH his duty fulfillment. In addition to that, teacher becomes an example of his students; therefore, he mustencode his message by explaining the lesson in understandable language. In this case, educators must sharpen their knowledge about how to communicate effectively throughreading or understanding other people differences. Jaffee (1998) pointed out that a goodspeaker must consider his audiences before delivering the speech[3]. For sure, one task of teacher is clarifying the materials of the subject taught verbally. Therefore, he must know the audiences, in this case the children (i.e. their age and grade level of school) verywell to select the relevant topic before starting the lesson. As a result, the topic is very well-matched with the intellectual portion of its listeners after all. Furthermore, Qaradhawi (2004) mentioned that a good preacher must call people to join into good deeds through the wisdom ways[4]. If we relate this statement with responsibility of teacher, he invites the apprentices to perform good manners in every life situation they face. Regarding the wisdom techniques previously, he also clarified it into some important points: 1) Talk to students with logical reasons Nowadays, most of pupil cannot accept if they are being prohibited or commanded to do or avoid something without any logical arguments. For such, educators must accommodate with natural approves in each of their argument such as the smoking prohibitions for teens. We may provide with scientific study including the finding of several diseases found in body of smokers such as lung disease or heart attack. 2) Speak in understandable language In this part, preacher or tutors are encouraged to use the simple language or a language that might be understood by apprentices; otherwise, the message would not reach its purpose. It means that the selection of the right words in conveying the message is preferable rather than the sophisticated one which may lead into confusion stage. For instance, teacher should avoid the use of ‘assistance’ word for primary level, instead of using the word 'help' for them. Despite that, Baradja (1400 H) stated that some of the speech etiquettes for girls toward others; first, think before speaking. This is to avoid unnecessary and insulted words that may lead to the relationship broken. The second etiquette for speaker in this case (teacher); use the right word in the right place. Therefore, the importance of that they can see lecturer's face expression clearly and understand the message appropriately [5]. However, these customs are not only applicable for girls, but are valid to be implied in the interaction between instructors and their apprentices. To support this idea here, we will feel spontaneously anxious when talking to a person who keeps looking and putting down his face on the ground. On the other hand, we must feel respected when being paid attention by our listeners while are talking. 3. Behave in gently manner . Since education system including the promoters (teachers) determines the future major life of a person, it is required good quality manners to handle every situation whether good or bad to promote positive values among the student as the
176 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH third supporting factor in education world. Hence, they must behave in tender ways so that children may response and react to every problem positively according to the scene he always found. c. Ideal Teacher Every educator wants to be a model figure of the students. Nevertheless, again the aspect of communication plays important role here. According to Ashari (2007) there are three styles in supporting the idea of becoming awaiting teacher, in short named as threePCS styles (Performance, Communication and Systemic).[2] I) Performance Teacher is required to be tidy, well-matched and an organized person. This is to hinder from unexpected judgment from the learners, always be attractive in our performance. Be motivated and confident, hide the sad expression once we are in blue but show the magnitude of teacher self that we are the right person for the subject we taught in class. Students can read and see our mood clearly since educator becomes the focused- attention in the class. An ideal teacher is a mobile person; keep moving into different directions to check whether all students participate actively in the learning process. 2) Communication Greet the pupils in opening session, listen and response their wishes without denying the role that teacher is the regulator of the learning system in class, whether the lesson has reached its goal or not. In this part, we may include humors in our session to attract them with the subject taught. Furthermore, Maxim (2009) said that most successful instructor is the one who has humoristic views in the subject and often simplifying the lesson as well as task-given for learners. As such, the sense of humor andeasy task giver are another additional point of teacher in order to attract the attention ofstudents at class. 3) Systematic A good teacher always prepares the lesson before entering the class so that he classifies what are the easy, not easy, and very difficult ones. Afterwards, he selects which at first later, encourage them to do review at home to have a full understanding about thesubject visibly. METHODICAL APPROACH USED FOR TEACHER It cannot be denied that educator plays a significant position in succeeding the quality of school performance. Here, teachers are required to involve actively in achievingthe study goal by improving their appearance at their working institution every time through teaching method of approach that relevant with student's performance. Oneof the recommended approaches in teaching lays the 'Interpersonal Teaching Method', which humanity aspects are more stressful here for maintaining good relationship between the educator and students. a.Interpersonal Relations Teaching Method In the case study of Buddy and Valah Course, where the teacher applied the mentioned (Interpersonal) method in teaching as well as dealing with children found that previously (before implied the method) students were less motivated in
National Proceeding on the Islamic Studies 177 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH receiving the lesson explained by the instructor. After joining several classes in it, they look more enthusiastic than ever before. For sure, this is totally different comparing to the first reaction they ever revealed before. All these can be remarked by their earlier attendance and also infrequency of being absent in each class schedule. Surprisingly, atthe end of the day at schools (report book distribution day) resulted that final score of the subject (English) taught in such method has increased significantly which cause the parents to resend the children studying in the same subject and method regularly. However, a teacher can be viewed as a successful indicator from his adequacy of recognizing deeply about the student’s background, personality, intellectual capability, and family ties. By having such sufficient information, he will know exactly which interpersonal approach that fit with the learner's needs. In addition to that, this interpersonal method has benefited to improve the relationship quality between educators as well as apprentices. To prove that fact, Ross (1994) said that reaction of teacher toward acceptance about his student's behavior potentially contributes great impact in influencing, motivating, and persuading them on understanding the lesson effectively[6]. For that reason, educator is highly recommended to keep motivating the learners about subjects taught at school to apply the knowledge gained in the future. Figure 1. The modification of Interpersonal Relations Model four main strategies that become a part of this approach to increase the value of study inclassroom: 1) Communicate assertively According to DeVito (2004), it is an ability to communicate what we have a right on it (rights of teacher) without ignoring other’s right (students)[7]. For that reason, the teacher's standpoint must be clear and certain in revealing any information relating to the education process to reach the learning objective surely. For example, teacher informs the function of -ing usage in English language (Tina is walking); here the verb that is used in that sentence to inform the walking activity of Tina which is prevailing at current time. Therefore, by revealing the objective goal of present continuous tense in such above example, we expect that learners can adopt and apply the tense clearly in their daily life with various kinds of verbs afterwards. On the other hand, the allocation of time to study provided by school also resides in significant position; this is very much related to the lecture's capability in managing time for teaching appropriately. In this case, teacher is expected to prepare
178 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH the lesson andcome punctual to the class; thus, however teaches the children about the significance of discipline value indirect way. Rules and regulation are also needed in every learning situation, to avoid any chaos problems in the class, rules must be agreed and decided by all participants in class at first meeting. For instance, those who made a big noise which disturb the learning activity in class must be punished by extra work given (memorizing 10-20 verbs depends on intellectual ability of the individual in next session). Though, the best punishment should not consist of harmful effect that may frustrate and discourage them. In fact it willimprove their level of understanding the subject after all. 2) Appreciate all learners in equal manner According to this strategy, good teacher does not differentiate between the students. There is no such high nor low status people; those who come from rich family will be served better than who are not, but both whether is clever or unqualified performer must be encouraged to achieve the study goal successfully according to each level of academicability. Such as a daily assessment at the end of session must be suited to different level of understanding of each student, difficult questions are directed to the fast learner but the easy one is given for the slow learners. Finally, everyone enjoys equal treatment from their knowledge source, in this case teacher. 3) Place our self in position of other Empathy can be translated as a capability to feel other's emotion without denying our real identity (DeVito, 2004)[7]. According to this definition, teacher must feel the unusual condition of the students psychologically sometimes, such avoiding heavy duty assignment for student who left by the parents recently. For that reason, educators must have sensibility about the causes of lack concentration happened in their students. Preserving good relationship that has been formed between tutor and its apprentices is another vital strategy of interpersonal model. Memorize the names of the student and know profoundly about their interest. Disclose them with everything they like, this strategy would imply significant value after all, even those people were not becoming a part of our listeners again. b.Reinforcements in Behaviorism Theory To implement the previous four strategies there is another supporting theory that participates actively in succeeding this teaching method, which is a theory of behaviorism. In this theory, whenever the first students achieved the study goal successfully, they will be rewarded with some reinforcements.
National Proceeding on the Islamic Studies 179 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH Figure 2. Modification of behaviorism model on the implication of learning process However, it should be noted that rewards should not be given too often in supporting the teaching and learning process. A theory which supports this approach is called behaviorisms theory that pioneered by Watson then developed by Skinner also known as behaviorism revisited or the study that focuses on human' s behavior. According to this theory, a psychologist just learns about the measured and observed human's action (Morris, & Maisto, 1999)[8]. One of the important elements here is reinforcement. If this condition is reflected to the learning situation at schools, students would be excited and tended to be fully understanding the subjects or answering related questions to get a present (could be an item or praise from teacher). Moreover, reinforcement should not always be applied in the class situation to avoid from unintended intention by students in doing review the subject based on the usual reward'sscheme only. In contrast, another way of reinforcement reward is through praise given. Some effective ways to express nice praises according to DeVito (2004) quoted by Dresser (1996) concluded that:When we give praise to someone, try to deliver it with I- subject, such as "I feel so proudwhen you can differentiate between the use of this/that and these/those.” a.Express it with positive feeling This is very important notice for teacher while she is approving on student's behavior; show the positive movement on face, try to avoid any frown or sad look insteadof give a smile together with praise. b. Name the praised behavior explicitly In this part, we emphasize more on the prevailing deed not the subject doing. Therefore, do not just utter it in general way, like "that is good" but we could say "I am impressed with your ideas about save our nations in your essay."
180 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH c. Consider other's culture differences. The Javanese cultures often discourage about the direct response of saying thank you expressively once someone has been given a gift. Rather than Sumatra people who use to comment something whether it is good or bad without meaning to insult others.[7] How to express praise: 1. The use of I-message 2. Positive facial movement 3. Labeling the approval behavior 4. Cultural differences consideration Figure 3. De Vito (2004) and Dresser (1996) RESEARCH METHOD (Paired sample t-test) To prove the truth about the above theories, the writer uses paired sample ttest to provide evidence that there is a significant difference in the recent remark of English lesson at school between before and after taking the course, which are two different samples with the same subject but have been evaluated through different measurement. In this case, the measured example here is the t- test score with the two paired sample implication. The number of samples is 26 persons, and the subjects is the recent final remark of English subject in the Report book at school of primary students (SD) fromgrade 1-6 with two different conditions, in which the first circumstance is where pupils did not join the course yet and the second one is after they have joined the course applying the Interpersonal Relations Approach in its teaching method at class. Table 1. Paired Sample Statistics First Output (Statistics Group) Quoted by Santoso (2000) in his book about Parametric Statistic, shows a brief statistic figure from both samples, which are the current result of English Language before taking the course in Interpersonal approach the average mean is
National Proceeding on the Islamic Studies 181 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH about 7.3477, however in the other illustration where students have joined the course with such method the average mean is 8.1258[9]. Table 2. Paired Samples Correlations Second Output In this second amount produced is the correlation between two variables, resulted0.714 with the probability score below 0.05 (look at the significant output 0.000). This result has confirmed that correlation between the mean of second current mark of the subject in the report book's students is strong and significant. Table 3. Paired Samples Test Third Output (Paired Sample Test) I) Hypothesis The related hypothesis for this case: Both population means is identical (the population mean of English lesson in student's report book before joining the course and after followed the session is same notdifferent accordingly). Hi :D<O Both means in the population number is not identical (the population mean in their report book of the subject after following the session is bigger than ever before). 2) Decision making The decision has been taken based on: a. Based on the comparison between t-counted and t- table Looking for t-table in table-t with some rules that: • The significance (a) is 5 %. • Standard deviation (Dt) = 25 • The test has been conducted in one approach (the one in the left, signed-). From the previous SPSS output, found the number of -6.197 because t-
182 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH counted places in Ho rejected zone, it can be concluded that after joining the English classes with the Interpersonal Relations Method has increased primary students' English remarks in their report book at school significantly. CONCLUSION As an important factor of education, teachers should equip themselves with communication talent to face the changing as well as challenging world. However, this skill will confirm whether an educator is the boring type of person or either. From the explanation above can be concluded that method of study through Interpersonal Relationship method has improved the school mark of English subject of Primary level students at schools. However, all those important factors in education in which teachers, students and the knowledge taught must support and cooperate in succeeding the objective goal of learning process at school or elsewhere. ACKNOWLEDGEMENTS This research has been done to measure the use of ‘Interpersonal Relations’ method in teaching English subject has improved the student's mark at school in Englisharea significantly. Thus, a special thanks to all Buddy & Valah students who have entrusted us as their English learning partners for several years since 2006. REFERENCES M. Q. Yunus, Mahmud; Bakr, At-Tarbiyah wat-Ta’lim: Al-Juz’ul Awwal, First Edit. Ponorogo, Indonesia: Daarussalam Publisher. Penghasilan Tambahan. Yogyakarta: Pinus Book Publisher, 2007. C. Jaffe, Public Speaking: Concepts and Skills for a Diverse Society, 2nd ed. USA: Wadsworth Publishing Company, 1998. Y. Al-Qardhawi, Retorika Islam, 1st ed. Jakarta Timur: Khalifa (Pustaka Al-Kautsar Grup), 2004. U. bin A. Baradja, Al-Akhlaq lil-Banat: Al-Juz’u Tsani. Surabaya: Y.P.I. Al-UstadzUmar Baradja, 1980. R. S. Ross, Understanding Persuasion, 4th ed. New Jersey: Prentice Hall Inc., 1994. J. A. DeVito, The Interpersonal Communication, 4th ed. USA: Pearson Education,Inc., 2004. A. A. Morris, Charles G & Maisto, Understanding Psychology, Fouth. New Jersey: Prentice Hall, 1999. S. Santoso, Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik. Jakarta: Elex MediaKomputindo.
National Proceeding on the Islamic Studies 183 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH ANALISIS POLA ASUH BUDAYA BARAT DAN TIMUR PADA PERKEMBANGAN ANAK ANALYSIS OF WEST AND EAST CULTURAL PARENTING PATTERNS ON CHILDREN'S DEVELOPMENT Masripah Pendidikan Anak Usia Dini, Universitas Negeri Yogyakarta, Indonesia Email: [email protected] Article History: Received:08-12-2022 Revised:14-12-2022 Accepted:24-12-2022 Keyword: Pola asuh, budaya, Budaya barat dan Timur, Parenting, culture, western and eastern culture Abstrak: Pola asuh yang diberikan oleh orang tua berdampak pada masa depan anak. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran bagaimana pengaruh pola asuh budaya barat dan timur pada perkembangan anak. Metode penelitian menggunakan studi literature dengan langkah menemukan problem masalah, data collection or literature search, Evaluasi, analisis dan menyimpulkan. Adapun hasil penelitian menunjukan bahwa di berbagai negara berpedoman pada pola pengasuhan Baumrind, Maccoby & Martin yaitu otoriter, otoritatif, permissive dan pengabaian. Pada budaya timur anak cenderung mengikuti/berbakti pada perintah orang tua. Sedangkan pada budaya barat anak cenderung lebih bebas dan mandiri. Kesimpulan penelitian ini bahwasanya prinsip dan tujuan dari pola asuh dilakukan dengan keinginan meningkatkan atau mengoptimalkan tumbuh kembang anak dengan baik, memberikan kesejahteraan, kemandirian dan rasa percaya diri sejak dini. Hal ini dengan mempertimbangkan perkembangan fisik, emosi, culture, dan intelektual anak Abstract : Parents' parenting styles influence their children's future. This study aims to provide an overview of how the influence of western and eastern cultural parenting styles on child development. This research method uses literature surveys to find problems, collect data, search, evaluate, analyze, and conclude the literature. The findings show that the parenting styles of Baumlind, Maccoby and Martin in different countries are characterized by being authoritarian, authoritarian, generous and negligent. In Eastern cultures, children tend to follow or obey their parents' commands. In Western culture, children tend to be more free and independent. The conclusion of this study is that parenting principles and goals are implemented with a desire to promote or optimize a child's growth and development to instill happiness, independence and self-confidence from an early age. The child's physical, emotional, cultural and intellectual development is taken into consideration
184 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH PENDAHULUAN Anak usia dini mengacu pada anak-anak dari usia 0 hingga 6 tahun. Pada usia ini, perkembangannya sangat pesat. Hal ini selaras dengan teori Bloom yang menyatakan perkembangan otak anak terjadi sengat cepat sekitar 50-80% dari usia 4 hingga 8 tahun. Dan akan mencapai titik kulminasi Ketika anak berusia 18 tahun (Trenggonowati & Kulsum, 2018). Itulah mengapa masa kanak-kanak dianggap sangat penting sehingga disebut Masa Keemasan (golden age). Menurut Berk dalam (Marliza & Eliza, 2019) menyatakan bahwa anak usia dini merupakan individu yang sedang menjalani proses fundamental dalam keberlangsungan hidup kedepannya. Dapat dinyatakan bahwa anak usia dini merupakan pribadi yang unik, dinamik, serta memiliki rasa ingin tahu yang tinggi yang membuat setiap diri mereka berbeda dengan anak lainnya. Perkembangan anak memiliki karakteristik masing-masing hal ini seusia dengan pola asuh orang tua. Pola asuh memberikan dampak positif dan juga negative terhadap perkembangan anak (Taib et al., 2020). Keluarga merupakah wadah Pendidikan yang sangat penting. Keluarga memiliki peran penting dalam pendidikan moral yang konsisten dan sistematis sebagai pondas anak (Salieva, 2022). Oleh karena itu, membesarkan anak adalah tugas keluarga. Karena keluargalah tempat pertama anak mengenal makhuk sosial dalam berinteraksi dengan kelompok. Anak adalah peniru yang baik akan melakukan apa saja yang anak lihat, sehingga orang tua dalam hal ini sebagai contoh teladan (Kulzum, 2022). Jika orang tua dan guru memperlakukan mereka dengan keras, maka anak akan tercetak berkepribadian keras dan kemungkinan besar mereka akan mempraktikannya dalam situasi bullying. Anak merupakan pribadi yang unik, dalam perkembangannya memerlukan perhatian yang khusus untuk optimalisasi serta tumbuh kembangnya. Secara komprehensif orang tua mengasuh anaknya sesuai dengan budaya setempat. Bourdieu (1992) berpendapat bahwa perilaku, bahasa dan pikiran dipengaruhi oleh culture capital. Culture Capital dipengaruhi oleh budaya local, lingkungan tempat tinggal, tingkat Pendidikan, status sosial dan keluarga (Xiao & Liu, 2022). Budaya adalah salah satu factor yang mempengaruhi pola asuh orang tua. Orang tua harus bertindak bijaksana dan menerima bahwasanya dalam pengasuhan pada anak ialah peran penting untuk membentuk perkembangan anak (Jinan et al., 2022). Pola asuh merupakan perilaku kontrol yang dilakukan oleh orang dewasa sebagai pola pengendalian, tanggapan, kehangatan dan hukuman yang di lakukan untuk mengatur tingkah laku anaknya (Sahithya & Raman, 2021). Interaksi orang tua dalam menjadi pelengkap, kehangatan dan kontrol akan berdampak pada quality dan quantity di lingkungan yang memberikan manfaat besar pada anak (Kiessling, 2020). Pola asuh merupakan salah satu factor yang pendukung tercapainya pertumbuhan dan perkembangan anak. Perkembangan seorang anak dipengaruhi oleh agen sosialnya. Yang terpenting ialah proses perkembangan sosial yaitu keluarga. Kualitas hubungan orang tua dan anak mempengaruhi perkembangan anak dalam hal Kesehatan, mental, gaya hidup, Kesehatan fisik, serta keterampilan sosial (Asri, 2018). Baumrind & Thompson (2002) menyatakan bahwasanya orang tua
National Proceeding on the Islamic Studies 185 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH bertanggungjawab untuk mengadvokasi anak mereka mengenai hak hak mereka. Orang tua berperan sebagai agen utama dalam bersosialisasi terutama pada masa awal anak Hal ini sejalan dengan konsep Bradley (2002) bahwasanya tugas orang tua ialah memberikan rezeki dan memastikan kelangsungan hidup anak, stimulasi, support, menyusun diferensial respon serta pengawasan. Sikap dan cara mendidik anak secara universal mempengaruhi tumbuh kembang anak. Dalam hal pengasuhan orangtua umumnya mengklasifikasikan Pola pengasuhan menurut Baumrind dalam (Fadlillah & Fauziah, 2022) menjadi empat yaitu authoritative, authoritarian, permissive, dan neglecting. Di Indonesia kebanyakan menganut pola asuh berdasarkan suku dan budaya. Hal ini jelas terterang dalam penelitian (Satrianingrum & Setyawati, 2021) bahwasanya suku dan budaya yang dipegang teguh oleh orang tua adalah factor yang mempengaruhi pola pengasuhan. Dibelahan dunia pun pastinya akan berbeda mengenai pola asuh, akan tetapi setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Menurut (Zhang et al., 2017) menerangkan bahwa Pola asuh terbagi atas dua yaitu pola asuh barat dan timur. Pola asuh barat disebut dengan istilah distal menekankan pada otonomi yang mana memberikan kebebasan, sifat individualistik, sikap mandiri dan tumbuh sesuai dengan pilihan hidupnya (Keller et al., 2009). Bertolak belakang dengan pola asuh di Timur yang cenderung tradisional yang mana ditujukan pada kedekatan dan kehangatan orang tua (Keller et al., 2009). Pola asuh orang tua menjadi hal yang berpengaruh dalam pembentukan kepribadian anak. Ketika pola asuh yang diberikan orang tua kepada anak tepat maka karakter yang terbentuk akan baik. Sebaliknya jika pola asuh yang di berikan tidak baik, maka akan berdampak pada proses perkembangan anak. Hal ini dibuktikan dengan timbulnya masalah psikososial kedepaannya seperti narkotika, kriminalitas anak, penyimpangan dan tawuran. Pengaruh negatif di era globalisasi ini lebih cepat diadopsi oleh anak sehingga mereka sangat rentan terhadap pengaruh negatif globalisasi tersebut. Berdasarkan kondisi tersebut, maka diperlukan penelusuran terkait literatur. Pola asuh orang tua terhadap tumbuh kembang anak memberikan rangsangan Pendidikan. Penanaman Pendidikan sejak dini akan berdampak besar pada perkembangan anak selanjutnya. Tujuan menulis artikel ini memberi gambaran tentang bagaimana pengaruh pola asuh terhadap perkembangan anak. METODOLOGI Penelitian ini dilakukan dengan mengidentifikasi studi yang relevan (study literature) mengenai perbedaan pola asuh barat dan timur. Pencarian menggunakan aplikasi Publish or Perish, Gooogle Scholar, Z-Library. Strategi pencarian dengan penelusuran kata kunci “parenting style, culture, western and eastern culture”. Sumber data yang di ambil sebagai sumber rujukan sebesar 37 Artikel. Adapun Teknik pengumpulan data dengan menghimpun artikel internasional dan nasional yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Data Collection or Literature Search di ambil dari aplikasi Publish or Perish dan Gooogle Scholar. Data Evaluation Terbagi atas 3 pokok sebagaimana terlampir pada gambar. Menganalisis dan meringkas
186 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH literature yang dikumpulkan (Al-Qahtani & Al-Ghamdi, 2019). Adapun langkahlangkahnya sebagai berikut : Gambar Tahapan Literature Review HASIL DAN PEMBAHASAN Orang tua membesarkan anak menggunakan berbagai filosofi pengasuhan, salah satunya pendekatan pengasuhan Diana Baumrind. Setiap pendekatan pengasuhan memiliki karakteristik yang unik. Tuntutan dan reaksi orang tua digunakan oleh Diana Baumrind untuk mengkategorikan gaya pengasuhan yang berbeda (Fadlillah & Fauziah, 2022). Pola asuh menurut Maccoby dan Martin ialah komunikasi yang mengacu pada tingkat kepekaan orang tua terhadap kebutuhan anak (Mozas-Alonso et al., 2022). Tanggapan dari orang tua kepada anak merupakan sebuah respons dari gaya pengasuhan (Suárez-Relinque et al., 2019). Menurut Bornstein & Bradley (2003) teknik pengasuhan yang berbeda menjadi contoh gaya pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua. Tuntutan, juga disebut sebagai tuntutan, adalah ciri khas gaya pengasuhan yang mengutamakan hukuman dan kepatuhan pada anak (Abu Al Rub, 2013). Pola Asuh Perpektif Budaya Vgotsky dalam teorinya menerangkan bahwa budaya adalah bagian dari pengetahuan. Pengetahuan terbentuk akibat interaksi di lingkungan sosial. Sebagian besar pengetahuan anak diperoleh dari keluarga (Hyun et al., 2020). Contoh anak tahu cara berdiri dan berjalan, cara makan dan cara berperilaku di tempat umum (Kurniawati, 2021). Perilaku anak sebagian besar didasarkan pada harapan dan tuntutan orang tua mereka pada banyak kesempatan (Putri & Lutfianawati, 2021). Seringkali perilaku anak terfokus pada orang tua dan orang lain di sekitarnya. Melalui praktik pengasuhan anak, nilai-nilai dan cita-cita suatu budaya tertentu diwariskan kepada generasi berikutnya. Karena itu, anak-anak dengan konteks perkembangan Problem Formulatation •Analisis Pola Asuh Budaya Barat daan barat Data Collection or Literature Search •Artikel •Z-library •pengambilan menggunakan Publish or Perish, Google Scholar, Website, Researchgate Data Evaluation •Pola asuh Perspektif budaya •Pola asuh budaya barat •pola asuh budaya timur Data Analysis •Interpretation and Presentation
National Proceeding on the Islamic Studies 187 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH yang berbeda dapat didorong oleh orang tuanya untuk mengalami tingkat kedewasaan yang berbeda (Ibda, 2022). Menurut Baumrid (1996) pola pengasuhan bertujuan baik di berbagai budaya. Misal Pola asuh otoritatif memiliki dampak yang bagus dalam kinerja akademik anak (Strande, 2022). Sedangkan pola asuh otoriter memiliki efek negatif jangka Panjang pada Kesehatan anak, menurunkan harga diri, menyebabkan penyakit mental dan permasalahan attitude (Chen, 2022). Pada penelitian lain mengemukakan belum ada bukti kuat mengenai gaya pengasuhan negara cina kebarat baratan. Bentuk pengasuhan yang spesifik secara budaya mungkin bisa dilihat dari sikap dan perilaku. Tionghoa beranggapan bahwasanya bentuk kontrol orang tua ialah sebagai indicator cinta dan perhatian, kepatuhan , gaya pengasuhan otoriter ungkin berhubungan positif dengan motivasi otonom (yaitu motivasi intrinsic dan regulasi yang teridentifikasi, tetapi secara negatif dengan terkontrol motivasi (regulasi d=introyeksi dan eksternal) (Tang et al., 2018). Dalam mengevaluasi perilaku pengasuhan anak perlu ditekankan pentingnya peran keluarga dalam situasi ini (Atmaja, 2021). Saat ini lebih mudah untuk mamahami arti parenting dan seni dalam konteks kehidupan sehari hari (Suharyani et al., 2021). Gaya pengasuhan dalam konteks budaya berteori untuk memberikan makna yang berbeda terhadap perilaku dan memiliki efek yang berbeda terhadap anak-anak (Hayati & Susanti, 2018). Studi tersebut menyimpulkan bahwa anak-anak akan mendapat manfaat dari pertumbuhan yang konsisten. Pola Pengasuhan Budaya Barat (distal) Pola asuh pada budaya barat adalah pemberian keterampilan yang memungkinkan anak memperoleh perkembangan dan kompetensi dalam lingkungan sosial budaya tertentu sejak lahir (Greenfield et al., 2003). Pola asuh budaya barat lebih mengedepankan asas individualitas (Haslam et al., 2020). Dalam studi longitudinal menerangkan bahwasanya proses pola asuh sejak dini akan mengarah pada bagaimana stimulus perkembangan pengenalan diri. Pola pengasuhan distal, menekankan pada kontak mata, perkataan dan ekspresi wajah (Keller et al., 2009). Pemberian hukuman kepada anak pada Penerapan pola asuh otoriter atau permisif adalah terkait dengan agresivitas anak ke orangtua yang meningkat. Pola pengasuhan non demokratis mendukung adanya hukuman yang diberikan kepada anak. Sehingga meningkatkan resiko keteribatan pada intimidasi (Gómez-Ortiz et al., 2015). Menurut Keller, H, et. Al (2009) pola pengasuhan barat menekankan pada otonomi dan keterpisahan sebagai pelopor lembaga independent. Kemampuan individu dalam bertahan hidup secara mandiri adalah sebuah prestasi dalam peningkatan diri di sosial (keller 2007) dalam Keller, H. et al (2009). Orang tua yang menerapkan pola asuh ini memberikan kebebasan secara penuh kepada anaknya, sehingga mereka cenderung lebih mandiri. Kemandirian disini terlihat pada kemampuan mengelola emosi, kemampuan mandiri terhadap orang lain dan kemampuan dalam mengambil keputusan atau resiko. Penggunaan pola asuh otoritatif berkorelasi negatif dengan kekerasan anak ke orang tua (Abazia, 2022). Orang tua cenderung memberikan pujian (reward) ditimbang dengan kritikan pada anak guna melindungi kepercayaan diri anak anaknya. Pada intinya orang tua memperlakukan anaknya layaknya orang dewasa.
188 National Proceeding on the Islamic Studies National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH Sebagaimana penelitian (Tinková & Ball, 2022) menerangkan anak saat tidur dianggap biasa dan normal, akan tetapi anak yang terbiasa tidur sendiri dikamarnya memiliki kemampuan untuk menenangkan dirinya sendiri untuk memperbaiki kualitas tidur yang baik. Pola asuh Permisive atau memanjakan ialah suatu sikap tidak mengontrol, sedikit kritik dan mengabaikan resiko perkembangan anak pada tahap selanjutnya (Ying et al., 2021). Orang tua cenderung berekpektasi tinggi terkait akademik anaknya dan akan lebih besar mengalami depresi (Lee & Kang, 2018). Harapan tinggi orang tua juga bisa mengarah pada narsisme (Segrin et al., 2013). Narsisme dapat dikaitkan dengan proses penyesuaian diri. Efek dari tekanan dan harapan orang tua yang tinggi dapat mempengaruhi psikologis secara subyektif pada status kehidupan (Bryant and Veroff, 1982 ) dalam (Lee & Kang, 2018). Kelebihan dari pola pengasuhan padangan barat bahwasanya mendorong anak untuk bisa mengenali dirinya sendiri sejak dini. Dengan cara ini anak akan sadar bahwa dirinya memiliki kontrol terhadap lingkungan sekitarnya. Hal ini membuat anak memiliki sifat lebih percaya diri, ekspresif, mandiri, serta memiliki keberanian dalam berargumen dan mengatur. Dalam prakteknya pengasuhan keluarga barat lebih mengedepankan Kesehatan mental dan cenderung mengadopsi pengasuhan otoritatif (Hou et al., 2019). Pola Asuh Budaya Timur (Proksimal) Pola pengasuhan budaya timur mengambil tiga pola pengasuhan gabungan : Tidak konsisten (permisif dan otoriter), mengendalikan (otoriter dan otoritatif) dan Fleksibel (berwibawa dan permisif) (Dwairy et al., 2006). Pola asuh budaya timur lebih menekankan kepada berbakti kepada orang tua. Pola pengasuhan budaya timur sangat oriental pada menjujungtinggi kehomatan keluarga dan kewibawaan serta etika (Zareian et al., 2017). Pola asuh budaya timur mementingkan asas kelompok (Haslam et al., 2020). Pola asuh budaya timur lebih menganut pada otoritatif yang mana dikaitkan dengan ketaatan anak pada orang tua sebagai upaya timbal balik (Nainee et al., 2021). Pola asuh ororitatif lebih tinggi perempuan (Dwairy et al., 2006). Dalam study menegaskan bahwa keyakinan agama tidak berpengaruh pada perilaku negatif anak (Purnama et al., 2022). Pola asuh otoriter memandang pentingnya kontrol dan patuh tanpa syarat kepada orang tua. Gaya ini memandang bahwasanya orang tua adalah atasan dalam keluarga. Yang mana apabila perintahnya tidak dilaksanakan akan mendapatkan konsekuensi berupa hukuman fisik, verbal hingga pengurungan (Fariq et al., 2021). Sebaliknya orang tua merujuk kepada tindakan yang memberikan konsekuensi dalam pembicaraan kepada anak dan cenderung mengambil gaya pengasuhan otoriter (Hou et al., 2019) Pola asuh yang keras oleh orang tua berdampak berdampak pada agresi (Wang, 2019). Pola asuh otoriter kebih tinggi laki laki disbanding perempuan (Dwairy et al., 2006). Dalam penelitian Pola Pengasuhan Proksimal menekankan pada kontak tubuh Yang mana terjadinya sentuhan antara ibu dan anak selama setidaknya 5 detik hingga 10 detik. Contoh seperti bersentuhan kedua kaki maupun bagian tubuh lainnya
National Proceeding on the Islamic Studies 189 National Proceeding on the Islamic Studies STAI AL AQIDAH AL HASYIMIYYAH (Keller et al., 2009). Sebagai contoh di Indonesia anak a nak masih sering tidur bersama orang tuanya bahkan hingga mencapai usia enam tahun. Seseorang dengan pola asuh permisif ditandai dengan didikan orang tua yang bebas (Handika, 2022). Pola asuh permisif menurut Baumrind, D. (1991) mendorong anak-anak untuk mewujudkan keputusan sendiri. Perlakukan orang tua dalam menjaga anak secara berlebihan (memanjakan) menimbulkan masalah baru seperti kecemasan, ketidakpercayaan diri dan stress (Jahan & Suri, 2016). Pola pengasuhan ini menghindari konfrontasi dan cenderung hangat, suportif dan tidak peduli terhadap pandangan anak kepada mereka. Keterampilan orang tua dalam mengambil pola permisif cenderung sedang hingga tinggi. Sedangkan kontrol pada anak kurang (lalai) (Dwairy et al., 2006). Dampak pola asuh dengan budaya timur umumnya menerapkan demokratis. Hal ini dibuktikan dengan tingginya dimensi kehangatan orang tua. Ada pun faktor yang mempengaruhi ialah adat istiadat, budaya dan agama (Sabrina et al., 2021). KESIMPULAN Dari analisis data yang peneliti kumpulkan, bahwasanya pola pengasuhan yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak baik dari emosional dan mental anak ialah pola asuh autoritatif. Pola asuh orang tua pada anak, akan berdampak terhadap pada kepribadian anak. Dari kepribadian tersebut makan muncul faktor yang mempengaruhi kepribadian anak. Kepribadian seseorang akan muncul ketika ia berinteraksi dengan lingkungan. Adapun faktor yang berpengaruh terhadap kepribadian seseorang ialah social budaya. Dari analisis Pola pengasuhan budaya barat dan timur peneliti menemuka bahwa terdapat berbagai macam pola asuh yaitu tiger parenting, helicopter parenting, Jellyfish parenting, Parenting Sembrono (Neglectful parenting), Spritual parenting, Lighthouse Parenting, Snowplough Parents, Tiger Parents, Crunchy mom, Silky Parents, pola asuh Authoritative, permissive, Authoritarian, , otoriter dan otoritatif UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih penulis ucapkan kepada dewan redaksi penyelenggaran Internasional Conference on The Islamic Studies yang telah berkenan untuk menerbitkan artikel ini. Penulis juga mengucapkan kepada reviewer telah membantu menyempurnakan artikel ini agar jauh lebih baik. DAFTAR PUSTAKA Abazia, L. (2022). Stili genitoriali e violenza “ child -to- parent ” negli adolescenti e giovani adulti italiani. 1(4), 18–27. Abu Al Rub, M. F. (2013). Parenting styles used with preschool children among Arab immigrant parents in a U.S. context. In Colorado State University. https://search.proquest.com/docview/1440133159?accountid=9645 Al-Qahtani, A., & Al-Ghamdi, H. (2019). Systematic Literature Review : Some Examples Systematic Literature Review : Some Examples. 1–12. Anggresta, V., Maya, S., & Saleh, F. (2021). Sosialisasi Parenting Tentang Pentingnya