Hukum Keluarga Islam Copyright© PT Penamudamedia, 2024 Penulis: Dr. Johari, M.Ag Muhammad Hafis, S.H., M.H Editor: Dr. H. Akmal Abdul Munir, LC., MA ISBN: 978-623-8586-23-3 Desain Sampul: Tim PT Penamuda Media Tata Letak: Enbookdesign Diterbitkan Oleh PT Penamuda Media Casa Sidoarium RT 03 Ngentak, Sidoarium Dodeam Sleman Yogyakarta HP/Whatsapp : +6285700592256 Email : [email protected] Web : www.penamuda.com Instagram : @penamudamedia Cetakan Pertama, April 2024 xviii + 276, 15x23 cm Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin Penerbit
v Kata Pengantar بسً اهلل اىرحمَ اىرحيً ْ ٌَِ َ ا و َ ِصِ ُ ف ْ ُ َ أ ِ ر ْ و ُ ر ُ ش ْ ا ِهللٌَِ ِ ة ُ ٔذ ُ ػ َ ُ َ و ُ ه ِفرُ ْ غ َ خ س ْ َ ن َ و ُ ّ ُ ِ ْ ِػي َ خ س ْ َ ن َ و ُ ه ُ د َ ٍ ْ ح َ ِ ن َّ ِهلل َ د ْ ٍ َ ح ْ ال َّ ِن إ َّ لا ِ إ َ ه َ ل ِ إ َ لا ْ ن َ أ ُ د َ ٓ ْ ش َ أ ُ ه َ ل اِديَ َ ْ َ لا َ ف ْ ِلو ظْ ُ ي ْ َ َ ٌ َ و ُ ه َ ل َّ ِظو ُ ٌ َ لا َ ف ِدِه اهللُ ْ ٓ َ ي ْ َ َ ا ٌ َ اِلن َ ٍ ْ غ َ ا ِت أ َ ئ ّ ِ ي شَ ه ُ، ُ ل ْ ٔ شُ َ ر َ و ُ ه ُ د ْ ت َ ا غ ً د َّ ٍ َ ح ُ م َّ ن َ أ ُ د َ ٓ ْ ش َ أ َ و ُ ه َ ل َ م ْ ي ِ ر َ ش َ لا ُ ه َ د ْ ح َ و اهللُ د ُ ْ ػ َ ا ة َّ ٌ َ ٍد أ ُ ٍ َ ح ُ ا م َ ِدُ ِ ّ ي ِ شَ ى آل ٰ ل َ ع َ ٍد و ُ ٍ َ ح ُ ا م َ ِدُ ِ ّ ي ى شَ ٰ ل َ ع ِ ّ و صَ ُُ .َّللَا َُ lhamdulillah penulis ucapkan, atas izin Allah Subhanahu W[ T[’[f[, y[ha n_f[b g_g\_lce[h e_m_gj[n[h ^[h kesehatan, sehingga kami penulis bisa menyelesaikan buku ini, dengan judul: Hukum Keluarga Islam Indonesia dalam Kajian Fikih Mo’[my[l[b Z[odcy[b. Shalawat dan salam tidak lupa doa[ j_hofcm eclcge[h \o[n N[\c Mob[gg[^ S[ff[ff[bo ‘Af[cbc q[ Sallam. Buku ini merupakan hasil kolaborasi dengan Dr. Johari, M.Ag, seorang dosen senior yang mengajar di Pascasarjana dan F[eofn[m Sy[lc’[b ^[h Hoeog Uhcp_lmcn[m Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Pekanbaru-Riau dan Muhammad Hafis, M.H, yang juga merupakan seorang dosen muda di Jurusan Hukum Keluarga F[eofn[m Sy[lc’[b ^[h Hoeog Uhcp_lmcn[m Imf[g N_a_lc Sofn[h Syarif Kasim Riau-Pekanbaru. Buku yang di tangan para pembaca A
vi ini merupakan kajian yang fokus pada pembahasan hukum keluarga Islam dalam hubungan Mo’[my[l[b Z[odcy[b. Penulis merasa sangat penting untuk membahas tema ini secara spesifik, sebab sangat perlu difahami bahwa keluarga adalah organisasi terkecil dalam kehidupan bermasyarakat, yang setidaknya terdiri dari ayah, ibu dan anak. Dalam bahasa arab disebut dengan ‚oml[b‛. Suatu masyarakat terbentuk dari kumpulan-kumpulan organisasi terkecil tersebut, dimana baiknya masyarakat sangat ditentukan oleh baiknya masing-masing keluarga yang ada di dalamnya. Untuk itulah Islam sangat memberikan perhatian besar terhadap keluarga dengan memberikan berbagai aturan, jika ditaati maka keluarga tersebut pasti akan baik dan sekaligus berkontribusi positif terhadap baiknya kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Itulah yang dikenal dengan Fikih Usrah (fikih keluarga). Adapaun Fikih Mu'asyarah Zaujiyah merupakan bagian dari fikih usrah tersebut, yang membahas berbagai hukum terkait dengan hubungan suami istri dalam berumah tangga. Seperti hak dan kewajiban suami istri, bagaimana solusi Islam jika istri melakukan nusyuz, adab-adab dalam berhubungan suami istri, batasan istimta` dengan istri yang sedang haid, dan berbagai permasalahan lainnya yang sudah dipandu oleh syari`at Islam dalam menjalani kehidupan berumahtangga. Tidak kalah penting adalah, bahwa kemajuan dan karakteristik suatu Negara dan bangsa yang maju dan bernilai positif di setiap line kehidupan Negara harus ditopang dengan kualitas karakter dan moral rakyatnya (masyarakatnya), sedangkan masyarakat itu bagian dari anggota keluarga tersebut. Apabila sebuah keluarga mempunyai nilai moral dan karakter yang bagus. sebuah Negara walau sedang berkembang,
vii maka Negara itu akan menjadi Negara yang maju dan berperadaban tinggi dengan kualitas unggul (emas). Sejarah Andalusia menjadi pelajaran penting bagi setiap \[ham[ y[ha chach ‚Sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang kecerdasannya mengungguli bangsa-\[ham[ f[ch ^c ^ohc[‛. Andalusia yang saat itu terjajah akhirnya berubah menjadi Negara adidaya yang maju pesat dan menjadi referensi pertama kemodernisasian ilmu pengetahuan dan teknologi hingga saat ini. Tidak sampai disitu, Andalusia adalah kisah tentang kegemilangan kaum muslimin yang berhasil menaklukkan wilayah benua eropa yang kemudian mengisinya dengan tinta emas kejayaan dan keunggulan peradaban. (As-Sirjani, 2013), hal ini bisa dilihat karena di abad ke 7 sampai abad 13 di saat pendidikan dan nilai Islam diterapkan di dalam keluarga dan masyarakat, serta nilai toleransi yang diajarkan oleh Rasulullah dan sahabat-sahabatnya. Tepatlah, bahwa Islam adalah agama yang memberikan perhatian besar terhadap pentingnya institusi keluarga. Sebab, Keluarga merupakan jiwa dan tulang punggung sebuah suatu Negara, kesejahteraan yang dirasakan oleh merupakan gambaran dari keadaan keluarga yang hidup di tengah-tengah masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, jika kita ingin menciptakan Negara yang sejahtera, damai dan sentosa (baldatun thayyibatun) landasan yang harus kita bangun (starting) adalah masyarakat yang baik (thayyibah) adapun pilar yang harus ditegakkan, Dengan figur seorang ayah yang bijaksana, ibu penyantun, lembut dan bisa mendidik serta membesarkan anak-anak dengan penuh kasih sayang akan membentuk karakter anak menjadi baik dan kuat melalui didikan seorang ibu, inilah arti dari مدرست البيت األولى) Ibulah guru pertama dalam sebuah keluarga). Anak-anak
viii dari didikan inilah yang akan mengisi ruang-ruang kepemimpinan, ruang-ruang penegak hukum, ruang-ruang perpolitikan di Indonesia dan seterusnya. Tentunya ini penghargaan dan keistimewaan yang besar terhadap setiap orang tua, bahwa untuk mewujudkan generasi emas baik dan berkualitas di dalamnya ada kontribusi besar setiap orang tua. Sebab masa depan seorang anak sangat ditentukan dimana, dan bersama siapa ia berada. Ada tanggung jawab besar yang sudah hampir terabaikan oleh banyak orang tua, tidak sedikit orang tua yang tidak memperdulikan pendidikan agama di dalam rumah tangga, mereka beranggapan dan bahkan mempercayai sepenuhnya apa yang didapat anak di sekolah. Rasulullah menjelaskan sekaligus mengingatkan akan pentingnya pendidikan keluarga (orang tua). R[mofoff[b S[q \_lm[\^[, ‚Anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tualah yang dapat menjadikannya Y[bo^c, N[ml[hc, [n[ojoh M[domc‛. (HR. Muslim). Di dalam keluarga orang tua adalah sebagi tokoh utama/idola bagi setiap anak-anaknya, dimana setiap gerak gerik, tindakan maupun ucapan menjadi perhatian utama bagi anaknya. Maka, tidak heran ada anak yang menjadi pemarah, karena kedua orang tuanya sering berkelahi di depan matanya. Dan tidak heran juga jika seorang anak menjadi penyayang, karena kedua orang tuanya menampakkan kasih sayang di depan matanya. Sesuailah apa yang disampaikan oleh Nabi, bahwa orang tualah pemeran penting terhadap diri seorang anak, apakah anak akan menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi (dalam hal ini bisa jadi sifatnya meyerupai sifat mereka). Tidak bisa dipungkiri, bahwa ibu sangat berperan penting terhadap pendidikan anak, sebab ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Apabila engkau telah persiapkan mereka dengan
ix baik, maka sesungguhnya engkau telah mempersiapkan sebuah generasi yang baik dan kuat. Untuk mewujudkan cita-cita itu, tentunya keberadaan seorang laki-laki juga satu kesatuan yang tidak terpisahkan, maka tidak heran Allah dalam al-Quran surah an-Nisa ayat 34, bahwa laki-laki adalah pemimpin (Qawwamuna). Kata Qowwamun diambil dari kata bentuk jamak Qawwam, asal kata dari Qaama yang berarti pemimpin. Padahal jika ditelusuri dalam bahasa arab arti pemimpin juga dapat diambil dari kata Rois, Imam, dan Wali. Akan tetapi kata Rois (Pemimpin) biasanya digunakan untuk perihal pemerintah, kata Imam (pemimpin) diterapkan untuk khusus perihal urusan spiritual/ibadah, sedangkan kata Wali (pemimpin) diartikan untuk pelindung dalam hubungan dekat, seperti wali nikah dan sebagainya. Kata Qawwamuna surat an-Nisa ayat 34 ini, diartikan dengan pemimpin, pengayom, kawan diskusi, partner, juga pelindung dalam hal yang terbatas yang di dalamnya ada nilai-nilai ibadah, kata Qaama juga digunakan dalam perihal perintah pelaksanaan shalat, dengan kata ini seakan Allah ingin memberi isyarat bahwa dia (laki-laki) punya tugas melindungi, memimpin, menyayangi istri, tidak hanya sekedar melaksanakan perintah, akan tetapi menunaikan dengan sempurna, lengkap dengan syarat, rukun dan sunnah-sunnahnya sebagaimana Allah memerintah shalat dengan kata ‚Akccgoommif[b‛ (dirikanlah shalat). Ini yang mesti difahami oleh pemuda yang mau menikah terlebih dahulu, sehingga tidak mungkin orang yang sudah mampau melafazkan aqad nikah, tetapi belum mampu menjadi pemimipim, setidaknya hal pertama yang ia pimpin adalah pelaksanaan shalat berjamaah bersama jamaahnya (istri).
x Dengan begitu, sesuailah apa yang disampaikan oleh Imam A\o J[’`[l [nb-Tb[\[lc, ^[f[g g_ha[lnce[h [y[n n_lm_\on ‚ \[bq[ laki-laki merupakan pelindung (pemimpin) bagi kaum perempuan dalam mendidik dan mengajak mereka kepada apa yang diperintahkan Allah kepada mel_e[‛. Setelah memahami derajat yang Allah anugerahi bagi dia (suami) dan mengetahui apa-apa kewajibannya sebagai seorang suami, maka kemudian bagaimana cara menerapkan bersama pasangannya, sebab dalam memenuhi hak dan kewajiban sering terjadi kesalahpahaman antara suami istri. Diantaranya yang sangat dianjurkan adalah Mo[’mycl[b. Sebagaimana firman Allah Azza Wa Jalla dalam al-Quran Surah an-Nisa ayat 19. ‚D[h \_la[off[b ^_ha[h g_l_e[ m_][l[ j[non. e_go^c[h \cf[ kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yaha \[hy[e‛ (Q.S [h-Nisa :3 [19]). Islam sangat memberikan perhatian terhadap keluarga dengan memberikan berbagai rambu-rambu untuk difahami, baik sebelum melakukan pernikahan, apalagi setelah adanya hubungan antara laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai istri yang akan mendidik anak-anak. Apabila rambu-rambu dan aturan yang ada ditaati, maka keluarga tersebut pasti akan baik dan sekaligus berkontribusi positif terhadap baiknya kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
xi Seperti yang penulis sampaikan di awal kata pengantar ini, bahwa hubungan dalam rumah tangga, dengan segala permasalahan penyelesaiannya disebut dengan Fikih Usrah (fikih keluarga). Sedangkan Fikih Mu`asyarah Zaujiyah merupakan bagian dari fikih usrah tersebut, yang membahas berbagai hukum terkait dengan hubungan suami istri dalam berumah tangga. Seperti hak dan kewajiban suami istri, bagaimana solusi Islam jika istri melakukan nusyuz, adab-adab dalam berhubungan suami istri, batasan istimta` dengan istri yang sedang haid, dan berbagai permasalahan lainnya yang sudah dipandu oleh syari`at Islam dalam menjalani kehidupan berumahtangga. Mata kuliah ini akan membahas seputar masalah tersebut. Penulis sangat berharap buku ini dapat menjadi referensireferensi yang memberikan pemahaman, sekaligus pegangan dalam kehidupan keluarga di Indonesia (munakahat), baik lewat pendekatan pelaksanaan pendidikan dan pengajaran di kampuskampus Islam di Indonesia. Besar harapan penulis, dengan hadirnya buku-buku referensi, maupun penelitian-penelitian yang mengarahkan kepada terciptanya keluarga yang mentaati hukum (keluarga) di Indonesia dapat menciptakan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan bahagia. Semoga setiap kontribusi, dukungan dan partisipasi yang telah diberikan bernilai ibadah jariyah dan diberikan ganjaran yang berlipat ganda oleh Allah Azza Wa Jalla. Akhirnya penulis tentunya tidak menapikan bahwa buku ini masih terdapat kekurangan yang membutuhkan kritikan yang sifatnya konstruktif demi kesempurnaan. J[z[eogoff[bo [bm[hof d[z[’. Pekanbaru, 20 Maret 2024. Penulis
xii Daftar Isi Kata Pengantar ............................................................................................... v Daftar Isi.......................................................................................................... xii Bab I Posisi Kajian Munakahat dalam Ruang Lingkup Kajian Hukum Islam: Perbedaan Syari’ah dan Fikih.........................................................1 A. Posisi Hukum Keluarga dalam Ruang Lingkup Kajian Hukum Islam: Perbedaan Syari’ah dan Fikih..............................................1 B. Asas dan Ruang Lingkup Kajian Hukum Keluarga Islam (Munakahat).......................................................................................... 8 Bab II Konsep Suami sebagai Pemimpin dalam Pernikahan.......................15 Al-Quran Surah an-Nisa’ ayat 34.............................................................15 A. Makna Suami sebagai Pemimpin dalam Pernikahan AlQuran Surah an-Nisa’ ayat 34........................................................15 B. Pengertian Qawwanuna dalam Pandangan Ulama .................19 C. Pemikiran Kepemimpinan Keluarga dalam Perspektif Ulama Tafsir ..................................................................................................... 26 D. Pandangan Terhadap Perspektif Kaum Feminis..................... 29
xiii E. Pemikiran Kepemimpinan Keluarga dalam Perspektif Ulama Hadits .................................................................................................... 31 Bab III Hak-Hak Orang Tua untuk Mendapatkan Perhatian dari AnakAnaknya .......................................................................................................... 40 A. Hak-Hak Orang Tua Untuk Mendapatkan Dari Anak-Anaknya ................................................................................................................ 40 B. Perspektif Hukum Islam Terhadap Hak Orang Tua................ 42 C. Hak-Hak Orang Tua Dari Anaknya .............................................. 46 D. Kewajiban anak untuk berterimakasih atau bersyukur kepada orang tua.............................................................................. 48 E. Kewajiban anak untuk berkata baik kepada orang tua. ........ 51 F. Kewajiban anak untuk mentaati semua perintah orang tua53 G. Kewajiban anak memberi nafkah kepada orang tua............. 55 H. Kewajiban anak selalu mendoakan kedua orang tua ........... 58 Bab IV Hak-Hak Anak Terhadap Orang Tua .......................................................62 A. Hak-Hak Anak terhadap Orang Tuanya......................................62 B. Dasar Hukum......................................................................................63 C. Hak-Hak Anak dalam Islam ...........................................................67 D. Hak Untuk Hidup Dan Tumbuh Berkembang............................ 68 E. Hak Mendapatkan Perlindungan dan Penjagaan Dari Siksa Api Neraka...........................................................................................69
xiv F. Hak mendapatkan nafkah dan kesejahteraan .........................70 G. Hak Mendapatkan Pendidikan dan Pengajaran........................71 H. Hak Mendapatkan Keadilan dan Persamaan Derajat............ 72 I. Hak Mendapatkan Cinta Kasih ...................................................... 73 Bab V Hak-Hak Suami dalam Perspektif Fikih Muas’yarah Zaujiyah.......75 A. Hak-hak Suami dalam Pernikahan Berdasarkan Perspektif Fikih Mua’syarah Zaujiyah ..............................................................75 B. Pengertian Hak dan Kewajiban Suami Istri..............................78 C. Hak-Hak Suami dalam Perspektif Fikih.....................................80 Bab VI Hak-Hak Istri dalam Perspektif Fikih Mua’syarah Zaujiyah ...........94 A. Hak-hak Istri dalam Pernikahan berdasarkan Perspektif Fikih Mua’syarah Zaujiyah ..............................................................94 B. Hak-Hak Istri dalam Rumah Tangga...........................................95 Bab VII Kesetaraan Hak dan Kewajiban............................................................. 108 dalam Pernikahan Antara Suami dan Istri......................................... 108 A. Kesetaraan Hak dan Kewajiban dalam Pernikahan............. 108 B. Hak Dan Kewajiban Suami Istri dalam Rumah Tangga........ 112
xv Bab VIII Konsep Aturan Nafkah dalam Pernikahan Q.S Al-Baqarah [2]: 233 dan KHI...........................................................................................................122 B. Ayat dan Konteks.............................................................................124 C. Macam-Macam Nafkah Keluarga............................................... 126 D. Hikmah Pensyariatan Nafkah...................................................... 137 Bab IX Aturan Hukum Islam Bagi Istri yang Melakukan Perbuatan Nusyuz dan Penyelesaiannya.................................................................................140 A. Aturan Hukum Islam Bagi Istri Yang Melakukan Perbuatan Nusyuz dan Penyelesaiannya......................................................140 B. Ayat dan Konteks..............................................................................141 C. Pengertian Nusyuz..........................................................................146 D. Bentuk Perbuatan Nusyuz............................................................149 E. Penyelesaian Nusyuz ......................................................................151 Bab X Adab dalam Berhubungan Suami Istri dalam Pandangan Hukum Islam ...............................................................................................................163 A. Adab dalam Berhubungan Suami Istri dalam Pandangan Hukum Islam.....................................................................................163 B. Hubungan Seksual Dalam Hukum Islam..................................166 C. Adab Berhubungan Suami Istri Dalam Rumah Tangga .......169
xvi Bab XI Batasan Istimta' (Bersenang-Senang) dengan Istri dalam Keadaan Haid..................................................................................................................179 A. Adab dalam Berhubungan Suami Istri dalam Pandangan Hukum Islam......................................................................................179 B. Hukum Istimta’ dengan Istri dalam keadaan Haid................ 183 Seluruh ulama fikih dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) sepakat bahwa wanita yang sedang mengalami haid dilarang untuk berjima’ atau berhubungan intim. (yang secara umum ulama juga sepakat bahwa mendatangi istri dari belakang baik ketika suci maupun haid)..................................................................................................... 183 C. Batasan Bersenang-Senang dengan Istri dalam Keadaan Haid...................................................................................................... 185 Bab XII Aturan Konkrit Tentang Talak:................................................................ 189 Q.S At-Thalaq [65]: 1 dan KHI .................................................................. 189 A. Aturan Konkrit tentang Talak: Q.S At-Thalaq [65]: 1............. 189 B. Dasar Hukum Talak .........................................................................199 C. Bentuk-Bentuk Talak .................................................................... 204 D. Tujuan dan Hikmah Pensyariatan Talak.................................. 208
xvii Bab XIII Aturan Rujuk dalam Islam Q.S al-Baqarah [22]: 228 dan KHI Indonesia ........................................................................................................211 A. Aturan Hukum Konkrit tentang Rujuk........................................211 B. Ayat dan Konteks............................................................................. 212 C. Paradigma.......................................................................................... 216 D. Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Masa ‘Iddah..............218 E. Prosedur Pelaksanaan Rujuk..................................................... 226 Bab XIV Analisa Hadits Terkait Perempuan yang Memiliki Kekurangan Akal dan Agama ................................................................................................... 230 A. Adab dalam Berhubungan Suami Istri dalam Pandangan Hukum Islam.................................................................................... 230 B. Hadits Tentang Perempuan Yang Memiliki Kekurangan Akal Dan Agama ....................................................................................... 233 C. Tinjauan Historis terhadap Hadits............................................. 236 D. Latar Belakang Munculnya (Sabab al-Wurud) Hadits ........ 237 E. Analisa situasi, kondisi ketika hadits muncul serta memahami arah dan maksud (maqasid) hadits ................... 239 F. Maksud Kekurangan akal dan Kekurangan agama dalam Kandungan Hadits ..........................................................................240 G. Makna kekurangan Akal dalam Kandungan Hadits..............241 H. Makna Kekurangan Agama Dalam Kandungan Hadits ....... 247
xviii Daftar Pustaka ............................................................................................255 Tentang Penulis ..........................................................................................272
Hukum Keluarga Islam 1 I A. Posisi Hukum Keluarga dalam Ruang Lingkup Kajian Hukum Islag: P_l\_^[[h Sy[lc’[b ^[h Fcecb Pada poin ini penulis merasa penting menjelaskan terlebih dahulu tentang posisi hukum keluarga dalam kajian-kajian hukum Islam. Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian agama Islam, sebagaimana yang sudah penulis singgung sedikit di dalam pendahuluan, dengan banyaknya istilah-istilah yang digunakan dalam kajian hukum Islam tidak sedikit yang bingung mana hukum Islam yang disebut (hukum) syariat dan mana hukum Islam yang disebut (hukum) fikih, apalagi mendengar kata Islamic law atau kata Islamic Jurisprudence. Sejak ratusan tahun yang lalu di kalangan umat Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia, mengalami ketidak-
2 Hukum Keluarga Islam jelasan persepsi tentang syariah, fikih dan hukum Islam. Kekacauan persepsi ini meliputi arti dan ruang lingkup pengertian syariah Islam yang kadang-kadang diartikan sama dengan fikih, bahkan adakalanya disamakan dengan ad-din. Oleh karena itu, adanya kekacauan dalam mengartikan syariat Islam ini, terjadilah berbagai masalah dalam penerapannya dan timbulnya saling menyalahkan dalam melaksanakan kehidupan dalam berbagai bidang, baik kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Di samping itu, dengan tidak jelasnya persepsi tentang syariah Islam timbul ketidakseragaman dalam menentukan apa yang disebut hukum Islam dan bagaimana melaksanakan syariat Islam itu. Syari'ah secara bahasa dalam kamus Ilmu Ushul Fikih adalah jalan menuju sumber air.1 Yang berarti Jalan menuju air dapat diartikan jalan menuju kehidupan.2 Disebutkan dalam al-Qur an di beberapa surah seperti dalam surah alMaidaah ayat 48, as-Syuara ayat 13, dan al-Jasiyah ayat 18 yang mengandung arti jalan yang jelas yang membawa e_j[^[ e_g_h[ha[h, b[f chc m[[n Aff[b So\b[h[bo q[ T[’[f[ menyatakan dalam Q.s al-Jasiyah ayat 18: ‚K_go^c[h K[gc d[^ce[h e[go \_l[^[ ^c [n[m mo[no syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah 1 Ibnu Mansur al-Afriqi, lisan a-‗Arab, (Beirut: Dar al-Sadrm t.th), hlm. 175. 2 Fazlurrahman, Islam, alih bahasa Ahsin Muhammad, (Banung: Pustaka, 1948), hlm. 140.
Hukum Keluarga Islam 3 syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orangil[ha y[ha nc^[e g_ha_n[boc‛.3 Selain pengertian di atas juga muncul definisi syariah yang lain. syariah menurut Muhammad Said Asmawi \_l[lnc“ d[f[h g_hodo Aff[b ‘Azz[ q[ J[ff[‛. Menurutnya pengertian ini mencakup aturan-aturan hukum yang diwahyukan dalam al-Qur an dan aturan-aturan yang termuat dalam hadits, dan selanjutnya tafsir, pendapat, ijtihad, fatwa serta putusan hakim.4 Sedangkan menurut Muhammad Syaltut sebagaimana yang dikutip oleh Aibak, syariah adalah aturan-aturan yang diciptakan pedoman bagi manusia dalam mengatur hubungan Tuhan, dengan manusia baik sesama muslim maupun non muslim, alam dan seluruh kehidupan.5 Hasbi ash-Shiddiqie menjelaskan pula, bahwa syariah merupakan hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan yang ditetapkan Allah untuk hamba-Nya agar diikuti dalam hubungannya dengan Allah dan hubungan sesama manusia.6 Begitu juga yang dijelaskan lebih lanjut oleh Mohammad Daud Ali dalam bukunya hukum Islam, bahwa syariah adalah hukum dasar yang ditetapkan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam berdasarkan Iman yang berkaitan dengan akhlak baik dalam hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama manusia dan benda dalam 3 Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008), hlm. 500. 4 Moh. Dahlan, Abdullah Ahmed an-Na‘im: Epistemologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 85-86. 5 Kutbhuddin Aibak, Metodologi Hukum Islam, (tt. th ), hlm. 52. 6 Hasbi ash-Shiddiqi, Filsafat Hukum Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 29.
4 Hukum Keluarga Islam masyarakat. Norma hukum dasar ini dijelaskan dan atau dirinci lebih lanjut oleh Nabi Muhammad sebagai RasulNya. Karena itu, syariat terdapat di dalam Al-quran dan di dalam kitab-kitab Hadits. Menurut sunnah (al-qauliyah atau perkataan) Nabi Muhammad, umat Islam tidak pernah akan sesat dalam perjalanan hidupnya di dunia ini selama mereka berpegang teguh atau berpedoman kepada Al-quran dan Sunnah Rasulullah. Dengan perkataan lain, umat Islam tidak pernah akan sesat dalam perjalanan hidupnya di dunia ini selama ia mempergunakan pola hidup, pedoman hidup, tolok ukur hidup dan kehidupan yang terdapat dalam Alquran dan kitab-kitab hadits yang sahih (sahih otentik, benar).7 Karena norma-norma hukum dasar yang terdapat di dalam Al-quran itu masih bersifat umum, demikian juga halnya dengan aturan yang ditentukan oleh Nabi Muhammad terutama mengenai muamalah, maka setelah Nabi Muhammad wafat, norma-norma hukum dasar yang masih bersifat umum itu perlu dirinci lebih lanjut. Perumusan dan penggolongan norma-norma hukum dasar yang bersifat umum itu ke dalam kaidah-kaidah yang lebih konkret agar dapat dilaksanakan dalam praktik, memerlukan disiplin ilmu dan cara-cara tertentu. Muncullah ilmu pengetahuan baru yang khusus menguraikan syariat dimaksud. Dalam kepustakaan, seperti telah disebut juga di muka, ilmu tersebut dinamakan 'ilmu fikih yang ke dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan ilmu hukum (fikih) Islam. "Ilmu fikih adalah ilmu 7 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam- Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2017), hlm. 49.
Hukum Keluarga Islam 5 y[ha g_gj_f[d[lc [n[o‛ g_g[b[gc my[lc[n ^_ha[h memusatkan perhatiannya?" pada perbuatan (hukum) manusia mukallaf, yaitu manusia yang berkewajiban melaksanakan hukum Islam karena telah dewasa dan berakal sehat. Orang yang faham tentang fikih disebut ^_ha[h `ok[b[’ [lnchy[ [bfc boeog (`cecb) Imf[g.8 Untuk menunjukkan hukum Islam ada dua istilah yang sering digunakan, pertama Syariat Islam dan yang kedua Fikih Islam. Dalam literatur-literatur yang menggunakan bahasa inggris, maka kita dapati kata Islamic law untuk menunjukkan Syariat Islam, sedangkan kata fikih Islam digunakan kata Islamic Jurisprudence. Fikih Islam (Hukum Islam/ Islamic Jurisprudence), wajar kalau kemudian dikatakan bahwa hukum Islam itu pada hakikatnya produk ulama (fuqaha'/mujtahidin), meskipun dengan tetap mendasarkan sumber utamanya berupa al-Qur'an dan hadits Nabi, Dan ketika memahami nashsh itu, maka diperlukan perangkat metodologi, seperti giyas, Istihsan, maslahah, dan lain sebagainya. Namun yang tetap tampak adalah ciri independensi/keswastaan dan keindividualan para pemikir hukum Islam tersebut. Jutaan buku mengenai hukum Islam telah beredar dan berkembang sebagai produk individual, meskipun kemudian ada buku mengenai hukum Islam yang ditulis secara resmi oleh pemerintah sebagai kodifikasi hukum Islam yang dinyatakan berlaku secara resmi di negara tertentu. Yang terkodifikasi ini seperti al-Fatawa al-Amiriyah di India, Majallat al Ahkam alAdliyah di Turki, sampai dengan Undang-Undang Perkawinan (termasuk Kompilasi Hukum Islam) di 8 Ibid
6 Hukum Keluarga Islam Indonesia, dengan kenyataan seperti wajarlah kalau kemudian dikatakan bahwa hukum Islam itu merupakan hukum produk fuqaha' (mujtahid).9 Berikut ini penulis akan kutip tentang perbedaan yang mendasar antara Syariat dan Fikih, agar pembaca lebih memahami secara baik dan benar, dan akan memahami dengan mudah dimana posisi hukum keluarga dalam kajiankajian hukum Islam. Sebab seorang ahli atau yang mempelajari hukum Islam harus memahami mana hukum Islam yang disebut (hukum) syariat dan mana hukum Islam yang disebut (hukum) fikih. Pada pokok perbedaan antara keduanya adalah dapat dilihat berikut ini: 1. Syariat, seperti telah disinggung dalam uraian terdahulu, terdapat di dalam Al-quran dan kitab-kitab hadits. Kalau kita berbicara tentang syariat, yang dimaksud adalah wahyu Allah dan Sunnah Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Fikih terdapat dalam kitab-kitab fikih. Kalau kita berbicara tentang figih, yang dimaksud adalah pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang syariat dan hasil pemahaman Itu. 2. Syariat bersifat fundamental dan mempunyai ruang lingkup yang lebih luas karena ke dalamnya, oleh banyak ahli, dimasukkan juga akidah dan akhlak. 'Fikih' bersifat instrumental, ruang-lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia, yang biasanya disebut sebagai perbuatan hukum. 9 A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional-Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 26.
Hukum Keluarga Islam 7 3. Syariat adalah ketetapan Allah dan ketentuan RasulNya, karena itu berlaku abadi/tidak akan berubah, 'fikih' adalah karya manusia yang tidak berlaku abadi, dapat berubah dari masa ke masa, baik itu perubahan lingkungan ataupun faktor sosio kultural. 4. Syariat hanya satu, sedang 'fikih' mungkin lebih dari satu seperti (misalnya) terlihat pada aliran-aliran hukum yang disebut dengan istilah mazahib atau mazhab-mazhab itu. 10 5. Syariah mengandung kebenaran mutlak/absolut, sedangkan fikih mengandung kebenaran zhanni/nisbi. Syariah adalah subjeknya Allah, sedangkan fikih mo\d_ehy[ godn[bc^ch/`ok[b[’.11 Dengan memahami penjelasan maupun perbedaan antara syariah dan fikih di atas, maka fikih atau hukum Islam mempunyai cakupan yang sangat luas, seluas aspek perilaku manusia dengan segala macam jenisnya. Dalam bahasan buku-buku fikih pada umumnya setidaknya mencakup hal-hal yang berkaitan dengan: ibadat (fikih c\[^[n), go’[g[f[n, goh[eahat (hukum keluarga), dan jinayat (hukum pidana: masalah peradilan atau qadha' masuk di sini). Namun sebenarnya akan lebih mudah dan lebih tepat untuk dikelompokkan pada dua bagian saja: Ibadat dan muamalat. Yang pertama: Ibadat, mencakup perilaku manusia yang secara langsung berhubungan dengan Allah. Di sini terjadi hubungan subordinasi antara 10 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam- Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2017), hlm. 50- 51. 11 A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional-Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm.56-57.
8 Hukum Keluarga Islam manusia sebagai makhluk dan Allah sebagai Khalik. Kelompok yang pertama ini tidak dijangkau oleh ilmu hukum umum (sekular) dan ilmu-ilmu yang lain yang berkembang di dunia Barat, sebagai hasil penemuan manusia. Yang kedua: meliputi seluruh aspek kehidupan manusia selain yang berkaitan dengan ibadah. Cakupan kelompok yang kedua ini juga sangat luas, sehingga hal-hal yang berkaitan dengan negara dan politik juga tidak terlewatkan menjadi objek pembahasan dalam fikih. Dengan kata lain, dari kandungan yang ada dalam bukubuku fikih, sasaran kajian meliputi semua hal yang \_le[cn[h ^_ha[h j_l\o[n[h g[homc[ (‚[g[fcy[b) [n[o selain hal-hal yang berkaitan dengan akidah dan tasawuf.12Selanjutnya hal-hal tersebut berkembang yang kemudian tidak jarang mempunyai nama tersendiri, meskipun masih selalu menyebut fikih. Di sinilah lalu muncul istilah seperti: fikih politik, fikih munakahat (hukum keluarga), fikih ekonomi, fikih siyasah yang diterjemahkan dengan ilmu tata Negara dalam Islam, fiqh dakwah, dan lain-lain. B. Asas dan Ruang Lingkup Kajian Hukum Keluarga Islam (Munakahat) Penulis merasa perlu juga membahas terkait apa saja asas-asas yang terdapat dalam hukum perkawinan di Indonesia, hal ini sering dihiraukan di dalam kajian-kajian hukum keluarga sehingga tidak jarang terjadi apa yang kita dapati sebuah pondasi hubungan kekeluargaan begitu rapuh, baik hubungan antara suami istri, maupun 12 Ibid, hlm. 39-40.
Hukum Keluarga Islam 9 hubungan antara anak dan ayah di dalam ikatan kekeluargaan, sebut saja misalnya asas kemitraan suami istri tidak dihiraukan di dalam hubungan rumah tangga, sehingga ketiadaan asas ini yang terjadi adalah saling menuntut satu sama lain, suami merasa raja/penguasa di dalam rumah tangga yang harus mencukupi semua kebutuhan tanpa ada ikut campur tangan istri sama sekali, di sisi lain istri merasa diperbudak yang hanya memenuhi semua keinginan suami, tentunya tanpa asas ini tujuan dari rumah tangga tidak terpenuhi. Sebagaimana yang sudah disampaikan, bahwa di dalam hubungan kekeluargaan ada hukum atau Undang-undang yang mengatur perihal hubungan internal anggota keluarga (internalisasi kekeluargaan) dalam keluarga tertentu yang berhubungan ihwal kekeluargaan, atau hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan, selain aturan yang tertulis ada juga aturan yang tidak tertulis dan hal ini sangatlah dasar untuk diketahui dalam hubungan kekeluargaan, dalam hal ini disebut dengan asas.13 Mengutip dari bukunya Prof. Mohammad Daud Ali ^[f[g \oeohy[ ‚boeog Imf[g‛ g_hy_\one[h, Am[m (1) merupakan 'kesukarelaan', asas ini merupakan asas yang terpenting dalam perkawinan Islam. Kesukarelaan itu tidak hanya harus terdapat antara kedua calon suami-istri, tetapi juga antara kedua orang tua kedua belah pihak. Ke-(suka)- relaan orang tua yang menjadi wali seorang wanita, 13 Lihat, Muhammad Hafis dan Jumni Nelli, Hukum Keluarga Islam Indonesia (Konsep Maslahah terhadap Perkembangan Hukum Hukum Keluarga Islam di Indonesia), (Yogyakarta: Deefublish, 2023), hlm. 32.
10 Hukum Keluarga Islam merupakan sendi asasi perkawinan Islam. Dalam berbagai hadits nabi, asas ini dinyatakan dengan tegas. Asas (2) persetujuan kedua belah pihak merupakan konsekuensi logis asas pertama tadi. Ini berarti bahwa tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan. Persetujuan seorang gadis untuk dinikahkan dengan seorang pemuda, misalnya, harus diminta lebih dahulu oleh wali atau orang tuanya. Menurut Sunnah nabi, persetujuan itu dapat disimpulkan dari diamnya gadis tersebut. Dari berbagai Sunnah nabi dapat diketahui bahwa perkawinan yang dilangsungkan tanpa persetujuan kedua belah pihak, dapat dibatalkan oleh pengadilan. Asas (3) 'kebebasan memilih pasangan," juga disebutkan dalam Sunnah nabi. Diceritakan oleh Ibnu Abbas bahwa pada suatu ketika seorang gadis bernama Jariyah menghadap Rasulullah dan menyatakan bahwa ia telah dikawinkan oleh ayahnya dengan seseorang yang tidak disukainya. Setelah mendengar pengaduan itu, nabi menegaskan bahwa ia (Jariyah) dapat memilih untuk meneruskan perkawinan dengan orang yang tidak disukainya itu atau meminta supaya perkawinannya dibatalkan untuk dapat memilih pasangan dan kawin dengan Orang lain yang disukainya. Asas (4)'kemitraan suami-istri' dengan tugas dan fungsi yang berbeda karena perbedaan kodrat (sifat asal, pembawaan) disebut dalam Al-quran surat Al-Nisa' (4) ayat 34: dan surat Al-Baqarah (2) ayat 187. Kemitraan ini menyebabkan kedudukan suami-istri dalam beberapa hal sama, dalam hal yang lain berbeda: suami menjadi kepala
Hukum Keluarga Islam 11 keluarga, istri menjadi kepala dan penanggung jawab pengaturan rumah tangga, misalnya. Asas (5) 'untuk selama-lamanya,' menunjukkan bahwa perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina cinta serta kasih sayang selama hidup (OS AlRum (30):21). Karena asas ini pula maka perkawinan mut'ah yakni perkawinan sementara untuk bersenang-senang selama waktu tertentu saja, seperti yang terdapat dalam masyarakat Arab Jahiliyah dahulu dan beberapa waktu setelah Islam, dilarang oleh Nabi Muhammad. Asas (6) 'monogami terbuka," disimpulkan dari Alquran surat Al-Nisa' (4) ayat 3 jo ayat 129. Di dalam ayat 3 dinyatakan bahwa seorang pria Muslim dibolehkan atau boleh beristri lebih dari seorang, asal memenuhi beberapa syarat tertentu, di antaranya adalah syarat mampu berlaku adil terhadap semua wanita yang menjadi istrinya. Dalam ayat 129 surat yang sama Allah menyatakan bahwa manusia tidak mungkin berlaku adil terhadap istri-istrinya walaupun ia ingin berbuat demikian. Oleh karena ketidakmungkinan berlaku adil terhadap istri-istri itu maka Allah menegaskan bahwa seorang laki-laki lebih baik kawin dengan seorang wanita saja. Ini berarti bahwa beristri lebih dari seorang merupakan jalan darurat yang baru boleh dilalui oleh seorang laki-laki Muslim kalau terjadi bahaya, antara lain, untuk menyelamatkan dirinya dari berbuat dosa, kalau, istrinya misalnya, tidak mampu memenuhi kewajibannya sebagai istri.14 14 Lihat Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2017), hlm. 139-141.
12 Hukum Keluarga Islam Dapat difahami begitu pentingnya asas-asas dalam kekeluargaan ini diperhatikan setiap pasangan yang ingin hendak melangsungkan pernikahan, dengan faham apa saja asas-asas yang harus dipegang atau diketahui, dengan n[ohy[ [^[ [m[m j_le[qch[h ‚m_f[g[-f[g[hy[‛, g[e[ mo[gc istri dengan sendirinya tervisualisasi dalam pikiran mereka, bawah pernikahan tidak untuk main-main yang hanya bisa begitu saja ditinggalkan apabila tidak lagi merasakan kenyamanan yang disebabkan sebuah permasalahan yang mungkin bisa dicarikan solusi-solusinya. Ruang lingkup kajian hukum keluarga (munakahat) dapat kita lihat dari Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 Jo Undang-Undang Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 dan dapat juga dilihat ketentuan-ketentuan yang berlaku di dalam Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Undang-Undang Perkawinan adalh aturan yang digunakan untuk secara umum, baik yang beragama Islam maupun yang tidak Beragama Islam di Indonesia, yang terdiri dari 14 bab dan terdapat 67 pasal, bab terdapat beberapa bagian: 1. Dasar Perkawinan 2. Syarat-Syarat Perkawinan 3. Pencegahan Perkawinan 4. Batalnya Perkawinan 5. Perjanjian Perkawinan 6. Hak Dan Kewajiban Suami Istri 7. Harta Bersama Dalam Perkawinan
Hukum Keluarga Islam 13 8. Putusnya Perkawinan Dan Akibatnya 9. Kedudukan Anak 10. Hak Dan Kewajiban Antara Anak Dan Orang Tu 11. Perwalian 12. Ketentuan-Ketentuan Lain 13. Ketentuan Peralihan 14. Ketentuan Penutup Dengan begitu cakupan kajian hukum keluarga (munakahat) dari Undang-Undang Perkawinan ini adalah, yang berkaitan dengan: Syarat-Syarat Perkawinan, Pencegahan Perkawinan, Batalnya Perkawinan, Perjanjian Perkawinan, Hak Dan Kewajiban Suami Istri, Harta Bersama Dalam Perkawinan, Putusnya Perkawinan Dan Akibatnya, Kedudukan Anak, Hak Dan Kewajiban Antara Anak Dan Orang Tua dan Perwalian. Sedangkan yang terdapat di dalam Kompilasi Hukum Islam adalah ketentuan yang dikhususkan untuk orangorang Islam saja, meliputi tiga buku, buku yang pertama diberi judul perkawinan, buku yang kedua diberi judul kewarisan, dan buku ketiga adalah perwakafan. Buku I perkawinan terdiri dari 19 bab dan 170 pasal: 1. Ketentuan Umum 2. Dasar-Dasar Perkawinan 3. Peminangan 4. Rukun Dan Syarat Perkawinan 5. Mahar 6. Larangan Perkawinan
14 Hukum Keluarga Islam 7. Perjanjian Perkawinan 8. Kawin Hamil 9. Beristri Lebih Dari Satu Orang 10. Pencegahan Perkawinan 11. Batalnya Perkawinan 12. Hak Dan Kewajiban Suami Istri 13. Harta Kekayaan Dalam Perkawinan 14. Pemeliharaan Anak 15. Perwalian 16. Putusnya Perkawinan 17. Akibat Putusnya Perkawinan 18. Rujuk 19. Masa Berkabung Dapat disimpulkan, bahwa cakupan kajian hukum keluarga Islam di Indonesia adalah hal yang berkaitan dengan perkawinan, yang meliputi Peminangan, Rukun Dan Syarat Perkawinan, Mahar, Larangan Perkawinan, Perjanjian Perkawinan, Kawin Hamil, Beristri Lebih Dari Satu Orang, Pencegahan Perkawinan, Batalnya Perkawinan, Hak Dan Kewajiban Suami Istri, Harta Kekayaan Dalam P_le[qch[h (^[f[g UU j_le[qch[h ^cm_\on ‚b[ln[ \_lm[g[ ^[f[g j_le[qch[h‛), P_g_fcb[l[[h Ah[e (^[f[g UU j_le[qch[h ^cm_\on ‚e_^o^oe[h [h[e‛), P_lq[fc[h, Putusnya Perkawinan, Akibat Putusnya Perkawinan, Rujuk, Masa Berkabung dan tambang hal yang berkaitan dengan warisan serta hal-hal yang bersinggungan dengan perwakafan.
Hukum Keluarga Islam 15 II A. Makna Suami sebagai Pemimpin dalam Pernikahan AlQuran Surah an-Ncm[’ [y[n 34 Tema kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan menjadi salah satu topik menarik untuk di diskusikan, tidak saja untuk menelusuri kemungkinan jawaban mengapa laki-laki dijadikan pemimpin atas perempuan, tetapi menyangkut pula pertanyaan lain, dimana wilayah kepemimpinan itu dijalankan apakah dalam semua aspek laki-laki menjadi pemimpin atau sebagian darinya. Maksud dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi ini adalah, di samping untuk menjadi manusia yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah SWT, juga untuk menjadi pemimpin di muka bumi sebagaimana ditegaskan di dalam surat Al-Baqarah ayat 30.
16 Hukum Keluarga Islam Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah ( pemimpin) di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah disana, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. al-Baqarah 2:30).15 Laki-laki dan perempuan mempunyai fungsi yang sama sebagai pemimpin, dalam ayat di atas tidak menunjukkan kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu, semuanya akan mempertanggung- jawabkan tugas kepemimpinan di muka bumi sebagaimana halnya mereka harus bertanggung jawab sebagai hamba Tuhan.16 Mahmud Syaltut, pemimpin tertinggi lembaga AlAzb[l ^c M_mcl, g_hofcm: T[\c’[n e_g[homc[[h [hn[l[ f[eclaki dan perempuan hampir dapat (dikatakan) sama. Allah SWT. telah menganugerahkan kepada perempuan 15 Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008), hlm. 6 16 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur‟ān, cet-2, (Dian Rakyat: Jakarta, 2010), hlm. 234.
Hukum Keluarga Islam 17 sebagaimana menganugerahkan kepada laki-laki. Kepada mereka berdua Allah SWT menganugerahkan potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab yang menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas- aktivitas yang bersifat umum maupun khusus.17 Namun demikian ada ayat yang sering dijadikan sebagai dalil yang menunjukkan bahwa laki-laki adalah pemimpin atas perempuan. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam surat an-Ncm[’[y[n 34 y[ha \_l\ohyc: … Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta g_l_e[< (QS. [h-Ncm[’4:34).18 Selain ayat di atas, dalil lain yang menjadi rujukan ulama yang kontra terhadap kepemimpinan laki-laki atas perempuan adalah surat al-Taubah: 23 yaitu ayat yang g_hohdoee[h \[c ’[n, ^cg[h[ ^[f[g [y[n chc j_lmih[f y[ha disebut hanyalah ayah dan saudara laki-laki. Karena itulah, menurut sebagian ulama, perempuan tidak berhak atas \[c’[n, \[ce m_\[a[c j_m_ln[ \[c ’[n [n[o ^c\[c ’[n g_hd[^c pemimpin. 17 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟ān, hlm. 269-270. 18 Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008), hlm. 84.
18 Hukum Keluarga Islam Dalil lain yang digunakan ulama yang tidak setuju akan partisipasi aktif wanita dalam kepemimpinan sebagaimana yang dikutip oleh Sufyanto adalah hadits Nabi SAW. yang berbunyi:19 "Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita". (HR. Bukhari No. 4425 dan 7099).20 Abu Hamid Al-Ghazali (450-405 H/1058-1111 H) mengatakan, bahwa kepemimpinan (imamah) tidak dipercayakan pada perempuan meskipun memiliki berbagai sifat kesempurnaan dan kemandirian. Bagaimana perempuan dapat menduduki jabatan sebagai pemimpin, sementara ia tidak memiliki hak pengadilan dan kesaksian dibidang hukum. Sebagaimana yang disebutkan oleh M. Ahcm Q[mcg J[’`[l yang dikutip dari perkataan AlQalqashandi (1355-1418 M), beliau mengatakan: pemimpin memerlukan pergaulan dengan orang- orang dan bermusyawarah dengan mereka dalam berbagai urusan perempuan, sedangkan perempuan dilarang dari hal tersebut, sebab perempuan memiliki kekurangan biologis. Padahal sebenarnya ayat Al-Qol’[h ^[h b[^cnm, m_][l[ tegas, tidak memuat perintah yang menganjurkan kedudukan imamah dijabat laki-laki, tetapi yang membolehkan perempuan juga tidak ada. Dipilihnya laki-laki sebagai pemimpin karena dalam banyak hal, laki- laki lebih kuat akal pikirannya, serta lebih tabah menanggung penderitaan hidup, serta bertanggung 19 Sufyanto, "Wanita Pemimpin Negara Bukan Pemimpin Agama", dalam Pemimpin Wanita di Kancah Politik, Said Al-Afghani, hlm. 1. 20 Imam Ibnu Hajar Al-Asqalaaniy, Fath Al-Baariy, (Darul fikr, tt).
Hukum Keluarga Islam 19 jawab membiayai hidup wanita serta menjamin keamanan mereka. Wajar kalau muncul sebuah persepsi, bahwa ketentuan kaum laki-laki menjadi pemimpin bagi kaum perempuan, hal seperti ini merupakan posisi yang kurang adil dan kurang menghargai kaum perempuan, sehingga banyak wanita yang merasa diremehkan dan merasa sebagai pelayan bagi kaum laki- kaki (suami) saja. Menjadikan laki-laki sebagai pemimpin bagi perempuan mengesankan adanya penempatan laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan. Tidak mungkin dan tidak akan ada ayat-ayat Al-Qol’[h \_ln_hn[ha[h [hn[l[ m[no ^_ha[h y[ha lainnya. Dengan demikian, makna surat an-Ncm[’: 34 b[lom dipahami secara mendalam, dengan cara menguraikan pengertian beberapa kata kuncinya. Dalam hal ini pemakalah akan menguraikan makna Qawwam dalam ayat tersebut. B. Pengertian Qawwanuna dalam Pandangan Ulama Kata Qawwanuna merupakan bentuk jamak dari kata qawwam, yang terambil dari kata qama. قوامون-قوام-قائم-قام (qoma, qoimun, qowwamu, qawwanuna). yang artinya: berdiri, tengah berdiri, terus menerus dan pemimpinpemimpin.21 Sementara dalam Kamus Al-Munawwir yaitu: berdiri atau bangkit, yang tegak lurus, yang menanggung 21 Ahmad, Solihin Bunyamin, Kamus Induk Al-Qur‟ān, Granada Investa Islami. 2012, hlm. 241.
20 Hukum Keluarga Islam atau bertanggung jawab, dan pemimpin.22 Perintah shalat, misalnya menggunakan kata qama. Perintah tersebut bukan berarti perintah mendirikan shalat, tetapi melaksanakannya dengan sempurna, memenuhi segala syarat, rukun dan sunnah-sunnahnya. Seseorang yang melaksanakan tugas dan atau apa yang diharapkan darinya ^ch[g[c k[’cg. K[f[o c[ g_f[em[h[e[h nogas itu sesempurna mungkin, berkesinambungan dan berulangulang, maka ia dinamai qawwam. Seringkali, kata Quraish shihab , kata tersebut diterjemahkan dengan pemimpin. Tetapi katanya, seperti terbaca dari maknanya, terjemahan itu belum menggambarkan seluruh makna yang dikehendaki, walau harus diakui bahwa kepemimpinan merupakan satu aspek yang dikandungnya. Dengan kata lain dalam pengertian kepemimpinan tercangkup pemenuhan kebutuhan, perhatian, pembelaan, dan pembinaan.23 Ada dua pendekatan dalam memahami ayat tersebut di atas: Pertama, pendekatan tekstual. Para ulama sering mengartikan ayat al- rijal qawwanuna ‘[f[ [f-hcm[’ ^_ha[h [lnc ‚f[ec-f[ec [^[f[b j_gcgjch j_l_gjo[h.‛ Jce[ ecn[ sepakat bahwa kata qawwam memiliki arti pemimpin, jelas anugrah yang dimaksud dalam ayat ini adalah anugrah kepemimpinan. Kepemimpinan sebagai ditulis if_b O’C[hhil [^[f[b e_g[gjo[h ohnoe g_g\_lce[h pcmc 22 A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, Surabaya : Pustaka Progressif, 1997, hlm 1262. 23 M Quraish Shihab, Tafsir Al- Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian AlQur‟ān, Lentera Hati; 2000.
Hukum Keluarga Islam 21 atau wawasan sehingga orang lain ingin mencapainya. Kepemimpinan ini memerlukan keterampilan untuk membangun hubungan dengan orang lain dan mengorganisasi berbagai sumber daya secara efektif. Penguasaan terhadap kepemimpinan terbuka untuk siapa saja. Bila syarat posisi qawwam adalah anugrah kepemimpinan, jelas posisi ini tidak hanya untuk laki-laki. Kepemimpinan juga boleh diduduki oleh perempuan yang memiliki kemampuan memberikan visi atau wawasan, mampu mempengaruhi komunitasnya, mampu membangun hubungan dengan orang lain, dan mampu mengorganisir berbagai sumber daya secara efektif. Dan tentu saja kemampuan ini terbuka untuk semua manusia tanpa dibatasi oleh jenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Kata qawwamun diartikan pemimpin mungkin tidaklah salah, namun arti ini bukanlah satu-satunya arti yang dikandung ayat di atas. Kata qawwanuna seringkali diartikan sebagai pemimpin, penjaga, pelindung, penanggung jawab, pendidik, dan lain-lain. Menurut M. Quraish Shihab (Ahli Tafsir dan Guru Besar UIN Jakarta), kata qawwamun y[ha ^c[g\cf ^[lc e[n[ k[’cg y[ha memiliki arti seorang yang melaksanakan tugas atau melakukan apa yang diharapkan darinya. Jika orang tersebut melakukannya secara terus- menerus maka disebutlah ia sebagai qawwam. Lalu bagaimana jika ternyata ada laki-laki yang tidak melaksanakan tugas atau melaksanakan apa yang diharapkan darinya apakah ia tetap dalam posisi qawwam. Dan bagaimana jika ternyata ada perempuan yang lebih banyak dan mampu
22 Hukum Keluarga Islam melaksanakan tugas atau melaksanakan apa yang diharapkan darinya apakah ia tidak bisa dalam posisi qawwam ? Tentu saja pengertian kata qawwam sebagai seorang yang melaksanakan apa yang diharapkan darinya memberikan paradigma keadilan dan kesetaraan bagi lakilaki dan perempuan. Kata al-rijal dan al-hcm[’ dalam Bahasa Arab berbeda dengan al- dzakar dan al-untsa. Kata al-rijal tidak hanya berarti jenis kelamin laki-laki tetapi mempunyai arti maskulinitas, dan kata al-hcm[’ nc^[e b[hy[ ^c[lnce[h dengan perempuan, melainkan sifat feminitas. Kedua kata ini berbeda dengan al-dzakar dan al-untsa yang berarti jenis kelamin laki-laki dan jenis kelamin perempuan. Sehingga yang dimaksud dengan al-rijal yaitu orang- orang yang memiliki sifat maskulinitas yang tentu saja bisa terdapat pada laki-laki atau juga perempuan.24 Ayat di atas, bila ditelusuri lebih dalam, dapat dipahami bahwa sesungguhnya keberadaan laki-laki dalam posisi qawwam karena adanya sebab yang mengikutinya. Hal ini dijelaskan oleh teks sesudahnya yaitu lawan kata dari al-^z[e[l (\cg[ F[^’^’[f[ \['^’obog '[f[ \['^’ch q[ bima anfaqu min amwalihim) (atas anugrah yang Allah berikan kepada sebagian dari mereka atas sebagian dan atas nafkah yang mereka berikan dari harta mereka). Berdasar ayat ini, ada dua hal yang menyebabkan posisi qawwam yaitu: pertama: karena anugrah Allah dan kedua: karena mereka melakukan tindakan menafkahi. 24 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur‟ān, cet-2, (Dian Rakyat: Jakarta, 2010), hlm. 129
Hukum Keluarga Islam 23 Diawali dari sebab y[ha j_ln[g[ y[cno ‚e[l_h[ [hoal[b Aff[b‛, m_][l[ [y[n _emjfcmcn ^c [y[n n_lm_\on Aff[b menyebut dengan kata (\cg[ F[^’^’[f[ \[’^’obog ‘[f[ \[’^’g ) bukan bima faddalahumullah. Hal ini menunjukan bahwa secara tekstual jelas bahwa anugrah Allah itu diberikan kepada sebagian atas sebagian. Tampak jelas di ayat ini bahwa Allah tidak berfirman (bima faddalahumullah) yang berarti diberikan kepada mereka (laki-laki) atas perempuan. Jadi, teks ini bisa membuka e_gohaech[h e[n[ (\[’^obog) cno [^[f[b f[ec-laki dan (‘[f[ \[’^ch) [^[f[b j_l_gjo[h [n[o domnlo m_\[fcehy[ \[’^obog cno j_l_gjo[h ^[h ”[f[ \[’^ch cno f[ec-laki. Sekarang mari kita cermati sebab kedua ayat (wa bima anfaqu) artinya dan karena mereka (laki-laki) telah melakukan tindakan menafkahi. Melihat alasan kedua ini, lebih tepat jika ayat tersebut memahami sebagai tata cara pengaturan rumah tangga (domestik) bukan aturan social anfaqu) kemasyarakatan secara umum (publik). Sebab, kewajiban laki-laki menafkahi perempuan hanya terkait dalam urusan rumah tangga atau domestik, bukan publik. Inipun relatif sifatnya. Pelaksanaan tugas dan tanggungjawab menafkahi, jika dilaksanakan oleh laki-laki secara terus-menerus maka disebutlah laki- laki itu sebagai qawwam. Bagaimana jika laki-laki tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawab menafkahi secara terus-menerus dan justru perempuanlah yang melaksanakan tugas dan tanggungjawab menafkahi secara terus-menerus, apakah posisi qawwam tetap harus dipaksakan pada laki-laki? Juga bagaimana jika perempuan
24 Hukum Keluarga Islam justru yang melakukan tugas menafkahi, apakah kemudian dia tidak bisa disebut qawwam? Dalam hukum sebab akibat, sesuatu yang terjadi karena perbuatan sebelumnya berakibat pada terjadinya sesuatu. Di sini sebab merupakan syarat terjadinya akibat menafkahi adalah sebab. Posisi qawwam adalah akibat sedangkan anugrah dan menafkahi adalah sebab. Jadi posisi qawwam hanya bisa dianugerahkan pada orang yang g_g_hobc e_^o[ my[l[n m_\[\ cno, y[ehc ‚[hoal[b ^[h h[`e[b‛. D[f[g [y[n ^c atas, jenis kelamin bukanlah syarat. Dengan demikian, maka jika qawwam diartikan pemimpin, ia bisa diterimakan pada orang bukan hanya laki-laki tetapi juga perempuan. Kedua, pendekatan kontekstual dengan memperhatikan Asbab nuzul (sebab-sebab turunnya suatu ayat) dan Maqasid al-Sy[lc’[b (g[emo^ ^[h nodo[h [a[g[). Asbab nuzul surat An-Ncm[’:34 [^[f[b e[l_h[ e[mom pengaduan seorang perempuan kepada Rasulullah s.a.w atas tindak pemukulan suaminya. Larangan Rasulullah s.a.w terhadap pemukulan perempuan telah menjadi berita kontrovesional pada masa itu, sehingga akhirnya turunlah surat Al- Ncm[’:34 n_lm_\on. J[^c [y[n chc sebenarnya tidak bisa dipahami secara tekstual,karena ayat ini bersifat kasuistik dan karenanya kontekstual. Untuk memahamiayat ini harus dipahami lebih dalam Maqasid al-my[lc’[b y[ha n_le[h^oha y[ehc e_b[lgihcm[h suami-istri dalam rumah tangga. Menurut ar-Razi, kata qawwam mengandung makna melaksanakan suatu pekerjaan dengan sungguh-sungguh. Sementara itu, menurut al- Qurthubi, qawwam adalah
Hukum Keluarga Islam 25 kesiapan melaksanakan sesuatu dengan penuh perhatian dan ke sungguhan, para lelaki (suami) didahulukan (diberi hak kepemimpinan), karena laki-laki berkewajiban memberikan nafkah kepadawanita dan membela mereka, juga (karena) lelaki yang menjadi penguasa, dan hakim, dan juga ikut bertempur. Dan semua itu tidak terdapat pada wanita. Al-Thabari menegaskan bahwa qawwanuna berarti penanggung jawab. Ini artinya bahwa laki-laki bertanggung jawab dalam mendidik dan membimbing istri agar menunaikan kewajibannya kepada Allah maupun kepada suaminya. Ibnu Abbas mengartikan qawwanuna adalah laki-laki memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mendidik perempuan. Zamakhsyari menekankan bahwa kata-kata qawwanuna mempunyai arti kaum laki-laki \_le_q[dc\[h g_f[em[h[e[h [g[l g[’lo` nahi munkar kepada perempuan 12 sebagaimana kepada rakyatnya.25 Pandangan Jalaluddin as-Sayuthi dan Jalaluddin alMahally dalam tafsirnya, al-Jalalin: Ar-Rijalu qawwanuna, yaitu laki-laki menguasai (musalithun) perempuan dengan mendidik dan membuat perempuan berada di bawah kekuasaannya. Hal ini karena laki-laki memiliki kelebihan dibanding perempuan berupa kelebihan ilmu, akal, walayah (kekuasaan), dan lain-lain dan karena laki-laki, dengan hartanya, memberi nafkah kepada perempuan. Di antara perempuan yang salihah, adalah mereka yang taat 25 Faiqoh, ―Kepemimpinan Perempuan dalam Teks-Teks Ajaran Agama dalam Perspektif Pemikiran Konservatif‖, dalam Tim Editor PSW UII, kumpulan makalah seminar Penguatan Peran Politik Perempuan, Pendekatan Fiqih Perempuan, (Yogyakarta : Lembaga Penelitian UII, 1998), hlm. 43-44
26 Hukum Keluarga Islam kepada suaminya dan dapat menjaga kemaluan dan lainnya, ketika suaminya tidak di rumah. Hal serupa juga diungkapkan oleh Ibnu katsir dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud ar-rijalu qawwanuna ‘[f[ an-nisa adalah laki- laki itu pemimpin kaum perempuan dalam arti pemimpin, kepala, hakim dan pendidik bagi perempuan ketika mereka menyimpang, hal ini karena kelebihan (fadhol) yang dimiliki laki-laki. Ibnu Katsir menambahi kelebihan tersebut adalah dalam hal keutamaan dengan kata lain laki-laki lebih utama dan lebih baik dari pada perempuan, karena alasan ini jugalah menurut Ibnu Katsir nubuwwah dan kepemimpinan hanya dikhususkan untuk laki-laki.26 C. Pemikiran Kepemimpinan Keluarga dalam Perspektif Ulama Tafsir Menyimak pemikiran ulama tafsir tentang kepemimpinan keluarga secara umum dapat dikategorikan dalam empat pola pikir. Pola pikir ekstrim patriarkisentris, moderat patriarki-sentris, ekstrem matriarkhisentris, dan pola pikir moderat.27 1. Pola pikir eksterm patriarki-sentris28 Pola pikir ekstrim patriarki-sentris ditemukan dalam kitab Tafsir Fath al-Qadir, Tafsir al-Tabariy, 26 Ibnu Katsir,Tafsir Quran al-Adzim,Dar Fikr,jilid 1, hlm. 491 27 Zenrif, Fauzan. Tafsir Fenomenologi Kritis. Malang: UIN Maliki Press, 2011, hlm. 94. 28 Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Bressler, Charles E. Literary Criticism: An Introduction to Theory and Practice 4th-ed. Pearson Education, Inc. 2007. ISBN-13
Hukum Keluarga Islam 27 Tafsir al-Qurtubiy, Tafsir al- Khazin, dan Tafsir alAlusiy. Paradigma ekstrim patriarki-sentris ini memandang bahwa hanya laki-laki yang berhak menjadi pemimpin keluarga karena berbagai alasan.29 Al-Alusi memandang bahwa laki-laki ditentukan sebagai pemimpin keluarga karena kelebihan laki-laki dari perempuan, baik yang bersifat wahabi (taken for granted) maupun yang bersifat kasbiy (socially formated). Sekalipun Al-Qol’[h nc^[e g_hd_f[me[h kelebihan laki-laki secara terinci, hal ini sama sekali tidak menunjukkan pada kekurangannya, bahkan menunjukkan pada kepastian kelebihan laki-laki atas perempuan. Senada dengan al-Alusiy, al-Qurtubi memandang bahwa kepemimpinan keluarga diberikan kepada lakilaki karena ia mempunyai keistimewaan menjadi hakim, berjihad, mengatur, menjaga dan melarang perempuan keluar dari rumah. Sedangkan perempuan mempunyai kewajiban taat kepada suaminya selama 17 tidak bertentangan dengan syari at Allah.30 2. Pola pikir moderat patriarki-sentris Pola pikir moderat patriarki-sentris dapat ditemukan dalam Tafsir fi Zilal Al-Qol’[h ^[h T[`mcl [fBahr al-Muhit. Paradigma ini memandang bahwa lakilaki ditemukan sebagai pemimpin rumah tangga 29 Abu al-Fadal Shihabuddin al-Sayyid Mahmud al-Alusiy, Ruh al-Ma‟aniy fi Tafsir Al- Qur‟ān al-Adhim wa al-Sab‟ al-Matsaniy, juz III (t.t.: Dar al-Fikr, t.th.) hlm. 23-24. 30 Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurtubiy, al-Jami‟ li Ahkam AlQur‟ān, Juz V (Kairo: Dar al-Katib al-Arabiy, 1967), hlm. 168-169.
28 Hukum Keluarga Islam dengan berbagai ketentuan. Pemikiran Muhammad Abduh juga dapat dikategorikan dalam pola pikir ini ketika dia melihat kepemimpinan laki- laki dalam keluarga tidak untuk menunjukkan superioritas, yang dengannya bisa bertindak semena-mena terhadap istri. Sebab, laki-laki yang bersikap demikian akan membentuk suasana yang tidak kondusif dan hanya akan mencetak generasi budak yang tidak kreatif. Jadi, sekalipun laki-laki adalah kepala rumah tangga, akan tetapi antara laki- laki dan perempuan dalam keluarga bersifat 3. Pola pikir ekstrem matriarki-sentris saling melengkapi (inter-komplementer), bukan saling mendominasi.31 Pola pikir ini merupakan paradigma yang berpandangan bahwa perempuan juga merupakan pemimpin keluarga. Qasim Amin, tokoh yang mewakili kelompok ini, berpendapat bahwa seluruh ulama sepakat bahwa kekuasaan keluarga ditangan perempuan. Hanya saja, mayoritas ulama memandang bahwa kekuasaan perempuan dalam keluarga semata-mata berkhidmat pada suaminya, dimana kekuasaannya terbatas pada pengatur rumah dan mendidik anak.32 31 Muhammad Abduh, al-Islam wa al-Mar‟ah (Kairo: al-Qahirah al-Tsaqafah al- Arabiyah, 1975), hlm. 7-18 32 Qasim Amin, al-Mar‟ah al-Jadidah (t.d), 113-116, Pandangan Amin ini berdasarkan hadis " بعلھاوولده بيت راعيتعلي والمراة― dan perempuan menjadi penanggung jawab rumah pada sebuah dan anak suaminya...‖(HR. Bukhari)
Hukum Keluarga Islam 29 4. Pola pikir yang moderat Pola pikir ini memandang bahwa kepemimpinan keluarga tidak ditentukan secara seksis, melainkan atas kemampuan dalam melaksanakan amanah e_fo[la[ y[ha ^cn_hnoe[h if_b my[lc’[n Imf[g. Pif[ pikir seperti ini dapat ditentukan misalnya dalam pemikiran Muhammad Imarah dimana ia berpandangan bahwa kepemimpinan laki-laki yang dasarnya menjadi rujukan ulama bukan karna ia laki-laki secara dhatiy, melainkan sifat kelelakian (al-rujulah) yang dengannya ia dapat menjaga, mengayomi, mengarahkan dan sebagainya. Akan tetapi, karena biasanya sifat tersebut berubah-ubah dan silih berganti, Islam tidak mengharamkan perempuan menjadi pemimpin keluarga apabila dengan sifat keperempuan (maternitas) nya ia dapat menjaga amanah kepemimjch[h ^[h j_g_fcb[l[[h y[ha ^cmy[lc’[ne[h Imf[g.33 D. Pandangan Terhadap Perspektif Kaum Feminis Pemikiran kaum Feminis tentang konsep kepemimpinan laki- laki tentunya sangat bertentangan dengan pemikiran para mufassir muslim. Mereka kaum feminis hanyalah berusaha mengusung kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam segala bidang dengan melawan kodrat mereka sebagai perempuan. Padahal Allah sudah menetapkan kedudukan masing-masing. Pada dasarnya laki-laki dan perempuan sama yang membedakan adalah ketakwaannya. 33 Muhammad „Imarah, Ma‟alim al-Manhaj al-Islamiy (Bairut: Dar al-Shuruq. 1991), hlm.155- 158.
30 Hukum Keluarga Islam Allah menciptakan manusia terdiri dari dua jenis kelamin yaitu laki- laki dan perempuan. Tentu saja bukan untuk dipertentangkan atau saling merendahkan. Akan tetapi dibalik itu banyak hikmah yang terkandung di dalamnya.34 Islam menilai bahwa perempuan adalah pasangan laki-laki. Artinya, tidak berbeda kelas, melainkan sederajat karena masing- masingnya pasangan bagi yang lainnya dan saling membutuhkan. Ini menunjukan bahwa laki-laki dan perempuan saling membutuhkan dan saling melengkapi. Sebagaimana firman Allah dalam Qs.An-Nisa 4:1 dan Qs.Al-Baqarah 2:187.35 Begitu pula dengan perempuan mereka harus taat kepada pemimpin mereka (suami). Tetapi ini tentunya tidak berarti tersebut sewenang wenang, menindas dan bersifat pemaksaan. Akan tetapi kepemimpinan tersebut menekankan pentingnya keadilan dan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Sehingga tidak menyebabkan perempuan tertindas. Adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan itu bukan untuk saling menjatuhkan dan menunjukan akan ketidak konsistenan. Hanya saja hal tersebut merupakan sesuatu yang bersifat qudratullah dan alamiah yang menuntut perbedaan hukum antara keduanya (laki-laki dan perempuan). Jika menentang kodrat alam itu sendiri, maka berarti ia menentang nilainilai kemanusiaan yang Allah 23 ciptakan. 34 Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008), hlm. 29. 35 Amiruddin Syarief, Menangkal Virus Islam Liberal. Bandung:Persis Pers, 2010, cet. I, hlm.134
Hukum Keluarga Islam 31 E. Pemikiran Kepemimpinan Keluarga dalam Perspektif Ulama Hadits Pemikiran kepemimpinan keluarga dalam perspektif ulama hadits dapat ditemukan dalam beberapa literatur syarah hadits yang hadits nya berbunyi: Alnchy[ : ‚R[qc g_ha[n[e[h: g_h]_lcn[e[h e_j[^[ saya Musad-dad yang mendapatkan dari Yahya, dari ”U\[c^cff[b g_ha[n[e[h g_h]_lcn[e[h e_j[^[hy[ N[`c’ ^[lc ‘A\^cff[b R[, m_mohaaobhy[ R[mof[ff[b SAW g_ha[n[e[h: ‚S_niap kalian adalah pemimpinan, maka akan diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinan nya itu. Laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya, dia akan diminta pertanggung jawaban atas mereka. Perempuan adalah pemimpin atas rumah dan anak suaminya, dia akan diminta pertanggung jawaban atas mereka. Budak adalah pemimpin atas harta tuannya dia akan diminta pertanggung jawaban atas nya. Ingatlah, bahwa sesungguhnya setiap kalian adalah pemimpinan, oleh karenanya setiap kalian akan diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinanya.36 Hadits ini menurut ulama ahli hadits termasuk hadits marfu'37 dan sahih li dhatih, yaitu hadits yang shahih karena kesahihannya sendiri bukan karena didukung oleh 36 Hadits ini diriwayatkan Imam al-Bukhariy dalam delapan tempat dengan berbagai redaksi yang berbeda, baca al-Bukhariy, Sahih al-Bukhariy (Beirut Dar al-Kutub al-„ilmiyyah, 1992), Juz I, 123, 174, 175, 258, Juz VI, 471, 481, Juz VII, 444. 37 Muhammad ibn Tulun al-Salih, Al-Syadrah fi al-Musthaharah, Juz II (Beirut Dar al- Kutub al- „ilmiyah, 1993), hlm. 40.
32 Hukum Keluarga Islam hadits lain yang sahih.38 Berikut ini beberapa pandangan ulama yang terdapat dalam dua kitab syarah hadits Bukhari dan Muslim. Al-Qastalani (706-776 h.), disebut juga dengan alQastalaniy, menjelaskan bahwa hadits ini menunjukkan kepemimpinan yang ditunjukkan oleh kata راع berarti حافظ وأميه .Kata راع berasal dari kata راعي ,karena ia berakar dari .راعي يرعي رعاية kata 39 Pengertian pemimpin disini, menurut Al-Qastalaniy, berarti orang yang menjaga dan dipercaya serta berkewajiban menjaga kebaikan sesuatu yang dipercayakan kepadanya dan setiap orang yang dipercayakan kepadanya kepercayaan apapun harus bisa berbuat adil dan menegakkan kemaslahatannya, baik agama maupun dunianya.40 Sama dengannya, al-Nawawiy mengatakan bahwa pemimpin dituntut untuk bisa berbuat adil dan menegakkan kemaslahatan agama, dunia dan 29 segala sesuatu yang terkait dengannya.41 Al-Asqalani (773-852 H.) berpandangan bahwa الرعي adalah seorang pengawas yang dipercaya dan berkewajiban menjaga kebaikan sesuatu yang dipercayakan kepadanya dan bersikap adil dan menegakkan 38 M. Shyuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Bandung: Angkasa, 1991), hlm.180-181. 39 Aliy al-„Abbas Shihab al-Din Ahmad bin Muhammad al-Qastalaniy, AlIrsyad li Sharh Sahih al-Bukhariy, Juz VIII (Beirut: Dar al-Fikr, 1304. H), hlm. 79. 40 Al-Qastalaniy, al-Irsyad, 99 41 Imam al-Nawawiy, Sahih Muslim bi Sharh al-Nawawiy, Jilid VI, Juz XII (Bairut: Dar al-Fikr, 1983), hlm. 213.