The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Islam adalah agama yang memberikan perhatian besar terhadap pentingnya institusi keluarga. Sebab, Keluarga merupakan jiwa dan tulang punggung sebuah suatu Negara, kesejahteraan yang dirasakan oleh merupakan gambaran dari keadaan keluarga yang hidup di tengah-tengah masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, jika kita ingin menciptakan Negara yang sejahtera, damai dan sentosa (baldatun thayyibatun) landasan yang harus kita bangun (starting) adalah masyarakat yang baik (thayyibah) adapun pilar yang harus ditegakkan, Dengan figur seorang ayah yang bijaksana, ibu penyantun, lembut dan bisa mendidik serta membesarkan anak-anak dengan penuh kasih sayang akan membentuk karakter البيت anak menjadi baik dan kuat melalui didikan seorang ibu, inilah arti dari )Ibulah guru pertama dalam sebuah keluarga( مدرسة الأولى Anak-anak dari didikan inilah yang akan mengisi ruang-ruang kepemimpinan, ruang-ruang penegak hukum, ruang-ruang perpolitikan di Indonesia dan seterusnya. Tentunya ini penghargaan dan keistimewaan yang besar terhadap setiap orang tua, bahwa untuk mewujudkan generasi emas baik dan berkualitas di dalamnya ada kontribusi besar setiap orang tua. Sebab masa depan seorang anak sangat ditentukan dimana, dan bersama siapa ia berada.

Tidak kalah penting adalah, bahwa kemajuan dan karakteristik suatu Negara dan

bangsa yang maju dan bernilai positif di setiap line kehidupan Negara harus ditopang dengan kualitas karakter dan moral rakyatnya (masyarakatnya),

sedangkan masyarakat itu bagian dari anggota keluarga tersebut.

Apabila sebuah keluarga mempunyai nilai moral dan karakter yang bagus. Meskipun sebuah Negara sedang berkembang, maka Negara itu akan menjadi Negara yang maju dan berperadaban tinggi dengan kualitas unggul (emas).

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by penamudamedia, 2024-05-04 04:22:08

Hukum Keluarga Islam

Islam adalah agama yang memberikan perhatian besar terhadap pentingnya institusi keluarga. Sebab, Keluarga merupakan jiwa dan tulang punggung sebuah suatu Negara, kesejahteraan yang dirasakan oleh merupakan gambaran dari keadaan keluarga yang hidup di tengah-tengah masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, jika kita ingin menciptakan Negara yang sejahtera, damai dan sentosa (baldatun thayyibatun) landasan yang harus kita bangun (starting) adalah masyarakat yang baik (thayyibah) adapun pilar yang harus ditegakkan, Dengan figur seorang ayah yang bijaksana, ibu penyantun, lembut dan bisa mendidik serta membesarkan anak-anak dengan penuh kasih sayang akan membentuk karakter البيت anak menjadi baik dan kuat melalui didikan seorang ibu, inilah arti dari )Ibulah guru pertama dalam sebuah keluarga( مدرسة الأولى Anak-anak dari didikan inilah yang akan mengisi ruang-ruang kepemimpinan, ruang-ruang penegak hukum, ruang-ruang perpolitikan di Indonesia dan seterusnya. Tentunya ini penghargaan dan keistimewaan yang besar terhadap setiap orang tua, bahwa untuk mewujudkan generasi emas baik dan berkualitas di dalamnya ada kontribusi besar setiap orang tua. Sebab masa depan seorang anak sangat ditentukan dimana, dan bersama siapa ia berada.

Tidak kalah penting adalah, bahwa kemajuan dan karakteristik suatu Negara dan

bangsa yang maju dan bernilai positif di setiap line kehidupan Negara harus ditopang dengan kualitas karakter dan moral rakyatnya (masyarakatnya),

sedangkan masyarakat itu bagian dari anggota keluarga tersebut.

Apabila sebuah keluarga mempunyai nilai moral dan karakter yang bagus. Meskipun sebuah Negara sedang berkembang, maka Negara itu akan menjadi Negara yang maju dan berperadaban tinggi dengan kualitas unggul (emas).

Hukum Keluarga Islam 183 B. Hoeog Imncgn[’ ^_ha[h Imnlc ^[f[g e_[daan Haid Seluruh ulama fikih dari empat madzhab (Hanafi, M[fcec, Sy[`c’c ^[h H[g\[fc) m_j[e[n \[bq[ q[hcn[ y[ha m_^[ha g_ha[f[gc b[c^ ^cf[l[ha ohnoe \_ldcg[’ [n[o berhubungan intim. 229 (yang secara umum ulama juga sepakat bahwa mendatangi istri dari belakang baik ketika suci maupun haid) Keharamannya ditetapkan oleh Al-Quran Al-Kariem berikut ini: ِض ِحي َ ٍ ْ ِي اى اء ف ِصَ ّ اىن ْ ٔا ُ ى ِ ذ َ ت ْ اع َ ى ف ً ذ َ أ َ ٔ ُ ْ ْ و ُ ِض ك ِحي َ ٍ ْ اى ِ َ َ غ َ م َ ٔن ُ ى َ أ س ْ َ ي َ و َ لا َ و ب ُّ ِح ُ ي ُ اهلل ُ ِن إ ُّ اهلل ُ ً ُ ن رَ َ ٌ َ أ ُ د ْ ي َ ح ْ ٌَِ ُ َ ُ ْٔ ُ ح ْ أ َ ف َ ن رْ ُ ٓ َ ػ َ ا ح َ ذ ِ إ َ ف َ ن رْ ُ ٓ ْ ػ َ ي ىَ ُ ت َ ح ُ َ ُ ْٔ ُ ة رَ ْ ل َ ح َ يَ ِ ِ ر ّ ٓ َ ػ َ خ ُ ٍ ْ ب اى ُّ ِح ُ ي َ و َ ين ِ اة ُ ٔ ُ اىخ Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orangorang yang menyucikan diri.. (QS. Al-Baqarah:222)230 Dalil keharamannya juga disebutkan dalam hadits e_nce[ R[mofoff[b mb[ff[ff[bo ‘[f[cbc q[m[ff[g ^cn[hy[ 229 Al-Mausu‘ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, jilid 18, hlm. 32 230Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008), hlm. 35.


184 Hukum Keluarga Islam tentang hukum mencumbui wanita yang sedang haid maka beliau menjawab: ْ ً َ ى ْ ً ِ ٓ ْ ِفي ُ ة َ أ رْ َ ِج اىٍ اطَ َ ذا ح ِ ظُج إ َ ط َ ٔد ُ ٓ َ اىي ُ ن َ أ ُ ّ ْ ِ َ غ ٍص رضَي اهللُ َ ن َ أ ْ َ َ غ َ و ُ اه َ و َ ر ظحَ َ ك ّ الِن ُ لا ِ ىٍء إ َ ش ُ ل ُ ٔا ط ُ ػ َ ِ ُّ صلى اهلل عليّ وشيً: اص ْ ي ِ ب ُ اىِ َ ال َ ل َ ا ف َ ْٔ ُ اِطل َ ؤ ُ ي ٌ ً ِ ي ص ْ ُ ٌ Dari Anas RA bahwa orang yahudi bila para wanita mereka sedang mendapat haidh, mereka tidak memberikan makanan pada para wanita itu. Rasulullah SAW bersabda, "Lakukan segala yang kalian mau kecuali nikah (hubungan badan)." (HR Muslim). Batasan mengenai larangan hubungan badan yang disepakati para ulama dian[m [^[f[b [j[\cf[ n_ld[^c dcg[’ dalam arti yang sesungguhnya, yakni terjadinya dukhul atau penetrasi. Mereka juga membolehkan percumbuan yang dilakukan dengan istrinya itu, di anggota tubuh selain yang ada di antara pusar dan lutut istri. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah RA : ا ِهلل صلى اهلل عليّ وشيً ُ ٔل شُ َ ر َ ظن َ ج: ط َ اى َ ا ك َ ٓ ْ ِ َ غ رضَي اهللُ َ ث َ ِش ائ َ ع ْ َ َ غ َ و ِّ ْ ي َ ل َ ع ٌ ق َ ف ُ خ ُ ٌ ِض ٌ ائ َ ا ح َ ُ َ أ َ ي و ِ ن ُ ِشر ا َ ت ُ ي َ ف ُ ر ِ ز ُ ح َ أ َ ي ف ِ ن رُ ُ ٌ ْ أ َ ي "Dari Aisyah RA beliau berkata : Rasululullah SAW menyuruhku untuk memakai sarung, kemudian beliau mencumbuiku dalam keadaan haid." (Muttafaq Alaih) Dalam hadits yang lain dari Aisyah RA:


Hukum Keluarga Islam 185 "Jika salah satu dari kami (istri Nabi) ada yang haid, dan Rasulullah SAW ingin mencumbuinya, maka beliau Saw menyuruh istrinya yang haid itu untuk memakai kain sarung, kemudian beliau mencumbuinya." (HR. Bukhari)`. Dalam hadits dari Ummul Mukminin Maimunah RA: ‚Rasulullah Saw mencumbui istrinya dalam keadaan haid, apabila istrinya itu memakai sarung‛ (HR. An-N[m[’c) C. Batasan Bersenang-Senang dengan Istri dalam Keadaan Haid Ketika para ulama membolehkan percumbuan dengan selain yang ada di antara pusar dan lutut, lalu bagaimana hukumnya mencumbui bagian itu jika tidak sampai terjadi jima'? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat sebagaimana berikut : 1. Madzhab Hanafi Ulama dalam madzhab ini membolehkan seorang suami untuk mencumbui anggota tubuh istrinya yang ada di antara lutut dan pusarnya. Dengan syarat, percumbuan itu terjadi dengan adanya penghalang, seperti sarung, kain, atau sejenisnya. Namun suami tidak boleh melihat bagian-bagian tersebut. Suami boleh memegang bagian-bagian itu, dengan atau tanpa syahwat, selama bagian-bagian itu ditutupi dengan penghalang. Intinya tidak terjadi sentuhan kulit secara langsung dan tidak boleh melihat.231 231 Ibnu Abdin, Hasyiyah Ibni Abdin, jilid 1 hlm. 194


186 Hukum Keluarga Islam 2. Madzhab Maliki Ulama dalam madzhab ini berbeda dengan g[^zb[\ H[h[`c. Fok[b[’ ^[f[g g[^zb[\ M[fcec mengatakan bahwa seorang suami dilarang memegang dan mencumbui anggota tubuh istri yang ada di antara lutut dan pusarnya pada saat istrinya itu sedang mengalami haid, walaupun itu dibatasi dengan kain penghalang. Namun mereka membolehkannya untuk melihat bagian-bagian tersebut, walaupun dengan syahwat. Madzhab ini berpendapat bahwa suami hanya boleh melihat atau memandang bagian-bagian yang ada di antara pusar dan lutut istrinya itu, tanpa boleh mencumbuinya lebih jauh.232 3. M[^zb[\ Sy[`c’c Ketika seorang istri dalam keadaan haid, suaminya boleh mencumbuinya itu di bagian mana saja yang diinginkan. Hanya saja, percumbuan itu harus dibatasi dengan kain penghalang, sehingga tidak ada sentuhan kulit secara langsung.233 Madzhab ini juga membolehkan suami untuk melihat dan memandang bagian-bagian itu, dengan atau tanpa syahwat.234 D[f[g g[^zb[\ my[`c’c, m_il[ha mo[gc \if_b mencumbui istrinya yang sedang haid di bagian-bagian yang ada di antara pusar dan lutut dalam batasan: boleh 232 Ad-Dasuqi, Hasyiyah ad-Dasuqi, jilid 1, hlm. 183 233 Al-Imam an-Nawawi, al-Majmu‘ Syarh al-Muhadzdzab, jilid 2, hlm. 359 234 Al-Khatib as-Syirbini, Mughni al-Muhtaj, jilid 1hlm. 110


Hukum Keluarga Islam 187 melihatnya, dan boleh mencumbu dengan adanya penghalang, sehingga tidak terjadi sentuhan kulit secara langsung. 4. Madzhab Hambali Agak berbeda dengan ketiga madzhab diatas, madzhab Hambali membolehkan suami mencumbui istrinya yang sedang haid di bagian manapun yang ia chache[h. Sy[l[nhy[ nc^[e m[gj[c n_ld[^c dcg[’ y[ha sesungguhnya, yakni dukhul (penetrasi). Seorang suami boleh mencumbui istrinya di bagian-bagian yang ada di antara pusar dan lutut, kecuali organ intim, baik itu dengan melihat ataupun menyentuh, dengan atau tanpa penghalang.235 Namun demikian, para ulama dalam madzhab ini menganjurkan istri yang sedang haid untuk menutupi organ intimnya dengan penghalang selama percumbuan dilakukan. Al-Mardawi (w. 885 H.), salah satu ulama dalam g[^zb[\ H[g\[fc g_ha[n[e[h ^[f[g ecn[\hy[ ‚AlInshaf fi Ma'rifati Ar-R[dcb gch[f Kbcf[`‛ bahwa jika seorang suami tidak yakin bisa menahan syahwatnya, ^[h eo[ncl [e[h n_ld[^c dcg[’ apabila mencumbui bagian tubuh istrinya yang ada di antara pusar dan lutut, maka haram baginya mencumbui istrinya di bagian itu. Sebab menghindari itu akan membuat dirinya lebih selamat dan tidak terjerumus dalam perbuatan dosa.236 235 Al-Buhuti, Kasysyaf al-Qinna‘, jilid 1, hlm. 198 236 Al-Mardawi, Al-Inshaf fi Ma'rifati Ar-Rajih minal Khilaf, jilid 1, hlm. 350


188 Hukum Keluarga Islam Demikian penjelasan dari para ulama dari empat madzhab besar. Di satu sisi mereka memiliki pandangan yang sama, yakni mengenai haramnya men-dcg[’ cmnlc y[ha sedang haid. Walaupun mereka tetap berbeda mengenai bolehnya seorang suami mencumbui bagian-bagian yang ada di antara pusar dan lutut. 1. Madzhab Hanafi membolehkan mencumbui istri dengan adanya penghalang di bagian-bagian tersebut. 2. Madzhab Maliki membolehkan percumbuan dalam batasan melihat saja. 3. M[^zb[\ Sy[`c’c, g_g\if_be[h g_h]og\o cmnlchy[ ^c bagian-bagian itu dengan menggunakan penghalang, serta boleh melihatnya pula. 4. Berbeda dengan madzhab-madzhab diatas, dalam madzhab Hambali seorang suami boleh mencumbu cmnlchy[ ^c \[ac[h g[h[joh, [m[fe[h nc^[e n_ld[^c dcg[’ atau penetrasi. Namun, jika suami itu khawatir tidak bisa menahan syahwatnya, hendaknya ia menghindari bagian-bagian itu, agar tidak sampai terjadi jima'.


Hukum Keluarga Islam 189 XII A. Aturan Konkrit tentang Talak: Q.S At-Thalaq [65]: 1 Perceraian dalam istilah fikih Islam disebut dengan ‚ṭ[fāk‛ y[ha g_loj[e[h mo[no boeog n_le[cn ^_ha[h pemutusan hubungan perkawinan. Dilihat dari segi etimologi, istilah talak berasal dari bahasa Arab yaitu aliṭfāk atau lepasnya suatu ikatan perkawinan.237 Sedangkan menurut terminologi talak merupakan terlepasnya ikatan pernikahan dengan lafal-lafal talak dan yang sejenisnya atau mengangkat ikatan pernikahan secara langsung atau ditangguhkan dengan lafal yang dikhususkan.238 Istilah talak ini hanya ditujukan pada pemutusan perkawinan dari jcb[e mo[gc. S_^[hae[h g[eh[ ‚]_l[c‛ [n[o ‚j_l]_l[c[h‛ 237 H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani , Fikih Minahakat; Kajian Fikih Nikah Lengkap, (cet. 3, Jakarta: Rajawali Pers, 2013) h.229 238 Wahbah al-Zuḥailī, al-Mu‟tamad fī al-Fiqh al-Syāfi‟ī, ( Juz 4, Damaskus: Dār al- Qalam, 2011) h.318


190 Hukum Keluarga Islam (dalam bahasa Indonesia) bermakna putusnya perceraian baik dari pihak suami maupun pihak istri. Dalam pelepasan hubungan perkawinan yang dilakukan oleh suami terhadap istri, tentu harus memenuhi syarat serta dilakukan menurut anjuran agama seperti yang disyariatkan Allah. Oleh karenanya seseorang (suami) akan dihukumi berdosa ketika pelaksanaan talak telah menyimpang dari apa yang telah disyariatkan. Perceraian atau talak syar'i merupakan perceraian yang dilakukan menurut landasan hukum Islam. Fuqaha sepakat bahwa talak yang sesuai menurut hukum itu jika dilakukan pada waktu-waktu tertentu seperti istri dalam keadaan suci yang belum digauli.239 Dilihat dari segi jumlahnya yaitu ketika talak tiga atau dua dilakukan secara terpisah. Artinya bukan dalam waktu yang bersamaan serta dijatuhkan dalam kesempatan yang berbeda.240 Pendapat ini berangkat dari pemahaman terhadap surat alThalaq, yang artinya: ‚Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah 239 Ibn Rusyd, Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtaṣid, ( terj: Fuad Syaifudin Nur, Jilid 2, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2016) h.545 240Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Cet. 5, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014) h.222


Hukum Keluarga Islam 191 berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu m_mo[no b[f y[ha \[lo‛. (QS. At-Thalaq: 1). Masalah putusnya perkawinan serta akibatnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengaturnya dalam Bab VIII Pasal 38 sampai dengan Pasal 41. Tata cara perceraian diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 14 sampai dengan Pasal 36, dan hal-hal teknis lainnya dalam Peraturan Menteri Agama (Permenag) Nomor 3 Tahun 1975. Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan: Perkawinan dapat putus karena: 1. Kematian. 2. Perceraian. 3. Atas keputusan pengadilan. Pasal 39 1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak 2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri. Pasal 40 1. Gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan.


192 Hukum Keluarga Islam 2. Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri. Dalam kompilasi diatur lebih rinci mulai dari sebabsebab perceraian, tata cara, dan akibat hukumnya dalam Bab XVI Pasal 113 sampai dengan Pasal 162. Pasal 113 Kompilasi sama dengan Pasal 38 UU P_le[qch[h. P[m[f 114: ‚Ponomhy[ j_le[qch[h y[ha disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak [n[o \_l^[m[le[h aoa[n[h j_l]_l[c[h‛. P[m[f 115 KHI menegaskan bunyi Pasal 39 ayat (1) sesuai dengan kihm_lh KHI y[cno ohnoe il[ha Imf[g: ‚P_l]_l[c[h b[hy[ dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak \_lb[mcf g_h^[g[ce[h e_^o[ \_f[b jcb[e‛. Mengenai alasan-alasan terjadinya perceraian, dijelaskan dalam Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 Kompilasi: 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.


Hukum Keluarga Islam 193 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri. 6. Antara syami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan per tengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga, dalam kompilasi terdapat tambahan alasan terjadinya perceraian yang khusus, berlaku bagi pasangan perkawinan yang memeluk agama Islam, yaitu: a. Suami melanggar taklik talak. b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. Selanjutnya kompilasi menjelaskan beberapa istilah yang berkaitan dengan putusnya perkawinan dan akibat hukumnya, termasuk di dalamnya teknis pelaksanaannya agar tindakan perceraian itu dilakukan secara benar. Pasal 117 Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, 130, dan 131. Pasal 118 Talak raj'i adalah talak kesatu atau kedua, di mana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah.


194 Hukum Keluarga Islam Ketentuan tersebut didasarkan pada petunjuk dari firman Allah surat al-baqarah [2]:228: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (g_hohaao) nca[ e[fc kolo’. Tc^[e \if_b g_l_e[ menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, Jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki islah. (QS Al-Baqarah (21:228).241 Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah Itu boleh rujuk lagi dengan cara yang Ma'ruf atau menceraikan dengan yang baik. Al-Baqarah [2]:229.242 241 Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008), hlm. 36. 242 Ibid


Hukum Keluarga Islam 195 Pasa 119 1. Talak ba'in sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah. 2. Talak ba'in sughra sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah: a. Talak yang terjadi qabla al-dukhul. b. Talak dengan tebusan atau khulu" c. Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama. Dijelaskan dalam firman Allah Surat Al-Ahzab [33]:49 sebagai berikut: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya, maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya. (OS Al-Ahzab [33]:49). Masalah khulu' dijelaskan dalam hadits riwayat dari Ibn Abbas r.a.: Sesungguhnya istri Tsabit ibn Qais datang menghadap Nabi Saw. dan berkata' "Wahai Rasulullah


196 Hukum Keluarga Islam Saw. Tsabit ibn Qais, aku tidak mencela akhlak dan agamanya akan tetapi aku tidak suka kufur dalam Islam", M[e[ R[mofoff[b S[q \_lm[\^[: ‚Ae[he[b e[go kembalikan kebun (pemberian)nya"? Ia menjawab: "Ya". R[mof \_lm[\^[ (e_j[^[ Tm[\cn): ‚T_lcg[f[b e_\oh (e_g\[fc[h)hy[, ^[h ]_l[ce[h m[no e[fc.‛ (Rcq[y[n [fBukhari)" Ayat tersebut menunjukkan bahwa wanita yang dicerai sebelum digauli, tidak menjalani masa "iddah (masa tunggu), karena itu ia tidak bisa dirujuk dan termasuk kategori cerai ba'in sughro. Sementara hadits di atas menunjukkan bahwa khulu' adalah perceraian dengan tebusan, atau dalam bahasa perundang-undangan disebut dengan gugat cerai dengan tebusan ('iwadl). Pasal 120 Talak ba'in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak Jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba'da al-dukhul dan habis masa 'iddahnya. Imam Muslim dalam al-Jami' al-Shahih-nya mengemukakan tujuh jalur hadits yang berkaitan dengan masalah ini. Salah satu di antaranya riwayat dari Aisyah r.a. yang mengatakan: ‚S_il[ha f[ec-laki mencerai istrinya tiga kali kemudian kawin dengan laki-laki lain dan menceraikannya sebelum ia menggaulinya. Maka bekas suaminya yang pertama menghendaki untuk


Hukum Keluarga Islam 197 menikahinya. Ia menanyakan hal tersebut kepada R[mofoff[b S[q. ^[h \_fc[o g_hd[q[\: ‚J[ha[h, m_bchaa[ mo[gc e_^o[ ‚g_h]c]cjc g[^ohy["‛ (g_haa[ofchy[) seperti yang dirasakan oleh (suami) yang pertama." (Riwayat Muslim). Pasal 121 Talak sunni adalah talak yang dibolehkan, yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut. Pasal 122 Talak bid'i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada Waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut. Pasal 123 menjelaskan hitungan masa tunggu bagi talak raj'i, seperti juga yang dimaksud Pasal 18 UU P_le[qch[h ‚P_l]_l[c[h chc n_ld[^c n_lbcnoha j[^[ m[[n j_l]_l[c[h cno ^chy[n[e[h ^c ^_j[h mc^[ha j_ha[^cf[h‛. Pasal ini dalam kenyataannya memerlukan pemahaman dan ketelitian yang memadai, terutama apabila misalnya seorang suami menjatuhkannya di luar sidang. Maksud undang-undang memang menghendaki agar setiap perceraian dilakukan di depan sidang. Karena dengan demikian, bukti-bukti autentik dapat diselenggarakan dan dapat menjamin kepastian hukum. P[m[f 124 KHI g_hy_\one[h: ‚Kbofo' b[lom berdasarkan atas alasan Perceraian sesuai ketentuan P[m[f 116‛, (fcb[n doa[ P[m[f 19 UU P_le[qch[h). P[m[f 125 g_hd_f[me[h n_hn[ha fc'[h ^[h [ec\[n boeoghy[, ‚Li'an


198 Hukum Keluarga Islam menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama-f[g[hy[‛. Lc'[h n_ld[^c e[l_h[ mo[gc menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut (Ps. 126). Mengenai tata cara Li'an diatur dalam Paragraf 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 87: 1. Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat melengkapi bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan terseb st, dan hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat maupun dari termohon atau tergugat, maka hakim karena jabatannya dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah. 2. Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk meneguhkan sanggahannya dengan cara yang sama. Ketentuan ini dirinci dalam Pasal 127 Kompilasi yang mengacu pada QS An-Nur (24):69 seperti dikemukakan dalam Bab 8 tentang asal-usul anak pasal 88 UU Nomor 7 Tahun 1989 menyatakan: 1. Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dilakukan oleh suami, maka


Hukum Keluarga Islam 199 penyelesaiannya dapat dilaksanakan dengan cara fc’[h. 2. Apabila sumpah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dilakukan oleh istri maka penyelesaiannya dilaksanakan dengan hukum acara yang berlaku. B. Dasar Hukum Talak Perspektif Islam tentang talak hadir oleh karena adanya petunjuk dasar pembolehannya dalam Alquran maupun hadits, bahkan ulama sepakat bahwa talak dalam kondisi-kondisi tertentu memang dibolehkan bagi seorang suami yang ingin menceraikan istri. Tidak hanya itu, petunjuk dan dasar pensyariatan talak secara langsung difirmankan kepada Rasulullah saw. Hal ini mengacu pada ketentuan QS.al-Talaq ayat 1 : ‚H[c N[\c, [j[\cf[ e[go g_h]_l[ce[h cmnlc-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali


200 Hukum Keluarga Islam mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu m_mo[no b[f y[ha \[lo‛. 243 Imam al-Suyuti menyebutkan ayat ini turun \_l^[m[le[h lcq[y[n ^[lc I\h A\\[m, ‚mo[no e_nce[ A\^o Z[c^ (A\o Roe[h[b)‛ g_hn[f[e cmnlchy[ Uggo Roe[h[b. Ia kemudian menikahi wanita lain dari Madinah. Ummu Rukanah Lantas mendatangi Rasulullah saw., dan \_le[n[, ‚[f[hae[b g[f[hahy[ m[y[. Ho\oha[h mo[gc saya dan saya hanyalah laksana sehelai rambut ini (begitu l[jobhy[)‛. Tc^[e f[g[ e_go^c[h nolohf[b [y[n n_lm_\on. Dalam riwayat lach, Igāg [f-Suyuti juga menyebutkan bahwa hadits tersebut turun berkenaan dengan salah satu riwayat dari Qatadah dari Anas bin Malik yang berkata, ‚mo[no e_nce[ R[mofoff[b m[q., g_h[f[e H[`m[b. I[ e_go^c[h e_g\[fc e_ e_fo[la[hy[‛, Aff[b e_go^c[h menurunkan [y[n n_lm_\on‛.244 Riwayat tersebut secara hukum mengandung informasi bahwa Rasulullah saw., sendiri telah melakukan talak kepada istrinya dan tentunya diperkenankan, bahkan ada penegasan secara khusus dalam QS. al- Talaq ayat 1, yaitu jika pun terpaksa untuk melakukan talak, maka prosesnya harus dilakukan ketika istri mudah melaksanakan masa iddah. Hal tersebut 243 Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008), hlm. 558. 244al-Suyuti, Lubāb al-Nuqul fī Asbab al-Nuzul, ( terj: Tim Abdul Hayyie, Cet.10, Jakarta: Gema Insani Press, 2015) h.581-582


Hukum Keluarga Islam 201 menunjukkan bahwa Islam melegalkan talak dengan tata cara tertentu sebagaimana maksud ayat tersebut. Menurut para ulama, cara talak agar istri menjalankan masa iddah secara wajar sebagaimana maksud QS. al-Ṭ[fāk [y[n 1 m_\_foghy[ [^[f[b b[hy[ dilakukan apabila istri dalam keadaan suci dari haid atau belum digauli. Sebab, menalak istri dalam keadaan haid akan memperlama iddah istri sebab ia akan menghitungnya setelah suci. Sementara larangan mentalak istri sesaat setelah dilakukannya jimak karena ada kemungkinan benih janin di dalam rahim istri sehingga juga akan memperlama istri dalam melaksanakan idah.8 Selain alasan itu, para ulama juga memandang bahwa biasanya suami cenderung akan menahan untuk mentalak istri dan amaranya akan n_le_h^[fc j[^[ m[[n m_n_f[b cmnlchy[ n_f[b mo]c. Yūmo` [fQaradawi dan al-Barudi menyebutkan yang pada intinya boleh jadi pihak suami terhalang untuk menyalurkan naluri seksual pada saat haid, maka ia mentalak suami. Karena ada larangan tersebut, maka anjuran menceraikan istri pada saat suci sangat mungkin tidak terealisasi sebab suami sudah bisa kembali menggaulinya. Selain itu, amarah suami pada saat istri haid boleh jadi akan kembali turun ketika sesaat setelah istrinya telah mengalami masa suci, sehingga suami tidak lagi menceraikannya. Poin inti yang dapat dipahami dari ketentuan dalil di atas adalah talak disyariatkan dalam Islam namun harus dilakukan dengan cara dan waktu tertentu seperti menceraikan istri pada saat istri suci atau pada saat istri


202 Hukum Keluarga Islam belum digauli sebelumnya. Dalil lain yang umum digunakan sebagai dasar hukum talak mengacu pada ketentuan QS. al-Baqarah ayat 229 artinya: ‚T[f[e (y[ha ^[j[n ^clodoec) ^o[ e[fc. S_n_f[b cno boleh rujuk lagi dengan cara yang ma‟ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum- hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum- hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orangil[ha y[ha z[fcg‛. Imam al-Suyuti menyebutkan ayat ini turun berkenaan dengan riwayat dari Ibnu Juraij, dia berkata, ‚[y[n chc noloh j[^[ Tm[\cn \ch Q[cm ^[h H[\c\[b, istrinya. Habibah mengadukan perihal suaminya kepada Rasulullah saw., untuk kemudian meminta diceraikan. Maka Rasulullah saw., berkata e_j[^[ H[\c\[b, ‚[j[e[b engkau mau mengembalikan kebun yang dijadikan g[b[l ohnoego‛. H[\c\[b g_hd[q[\, ‚y[ m[y[ g[o‛. Kemudian Rasulullah saw., memanggil Tsabit bin Qais dan memberitahunya tentang apa yang dilakukan istrinya. Maka Tsabit bin Qais berkata, ‚[j[e[b ^c[ l_f[ g_f[eoe[hhy[?‛, R[mofoff[b m[q., g_hd[q[\, ‚y[, ^c[ l_f[‛. Imnlchy[ joh \_le[n[, ‚m[y[ \_h[l-benar telah g_f[eoe[hhy[‛. M[e[ nolohf[b [y[n n_lm_\on.


Hukum Keluarga Islam 203 Selain perspektif Alquran, dasar hukum talak juga berdasarkan perspektif hadits Rasulullah saw. Riwayat hadits tentang talak cukup banyak, di antaranya adalah lcq[y[n Boebālī ^[lc A\^offāb \ch Ug[l: ‚D[lc A\^offāb bin Umar ra., bahwa pada masa Rasulullah saw, ia pernah menceraikan istrinya dalam keadaan haid, maka Umar bin al-Khaṭṭā\ joh g_h[nyakan hal itu kepada Rasulullah saw. Maka Rasulullah saw., bersabda: ‚P_lchn[be[hf[b [a[l c[ m_a_l[ g_lodoehy[, f[fo menahannya hingga ia suci dan haid kembali kemudian suci. Maka pada saat itu, bila ia mau, ia boleh menahannya, dan bila ingin, ia juga boleh menceraikannya. Itulah iddah yang diperintahkan oleh Allah Swt., ohnoe g_hn[f[e cmnlc‛. (HR. Boebālī). M[eh[ ^[lc b[^cnm tersebut secara hukum mengandung informasi yang ada kaitannya dengan ketentuan QS. al-Ṭ[fāk [y[n 1 sebelumnya. Artinya, pelaksanaan talak harus dilakukan saat istri dapat menjalankan masa iddah secara wajar. Tidak dibolehkan mentalak istri dalam keadaan haid, sebab hal itu akan menyusahkan istri sebab lamanya masa iddah yang ia lakukan. Dalam konteks hadits tersebut, Rasulullah saw., g_hyolob A\^offāb \ch Ug[l ra., agar merujuk kembali istri yang ditalak saat haid, kemudian boleh untuk tidak melanjutkan perceraian dan boleh juga menceraikan istrinya dalam keadaan suci. Minimal dari tiga dalil naqli di atas cukup memberi pemahaman bahwa talak dalam hukum Islam adalah sesuatu yang dilegalkan. Apabila suami sudah tidak lagi melihat adanya manfaat dari hubungan pernikahannya,


204 Hukum Keluarga Islam dan justru menimbulkan mafsadat maka ia boleh melakukan talak kepada istrinya itu, dan dibolehkan juga pihak istri meminta cerai kepada suaminya dengan syarat ada ganti berupa mahar yang telah suaminya berikan. C. Bentuk-Bentuk Talak 1. Dilihat Dari Lafaz yang digunakan Dilihat dari lafaz, maka talak dibagi ke dalam dua bentuk, yaitu talak dengan ungkapan sharih dan talak dengan ungkapan kinayah. 245 Ibnu Rusyd menyatakan kedua ungkapan tersebut merupakan pendapat jumhur ulama (Ibn Rusyd, 2016: 136). Talak sharih yaitu talak dengan ungkapan yang jelas dan tegas dan tidak membutuhkan adanya niat di dalamnya, seperti kata ṭ[fāk (talak), firaq (cerai), m[lāḥ (lepas). Dikatakan talak sariḥ karena ketiga kata tersebut terdapat di dalam syariat dan disebutkan secara berulang-ulang dalam Alquran. Lafaz al- ṭalaq (talak) disebutkan dalam QS. Talaq ayat 1, lafaz firaq (cerai). Disebutkan dalam QS. Ṭ[fāk [y[n 2, ^[h f[`[z sarah (lepas) ditemukan dalam QS. al-Aḥzā\ [y[n 28. Selain alasan tersebut, dikatakan talak sharih juga karena tidak ada kemungkinan adanya keraguan tentang makna lafaz tersebut kecuali hanya dimaknai keinginan suami untuk berpisah atau bercerai. Rizem Aizid menyebutkan talak sarih atau talak dengan menggunakan lafaz yang eksplisit merupakan setiap 245Syamsul Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam, ( Jakarta: Bee Media Pustaka,2017) h.417-418


Hukum Keluarga Islam 205 kata yang bisa langsung dipahami makna talak ketika diucapkan.246 Dengan demikian, ulama telah membatasi tiga kata tersebut dalam cakupan ṭ[fāk, firaq, atau sarah. Ungkapannya dapat dibuat pemisalannya seperti mo[gc g_hy[n[e[h e_j[^[ cmnlc, ‚m[y[ n[f[e e[go‛, ‚m[y[ chach ]_l[c (firaq)‛, [n[o ‚m[y[ g_f_j[me[h (saraḥ) e[go‛. Adapun talak kinayah yaitu talak kiasan yang membutuhkan penegasan niat dari pihak suami. Dalam pengertian lain, talak kinayah yaitu talak yang dilakukan dengan menggunakan lafaz yang implisit, namun lafaz yang digunakan mirip pengertiannya dengan lafaz talak. Misalnya, dengan menggunakan e[fcg[n, ‚Pof[haf[b e[go e_ log[b il[ha no[go=‛. Dalam konteks ini, jika suami meniatkannya sebagai talak, maka jatuh talak. Sementara jika suami tidak meniatkannya sebagai talak, maka talak tidak jatuh. Intinya, lafaz sindiran atau kinayah masih memerlukan kejelasan maksud suami. Dalam hal ini, istri tentu boleh menanyakan maksud perkataan tersebut, atau ia mengadukan kepada keluarganya dan keluarganya kemudian menanyakan secara langsung apakah maksud lafaz kinayah tersebut ditujukan untuk talak atau bukan. 246 Rizem Aizid, Fikih Keluarga Terlengkap: Pedoman Praktis Ibadah Sehari-Hari Bagi Keluarga Muslim, (Yogyakarta: Laksana, 2018) h.182


206 Hukum Keluarga Islam 2. Dilihat dari segi konsekuensi hukum talak Dilihat dari segi konsekuensi atau akibat hukum talak, maka talak dibedakan menjadi dua macam, yaitu talak \[’ch dan talak l[d’c. Talak \[’ch merupakan talak yang berakibat pada suami tidak halal lagi terhadap istrinya dan tidak ada hak rujuk baginya kecuali dengan akad nikah dan mahar yang baru. Misalnya, talak kesatu atau kedua yang suami pada saat itu belum merujuknya hingga akhir masa iddah. Keadaan habisnya masa iddah istri sementara mereka belum bersatu kembali maka kondisi ini disebut dengan talak \[’ch ṣughra. Dalam contoh yang lain misalnya perceraian dengan ebofo’. Artinya, jika istri ingin bercerai dan ada pembayaran ganti rugi di dalamnya maka status adalah talak \[’ch. Dalil yang biasa digunakan dalam ebofo’ yaitu QS. alBaqarah ayat 229 yang sebelumnya telah dikutip, adapun bagian ayat yang berhubungan ebofo’ adalah: ‚ ...Jce[ e[go eb[q[ncl \[bq[ e_^uanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.


Hukum Keluarga Islam 207 Talak \[’ch dibedakan menjadi dua, yaitu \[’ch sughra dan \[’ch eo\l[. Talak \[’ch moabl[ telah disebutkan sebelumnya, sementara talak \[’ch eo\l[ merupakan talak tiga yang dilakukan secara bertahap atau sekaligus menurut jumhur ulama dengan konsekuensi istri tidak halal lagi untuk digauli kecuali mantan istri telah menikah dan berjimak dengan suami barunya dan mereka telah bercerai secara wajar. Dalil yang relevan dengan kasus ini mengacu pada ketentuan QS. al-Baqarah ayat 230: ‚Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui‛.247 Dengan demikian, talak \[’ch eo\l[ berpengaruh terhadap kehalalan istri, sementara dalam kasus 247 Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008), hlm. 36.


208 Hukum Keluarga Islam \[’ch moabl[ tidak menghilangkan kehalalan istri tetapi dengan syarat harus melakukan akad nikah dan mahar yang baru. D. Tujuan dan Hikmah Pensyariatan Talak Dalam konteks hukum Islam, hadirnya hukum perceraian memiliki tujuan tersendiri yang tercakup dalam tujuan umum maupun khusus. Tujuan umum perceraian adalah demi kemaslahatan suami-istri itu sendiri. Para ulama sering menggunakan beberapa kaidah fikih yang berhubungan dengan konsep kemaslahatan, di antara-nya adalah kaidah yang berbunyi: اىضرر يزال248 ‚K_go^[l[n[h cno b[lom ^cbcf[hae[h‛. حصرف الإٌام على اىرغيث ٌنٔط ةاىٍصيحث 249 ‚K_n_n[j[h/e_jonom[h m_il[ha cg[g ^c[g\cf \_l^[m[le[h j_lncg\[ha[h e_g[mf[b[n[h‛. Dua kaidah tersebut biasanya menjadi kaidah yang digunakan oleh hakim dalam memberi pertimbangan bahwa suatu hubungan memang- benar-benar harus diputuskan. Sebab, boleh jadi dengan memutuskan pernikahan, kemudharatan- kamudharatan yang dialami 248 A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqih, Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah Yang Praktis,Cet ke-7 (Jakarta: Kencana,2017), h. 164. 249 Abdurrahman ibn Abi Bakar al-Suyutiy, Al-Asybat wa al-Nazair, Juz 1, (Makkah al-Mukarramat, Maktabat Nizar Mustafa alBaz, 1997), hlm. 202.


Hukum Keluarga Islam 209 suami-istri selama dalam masa perselisihan dan pertengkaran dapat diselesaikan dan diputuskan. Dengan begitu, tujuan dari perceraian dengan cara talak erat kaitannya dengan tujuan umum syariat itu sendiri, yaitu menciptakan kemaslahatan manusia. Menurut al-Khallaf, tujuan umum hukum syarak adalah untuk kemaslahatan (maslahah) manusia.250 Term maṣlaḥah berarti kebaikan, kemaslahatan umum. Mustafa Zayd, dikutip oleh Al Yasa‟ Abubakar menyebutkan bahwa salah satu pengertian maṣlaḥah yakni menolak kemudharatan dan mendatangkan manfaat (Lihat, Al Yasa‟ Abubakar, 2016: 36). Jadi, kaitannya dengan syariat talak, secara langsung bertujuan untuk menolak mudharat yang ditimbulkan mempertahankan pernikahan dan upaya untuk mengambil manfaat dari perceraian itu. Adapun tujuan dan hikmah talak secara khusus, adalah untuk memberi peluang bagi suami atau istri mengintropeksi diri. Sangat dimungkinkan salah satu pihak dari keduanya keras kepala, tidak menghargai pasangan, sehingga dengan jalan talak menjadi pelajaran bagi keduanya. Al-Aḥmadi dan kawan-kawan, menyebutkan hikmah dan tujuan talak adalah karena di dalamnya terkandung soslusi untuk menangani masalah suami istri manakala diperlukan, khususnya ketika tidak ada keharmonisan dan timbulnya kebencian yang karenanya membuat kedua belah pihak tidak mampu menegakkan batasan-batasan Allah Swt., dalam 250 Abd al-Wahhāb al-Khlmlaf, Ilm Usul al-Fiqh, terj: Moh Zuhri dan Ahmad Qorib, (Edisi Kedua, Semarang: Dina Utama, 2015) h.365


210 Hukum Keluarga Islam melangsungkan kehidupan rumah tangga. Talak dengan alasan tersebut termasuk dari salah satu bukti kebaikan Islam.251 Berdasarkan uraian tersebut, dapat dipahami bahwa tujuan disyariatkannya talak atau perceraian adalah untuk menciptakan kemaslahatan-kemaslahatan yang sebelumnya kedua pihak mengalami kesulitan dan bahkan timbul mudharat. 251 Abd al-„ Aziz Mabruk al-Aḥmadi, dkk, al-Fiqh al-Muyassar, ( terj: Izzudin Karimi, Cet. 3, Jakarta: Darul Haq, 2016) h.502


Hukum Keluarga Islam 211 XIII A. Aturan Hukum Konkrit tentang Rujuk Rujuk dapat diartikan sebagai perihal mengembalikan status hukum perkawinan setelah terjadinya talak l[d’c yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya dalam masa ‘c^^[b. Kata rujuk secara bahasa diartikan yaitu kembali, maksudnya adalah kembali hidup bersama suami istri antara laki-laki dan perempuan yang melakukan perceraian dengan jalan talak l[d’c selama masih dalam masa iddah. 252 Kata ‚lodoe‛ m_\_h[lhy[ ^c[g\cf ^[lc B[b[sa Arab, yaitu berasal dari kata l[d[’[ - y[ldc’o - l[d’[h yang berarti kembali atau mengembalikan.253 Sedangkan menurut cmncf[b, e[n[ ‚lodo’‛ g_gcfcec \_l[a[g l_^[emc y[ha 252 Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Cet. 3, (Banda Aceh: Yayasan Pena, 2010), hlm. 164. 253 Abdul Rahman Ghazali, Fikih Munakahat, Cet. 5, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 337.


212 Hukum Keluarga Islam dinyatakan oleh para ulama, salah satunya seperti yang dinyatakan oleh al-Mahalli sebagaimana dikutip oleh Amir Syarifuddin, yaitu sebagai berikut yang artinya: ‚K_g\[fc e_ ^[f[g bo\oha[h j_le[qch[h ^[lc ]_l[c y[ha bukan \[’ch, selama dalam masa iddah‛.254 B. Ayat dan Konteks Ayat tersebut terdapat dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 228 sebagai berikut: ‚Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu 254 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; antara Fiqh Munakahat dan Undang- Undang Perkawinan, Cet. 3, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 337.


Hukum Keluarga Islam 213 tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.‛ (Q.S. [f-Baqarah, 2: 228).255 Surat Al-Baqarah merupakan surat kedua dalam alQol’[h. Sol[n chc n_l^clc ^[lc 286 [y[n, 6.221 e[n[, ^[h 25.500 huruf dan tergolong surat Madaniyah, yang diturunkan di Madinah atau diturunkan setelah Rasulullah SAW. hijrah ke Madinah. Sebagian besar ayat dalam surat ini diturunkan pada permulaan hijrah, kecuali pada ayat 281 yang diturunkan di Mina saat j_lcmncq[ H[dc W[^[’. Sol[n chc g_loj[e[h mol[n terpanjang dalam al-Qol’[h. Sol[n chc ^ch[g[c [f-Baqarah yang berarnc ‚m[jc \_nch[‛, e[l_h[ ^c ^[f[g mol[n chc terdapat cerita penyembelihan sapi betina yang diperintahkan Allah SWT. untuk Bani Israil (pada ayat 67- 74). Surat ini dinamai ‚Fomn[nof Qol’[h‛ (puncak alQol’[h), e[l_h[ g_ha[h^oha \_\_l[j[ boeog y[ha tidak diberitahukan dalam surat yang lain. Ia juga dinamai ‚[z-Z[bl[‛ (terang benderang), karena menuju kebahagiaan dunia dan akhirat, serta menjadi penyebab bersinarnya wajah siapa yang mengikuti petunjukpetunjuk surat ini kelak di kemudian hari.256 Hadits di atas menjelaskan, bahwa jika seseorang menghendaki ridho Allah SWT. maka perceraian bukanlah jalan terbaik dari sebuah perkawinan untuk berakhir. Adanya masa iddah dalam perceraian merupakan upaya untuk berfikir kepada suami 255 Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008), hlm. 36. 256http://p2k.itbu.ac.id/ind/1-3064-2950/Surah-Al-Baqarah_26271_itbu_p2kitbu.html, diakses 4 Juni 2021.


214 Hukum Keluarga Islam memberikan pemulihan langakah yang terbaik dengan beberapa pertimbangan demi kemaslahatan hidupnya yang lebih lanjut dalam keluarga. Dalam hadits lain riwayat An-N[m[’c Momfcg I\ho Majah dan Abu Daud, Nabi SAW. bersabda: ، َ ِْيً ا رَ ْ ة ِ إ ُ َ ْ ة ُ ان صُ َ ا ح َ ن َ ث ُ د َ ُّي، ح ِ ان َ ٌ رْ َ ه ْ َب ال ٔ ُ ل ْ ػ َ ِ ي ي ب َ أ ُ َ ْ ة ُ د ُ ٍ َ ح ُ ا م َ ن َ ث ُ د َ ح ُ ّ ُ ُ َ : »أ ُ ه َ د َ ب ْ خ َ أ رَ َ ٍ ُ غ َ َ ْ ا ِهلل ة َ د ْ ت َ غ ُ ن َ : أ ٌ ًِ اى ي شَ ِ ن َ د َ ب ْ خ َ ، أ ٌ د ُ ٍ َ ح ُ م َ ال َ ُص ك ُ ٔن ُ ا ي َ ن َ ث ُ د َ ح ِّ ْ ي َ ل َ ع ى اهللُ ُ ل صَ ِ يّ ِ ب ُ ِليِ رُ َ ٍ ُ غ رَ َ ن َ ذ َ ، ف ٌ ِض ائ َ ِهَي ح َ و ُ ّ َ ح َ أ رَ ْ اٌ َ ق ُ ي َ غ ُ ً ُ ا، ذ َ ٓ ْ ِجػ ا َ د ُ :ِ لي َ ال َ ك ُ ً ُ ، ذ َ ً ُ ي شَ َ ِّ و ْ ي َ ل َ ع ى اهللُ ُ ل ا ِهلل صَ ُ ٔل شُ َ ِّ ر ْ ي َ ل َ ع ُؼ َ ي َ غ َ خ َ ، ف َ ً ُ ي شَ َ و ا َ ٓ َ ِ ل ّ ي َ ػ ُ ي ْ ن َ أ ُ ه َ ا ل َ د َ ة ْ ِ ن إ َ ، ف رَ ُ ٓ ْ ػ َ خ َ ف ِحيض َ َ ت ُ ً ُ ، ذ رَ ُ ٓ ْ ػ َ ى ح ُ ت َ ا ح َ ٓ ْ ِصه ْ ٍ ُ ِي ى ا257 َ ٓ ْ ِ ل ّ ي َ ػ ُ ي ْ ي َ ف Alnchy[: ‚Dalam riwayat lain dikatakan: Bahwa Ibnu Umar mentalak salah seorang istrinya haid dengan sekali talak. Lalu umar menyampaikan hal itu kepada Nabi SAW., g[e[ \_fc[o \_lm[\^[: ‚Solobf[b ^c[ ohnoe merujuknya, kemudian bolehkah ia menolaknya jika suci [n[o e_nce[ c[ b[gcf.‛ Menurut An-Nafahat Al-Makkiyah / Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi, wanita-wanita yang ditalak oleh suami-suami mereka hendaklah menahan diri (menunggu), artinya hendaklah mereka menunggu dan menjalani iddah selama tiga kali quru’, y[cno b[c^ atau suci. Menurut perbedaan pendapat para ulama 257 Lihat riwayat Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Riyadh: Bait al-Afkar, 1998), hlm. 1039.


Hukum Keluarga Islam 215 tentang maksud dari quru’ n_lm_\on, ^[h y[ha \_h[l \[bq[ kolo’ cno [^[f[b b[c^. Iddah ini memiliki beberapa hikmah, diantaranya adalah mengetahui kosongnya rahim, yaitu apabila telah berulang-ulang 3 (tiga) kali haid padanya, maka tidak diketahui bahwa dalam lahirnya tidak terjadi kehamilan hingga tidak akan membawa kepada tercampurnya nasab. Karena itu, Allah SWT. mewajibkan atas mereka untuk memberitahu tentang apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, dan Allah SWT. mengharamkan bagi mereka menyembunyikan hal itu, baik kehamilan maupun haid, karena menyembunyikan hal itu akan menyebabkan kemudharatan yang sangat banyak. Menyembunyikan kehamilan berkonsekuensi dinasabkannya janin kepada orang yang bukan haknya, yang boleh jadi tidak menginginkannya, atau demi mempercepat habisnya masa iddah. Apabila diikutkan (dinasabkan) kepada selain bapaknya, niscaya tali rahimnya terputus dari keluarga, juga warisan, dan mahram dan karib kerabatnya terhalang darinya, dan bisa saja suatu saat dia menikah salah seorang dari mahramnya dan dinasabkan kepada selain ayahnya dan tetapnya hal-hal yang mengikutinya seperti warisan darinya atau untuknya. Aisarut Tafasir / Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, mudarris tafsir di Masjid Nabawi, yakni yang masih mengalami haid dan sudah dicampuri (karena wanita yang belum sempat dicampuri tidak menjalani masa 'iddah). Adapun wanita yang sudah menopause (berhenti haid) dan wanita kecil yang belum mengalami haid,


216 Hukum Keluarga Islam maka 'iddahnya adalah tiga bulan. Sedangkan wanita yang hamil, 'iddahnya sampai melahirkan sebagaimana diterangkan dalam surat Ath Thalaq. Adapun budak wanita, maka 'iddahnya adalah dua kali quru' sebagaimana dikatakan para sahabat. C. Paradigma Dalam Q.S. Al-Baqarah, 2 : 228 dijelaskan bahwa hukum talak sebagai penyempurnaan bagi hukum-hukum yang tersebut pada ayat-ayat sebelumnya. Apabila istri yang mempunyai masa haid, dicerai oleh suaminya, maka hendaklah dia bersabar menunggu tiga kali quru', baru boleh kawin dengan laki-laki yang lain. Tiga kali quru', ialah tiga kali suci menurut pendapat jumhur ulama. Ini dinamakan masa iddah, yaitu masa harus menunggu. Selama dia masih dalam masa iddah, ia tidak boleh menyembunyikan apa yang telah terjadi dalam kandungannya, apakah dia telah hamil atau kah dalam haid kembali. Setiap istri yang beriman kepada Allah SWT. dan hari kiamat dia harus jujur dan mengakui terus terang apa yang telah terjadi dalam rahimnya. Pada masa jahiliyah, di kalangan istri-istri yang tidak jujur, sering tidak mengatakan bahwa dirinya telah hamil. Setelah iddah-nya habis dia kawin lagi dengan laki-laki lain, maka tidak lama sesudah kawin lahir anaknya, terjadilah perselisihan dan pertengkaran antara kedua suami istri. Apabila mantan suami tidak mengakui bahwa itu anaknya, maka teraniayakah bayi yang tidak bersalah itu, disebabkan ibunya tidak jujur ketika masih dalam masa iddah. Ada pula terjadi pada masa itu, istri tidak mau berterus terang bahwa


Hukum Keluarga Islam 217 iddah-nya sudah habis, dia mengatakan masih dalam haid, maksud dia berbohong itu, agar suaminya tetap memberi belanja kepadanya selama dia dalam iddah, maka turunlah ayat ini melarang istri yang dicerai menyembunyikan apa yang terjadi dalam rahimnya.258 Berdasarkan Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah/ Markaz Ta'dzim al-Qol’[h ^c \[q[b j_ha[q[m[h Sy[ceb Prof. Dr. Imad Zuhair Hafidz, Professor Fakultas al-Qol’[h Universitas Islam Madinah, menjelaskan bahwa :259 (Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri) y[ehc g_hohaao nca[ e[fc kolo’. D[h chc [^[f[b y[ha disebut dengan masa iddah talak, yakni masa setara dengan tiga kali haid. (Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah) Terdapat ancaman keras bagi wanita yang menyembunyikan apa yang ada dalam rahimnya sehingga siapa yang menyembunyikan di antara mereka maka ia tidak berhak untuk mendapatkan julukan sebagai orang yang beriman. (Dan suami-suaminya berhak merujuknya). Yakni, suami-suami mereka lebih berhak untuk rujuk kembali kepada istri-istri mereka (dalam masa menanti itu). Yakni masa iddah, namun apabila masa iddah telah selesai sedang suami-suami mereka tidak merujuk mereka maka istri-istri tersebut lebih berhak atas diri mereka. 258 Taufiq Product, Qur‟an In MS Word, Tafsir Lengkap Departemen Agama. 2018. Versi 3.0.0.0. 259Tafsir Web, https://tafsirweb.com/869-quran-surat-al-baqarah-ayat-228.html (di akses 2 Juni 2021).


218 Hukum Keluarga Islam (Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajc\[hhy[ g_holon ][l[ y[ha g[’lon). Yakni sang suami menggauli istri dengan pergaulan yang baik, dan begitu pula dengan sang istri. (Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya). Yakni, derajat yang tidak dimiliki sang istri, berupa pemberian nafkah, dan termasuk sebagai ahli jihad, pengaturan, dan kekuatan. Sehingga wajib bagi sang istri untuk mentaati perintah dan memenuhi permintaan sang suami dalam urusanurusan rumah tangga, kekeluargaan dan dirinya yang tidak mengandung kemaksiatan kepada Allah. Dan dalam ayat ini, terdapat dalil bahwa seorang wanita itu dipercaya apabila mengabarkan bahwa masa iddahnya telah selesai apabila waktu yang telah berlalu memungkinkan. D. Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Masa ‘I^^[b Hak suami istri dalam masa ‘c^^[b, tentu berbicara tentang kewajiban keduanya dalam memenuhi hak masing-masing mereka. Adapun hak-hak suami dalam masa ‘c^^[b, yaitu rujuk kepada bekas istrinya, hak untuk istrinya agar tidak menikah dalam masa tersebut, serta suami berhak untuk istrinya agar tidak keluar dari rumah. Adapun hak istri dalam masa ‘c^^[b, di antaranya adalah berhak mendapatkan harta nafkah, berhak mendapat perlakuan baik dari suaminya, karena masa ‘c^^[b talak l[d’c itu bukan lah masa perpisahan yang sesungguhnya. Menurut al-J[z[clc, g[m[ ‘iddah


Hukum Keluarga Islam 219 merupakan masa yang memberi kesempatan kepada suami untuk kembali kepada istri. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, d[f[g ecn[\hy[ ‚Zā^ [fM[’ā^‛, g_hy_\one[h \[bq[ lodoe g_loj[e[h b[e suami sebagaimana dia berhak menjatuhkan talak terhadap istrinya.260 Wahbah Zuhaili juga menjelaskan, bahwa rujuk merupakan hak suami dalam penantian istri dalam perceraiannya. 1. Pandangan Ulama tentang Rujuk dalam Masa ‘I^^[b Dalam hal persaksian rujuk, terdapat beberapa pendapat. Pendapat pertama, mengharuskan adanya saksi dalam rujuk, sedangkan pendapat lain tidak mensyaratkan adanya saksi dalam rujuk. Menurut Ig[g Sy[`c’c, e_q[dc\[h mo[gc gendatangkan saksi ketika suami hendak rujuk pada istrinya.261 Sedangkan menurut pendapat jumhur ulama, keberadaan saksi dalam rujuk tidak diwajibkan melainkan disunnahkan. Menurut kesepakatan fuqaha, suami yang menjatuhkan talak memiliki hak untuk merujuk istri dengan ucapan, juga dengan perbuatan menurut mazhab Hanafi, Hambali, dan Malik, selama dia (istri) masih berada dalam masa iddah. Hal ini dapat dilakukan tanpa harus meminta izin atau keridhaan dari bekas istrinya.262 260 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Mukhtaṣar Zad al-Ma‘ad, ed. In, Zadul Ma‘ad: Jalan Menuju ke Akhirat, (terj: Kathur Suhardi), cet. 3, (Jakarta: Gema Insani Press, 2011), hlm. 340. 261Abdul Aziz Muhammad Azzam & Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fikih Munakahat, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 277. 262 Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam, edisi kedua, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 290.


220 Hukum Keluarga Islam Dalam Islam, hak rujuk akan hilang ketika masa ‘c^^[b istri telah berakhir.263 Jika telah selesai masa ‘c^^[b, dan suami ingin kembali rujuk, maka suami diharuskan melakukan akad nikah baru dan dengan mahar yang baru. Dalam hukum Islam, juga ditetapkan bahwa suami tidak dibenarkan mempergunakan hak rujuk dengan tujuan yang tidak baik. Misalnya, suami menggunakan hak rujuk untuk menyengsarakan istrinya atau untuk mempermainkannya. Karena hal tersebut merupakan bentuk kezaliman suami.264 Dengan demikian, meski rujuk sebagai hak, maka hak tersebut tidak bisa digunakan secara semena- mena. Untuk mengetahui metode istinbat hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hak rujuk suami tanpa izin istri, terlebih dahulu harus diketahui dalil apa saja yang digunakan ulama dalam menetapkan hak rujuk suami tersebut. Dasar hukum rujuk, yaitu Q.S. Al-Baqarah ayat 228-229. Kemudian, dasar hukum lainnya, yaitu ketentuan Q.S. At-Ṭ[fāk ayat 2. Selanjutnya, dalil yang lebih rinci ditemukan dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 231.265 Terhadap dalil-dalil di atas, ulama sepakat bahwa rujuk merupakan hak suami. Hak rujuk ini tidak memerlukan izin dari istri. Sebagaimana talak, rujuk adalah hak prerogatif suami, dan istri harus 263 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islām..., hlm. 384. 264 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islām..., hlm. 384. 265 Arifin Abdullah, dkk. “Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam, Kedudukan Izin Rujuk Suami dalam Masa „Iddah (Analisis Perspektif Hukum Islam). Volume 2 No.2. Juli-Desember 2018.


Hukum Keluarga Islam 221 menerima keputusan suami untuk rujuk atau tidak. Atas dasar itu, muncul pendapat ulama bahwa rujuk bi al-`c’fc (dengan perbuatan) adalah sah, tanpa perlu membicarakannya terlebih dahulu dengan istri.266 Mengenai metode cmnch\āṭ hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hak rujuk pada suami tanpa izin istri, tampak menggunakan metode \[y[hī atau disebut juga dengan metode lughawiyyah, 18 yaitu metode dengan melihat pada kaidah kebahasan dalil al-Quran. Maksudnya, kaidah-kaidah kebahasaan yang terdapat dalam dalildalil rujuk dianalisa sedemikian rupa, sehingga mendapatkan satu pemahaman, berangkat dari pemahaman tersebut kemudian dikeluarkan satu produk hukum. Menurut ulama mazhab, baik Hanafi, Maliki, Sy[`c’c, ^[h H[h\[fc, \_m_ln[ j_haceon-pengkikutnya, menyatakan bahwa ketentuan Q.S. Al- Baqarah ayat 228, ayat 229, ayat 231, kemudian ketentuan surat Q.S. At-Ṭ[fāk [y[n 2 \_lmc`[n ogog (‘am). Artinya, keumuman ayat tersebut memberikan hak penuh kepada suami untuk merujuk istrinya tanpa menimbang adanya izin dan persetujuan dari istri. Sementara itu, tidak ada dalil yang khusus baik dalam al-Quran maupun hadits yang mengharuskan rujuk ada izin istri. Atas pertimbangan itulah, ulama menetapkan rujuk merupakan hak suami yang tidak memerlukan izin istri. 266 Ibnu Rusyd, Bidāyah al-Mujtahid..., hlm. 273.


222 Hukum Keluarga Islam Dalam fikih empat imam mazhab, tidak disebutkan izin istri masuk sebagai syarat rujuk, apalagi masuk dalam rukun rujuk. Imam Hanafi menyatakan rukun rujuk hanya ucapan rujuk. M_holon g[zb[\ M[fcec, Sy[`c’c ^[h H[g\[fc menetapkan rukun rujuk itu, yaitu ucapan rujuk dan suami. Imam Malik menambahkan suami boleh rujuk dengan perbuatan dengan disertai niat untuk rujuk, sementara imam Ahmad membolehkan rujuk dengan perbuatan meski tidak disertai niat. S_^[hae[h cg[g Sy[`c’c nc^[e g_g\if_be[h lodoe dengan perbuatan, melainkan dengan kata-kata.267 Berdasarkan uraian tersebut, tidak ditemukan pendapat ulama yang mensyaratkan izin istri dalam rujuk. Karena, rujuk merupakan hak istimewa sebagai imbangan atas hak talak yang dimilikinya. Melalui telaah atas kaidah-kaidah umum ayat n_hn[ha lodoe n_lm_\on (\[y[hī), of[g[ nc^[e g_fcb[n adanya keharusan, bahkan tidak ditemukan dalam yang khusus membicarakan izin istri dalam rujuk. 2. Iddah Talak Wanita yang Subur Apabila seorang suami menceraikan istrinya (talak satu atau talak dua), maka suami tersebut berhak merujuk istrinya. Namun jika ia menceraikan istrinya talak tiga, maka rujuknya itu telak dinasakh 267 Ibnu Rusyd, Bidāyah al-Mujtahid..., hlm. 273. Muhammad Jawad Mughniyyah, al-Fiqh ‗alā al-Mażāhib al-Khamsah, ed. In, fiqih Lima Mazhab: Ja‘fari, Hanafi, Maliki, Syafi‘i, Hanbali, (terj: Abdul Ghoffar, dkk), jilid 8, (Jakarta: Lentera, 2005), hlm. 205-208.


Hukum Keluarga Islam 223 dengan firman Allah SWT.268 Apabila suami mentalak istrinya dalam keadaan suci dan kemudian si istri haid, masa ‘c^^[b-nya habis setelah menjalani dua masa suci yang dan mulai masuk haid ketiga. Apabila dia mentalak istrinya dalam kondisi haid, dia mesti menjalani ‘c^^[b selama tiga penyucian yang m_gjolh[. ‘Iddah-nya selesai begitu haid keempat habis. Perempuan yang dimaksud dalam ayat tersebut, ialah yang sudah pernah dicampuri dan dalam keadaan tidak hamil (baik yang masih haid ataupun yang sudah tidak haid). Sebab, perempuan yang belum pernah dicampuri tidak ada ‘iddah-nya. Dalam memahami kata kolo’, terdapat perbedaan ulama, ada yang mengatakan suci, dan ada pula yang mengatakan haid, adapun yang menyatakan bahwa kolo’ berarti masa suci seperti Imam Syafii dan Imam Malik, alasannya adalah hadits yang ^clcq[y[ne[h ^[lc Acmy[b, c[ \_le[n[ ‚Tahukah kamu, [j[e[b [kl[’ cno? Akl[’ [^[f[b mo]c‛. Imam Syafii g_ha[n[e[h: ‚Perempuan dalam hal ini lebih tahu. Sebab peristiwa itu hanya terjadi pada diri perempuan.‛ Dcj_leo[n Fclg[h Aff[b SWT., ‚H_h^[ef[b e[fc[h ]_raikan mereka pada waktu g_l_e[ ^[j[n (g_hab[^[jc) ‘c^^[b-nya (yang wajar).‛ (Q.S. Anb-Thalaq [65] : 1).269 Di mana sudah 268 Syaikh Imam Al Qurthubi. Tafsir Al-Qurthubi, Cet.I. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, hlm. 243. 269 Zuhaili, Wahbah. Fiqih Imam Syafi‟i. Cet. I. (Jakarta: Amahira), 2010, hlm. 5.


224 Hukum Keluarga Islam jelas, bahwa talak di waktu haid itu dilarang. Maka yang dimaksud ayat ini, yaitu: talak mereka dalam keadaan suci. Jadi, kolo’ yang dimaksud dalam ayat di atas, berarti suci.270 3. Hukum Rujuk Hukum rujuk ada lima, yakni:271 a. Wajib, apabila suami yang menceraikan salah seorang istrinya dan dia belum menyempurnakan pembagian waktunya terhadap istri yang diceraikan itu. b. Haram, apabila rujuk itu menjadi sebab mendatangkan kemudaratan kepada istri tersebut (menyakiti hati istrinya). c. Makruh, apabila perceraian itu lebih baik diteruskan daripada rujuk. d. Jaiz (boleh), ini adalah hukum rujuk yang asli (hukum asalnya), sesuai dengan hadits dari Rasulullah SAW. y[ha [lnchy[: ‚Dari ibnu Umar ra. diriwayatkan ketika ia menceraikan istrinya, Nabi SAW. bersabda kepada Umar (Ayah Ibnu Umar): Suruhlah ia merujuk istrinya‛ (H.R. Monn[`[k ‘[f[cb). e. Sunah, sekiranya ternyata mendatangkan 270 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni. (Surabaya : PT. Bina Ilmu), 2008, hlm. 229. 271Afrilia Wendra, ―Pernikahan, Talak, Dan Rujuk Dalam Islam‖, ―PERNIKAHAN, TALAK DAN RUJUK DALAM ISLAM‖ - Segores Info (segores-info.blogspot.com), diakses pada 4 Juni 2021.


Hukum Keluarga Islam 225 kebaikan bagi semua pihak (termasuk anak).272 4. Rukun dan Syarat Rujuk dalam Islam Rukun dan syarat-syarat rujuk adalah hal yang harus dipenuhi untuk terlaksananya sebuah perbuatan rujuk tersebut.273 Di antara rukun dan syarat-syarat rujuk tersebut adalah sebagai berikut : a. Istri sudah dicampuri oleh suaminya b. Istri yang tertentu c. Talak yang dijatuhkan talak l[d’c d. Rujuk terjadi sewaktu istri masih dalam masa ‘c^^[b talak l[d’c. e. Suami dilakukan atas kehendak sendiri/tidak dipaksa.274 f. Saksi. Sebagian ulama berpendapat wajib dan tidak wajib, melainkan hanya sunnah.275 g. Adanya perkataan/ucapan rujuk yang diucapkan oleh laki-laki h. Sighat (lafadz). Ada 2 (dua) macam: 1) Terang-n_l[ha[h, gcm[fhy[ ^ce[n[e[h: ‚Saya e_g\[fc e_j[^[ cmnlc m[y[,‛ [n[o ‚Saya rujuk kepadamu‛. 272 Ibrahim dan Darsono, Penerapan Fiqih, (Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), hlm. 109. 273 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, …, hlm. 341. 274 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, …, hlm. 328. 275 Ibid, hlm. 238.


226 Hukum Keluarga Islam 2) M_f[foc mch^cl[h. Mcm[fhy[, ‚Saya pegang _hae[o‛, atau ‚g_hce[bc _hae[o‛. E. Prosedur Pelaksanaan Rujuk Tata cara dan prosedur rujuk telah diatur dalam Peraturan Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 1975 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam melaksanakan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan bagi yang Beragama Islam, kemudian dikuatkan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 167, 168, dan 169. Dalam Permenag RI tersebut, rujuk diatur dalam Pasal 32, 33, 34, dan 38. Pasal 167 Kompilasi menyatakan: 1. Suami yang hendak merujuk istrinya datang bersamasama istrinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami istri dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan. (Dalam Pasal 32 ayat (1) Permenag RI No. 3/75 hanya menyebut PPN atau P3NTR yang mewilayahi tempat tinggal istri). 2. Rujuk dilakukan dengan persetujuan istri dihadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah. 3. Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk


Hukum Keluarga Islam 227 yang akan dilakukan itu masih dalam 'iddah talak raj'i, apakah perempuan yang akan dirujuk itu adalah istrinya. 4. Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masingmasing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk. 5. Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah menasihati suami istri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk. (Lihat Ps. 32 ayat (2), (3), (4), dan (5) Permenag, Nomor 3/1975). Uraian tersebut di atas menjelaskan bahwa pada prinsipnya rujuk baru dapat dilaksanakan setelah persyaratan normatif maupun teknis telah dipenuhi. Yang normatif misalnya, apakah istri yang akan dirujuk itu masih ^[f[g g[m[ ‚c^^[bhy[, [n[o [j[e[b j_l_gjo[h y[ha [e[h dirujuk itu adalah benar-benar bekas istrinya. Begitu juga dengan kehadiran dua orang saksi. Yang bersifat teknis, apakah petugas PPN atau P3N yang ditunjuk sesuai dengan kompetensi wilayahnya. Selanjutnya, setelah rujuk dilaksanakan, lebih banyak bersifat teknis administratif, yang menjadi tugas dan kewenangan Pegawai Pencatat Nikah atau P3NTR. Kompilasi Pasal 168 menyatakan: 1. Dalam hal rujuk dilakukan di hadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, daftar rujuk dibuat rangkap 2 (dua), diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahinya,


228 Hukum Keluarga Islam disertai surat-surat keterangan yang diperlukan untuk dicatat dalam Buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan. 2. Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan selambatlambatnya 15 (lima belas) hari sesudah rujuk dilakukan. 3. Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinan dari daftar lembar kedua dengan berita acara tentang sebab-sebab hilangnya. (Lihat Pasal 33 Permenag RI Nomor 3/1975). Selanjutnya Pasal 169 Kompilasi menguraikan langkah administratif lainnya: 1. Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan pengirimannya kepada Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada suami-istri Masing-Masing diberikan Kutipan Bukti Pendaftaran Rujuk menurut contoh yang ditetapkan oleh Menteri Agama. 2. Suami istri atau kuasanya dengan membawa Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk tersebut datang ke Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan Akta Nikah masingmasing yang bersangkutan setelah diberi catatan oleh Pengadilan Agama dalam ruang yang telah tersedia pada Kutipan Akta Nikah tersebut, bahwa yang bersangkutan telah rujuk. 3. Catatan yang dimaksud ayat (2) berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal


Hukum Keluarga Islam 229 Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan tanda tangan panitera. (Pasal 34 Permenag Nomor 1/1975). Seperti halnya perkawinan, yang hanya bisa dibuktikan dengan Akta Nikah, maka dalam rujuk pun demikian. Ini dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban hukum dan administrasi yang muaranya adalah untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Dalam terminologi Ushul Fikih, inovasi hukum semacam ini, dibangun atas dasar metode maslahah mursalah, yaitu membangun suatu hukum untuk mewujudkan kemaslahatan, yang tidak ada diatur oleh nash, baik yang mengatur atau melarangnya.276 276 Lihat Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, edisi revisi, cet. ke-1, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 258


230 Hukum Keluarga Islam XIV A. Adab dalam Berhubungan Suami Istri dalam Pandangan Hukum Islam Memang secara kodrati laki-laki dan perempuan merupakan makhluk Allah yang memiliki perbedaan sekaligus persamaan. Namun, hal itu bukan berarti yang satu lebih unggul atau utama dari pada yang lain, sehingga menyulut terjadinya diskriminatif. Adanya perbedaan dan persamaan antara keduanya merupakan sunnatullah yang sengaja diciptakan Allah demi kelangsungan hidup generasi manusia dalam mengemban tugas kekhalifahan di muka bumi ini. Akan tetapi, sebagian orang-orang yang mengusung kesetaraan gender atau kaum feminisme beranggapan bahwa perempuan dianggap sosok yang selalu


Hukum Keluarga Islam 231 mendapatkan tindakan diskriminatif, menjadi makhluk paling lemah serta dinilai sebelah mata. Banyak kasus terungkap dengan judul kekerasan dalam rumah tangga, eksploitasi ekonomi dan seksual, keterbelakangan pendidikan dan sosial, korban stereotip sehingga perempuan menjadi kelompok marginal dan minoritas di tengah jumlahnya yang mayoritas.277 Lebih parah lagi, kaum feminis atau tokoh misoginis beranggapan bahwa Islam adalah agama yang merendahkan kaum perempuan dengan menyematkan f[\_f ‚eol[ha [e[f/\_l[e[f m_n_ha[b‛ ^[h ‚eol[ha [a[g[hy[/\_l[a[g[ m_n_ha[b‛ j[^[ ^clc j_l_gjo[h. Menurut mereka, Islam senantiasa menempatkan laki-laki sebagai makhluk superior, sementara perempuan sebagai inferior, karena akal dan fisik laki- laki dianggap lebih unggul dari pada akal dan fisik perempuan. Hal ini akibat dari praktek keagamaan yang menganut bias kultur patriarki yang mengakibatkan penindasan dan kesewenangwenangan terhadap perempuan.278 Salah satu di antara hadits-hadits yang dianggap oleh kaum feminis sebagai bukti bahwa Islam adalah agama yang misoginis adalah hadits yang menyatakan bahwa wanita akan menjadi penghuni neraka secara mayoritas dan merupakan makhluk yang lemah dari segi akal dan agamanya. Mereka menganggap bahwa hadits ini jelas merendahkan kemampuan akal wanita dengan adanya bukti lain yaitu kesaksian dua wanita adalah sama dengan 277 Habieb Bullah, Hadis Tentang Perempuan Setengah Akal Dan Agamanya Studi Ma‟anil Hadis, Tahdis Vol.11 Nomor 2 Tahun 2020 278 Dina Y. Sulaiman, “Feminisme Dan Kesalahan Paradigma”, Dalam Http://Dinasulaeman.Wordpress.Com (6 April 2023)


232 Hukum Keluarga Islam kesaksian seorang laki-laki.279 Bahkan di antara mereka ada yang yang berpendapat bahwa hadits ini merupakan salah satu dari ribuan hadits yang dipalsukan dan dinyatakan sebagai sunnah Nabi Saw. Menurut mereka, hadits ini tidak bisa diterima karena tidak masuk akal dan tidak sejalan dengan ayat al-Qol’[h.280 Di sisi lain, mereka juga menyatakan bahwa, karena status hadits ini tidak mutawattir dan bukan pula masyhur, dikalangan para ahli hadits sendiri menilai bahwa statusnya adalah tentatif (dzanni). Karena statusnya dzanni dan kandungannya meragukan, maka tidak boleh meyakininya begitu saja.281 Dalam penelitiannya, Agus Moh. Najib mengatakan bahwa agama Islam menempatkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang sejajar. Islam datang mendobrak budaya dan tradisi patriarki bangsa Arab, bahkan dapat dikatakan dengan cara yang revolusioner. Islam datang dengan mengecam penguburan bayi-bayi perempuan, membatasi poligami, memberikan hak waris dan hak-hak lainnya kepada perempuan sesuai dengan fungsi dan peran sosial perempuan ketika itu. Dengan demikian semangat dan pesan universal yang dibawa Islam pada dasarnya adalah persamaan antara laki-laki dan perempuan serta berusaha menegakan kesetaraan dalam masyarakat.282 Yang sering disebut dengan keadilan gender. 279 Ahmad Fuadhaili. Perempuan Di Lembaran Suci, h. 151. 280 Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam. terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, (Jakarta; LSPPA, 1994), h. 112 281 Masdar F. Mas‖udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan (Bandung, Mizan, 1997), h. 160-161. 282 Hamim Ilyas dkk, Perempuan Tertindas, Kajian Hadis-Hadis Misoginis (Yogyakarta:Elsaq Press dan PSW, 2008), h.31


Click to View FlipBook Version