Tiraikasih website http://kangzusi.com
Sandra Brown
Dalam Derai Hujan
Bittersweet Rain
Ebook oleh : kiriman Titi Zhu
Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://kang-zusi.info/
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Bab 1
”ANDA yakin?" Dokter itu mengangguk muram. Seragam
operasinya yang berwarna hijau masih bersih. Ia tidak cukup lama
berada di ruang operasi, tidak sampai membuatnya keringatan.
"Maafkan saya, Mrs. Lancaster. Penyakitnya sudah menjalar ke
mana‐mana."
"Tak ada cara untuk menyembuhkannya?"
"Kecuali untuk mengurangi rasa sakitnya, tidak ada." Si dokter
menyentuh lengan Mrs. La'ncaster dan melirik pria yang berdiri di
samping wanita itu dengan penuh arti. "Ia takkan mampu ber‐tahan
lama. Maksimal beberapa minggu."
"Ya, saya paham...." Mrs. Lancaster menyeka matanya dengan
tisu yang basah dan kusut.
Iba hati si dokter melihat wanita itu. Ketika keluarga pasien
menjadi histeris saat mendengar kondisi buruk si pasien, ia merasa
mampu me‐nenangkan mereka. Namun sikap berani perem‐puan
tersebut, yang penampilannya sangat feminin dan rapuh, ketika
menerima kabar tadi membuatnya merasa seperti dokter yang
belum berpengalaman dan canggung. "Andai suami Anda
memeriksakannya lebih cepat, barangkali...."
Mrs. Lancaster menyunggingkan senyum getir, kehilangan
harapan. "Tetapi ia tidak mau. Sudah saya bujuk dia untuk
memeriksakan perutnya yang tidak enak. Ia berkeras itu cuma
masalah pencernaan."
"Kita semua tahu Roscoe keras kepala," pria yang berdiri di
samping Mrs. Lancaster menyela. Dengan lembut Granger Hopkins
menggenggam‐kan jari‐jari Caroline Lancaster di lengannya.
"Apakah ia boleh menjenguknya?"
"Beberapa jam lagi," sahut si dokter. "Pengaruh obat biusnya
baru akan hilang nanti sore. Bagai‐mana kalau Anda berdua pulang
saja dulu dan beristirahat?"
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Caroline mengangguk. Dibiarkannya Granger, pengacara yang
juga sahabatnya, menggandengnya menuju lift. Mereka menunggu
lift dalam diam. Caroline merasa agak bingung, tapi tidak terkejut.
Hidupnya tidak pernah berjalan mulus‐mulus saja dan tanpa
masalah. Mengapa ia begitu ber‐pegang pada harapan bahwa
operasi besar Roscoe hanya akan membuktikan suaminya itu cuma
mengidap usus buntu?
"Kau tak apa‐apa, kan?" Granger bertanya lembut ketika pintu
lift menutup dan mereka aman dari tatapan menyelidik orang‐orang
di sekeliling mereka.
Mrs. Lancaster menarik napas panjang. "Sebaik yang mampu
dirasakan perempuan yang mengetahui suaminya akan meninggal.
Segera."
"Maafkan aku."
Caroline menatap Granger dan tersenyum. Hati Granger luluh.
Senyum Caroline, yang sering bagai minta maaf untuk kekurangan‐
ke‐kurangan yang tak kasat mata, mampu meng‐gugah perasaan
pria maupun wanita. "Aku kenal siapa dirimu, Granger. Tak bisa
kuungkapkan dengan kata‐kata betapa bahagianya aku punya
sahabat seperti dirimu."
Mereka berjalan melintasi lobi rumah sakit yang baru direnovasi.
Beberapa karyawan rumah sakit dan pengunjung sekilas melirik
Caroline, tapi kemudian cepat‐cepat membuang pandang. Wajah‐
wajah yang dipalingkan itu dipenuhi rasa ingin tahu tetapi tetap
penuh rasa hormat. Semua orang sudah tahu. Saat warga
terpandang di kota sekecil Winstonville sakit berat, beritanya akan
tersebar cepat ke seluruh penjuru kota.
Granger menemani Caroline sampai ke mobil dan membukakan
pintu untuknya. Caroline ma‐suk ke mobil tapi tidak langsung
menghidupkan mesinnya. Ia duduk, pandangan matanya jauh ke
depan, tenggelam dalam pikirannya, cemas, sedih. Begitu banyak
yang harus diurusnya. Dari mana ia mesti mulai?
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Rink harus diberitahu."
Nama itu menghunjam tubuh Caroline bak pemecah es, dingin,
tajam, dan menusuk. Nama tersebut seakan menusuk organ‐organ
penting dalam tubuhnya. Nama laki‐laki itu menggemu‐ruh di dalam
benaknya. Perasaan sakit saat men‐dengar nama itu membuat
Caroline merasa sekujur tubuhnya seperti lumpuh seketika.
"Caroline, kaudengar apa yang kukatakan? Aku bilang—"
"Ya, aku dengar."
"Sebelum masuk ke ruang operasi, Roscoe memintaku segera
menghubungi Rink bila hasil pemeriksaan dokter tentang
penyakitnya buruk."
Mata yang berwarna asap itu menatap si pengacara. "Roscoe
memintamu menghubungi Rink?"
"Ya. Ia dengan tegas meminta aku mengontak Rink."
"Aneh. Kukira permusuhan di antara mereka takkan pernah
terdamaikan."
"Roscoe sekarat, Caroline. Kurasa ia tahu, begitu masuk rumah
sakit ia takkan pernah meninggalkannya. Ia ingin melihat putranya
se‐belum meninggal."
"Mereka tak pernah berjumpa atau bicara pada satu sama lain
selama dua belas tahun, Granger. Aku tak bisa memastikan apakah
Rink bersedia datang."
"Rink pasti datang kalau tahu situasinya seperti mi.
Akankah ia datang ke sini? Oh, Tuhan, apakah laki‐laki itu akan
datang ke sini? Apakah ia akan bertemu Rink kembali? Bagaimana
pe‐rasaannya bila mereka benar‐benar bertemu? Bagaimana
rupanya sekarang? Peristiwa itu sudah lama berlalu. Dua belas
tahun yang lalu. Jari Caroline mencengkeram kemudi mobil Lincoln‐
nya yang empuk. Telapak tangannya basah. Caroline merasa sekujur
tubuhnya juga basah.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Jangan terlalu mencemaskannya," ujar Granger, yang
merasakan keresahan yang me‐nyergap Caroline. "Karena kau tidak
kenal Rink, biar aku yang menelepon dan menyampaikan berita ini
padanya."
Caroline tidak ingin mengoreksi pendapat Granger yang
mengganggapnya tidak mengenal Rink. Bahwa mereka saling
mengenal dengan baik merupakan rahasia selama dua belas tahun.
Ia tidak ingin menyingkap rahasia itu saat ini. Ia malah
menumpangkan tangannya di tangan Granger yang diletakkan di
jendela pintu mobilnya. "Terima kasih untuk semuanya."
Wajah Granger bersahaja dan biasa saja, mirip muka anjing jenis
basset, panjang dan murung. Pipinya menggelayut seperti tas kulit
kosong yang tergantung di kedua sisi rahangnya. Waktu Caroline
mengelus pipinya, wajah Granger merah padam seperti remaja. Ia
sudah keriput dan bungkuk, gerakannya lamban, bicaranya lembut
dan ramah, tetapi penampilan dan perilakunya itu mengelabui
banyak orang. Di balik wajahnya yang biasa itu tersembunyi otak
yang cerdik dan jujur. "Aku senang bila bisa menolongmu. Apa lagi
yang bisa kubantu?"
Caroline menggeleng. Ia lega Granger bersedia menelepon Rink.
Mana mungkin ia sanggup melakukan hal itu? "Aku harus
memberitahu Laura Jane." Bola matanya yang keabu‐abuan
berkaca‐kaca. "Menyampaikan berita seperti ini pada Laura bukan
hal mudah."
"Kau yang paling mampu melakukannya." Granger mengelus
tangan Caroline lalu melang‐kah mundur. "Nanti sore kutelepon
lagi. Bila perlu, aku bersedia mengantarmu kembali ke rumah sakit."
Caroline mengangguk, menyalakan mesin mo‐bil, dan
memasukkan gigi. Lalu lintas kota padat ketika ia melaju. Roscoe,
suaminya, dijadwalkan dioperasi pagi dini hari tadi. Siang begini
dunia sedang sibuk‐sibuknya. Orang‐orang membereskan urusannya
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
sebagaimana biasanya, mereka tidak menyadari dunia Caroline
Dawson Lancaster untuk kesekian kalinya kembali akan terjungkal.
Pria yang disayanginya, yang semula majikan‐nya, kemudian
menjadi suaminya, akan mening‐gal. Masa depannya, yang selama
ini tampaknya aman, kembali akan mengalamai kekacauan. Ke‐
matian Roscoe tidak hanya akan membuatnya kehilangan seseorang
yang begitu berarti dalam hidupnya, tetapi juga kehilangan
kehidupan baru‐nya.
Caroline mengemudikan mobil melewati Lancaster Gin. Mereka
akan panen raya kapas tahun ini. Mandor‐mandor pabrik harus
segera diberitahu perihal keadaan Roscoe. Ia yang harus
memberitahukannya, karena selama beberapa bu‐lan ini, sejak
kesehatan Roscoe tak memungkin‐kannya menjalankan bisnis, ialah
yang melakukan semuanya. Para mandorlah nantinya yang akan
meneruskan berita tersebut kepada para kar‐yawan. Dalam waktu
singkat, seluruh warga kota akan tahu Roscoe Lancaster sakit berat.
Pernikahan Caroline Dawson dengan Roscoe Lancaster menjadi
peristiwa yang paling hangat digosipkan di seluruh penjuru kota,
karena pria yang menikahinya itu tiga puluh tahun lebih tua
daripada dirinya. Mereka mengatakan putri keluarga Dawson yang
melarat berhasil menaik‐kan status sosial keluarganya, tinggal di
The Retreat, naik mobil Lincoln baru dan mengilap, dan selalu
berpakaian bagus. Hebat! Memangnya siapa dia? Seingat mereka,
Caroline hanyalah gadis berpakaian lusuh yang bekerja di Wool‐
worth sepulang sekolah. Kini setelah menjadi Mrs. Roscoe
Lancaster, istri orang terkaya di kota, ia berlagak betul!
Sebenarnya, Caroline menghindari warga kota karena tidak
tahan melihat cara mereka me‐mandang dirinya, pandangan yang
dirasanya pe‐nuh prasangka, sorot mata penuh tuduhan bahwa ia
memakai kekuatan magis untuk membuat Roscoe menikahinya
setelah bertahun‐tahun men‐duda.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Tak lama lagi orang‐orang itu pula yang akan menemuinya untuk
menyampaikan penghor‐matan padanya. Caroline memejamkan
mata se‐saat, tubuhnya gemetar membayangkannya. Ha‐nya
ingatan akan The Retreat yang mampu meringankan kepedihannya.
Sampai saat ajal menjemputnya pun, membayangkan rumah itu
walau sekilas tetap akan menggetarkan hatinya. Sejak pertama kali
Caroline melihatnya, ketika masih kecil, mengendap‐endap
memandangi ru‐mah besar itu dari celah‐celah pepohonan, rumah
itu sudah menawan hatinya.
Pohon‐pohon ek yang rindang tumbuh menge‐lilingi rumah.
Cabang‐cabang pohonnya yang kokoh, yang penuh ditumbuhi lumut
keabu‐abuan keriting yang menjuntai, terjulur menge‐lilinginya
seperti tangan‐tangan kuat yang selalu siap memberi perlindungan.
Rumah itu terletak di tengah, seperti perempuan yang penuh
pesona, yang memakai rok lebar menggelembung. Din‐ding batanya
dicat putih bersih. Pilar bergaya Corinthian tegak menjulang di
bagian depan, tiga pilar di setiap sisi pintu depan. Pilar‐pilar itulah
yang menyangga lantai dua rumah dengan teras yang luas di
sekelilingnya. Seperangkat meja‐kursi dari rotan yang berwarna
putih menghiasi teras. Meja‐kursi itu hanya dimasukkan pada
musim dingin, pada bulan‐bulan yang cuacanya terlalu dingin dan
basah. Besi tempa putih, indah seperti renda pakaian dalam
perempuan, memagari balkon. Daun jendela berwarna hijau daun
mengapit jendela berukuran besar yang mengilap seperti cermin di
bawah sinar matahari.
Pada musim panas, serangga‐serangga beter‐bangan dengan
riang mengelilingi bunga‐bunga yang bermekaran, warna mereka
sangat mencolok sehingga menyakitkan mata. Tidak ada tempat di
muka bumi ini yang memiliki rerumputan sehijau dan setebal
rumput yang tumbuh di sekeliling The Retreat.
Keheningan menyelimuti rumah bak kabut sihir yang mengelilingi
puri dalam dongeng. Sepanjang pengetahuan Caroline, rumah itu
me‐rupakan perwujudan semua yang didamba orang di dunia ini.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Kini dia menjadi penghuni rumah tersebut. Setelah peristiwa pagi
tadi, Caroline sadar ia hanya menghuni rumah itu untuk sementara
waktu.
Caroline menghentikan mobil di halaman yang berbatu‐batu,
yang dibentuk melingkar di depan rumah. Sejenak Caroline
berusaha menenangkan pikiran dan mengumpulkan seluruh
kekuatan, yang mungkin dibutuhkannya beberapa jam lagi. Petang
ini takkan menjadi petang yang menye‐nangkan.
Ruang depan menjadi terasa remang‐remang setelah sinar
matahari yang membutakan di luar. The Retreat memang didesain
dengan gaya rumah pertanian di zaman Perang Saudara Amerika. Di
bagian tengah ada foyer yang membentang dari pintu depan sampai
belakang. Di salah satu sisinya dibangun ruangan perjamuan resmi
dan perpustakaan, yang digunakan Roscoe sebagai ruang kerja. Di
sisi lainnya ada ruang tamu resmi dan tidak resmi, yang dipisahkan
dari foyer dengan pintu geser berukuran besar yang menghilang ke
dalam dinding. Seingat Caroline, pintu itu tidak pernah dipakai.
Tangga besar meliuk naik dengan anggun menuju lantai dua, tempat
empat kamar tidur.
Udara di dalam rumah sejuk, tempat berlindung dari udara
musim panas yang lembap. Caroline melepas jas,
menyangkutkannya pada gantungan mantel, lalu menarik blus sutra
yang lengket di punggungnya yang basah.
"Well? Bagaimana kabarnya?"
Pengurus rumah tangga, Haney, yang bekerja di rumah itu sejak
mendiang istri Roscoe, Marlena Winston, menikah dengan Roscoe
Lancaster, berdiri di ambang pintu melengkung yang menuju ruang
makan. Sambil berjalan dari dapur yang letaknya berseberangan
dengan ruangan itu, ia mengeringkan tangannya yang terampil,
kasar, dan besar, sesuai dengan ukuran bagian tubuhnya yang lain,
dengan handuk tipis.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Perlahan Caroline menghampirinya lalu me‐meluknya. Lengan
pengurus rumah tangga yang gemuk itu balas mendekap tubuh
Caroline yang ramping. "Buruk?" tanyanya lembut sambil mengelus‐
elus punggung Caroline.
"Yang terburuk. Kanker. Dia takkan pulang ke rumah lagi."
Dada Haney yang besar bergetar karena me‐nahan tangis. Kedua
perempuan itu saling meng‐hibur. Haney tidak suka pada Roscoe,
kendati ia sudah bekerja pada pria itu lebih dari tiga puluh tahun.
Kesedihan yang dirasakannya ter‐utama ditujukan pada orang‐orang
yang di‐tinggalkan Roscoe, termasuk jandanya yang masih muda.
Semula Haney mencurigai dan menolak ke‐datangan nyonya
baru di The Retreat. Tetapi ketika melihat Caroline tidak mengubah
tatanan rumah sama sekali, tetap membiarkannya sebagai‐mana
ketika almarhumah Marlena masih hidup, mulailah ia menyukai
Caroline. Caroline kan tidak bisa berbuat apa‐apa bahwa ia berasal
dari keluarga miskin. Tetapi Haney tidak ingin ber‐prasangka
padanya gara‐gara asal‐muasai keluarga‐nya. Apalagi Caroline
menunjukkan sikap penuh kasih sayang dan lembut terhadap Laura
Jane. Itu sudah cukup bagi Haney untuk menganggap Caroline
punya hati malaikat.
"Haney? Caroline? Ada apa?" Keduanya ber‐balik dan melihat
Laura Jane berdiri di anak tangga bawah. Dalam usia dua puluh dua
tahun, putri Roscoe itu kelihatan masih seperti gadis remaja saja.
Rambutnya yang cokelat dibelah tengah dan tergerai lurus ke
bawah. Rambut itu membingkai wajahnya yang lembut. Kulitnya
seputih porselen. Matanya besar dan berwarna cokelat, dengan
bulu mata yang panjang. Tubuh‐nya berkembang sejalan
perkembangan pikiran‐nya. Laura Jane bak kuntum bunga yang
belum mekar sepenuhnya. Lekuk tubuh perempuannya mulai
tampak, tetapi takkan pernah sempurna. Seperti pikirannya yang
berhenti tumbuh, begitu pun tubuhnya. Laura Jane takkan pernah
beru‐bah seiring berlalunya waktu.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Operasi Daddy sudah selesai? Ia akan pulang hari ini?"
"Selamat pagi, Laura Jane," sapa Caroline sambil menghampiri
anak tirinya, yang lima tahun lebih muda darinya. Digandengnya
lengan gadis itu. "Mau menemaniku jalan‐jalan di luar? Udara cerah
hari ini."
"Mau. Tetapi kenapa Haney menangis?" Haney tampak tengah
menyeka mata dengan kain handuk.
"Ia sedih."
"Kenapa?"
Caroline menarik tubuh gadis muda itu ke arah pintu depan dan
menggandengnya menuju ke teras. "Karena Roscoe. Sakitnya parah,
Laura Jane."
"Aku tahu. Ia selalu mengeluh sakit perut."
"Kata dokter, perutnya tidak bisa disembuhkan lagi."
Mereka berjalan menyusuri rerumputan taman yang terawat
rapi.
Dua minggu sekali, setiap musim, didatangkan sekelompok
tukang kebun untuk merapikan ta‐man The Retreat. Laura Jane
memetik sekuntum bunga daisy dari rumpunnya yang tumbuh di
dekat jalan setapak batu yang penuh lumut. "Daddy kena kanker?"
Terkadang kecerdasan gadis ini mengejutkan mereka. "Ya,
benar," sahut Caroline. Ia tidak ingin menutup‐nutupi keadaan
ayahnya. Itu tin‐dakan yang keji.
"Aku banyak mendengar soal kanker di tele‐visi," katanya sambil
menghentikan langkah dan menatap Caroline. Kedua perempuan
yang ham‐pir sama tinggi itu saling memandang. "Daddy bisa
meninggal karena kanker."
Caroline mengangguk. "Ia memang akan me‐ninggal, Laura Jane.
Kata dokter, ia bisa me‐ninggal dalam waktu seminggu atau lebih."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Bola mata yang cokelat itu tetap tak berkaca‐kaca. Laura Jane
mendekatkan bunga daisy ke hidungnya dan menciumnya.
Kemudian ia me‐noleh pada Caroline lagi. "Ia akan ke surga, kan?"
"Kurasa begitu... Ya, ya, pasti, ke surga."
"Kalau begitu Daddy akan bersama Mama lagi. Sudah lama
Mama berada di sana. Pasti Mama senang berjumpa dia. Dan aku
masih tetap punya kau, Haney, dan Steve." Ia melirik ke arah
kandang kuda. "Dan Rink. Rink selalu mengirimiku surat setiap
minggu. Katanya ia selalu menyayangi dan merawatku. Apakah Rink
akan melakukannya, Caroline?"
"Tentu saja." Caroline mengatupkan bibir, me‐nahan tangis.
Akankah Rink pernah menepati janji? Bahkan terhadap adik
perempuannya?
"Tetapi mengapa Rink tidak mau tinggal ber‐sama kita?" tanya
Laura Jane.
"Mungkin ia akan segera ptilang." Caroline tidak ingin
memberitahu Laura bahwa tidak lama lagi Rink memang akan tiba di
rumah sampai ia melihat sendiri Rink muncul.
Laura Jane jadi tenang. "Steve menungguku. Kuda betinanya
melahirkan semalam. Ayo kita lihat."
Diraihnya tangan Caroline, lalu ditariknya me‐nuju kandang kuda.
Caroline iri melihat kegem‐biraan Laura dan berharap ia pun bisa
menerima kematian Roscoe dengan pikiran sesederhana putri
Roscoe itu.
Udara di kandang kuda hangat, berbaur de‐ngan bau kuda, kulit,
dan jerami yang tajam. "Steve," panggil Laura Jane riang.
"Di sini," jawab suara bernada rendah.
Steve Bishop bekerja sebagai manajer kandang kuda keluarga
Lancaster. Mengembang‐biakkan kuda‐kuda keturunan murni
termasuk salah satu kesukaan Roscoe, tapi ia tidak terlalu
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
memeduli‐kan perawatan kuda. Bishop muncul dari lorong salah
satu kandang kuda. Tubuhnya tidak terlalu .tinggi, tetapi sangat
tegap. Wajahnya persegi dan kasar, tetapi terkadang terpancar
ekspresi yang melembutkan kekasarannya. Ia membiarkan
rambutnya tumbuh panjang, seperti biasanya se‐helai bandana
diikatkan di kepalanya, dan topi koboi dari jerami menutupi
kepalanya. Celana jinsnya sudah tua dan kumal, sepatu botnya
penuh debu, kemejanya penuh bercak keringat. Tetapi ia tersenyum
berseri‐seri ketika melihat Laura Jane berlari mendekatinya. Hanya
saja, sorot kepedihan dan keputusasaan tak pernah lenyap dari
matanya, kendati bibirnya tersenyum. Wajahnya kelihatan lebih tua
daripada usianya, yang baru tiga puluh tujuh tahun.
"Steve, kami ingin melihat anak kuda itu," kata Laura Jane
terengah‐engah.
"Di sana." Steve menoleh ke arah kandang kuda yang baru
ditinggalkannya.
Laura Jane masuk ke kandang kuda. Steve menatap Caroline
dengan pandangan bertanya. "Kanker," ujar Caroline menjawab
pertanyaan Steve yang tak terucap. "Tinggal menunggu waktu."
Steve menyumpah pelan sambil memandang perempuan muda
yang berlutut di tumpukan jerami, mengelus‐elus anak kuda. "Kau
sudah memberitahunya?"
"Ya. Ia bisa menerimanya lebih baik daripada kita semua."
Steve menggangguk dan tersenyum sendu pada Caroline. "Ya.
Pasti."
"Oh, Steve. Anak kuda betina ini cantik sekali ya?"
Steve menepuk bahu Caroline dengan penuh kesadaran,
kemudian masuk ke dalam kandang. Caroline mengikutinya, dan
mengawasinya saat pria itu dengan gerakan kaku berlutut di
sebelah Laura Jane. Perang Vietnam membuat Steve ke‐hilangan
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
separo kaki kirinya. Ia tidak kentara memakai kaki palsu, kecuali bila
ia harus ber‐lutut, seperti saat itu.
"Ia cantik sekali, kan? Dan induknya kelihatan sangat bangga
pada anaknya." Steve mengelus surai kuda betina itu, tetapi
matanya tetap tertuju pada Laura Jane. Caroline terus
memerhatikan‐nya, ketika Steve menjulurkan tangan untuk
menjumput jerami yang menempel di rambut Laura Jane. Jari‐
jarinya mengelus pipi Laura Jane yang sangat halus. Laura Jane
menatap Steve dan mereka saling tersenyum.
Sejenak Caroline tertegun menyaksikan ke‐mesraan di antara
kedua orang itu. Apakah mereka saling mengasihi? Caroline bingung
men‐dapati kenyataan ini. Caroline bersikap taktis, ia berniat
meninggalkan tempat itu, tetapi Steve melihatnya. "Mrs. Lancaster,
bila ada yang bisa saya lakukan..." Steve tak melanjutkan kata‐
katanya.
"Terima kasih, Steve. Untuk sementara ini lakukan saja apa yang
menjadi tugasmu seperti biasa."
"Baik, Mrs. Lancaster." Steve tahu, Carolinelah yang
menolongnya bisa menjadi karyawan Roscoe. Wanita itu masih
karyawan Roscoe ketika Steve Bishop melamar pekerjaan sebagai
manajer kandang kuda, dengan memanfaatkan air muka penuh
kegetiran sebagai senjatanya di hadapan Roscoe. Rambutnya diekor
kuda sampai pung‐gung, rompinya yang terbuat dari bahan denim
dipenuhi lencana perdamaian dan tambalan slogan antiperang dan
anti‐Amerika. Dengan air mukanya yang masam dan tampak suka
ber‐kelahi, Steve menantang Roscoe untuk berani memberikan
pekerjaan, kesemparan padanya, se‐mentara banyak orang lain
yang menolak.
Caroline tahu akal muslihat Steve dan bisa menebak bagaimana
karakter pria itu yang se‐benarnya. Ia orang yang putus asa. Caroline
otomatis merasa dekat dengannya. Caroline tahu bagaimana
sakitnya hidup dengan predikat ter‐tentu, tahu bagaimana rasanya
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
bila orang menilai diri kita dari penampilan dan latar belakang
kehidupan yang tidak bisa kita tolak. Karena veteran perang itu
mengatakan pernah bekerja di peternakan kuda di California
sebelum perang, Caroline membujuk Roscoe agar bersedia mem‐
pekerjakannya.
Roscoe tak pernah menyesali keputusannya menerima Steve.
Steve memotong pendek rambutnya dan mengubah
penampilannya, seakan hendak mengatakan tak perlu lagi ia
memamer‐kan simbol‐simbol pemberontakannya. Ia bekerja giat,
sepenuh hati, dan membuktikan kemahiran‐nya dalam merawat
kuda‐kuda keturunan murni. Pria itu hanya butuh dukungan untuk
me‐mantapkan rasa percaya dirinya.
Caroline merenungkan semua itu ketika kem‐bali ke rumah.
Steve dan Laura saling mencintai. Ia menggeleng, tersenyum, saat
memasuki se‐rambi. Telepon berdering, secara otomatis ia
mengangkatnya sebelum Haney. "Halo?"
"Caroline, ini Granger."
"Ya?"
"Aku sudah bicara dengan Rink. Ia akan datang secepatnya,
mungkin malam ini.
Banyak hal yang harus diselesaikan petang itu, banyak orang
yang harus diberitahu. Roscoe tidak punya sanak saudara kecuali
putra dan putrinya, karena itu masalah kerabat tak perlu dipikirkan.
Tetapi penduduk kota, juga warga Mississippi, ingin tahu penyakit
Roscoe. Caroline berbagi tugas dengan Granger untuk meng‐
hubungi mereka lewat telepon.
"Haney, sebaiknya segera siapkan kamar Rink. Dia akan datang
malam ini."
Mendengar berita itu, pengurus rumah tangga tersebut tampak
seperti ingin menangis. "Puji Tuhan, Puji Tuhan. Aku sudah lama
berdoa agar anakku yang satu itu mau pulang. Ibunya yang di surga
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
pasti menari‐nari hari ini. Pasti ia senang sekali. Yang dibutuhkan
kamar itu hanya seprai baru. Aku selalu membersihkannya, kalau‐
kalau suatu hari ia kembali menempatinya. Tuhan, Tuhan, aku ingin
sekali segera berjumpa dengannya."
Carolie berusaha tidak memikirkan saat ketika ia harus berjumpa
anak kesayangan itu, berbicara dengannya. Ia menyibukkan diri
dengan setum‐puk tugas yang harus diselesaikannya.
Ia juga tidak memikirkan kematian Roscoe yang semakin dekat.
Itu akan dipikirkannya nanti, saat ia sendirian. Tidak juga waktu ia
berkunjung ke rumah sakit petang hari itu dan duduk di samping
ranjang suaminya, ia tidak membiarkan benaknya dipenuhi pikiran
Roscoe takkan pernah meninggalkan tempat itu, Suaminya masih di
bawah pengaruh obat bius, tetapi Caroline merasa tangannya
ditekan pelan waktu ia menggenggam tangan Roscoe dan
meremasnya sebelum pamit.
Saat makan malam, ia memberitahu Laura Jane tentang kabar
kepulangan Rink. Gadis itu melompat dari kursi, menyambar tangan
Haney, dan menari‐nari mengelilingi ruangan. "Ia me‐mang berjanji
suatu hari akan pulang, bukan, Haney? Sekarang Rink pulang. Aku
ingin mem‐beritahu Steve." Laura langsung lari keluar lewat pintu
belakang menuju kandang kuda, ke tempat tinggal Steve.
"Gadis itu akan mempermalukan dirinya sen‐diri bila ia tidak
membiarkan pemuda itu sen‐dirian."
Caroline tersenyum penuh arti. "Aku tidak berpendapat begitu."
Haney menengadah dan menaikkan alis karena penasaran, tetapi
Caroline tidak meneruskan kata‐katanya. Ia mengambil gelas es teh
lalu berjalan ke teras depan. Waktu duduk di kursi goyang bercat
putih, ia menyandarkan kepala pada bantalan kursi bersarung kain
kembang‐kembang dan memejamkan mata.
Inilah saat yang paling disukainya ketika menghuni The Retreat,
waktu hari menjelang malam, ketika sinar lampu di dalam rumah
menyelinap ke luar dari celah‐celah jendela, yang kelihatan seperti
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
kemilau permata. Bayang‐bayang memanjang dan berwarna‐warni,
saling menyatu sehingga tak ada sudut atau bentuk yang jelas.
Warna langitnya sangat khas, gradasi ungu yang cantik.
Pepohonan menjulang di latar depannya. Kodok mengorek di
sungai. Suara jangkerik menggema di udara tak berangin dan
lembap dengan nada tinggi melengking. Tanah di delta itu
menyebarkan bau yang subur. Setiap kuntum bunga
menghamburkan harum yang unik dan memabukkan.
Setelah lama beristirahat, Caroline membuka mata. Ketika itulah
ia melihat pria tersebut.
Ia berdiri tak bergerak di bawah dahan pohon ek yang menjulur.
Jantung Caroline seperti berhenti berdetak dan pandangannya
kabur. Ia tidak tahu apakah sosok pria itu sungguhan atau hanya
ilusi. Kepalanya pening, dicengkeramnya gelas es teh erat‐erat
supaya tidak lolos dari cengkeraman jemarinya yang kaku dan
dingin.
Pria tersebut bergerak menjauh dari dahan pohon dengan
gerakan seperti harimau dan da‐lam diam, makin lama makin dekat
sampai akhirnya ia tiba di anak tangga batu yang me‐nuju teras.
Ia hanya salah satu dari banyak bayangan yang ada, tetapi siluet
maskulinnya jelas terlihat ketika ia berdiri dengan kaki terbuka
lebar. Secara fisik, waktu tampaknya bermurah hati padanya. Ia
tidak lebih kurus daripada saat per‐tama kali Caroline berjumpa
dengannya. Ke‐gelapan malam menyembunyikan wajah pria itu dari
pandangan Caroline, tetapi Caroline dapat melihat kilatan giginya
yang putih ketika ia mulai tersenyum.
Senyumnya ramah, sebagaimana juga nada bicaranya.
"Well, kalau tak salah, kau Caroline Dawson." Ia meletakkan
sebelah kakinya yang mengenakan sepatu bot di anak tangga dan
membungkukkan badan, satu tangan bertopang di lutut. Ia me‐
natap Caroline, sinar lampu dari pintu utama menerpa wajahnya.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Dada Caroline terasa sesak oleh perasaan sakit... dan cinta. "Ya, tapi
sekarang sudah menjadi Lancaster, bukan?"
Wajah itu! Wajah yang selalu muncul dalam mimpi‐mimpi dan
khayalannya. Wajah tetap pa‐ling memesona yang pernah
dilihatnya. Tampan ketika berusia dua puluhan, dan makin tampan
dalam usia tiga puluhan. Rambut hitam, yang bagai menggambarkan
keliaran jiwanya dengan helai‐helainya yang tak bisa dikendalikan.
Sorot matanya, yang memikat Caroline sejak pertama kali
melihatnya, menggugah perasaannya lagi. Orang yang tidak punya
imajinasi akan me‐nyebutnya cokelat muda. Padahal warnanya ke‐
emasan, seperti warna madu murni, liquor paling mahal, seperti
batu ratna cempaka berkilau.
Terakhir kali ia berjumpa pria itu, mata tersebut penuh gairah.
Besok... Besok, sayangku. Di sini. Di tempat kita ini. Oh, Tuhan,
Caroline, cium aku lagi. Kemudian: Besok, besok. Hanya saja ia tidak
muncul keesokan harinya, dan selamanya.
"Lucu," komentarnya dengan nada yang mem‐buat Caroline
berpikir sebaliknya, "kita menyan‐dang nama keluarga yang sama."
Tak ada tanggapan untuk yang satu itu. Ingin rasanya Caroline
berteriak bahwa mereka bisa memakai nama keluarga yang sama
beberapa tahun yang lalu andai pria itu bukan penipu, andai ia tidak
mengkhianatinya. Ada beberapa hal yang lebih baik tidak
diungkapkan. "Aku tidak melihat mobilmu."
"Aku terbang, mendarat, dan berjalan kaki kesini.
Landasan pacu kira‐kira satu setengah kilo‐meter jauhnya. "Oh.
Mengapa?"
"Mungkin karena ingin tahu bagaimana sam‐butan yang akan
kuterima."
"Ini kan rumahmu, Rink."
Ia memaki. "Yeah, tentu rumahku."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Caroline membasahi bibir dengan lidah dan berharap punya
keberanian untuk tetap meng‐hadapinya. Ia takut kakinya tak
mampu me‐nopang tubuhnya. "Kau tidak menanyakan kabar
ayahmu."
"Granger sudah memberitahu aku."
"Kalau begitu kau tahu ia sekarat."
"Ya. Dan ia ingin bertemu aku. Rupanya keajaiban tak pernah
lenyap."
Komentarnya yang menyakitkan itu membuat Caroline bangkit
dari duduk tanpa berpikir dua kali. "Ia sakit keras, Rink. Bukan
seperti yang kaukenal dulu."
"Andai masih tersisa satu tarikan napas dalam tubuhnya pun, ia
persis seperti aku mengingatnya."
"Aku tak mau berdebat denganmu tentang hal itu."
"Aku bukan berdebat."
"Dan aku takkan membiarkan kau mengecewa‐kannya atau
Laura Jane atau Haney. Mereka ingin bertemu denganmu."
"Kau tidak akan membiarkan? Astaga, astaga. Kau betul‐betul
menganggap dirimu nyonya rumah The Retreat, ya?"
"Tolonglah, Rink. Beberapa minggu ke depan segalanya akan
cukup sulit tanpa...."
"Aku tahu, aku tahu." Tarikan napas panjang‐nya terdengar
sampai ke tempat Caroline berdiri tegang di teras, tangannya
mengepal erat. Ia meletakkan gelas es teh di pagar teras karena
takut menjatuhkannya. "Aku juga tidak sabar hendak bertemu
mereka," katanya dan melirik ke arah kandang kuda. "Aku lihat
Laura Jane keluar dari rumah itu beberapa saat yang lalu, tetapi aku
tidak ingin muncul tiba‐tiba dalam gelap dan mengejutkannya. Aku
mengingatnya sebagai gadis kecil. Tak kusangka ia sudah dewasa
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
sekarang."
Ingatan akan Laura Jane dan Steve yang berlutut di tumpukan
jerami di kandang kuda, jari‐jari Steve mengelus pipi Laura, melintas
di benak Caroline. Ia tidak tahu apa pendapat Rink bila tahu
hubungan asmara adik perem‐puannya itu. Ia jadi resah menerka‐
nerka. "Ia perempuan dewasa sekarang, Rink."
Caroline merasakan tatapan mata Rink pada dirinya, menelusuri,
menganalisis, menilai. Tu‐buhnya seperti dilumuri brendi yang
menyentuh setiap inci. "Dan kau," katanya lembut. "Kau juga
perempuan dewasa sekarang, bukan, Caroline? Perempuan
dewasa."
Caroline sama sekali tidak berubah. Kecantikan gadis lima belas
tahun yang dikenalnya kini mendewasa. Ia berharap bertemu
Caroline yang gendut, kumal, kusut, berambut kusam, dan berpaha
besar. Ternyata ia masih ramping, dengan pinggang yang seolah
akan patah bila ditiup angin. Dadanya berisi dan lembut, namun
tetap tegak, bulat, dan mengundang. Sialan! Seberapa sering
ayahnya menyentuhnya?
Ia menaiki anak tangga perlahan‐lahan, seperti pemangsa yang
kelaparan tetapi hendak menyiksa korban sebelum melahapnya.
Matanya yang ke‐emasan, berkilat dalam kegelapan, nanar menatap
Caroline. Senyum lebar di bibirnya menyiratkan pemahaman yang
licik, seakan pria itu tahu apa yang ada dalam benak Caroline yang
ingin di‐lupakannya, bagaimana bibir pria itu menyentuh bibirnya,
lehernya, dadanya.
Caroline berbalik. "Aku panggilkan Haney. Mungkin ia...."
Tangan Rink menyambar pinggang Caroline, membuat
langkahnya terhenti. Ia memaksa Caroline menghadap ke arahnya
"Tunggu seben‐tar," katanya tenang. "Setelah dua belas tahun,
tidakkah kau merasa kita bisa saling menyapa dengan lebih akrab?"
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Tangannya yang bebas menyentuh tengkuk Caroline dan
mendorong wajah wanita itu ke wajahnya. "Ingat, kita sekarang
keluarga," bisik‐nya dengan nada mengejek. Kemudian bibirnya
mencium bibir Caroline, kasar dan penuh ke‐marahan. Diciuminya
bibir Caroline dengan liar, seakan hendak menghukumnya karena
malam‐malam ketika ia memikirkan Caroline, Caroline‐nya yang
polos, yang berbagi tempat tidur, tubuhnya, dengan ayahnya.
Caroline menyarangkan tinju ke dada pria itu. Terdengar suara
mengerang keras. Lututnya lemas. Ia berusaha memberontak. Ia
memberon‐tak lebih keras. Karena ia ingin memeluk laki‐laki itu,
mendekapnya erat, merasakan kembali getaran yang pernah
dirasakannya ketika berada dalam pelukannya.
Tetapi ini bukanlah pelukan, ini penghinaan. Ia bergulat sekuat
tenaga untuk membebaskan bibirnya.
Ketika ia berhasil melepaskan diri, Rink me‐masukkan tangan ke
saku celana jinsnya dan tersenyum mengejek penuh kemenangan
melihat ekspresi marah dan bibir merah Caroline. "Salam, Mom,"
dengusnya.
Bab 2
CAROLINE merasa napasnya sesak. Dadanya turun‐naik menahan
amarah dan perasaan terhina. "Kasar sekali bicaramu. Bagaimana
kau bisa sekejam itu?"
"Bagaimana kau bisa menikah dengan laki‐laki tua bajingan yang
kebetulan ayahku itu?"
"Ia bukan bajingan. Ia sangat baik padaku."
Tawa Rink pendek. "Oh, jadi ia sangat baik padamu. Karena
mutiara di telingamu itu? Berkat berlian yang gemerlap di jarimu?
Kau sekarang orang terhormat di dunia ya, Caroline si gadis sungai?
Kini kau penghuni rumah mewah The Retreat. Tidakkah kau ingat,
kau pernah me‐ngatakan padaku kau bersedia melakukan apa pun
agar bisa menghuni rumah ini?" Rink agak memiringkan badan ke
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
arah Caroline ketika mengucapkan kata‐kata itu sambil mendengus.
"Biar kutebak apa yang kaulakukan pada ayahku sampai ia mau
menikahimu."
Caroline menampar muka Rink keras‐keras. Itu dilakukan
Caroline tanpa berpikir panjang.
Sedetik yang lalu Rink melontarkan penghinaan‐nya, detik
berikutnya Caroline mendaratkan tela‐pak tangannya di pipi Rink.
Membuat telapak tangannya terasa panas. Ia berharap demikian
pula pipi Rink.
Rink melangkah mundur sambil tersenyum sinis. Senyum yang
membuat amarah Caroline lebih menggelegak daripada ucapannya
yang me‐nyakitkan. "Apa pun yang kulakukan pada ayah‐mu, jauh
lebih baik daripada apa yang kaulaku‐kan padaku selama dua belas
tahun ini. Ayahmu nelangsa, sendirian di rumah ini, menyesali
dirimu.
Tawa Rink kembali terdengar. "Menyesali? Indah sekali, Caroline.
Menyesali." Rink menekuk salah satu lututnya, sehingga berat
badannya bertumpu pada kaki yang satu lagi dengan sikap angkuh.
"Mengapa aku sulit membayangkan ayahku menyesali sesuatu?
Apalagi kepergianku."
"Aku yakin ia ingin kau tinggal di sini."
"Ia bahagia kalau tidak berurusan denganku, begitu juga
sebaliknya," jawab Rink kasar. "Ja‐ngan bermanis‐manis lagi. Kalau
kaupikir Roscoe sayang padaku, kau cuma berkhayal."
"Aku tidak tahu apa penyebab pertengkaran kalian dulu. Yang
jelas, sekarang ia sakit parah, Rink. Ia sekarat. Janganlah
mempersulit situasi yang sudah sulit."
"Siapa yang punya gagasan menghubungi aku, kau atau
Granger?"
"Roscoe."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Granger bilang begitu. Tetapi aku tidak per‐caya."
"Tetapi begitulah adanya."
"Kalau begiru, ia punya alasan lain."
"Roscoe ingin melihat putranya sebelum me‐ninggal!" teriak
Caroline. "Itu alasan yang cukup kuat!"
"Tidak untuk Roscoe. Ia manusia licik, mani‐pulatif, bajingan.
Andai ia ingin aku di sisinya menjelang ajalnya, percayalah, ia pasti
punya alasan."
"Tidak pantas kaubicara seperti itu tentang ayahmu padaku.
Ayahmu suamiku."
"Itu masalahmu."
"Caroline? Siapa—Oh, Tuhan. Rink!" Haney menghambur keluar
melewati pintu kasa lalu memeluk Rink erat‐erat. Rink membalas
pelukan‐nya. Caroline berkaca‐kaca ketika melihat ke‐getiran dan
kesinisan di wajah Rink berganti dengan senyum riang. Matanya
yang keemasan memancarkan kebahagiaan, giginya yang putih
berkilat di balik senyumnya yang lebar.
"Haney! Oh, aku sangat merindukanmu."
"Seharusnya kau lebih sering mengirim surat padaku," gerutu
Haney sambil menegakkan tu‐buh dan pura‐pura marah.
"Maafkan aku," jawab Rink singkat, sementara matanya tetap
menyiratkan kebandelan seperti dulu, saat Haney menangkap basah
ia mencuri kue dari stoples. Dan ia selalu berhasil meloloskan diri.
Seperti yang dilakukannya sekarang lni.
"Jadi kau sudah bertemu Caroline," kata Haney, sambil menatap
keduanya dengan mata berbinar‐binar.
"Oh, ya. Aku sudah bertemu Caroline. Kami sedang mengobrol."
Perempuan tua itu tidak melihat lirikan mata yang sekilas
dilemparkan Rink kepada Caroline. "Makanmu pasti tidak benar, aku
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
yakin. Kerja keras mencari uang, muncul di berbagai surat kabar
terus, tetapi badanmu tetap saja seperti orang kurang makan. Ayo
masuk. Aku sudah menghangatkan makan malammu."
"Dan pecan pie. Baunya tercium dari sini," goda Rink, sambil
mendorong tubuh Haney ke pintu.
"Aku membuatnya bukan khusus untukmu saja.
"Jangan begitu, Haney. Kita kan sudah kenal lama."
"Kebetulan juga kami masak ayam untuk makan malam."
Pada minggu‐minggu pertama kepindahannya sebagai nyonya
rumah yang baru di The Retreat ini, Caroline merasa dirinya seperti
tamu tak diundang. Tetapi bulan‐bulan berlalu. Laura Jane bisa
menerimanya sebagai sahabat. Haney pun mulai menyukai dirinya.
Tetapi saat ini, melihat Rink di rumah ini, mendengar derap sepatu
botnya di lantai kayu dan suaranya yang meng‐gema di ruangan
yang berlangit‐langit tinggi, kembali Caroline merasakan dirinya
seperti orang asing. Rink‐lah pemilik rumah ini. Bukan diri‐nya.
Ketika mengikuti mereka sampai ke dapur, Caroline melihat
Haney menyuruh Rink duduk di meja bundar dari kayu ek yang
penuh ber‐macam‐macam hidangan. Rink mengamati ruangan itu.
"Tak ada yang berubah," kata Rink hangat.
"Dapurnya kucat lagi beberapa tahun yang lalu," ujar Haney.
"Tetapi kuberitahu ayahmu aku tak akan mengganti warna catnya.
Aku ingin segalanya tetap sama seperti ketika kau masih tinggal di
sini."
Rink menelan, dan menggeser‐geser makanan di piringnya
dengan garpu. "Aku tidak akan tinggal di rumah ini selamanya,
Haney. Hanya sampai Daddy... kembali pulih seperti semula."
Tangan Haney yang sibuk bekerja langsung berhenti. Ia menatap
Rink seperti menatap anak laki‐laki momongannya. "Aku tak ingin
kau pergi dari rumah ini lagi, Rink. Ini rumahmu."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Mata Rink melirik Caroline sesaat, lalu kem‐bali pada piring
makanannya. "Tak ada gunanya lagi aku tinggal di sini," ujar Rink
marah sebelum menyuapkan makanan ke mulut.
"Siapa bilang? Masih ada Laura Jane," Caroline mengingatkan
Rink dengan suara lembut. Karena tidak mau hanya berdiri di dekat
pintu, Caroline memaksakan diri melangkah masuk ke dapur.
Caroline tidak ingin Rink tahu kedatangan pria itu di rumah ini
membuatnya merasa terancam di rumahnya sendiri. Ia toh belum
menjadi janda Roscoe. Sebagai istri, Caroline merasa pu‐nya hak
tetap tinggal di rumah ini. Caroline berjalan ke lemari es, mengambil
segelas teh es yang sebetulnya tak diinginkannya.
"Diberkatilah dia, Rink," ujar Haney sambil mengelap gelas yang
sudah mengilap bersih. "Tiap hari ia menyuruhku memeriksa kotak
pos, kalau‐kalau ada surat darimu. Demi dia, kau tidak boleh
meninggalkan rumah ini, kendati kau bertengkar hebat dengan
ayahmu."
"Aku benci tidak bisa tinggal di sini untuk dia. Apakah ia baik‐baik
saja?" "Tentu, tentu. Sangat cantik." "Bukan itu maksudku."
Haney meletakkan gelas di meja. "Aku tahu yang kaumaksud,"
ujar Haney datar. "Ya, Laura baik‐baik saja. Aku tahu dari
pertanyaan‐per‐tanyaanmu tentang dia di dalam surat‐suratmu
bahwa kau tidak dapat membayangkan bagai‐mana keadaan Laura,
Rink. Laura memang tidak pandai secara akademis, tetapi banyak
hal yang dipelajarinya dari sekelilingnya. Kau memang tidak ada di
sini untuk melindunginya, tetapi perasaan posesifmu sekuat induk
beruang terhadap anaknya. Laura tumbuh menjadi perem‐puan
cantik. Ingat. Ia sudah dewasa sekarang, barangkali tak bisa lagi
diperlakukan seperti benda rapuh yang mudah. pecah. Ia
perempuan muda yang cantik. Bila kebetulan warga setempat
berjumpa dengannya, sedikit yang menyadari ia berbeda."
"Tetapi ia berbeda," tukas Rink.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Tidak terlalu," sela Caroline. "Ia tahu perkem‐bangan dunia,
tetapi emosinya tidak stabil. Aku lebih mencemaskan kelabilan
jiwanya ketimbang perkembangan mentalnya. Andai orang yang di‐
cintainya mengecewakannya, sakit hatinya pasti sulit disembuhkan."
Mata Rink tak beralih sedikit pun dari wajah Caroline ketika ia
mengelap mulutnya dengan serbet dari bahan katun.
Dilemparkannya serbet itu, lalu menarik kursinya dari meja. "Terima
kasih untuk ceramahnya, Kakak Caroline. Akan selalu kucamkan hal
itu."
"Aku bukannya bermaksud—"
"Begitulah yang kaumaksud," potong Rink sambil mengambil
teko kopi, menuang isinya ke dalam cangkir.
"Rink Lancaster, tidak pantas kau bersikap begitu pada Caroline."
Haney terkejut melihat sikap bermusuhan kedua orang di
hadapannya. Belum lima menit mereka berkenaJan, tetapi sudah
saling bermusuhan. Jelas Rink tidak setuju ayahnya mengambil
wanita muda seperti Caroline sebagai istri. Namun Rink sendiri
sudah dua belas tahun meninggalkan rumah. Apakah ada pengaruh
pernikahan Roscoe bagi dirinya? Ke‐cuali kalau menyangkut The
Retreat. "Mana tata krama yang ibumu dan aku ajarkan? Ingat,
Caroline istri ayahmu. Ia harus kauhormati se‐bagaimana mestinya."
Rink, yang terus menatap Caroline, mencibir sinis. "Ibu tiriku.
Aku selalu lupa hal itu."
"Itu Laura Jane datang," seru Haney sambil memandang kedua
orang yang ada di dapur tersebut. "Jangan kacaukan hatinya, Rink.
Cukup satu kejutan yang harus ia terima hari ini dan ia berhasil
mengatasinya dengan baik."
Suara Laura Jane yang lembut menembus pintu kasa sebelum ia
membukanya. Laura berdiri tertegun. Tubuhnya yang ramping
seperti patung dewi Yunani, diam tak bergerak di ambang pintu
ketika melihat kakak laki‐lakinya. Sesaat ia bengong, baru kemudian
tampak berseri‐seri, keceriaan terpancar di matanya, di pipinya, dan
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
akhirnya seulas senyum ceria tersungging di bibir‐nya. "Rink,"
panggilnya lirih.
Ia langsung menghambur mendekati Rink, melingkarkan
tangannya yang kurus di leher kakak laki‐lakinya itu dan
membenamkan wajah di leher kemeja Rink. Rink balas memeluk
Laura, mengangkatnya, lalu mengayun‐ayunnya ke de‐pan dan ke
belakang sambil tetap mendekapnya. Matanya dipejamkannya
rapat‐rapat untuk menekan emosi yang menguasai perasaannya.
Laura Jane‐lah yang pertama melepaskan pelukan. Dengan
jemarinya yang kelihatan rapuh seperti tanpa "semangat hidup,
dielusnya wajah kakak laki‐lakinya, rambutnya, bahunya, seakan
hendak meyakinkan diri bahwa kakaknya benar‐benar ada di
hadapannya.
"Kau jangkung sekali," komentar Laura. "Dan tegap." Laura
tertawa, memegang otot lengan Rink.
"Kau cantik dan begitu dewasa." Rink menga‐mati tubuh Laura,
gadis muda yang cantik dan halus. Kemudian keduanya tertawa
bahagia ka‐rena bisa berjumpa. Kembali mereka berpelukan.
"Daddy akan meninggal, Rink," ujar Laura Jane serius ketika
akhirnya mereka saling me‐lepaskan pelukan. "Caroline sudah
memberitahumu...”
"Ya," jawab Rink pelan sambil menelusuri dagu adik
perempuannya itu dengan jari telun‐juknya.
"Tetapi sekarang kau sudah ada di rumah. Haney, Caroline, dan
Steve... Oh, ya ampun! Aku lupa memperkenalkannya padamu."
Laura berbalik ke arah manajer kandang kuda itu, yang
mengantarnya pulang dan sejak tadi berdiri di depan pintu kasa.
Laura Jane meraih tangan‐nya dan menariknya maju. "Steve Bishop,
ini kakakku, Rink."
Steve melepaskan jarinya dari genggaman tangan Laura untuk
menyalami Rink, yang memandangnya dengan sorot mata penuh
selidik. "Mr. Lancaster, apa kabar?"
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Panggil Rink saja," jawab Rink, menjabat tangan Steve kuat‐
kuat. "Sudah berapa lama bekerja di sini?"
"Setahun lebih sedikit."
Rink melirik adik perempuannya lalu kembali memandang si
manajer kandang kuda. "Laura Jane pernah menyebut namamu
dalam suratnya."
"Salah satu kuda betina melahirkan kemarin, Rink," Laura Jane
memberitahu Rink dengan suara riang. "Steve yang menolongnya
melahir‐kan."
"Saya harus kembali untuk melihat keadaan mereka," kata Steve.
"Tinggallah di sini sebentar, minum teh dan menikmati kue‐kue
kecil bersama kami," ajak Haney.
Sejenak Steve menatap Rink, lalu memalingkan wajah. "Terima
kasih. Saya harus segera melihat anak kuda yang baru lahir itu."
"Besok pagi aku akan menjenguknya, Steve: Boleh?" Laura Jane
bertanya sambil menggeng‐gam tangan Steve lagi.
"Tentu saja," jawab Steve lembut sambil ter‐senyum melihat
kepolosan sikap Laura. "Ia pasti rindu sekali padamu bila kau tidak
menjenguknya.
Steve melepaskan genggaman tangan Laura dan keluar lewat
pintu belakang. "Selamat malam, Steve," ucap Laura.
"Selamat malam, Laura," jawab Steve. Kemu‐dian Steve
menyentuh pinggir topi koboinya sebagai salam hormat kepada
yang lain, meng‐hilang di kegelapan malam dengan langkah ter‐
pincang‐pincang.
Rink menatap kepergiannya lalu menutup pintu. Haney sibuk
memotong kue pecan pie dan menyendokkan es krim vanila ke
atasnya.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Aku tidak mau, Haney. Terima kasih," ujar Caroline. Lewat ekor
matanya, ia melihat Rink memandanginya. "Hari ini aku letih sekali.
Ku‐ra$a aku mau isdrahat dulu."
"Ada yang kaubutuhkan?" tanya Haney, pri‐hatin.
"Tidur nyenyak," jawab Caroline. Dicon‐dongkannya badannya ke
arah Laura Jane, lalu diciumnya pipinya. "Selamat malam. Besok
pagi kita sama‐sama ke rumah sakit dan kau bisa menemui
ayahmu."
"Ya, aku mau. Selamat malam. Kau juga gembira Rink pulang,
kan, Caroline?"
"Ya, tentu saja." Caroline menegakkan tubuh dan bertemu
pandang dengan Rink. "Haney sudah menyiapkan kamarmu.
Selamat malam, Rink."
Sebelum Rink sempat menjawab, Caroline su‐dah keluar pintu,
meninggalkan ruang makan menuju loteng. Ternyata berat buat
Caroline untuk berada dalam satu ruangan dengan Rink. Selain itu,
Rink, Laura Jane, dan Haney, yang mengasuh mereka sepeninggal
Marlena, perlu waktu bersama mereka tanpa dirinya.
Suara langkah kakinya di lorong atas teredam karpet Oriental
yang terhampar di sepanjang lorong. Dua lampu di sisi ranjang
menerangi kamar tidurnya. Salah satu lampu itu dimatikan‐nya.
Berada dalam kegelapan terasa lebih nyaman bagi Caroline malam
itu; seakan kegelapan mam‐pu menyembunyikan sesuatu yang tidak
ingin dilihatnya, tak ingin dipikirkannya. Caroline ber‐diri di dekat
jendela besar yang menghadap ke halaman belakang The Retreat
yang luas 4an dataran landai ditumbuhi rerumputan yang mengarah
ke sungai. Bulan separo tampak di langit, tetapi ia dapat melihat
pantulannya di permukaan air dari kejauhan. Segalanya terasa
begitu damai.
Caroline hanya butuh ketenteraman. Tiga pu‐kulan berat
menghantamnya hari ini. Ia tahu suaminya akan meninggal. Steve
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
bersikap lebih daripada sekadar teman terhadap Laura Jane, bahkan
lebih daripada mengasihani. Dan Rink, yang kini pulang.
Sambil menarik napas dalam, ia menjauhi jendela dan membuka
pakaiannya. Setelah bathtub dipenuhi air hangat, Caroline
berendam di dalam bathtub yang penuh busa wangi sambil
memejamkan mata. Saat itulah dibiarkannya dirinya menangis.
Untuk Roscoe. Selama ini Roscoe frustrasi gara‐gara penyakitnya,
tetapi laki‐laki itu berkeras tidak mau memeriksakan diri ke dokter.
Buat pria yang penuh vitalitas seperti Roscoe, kenyataan dirinya
diserang penyakit sulit diterima. Barangkali akan jauh lebih baik bila
maut segera menjemputnya. Memaksa Roscoe yang selalu penuh
semangat dan ambisi berbaring tak berdaya dan hanya bisa
mengeluh kesakitan di ranjang rumah sakit selama berbulan‐bulan
juga sangat tidak manusiawi.
Caroline berendam di bathtub beberapa lama sampai air
matanya mengering dan air mandinya dingin. Ia ingin cepat‐cepat
tidur. Seisi rumah sudah senyap. Terdengar suara ketukan pelan di
pintu kamarnya ketika ia menarik bedcover ran‐jang. Caroline
terlonjak karena terkejut.
Dari pintu kamar yang dibukanya sedikit, Caroline melihat sosok
seseorang di bawah cahaya remang‐remang, berdiri di lorong rumah
yang sunyi. "Ada apa?"
"Aku mau bicara denganmu."
Rink langsung menerobos masuk. Karena tidak ingin
menimbulkan kegaduhan, Caroline tak pu‐nya pilihan lain kecuali
membiarkan pria itu masuk dan menutup pintu kamarnya. Rink ber‐
diri di tengah kamar, pelan‐pelan berbalik, memerhatikan semua
perabot yang ada di dalam kamar. Ia melangkah ke dekat jendela,
tangannya menyentuh tirai, seperti mengingat‐ingat suasana kamar
itu di masa lalu. Diamatinya barang‐barang antik yang ada di meja
rias. Ia melirik ke arah cermin yang memantulkan bayangan dirinya.
Apakah ia mencari sosok anak laki‐laki kecil seperti dulu?
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Dulu ini kamar tidur ibuku," ucap Rink akhirnya.
Tangan Caroline yang berkeringat saling meng‐genggam di
pinggang. "Ya, aku tahu. Kamar yang cantik. Salah satu yang kusuka
di rumah ini.
"Cocok untukmu," komentar Rink, sambil mengamati pantulan
tubuh Caroline yang berdiri di belakangnya di cermin. "Sebagaimana
cocok untuk ibuku. Kamar ini sangat perempuan."
Ketika Rink tak juga mengalihkan pandangan dari dirinya,
sadarlah Caroline akan pakaian yang membungkus tubuhnya.
Pakaian tidur beri‐kut jubah luarnya itulah yang jelas membuat
tatapan mata Rink yang penuh hasrat tersebut tertuju padanya.
Caroline sadar ia belum menge‐nakan apa‐apa di balik baju tidur,
meskipun tubuhnya tertutup dari dada sampai ujung kaki. Dan yang
paling meresahkannya adalah mengetahui Rink menyadari hal itu
juga.
Tatapan matanya yang tajam berhenti di dadanya, di
pinggangnya, di bawah pinggangnya. Seperti merespons perintah
tanpa kata‐kata, bagian‐bagian tubuh itu bangkit dan bereaksi. Dada
Caroline menegang. Pangkal pahanya bagai merekah. Caroline
memaki‐maki tubuhnya, menyumpahi diri, tetapi juga tak berdaya
menekan dorongan hasrat yang menggebu‐gebu, mengaliri setiap
simpul saraf tubuhnya karena sorot mata keemasan itu.
Rink menggenggam segelas bourbon, lalu me‐neguknya dengan
penuh kenikmatan. Ia betul‐betul menikmati cairan minuman keras
yang membakar tenggorokan itu mengalir turun me‐nuju perutnya.
"Rupanya Daddy tetap menyukai wiski mahal," komentar Rink. "Dan
perempuan cantik. Kau kelihatan sangat cantik di dalam kamar ini,
Caroline, apalagi dengan sinar lampu remang‐remang yang
menimpa rambutmu." Kembali Rink mengamati sekujur tubuh
Caroline lewat cermin, kemudian berbalik dan menjauh.
Rink melangkah ke arah kursi malas di pojok kamar dan
merebahkan diri di kursi itu. Tetapi rupanya kursi tersebut
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
dirancang untuk tubuh perempuan, bukan Rink. Ujung sepatu
botnya menggantung. Dengan satu tangan dipeganginya botol
minuman keras yang diletakkannya di pe‐rur, sementara tangannya
yang satu lagi diletak‐kan di bawah kepala, sambil matanya tetap
memandangi Caroline bak burung rajawali yang mengincar mangsa.
Caroline berdiri resah di tempat yang sama dengan ketika Rink
memasuki kamar.
"Ibu dan Daddy tidak pernah tidur bersama di kamar ini," kata
Rink enteng, tetapi Caroline tidak tertipu. Tak pernah Rink
mengatakan se‐suatu tanpa alasan. "Masih segar dalam ingatanku
peristiwa hari itu, ketika Daddy meminta ibuku tidak
mempersoalkan keinginannya pindah ke kamar tidurnya sendiri
setelah Laura Jane lahir. Berjam‐jam lamanya Ibu menangis. Sejak
itu Daddy tidak pernah tidur bersama Ibu lagi." Kembali Rink
meneguk wiskinya dan tertawa keras. "Kurasa Daddy tak pernah
memaafkannya gara‐gara Laura Jane."
"Ia mengasihi Laura Jane," protes Caroline. "Ia selalu berusaha
melakukan yang terbaik buat Laura."
Kembali tawa Rink meledak, kali ini lebih keras lagi. "Oh ya? Ia
memang pandai melakukan hal‐hal seperti itu. Melakukan hal yang
dipikirnya baik untuk seseorang."
Caroline memaksa dirinya bergerak. Ia melang‐kah ke arah
ranjang lalu duduk di pinggirnya, mengencangkan tali pinggang baju
tidurnya. "Jadi masalah ini yang hendak kaubicarakan denganku?"
"Tentang suami‐istri yang tidur seranjang?' tanya Rink, sambil
menaikkan salah satu alis matanya. "Atau tentang Laura Jane?"
Jelas Rink mencari gara‐gara. Di mana kelem‐butan laki‐laki ini?
Kelembutan yang pernah ditunjukkan pria itu kepadanya ketika
mereka berjumpa sembunyi‐sembunyi atau ketika mereka saling
mencurahkan isi hati? Rink seperti orang asing baginya, padahal
dulu ia begitu akrab dengannya.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Kemeja Rink tidak dikancing, terbuka. Dada‐nya kelihatan
bergerak naik‐turun tiap kali ia menarik napas. Caroline masih ingat
penampilan Rink ketika ia pertama kali melihatnya, air sungai
menitik turun di dadanya yang bidang dan rambut hitamnya yang
kusut. Perutnya masih keras dan rata sekarang, tetap berotot.
Sebaris rambut hitam membelah tubuh itu menjadi dua bagian yang
sempurna, sebelum akhirnya ter‐tutup garis pinggang celana
jinsnya. Di balik celana jins yang ketat itu membayang kejantanan‐
nya.
Dengan gugup Caroline cepat‐cepat mem‐buang pandangan dari
tubuh Rink. "Mengapa kau ingin membicarakan masalah itu
denganku? Aku tidak ingin terlibat dalam pertengkaran antara kau
dan ayahmu."
Rink merasa kata‐kata Caroline lucu dan ia tertawa geli beberapa
saat, sambil tetap dengan asyik menghabiskan wiski. Kemudian ia
bangkit dari kursi malas dan berjalan menghampiri Caroline. Sinar
lampu kamar yang satu‐satunya itu memantulkan bayangan hitam
tubuh Rink. Ia menakutkan, berbahaya, dan memikat. Caroline
berusaha tidak menunjukkan perasaan takutnya terhadap Rink.
Bukan takut mem‐bayangkan apa yang akan dilakukan Rink ter‐
hadap dirinya, tetapi takut terhadap respons yang muncul dari
dalam dirinya bila Rink benar‐benar melakukan sesuatu.
"Aku butuh mobil besok pagi. Aku menemui‐mu untuk
meminjam mobil."
"Oh, boleh," sahut Caroline sambil menarik napas lega.
"Kuambilkan kuncinya." Caroline bangkit dari ranjang, berusaha
sebisa mungkin tidak bersinggungan dengan tubuh Rink ketika
bangkit. Namun ketika ia melewati Rink, sesaat pahanya menyentuh
paha Rink dan ia merasakan ototnya berkontraksi. Caroline cepat‐
cepat bergerak menjauh menuju lemari tempat ia menyim‐pan tas.
Dengan jari‐jari gemetar, Caroline men‐cari‐cari kunci mobilnya,
yang akhirnya ditemukannya dan langsung diletakkannya di telapak
tangan Rink. "Mau ke mana kau pagi‐pagi?"
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Aku ingin menemui dokternya sebelum ber‐temu Daddy. Aku
akan kembali menjelang siang untuk mengantarmu dan Laura Jane
ke rumah sakit, bila kau bersedia."
"Ya, boleh saja. Tetapi pagi‐pagi ada urusan yang harus
kuselesaikan lebih dulu." "Urusan di pemintalan kapas?" "Ya, aku
harus memeriksa pembukuannya." "Ya, kudengar soal itu dari
Granger. Katanya, kau banyak membantu pekerjaan Daddy sebelum
menikah dengannya." Rink maju selangkah lebih dekat. Napasnya
yang hangat dan berbau bourbon mahal menerpa wajah Caroline.
"Granger berlebihan." Caroline berusaha memiringkan tubuh,
tetapi dengan sengaja Rink juga memiringkan tubuh. Yang terjadi,
taktik yang semula dilakukan untuk menghindari Rink malah
membuat tubuh mereka lebih rapat.
"Aku tidak yakin. Aku berani bertaruh kau sangat diperlukan
Daddy dalam banyak hal, bukan?"
Mata Caroline berkilat marah ketika melirik Rink. "Mengapa kau
menyindirku terus‐menerus, Rink?"
"Karena aku selalu tergelitik untuk melihat reaksimu dengan
mengganggumu, itulah alasan‐nya. Caroline, yang begitu muda,
begitu manis, begitu sederhana, begitu... polos." Kata‐kata itu
meluncur deras dari bibir Rink bak air yang mengucur dari keran
yang terbuka.
Caroline mengangkat tangan, tetapi Rink me‐nangkap tangan itu
dan memelintirnya ke bela‐kangnya, menarik tubuh Caroline
mendekat ke tubuhnya. Dada Caroline menempel di dada Rink yang
bidang. Ibu jari kaki Caroline ber‐singgungan dengan ujung sepatu
bot Rink. Wajah Rink hanya beberapa inci dari wajahnya. Ketika ia
berbicara, setiap kata yang meluncur dari bibirnya diucapkan
dengan penuh amarah.
"Pernah kubiarkan kau menamparku, tetapi bila kau berani
menamparku lagi, kau akan menyesali perbuatanmu."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Apa yang akan kaulakukan? Balas menampar‐ku?"
Rink tersenyum mengejek. "Oh, tidak akan. Bukan begitu caraku
membalasnya. Aku akan melakukan sesuatu yang sangat tidak
kausukai." Rink merapatkan tubuh Caroline ke tubuhnya yang
bereaksi, membuat Caroline seketika me‐ngerti maksud ucapan
Rink. Rink menundukkan kepalanya lebih dekat. "Atau kau
menyukainya, Caroline? Hmm?" Gesper ikat pinggang Rink
menyentuh pakaian tidur Caroline, menggores perutnya. "Di mata
setiap orang kau memang Mrs. Roscoe Lancaster. Tetapi bagiku kau
tetap Caroline Dawson. Gadis muda yang melintas hutan untuk
bekerja di musim panas... sambil perlahan‐lahan membuatku gila."
Caroline menatap Rink. Sorot matanya menan‐tang. Penuh
amarah, bak awan badai yang berembus dari Teluk yang membawa
hujan, angin, dan petir. Rambut Caroline yang tadi dipuji Rink
tergerai dari wajahnya ke punggung. "Jadi kau masih ingat, Rink.
Aku bertanya‐tanya dalam hati apakah kau masih punya ke‐nangan
akan hal itu."
Sesaat mata Rink membelalak, kemudian me‐nyipit. Ia menatap
wajah Caroline dengan panas, lama berhenti di bibirnya, kemudian
turun dari leher ke buah dadanya, yang kini agak menyem‐bul dari
balik baju tidurnya, lalu kembali ke atas lagi. Sorot matanya
memancarkan per‐golakan, pertanda terjadi pergulatan di dalam
diri Rink.
"Ya," jawab Rink kasar. "Ya, brengsek! Aku masih mengingatnya."
Caroline dibebaskan begitu mendadak sehingga ia terhuyung dan
bersandar di meja riasnya. Ketika keseimbangan tubuhnya kembali,
Rink melangkah keluar dari kamar dengan sikap murka.
Sialan! Ia berharap ia tidak ingat semua kenangan manis itu.
Di kamarnya, Rink membuka kemeja, mengisi gelas dengan
minuman keras dari botol yang dicurinya di lemari minuman keras
ayahnya, lalu merebahkan diri di kursi malas yang selalu diletakkan
di dekat jendela. Diteguknya wiski itu, tetapi karena minuman itu
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
sudah kehilangan rasa, diletakkannya gelas tersebut dengan jengkel.
Ia membungkuk, membuka sepatu bot, lalu me‐lemparkannya ke
permadani sehingga menimbul‐kan suara gedebuk perlahan.
Sambil bersandar, kepalanya di bantalan kursi yang empuk,
dibiarkannya pikirannya menerawang ke masa lalu, ke suatu musim
panas ketika ia berusaha kabur dari pemintalan kapas, pengawasan
ayahnya, dan panas matahari Mississipi yang menyengat. Ia pergi ke
tepi sungai, tanpa pakaian selembar pun terjun ke sungai yang
airnya dingin. Ketika ia naik ke darat kembali, sewaktu sedang
mengeringkan tubuh dan memakai celana jins, ia melihat
perempuan itu....
"Astaga!" teriak Rink. Jari‐jarinya meraba‐raba hendak menutup
ritsleting celana jins. "Sudah berapa lama kau di situ?" Rink ingin
tertawa melihat reaksinya. Kalau Rink hanya terkejut melihatnya,
gadis itu seperti lumpuh.
Rink tidak mengira gadis itu akan menjawab, tetapi kemudian
dengan tergagap ia berkata, "Aku... aku baru saja sampai di sini."
"Hmmm, baguslah, karena aku tadi berenang telanjang bulat.
Bila kau datang lebih cepat, kita berdua bisa malu."
Senyum Rink lebar dan penuh percaya diri, penuh keangkuhan.
Meski si gadis yang memakai kaus kaki pendek dan sepatu murahan
itu masih terkejut dan gemetar, ia berusaha membalas ter‐senyum
dengan malu‐malu. "Kuharap aku tidak mengganggumu," katanya
dengan kesopanan yang, dalam situasi seperti ini, membuat Rink
geli.
"Tidak, aku sudah selesai. Udara panas sekali. Aku jadi ingin
berenang."
"Ya, udaranya memang panas. Karena itulah aku mengambil
jalan pintas ini. Di sini lebih teduh ketimbang di jalan raya."
Sejak awal Rink sudah tertarik pada gadis itu. Bukan hanya
karena wajahnya yang cantik, tetapi juga karena penampilannya
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
yang berbeda. Roknya yang terbuat bahan katun bersih dan licin,
tetapi sudah ketinggalan zaman. Blusnya juga terbuat dari bahan
katun berwarna putih, menebarkan aroma sabun cuci, bukan
wewangian Youth Dew, yang sepertinya dipakai semua gadis masa
itu.
Di balik blus gadis tersebut, Rink melihat garis‐garis branya yang
putih, yang pastilah sangat tidak nyaman. Gadis‐gadis umumnya
memakai model yang disebut push‐up bra—bra untuk menaikkan
payudara, yang bertujuan, Rink yakin, membuat teman kencan
mereka tergila‐gila.
Ia mengalihkan pandangannya dari payudara si gadis, merasa
malu pada dirinya sendiri karena membuat analisis seperti yang
dilakukannya ter‐hadap gadis‐gadis yang dikenalnya. Ia hanya gadis
kecil. Lima belas? Enam belas? Paling‐paling. Ia tampaknya takut
sekali padanya.
Tetapi ya ampun, gadis itu cantik sekali. Kulitnya bersih; matanya
kelabu bagai kabut yang melayang rendah di rawa‐rawa; tubuhnya
indah, molek, menunjukkan lekuk feminin. Ram‐butnya mengilap,
seperti kayu mahoni yang di‐pernis. Tiap kali angin meniup
pepohonan di atas kepalanya, sinar matahari menerpa rambut‐nya
seperti kilatan cahaya di rambut yang lebat itu.
"Kau mau ke mana?"
"Ke kota. Aku kerja di toserba Woolworth."
Rink tidak pernah mengenal gadis yang harus bekerja pada
musim panas. Umumnya mereka menghabiskan musim panas
dengan berjemur di dekat kolam renang, milik pribadi atau milik
umum, sampai bertemu seseorang yang mereka kenal dan
merencanakan pesta untuk malam harinya.
"Namaku Rink Lancaster."
Ia menatap Rink dengan sorot mata aneh. Rink mengira karena ia
telanjang bulat. Gadis itu berusaha menekan rasa ingin tahunya,
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
tetapi matanya terus berkelebat ke dada Rink, perutnya, dan
ritsleting celana jinsnya yang belum tertutup. Biasanya itu justru
menaikkan rasa percaya diri Rink, meyakinkannya bahwa dengan
mudah gadis itu bisa ditaklukkannya. Ia menganggap reaksi seperti
itu sebagai pemberitahuan si gadis tertarik padanya dan bisa diajak
kencan. Tetapi sorot mata gadis tersebut yang demikian polos justru
menjengkelkan hatinya. Dengan tatapan matanya yang selalu
tertuju ke ritsleting celana‐nya, Rink resah menyadari hasrat yang
tak di‐inginkannya makin menggebu saat itu.
Untuk menunjukkan sikap santunnya, ia maju selangkah hendak
menyalaminya. Sesaat gadis itu terkejut, tetapi kemudian ia pun
menyambut tangan Rink dengan malu‐malu. "Caroline Dawson,"
jawabnya dengan suara gemetar, sambil menatap mata Rink.
Mereka berpandangan.
Waktu bergulir, serangga berderik di atas ke‐pala mereka,
pesawat menderu di langit tinggi, air mengalir membasahi batu‐
batuan di tepi su‐ngai yang berlumut. Sesudah beberapa lama baru‐
lah keduanya bergerak dan melepaskan tangan masing‐masing.
"Dawson?' Rink mengulang nama keluarga si gadis dan heran
mendengar suaranya sendiri jadi sama seperti sepuluh tahun yang
lalu, sebelum terjadi "perubahan". "Putri Pete Dawson?"
Gadis itu menunduk dan Rink melihat bahu‐nya terkulai. Bodoh!
Mengapa ia mengajukan pertanyaan dengan nada tidak percaya
seperti itu? Setiap orang kenal siapa Pete Dawson. Se‐panjang hari
kerjanya main kartu, minta uang pada orang bodoh yang kebetulan
bertemu atau berbicara dengannya, sampai ia mendapat uang
cukup untuk membeli minuman yang bisa di‐nikmatinya sampai
keesokan hari.
"Ya," jawab gadis itu lembut. Kemudian, meski agak gemetar, ia
mengangkat kepala dengan sikap percaya diri yang membuat Rink
lega kembali, dan berkata, "Aku harus segera pergi, kalau tidak nanti
aku terlambat kerja."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Aku senang berkenalan denganmu."
"Aku juga."
"Hati‐hati berjalan di hutan." Gadis itu ter‐tawa. "Apa yang
lucu?"
"Kau memperingatkanku agar berhati‐hati, se‐mentara kau
sendiri berenang di sungai." Gadis itu menunjuk sungai. "Mungkin
saja di sana ada ular berbisa, dan siapa yang tahu ada makhluk‐
makhluk lain apa di sana. Mengapa kau tidak berenang di kolam
renang di kota saja?"
Rink mengangkat bahu. "Aku merasa kepanasan."
Ia kepanasan. Tuhan, ia merasa sangat ke‐panasan. Ketika
tertawa, gadis itu menengadahkan kepalanya ke belakang,
menampakkan lehernya yang putih, mulus, dan begitu
mengundang. Rambutnya mengilap menutupi leher dan bahu. Bau
sabun cuci dan tepung kanji mulai tercium lebih wangi di hidung
Rink daripada parfum mahal mana pun. Bau itu begitu membaur
dengan aroma kulitnya yang segar. Tawanya yang renyah dan tulus
menyentuh hati Rink. Tawa itu mengelus bagian hatinya yang sakit
luar biasa.
Ya, Rink kepanasan. Terbakar karena cuaca yang panas. "Pukul
berapa kau pulang kerja?" Rink sama terkejutnya seperti Caroline
ketika mendengar pertanyaan yang mendadak meluncur keluar dari
mulutnya tersebut.
"Pukul sembilan." Dengan hati‐hati Caroline mulai melangkah
mundur.
"Malam hari? Kau pulang sendirian malam hari?'
"Ya. Tetapi aku tidak lewat hutan. Aku hanya lewat di sini pada
siang hari."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Sejenak Rink membayangkannya. Gadis ini berbeda dengan
gadis‐gadis yang pernah dikenal‐nya, di kota Winstonville ini atau di
Ol'Miss.
"Aku akan terlambat kerja," ujar Caroline dan makin menjauhkan
diri, namun Rink me‐rasakan keengganan dalam diri gadis itu.
"Ya, tentu. Jangan sampai terlambat. Sampai nanti, Caroline."
"Sampai jumpa, Rink."
Banyak yang tak terucapkan dengan kata‐kata pada waktu
mereka berpisah. Rink ingin mereka bertemu lagi. Caroline tak
pernah membayangkan mereka bisa berjumpa lagi.
Rink masuk ke mobil convertible‐nya. tanpa lewat pintu. Ia
langsung melaju pulang ke ru‐mahnya, The Retreat, dengan
kecepatan tinggi dan masuk ke kamarnya, naik dua anak tangga
sekali langkah, dan....
Kini, sebagaimana sebelumnya, bayangan Caroline memenuhi
benaknya. Rink ingat memasuki kamar yang sama di suatu sore dua
belas tahun yang lalu. Dilemparkannya pakaiannya ke lantai tetapi
ternyata pakaian itu jatuh ke kursi yang sama. Ia duduk santai di
kursi yang sama saat ini, dengan bayangan perempuan yang sama
memenuhi benaknya. Caroline masih menyimpan misteri, masih
sulit dipabami, menghantui dan menguasai‐nya.
Dan kini, seperti waktu itu, ia sadar, upaya apa pun yang ia
lakukan tak mungkin bisa mengobati luka hatinya, tak bisa meredam
gejo‐lak hasratnya yang membara.
Bab 3
HARI masih pagi ketika ia terbangun. Caroline ingin tidur lebih
lama, tidak ingin bangun, tak ingin menghadapi rangkaian krisis
berupa penyakit yang diderita Roscoe dan bertemu Rink yang kini
kembali tinggal di Winstonville.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Ia mendengar suara pintu depan di lantai bawah dibuka dan
ditutup kembali dengan per‐lahan sekali. Disibakkannya penutup
ranjangnya, lalu berjalan menyusuri lorong yang menuju teras
rumah di lantai dua. Sinar matahari belum lagi menerangi pucuk
pepohonan, namun cahaya‐nya yang berwarna jingga sudah
mewarnai langit di ufuk timur. Sebuah bintang dan bulan separo
tampak jelas di langit yang bersih. Kabut ber‐gulung naik,
meninggalkan permukaan rumput yang berembun. Lagi‐lagi udara
akan lembap hari ini.
Tepat di bawah lantai ia berdiri, Caroline melihat Rink memasuki
serambi. Rink tampak terpaku di anak tangga paling bawah dan
melempar pandangan ke sekeliling rumah, yang Caroline tahu pasti
tempat yang sangat disayangi Rink. Tempat yang sangat berarti buat
Rink, sepenting tarikan napasnya. Caroline merasa iba,
membayangkan Rink, yang memaksakan diri ber‐tahun‐tahun
tinggal jauh dari rumah yang sangat disayanginya.
Dengan langkah pelan Rink menuju mobil yang diparkir di depan
rumah. Ia mengenakan celana jins dan mantel bergaya sport, gaya
ber‐pakaian yang terlalu mewah untuk koboi pekerja, tetapi cocok
buat Rink. Celana jinsnya belel modis, dikanji dan disetrika licin.
Caroline terus mengamati Rink yang merogoh saku depan, mencari‐
cari kunci mobil.
Rink membuka pintu mobil lebar‐lebar. Saat itulah tanpa
disengaja ia melihat Caroline yang memandanginya dari teras
rumah di lantai dua. Rink menopangkan tangan pada atap mobil,
balas menatap Caroline.
Caroline tetap berdiri terpaku, tidak berbicara, tidak pula
memberi salam pada Rink, hanya matanya yang bicara. Mereka
saling menatap. Saiing memandang. Beberapa saat lamanya, di pagi
hari yang berlangit keemasan, mereka saling menatap. Di
keremangan sinar matahari pagi sosok mereka seperti tidak nyata,
di luar jang‐kauan waktu. Dalam keakraban yang hening itu mereka
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
melepaskan semua pertahanan diri. Keduanya hanyut mengikuti
suara hati mereka.
Tak ada apa pun lagi di dunia ini yang mampu menyelamatkan
keduanya.
Sampai akhirnya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Rink
memasuk mobil Lincoln‐nya dan melaju pergi. Dengan perasaan
sedih Caroline kembali ke kamar dan berganti pakaian.
Dipandanginya dirinya di depan cermin, ber‐tanya‐tanya,
"Bagaimana bisa terjadi seperti ini?"
Satu‐satunya pria yang pernah dicintainya, atau pria yang hampir
pernah dicintainya, hanyalah Rink Lancaster. Sesaat mereka
menikmati sesuatu; yang sangat istimewa dan langka. Paling tidak,
begitulah buat Caroline. Dibiarkannya dirinya berkhayal
mendapatkan sesuatu yang kecil ke‐mungkinannya bisa diraihnya. Ia
tolol sekali waktu itu, begitu memercayai cerita Rink di musim panas
itu. Padahal kata‐kata Rink tidak punya arti apa‐apa. Dirinya
hanyalah sekadar| mainan baru buat Rink.
Namun nasib yang tak bisa ditebak menentu‐kan lain—dia
menikah dengan ayah Rink. Ayah Rinkl Ketika Roscoe melamarnya
untuk menjadi istri, lamaran itu bak jalan untuk mewujudkan;
mimpi‐mimpinya. Untuk mendapatkan kehor‐matan, uang. Orang‐
orang yang selama ini me‐rendahkannya, menghinanya selama
hidupnya, harus menghormatinya.
Rink sudah pergi, takkan pernah muncul kem‐bali. Mengapa tak
pernah terlintas dalam benak‐nya ada kemungkinan Rink akan
kembali? Bagaimana perasaannya bila Rink benar‐benar kembali?
Benarkah selama ini ia bersikap jujur terhadap dirinya? Apakah ia
menikah dengan Roscoe ka‐rena ingin membahagiakan Roscoe,
membantu mengurus bisnisnya, menjadi teman Laura Jane, bukan
karena ingin membuat Rink cemburu dan sedih sebab laki‐laki itu
meninggalkan diri‐nya seenaknya? Tidakkah ini hanya pembalasan
untuk perasaan sakit hati yang harus ditanggung‐nya ketika Rink
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
meninggalkannya? Tidakkah diam‐diam ia berharap Rink mendengar
kabar pernikahannya, teringat peristiwa di musim panas dua belas
tahun yang lalu, menyulut murka dalam hati Rink?
Caroline tersenyum getir saat melihat pantulan dirinya di
cermdn. "Ia hanya geli, Caroline. Ia cuma geli dan jijik."
Haney sudah ada di dapur ketika Caroline turun beberapa saat
kemudian untuk minum kopi. "Selamat pagi."
"Pagi sekali kau bangun," komentar Haney dari balik
punggungnya.
"Aku harus membayar gaji karyawan, ingin kuselesaikan
secepatnya supaya bisa beristirahat." Caroline menyeruput kopi.
"Kau juga bangun lebih pagi daripada biasanya."
"Aku ingin menyiapkan sarapan istimewa un‐tuk Rink."
"Ia sudah pergi, Haney."
Haney berbalik dan menatap Caroline, seakan memintanya
menegaskan kembali apa yang di‐dengarnya. "Sudah pergi?"
"Ya, kira‐kira sejam yang lalu."
Haney menggelengkan kepala, sambil berdecak. "Tidak teratur
makannya dia itu. Aku sibuk membuat sarapan, ia malah keluar
lebih cepat, bahkan sebelum aku sempat menghidangkan‐nya.
Caroline meletakkan tangannya di pundak Haney, menghiburnya.
"Mengapa tidak diberikan kepada Laura Jane? Minta Laura
memanggil Steve ke sini untuk menikmatinya bersamanya. Aku
yakin mereka akan senang."
"Baiklah," sahutnya, sambil menggerutu. "Te‐tapi suasana tetap
lain kalau tanpa Rink. Tidak ada yang sama lagi di rumah ini sejak
Rink menikah dengan perempuan itu dan meninggal‐kan kota ini."
Haney betul dalam hal itu, batin Caroline sambil berjalan ke
pintu belakang menuju kamar kerja Roscoe. Dengan perasaan sakit
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
ia menge‐nang peristiwa yang terjadi hari itu, hari Rink tidak muncul
di tempat pertemuan mereka. Hari itu, di tempat kerjanya, dengan
perasaan hancur Caroline mendengar kabar tentang Rink Lancaster
yang akan menikah dengan Marilee George, gadis dari keluarga
terkemuka di kota Winstonville. Dunia Caroline pun berubah.
Caroline memeriksa pembukuan cepat‐cepat tanpa berpikir.
Waktu ia menelepon ke pabrik pemintalan kapas, mandor jaga pagi
melaporkan segalanya berjalan lancar.
"Tetapi ada satu mesin yang tidak beres. Na‐mun Anda tak perlu
mencemaskannya pada saat seperti sekarang ini."
"Aku yakin kau mampu mengatasinya, seperti biasa, Barnes.
Selama Roscoe masih hidup, tang‐gung jawab tetap ada pada
Roscoe, aku akan memberikan laporan kepadanya."
"Baik, Ma'am," jawab mandor itu sebelum menutup telepon.
Caroline tahu beberapa karyawan laki‐laki di pabrik tidak suka
menerima perintah dari perem‐puan, terutama perintah darinya,
putri Pete Dawson. Namun, andai pun perkiraannya itu benar,
mereka tidak akan pernah berani meng‐ungkapkan pendapat
mereka itu. Mereka sangat takut pada Roscoe. Tetapi apa yang akan
terjadi bila Roscoe tiada?
"Ada masalah?"
Caroline seketika mendongak dan melihat Rink di ambang pintu.
Caroline sadar alis mata‐nya berkerut karena dilanda perasaan
cemas, tapi ia berusaha menenangkan diri. "Masalah kecil. Kau kan
paham keadaan di pabrik pemin‐talan kapas ini."
"Sebetulnya, aku tidak tahu." Rink menjawab sambil melangkah
masuk. Jaket sport disampirkan di pundak, ditahan jari telunjuknya.
Tiga kancing pertama kemejanya dibiarkan terbuka,
memperlihatkan lehernya yang kecokelatan dan bulu dadanya yang
hitam lebat. "Aku meninggalkan kota kelahiranku ini sebelum
banyak terlibat dengan urusan di pemintalan." Kini Rink berdiri di
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
dekat mejanya. Tubuhnya dicondongkan ke depan, sampai
wajahnya sejajar dengan wajah Caroline. "Bagaimana kalau
kauberitahu aku, boss ladyr
Tersulut perasaan marah, Caroline langsung bangkit,
menyebabkan kursi berodanya meluncur ke belakang. Mereka
berhadapan seperti dua petinju yang siap bertanding di arena,
menanti‐kan bunyi bel untuk memulai pertandingan.
"Rink, Haney memintaku datang ke sini untuk memberitahumu.
Ia menyiapkan sarapan untuk‐mu dan ia ingin kau memakannya."
Dengan riang Laura Jane memasuki ruangan dan me‐meluk Rink,
kakak laki‐lakinya. "Selamat pagi, Caroline. Aku juga diminta
membawakan sarapan untukmu. Haney berpesan kau tidak boleh
menolaknya."
Mereka tidak jadi berdebat lagi, tetapi Rink tidak membiarkan
Caroline lolos begitu saja. Ia menjulurkan tangan ke hadapan
Caroline. "Caroline." Caroline ridak punya pilihan lain, kecuali
membiarkan tangannya digenggam tangan Rink dan membiarkan
dirinya dituntun ke meja makan. Namun Rink tidak melepaskan
geng‐gaman tangannya meski mereka sudah berada di ruang
makan. Kalau Rink menggenggam tangan Laura Jane, itu tidak jadi
masalah. Tetapi bila telapak tangan Rink bersentuhan dengan
telapak tangannya, jari‐jarinya mencengkeram kuat jemarinya
seakan ia miliknya, bulu roma Caroline jadi bergidik.
Kendati makanan yang dihidangkan Haney sangat istimewa,
Caroline tidak dapat menikmati‐nya. Rink kelihatan tidak terlalu
senang melihat Steve duduk di samping Laura Jane. Steve ber‐kali‐
kali melemparkan pandang resah ke sekeliling ruangan, seperti
mengisyaratkan ingin segera di‐izinkan meninggalkan ruang makan.
Sikap per‐musuhan antara Rink dan Caroline demikian kentara,
meskipun mereka tetap bersikap sopan. Haney tidak habis
mengerti, ia malah tersinggung karena ketegangan di antara kedua
orang itu menghancurkan segala upayanya untuk menjadi‐kan saat
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
itu sebagai hari istimewa menyambut kepulangan kembali Rink ke
rumah.
"Mengapa semua marah‐marah?" tanya Laura Jane tiba‐tiba.
Semua mata tertuju padanya, terkesima. Hanya Laura Jane yang
kelihatan gembira, menikmati kehadiran orang yang dikasihinya.
Tetapi komen‐tarnya memang benar, dan ia bisa menangkap
ketegangan yang terjadi di meja makan.
Caroline‐lah akhirnya yang membuka suara, "Kami semua
mengkhawatirkan kondisi Roscoe," katanya lembut, sambil
mengulurkan tangan, mengelus tangan Laura Jane.
"Tetapi Rink sudah di sini. Juga Steve." Laura menatap Steve
dengan mesra. "Kita harus ber‐gembira."
Laura Jane membuat yang lain merasa malu pada diri mereka
sendiri. Rink tidak lagi menatap Steve dengan pandangan curiga
atau kelihatan tegang setiap kali mendapati Steve menatap Laura
Jane. Ia dan Caroline berhenti saling menatap penuh permusuhan;
keduanya bahkan mengobrol tentang orang‐orang yang dikenal Rink
beberapa tahun yang lalu. Caroline memberitahu Rink siapa saja
yang menikah, siapa yang bercerai, siapa yang makin kaya, dan
siapa yang menjadi miskin.
Begitu selesai makan, Steve berdiri, mengucap‐kan terima kasih
pada Haney, kemudian langsung berjalan ke arah dapur. "Tunggu
sebentar, Steve," panggil Laura Jane. "Aku ikut, aku ingin me‐nengok
anak kuda itu."
"Kita akan pergi ke rumah sakir, Laura Jane," kata Rink singkat.
"Tetapi aku ingin melihat anak kuda itu. Aku sudah janji pada
Steve akan menengoknya di kandang pagi ini."
Steve langsung menangkap maksud Rink. "Laura Jane, ayahmu
akan kecewa bila kau tidak menjenguknya. Anak kuda itu tidak akan
pergi kemana‐mana," canda Steve. "Kau bisa men‐jenguknya kapan
saja kau mau."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Baiklah, Steve," Laura menyetujui dengan suara lirih. "Aku akan
menemuimu begitu kem‐bali."
Steve mengangguk, sekali lagi berterima kasih pada Haney dan
cepat‐cepat berlalu. Ia tidak menatap Rink ketika meninggalkan
ruangan.
Caroline buru‐buru bangkit. "Aku akan ber‐siap‐siap, Rink. Laura
Jane, mau dandan dulu sebelum pergi?"
"Ya, kurasa."
Mereka turun ke lantai bawah kembali be‐berapa menit
kemudian. Rink sudah menunggu mereka di teras. Haney berdiri di
sampingnya, memegang vas berisi bunga‐bunga mawar yang baru
dipotong. "Haney akan menyusul dengan mobilnya, karena ia ingin
membawa bunga ma‐war untuk Daddy. Dan ia ingin pulang dari
rumah sakit lebih dulu. Laura Jane, kau ikut mobil Haney saja,
pegangi vas bunganya supaya airnya tidak tumpah."
"Biar aku saja yang memeganginya." Caroline buru‐buru
menawarkan diri. Tatapan mata Rink yang tajam padanya
mengisyaratkan sikap tidak setuju.
"Aku ingin bicara denganmu selama perjalanan." Tanpa bisa
dibantah, Rink mengantar Caroline dengan mobil Lincoln‐nya,
sementara Haney me‐laju dengan mobil station wagon, yang
sebenarnya milik The Retreat tetapi dipercayakan kepadanya.
"Apakah kau bertemu dokternya tadi pagi?" tanya Caroline,
memecah keheningan.
"Ya. Ia menceritakan apa yang disampaikannya padamu dan
Granger."
"Apakah... apakah dokter memberitahukan ka‐pan...
"Bisa terjadi kapan saja."
Mereka melaju di jalan tol, menuju pusat kota, sebelum Rink
menyinggung hal lain, "Siapa Steve?"
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Steve Bishop." Caroline langsung bersikap defensif. Ia yakin
tahu apa yang bakal terjadi dan tidak ingin hal itu terjadi.
Rink mencibir kesal. "Bisa memberi penjelasan lebih mendetail
lagi?"
"Ia veteran Perang Vietnam."
"Karena itukah jalannya pincang? Cedera se‐waktu perang?"
"Ia kehilangan kaki kirinya dari lutut ke ba‐wah." Caroline
mengatakan hal itu sambil me‐malingkan wajah ke arah Rink. Rink
terus meng‐arahkan pandangan ke jalan, namun Caroline melihat
tangan Rink mencengkeram kemudi dan i otot‐otot tangannya
menonjol. Air mukanya te‐ f gang, menyiratkan kekerasan hati, tak
tergoyah‐kan. Dan keangkuhan. Keangkuhan vang ber‐lebihan.
Caroline tahu Rink ingin tidak menyukai Steve. Mengetahui Steve
cacat seumur hidup akan membuatnya sulit melakukannya. "Ketika I
melamar pekerjaan, ia bersikap getir dan agak kasar. Tetapi aku
yakin itu cuma cara yang digunakannya untuk mempertahankan diri
meng‐hadapi penolakan. Sebetulnya Steve pribadi yang sangat
berhati‐hati, pekerja keras, dan jujur."
"Aku tidak suka kedekatannya dengan Laura."
"Mengapa?"
"Kau masih perlu bertanya?" tanya Rink, sam‐bil memalingkan
kepala. "Tidak sehat dan ber‐bahaya, itu sebabnya. Laura Jane tidak
punya urusan untuk berkeliaran di dekat laki‐laki lajang sepanjang
waktu."
"Aku tidak melihat salahnya. Laura Jane juga lajang."
"Dan masih lugu soal seks. Sangat lugu. Aku tidak yakin Laura
Jane paham perbedaan antara laki‐laki dan perempuan, dan
mengapa ada per‐bedaan."
"Ia pasti tahu!"
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Baiklah, kalau begitu makin kuat alasan buat Laura Jane untuk
tidak perlu sering bersama Steve. Karena aku yakin Steve mengerti
per‐bedaan itu."
"Kurasa Steve baik terhadap Laura. Ia sangat baik hati dan
penyabar. Ia memang pernah terluka, bukan hanya secara fisik.
Steve tahu bagaimafia rasanya menjadi orang yang terbuang dan
merasa ditolak seperti yang dirasakan Laura Jane selama ini."
"Bagaimana bila ia memanfaatkan rasa suka Laura? Secara
seksual...."
"la tidak akan melakukan hal seperti itu."
Rink mendengus. "Pasti begitu. Ia kan laki‐laki dan Laura Jane
perempuan cantik, sementara banyak kesempatan bagi mereka
untuk hal itu."
"Sepertinya kau tahu banyak."
Kata‐kata tajam itu meluncur keluar dari bibir ‐Caroline tanpa
bisa ditahannya. Rink mengerem mobil di halaman parkir rumah
sakit dengan mendadak, lalu berbalik menghadap ke arah Caroline.
Air mukanya menunjukkan kemurkaan, seperti juga Caroline.
Caroline sudah memulai, jadi sekarang tak ada gunanya bertindak
setengah‐setengah.
"Kau jelas sangat paham soal memanfaatkan gadis lugu,
membohonginya, membuat janji‐janji yang tidak akan pernah
kautepati."
"Maksudmu soal janji di musim panas itu?"
"Ya! Aku heran, bisa‐bisanya kau menjalin hubungan denganku
tapi menghamili Marilee. Kau pasti kehabisan tenaga. Atau
kauanggap aku hanya sebagai pemanasan sebelum menikmati hal
yang lebih menyenangkan?"
Rink membiarkan Caroline bicara panjang‐lebar sebelum
membuka pintu mobil dan me‐nutupnya kembali keras‐keras. Saat
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
itulah Caroline baru menyadari Haney dan Laura JaMe sudah berdiri
menunggu di pintu masuk rumah sakit dan memandangi mereka.
Caroline merasakan jari‐jemarinya dingin ketika ia mengepalkannya,
tetapi ia mencoba tetap bersikap tenang ketika Rink membukakan
pintu mobil dan membantunya keluar. Ia berusaha menunjukkan
sikap tenang saat mereka bersama‐sama memasuki lobi rumah sakit
lalu menaiki lift.
Perawat yang bertugas di lantai kamar Roscoe memberitahu
mereka boleh masuk sekaligus asal tidak terlalu lama. "Ia tidak bisa
tidur. Ke‐sakitan," kata perawat itu kepada mereka dengan sedih.
"Mungkin sebaiknya aku masuk lebih dulu dan memberitahu
Roscoe kalian datang men‐jenguknya," kata Caroline. Tak ada yang
ke‐beratan. Rink bersikap dingin dan menjauhkan diri. Haney, tidak
seperti biasanya, berdiam diri. Laura Jane membelalak dan tampak
ingin kabur.
Caroline mendorong pintu kamar rumah sakit yang berat dan
melangkah memasuki kamar. Rumah sakit memberikan kamar yang
paling besar dan paling mahal. Karangan bunga ber‐deret‐deret di
sepanjang kusen jendela dan di meja teve. Caroline tidak suka
mengakuinya, tapi Roscoe memang tidak disukai orang‐orang yang
pernah berurusan dengannya. Tetapi banyak yang menghormati
atau takut padanya, terbukti dari tumpukan kartu ucapan cepat
sembuh dan deretan %arangan bunga yang dikirim untuk‐nya.
Roscoe tidak tampak menakutkan sekarang ketika ia membuka
mata dan melihat kedatangan Caroline. Kulitnya abu‐abu
kekuningan, pucat seperti mayat. Lingkaran hitam tampak di
seputar matanya. Bibirnya biru. Tetapi matanya tetap tajam dan
berbinar‐binar sebagaimana biasanya. "Selamat pagi." Caroline
membungkukkan ba‐dan ke arah Rocoe, menggenggam tangan
Roscoe dan mencium keningnya. "Kata perawat kau tidak tenang
sepanjang malam. Sama sekali tidak bisa istirahat?"
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Tak usah mengatur‐ngatur aku, Caroline." Roscoe menarik
tangannya. "Aku akan segera pergi ke alam keabadian untuk
beristirahat." Roscoe tertawa dengan susah payah. "Atau untuk
dibakar, aku yakin demikian. Kau sudah menyelesaikan semua
pembayaran gaji?"
"Ya," jawab Caroline, sambil melangkah mundur dan menerima
penolakan Roscoe atas per‐hatian yang diberikannya dengan penuh
penger‐tian. Roscoe sakit parah. Bisa dipahami kalau ada sikapnya
yang tidak menyenangkan. "Pagi ini. Aku akan mengantarkan ceknya
ke pemintalan petang nanti."
"Bagus. Aku tidak ingin mereka mengira aku sudah mati." Roscoe
meletakkan salah satu tangannya di perut dan meringis kesakitan,
sambil menyumpah‐nyumpah.
Ketika rasa sakit Roscoe mereda, Cardline ber‐kata lembut, "Kau
bersedia menerima tamu lain?"
"Siapa?"
"Laura Jane dan Haney."
"Haney! Perempuan munafik. Ia sangat mem‐benciku sejak
pertama kali mengenalku. Ia mengira aku menikahi Marlena karena
uangnya dan ingin memiliki The Retreat. Ia menyalahkan aku
sebagai orang yang menyebabkan Rink kabur dari rumah. Ia
menimpakan kesalahan padaku atas setiap kejadian yang tidak
beres dalam keluarga ini."
Caroline pura‐pura menentang Roscoe. "Mengapa kau tidak
memecatnya beberapa tahun yang lalu?"
Roscoe tertawa keras‐keras dan baru berhenti ketika rasa sakit
kembali menyerangnya. "Karena aku suka bertengkar dengannya. Ia
mempertajam otakku. Sekarang ia menjengukku untuk menge‐jekku
yang terkapar di ranjang ini. Ha!" Caroline pernah menyaksikan
sikap Roscoe yang seperti ini, tetapi ia tidak pernah memedulikan‐
nya dan membiarkannya sampai semua berlalu. Caroline menyesali
Dewi KZ & Titi Zhu