Tiraikasih website http://kangzusi.com
Kata‐kata kotor keluar dari mulut Rink, tetapi pintu mobil
dibukanya juga, lalu Caroline naik.
Steve mendengar suara ribut‐ribut itu. Ia ber‐jalan memasuki
halaman dengan langkahnya yang terpincang‐pincang. Ia hanya
mengenakan T‐shirt. "Ada apa?"
"Kebakaran di pemintalan," jawab Caroline.
"Aku akan membantu."
"Jangan, Steve!" cegah Laura Jane.
"Sreve, kau tinggal di rumah bersama Laura Jane dan Haney,"
kata Caroline lewat jendela mobil.
"Benar. Kau di sini saja," ujar Rink pendek. Mobil mulai bergerak,
tetapi Steve masih me‐megangi pintu mobil dan Rink tidak bisa
mem‐percepat lajunya.
Sambil menatap mata Rink dengan sorot tulus, ia berkata," Kau
butuh pertolonganku lebih dari‐pada mereka. Aku ikut."
"Steve!" teriak Laura Jane, langsung lari men‐dekati Steve,
menyelipkan tangannya di ping‐gang Steve. "Jangan pergi. Aku
mengkhawatirkanmu.
"Hei," jawab Steve, membuat Laura Jane mengangkat kepalanya,
"aku berharap kau bisa menenangkan Haney dan menyiapkan
sarapan pagi untuk kami waktu kami kembali. Oke?"
Mata Laura Jane berbinar‐binar memandang Steve. "Baiklah,
Steve. Hati‐hati."
"Pasti." Steve cepat‐cepat mencium bibir Laura Jane dengan
lembut, lalu mendorongnya sebelum masuk ke mobil, duduk di
sebelah Caroline.
Sejenak Rink menatap laki‐laki itu dengan pandangan nanar,
kemudian ia menekan pedal gas, dan dengan suara mencicit mobil
melaju cepat.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Mereka lega. Kebakaran tidak terlalu besar, hanya satu bagian
bangunan yang terbakar. Un‐tung saja Barnes bertindak cepat,
mobil pemadam kebakaran pun sudah ada di sana ketika Rink tiba.
Tanpa memedulikan apa pun, Caroline lari ke ruang kerjanya
untuk memeriksa buku‐buku besar yang tersimpan di sana. Rink
segera mengejarnya dan menyambar pinggangnya, menariknya ke
luar. Caroline meronta‐ronta. Setelah agak tenang, Rink memegang
bahu Caroline dan mengguncang‐guncangnya.
"Jangan pernah lakukan hal tolol seperti itu lagi. Kau membuat
aku ketakutan setengah mati." Melihat air muka Rink yang
menakutkan, Caroline tidak berani membantah sepatah kata pun.
Banyak hal yang harus dilakukan. Rink mengawasi para pekerja
yang memindahkan bal‐bal kapas yang siap dikirim. Steve, meskipun
kakinya pincang, bekerja lebih keras daripada siapa pun. Caroline
menghalau orang‐orang menjauh. Ia harus merasa yakin tak seorang
pun ada di dalam bangunan itu. Dalam waktu dua jam, api bisa
dipadamkan.
Caroline dan Rink dipanggil kepala pemadam kebakaran dan
Sheriff. "Tempat ini dibakar, Rink," kata kepala pemadam
kebakaran. "Mereka membakarnya secara sengaja, tetapi kabel‐
kabel pemintalan yang sudah tua ikut mempercepat kebakaran."
Rink mengibaskan rambut. "Ya, aku tahu kondisinya sangat
menyedihkan. Parahkah kerusakannya?'
"Tak seberapa bila kami tidak segera sampai di sini."
"Untung kapas‐kapas itu banyak yang sudah dikemas dan dikirim
ke gudang." Setelah tidak sibuk kerja lagi, Caroline baru menyadari
ke‐letihan yang menggayuti tubuhnya.
"Anda tahu siapa kira‐kira yang membakar pabrik, Mrs.
Lancaster?" tanya Sheriff kepada Caroline.
"Saya tahu." Barnes, mandor pabrik yang men‐jawab. "Salah
seorang pembakar pabrik menele‐pon saya. Saya rasa ia sadar telah
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
melakukan kejahatan dan merasa ketakutan pada menit ter‐akhir. Ia
tidak memberitahukan namanya, tetapi saya yakin ia salah seorang
karyawan yang kau pecat beberapa minggu lalu, Rink."
Atas permintaan Sheriff, Rink menyebutkan nama para karyawan
yang ia pecat. Petugas itu menggaruk‐garuk telinga. "Memalukan
sekali. Apa yang mereka kerjakan ketika bekerja pada Anda?"
"Mereka tidak bekerja padaku. Mereka bekerja pada ayahku,"
jawab Rink. Rink melirik Caroline yang keletihan. "Aku rasa cukup
untuk saat ini, aku ingin mengantar Caroline pulang."
"Silakan. Kami akan menghubungi Anda bila ada yang perlu kami
bicarakan."
Steve memilih duduk di bak truk mobil Rink sewaktu pulang. Ia
tidur telentang dan tidak bergerak sampai Rink menghentikan mobil
di pintu belakang rumah. Haney dan Laura Jane tergopoh‐gopoh
menemui mereka.
Rink lari ke pintu mobil satu lagi, membuka‐kan pintu bagi
Caroline. Caroline terpeleset dari mobil dan jatuh ke pelukan Rink.
Steve bangun dari tidurnya tepat ketika Laura Jane mendekati‐nya,
langsung memeluknya, tanpa memedulikan jelaga dan debu hitam
yang melekat di tubuh Steve.
"Kau tidak apa‐apa, Steve?"
"Tentu, aku baik‐baik saja."
"Hmmm, tidak kelihatan kau tidak apa‐apa," sela Haney. "Ya,
ampun, lihat tampang kalian bertiga. Belum pernah aku melihat
muka seperti kalian. Sebaiknya kalian bertiga cepat mandi. Aku
sudah menyediakan sarapan untuk kalian."
Mereka masuk rumah. Laura Jane melepaskan pelukannya pada
Steve dengan enggan, Steve melangkah menuju tempat tinggalnya.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Steve." Veteran itu menghentikan langkah dan berbalik
menghadap Rink, yang berhenti di ambang pintu dan berkata
kepada pria itu, "Terima kasih."
"Terima kasih kembali," jawab Steve. Mereka berpandangan
beberapa saat, kemudian saling melempar senyum lebar.
Mata Laura Jane memancarkan sorot penuh kasih kepada dua
laki‐laki itu. Haney berusaha menahan air mata yang hampir menitik
di pipinya. Caroline menggenggam tangan Rink.
Di loteng, di dalam kamarnya, Caroline me‐lepaskan bajunya.
Dibiarkannya pakaiannya ter‐geletak di lantai kamar mandi. Ia ingin
mem‐buang baju‐baju itu. Bau asap yang melekat di baju itu tidak
bisa hilang meskipun dicuci. Ia hanya berharap bau asap tidak
melekat di rambutnya.
Bau asap di rambut Caroline bisa dihilangkan dengan shampoo.
Caroline berdiri di bawah ke‐ran pancuran, membiarkan air hangat
meng‐hilangkan kotoran dan jelaga. Ketika akhirnya mematikan
keran, Caroline merasa tubuhnya se‐gar kembali. Kakinya menginjak
tumpukan pakaiannya, tak berani mengangkatnya. Ia menggelung
rambutnya dengan handuk. Ia baru saja selesai memakai mantel
mandi ketika terdengar suara pintu kamarnya diketuk.
"Masuk."
Caroline mengira yang datang Haney atau Laura Jane. Bahwa
yang muncul adalah Rink sungguh di luar dugaannya. Namun pria
itulah yang kini melangkah masuk ke kamarnya, mem‐bawa baki
berisi secangkir kopi dan segelas jus jeruk.
"Haney bilang sebaiknya kau minum ini dulu sebelum turun ke
ruang makan."
Pikiran Rink tak tertuju pada apa yang dikata‐kannya. Kata‐kata
itu meluncur keluar dengan sendirinya dari mulutnya karena seluruh
konsen‐trasinya tertuju pada perempuan yang rambutnya digelung
dengan handuk basah dan mengenakan mantel, menonjolkan lekuk
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
liku tubuhnya. Kulit‐nya begitu halus. Bau sabun beraroma bunga
honeysuckle tertangkap penciumannya. Matanya besar dan
berbinar‐binar ketika menatap Rink. Suara Caroline agak tercekat
ketika bicara.
"Terima kasih. Kopinya wangi sekali."
Caroline juga rupanya terkesima. Rambut Rink basah. Ia
mengenakan celana jins belel model ketat yang pinggangnya
rendah, menonjolkan kejantanannya. Dadanya yang bidang tertutup
bulu hitam, ikal dan agak basah. Matanya ber‐binar‐binar ketika
menatap Caroline.
Rink meletakkan baki di meja, tetapi tampak enggan
meninggalkan kamar Caroline. Kemudian sulit mengatakan siapa
yang bergerak lebih dulu. Apakah ia merentangkan tangan, seperti
hendak memeluk Caroline? Atau Caroline yang melang‐kah
mendekati Rink lebih dulu? Mereka tidak ingat. Yang mereka tahu,
tiba‐tiba saja Caroline sudah berada dalam pelukan Rink dan Rink
mendekapnya erat‐erat.
Air mata bercucuran dari mata Caroline ketika memeluk Rink.
Semua ketakutan, kecemasan beberapa jam lalu, tersalur lewat
matanya. Rink menarik handuk pembungkus rambut yang me‐
nutupi kepala Caroline dan melemparkannya ke lantai. Tangannya
menyibakkan rarnbut Caroline yang basah dan ia
membenamkannya wajah Caroline ke dadanya yang hangat. Rink
menunduk.
"Ada masalah yang belum kita selesaikan, ma‐salah antara kau
dan aku, Caroline."
Caroline mengangkat wajahnya yang ber‐cucuran air mata,
menatap Rink. Sambil terse‐nyum ia berkata, "Ya, kita harus
menyelesaikannya.
"Urusan itu sudah kedaluarsa," kata Rink tenang, membiarkan
ibu jarinya menyeka air mata dari pipi Caroline.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Sudah melewati batas waktu."
Rink menjulurkan tangan ke belakang, menutup pintu.
Bab 11
SUARA pintu ditutup adalah satu‐satunya suara yang terdengar
di ruangan itu. Tak ada lampu yang dinyalakan. Sinar matahari baru
saja me‐rangkak naik di ufuk timur, satu‐satunya cahaya alam,
menyelinap menembus tirai tipis kamar. Wangi bunga magnolia
yang tumbuh di luar menerobos masuk.
Caroline memeluk Rink, bukan lagi pelukan gadis remaja, tetapi
perempuan dewasa yang membutuhkan Rink, dan ingin
memberikan selu‐ruh dirinya kepada pria itu.
Rink merasa sekujur tubuhnya panas. Sangat panas. Tubuhnya
juga memancarkan gelombang energi seperti yang dirasakan
Caroline ketika pertama kali mengenal Rink. Gelombang yang
berdaya isap, membuat Caroline hendak men‐dekat. Seperti yang
dirasakannya saat ini. Karena ingin gelombang energi itu menguasai
dirinya, sebagaimana menguasai Rink, Caroline mendekap Rink erat‐
erat, melingkarkan tangannya di ping‐gang Rink yang ramping. Bulu
dada Rink yang lebat menggelitik hidung Caroline. Di dada yang
bidang itu, Caroline tersenyum.
Rink balas memeluk Caroline. Ia memejamkan mata dengan
bahagia. Tangannya mengelus pung‐gung Caroline yang ramping.
Tangan itu kemu‐dian menyelinap ke bawah, menyentuh bokong
Caroline yang penuh. Dipegangnya bokong itu dengan lembut,
dielusnya, kemudian diremasnya dengan penuh hasrat.
Kejantanan Rink bereaksi. Keduanya merasa‐kan hal itu. Desah
napas mereka memburu, menggema.
"Caroline, Caroline," desah Rink sambil men‐ciumi rambut
Caroline yang basah, lalu menjauh‐kan tubuh wanita itu agar bisa
menunduk dan mencium bibir Caroline yang membuka. Bibir
mereka saling memagut. Lidah mereka saling menjilat. Caroline
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
membiarkan Rink mendomi‐nasinya, membiarkan lidah Rink
menyelinap ma‐suk ke mulutnya. Itu menunjukkan kepemilikan
Rink, yang tak disesalinya. Lidah pria itu dengan penuh cinta
menjelajah, menjilat, berputar‐putar di dalam mulut Caroline.
Seluruh pancaindra Caroline tergetar. Getaran yang merayap
masuk ke dalam tubuhnya dengan halus. Kemudian mencapai
puncaknya ketika Rink menjulurkan lidah makin jauh ke dalara
mulutnya, berputar‐putar makin cepat, sampai akhirnya ia
merasakan tubuhnya seperti me‐layang‐layang.
Sekujur tubuh Caroline bergetar. Rambut Rink tersangkut di
antara jemarinya, ketika ia mem‐belai bagian belakang kepala laki‐
laki tersebut. Harum sabun mandi Rink, cologne‐nyz, aroma
tubuhnya yang khas, memenuhi penciuman Caroline,
memabukkannya. Ketika menggigit‐gigit kecil bibir Rink, ia
mengecap rasa mint pasta gigi yang dipakai Rink. Erangan lembut
dan kata‐kata mesra yang dibisikkan 'Rink membuat napas Caroline
makin memburu dan percaya diri.
Caroline tahu, meskipun tidak sampai bercinta dengan Rink saat
itu, ia merasakan dirinya seperti sudah menyatu dengannya.
Senantiasa menyatu, dan akan selalu menyatu. Takdir telah
menggaris‐kan demikian. Sejak pertama kali mengenal Rink dua
belas tahun lalu, jalan hidupnya sudah ditentukan.
Sambil mengangkat kepala, Rink meletakkan tangannya di
pundak Caroline, menjauhkan diri dari Caroline beberapa inci. Mata
Caroline yang sayu tampak berbinar‐binar saat menatap mata Rink
yang juga sayu memabukkan. Perlahan‐lahan Rink membuka
ritsleting celana jinsnya dan menurunkannya. Dengan pandangan
yang tetap lekat pada tubuh Caroline, ia melemparkan celananya ke
samping. Rink berdiri telanjang bulat di hadapan Caroline.
Mata Caroline beralih ke tubuh Rink. Andai ia pria, pasti ia akan
iri hati melihat bentuk tubuh Rink. Tubuh yang tegap, ramping, lagi
lentur. Bentuk dadanya bidang. Bulu ikal yang tumbuh lebat di
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
dadanya mengusik Caroline untuk mempermainkannya. Bulu‐bulu
halus yang tumbuh di sekujur tubuhnya membentuk garis hitam
seperti pita pemisah di bagian perutnya, membentuk lingkaran di
seputar pusar, dan le‐nyap di kerimbunan yang tumbuh di sekeliling
kejantanan Rink.
Kejantanan yang kini mengeras. Air kehidupan bagai mengaliri
jantung Caroline ketika ia mengamatinya. Sejenak ia memejamkan
mata untuk melawan rasa pening yang menyerang‐nya. Ia merasa
seperti mau pingsan. Desakan yang menggebu menyerang dirinya
seperti men‐cekiknya. Itulah gelora hasrat yang murni, dipicu
perasaan cinta, sebagian alasan mengapa ia sangat mencintai Rink.
"Kau tidak apa‐apa?"
Caroline membuka mata, melihat Rink ter‐senyum padanya.
Caroline tertawa malu‐malu, bak gadis remaja "Ya, ya, Rink, aku
tidak apa‐apa. Hanya saja kau begitu tampan, dan aku begitu
menginginkanmu."
Rink mengecup bibir Caroline dengan kelem‐butan yang tulus.
"Terima kasih untuk pujianmu. Kita lihat apa lagi yang bisa kita
lakukan."
Rink mencari‐cari tali pengikat mantel Caroline, menggamitnya
dengan jari‐jarinya. Ia menarik tali itu dan membuka ikatannya.
Dengan gerakan perlahan tetapi lembut, diselipkannya tangannya
ke balik kerah mantel mandi yang lebar itu lalu diturunkannya.
"Ya, ampun, betapa cantiknya dirimu." Suara gumam Rink tak
terdengar lagi ketika ia melihat payudara Caroline. Seakan tidak
percaya pada penglihatannya bahwa ada payudara sesempurna itu,
cepat‐cepat ia meloloskan mantel itu dari tubuh Caroline dan
membiarkan matanya me‐mandangi tubuh Caroline yang kini tanpa
sehelai benang pun dengan kagum. Sorot matanya me‐mancarkan
gairah yang meluap‐luap, dan seperti hendak menelannya bulat‐
bulat.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Kemudian ujung jarinya, perlahan, sangat per‐lahan, Caroline
hampir tidak merasakan sen‐tuhannya, mengarah ke tempat yang
sama de‐ngan arah matanya. Menatap payudara Caroline yang
penuh, perut dan pinggulnya yang mulus. "Oh, Tuhan. Kau cantik
sekali. Begitu cantik dan menawan."
Caroline merasakan ketulusan kata‐kata Rink yang menggetarkan
tubuhnya saat pria itu me‐nundukkan wajah ke dekat payudaranya.
Dengan penuh kekaguman Rink menggenggam salah satu dan
memijatnya. Caroline mengangkat tangan dan meletakkannya di
rambut Rink. Ia mencon‐dongkan tubuh ke dekat Rink, agak
terhuyung‐huyung.
Rink mencium Caroline. Dengan ibu jarinya, ia menelusuri
puncak payudaranya. Rink memandanginya, tersenyum, kemudian
mencondongkan badan dan menciuminya. Berulang‐ulang.
"Rink," ujar Caroline, lirih memanggil nama‐nya. Pria itu tidak
memedulikannya.
Rink terus beraksi makin panas. Caroline men‐jerit, tersentak
kaget, dan melengkungkan pung‐gungnya sehingga Rink makin
leluasa bergerak. Rink merasakan pipinya panas ketika makin
merapatkan tubuhnya ke tubuh Caroline. Rink menciumi payudara
Caroline yang satu lagi, membuat Caroline mengerang, mendesah,
dan menjambak rambutnya.
"Sayangku." Rink membenamkan wajahnya di antara payudara
Caroline, sudah lama ia ingin sekali melakukannya. Sambil
merentangkan tangan di punggung Caroline, ia menarik tubuh
wanita itu serapat mungkin ke tubuhnya. Di‐dekapnya erat‐erat
beberapa saat, kemudian di‐tegakkannya tubuhnya. Dengan sorot
mata penuh cinta ia menatap wajah wanita tersebut. Ia mengangkat
salah satu tangan Caroline, men‐dekatkannya ke bibir, menciumnya,
dan berkata, "Sentuh aku, please__"
Rink menuntun tangan Caroline ke bagian tubuhnya yang seakan
memiliki nyawa sendiri itu. Ketika Rink menarik tangannya sendiri,
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
tangan Caroline tinggal di bagian tubuhnya ter‐sebut. Dengan napas
tercekat karena takut me‐nyakiti, Caroline menggenggamnya.
"Oh, Tuhan." Sambil membisikkan nama Caroline dan kata‐kata
cinta, Rink menggenggam tangan kekasihnya itu dan menuntunnya
melaku‐kan hal yang memberikan kenikmatan padanya sampai ia
tak kuasa lagi menahan perasaan itu lebih lama. Napasnya yang
memburu menerpa telinga Caroline ketika ia mengerang, "Caroline,
Sayang... cukup, hentikan."
Sambil memegang kedua pipi Caroline, Rink menciumi wanita itu
dengan penuh gairah, lidah‐nya bermain‐main di dalam mulut
Caroline. Tanpa menghentikan ciumannya, Rink merebah‐kan
Caroline di ranjang, lalu menindihnya. Caroline siap menyambutnya,
dan Rink menyu‐supkan pinggulnya di antara paha Caroline yang
membuka. Perut Rink bergesekan dengan perut wanita itu, dadanya
bergesekan dengan payudara Caroline.
Rink mendaratkan hujan ciuman pada teng‐gorokan dan leher
Caroline dengan penuh gairah. "Kalau harus menunggu lebih
lama...."
"Jangan tunggu lagi," sahut Caroline, sambil melengkungkan
tubuh ke arah Rink.
Karena butuh waktu dua belas tahun untuk mengalami hal
seperti ini, Rink tidak mau ter‐buru‐buru mewujudkan keinginannya.
Tangannya meluncur di atas payudara wanita itu. Puncaknya
menunggu belaian lembut jari‐jarinya. Rink me‐nyingkirkan jari‐
jarinya dan menggantinya dengan mulut, menciumi payudara
Caroline sampai wa‐nita itu nyaris lupa diri.
Rink menurunkan tubuhnya. Tangannya mem‐belai perut
Caroline, terus ke bawah, terkagum‐kagum merasakan kehalusan
kulitnya. Kemudian jari‐jarinya tiba di delta yang putih lembut itu
dan menikmatinya. Diletakkannya telapak ta‐ngannya di situ dan
dibiarkannya jari‐jarinya bergerak di antara kedua paha Caroline.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Rink menjauh, memberi jarak agar ia bisa mendekati bagian
tubuh sensitif Caroline. Mereka saling menatap, mengamati
perasaan mendalam yang terpancar di wajah masing‐masing setiap
kali kejantanan Rink menyentuh bagian paling intim Caroline itu. Tak
kenal malu dan harga diri lagi, Caroline mengelus dada Rink dan
mencengkeram bulu‐bulu di dada itu.
"Rink, lakukan sekarang__"
Dengan sekujur tubuh tegang, Rink mengarah‐kan dirinya
memasuki pelabuhan hangat di tu‐buh Caroline dan menurunkan
tubuhnya sendiri. Ia menekan, terus menekan, sampai akhirnya....
Tubuh Rink kaku dan matanya, mendadak terang, menatap
tajam Caroline. Napas memburu membuat dadanya bergerak naik‐
turun dengan cepat ketika ia menumpukan badannya pada siku.
"Caroline." Caroline melihat bibir Rink me‐nyebut namanya. Ia
menyebutkannya dengan suara yang hampir tak terdengar saking
takjub‐nya. "Kau masih perawan__"
"Ya, ya!" pekik Caroline gembira. Ia memegangi leher Rink,
mencegah pria itu mengang‐kat tubuhnya. "Aku selalu milikmu,
Rink. Hanya kau. Aku milikmu."
Rink terdiam sejenak, tapi kemudian sambil menggeram senang,
kembali ia memeluk Caroline dan menindihnya di ranjang. Gerakan
tubuhnya kali ini lembut tetapi mantap. Pemanasan pan‐jang tadi
membuat Caroline siap menerimanya. Ketika tubuhnya menyerah
pada laki‐laki itu, Caroline merasakan kesakitan sesaat. Jeritannya
dibungkam bibir Rink. Keduanya mendesah se‐rentak karena emosi
luar biasa ketika akhirnya Rink menyatu seutuhnya dengannya.
Mereka melebur. Tubuh Caroline mendekap‐nya. Lama
keduanya tak bergerak. Mereka me‐nikmati perasaan menyatu,
keintiman dua anak manusia, meleburnya mereka karena cinta,
hasrat, dan penderitaan.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Aku tak percaya. Betapa nikmatnya. Oh, Caroline, jangan
sampai ini hanya sekadar mimpi."
"Ini bukan mimpi, Rink," bisik Caroline. "Aku bisa merasakan
tubuhmu menyatu dengan tubuhku."
Sambil mengangkat kepala, Rink tersenyum. Dikecupnya bibir
Caroline. "Betulkah?" bisik Rink, dan memastikan Caroline bisa
merasakan‐nya.
Caroline menengadah sambil menggeram pe‐lan. "Ya, ya."
Rink mulai bergerak. Karena ia memikirkan Caroline, gerakannya
tak terlalu dalam dan pelan, tetapi kenikmatannya tidak kurang,
menarik Caroline ke dunia yang menghanyutkan. "Apakah aku
menyakitimu?" "Tidak, Sayang, tidak."
"Caroline... Caroline__" Rink tak lagi mampu
menahan gairahnya yang terus meninggi. Ketika mencapai
puncaknya, Rink merasakan kenik‐matan paling dahsyat yang
pernah dirasakannya selama hidupnya. Kenikmatan itu terus mem‐
buncah bagai takkan berakhir. Dan ketika akhir‐nya kenikmatan itu
berlalu, Rink terkulai di pelukan cinta Caroline dalam keadaan lelah,
puas, dan bahagia.
"Lama sekali Rink dan Caroline turun," keluh Laura Jane. Ia
khawatir sarapan yang disiapkan‐nya bersama Haney menjadi dingin
dan tak bisa dinikmati Steve lagi.
"Kalian sarapan saja dulu," saran Haney.
"Aku tak keberatan menunggu mereka," jawab
Steve.
"Jangan, kau sudah kelaparan. Aku tahu kau sudah lapar." Laura
Jane menuangkan sesendok telur orak‐arik ke piring Steve. "Berapa
lembar ham yang kau mau?"
"Dua," jawab Steve.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Tiga saja," ujar Laura Jane.
Haney meletakkan teko kopi di meja. "Aku akan naik, menyuruh
mereka segera turun. Aku yakin mereka tertidur. Tetapi mereka
perlu makan setelah begadang semalaman." Haney naik sambil
mengoceh, ∙ tetapi Steve dan Laura Jane tidak memedulikannya.
Mereka asyik sendiri.
Dari anak tangga paling atas, Haney melirik pintu kamar Rink
dengan perasaan ingin tahu. Pintu itu terbuka, tetapi ketika ia
melongokkan kepala ke dalam, ia tidak melihat Rink di sana. Begitu
pun di kamar mandi, tidak ada. Paling tidak, ia tidak menjawab
ketika Haney me‐manggilnya perlahan.
"Hmmm!" Haney mendengus, sambil me‐mukulkan tangan ke
paha. "Di mana kau ber‐ada...?' Haney melirik kamar tidur Caroline.
Pintunya tertutup rapat.
Haney menyipitkan mata. "Tadi aku menyu‐ruh Rink naik
membawa baki untuk Caroline. Sekarang, baki itu tidak ada, ia pun
lenyap. Pintu kamar Caroline tertutup, aku yakin mereka berduaan."
Haney berbalik ke arah tangga lagi. "Hmmm, jelas aku tak mau
tahu apa yang mereka lakukan di dalam sana, tetapi aku tidak
mendengar me‐reka bercakap‐cakap." Ketika sampai di anak tangga
paling bawah, Haney mendongakkan ke‐pala menatap ke atas,
mengangguk gembira. "Memang lebih pantas ia dengan Rink
daripada menikah dengan ayahnya, si bandot tua itu," gumam
Haney sambil melangkah balik ke dapur.
"Mereka akan turun?" tanya Laura Jane.
"Tidak. Sebentar lagi barangkali." Haney ber‐balik, hendak
mencuci piring.
"Mengapa tidak sekarang?"
"Mereka lagi tidur, itulah sebabnya."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Tetapi mereka kan harus mengisi perut dulu. Kau yang bilang
begitu. Biar aku yang mem‐bangunkan mereka dan menyuruh
mereka...."
"Kau duduk saja," perintah Haney, membalik‐kan tubuh dari bak
cucian dan membersihkan air sabun dari jarinya. "Mereka sangat
letih. Sudahlah, kau urus saja urusanmu sendiri, urus pria kelaparan
yang duduk bersamamu itu."
Tersinggung mendengar suara Haney yang tegas, Laura Jane
perlahan kembali ke tempat duduknya. Steve menangkap sorot
mata Haney tapi tidak memahaminya. Sekilas Steve melempar
pandang ke langit‐langit. Haney memerhatikan Steve ketika
perlahan‐lahan pria itu memahami situasi yang terjadi.
Mata Steve berbinar jail. "Laura Jane, bagai‐mana kalau sesudah
sarapan kau ikut aku ke kandang kuda? Sudah beberapa hari kau
tidak menengok anak kudanya."
Laura Jane memandang Steve, kegembiraannya kembali. "Tetapi
kurasa kau butuh tidur pagi lni.
"Tidak," jawab Steve santai. "Aku tidak letih. Bila Haney
mengizinkan, aku ingin kau bersama‐ku sepagian ini, membantuku."
"Oh, Steve," ujar Laura Jane, sambil mengepal‐kan tangan. "Aku
mau."
Haney bertukar pandang dengan Steve, dan Steve mengedipkan
mata.
"Mengapa kau tidak berterus terang padaku?" tanya Rink sambil
menjumput rambut Caroline dan mengusapkannya di bibir. Rink
berbaring telentang. Caroline menelungkup, bersandar di tubuh
Rink.
Caroline menarik beberapa helai rambut di dada Rink dan
mempermainkannya dengan jari‐jarinya. "Karena aku ingin tahu
seberapa dalam cintamu padaku. Bila aku memberitahumu ayah‐mu
dan aku tak pernah berhubungan intim, kau akan percaya?"
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Bisa saja. Aku bisa tahu cukup cepat."
Caroline menggeleng. "Aku tidak ingin hubungan intim pertama
kita hanya sekadar ujian."
Mata Rink menatap wajah Caroline dengan penuh kasih sayang.
"Aku paham maksudmu. Tetapi bagaimana bila aku memercayaimu
dengan seluruh jiwa ragaku?"
"Kalau begitu tak ada yang merintangimu mendatangiku, Rink."
Caroline menyentuh dada Rink dan melihatnya bereaksi. "Tetapi aku
tidak akan pernah tahu seberapa dalam cintamu pada‐ku. Karena
kau yang datang padaku, meskipun yakin aku sudah ternoda tetapi
kau tetap mencintaiku, aku tahu kau bersedia mengorbankan
keangkuhanmu demi cintamu."
Sambil menarik tubuh Caroline, Rink men‐ciuminya. Ketika
akhirnya menghentikan ciuman‐nya, ia berkata, "Aku bukan hendak
mendiskusi‐kan masalah ini sekarang, tetapi mengapa kau tidak
pernah tidur dengan Roscoe? Jangan bilang ia begitu baik sehingga
membiarkanmu tetap perawan."
"Tidak, aku tidak ingin meyakinkanmu soal itu. Kurasa, ia ingin
melakukannya pada malam pengantin kami." Caroline memejamkan
mata dan tubuhnya gemetar. "Ia masuk ke kamar ini. Waktu itu aku
tidak tahu bagaimana menjalani‐nya, karena aku masih
mencintaimu." Caroline meletakkan tangan Rink ke pipinya, seperti
orang linglung ia menggosok‐gosokkan punggung jari‐jari Rink ke
pipinya. "Tetapi aku telah membuat kesepakatan dan berniat
menjalaninya."
Caroline terdiam. Rink menatap langit‐langit, tidak ingin sedikit
pun membayangkan Caroline berada di tempat yang sama,
menghirup udara yang sama dengan bandit tua itu. "Apa yang
terjadi kemudian, Caroline?"
"Ia menciumku beberapa kali. Hanya itu. Kemudian ia
meninggalkan aku tanpa sepatah kata pun. Aku bingung. Aku tak
tahu apa yang harus kulakukan. Baru beberapa hari kemudian aku
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
tahu, waktu itu ia sedang sakit. Aku melihat hal‐hal yang tak
mungkin dapat kulihat sehari hari bila tidak tinggal bersamanya. Ia
menelan sejumlah obat sakit perut, obat‐obat seperti itulah.
"Aku sadar ketika ia tidak datang ke kamarku lagi, ia rupanya
impoten dan itu akibat penyakit di perutnya. Tentu saja aku tahu
pasti fakta itu sekarang. Kami tidak pernah membicarakannya.
Egonya pasti hancur bila ia mencoba dan ter‐nyata gagal. Kami
hidup secara platonis."
Setelah diam sejenak, Rink bertanya, "Terpikir‐kah kau untuk
menceritakan semua itu padaku?"
"Maksudmu, supaya kita tidak membencinya? Entahlah, Rink.
Aku sendiri menanyakannya pada diriku setiap hari. Mengapa aku
tidak mengatakannya padamu dan mengakhirinya?" Caroline
menelusuri hidung Rink dengan jari. "Aku juga punya harga diri. Aku
ingin kau mencintaiku lebih daripada apa pun."
"Cinta sekali. Aku sangat menginginkanmu. Tetapi setiap kali aku
membayangkan dirimu dan laki‐laki itu, aku...."
"Ssst," ujar Caroline, menghentikan kata‐kata Rink dengan
meletakkan jari telunjuknya di bibir pria itu. "Aku tahu. Aku tahu
siksaan yang harus kautanggung."
"Kau tahu apa yang ia katakan padaku setelah kau meninggalkan
kamar rumah sakit di hari ia meninggal?" Caroline menggeleng.
"Aku mengatakan padamu ia meninggalkan warisan. Inilah
warisannya. Roscoe bilang aku takkan pernah bisa memilikimu
karena harga diriku takkan membiarkan aku melakukan hal itu."
Mata Rink penuh cinta menatap Caroline, dan bibimya bergerak,
menyunggingkan senyum. "Ia keliru, bukan? la tidak mengira
cintaku sedemikian besar padamu." Rink mengelus wajah Caroline.
"Kemudian ia mengatakan aku harus selalu ingat kau sudah jadi
istrinya, bahwa dialah yang memilikimu pertama kali."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Caroline menatap Rink, terkejut. "Maksudmu, ia dengan sengaja
membuat kesan agar kau percaya bahwa...."
"Ya."
"Oh, sayangku." Caroline mencium pipi Rink dengan lembut dan
menepiskan rambut yang jatuh di atas alisnya. "Kukira, kau hanya
mengira‐ngira, tidak kusangka ia benar‐benar ingin kau
memercayainya."
Rink tertawa sinis. "Ia kenal benar diriku. Hampir saja ia berhasil
memisahkan kita." "Aku senang kita tidak berpisah." "Oh, Tuhan,"
gumam Rink, "begitu pun aku." Diputar‐putarnya sejumput rambut
Caroline. "Kalau kuingat detik‐detik yang sangat menyiksa‐ku itu.
Kubayangkan dirimu bersama dia, hatiku sakit sekali. Ternyata, kau
tetap orang yang sama." Rink menyentuh bibir Caroline. "Caro‐line,
kekasih yang kukenal di suatu musim panas di pinggir hutan. Tetap
sama. Selalu sama." Rink menarik tubuh Caroline dan menciuminya
sampai mereka berdua kehabisan napas. "Tetap sama, tapi tidak
serupa."
Melihat air muka Rink yang melembut, Caroline menangkap
kesan Rink menganggap pernikahannya dengan Roscoe sudah
berakhir. "Tidak serupa? Bagaimana bisa?" tanya Caroline nakal,
sambil menekuk lutut dan menjulurkan kaki ke udara. Dijulurkannya
kakinya seperti penari balet. Rink memerhatikannya. Kaki itu indah
sekali, ramping, panjang. Kuku kakinya dipoles cat kuku warna
cokelat muda Rink membayangkan hal‐hal yang erotik melihat ibu
jari tersebut.
Rink menanggapi godaan Caroline. "Umpama‐nya...." Rink
menyelipkan tangannya ke bawah tubuh Caroline. "Payudaramu." Ia
memegang salah satunya dan meremasnya.
"Kenapa dengan payudaraku?"
"Lebih besar." Ia menggelitik puncaknya.
"Ada yang lain?"
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Kau lebih lembut, lebih berisi, lebih dewasa, tetapi sikapmu
tetap malu‐malu seperti gadis remaja. Kau seperti yang kukhayalkan
selama bertahun‐tahun. Bahkan lebih."
"Kau kecewa?"
Rink menelusuri tulang leher Caroline dengan lidah lalu
menciumi lekuk payudaranya. "Tidak, oh, tidak." Rink melirik
Caroline. Sorot matanya penuh penyesalan. "Tetapi aku takut kau
beru‐bah."
"Tidak akan pernah, Rink Lancaster," Caroline mencium alis Rink.
"Tidak akan pernah."
"Tetapi kau tidak... kau tahu. Yang ditulis di majalah‐majalah
perempuan."
Tiga jari Caroline mempermainkan bibir Rink. "Itu sama sekali
bukan masalah bagiku. Aku sudah merasakan milikmu. Aku
melihatnya, me‐rasakannya di dalam tubuhku, tahu bagaimana
rasanya ketika bersamamu. Aku ingin menyaksi‐kan kau
mencintaiku."
Tangan Rink erat mendekap tubuh Caroline. "Aku sangat
mencintaimu, kau tahu itu. Men‐cintaimu. Tingkahku seperti
bajingan beberapa minggu ini, mencemoohmu, menyakitimu. Se‐
makin aku mencintaimu, semakin buruk ke‐lakuanku."
Sambil tertawa kecil, Caroline merebahkan kepala di dada Rink
dan meletakkan tangannya di bagian bawah perut laki‐laki itu. "Kau
me‐mang menyakitiku kadang‐kadang. Tetapi aku tahu apa
sebabnya. Dan aku memaafkanmu. Aku mencintaimu."
Rink memegang tangan Caroline dan me‐nurunkannya.
"Keberatan?"
Caroline menggenggam tubuh Rink. "Sama sekali tidak. Aku juga
suka menyentuh tubuh‐
mu.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Tangan Rink langsung ke dada Caroline dan mengelusnya. "Ayo
tidur sebentar." "Kau ingin tidur?"
"Tidak juga. Tetapi aku ingin kau di sam‐pingku ketika aku
bangun."
Hari menjelang petang ketika mereka berdua turun. Sambil
bergandengan, saling tersenyum, mereka tidak melihat Laura Jane
dan Steve sam‐pai tiba di teras rumah.
"Steve ingin bicara denganmu, Rink," Laura Jane memberitahu.
Tingkah Laura Jane seperti gadis kecil yang tidak sabar hendak
membuka kado ulang tahunnya. Matanya berbinar‐binar. Ia
kelihatan resah.
Rink menatapnya dulu, kemudian Steve, yang dengan gelisah
memutar‐mutar topi jeraminya. "Caroline dan aku sudah lapar
sekali. Bisakah kita membicarakannya setelah makan siang?"
"Ya."
"Tidak." Mereka menjawab serentak.
Carojine, menangkap apa yang ada di benak Steve, menyela
dengan diplomatis. "Aku yakin akan lebih baik bila kita bicara
setelah makan siang." Sambil memandang mesra Rink, Caroline
melepaskan gandengan tangannya dan mengham‐piri Laura Jane.
"Adakah Haney sudah menyiap‐kannya?" Diajaknya gadis itu ke
kamar makan. "Apa yang akan disampaikan Steve kepada Rink?"
tanya Caroline lembut.
"Kami akan menikah," Laura Jane menjawab.
"Kalau begitu, kusarankan kita menunggunya sampai Rink
mengisi perut." Caroline menggeng‐gam tangan Laura Jane,
memberi dukungan.
Selagi makan siang, Haney membawa telepon nirkabel ke ruang
makan. "Dari Sheriff."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Sheriff menelepon hendak memberitahu me‐reka sudah
menangkap orang‐orang yang mem‐bakar pemintalan Lancaster
Gin. Salah seorang di antaranya adalah yang menelepon Barnes dan
memperingatkannya soal kebakaran. Ia mengaku sakit hati dan
menghasut yang lain. "Tak ada gunanya mereka mengaku tidak
bersalah. Aku tahu, kami sudah mendapat pengakuan resmi dari
tiga orang lainnya menjelang makan malam."
"Terima kasih, Sheriff. Tetapi usahakan ke‐luarga mereka tetap
aman, terjamin makan, sewa, apa pun kebutuhan mereka selama
beberapa bulan. Kirimkan tagihannya pada saya."
Rink meletakkan telepon dan menyampaikan berita itu kepada
yang lain. Begitu acara makan selesai, meja langsung dibereskan,
Laura Jane dengan gembira meminta semua orang ke ruang baca.
"Ayo, Steve," katanya sambil menyenggol Steve.
Steve menelan ludah. "Rink, dengan restumu, aku ingin menikahi
Laura Jane."
Tanpa menunjukkan perasaannya tentang per‐mintaan itu, Rink
duduk di kursi kulit di bela‐kang meja lebar. Ia menyeruput es teh
yang dibawanya dari ruang makan. "Dan bila aku tidak merestui?"
Mata Steve tidak menunjukkan keraguan se‐dikit pun. "Aku akan
tetap menikahinya."
Rink menatap Steve lama, suasana tegang. Tak satu pun
mengalihkan pandangan. Akhirnya Rink berkata, "Ladies, maafkan,
kami ingin bicara empat mata. Dan, Caroline, tolong tutup pintu itu.
"Bagaimana kau tahu aku ada di sini?"
"Naluri." Ia menepis ranting pohon cemara dan berjalan ke arah
tempat terbuka. Caroline duduk di bawah pohon, sebuah buku
tergeletak di pangkuannya. Ia belum selesai membacanya, matanya
tertuju ke depan, melihat Rink muncul di antara pepohonan. Rink
berjalan ke dekat pohon, meletakkan tangannya di batang pohon,
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
menatap Caroline yang mendongakkan wajah. "Tidak tahukah kau,
berbahaya bagimu berada di hutan sendirian?"
"Mengapa? Ini hutanku."
"Tetapi pemerkosa bisa muncul dan memper‐kosamu."
"Itulah yang kumau."
Sambil tertawa, Rink duduk di sisinya dan memeluknya.
Beberapa kali Rink mengecup wa‐jah Caroline, menekankan
bibirnya, menyiratkan kepemilikannya atas Caroline. Caroline
membiar‐kan pria itu melakukannya beberapa saat, baru kemudian
mendorongnya. "Tunggu. Pertama, aku ingin tahu apa yang
kaukatakan pada Steve."
"Kukatakan padanya, bila ia sekali saja menya‐kiti Laura Jane, aku
akan membunuhnya."
"Kau tidak boleh begitu!"
Rink mengangkat bahu dan tersenyum jail. "Yah, aku
mengatakannya dengan baik‐baik."
"Tetapi kau setuju mereka menikah?"
"Ya, aku setuju," jawab Rink.
Caroline mendekap Rink erat‐erat. "Rink, aku bahagia sekali."
Rink agak menjauhkan diri, menatap Caroline. "Oya? Kau rasa itu
yang terbaik untuk Laura aner
"Ya, aku yakin. Laura Jane sangat mencintai‐nya. Dan kau tidak
perlu khawatir Steve me‐nyakitinya. Steve sangat memuja Laura
Jane. Steve tak pernah menyinggung soal masa lalunya, tetapi aku
yakin itu masa yang sangat tidak menyenangkan. Waktu perang, ia
kehilangan kaki. Aku yakin sosok Laura Jane bak peri baginya. Steve
hampir tak tahan untuk tidak menyentuhnya."
"Kelihatannya ia juga orang yang tulus," kata Rink. "Aku
mengajukan syarat bahwa Laura Jane harus tetap tinggal di The
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Retreat. Aku tidak yakin Laura Jane bisa betah tinggal di rumah lain.
Steve setuju, tetapi ia minta diberi tanggung jawab lebih. Ia tidak
mau dianggap menikahi Laura Jane karena harta warisannya, dan ia
hanya karyawan biasa."
"Itu yang aku harapkan darinya. Ia bekerja lebih keras
dibandingkan yang lain, padahal ia cacat.
"Itu sudah karakternya. Ia bilang padaku, atau mungkin
memperingatkan aku—itu kata yang lebih baik, bahwa pernikahan
mereka tulus." Alisnya berkerut. "Menurutmu, Laura Jane bisa tidur
dengan laki‐laki?"
Caroline tertawa dan membenamkan hidung‐nya ke leher Rink.
"Aku malah punya kesan Laura Jane mengejar‐ngejar Steve
berbulan‐bulan lamanya. Justru Steve yang mencoba menjauh demi
kebaikannya."
"Tetapi apakah Laura Jane mengerti tanggung jawab yang
bertalian dengan seks?"
"Rink." Sambil meletakkan tangan di pipi Rink dan meminta
seluruh perhatiannya, Caro‐line berkata, "Laura Jane dilahirkan
dengan ke‐kurangan dalam hal belajar. Tetapi emosi dan tubuhnya
tetap perempuan. Tak ada yang bisa menghapus kebutuhan
biologis, juga kebutuhan akan makanan atau udara. Laura Jane pasti
lebih bahagia daripada hari‐hari sebelumnya. Steve sangat
mencintainya. Ia akan mengasihi Laura Jane. Mereka bisa mengatasi
masalah di antara mereka."
Caroline melihat ketegangan Rink menyurut, air mukanya
tampak lebih santai. Hal itu me‐nyulut rasa ingin tahu Caroline,
tentang seberapa jauh Rink menghargai pendapatnya.
"Bagaimana denganmu?"
"Aku?" tanya Caroline.
"Bagaimana dengan kebutuhanmu selama bertahun‐tahun
belakangan itu, apa yang kaulakukan pada dirimu?"
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Aku hidup dalam kenangan dan mimpi. Ke‐nangan akan dirimu
di tempat ini. Mimpi yang kutahu takkan pernah terwujud."
Rink duduk di rumput yang lembut bersama Caroline dan
membuka kancing blus wanita itu. "Kau memikirkan aku? Sekali‐
sekali?"
"Setiap hari. Setiap jam. Meskipun tak pernah bisa berjumpa
denganmu lagi, aku akan meng‐ingatkanmu sampai ajal
menjemputku."
Sesaat Rink memejamkan mata, meresapi kata‐kata Caroline.
Ketika membuka mata, ia menatap Caroline dengan sorot berbinar‐
binar. "Aku men‐dengar suara guntur. Atau itu suara debar jan‐
tungku?"
Caroline tersenyum. Ia pernah mengatakan hal itu suatu ketika
dulu. "Guntur. Sebentar lagi hujan turun."
"Kau takut?"
"Aku lebih suka hujan."
"Sayangku, oh, sayangku," bisik Rink di mulut Caroline. "Oh,
Tuhan, aku cinta padamu."
Caroline menolong Rink melepas kemejanya. Rink berdiri dan
Caroline seperti penonton yang sudah tidak tahan hendak membuka
ikat ping‐gang Rink, membuka ritsleting celananya, dan
melepaskannya. Rink memegang celana dalam biru mudanya, lalu
meloloskannya.
Tanpa pakaian selembar pun, Rink mirip keliaran di sekelilingnya.
Di bawah cahaya malam, deru hujan, tubuhnya berdiri tegak seperti
ma‐nusia purba. Apalagi ketika melihat titik hujan jatuh menerpa
kulitnya yang kecokelatan.
Sambil berlutut di samping Caroline, Rink menariknya duduk ke
sisinya, membuka blusnya. Bra Caroline berenda‐renda cantik,
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
sangat ber‐beda dengan bra yang dipakainya beberapa tahun yang
lalu. Rink menyentuh payudara Caroline yang berbalut bahan sutra.
"Lihat akibat perbuatanmu," kata Caroline ketika melepas branya
setelah Rink membuka pengaitnya. "Kau tidak malu pada dirimu
sendiri?"
"Ya," jawab Rink dengan menyesal, tetapi wajahnya sama sekali
tak menampakkan penye‐salan.
Rink membuka kancing rok Caroline dan melepaskannya,
membiarkan tubuh Caroline ha‐nya terbalut celana dalam.
Kemudian ia mem‐bungkuk untuk melepaskan tali sepatu sandal
yang dipakai Caroline, yang melingkari kakinya yang indah. Ketika
sandal sudah terlepas, Rink mengelus‐elus dan memijat kakinya.
Caroline memiringkan badan, menopang tubuh dengan siku. Ia
memerhatikan apa yang dibuat Rink dengan bahagia. Tetapi ketika
Rink menunduk dan mencium ujung ibu jari kakinya, ia tergetar
karena bergairah.
"Rink," gumam Caroline lembut, dan me‐rebahkan tubuh di
rerumputan yang hijau.
Rink menindih tubuh Caroline. Caroline me‐renggut rambut Rink
yang basah ketika pria itu menciuminya dengan panas. Rink
menikmati bibir Caroline seperti orang yang tengah me‐makan buah
yang lezat. Kemudian, selembut titik hujan, bibirnya menciumi
pipinya, berhenti di daun telinganya. Lidah Rink mempermainkan
lubang telinganya. Diciuminya leher dan dadanya.
Titik‐titik hujan jatuh menimpa dada Caroline, membuat bagian
itu mengilap. Rink menyeruput titik‐titik air tersebut. Bibir Rink
terasa hangat di kulitnya yang dingin ketika laki‐laki tersebut
menciumi payudaranya. "Aku tak pernah lupa bagaimana rasanya
dirimu. Tidak pernah."
Caroline menggeliat di bawah tubuh Rink, bergoyang,
mencengkeram kejantanan Rink. Me‐reka memang pasangan yang
serasi, napas mereka melayang ke udara. Rink mengelus bagian
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
yang diinginkan Caroline tapi tidak diungkapkannya. Caroline
menggumamkan nama Rink dengan lirih.
"Jangan dulu," ujar Rink dengan suara gemetar di atas perut
Caroline. 'Yang ini untukmu."
Rink bergerak makin ke bawah, menghujani rusuk Caroline
dengan ciuman. Bibirnya terus bergerak turun sampai pusar,
menciumi bagian itu, membuat Caroline menggeliat dan menge‐
rang. Beberapa kali Rink memasukkan ujung lidahnya ke dalam
pusar Caroline. Kemudian, menggunakan hidung dan dagunya, ia
menurun‐kan celana dalam Caroline sampai ke kaki, baru
melepaskannya dengan menggunakan kakinya.
Caroline merasa hampir hancur berkeping‐keping karena
menahan tekanan gairah di dalam tubuhnya. Ia merasa tidak
mampu menahan lebih lama lagi. Tetapi Rink baru saja mulai. Bibir
pria itu menciumi bagian bawah tubuhnya, mengembuskan napas di
situ.
"Rink...." Panggilannya tenggelam di antara bibirnya yang
gemetar ketika mencengkeram ram‐but Rink.
Dengan lembut tangan Rink membetulkan posisi Caroline,
menyentuhnya. Tapi Caroline tidak siap menerima ciuman manis
Rink di bagian tubuhnya itu. Bibirnya yang penuh cinta, lidahnya
yang terus menggoda, melambungkan Caroline ke puncak
kenikmatan dunia, yang merampas semua akal sehatnya. Rink terus
mem‐bangkitkan gairah Caroline, sampai wanita itu merasa seluruh
tubuhnya seperti hendak meledak. Rink telah membangunkan
gunung berapi di dalam tubuh Caroline. Ketika merasa gunung itu
hendak memuntahkan laharnya, Rink segera menindihnya.
Tangan yang mencengkeram pahanya, kaki Caroline yang
menjepit pahanya, kata‐kata cinta yang meluncur keluar dari bibir
wanita itu, makin membangkitkan hasrat Rink. Tubuhnya tak
menyisakan kesempatan untuk hal lain, kecuali mendorong
tubuhnya untuk bergerak makin cepat, sampai akhirnya mereka
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
merasa tubuh mereka seperti meledak dan bermandikan titik‐titik
cahaya yang terang benderang.
Setelah mereka berhasil mencapai puncak, kembali ke dunia
nyata, titik‐titik cahaya pun meredup. Mereka kembali berada di
dunia yang remang‐remang dan berkabut. Mereka terselu‐bung
kabut warna keperakan yang melingkupi hati dan pikiran mereka
beberapa saat yang lalu. Dan tubuh mereka yang masih berpaut itu
ber‐mandikan air hujan yang turun membasahi bumi.
Bab 12
PENGANTIN wanita mengenakan gaun putih. Model gaun dari
sutra itu sederhana namun serasi dengan potongan tubuhnya yang
ramping. Tubuhnya tidak tenggelam di balik gaunnya, tidak seperti
jika ia mengenakan gaun kuno berekor yang bermeter‐meter
panjangnya dan berenda‐renda. Kakinya dibalut stoking tipis dan
sepatu putih. Rambut di bagian pinggir ditarik sampai tengah, dijepit
sepasang bunga camelia putih, bunga kesayangannya. Ia kelihatan
cantik sekali. Matanya berbinar‐binar, memancarkan ke‐gembiraan
hatinya. Ia tidak kelihatan gugup sama sekali.
Pengantin prianya justru tampak gugup. Ia kelihatan resah dan
berkali‐kali menelan ludah, mengubah posisi kaki. Ia menarik‐narik
ujung dasinya, setelan pakaian yang tidak akrab dengan‐nya. Ia
diberitahu tidak harus mengenakan se‐telan seperti itu, tetapi ia
memaksa. Ia ingin menjadikan hari ini tak terlupakan bagi pengan‐
tin wanita. Ia ingin memperlihatkan kepada setiap orang
perkawinannya adalah sah dan kedua‐nya melakukannya dengan
kesadaran penuh dan perasaan bangga.
Caroline menyentuh tangan Steve, menenang‐kannya ketika
mereka berdiri menunggu pengan‐tin wanita. Steve tersenyum
penuh rasa terima kasih pada Caroline. Tetapi ketika istri pendeta
mulai memainkan lagu pernikahan dengan piano, mata Steve hanya
tertuju pada Laura Jane. Begitu pun mata Laura Jane. Matanya yang
besar dan kecokelatan mencari‐cari Steve begitu memasuki ruang
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
depan dan tertuju padanya ketika ia me‐nuruni tangga yang
melingkar, pandangannya tetap tidak beralih dari Steve.
Hanya beberapa orang yang diundang untuk menyaksikan
upacara pernikahan tersebut. Rink dan Caroline. Pendeta, yang
memimpin upacara pemakaman ayahnya, beserta istri, dan
Granger. Dan Haney, yang menangis ketika sepasang pe‐ngantin itu
mengucapkan janji setia mereka. Untunglah, upacaranya singkat.
Steve mengecup lembut bibir istrinya dan segera mencopot dasi.
"Steve." Steve berbalik dan melihat Rink mengulurkan tangan.
"Selamat datang di keluarga kami."
Steve tersenyum lebar sambil menyalami kakak iparnya. "Terima
kasih, Rink. Aku bahagia bisa menjadi anggota keluarga ini."
"Selamat, Steve," kata Caroline dan mencium pipi Steve. "Laura
Jane." Caroiine memeluk Laura erat‐erat. "Semoga selalu bahagia."
"Pasti akan selalu, selalu," jawab Laura Jane gembira, sambil
mengangguk‐anggukkan kepala. "Ayo kita minum sekarang. Kurasa
Steve ingin minuman dingin."
Semua orang kelihatan gembira ketika me‐masuki ruang makan,
yang sudah siap dengan hidangan ham dan kalkun, bermacam salad,
sayur‐sayuran, kue pengantin tiga susun dan makanan‐makanan
kecil lain, yang disiapkan Haney. Juga tersedia kopi dan jus. Ketika
Rink tertangkap basah menuangkan bourbon ke gelas Steve,
pendeta tertawa. Pesta itu sederhana tapi meriah,' dan Caroline
gembira untuk Laura Jane.
Setelah semua selesai makan, juru foto mem‐buat potret
mereka. Dasi yang tadi dilepas Steve hilang sehingga harus diganti.
Caroline merapikan rambut Laura Jane dan menambah lipstiknya.
Setelah acara pemotretan selesai, tak seorang pun yang matanya
tidak berbinar‐binar.
Para ramu mohon diri, meninggalkan para penghuni rumah
dengan meja makan yang porak poranda. Pengantin pria dan wanita
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
istirahat di lantai dua. Menjelang pernikahannya, barang‐barang
Steve dipindahkan ke kamar Roscoe. Pasangan pengantin itu akan
menempati kamar tersebut karena lebih besar daripada kamar
Laura Jane. Caroline merencanakan mendekorasi ulang agar lebih
menarik dan sesuai dengan kepribadian penghuninya.
Setelah membantu Haney bersih‐bersih, Rink dan Caroline pergi
menonton di bioskop di kota. Sewaktu pulang ke rumah, suasana
sunyi dan gelap. Mereka mengendap‐endap ke lantai dua, tidak
ingin mengganggu si pengantin baru. Mereka naik ke kamar tidur
Rink. Setelah me‐ngunci pintu, Rink menyalakan lampu di sam‐ping
ranjang.
"Aku bosan harus mengendap‐endap seperti ini terus," keluh
Rink. "Aku benci salah satu di antara kita harus turun dari ranjang
dan menye‐linap ke lorong menjelang pagi. Mengapa kau tidak
pindah saja ke sini bersamaku, atau aku pindah ke kamar tidurmu?"
"Karena."
"Alasan yang masuk akal." Rink membuka sepatu bot dan
kemejanya dan melepas celana panjangnya. "Mungkin aku harus
menuliskannya supaya ingat."
"Sudahlah, jangan ‐menggodaku. Aku belum ingin siapa pun tahu
soal ini."
"Mereka sudah tahu," kata Rink yang telah melepas celana
dalamnya. Diempaskannya tubuh‐nya ke sofa empuk berlapis kulit,
tempat yang paling disukainya di rumah.
Caroline membuka sweter dan menatap Rink dengan kaget.
"Benarkah?"
Tanpa menjawab sepatah kata pun, Rink mengangguk dan
memerhatikan Caroline yang melipat kemejanya dengan rapi dan
meletakkan‐nya di sandaran kursi. Branya sewarna kulit. Ada
sulaman bunga mawar pada branya. Kelopak bunganya mengeliling
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
bagian puncak. Seakan hendak membalas tahun‐tahun saat tidak
punya bra cantik, kini Caroline selalu memakai bra yang indah.
Menangkap nada suara Caroline, Rink berkata, "Steve dan
Haney, aku yakin tahu. Mereka tidak buta, Caroline. Dua belas tahun
aku menyimpan perasaan cintaku padamu. Aku rasa tidak mung‐kin
bisa disembunyikan lagi beberapa hari ter‐akhir ini. Sekarang aku
lebih bahagia dibanding‐kan sebelumnya. Dan itu jelas terpancar,
sayang‐ku."
Wajah Caroline memerah ketika ia melepas rok, tampil dengan
celana dalam yang warnanya senada dengan bra, berenda dan
terbuat dari sutra. Kejantanan Rink langsung bereaksi.
"Aku juga tidak suka sembunyi‐sembunyi, te‐tapi demi
reputasiku, jangan biarkan setiap orang tahu rahasia ini. Nanti aku
dianggap perempuan murahan."
Caroline mengambil sikat dan menyikat ram‐butnya. Cahaya
lampu menerpa helai‐helai ram‐but yang tergerai. Caroline
membelakangi Rink. Lekuk tubuhnya sangat indah. Celana dalam itu
hampir tak dapat menyembunyikan daya tarik seksual Caroline.
Bagian tubuh yang tertutup renda dan stoking tersebut adalah
bagian tubuh yang ingin sekali disentuh Rink. "Bagaimana bisa kau
dianggap perempuan murahan?" tanya Rink dengan suara berat.
Caroline mengeluarkan botol kecil dari tas, lalu menuangkan
beberapa tetes isinya ke telapak tangan. Digosok‐gosokkannya dan
dibalurkannya ke lengannya. Oh, Tuhan! Perempuan ini sung‐guh
membuatnya gila!
"Karena secara hukum kau anak tiriku."
"Dan di luar hukum?"
Caroline membalikkan badan, menghadap ke arah Rink yang
duduk di kursi, melihat tubuh‐nya yang bergairah. Caroline
tersenyum malu tapi amat menawan. "Di luar hukum, kau ke‐
kasihku."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Kemarilah." Buru‐buru Rink melepas celana dalamnya dan
melemparkannya ke lantai.
Caroline menghampirinya dan berdiri dengan patuh ketika Rink
melepas celananya, menyebab‐kan pengikat stokingnya tergantung
rendah di pinggul dan tali stokingnya menjuntai di paha sampai ke
bagian atas stoking. Rink menyelipkan tangannya ke balik bagian
atas salah satu stoking dan dengan lembut mencubitnya. Jari‐jari
Caroline memegang telinga Rink ketika pria itu mencondongkan
tubuh untuk menciumi paha dan perutnya.
Rink meminta Caroline duduk di pangkuan‐nya, dan
kejantanannya pun lenyap dalam tubuh Caroline. Tangan Caroline
melingkari leher Rink dan punggungnya melengkung, menyebabkan
laki‐laki tersebut bisa beraksi di dadanya. Rink menciumi
payudaranya. Akhirnya bra Caroline berhasil dibukanya.
Dibenamkannya wajahnya.
Paha Caroline rapat menjepit paha Rink ketika ia bergerak di
pangkuan kekasihnya, menggerakkan pinggul dengan gerakan
berputar. Tangan Rink mengelus bagian belakang paha Caroline
sampai ke pinggul, memegangnya erat‐erat. Sambil membenamkan
kepala pria itu di dadanya, Caroline membungkuk dan membisikkan
kata‐kata cinta seirama gerakan Rink. Rink bergerak makin cepat,
terus makin cepat. Kemudian, ketika tubuh Caroline bergetar karena
ke‐nikmatan yang melandanya, Rink pun mencapai puncak.
Caroline terpuruk di sisi tubuh Rink dan selama beberapa menit
mereka tidak bergerak. Akhirnya Rink membelai bagian belakang
kepala Caroline. Diciumnya pundak wanita itu. Ketika melihat
Caroline masih saja tidak bergerak, ia bertanya lembut, "Ada yang
tidak beres?"
"Di kursi? Jadi apa aku sekarang?"
Sambil tersenyum, Rink mencium telinga Caroline. "Perempuan
istimewa, perempuan can‐tik dengan gairah yang diidamkan laki‐
laki." Dipeluknya Caroline erat‐erat. "Aku biasa duduk di kursi ini
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
dan mengkhayalkan dirimu. Di sinilah aku membayangkan kau,
membayangkan bagaimana bercinta denganmu." Rink mengelus
pipi Caroline dengan buku‐buku jarinya. "Kha‐yalan yang selalu
memenuhi benakku, Caroline."
Caroline mengangkat kepala. Sinar matanya selembut sinar
rembulan yang tenang meng‐hanyutkan. "Begitukah?'
"Ya." Rink menyentuh rambut Caroline, bibir‐nya, payudaranya.
"Aku masih tidak percaya ini sungguh‐sungguh nyata."
"Aku tidak percaya ini diriku, bertingkah se‐perti ini. Kau selalu
memberi pengaruh buruk padaku."
Binar‐binar cinta di mata Rink berganti de‐ngan sorot mata
nakal. "Tidakkah itu membuat‐mu bahagia?"
"He‐eh." Mengimbangi gaya Rink, Caroline memutar pinggulnya.
Rink mengerang. "Ya ampun, Caroline. Kau mau membunuhku?
Tidak bisakah kita me‐nunggu sampai di ranjang?"
Setelah itu, bertutupkan selimut tipis, Rink menemukan telinga
Caroline dalam kegelapan dan berbisik, "Kau tahu, andai Haney juga
punya pacar, kita bisa membentuk kelab." Caroline menarik bulu
dada Rink, menyebabkan laki‐laki itu menjerit perlahan. "Maksudku,
Steve dan Laura Jane di satu kamar, dan kita—"
"Aku tahu maksudmu." Caroline berhenti ter‐senyum, dan
menguap. "Tak terbayangkan olehku bagaimana perasaan Steve
sekarang ini, tetapi aku tidak tahu apa pendapat Laura Jane tentang
perkawinan."
Mereka tidak perlu menunggu lama untuk mengetahui hal itu.
Keesokan paginya, pasangan pengantin baru itu sarapan bersama
Caroline dan Rink. Mereka berdiri di pintu dapur dengan tangan
bergandengan. Steve tersenyum malu‐malu. Laura Jane berseri‐seri.
Kepada mereka, gadis itu mengatakan dengan gembira, "Kurasa
semua orang di muka bumi ini harus menikah."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Pemintalan mulai dibereskan. Caroline bersyukur Rink berada di
dekatnya. Ia tidak tahu harus mulai membersihkan dari mana
setelah kebakaran itu. Tak lama sesudah pembersihan selesai, Rink
menyinggung soal memperbaruinya. Rink meng‐ungkapkan semua
rencananya pada Caroline, dan Caroline menyetujuinya. Rencana itu
termasuk mengganti semua mesin tua dan membeli yang baru,
mengganti kabel‐kabel, dan membuat pe‐mintalan kapas Lancaster
Gin menjadi pemin‐talan kapas paling modern di negara ini.
"Kita dapat untung besar sekali tahun ini. Bank bersedia
memberikan kredit pinjaman jang‐ka panjang untuk biaya renovasi
dengan bunga ringan. Kita harus memanfaatkan kemurahan hati
mereka."
"Aku setuju."
Mereka bekerja lembur di musim panas yang terik, tetapi
keduanya tetap bersemangat. Kerap mereka harus menahan diri
untuk tidak saling menyentuh. Banyak mata memerhatikan, dan
mereka tahu hal itu dan tidak ingin memberi kesempatan kepada
orang‐orang untuk meng‐gosipkan mereka. Gosip tentang mengapa
Rink tidak segera kembali ke Atlanta telah beredar. Itu saja sudah
membuat Caroline cemas.
"Rink?" Mereka beristirahat sejenak di ruangan kantor
pemintalan.
"Hmmm?" Rink menyentuhkan kaleng mi‐numan dingin ke
dahinya.
"Kapan kau kembali ke Atlanta?" Caroline berusaha bicara
sewajarnya tetapi tahu ia tidak berhasil ketika Rink menurunkan
kaleng mi‐numan dan menatapnya tajam.
Rink menyeruput minumannya. "Ingin men‐jauhkan diri dariku?"
Rink menggoda.
Sorot mata Caroline memancarkan binar‐binar cinta. "Tentu saja
tidak," sahut Caroline tenang. "Aku hanya ingin tahu mengapa kau
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
melakukan semua ini di pemintalan ini. Aku kan mendapat gaji,
tetapi tak ada alasan bagimu untuk meng‐habiskan waktu dan
tenagamu di sini."
Rink meletakkan kaleng minumannya di meja, di tumpukan
majaJah bisnis lama. Sambil berdiri, pria itu menggeliat dan berjalan
ke jendela, tempat ia biasa memerhatikan para pekerja menurunkan
bahan bangunan dari truk. "Pabrik ini punya arti besar bagiku,
terlepas dari suka atau tidak suka Roscoe padaku. Aku tidak
mendapat keuntungan finansial darinya, gara‐gara surat wasiatnya,
tetapi pemintalan ini tetap sangat menarik minatku. Pemintalan ini
milik keluarga ibuku sebelum Roscoe mengambil alih dan men‐
jadikannya miliknya. Karena ini bagian dari wa‐risan keluargaku dan
membawa namaku, aku harus peduli padanya. Andai alasan‐alasan
itu tidak cukup kuat, anggap saja aku melindungi warisan adik
perempuanku."
"Aku cinta padamu."
Rink berbalik menghadap ke arah Caroline seketika.
Ungkapannya tak terduga dan tampak‐nya tak ada kaitan dengan
bahan pembicaraan sebelumnya. "Mengapa? Maksudku, apa yang
membuatmu mengatakan itu sekarang?"
"Karena, andai situasi ini menimpa laki‐laki lain, ia pasti sudah
meninggalkan tempat ini sejak lama, karena perasaan pedih dan
marah mengalami situasi di sini."
"Itulah yang diinginkan Roscoe. Tetapi seka‐rang, aku tidak mau
terperangkap siasatnya."
"Itulah alasan satu‐satunya kau masih di sini, untuk menantang
Roscoe?"
Rink tersenyum dan mendekati Caroline. Rink menarik tangan
Caroline, mendorongnya ke su‐dut, di antara dinding dan lemari
arsip. Ruangan sempit itu cukup untuk membuat mereka terhindar
dari pandangan orang yang tiba‐tiba masuk ke ruangan. "Kau tak
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
ada sangkut pautnya dengan keberadaanku di sini," kata Rink, dan
mulai menciumi Caroline.
Rink terasa asin. Ia mandi keringat. Ia benar‐benar laki‐laki sejati.
Caroline menyukai sifat jantannya. Feminitasnya bereaksi terhadap
ke‐jantanan Rink. Sambil merapat, Caroline me‐nekankan tubuhnya
yang penuh gairah ke tubuh pria itu. Rink mendaratkan ciuman di
leher Caroline, hendak menggigit dan menggelitiknya. Tangannya
menggenggam payudara Caroline dan mengelus‐elusnya.
"Kau tak boleh bebas seperti ini," gumam Caroline. "Aku
atasannya."
"Bukan atasanku. Secara hukum, aku tidak bekerja untuk
perusahaan ini, ingat?"
Caroline mengerang pelan ketika jari‐jari Rink mempermainkan
payudaranya dari balik blus. Sambil menunduk, Rink membuka
kancing blus Caroline yang paling atas dengan giginya, kemu‐dian
bibirnya dengan panas menikmati bagian hangat di balik blus
tersebut. "Tetapi aku tetap punya hak mengontrol hal tertentu,"
kata Caroline dengan napas tersengal.
"Tidak diriku, kau tidak berhak." Tangan Caroline menyelinap ke
balik celana jins Rink dan menekan bagian keras di situ. "Baiklah.
Berarti, aku bohong," kata Rink dengan suara parau. "Kau punya hak
penuh untuk mengontrol segalanya."
"Aku merasa tempat ini selalu bising," kata Caroline sambil
memandang ke sekeliling bangunan yang berdinding seng itu.
"Memang begitu. Namun ini tempat barbecue paling enak di
wilayah Mississippi. Mereka punya resep keluarga yang didatangkan
dari Tennessee. Kau mau apa, iga atau daging iris?"
"Nanti aku boleh menjilati jariku?"
"Tentu."
"Kalau begitu, aku minta iga saja."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Mereka tersenyum ketika pelayan berlalu se‐telah menerima
pesanan mereka. Mereka harus bicara dengan berteriak karena
suara musik yang terdengar dari jukebox di sudut ruangan terlalu
nyaring. Beberapa orang melantai di lantai dansa yang penuh debu,
berdansa two‐step atau hanya melangkah mengikuti irama lagu
sambil ber‐pelukan rapat, tergantung perasaan romantise yang
melanda mereka.
Asap tebal memenuhi ruangan. Di dindingnya yang dibuat dari
panel‐panel murahan dipasang lampu neon warna merah muda dan
biru, me‐nerangi berbagai merek bir. Poster seorang model yang
tengah tersenyum lebar, berambut palsu dan berdada montok,
menghiasi dinding. Di belakang bar, jam dinding bergetar di bawah
air terjun yang mengalir. Hiasan yang digerakkan listrik itu membuat
Caroline pusing bila me‐mandanginya terlalu lama.
Caroline dan Rink menikmati kebersamaan mereka. Mereka
punya kebiasaan mencari tempat‐tempat baru untuk dilewatkan
bersama selama beberapa jam setiap malam, demi memberi waktu
berduaan buat Steve dan Laura Jane di rumah. Steve mengatakan
kepada mereka secara sem‐bunyi‐sembunyi ia sudah mengutarakan
pada Laura Jane niatnya berbulan madu, tetapi ia merasa Laura Jane
pasti takut kalau bepergian terlalu jauh. Ia.hanya bisa menyesuaikan
diri dengan kehidupan yang indah‐indah saja. Karena itu ia tidak
ingin menyinggung soal bulan madu tersebut.
"Kau sering datang ke sini?" tanya Caroline, sambil meletakkan
tangan di meja dan agak mencondongkan tubuh ke arah Rink.
"Sering. Ketika aku SMA, waktu belum cukup umur untuk
membeli bir, aku dan teman‐teman‐ku beramai‐ramai datang ke
tempat ini dengan mobil. Mereka tidak takut menjual bir kepada
kami. Kata ayahku...." Mendadak Rink meng‐hentikan kata‐katanya,
Caroline tahu itu karena Rink menyebut Roscoe dengan akrab.
"Lanjutkan," desak Caroline lembut. "Apa yang Roscoe katakan
padamu?"
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Ia memberitahu aku pada masa larangan menjual minuman
keras, ini tempat berkumpul penyelundup minuman keras.
Terutama wiski, di tempat ini bisa didapat dengan mudah di‐
banding tempat lain di negara bagian ini."
Rink merenung sambil mempermainkan tem‐pat garam seperti
orang linglung. Caroline meng‐genggam tangan Rink, membuat pria
itu menga‐rahkan pandangan kepadanya. "Kalian berdua selalu
bertengkar? Apa tidak ada saat manis sedikit pun yang bisa
kauingat, untuk melupakan yang tidak enak?"
Rink tersenyum getir. "Ada beberapa, ya. Se‐perti ketika aku
ingin mengisap cerutu. Usiaku waktu itu dua belas tahun. Ia
memperbolehkan aku mengisapnya. Aku seperti anjing sakit dan ia
gembira melihatnya. Ia selalu mengejek aku soal itu selama
beberapa tahun, tetapi aku tidak keberatan. Kemudian waktu aku
tertangkap ka‐rena mencoret‐coret bus sekolah sainganku. Roscoe
membelaku mati‐matian di hadapan pengurus sekolah, malah
mengingatkan mereka bahwa anak laki‐laki harus nakal, kalau tidak
mereka tidak normal."
Dahi Rink berkerut. "Ada polanya, Caroline, yang tak pernah
terpikirkan olehku sebelumnya. Bila aku terlibat dalam tindakan
kenakalan, Roscoe selalu membelaku. Ia menyukaiku bila aku
membuat onar. Bila aku melakukan sesuatu yang baik, ia tidak
mentolerir tindakanku. Ia ingin aku seperti dirinya, suka membuar
keri‐butan, huru‐hara, selalu melanggar aturan. Aku tidak dididiknya
menjadi anak baik, tetapi aku tidak pernah memperdaya siapa pun
atau menya‐kiti seseorang." Rink melihat Caroline menatapnya
dalam‐dalam. "Aku ingin kau tahu soal ini. Aku menyesali ia dan aku
tidak saling menyayangi."
"Aku tahu kau ingin bisa menyayanginya, Rink."
"Andai nanti aku punya anak laki‐laki atau perempuan, aku ingin
menyayangi mereka apa adanya. Aku takkan pernah mencoba
mengubah kepribadian mereka. Aku bersumpah untuk itu."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Mereka bergenggaman tangan di atas meja dan tidak
melepaskannya sampai makanan me‐reka datang.
Menjelang mereka selesai makan, tempat itu makin gaduh. Lebih
banyak peminum dan penari yang datang ketimbang orang yang
hendak ma‐kan. Suara mereka sangat ingar bingar. Begitu menerima
bon dari pelayan, mereka langsung pergi ke kasir di ujung bar.
Tagihan makanan mereka sedang dijumlah ketika Caroline men‐
dengar suara orang bicara.
"Pasti senang ya, Virgil, langsung masuk setelah Daddy pergi?"
Tangan Rink yang tengah memegang uang seketika tak bergerak.
Caroline melihat urat nadi di pelipis Rink menonjol dan rahangnya
menge‐ras karena marah.
Virgil mengikik. "Benar sekali, Sam. Tak ada yang lebih
menyenangkan daripada membiarkan ayahmu menyelesaikan
masalahmu, begitulah."
Dengan tenang Rink meletakkan uang di bar. "Rink, ayo pergi,"
ajak Caroline sambil meng‐gandeng lengan Rink. Pria itu menepis
tangan Caroline seperti mengusir lalat. Caroline melirik ke
sekelilingnya. Seseorang mengecilkan suara musik dari jukebox.
Seketika para penari berhenti.
Yang lain bergerak menjauhi Virgil dan Sam, yang jelas terlalu
mabuk dan bodoh untuk menya‐dari apa yang baru mereka sulut.
Ketika Rink berbalik menghadapi mereka, sorot maranya me‐
mancarkan binar yang membuat Caroline takut.
"Apa katamu tadi?" Bibir Rink hampir tak bergerak ketika
mengucapkan pertanyaan ter‐sebut, suaranya tenang dan
mematikan. Salah seorang dari mereka melirik temannya, kemudian
tertawa terbahak‐bahak.
"Mr. Lancaster," ujar manajer bar, "mereka orang baru di kota
ini. Mereka tidak tahu apa‐apa tentang keluarga Anda. Mereka
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
hanya ber‐gurau. Tak perlu Anda pedulikan. Saya yang akan
mengusir mereka pergi."
Manajer itu seharusnya tidak usah ikut cam‐pur, karena Rink
ridak akan memedulikannya. "Apa yang kaukatakan tadi?" ulang
Rink dengan suara lebih keras. Ia maju mendekati kedua pria itu,
yang berdiri di dekat bar.
"Hmmm, kami tadi hanya bilang, betapa ber‐untungnya Anda,
karena punya ayah yang sudah melatihnya lebih dulu sebelum ia
meninggal."
Caroline mengangkat tangannya yang gemetar untuk menutupi
mulutnya dan mencoba meng‐hindari sorot mata ingin tahu orang‐
orang yang diarahkan padanya. Ia tahu bahwa yang mereka ingat
adalah meskipun ia sekarang hidup lebih baik, ia tetaplah putri Peter
Dawson, keluarga miskin.
Virgil hampir tak bisa bicara karena tertawa geli mendengar
kepiawaian Sam berkata‐kata. "Kurasa seprainya pun belum dingin
ketika kau masuk. Apakah ayahmu mengajarinya beberapa taktik
yang menyenangkan, Nak? Apakah ia memberimu apa yang ia...."
Virgil tidak bisa menyelesaikan pertanyaannya. Bahkan ia tidak
ingat kapan ia mulai menanya‐kannya. Tinju Rink mendarat di
dagunya, mem‐buatnya terempas dari bangku dan melayang jatuh
ke panggung. Ia sudah pingsan sebelum tubuhnya menyentuh
lantai.
Sam menyaksikan apa yang terjadi pada temannya dengan mulut
ternganga karena ter‐kejut. Ia segera turun dari kursi dengan ke‐
takutan. Ia meringis ke arah Rink.
"Ia... ia... ia tidak bermaksud apa‐apa dengan perkataannya, Mr...
eh... Lancaster. Kami hanya bercanda dengan...."
Ia melihat tinju melayang, mencoba meng‐hindar, tetapi tinju
Rink keburu mendarat di tulang pipinya. Ia menjerit kesakitan dan
jatuh terjerembab. Rink berdiri di hadapannya, mengangkang,
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
napasnya memburu, tinjunya di‐kepalkan kemudian diturunkannya
ke samping.
"Minta maaf padanya," perintahnya dengan suara perlahan tapi
mengancam. "Sekarang."
Sam berjalan sempoyongan menahan sakit, kedua tangannya
memegang pipinya, seakan hen‐dak menjaganya supaya tidak retak.
Satu‐satunya suara yang bisa diucapkannya hanya gumaman tak
jelas.
"Minta maaf padanya!" bentak Rink.
Caroline segera mendekati Rink dan me‐megangi lengannya.
"Sudahlah, Rink," mohon Caroline mengiba. "Ayo pergi. Ia sudah
tidak bisa bicara. Tidak apa‐apa. Cepat tinggalkan tempat ini. Aku
tidak tahan melihat semua mata memandangku. Ayo, mari cepat
pergi!"
Rink menggeleng seperti hendak menjernihkan pikiran.
Kemudian ia berbalik ke arah kasir, dengan marah menepiskan
tumpukan bon, sam‐bil memasukkan uang kembalian ke saku celana
jins, menggandeng tangan Caroline, dan me‐nuntunnya ke pintu.
Ia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju
rumah, tetapi mesin pickup itu bukan mesin mobil sport. Rink
menyumpah‐nyumpah ketika akhirnya mesinnya terbatuk‐batuk
dan tidak bisa lari secepat yang diingin‐kannya. Ketika tiba di rumah,
ia segera turun dan membukakan pintu mobil untuk Garoline, tetapi
ia tidak menunggu Caroline turun, ia langsung masuk ke rumah.
Caroline mengikuti‐nya dan menemukannya mondar‐mandir di
ruang kerja seperti kucing yang terperangkap. Dengan bijaksana
Caroline menutup pintu ketika memasuki ruangan dan
melemparkan tas ke kursi terdekat.
Rink melotot pada Caroline. "Kaulihat apa yang dipikirkan orang‐
orang? Mereka mengira kau sudah tidur dengan ayahku."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Dulu aku kan memang istrinya. Mereka se‐harusnya mengira
apa?"
Rink mengumpat dan menyibakkan rambut. "Aku rasa aku jadi
bahan tertawaan penduduk kota ini. Pasti setiap orang senang
menggosipkan hal itu. Aku mengambil alih apa yang ditinggal‐kan si
bandot tua."
Keegoisan Rink membuat Caroline bingung. "Apakah kau pernah
memikirkan bagaimana pe‐msaanku, apa yang mereka pikir tentang
dirikuT Caroline memegang dadanya. "Mereka mengira aku merayu
ayahmu agar mau mengawiniku. Kini mereka berpikir aku merayu
anak tiriku. Apa pun yang mereka katakan tentang dirimu tidak
seburuk yang mereka katakan tentang aku. Aku benar‐benar anak
miskin, ingat? Bagi mereka aku tetap orang miskin dan selalu miskin.
Semua itu tidak ada kaitannya dengan aku punya moral atau tidak.
Itu stigma yang kubawa sejak lahir." "Tetapi sebagai istri Roscoe kau
harus bisa meng‐hapus stigma itu, bukan?"
Caroline menghindar menjawab pertanyaan itu, tetapi ketika ia
melihat senyum mengejek di wajah Rink, ia merasa harus
menjawab. "Ya."
"Hmmm, mungkin demi nama baikmu, sa‐yang ia meninggal,"
kata Rink keji. "Paling tidak, kau punya uang banyak. Aku yakin isi
surat wasiatnya kini sudah menjadi rahasia umum. Setiap orang
tahu aku tidak diwarisi apa pun. Seluruh kota mungkin tahu aku
mengemis‐ngemis padamu karena kau yang mendapat The
Retreat."
"Pakai akal sehatmu, Rink. Itu tidak mungkin. Setiap orang tahu
kesuksesan usaha penerbangan‐mu.
"Mereka semua tahu betapa aku sangat men‐cintai tempat ini
juga. Mereka mungkin mengira aku ini tak ubahnya kuda pejantan
buatmu sehingga bisa tetap tinggal di sini."
Caroline seakan habis ditampar tangan Rink. "Aku tidak suka kau
bicara seperti itu."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Mengapa kau tidak mau membicarakannya? Mari hadapi
kenyataan. Tidakkah memang itu yang kulakukan?" tanya Rink. "Apa
tujuanku ada di sini? Laura Jane sudah punya Steve yang bisa
menjaganya. Haney sibuk sepanjang hari seperti induk ayam. Yang
kulakukan hanyalah menjaga nyonya rumah agar tetap bahagia dan
puas di tempat tidur."
"Jangan berani‐berani mengatakan kau me‐ngorbankan diri. Kau
juga bahagia."
Caroline mengutuki matanya yang berkaca‐kaca karena perasaan
marah dan sakit hati.
"Aku merasa begitu sampai akhirnya aku sadar setiap orang
mengira aku menggantikan Roscoe di tempat tidur."
"Tetapi kau kan tidak seperti itu! Kau tahu itu, Rink."
"Akibatnya sama saja."
"Karena mereka berpikir aku sudah tidur de‐ngan ayahmu?"
"Ya." Kata‐kata itu meluncur keluar dari mulut Rink seperti roket.
Akibat pernyataan itu adalah keheningan yang mencekam. Akhirnya
Rink ber‐kata, "Bahkan sudah mati pun, ia masih bisa memisahkan
kita."
Caroline berbalik menghadap Rink, kema‐rahannya memuncak.
"Bukan dia. Kau. Keang‐kuhan dirimu. Keangkuhan dirimulah yang
me‐misahkan kita."
"Bagaimana dengan keangkuhanmu?" Rink ba‐lik bertanya.
"Aku?" tanya Caroline, marah.
"Ya, keangkuhanmu."
"Apa yang pernah aku banggakan?"
"Bahwa kau sarjana. Bahwa kau menikah de‐ngan laki‐laki paling
kaya di daerah ini. Bahwa kau tinggal di rumahnya yang besar.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Bahwa status sosialmu lebih tinggi daripada orang‐orang yang dulu
memandang rendah dirimu."
"Aku sudah bilang sejak pertama kali kau kembali ke sini bahwa
aku suka tinggal di sini."
"Tetapi apa yang akan dikatakan orang bila satu‐satunya alasan
Roscoe menikah denganmu adalah untuk menarikku pulang ke
rumah; bah‐wa perkawinanmu hanyalah kepura‐puraan? Apa‐kah
kau masih bisa mendongakkan kepala?"
Kebungkaman Caroline menjawab pertanyaan Rink. Ia
menjatuhkan diri di kursi. Bahu Rink terkulai. Dengan suara yang
lebih tenang, Rink berkata, "Aku tak tahan membayangkan mereka
berpikir kau istri ayahku. Dan kau tidak tahan mereka berpikir yang
sebaliknya tentang dirimu." Rink menengadah dan tertawa. "Oh,
Tuhan, betapa manis pembalasan yang dilakukannya. Kendati siasat
pertamanya tidak berhasil, me‐Aiisahkan kita—berusaha
meyakinkanku bahwa ia sudah tidur denganmu—siasatnya yang ini
membuat kita menyerah."
Rink melangkah ke pintu. "Aku benci menga‐kuinya, Caroline,
tetapi kita berhasil dipermain‐kannya. Seperti yang diyakininya."
Caroline merasa hatinya hancur berkeping‐keping ketika Rink
menutup pintu, meninggal‐kan ruangan itu.
Bab 13
AKU menyuruh anak itu berlutut di hadapanku, itu yang ingin
kulakukan," gerutu Haney sambil menarik seprai Caroline. "Bila ada
anak muda yang perlu dihukum...."
Caroline duduk di depan cermin, memijat‐mijat kepala, berusaha
menghilangkan rasa pening yang menyerangnya. Tetapi usahanya
tak berhasil Sekujur tubuhnya sakit seakan ia habis digebuki.
Memang demikianlah yang dirasakan Caroline. Gara‐gara habis
bertengkar dengan Rink.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Haney, si pengurus rumah, menumpuk seprai di lantai dan
membentangkan seprai baru. Terde‐ngar suara gemeresik ketika ia
menghamparkannya di tempat tidur. Rapi seperti tentara, Haney
menyelipkannya di bawah kasur. "Apa ia tidak bilang padamu
semalam, meninggalkan pesan, ia akan keluar rumah malam‐malam
seperti maling?"
"Tidak, ia... eh... kami mengobrol sebentar. Ia naik, beberapa
menit kemudian aku tidur. Aku tidak tahu ia sudah pergi sampai kau
mem‐bangunkan aku pagi ini."
"Aku sudah mengajarkan tatakrama pada anak itu, begitu pun
ibunya. Bayangkan, bisa‐bisanya ia mengepak barang lalu pergi
tanpa pamit. Naik mobil pickup‐nya ke lapangan udara, lang‐sung
terbang dengan pesawatnya. Sumpah, aku tak tahu apa masalah
anak itu."
Sekali itu Caroline berharap Haney tidak ter‐lalu banyak
mengoceh. Satu‐satunya orang yang ingin ia ajak bicara hanyalah
Rink. Luka hatinya masih belum lenyap. Tiap kali mendengar nama
Rink disebut, lukanya kembali membuka dan hatinya berdarah.
"Kufasa, ia hanya merasa terlalu lama menelantarkan bisnisnya di
Atlanta."
Haney memandang sinis. Aku tahu apa yang terjadi, begitu batin
Haney kepada wanita muda itu. Yang ia ingin tahu, apa yang terjadi
di antara mereka, yang menyebabkan Rink men‐dadak
meninggalkan rumah. Berminggu‐minggu mereka bersama dan
saling menggoda. Pasti ada yang menyebabkan Rink pergi terburu‐
buru, ten‐tu hal yang berkaitan dengan Caroline. Haney
membungkuk dan mengambil cucian kotor. "Aku tak tahu apa yang
harus kusampaikan pada Laura Jane. Pasti ia sedih sekali karena
Rink pergi tanpa pamit padanya."
"Kau bilang ia meninggalkan surat untuk Laura Jane."
"Itu tidak sama, bukan?"
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Kesabaran Caroline menyusut. Ia berjalan ke lemari, mengambil
pakaian untuk mandi, dan secara halus mengisyaratkan ingin
sendirian di kamar. "Ia tidak akan terlalu sedih Rink pergi, karena
ada Steve yang menjaganya."
"Lalu siapa yang akan menjagamu?"
Langkah Caroline terhenti sebelum mencapai pintu kamar mandi,
ia membalikkan badan me‐natap Haney. Haney menaikkan alis, lalu
meleng‐gang keluar, merasa menang, dengan tangan penuh seprai
kotor.
Caroline mandi dan berpakaian. Ia tidak me‐medulikan
penampilannya. Ia tidak akan bertemu Rink di rumah. Ia akan
bekerja sebagaimana biasanya, ke pemintalan, memeriksa
kemajuan pembangunannya. Lebih baik ia menampilkan diri sebagai
penanggung jawab dan pengambil keputusan. Mungkin saja
beberapa karyawan me‐manfaatkan ketidakhadiran Rink sebagai
kesem‐patan untuk bekerja malas‐malasan.
Sewaktu tiba di pabrik, ia menyadari Rink bukan hendak
menurutkan kata hatinya ketika pergi ke Atlanta malam itu. Barnes
sudah me‐nunggunya di kantor.
Karyawan itu berdiri ketika Caroline masuk; dengan langkah
terseret, resah, ia berusaha meng‐hindari pandangan Caroline.
"Rink—Mr. Lancaster—menelepon saya dari Adanta pagi tadi."
Caroline berusaha bersikap biasa‐biasa 'ketika mendengar berita
itu, tetapi tangannya gemetar ketika ia membuka laci meja untuk
menyimpan tasnya. "Oh?"
Barnes menelan ludah. "Ya, Ma'am. Dan ia bilang saya harus
membantu Anda semampu saya agar semuanya berjalan lancar. Ia
juga me‐ngatakan kepada saya agar segera meneleponnya bila ada
yang tidak biasa."
"Terima kasih, Barnes," sahut Caroline tenang. Rink tidak benar‐
benar meninggalkannya. Ia ma‐sih peduli, memastikan dirinya tidak
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
ditinggalkan di pemintalan yang belum berjalan. Tapi mung‐kin saja
ia semata‐mata ingin melindungi warisan milik Laura Jane.
Mandor itu memutar‐mutar topi di tangannya. "Anda kenal saya
dan beberapa karyawan lain... hmmm, kami biasa bersama Rink.
Memang, ia masih muda ketika meninggalkan tempat ini untuk
pertama kalinya, tetapi kami tetap me‐nyukainya. Ia selalu
memerhatikan kami, Anda tahu yang saya maksud? Sangat berbeda
dengan ayahnya yang keji, maksud saya, tak pernah menghargai
orang lain. Rink selalu peduli pada kami, meskipun kami hanya
pekerja."
"Ya, aku mengerti apa yang kaumaksud, Barnes."
"Baiklah, begitu saja," ujar Barnes sambil me‐langkah ke pintu,
dalam hati memaki‐maki. Ya ampun, ia tidak bermaksud membuat
Caroline sedih. "Bila Anda perlu sesuatu, Anda tinggal menelepon
saya."
"Ya. Terima kasih."
Setelah Barnes pergi, Caroline berjalan ke jendela, dan menatap
pemandangan di luar. Mu‐sim panas sudah hampir berlalu. Bunga
dan pepohonan tidak lagi hijau berseri. Mereka mulai sekarat,
mengerut dan kering karena letih, me‐nunggu ajal. Begitu pula yang
ia rasakan. Minggu‐minggu yang sangat indah yang dilewati‐nya
bersama Rink membuat jiwanya hidup. Seka‐rang ia merasa dirinya
mengerut layu seperti bunga‐bunga musim panas yang mulai
kehilangan keceriaan hidup.
"Memang tidak berjodoh, Caroline," batin Caroline pada dirinya
sendiri. Benarkah pepatah yang mengatakan jodoh sudah
ditentukan jauh sebelum orang dilahirkan? Apa benar nasib yang
menentukan malapetaka yang menimpa sese‐orang? Atau semua ini
terjadi karena ia harus menebus dosa‐dosa ayah mereka, seperti
yang ditulis dalam Alkitab?
Bukan penyebabnya yang jadi masalah, karena akhir ceritanya
tak bisa diubah lagi. Rink benar. Mereka berdua terlalu angkuh. Ia
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
suka jadi keluarga Lancaster. Rink yakin ia tidak akan
melepaskannya. Daripada harus mengemis‐ngemis, Rink memilih
tidak bertemu dengannya selama ia memiliki The Retreat.
Caroline menegakkan kepala. Jantungnya ber‐debar cepat.
Selama ia memiliki The Retreat.
Apakah ia rela melepaskan rumah itu? Apa arti rumah itu tanpa
Rink di rumah itu? Tidakkah bagian itu yang senantiasa menjadi
misteri‐nya, bagian yang menariknya untuk masuk ke dalamnya?
Rumah yang dulu menjadi tempat tinggal Rink Lancaster. Bahkan
sewaktu tinggal bersama Roscoe di rumah itu, menyusuri lorong‐
lorongnya, ia mengkhayalkan Rink yang tinggal di sana, sewaktu
masih anak‐anak, semasa remaja, dan sebagai pemuda. Tanpa Rink,
rumah itu terasa seperti kumpulan kamar cantik yang di‐kelilingi
empat dinding.
Rumah itu takkan pernah menjadi miliknya. Rumah itu
senantiasa milik Rink. Keputusan hukum secara tertulis di atas
kertas takkan bisa mengubahnya.
Tetapi mampukah ia melepaskannya?
Suara ketukan perlahan di pintu membuatnya mengalihkan
pandangan dari buku besar. "Masuk."
Granger melangkah masuk ke ruangan yang remang‐remang,
yang hanya diterangi cahaya lam‐pu kehijauan di meja Roscoe.
"Haney bilang kau ada di sini. Aku harap kedatanganku tidak
mengganggumu."
Caroline tersenyum pada si pengacara. "Masuklah, Granger. Aku
tak merasa diganggu."
"Kau lembur. Apa perlu seperti itu?"
Ya, harus. Karena kalau tidak menyibukkan diri dengan bekerja,
ia akan teringat pada Rink. Kendati sibuk bekerja ia tetap ingat pada
Rink, tetapi paling tidak, kesibukan itu mengurangi rasa sakitnya.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Sebulan sesudah Rink pergi, rasa sakitnya tidak terlalu parah lagi,
meskipun tetap terasa karena tidak ada obatnya.
"Tugas pembukuan harus diselesaikan. Kalau dikerjakan di
pemintalan, selalu terganggu, jadi aku mengerjakannya di rumah
setelah jam kerja. Haney sudah menawarimu minum? Kopi?"
"Tidak usah, terima kasih." Granger duduk di hadapan Caroline,
di kursi bersandaran tegak. "Bagaimana keadaan di pemintalan?"
"Sibuk, bising, tapi baik‐baik saja, kau tahu sendiri. Kemarin kau
ke sana. Apakah ada ma‐salah, Granger?" Air muka Granger seperti
orang yang hendak dihukum gantung. "Ada apa me‐nemuiku?"
Wajah Caroline pucat. Rink. Ada sesuatu yang menimpa Rink.
Granger menangkap kepanikan yang menyer‐gap Caroline.
"Tidak, tidak. Aku bukan hendak menakut‐nakutimu. Tidak ada
masalah besar." Granger memerhatikan permadani di bawah
kursinya sejenak. "Hanya saja kau telah diundang dan aku tidak tahu
bagaimana kau akan menang‐gapinya."
"Undangan apa?"
"Undangan untuk acara penghargaan Roscoe sebagai warga kota
terbaik pada festival musim gugur ini."
Yang dimaksud Granger adalah pekan raya yang setiap tahun
disponsori Kamar Dagang Winstonville. Caroline tak mengira dirinya
terlibat festival itu, begitu pun Roscoe. "Mereka ingin memberikan
penghargaan? Mengapa? Mengapa mereka tidak memberikan
penghargaan itu kepada orang yang masih hidup?"
Granger mengangkat bahu. "Itulah yang men‐jadi pertanyaanku.
Bukan berarti aku tidak meng‐hargai Roscoe," katanya, cepat‐cepat
menambah‐kan, selalu loyal. "Tetapi tampaknya komite peng‐
hargaan ini sudah memutuskan hal itu sejak musim semi lalu.
Mereka tidak ingin berubah pikiran dan ingin kau mewakili
menerima penghargaan itu pada pembukaan festival."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Caroline berdiri sambil berkacak pinggang, melangkah ke
jendela. Hari hujan, hujan bulan September yang menyedihkan.
Hujan yang mem‐buatnya sedih. Tidak seperti hujan rintik‐rintik di
musim panas yang mencium dan mengelus kulit yang telanjang
seperti tangan atau bibir. Ia menekankan dahinya ke kaca jendela
yang di‐ngin. Mampukah ia menghilangkan kerinduannya pada
Rink?
Foto pria itu terpampang di koran dua hari yang lalu. Steven
melihatnya dan Laura Jane buru‐buru memperlihatkannya pada
Caroline. Satu lagi kota yang memberi izin mendarat pada
perusahaan penerbangan Air Dixie. Di foto itu Rink bersalaman
dengan Walikota, tersenyum, memperlihatkan giginya yang putih di
wajahnya yang hitam. Rambutnya tergerai di dahi. Betapa ingin
Caroline menyentuh wajah itu, mengelusnya seperti dulu.
"Kau merindukannya ya?" tanya Granger per‐lahan.
"Roscoe?"
"Rink."
Caroline berbalik. "Kau tahu?"
Wajah Granger yang penuh keriput mirip anjing bassethound
tersenyum penuh arti. "Aku menangkap sesuatu di antara kau dan
Rink jauh sebelum ia kembali ke rumah. Dengar dulu—" Ia
mengangkat tangan ketika melihat Caroline membuka mulut—"aku
bukan memancing‐mancing. Memang sebaiknya aku tidak tahu hal
itu. Tetapi hari itu, waktu di sini untuk meng‐hadiri pernikahan
Laura Jane, aku melihat kalian berdua. Aku yakin betul kalian berdua
saling jatuh cinta. Betulkah?"
"Ya."
Caroline kembali ke posisinya di dekat jendela, sesaat mereka
terdiam. "Apakah aku dianggap ikut campur bila ingin tahu ke mana
Rink pergi?"
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Caroline menggeleng. "Kau sahabat baikku, Granger. Ketika
Roscoe menikah denganku, aku tahu kau terkejut, tetapi kau tetap
menghormati dan bersikap sopan padaku. Aku tidak tahu
bagaimana harus berterima kasih padamu untuk halitu." Caroline
kembali menghadap Granger. "Saat ini pun aku sangat berterima
kasih padamu. Sebagai teman, aku mau mengatakan pada‐mu
bahwa terlalu banyak orang yang tidak se‐nang bila Rink dan aku
tinggal serumah."
"Terutama ayahnya."
"Benar, ayahnya. Dan pernikahanku dengan‐nya."
"Harga diri Rink."
"Oh, ya, aku tahu." Caroline tersenyum. Kemudian ia menatap si
pengacara dan berkata dengan suara rendah, "Meski menikah
dengan Roscoe, aku tidak pernah tidur dengannya."
"Aku tahu itu."
Caroline tertawa kecil. "Kau penuh dengan kejutan malam ini.
Kukira kau akan terkejut."
"Aku lega. Kau terlalu baik untuk Roscoe, Caroline."
Caroline kembali duduk di kursinya. "Ia me‐mang melakukan hal‐
hal yang menakutkan, tetapi yang paling mengerikan adalah yang
dilakukan‐nya terhadap Rink."
"Aku setuju."
"Kau tahu semua akal busuknya?"
"Lebih dari yang kaukira."
"Lalu mengapa kau tetap berteman dengannya begitu lama?"
"Sebagai pengacaranya. Roscoe tidak punya teman. Ia tidak mau
berteman dengan siapa pun. Aku tetap bersamanya, sebagian
supaya ia tetap pada jalurnya. Aku juga banyak mendapat perlakuan
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
kasar darinya, tetapi aku ridak suka melihat apa yang akan ia
lakukan bila aku tidak melindungi bisnisnya."
Caroline menumpukan siku di meja dan ber‐topang dagu, sambil
menggosok‐gosok dahi. "Ia tidak pantas menerima penghargaan
itu."
"Kau mau dengar nasihatku?"
"Ya."
"Terima saja, tersenyum dengan anggun."
"Dan jadi munafik?"
"Jangan mengecewakan mereka, Caroline," kata Granger, bicara
atas nama seluruh penduduk kota. "Mereka butuh sosok panutan
untuk disayang dan dibenci, dicemburui dan ditiru. Berikan apa yang
mereka inginkan. Cuma satu jam, beri kesempatan pada Roscoe apa
yang seharusnya ia lakukan."
"Kurasa kau benar juga."
Grangcr berdiri dan Caroline berjalan di ski‐nya. Sambil
bergandengan tangan mereka berjalan ke arah pinui. "Aku akan
menyampaikan kepada mereka besok bahwa kau bersedia
menerima penghargaan itu mewakili Roscoe.”
"Granger," ujar Caroline, berhenti di pintu. "Apa yang harus
dilakukan, secara hukum, untuk mengalihkan akte The Retreat
kepada orang lain?"
Kali ini Caroline benar‐benar membuat Granger terkejut. "Kau
tidak hendak menjualnya, kan?" tanya Gtanger, sangat terkejut.
"Tidak. Aku ingin memberikannya kepada orang lain."
Granger mengamati wajah Caroline dan me‐nemukan
jawabannya di sana. Karena itu ia tidak menanyakannya lebih lanjut.
Ketika me‐renungkan pertanyaan Caroline, ia menarik daun
telinganya sendiri, membuatnya tampak semakin lebar. "The
Dewi KZ & Titi Zhu