Tiraikasih website http://kangzusi.com
Daddy, menangis ingin bersama ayahnya. Namun, Marilee
mengatakan padanya bila ia ingin bersama ayahnya, ia harus ikut
ibunya tinggal di Winstonville karena aku bukan‐lah ayahnya."
"Oh, Rink," gumam Caroline, gemetar mem‐bayangkan peristiwa
yang mengerikan itu.
"Sekarang usianya sebelas tahun. Kudengar ia agak binal, momok
bagi siswa SMP di Winston‐ville." Rink menggeleng sedih.
"Memalukan se‐kali, karena Alyssa itu gadis kecil baik‐baik. Seperti
yang kauketahui, ia punya sederet 'ayah tiri'. Aku tidak yakin ia ingat
padaku."
Setelah diam beberapa saat, Caroline berkata, "Apakah
perusahaan penerbangan Air Dixie ber‐jalan baik sekarang ini?"
"Belum sepenuhnya. Aku raendapat izin ter‐bang ketika kuliah
semester pertama. Waktu tinggal di Atlanta, dapat banyak jam
terbang, aku dapat izin jadi pilot penerbangan carter. Aku terus
mengumpulkan jam terbang, mening‐katkan kualifikasiku agar
mendapat izin me‐nerbangkan pesawat yang lebih besar. Aku ber‐
temu rekan kerjaku dan kami merencanakan punya pesawat carter
sendiri. Kalau ada peru‐sahaan penerbangan yang bangkrut,
pesawat‐pesawatnya dijual dengan harga murah, dan kami berhasil
mengumpulkan uang untuk membelinya. Bisnis kami maju sekali
sehingga kami berhasil melunasi utang jauh sebelum waktu yang
ditetap‐kan, banyak permintaan yang tak dapat kami penuhi. Kami
membeli pesawat yang lebih besar, makin lama makin banyak."
"Dan akhirnya sampai di sini."
"Ya."
Lingkaran cahaya lampu jatuh menyinari me‐reka. Rambut
Caroline yang hitam tergerai sam‐pai ke bahu, menyatu dengan rok
hitam yang dipakainya. Hanya sebagian wajah dan lehernya yang
kelihatan putih di bawah sinar lampu yang kekuningan itu. Matanya
berbinar‐binar ketika menatap mata Rink.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Caroline?" panggil Rink lembut.
Dada Caroline berdegup cepat. Tidak pantas sebenarnya merasa
seperti itu di hari pemakaman suaminya, tetapi Caroline yakin,
andai saja Rink berani melangkah lebih berani, ia akan pasrah dan
tak ada yang bisa menghalanginya. Ia masih mencintai pria ini, dan
tak pernah berhenti mencintainya. Tetapi cintanya terhadap Rink
bu‐kan lagi cinta remaja. Cintanya pada Rink adalah cinta
perempuan dewasa terhadap pria dewasa. Kendati cepat naik
darah, tidak bisa menerima kelemahan manusia lain, marah
terhadap hu‐bungannya dengan Roscoe, cinta Caroline pada Rink
tidak berkurang.
"Ya, Rink?"
"Apakah kau pernah ingat aku sewaktu tidur dengan ayahku?"
Barangkali belati yang dihujamkan ke dadanya takkan lebih sakit
ketimbang kata‐kata yang dilontarkan Rink padanya saat itu.
Caroline me‐nangis pilu dan bangkit dari sofa. "Keparat kau, Rink!
Jangan pernah menyinggung soal itu de‐nganku."
Rink pun bangkit dari duduk dan berhadap‐hadapan dengan
Caroline. Dagunya agak di‐angkat dengan sikap angkuh. "Aku ingin
tahu. Apakah pernah hati kecilmu terusik, bagaimana kau bisa
menikah dengan Daddy setelah kita menjadi sepasang kekasih?"
"Aku ingin menjadi kekasihmu, ingat. Kau yang tidak ingin
menjadi kekasihku. Kau tidak berani mengambil risiko."
"Benar. Aku tidak berani mengambil risiko yang bisa
menyakitimu."
"Aku ingin kau menyakitiku." Caroline me‐ngatakan hal itu
dengan sangat emosional di antara sedu sedannya.
Rink mengertakkan gigi dan suaranya me‐rendah. "Aku ingin
menyakitimu dengan cara seperti tadi itu, ya. Aku ingin menjadi
orang pertama, yang menyakitimu, yang memungkin‐kan kau
menjadi milikku untuk selamanya." Rink maju selangkah, dengan
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
emosi yang meng‐gelegak. "Tetapi harga diriku disalahgunakan. Dan
lebih tololnya, perasaanku terhadapku lebih istimewa, tidak bisa
dibandingkan dengan gadis‐gadis yang pernah kuajak kencan."
"Pacarmu memang banyak, kan?"
"Ya."
"Sebelum dan sesudahnya."
"Ya."
"Lalu, mengapa kau menyalahkan aku menikah dengan Roscoe?"
"Karena kau bilang kau mencintaikul"
"Apakah kau juga mencintai gadis‐gadis itu, Rink? Cintakah?"
Seketika Rink memalingkan wajah, tetapi Caroline sempat melihat
ekspresi bersalah di wajahnya. "Kau tidak ada di sini waktu itu, Rink.
Kau sudah menikah dengan perempuan lain. Sepanjang yang
kutahu, aku hanyalah boneka mainan bagimu selama musim panas
itu. Paling tidak, kau kan bisa menulis surat, atau menelepon, atau
apalah. Aku tidak yakin kau pernah mengingatku. Andai kau ingat
pun, paling aku sebagai gadis sederhana diban‐dingkan gadis‐gadis
yang biasa bersamamu."
"Kau tahu apa sebabnya aku tidak mengontak‐mu. Aku tidak
ingin melibatkanmu dalam per‐soalanku dengan Marilee. Ketika
masalahku beres, kau sudah kuliah dan aku mendapat kabar kau
sudah menikah. Aku menghapus harapan untuk bertemu
denganmu. Kabar berikutnya yang ku‐dapat, kau sudah berbagi
ranjang dengan ayahku!"
Caroline menutup wajahnya dengan kedua tangan. la dapat
menangkap gelombang ke‐bencian yang ditujukan kepadanya.
Caroline menurunkan tangan, dengan berani balik menatap mata
Rink yang penuh kemarahan. "Kita tidak bisa begini terus, Rink,"
katanya lembut. "Kita saling menghancurkan."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Bahu Rink terkulai. Untuk kesekian kali ia menyibakkan rambut.
"Aku tahu. Aku akan meninggalkan tempat ini besok pagi."
Hati Caroline hancur berkeping‐keping. Ia tidak bermaksud
menyuruh Rink pergi, ia hanya ingin mereka berdua berdamai. "Kau
tidak harus meninggalkan tempat ini. Aku yang akan pergi. Ini
rumahmu. Ini hanya tempat tinggal semen‐tara bagiku. Aku tahu,
setelah Roscoe meninggal, aku tidak berhak tinggal di sini lagi."
"Bila kau pergi dan aku tinggal, apa kata orang nanti? Mereka
akan bilang aku mengusir janda ayahku. Tidak. Aku akan kembali ke
Atlanta besok."
"Tetapi pembacaan surat wasiat dan pabrik pemintalan kapas...."
Caroline mencoba memberi alasan yang masuk akal agar Rink tetap
tinggal di situ. Memang tak ada masa depan untuk mereka berdua,
tetapi ia tidak kuasa melihat Rink meninggalkannya untuk kesekian
kalinya. Jangan pergi dulu. Nanti saja, jangan seftarang.
"Aku akan datang ke sini lagi pada hari pembacaan surat wasiat.
Setelah itu baru kita atur bagaimana yang terbaik. Menurutku lebih
baik kau di sini besama Laura Jane. Soal pemin‐talan kapas...." Rink
tersenyum sinis. "Jalankan saja seperti saat kau menjalankannya
semasa Roscoe masih hidup."
Mata Caroline yang muram membingungkan Rink. Ia maju
beberapa langkah agar berada dekat Caroline. Ia merangkul
Caroline, men‐dekatkannya. Kepala Caroline terkulai ke bela‐kang
ketika Rink menunduk ke dekat muka‐nya.
"Jangan pandang aku seperti itu. Kaukira aku ingin meninggalkan
tempat ini? Rumahku? Tem‐pat tinggalku? Laura Jane dan Haney?"
Suara Rink tiba‐tiba merendah. "Kau?' Ia menarik tubuh Caroline
lebih rapat dan mendesah ketika tubuh wanita itu bersentuhan
dengan tubuhnya. "Keparat kau. Keparat kau, Caroline."
Bibirnya didaratkannya di bibir Caroline de‐ngan penuh gairah,
tetapi sekali ini Caroline memang sudah menunggu. Ia membuka
mulut dan membiarkan bibir Rink melumatnya. Lidah Rink meluncur
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
masuk ke mulut Caroline yang manis tapi hangat. Diciuminya
Caroline berlama‐lama. Pertama ia memiringkan kepala ke satu sisi,
kemudian pindah ke sisi lain, seperti ingin menikmati seluruh bibir
Caroline secara utuh. Tangannya memegangi muka Caroline,
sementara bibirnya menciumi bibir wanita tersebut.
Mendadak Rink menghentikan ciumannya. Ke‐mendadakan itu
membuat Caroline gamang. Suara Rink parau, suara orang yang
terluka karena harus menahan kerinduan yang dalam pada Caroline.
"Brengsek kau, mengapa kau harus menjadi miliknya untuk pertama
kali?"
Sedegup detak jantung kemudian, Caroline sendirian.
"Laura Jane?" Steve berlutut di antara jerami dan memegang
bahu Laura Jane. "Apa yang kaulakukan di sini?"
"Hmmm?" Laura Jane terbangun dari tidur, berguling ke pinggir,
lalu telentang lagi. "Steve?" gumam Laura Jane. "Sudah pagikah?"
tanya gadis itu lembut sambil menggeliat malas, melengkung‐kan
punggung dan memajukan dadanya ke arah Steve.
"Hampir pagi," jawab Steve sambil memaling‐kan mata dari dada
Laura. "Apa yang kaulakukan disini?”
Laura duduk sambil menepiskan jerami yang ada di rambutnya.
Sinar matahari pagi yang lembut menyelinap masuk ke kandang
kuda, menerpa bahunya yang telanjang. Udaranya terasa masih
agak dingin seperti udara malam, tetapi tumpukan jerami tempat
Laura Jane berbaring hangat dan baunya tajam menyengat hidung.
Kuda‐kuda di dalam kandang meringkik, ber‐teriak minta makan
pagi. Titik‐titik debu halus melayang‐layang beterbangan di udara
yang ber‐mandikan sinar matahari pagi.
Mata Laura Jane yang masih mengantuk ter‐tuju pada Steve. Ia
tersenyum dan mengelus pipi Steve, yang kemerahan dan segar
setelah bercukur. "Semalam Caroline dan Rink berteng‐kar. Aku
dengar mereka saling berteriak dari kamarku. Haney sudah tidur,
karena itu aku tidak ke kamarnya. Membuatku merasa ingin pergi
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
keluar dari rumah. Mengapa Caroline dan Rink selalu bertengkar?
Aku tidak mengerti, Steve."
Laura Jane menyandarkan tubuhnya, meletak‐kan kepalanya di
dada Steve, tangannya memeluk pinggang Steve. "Akhirnya, aku
datang ke sini. Pintu kamarmu dikunci dan lampunya mati. Aku tahu
kau sudah tidur pulas. Aku tidak ingin mengganggumu. Aku
berbaring saja di sini, di kandang kuda yang kosong, dan tertidur
pulas. Perasaanku lebih tenang bila berada di dekatmu."
Laura Jane makin merapatkan tubuhnya ke tubuh Steve.
Perasaan Steve galau. Ia mengumpat Rink Lancaster dan
ancamannya setelah melihat kejadian di halaman rumah itu. Apakah
Rink mengira ia tega menyakiti Laura Jane? Tidak bisakah kakak laki‐
laki Laura Jane yang keras kepala itu melihat bahwa ia mencintai
perempuan ini? Yang baginya bak mata air kemurnian dan kebaikan
di dunia ini, dunia yang selama ini dirasakannya hanya penuh
dengan kebencian, pembunuhan, darah, dan perang?
Semalam ia baru saja berjanji takkan membiar‐kan dirinya
berduaan saja dengan Laura Jane, takkan pernah menyentuh gadis
itu. Karena kalaii sampai tertangkap basah melakukan hal itu, ber‐
arti ia harus meninggalkan tempat ini untuk selamanya. Itulah yang
takkan kuasa dilakukan‐nya.
Saat ini, ia tahu tak mungkin ia mampu mengindahkan
peringatan Rink Lancaster pada‐nya. Keberadaannya yang demikian
dekat dengan tubuh Laura Jane yang lembut menghalau semua
ancaman itu dari benaknya. Tanpa merencanakan atau memikirkan
konsekuensi tindakannya, ta‐ngan Steve mendekap Laura Jane erat‐
erat.
"Aku yakin, itu karena mereka berduka ke‐hilangan ayahmu.
Mereka akan segera meluruskan perbedaan di antara mereka.
Wajar buat seseorang yang biasanya mengurus rumah tangga
menga‐lami stres ketika seseorang yang biasanya tinggal
bersamanya pergi."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Aku sangat menyayangi mereka berdua. Aku ingin mereka bisa
bersahabat."
Steve membenamkan pipinya di rambut Laura Jane. Tangannya
yang besar lagi kasar mengelus punggung gadis itu. Ketika itu Laura
Jane me‐ngenakan baju tidur dari bahan katun lembut, dengan
hiasan renda di bagian dada. Baju tidur model tangan setali yang
diikatkan di bahunya. Mantel tipis yang tadinya dikenakan Laura
Jane menutupi baju tidurnya dilepaskannya ketika duduk. Kulit
Laura Jane terasa hangat dan lembut.
"Kalau segalanya sudah beres, mereka bisa bersahabat. Mereka
tidak akan bertengkar lagi. Aku yakin."
Laura Jane mengangkat kepalanya dari dada Steve, menengadah,
menatap Steve. Sorot mata‐nya yang kecokelatan memancarkan
keyakinan dan penuh cinta. "Kau begitu baik, Steve. Mengapa tidak
semua orang sebaik dirimu?"
"Aku tidak baik," jawab Steve, tercenung, sambil menelusuri pipi
Laura dengan jari telun‐juknya. "Aku bukan orang baik‐baik, sampai
aku berjumpa denganmu. Kebaikan apa pun yang kumiliki, berasal
dari dirimu."
"Aku cinta padamu, Steve."
Steve memejamkan mata, menekan perasaan marah.
Didekapnya tubuh Laura Jane makin erat, ditekannya kepala Laura
dalam‐dalam ke lehernya "Jangan bilang begitu, Laura Jane."
"Aku ingin mengatakannya padamu. Karena aku memang sangat
mencintaimu. Kurasa, bila kau mencintai seseorang, kau harus
mengungkap‐kannya, bukan?"
"Kurasa begitu, ya," jawab Steve. Tanggul pertahanan emosi
yang dibangunnya mulai retak. Tekanan yang datang demikian
besar. Ia harus menemukan jalan keluar untuk menyalurkannya dan
berharap ia berhasil. Oh Tuhan, tolonglah.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Laura Jane menjauhkan tubuhnya dan menatap Steve dengan
sorot mata menuntut. Bulu mata Laura Jane yang panjang lagi
lembut seperti rangkaian rambut halus menghiasi matanya,
mengelus lembut perasaan laki‐laki yang keras lagi sinis dan tak
berperasaan seperti Steve. Laura Jane menatap Steve dengan penuh
harap, menye‐rahkan putusan ke tangan Steve. Steve harus
menyuarakan perasaannya.
"Aku juga mencintaimu, Laura Jane."
Sambil tersenyum, Laura Jane mendekap Steve. Seperti anak
kecil, ia melingkarkan tangannya di leher Steve dan memeluknya.
"Oh, Steve. Aku cinta padamu. Aku cinta padamu." Diciuminya
seluruh wajah'Steve selembut kepak sayap kupu‐kupu. "Aku cinta
padamu." Laura Jane sampai di bibir Steve, sejenak ragu, teringat
kata‐kata Caroline yang mengingatkannya untuk berhati‐hati.
Steve menghirup napas Laura Jane, merasakan getaran
kegembiraan yang terpancar dari tubuh perempuan yang demikian
dekat dengan tubuh‐nya. Ia seperti orang yang hampir mati teng‐
gelam. Persetan! Ia bertanya pada dirinya sendiri. Rink Lancaster
tidak bisa berbuat apa‐apa pada‐nya untuk hal yang tak pernah
dilakukannya. Sekali seseorang pernah mengalami ancaman ke‐
matian ratusan kali, tiap kali ia harus meng‐hadapinya,
menyongsongnya.
Selain itu, ia sangat mencintai perempuan ini.
Bibir Steve mencium bibir Laura Jane dengan lembut. Getaran‐
getaran kecil yang keluar dari dada Laura mengalir ke tenggorokan
Steve, bergetar seirama dengan getar tubuhnya. Tidak per‐nah ia
merasakan perasaan seperti yang dirasakan‐nya ketika bersama
Laura Jane. Ia kenal banyak perempuan, tetapi bukan perempuan
seperti Laura Jane, bukan perempuan yang penuh cinta dan bisa
dipercaya, polos, tulus, dan tidak mementingkan diri sendiri.
Secara alamiah Laura membuka mulutnya, membiarkan bibir
Steve melumat bibirnya, mem‐buat Steve mendesah. Lidahnya
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
menjelajahi bibir Laura Jane, menikmatinya. Laura Jane menekan‐
kan bibirnya makin kuat ke bibir Steve, tubuh‐nya yang dirapatkan
ke tubuh Steve membuat Steve dapat merasakan payudara Laura
dan pun‐caknya yang menegang menyentuh dadanya. Steve makin
erat mendekap tubuh Laura Jane sementara lidahnya bermain‐main
di dalam mulut Laura.
Kedua orang itu berguling‐guling, hanyut da‐lam kenikmatan
yang baru mereka temukan. Pengalaman baru buat Steve juga buat
Laura Jane. Keduanya berbaring di atas jerami. Steve meletakkan
kakinya yang utuh di atas paha Laura Jane, dan kaki gadis itu yang
ramping menjepit kaki Steve.
"Laura Jane." Steve menyebut namanya. De‐ngan berani ia
mencoba menekan dorongan seksualnya yang menggelora, tetapi
payudara Laura ada di bawah tangannya, payudara yang kencang.
Akhirnya Steve tak tahan lagi untuk tidak menyentuh payudara itu
dengan jari‐jari‐nya.
"Steve, Steve," desah Laura. "Oh, Steve, ber‐cintalah denganku,
Steve."
Steve rersentak. Ditatapnya wajah Laura yang berbinar‐binar.
"Tidak bisa," jawab Steve lembut. "Kau sadar apa yang kaukatakan?"
"Ya." Jari‐jari Laura menelusuri wajah Steve yang keras dengan
penuh cinta. "Aku tahu apa yang dilakukan perempuan dan laki‐laki.
Aku ingin kita melakukannya."
"Kita tidak boleh melakukan itu."
Laura membasahi bibir dan matanya meman‐carkan keraguan.
"Kau tidak mencintai aku?"
"Aku cinta padamu. Karena itulah aku tidak bisa melakukannya
denganmu'. Aku tidak bisa melakukan itu denganmu, kecuali kau
sudah menjadi istriku."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Oh." Laura Jane tampak kecewa. Matanya memandang bibir
Steve. Jari‐jarinya menyentuh wajahnya. "Apakah kita harus
berhenti ber‐ciuman?"
Sambil tersenyum, Steve menundukkan wajah dan menciumi
bibir Laura Jane. "Tidak." jawab Steve. "Tidak."
"Selamat pagi." Caroline memasuki dapur dan langsung
melangkah ke mesin pembuat kopi. Dituangkannya secangkir penuh
kopi. Ketika ia berjalan menuju meja, matanya berusaha
menghindari pandangan Rink, yang sudah duduk lebih dulu di
ruangan itu.
"Aku menelepon dokter pagi ini," kata Haney, sambil membalik‐
balik telur di wajan.
"Dokter? Mengapa?"
"Wajahmu itu tidak keruan, itulah sebabnya," jawab Haney
tanpa merasa bersalah. "Aku tahu kau kurang tidur. Lihat lingkaran
hitam di bawah matamu. Kau lihat, Rink? Kau perlu obat tidur atau
penenang atau obat sejenis itulah."
"Tidak, aku tidak memerlukannya," jawab Caroline sambil duduk
di seberang Rink. Meski‐pun Rink dilibatkan dalam percakapan itu,
Caroline tidak menatapnya dan Rink pun tetap membisu.
"Jangan sok tahu," nasihat Haney. "Tak ada yang orang yang
menyediakan hadiah untuk menjadi janda paling berani tahun ini.
Tak ada yang akan menyalahkanmu bila kau sedih dan
mengungkapkan semua kedukaanmu. Wajar sese‐orang berduka
bila kehilangan suami."
Mendengar perkataan itu, Caroline mem‐beranikan diri melirik
Rink. Rink tengah me‐natapnya dari balik cangkir kopi. Caroline
mem‐buang pandang lebih dulu. "Aku tidak perlu dokter."
Haney menarik napas, tidak memedulikan ke‐gusaran Caroline.
"Hmmm, sarapan yang banyak, paling tidak," kata Haney.
Ditumpuknya telur di piring, lalu disodorkannya ke hadapan
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Caroline. "Ayo, makanlah. Aku akan ke atas, mem‐bangunkan Laura
Jane. Kupikir ada baiknya membiarkan ia tidur."
"Ia tidak tidur," jawab Caroline, sambil meng‐duk krim di dalam
kopinya. "Tadi aku ke kamarnya sebelum turun." Caroline ingin
turun bersama Laura Jane, memakainya sebagai perisai untuk
menghaddpi perasaan Rink, apa pun situasinya pagi itu. "Ia tidak
ada di kamar."
Rink meletakkan garpunya di piring. Haney berbalik, tangannya
memegang piring berisi roti bakar. "Ke mana dia? Kau tidak
melihatnya sepagian ini?" tanya Rink pada Haney.
"Bukankah tadi sudah kubilang, ia masih ti‐dur?"
Rink melemparkan serbet ke meja dan bangkit. Ia melangkah ke
pintu belakang dan menendang‐nya. "Rink!" Caroline berteriak dari
kursinya dan mengejarnya. Ketika ia sampai di anak tangga teras,
Rink tampak menuju kandang kuda. "Rink!" panggil Caroline sambil
terus mengejar‐nya dan mempercepat langkah.
Sesampainya di pintu kandang kuda, ia ber‐balik ke arah
Caroline. "Diam!"
"Kau tidak boleh memperlakukan mereka begitu, Rink!" cegah
Caroline, keberatan, tapi dengan suara hampir berbisik.
"Jangan ikut campur."
Caroline merasa harus ikut campur karena melihat Rink akan
lebih bijaksana bila tidak melakukan sesuatu yang bisa
menghancurkan kesempatan Laura Jane untuk mendapatkan ke‐
bahagiaan. "Laura Jane bukan anak kecil lagi."
"Berdasarkan kemampuan berpikirnya, ia masili kecil." Rink
membuka pintu. Berkat perawatan cermat yang dilakukan Steve,
pintu itu tidak bersuara. Rink memasuki bangunan yang hanya
diterangi lampur kecil itu, Caroline mengikuti di belakangnya.
Sepatu botnya mengeluarkan suara gemerisik di lantai ketika ia tiba
di kandang kuda di tempat Steve dan Laura Jane berbaring.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Keduanya mendengar langkah itu, melihat ekspresi marah di
wajah Rink, yang membuat mereka saling menjauhkan diri. Sialnya,
Rink sempat melihat Steve mencium Laura Jane, adik‐nya, dengan
mesra. Melihat tubuh Laura Jane yang dirapatkan ke tubuh Steve,
melihat Steve mengelus‐elus payudara Laura Jane.
Teriakan marah Rink membuat darah Caroline serasa membeku
seketika. Rink langsung meng‐hampiri Steve, mencengkeram
kemejanya, dan mengempaskannya ke lantai. Perbuatan Rink,
Caroline yakin, hampir meretakkan kaki palsu Steve.
Rink mendaratkan tinjunya di perut Steve dan membuat Steve
terpental ke sisi kandang. Kemudian, sebelum sempat ia berdiri,
tinju Rink kembali menghantam dagunya.
Laura Jane berteriak dan mengentak‐entakkan kaki. Ia
menghambur ke arah kedua laki‐laki yang berkelahi itu, tetapi
Caroline menyambarnya dan menariknya ke tepi. Naluri petarung
Steve bangkit dan ia berdiri untuk membalas si penye‐rang. Ketika
hantaman tinju bersarang di hidung Rink, membuat hidungnya
mengucurkan darah, Laura Jane kembali berteriak dan lari
meninggal‐kan tempat itu.
"Hentikan!" teriak Caroline. "Hentikan, kalian berdua!"
Tinju dan kaki saling hantam. Mereka bergulat di kandang kuda
itu, saling mendaratkan tinju.
Caroline menghambur di antara dua lelaki yang tengah berkelahi
itu. "Hentikan. Kalian berdua. Demi Tuhan, apakah kalian sudah ke‐
hilangan akal sehat?" Akhirnya Caroline berhasil berdiri di antara
kedua petarung tersebut, yang megap‐megap dan berlumuran
darah.
Ketika Rink akhirnya bisa bernapas normal lagi, ia menatap Steve
dengan penuh kebencian. "Aku ingin kau meninggalkan tempat ini
petang ini juga."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Ia tetap tinggal di sini," sergah Caroline yang membelakangi
Steve dan dengan tegas menghadapi Rink. "Ia tetap di sini sampai
aku memecatnya. Roscoe yang memintaku mempe‐kerjakannya di
sini. Akulah satu‐satunya orang yang boleh memecatnya. Paling
tidak, sampa'i saat pembacaan surat wasiat itu dan kau meng‐ambil
hartamu, The Retreat. Sementara ini, se‐bagai janda Roscoe, aku
yang mengambil keputusan mengenai segala sesuatu yang
menyang‐kut apa pun di sini."
"Persetan denganmu," jawab Rink. "Ini soal Laura Jane, bukan
The Retreat. Ia memang putri tirimu, tetapi ia adikku."
"Aku tahu. Semua ini berkaitan dengan Laura Jane." Dada
Caroline turun‐naik karena letupan emosi. Ketika menatap Rink
dengan sikap me‐nantang, ia justru merasa makin mencintai Rink
dan ingin menghapus luka di wajahnya. Tetapi ia tidak mau
menyerah oleh perasaan itu. "Steve sama sekali tidak memperalat
Laura Jane. Ia mencintainya, Rink. Laura Jane juga mencintai‐nya."
"Laura Jane tidak tahu apa yang dilakukan‐nya.
"Tidak, ia tahu. Ia mencintai Steve. Apakah kau tak punya
perasaan lagi? Emosimu tumpul? Membuatmu tidak mampu
melihat hal yang demikian jelas? Kalau kau menyuruh Steve pergi,
bayangkan apa pendapat Laura Jane tentang dirimu. Kau orang yang
dipujanya. Ia menga‐gumi setiap langkah yang kaulakukan.
Segalanya akan hancur bila kau mematahkan hatinya de‐ngan
bertindak seperti itu. Tolong, jangan laku‐kan hal itu, kumohon."
"Ini demi kebaikannya."
"Bagaimana kau tahu apa yang terbaik untuk dirinya?"
"Aku tahu."
"Seperti Roscoe yang tahu apa yang terbaik untukmu? Apakah
kau akan memisahkan mereka seperti Roscoe memisahkan kita?"
Rink seperti orang yang kena tinju, bahkan lebih mematikan
daripada hantaman tinju Steve. Matanya nanar menatap Caroline,
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
tetapi Caroline bergeming. Akhirnya Rink mengalihkan pan‐dangan
pada Steve, yang tanpa sadar mengelus pahanya yang terluka. Rink
memandanginya te‐tapi tidak mengucapkan sepatah kata pun se‐
belum meninggalkan kandang.
Caroline merasa seluruh jiwa raganya seperti terbang, ia merasa
tubuhnya lemas. Beberapa saat lamanya ia berdiri di tempat,
memandangi jerami yang berserakan di lantai dengan mata
berkaca‐kaca. Ia berhasil menyudutkan Rink dan pria itu pasti sangat
membenci tindakannya itu. Sambil menarik napas panjang, ia
mengangkat kepala dan berbalik menghadap Steve. Wajahnya
bengkak‐bengkak.
"Kau tidak apa‐apa?"
Steve mengangguk, sambil menyeka bibirnya yang sudah tak
keruan bentuknya dengan sapu‐tangan. "Aku lebih parah." Steve
mencoba ter‐senyum tetapi kemudian meringis kesakitan.
"Biar kuminta Haney mengobati lukamu."
Steve kembali mengangguk dan Caroline ber‐balik. Ketika tiba di
ambang pintu kandang, Steve berkata, "Mrs. Lancaster." Caroline
me‐natapnya. Dengan langkah terpincang‐pincang Steve
menghampiri Caroline. "Terima kasih. Apa pun akibatnya, saya
sangat menghargai pembelaan Anda untuk saya."
Caroline tersenyum getir dan langsung menuju rumah. Dengan
galau ia masuk lewat pintu belakang. Dilihatnya Rink duduk
memangku Laura Jane. Laura Jane membenamkan wajah ke leher
Rink dan menangis tersedu‐sedu. "Kau marah padaku. Aku tahu kau
marah."
"Tidak," hibur Rink lembut sambil mengelus punggungnya. "Aku
tidak marah. Aku hanya tidak mau hal buruk menimpa dirimu, Laura
Jane, hanya itu."
"Yang dilakukan Steve padaku bukan hal bu‐ruk. Aku
mencintainya, Rink."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Mata Rink bertemu mata Carolirie dari balik kepala Laura Jane.
"Aku tidak yakin kau me‐ngerti apa arti mencintai pria, Laura Jane.
Atau apa makna laki‐laki itu mencintaimu."
"Aku tahu! Aku mencintai Steve dan Steve mencintaiku. Ia takkan
menyakiti aku."
Rink tidak mau mengakui kekeliruannya. "Kita akan bicara soal ini
nanti. Maafkan aku, aku kehilangan kesabaran."
Namun Laura Jane tidak mau ditenangkan dengan cara itu. Ia
mengangkat kepala dan mencengkeram kemeja Rink. "Kau tidak
boleh berkelahi dengan Steve lagi. Berjanjilah, kau tidak akan
berkelahi lagi dengannya."
Rink tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia menatap
mata Laura Jane yang tajam dan akhirnya berkata, "Aku berjanji, aku
tidak akan berkelahi dengan Steve lagi."
Perlahan Laura Jane melepaskan cengkeraman tangannya pada
kemeja Rink dan dengan manis mencium pipi Rink. "Aku akan
membantu Haney mengobati luka‐lukanya." Bagi Laura Jane,
persoalan sudah selesai. Ia meninggalkan dapur dan menaiki anak
tangga.
"Aku tidak jadi pergi hari ini," kata Rink dengan nada tertahan
ketika tinggal mereka ber‐dua di ruangan itu.
Hati Caroline melonjak kegirangan, tetapi itu hanya reaksi
sementara. Dengan sikap angkuh ia menaikkan dagu. "Apa yang
membuatmu beru‐bah pikiran? Apakah kau takut, ketika kau tidak
ada, aku akan memengaruhi adik perempuanmu dan
menghancurkan reputasi keluargamu?"
Rink menatap Caroline dalam‐dalam, baru menjawab, "Seperti
itulah."
Mata Caroline berkaca‐kaca. Rink tahu persis bagaimana
menyakiti Caroline. "Bagimu, aku hanya barang mainan, bukan,
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Rink? Kau cium aku, bila kau merasa ingin menciumku, tetapi tidak
cukup baik untuk menjadi anggota ke‐luargamu."
"Aku tidak jadi pergi."
Hanya itu yang dikatakan Rink sebelum me‐langkah ke luar
ruangan.
Bab 9
"SELAMAT pagi, Mrs. Lancaster."
"Mrs. Lancaster, hari ini cuaca cerah ya?" Caroline membalas
salam yang ditujukan ke‐padanya ketika memasuki pabrik
pemintalan. Musim panen sudah di depan mata. Para pekerja mulai
lembur memintal kapas yang mulai ber‐datangan. Jam kerja yang
panjang, jam‐jam kerja yang melelahkan, debu, panas, dan berisik.
Na‐mun tetap terpancar kesan bangga di wajah para pekerja di
pabrik pemintalan kapas itu; air muka yang sudah bertahun‐tahun
lamanya tak pernah terlihat di wajah mereka. Bukan rahasia lagi,
setiap orang tahu dari mana datangnya perasaan seperti itu. Rink.
Semua peralatan, setelah diperbaiki baru‐baru ini, bisa kembali
dioperasikan dengan hasil me‐muaskan. Para petani kapas yang
pada musim‐musim panen yang lalu menjual hasil panennya ke
pemintalan lain, kini kembali membawanya ke pemintalan kapas
keluarga Lancaster. Bukan rahasia lagi, setiap orang tahu mengapa
terjadi hal itu, juga.
Rink.
Keberadaannya di pemintalan kapas yang ha‐nya beberapa
minggu itu membawa perubaban drastis. Umumnya para pekerja
menyambut ke‐datangan Rink. Yang bersedia bekerja keras men‐
dapat kenaikan upah. Yang biasanya datang ter‐lambat atau
melalaikan tugas dipecat. Caroline melihat yang dipecat adalah para
pekerja yang suka melalaikan tugas. Mereka adalah orang‐orang
yang dipekerjakan Roscoe untuk tugas khusus, pekerjaan, yang
menurut perkiraan Caroline, lebih baik tidak diketahuinya. Dulu ia
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
pernah meminta Roscoe memberhentikan mereka. Dari peristiwa
itu ia sadar, lebih baik baginya jika tidak mencampuri urusan pribadi
Roscoe.
"Ia suka bikin masalah," kata Caroline.
Roscoe waktu itu hanya tersenyum manis. "Ia melakukan...
tugas‐tugas... bagiku, Caroline. Ka‐lau mereka 'membuat onar
dengan salah satu karyawan pabrik, tolonglah, tak usab kauhirau‐
kan."
"Tetapi ia pekerja pabrik juga."
"Memang seharusnya begitulah kesannya." Me‐lihat ekspresi
Caroline yang tidak menerima, Roscoe hanya menambahkan secara
diplomatis. "Aku akan bicara dengannya, bila ia menimbul‐kan
banyak masalah bagimu."
Sekarang barulah Caroline tabu mereka itulah yang
diperintahkan Roscoe memata‐mati Rink musim panas itu.
Rink, dengan persetujuan Caroline, tidak mau menunda waktu
semenit pun untuk menendang orang‐orang yang tak berguna dan
menaikkan gaji karyawan yang bisa dipercaya lagi setia. Mereka
menghormati Rink. Mereka bekerja keras bukan karena takut pada
Rink, seperti waktu mereka bekerja pada ayah Rink, mereka
bersedia bekerja keras karena menyukai Rink. Rink punya
kemampuan memotivasi mereka. Ia memberi kritik‐kritik yang
membangun pada mereka. Ia memberikan pujian bila mereka
pantas dipuji. Ia ikut bekerja keras bersama mereka. Tak heran,
batin Caroline, Rink menjadi pebisnis yang sukses.
Sepuluh hari telah berlalu sejak peristiwa per‐kelahian di
kandang kuda antara Steve dan Rink. Rink lebih banyak
menghabiskan waktu di pemintalan. Caroline senang Rink di sana.
Keberadaannya menambah kepercayaan diri Caroline. Caroline tahu
beberapa pekerja itu dipecat karena mengkritik Caroline.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Meskipun tidak diungkapkan secara gamblang, keduanya
berusaha berdamai.
Suatu pagi di pemintalan, waktu Caroline sibuk mengurus surat‐
surat bisnis, Rink masuk ke ruangannya tanpa mengetuk terlebih
dahulu. "Caroline, aku ingin memperkenalkan seseorang padamu,
bila kau tidak sibuk."
Caroline tersenyum manis dan merentangkan tangan ke arah
kertas‐kertas yang berserakan di mejanya. "Oh, tidak. Aku tidak
sibuk."
Rink tersenyum ganjil. "Ini penting, kalau tidak, aku tidak akan
mengganggumu."
Sambil berdiri, Caroline bertanya, penasaran, "Siapa?" Kejutan.
Dengan jari‐jari menempel di punggung Caroiine, Rink mengajak
wanita itu melewati ruang pemintalan yang bising, ke luar, menuju
mobil yang memuat lima ratus bal kapas, siap diantar ke gudang.
Seorang pria bertubuh tambun dengan setelan warna putih dan
topi Panama, seperti dalam drama‐drama Tennessee William—
tampak men‐jumput kapas dari dalam bal sambil mengisap cerutu
yang menyebarkan bau menyengat dan tidak menyenangkan,
mengingatkan Caroline pada Roscoe. Tetapi tak terlihat kepribadian
men‐dominasi seperti Roscoe pada orang itu, yang kini mengangkat
kepala dan tersenyum ramah ketika melihat Caroline yang bersama
Rink ber‐jalan menghampirinya.
"Mr. Zachary Hamilton, kenalkan, Mrs. Caroline Lancaster."
"Mr. Hamilton." Caroline menjulurkan tangan. Tangan Caroline
yang kecil tenggelam dalam genggaman tangan Hamilton yang
menyalami Caroline dengan tulus. Andai kenal kakeknya, ingin
Caroline membayangkan rupa kakeknya seperti Mr. Hamilton ini.
"Senang bisa berkenalan dengan Anda, Mrs. Lancaster. Sangat
senang sekali. Anda punya... uh... ehm... anak tiri Anda, Rink, ini,
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
mengata‐kan pada saya, berkat pengelolaan Anda yang saksama,
pabrik kapas keluarga Lancaster berkera‐bang pesat."
Pipi Caroline langsung memerah ketika ia melirik Rink, kemudian
kembali menghadap tamunya. "Rink sangat banyak membantu saya,
saya rasa. Tetapi saya sangat bangga dengan produk kapas yang
kami hasilkan sekarang."
"Mr. Hamilton calon pembeli kapas kita dari Delta Mills di
Jackson."
Caroline menghadap ke arah Rink, karena itu hanya Rink yang
melihat alis Caroline yang terangkat dan mulutnya yang ternganga
kecil karena terkejut. Mata Rink berbinar nakal. Susah payah ia
menekan dorongan hatinya untuk ter‐tawa.
"Saya... saya mengerti," gagap Caroline lalu kembali menghadap
ke arah calon pembeli kapas‐nya. Setiap petani kapas di daerah
Selatan atau penjual kapas kenal baik perusahaan Delta Mills.
Mereka memproduksi tekstil kualitas terbaik di
dunia.
"Kami akan dengan senang hati memberikan contoh kapas kami
kepada Anda, Mr. Hamilton," kata Caroline setenang mungkin. Ia
merasa
adrenalinnya mengalir cepat ke seluruh tubuhnya. Bila ia dan
Rink berhasil menjual kapas mereka ke perusahaan Delta Mills, itu
berarti lompatan bisnis besar buat mereka.
"Terima kasih atas sambutanmu, Rink, aku sudah mengambil
contohnya." Ia mengambil se‐jumput kapas dari bal dan
merentangkannya sehingga ia dapat mengira‐ngira panjang rata‐
rata serat kapasnya. "Ini kapas berkualitas prima," katanya kagum.
"Panjangnya cukup. Kurasa kau bisa menjualnya kepada kami
sebagian."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Baik Caroline maupun Rink berusaha menekan lonjakan
kegembiraan hati mereka. "Kami sudah menandatangani kontrak
kerja sama dengan pem‐beli lain," kata Rink, pura‐pura menolak.
"Aku menghormati keputusanmu, Rink," kata pembeli itu.
"Berapa banyak bal kapas yang bisa kaujual kepadaku?"
Sementara Caroline berdiri di sampingnya, dengan perasaaan
resah berganti‐ganti posisi ber‐dirinya, Rink tawar‐menawar dengan
si calon pembeli. Akhirnya mereka sepakat atas sejumlah kapas
yang akan dikirim dan harga per balnya. Harga paling mahal yang
pernah. diperoleh pe‐mintalan Lancaster Gin.
"Tentu saja, kami akan mengantar kapas Anda dengan pesawat,"
kata Rin tanpa pikir panjang ketika mengantar Mr. Hamilton menuju
kamar kerja Caroline untuk menandatangani kontrak.
"Dengan pesawat?" tanya Mr. Hamilton, menatap Rink tidak
percaya. Tetapi bukan hanya Mr. Hamilton yang terkejut, Caroline
juga.
"Kami berikan servis istimewa kepada pembeli pilihan kami,"
jawab Rink sambil tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang
putih. Ke‐tika Mr. Hamilton berbalik hendak melangkah masuk ke
ruang kantor, Rink mengedipkan mata pada Caroline yang masih
terkejut dan tidak dapat berkata‐kata.
Setelah Mr. Hamilton meninggalkan tempat itu, Caroline
memandang Rink dengan jengkel. "Dengan pesawat?" tanyanya,
dengan nada tinggi. "Mengapa tidak dikirim dengan kereta api?"
Rink tertawa, lalu membuka laci, membuka lemari, mencari‐cari
sesuatu. "Tidak masalah," jawab Rink seenaknya. "Aha, aku tahu
pasti ada di sini." Ia mengeluarkan sebotol minuman bourbon dari
laci lemari paling bawah. "Ada gelas minuman? Ah, persetan dengan
gelas." Rink membuka tutup botol, mendongakkan kepala dan
langsung menenggak minuman dari botol. Wajahnya meringis ketika
carian yang membakar itu mengalir turun ke tenggorokannya. "Aku
punya pesawat barang yang sudah kuperbaiki sendiri. Kita kan ingin
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
menanamkan citra baik pada perusahaan Delta Mills, bukan? Apa
kaupikir mereka akan me‐ngacukan perusahaan yang bisa
mengantarkan kapas mereka dengan pesawat terbang?"
"Tetapi biaya bahan bakarnya saja sudah berapa... Rink, biayanya
sangat mahal."
"Tidak, bila aku yang mengangkut dan me‐nerbangkan pesawat
itu," jawab Rink, sambil melempar senyum lebar pada Caroline.
"Yang harus dibayar cuma biaya bahan bakar dan be‐berapa jam
terbangku. Tetapi bila kontrak kerja sama dengan Delta Mills
berkesinambungan, itu investasi besar, menurutku. Bagi kita." Rink
mengangkat botol sebagai tanda hormat pada Caroline sebelum
kembali menenggak minuman bourbon itu, kemudian
menyodorkannya ke ha‐dapan Caroline. "Ini."
Terhanyut kegembiraan untuk merayakannya, Caroline menatap
botol minuman, dan tergoda ingin meminumnya juga. "Tapi aku
tidak biasa," katanya, berbohong dan malu‐malu, dan melem‐par
pandang ke arah pintu.
"Tentu saja kau bisa minum."
"Bagaimana bila ada yang datang dan melihat kita minum‐
minum di sini?"
"Mereka akan mengerti. Kita baru saja me‐nandatangani kontrak
kerja besar. Di samping itu, aku sudah memberitahu mereka, siapa
pun tidak boleh masuk ke ruang kerja ini tanpa mengetuk pintu
lebih dulu."
"Kau selalu masuk tanpa mengetuk."
Rink kelihatan jengkel. "Kau mau minum atau tidak?"
Dengan berani Caroline memegang leher botol dan meniru
gerakan Rink, kepalanya ditengadah‐kan dan ia membiarkan
minuman itu meluncur turun ke tenggorokannya. Caroline terbatuk‐
batuk dan berdecap‐decap, air matanya menitik dan ia merasakan
perutnya terbakar. Rink mengambil botol minuman dari tangan
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Caroline ketika melihat Caroline terbungkuk‐bungkuk ka‐rena batuk.
Ia menepukkan telapak tangannya pada punggung Caroline dan
tertawa terbahak‐bahak.
"Lebih enak?" Perlahan Caroline menegakkan tubuh, menyeka
air matanya dengan punggung tangan.
"Kurasa ya," jawab Caroline dengan suara parau, lalu keduanya
tertawa terbahak‐bahak.
"Oh Tuhan, Caroline. Tadi aku khawatir se‐kali," kata Rink penuh
semangat. "Aku takut ia bilang tidak atau meninggalkan kita tanpa
mem‐buat kesepakatan pasti."
"Mengapa kau tidak memberitahu aku lebih dulu ia akan ke
sini?"
"Aku tidak ingin membuatmu berharap."
"Aku senang kau tidak memberitahuku. Aku suka kejutan." Oh
ya?
"Ya." Caroline melempar senyum pada Rink, senyumnya makin
lebar ketika menyadari kembali apa yang tengah mereka rayakan.
"Ya, ya, ya."
Semua itu tidak direncanakan. Sama sekali tidak direncanakan.
Rink memeluk pinggang Caroline, mengangkat tubuh perempuan itu
be‐berapa sentimeter dari lantai lalu memutar‐mutarnya. Keduanya
tertawa‐tawa. Rink menengadah ketika memandang Caroline.
Caroline tersenyum dengan posisi tubuh yang masih terangkat dan
meletakkan tangannya di bahu Rink.
"Kita berhasil! Kita berhasil membuat kontrak kerja sama paling
mahal dalam sejarah peru‐sahaan Lancater Gin. Kau sadar apa arti
ke‐sepakatan ini, Caroline? Pembeli‐pembeli baru akan berdatangan
ke sini. Petani kapas akan berdatangan ke tempat kita," kata Rink,
men‐jawab pertanyaan Caroline. "Bukan tahun ini, tetapi tahun
depan. Kita bisa mengembangkan perusahaan ini." Rink mendekap
Caroline, me‐mutarnya seperti orang yang berdansa waltz.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Ketika Rink menurunkan tubuh Caroline, wa‐jar bila timbul
keinginan Rink untuk mencium wanita itu. Bibir Rink mencium bibir
Caroline. Bukan ciuman kekasih, tetapi ciuman antar‐kawan,
merayakan kesuksesan pekerjaan mereka.
Namun begitu bibir mereka bersentuhan, nuansa ciuman pun
berubah. Mustahil mereka bersentuhan tanpa merasakan sentuhan
itu se‐bagai sentuhan sepasang kekasih. Sewaktu me‐rasakan bibir
Caroline yang lembut, basah, dan pasrah menyentuh bibirnya,
seketika gelora hasrat langsung menguasai Rink. Rink mengangkat
ke‐pala hendak melihat reaksi Caroline.
Matanya memandang wajah Caroline lekat‐lekat, mengamati
garis‐garisnya. Pipinya yang kemerahan, rambutnya yang pirang,
sorot matanya yang bening bak titik hujan yang berkilau, bibirnya,
semua menarik hatinya.
Caroline menanti penuh harap, merasakan na‐pas Rink yang
makin memburu, melihat sorot matanya yang makin berbinar.
Ia menginginkannya. Oh, Tuhan, ia masih menginginkan Caroline.
Betapa ingin ia melumat Caroline, menjadikannya pelabuhan
terakhirnya, selama‐lamanya. Namun Caroline sudah ber‐sumpah
akan setia sampai mati pada ayahnya. Dan Rink yakin, kendati telah
meninggal dunia, pengaruh orang seperti ayahnya yang sudah di
liang kubur akan tetap ada. Caroline masih menjadi milik Roscoe
dan karena alasan itulah Rink tak berani mewujudkan apa yang
sangat didambakannya. Gejolak hasrat dalam tubuhnya seperti
mencekik dirinya, ia harus melepaskan cengkeraman itu dan
melepaskan Caroline.
Ia tidak ingin melakukannya. Pertama, ia me‐narik tangannya
dari belakang pinggang Caroline ke samping. Dibiarkannya kedua
tangannya ter‐kulai di sisi tubuhnya. Seperti ada perekat tak
kasatmata yang melekatkan keduanya, perlahan‐lahan mereka
saling menarik diri sebelum akhir‐nya Rink melangkah mundur. Yang
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
terakhir dilepaskannya dari Caroline adalah matanya, yang tetap
memandangi Caroline dan harus dipaksanya agar berpaling.
Caroline kecewa dan terguncang, tetapi ber‐usaha tidak
memperlihatkannya ketika Rink membalikkan badan untuk
melihatnya sebelum membuka pintu.
"Kurasa aku akan mengundang seluruh karya‐wan minum bir
untuk merayakan peristiwa ini. Ini bisa mendorong mereka bekerja
lebih giat lagi untuk menghasilkan kapas berkualitas untuk
perusahaan Delta Mills."
"Kurasa itu hal yang baik sekali, Rink. Ku‐tunggu kau di rumah?"
Rink mengangguk. "Aku takkan terlambat."
Di toserbalah pertama kali Caroline mendengar hal yang ramai
digosipkan orang‐orang.
Haney menelepon pemintalan, meminta Caroline singgah ke
toko sebelum pulang. Caro‐line mencatat barang‐barang yang
diminta Haney. "Terima kasih atas bantuanmu."
"Terima kasih kembali," jawab Caroline. "Aku akan pulang
secepatnya. Rink akan keluar seusai kerja, berarti kau bisa
menyiapkan makan malam setengah jam lebih lambat daripada
biasanya."
Caroline tengah mendorong kereta belanja di lorong toserba
sambil memeriksa daftar barang yang harus dibeli waktu ia melihat
dua ibu yang memandanginya terang‐terangan. Caroline kenal
mereka. Salah seorang di antaranya peng‐gosip nomor satu di kota
itu. Ia punya putri yang usianya sama dengan Caroline, yang kini
menikah dengan buruh pabrik. Kabarnya, karena suka mabuk,
menantunya itu sering dipecat dari pekerjaannya. Sementara
putrinya dulu sangat populer, salah satu anggota "geng", kelompok
yang tidak mau bergaul dengan Caroline. Namun yang menyakitkan,
kini justru putri keluarga Dawson yang pemabuk itu menikah baik‐
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
baik! Ibu yang satunya lagi menuju ke bagian penatu, bertukar gosip
sambil memeriksa pakaian kotor yang akan dicuci.
Tidak perlu menghindari mereka, batin Caroline, meyakinkan diri
agar bisa melakukan hal itu. la mengangkat dagu dan sengaja men‐
dorong kereta belanja melewati mereka. "Halo, Mrs. Lane, Mrs.
Harper."
"Mrs. Lancaster," jawab mereka serentak. Sikap pura‐pura
mereka jelas terlihat. "Kasihan sekali Anda," kata salah seorang ibu.
"Bagaimana ke‐adaan Anda sekarang, setelah Mrs. Lancaster
meninggal?"
"Saya rasa pemakamannya berjalan sangat baik. 'Sangat baik,"
sahut ibu yang lain.
"Terima kasih, saya baik‐baik." Seharusnya Caroline langsung
mendorong kereta belanjanya, karena ia berhasil memaksa ibu‐ibu
itu untuk bersikap santun, tetapi salah seorang di antara mereka
mengajak Caroline bicara.
"Pasti Anda terhibur Rink ada di rumah pada saat seperti ini."
Hati‐hati, Caroline, batin Caroline mengingat‐kan dirinya. Mereka
ganas seperti ikan piranha, dan mereka bisa mencabik‐cabik dirimu.
"Kepulangan Rink ke The Retreat sangat ber‐arti buat Laura Jane
dan Haney, pengurus rumah tangga kami. Terutama, dalam situasi
seperti sekarang ini, mereka senang sekali Rink ada di rumah lagi."
Ibu‐ibu itu benar‐benar menyimak setiap kata yang meluncur
keluar dari mulut Caroline. "Bera‐pa lama ia akan tinggal di sini?
Bukankah bisnisnya sukses di Adanta? Di mata dia, pastilah kita
hanya orang‐orang kampung."
"Rink sangat mencintai Winstonville. Nama kota ini kan diambil
dari nama keluarga ibunya, Anda tahu. The Retreat akan senantiasa
menjadi rumahnya."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Jawaban Caroline makin membangkitkan rasa ingin tahu mereka.
Mereka makin rapat, seperti binatang buas yang mengerumuni
mangsa dan siap melahapnya. "Tetapi bagaimana dengan Anda?
Setelah Anda menikah dengan Mr. Lancaster, tidakkah The Retreat
itu akan menjadi milik Andai Atau Anda merencanakan tinggal di
sana bersama‐sama? Seperti satu keluarga besar?"
"Kami memang satu keluarga besar," sabut Caroline sambil
tersenyum dingin. "Satu keluarga besar yang sangat bahagia."
"Oh, pasti," jawab mereka, mengiakan penuh semangat.
"Salam saya untuk Sarah," kata Caroline ke‐pada ibu teman
sekelasnya sambil menjauh. "Saya dengar ia punya anak lagi."
"Yang keempat." Mata yang tak berwarna itu memandangi
Caroline yang memakai gaun dari katun dengan iri. "Sayang sekali
Mr. Lancaster tidak memberikan seorang anak pun. Anak bisa
menjadi hiburan yang menyenangkan di saat duka." kulah
keprihatinan yang paling palsu yang pernah didengar Caroline dalam
hidupnya. Andai Caroline tidak sedang bergulat menahan marah, ia
pasti sudah menertawai sikap yang sangat berpura‐pura itu.
"Untuk apa anak baginya, Flo?" Sepasang mata yang lain, yang
sama dengkinya, penuh prasangka, menatap tubuh Caroline. "Kan
ada Rink yang bisa menemaninya tinggal di rumah itu dan
memberikan hiburan yang dibutuhkannya.
"Oh, ya, Rink. Kita tidak boleh lupa, ada Rink tinggal bersama
dia."
"Selamat sore, ladies" sahut Caroline, bergegas. Ia memaksakan
diri mengambil barang‐barang dalam daftar yang harus dibeli
sebelum langsung pergi ke kasir dan meninggalkan toserba ter‐
sebut. Penghinaan itu membuat matanya terasa
panas.
Selama Roscoe hidup, tak seorang pun berani berkata seperti itu
padanya, yang mungkin karena takut pembalasan yang akan
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
dilakukan Roscoe. Mereka harus menghormati istri Roscoe
Lancaster, seberapa dalam pun iri hati mereka. Ternyata, menjadi
jandanya tidak demikian situasinya. Ia kembali menjadi Caroline
Dawson dan tampaknya stigma latar belakang kehidupan itu akan
tetap melekat padanya seumur hidup. Tak peduli betapa pun
bersihnya hidup seseorang, bila ia dibesarkan dari golongan
terbuang, moral‐nya akan tetap diragukan.
Mengapa ia tidak meninggalkan kota ini, yang penuh orang‐
orang picik dan penuh prasangka?
Untuk alasan yang sama, Rink juga tidak bisa meninggalkan kota
ini. Akar mereka sudah ter‐tanam terlalu dalam. Rink berada pada
status sosial paling tinggi dalam masyarakat, sementara dirinya
paling bawah; tetapi cintanya terhadap kota ini sama dalamnya
dengan Rink. Menjeng‐kelkan memang, menjadikan kota ini sebagai
kota kelahiran, tanpa ada harapan untuk bisa mengubahnya.
Tidakkah orang‐orang itu melihat bahwa ia mampu mengelola salah
satu pabrik pemintalan kapas yang terbaik, terbesar, di daerah sini?
Tidakkah mereka memperhitungkan bahwa ia punya gelar sarjana?
Atau justru prestasi‐prestasi yang dicapainya menyulut
kecemburuan mereka?
Mengapa ia harus menghukum dirinya seperti ini? Mengapa ia
tidak tinggal di kota lain saja, di tempat yang tidak tahu latar
belakang hidup‐nya?
The Retreat.
Sepanjang ingatannya, ia selalu mengkhayalkan dirinya tinggal di
rumah itu, di The Retreat.
Dan kini, ketika Rink menuntut rumah itu adalah rumah
warisannya, apa yang akan ia lakukan? Meninggalkan kota
kelahirannya? Tak‐kan pernah kembali lagi ke kota ini?
Tidak. Ia akan mencari rumah tinggal lain di Winstonville dan
kembali berkhayal tinggal di rumah itu, The Retreat. Namun ia
takkan pernah bisa meninggalkannya secara utuh. Takkan pernah.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Ia banyak berdiam diri sepanjang makan malam. Mereka makan
ayam goreng di ruang makan utama, Rink mengumumkan acara
makan itu sebagai acara perayaan keberhasilan mendapatkan
kontrak kerja sama dengan perusahaan Delta Mills. Haney dan Laura
Jane ikut gembira, Caroline sulit menikmati kegembiraan itu setelah
menerima penghinaan halus di toserba tadi pagi.
Ia melihat Rink menatapnya dengan sorot mata bertanya‐tanya
karena sikapnya yang lebih banyak diam, yang terasa amat
mengganggu. Selama makan malam, Caroline dengan susah payah
berusaha menyembunyikan stresnya.
Setelah makan malam, Caroline berjalan‐jalan di halaman. Cuaca
malam itu sejuk lagi bersih. Angin sepoi‐sepoi di musim panas
meniup de‐daunan yang melayang‐layang di atas kepalanya.
Caroline duduk di ayunan di bawah pohon besar di pojok rumah.
Itulah bagian The Retreat yang paling disukainya. Ada suara riak air
sungai yang mengalir di dekatnya. Lumut menutupi hampir seluruh
permukaan tanah di sekeliling pepohonan. Tanaman kecil tumbuh
lebat. De‐ngan ujung sepatunya yang hampir tidak me‐nekan
rumput yang lembut, ia seperti orang tolol membiarkan dirinya
terayun‐ayun.
"Ada apa, Caroline?"
"Kau pasti berdarah Indian. Kau selalu berhasil menguntitku."
"Aku ke sini bukan hendak bicara soal ke‐turunan. Jawab
pertanyaanku. Ada apa?"
"Bagaimana kau tahu aku di sini?"
"Aku tahu saja." Rink memegang tali ayunan, menghentikan
gerakannya, dan mencondongkan tubuh ke arah Caroline. "Katakan,
brengsek, untuk terakhir kali aku bertanya, ada apa?"
Caroline memalingkan muka dengan resah. "Tak ada apa‐apa."
"Ada. Apa?"
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Tidak ada."
"Aku tidak akan beranjak dari tempat ini sebelum kau menjawab
pertanyaanku. Gigitan nyamuk di sini sangat menyakitkan, apalagi
se‐telah gelap. Jadi kau lebih suka diserang gerom‐bolan pengisap
darah itu, atau kauceritakan pada‐ku apa yang mengganggu
pikiranmu? Apa yang terjadi di pemintalan? Aku? Atau apa?"
"Kota ini!" teriak Caroline, meledak sambil bangkit. Rink terpaksa
melepaskan pegangannya pada tali ayunan. Ledakan kemarahan
Caroline yang mendadak itu mendorong Rink menepi dan memberi
jalan pada Caroline. Ayunan yang ditinggalkan Caroline terayun‐
ayun. Caroline ber‐jalan ke arah pohon besar, tangannya diletakkan
pada pohon, dan dahinya bersandar di sana. "Ada apa dengan kota
ini?" "Kota ini penuh orang‐orang picik!" Rink tertawa kecil. "Kau
baru tahu?" "Tidak. Aku tahu hal itu sejak bisa berjalan di belakang
ibuku yang mendorong kereta pa‐kaian bersih yang harus
diantarnya. Aku tahu penduduk kota ini penuh prasangka dan suka
menghakimi." Caroline berbalik dan menyandar‐kan bahunya pada
batang pohon yang kokoh. "Hanya, kukira dengan memiliki titel
sarjana, pekerjaan bagus, nama keluarga baru, akan me‐ningkatkan
status diriku di mata mereka, sehing‐ga mereka tidak merendahkan
aku lagi."
"Kau harusnya lebih tahu. Kalau kau dilahir‐kan di sini dengan
anggapan tertentu, anggapan itu akan melekat pada dirimu
selamanya."
"Aku tahu itu. Aku hanya agak melupakannya, dan hari ini aku
diingatkan kembali."
"Ada apa?"
Caroline mengibaskan rambut dan sambil me‐ngerjapkan
matanya yang berkaca‐kaca, ia me‐natap Rink, kemudian kembali
membuang pan‐dang. "Terlalu tolol dan dangkal bila aku kecewa
karenanya."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Kalau begitu, ceritakan padaku supaya kita sama‐sama tidak
kecewa."
Sambil menarik napas, Caroline menyebut dua nama wanita yang
bicara dengannya di toserba. Rink mendengus kasar. "Baru
mendengarnya saja aku sudah tidak suka. Teruskan."
"Mereka... mereka mengatakan betapa berun‐tungnya aku, yang
masih punya kau setelah kematian Roscoe, bisa tinggal satu atap
dengan‐mu. Mereka memberi tekanan pada bagian ka‐limat itu.
Mereka bilang... yah, kau bisa menebak apa yang mereka
katakan...."
"Mereka bilang kita tinggal sebagai keluarga bukan sekadar
saling menyapa. Begitu?"
Caroline mengangkat kepala, menatap Rink. "Ya."
Rink mengumpat. "Mereka mencurigai bisa terjadi sesuatu yang
tidak pada tempatnya."
"Ya."
"Berarti, ada yang tidak benar yang dilakukan?"
"Ya."
"Bahwa hubungan kita bukan seperti hu‐bungan anak tiri dengan
ibu tirinya?"
Caroline tidak menjawab, melainkan hanya mengangguk.
Keheningan menguasai keduanya. Jengkerik mulai bernyanyi
gembira. Kodok me‐ngorek sedih. Keduanya merasa tidak bisa untuk
tidak saling pandang. Dada Caroline turun‐naik karena jantung yang
berdebar cepat. Caroline yakin sekali, dengan melihat denyut di dahi
Rink, bahwa jantung Rink pun berdenyut cepat seperti jantungnya.
"Lupakan saja ocehan para perempuan tua itu, Caroline.
Bergosip itu hiburan buar mereka. Kalau bukan menggosipkan kita,
siapa lagi yang akan jadi sasaran mereka? Begitu kehangatan berita
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
kematian Roscoe menyurut, mereka akan mencari‐cari bahan gosip
mereka."
"Aku tahu itu. Logikaku mengatakan begitu. Hanya saja aku tak
tahan menerima sindiran mereka yang sangat menghina. Aku tak
suka diriku dijadikan objek gosip mereka." Mata me‐reka kembali
saling pandang sesaat, penuh ke‐mesraan, sebelum dialihkan. Apa
yang digosipkan orang sebetulnya tidak sepenuhnya khayalan
belaka.
"Tidak masuk akal bila salah satu di antara kita ke luar dari
rumah sebelum semua urusan hukum selesai," kata Rink, memberi
aJasan. "Bu‐kankah hal itu justru akan memicu orang untuk makin
menggosipkan kita?"
"Kurasa begitu. Setiap orang ingin tahu siapa yang akan keluar
dari rumah ini. Mereka bilang kau tidak suka padaku."
"Sebagai istri ayahku, maksudmu."
Caroline merasa lidahnya tergigit ketika meng‐iakannya. "Ya."
"Mengapa mereka mengira aku tidak senang padamu?"
"Karena latar belakang hidupku dulu." Caro‐line mengubah
posisinya. Pakaiannya tersangkut kulit kayu pohon. "Karena
perbedaan usia antara Roscoe dan aku."
Ketika mata mereka kembali bertemu pandang kali ini, tak ada
halangan menghadang lagi. "Nanti juga berlalu," bisik Rink sambil
merapat‐kan tubuh ke Caroline. "Aku tidak akan pernah suka kau
menjadi istrinya."
"Jangan, Rink." Caroline ingin menjauhkan diri, tetapi jalannya
terhalang pohon.
"Mengapa kau meresahkan gosip itu, Caroline?" tanya Rink,
lembut, dan makin merapatkan tubuhnya. "Suara hatimu masih
jernih, kan? Kau tahu pasti, tak ada yang tidak beres di The Retreat."
"Tentu saja."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Rink terus merapatkan tubuh. "Tak ada pelang‐garan norma yang
terjadi di antara kita, bukan?"
"Ya."
"Dusta."
Kata terakhir itu tercetus dari mulut Rink dengan penuh
kemarahan. Ibu jari Rink me‐nelusuri tenggorokan Caroline, lalu jari‐
jari lain‐nya yang kokoh melingkari lehernya. Dengan satu ibu
jarinya, Rink mengangkat kepala Caroline.
"Katakan, tak ada daya tarik di antara kita." Sambil merintih
pelan, Caroline memalingkan mukanya ke samping. Namun Rink tak
mem‐biarkannya membuang muka. "Ayo katakan padaku, bahwa
tiap kali kau menatapku, aku hanyalah anak tirimu. Bilang padaku
kau tidak ingat apa yang pernah terjadi di antara kita.
Coba katakan kau tidak ingat lagi apa yang terjadi waktu turun
hujan hari itu. Katakan padaku kau tidak ingin aku menciummu lagi.
Bilang kau tidak pernah ingin merasakan sen‐tuhanku lagi.
Mampukah kau mengatakan semua itu padaku, Caroline?" Satu‐
satunya jawaban yang diberikan Caroline hanya isakan. "Itulah hal
yang ada dalam benakku," kata Rink marah.
Bibir Rink menutup bibir Caroline. Caroline memukul‐mukul Rink
dengan perasaan galau, tapi akhirnya tangannya berhenti di pundak
Rink dan tak lagi menolak Rink. Rink makin merapat‐kan tubuhnya
ke tubuh Caroline. Seperti potongan puzzle yang didesain untuk
disusun satu persatu membentuk satu gambar, begitulah bentuk
tubuh Rink dan Caroline—cocok sekali. Bibir Rink menciumi bibir
Caroline, menuntut bibir perem‐puan itu mematuhi apa yang
diperintahkannya. Lidah Rink menjilati garis bibir Caroline.
"Balas ciumanku, Caroline. Kau ingin men‐ciumku. Kau ingin
menciumku juga."
Caroline memenuhi permintaan itu. Sambil mendesah pasrah,
Caroline melingkarkan tangan‐nya pada leher Rink. Bibirnya
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
terbujuk lidah Rink. Lidah itu pun akhirnya memasuki mulut Caroline
tanpa perlawanan, disambut dengan hangat dan mesra. Rink
mengelus bibir Caroline, berhenti sesaat, membuat letupan hasrat
yang hendak diredam Caroline tak kuasa lagi dilawan‐nya.
Tanpa ampun lagi Rink membangkitkan hasrat Caroline terhadap
dirinya. Ciumannya yang ber‐tubi‐tubi. Simbol kejantanan Rink yang
ada di antara kedua paha Caroline memancarkan gelom‐bang
kerinduan dalam dirinya yang tak mampu diredam Caroline lebih
lama lagi. Ia ingin Rink mengisi kekosongan yang menyakitkan
dirinya itu. Hanya Rink yang mampu mengisi ke‐kosongan itu dan
memberikan kepuasan seutuh‐nya.
Rink membuka kancing gaun Caroline, me‐nyelipkan tangannya
ke baliknya. Payudara Caroline terbungkus kamisol berenda. Seluruh
indra Rink menggelora saat tangannya menyen‐tuh payudara
Caroline yang penuh lagi hangat. Dibelainya bagian itu perlahan
tetapi seperti punya kekuatan menghipnotis dan merangsang‐nya.
Rink mengucapkan sumpah serapah seiring ungkapan
kenikmatan yang terdengar bak lagu cinta di telinga Caroline. Ia
menangkap desah putus asa Rink seperti yang dirasakan jiwanya,
menanggung rindu, terbelenggu siksa memendam hasrat yang tak
mungkin dipenuhi. Rink menge‐lus renda dan satin yang menutupi
payudaranya, mencari dan menyentuh puncaknya dengan ujung
jari. Sentuhan itu memberikan kenikmatan yang amat sangat pada
Caroline. Bagian yang peka itu memberi respons, menegang. Rink
me‐nenggelamkan kepalanya di antara payudara itu dan menyentuh
salah satu puncaknya dengan bibir.
Caroline merasakan gelenyar ciuman itu sam‐pai ke perutnya,
bahkan mencapai bagian tubuh‐nya yang jauh di bawahnya lagi.
Setiap simpul saraf tubuhnya bangkit, sekaligus merintih pedih.
Caroline yakin, bila tidak segera menghentikan semua itu, ia akan
kalah.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Caroline melepaskan pelukannya pada Rink. "Jangan, Rink,
jangan," cegah Caroline. Ia me‐nutupi payudaranya dengan kedua
tangan, beru‐saha meredam gelombang gairah yang menggebu.
"Aku tidak bisa. Kita ridak boleh melakukannya.'
Rink merasakan dadanya sesak dan panas tiap kali menarik
napas. Rambutnya kusut masai karena remasan jari‐jari Caroline.
Matanya me‐natap penuh gairah, dikerjap‐kerjapkan untuk
menyadarkan dirinya. "Mengapa? Karena ayah‐ku?"
Caroline menggeleng, membuat rambutnya ter‐gerai. "Bukan,
bukan," tukas Caroline sedih sam‐bil membetulkan gaunnya.
"Karena penduduk kota ini. Karena aku tidak ingin menjadi orang
yang seperti mereka duga. Aku tidak mau me‐lakukan apa yang
mereka bayangkan, perbuatan rendah tak bermoral; pertama‐tama
merayu Roscoe, kini anaknya."
"Aku tak peduli apa yang mereka pikirkan."
"Aku peduli!" Caroline menyadari ia menangis. Air mata
bercucuran membasahi pipinya. "Seperti yang kaukatakan tadi, kita
akan tetap seperti saat kita dilahirkan. Kau berdarah Winston dan
Lancaster. Apa pun yang kaulakukan, tetap akan dianggap pantas.
Mereka tidak akan berani meng‐kritikmu. Tetapi aku, aku yang
datang dari golongan rendah, begitulah diriku senantiasa di mata
mereka. Aku harus peduli pada apa yang mereka pikirkan."
Menit‐menit berlalu, mereka saling meman‐dang. Rink lebih dulu
memalingkan muka sambil melontarkan makian. "Tidak bisa aku
tinggal serumah denganmu tanpa terdorong perasaan ingin bercinta
denganmu."
"Aku tahu."
"Nah, aku sudah mengungkapkannya. Itukah yang ingin kau
dengar?" teriak Rink.
"Bukan, Rink. Aku tidak perlu mendengar pengakuanmu itu, aku
sudah tahu." Ketika Rink berbalik dan memandangnya, Caroline
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
berkata lembut, "Aku juga merasakan hal yang sama sepertimu. Apa
kaupikir tidak demikian yang kurasakan?"
Bisa saja ini hanya dorongan hasrat sesaat, tetapi Caroline
melihat mata Rink berkaca‐kaca. Bibirnya bergerak‐gerak, tetapi tak
sepatah kata pun meluncur keluar dari bibirnya. Kedua tangannya
sebentar dikepalkan dan dilepaskan di sisi tubuhnya. Badannya
berdiri tegak me‐nahan emosi. Kelihatannya ia hampir tak mampu
menahannya lebih lama lagi.
Caroline menyeka air mata di pipinya. "Kau mengerti mengapa
aku tidak bisa bersamamu, Rink? Apa yang mereka katakan benar.
Aku sangat menginginkanmu. Namun, seperti kau tidak bisa
melupakannya, begitu juga mereka. Aku ini istri Roscoe."
Rink berbaJik, membelakangi Caroline be‐berapa menit lamanya.
Ketika ia membalikkan rubuhnya kembali menghadap Caroline, air
mukanya sudah berubah, kelihatan keras. "Apa yang akan
kaulakukan setelah pembacaan surat wasiat?"
Caroline tidak menyembunyikan air matanya lagi. "Satu‐satunya
haJ yang dapat kulakukan, apa yang kutahu harus kulakukan. Aku
harus meninggalkan rumah ini."
Rink mengangguk seketika, kemudian berbaJik dan berjalan ke
arah hutan. Caroline duduk di bangku ayunan sambil menutup
muka. Ia me‐nangis tersedu‐sedu.
Tak satu pun dari mereka melihat bayangan yang melinras di
antara pepohonan, yang men‐jauh dari tempat itu.
Bab 10
STEVE?" Tak ada cahaya lampu di daJam kamar Steve, tetapi
pesawat televisi hitam‐putih meman‐tulkan riak‐riak cahayanya di
dinding.
"Laura Jane," ujar Steve, terkejut.
"Aku tidak yakin kau ada di sini. Kau sudah tidur?"
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Steve segera menarik selimut putih menutupi dadanya yang
telanjang. Ia berbaring telentang di ranjangnya yang kecil. Ketika
Laura Jane masuk, membuka pintu cukup Jebar agar bisa
menyelinap, Steve berbaring sambil menopang tubuhnya dengan
siku. "Tidak, aku tidak tidur, tetapi apa yang kaulakukan di sini?
Kalau kakak‐mu tahu kau ada di sini...."
"Tidak mungkin. Aku baru saja melihatnya pergi dengan mobil
barunya. Ia dan Caroline.... Oh, Steve. Aku jadi tak mengerti semua
ini!" Laura Jane menghambur masuk dan menjatuh‐kan dirinya ke
pelukan Steve. Otomads tangan Steve menyambut Laura Jane. Laura
Jane yang menangis, membenamkan wajahnya di dada
Steve.
"Ada apa? Apa yang terjadi? Apa yang tidak kaumengerti?"
"Rink. Aku tak mengerti dia sama sekali. Ia berkelahi denganmu
gara‐gara kau menciumku. Ia membuat aku merasa seakan kita
melakukan perbuatan memalukan. Tetapi, kalau yang kau‐lakukan
salah, mengapa ia dan Caroline melaku‐kan hal yang sama? Kalau
hal itu tidak boleh kita lakukan, mengapa mereka lakukan? Mereka
kan juga tidak menikah."
"Kau melihat mereka? Berciuman?" "Ya. Di sana, di dekat ayunan
tua. Mereka tidak melihat aku ketika itu."
Steve menyibakkan rambut dengan jari‐jarinya. Steve tidak ingin
mengecewakan Laura Jane se‐perti sebelumnya, maka ia menjawab
dengan hati‐hati, "Kurasa, kau melihat sesuatu yang se‐
harusnya.tidak boleh kau lihat."
Laura Jane mengangkat kepala. "Memang, se‐harusnya aku tidak
diam di situ dan melihat mereka, bukan? Haney bilang kita tidak
boleh mencuri dengar percakapan orang, kalau orang itu tidak tahu
kau ada di situ." "Itu tidak sopan, ya."
Laura Jane berusaha mengumpulkan kekuatan ∙ seperti anak
kecil yang menyesali perbuatan salah‐nya. "Aku tahu aku salah.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Tetapi aku mendengar suara mereka, lalu kuikuti suara itu. Ketika
aku sampai di sana, kulihat Rink mencium Caroline. Mereka
bersandar di pohon sambil berpelukan."
Ketika jari‐jari Laura Jane mempermainkan rambut yang tumbuh
lebat di dadanya, baru Steve menyadari ia hanya mengenakan
celana dalam di balik selimut. Laura Jane duduk di pinggir ranjang,
pinggul gadis itu menyentuh lekuk pinggangnya.
Laura Jane menceritakan bagaimana Caroline mengakhiri ciuman
mereka. "Caroline bilang me‐reka seharusnya tidak berciuman
karena orang‐orang akan menganggap mereka tidak bermoral.
Ketika mendengar kata‐kata Caroline, Rink hanya berdiri tak
bergerak. Rink kelihatan seperti hen‐dak memukul sesaatu, bukan
Caroline. Rink kelihatan ingin terus menciumi Caroline."
Suara Laura Jane bergetar. "Caroline bilang, begitu pembacaan
surat wasiat selesai, ia akan meninggalkan rumah." Sambil
bersandar di ping‐gang Steve, Laura Jane meletakkan kepalanya di
dada Steve. "Aku tak ingin ia pergi meninggalkan rumah kami. Aku
sayang Caroline. Aku sayang Rink. Aku ingin kami tinggal bersama‐
sama seperti sekarang selamanya."
Dengan satu tangannya Steve memegang teng‐kuk Laura Jane,
menenangkannya. Tangan yang satu lagi mengelus punggung gadis
itu. Steve berhasil menyambungkan potongan‐potongan cerita
menjadi satu cerita utuh. Ia ingat, ia mendengar Caroline
mengingatkan Rink tentang perbuatan Roscoe yang memisahkan
mereka. Barangkali pada suatu ketika dulu, mereka saling
menyayangi. Tetapi kemudian Rink pergi dari rumah, Caroline
menikah dengan ayah Rink. Kini, masing‐masing masih saling
mencintai, ke‐duanya terperangkap dalam situasi yang sulit untuk
dipisahkan. "Ya, semuanya benar‐benar kacau balau," gumam Steve
di balik rambut Laura Jane.
Laura Jane mengangkat kepala dan meman‐dang Steve. "Kau
tahu apa yang kuharapkan?"
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Jari telunjuk Steve menelusuri wajah gadis itu, mengagumi
kecantikannya yang asli, ke‐murnian pikirannya, tak tercemar
perasaan deng‐ki. Kualitas kepribadian sepcrti itu sangat ber‐harga
buat Steve karena jarang ia menemukan orang dengan kualitas
seperti itu. Sebelum me‐ngenal Laura Jane, Steve menganggap
pikiran manusia penuh kebusukan, termasuk pikirannya sendiri.
"Apa yang kauharapkan?" tanya Steve lembut.
"Babwa mereka berdua saling mencintai seperti kita."
Betapa ingin Steve tertawa, ingin menangis, ingin mencium
Laura. Ia memikirkan kedua hal yang pertama, dan melakukan hal
yang terakhir. Ditariknya tubuh Laura Jane dengan lembut ke
dekatnya, diciumnya bibir perempuan itu dengan lembut pula.
"Steve?" bisik Laura Jane.
"Hmmm?" Steve mencium wajah Laura Jane, terkagum‐kagum
merasakan kulit gadis itu yang demikian halus dan membiarkan
tubuh mereka berpelukan.
"Kau tidak memakai kaki plastikmu."
Seketika Steve menghentikan ciumannya dan mengikuti arab
pandangan Laura Jane sampai ke ujung ranjang, ke tempat ia
meletakkan kaki palsunya. "Ya," jawab Steve tegas. "Aku tidak
memakainya."
"Coba kulihat kakimu. Ayolah." Laura men‐julurkan tangan
hendak menarik seprai yang menutupi tubuh Steve.
Steve langsung menyambar kaki palsunya dan memeganginya.
"Jangan."
Suara Steve terdengar dingin, keras, tidak se‐perti biasanya kalau
ia bicara dengan Laura Jane. Sejenak sikap Steve membuat gadis itu
takut, tetapi hanya sesaat. Berikutnya Laura Jane meletakkan
tangannya di atas tangan Steve dan jarinya mencoba menarik seprai
yang menutupi badan Steve. "Ayolah, Steve. Aku ingin melihat‐nya."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Dengan marah Steve menepiskan tangan Laura Jane. Ia
melepaskan pegangannya pada seprai, dan meletakkan tangan di
bawah kepalanya. Laura Jane ingin melihatnya? Baik, lebih baik
membiarkannya melihat kakinya. Lebih baik membiarkan Laura Jane
jijik melihatnya sekarang sebelum ia jatuh cinta lebih dalam
padanya,
seperti yang dialaminya. Lebih baik Laura Jane lari
meninggalkannya sambil berteriak ketakutan dan jijik melihatnya
sekarang daripada nanti. Ia sudah lama menyembunyikan cacatnya,
akan le‐bih baik bila Laura Jane tahu lebih cepat, akan lebih baik
untuk mereka berdua.
Dengan hati pedih, Steve membiarkan Laura Jane
menyingkapkan selimut dari tubuhnya. Udara sejuk yang bertiup
dari AC menerpa tubuhnya. Rahangnya terasa sakit karena ia
mengertakkan rahang. Matanya menatap langit‐langit, berusaha
memusatkan pandangan pada pola yang dibentuk cahaya yang
dipancarkan televisi. Ia tidak ingin melihat wajah Laura Jane yang
ketakutan. Ia berharap dapat menutup telinganya agar tidak
mendengar respons yang diperdengarkan Laura Jane.
Steve tidak menyalahkan Laura Jane, tentunya. Ia selalu
dijauhkan dari hal‐hal yang buruk. Dunia Laura Jane adalah dunia
penuh kelem‐butan dan keindahan, seperti kepompong yang
lembut dan anggun. Sementara dunianya, dunia hutan belantara
dengan hukum rimba, dunia asing bagi Laura Jane, dunia dari planet
lain.
"Oh, Steve."
Reaksi Laura Jane ternyata tidak seperti yang dibayangkan Steve.
Suaranya membuat napasnya seperti berhenti sesaat, membuatnya
gemetar; suaranya emosional, penuh kelembutan. Steve
menundukkan kepala, memandang tubuhnya tepat ketika tangan
Laura Jane terjulur hendak menyentuh pahanya yang buntung.
Meskipun jelas Steve merasakan sentuhan malu‐malu, lem‐but,
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
walaupun ia melihat tangan Laura Jane menelusuri kulitnya yang
kasar dan berbulu, ia tetap tak percaya akan penglihatannya.
Tubuh‐nya seperti mengerut di balik sikap Laura Jane yang manis,
tetapi dadanya seperti mau me‐ledak.
"Steve, kau menawan." Ketika menatap Steve, mata Laura Jane
berkaca‐kaca. Steve mencari‐cari, tetapi tak menemukan kesan jijik
di mata gadis itu, tak ada rasa iba, yang ada hanya cinta dan
kekaguman.
Dengan suara tercekik, Steve menarik tubuh Laura Jane ke
dadanya. Tangannya memegang kedua pipi gadis tersebut,
meremas rambut Laura Jane ketika Laura Jane menyentuhkan
bibirnya ke bibir Steve.
Steve mencium Laura Jane dengan gairah baru. Dimasukkannya
lidahnya jauh ke dalam ke mulut perempuan muda itu. Diputar‐
putarnya lidahnya, menikmati seluruh kemanisannya. Belajar dari
Steve, Laura Jane menggigit kecil bibir Steve, mengisap lidahnya
yang kembali dimasukkan ke mulutnya, dan membelai rongga di
antara kedua bibir Steve dengan lidahnya.
"Oh, Tuhan, Laura Jane." Steve mendekap kepala gadis itu di
bahunya untuk menghentikan ciuman Laura Jane yang penuh
gairah, agar ia bisa bernapas kembali dan akal sehatnya bekerja.
Kejantanannya mengeras dan menyentak‐nyentak di balik
celananya. Setiap bagian tubuhnya yang tersentuh kulit Laura Jane
seperti panas terbakar. Steve berencana mengendalikan hasratnya
dengan membelai payudara Laura Jane. Namun dada yang penuh
lagi lembut di telapak tangannya itu ternyata malah membuatnya
makin meng‐inginkan Laura Jane, bukan melulu karena de‐sakan
gairah tetapi berkat pertolongan yang di‐berikan gadis itu.
"Aku merasa ada yang aneh dalam tubuhku," kata Laura Jane.
Tangannya mengelus dada dan perut Steve.
Tanpa kegembiraan sedikit pun Steve tertawa. Hasratnya
bergejolak. "Aku pun demikian."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Jantungku berdetak cepat." Diambilnya ta‐ngan Steve, lalu
ditekankannya ke dada kirinya. Tangan Steve menyentuh bagian
lunak itu dengan lembut. Ia mengertakkan gigi. "Begitu pun
jantungku."
"Apakah begini rasanya kalau orang bercinta?" bisik Laura Jane,
bertanya.
Steve tidak mampu menjawab dengan kata‐kata, tetapi dengan
anggukan.
"Kita tidak bisa bercinta karena kita belum menikah, bukan?"
Steve mengerang dan mendekap Laura Jane erat‐erat. "Ya,
Sayang, tidak boleh. Kita tidak boleh melakukannya. Tidak fair buat
dirimu."
Tidak fair juga buat dirinya. Bila ia mulai melakukannya, Steve
yakin ia akan mengingin‐kan hal itu setiap hari sepanjang hidupnya.
Laura Jane yang kini duduk, meletakkan ta‐ngannya di pipi Steve.
"Kalau begitu, Steve," katanya dengan cara berpikir sederhana,
"sebaik‐nya kita menikah."
Segerombolan orang berkumpul di pekarangan The Retreat. Hari
itu cuaca mendung. Awan kelabu pekat menutupi seluruh bumi.
Hujan belum turun. Andai hujan turun, tentu akan disambut
gembira karena cuaca takkan lembap lagi.
Hari ini hari yang ditunggu‐tunggu sekaligus ditakuti. Dua kali
Granger Hopkins mengatur waktu untuk pembacaan surat wasiat
Roscoe. Sudah dua kali tertunda. Pada kesempatan per‐tama, Rink
tanpa diduga dipanggil pulang ke Atlanta untuk mengurus masalah
perusahaan pe‐nerbangan Air Dixie. Yang kedua, Granger yang
minta ditunda. Karena ada kliennya yang lain yang lebih
membutuhkan pertolongannya.
Diam‐diam Caroline gembira dengan penun‐daan‐penundaaan
tersebut. Ia butuh waktu be‐berapa minggu untuk mencari tempat
tinggal, rumah yang lebih kecil tetapi cantik, rumah yang jauh dari
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
kora tetapi tidak terlalu terpencil untuk perempuan yang tinggal
sendirian. Namun, sampai saat ini ia merasa tidak punya semangat
untuk memulai pencariannya. Pekerjaan di pe‐mintalan
dijadikannya alasan.
Mereka memintal kapas lebih banyak daripada sebelumnya. Ia
dan Rink selalu ke pemintalan dini hari dan pulang ke rumah setelah
malam. Panen kapas musim ini hampir sudah dipintal semua,
digulung dan siap dibawa ke gudang untuk dijual ke beberapa
pedagang. Pesanan Delta Mills sudah diterbangkan ke Jackson
seperti yang dijanjikan Rink.
Mereka berdua sama‐sama merasakan kepuasan yang amat
sangat, tetapi juga perasaan kehilangan yang tak terucapkan dengan
kata‐kata. Kalau bukan tuntutan pekerjaan di pemintalan, mereka
tak punya alasan untuk menghabiskan waktu bersama. Sejak
kejadian malam itu, di ayunan, tak pernah ada kesempatan buat
mereka untuk ber‐mesraan; tetapi hasrat mereka tetap hidup, tetap
menggelora, tetap memancar di antara mereka.
Granger batuk‐batuk sambil menutup mulut dengan tangan
untuk menarik perhatian mereka. "Kurasa, kita sudah siap." Ia
duduk di samping meja kecil, tempat ia meletakkan amplop manila.
Laura Jane dan Rink duduk berdekatan. Tangan mereka saling
menggenggam penuh kasih.
Caroline duduk di kursi sebelah kiri. Haney, yang, juga diundang,,
duduk di sebelah kanan mereka, agak di belakang.
Granger mengambil kacamata berkerangka me‐tal dari saku
kemejanya dan meletakkannya di hidungnya yang besar. Dengan
hati‐hati ia mem‐buka amplop, mengeluarkan dokumen yang ber‐
halaman‐halaman dan meluruskan dokumen yang kaku itu. Ia mulai
membacakan isinya.
Roscoe tidak suka menyumbang. Ia mengomel tiap kali melihat
istrinya, Marlene, menyumbang‐kan uangnya untuk kegiatan amal.
Bila ia me‐nyumbang, sumbangan yang dilakukannya bukan
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
dilakukan atas dasar kemurahan hati, tetapi lebih untuk
menghindari pajak. Dalam surat wasiatnya, anehnya, Roscoe
mewariskan sejumlah uang ke‐pada gereja, sebagai anggota gereja
yang tidak setia, dan kepada berbagai komunitas sosial lain‐nya.
Granger berhenti sejenak, menuang air ke gelas dari teko yang
disediakan di meja oleh Haney untuknya, meneguknya, lalu
melanjutkan. Ia membaca dengan suara tanpa emosi, tetapi dengan
sikap berat hati. Setelah seluruh isi surat wasiat dibacakan, jelaslah
apa sebabnya ia mem‐bacakan surat wasiat tersebut dengan sikap
demi‐kian. Setelah selesai membacakan, ia melipat kertas‐kertas itu
lalu memasukkannya kembali ke amplop. Ia melepas kacamatanya
dan me‐masukkannya kembali ke saku kemeja.
Ketiga orang lainnya di dalam ruangan itu diam tak bergerak.
Bahkan Laura Jane, yang tidak memahami isi surat wasiat ayahnya s‐
penuhnya, mengerti isi surat wasiat yang sangat tidak fair itu.
"Ia tidak mewariskan apa pun untuk Rink," kata Laura Jane
kepada Granger, tetapi matanya perlahan menyapu ruangan sampai
akhirnya ter‐tuju pada saudara laki‐lakinya, yang wajahnya tampak
seperti terbuat dari batu... atau es.
"Bajingan tua brengsek," maki Haney sambil menarik napas
ketika meninggalkan ruangan de‐ngan gusar. Ia menolak uang yang
diwariskan untuknya sebagai imbalan "bertahun‐tahun meng‐
abdikan diri merawat Laura Jane".
Perlahan Caroline bangkit dari duduk dan dengan ragu‐ragu
melangkah ke arah orang yang seharusnya menjadi ahli waris. "Rink,
aku ma—" Rink mendongak seketika, matanya nanar me‐natap
Caroline, menghentikan kata‐kata Caroline sebelum keluar dari
mulutnya. Rink bangkit dari kursi dengan gaya anggun seperti
macan tutul, tapi juga sekaligus memancarkan kebencian di air
mukanya. Ia meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata pun. Dengan
perasaan sangat me‐nyesal Caroline memandanginya. Laura Jane
de‐ngan gugup mempermainkan saputangan dengan jemarinya.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Granger mengikuti Rink dan berhasil menge‐jarnya di halaman.
"Rink, maafkan aku." Ia menyambar lengan kemeja Rink dan
berhasil menghentikan langkahnya keluar dari rumah. "Aku tidak
suka membacakan isi surat wasiat itu. Aku sudah membujuk Roscoe
agar memper‐timbangkannya kembali."
"Kau lebih tahu apa yang terjadi, selamatkan saja dirimu," jawab
Rink ketus.
"Aku sudah membujuk ibumu untuk memper‐tahankan rumah
ini dan pemintalan atas nama‐nya. Ibumu menandatangani surat
wasiat jauh sebelum ia meningggal, bahwa ia mewariskan rumah itu
kepada Roscoe, bila ia meninggal dunia. Waktu itu aku sudah
berpikir itu bukan gagasan yang baik. Tentu saja, sekarang...."
"Untuk pertama kalinya dalam sejarah, ada orang yang tidak
berdarah Winston memiliki The Retreat. Rumah itu sekarang
menjadi milik keluarga Dawson." Nada bicaranya pedas lagi tajam
ketika menyebut nama Dawson.
"Bila kau mengira Caroline memengaruhi keputusan Roscoe, kau
keliru."
"Begitukah?"
"Ya," jawab si pengacara. "Caroline sama sekali tidak peduli soal
rumah itu, sebagaimana sikap‐nya ketika mendapatkan beasiswa."
Rink memutar kepala seketika. "Apa yang kautahu tentang hal
itu?"
"Aku tahu," jawab Granger sambil merendah‐kan suara. "Sama
seperti aku tahu segala yang dilakukannya terhadap Caroline secara
sembunyi‐sembunyi. Aku tidak mengerti sikapnya. Aku mengira ia
seperti bandot yang suka daun muda, kecuali... yah, ia melakukan
itu dengan perem‐puan lain." Ia menatap. Rink dalam‐dalam. "Baru
belakangan aku tahu. Baru belakangan. Bertahun‐tahun lamanya ia
memperalat Caroline untuk menarikmu pulang, bukan?"
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Rink tidak menjawab. Jelas, si pengacara tahu segala yang
terjadi, hanya satu potongan penting yang kurang. Ia tidak tahu apa
yang pernah terjadi antara Rink dan Caroline bertahun‐tahun
sebelumnya. "Yah, bila itu yang ia inginkan sebelum ia meninggal,
sudah terkabul. Karena ia sangat yakin berhasil mendapatkan aku
kali ini."
Ia pergi, membiarkan pintu di belakangnya terbanting.
Dari kamar tamu, Caroline melihatnya pergi. Ia sudah
mendapatkan apa yang selalu didamba‐kannya. The Retreat. Tetapi
apa imbalannya? Pria yang dicintainya.
"Caroline, apa yang bisa kulakukan dengan pemintalan kapas
itu?" tanya Laura Jane bingung ketika muncul di belakang ibu
tirinya. "Aku hanya pernah ke sana beberapa kali dalam hidupku."
Perasaan iba melihat perempuan muda yang bingung itu
mengalihkan kepedihan yang me‐landa Caroline. Ia memeluk Laura
Jane. "Kau jangan terlalu mengkhawatirkan pemintalan kapas itu.
Ayahmu hanya mewarisimu keumungan yang didapat dari pabrik."
"Bagaimana denganmu?"
"Aku dapat gaji tahunan untuk mengawasi pemintalan itu
bagimu. Granger akan memberi‐tahu kita berdua dan mengawasi
segalanya. Tak usah cemas. Semuanya akan berjalan sebagaimana
dulu."
"Kau akan tinggal di sini, kan? Kau tidak akan pergi?"
"Kau dengar apa yang dibacakan Granger. Daddy memberikan
The Retreat ini padaku." Ia meletakkan pipinya ke rambut Laura
Jane dan membiarkan rambut itu mengisap air mata yang menitik
jatuh dari matanya. Caroline tidak bisa dikelabui. Keputusan Roscoe
bukan atas dasar kebajikan. Roscoe tahu, dengan memberikan The
Retreat kepadanya, ia yakln akan membuat Rink sangat
membencinya. Ia kini memang menjadi pemilik rumah ibu Rink.
Andai ada sesuatu yang dicintai Rink, itu adalah The Retreat.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Kau tetap di sini, tetapi Rink akan pergi," kata Laura Jane sedih.
"Ya, Rink tidak akan tinggal di sini." Kemudian Caroline
menyuruh gadis itu menemui Haney, supaya ia bisa menangis
sendirian.
"Apa yang kaulakukan?"
"Menunggumu."
"Aku mendapat kehormatan itu?"
"Kurasa kita harus bicara."
"Jangan pura‐pura bodoh, Rink."
"Bodoh?" ulang Rink, alis matanya yang hitam berkerut. "Kini kau
menjadi nyonya rumah, yang sejak dulu kaudambakan."
Cahaya lampu di teras itu remang‐remang. Hari sudah larut
malam. Karena ia tidak pulang untuk makan malam, Caroline tidak
yakin Rink akan pulang. Kecuali demi Laura Jane. Ia tidak akan
meninggalkan rumah sebelum berpamitan dengan adiknya. Oleh
sebab itu ia menunggu sampai mendengar deru mobil Rink
memasuki pekarangan rumah. Cepat‐cepat ia turun untuk
menemuinya begitu pria itu masuk lewat pintu depan. Ia berdiri di
anak tangga kedua. Rink di anak tangga pertama. Rink menatapnya
dengan sorot mata menantang.
"Aku tidak menyalahkanmu bila kau marah." "Terima kasih. Aku
senang mendapat restumu." "Rink, jangan begitu." "Jangan begitu
apa?"
"Jangan salahkan aku gara‐gara surat wasiat Roscoe! Aku tak
tahu‐menahu soal itu. Aku sama bingungnya denganmu. Mengapa
kau tidak menentangnya?"
"Membuat Roscoe dan seluruh‐ penduduk kota puas karena tahu
betapa hal itu merisaukan aku? Tidak, terima kasih."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Roscoe sudah matfl. Begitu yang ingin diteriak‐kan Caroline.
Kapan perang antara ayah dan anak ini akan berakhir? Dengan
berusaha se‐tenang mungkin, Caroline berkata, "Tak peduli apa isi
lembar surat wasiat itu, The Retreat tetap milikmu, Rink. Selamanya
akan menjadi milikmu. Kau bisa tinggal di sini seumur hidupmu bila
mau."
Rink tertawa, tetapi bukan tawa gembira. "Isi surat wasiaj itu
menetapkan hanya Laura Jane yang bisa menempati rumah ini
selama hidupnya, bukan aku. Kemurahan hatimu sungguh terpuji,
Mom," kata Rink sambil membungkukkan badan sampai pinggang.
Caroline tersentak mendengar kata‐kata Rink yang menyakitkan,
tetapi ia tetap mengangkat dagu. "Aku mengerti, kau ingin
menyakitiku. Baiklah. Andai hal itu membuat perasaanmu lebih
enak, silakan. Silakan panggil aku dengan sebutan menjijikkan
sekalipun."
Secepat kilat tangan Rink terjulur, menangkap ikat pinggang yang
melilit pinggang Caroline dan menariknya ke tubuhnya. Tindakan itu
membuat napas keduanya memburu. Dililitkan‐nya ikat pingang itu
di tinjunya, menyebabkan tangannya bersentuhan dengan perut
Caroline. Rahangnya kaku ketika ia mengertakkan gigi.
Dipejamkannya matanya rapat‐rapat.
Dalam waktu sekejap, setarikan napas, Rink meletakkan
kepalanya di dada Caroline dan me‐rintih. Kemudian ia melepaskan
Caroline sambil memaki‐maki.
"Maafkan aku, Caroline, maafkan," katanya sambil menarik
napas. "Ya, aku marah besar. Bukan padamu. Padanya. Sialnya, tak
ada cara untuk menghidupkannya kembali. Ia sudah mati. Aku tidak
kuasa melawan bajingan itu. Aku tak punya cara untuk
memuntahkan kemarahan da‐lam diriku."
Dipukulkannya tinjunya pada pegangan tangga yang terbuat dari
kayu ek. Secara naluriah, Caroline mendekat untuk
menenangkannya tetapi ia menarik tangannya kembali sebelum
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
menyen‐tuhnya. Rink bisa salah sangka, mengira ung‐kapan
cintanya sebagai sikap iba dan akan sangat membencinya.
"Ke mana saja kau tadi?" tanya Caroline lembut.
Rlnk menarik napas dalam‐dalam, membuat dadanya
mengembang dan kancing bajunya ter‐buka, menampakkan bulu
dadanya yang ikal lagi lebat. "Bawa mobil. Keliling‐keliling kota."
Rink menatap Caroline. "Ini rumahku, Caroline. Lepas dari
ketidaksempurnaannya, aku suka kota ini. Aku tidak bisa
mengingkari cintaku pada kota ini meski penduduknya punya
kekurangan, sebagaimana aku tidak bisa mengurangi cintaku pada
Laura Jane karena ia punya kekurangan. Aku selalu merindukan
pulang lagi ketika aku harus pergi meninggalkannya."
"Jadi, kau mau pergi?"
"Besok pagi."
Seperti tertusuk pisau tepat di jantung, Caro‐line memegangi
dadanya. Wajahnya muram. Begitu cepat! Rink akan pergi dan kali
ini ia takkan pernah kembali lagi. Sekarang ia bisa meminta Laura
Jane menemuinya bila ingin bertemu dengannya. "Rink, ia itu
monster ma‐cam apa sih? Manusia macam apa dia itu, sampai tidak
mewariskan apa pun kepada putranya, kepada dirimu?"
Rink melihat air mata dan kepedihan di wajah Caroline dan tahu
itu ditujukan untuk dirinya, untuk segala yang tak pernah ada.
Betapa ingin Rink memeluknya. Ingin ia membenamkan kepalanya
di Caroline dan mencium aroma tu‐buhnya. Ingin ia menekankan
bibirnya di kulir Caroline. Betapa ingin ia dihibur Caroline. Ingin ia
sejenak melupakan kenangan bercinta dengan Caroline yang pernah
dialaminya. Pada saat se‐perti ini, ia hampir tak mampu menahan
ke‐inginan meminta hal itu dari Caroline. Tetapi ia ingat kata‐kata
yang dimaksudkan untuk diingat‐nya.
Kau tak bisa lagi memiliki perempuan itu sekarang, Rink. Aku
kenal siapa dirimu. Harga diri sebagai Winston takkan merelakan
dirimu memiliki Caroline. Karena aku sudah terlebih dahulu
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
memilikinya. Kau ingat itu. Caroline istri‐ku dan aku yang
memilikinya untuk pertama kali.
"Ia meninggali aku warisan, Caroline," kata Rink kasar. "Warisan
yang amat banyak." Rink melewati Caroline dan naik ke lantai dua.
Perlahan Caroline mengikutinya dan masuk ke kamar tidurnya. Ia
melepas mantelnya, berbaring di ranjang, membayangkan dirinya
takkan pernah tenang.
Tetapi ketika terdengar dering telepon beberapa saat kemudian,
ia gembira dan bangun dari tidur untuk menerima telepon dan
menempel‐kannya di telinga. "Halo."
Begitu mendengar suara di telepon, Caroline langsung‐
meletakkan telepon dan lari ke pintu kamar, bahkan tanpa memakai
mantel luarnya. Kakinya yang telanjang seperti terbang melintasi
lorong berlantai kayu yang gelap itu. Ia me‐nerobos masuk ke kamar
Rink, langsung men‐dekati ranjangnya. Tangannya langsung
mendarat di punggung Rink yang tanpa baju. "Rink, Rink, bangun."
Rink berbalik dan memandang Caroline de‐ngan mata tak
percaya. Mata Caroline mem‐belalak, rambutnya acak‐acakan,
dadanya turun‐naik, payudaranya hampir tumpah ke luar dari gaun
tidurnya. "Apa....?"
"Pemintalan terbakar!"
Kaki Rink yang telanjang langsung turun ke lantai berbarengan,
hampir menubruk Caroline. Tangannya menyambar celana jins yang
terlipat di kursi. "Dari mana kau tahu?"
"Barnes yang menelepon."
"Parah?”
"Ia belum tahu."
"Bagaimana pemadam kebakaran?"
"Sudah dihubungi."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Ada apa ribut‐ribut di sini?" Haney bertanya dari ambang pintu
sambil mengikat tali mantelnya di pinggang. "Kedengarannya
seperti orang yang lagi main basket dan...."
"Pemintalan terbakar."
"Oh, Tuhan!"
Caroline meninggalkan kamar Rink sambil lari. Rink hampir siap
berpakaian, Caroline hen‐dak pergi ke pabrik bersamanya. Ia
memakai baju yang diambilnya, kemeja tua dan celana selutut dari
bahan denim. Kakinya hanya mengenakan sepatu sandal." Bukan
pakaian yang cocok untuk melihat tempat yang kebakaran, tetapi ia
sudah mendengar langkah kaki Rink menuruni anak tangga. Cepat‐
cepat ia lari mengejarnya.
"Rink, tunggu!"
"Kau di sini saja," teriak Rink sambil lari ke pintu depan.
"Tidak bisa." Caroline sudah berada di belakang Rink.
"Ada apa?" Laura Jane yang keliharan seperti boneka berpipi
kemerahan, memakai baju tidur, dan membelalak, menuruni anak
tangga.
"Pemintalan terbakar, Rink dan Caroline akan pergi ke sana,"
Haney memberi penjelasan.
'Pemintalan kapas terbakar?" ulang Laura Jane.
Sumpah serapah yang keluar dari mulut Rink membuat telinga
siapa pun yang mendengar merah, ketika ia berusaha
menghidupkan mesin mobilnya. Haney dan Laura Jane berdiri di
teras, tangan mereka bergandengan, sementara Caroline meminta
Rink membukakan pintu mobil.
"Kau tak usah ke sana!" teriak Rink.
"Kalau kau tak membukakan pintu ini, aku akan naik mobilku,
sehingga kau takkan tahu aku nanti berada di mana."
Dewi KZ & Titi Zhu