Tiraikasih website http://kangzusi.com
Retreat sudah menjadi milikmu, kau bisa berbuat sesukamu
terhadap rumah itu. Ku‐rasa itu mungkin keteledoran Roscoe, tetapi
tidak ada ketentuan yang melarangmu mengalihkannya kepada
orang lain, hanya saja Laura Jane harus diperbolehkan tetap tinggal
di rumah itu seumur hidupnya."
"Aku paham. Yang itu tidak akan memenga‐ruhinya."
"kalau bagitu tidak ada masalah bila kau hendak mengalihkan
kepemilikannya. Bila kau yakin be‐nar itu yang kau mau."
Sambil mcrenung, Caroline mengangguk. "Ka‐pan festival musim
gugur itu diselenggarakan?"
"Minggu keriga bulan Oktober. Masih sebulan lagi." Granger
meletakkan tangannya pada pegangan pintu. "Mereka minta alamat
Rink. Mai yakin mereka ingin mengundangnya juga."
Caroline mengalihkan pandangan dari Granger. "Apakah kau bisa
mengubah aktenya sebelum minggu ketiga bulan Oktober?" Ketika
ia kembali memandang Granger, pria itu tersenyum padanya
dengan penuh kasih.
"Kau tahu, andai tidak terlibat dengan keluarga Lancaster, kurasa
aku sudah jatuh cinta padamu."
***
Hei!
Caroline berhenti di jalan setapak dan meman‐dang ke balik
kantong belanjaannya ke arah gadis muda yang menyapanya
dengan kasar. "Kau bicara denganku?"
"Bukankah kau Mrs. Lancaster?"
"Ya." Gadis muda itu tidak lebih dari dua belas tahun, tetapi
matanya memakai perona mata ungu mengilap dan eyeliner biru
yang tebal sekali. Rambutnya yang hitam dipotong pendek, disisir
tegak di bagian atas kepala. Salah satu daun telinganya ditindik tiga.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Klip kertas yang berwarna‐warni tergantung di setiap lubang itu.
Daun telinga yang satunya lagi memakai anting‐anting berbentuk
bintang berukuran besar yang berkilat‐kilat. Bibirnya dipoles lipstik
warna putih.
Pakaiannya tak kalah ramai dengan riasan wajahnya: rok mini
warna hijau dipadu dengan blus oranye; kemeja putih dengan
gambar bibir merah darah dan lidah menjulur. Caroline me‐ngira
gadis itu pasti mengenakan pakaian untuk bermain drama.
Orangtua macam apa yang membiarkan gadis dengan pakaian
seperti itu berkeliaran di jalan? Namun gadis itu menarik
perhatiannya. "Dari mana kau tahu namaku?"
"Aku kenal Mr. Lancaster, Rink Lancaster. Tetapi itu dulu.
Namaku Alyssa."
Caroline membelalak karena terkejut. Ini rupanya putri Marilee,
yang sangat dikasihi Rink sebelum ibunya memaksa mereka
berpisah. "Apa kabar, Alyssa?"
"Baik, kurasa. Kau yang menikah dengan ayah Rink, bukan?"
"Dengan Roscoe. Ia meninggal beberapa bulan yang lalu."
"Tentu, aku tahu itu. Semua orang tahu. Beberapa waktu yang
lalu aku melihatmu dan Rink di Dairy Mart."
"Mengapa kau tak menyapanya?"
Gadis itu mengangkat bahu dengan sikap tidak sopan. "Tidak
ingin saja. Mungkin ia juga nggak ingat aku."
"Tidak ingat, bukan nggak ingat."
"Heh?"
"Maafkan aku. Aku mengoreksi bahasamu."
"Tak apa‐apa. Ibuku selalu melakukan hal itu, tetapi nggak...
tidak, tampaknya tidak berhasil juga."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Caroline tertawa. Tetapi hatinya sedih ketika melihat teman‐
teman yang bersama Alyssa. Ia bisa mengerti pengaruh teman
sebaya jauh lebih kuat daripada nasihat orangtua dalam hal ini.
Gadis‐gadis yang bersama Alyssa itu seperti baru keluar dari tempat
rehabilitasi.
Seketika Caroline merasa malu sendiri, telah beropini
berdasarkan penampilan saja. Ia meng‐hakimi gadis‐gadis tersebut.
Bagaimanapun, ketika salah satu gadis itu, yang tidak lebih tua
daripada Alyssa, menyalakan rokok, ia tidak bisa menyem‐bunyikan
rasa terkejutnya.
"Bagaimana kabar ibumu?" Caroline ingat Marilee yang bertubuh
kecil tapi seksi, berambut pirang yang panjang, bermata kebiruan
dan sinis.
"Ia sudah kawin lagi. Suaminya bajingan. Le‐bih parah dari
sebelumnya. Aku tidak suka tinggal bersamanya." Kemudian, seperti
baru sa‐dar ia terlalu banyak bicara tentang dirinya, ia menarik diri
dan berkata, "Yah, aku harus pergi."
"Tunggu!" Caroline terkejut sendiri ketika me‐nyadari dirinya
meneriakkan kata itu. Ketika gadis tersebut meliriknya dari balik
bulu mata yang dipoles maskara hitam pekat, Caroline ke‐hilangan
kata‐kata. Di balik riasan berlebihan itu Caroline melihat
pemberontakan, kecurigaan, dan kerapuhan. Sepertinya gadis kecil
itu harus hidup di balik topeng mengerikan dan ingin keluar dari
sana. "Bagaimana kalau kau me‐nemuiku di rumah—The Retreat—
sekali‐sekali? Aku ingin mengenalmu lebih jauh."
Alyssa mencibir sambil mendengus. "Tak usah pura‐pura."
"Tidak, aku sungguh‐sungguh." Apa sebabnya Caroline
memaksakan hal itu ia sendiri tak mengerti. Gadis tersebut
menyentuh hatinya de‐ngan cara yang ia sendiri tidak mengerti.
Rink pasti tidak suka melihat anak yang sangat di‐kasihinya
kelihatan seperti gadis kesepian. Andai bisa menolong, Caroline
ingin menolongnya. "Aku ingin menjadi sahabatmu."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Bola mata yang kebiruan itu memancarkan sorot keraguan.
"Mengapa?"
"Karena aku sering mendengar cerita tentang dirimu dari Rink."
"Oh ya? Apa yang ia bilang?" Dagunya agak terangkat dengan
sikap menantang. Namun Caroline tahu gadis itu terkejut dan
tertarik untuk mendengarnya.
"Ia bilang dulu kau anak yang amat manis. Ia sangat
menyayangimu dan tidak senang ketika harus berpisah denganmu."
"Ia bukan ayah kandungku."
"Aku tahu. Tetapi ia mengasihimu seperti anak kandungnya."
Gadis kecil itu menggigit bibir dan Caroline merasa sesaat
jantungnya berhenti berdebar karena melihat gadis itu seperti mau
menangis. "Rink akan datang ke sini be‐berapa minggu lagi untuk
menghadiri Fesrival musim gugur. Bagaimana kalau kau datang dan
menemuinya?"
Alyssa mengangkat bahu. "Mungkin. Aku si‐buk."
"Oh, begitu. Aku pikir Rink akan gembira sekali bila bisa
berjumpa denganmu. Ibumulah yang mengacaukan semuanya."
Tanpa menjawab, Alyssa melirik ke arah teman‐temannya di
belakang, yang menantinya dengan tidak sabar. "Maaf, aku harus
pergi."
"Aku senang bisa berkenalan denganmu, Alyssa. Tolong
pertimbangkan untuk menjengukku."
"Ya, baik."
Caroline memandang gadis yang menyusuri trotoar itu. Anak
yang malang. Namun perasaan Caroline lebih ringan ketimbang
minggu‐minggu sebelumnya.
"Kau bangga pada diriku, Steve?"
"Aku selalu bangga padamu."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Laura Jane dan suami yang baru dinikahinya dua bulan yang lalu
itu berbaring di ranjang berukuran besar di ruangan yang dulunya
suite Roscoe. Kamar‐kamarnya hampir tidak bisa di‐kenali lagi.
Caroline mengubahnya sebagai hadiah pernikahan. Kertas
dindingnya sudah diganti te‐tapi arsitekturnya tak diubah. Tirai
jendelanya baru, handuk dan peralatan kamar mandi, perma‐dani
yang terhampar di lantai, juga baru. Sofa panjang dan kursi santai
berikut meja untuk minum teh menggantikan meja kerja di ruang
duduk.
Laura Jane merapat pada suaminya. Dengan santai jari‐jarinya
mengelus perut Steve. "Tetapi maksudku kau benar‐benar bangga
karena aku sendiri yang membeli barang‐barang itu hari ini. Aku
tidak salah menghitung uang kembaliannya, kan?"
Tangan Steve makin rapat mendekap Laura Jane. Setelah dua
bulan tidur dengannya, ia hampir yakin tidak akan pernah
melepaskan pelukannya. "Kau melakukan segalanya dengan sangat
benar. Aku tahu kau mampu melakukan‐nya."
Steve menemani Laura Jane ke toko makanan. Tetapi ketika ia
meminta istrinya yang mengurus pembayarannya, mata Laura Jane
memancarkan ketakutan. Namun Laura Jane meneliti bon yang
diberikan pelayan kepadanya dan dengan hati‐hati menghitung
jumlah uang yang harus dibayar, kemudian menunggu
kembaliannya. Ketika me‐reka meninggalkan toko itu, mata Laura
Jane berbinar‐binar seperti anak kecil yang baru saja berhasil pada
konser piano pertamanya.
"Aku takut mencoba. Aku ingat Rink dulu sering mengajakku ke
kota. Ia ingin mengajari aku melakukan segalanya sendiri, tetapi aku
selaJu takut salah dan ia kecewa padaku. Aku bahkan tidak ingin
mencoba."
Steve mengubah posisi kepalanya di bantal sehingga ia bisa
melihat Laura Jane. "Kau tidak takut mengecewakan aku?" goda
Steve dan istri‐nya menyembunyikan wajahnya di lekuk bahu Steve.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Sama sekali tidak. Aku ingin menyenangkan‐mu lebih dari siapa
pun. Karena itulah aku ingin mencobanya, dan melakukannya sebaik
mungkin. Aku tahu aku tidak sepintar orang‐orang. Aku tidak ingin
kau menyesal menikah denganku."
Steve berbaring menyamping dan memeluk Laura Jane.
"Sayangku," bisiknya di antara rambut wanita itu. "Bagaimana
mungkin aku menyesal menikah denganmu? Aku selalu cinta
padamu, apa pun yang kaulakukan, atau tidak kaulakukan. Kau tidak
perlu mengejar cintaku, Laura Jane, kau sudah mendapatkannya.
Untuk selamanya."
"Steve," bisik Laura Jane sambil mengelus dada suaminya. "Aku
sangat mencintaimu." Sam‐bil duduk, Laura Jane melepas gaun
tidurnya lewat kepala dan melemparkannya ke kaki ranjang.
Sikap Laura Jarre yang polos itu membuat Steve makin
menyayanginya. Ia seperti anak‐anak jika menyangkut soal
ketelanjangan. Karena jiwanya masih polos, ia merasa tidak ada
yang perlu ditutupi pada tubuhnya. Seperti Hawa sebelum makan
buah kuldi di taman Surga, hatinya terbebas dari prasangka dan
takut. Sikap spontan itu makin menyenangkan suaminya, dan Steve
malu mengingat bagaimana ia menikmati kepolosan sikap Laura
Jane.
Laura Jane mengajarkan sesuatu pada Steve soal tubuhnya. Dulu
Steve tak suka melihat kakinya, semenjak ia kehilangan salah
satunya. Ia benci kakinya. Yang mengejutkannya, Laura Jane justru
menyayangi tubuhnya. Ia selalu men‐cari‐cari alasan untuk
menyentuhnya. Tangan istrinya yang halus bak porselen itu terasa
seperti menyalurkan kekuatan yang menyembuhkan pada kaki
kirinya. Laura Jane menggetarkan jiwanya dengan sikap ingin
tahunya, dan membangkitkan gairahnya menuju puncak hasrat yang
belum pernah dirasakannya. Setiap belaiannya merupa‐kan
ungkapan cinta yang tulus pada Steve. Selama hidupnya, belum
pernah Steve diperhati‐kan orang lain seperti itu.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Kini, sambil tersenyum manis, Laura Jane berbaring di samping
Steve dan meletakkan tangannya yang kurus di pinggang pria itu.
Steve mempermainkan rambut Laura Jane yang panjang dan
menciumnya. Tak lama kemudian mereka saling membelai. Steve
mengelus punggung Laura Jane ketika wanita itu menindih
tubuhnya. Laura Jane meletakkan telapak tangannya di pipi Steve
dan berulang‐ulang menciuminya. Lidahnya yang seperti lidah anak
kucing menggelitik telinga Steve, keterampilan baru yang didapat
Laura Jane dari Steve.
Laura Jane agak menurunkan tubuhnya dan mencium leher dan
dada Steve. Steve hampir terlompat dari ranjang.
"Laura Jane," desah Steve.
"Hmmm?" gumam istrinya, tidak mau ber‐henti. "Ketika kau
melakukan hal ini padaku, rasanya nikmat. Apakah kau tidak merasa
nikmat juga diperlakukan begini? Kalau tidak enak, aku akan
berhenti."
Tangan Steve mengelus rambut Laura Jane. "Jangan, jangan
berhenti," jawab Steve tergagap.
"Jangan sampai...." Steve membetulkan posisi tubuh istrinya di
atas tubuhnya dan dengan gerakan perlahan tapi menyenangkan
Steve menyatukan tubuh mereka.
Sambil bertopang pada rangan, Laura Jane memajukan tubuhnya
dan menyentuhkan salah satu payudaranya ke bibir Steve. Steve
menciumi‐nya sampai kemerahan. Lidahnya beraksi. Wanita itu
mendesah.
Hasrat dalam tubuh mereka menggelegak sam‐pai akhirnya
Steve memegangi pinggul Laura Jane dan bergerak. Laura Jane
membenamkan kepala Steve ke payudaranya yang kecil sementara
tubuh mereka sama‐sama bergetar. Lama sesudah itu mereka tetap
berpelukan. Kemudian dengan lembut Laura Jane mencium dahi
suaminya dan berbaring di sampingnya.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Aku bahagia kau mengajariku cara bercinta," kata Laura Jane.
Steve tertawa. "Begitu juga aku."
"Moga‐moga semua orang di dunia ini sebahagia kita."
"Aku rasa tidak mungkin. Tak ada orang yang sebahagia aku."
Steve mendaratkan ciuman mesra di bibir istrinya.
"Aku berharap Caroline bisa bahagia. Sejak Rink pergi, ia
kelihatan tidak pernah gembira." Persepsi Laura Jane yang seperti
itu seharusnya mengejutkan Steve, tapi ternyata tidak. Steve
merasa kadang‐kadang istrinya jauh lebih peka daripada orang lain.
"Apa kaupikir ia merindukan Rink?"
"Ya, kurasa begitu, Sayang."
"Aku juga." Sejenak Laura Jane terdiam dan Steve mengira
wanita itu tertidur. Kemudian Laura Jane berkata, "Aku khawatir
Caroline akan meninggal seperti Daddy."
Steve memegang dagu istrinya dan menaikkan‐nya. "Apa
maksudmu?"
"Caroline sakit."
"Ia tidak sakit. Dan ia tidak akan mening‐gal."
"Daddy sering mengelus perut ketika mengira tak ada yang
melihat. Atau ia memejamkan mata seperti merasa ada yang sakit di
bagian tubuhnya."
"Apa hubungannya dengan Caroline?"
"Ia melakukan hal yang sama. Kemarin malam, ketika pulang dari
pemintalan, aku memerhati‐kannya dari teras. Ia menggantung
jaketnya dan menaiki dua anak rangga pertama. Kemudian ia
berhenti dan bersandar pada pegangan tangga. Ia memegang
kepala lama sekali. Kelihatannya ia seperti sesak napas. Aku baru
ingin mendekati dan menolongnya tetapi ia kembali tegak. Ke‐
lihatannya ia harus bersusah payah sampai ke atas."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Terdorong perasaan peduli atas apa yang di‐lihatnya, Laura Jane
membungkuk. "Steve, Caroline belum akan meninggal dunia,
bukan?"
"Tidak, tidak, pasti tidak," sahut Steve, me‐yakinkan Laura Jane
dan mengelus‐elus rambut‐nya. "Ia mungkin hanya letih saja."
"Aku berharap begitu. Aku tidak ingin ada yang meninggal lagi
sampai aku meninggal. Ter‐utama kau," kata Laura Jane sambil
mendekap Steve erat‐erat. "Jangan meninggal, Steve."
Steve balas mendekap erat Laura Jane. Ia merasakan napas
istrinya yang lembut menyentuh kulitnya dan tahu Laura Jane
tertidur. Ditutupi‐nya tubuh wanita itu dengan selimut lalu di‐
peluknya sekali lagi. Tetapi Steve tidak bisa tidur. Pikirannya
menerawang di kegelapan ka‐mar, dahinya berkerut. Ia juga
mengkhawatirkan Caroline. Apalagi mengingat apa yang baru saja
disampaikan Laura Jane padanya, perasaannya jadi makin khawatir.
Bab 14
FESTIVAL Musim Gugur ternyata diberkati— cuaca cerah. Acara
pembukaan dilakukan di pagi hari yang ceria. Caroline memutuskan
me‐makai setelan jas barunya. Udara akan agak dingin.
Setelah. mengetuk pintu kamar Caroline per‐lahan, Haney masuk
membawa baki. "Aku tidak suka mengganggumu. Kau harus tidur
lebih ba‐nyak. Tetapi aku tahu kau pasti jengkel padaku bila
membiarkan kau tidur terus."
"Terima kasih, Haney." Di atas baki itu ter‐hidang seteko teh,
minuman yang dipilih Caro‐line belakangan ini ketimbang kopi,
segelas jus jeruk, dan dua potong kue muffin. "Aku tidak tidur.
Hanya berbaring, bermalas‐malasan."
"Itu pun baik untuk tubuh sekali‐sekali. Ter‐utama hari ini, yang
akan banyak menguras tenagamu. Mau kupijat? Atau kusiapkan air
mandi?"
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Aku sudah menyiapkan pakaian," kata Caro‐line, sambil duduk
di kursi di samping meja tempat Haney meletakkan baki. Caroline
me‐nuangkan teh ke cangkir. "Barangkali enak juga mandi pakai air
panas. Udara di luar dingin."
Haney ke kamar mandi, sambil terus mengo‐ceh soal acara yang
akan dilangsungkan akhir pekan ini. Caroline hampir tak
mendengarkannya ketika menyeruput teh. "Airnya sudah siap.
Kenapa kau tidak memakan muffin‐nya?"
"Aku tidak lapar." Setiap kali membayangkan berdiri di hadapan
orang banyak untuk menerima penghargaan itu, Caroline langsung
mulas. Andai ia melahap makanan dalam keadaan begitu, akan
sangat berbahaya.
Haney mengamati Caroline yang bangkit dari duduk dan berjalan
ke lemari untuk mengambil jubah mandi berbahan handuk. Di balik
gaun tidurnya, Haney melihat berat badan Caroline banyak
bgrkurang. Tubuhnya yang dulu ram‐ping kini hanya tinggal tulang
dibalut kulit, menurut Haney. "Apakah ia akan hadir?" Haney
membungkuk, merapikan seprai tempat tidur Caroline.
"Siapa?" Haney memandang Caroline dengan sorot mata yang
membuat Caroline merasa malu, membuatnya menunduk dan
menjawab, "Ah, entahlah." Caroline masuk ke kamar mandi dan
mengunci pintunya, menutup pembicaraan yang menyinggung soal
Rink.
Sejam kemudian, saat Caroline menuruni tang‐ga, Steve bersiul.
Laura Jane bertepuk tangan.
Wajah Haney memancarkan ekspresi prihatin bercampur
bangga.
"Wow, luar biasa!" puji Steve.
Caroline tertawa dan ketiga orang yang me‐merhatikannya
memandangnya dengan penuh kagum sambil berseru‐seru. Caroline
jarang sekali tertawa belakangan ini. "Bagaimana kelihatan‐nya?"
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Kau tampak cantik sekali, Caroline," puji Laura Jane
bersemangat. "Oh, kau sangat cantik."
"Ia terlalu kurus," komentar Haney sambil menarik bagian bahu
gaun Caroline.
"Kurasa, kalau mereka ingin membicarakan aku—mereka pasti
akan melakukannya—aku akan membuat diriku jadi bahan
pembicaraan. Di samping itu, aku mewakili warga kota terpilih kota
ini. Aku harus mengenakan pakaian yang pantas."
Caroline memakai setelan warna krem yang terbuat dari wol.
Blusnya abu‐abu muda, mirip warna matanya. Rambutnya dihias
dengan jepitan yang warnanya hampir sama dengan setelan jas‐nya.
Rambutnya disisir agak jatuh di dahi. Riasan wajahnya sederhana,
untuk menyamarkan ling‐karan hitam di bawah mata. Anting‐anting
mu‐tiara menempel di telinganya. Stokingnya kuning gading muda.
Ia mengenakan sepatu berhak rendah dari bahan suede warna
kekuningan dan sarung tangan dengan warna senada.
"Kalian juga kelihatan keren," puji Caroline ketika memerhatikan
mereka dengan bangga. Laura Jane memakai gaun warna biru
muda, terkesan molek seperti boneka. Steve memakai jas yang
dikenakannya waktu pernikahan, dengan dasi kupu‐kupu yang biasa
dikenakan pada acara resmi. Haney juga mengenakan gaun cantik.
"Mobil sudah menunggu," kata Steve, sambil menjulurkan
tangan hendak menggandeng Laura Jane. "Lady Laura Jane, Lady
Caroline." Steve berbalik dan Caroline menggandeng tangan Steve
yang satu lagi. "Haney, ayo," ajak Steve, dan mereka pun pergi
meninggalkan The Retreat.
Auditorium SMU penuh sesak. Tak pernah ge‐dung itu sepadat
hari ini, bahkan saat latihan football sekalipun.
Caroline duduk di podium, diapit anggota‐anggota keluarganya
dan Haney, yang dipaksanya menemaninya walaupun tidak disukai
para pe‐jabat, dan beberapa pejabat tersebut.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Untuk menenangkan perasaan gugup, Caroline mengamati
bendera Amerika di sudut panggung. Gambar bintang‐bintang di
bendera itu tampak seperti agas yang beterbangan di padang yang
biru. Garis‐garisnya seperti gelombang laut. Ben‐dera itu diam.
Caroline merasa mual.
Sekilas ia melempar pandang ke arah hadirin. Yang dilihatnya
hanyalah lautan wajah yang me‐mandangnya penuh rasa ingin tahu.
Caroline mengalihkan pandangan ke tangannya yang ber‐ada di
pangkuannya, ia melihat telapak tangannya mengilap karena
keringat. Jika memakai sarung tangan, tangannya akan kepanasan
meskipun udara saat ini dingin. Ia berusaha menekan rasa mual
yang sudah sampai di tenggorokannya. Ia menyesal tadi mengikat
pita di lehernya terlalu ketat.
Perutnya berbunyi. Mengapa tadi ia tidak makan kue muffin
dulu? Andai tadi ia memakan‐nya, mungkin ia sudah
memuntahkannya seka‐rang. Tetapi sekalipun tidak, ia merasa ingin
muntah. Ia akan mempermalukan dirinya sendiri di hadapan seluruh
penduduk kota.
Mengapa panas sekali udara di sini? Kulitnya terasa lengket. Ia
melihat sekelilingnya. Tak ada yang kelihatan resah. Steve dan Laura
Jane ber‐bisik‐bisik. Haney bertemu teman gerejanya dan asyik
mengobrol. Walikota, melanggar aturan dilarang merokok di dalam
gedung, mengisap cerutu sambil berbicara dengan suara keras pada
hakim wilayah. Bau asap cerutunya membuat perut Caroline makin
seperti teraduk‐aduk.
Waktu pandangannya tertuju pada Walikota, pria itu meminta
maaf pada si hakim karena harus ke belakang panggung. "Well, kita
bisa mulai sekarang. Aku sudah khawatir kau tidak bisa datang, Nak.
Bagaimana kabarmu, Rink?"
Caroline menelan ludah. Ia. bemapas dengan mulut, berusaha
menekan rasa mual. Sekujur tubuhnya sesaat terasa dingin, sesaat
kemudian panas. Telinganya serasa terbakar.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Ia mendengar Rink menyapa orang‐orang di sekeliiing Caroline.
Dengan ekor matanya, Caroline melihat Haney menghampiri Rink
de‐ngan tergesa‐gesa. Rink menghentikan ocehan Haney dengan
mendaratkan ciuman di pipinya. Haney tampak terkesima, wajahnya
merah padam bak gadis remaja, kemudian ia memeluk Rink. Laura
Jane melompat dari kursi dan berlari menghampiri Rink. Steve pun
berdiri lalu kedua laki‐laki itu berjabat tangan.
Kemudian ia melihat pria yang mengenakan celana cokelat itu
melangkah ke arahnya. Ia berdiri tepat di hadapannya. Caroline
dapat me‐rasakan gelombang panas dan energi yang ter‐pancar
keluar dari tubuh Rink. Karena seluruh mata penduduk kota tertuju
ke arah mereka, Caroline hanya tersenyum kecil dan mengangkat
kepala sedikit ketika memandang Rink. "Halo, Rink."
Rink menatapnya dan tampak hanya sesaat berhasil
menyembunyikan perasaan terkejutnya. Ia melihat lingkaran hitam
di mata Caroline. Pipinya tirus. Mukanya pucat. Caroline kelihatan
seperti orang yang tak pernah tidur dan makan.
Tetapi ia kelihatan tetap cantik.
Rink harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk meredam
perasaan ingin mendekap Caroline erat‐erat. Dua bulan terakhir ini
ia sangat tersiksa. Bisa dibilang menit‐menit yang dilaluinya penuh
kepedihan, karena ia tidak bisa mengerjakan apa‐apa, kecuali
memikirkan Caroline, merindukannya.
Persetan dengan temperamennya. Persetan de‐ngan
keangkuhannya. Rink marah gara‐gara dua pemabuk di tempat
minum bicara sembarangan. Ia memuntahkan frustrasinya pada
Caroline. Kali ini Caroline membalas tindakannya. Sikap itu
mengejutkan Rink dan membuatnya makin ma‐rah. Terutama
karena apa yang dikatakan Caroline benar‐benar tepat mengenai
sasaran. Roscoe tidak dapat disalahkan lagi. Ia sendiri yang
menciptakan penderitan ini bagi dirinya, bagi Caroline. Ia pergi
tanpa pamit. Pria dewasa macam apa yang berperilaku demikian?
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Pria yang tengah jatuh cinta?
Ah, memang orang yang tengah jatuh cinta bisa kejam dan gila.
Cinta bisa membuat sese‐orang bertingkah seperti orang tolol.
Bahkan sekalipun menyadari perilakunya seperti orang bodoh tidak
akan mampu mengendalikan dirinya untuk tidak bersikap seperti
orang tolol. Cinta membuat seseorang mampu berjabat tangan de‐
ngan sikap dingin yang mengejutkan dan berkata hambar, "Halo,
Caroline. Kau tampak cantik sekali," padahal yang ingin dilakukan
Rink adalah merangkul wanita itu, meminta maaf, menuntut‐nya
sebagai miliknya, dan tidak ingin siapa pun ada di antara mereka.
Rink duduk di sebelah Caroline. Ujung celana‐nya menyentuh
kaki Caroline, dengan hati‐hati Caroline menggeser kakinya. Rink
melihat Caroline dengan sadar menarik ujung roknya ketika duduk
kaku di panggung. Oh, Tuhan, perempuan ini begitu memesona. Ia
masih ke‐lihatan seperti gadis remaja yang dikenalnya di hutan,
gadis kecil putri keluarga Dawson, yang berjuang mati‐matian untuk
mendapat pengakuan status. Rink merasa sesak karena memendam
cintanya pada Caroline. Ingin ia berteriak pada wanita itu,
"Mengapa kaupedulikan pendapat orang‐orang tentang dirimu?
Statusmu jauh di atas orang‐orang itu."
Yang mengejutkannya kemudian adalah ke‐nyataan bahwa
dirinya tidak berbeda dengan Caroline. Kerinduannya pada Caroline
jauh lebih besar ketimbang memikirkan masa depannya. Namun
saat ini ia harus menerima kenyataan ia harus jauh dari Caroline
demi menjaga reputasinya di mata orang banyak. Caroline pernah
menjadi istri ayahnya. Apakah orang‐orang itu menganggap itu
pernikahan yang normal? Ia lebih tahu dari‐pada mereka. Bahkan
kalaupun tidak....
Rink menoleh ke arah Caroline seketika, mem‐buat Caroline
terkejut karena ia pun tengah menatapnya. Mereka bertemu
pandang.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Diamatinya setiap bagian wajah Caroline. Di‐rekamnya setiap
detail yang ada. Di matanya, Caroline masih secantik saat pertama
kali ia mengenalnya. Bahkan kini seribu kali lebih men‐cintainya
dibandingkan musim panas dua belas tahun yang lalu.
Dan Rink yakin, dengan cintanya yang buta, kalaupun ia tidak
tahu bagaimana situasi per‐nikahan Caroline dengan ayahnya, ia
tetap men‐dambakannya. Ia mencintai Caroline lebih dari‐pada
siapa pun, lebih daripada opini masyarakat yang menganggap
cintanya tidak masuk akal, lebih daripada keinginannya menantang
ayahnya, lebih daripada apa pun, ia sangat mencintai Caroline
Dawson.
"Maka kini kami mohon Mrs. Caroline Lancaster, janda Mr.
Roscoe, untuk naik ke podium."
Mata Rink tertuju ke mikrofon yang ditinggal‐kan Walikota, yang
memanggil Caroline. Ia tidak mendengarkan pidatonya yang
berbunga‐bnga. Jelas Caroline pun tidak mendengarkannya. Ke‐tika
para hadirin bertepuk tangan meriah, Caroline kelihatan terkejut.
Rink melihat Caroline berusaha menenangkan hati dan bangkit
dari duduk dengan anggun. Ia meletakkan tas dan sarung tangannya
di kursi, kemudian berjalan ke podium dengan gaya seo‐rang ratu.
Senyum yang diberikannya kepada Walikota sangat manis dan para
hadirin tampak menyukainya. Rink mengamati wajah setiap orang.
Kau tak perlu cemas. Mereka menerima dirimu.
Caroline menerima penghargaan dengan ta‐ngan yang satu dan
tangan yang lain menjabat tangan Walikota. Pria itu bergeser,
menyerahkan mikrofon pada Caroline. "Andai masih hidup, Roscoe
pasti akan sangat bangga menerima peng‐hargaan Anda sekalian ini.
Saya dan seluruh keluarga menerimanya atas namanya dan mengu‐
capkan terima kasih."
Tak ada basa‐basi dalam pidato Caroline yang singkat. Apa yang
dikatakan Caroline adalah yang sebenarnya. Ia tidak mengulang
pujian yang tadi diucapkan Walikota tentang Roscoe. Ia hanya
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
menerima penghargaan itu mewakili Roscoe. Ia memberi orang‐
orang ini apa yang mereka inginkan, pahlawan yang mereka tunjuk
hari ini. Menurut hemat Rink, semua itu baik.
Kemudian mata Rink beralih kepada Caroline. Mukanya pucat
seputih benda antik yang di‐simpan dalam lemari pajangan di The
Retreat. Caroline berhenti sejenak dan memejamkan mata, seperti
berjuang keras untuk bernapas dan men‐jaga keseimbangan tubuh.
Ia maju selangkah lagi dan terjerembap. Walikota berhasil menyam‐
bar sikunya dan memanggil‐manggil namanya.
Rink melompat dari kursi. Caroline melihat ke arahnya,
mengerjap‐ngerjapkan mata seperti hendak memfokuskan
pandangan pada Rink. Kemudian perlahan‐lahan matanya terpejam,
lututnya menekuk lemas, dan ia pingsan di lantai.
Riuh rendah suara orang‐orang terkejut melihat hal itu dan
bangkit dari duduk. Laura Jane menjerit dan mencengkeram lengan
Steve. Haney berteriak, "Oh, Tuhan!" sambil meletakkan ta‐ngan di
dadanya yang lebar. Mereka yang dekat dengan Caroline berlari
menghampirinya, mengangkatnya dari panggung.
Rink, dipenuhi perasaan cemas yang amat sangat, menyeruak di
antara orang‐orang yang berkerumun, meminta mereka menjauh.
"Tolong, minggir, minggir. Cepat—minggir! Persetan, minggir!"
Akhirnya Rink berhasil berada di dekat Caroline. Ia berlutut dan
memegangi tangan Caroline. Tangan itu terkulai dalam genggaman‐
nya. "Caroline, Caroline. Ya ampun, tolong pang‐gilkan dokter.
Caroline, Sayang. Oh Tuhan, Caroline, bicaralah padaku!"
Rink meloloskan ikatan pita blus Caroline, dan membuka
beberapa kancingnya. Dilepaskan‐nya jas Caroline, yang
menyebabkan masalah. Dilepasnya topi di kepala wanita itu, lalu di‐
lemparkannya. Rambutnya yang hitam digerai. Dengan gerak tangan
terlatih, sigap, lagi cekatan, Rink memukul‐mukul pipi Caroline.
Kelopak mata wanita itu bergerak‐gerak. Rink mendesah lega.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Istirahatlah, Sayang. Ada apa? Kenapa? Tidak, tak usah bicara.
Dokter sudah dipanggil."
"Rink," bisik Caroline sambtl tersenyum. "Rink."
"Kau pingsan, Sayang." Dengan lemah Caroline mengangkat
tangan dan mengelus pipi Rink, membelai rambutnya.
Seperti dikomando, orang‐orang yang berkeru‐mun di sekeliling
mereka serentak menaikkan alis. Terdengar seseorang bergumam,
"Wah, bu‐kan main."
"Kau akan segera sembuh. Pasti. Aku yakin." Rink mengangkat
tangan Caroline dan meletak‐kannya di bibir, lalu menekan telapak
tangannya. Diangkatnya tubuh Caroline ke pangkuannya, hingga
Caroline tidak terbaring di lantai lagi. "Dokter akan segera kemari."
"Aku tak perlu dokter."
"Tak usah banyak bicara. Kau baru saja ping‐san. Karena terlalu
gembira, makanya kau ping‐san. Kau akan...."
"Aku hamil, Rink."
Kata‐kata Caroline yang perlahan itu meng‐hentikan semburan
kata‐kata yang hendak melun‐cur keluar dari bibir Rink. Ia menatap
Caroline tanpa berkata‐kata. Caroline tertawa kecil melihat wajah
Rink yang terkesima. "Itulah penyebabnya. Aku akan punya anak."
Caroline menatap orang‐orang yang berkeru‐mun karena ingin
tahu. Para pemuka masyarakat menyimak informasi tersebut
dengan sangat antu‐sias, yang menyingkap gosip yang mereka
dengar berbulan‐bulan belakangan ini. Mereka inilah yang dulu
menganggap Caroline dan keluarganya rendahan. Kepada mereka
inilah Caroline ber‐usaha menanamkan reputasinya, berjuang men‐
dapatkan pengakuan.
Kini baru Caroline menyadari, bertahun‐tahun ia membuang
waktu untuk memperjuangkan hal yang ternyata tak bermakna.
Matanya kem‐bali tertuju pada Rink. Menatap mata keemasan itu,
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
yang selalu menatapnya dengan mesra, kasih, hasrat dan cinta.
Disentuhkannya pipinya ke pipi Rink, dan berkata, "Aku akan punya
anak darimu, Rink."
Mata Rink berbinar‐binar. Sambil mempererat dekapannya pada
Caroline, ia menunduk dan mendekatkan bibir ke telinga Caroline.
"Aku cinta padamu," bisik Rink. "Aku cinta padamu, Caroline."
Kemudian, secepat angin, Rink menekuk kaki, menggendong
tubuh kekasihnya itu. "Tolong beri kami jalan. Anda dengar, ia
bilang ia hamil. Aku akan membawanya pulang. Walikota, tolong
matikan cerutu Anda. Asap itu membuat saya mual, padahal saya si
calon ayah, bagaimana dengan calon ibu ini? Haney, tolong
ambilkan barang‐barang Caroline di sana, di kursinya. Steve, tolong
bawa mobil ke sini. Laura Jane, kau tidak apa‐apa, kan? Itu baru
adikku yang manis.”
Beberapa saat lamanya Rink memberi perintah, sementara
Caroline bersandar di dadanya dengan nyaman. Rink menyeruak di
antara orang banyak, meyakinkan setiap orang bahwa Caroline baik‐
baik saja, bahwa Caroline pingsan karena luapan emosi
kegembiraan, hawa panas ba‐ngunan, dan sarapan yang kurang.
"Saya akan membawanya pulang sekarang untuk memberinya
makan dan menidurkannya. Saudara‐saudara, sila‐kan teruskan
acara dan selamat bersenang‐senang. Caroline akan baik‐baik saja.
Saya tahu, ibu yang sedang hamil memang sering mengalami hal
ini."
Rink tersenyum pada Caroline, dan seluruh warga kota
menyaksikan mereka meninggalkan gedung. Caroline melingkarkan
tangannya di le‐her Rink.
"Sudah bangun?" Rink memiringkan tubuh dan memberikan
ciuman manis di dahi Caroline.
"Dari tadi kau di sini?" Caroline tertidur dengan tangan
digenggam Rink.
"Setiap detik."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Berapa lama aku tidur?" Caroline menggeliat.
"Beberapa jam. Tidak terlalu lama. Aku malah ingin kau tetap di
ranjang sampai beberapa hari lagi."
Mata Caroline membelalak. "Hanya tidur?"
"Salah satunya," jawab Rink penuh arti dan mendekap Caroline
erat‐erat. Sejenak ia mem‐benamkan wajah di leher Caroline yang
wangi serta lembut, kemudian ia mengangkat kepala untuk
menciumnya.
Bibir Rink menyentuh bibir Caroline dengan lembut. Dengan
lidahnya ia menelusuri garis bibir Caroline. Ketika bibir Caroline agak
mem‐buka, lidahnya segera dimasukkan ke mulut ke‐kasihnya itu.
Caroline melingkarkan tangan di leher Rink, dan menarik tubuh pria
itu lebih rapat ke tubuhnya.
Rink tak kuasa menahan desakan yang sejak beberapa jam yang
lalu ditahannya karena takut membahayakan Caroline. Ia berbaring
di samping wanita itu di ranjang, dan memeluk tubuh Caroline yang
hangat dan masih mengantuk. Bibir mereka saling melumat. Tak
henti‐hentinya mereka tersenyum. Tetapi akhirnya Rink menatap
Caroline dengan wajah serius.
"Tadinya kapan kau akan memberitahu aku soal bayi ini,
Caroline?"
Rink masih berpakaian lengkap, tetapi kancing kemejanya sudah
dibuka. Caroline menyelipkan tangannya ke balik kemeja, mengelus
dadanya yang bidang. "Setelah akhir pekan ini. Bila kau tidak hadir
pada acara Festival Musim Gugur ini, aku akan meneleponmu."
"Begitukah?"
"Bila tidak, Haney yang akan menelepon."
"Ia tahu?"
"Kurasa ia curiga. Dan Steve. Mereka memang tidak mengatakan
apa‐apa, tetapi aku merasa mereka selalu memerhatikan aku."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Bukan aku curiga, tapi aku merasa ada yang tidak beres. Berat
badanmu berkifrang terus." Tangan Rink yang diletakkan di rusuk
pindah ke paha.
"Kata dokterku aku normal saja. Aku memang kurang nafsu
makan. Sedikit saja aku makan, selalu keluar lagi."
"Mengapa kau tidak mengatakannya padaku? Aku tak tahu apa
aku harus memukulmu atau menciummu."
"Menciumku."
Rink mengabulkan permintaan Caroline. Rink mengelus perut
wanita itu. "Ada anakku di dalam sana. Oh Tuhan, mukjizat yang
sangat ind,ah," kata Rink sambil memeluk Caroline. Sekali lagi
diciumnya Caroline dengan lembut dan hasrat menggelora.
Tangan Rink menyelinap ke payudaranya. Ia hanya menyisakan
pakaian dalam ketika mem‐buka pakaian wanita itu dan
menyuruhnya segera berbaring di ranjang begitu mereka tiba di ru‐
mah. Bahan sutra itu terasa hangat karena pan‐caran panas dari
tubuh Caroline. Rink menyen‐tuh payudara Caroline, melepas bra
berenda yang menutupinya. Diciuminya bagian itu. "Caroline,
maukah kau menikah denganku?"
Caroline tersenrak. Bibir Rink dengan panas terus beraksi.
"Bagaimana bisa aku menolak? Kau memintanya dengan begitu
manis."
Rink menindih tubuh Caroline dan me‐megangi wajahnya dengan
dua tangan. "Aku ingin kau tahu sesuatu, yang tidak kusadari sampai
hari ini." Matanya tajam menatap Caroline. "Andaipun kau benar‐
benar menjadi istri Daddy, aku akan tetap mencintaimu dan
menginginkanmu seperti sekarang ini."
Rink melihat mata Caroline berkaca‐kaca. Ia juga melihat air
mata menitik jatuh di pipinya. "Aku cinta padamu." Caroline
memegang kepala Rink dan menekannya ke bawah, minta dicium.
"Ya, aku mau menikah denganmu."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Secepatnya?" desak Rink. "Baru empat bulan Daddy meninggal.
Orang akan menggunjingkan kita."
Caroline menggeraikan rambutnya di bantal dan tertawa.
"Setelah peristiwa pagi ini, ke‐khawatlran seperti itu tak perlu lagi."
Caroline mengelus perutnya dengan penuh kasih sayang. "Kurasa
lebih cepat lebih baik."
"Minggu ini?"
"Besok," bisik Caroline, dan Rink tersenyum. "Apa yang ingin kita
lakukan setelah kita me‐nikah? Di mana kita akan tinggal?"
"Di sini, di The Retreat. Aku harus bolak‐balik, ke Atlanta dan ke
sini untuk bisnisku." "Aku ikut bolak‐balik bersamamu." "Tidak takut
naik pesawat denganku?" "Aku tidak pernah takut melakukan apa
pun bersamamu."
Pernyataan itu mendorong Rink kembaJi men‐daratkan
ciumannya. "Sementara kita tinggal di sini, apa yang akan kita
lakukan, pindah tempat tidur setiap beberapa malam?" goda Rink.
"Bagaimana kalau kita memakai ranjangmu saja, dan kamar ini
kita jadikan kamar anak kita?"
Rink memandang ke sekeliling kamar, kemu‐dian kembali
menatap Caroline dengan penuh kemesraan. "Andai Mama masih
hidup, ia pasti senang sekali."
Bibir mereka kembali saling melumat. "Aku tidak bosan‐bosan
menciummu. Oh, Tuhan, aku sangat merindukanmu."
Dada dengan bulu yang lebat itu menggesek‐gesek dada
Caroline, yang masih basah akibat sentuhan bibirnya. Rink
menggenggam tangan Caroline yang diletakkan di perut bagian
bawah‐nya. Gelora seperti merembes masuk ke perut lalu menuju
paha Caroline, seperti mentega yang meleleh. Sambil menciumi
leher Rink, Caroline bergumam, "Rink, buka pakaianmu."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Brengsek!" maki Rink dan duduk. Pipinya memerah, dan
jantungnya berdebar cepat. "Aku tidak bisa melakukannya sekarang.
Kita harus menunda reuni kita. Aku sudah bilang pada Haney akan
mengajakmu turun makan malam begitu kau bangun."
"Oh, astaga!" Caroline menyibakkan selimut dan menurunkan
kaki dari ranjang. "Baru aku ingat. Kita akan kedatangan tamu saat
makan malam."
"Tamu? Siapa?"
"Kejutan. Tolong ambilkan pakaianku." Caroline segera beranjak
ke meja rias, mengambil sikat dan merapikan rambutnya. "Apakah
aku kelihatan seperti habis...? Kau tahu maksudku."
Dengan cemas Caroline memerhatikan wajah‐nya di cermin
ketika ia menepukkan bedak di bibirnya yang habis diciumi.
Rink memberinya gaun dari bahan wol, pi‐lihan yang diambilnya
dari lemari. Dipeluknya Caroline dari belakang, tangannya
menggenggam payudara kekasihnya. Jari‐jarinya beraksi. "He‐eh.
Kau kelihatan seperti habis... kau tahu."
Rink membenamkan wajah di leher Caroline, tepat di belakang
telinga, dan menciumi bagian yang sensitif itu. Sambil mengerang,
Caroline menarik napas, "Rink, aku tidak akan siap bila kau tidak
berhenti."
"Aku siap." Rink menekankan kejantanannya ke bokong Caroline.
"Aku sudah siap sejak beberapa jam yang lalu. Kau tahu betapa
cantik‐nya dirimu ketika sedang tidur?"
"Kau tahu apa yang kumaksud. Siap untuk makan malam."
"Oh, makan malam. Persetan." Rink pura‐pura menarik napas,
menarik tangannya dan menjauh dari Caroline.
Setelah tenang, mereka turun untuk bergabung dengan Steve
dan Laura Jane di teras. Tanpa bertanya, Steve menuangkan
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
minuman bourbon campur air untuk Rink yang mendudukkan
Caroline di sofa dengan sangat hati‐hati.
"Terima kasih," kata Rink sambil menerima gelas minuman. Ia
menatap adik iparnya dan tersenyum. Andai masih ada keraguan
dalam hati Rink tentang pernikahan Laura Jane, yang ia perlu ia
lakukan hanya memandang Laura Jane dan Steve. Kebahagiaan
terpancar di wajah Laura Jane seperti lampu mercusuar yang me‐
mancarkan sinar terang benderang di lautan pada malam hari. Steve
rileks, tidak lagi tegang dan defensif. Ia sudah merencanakan
beberapa peru‐bahan untuk kandang kuda yang sangat produk‐tif.
Ia berbicara dengan Rink pada posisi yang sederajat sekarang.
Kedua pria itu makin saling mengenal dan saling menyukai.
Ketika bel rumah berbunyi, Caroline, membuat Rink cemas,
melompat dan lari ke teras. "Aku yang buka. Nikmati saja minuman
ka‐Jian."
"Bagaimana ia menyuruhku menikmati mi‐numan sementara ia
melompat‐lompat seperti kelinci?' tanya Rink. "Ia seharusnya
berhati‐hati selama beberapa bulan pertama ini, bukan?"
"Aku rasanya tidak percaya Caroline akan punya anak," kata
Laura Jane kepada kakak laki‐lakinya.
"Yang aku tidak percaya adalah aku orang yang terakhir
mengetahui hal itu," sahut Rink sambil menatap Steve dengan
tatapan menyelidik.
"Mengapa kau tidak meneleponku dan memberi isyarat?"
Steve mengangkat bahu tanpa rasa bersalah. "Itu bukan
kewajibanku."
Rink mengernyit. Ia ingin mengatakan sesuatu tetapi terdiam
karena kemunculan Caroline di ambang pintu. "Rink, ada yang ingin
bertemu denganmu."
Gadis remaja itu menatap ke sekeliling ruangan yang asing
baginya dengan sorot mata gugup. Ia menggigit‐gigit bibir. Yang
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
membuat Caroline lega, ia tidak memoles bibirnya dengan lipstik
mencolok. Ia juga tidak memakai anting‐anting berbentuk jepitan
kertas di telinga, dan tata riasnya tidak semencolok waktu itu.
Pakaian‐nya sederhana. Rambutnya masih memakai jeli, tetapi
disisir ke belakang seperti model.
"Caroline bilang aku boleh datang ke sini," kata Alyssa defensif,
sambil menoleh ke arah Caroline. "Aku sudah bilang padanya
mungkin kau tidak ingat aku lagi, tetapi ia bilang kau tetap ingat,
jadi...."
Caroline melihat perubahan air muka Rink, dari heran, terkejut,
lalu gembira. Ia meng‐gumamkan nama gadis remaja itu,
mengulanginya, makin lama makin keras. Rink merentangkan
tangan ketika berada di dekatnya. Tetapi ia tidak ingin membuat
gadis remaja tersebut takut. Sesaat ia berhenti dengan tangan tetap
direntangkan.
383
Caroline mengamati Alyssa, yang datang ke The Retreat naik
taksi. Ia melihat bibir gadis remaja itu bergetar, matanya berkaca‐
kaca. Alyssa berusaha keras menahan air matanya agar tidak
menitik, tetapi gagal. Sisa ketegarannya tak ber‐tahan lagi, ia lari
menghambur ke dalam pelukan Rink, menggosok‐gosokkan wajah di
dada Rink dan memeluk pinggang pria itu.
"Ia tidak terlalu buruk."
Mereka ada di kamar tidur Caroline, berganti pakaian hendak
tidur.
"Sama sekali tidak. Hanya salah didik. Perlu diperbaiki. Aku tidak
yakin ia pernah mendapat pendidikan. Seharusnya kau lihat ia ketika
aku berkenalan dengannya. Ia kelihatan seperti wajah yang ada di
film‐film horor."
"Sudah berapa lama kalian bersahabat?" Rink duduk di ranjang
sambil membuka sepatu dan kaus kaki.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Beberapa minggu. Kami berjumpa dua kali di kota untuk minum
milkshake. Aku mengun‐dangnya ke sini malam ini untuk makan
malam dengan kemungkinan kau masih di sini." Caroline
membalikkan badan. "Aku gembira kau masih di sini," katanya
lembut.
"Aku juga,” jawab Rink. "Kau memberi aku alasan lagi untuk
mencintaimu. Terima kasih, Caroline."
"Terima kasih kembali." Letupan emosi yang memenuhi hatinya
membuat suara Caroline pa‐rau seperti suara Rink.
"Kau lihat air mukanya ketika kita mengajak‐nya ke Pekan Raya
besok? Kurang ajar si jalang Marilee itu. Aku yakin ia tidak pernah
membawa anak itu ke mana‐mana."
"Kau memberi pengaruh baik padanya."
"Tidak sebanding dengan kebaikanmu. Aku ingin kita
bersamanya sesering mungkin."
"Aku juga begitu. Namun kau yakin ingin pergi ke Pekan Raya itu
besok?"
"Mengapa tidak?" tanya Rink, sambil melepas celana.
Caroline menatap cermin dan dengan malas‐malasan menepis
rambutnya ke belakang. "Seluruh warga kota akan ada di sana.
Setelah peris‐tiwa hari ini...."
Caroline tidak sempat menyelesaikan per‐kataannya. Rink datang
ke belakangnya, mem‐balik tubuhnya, dan menciuminya. Akhirnya
ia mengangkat kepala. "Aku akan membawamu berkeliling di Pekan
Raya. Kita akan menyapa setiap orang yang kita temui. Dan aku
akan mengatakan kepada setiap orang, siapa pun yang ingin tahu
dan tidak ingin tahu, betapa aku sangat mencintaimu dan tidak
sabar untuk me‐lihat anakku."
Caroline meletakkan dahinya di dada Rink. "Aku sangat
mencintaimu. Kau sangat baik."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Kau juga sangat baik," bisik Rink, sambil menjauhkan tubuhnya
dengan lembut. Matanya menatap seluruh tubuh Caroline penuh
hasrat. Baju tidur yang menampakkan lekuk tubuh Caroline sangat
menggairahkannya, menonjolkan payudara, pangkal pahanya. "Kau
cantik sekali, Caroline."
Rink mengelus seluruh tubuh Caroline yang terbalut satin, lalu
perlahan‐lahan menurunkan‐nya dengan gerakan tangan yang
piawai. Payu‐dara Caroline bereaksi ketika jemari Rink rerus
bergerak. Punggung tangannya mengelus pahanya, membuat
Caroline menggelinjang.
Caroline tahu, sejenak lagi ia akan lupa diri. "Rink, tunggu."
Tangan Rink terentang, ibu jarinya mengelus‐elus. "Aku... aku punya
sesuatu untuk kuberikan padamu."
"Aku juga punya sesuatu yang ingin kuberikan padamu," gumam
Rink sambil membenamkan kepala. Lidahnya ikut beraksi,
sementara ibu jarinya meraba‐raba dan menemukan yang dicari.
"Apakah pemberianmu bisa menunggu?"
"Aku... aku kira... begitu."
"Aku tidak," kata Rink sambil mengambil tangan Caroline dan
meletakkannya di kejan‐tanannya.
Rink mengaitkan jarinya pada celana dalam Caroline dan
menariknya ke bawah sehingga Caroline bisa melepaskannya.
Caroline berdiri di hadapan Rink dalam keadaan telanjang bulat.
Rink menggendongnya ke ranjang. Caroline berbaring, Rink
membuka celana dalamnya dan menindihkan tubuhnya yang juga
tanpa selembar pakaian pun di atas tubuh Caroline.
Ia berlutut di antara paha Caroline. "Aku cinta padamu. Aku
selalu mencintaimu, Caroline. Dulu aku mengumpat datangnya hari
baru. Ka‐rena aku terbangun dengan pikiran melayang padamu,
mencari dirimu, memikirkan apa yang kaulakukan, kauinginkan,
ingin sekali melihat wajahmu. Kini aku menantikan datangnya hari
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
baru, karena aku bangun tidur untuk mencintai‐mu dan tahu kau
pun mencintaiku."
Rink menyentuh perut Caroline dengan bibir‐nya. Ia yakin
bayinya tidur dengan aman di dalam perut perempuan yang sangat
dicintainya itu. Caroline meletakkan tangannya di kepala laki‐laki
yang dicintainya dengan takjub karena ternyata hidup
menganugerahkan kebahagiaan sedemikian rupa. Hasrat dan cinta
saling bertaut, menerpa tubuh Caroline seperti angin sepoi‐sepoi.
Dengan tangan yang masih mengelus payudara Caroline, Rink
menunduk, mencium tubuh Caroline. Ia tidak ingin menahan diri
lebih lama lagi, ia ingin memberikan segalanya.
"Tidak akan melukai bayinya?' Rink menaikkan tubuhnya ke atas
tubuh Caroline dan menyatukan diri mereka.
"Ya."
Rink menguasai Caroline dengan perasaan yang meluap‐luap,
penuh cinta dan kasih sayang. Pinggulnya bergerak berirama.
Caroline men‐dekap Rink erat‐erat. Mereka saling memberi dan
menerima sebagai ungkapan cinta mereka yang membara. Setelah
mencapai puncak, mereka menikmatinya berbarengan, bersama
berpacu me‐raih puncak surga dunia sambil berpelukan.
Beberapa saat kemudian, selagi mengeringkan tubuh sesudah
mandi, Caroline berkata, "Kau tidak memberiku kesempatan untuk
memberikan hadiahku padamu."
"Maksudmu, mau tambah lagi?" Sambil meng‐goda Rink
menepuk bokong Caroline yang naik ke ranjang. "Aku tidak mampu
memberikan yang lebih istimewa daripada apa yang barusan
kuberikan padamu."
"Ini serius." Caroline beranjak ke lemari antik dan membuka
lacinya. Dari dalam laci ia me‐ngeluarkan gulungan kertas.
Diberikannya gu‐lungan kertas itu kepada Rink, lalu ia berdiri di
jendela, membelakangi Rink.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Bulan purnama memancarkan sinar keperakan di permukaan
rumput yang terhampar luas. Su‐ngai yang berkelok‐kelok di antara
pepohonan di kejauhan tampak seperti pita yang berkilauan.
Caroline sangat mencintai tempat ini. Tetapi ia jauh lebih mencintai
laki‐laki yang menempati tempat ini.
Caroline mendengar suara gemeresik kertas. Ia tahu Rink sedang
membaca tulisan yang berisi keputusan The Retreat dialihkan
menjadi miliknya. Suara langkah kaki Rink yang men‐dekati Caroline
diredam ketebalan permadani di sekelilingnya.
"Aku tidak bisa menerima ini, Caroline. The Retreat ini milikmu."
Caroline berbalik menghadap Rink. "Tidak pernah akan menjadi
milikku, Rink. Rumah ini senantiasa akan menjadi milikmu. Itulah
sebabnya aku sangat mencintai tempat ini. Tanpa kau di dalamnya,
rumah ini tidak punya arti apa‐apa. Kaulah detak jantungnya.
Sebagaimana arti diri‐mu bagiku."
Caroline mendekati Rink dan meletakkan ta‐ngannya di dada pria
itu. "Karena cintaku pada‐mu, aku memberikan apa yang kurasa
sangat kucintai di dunia ini. Cintailah aku, tinggalkan keangkuhan
dirimu, cintai aku apa adanya."
Rink menatap Caroline beberapa saat, kemu‐dian menatap
kertas di tangannya. Digulungnya kertas itu dengan hati‐hati, dan
disimpannya di lemari. "Aku terima dengan satu syarat. Bahwa kau
bersedia tinggal di The Retreat ini bersamaku seumur hidupmu. Kau
berjanji kita akan selalu saling mencintai di sini dan punya anak di
sini. Kita tidak akan pernah membiarkan kepedihan hidup yang
pernah menimpa diri kita terjadi lagi."
Caroline tersenyum bahagia. "Aku berjanji."
Rink menciumnya sebagai tanda sumpah setia. Kemudian ia
memeluk Caroline dan menggen‐dongnya kembali ke tempat tidur
mereka.
0o0‐dewikz‐0o0
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Dewi KZ & Titi Zhu