Tiraikasih website http://kangzusi.com
Roscoe yang memilih bersikap seperti itu selama hari‐hari terakhir
mereka ber‐sama. "Sudahlah, Roscoe. Tak usah marah‐marah:
Haney memetik bunga mawar dari taman untuk‐mu."
Roscoe mendengus menyetujui bertemu Haney, pengurus rumah
tangganya. "Laura Jane tidak perlu datang ke sini. Tempat ini pasti
sangat menakutkan anak bodoh itu. Apakah ia tahu aku tidak akan
pulang ke rumah lagi?"
Caroline membuang pandang, menghindari ta‐tapan mata
Roscoe yang tajam menembus. "Ya. Aku memberitahu dia kemarin."
"Apa katanya?" :
"Ia bilang kau akan pergi ke surga dan bersama‐sama Marlena."
Roscoe tertawa sampai sakit kembali menye‐rangnya. "Hmmm,
hanya orang tolol yang berpikir demikian."
Kata‐kata yang diucapkan Roscoe sungguh menyinggung
perasaan Caroline, tetapi ia berusaha tetap tenang. Hampir tak
pernah ia mendebat Roscoe tentang apa pun, bahkan termasuk cara
Roscoe menyelesaikan masalah. "Boleh ku ajak mereka masuk?"
"Ya, ya," jawab Roscoe, sambil melambaikan tangan dengan
gerakan lemah. "Lebih baik kita. segera menyelesaikannya."
"Ada seorang lagi, Roscoe."
Suara Caroline yang tenang membuat mata Roscoe kembali
menatapnya nanar. Roscoe me‐mandang Caroline dengan tatapan
mata tajam,, menyelidik, membuat Caroline merasa tidak enak.
"Rink? Rink yang datang?"
Caroline mengangguk. "Begitu Granger me‐. neleponnya." ∙
"Bagus, bagus, aku ingin berjumpa putraku, untuk
menyampaikan beberapa hal padanya se‐belum ajalku tiba."
Hati Caroline dipenuhi perasaan gembira. Ini‐lah saat bagi kedua
laki‐laki keras kepala itu untuk menyelesaikan pertengkaran di
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
antara me‐reka. Cepat‐cepat Caroline berjalan ke pintu; tidak
sempat menangkap sorot mata dingin dan licik yang terpancar dari
mata Roscoe ketika melihat Caroline melangkah keluar dari kamar‐
nya.
Laura Jane yang pertama kali masuk ke kamar. Ia lari
menghambur ke ranjang dan melingkarkan tangan di leher ayahnya,
memeluknya erat‐erat. "Aku rindu Daddy pulang ke rumah,"
katanya. "Kita punya seekor anak kuda. Cantik sekali."
"Hmmm, baguslah, Laura Jane," jawab Roscoe, lalu dengan
lembut mendorong badan Laura Jane menjauh darinya. Caroline
mengamati, ber‐harap sekali saat itu Roscoe membalas luapan
sayang spontan yang diperlihatkan putrinya kepadanya. "Memetik
bunga mawar, kulihat," Roscoe menggumam dengan nada marah
sambil melirik pengurus rumah tangganya dengan alis berkerut.
Haney kerap jadi sasaran kemarahan Roscoe selama bertahun‐
tahun. Ia tidak akan termakan kata‐kata Roscoe sekarang. "Ya. Ini
hanya se‐bagian dari mawar yang ada. Yang lainnya di‐letakkan di
ruang makan."
Roscoe mengagumi keberanian Haney. Sudah tiga puluh tahun
mereka perang dingin, dan Roscoe menganggap Haney sebagai
lawan yang seimbang baginya. "Persetan dengan bunga‐bunga itu.
Kau tidak bawa makanan untukku?"
"Kau tahu, kau tidak boleh menyantap ma‐kanan yang bukan
berasal dari rumah sakit."
"Apa bedanya?" teriak Roscoe. "Hah? Coba jawab."
Roscoe menatap perempuan‐perempuan itu se‐orang demi
seorang dengan tatapan marah, baru kemudian memalingkan
kepala ke arah putranya dengan sorot mata berapi‐api. Beberapa
saat kedua pria itu saling menatap. Tak ada yang bergerak. Akhirnya
dada Roscoe bergerak per‐lahan, memperdengarkan suara tawa
rendah, de‐ngan nada yang agak parau. "Masih marah padaku,
Rink?"
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Aku sudah melupakan kemarahan itu beberapa tahun yang lalu,
Sir."
"Itukah sebabnya kau pulang kembali? Berdamai dengan orang
tua ini sebelum ia meninggal. Atau ingin menghadiri pembacaan
surat wasiatnya?"
"Aku tidak punya kepentingan dengan surat wasiat itu."
Dengan bijaksana Haney maju selangkah. Ia kbawatir pertemuan
ini berubah menjadi tidak menyenangkan. "Aku akan mengajak
Laura Jane pulang sekarang. Laura Jane, cium Daddy, ayo kita
pulang." Gadis itu dengan patuh melakukan apa yang diperintahkan
Haney.
Roscoe tidak memedulikan kepergian mereb. Matanya tetap
tertuju pada putranya. Caroline dibiarkan sendirian bersama dua
generasi Lancaster yang hidup terpisah selama bertahun‐tahun itu.
"Kau tampak tampan, Rink," kata Roscoe menganalisis. "Keras
dan licik juga. Kelicikanmu tidak kelihatan di foto‐foto penuh
senyum yang muncul di surat kabar, tetapi aku melihatnya."
"Aku punya guru yang hebat." Tawa yang sama, tawa yang
penuh kelicikan, kembali menggema di dalam ruangan. "Kau benar
sekali, sonny, kau memang punya guru yang hebat. Satu‐satunya
orang yang tahu cara bertahan hidup di dunia ini. Bersikap licik ter‐
hadap setiap orang dan tak seorang pun bisa mengalahkanmu."
Roscoe memberi isyarat dengan sikap tidak sabar, "Kalian berdua,
duduk."
"Aku lebih suka berdiri, terima kasih," jawab Rink. Caroline
duduk di bangku yang tersedia. Tak pernah ia melihat air muka
Roscoe semasam itu. Pantas saja Rink terpaksa meninggalkan ru‐
mah. Ia tahu persaingan di antara mereka, tetapi tak terbayangkan
situasinya seperti ini.
"Dari berita‐berita yang kubaca, perusahaan penerbanganmu
membuatmu kaya raya."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Rekanku dan aku sejak semula melihat pe‐luang untuk Air
Dbcie. Sampai saat ini kami memang sudah melampaui target."
"Kau punya filosofi bagus. Mengangkut pe‐numpang,
menurunkan penumpang, tarif rendah, pesawat tak pernah berhenti
terbang. Kau meraup untung sementara penerbangan lain tak
sanggup bertahan di bisnis penerbangan." Andaipun Rink terkejut
mendengar ternyata ayahnya mengikuti kesuksesan perusahan
pener‐bangannya, ia tidak memperlihatkannya. "Seperti yang
kukatakan, kami senang dengan kesuksesan ltu.
Perawat masuk ruangan dengan membawa baki berisi jarum
suntik. "Saya ingin menyuntikkan obat penghilang rasa sakit, Mr.
Lancaster."
"Suntikkan saja jarum itu ke bokongmu sen‐diri, jangan ganggu
bokongku," teriak Roscoe pada si perawat.
"Roscoe," ujar Caroline, terkejut dengan ke‐kasarannya.
"Dokter yang memerintahkannya, Mr. Lancaster," jawab perawat
itu tegas.
"Aku tak peduli omong kosong dokter. Ini hidupku, hanya ini
yang kumiliki, dan aku tidak ingin mendapat suntikan penghilang
rasa sakit. Aku ingin merasakan segalanya. Mengerti? Sekarang,
cepat keluar dari sini."
Si perawat mengatupkan bibir, menunjukkan sikap tidak setuju,
tetapi ia keluar juga dari kamar.
"Roscoe, ia hanya melakukan...."
"Tak usah mengatur‐atur aku, Caroline!" Tak pernah Roscoe
bicara dengan nada seperti itu pada Caroline sebelumnya. Caroline
segera mun‐dur, seperti habis. ditampar. Ia diam, mengatup‐kan
bibir. "Jika yang kudapat darimu hanyalah perasaan iba yang
menyebalkan, kau tak usah datang lagi."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Sambil menarik napas panjang, Caroline me‐nyambar tas lalu
meninggalkan kamar dengan sikap penuh wibawa. Begitu pintu
kamar tertutup kembali, Rink berbalik ke arah ayahnya.
"Kau memang manusia brengsek." Mata Rink yang keemasan
tampak berapi‐api. Setiap otot di tubuhnya yang atletis menegang
karena me‐nahan marah. "Kau tidak berhak bicara padanya seperti
itu, aku tak peduli betapa parah sakitmu."
Roscoe tertawa geli, suara tawanya seperti tawa iblis, sejahat
ekspresi yang terpancar di wajahnya. "Aku punya hak. Dia istriku.
Ingat?"
Rink mengepalkan tinjunya di paha. Ia tidak tahan untuk tidak
mendengus marah sebelum meninggalkan kamar itu.
Mula‐mula Rink tidak melihat Caroline. Terapi kemudian ia
melihat Caroline di ujung lorong. Ia tersandar di dinding,
memandang jauh ke luar jendela. Rink mendekatinya dari belakang.
Ia mengangkat tangan hendak menyentuhnya, sejenak berhenti
untuk mempertimbangkan tin‐dakannya, tetapi kemudian berpikir,
Persetan, lalu ia pun meletakkan tangannya di pundak Caroline.
Serta merta Caroline bereaksi, diam terpaku.
"Kau tidak apa‐apa?"
Oh, Tuhan, batin Caroline. Mengapa ia mengajukan pertanyaan
itu, dengan suara yang khas tersebut? Nada bertanyanya,
pertanyaan yang diajukan Rink persis seperti yang pernah
diajukannya pada suatu waktu dulu. Kata‐kata yang sama, kalimat
yang sama, kepedulian yang me‐ ' nyentuh perasaan, dengan getar
suara parau yang sama pula. l
Perlahan Caroline menoleh sedikit dan me‐mandang Rink dari
balik pundak. Matanya ber‐kaca‐kaca. Bisa jadi air matanya karena
peng‐hinaan yang dilontarkan suaminya. Namun se‐sungguhnya
bukan karena alasan itu. Air mata Caroline air mata penuh
kenangan. Caroline menatap mata Rink, terlambung ke kenangan
lama, ke masa dulu, ke malam pertama itu....
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Sinar lampu mobil menyorot di belakangnya; Caroline
mempercepat langkah. Ia sebenarnya tidak suka berjalan kaki
sendirian ketika pulang. Memang, ia bisa menunggu ayahnya, tetapi
siapa pun tahu ia tak bisa dipastikan kapan pulang. Selain itu, dalam
kondisinya sekarang, ayahnya juga tidak bisa menolong andai
seseorang menyerangnya.
Caroline serasa hampir mati menanggung malu petang itu ketika
Rink Lancaster tahu ia putri laki‐laki yang terkenal sebagai pemabuk
di kota itu. Rink akan tahu mereka tinggal di rumah reyot; ibunya
menjadi kuli cuci agar ada yang bisa dihidangkan di meja makan dan
mereka mampu membeli pakaian bekas layak pakai dari
langganannya untuk Caroline.
Caroline langsung tahu siapa Rink sebenarnya,
Setiap orang di kota itu kenal keluarga Lancaster. Ia sering
melihat Rink dari kejauhan, ketika pria itu melaju dengan mobil
sport merahnya dengan kecepatan tinggi, atapnya terbuka, me‐
nyebabkan angin mempermainkan rambutnya yang hitam. Biasanya
ada gadis duduk di sebelah‐nya, tangan kirinya tersampir di bahu
Rink. Suara radionya berdentam nyaring. Rink mem‐bunyikan
klakson mobil keras‐keras dan me‐lambaikan tangan pada setiap
orang yang dikenal‐nya, termasuk Sheriff, yang memaklumi pelang‐
garan yang jelas‐jelas dilakukan Rink, yang me‐larikan mobil dengan
kecepatan lebih daripada semestinya. Setiap orang kenal Rink
Lancaster, bintang football, kapten regu basket, juara lari, serta ahli
waris rumah The Retreat dan pabrik pemintalan kapas terbesar di
lima county.
Sosok Rink memenuhi benak Caroline selama jam‐jam kerjanya
di Woolworth. Saat ini Caroline tergesa‐gesa berjalan pulang agar
segera bisa naik ke tempat tidur untuk melamun tentang Rink dan
apa yang dikatakan pria itu padanya hari itu. Tentulah Rink tidak
akan ingat padanya....
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Hai, Caroline." Mobil itu melintas dari bela‐kang Caroline dan
berhenti di sisinya. Dengan takjub Caroline memandang wajah Rink
yang tersenyum padanya sambil memiringkan tubuh ke arah kursi
penumpang di sebelahnya dan membukakan pintu mobil. "Ayo naik.
Aku antar kau ke rumah."
Caroline melihat ke kiri dan kanan, seperti orang yang baru saja
melakukan kesalahan. "Ku‐rasa sebaiknya jangan."
Rink tertawa. "Mengapa?" Karena pria seperti Rink Lancaster
tidak akan mengajak gadis seperti Caroline Dawson ber‐keliling naik
mobil sport, itulah sebabnya. Na‐mun Caroline tidak
mengatakannya. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Debar
jantung‐nya terasa sampai ke tenggorokannya, membuat‐nya tak
mampu berkata‐kata.
"Ayolah, naik," bujuk Rink dengan senyum yang amat
memesona. Caroline pun duduk di jok kulit dan menutup pintu
mobil. Bangku mobil yang empuk itu menghanyutkannya ke alam
kemewahan, dan ia harus berusaha keras menahan
keinginanhatinya mengelus kelembutan jok mobil tersebut. Alat‐alat
di dasbor mobil seperti memancarkan beribu kelip warna‐warni ke
arah Caroline.
"Kau suka milk shake cokelat?" Baru sekali Caroline mencicipinya
selama hidupnya. Ketika ibunya baru gajian dan mereka makan
siang di sebuah kedai di kota, ibunya membelikan milk shake cokelat
untuk mereka nikmati berdua dalam rangka merayakan hari
istimewa itu. "Ya."
"Aku tadi berhenti di Dairy Mart. Kau pilih saja sendiri." Rink
memiringkan kepala ke arah gelas kertas yang terselip di antara
tempat duduk.
Gelas itu tertutup, tetapi sedotannya mencuat dari lubang di
bagian atasnya.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Terima kasih," ujar Caroline malu‐malu. Di‐ambilnya gelas itu
lalu diisapnya isinya melalui sedotan. Rasanya dingin, mantap, dan
enak. Caroline tersenyum senang. Rink balas tersenyum.
Radionya tidak dibunyikan keras‐keras dan atap mobilnya tidak
dibuka. Rink tidak ingin ada yang melihat ia bersama Caroline.
Caroline mengerti dan tidak keberatan. Rink datang men‐
jemputnya; ia membelikannya milk shake cokelat. Itu saja sudah
cukup buat Caroline.
"Bagaimana kerjamu tadi?"
"Aku menjual satu set piring makan."
"Oh ya?"
"Perabot jelek. Kurasa aku tidak bisa makan dengan piring
seperti itu."
Rink tertawa. "Tapi kau kan tidak ingin men‐jual piring seumur
hidupmu?"
"Ya."
"Apa yang ingin kaulakukan?"
Kuliah, jawab Caroline dalam hati dengan perasaan putus asa.
"Entahlah. Aku suka mate‐matika. Aku jadi juara dua tahun
berturut‐turut."
Caroline merasa perlu menunjukkan kelebihan dirinya, bercerita
pada Rink tentang sesuatu yang membuatnya takkan lupa peristiwa
malam ini, karena ia tahu, ia sendiri tidak akan pernah
melupakannya seumur hidup. Dia, Caroline Dawson, berkeliling
dengan mobil Rink Lancaster! Tetapi, apa peduli Rink? Ia bisa
memilih gadis mana pun yang ia suka, gadis yang lebih tua dan lebih
bergaya daripada dirinya. Gadis yang berpakaian lebih. indah dan
suka berkumpul di klub, gadis‐gadis yang ibunya duduk dalam
komite dan naik mobil mewah, gadis‐gadis yang merasa malu bicara
dengan Caroline Dawson.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Matematika, heh? Mungkin aku butuh per‐tolonganmu untuk
mengerjakan tugas akademis‐ku. Aku nyaris tidak lulus kuliah
matematika."
"Apakah kau suka kuliah?"
"Tentu saja. Asyik sekali. Tetapi aku senang sudah keluar."
"Kau sudah lulus?"
"Enam minggu yang lalu."
"Kuliah jurusan apa?"
"Pilihanku antara pertanian atau teknik. Aku merasa cukup
banyak tahu tentang pertanian, karena itu aku memilih teknik."
"Itu akan sangat membantu di pabrik pemin‐talan kapasmu."
"Kurasa begitu." Tanpa menanyakan arah, Rink keluar dari jalan
raya ke jalan kecil yang menuju rumahnya.
"Kau tak perlu mengantarku sampai rumah," kata Caroline cepat‐
cepat.
"Di sini gelap gulita seperti dalam tero‐wongan."
"Aku tidak takut, sungguh. Tolong, berhenti di sini saja."
Tanpa membantah, Rink mengerem mobil. Caroline tidak ingin
Rink mengantarnya sampai ke rumah. Karena kalau ya, ia harus
memberi penjelasan tentang semuanya pada ibunya. Hari ini terlalu
istimewa. Ia tidak ingin berbagi ke‐istimewaan hari ini dengan orang
lain. Ia ter‐utama tidak ingin Rink berjumpa ibunya di rumahnya
yang reyot.
Setelah mesin mobil dimatikan, segalanya jadi senyap. Rink
mematikan lampu mobil dan me‐nurunkan atapnya. Sinar rembulan
yang putih keperakan menimpa wajah mereka. Sementara angin
yang bertiup semilir mempermainkan rambut mereka.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Rink merentangkan tangan ke sandaran tempat duduk Caroline.
Lutut Rink menyentuh lutut Caroline ketika ia berputar hendak
menatap Caroline. Rink tidak menggeserkan lututnya. Caroline
dapat mencium aroma cologne yang dipakai Rink, melihat bayang‐
bayang kumis halus yang tumbuh. Rink bukan anak‐anak lagi, ia laki‐
laki dewasa. Caroline belum pernah berken‐can, belum pernah
berduaan saja dengan pria.
Menyadari Rink tak bicara sepatah kata pun, Caroline
melanjutkan menyedot minuman. Rink mengamatinya dengan
saksama. Caroline melihat Rink memerhatikan bibirnya yang
menyedot minuman. Terdengar suara keras ketika akhirnya
minumannya habis. Ia menatap Rink dengan perasaan malu.
Rink tersenyum. "Enak milk sbake‐nya?"
"Enak sekali. Terima kasih." Caroline memberi‐kan gelas
kosongnya kepada Rink, yang lalu menyelipkannya ke bawah
bangku.
Ketika tegak kembali, Rink agak memiringkan tubuh sehingga
wajah mereka berhadapan. Ma‐lam itu percakapan mereka berakhir
karena rasa ingin tahu yang besar. Caroline mengamati Rink dengan
teliti, begitu juga pria itu. Caroline melihat tatapan Rink menjelajahi
seluruh wajah, rambut, leher, dan dadanya, dan hal itu membuat
Caroline merasa tubuhnya panas dan seperti dijalari perasaan
nikmat yang aneh, yang mem‐buat tubuhnya bagai melayang.
Namun ada pe‐rasaan berat yang menggelayuti bagian bawah
tubuhnya. Semacam hawa panas, yang tak pernah dirasakannya
namun terasa nikmat; perasaan ter‐larang tetapi terasa
menyenangkan, perasaan yang kini mulai menjalari pembuluh
nadinya.
Rink meletakkan ibu jarinya di bibir bawah Caroline, menelusuri
bibir bawah itu dengan jarinya yang berkuku terawat rapi. Caroline
me‐rasa seperti akan mati kehabisan napas. Men‐dadak ia merasa
tidak bisa bernapas.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Kau cantik sekali," kata Rink dengan suara parau.
"Terima kasih."
"Berapa usiamu?"
"Lima belas."
"Lima belas." Rink memaki pelan dan me‐malingkan wajah dari
Caroline. Namun, seakan tak mampu mengendalikan dorongan
hatinya, kembali ia memandangi Caroline. "Aku memikir‐kanmu
sepanjang hari sejak bertemu denganmu di hutan itu." Tangannya
mengelus pipi Caroline sekarang, dan ibu jarinya mengelus bibir
bawah‐nya.
"Begitukah?"
"Mmm," Rink bergumam. "Sepanjang petang hanya kau yang ada
dalam benakku."
"Aku juga memikirkanmu."
Pernyataan Caroline kelihatan menyenangkan hati Rink. Ia
tersenyum sambil memiringkan tubuh. "Apa yang kaupikirkan?"
Pipi Caroline memerah, ia merasa lega ke‐gelapan
menyembunyikan wajahnya yang merah padam karena disergap
perasaan malu. Untuk menghindari tatapan Rink, Caroline
mengarahkan pandangannya ke leher Rink, ke bagian yang tak
tertutup kemeja. "Banyak hal," jawab Caroline dengan suara parau,
sambil mengangkat bahu, seakan yang dipikirkannya bukan hal pen‐
ting.
"Banyak hal?" Rink tersenyum. Namun itu hanya sekadar senyum
sekilas, yang tidak mampu mengalihkan tatapannya dari wajah
Caroline. "Apakah kau memikirkan...." Rink tampak men‐cari kata‐
kata yang tepat.
"Bermesraan?" adalah kata yang muncul dalam benak Caroline.
Itu yang dipikirkan anak ingusan ketika kencan, bukan? Bukankah itu
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
yang dibisik‐kan di kelompok gadis sebayanya, yang tidak pernah
mengajaknya bergabung?
Namun ternyata bukan itu yang hendak diucapkan Rink. Ia
berkata, "Apakah kau memikirkan kita... bersama? Mungkin saling
menyentuh?"
"Menyentuh?" ulang Caroline dengan napas sesak.
"Berciuman?"
Bibir Caroline membuka, tetapi tidak sepatah kata pun keluar
dari bibirnya. Ia tidak men‐dengar suara apa‐apa, kecuali debar
jantungnya sendiri.
"Kau pernah dicium?"
"Beberapa kali," jawab Caroline, berbohong. "Kau masih terlalu
kecil," gumam Rink, sambil menutup mata sejenak sebelum
akhirnya mem‐bukanya kembali. "Apakah kau takut bila aku
menciummu? Apakah aku boleh menciummu?"
"Aku tidak takut padamu, Rink."
"Dan yang lain?" desak Rink lembut sambil mengelus rambut
Caroline.
"Aku... kurasa aku ingin kau... menciumku." "Caroline..." bisik
Rink sambil bergerak men‐dekat. Caroline merasakan napas Rink
menerpa wajahnya dulu dan ia memejamkan mata. Kemu‐dian bibir
Rink menyentuh bibirnya—lembut, tak bergerak, ragu‐ragu. Ketika
Caroline tidak menarik bibirnya, Rink memiringkan kepala, lalu
menekan lebih keras. Berkali‐kali bibir Rink bertemu bibir Caroline,
mengecup sekilas‐sekilas—ciuman‐ciuman kecil, yang malah mem‐
buat Caroline terbakar keinginan menggebu yang muncul dari dalam
dirinya, sesuatu yang tickk ia ketahui namanya. Bahkan kalau ia
menyebut‐nya sebagai "bermesraan" pun, istilah itu tidak tepat.
Karena siapa pun bisa melakukan hal itu, tetapi perasaan seperti ini
bukanlah perasaan yang bisa dialami setiap orang.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Rink memegangi wajah Caroline dengan kedua tangannya dan
menyentuhkan bibirnya yang kali ini membuka di bibir Caroline.
Caroline merasa‐kan lidah Rink yang basah setarikan napas jauh‐nya
dari bibirnya, kemudian lidah itu mendarat di bibirnya, menjilatinya
dengan lembut.
Rink mendesah lembut sebelum akhirnya lebih menekankan
lidahnya ke bibirnya. Mata Caroline membeliak karena terkejut.
Badannya kaku. Na‐mun, kenikmatan yang dirasakannya karena apa
yang dilakukan Rink mengalahkan penolakan dirinya, bibirnya pun
membuka. Lidah Rink menyelinap masuk di antara bibirnya. Lidah
itu menyentuh ujung lidahnya, mengelus, menjilat, lalu masuk
makin jauh ke dalam mulutnya.
Ketika tangan Rink mendekap tubuhnya erat‐erat, Caroline
mencengkeram kemeja bagian de‐pan Rink. Caroline merasakan
perasaannya tak karuan, ia merasa tubuhnya limbung karena hal
yang belum ia kenal—terangsang. Dorongan hen‐dak merapatkan
tubuhnya ke tubuh Rink begitu menggebu sampai hampir tak dapat
dikendalikan‐nya. Ia menikmati tetapi sekaligus takut pada hasrat
yang dibangkitkan Rink dalam dirinya.
Rink mundur dengan penuh sesal, mencium bibir CaroUne yang
basah dengan lembut, kemu‐dian menjauhkan diri. Dengan berat
hati ia berusaha menjaga jarak di antara mereka. Tangan‐nya ditarik
dari punggung Caroline, kembali diletakkan di kedua pipi Caroline.
Mata Caroline masih terpejam. Saat membuka matanya yang berat,
Caroline merasa sekujur tubuhnya seperti disergap perasaan lemas.
"Kau tidak apa‐apa?"
Kini, di lorong rumah sakit yang dingin ini, Caroline menjawab
pertanyaan Rink seperti dua belas tahun yang lalu, seperti peristiwa
di malam yang sejuk itu—setelah mereka berciuman untuk pertama
kalinya. "Ya, Rink, aku tidak apa‐apa." Rink juga tampaknya
terperangkap dalam ke‐nangan itu. Dipandanginya Caroline
beberapa saat, sebelum akhirnya buru‐buru berbalik dan berkata,
"Sebaiknya kita segera berangkat."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Bab 4
IA cantik sekali." "Kau juga cantik."
Tangan Laura Jane yang mengelus leher anak kuda itu terhenti,
matanya yang hitam teduh menatap Steve, yang bicara dengan
suara sangat lembut. "Apa kau sungguh‐sungguh menganggap‐ku
cantik?"
Ekspresi yang diperlihatkan Laura Jane mem‐buat Steve memaki‐
maki dirinya sendiri. Gadis itu terlalu rapuh, menelan bulat‐bulat
segalanya. Seharusnya ia tidak mengungkapkan apa yang melintas
dalam pikirannya. Perasaan Laura Jane sangat halus, dan dapat
hancur berkeping‐keping dengan mudah.
Steve bangkit dari hamparan jerami yang me‐nutupi lantai
kandang kuda dengan bertumpu pada satu kakinya yang utuh. "Kau
sangat can‐tik," ulang Steve, menegaskan, lalu memalingkan wajah
dari Laura Jane dan meninggalkan kandang kuda.
Mereka harus lebih sering menjaga jarak. Laura Jane tidak
mengerti betapa berada di dekatnya, wangi tubuhnya, kehangatan
kulitnya yang lem‐but, sangat besar pengaruhnya pada diri Steve.
Andai gadis itu tahu respons yang dibangkitkan‐nya dalam
tubuhnya, tentu ia akan merasa takut dekat dengannya.
Steve menurunkan pelana kuda dari gan‐tungannya di dinding.
Rink mengatakan padanya kemarin sore ia ingin berkuda pagi‐pagi
sekali, dan Steve ingin menyiapkan keperluan berkuda‐nya sebaik
mungkin. Ia paham apa sebabnya Rink menunjukkan sikap tidak
suka padanya secara terang‐terangan. Rink bukan orang buta.
Bukan pula orang yang berperasaan tumpul. Rink menangkap
kerinduan hatinya pada Laura Jane. Steve sadar, perasaan hatinya
pada Laura Jane sangat jelas terlihat, seterang papan iklan dengan
lampu‐lampu neon di sekelilingnya.
Steve tidak menyalahkan Rink yang menaruh curiga pada dirinya.
Laura Jane adik kandungnya, adik yang sangat istimewa, yang
membutuhkan perhatian khusus seumur hidup. Andai Steve punya
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
saudara perempuan seperti Laura Jane dalam hidupnya, ia pun akan
melindunginya sebaik‐baiknya seperti Rink.
Kendati demikian, ia tetap tidak bisa berhenti mencintai Laura,
bukan? Ia tidak fnencari cinta. Ia tidak mengira dirinya bisa
mencintai seseorang. Namun ternyata sekarang ia mencintai
seseorang dan sangat merindukannya saat gadis itu tidak
berada di sisinya. Saat ini Laura Jane berdiri dekat sekali
dengannya ketika ia mengoleskan sabun pelana di pelana kudanya.
Setiap kali tangannya menggosok pelana dengan kain lap, ujung
sikunya hampir menyentuh payudara Laura Jane.
Steve berusaha memusatkan perhatian pada pekerjaannya,
bergulat mengusir bayangan bagai‐mana rasa payudara itu di
telapak tangannya yang kasar atau betapa halus kulit lehernya bila
disentuh bibirnya.
Laura Jane, yang kelihatan agak kecewa karena Steve tidak bicara
lebih lanjut perihal kecantikan‐nya, mengelus‐elus anak kuda
sebagai ungkapan pamit lalu mengikuti Steve. "Kakimu sakit?"
Tanpa mengangkat muka, Steve menjawab, "Tidak. Kenapa?'
"Karena kulihat dahimu mengerenyit, seperti yang kerap
kaulakukan bila kakimu sakit."
"Aku hanya berkonsentrasi pada pekerjaanku, itu saja."
Laura Jane mendekati Steve. "Kalau begitu aku bantu kau, Steve.
Mari kubantu."
Steve menjauhkan diri dari Laura Jane, pura‐pura hendak
mengambil kain lap yang lain. Darahnya bergejolak. Laura Jane
begitu manis, sangat manis, tetapi perasaan yang ditumbuhkan
gadis itu dalam hatinya jauh dari manis. Berada di dekat Laura Jane
membuat Steve seperti orang liar yang dibelenggu tapi berada di
dekat perawan yang akan dikorbankan. "Tidak. Kau tidak perlu
membantuku. Aku bisa menyelesaikannya dengan cepat."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Kaupikir aku tidak bisa mengerjakan hal seperti ini, begitu?
Memang, tak seorang pun menganggap aku mampu mengerjakan
sesuatu."
Steve mengangkat kepala seketika dan me‐lemparkan kain lap.
"Bukan begitu, tentu saja aku yakin kau mampu."
Steve melihat kekecewaan di wajah Laura Jane, penderitaan di
matanya yang kelam dan bagai tak berdasar. Gadis itu menggeleng,
rambutnya yang cokelat lagi halus tergerai menyentuh bahu‐nya.
"Semua orang menganggap aku tolol dan tidak berguna."
"Laura Jane," ujar Steve dengan suara lirih, lalu meletakkan
tangan di bahu Laura. "Tidak pernah aku menganggapmu begitu."
"Lalu, mengapa kau tidak memperbolehkan aku membantumu?"
"Karena ini pekerjaan yang kotor, aku tidak ingin kau terkena
kotoran."
Seperti anak kecil yang minta penegasan, Laura Jane melirik
Steve. "Hanya itu alasannya? Sungguh?"
"Sungguh."
Seharusnya Steve menarik tangannya dari bahu Laura Jane,
tetapi ia membiarkan tangannya tetap di pundak gadis itu. Laura
Jane agak menengadah sehingga cahaya lampu kandang
yang kekuningan menimpa wajahnya. Wajah Laura Jane jadi
kelihatan seperti wajah malaikat, hanya saja matanya lebih
berbinar‐binar. Andai tidak mengenal Laura Jane dengan baik,
barang‐kali Steve akan mengira binar‐binar mata gadis itu
mengisyaratkan keinginan bermesraan.
"Aku tahu aku bukan perempuan cerdas. Te‐tapi aku terampil
dalam beberapa hal."
"Tentu saja, kau punya kelebihan." Oh, Tuhan! Bibir gadis itu
begitu lembut, agak basah, dan tampak kemerah‐merahan ketika
mengucapkan kata‐kata tersebut. Betapa ingin Steve mengecup‐
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
nya. Ingin mendekapnya erat‐erat, merapatkan tubuhnya lekat‐
lekat, merasakan kelembutan tu‐buh yang indah itu mendekap
tubuhnya yang tinggi besar, penuh parut, dan tidak berbentuk.
Bersentuhan dengan tubuh Laura Jane bak mengoleskan obat
penyembuh bagi tubuhnya yang cedera, bagi jiwanya yang terluka.
"Banyak hal yang kuamati. Umpamanya, Rink, yang kutahu
merasa tidak bahagia. Ia memang tertawa dan berusaha kelihatan
bahagia, tetapi sorot matanya memancarkan kesedihan. Ia dan
Caroline tidak pernah rukun. Apakah kau me‐nangkap hal itu?"
"Ya."
"Aku tidak mengerti apa sebabnya mereka begitu." Laura
mengernyitkan dahi, berpikir. "Atau barangkali mereka sebenarnya
saling me‐nyukai, tetapi berusaha menyembunyikan perasaan itu,
supaya orang‐orang tidak menganggap mereka saling menyukai."
Steve tersenyum mendengar dugaan Laura Jane. Itu pula
kesimpulan yang diambilnya setelah makan siang bersama mereka
hari itu. Keduanya siap bertengkar atau berkasih‐kasihan. Steve
merasa sikap mereka cenderung pada pi‐lihan yang kedua. Steve
mengelus dagu Laura Jane. "Mungkin dugaanmu benar."
Laura Jane tersenyum lalu merapatkan tubuh‐nya ke Steve.
"Menurutmu, aku ini cerdas? Dan cantik?"
Mata Steve yang hitam mengamati wajah Laura Jane. "Kau
cantik."
"Kau juga tampan." Dengan jari‐jarinya yang mulus, semulus
porselen, Laura Jane mengelus pipi Steve yang kasar, kemudian jari
telunjuknya menelusuri pipi Steve sampai ke ujung dagu.
Steve merasakan sentuhan tangan Laura Jane tidak sekadar pada
wajahnya saja. Sentuhan itu seperti arus listrik, mengalir sampai ke
perutnya. Steve menarik napas dalam‐dalam, dan agak menjauhkan
diri, menurunkan tangannya dari bahu Laura Jane. "Jangan," cegah
Steve tanpa bermaksud menyinggung perasaan Laura Jane.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Gadis itu langsung menjauhkan diri, seperti orang habis
ditampar.
"Oh Tuhan, Laura Jane, maafkan aku. Maaf‐kan." Steve
menjulurkan tangan, mengelus gadis itu untuk menghiburnya,
tetapi ia tidak mampu
melakukan hal itu. Laura Jane menutup wajahnya dengan
telapak tangan dan menangis. "Tolong, jangan menangis."
"Aku memang orang yang menakutkan.' . "Menakutkan? Kau
sama sekali tidak menakut‐kan." Tak pernah Steve merasa
perasaannya ter‐sayat‐sayat seperti saat ini. Apa beda dirinya
dengan bajingan, bila ia menyentuh gadis lugu seperti Laura Jane,
meskipun ia juga kesal bila tidak menyentuhnya. Menunjukkan
perasaan ka‐sihnya pada Laura sama artinya dengan bunuh diri;
Rink akan membunuhnya bila mengetahui hal itu. Tapi bagaimana ia
bisa tega melukai hati Laura Jane dengan cara seperti ini, membuat
Laura Jane merasa ditolak, tidak dikasihi, tidak diinginkan? "Kau
orang yang sangat baik," ucap Steve. "Kau orang paling baik yang
pernah ku‐kenal."
"Tidak, aku tidak baik." Laura mengangkat wajahnya yang masih
berlinang air mata, menatap Steve. "Aku menyayangi Rink
sepanjang hidup‐ku. Kupikir, bila ia pulang ke rumah lagi, semua‐nya
akan beres. Kuanggap ia orang paling kuat, laki‐laki paling baik di
dunia. Tetapi ketika sudah di rumah, ternyata ia tidak demikian."
Laura Jane menjilat bibirnya. "Ternyata, kaulah pria itu." Payudara
Laura Jane yang tidak terlalu besar berguncang di balik baju musim
panasnya. Air mata masih terus menitik jatuh di pipinya. "Steve, aku
lebih menyayangimu ketimbang Rink!"
Sebelum Steve sempat bereaksi, Laura Jane sudah menjatuhkan
tubuhnya ke tubuh Steve, mencium bibirnya, lalu lari keluar dari
kandang kuda.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Steve merasakan jantungnya berdetak cepat, debarannya terasa
sampai ke gendang telinga. Ia merasa bahagia sekaligus sedih.
Tuhan, apa yang harus ia lakukan menghadapi hal seperti ini?
Tak ada. Jelas, tidak ada.
Steve mematikan lampu kandang kuda, lalu masuk ke tempat
tinggalnya yang terawat rapi tapi sepi, yang terletak di bagian
belakang. Ia mengempaskan diri di ranjangnya yang kecil, menutupi
wajahnya dengan lengan. Ia tidak per‐nah merasa seputus asa ini
sejak siuman di rumah sakit angkatan darat waktu itu dan men‐
dapati ia akan pulang" dengan... salah satu kaki yang tinggal separo.
"Oh, maafkan aku, Rink. Aku tidak tahu kau ada di sini."
"Tidak apa‐apa," jawabnya dalam keremangan.
"Ini kan rumahmu."
Caroline membiarkan pintu kawat kasa di belakangnya menutup
dan duduk di kursi go‐yang. Ia menarik napas, menghirup dalam‐
dalam udara malam yang sejuk. Ia memejamkan mata‐nya yang
letih sambil menyandarkan kepala pada sandaran kursi goyang. "Ini
rumahmu, Rink. Aku hanya tamu selama—"
"Selama ayahku masih hidup."
"Ya."
Rink tidak menanggapi. Ia terlalu letih untuk berargumentasi.
"Kau tidak kembali ke rumah sakit."
"Aku sudah menelepon. Akhirnya mereka me‐nyuntiknya agar ia
tidur. Kata dokter, aku tidak perlu datang. Roscoe tidak mengenali
siapa pun. Menurutku akan lebih baik bila aku tinggal di rumah,
banyak urusan pabrik yang harus di‐selesaikan. Sebentar lagi akan
panen kapas, segala‐nya harus dipersiapkan."
"Aku tidak suka berada di rumah sakit saat Roscoe sadar dan
menyadari telah kehilangan waktunya sehari."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Caroline mengelus dahinya seakan kepalanya sudah sakit akibat
teriakan marah yang akan dilontarkan Roscoe. "Aku juga."
"Seringkah ia memperlakukanmu seperti hari ini?”
"Tidak. Tak pernah. Aku pernah melihat ia memarahi orang‐
orang. Diam‐diam aku menemui dan menenangkan mereka. Hari ini
pertama kalinya aku menjadi sasaran kemarahannya."
"Kalau begitu kau beruntung," kata Rink. "Ia selalu bersikap
begitu pada ibuku, selalu, bahkan hal kecil sekalipun bisa menyulut
kemurkaannya. Keterlaluan"—Rink meninju lengan kursi—"ada saat
aku ingin sekali menghantam mulutnya yang jahat itu sekuat‐
kuatnya. Bahkan ketika masih kecil pun, aku sangat membencinya
karena membuat ibuku tidak bahagia padahal ibuku sudah
memberikan segalanya padanya. Segalanya." Rink melirik Caroline.
Caroline mengira Rink malu karena kelihatan sangat emosional di
ha‐dapannya. "Mau kubuatkan minum?" tanya Rink
pendek.
"Tidak, terima kasih."
Rink menarik napas dalam kegelapan. "Maaf‐kan, aku lupa. Kau
tidak suka minuman keraskan?"
"Meski dibesarkan di rumaii Peter Dawson? Tidak," jawab
Caroline sambil tertawa kecil. "Aku tidak suka minuman beralkohol."
"Kalau begitu aku juga tidak minum." Rink bersandar di salah
satu pegangan kursi yang didudukinya dan meletakkan gelas di
lantai.
"Jangan begitu. Aku tidak keberatan kau mi‐num. Aku tahu kau
bukan peminum seperti ayahku."
Komentar itu terlalu pribadi. Caroline menatap Rink kalau‐kalau
pria itu menangkap sesuatu dalam kata‐kata yang baru saja
diucapkannya. Mata Rink yang keemasan beradu pandang de‐ngan
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
mata Caroline dalam kegelapan yang me‐misahkan mereka. Caroline
lebih dulu membuang muka.
"Kata Haney, ayahmu sudah meninggal," ujar Rink akhirnya. Ia
sama sekali tidak menyentuh gelas yang diletakkannya di lantai.
"Ya. Suatu pagi mereka menemukannya tewas di parit di tepi
jalan tol. Katanya, serangan jantung. Kurasa akhirnya ia berhasil juga
me‐racuni dirinya."
"Ibumu?"
"Ia meninggal beberapa tahun yang lalu." Tak terlihat emosi apa
pun terpancar di mata Caroline, karena ia memandang jauh ke
depan. Usia ibu Caroline belum lagi lima puluh tahun. Tetapi ia
bungkuk dan keriput ketika akhirnya dengan penuh syukur
meninggal karena letih dan putus asa.
Rink bangkit dari kursi, lalu duduk di anak tangga paling atas,
yang lebih dekat dengan tempat duduk Caroline. Sambil
menyilangkan kaki, Rink memiringkan tubuh dan bertumpu pada
siku. Pundaknya menyentuh kerangka kursi goyang, hampir
menyentuh betis Caroline. "Coba ceritakan padaku, Caroline. Apa
yang terjadi setelah peristiwa musim panas itu, setelah aku pergi?"
Betapa ingin Caroline menjulurkan tangan dan membelai rambut
Rink, menyibakkan ram‐but hitam tebal itu dengan jemarinya.
Tubuh Rink tinggi lagi ramping, sifat maskulinnya tetap terpancar
biarpun ia dalam keadaan diam.
"Aku menyelesaikan SMU‐ku, dan dapat bea‐siswa untuk
melanjutkan ke universitas."
"Beasiswa? Bagaimana bisa?" Seketika Rink menoleh ke arah
Caroline dan kepalanya hampir saja mengenai tulang kering
Caroline. Segera Rink mundur. "Entahlah."
Rink menegakkan tubuh dan memandang Caroline dengan
tatapan mata penuh tanda ta‐nya. "Entahlah?"
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Caroline menggeleng. Ia tidak dapat memusat‐kan pikiran.
Pikirannya berserak kacau balau bak daun‐daun yang berguguran
ditiup angin musim gugur ketika disentuh Rink. Kini Rink duduk
sambil bertekuk lutut, kedua tangannya memeluk lutut. Jari‐jari
tangan kiri Rink yang tergantung seperti hendak terjulur menyentuh
kaki Caroline.
Rink menunggu penjelasan Caroline, sehingga Caroline terpaksa
harus memusatkan pikiran dan memberikan jawaban, membuatnya
tergagap ke‐tika mulai menjawab. "Suatu hari, Kepala Sekolah
memanggilku ke kantor. Itu beberapa hari se‐belum pengumuman
kelulusan. Kepala Sekolah bilang aku dapat beasiswa dari seseorang
yang tidak mau disebutkan namanya. Orang itu akan menanggung
semua biaya kuliahku. Bahkan aku dapat uang tambahan lima puluh
dolar sebulan. Sampai hari ini aku tidak tahu siapa orang yang
memberikan beasiswa itu padaku."
"Ya, ampun," ujar Rink sambil menahan na‐pas. Haney pernah
menceritakan padanya di salah satu suratnya yang biasanya berisi
gosip, tentang "anak perempuan Dawson" yang akan kuliah ("Kau
barangkali tidak ingat padanya. Ia beberapa tahun di bawahmu.
Anak Peter Dawson. Begitulah, gadis itu ke kota dan melan‐jutkan
sekolahnya, semua orang heran bagaimana ia mampu membiayai
kuliahnya"). Lama sesudah itu Rink mendapat surat dari Laura Jane
("Daddy menceritakan padaku hari ini, ada gadis yang bernama
Caroline Dawson menikah dengan teman kuliahnya. Daddy bilang,
dulu gadis itu tinggal di sini, dan katanya kau mungkin me‐
ngenalnya").
"Setelah meraih gelar sarjana, aku kembali ke kota ini," lanjut
Caroline.
"Pernikahanmu pasti tidak bertahan lama."
Tatapan mata Rink yang penuh selidik mem‐bingungkan
Caroline. "Pernikahan?"
"Dengan teman kuliahmu."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Caroline menatap Rink, seakan Rink sudah linglung. "Aku tak
mengerti arah pembicaraan‐mu, Rink. Pergi kencan pun aku tak
pernah, apalagi menikah. Agar bisa dapat beasiswa terus, aku harus
mempertahankan nilai kuliahku rata‐rata B. Aku menghabiskan
waktu dengan terus‐menerus belajar. Bagaimana kau bisa mengira
aku sudah menikah?"
Rink juga terkejut. Mungkinkah Laura Jane mengarang‐ngarang
cerita itu? Tidak. Laura Jane tidak mengenal Caroline, setelah
bekerja di peru‐sahaan Roscoe baru ia mengenalnya.
Roscoe.
Sepintas kecurigaan menyelinap di benak Rink. Apa yang
melintas di benaknya terlalu mengeri‐kan, bahkan untuk dipikirkan
sekalipun. Tetapi bila berkaitan dengan Roscoe...
"Aku dengar kau menikah. Aku lupa siapa yang menyampai‐kan
kabar itu padaku."
"Siapa pun orang itu, ia keliru. Aku tidak pernah menikah selagi
kuliah, aku hanya menikah...."
"Dengan ayahku."
Setelah terdiam lama, Caroline menceritakan apa yang
terpendam dalam hatinya selama ber‐tahun‐tahun. "Apa yang
terjadi antara kau dan Marilee?"
"Perang Dunia Ketiga,” jawab Rink sambil tertawa. Caroline tidak
memberi tanggapan se‐patah kata pun. Ia duduk dengan sikap
tegang, jari‐jarinya bertaut. "Sejak awal sudah beran‐takan. Ia tidak
menginginkan bayi itu. Ia man‐faatkan kehamilannya untuk
menjeratku agar menikahinya, dan setelah Alyssa lahir, kami
mengurus perceraian."
"Kau pernah melihat anak itu? Alyssa?" "Tidak. Tidak pernah,"
jawab Rink. Ekspresi wajahnya sulit ditebak, tapi dari nada bicaranya
jelas ia menutup topik pembicaraan. Sikapnya itu menyakitkan hati
Caroline, mengetahui Rink tidak mencintai anaknya, anak satu‐
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
satunya. Bisa‐bisanya ia punya perasaan seperti itu? Bertahun‐
tahun setelah kenangan musim panas yang indah tersebut, Caroline
bermimpi punya anak dari Rink. Bayi itu akan jadi bukti istimewa
yang ditinggalkan Rink buat dirinya, bagian diri Rink untuk dicintai
karena Rink tak tinggal di kota itu lagi.
"Akhirnya kami bercerai—perceraian yang me‐makan waktu
bertahun‐tahun—dan aku lebih memusatkan perhatian pada bisnis
penerbangan yang baru kurintis."
"Aku bangga padamu, Rink," komentar Caroline dengan lembut
dan tulus, membuat Rink menoleh.
Senyumnya getir. "Ya, tapi aku kerja seperti orang gila supaya
bisa mencapai target. Itulah satu‐satunya hal yang memenuhi
benakku dan menghindarkan aku memikirkan... hal‐hal lain."
"Hal lain? Rumah?"
Lama mata Rink tertuju pada Caroline. Sorot matanya tajam
menusuk. "Ya," jawabnya pendek lalu berdiri. Dengan
membelakangi Caroline, Rink menyandarkan tubuhnya pada salah
satu pilar rumah. "The Retreat. Laura Jane. Daddy. Pabrik kapas.
Winstonville kampung halamanku. Sebetulnya aku tidak pernah
ingin meninggalkan‐nya."
"Kau mempunyai kehidupan baru di Atlanta...."
"Ya." Hanya itu yang dijawab Rink. Tepat sekali, ingin ia
menambahkan. Dulu rumahnya terlalu baru, terlalu mewah. Tidak
punya karakter atau kelembutan. Pesta‐pestanya terlalu kasar.
Para perempuannya... Para perempuannya terlalu glamor, terlalu
bergaya kosmopolitan, penuh ke‐pura‐puraan. Ia bisa masuk ke
balik topeng mereka dan begitu juga sebaliknya.
Hidup yang dijalaninya kini penuh kepalsuan. Bukan berarti ia
tidak bangga pada bisnis pener‐bangan Air Dixie‐nya. Ia bangga.
Perusahaan penerbangan itu jelas merupakan prestasi yang patut
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
dibanggakan, karena untuk mencapai sukses seperti sekarang
dibutuhkan kerja keras bertahun‐tahun.
Tetapi bukti kesuksesan tersebut tak punya arti apa‐apa bagi
dirinya. Akar kehidupannya ada di sini, di kota ini, di tanah yang
amat kaya ini, di rumah ini. Kehidupan yang lainnya hanyalah
kepalsuari. Ia tidak pernah memaafkan ayahnya yang membuatnya
kabur dari rumah ini. Tidak akan pernah.
Mendadak ia berbalik menghadap ke Caroline. "Mengapa kau
menikahinya?"
Caroline hampir takut melihat kemarahan yang terpancar di
mata Rink. "Aku tak mau mem‐bicarakan kehidupan pribadiku
bersama ayahmu denganmu, Rink."
"Aku tidak ingin tahu kehidupan pribadimu. Aku hanya bertanya,
mengapa kau menikahinya. Ia kan pantas menjadi kakekmu, ya
ampun!" Rink maju, mencondongkan badan ke dekat Caroline,
kedua tangannya bertumpu pada pe‐gangan kursi goyang,
mengurung Caroline yang
berada di tengahnya. "Mengapa? Mengapa kau kembali ke kota
ini setelah lulus jadi sarjana? Tak ada gunanya kau tinggal di sini."
Caroline merasa lehernya kaku karena men‐dongak agar bisa
menatap Rink. "Ibuku masih hidup. Aku kembali, dapat pekerjaan di
bank, dan menabung selama beberapa bulan agar bisa keluar dari
rumah yang mirip kandang babi itu, kemudian mengontrak rumah di
kota. Aku ber‐jumpa ayahmu di bank. Ia sangat ramah padaku.
Ketika ia menawarkan pekerjaan dipabrik pemintalan kapasnya, aku
terima. Ia melipat‐gandakan gajiku, dibandingkan dengan gajiku di
bank, yang membuat aku bisa memakamkan ibuku dengan
terhormat."
Napas Rink memburu, wajahnya memerah. Rambutnya yang
hitam bergelombang tergerai di dahinya. Sejak dulu kemejanya
tidak pernah ia kancing semuanya. Begitu juga sekali ini. Mata
Caroline sejajar dengan dadanya yang bi‐dang. Rink sungguh pria
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
sejati; ia tampak sangat jantan, sangat menarik sekaligus berbahaya.
Caroline ingin memejamkan mata supaya tidak melihat semua daya
tarik yang ada pada diri Rink.
"Setelah beberapa lama aku mulai datang ke The Retreat ini
untuk bekerja di sini, bukan di pemintalan kapas."
"Aku yakin kau pasti senang sekali, diundang ke The Retreat."
"Ya!" seru Caroline defensif. "Kau tahu betapa aku sangat
menyukai rumah ini. Untuk ukuran gadis lugu yang setiap hari harus
berjalan kaki menembm hutan, rumah ini seperti istam dakm
dongeng. Aku tak menyangkal hal itu, Rink."
"Lanjutkan. Aku terpesona. Apakah ayahku seperti Pangeran
Tampan dalam dongeng kha‐yalanmu?"
"Sama sekali tidak. Jauh dari itu. Setelah ibuku meninggal, aku
lebih banyak menghabis‐kan waktuku di sini. Ayahmu menyerahkan
ham‐pir semua urusan bisnis padaku. Laura Jane dan aku menjadi
sahabat. Roscoe yang mendukung persahabatan kami, karena Laura
tidak punya teman sebaya."
Tergesa‐gesa Caroline membasahi bibir. Rink menatap gerakan
lidah Caroline dengan penuh gairah. "Segalanya berlangsung
perlahan‐lahan. Rasanya hubungan kami sudah sewajarnya setelah
aku banyak menghabiskan waktu di rumah ini. Ketika ayahmu
melamarku untuk menjadi istri‐nya, aku mengiakan. Ia bisa
mewujudkan semua mimpiku, yang tak mungkin bisa kudapat de‐
ngan cara lain."
"Nama baru."
"Ya."
"Pakaian."
"Ya."
“Uang.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Ya."
"Rumah bagus."
"Rumah yang selalu kudambakan."
"Untuk semua itukah kau jual dirimu pada ayahku?" bentak Rink.
"Dalam beberapa hal, kurasa demikian." Reaksi yang ditunjukkan
Rink membuat Caroline me‐rasa dirinya seperti manusia tidak
berharga. Na‐mun ia berusaha membela diri. "Aku ingin menjadi
sahabat karib Laura Jane. Aku ingin menolong ayahmu."
"Jadi motivasinya pengorbanan."
"Tidak," kilah Caroline sambil menunduk. "Aku ingin tinggal di
The Retreat. Aku ingin orang menghormatiku karena aku istri
Roscoe. Ya, aku menginginkan semua itu. Aku dibesarkan di rumah
gubuk, hidup susah setiap hari, me‐ngenakan pakaian rombeng
sementara gadis‐gadis sebayaku memakai baju dan rok cantik; aku
harus bekerja sepulang sekolah setiap hari, juga di hari Minggu,
sementara para gadis lain bisa pergi ke Dairy Mart, nonton
pertandingan foot‐ball, sedangkan aku hanyalah anak pemabuk; kau
takkan bisa memahami semua itu, Rink Lancaster!"
Sambil menyebut nama Rink, Caroline ber‐gerak hendak bangkit,
tetapi Rink bergeming dari tempatnya. Tubuh Caroline berhadapan
de‐ngan Rink. Rink mencengkeram lengan Caroline. Napas keduanya
memburu, keduanya seperti habis berlari cepat.
Caroline tidak mau mengangkat kepalanya dan menatap Rink.
Bila berbuat begitu, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya
selanjutnya. Maka pandangannya hanya diarahkannya sampai ke
bagian lekukan tenggorokan Rink yang berbentuk V, mengamati
denyut nadinya yang cepat. Caroline merasakan tubuh bagian
bawahnya ber‐getar; lemas karena gairah. Bibirriya gemetar ketika
mengucapkan kata‐kata, "Tolonglah, biarkan aku lewat, Rink,
kumohon."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Rink tidak memedulikan permintaan Caroline. Ia malah
membenamkan wajahnya di leher Caroline. Seperti orang yang tak
berdaya, Caroline menengadahkan leher. Bibir Rink menciumi leher‐
nya, di bagian depan, di bagian belakang, mening‐galkan uap basah
yang diembuskan napasnya, yang menggelitik dan menggairahkan
Caroline.
"Meski tahu kau istri ayahku, tahu alasan kau menikahinya,
mengapa aku tetap menginginkan dirimu?" Dengan gerakan makin
liar karena di‐penuhi perasaan putus asa, Rink menciumi sisi lain
leher Caroline. Caroline mendongakkan ke‐pala, membiarkan Rink
menciuminya.
Dengan lemah Caroline melawan respons diri‐nya sendiri, "Tidak,
tidak, Rink, jangan."
"Aku sangat merindukanmu sampai sakit rasa‐nya." Rink terus
menciumi leher Caroline dengan penuh gairah. Bahkan giginya
menggigit‐gigit kecil. "Aku menginginkanmu. Mengapa, mengapa
kau orangnya, mengapa?"
Caroline mengerang. "Oh, Tuhan, kumohon...." gumamnya
sambil menarik napas. Yang paling diinginkan Caroline saat itu, lebih
dari‐pada apa pun, adalah memasrahkan diri pada Rink. Ia
membutuhkan Rink sebagaimana Rink membutuhkannya, untuk
menggantikan tahun‐tahun penuh kepedihan yang harus mereka
jalani. Dalam beberapa menit yang sangat berharga itu, mereka
ingin melupakan segalanya, kecuali diri mereka berdua.
Namun hal itu tak mungkin dilakukan. Ke‐sadaran akan hal yang
tak mungkin itu memberi‐kan kekuatan bagi Caroline untuk
menahan letupan emosinya dan kembali bergulat untuk
menjauhkan diri dari Rink.
Secepat tangannya memeluk Caroline, secepat itu pula Rink
melepaskan cengkeraman dan men‐jatuhkan tangannya di kedua
sisi badannya. Ia melangkah mundur, napasnya memburu dan ce‐
pat. Buru‐buru Caroline berjalan ke pintu depan.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Caroline." Panggilannya menghentikan lang‐kah Caroline dan
seperti perintah yang menyu‐ruhnya membalikkan badan. "Aku
selalu sulit menerima hal‐hal yang tidak kusukai. Aku tidak berhak
melukaimu dengan cara itu. Seharusnya aku tidak ikut campur."
Sosok Rink menjadi kabur karena air mata yang merebak di
matanya. Caroline mengerti, betapa Rink mengorbankan
keangkuhan dirinya untuk mengatakan hal itu. Caroline melempar
senyum lembut, senyum yang penuh makna, yang artinya tak
mungkin diungkapkan dengan kata‐kata. "Betulkah begitu, Rink?"
ujar Caroline tenang. Kemudian ia masuk dan menaiki anak tangga
menuju lantai dua.
Caroline, berbaring di ranjang dengan pakaian lengkap karena
malas mengganti pakaian, me‐natap langit‐langit. Merenung. Ia
tidak tahu apakah esok ia berharap bertemu Rink lagi atau tidak.
Tetapi Rink ada di rumah....
"Hai."
"Sedang apa di sini?"
"Memancing." Rink memiringkan kepala ke arah tangkai yang
mencuat di permukaan lumpur di tepi sungai. Tali pancing tampak
bergetar di dalam air. Rink memang tidak terlalu serius memancing.
"Kau lebih awal daripada kemarin."
Wajah Caroline memerah, ia memalingkan wajah dari pria
dengan senyum yang amat me‐nawan itu. Ketika keluar rumah
setengah jam lebih awal, Caroline mengatakan pada dirinya bahwa
alasan kepergiannya bukanlah karena ke‐mungkinan Rink ada di
hutan dan ia akan punya waktu untuk bercengkerama bersama pria
itu. Caroline berusaha tampil sebaik‐baiknya, memakai rok dan blus
yang terbaik, menyisir rapi rambutnya setelah ia mencucinya sampai
kulit kepalanya terasa geli, memeriksa kuku‐kuku tangannya.
la harus lari dalam kegelapan hutan menuju rumah setelah turun
dari mobil Rink kemarin malam. Rink menciumnya. Setelah itu Rink
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
bersikap lembut padanya, menanyakan apakah ia baik‐baik saja.
Namun ia tidak mengira akan berjumpa lagi dengan Rink.
Ternyata sekarang Rink ada di sini, duduk di bawah pohon willow
dengan mengenakan celana jins pendek dan kaus tanpa lengan;
kelihatan sangat percaya diri dan tampan seperti bintang film. Otot‐
otot tangan dan kakinya yang atletis tampak menonjol. Bulu‐bulu
halus di tangan dan kaki Rink memesona Caroline, tetapi setelah
memandanginya beberapa saat, perutnya terasa seperti diaduk‐
aduk.
"Aku minta Haney, yang mengurus rumah kami, membuatkan
beberapa potong sandwich. Kau suka daging kalkun asap?"
"Entahlah. Aku belum pernah mencobanya."
"Hmm, sekarang kau akan mencobanya," kata Rink sambil
tersenyum. Ia menggelar tikar di rumput dan meminta Caroline
duduk. Kemudian ia membuka keranjang dan menyodorkan se‐
potong sandwich yang dibungkus plastik pada Caroline. Mereka
mengobrol sambil makan.
"Apakah kau akan mulai kerja di pemintalan kapas? Omong‐
omong, daging kalkun ini enak juga."
"Aku senang kau menyukainya." Rink bersan‐dar di batang
pohon sambil mengunyah. "Kurasa begitulah," jawabnya sambil
menerawang. "Bila Daddy dan aku bisa sepakat dalam beberapa
hal." Caroline ingin menanyakan hal apa saja, tetapi tidak jadi. Ia
tidak mau Rink berpikir ia ikut campur urusan Rink.
Namun Rink meliriknya, dan melihat sikapnya yang
mendengarkan dengan saksama, ia melanjut‐kan, "Kau tahu, ayahku
tidak ingin menambah‐kan modal ke pemintalan agar mendapat
untung lebih banyak. Ia sudah puas dengan apa yang didapatnya
dari pemintalan sekarang. Padahal banyak cara yang bisa dilakukan
untuk mening‐katkan, memperbarui, menjadikan tempat bekerja
yang lebih nyaman buat para karyawan. Aku belum berhasil
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
meyakinkannya bahwa bila ia menambahkan modal lagi ke
pabriknya itu seka‐rang, nantinya ia akan memanen hasilnya dalam
jangka waktu panjang."
"Mungkin kau harus mengalah dalam beberapa hal pada
awalnya."
"Mungkin juga," jawab Rink, ragu‐ragu. Ia memasukkan tangan
ke keranjang, mengeluarkan sekaleng minuman dingin. Ia
mengedipkan mata pada Caroline. "Aku ingin sekali minum bir
dingin, tetapi takut tertangkap basah meminum‐nya bersama gadis
di bawah umur seperti dirimu. Aku bisa dipenjara."
Andai tertangkap basah, mereka jelas takkan mencemaskan apa
yang sedang mereka minum, keduanya menyadari hal itu. Mereka
selesai makan siang dan dengan rapi Caroline membantu Rink
memasukkan makanan yang tersisa ke keranjang. Caroline
bersandar di batang pohon, menggantikan Rink. Rink berbaring di
samping‐nya sambil menopang kepalanya dengan tangan. Ia
memandangi Caroline.
"Apa yang sedang kaupikirkan?" tanyanya.
Caroline bertemu pandang dengannya. "Ibumu."
"Ibu?" Nada terkejut dalam suara Rink tak bisa
disembunyikannya.
"Aku ikut sedih mendengarnya sudah mening‐gal, Rink. Ia
perempuan yang sangat baik."
"Kapan kau bertemu ibuku?"
"Tidak pernah, tetapi ia sesekali ke Woolworth. Aku selalu
menganggap ia perempuan yang... yang paling rapi yang pernah
kukenal."
Rink tertawa. "Ya, memang. Aku tidak pernah melihat ibuku
dalam keadaan tidak rapi."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Ia juga cantik, dan selalu berpakaian indah." Ekspresi Caroline
raelembut. "Ia meninggal ka‐rena apa, Rink?"
Rink mengamati tepi rok Caroline, jarinya menelusuri sulaman
pada pinggir rok itu. "Patah hati," jawab Rink pelan.
Caroline melihat kepedihan di wajah Rink, membuat perasaan
Caroline tersentuh. Ingin ia merebahkan kepala Rink di dadanya,
menghibur‐nya, mengelus rambutnya. "Bagaimana bisa orang yang
tinggal di rumah seperti rumahmu patah hati?"
Rink tidak menanggapi pertanyaan Caroline, ia malah balik
bertanya. "Kau suka The Retreat?" Mata Caroline berbinar. "Itu
rumah paling indah di dunia," jawab Caroline kagum dan Rink
tertawa. Caroline memerah. "Yah, paling tidak, itu rumah paling
indah yang pernah kulihat."
Rink kelihatan terkejut. "Kau pernah masuk?"
"Oh, tidak, tidak pernah. Tetapi aku sering melewati rumah itu.
Aku suka berdiri meman‐danginya. Aku bersedia melakukan apa pun
un‐tuk bisa tinggal di rumah seperti itu." Mata Caroline
menerawang jauh. "Kau mungkin ber‐pikir aku sinting."
Rink menggeleng. "Aku juga suka The Retreat. Aku juga tidak
pernah bosan memandanginya. Suatu hari nanti kuundang kau ke
rumah."
Mereka berdua tahu Rink tidak akan melaku‐kannya, dan selama
beberapa saat kemudian mereka tidak sanggup berpandangan.
Akhirnya Caroline berkata, "Adik perempuanmu cantik sekali. Aku
pernah melihatnya dengan ibumu beberapa kali."
"Namanya Laura Jane."
"Aku tak pernah melihatnya di sekolah. Apakah ia pergi ke
sekolah khusus?"
Rink mematahkan sebatang rumput dan meng‐gigiti batangnya.
Giginya rata dan putih sekali. "Ia bersekolah di Sekolah Luar Biasa. Ia
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
tidak sepenuhnya terbelakang, tetapi perkembangan otaknya
lambat. Ia tidak bisa belajar secepat anak yang lain."
Pipi Caroline terasa panas. "Aku... aku minta maaf... aku tidak
bermaksud...."
"Hai," ujar Rink sambil menarik tangan Caroline. "Tidak apa‐apa.
Laura Jane gadis yang menakjubkan. Aku sangat mencintainya."
"Beruntung sekali ia punya kakak laki‐laki seperti dirimu."
Kembali Rink menopang kepalanya dengan tangan dan
melemparkan pandangan nakal pada Caroline. Sinar matahari
menimpa lentik bulu matanya yang hitam. "Begitukah?"
"Ya."
Keduanya hanya saling pandang ketika tak ada kata‐kata lagi
yang perlu diucapkan. Mata Rink tertuju pada tangan Caroline yang
diletak‐kan di pahanya. Diambilnya, dibalik dan diamati‐nya garis‐
garis tangan pada telapak tangan itu. Telunjuk Rink menelusuri
tangan Caroline mulai dari telapak sampai ke lekukan tangan yang
paling sensitif. Sentuhan tangan Rink membuat sekujur tubuh
Caroline menggelenyar. Dadanya bergemuruh tak menentu. Ia
heran merasakan payudaranya tiba‐tiba menegang.
"Aku harus pergi," katanya dengan napas memburu.
"Aku tidak ingin kau pergi," sahut Rink de‐ngan suara parau.
Tatapannya perlahan bertemu pandangan Caroline. "Aku berharap
kita berdua bisa seharian di sini, seperti ini, mengobrol."
"Aku yakin kau punya ba‐nyak teman untuk mengobrol. Mereka
bisa ngobrol denganmu, kan?"
"Mereka sangat suka bicara," jawab Rink. "Tak ada yang suka
mendengarkan, hanya men‐dengarkan, seperti yang kaulakukan,
Caroline."
Sambil memandang Caroline dengan bola matanya yang
keemasan, perlahan Rink berdiri. Tangannya menepis rambut
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Caroline ke belakang leher yang jenjang. Ditariknya Caroline
merapat ke tubuhnya. Caroline tidak menolak sedikit pun sampai
akhirnya bibir Rink menyentuh bibirnya. Kedua terhanyut, saling
mendesah nikmat.
Bihk Rink. sama lembutnya dengan malam kemarin, tetapi
karena Caroline memberi respons, Rink jadi langsung bergairah.
Ciumannya makin lama makin panas.
Caroline hanyut dalam arus hasrat menggebu Rink. Jiwanya
menggelora tidak menentu, ter‐perangkap dalam gairah,
keharuman tubuh, sen‐tuhan tubuh Rink pada tubuhnya. Menit
berikut‐nya, Caroline berbaring tertindih paha Rink yang telanjang,
sementara Rink membungkuk di atas tubuh Caroline. Lidahnya
menjelajahi mulut Caroline dengan penuh gairah sementara jari‐jari
Caroline mencengkeram rambut Rink.
Rink mengangkat kepalanya, terengah‐engah, lalu kembali
menghujani Caroiine dengan ciuman hangat. "Caroline, jangan
pasrah, katakan jangan. Jangan biarkan aku melakukannya." Rink
me‐narik kerah blus Caroline ke bahunya, lalu me‐nyelipkan
tangannya ke balik blus itu. Kulit Caroline terasa hangat dan halus
tersentuh te‐lapak tangannya. Ia mempermainkan tali bra Caroline.
Ujung jarinya mengelus dada Caroline, dan ia mendesah. "Kau masih
di bawah umur. Masih anak‐anak. Tuhan, tolong. Kau belum cukup
umur untuk tahu lebih jauh, tetapi aku boleh. Kita bermain api,
Sayang. Hentikan aku. Tolonglah." Kembali Rink menciumi Caroline,
lama.
Keresahan merayapi perasaan Caroline. Kakinya bergerak‐gerak
meronta. Dadanya berdebar‐debar, ia ingin menutupinya dengan
tangannya. Dengan tangan Rink. Caroline melingkarkan tangannya
di leher Rink.
Namun Rink menarik tubuhnya, menarik na‐pas, memejamkan
mata rapat‐rapat. "Tidak boleh diteruskan, Caroline. Kalau tidak kita
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
hentikan, segalanya akan tak terkendali. Kau mengerti apa yang
kumaksud?"
Seperti orang tolol, Caroline mengangguk, ber‐harap Rink
kembali memeluknya, menciuminya lagi, menyentuh tubuhnya di
bagian yang dirasa‐kannya membengkak dan hangat.
Rink membantu Caroline berdiri. Caroline bergelayut di badan
Rink dan pria itu mendekap‐nya erat‐erat, membelai punggungnya,
membisik‐kan kata‐kata manis di balik rambutnya. Tanpa malu‐
malu, lengan Caroline memeluk pinggang Rink. Ketika laki‐laki
tersebut menjauhkan tubuh Caroline darinya, senyumnya tampak
getir. "Aku takkan pernah memaafkan diriku bila kau dipecat dari
pekerjaanmu," bisik Rink.
"Oh, ya ampun!" ujar Caroline, sambil me‐mukul‐mukulkan
telapak tangan ke pipinya yang memerah. "Jam berapa sekarang?"
"Kau masih punya waktu bila pergi sekarang."
"Sampai jumpa," kata Caroline sambil me‐masukkan blusnya
kembali ke rok dan meng‐gelengkan kepala untuk merapikan
rambutnya.
Rink menggenggam tangannya. "Aku tidak bisa menjemputmu
nanti malam."
"Aku juga tidak berharap begitu, Rink," jawab Caroline polos.
"Aku ingin, tetapi ada yang harus kulakukan nanti malam."
"Tidak apa‐apa. Sungguh." Caroline mulai melangkah. "Terima
kasih untuk makan siang‐nya." Sambil berbalik, ia menghilang di
balik pepohonan. Rink mengejarnya.
"Caroline!" Rink memanggilnya dengan nada penuh wibawa,
membuat Caroline menghentikan larinya dan berbalik.
"Ya?"
"Aku tunggu kau besok. Di sini. Oke?"
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Ekspresi Caroline yang berseri‐seri bersaing dengan kecerahan
sinar matahari ketika ia ter‐senyum pada Rink. "Ya," jawabnya
sambil ter‐tawa. "Ya... ya... ya...."
Rink menemui Caroline keesokan harinya, sehari setelah itu dan
hari‐hari selanjutnya, hampir setiap hari dalam beberapa minggu
berturut‐turut. Bila sempat, Rink menjemput Caroline dari tempat
kerja dan mengantarnya sampai ke dekat rumah.
Caroline memiringkan tubuh dan memandang bulan yang
memancarkan sinarnya di antara dahan pepohonan di luar jendela.
Betapa mem‐bahagiakannya hari‐hari itu. Ia hidup dalam
kegembiraan, hari‐hari penuh ciuman, sekaligus kesedihan karena ia
menginginkan sesuatu yang lebih daripada ciuman. Rink
mengutarakan niat‐nya menempuh masa depan bersama Caroline.
Caroline juga menceritakan semua rahasia pri‐badinya. Mereka
sama‐sama mengungkapkan ra‐hasia yang tak pernah diketahui
orang lain.
Setiap jam yang mereka curi untuk dilewati bersama sangat
membahagiakan, sebagian di‐karenakan sinar matahari musim
panas yang hangat. Karena suatu hari ketika mereka bertemu, turun
hujan.
Itulah hari yang paling indah daripada hari‐hari yang mereka
lewati bersama.
Caroline tersedu‐sedan, dibiarkannya air mata membasahi
pipinya. Ia berdoa memohon ampun tetapi tak yakin doanya
dikabulkan. Karena ia ingin menangis untuk Roscoe, suaminya,
tetapi air mata yang menitik turun malah untuk Rink, kekasihnya.
Bab 5
CAROLINE bangun lebih lambat daripada yang diinginkannya. Ia
memakai mantel dan tu‐run ke dapur untuk mengambil secangkir
kopi sebelum mulai bekerja di perpustakaan. Haney bersenandung
sambil mencuci piring. Ia tidak suka memakai mesin pencuci piring."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Selamat pagi. Kau kelihatan senang sekali." "Rink sarapan banyak,"
jawab Haney dengan wajah berseri‐seri.
Caroline tersenyum. Cara Haney menyebut nama Rink seperti
menyebut nama anak laki‐laki berusia empat tahun. "Ia sudah
bangun dan pergi
"Ya." Haney mengiakan sambil mengarahkan pandangan ke pintu
belakang. Caroline melang‐kah ke pintu belakang sambil menghirup
kopi. Tampak Rink berdiri di samping salah satu kuda terbaik milik
keluarga Lancaster, berbicara dengan Steve. Caroline melihat Rink
melompat naik ke atas pelana, kakinya yang panjang teren‐tang di
badan kuda, dan ia membetulkan letak kakinya yang memakai
sepatu boot di sanggurdi. Kuda jantan itu berjingkrak‐jingkrak
sebelum Rink menarik tali kendali kuat‐kuat. Kuda ter‐sebut
memberi respons seketika. Setelah meng‐ucapkan terima kasih
kepada Steve, Rink dan kudanya berpacu menuju tanah lapang yang
mengarah ke jalan raya.
Caroline memandanginya sejauh matanya mampu memandang.
Rambut Rink yang hitam berkilat di bawah sinar matahari pagi. Otot
paha dan punggungnya tampak menonjol ketika tanpa kesulitan ia
melompati pagar dan menga‐rahkan kudanya ke pepohonan.
Waktu Caroline membalikkan badan, Haney memandanginya
dengan sorot mata penuh ingin tahu. Caroline yang gugup
memegang teng‐gorokannya. "Aku harus menelepon beberapa
orang, aku akan ke perpustakaan," gumam Caroline sebelum
meninggalkan dapur dengan tergesa‐gesa. Ia memang tidak mampu
menahan diri untuk tidak hanyut bersama Rink, tetapi ia harus
sangat berhati‐hati jangan sampai ada yang menyadari sikapnya itu.
Perawat rumah sakit yang bertugas jaga tidak banyak
memberikan informasi baru ketika Caroline meneleponnya. "Ia
belum bangun. Ia tidur nyenyak hampir semalaman. Ia bangun
sekali, tapi segera kami beri obat penenang."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Terima kasih," katanya sebelum memutus hubungan telepon
dan memutar nomor telepon Granger. "Apakah ada hal yang harus
kulakukan tetapi belum kuselesaikan?" tanyanya pada penga‐cara
itu. "Bukannya aku mau lancang, ikut campur soal kesepakatan kerja
maupun urusan pribadi Roscoe, aku hanya ingin membantu se‐batas
yang aku mampu."
"Aku tidak pernah menganggapmu lancang," kata Granger
lembut. "Lagi pula itu hakmu untuk memerhatikannya."
"Aku bukan memikirkan diriku. Aku hanya ingin kepastian segala
yang menyangkut Laura Jane sudah diatur dengan baik. Juga Rink,
tentu saja.
Pengacara itu terdiam. Caroline tahu ia tengah mengingatkan
dirinya akan kerahasiaan dalam profesinya. "Aku tidak tahu semua
keinginan Roscoe, Caroline. Sumpah, aku tidak tahu. Ia membuat
surat wasiat baru beberapa tahun lalu, tetapi ia meminta aku
mengurusnya. Aku yakin akan ada beberapa pasal yang ia buat
untukmu. Aku rasa tidak akan ada kejutan."
Caroline juga sangat berharap demikian, tetapi ia tidak
mengungkapkan kecemasannya kalau‐kalau ada kejutan. Setelah
selesai bertukar pikiran tentang beberapa masalah bisnis, mereka
saling mengucapkan selamat tinggal.
Begitu diletakkan, telepon itu langsung ber‐dering. "Halo?"
"Miz Lancaster?"
Suara hiruk‐pikuk yang terdengar di telepon jelas menunjukkan
telepon itu datang dari pabrik pemintalan kapas. "Ya."
"Saya Barnes. Ingat mesin pintal yang pernafi saya ceritakan
beberapa hari lalu? Pagi ini suara mesinnya berisik sekali, karena itu
kami matikan."
Caroline mengusap dahinya. Kerusakan sema‐cam ini tidak boleh
terjadi, sebab sekarang sedang musim panen kapas. Mesin itu
digunakan untulc memisahkan kapas dari bijinya. Meski hanya satu
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
mesin yang rusak pada masa panen, mereka bisa kehilangan
berjam‐jam masa produksi.
"Aku segera ke sana," jawab Caroline cepat.
Buru‐buru Caroline menghabiskan sisa kopinya yang sudah
dingin, lalu lari naik ke lantai dua. Setengah jam kemudian, ia sudah
mandi dan berpakaian rapi; mengenakan rok dari bahan poplin dan
blus dari bahan rajut berkerah. Ia memakai sepatu berhak rendah.
Rambutnya di‐ekor kuda, dililit pita warna cerah. Caroline tidak
pernah memakai baju mewah ke pabrik pemintalan kapas.
Alasannya, tidak praktis. Alasan lainnya, ia ingin para pekerjanya
menganggap dirinya bagian dari mereka, bukan sekadar istri si bos.
Ia pamit pada Haney, menjelaskan ke mana ia akan pergi.
Kemudian ia mengambil dompet, lalu lari ke pintu depan. Rink baru
saja menarik kudanya. Ketika melihat Caroline, Rink me‐nyerahkan
kudanya pada Steve yang menunggu‐nya, lalu lari menghampiri
Caroline.
"Mau ke mana, terburu‐buru? Ke rumah sakit?"
Dari ekspresi wajahnya, Caroline tahu Rink mengira ketergesa‐
gesaannya karena kondisi ayah‐nya yang memburuk. Kendati
keduanya tidak pernah rukun, batin Caroline, Rink peduli juga pada
ayahnya dan tidak suka melihatnya menang‐gung penderitaan.
Cepat‐cepat Caroline me‐nenangkannya, "Tidak. Aku menelepon ke
rumah sakit tadi pagi. Roscoe belum bangun, tetapi mereka bilang
sepanjang malam ia tenang. Aku mau ke pabrik pemintalan kapas."
"Ada masalah?"
"Ya. Dengan salah satu mesin."
Rink mengangguk. "Parah?"
"Kukira, mungkin. Mandor terpaksa harus me‐matikannya."
Caroline melihat Rink berpikir ke‐ras dan sebelum
mempertimbangkan lebih jauh, ia berkata, "Mau temani aku ke
sana, Rink?" Pandangan mata Rink beralih ke Caroline, mem‐buat
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Caroline harus menelan ludah. "Barangkali, bila kau melihatnya, kau
tahu apa masalahnya. Aku butuh bantuanmu. Kalau minta bantuan
orang lain, ia mungkin saja akan menarik ke‐untuiigan dalam situasi
seperti ini."
Rink menatap Caroline begitu lama dan tajam,
membuat Caroline berpikir pria itu akan menolak
ajakannya. Kemudian Rink mengulurkan tangan.
"Aku yang mengemudi."
Caroline meletakkan kunci mobil Lincoln ke telapak tangan Rink,
lalu berlari ke mobil, mengambil sisi yang berlawanan. Cara Rink
me‐ngemudikan mobil sama seperti ia mengerjakan pekerjaan
lainnya, agresif. Terdengar suara ban mobil mencicit nyaring ketika
dibelokkan, kerikil beterbangan dan debu mengepul.
"Mesin ini sering mogok?" tanya Rink pada Caroline.
"Beberapa kali, ya." ‐
"Baru‐baru ini?"
"Ya."
Caroline berharap mereka bisa terus bercakap‐cakap. Dekat
dengan Rink mengacaukan pe‐rasaannya. Aroma tubuh Rink bak
udara pagi yang menyegarkan, seperti angin, seperti bau kuda,
wewangian, dan aroma laki‐laki. Gambaran Rink yang duduk di kuda
muncul kembali dalam benaknya.
Masih segar dalam ingatannya, Rink yang. datang ke tempat
pertemuan mereka dengan I berkuda. Caroline merasa tubuhnya
menciut me‐1 lihat kuda yang demikian besar. Rink tertawa melihat
ia gugup dan memaksanya naik kuda bersamanya. Dengan enteng
Rink mengangkat tubuh Caroline ke punggung kuda. Untunglah hari
itu Caroline memakai rok lebar sehingga ia bisa duduk
mengangkang.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Bahkan sampai saat ini Caroline masih ingat bagaimana rasanya
bulu‐bulu kuda itu menyen‐tuh pahanya yang telanjang, perut Rink
yang menyentuh pinggulnya ketika pria itu duduk di belakangnya,
gerakan naik‐turun paha Rink yang menyentuh pahanya, kekokohan
lengannya yang memegang tali kendali ketika mengajaknya ber‐
keliling. Tubuh Rink terasa hangat dan agak basah karena keringat.
Rink meletakkan dagunya di rambutnya. Bahkan ia masih bisa
merasakan napas Rink di pipinya, di kelopak matanya. Ia mencium
bau yang sama hari ini seperti dua belas tahun lalu.
Tidak banyak yang ia ingat ketika menunggang kuda di bawah
pepohonan pendek yang rindang; yang ia ingat hanyalah dadanya
yang berdebar‐debar ketika Rink meletakkan tangannya di ba‐wah
dadanya. Ia ingat, saat itu tak ada yang ia takutkan kecuali khawatir
Rink tidak suka ketika pria itu menyenggol payudaranya. Ia tidak
mam‐pu membeli pakaian daJam cantik berenda seperti yang
dipakai gadis‐gadis sebayanya. Branya hanya bra biasa, berwarna
putih, sekadar fungsional dan tak menarik. Caroline ingin merasa
lembut, memikat, dan seksi di tangan Rink. Ia takut ia tidak terasa
seperti itu.
Kini ia mengamati tangan Rink yang me‐nu‐gang kemudi. Tangan
yang indah. Berwarna gelap dan kokoh, ramping dan terawat.
Kukunya dipotong pendek. Bulu‐bulu hitam halus tumbuh pada
buku‐buku tangan, punggung tangan, dan pergelangan tangan.
"Ayo kubantu turun," kata Rink, sambil meng‐ulurkan tangan
kepada Caroline.
Caroline menurunkan kakinya dari punggung kuda, tubuhnya
agak dimiringkan dan tangannya di pundak Rink. Tangan Rink
memegang lengan bagian bawahnya ketika Caroline perlahan turun
dari punggung kuda. Namun, kendati kaki Caroline sudah
menyentuh tanah, Rink tidak melepaskan genggamannya,
tangannya menyeng‐gol payudara Caroline. Saat itu Rink mendesah‐
kan namanya.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Caroline. Caroline."
Caroline tersentak, panggilan Rink bukan ha‐nya ada dalam
angan‐angannya tetapi betul‐
betul terjadi.
"Ada apa?" Ia menatap Rink, kecemasannya tak dapat
disembunyikan. Matanya bagai ber‐kabut dan sendu, teringat
ciuman yang me‐mabukkan yang pernah mereka lakukan. Dadanya
naik‐turun dengan cepat, seperti yang terjadi pada hari itu ketika
tangan Rink menggenggam payudaranya, memijatnya perlahan,
mengusapnya sampai payudaranya menegang.
Rink menatap Caroline penuh keheranan. "Aku bertanya apakah
ada tempat parkir khusus
untukmu."
"Oh. Y‐ya. Dekat pintu. Ada tandanya." Rink mengarahkan mobil
ke tempat yang bertuliskan nama Caroline di aspal dan memati‐kan
mesin mobil. Setelah itu Caroline kembali melihat Rink
menghunjamkan tatapan heran lagi. "Sudah siap masuk?" Rink
seperti tidak yakin Caroline siap.
Caroline merasa harus segera menjauhkan diri dari mobil, dari
kenangan manis itu. Hampir meneriakkan kata ya, ia membuka
pintu mobil dan hampir terjatuh karena terburu‐buru men‐jauh dari
mobil.
Suara hiruk pikuk dan debu yang mengepul di pabrik pemintalan
kapas adalah sambutan selamat datang yang sudah akrab. Caroline
melangkah masuk bersama Rink menuju kantor ayahnya.
Rink melihat tak banyak yang berubah. Para pekerja yang datang
mengerumuni mereka adalah orang‐orang yang sudah dikenalnya.
"Barnes!" serunya. "Masih di sini?"
"Sampai mati." Ia menggenggam tangan Rink. "Senang berjumpa
lagi denganmu, Nak."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Yang lain pun menyalami Rink dengan gem‐bira. Rink
menanyakan kabar keluarga mereka, mengingat nama‐nama yang
mungkin sudah di‐lupakan orang lain. Namun orang‐orang ini su‐
dah seperti keluarga Rink. Mereka bagian dari dirinya bak darah
yang memberi kehidupan se‐lama hidupnya.
"Apa masalahnya?" tanya Rink pada Barnes, sambil berjalan ke
mesin pemintalan yang rusak di deretan mesin.
"Tua, umumnya," jawab mandor itu resah. "sudah terlalu tua,
Rink. Tak tahu apakah masih bisa dipakai. Terutama kalau panen
tahun ini sebaik tahun lalu. Harus dihidupkan siang dan malam."
Rink menjumput kapas yang mencuat keluar dari mesin dan
mengelusnya dengan jari‐jarinya. Ada serpihan daun dan pasir
terselip di antara serat‐seratnya. Barnes dan Caroline menghindari
pandangan mata Rink ketika memerhatikan ka‐pas itu dengan
saksama. "Kualitas apa kapas ini?"
"Menengah," jawab Caroline, akhirnya, ketika melihat Barnes
terdiam.
"Keluarga Lancaster selalu memproduksi kapas kualitas terbaik.
Apa yang terjadi di sini?"
"Mari ke kantor, Rink," ajak Caroline lembut. Ia langsung berbalik
dan berjalan lebih dulu, berharap Rink mengikutinya dan tidak ber‐
argumentasi dengannya di depan karyawan.
Caroline duduk di kursi kulit di belakang meja ketika Rink masuk
ke ruangan dan mem‐banting pintu, sampai membuat kacanya
bergetar.
"Dulu ini pemintalan kapas terbaik di negara bagian ini," kata
Rink marah tanpa basa‐basi.
"Sekarang pun masih."
"Tidak mungkin bila kualitas kapas yang di‐produksi seperti itu,
tidak mungkin. Andai aku petani kapas, hasil panenku pasti akan
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
kupintal di pabrik pemintalan lain. Tidak bisakah kita memintal
kapas yang lebih baik?"
"Sudah kubilang, yang jadi persoalan adalah peralatannya.
Mesin‐mesin itu...."
"Sudah kuno," potong Rink. "Brengsek, apakah Daddy tidak ingin
memperbaiki atau mem‐perbaruinya?"
"Ia merasa tidak perlu," jawab Caroline, pelan.
"Tidak perlu!" ulang Rink dengan suara nya‐ring. "Lihatlah
tempat ini. Lebih mirip kandang dinosaurus ketimbang pabrik
pemintalan kapas modern. Kita tidak jujur pada diri kita, juga pada
para penanam kapas. Aneh mereka tidak membawa kapas mereka
ke pabrik pemintalan kapas yang lain—" Mendadak Rink berhenti
bicara, matanya disipitkan. "Atau banyak yang sudah pindah?"
"Kita kehilangan beberapa tahun lalu, ya."
Rink mengaitkan ujung sepatu botnya ke kaki kursi, lalu menarik
kursi itu ke dekatnya. Rink, setelah duduk di kursi, mencondongkan
tubuh ke meja dan berkata dengan nada yang tidak bisa diterima
Caroline. "Ceritakan semua yang terjadi padaku."
"Beberapa penanam kapas yang biasa menjual panennya pada
Lancaster Gin memang ada yang membawa kapas mereka ke
pemintalan lain. Mereka hanya membayar biaya pemintalan kemu‐
dian menjual langsung ke pedagang."
Caroline duduk resah di kursi kulit yang berderit sementara Rink
memandanginya. "Jadi mereka lebih suka repot‐repot mengusung
panen kapas mereka ke tempat lain dan membayar ongkos
memintalnya ketimbang menjualnya ke‐pada kita, memintalnya,
mengepaknya, dan menjualnya ke pedagang kapas." Caroline
mengangguk. Rink menyuarakan apa yang masih terpendam dalam
benak mereka. "Mereka mendapat lebih banyak uang dengan cara
itu, daripada memintalnya di tempat kita, karena mereka hanya
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
membayar mereka dengan ongkos lebih murah untuk kapas yang
kualitasnya lebih rendah."
"Kurasa begitulah cara berpikir mereka."
Rink bangkit dari kursi dan berjalan ke jendela. Ia membalik
tangannya, lalu memasukkannya ke saku jins. Kelihatannya ia
sedang memandang alam sekitar, tetapi Caroline tahu bukan
pemandangan itu yang tengah dilihatnya. "Kau tahu akar persoalan
ini, bukan? Tahu, kan?" ulang Rink, langsung membalikkan badan
ketika Caroline tidak cepat menjawab pertanyaannya.
"Ya."
"Tetapi kau tidak melakukan apa‐apa." "Apa yang bisa kulakukan,
Rink? Pertama‐tama, tugasku hanya mengurus pembukuan. Aku
belajar tentang proses pemintalan kapas, pemasarannya, hanya
dengan mendengarkan, mengamati, menjengkelkan diriku sendiri
dengan berada di antara para pekerja. Aku bukan pengambil
keputusan."
"Kau kan istrinya! Tidakkah itu membuatmii punya hak untuk
melakukan sesuatu?" R'~l mengangkat kedua tangannya. "Kutarik
keml ucapanku. Mereka yang menjadi istri Roscoe Lancaster tidak
akan mengkritik, melakukan api
pun yang dikerjakan Roscoe, mereka hanya pas‐rah melakukan
perintah... istri‐istri yang tugasnya menyenangkan suami."
Caroline mengangkat dagu, mengepalkan ta‐ngan, dan berkacak
pinggang. "Aku pernah me‐ngatakan padamu aku tidak akan pernah
bicara soal hubunganku dengan Roscoe padamu."
"Dan aku pernah mengatakan padamu aku tidak peduli apa yang
kaulakukan dengan Roscoe di ranjang."
Keduanya tahu apa yang mereka katakan se‐betulnya tidak
benar. Rink merasa agak malu karena menyadari ia berbohong.
Caroline dengan bijaksana memilih tidak menantangnya. "Andai
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
menghinaku adalah hal terbaik yang bisa kau‐lakukan untuk
memecahkan masalah ini, kurasa kau tidak usah ikut campur."
Rink mengumpat dan menyibakkan rambut dengan jari‐jarinya
dengan kesal. Mereka saling pandang sampai akhirnya diam‐diam
mengalah. "Aku akan menolong semampuku," gumam Rink.
"Kau bisa memperbaiki mesinnya?" tanya Caroline, menekan
kesombongannya.
"Aku butuh beberapa peralatan, tetapi kurasa bisa kuperbaiki.
Aku pernah membongkar mesin pesawat terbang dan
memperbaikinya. Pasti mesin ini tidak lebih rumit daripada mesin
pesawat terbang. Tetapi aku tidak berani menjanjikan apa‐apa,
Caroline. Perbaikan yang kulakukan bu‐kan jawaban atas
masalahmu."
"Aku paham." Caroline melunak, tubuhnya tidak setegang tadi
ketika ia tersenyum malu‐malu, meminta maaf atas perilakunya.
"Apa pun bantuanmu, sangat kuhargai."
Kali ini umpatan Rink makin kasar, tetapi hanya dalam hati.
Umpatan itu ditujukan kepada dirinya sendiri karena perasaan
bersalah. Tak ada hal yang lebih diinginkannya saat itu kecuali
memeluk Caroline, melindunginya, mengecup bibirnya, merapatkan
tubuh perempuan itu ke tubuhnya. Betapa tololnya dirinya dulu.
Pikiran itu membawanya membayangkan tubuh Caroline
berpelukan dengan ayahnya. Oh, Tuhan! Ter‐kadang ia merasa
seperti akan gila bila mem‐bayangkan hal itu.
Kendati demikian ia tidak bisa menyalahkan Caroline, seperti
yang ingin ia lakukan. Tiap kali menatap Caroline, ia makin
menginginkan wanita itu. Ia harus segera meninggalkan tempat ini.
Segera. Sebelum ia melakukan sesuatu yang bisa mempermalukan
dirinya sendiri. Namun itu pun tidak bisa ia lakukan, apa pun
alasannya. Laura Jane. Ayahnya. Tetapi terutama karena Caroline.
Berjumpa lagi dengan Caroline dua belas tahun kemudian membuat
Rink tidak bisa serta merta meninggalkannya.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Kau tahu di mana bisa mencariku," kata Rink sambil berjalan
keluar pintu.
Caroline bekerja di kantor menyelesaikan surat‐surat, sementara
Rink dibantu karyawan mencari perkakas yang dibutuhkan. Sejam
kemudian Caroline berdiri di belakangnya, ketika ia tengah
membongkar bagian dalam mesin besar. "Rink, aku akan pergi ke
rumah sakit sebentar. Kalau aku belum kembali tapi pekerjaanmu
sudah se‐lesai, kau bisa minta tolong salah seorang kar‐yawan
mengantarmu pulang."
Rink tersenyum getir. "Tak usah repot. Aku masih agak lama di
sini." Caroline nyengir. Rink melihat tangan Caroline setengah
terangkat hendak menyentuh lengannya. Namun ia tak jadi
melakukannya, malah cepat‐cepat mengucap‐kan selamat tinggal
dan pergi.
Rumah sakit terasa sejuk dan tenang setelah dari pemintalan
kapas yang berisik dan hiruk‐pikuk. Roscoe masih terbaring di
ranjang, ta‐tapannya lekat pada layar televisi, walaupun ia
mematikan suaranya. Tubuhnya dipasangi selang untuk makanan
dan untuk mengeluarkan ko‐toran. Layar monitor berkedip,
mengeluarkan suara mencicit dan merekam kerja organ tubuh‐nya
yang penting. Kondisinya tampak sangat mengenaskan. Caroline
tersenyum ceria dan de‐ngan berani mendekatinya.
"Halo, Roscoe." Caroline mencium pipi Roscoe yang pucat pasi.
"Bagaimana keadaanmur
"Ucapan itu terlalu kasar buat perempuan peka seperti kau,"
jawab Roscoe. Diamatinya pakaian Caroline dan bertanya, "Kau
pulang dari pabrik?"
"Ya. Sepagian ini, sebenarnya, kalau tidak, aku pasti datang lebih
awal ke sini. Ada masalah dengan salah satu mesin pemintal."
"Masalah apa?"
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Aku belum tahu pasti. Masalah di bagian mesinnya. Rink sedang
memeriksanya. Bunga dari anak‐anak Sekolah Minggu ini cantik
sekali."
"Apa maksudmu, Rink sedang memeriksanya?"
Caroline memerhatikan rangkaian bunga yang diantar ke rumah
sakit sewaktu ia belum tiba dan membaca kartu nama
pengantarnya, agar ia tahu kepada siapa ia akan mengucapkan
terima kasih. Namun ia berbalik seketika mendengar kata‐kata
Roscoe. Tak pernah Caroline melihat air muka Roscoe sedemikian
mengerikan. Atau penyakit yang dideritanya membuat wajahnya
kelihatan penuh kebencian?
"Jawab pertanyaanku, brengsek!" bentak Rocscoe nyaring, di
luar dugaan Caroline. "Apa yang dilakukan Rink di pabrik pemintalan
kapas itu?"
Caroline yang merasa sangat terkejut tidak segera dapat
mengucapkan kata‐kata dari mulut nya. "Aku... aku memintanya
memeriksa mesin pintal yang rusak. Ia insinyur. Ia bisa—"
"Tanpa izinku kau minta putraku ikut campui urusan di
pemintalan?" Roscoe berusaha duduk "Ia sudah melepaskan haknya
atas pemintalan Lancaser Gin ketika ia pergi dari rumah dua belas
tahun yang lalu. Aku tidak ingin ia ada di pabrik, mendekatinya
sekalipun. Kau mengerti, perempuan?"
Keringat bercucuran di dahinya. Matanya membeliak karena
marah.
Caroline takut melihat kemarahan Roscoe dan memikirkan
nyawanya. "Roscoe, tenanglah. Yang kulakukan hanya meminta Rink
memeriksa mesin yang rusak. Ia bukan ikut campur dalam bisnis di
sana."
"Aku kenal anak itu. Ia akan mencari‐cari kesalahan di sana,
menasihatimu tentang bagai‐mana mengatur keuanganku." Roscoe
menunjuk Caroline dengan jari telunjuknya, dan berbicara dengan
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
suara melengking, "Kau dengar, dengarkan sebaik‐baiknya. Kau
tidak boleh memakai satu sen pun uang pemintalan itu tanpa
seizinku."
Caroline serasa ingin menepis jari telunjuk yang diarahkan
kepadanya itu, yang menuduhkan sesuatu tidak pada tempatnya.
"Tidak akan pernah, Roscoe," jawab Caroline jujur.
"Rink juga tidak pernah ada."
"Dan salah siapa itu?"
Pertanyaan Caroline yang tidak cukup bijak‐sana itu menggema
di ruangan yang steril dan berbalik menyerangnya. Beberapa menit
lamanya Caroline merasa tidak dapat bernapas, hanya mampu
melirik tubuh suaminya yang tak berdaya, yang sudah lemah, yang
menyiratkan bahaya, seperti binatang jinak yang terluka dan kini
berusaha menghancurkan siapa pun yang mencoba mendekatinya.
Roscoe memperdengarkan tawa yang mengeri‐kan, kemudian
ambruk di atas bantal. "Itukah yang dikatakan Rink padamu? Bahwa
aku mengusirnya karena ia mempermalukanku dengan menghamili
anak gadis keluarga George?"
Mata Caroline tertuju pada tangannya. Ujung jarinya terasa kaku,
AC rumah sakit hanyalah sebagian penyebabnya. Telapak tangannya
basah karena keringat. "Tidak. Kami tidak bicara soal itu," kata
Caroline jujur.
"Hmm, supaya kau tidak mendapat informasi yang salah,
sebaiknya kuluruskan. Aku tidak menyuruh Rink meninggalkan
rumah selama dua belas tahun. Tetapi ia tahu aku marah sekali
padanya, tetapi bukan karena ia menghamili gadis itu." Roscoe
tertawa terkekeh. "Aku sudah mengira ia bisa melakukan kenakalan
se‐perti itu. Bagaimanapun ia anak laki‐laki. Mereka akan
menidurinya bila dapat kesempatan, bukan?"
Caroline membuang muka. Kata‐kata Roscoe bak tombak yang
dihunjamkan ke tubuhnya. "Kurasa memang demikian."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Tawa Roscoe makin nyaring. "Percayalah pada‐ku. Laki‐laki akan
melakukan apa pun, mengata‐kan apa saja, asal bisa menyusup ke
balik rok perempuan. Apalagi kalau gadis itu agak penurut.
Caroline memejamkan mata, ingin menghapus air matanya, ingin
menghapus kata‐kata Roscoe, ingin menghapus perasaan malu yang
menyergap dirinya.
"Tentu mereka tidak suka tertangkap basah seperti yang dialami
Rink. Ketika Frank George datang menemuiku dan mengatakan Rink
meng‐hamili anak gadisnya, Marilee, aku langsung mengatakan
padanya Rink akan menikahi putri‐nya. Itu tindakan terhormat yang
harus dilaku‐kan, bukan?"
"Ya." Sakit rasanya harus mengucapkan kata itu.
"Hmmm, tetapi anak bajingan itu berkata bukan ia yang
menghamilinya. Benar‐benar me‐malukan. Bukan karena Rink
tertangkap basah ketika membuka celananya, tetapi ia tidak mau
mengakui kecerobohannya. Kemudian Rink me‐ngatakan padaku,
bila aku memaksanya menikahi gadis itu, ia akan pergi dari rumah
dan takkan pernah kembali."
Roscoe menarik napas panjang, seakan ingatan akan peristiwa
tersebut menyakiti hatinya. "Aku harus melakukan apa yang
menjadi kewajibanku, bukan demikian, Caroline? Aku harus
memaksa‐nya menikahi gadis itu. Ia yang memutuskan pergi dari
rumah setelah itu, bukan aku. Maka‐nya, tak perlu mengasihani
Rink, apa pun yang dikatakannya padamu. Ia yang berbuat, ia yang
harus menanggung akibat perbuatannya seumur hidupnya."
Roscoe terdiam, beberapa saat Caroline hanya melempar
pandang ke luar jendela. Bila ia berbalik, Roscoe akan menangkap
keputusasaan yang melanda perasaannya saat itu, Roscoe pasti
akan tahu. Setelah berhasil mengendalikan perasaan, barulah
Caroline kembali ke pinggir ranjang.
Roscoe memejamkan mata ketika Caroline menyandarkan
tubuhnya ke tubuh suaminya.
Dewi KZ & Titi Zhu