Tiraikasih website http://kangzusi.com
Caroline mengira Roscoe sudah tidur. Perlahan‐lahan ia beranjak
meninggalkan kamar, tetapi secepat kilat Roscoe mencengkeram
pergelangan tangannya kuat‐kuat. Caroline terkejut dan merasa
sesak napas.
"Kau tetap berperilaku sebagai istri, kan, Caroline?"
Sorot mata Roscoe yang berapi‐api membuat Caroline takut
sekali, juga pertanyaannya. "Tentu saja. Apa maksudmu?"
"Maksudku, kau akan menyesal bila melakukan sesuatu yang
tidak pada tempatnya sebagai istri yang tengah berduka, sangat
sedih menyaksikan suaminya dalam keadaan sekarat." Jari‐jari
Roscoe mencengkeram pergelangan tangan Caroline yang rapuh
sampai membuat Caroline merasa tulang pergelangannya mau
remuk. Dari mana Roscoe punya kekuatan seperti itu?
"Jangan bicara soal kematian, Roscoe."
"Mengapa tidak? Itu kenyataannya. Tetapi kau harus ingat ini."
Kembali Roscoe berusaha du‐duk. Air ludah terkumpul di ujung
bibirnya yang biru ketika ia mendengus pada Caroline. "Sampai aku
mati pun, kau tetap istriku. Dan sebaiknya kau berperilaku seperti
itu."
"Aku berjanji," kata Caroline, yang mengucap‐kan janji dengan
panik, dan berusaha melepaskan tangannya. "Maksudku, aku akan
bersikap seperti itu."
"Aku bukan pemeluk agama yang patuh, tetapi ada satu hal yang
aku yakini. Berniat melanggar hukum Tuhan sama berdosanya
dengan melaku‐kannya. Kau belajar tentang hukum itu waktu di
Sekolah Minggu, kan?"
"Ya," jawab Caroline, hampir menangis, putus asa, takut pada
Roscoe, dan tidak tahu apa sebabnya ia merasa seperti itu.
"Pernah terpikir ingin melanggar hukum Tuhan?"
"Tidak."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Misalnya berzina?"
"Tidak!"
"Kau istriku."
"Ya."
"Sebaiknya kaucamkan itu."
Sesudah itu kekuatan Roscoe lenyap. Kembali ia jatuh terkulai di
bantalnya, sesak napas. Caroline melepaskan tangannya dari
cengkeraman Roscoe, lalu lari ke pintu. Ia ingin melarikan diri dari
tempat itu tetapi hati nuraninya menegurnya, dan ia segera
memanggil perawat. "Suami saya," katanya dengan napas megap‐
megap. "Saya... saya kira ia perlu disuntik. Ia sangat kacau."
"Kami akan menanganinya, Mrs. Lancaster," jawab perawat itu
ramah. "Kalau boleh saya bicara, Anda kelihatan sangat letih.
Sebaiknya Anda pulang saja dulu."
"Ya, ya," jawab Caroline, mencoba mengum‐pulkan kekuatan.
Jantungnya berdebar‐debar. Ia gemetar ketakutan. Mengapa ia
merasa demikian takut pada suaminya sendiri? "Saya rasa, ya."
Granger melangkah keluar dari lift ketika Caroline akan masuk.
"Caroline, ada apa?" Granger terkejut melihat air muka Caroline.
"Tidak, tidak ada apa‐apa. Aku mau ke pemin‐talan. Ada masalah
di sana, tetapi jangan beritahu Roscoe soal kepergianku. Ia sedang
kacau." De‐ngan napas tak beraturan, Caroline menyandar‐kan diri
ke dinding lift, seakan itu tempat persembunyian yang aman
baginya dari ancaman teror yang menakutkan.
"Ada yang bisa kubantu...."
"Tak usah," jawab Caroline, sambil meng‐geleng saat pintu lift
mulai tertutup. "Aku tak apa‐apa. Cepat temui Roscoe. Ia
membutuhkan‐mu."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Pintu lift tertutup di antara mereka. Caroline menutup mulut
dengan tangan, menekan ke‐sedihan yang dirasakannya mulai
menyesakkan tenggorokannya. "Tuhan, oh, Tuhan," rintihnya, tidak
menyangka Roscoe bisa begitu menakutkan. Perutnya terasa seperti
diaduk‐aduk. Tubuhnya panas‐dingin.
Caroline berusaha menguatkan diri untuk ber‐jalan di sepanjang
lobi lantai satu rumah sakit tanpa sedikit pun kelihatan dalam
keadaan ter‐tekan. Ketika sampai di mobil, gemetar tubuhnya
berkurang. Dengan jendela mobil terbuka, Caroline mengemudikan
mobil menyusuri tepi sungai. Angin menerpa rambutnya,
merftbawa aroma musim panas. Lalu lintas tidak ramai dan ia
mengemudi dengan cepat, berusaha mengusir ketakutan yang
mencekam dirinya beberapa saat lalu.
Ia biarkan pikirannya mengembara. Roscoe tak mungkin tahu
apa yang terjadi antara ia dan Rink musim panas itu. Rink tidak
mungkin menceritakan hal tersebut padanya. Jelas. Tak seorang pun
pernah melihat mereka berdua atau menggosipkan mereka di kota.
Tidak, Roscoe pasti tidak tahu. Ia juga tak mungkin berpikiran
Caroline dan Rink saling tertarik. Roscoe mengira ia dan Rink baru
saling mengenal beberapa hari lalu.
Ancaman terselubung dan peringatan yang diungkapkan Roscoe
semata‐mata hanyalah kha‐yalan dan perasaan bersalah dalam
dirinya. Ba‐rangkali kata‐kata yang dengan cermat dipilihnya tadi
bukan dimaksudkan sebagai ancaman. Ya, batin Caroline sambil
menggeleng. Kata‐kata Roscoe ingin dianggapnya punya makna
yang sebaliknya. Namun mengapa Roscoe mengatakan demikian?
Apa lagi yang dipikirkan Roscoe? Tidak ada yang bisa
dilakukannya, kecuali berpikir, men‐duga‐duga, merasa ketakutan
dan curiga. Pria yang otaknya biasa aktif seperti otak Roscoe pasti
merasa tersiksa ketika hanya bisa terbaring di ranjang sepanjang
hari. Roscoe paling benci duduk berdiam diri, tidak melakukan
aktivitas apa pun. Makanya, kekuatan mental adalah satu‐satunya
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
yang tersisa dalam dirinya, sehingga pikirannya bekerja lebih keras
untuk kompensasi bagi tubuhnya yang kini tak berdaya lagi.
Perasaan sakit hati dan marah memperbesar segala yang
melintas di benak Roscoe, membesar‐besarkan masalah kecil. Ia
memiliki istri yang tiga puluh tahun lebih muda darinya. Ia punya
putra yang tampan dan sangat jantan. Saat ini keduanya tinggal
serumah. Roscoe menggabung‐gabungkan fakta tersebut, yang
kemudian me‐nimbulkan kecurigaan yang menakutkan.
Roscoe keliru! Caroline tidak melakukan per‐buatan yang tidak
boleh dilakukan seorang istri.
Namun kecurigaan Roscoe ada benarnya. Mem‐bayangkan
bercinta dengan Rink sudah termasuk melanggar hukum Tuhan. Dan
Caroline merasa tidak mampu menghilangkan bayangan itu.
Ia harus menghapus pikiran tersebut dari benaknya. Barangkali
bila ia memperlakukan Rink sebagai teman, meskipun kelihatan
ganjil, bersikap sebagai ibu tiri yang menjaga kedamaian dalam
keluarga, kenangan akan masa lalunya akan lenyap. Ia harus melihat
kesalahannya dengan sudut pandang baru, menempatkannya ke
masa sekarang, dan melupakan segala yang pernah terjadi di masa
lalu.
Ketika tiba kembali di pabrik pemintalan kapas, sinar matahari
sore yang sudah condong ke Barat masuk menyinari lantai melalui
jendela yang terletak jauh tinggi di tembok. Caroline memandang ke
sekelilingnya dengan jengkel. Pabrik sudah ditinggalkan para
pekerja, hanya ada Rink, yang telentang di lantai, satu kaki ditekuk,
mengamati kerja mesin pemintal. Rink sedang memukul besi mesin.
Suaranya yang nya‐ring menggema, menenggelamkan suara langkah
kaki Caroline. "Ke mana orang‐orang?" Suara besi beradu berhenti.
Kepala Rink muncul dari balik salah satu peralatan dan ia duduk.
Disekanya keringat di dahinya dengan sapu‐tangan. "Hai, aku tidak
mendengar kau datang. Aku menyuruh orang‐orang pulang satu jam
lebih cepat. Tak ada yang bisa mereka kerjakan selama aku
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
membetulkan mesin ini." Rink mengarahkan ibu jarinya ke balik
bahu, ke mesin yang tengah diperbaikinya. "Debu di mana‐mana.
Kalau ada kabel yang tidak beres di ruangan ini, bisa berbahaya."
Seharusnya Caroline memarahi Rink yang me‐nyuruh para
karyawan pulang lebih cepat, karena Rink tidak berhak melakukan
hal itu, tetapi itu tidak dilakukannya. Sewaktu mengemudi mobil
tadi, Caroline yakin keputusan yang dibuat Roscoe diambil karena ia
harus tinggal di rumah sakit. Tindakan yang dilakukan tanpa izin
darinya adalah hal yang sangat dibenci Roscoe. Tetapi Caroline
membela diri, bila Roscoe tidak tahu, itu tidak akan menyakiti
hatinya. Pada akhirnya, apa yang baik untuk pemintalan Lancaster
Gin adalah apa yang Roscoe ingin Caroline lakukan.
Caroline berjongkok di dekat Rink. "Bagai‐mana? Sudah ketemu
masalahnya?"
"Ya, dan cukup rumit."
"Bisa diperbaiki?"
"Sementara." Rink menarik napas dan me‐nyeka keringat di alis
dengan lengan baju. "Bagaimana kondisi Daddy hari ini?"
Mengingat apa yang terjadi di dalam ruangan rumah sakit
membuat Caroline menggigil. "Tidak terlalu baik. Hampir sama
saja." Rink mengamati Caroline, tetapi Caroline tidak ingin memper‐
lihatkan perasaannya. Cepat‐cepat ia mengubah topik pembicaraan
dengan bertanya, "Kau sudah makan?"
"Belum. Aku kepanasan dan badanku kotor untuk makan."
Memang benar, badan Rink ko‐tor. Wajahnya berminyak dan
berkeringat. Mem‐buat giginya jadi kelihatan lebih putih ketika ia
tersenyum. "Lagi pula, aku tak mau membuang waktu."
Caroline tersenyum lalu merogoh kantong kertas putih.
"Kubawakan makan siang untukmu. Kau tidak perlu berhenti
bekerja—kau bisa me‐minum makan siang ini." Caroline
memasukkan sedotan ke gelas plastik.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Apa ini?"
Caroline menyerahkan gelas tinggi dan dingin itu ke tangan Rink,
lalu berdiri. "Milk shake cokelat."
Bab 6
APA maksudnya? Brengsek, mana aku tahu, Rink menjawab
pertanyaannya sendiri ketika berada di kamar mandi dan hendak
menyalakan keran air. Ia melepas pakaiannya yang berkeringat,
penuh minyak dan debu. Ia menyeruput minumannya dan
meletakkannya di meja.
Pertama, milk shake cokelat. Jelas, itu tawaran persahabatan
sebagai tanda berdamai. Sepanjang sore Caroline tinggal di
pemintalan. Ia bilang akan menyelesaikan urusan administrasi,
tetapi ternyata ia lebih banyak berlutut di samping Rink dan
menanyakan apa yang bisa ia lakukan untuk membantunya, atau
apakah ada yang bisa diambilkannya. Seperti perawat piawai yang
membantu dokter bedah, Caroline segera mem‐berikan perkakas
kepada Rink tiap kali Rink menjulurkan tangan.
Mereka mengobrol tentang hal‐hal yang tidak penting.
Kebanyakan tentang topik yang mereka ketahui. Mereka bicara soal
keluarga. Yang tak satu pun ada kesamaan di antara mereka.
"Kaulihat Laura Jane hari ini?" tanya Caroline. "Tidak. Kaulihat?"
"Tidak. Kemarin ia kelihatan depresi sekali. Aku takut itu gara‐
gara ia kini tahu keadaan Roscoe yang memburuk."
"Mungkin. Tetapi bisa saja karena sesuatu yang berkaitan
dengan Steve Bishop." "Mengapa kau bilang begitu?" "Tolong
berikan obeng itu lagi." "Yang gagang merah atau kuning?" "Merah.
Karena pagi tadi, ketika ia mengeluar‐kan kuda untukku, Steve
kelihatan pendiam sekali."
"Mungkin kau mengintimidasinya." "Oh, Tuhan, aku ingin
melakukan hal itu." Rink mengharapkan argumentasi. Meskipun
kelihatan tidak suka dengan apa yang dikatakan‐nya, Caroline tidak
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
memberi komentar. Karena lantai pabrik sangat berdebu, Caroline
duduk di bangku dekat Rink—terlalu dekat. Meskipun kepala Rink
ada di kolong mesin, meskipun cidak langsung melihat wajah
Caroline, ia tetap menyadari keberadaan Caroline. Aroma tubuhnya
seperti memenuhi seluruh ruangan, seperti hawa panas petang itu.
Di balik pakaiannya, butir‐butir keringat mengucur deras. Tetapi
ketika tangannya bersentuhan dengan tangan Caroline, rasanya
sejuk dan kering. Ingin Rink menempel‐kan tangan itu ke wajah,
leher, dan dadanya.
Sambil mengumpat karena teringat peristiwa petang itu, Rink
menyeruput minumannya lagi. Itu baru sebagian dari tubuhnya yang
ia ingin disentuh tangan Caroline.
Dalam perjalanan pulang, Caroline banyak bicara. Ketika hampir
tiba di pintu gerbang, Caroline menoleh ke arahnya dan berkata,
"Sik‐kan mandi lama‐lama. Aku akan minta Haney menunda makan
malam supaya kau sempat men‐dinginkan badan dan beristirahat.
Kusiapkan minuman untukmu. Apa yang kau suka?"
Yang diinginkannya dari Caroline saat itu adalah penjelasan
mengapa mendadak ia bersikap ramah padanya. Apakah Roscoe
memintanya me‐lakukan hal itu? Atau ini memang gagasannya?
Mengapa tiba‐tiba Caroline bersikap seperti ibu tiri yang berusaha
mengambil hati anak tirinya? Hmmm, apa pun siasatnya, ia takkan
berhasil, batin Rink sambil melangkah ke bawah pancuran air. Ia
takkan pernah menganggap Caroline se‐bagai ibu tirinya, dan andai
Caroline menganggap ia bisa berperilaku seperti itu, berarti ia tidak
ingat sama sekali pengalaman di musim panas itu. Musim panas.
Mengingat peristiwa itu saja sudah membuat jantung Rink
berdebar‐debar.
Rink memaki dirinya. Dua belas tahun kemu‐dian, ia masih saja
bertingkah seperti orang tolol. Hei, Rink Lancaster, laki‐laki yang
patah hati. Hah! Ia tidak pernah mendapat kesulitan dengan
perempuan kecuali saat harus melepaskan diri dari perempuan yang
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
membosankannya. Apakah aneh bila perasaannya terhadap
Caroline muncul bak air bah?
Musim panas itu penuh konflik. Ia merasa sangat bahagia
sekaligus sangat sedih, seingatnya. Saat tidak bersama Caroline, ia
ingin waktu cepat berputar agar ia bisa sege'ra bersamanya. Saat
bersama Caroline, saat yang sangat di‐nikmatinya setiap detiknya, ia
berharap waktu tidak cepat berlalu agar ia tidak berpisah darinya. Ia
frustrasi karena tidak bisa mengajak Caroline pergi ke tempat
kencan biasanya, dan takut ada yang melihat mereka bersama. Ia
selalu kelaparan tetapi tidak ada yang ingin dimakannya. Ia dililit
gairah sepanjang waktu tetapi tidak tahu bagaimana
menyalurkannya. Ia tidak bisa me‐lakukan hal itu dengan Caroline
tetapi juga tidak ingin melakukannya dengan perempuan lain.
Ia hanya menginginkan Caroline Dawson. Ia tidak bisa memiliki
perempuan itu.
Siang‐malam ia berdebat dengan dirinya sen‐diri. Caroline masih
di bawah umur, ya Tuhan. Lima belas tahun! Kau hanya cari
masalah, Lancaster. Masalah besar.
Namun setiap menunggu Caroline di pinggir hutan, ia cemas
kalau‐kalau Caroline tidak muncul. Kecemasannya tidak hilang,
sampai ia melihat Caroline berdiri di antara pepohonan yang
bermandikan cahaya matahari.
Namun suatu hari, di hari terakhir itu, mata‐hari tidak bersinar.
Hari itu turun hujan....
Matahari bersinar cerah saat ia meninggalkan rumah. Hari itu,
bahkan lebih dari hari‐hari sebelumnya, ia sangat ingin berjumpa
dengan Caroline. Ia dan ayahnya bertengkar pagi itu. Roscoe
mengubah peraturan untuk pembelian kapas. Apa yang dilakukan
Rocoe bukan sesuatu yang melanggar hukum ataupun etika. Ketika
Rink menyinggung masalah itu, Roscoe marah sekali. Berani‐
beraninya anak yang masih ingusan, putranya yang tak punya
pengalaman bekerja, memberi nasihat bagaimana ia harus
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
menjalankan bisnis dan mengatur hidupnya? Ia belum mem‐buat
Lancaster Gin, pabrik pemintalan kapasnya, mencapai sukses.
Rink muak melihat apa yang terjadi, tetapi ia tidak punya
kekuataan untuk menentangnya. Ia merasa harus berbicara dengan
Caroline. Caroline akan mendengarkannya.
Caroline sudah menunggunya di sana, duduk di bawah pohon
sambil melipat kaki. Wajahnya terangkat ketika melihat Rink
bergegas men‐dekatinya. Tanpa sepatah kata pun Rink ber‐lutut di
hadapan Caroline, memegang kedua pipinya lalu mencium bibirnya.
Lidahnya dijulur‐kan masuk ke dalam mulut Caroline, menemukan
mata air manis yang sangat berbeda dari kepahitan yang baru
dialaminya bersama ayahnya. Ciuman Caroline selalu melayang jauh
dari ke‐muraman yang menyelimuti rumahnya yang cantik.
Ketika pada akhirnya ia melepaskan bibir Caroline, ia bergumam,
"Oh, Tuhan, betapa senangnya bisa bertemu denganmu." Kemudian
kembali ia mendaratkan bibirnya di bibir Caroline. Perlahan‐lahan,
tanpa basa‐basi, ia merebahkan Caroline ke tanah, di atas
rumpunan lembut tanaman pakis dan lumut. Tanpa me‐lawan,
Caroline berbaring dan Rink ikut di sampingnya, menyilangkan salah
satu pahanya ke tubuh Caroline.
Rink mengangkat kepala dan memandangi Caroline. Mata
Caroline yang keabu‐abuan me‐mancarkan keteduhan di balik bulu
matanya. Bibirnya basah dan memesona karena ciuman‐nya.
Rambutnya dibiarkan tergerai di belakang kepalanya seperti untaian
benang sutra yang terhampar di padang hijau. Angin yang bertiup
menerpa pipinya dengan lembut.
"Kau cantik sekali," bisik Rink. Ia membungkuk dan mencium
kelopak mata Caroline.
"Kau juga tampan."
Rink menggeleng, menyangkal. "Aku bajingan egois. Kaupikir aku
ini siapa, datang menemuimu seperti ini, menciumimu, merasa
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
yakin kau ber‐sedia dicium, bahkan tanpa berbasa‐basi lebih dulu?
Mengapa kaubiarkan aku melakukan semua ini padamu?"
Tangan Caroline yang mulus terangkat dan menepis rambut yang
jatuh di dekat alis. "Karena kau butuh aku seperti ini hari ini," jawab
Caroline.
Rink meletakkan kepalanya di lekukan bahu Caroline. Caroline
meletakkan tangannya pada leher Rink. "Kau benar. Daddy dan aku
bertengkar hebat pagi tadi."
"Aku sedih mendengarnya."
"Begitu pun aku, Caroline." Suara Rink ter‐dengar parau, nada
suara orang yang sangat putus asa. "Mengapa ia dan aku tidak bisa
saling menyayangi? Atau saling menyukai?"
"Kau tidak bisa?"
Rink diam, mencari jawaban yang pas. Ia paham, betapa
pentingnya bersikap begitu. "Tidak. Kami tidak bisa. Sedikit pun. Aku
sangat membenci situasi ini, tetapi demikianlah ada‐nya."
"Coba ceritakan keadaannya padaku."
"Ia menikah dengan ibuku untuk mendapat‐kan nama baik dan
uang ibuku. Ia tidak men‐cintai ibuku dan Ibu tahu hal itu. Ayahku
orang yang harus disalahkan atas ketidak‐bahagiaan ibuku selama
hidupnya dan menyebab‐kan ia mati muda. Maksudku, Ibu
meninggal karena sakit hati. Dan ayahku tidak menyukai aku karena
aku tahu perbuatannya dan ia tidak tahan melihat sikapku. Banyak
orang yang ber‐hasil dibodohinya, tetapi ia tidak bisa menipu
putranya sendiri dan itulah yang menyulut ke‐marahannya."
Jari‐jari Caroline yang menenangkan itu terus mengelus rambut
Rink. "Mungkin kau terlalu menghakiminya. Bagaimanapun ia
manusia biasa, Rink, bukan dewa. Ia juga bisa berbuat ke‐keliruan.
Apa orang tua harus tanpa cela?" Caroline mengelus leher Rink dan
menekan ri‐ngan rahangnya sampai Rink mengangkat kepala dan
menatapnya.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Kurasa kau agak picik. Maafkan aku mengata‐kan hal ini. Kau
menuntut kesempurnaan dan tidak bisa menerima kegagalan dalam
dirimu sendiri. Kau mengharapkan hal yang sama dari orang lain dan
itu tidak fair, Rink. Tidak adil memaksakan ukuranmu pada orang
lain. Kita semua kan hanya manusia biasa."
Caroline mengelus bibir Rink dengan ujung jarinya. "Aku sedih
mendengar hubunganmu de‐ngan ayahmu tidak sebagaimana
mestinya. Se‐buruk apa pun ayahku, aku tidak bisa berbuat lain,
kecuali menyayanginya. Alasannya, terutama, karena ia sangat
membutuhkan cinta." Caroline tersenyum ceria pada Rink.
"Bersabarlah, Rink. Jangan suka tidak sabar. Bertahun‐tahun sudah
ayahmu hidup dengan cara begitu. Tidak mudah menerima
perubahan." Mata Caroline berkaca‐kaca. "Terapi aku kagum kau
berani mempertahankan prinsipmu, kendati sikapmu menyulut
kemarahan ayahmu."
Perlahan Rink tersenyum, penuh kelembutan. "Kau sungguh
istimewa, kau tahu? Bagaimana kau bisa menganggap semua itu
baik? Hmmm' Mengapa setiap kali bersamamu aku tak merasa‐kan
kegelapan, tidak kehilangan harapan? Menga‐pa aku selalu merasa
punya jalan keluar ketika bersamamu? Dan aku merasa kau juga
bisa menegurku, mengembalikan kepercayaan diriku?"
Kegembiraan yang dirasakan Caroline men‐dengar apa yang
dikatakan Rink jelas terpancar. Mata Caroline meredup karena
perasaan malu. "Betulkah aku melakukan semua hal itu untukmu?"
Mata Rink yang keemasan melembut. Ia me‐rapatkan tubuhnya
ke rubuh Caroline, dan me‐nindihnya. Rink menegang. "Banyak hal
yang kaulakukan untukku," ujar Rink parau, sambil menggerakkan
tubuhnya ke tubuh Caroline. Mata Caroline membeliak, tubuhnya
gemetar. Sambil mengumpat dirinya, Rink menjauh. "Brengsek! Apa
yang terjadi atas diriku? Aku tidak boleh melakukan hal seperti itu
padamu. Maafkan aku."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Sambil meraih Rink, Caroline berkata, "Bukan soal itu." Caroline
mengangkat tangan dan memperlihatkan kulitnya yang meremang.
"Udaranya lebih dingin. Kurasa mau hujan."
Kata‐kata itu belum lama meluncur keluar dari bibir Caroline,
titik hujan sudah jatuh menimpa wajahnya. Rink menutupi tubuh
Caroline dengan punggung dan menatap awan tebal di langit. Titik
hujan jatuh makin cepat dan deras. Keduanya tertawa girang seperti
anak‐anak ketika merebahkan diri di tanah dan membiarkan air
hujan membasahi tubuh mereka. Badai yang mengamuk di musim
panas itu perlahan mereda, hujan yang tadinya lebat kini tinggal
titik‐titik air gerimis.
Rink menopang tubuh dengan siku dan me‐mandangi Caroline.
Wajah Caroline tetap cantik biarpun tidak memakai kosmetik. Ia
malah ke‐lihatan segar dan memikat sekali. Mata Rink tertuju ke
leher Caroline, dan turun lagi. Napas‐nya memburu. Blus putih yang
dikenakan Caroline basah kuyub dan membentuk buah dadanya.
Hari ini Caroline tidak memakai bra.
Rink menatap Caroline dengan pandangan bertanya‐tanya.
Suara Caroline rendah dan parau karena pe‐rasaan malu. "Aku
tidak punya sesuatu yang cantik untuk kupakai. Kupikir... bila aku
tidak roemakai apa‐apa, jadi kelihatan tidak terlalu jelek... aku...
oh...." Caroline seperti mau menangis dan melipat tangannya di
dada. "Aku tidak bermaksud...."
"Ssst," ujar Rink, perlahan menurunkan tangan Caroline ke
samping. Beberapa saat lamanya, satu‐satunya suara yang
terdengar di sekeliling mereka hanyalah suara titik hujan. Rink
menatap CaroJine dengan pandangan kagum. Blus yang basah itu
memperlihatkan segalanya, payudara yang lembut, puncaknya yang
mencuar.
"Kurasa, kudengar suara geledek," bisik Caroline dengan tubuh
gemetar.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Rink mengangkat tangan dan memegang ke‐mejanya yang
basah. "Bukan. Itu suara debar jantungku."
Rink membungkuk dan menyentuh bibir Caroline dengan
bibirnya. Ciumannya begitu lembut dan manis, sangat penuh
kelembutan. Perlahan lidahnya menjilat ujung‐ujung bibir Caroline,
dengan lembut menelusuri garis bibir‐nya. Telinga Rink menangkap
suara mendesah yang keluar dari tenggorokan Caroline. "Oh,
Caroline," desah Rink.
Ciuman pun berubah. Tidak lagi lembut. Rink memiringkan bibir
di atas bibir Caroline, ber‐usaha membukanya. Lidahnya dijulurkan
masuk ke mulut Caroline. Tangannya memeluk ping‐gang Caroline,
makin rapat, sesenti demi sesenti, pelan, peJan, sampai akhirnya
tangannya diletakkan di pinggang Caroline, agak mencengkerara,
kemudian pelan‐pelan naik, sampai akhirnya mencapai buah dada
Caroline.
Seumur hidup Rink, tidak pernah ia merasa‐kan memegang
payudara perempuan seperti payudara Caroline yang belum
tumbuh sepenuh‐nya tetapi sudah penuh itu, terasa demikian
nikmat di tangannya. Digenggamnya bagian yang lembut itu,
diremas, dan dipijatnya dengan ge‐rakan memutar. Ia
mengeksplorasi payudara itu dengan ekstra lembut agar Caroline
tidak terkejut, namun dengan piawai membangkitkan sensualitas
Caroline agar ia ikut merespons. Caroline merapatkan tubuhnya ke
tubuh Rink, setiap gerakan tanpa disengaja menimbulkan
rangsangan dan semakin membangkitkan hasrat.
Ketika jari‐jari Rink menyentuh puncak payu‐daranya, Caroline
melengkungkan punggung dan mendesah lembut. Bagian tubuh
yang sensitif itu mencuat. Jari‐jari Rink terus mempermain‐kannya
dengan hati‐hati sampai puncak itu me‐ngeras. Sementara jarinya
sibuk dengan payudara, lidahnya sibuk menjilati langit‐langit mulut
Caroline. Suara yang keluar dari tenggorokannya tanpa disadarinya
dan napasnya yang panas lagi memburu menerpa wajah dan leher
Caroline.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Tangan Rink membuka kancing blus CaroJine paling bawah, dan
kancing‐kancing lainnya de‐ngan cepat. Caroline tercekat dan
memegang tangan dan baju basah yang dipegang Rink. "Rink,
jangan," bisik Caroline, yang sebenarnya berarti ya. Caroline
menggeleng ke kanan dan ke kiri. Giginya menggigit‐gigit bibir
bawahnya.
"Sayang, oh, sayangku," gumam Rink. "Aku tidak ingin
menyakirimu. Aku hanya ingin me‐lihatnya, menyentuhnya."
Bibir Rink kembali menciumi bibir Caroline dengan gerakan
mengisap. Rink merasa seperti mendapat kehidupan dan cinta dari
Caroline ketika berhasil membuka blusnya dan menggeng‐gam
payudara Caroline yang lembut. Ketib telapak tangannya merasakan
kelembutan payu‐dara itu, Rink tersulut gelora, yang lebih panas,
lebih menggebu, hampir sulit dikendalikan, yang belum pernah
dirasakannya selama ia pernah merasakan dorongan seks dalam
hidupnya.
Dan ia menyadari seketika itu, tak ada perem‐puan mana pun di
dunia yang bisa membuatnya merasa menjadi laki‐laki sejati, seperti
yang di‐rasakannya saat itu. Ia telah menemukan orang‐nya,
perempuan yang membuat dirinya menjadi laki‐laki sejati.
Rink mengelus, mendorong payudara Caroline tinggi‐tinggi
dengan tangannya, membelai pun‐caknya dengan ibu jari. Ia
merendahkan tubuh‐nya beberapa sentimeter, lalu mencium teng‐
gorokan dan leher Caroline. Kemudian ia mengu‐lum salah satu
puncak yang kemerahan itu dan mengisapnya dengan lembut.
Caroline menge‐rang. Ia merenggut rambut Rink dan memegang
kepala pria tersebut erat‐erat. Jiwa Rink dipenuhi gelora cinta ketika
mendengar Caroline mendesah nikmat karena apa yang
dilakukannya dengan penuh cinta untuk Caroline.
Caroline agak menaikkan lutut, nalurinya me‐mintanya
melakukan hal itu, tanpa disadarinya. Rink mengelus lutut Caroline
yang telanjang.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Kakinya yang panjang lagi mulus terasa halus sekali ketika
tangannya mengelusnya sampai jauh ke atas. Rok dari bahan katun
yang dikenakan Caroline sama sekali tidak menghalangi Rink. Ia
tidak mau berhenti untuk memuaskan keinginan‐nya sampai ia
berhasil meyentuh celana dalam Caroline.
Caroline melengkungkan punggungnya lebih tinggi, tangannya
mencengkeram bahu Rink. "Rink, Rink." Rintihan Caroline
menyiratkan kenikmatan sekaligus ketakutan; yang keduanya
dipahami Rink.
"Tak apa‐apa, Sayang. Aku tidak akan me‐nyakitimu. Sumpah,
aku tidak akan pernah me‐nyakitimu."
Sentuhan tangan Rink terasa selembut kapas. Ia terus membelai
dan mengelus, sampai akhirnya tak ada lagi pakaian yang melekat di
tubuh Caroline. Jari‐jari Rink mengelus kewanitaan Caroline.
"Oh, Tuhan," desah Rink, menenggelamkan bibimya di leher
Caroline. "Kau begitu cantik. Oh, Tuhan...."
Jari‐jari Rink terus mempermainkan, membuka, dan
menemukan. Ketika Caroline menggeliat‐geliatkan tubuh, Rink tahu
ia berhasil menemukan sumber keajaibannya. Dengan piawai ia
agak menekan, membentuk lingkaran‐lingkaran, dan mengelus
bagian tubuh itu sampai terdengar suara mengerang dari
tenggorokan Caroline, dengan kepala terkulai ke belakang. Suara
rintihan Carolie berbaur dengan gemerisik angin dan hujan yang
jatuh membasahi pepohonan.
Rink mengamati wajah Caroline, yang teng‐gelam dalam
kenikmatan, tidak menyadari ekspre‐sinya. Dilihatnya mata Caroline
mengerjap‐ngerjap ketika ia menyadarkan Caroline dan perlahan
mengembalikannya ke dunia nyata, lepas dari cengkeraman
kenikmatan yang menghanyutkan itu.
Kenyataan menimbulkan kebingungan. Caro‐line menurunkan
roknya yang terlipat‐lipat sam‐pai pinggang. "Rink?" Caroline
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
memanggil Rink dengan nada tinggi. "Rink, apa yang terjadi atas
diriku? Peluk aku. Aku takut sekali."
Rink merendahkan tubuhnya, seperti hendak memberi
perlindungan pada Caroline. Ia men‐dekap Caroline erat‐erat,
tangannya memegang kedua sisi kepala Caroline. Ia mengecup
lembut seluruh wajah Caroline dan menenangkannya. "Kau tidak
tahu apa yang terjadi atas dirimu, Caroline?" Letupan emosi di
hatinya membuat suaranya terdengar parau.
Caroline mencari‐cari mata Rink, memerhati‐kan bibir Rink,
menyentuhnya, seperti orang yang mengagumi keindahan yang
dimiliki Rink dan apa yang baru saja diperkenalkan pria itu padanya.
"Tetapi kau tidak... maksudku... kau tidak... berada dalam tubuhku."
Sambil mendesah lirih, Rink menekankan dahinya ke dahi
Caroline. "Tidak, aku tidak melakukannya. Tetapi aku ingin sekali.
Aku ingin berada jauh di dalam tubuhmu, memenuhi diri‐mu
dengan diriku, memberimu segala yang ku‐punya." Rink mencium
Caroline, seakan tengah bercinta, menciumi bibir Caroline dengan
lidah‐nya, memasukkan lidahnya jauh ke dalam mulut Caroline.
Tetapi ciuman itu malah makin meng‐ingatkannya pada apa yang
tak boleh dilakukan‐nya, lalu ia melepaskannya.
Caroline menangis tersedu‐sedu. Air matanya bercampur air
hujan. Rink menyeka air mata dari pipi Caroline dengan ibu jarinya.
"Jangan menangis." Rink bangkit dan menarik Caroline berdiri juga,
mendekapnya erat‐erat. Caroline masih saja menangis. "Mengapa
kau menangis, Caroline?" Oh, Tuhan, andai ia sampai melanggar
janjinya dan melukai Caroline, ia takkan pernah memaaikan dirinya.
Apakah Caroline tidak meng‐hargainya lagi sekarang, takut
dengannya? "Kata‐kan, kenapa kau menangis?"
"Kau takkan datang menemuiku lagi. Setelah peristiwa hari ini.
Setelah apa yang kulakukan, kau akan menganggapku perempuan
murahan."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Kelegaan menyelimuti hati Rink. "Oh, sayang‐ku," bisik Rink
sambil mendekap tubuh Caroline lebih erat ke tubuhnya. "Aku
mencintaimu."
Perlahan‐lahan Caroline mengangkat kepala dan menatap Rink.
"Kau mencintaiku?"
"Aku mencintaimu," kata Rink, karena ia tahu itulah perasaannya
yang sesungguhnya ter‐hadap Caroline. Andai ia tidak mencintainya,
mereka masih akan berbaring di rerumputan dan ia akan
memuaskan hasratnya. "Aku men‐cintaimu. Betapa pun sulit, aku
akan datang ke sini lagi besok." Rink memeluk Caroline erat‐erat,
menciuminya sampai Caroline sesak napas. Kemudian, sambil
mendekap Caroline seakan ia sudah menjadi miliknya, Rink berbisik
di telinga Caroline, "Kita hampir melewati batas, Caroline." Rink
agak menjauhkan dirinya dari Caroline, mencari‐cari mata Caroline.
"Kau mengerti apa yang kumaksud, bukan?"
"Tentu saja!" jawab Caroline sambil terisak pelan. "Aku tahu, apa
pun yang terjadi di antara kita takkan ada masa depan."
"Bukan tidak ada masa depan. Aku akan mencari jalan keluar.
Malam ini."
"Malam ini? Apa maksudmu?"
"Aku akan mencari cara bagaimana supaya kita bisa berkencan
dengan pantas, berada di antara orang banyak, tidak lagi bertemu
sem‐bunyi‐sembunyi begini."
Caroline memeluk lengan atas Rink. "Jangan, Rink, jangan
lakukan hal itu. Biarkan seperti sekarang ini, selama kita bisa."
"Aku bisa mati kalau begini terus."
"Mengapa?"
"Bila berduaan saja seperti ini, sulit bagiku untuk menghentikan
apa yang sudah kumulai."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Caroline terdiam dan membisu beberapa saat, hanya
memandangi tenggorokan Rink sementara jarinya menelusuri kerah
kemeja Rink. Caroline membasahi bibir. "Rink, aku tidak keberatan
bila kau... Aku bersedia bila kau ingin me... ....
Dengan jari telunjuk Rink menaikkan dagu Caroline. "Tidak."
Suara Rink tenang tetapi berwibawa. "Aku tidak suka main
sembunyi‐sembunyi seperti ini. Aku tidak suka memperu‐mit
masalah, mengambil risiko menyakitimu, dengan bercinta
denganmu." Ia menundukkan wajah hendak mencium Caroline yang
tak jauh darinya. Rink memejamkan mata rapat‐rapat,
mengembuskan napas, dan mengertakkan gigi. Ketika membuka
mata kembali, Rink berkata," Aku ingin sekali. Oh Tuhan. Aku ingin
sekali melakukannya. Tetapi seperti yang kukatakan padamu, aku
tidak ingin melakukan sesuatu yang bisa menyakiti hatimu."
"Ya, dan aku percaya padamu."
"Kalau begitu serahkan segalanya padaku. Tak ada yang perlu
kaukhawatirkan. Aku akan mem‐bereskan segalanya, sehingga kita
tidak perlu bertemu sembunyi‐sembunyi seperti ini lagi."
"Kau yakin, Rink?" Perasaan cemas itu masih terpancar di wajah
Caroline. Rink tahu Caroline mengkhawatirkan dirinya, bukan diri
Caroline, dirinya sendiri.
"Aku yakin. Besok aku akan membawa berita baik. Besok,
sayangku. Di sini. Di tempat kita berada ini." Tangan Rink mendekap
wajah Caroline. "Oh, Tuhan, Caroline, cium aku lagi." Bibir Rink
mencari‐cari bibir Caroline, tetapi ciumannya hanya ciuman kecil. Ia
tidak yakin dirinya bisa memenuhi janjinya. Ia ingin me‐nikahi
Caroline, dan tak peduli apa pun risiko‐nya.
"Besok, besok," kata Rink berulang‐ulang sam‐bil mundur,
merentangkan tangannya, sampai akhirnya ujung jari mereka
berpisah. Rink lari menembus hutan di bawah rintik hujan ke
tempat ia memarkir mobilnya, ingin cepat‐cepat tiba di rumah....
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Kau tolol," kata Rink pada dirinya di depan cermin setelah
keluar dari kamar mandi. Wajah‐nya jadi kabur, yang tepat
menggambarkan diri‐nya setelah peristiwa dua belas tahun yang
lalu itu. "Apa yang membuatku berpikir sepolos itu, mengira
segalanya berjalan sesuai rencanaku?" Ia menghabiskan
minumannya, membiarkan cairan itu menuruni tenggorokannya
tanpa menikmati rasanya sedikit pun. Ia hanya menyesali es batu
yang mencair itu mengurangi rasa bourbon‐nyz. Ia teringat apa yang
terjadi malam itu ketika ia menemui ayahnya di ruang kerja,
meminta waktu untuk bicara. Seperti racun yang masih mengendap,
kebencian dan kemarahan menyeli‐muti dirinya setiap kali ia ingat
ketololan dirinya yang begitu percaya diri. Betapa bodohnya. Be‐
tapa tololnya. Dirinya seperti Daud yang berdiri di hadapan Goliat.
Oh, ia punya keberanian seperti itu. Hanya saja ia tidak punya
ketapel dan batu. Sementara Roscoe punya meriam.
Ia melangkah masuk ke ruang kerja dan ber‐kata, "Daddy, aku
sudah menemukan gadis yang ingin kunikahi."
"Pasti kau bisa menemukannya," jawab Roscoe sambil
memindahkan cerutunya dari sudut bibir yang satu ke sudut lainnya.
"Frank George me‐neleponku tadi malam. Marilee hamil. Sudah tiga
atau empat bulan. Ia bilang, mata putrinya sampai bengkak karena
menangis sebab kau tidak datang lagi menemuinya. Selamat,
anakku. Kau sebentar lagi menjadi suami dan ayah."
Sampai detik ini kata‐kata ayahnya itu masih sangat dibencinya
sampai ke tulang sumsum. Kata‐kata bandit itu. Kata‐kata bajingan
yang penuh kebencian, manipulasi, kelicikan.
Dan Caroline, Caroline‐nya yang dijumpainya di tepi sungai di
bawah rintik hujan, kini menjadi istri ayahnya. Kini bajingan itulah
yang harus didengarkan kata‐katanya oleh Caroline, bicara
dengannya, memberikan ketenangan dan kehidupan pada Caroline.
Dengan Roscoe, Caroline memberikan bibirnya yang manis, payu‐
daranya, pahanya.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Rink menutup mata dengan telapak tangan, sementara ingatan
akan kebersamaannya dengan Caroline melintas seperti film di
benaknya. Mem‐bayangkan semua itu saja Rink merasa hampir
tidak sanggup.
Sekujur tubuhnya terasa sakit. Celakanya, tak ada benda apa pun
yang bisa menyembuhkan lukanya.
"Terima kasih, Steve."
"Terima kasih kembali."
"Rink bilang pemanggang rotinya rusak. Haney harus membeli
yang baru. Tetapi kata Haney, tak perlu beli yang baru kalau yang
lama ini bisa diperbaiki. Rink ingin memper‐baikinya tetapi ia sibuk
bekerja di pemintalan. Aku sudah bilang padanya, tak perlu
mencemas‐kan benda itu. Kau mau melakukannya untukku. Kau
tidak keberatan, bukan?"
"Tentu saja tidak. Aku senang bisa memper‐baikinya." Ia
menyibukkan diri dengan merapi‐kan meja kerja di garasi, tempat
alat‐alat kecil disimpan.
"Kau marah padaku, Steve?"
Steve berhenti bekerja dan menatap Laura Jane. Laura Jane
mengenakan baju berkerah ting‐gi. Kulitnya kelihatan lembut dan
halus seperti bunga magnolia yang tengah merekah. Hasrat
menyergap Steve seperti palu godam. Ia berbalik seketika.
"Mengapa aku harus marah padamu?"
Laura Jane mengembuskan napas dan duduk di anak tangga
paling atas. Dengan resah, jari‐jarinya mempermainkan ikat
pinggang yang me‐lilit di pinggangnya. Kepalanya ditundukkan
dalam‐dalam sampai dagunya hampir menyentuh dada. "Karena aku
menciummu kemarin," jawab Laura Jane lembut. "Sejak kejadian
itu, kau marah padaku."
"Sudah kukatakan, aku tidak marah."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Lalu mengapa kau tidak mau menatap wajah‐ku?"
Steve menatapnya kemudian. Suara Laura Jane yang bernada
tinggi, penuh kemarahan, memaksa Steve mengangkat kepala dan
memandang Laura Jane tanpa bisa berkata‐kata. Ia tidak pernah
melihat gadis itu marah atau meninggikan suara‐nya tanpa alasan.
Kecil kemungkinan Laura Jane berani balik menatapnya. Air muka
Laura Jane kelihatan seperti ekspresi perempuan yang merasa
direndahkan.
Steve menelan ludah dengan susah payah. "Aku memandangmu
sekarang."
"Matamu menghindariku. Matamu tak pernah memandangiku
lagi. Mengapa, Steve?" tanya Laura Jane, sambil turun dari tangga
dan men‐dekati Steve. "Mengapa? Kau tidak menyukai wajahku
lagi?"
Mata Steve nanar menatap Lauara Jane, mulai dari rambutnya
yang halus kecokelatan sampai ke kakinya yang ramping
mengenakan sandal. Ketika sekali lagi matanya tertuju pada wajah
gadis itu, Steve berkata dengan suara parau, "Bukan, Laura Jane,
aku sangat suka meman‐dangimu."
Laura Jane tersenyum, tetapi sesaat senyumnya memudar.
"Benarkah gara‐gara aku ingin men‐ciummu? Apakah aku
melakukan kesalahan?""
Steve menggosok‐gosokkan tangannya ke paha, mengeringkan
telapak tangannya yang basah pada celana jins. "Kau tidak
melakukan kesalahan."
Laura Jane mengernyitkan dahi. "Kurasa, aku melakukan
kesalahan. Perempuan yang kulihat di televisi mencium kekasihnya
lama‐lama. Mereka saling memiringkan kepala. Aku rasa mereka
membuka mulut mereka ketika berciuman."
Sekujur tubuh Steve bergetar. "Laura Jane," katanya parau, "kau
tidak boleh bicara seperti itu dengan pria."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Kau bukan pria biasa, namamu Steve."
"Benar, kau tidak boleh bicara soal ingin menciumku."
Laura Jane kelihatan bingung. "Mengapa?"
"Karena ada hal‐hal antara laki‐laki dan perem‐puan yang...
yang... belum menikah yang tidak boleh dibicarakan."
"Boleh melakukannya, tetapi tidak boleh mem‐bicarakannya?"
tanya Laura Jane, semakin bi‐ngung.
Steve tertawa, meskipun tengah mengungkap‐kan hal serius.
Rupanya Laura Jane lebih cerdik darinya. "Seperti itulah."
Laura Jane menggelayut di badan Steve dan meletakkan
tangannya di dada Steve. Kepalanya ditengadahkan ketika hendak
menatap wajah Steve. "Kalau begitu tak perlu kita membicara‐
kannya. Kita berciuman saja." Suara Laura Jane sehalus napasnya
yang menerpa kerongkongan Steve.
Tangan Steve menggenggam tangan Laura Jane. "Kita tidak boleh
melakukan hal itu juga."
"Kenapa, Steve?"
Kemarahan seperti menyayat‐nyayat sekujur tubuhnya. Ia harus
mengeraskan hati untuk melepaskan genggaman tangan Laura Jane
dan de‐ngan hati‐hati menurunkannya ke samping. "Ka‐rena tidak
boleh." Steve kembali ke meja dan mengambil pelana yang sedang
dibersihkannya ketika Laura Jane masuk mencarinya.
Dengan sedih Laura Jane memandangi Steve yang keluar dari
bengkel dan berjalan ke halaman. Ia mengambil pemanggang roti,
benda yang dijadikan alasan untuk menemui Steve, dan kem‐bali ke
rumah. Ketika melihat mobil Caroline memasuki pekarangan, Laura
Jane berhenti.
"Halo, Laura Jane. Apa yang kaulakukan de‐ngan benda itu di
halaman?" Caroline bertanya, sambil menunjuk pemanggang roti.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Steve memperbaikinya untuk Haney. Aku baru mau masuk
rumah."
Gaya bicara Laura Jane menarik perhatian Caroline. "Bagaimana
keadaan Steve? Aku tidak melihatnya beberapa hari ini."
Laura Jane mengangkat bahu. "Ia baik‐baik saja, kurasa. Sikapnya
aneh kadang‐kadang."
"Aneh?"
"Ya. Sepertinya ia tidak ingin menjadi temanku lagi."
"Aku tidak yakin."
"Benar. Sejak aku menciumnya."
Caroline menghentikan langkah. "Kau men‐ciumnya?" Caroline
melihat ke sekelilingnya de‐ngan cemas, berharap tak ada orang
yang men‐dengar pernyataan itu dan lega Rink tak ada di sekitar
situ.
"Ya." Laura Jane menatap Caroline dengan pandangan polos dan
tenang ketika melihat wajah Caroline yang tampak kesal. "Aku
mencintainya."
"Kau mengungkapkan itu padanya?"
"Ya. Tidak baikkah?"
"Tidak baik, ya." Caroline tahu ia harus me‐milih kata‐kata yang
hendak diucapkannya de‐ngan hati‐hati. Ini cinta pertama Laura
Jane, barangkali ini cinta monyet. Bagaimana cara menjelaskan
dengan hati‐hati tetapi tidak mem‐buatnya takut? "Mungkin kau
terlalu terburu‐buru. Barangkali kau membuat Steve terkejut.
Jangan‐jangan Steve yang ingin menciummu ter‐lebih dahulu."
"Kurasa ia tidak akan melakukan hal itu dan aku sudah tidak
sabar."
Caroline tersenyum. "Beri waktu untuknya, kurasa nanti ia akan
melakukannya."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Menurutmu, Rink akan melakukannya?"
"Melakukan apa?"
"Menciummu. Ia ingin menciummu."
Beberapa detik dalam enam puluh detik yang sama, Caroline
terkesima. "Laura Jane, kau tidak boleh berkata begitu. Rink tidak
akan melakukan hal itu."
"Lalu mengapa ia selalu memandangimu?"
Bibir Caroline terasa kering. "Oh ya?"
"Setiap kali, di saat kau tidak melihatnya. Dan kata‐katanya
begitu tajam padamu waktu di pemintalan kapas."
"Bukan kepadaku. Kepada setiap orang, para pekerja, para
penanam kapas, dan juga kepada ayahmu."
"Tetapi kau yang memintanya. Aku rasa, ia awalnya tidak mau,
bukan?"
Caroline mengingat‐ingat apa yang terjadi ma‐lam itu, setelab
Rink memperbaiki mesin pintal. Sepanjang petang, Caroline
memikirkan cara un‐tuk membangun kembali hubungannya dengan
Rink dan mengira telah berhasil melakukannya. Namun
sekembalinya ke rumah, sesudah mandi dan duduk untuk makan
malam bersama, Rink malah menunjukkan sikap makin bermusuhan
dengannya. Caroline tidak tahan menerima ke‐nyataan iru. Kendati
kemajuan yang dicapainya sedikit, Caroline tidak mau menyerah.
Selama makan malam dan sesudahnya, waktu mereka duduk di
ruang tamu bersama Haney dan Laura Jane, Caroline berusaha
bersikap ra‐mah pada Rink, sehingga Rink tak lagi meman‐dang
Caroline dengan wajah bermusuhan. Akhir‐nya ia berhasil
mengumpulkan keberanian me‐minta tolong Rink memeriksa
beberapa mesin lainnya, yang dirasanya perlu diperiksa. Dengan
sikap enggan, Rink mengiakan permintaan Caroline. Selama tiga hari
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
penuh Rink bekerja keras di pabrik, sebagaimana pekerja yang
makan gaji.
"Aku bersyukur, Rink ada di sini memberi bantuan sementara
ayahmu sakit. Ia bekerja keras sekali."
"Kau juga. Kau kelihatan letih sekali, Caroline."
Caroline memang merasa letih. Sangat letih. Ia masih harus
bersikap sangat hati‐hati terhadap Rink, berharap komunikasi yang
berhasil dijalin di antara tnereka tidak mengarah ke hubungan yang
intim. Dan Roscoe. Caci makinya makin pedas setiap kali Caroline
menjenguknya, yang paling sedikit sekali sehari, dua kali bila ia
merasa mampu menghadapinya. Ia tidak mem‐beritahu Roscoe
perihal pekerjaan yang dilakukan Rink di pemintalan karena tahu
Roscoe pasti tidak akan setuju. Tak satu pun hal yang dilaku‐kannya
kini menyenangkan hati Roscoe. Semua dikritiknya, mulai dari cara
berpakaian sampai cara menerima nasihat yang diberikan dokter,
seakan perintah yang tidak boleh dilanggar.
"Aku memang merasa letih," kata Caroline pada Laura Jane.
"Soal Steve," katanya, kembali pada topik pembicaraan, "mungkin
perasaannya lagi tidak enak saja. Jangan terlalu memaksanya.
Biasanya pria tidak suka diperlakukan begitu. Kurasa, kalau kalian
nanti mau berciuman lagi, biarkan ia yang berinisiatif, jangan kau."
"Kurasa begitu," gumam Laura Jane, sambil menunduk.
Caroline memahami alasan Steve yang tiba‐tiba dingin. Jelas ia
jatuh cinta pada Laura Jane tetapi tidak ingin perasaan cintanya
membuat Laura Jane melakukan sesuatu yang bisa menyu‐lut
kemarahan Rink. Ia menaruh simpati pada keduanya. "Ayo kita
makan," ajak Caroline ra‐mah, sambil menggamit tangan
perempuan yang lebih muda tersebut.
"Rink ke mana?"
"Entahlah. Ia bilang akan makan bersama—"
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Perkataan Caroline terputus suara klakson nya‐ring, dan ketika ia
dan Laura Jane berbalik, mereka melihat Rink menghentikan mobil
pickup‐nyz di belakang mobil Lincoln. Rink melompat keluar dari
mobil itu.
Wajahnya yang berseri‐seri mengingatkan Caroline pada pemuda
tampan yang pernah di‐kenalnya di pinggir hutan, yang hampir
mendo‐rongnya menyongsong dan merentangkan tangan untuk
menyambutnya tanpa memedulikan sekeli‐lingnya.
"Itu mobilmu, Rink?" tanya Laura Jane sambil berjingkrak dan
bertepuk tangan kegirangan. "Aku suka warnanya."
"Cavalier blue," jawab Rink, sambil mengang‐guk pada Caroline.
"Aku perlu kendaraan pribadi selama di sini. Kurasa, yang
kubutuhkan ken‐daraan jenis pickup seperti ini. Bagaimana cara
membawa mobil ini dan pesawat terbangnya kembali ke Atlanta, itu
yang belum aku tahu." Semua tertawa. Perasaan Caroline luluh
ketika memandang Rink, melihat rambutnya yang ter‐tiup angin dan
sorot matanya yang berseri‐seri.
"Aku lapar sekali. Makan malamnya sudah siap?" Rink
melingkarkan satu tangan ke bahu Caroline dan tangan lainnya ke
pundak Laura Jane. "Mari kutemani ke ruang makan, Nona‐Nona."
Sebelum mereka mencapai teras rumah, Haney muncul di
ambang pintu dan berseru, "Caroline, Rink! Syukurlah kalian sudah
di sini. Dokter rumah sakit menelepon. Kondisi Mr. Lancaster
memburuk. Dokter bilang sebaiknya kalian segera ke rumah sakit."
Bab 7
HANYA satu lampu kecil redup yang me‐nerangi ranjang kamar
Roscoe di rumah sakit. Semacam lampu sorot. Sinar lampu diarah‐
kan ke bawah, sehingga cahayanya tepat me‐ngenai wajah pria yang
tengah menderita ke‐sakitan itu. Perawat sedang membungkukkan
ba‐dan di dekat Roscoe ketika Rink dan Caroline memasuki kamar.
Dengan tangan yang ditusuk selang, Roscoe mengibaskan tangan,
menyuruh perawat itu keluar dari kamarnya.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Cepat keluar dari sini, tinggalkan aku. Tak ada yang kaukerjakan
di sini."
"Tetapi Mr. Lancaster...."
"Keluar!" bentaknya kasar. "Aku ingin bicara dengan istri dan
putraku." Kata istri dan putra, kedua kata itu, diucapkan Roscoe
dengan nada mengejek.
Perawat itu pun segera meninggalkan kamar. Sol sepatunya yang
terbuat dari karet berderit pedahan saat melangkah di lantai yang
berlapis vinyl. Caroline mendekati ranjang Roscoe dan memegang
tangannya. "Kami langsung ke sini begitu dokter menelepon."
Mata Roscoe yang hitam, bak peluru, menatap Caroline bagai
moncong senapan yang ditodong‐kan. Air muka Roscoe jelek sekali.
Bayang‐bayang kehidupan yang hancur terpancar dari mukanya,
bukan secara fisik tetapi spiritual— kehancuran yang
menggerogotinya selama ber‐tahun‐tahun dari dalam, yang baru
sekarang muncul ke permukaan. "Kuharap aku tidak membuat
kalian terpaksa harus meninggalkan sesuatu yang lebih penting,"
kata Roscoe sinis dan menarik tangannya dari genggaman Caroline.
Caroline tidak mau terpancing. Dengan tenang ia menanggapi,
"Tentu saja tidak, Roscoe. Kau tahu aku datang ke sini untukmu."
Roscoe tersenyum sinis. "Agar kau segera tahu aku sudah mati?
Supaya kau langsung tahu, kau sudah bebas dariku?"
Tubuh Caroline tersentak seperti orang yang ditinju keras di
kepala. "Mengapa kau berkata seperti itu? Apa kaupikir aku ingin
kau me‐ninggal? Bukankah aku sejak dulu mendorong‐mu segera
memeriksakan diri ke dokter? Tak ada alasan kau meragukan
pengabdianku padamu.
"Itu karena kau tidak punya kesempatan saja." Tatapan Roscoe
bergeser ke Rink, yang berdiri di ujung ranjang, mukanya tanpa
ekspresi.
"A‐apa maksudmu mengatakan begitu?"
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Caroline tergagap, membuat mata Roscoe kem‐bali tertuju
padanya.
"Maksudku, karena pria yang begitu kau‐dambakan kini tinggal
satu atap denganmu. Kau bisa tergoda untuk tidak setia pada
suamimu, yang kaukatakan untuknya kauabdikan hidupmu."
Caroline merasa napasnya mau putus. Tanpa mampu berkata‐
kata ia menatap suaminya. Se‐ringai licik mengembang di bibirnya.
Matanya berapi‐api seperti nyala api neraka.
"Maksudmu, Rink?" tanya Caroline, menegas‐kan.
"Rink." Roscoe mengulangi, menirukan Caro‐line. "Rink, Rink.
Tentu saja dia! Sudah pasti yang kumaksud Rink."
Caroline membasahi bibir. "Tetapi Rink dan aku... kami tidak
punya... kami tidak pernah...."
"Jangan bohong padaku." Roscoe duduk dan membentak
Caroline. Ia seperti iblis yang ber‐wajah seram, terikat selang‐selang
plastik di ran‐jang. "Jangan coba berpura‐pura di hadapanku, Nona
Cilik. Aku tahu semua cerita tentang dirimu dan Rink."
Caroline menjauhkan diri dari Roscoe, bahu‐nya condong ke
depan, tangannya dilipat di perut. Matanya mencari‐cari Rink. Rink
ber‐geming. Ia tetap berdiri kaku di ujung ranjang ayahnya yang
sekarat. Matanya menyorotkan ke‐bencian yang dalam. Dialah yang
memecah ke‐heningan yang menakutkan di ruangan itu.
"Kau tahu soal Caroline pada malam kau memberitahuku
tentang Marilee yang hamil, bu‐kan?"
Roscoe ambruk di bantal, Napasnya terdengar seperti bunyi
lembaran kertas yang dilipat‐lipat. Secara fisik, jelas tenaganya
banyak tersedot un‐tuk mengungkapkan pesan kemenangannya.
Na‐mun air mukanya berbinar memancarkan ke‐puasan ketika ia
menatap putranya dengan sorot mata penuh kedengkian.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Roscoe tertawa. "Aku tahu. Semuanya," kata‐nya sinis. "Kau
harusnya sadar, tak mungkin kau pergi menyelinap ke hutan setiap
hari tanpa membangkitkan rasa ingin tahuku. Aku akan mengagumi
kecerdikanmu, bila kau tfersikap le‐bih cerdik."
"Jadi kau pernah membuntutiku dan melihat kami bersama,"
tanya Rink dengan suara tetap tenang dan rendah.
"Hah, tentu saja tidak!" jawab Roscoe, senang. "Aku tak mau
merepotkan diriku ikut campur urusanmu. Aku hanya penasaran,
kenakalan apa yang kaulakukan. Cukup kusuruh begundal‐begundal
mengikutimu. Mereka memberikan la‐poran yang sangat menarik.
Kau menemui gadis miskin di tepi sungai setiap hari."
Caroline terisak memilukan hati. Namun Roscoe sama sekali
tidak memedulikannya. Yang jadi sasarannya adalah putranya,
seperti biasanya. Selama ini Caroline hanya diperalatnya.
"Gadis yang kautemui setiap hari secara sem‐bunyi‐sembunyi
hanya gadis di bawah umur, kata anak buahku, tetapi tubuhnya
sangat meng‐giurkan." Roscoe membasahi bibirnya. Caroline
memejamkan mata, dan berusaha meredam pe‐rasaan muak.
Tubuh Rink agak gemetar karena berusaha mengendalikan
kemarahan yang me‐nyergapnya. "Kami tertawa geli ketika tahu pe‐
rempuan pujaanmu ternyata putri Peter Dawson." Roscoe
mengedipkan mata pada Rink. "Tetapi aku kagum akan seleramu
pada perempuan, anakku. Ia perempuan ingusan, tetapi waktu itu
kau berani menanggung risikonya, bukan?"
"Mari kita luruskan permasalahannya," sela Rink. "Kau tahu yang
dikandung Marilee bukan anakku, bukan?"
"Kurasa, bayi itu mungkin saja anakmu atau anak laki‐laki lain,
dan kau tidak bisa membukti‐kan sebaliknya. Setiap orang di kota
tahu Marilee bisa diajak tidur siapa saja."
"Bukan anakmu?"
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Rink menoleh, melihat Caroline menatapnya. Suaranya
terdengar parau, menyiratkan ketidak‐percayaan dan... perasaan
lain. Gembira? Matanya berkaca‐kaca. "Bukan, Caroline," jawab
Rink. "Bayi itu bukan anakku."
"Tetapi kau pernah tidur dengan Marilee, bukan?" Roscoe
bertanya dari ranjang.
Mata Rink tetap tertuju pada Caroline ketika menjawab
pertanyaan Roscoe, "Ya. Tetapi itu terjadi jauh sebelum ia hamil.
Aku tidak pernah kencan dengan perempuan lain selama musim
panas itu setelah mengenal Caroline. Alyssa bu‐kan anakku." Rink
kembali menghadap ke aiah ayahnya. "Dan kau tahu soal itu. Waktu
itu kukatakan padamu bayi itu bukan anakku, ka‐rena hampir
setahun aku tidak tidur dengan Marilee. Tetapi kau memaksaku
menikahinya juga. Mengapa?"
"Senang aku mengetahui kau lupa bahwa kau sendiri yang
memilih menikahinya."
"Karena kau mengancamku akan memasukbn Laura Jane ke
panti asuhan bila aku menolak mengawini Marilee!" teriak Rink,
mengeluarkan kemarahan menggelegak yang sejak tadi diredam‐
nya.
"Ya ampun!" Caroline menutup muka dengan tangan. Akankah
mimpi buruk ini tidak pernah berakhir? Roscoc memaksa Rink
menikahi gadis yang mengandung anak laki‐laki lain? Bagaimana ia
bisa melakukan hal itu?
"Mengapa kau memaksaku menikahi Marilee' Mengapa kau
tidak menyangkal pernyataan ayah Marilee bahwa aku bukanlah
ayah bayi itu dan mengusirnya dari rumah? Aku yakin kau bukan
orang yang takut menanggung akibat skandal ini. Kau bukan orang
yang peduli norma masya‐rakat. Dan aku tahu si tua George itu
tidak mengancammu. Mengapa kau memaksaku me‐ngawininya?"
Suara Rink meninggi, pertanyaannya itu terasa seperti tetap
menggema di dalam ruangan setelah keluar dari mulutnya.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Uang," jawab Roscoe, pendek. "Ayahnya pu‐nya banyak uang.
Aku lagi butuh uang. Se‐sederhana itu masalahnya. Aku menjualmu,
anak‐ku, senilai dua puluh lima ribu dolar."
Rink terpaku. Kendati sudah tahu kebreng‐sekan ayahnya, sama
sekali tak terlintas dalam benaknya bahwa uang menjadi penyebab
pe‐maksaan itu. "Tetapi kau tidak mencegahku ber‐cerai setelah
Alyssa lahir," kata Rink.
"Itu tidak termasuk dalam kesepakatan. George hanya
menginginkan suami untuk putrinya yang malang dan ayah untuk
cucunya. Ia ingin nama keluarga terhormat menempel di belakang
nama cucunya, tercetak di akte kelahirannya."
"Terhormat," lanjut Roscoe sambil menatap langit‐langit. "Kita
suka yang berbau kehormatan, bukan?"
"Selain itu," lanjut Roscoe, "itu cara yang lebih bagus untuk
menyelamatkanmu dari ke‐salahan besar."
"Kesalahan apa?"
"Mengawini gadis miskin, itulah maksudku." Roscoe
mengarahkan pandangannya ke arah Caroline.
"Jangan libatkan dia dalam masalah ini," kata Rink mengancam.
"Soal ini tak ada sangkut pautnya dengan Caroline."
Roscoe tertawa geli, mengejek. "Semuanya terkait dengan
Caroline. Aku tidak mau kau meng‐hamili perempuan seperti
Caroline, bukan? Se‐galanya bisa jadi sangat kacau balau."
"Bukan itu masalahnya." Rink mengucapkan kata‐kata itu sambil
mengertakkan gigi.
"Dari apa yang dilaporkan informanku, hu‐bungan kalian makin
intim. Mereka bilang kau sulir mengendalikan keinginanmu untuk
tidak menyentuhnya." Roscoe menyipitkan mata rae‐mandang
putranya. Bibirnya mencemooh. "Dasar anak bodoh. Tahu kau
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
betapa sulit bagiku untuk menahan rasa geli ketika kau bilang sudah
me‐nemukan gadis yang ingin kaunikahi?"
Caroline terkejut, matanya tertuju pada Rink. Rink meliriknya
sekilas, tetapi ini bukan saat yang tepat untuk menanggapi tatapan
mata ke‐abu‐abuan Caroline yang penuh tanda tanya itu.
Roscoe melanjutkan kata‐katanya tanpa pe‐rasaan. "Marilee
memang gadis binal. Ia mem‐biarkan lelaki mana saja merayap di
antara kedua kakinya. Tetapi paling tidak, ia datang dari ke‐luarga
terhormat." Mata Roscoe dialihkan pada Caroline. "Paling tidak, ia
bukan putri pemabuk."
"Lalu, mengapa kau menikahi aku?" tanya Caroline, memecah
kebisuannya akhirnya. Roscoe harus mempertanggungjawabkan
semua sakit hati yang dideritanya. Selama ini ia pikir Rink meng‐
hamili Marilee dan terap menemui dirinya. Siasat Roscoe berhasil
dilaksanakan dengan baik. Ia berhasil meraih apa yang diinginkan
dengan sengaja menghancurkan kehidupan mereka berdua, dirinya
dan Rink. Caroline merasa takkan ke‐hilangan apa pun bila melawan
Roscoe sekarang.
"Aku menikahimu karena ingin membuat investasi yang
menguntungkan," jawab Roscoe singkat.
"Apa maksudmu?" Perasaan Caroline galau, membuatnya tidak
ingin tahu lebih jauh kelan‐jutannya. Namun ia.harus tahu.
Rahasianya harus tersingkap malam ini. Ia tidak yakin akan mam‐pu
bertahan bila harus menghadapi hal seperti ini lagi lain kali. Lebih
baik ia tahu segalanya sekaligus. "Investasi apa?"
"Terkutuklah aku," kata Rink perlahan, ketika mengetahui apa
yang terjadi sebenarnya.
"Kau bisa menebaknya, kan?" tanya Roscoe sambil tawa
terkekeh.
"Tolong jelaskan padaku, salah satu dari kalian, apa duduk
persoalannya?" teriak Caroline.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Kurasa, kau tinggal dengan penolong miste‐riusmu, Caroline,"
kata Rink pelan.
Caroline menatap Rink sampai awan ketidak‐mengertian
menguap, memahami segalanya bila saja ia menyelidikinya. "Soal
beasiswa?" Caroline bertanya dengan suara parau, sambil menatap
Roscoe.
"Aku harus menjauhkan dirimu dari kota, menjaga kalau‐kalau
Rink suatu hari bercerai, kemudian memutuskan kembali padamu."
"Kau yang membiayai semua sekolahku?" Caroline mencoba
menyimpulkannya. "Sebegitu pentingnyakah, hanya demi menjaga
reputasi dan nama keluargamu?"
"Oh, bukan hanya itu," jawab Roscoe. "Kau harus dipersiapkan
untuk menyempurnakan selu‐ruh rencananya."
"Rencana apa?" tanya Caroline
"Bahwa kau harus menjadi Mrs. Lancaster, Mrs. Roscoe
Lancaster."
Dengan tetap melipat tangan di perut, Caroline agak
membungkukkan badan. Perasaan terhina memenuhi dirinya. "Kau
merencanakan semua ini sejak bertahun‐tahun lalu? Kau berhasil
me‐wujudkannya?"
"Coba pikir, bagaimana kau bisa dapat pe‐kerjaan di bank itu
begitu lulus dari univesitas? Apa kau pikir hanya kebetulan aku
bertemu denganmu di bank itu? Sudah kusiapkan pe‐kerjaan
untukmu di pemintalan bila waktunya tiba. Ingin mendengar cerita
selanjutnya?"
"Tetapi mengapa?" teriak Caroline. "Mengapa?"
Roscoe tidak menjawab, ia hanya melirik Rink, Rink‐lah yang
memberi jawaban atas pertanyaan Carolne. "Karena aku
menginginkan dirimu. Dan Roscoe tahu itu. Dan ia akan melakukan
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
apa pun, dengan cara paling licik sekalipun, termasuk bila harus
menikahimu, agar aku tidak memilikimu."
"Kau memang anak cerdas," kata Roscoe sambil melirik.
"Kau juga menyuruh Laura Jane menulis surat padaku bahwa
Caroline sudah menikah."
"Itu kan pekerjaan yang mudah dilakukan. Laura Jane mau
melakukan apa pun yang ia tahu bisa membuat aku senang dan
melupakan‐nya dalam waktu beberapa jam. Kau harus ba‐nyak
belajar soaJ pengabdian dan kehormatan dari adik perempuanmu
yang tolol itu, anakku."
"Kehormatan." Rink mengumpat kata itu.
"Bertahun‐tahun lamanya kau memanipulasi kehidupan kami
hanya karena dendammu ter‐hadap Rink?" kata Caroline, yang
masih tidak percaya ada pria yang bisa terobsesi rasa benci seperti
itu. "Kau anggap aku tidak pantas bersan‐ding dengan Rink, tetapi
kau menikahiku. Kau‐berikan nama keluargamu padaku,
membawaku tinggal di The Retreat ini. Aku tak mengerti."
"Kau mudah dibujuk, Sayangku. Aku tahu itu karena latar
belakangmu. Keluarga kami, nama keluarga Lancaster dan rumah
The Retreat akan mewujudkan mimpi yang tak pernah bisa
kaudapat. Rumah dan nama keluarga adalah umpan yang sulit
kautolak, bukan? Meskipun rumah dan nama keluarga itu milik
kekasih yang sangat kaurindukan. Sebetulnya, aku harus berterima
kasih padamu karena membuat segala‐nya menjadi mudah. Kau
pandai bicara dan jujur, itu kelebihanmu. Kau beradab. Hanya Tuhan
yang tahu mengapa kau punya sifat seperti itu, tetapi yang jelas itu
suatu keuntungan. Wajahmu yang cantik, menarik untuk dipandang,
membuat orang yakin orang tua busuk seperti aku ini bisa
terpesona olehmu. Yah, Caroline, terima kasih, kau membuat
segalanya menjadi mudah."
Caroline berbalik karena malu. Ia diperalat dengan cara yang
paling memalukan. Tetapi aneh‐nya, ia malah menyalahkan dirinya
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
sendiri ke‐timbang akal busuk suaminya. Andai ia tidak terlalu
polos... Andai ia tidak terlalu cepat men‐jatuhkan tuduhan pada
Rink. Andai ia tidak terlalu ambisius. Andai, andai, andai... Apa yang
dilakukan Roscoe untuk menyakiti hatinya yang lebih daripada ia
menyakiti dirinya sendiri?
Sorot mata lelaki yang sekarat itu tampak berbinar‐binar,
ditujukan kepada mereka berdua. "Bagaimana rasanya tinggal di
bawah satu atap? Tersiksa? Minggu ini minggu paling menyenang‐
kan, melihat kalian berdua menggeliat. Kalian pikir tak ada yang
tahu, bukan? Oh, betapa menyenangkannya melihat kalian
berusaha me‐nyembunyikannya, melihat kalian berdua ber‐usaha
tidak saling pandang dan menjauhkan diri."
Mata Roscoe tertuju pada Rink. "Kau mulai menginginkannya
kembali, bukan, anakku? Kau hampir tak dapat menahan gairah di
antara kedua kakimu, bukan? Pernah kaubayangkan Caroline di
ranjang bersamaku dan apa yang kami lakukan di sana?"
Caroline berbalik, murka dan merasa terhina. "Hentikan,
Roscoe!"
"Lihadah dia, anakku. Tubuhnya indah sekali, bukan?"
"Diam!" teriak Rink.
"Perempuan sempurna. Setiap sentimeter sa‐ngat mulus, sangar
perempuan."
"Jangan bicara seperti itu tentang dirinya, brengsek!"
Roscoe tertawa mengejek. "Aku tidak mengata‐kan apa yang
tidak terpikir olehmu. Pernahkah terpikir olehmu bagaimana
rasanya menciumnya? Memeluknya? Melepas pakaiannya?
Menidurinya? Kau pernah merindukan istri ayahmu, anakku?"
"Oh, Tuhanl" Dengan perasaan remuk redam, Caroline lari keluar
dari kamar.
Roscoe tertawa ketika melihat Caroline pergi.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Kau bajingan!" maki Rink kepada ayahnya dengan suara tenang
mematikan.
"Aku memang bajingan." Dengan susah payah Roscoe berusaha
bangkit dan menopang tubuh‐nya dengan siku. "Aku akan
terpanggang di api neraka, tapi aku menikmati setiap detiknya ka‐
rena hidupmu lebih tersiksa lagi di dunia ini. Sejak kau dilahirkan,
kau selalu membuat ma‐salah denganku."
"Karena yang kulihat hanya kebobrokan dalam dirimu. Karena
kau membunuh ibuku, layaknya menembakkan peluru ke otaknya."
"Mungkin. Mungkin. Ia perempuan lemah. Tidak penah
melawanku. Tetapi kau selalu me‐nantangku. Kau selalu
menantangku. Aku tak tahan melihat sorot matamu yang
menatapku dengan sorot mata kebenaran. Makin tambali usiamu,
kau makin menyiksaku. Kau menegur hati nuraniku dan aku tidak
ingin menjadi ma‐nusia yang punya hati."
Jari telunjuknya yang kurus lagi gemetar di‐arahkan kepada Rink.
"Ya, aku mendapatkan kembaJi anakku, putraku. Memang makan
waktu lama untuk mendapatkannya, tetapi aku berhasil. Kau tak
bisa lagi memiliki perempuan itu seka‐rang, Rink. Aku kenal siapa
dirimu. Harga diri sebagai Winston takkan merelakan dirimu me‐
miliki Caroline." Roscoe berhenti sejenak, kemu‐dian melanjutkan,
"Karena aku sudah teriebih dahulu memilikinya. Kau ingat itu.
Caroline istriku dan aku yang memilikinya untuk pertama kali!"
Keempat orang di dalam limusin itu duduk diam saat mobil
melaju di bawah pepohonan yang tumbuh di sepanjang jalan
menuju pema‐kaman. Rink dan Caroline memandang ke luar
jendela. Laura Jane duduk di antara mereka, mempermainkan
saputangan di antara jemarinya. Haney, yang duduk di belakang,
mengamati mereka, juga dalam diam. PaJing tidak, membisu
semampunya.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Sepertinya banyak sekali yang melayat," komentar Haney,
sambil memandang ke arah iring‐iringan mobil yang berderet di
belakang mobil jenazah dan limusin mereka.
Tak ada yang memberi tanggapan. Akhirnya Caroline berkata,
"Kebanyakan penduduk kota, kurasa."
"Tak banyak yang kuingat soal pemakaman Mama. Ada yang
kauingat, Rink?" Laura ber‐tanya takut‐takut. Saat sorot mata Rink
tajam seperti itu, Laura Jane merasa takut.
"Ya," jawab Rink sambil menggigit bibir. "Aku masih ingat."
Setelah menyadari ia berbicara dengan adik perempuannya, Rink
menoleh dan tersenyum lembut padanya. Digamitnya tangan Laura,
lalu diciumnya dan digenggamnya erat‐erat. "Banyak orang yang
menghadiri pema‐kamannya juga."
"Kukira begitu," jawab Laura Jane, sambil tersenyum, lega karena
tidak ada lagi sorot mata dingin dan cemas di wajah Rink.
"Orang pasti akan ramai membicarakannya," ujar Haney,
menduga‐duga.
"Karena kalian tidak membuat acara doa ke‐matian di gereja.
Pendeta kaget. Orang lain pun akan merasa begitu."
"Biar saja mereka keheranan, aku tidak peduli apa yang orang‐
orang katakan," kata Rink ketus.
"Kau tidak tinggal di sini," kilah Haney. "Kami tinggal di sini."
"Tak ada misa di gereja," kata Rink, menegaskan. "Kau dengar,
Haney?" Sorot matanya yang tajam dan rak mau dibantah, serta
suaranya yang berwibawa, membuat Haney tak mengo‐mentari
lebih lanjut.
"Ya, Sir." Ia menaikkan duduknya karena gu‐sar. Rink kembali
memandang ke luar jendela.
Caroline iba melihat Haney dan Laura Jane. Manusia‐manusia
polos seperti mereka harus hi‐dup bersama orang seperti Roscoe.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Mereka juga takkan mengerti mengapa Rink bersikap dingin
menghadapi kematian ayahnya. Buat dirinya sen‐diri, mereka akan
mengira kematian ini sangat mengej utkannya.
Haney memegang tangan Caroline dan ber‐kata, "Kau sangat
tabah, Caroline. Tetapi waktu menangis akan tiba. Ketika sudah
sendirian, hiruk‐pikuk ini sudah berlalu, kau pasti akan menangis."
Haney keliru. Caroline tidak akan menitikkan setetes air mata
pun untuk pria yang pernah menjadi suaminya itu. Air matanya
sudah kering saat ia meninggalkan kamar di rumah sakit karena
penghinaannya. Rink mengikutinya ke luar beberapa saat kemudian,
air mukanya juga tegang. Pandangannya dingin menakutkan. Sam‐
pai detik itu pun, kesan itu yang tetap tinggal di wajahnya.
Bermalam‐malam, mereka duduk berjaga di kursi besi ruang
tunggu rumah sakit. Mereka tidak bicara. Mereka tidak saling
pandang. Betapa sering Caroline ingin meminta maaf karena me‐
nuduh Rink mengkhianati cinta mereka gara‐gara Marilee. Betapa
ingin ia mengelus, me‐meluknya, menangisi hari‐hari yang
memisahkan mereka selama bertahun‐tahun. Bahkan sampai saat
ini pun mereka masih terpisah. Garis wajah‐nya dan tubuhnya
mengatakan demikian. Itu sebabnya Caroline memutuskan menjaga
jarak dan berdiam diri.
Roscoe tak sadarkan diri setelah Rink mening‐galkan kamarnya.
Ketika menemui Caroline dan berlutut di hadapannya, dokter
menggenggam tangannya. "Takkan lama lagi. Anda boleh pulang
kalau mau. Toh ia tidak akan tahu Anda ada di kamar atau tidak."
Caroline menggeleng. Ia tidak ingin melihat wajah Roscoe lagi.
Ketika dokter memberitahunya Roscoe meninggal, Caroline
meninggalkan rumah sakit bersama Rink, dengan air mata yang me‐
ngering dan hati hampa.
Kini ia harus berpura‐pura berduka, seperti kebanyakan istri yang
ditinggalkan suami. Limusin berhenti. Ia dibantu turun oleh petugas
pemakaman dan diajak ke tenda yang dibangun di dekat liang
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
kubur. Ia duduk di kursi yang disediakan, duduk dengan kaku, Rink
di sebelah‐nya, Laura Jane di sebelah Rink. Haney memilih berdiri di
belakang Laura Jane, meletakkan ta‐ngannya di bahu perempuan
muda itu untuk menenangkannya.
Caroline berusaha menutup telinga, tidak mau mendengarkan
khotbah Pendeta. Matanya nanar memandang peti mayat yang
penuh bertabur mawar putih. Ketika acara doa kematian berakhir,
ia menerima ucapan duka cita dari para pelayat. "Ia tegar sekali ya?"
bisik mereka pada satu sama lain.
"Tanpa setitik air mata pun." "Tentu saja, sejak Roscoe dioperasi,
ia sudah tahu semua ini hanya masalah waktu." "Ya. Ia sudah
mempersiapkan diri." "Kendati demikian, ia harusnya memperlihat‐
kan kesedihan. Kau tahu bagaimana orang yang mendapat musibah.
Mereka jadi emosional di depan orang banyak."
"Aku tak tahu bagaimana nasib pabrik pemin‐talan kapasnya
nanti."
"Caroline tetap akan menjalankannya, kurasa." "Bagaimana
dengan Rink?" "Ia akan tinggal di sini." "Ia akan kembali ke Atlanta."
"Aku tidak tahu pasti." Caroline mendengar desas‐desus yang diper‐
gunjingkan orang itu ketika berjalan ke arah limusin yang
menunggunya. Namun sedikit pun ‐ ia tidak merasa terganggu oleh
gosip itu. Ke‐licikan dan tipu muslihat Roscoe yang amat keji
terhadap dirinya masih segar dalam ingatannya. Kalau sampai tidak
bisa mengendalikan diri, ia akan kehilangan muka karena akan
berteriak‐teriak seperti orang gila. Oleh sebab itu ia biarkan saja
mereka menganggap dirinya sebagai orang yang pandai menahan
emsoi. Ia tidak akan berdoa atau menangisi kepergian Roscoe
Lancaster. Roscoe tidak hanya menyakitmya, tetapi juga satu‐
satunya pria yang pernah ia kasihi. Tak ada kata maaf dalam hatinya
buat kejahatan yang dilakukannya.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Syukur, akhirnya selesai sudah," kata Rink ketika ia duduk di
bangku belakang sambil menjabat tangan pendeta untuk terakhir
kalinya.
Namun segalanya belum berakhir. Sepanjang petang penuh
sesak oleh orang‐orang yang ber‐datangan ke The Retreat untuk
menyampaikan penghormatan terakhir pada Roscoe. Caroline yakin
umumnya mereka datang karena didorong perasaan ingin tahu.
Mereka ingin melihat peru‐bahan apa yang dilakukan Caroline pada
rumah yang ditinggalkan Marlena Winston Lancaster. Ia mendapat
kesan kebanyakan dari mereka ke‐cewa ketika melihat tak ada yang
berubah di rumah itu. Apakah mereka berharap dindingnya
ditempeli wallpaper dan lampu remang‐remang?
Rupanya tak pernah rasa ingin tahu mereka tentang Caroline
terpuaskan. Caroline yang du‐duk dengan penuh wibawa dalam
kemuraman diam‐diam memerhatikan para pelayat yang
mengamatinya. Ia penasaran, apa yang diharap‐kan orang‐orang itu.
Apakah mereka berharap melihat dirinya mengenakan sesuatu
selain baju hitam pekat? Apakah mereka mengharapkan dirinya
menangis tersedu‐sedu? Atau mereka berharap melihatnya kini
tertawa‐tawa karena suaminya yang sudah tua tapi kaya itu sudah
meninggal? Sabagaimana mereka kecewa melihat tak ada
perubahan dalam The Retreat, begitu pun perasaan mereka ketika
melihat dirinya. Putri keluarga Dawson itu tidak memberi
kesempatan kepada mereka untuk berbicara banyak dengannya.
Akhirnya, para pelayat itu pamit, sampai akhir‐nya rumah
kosong. Bayang‐bayang malam yang panjang mulai menyelinap di
antara jendela, membentuk jalur‐jalur di lantai kayu. Haney sibuk
membereskan gelas dan tisu bekas pakai, dan membuang debu
rokok dari asbak. "Ada yang mau makan malam?" "Aku tidak mau,
terima kasih, Haney," jawab Caroline dengan galau.
"Tidak, terima kasih." Rink menuang rai‐numan bourbon ke
dalam gelas tinggi. "Tidurlah, Haney. Kau sudah bekerja keras
sepanjang hari." Haney mengangkat baki yang penuh gelas‐gelas.
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Setelah selesai mencuci gelas‐gelas ini, aku tidur. Ada hal lain yang
kaubutuhkan,
Caroline?"
Caroline tersenyum dan mengucapkan terima kasih, lalu
menggeleng. "Selamat malam, Haney."
"Hmmm, di kulkas banyak makanan bila ada yang lapar. Selamat
malam."
Haney meninggalkan Caroline dan Rink ber‐duaan di kamar
tamu. Caroline menyandarkan kepak di bantal sofa dan memijat‐
mijat pelipis‐nya sambil memejamkan mata. Ia membuka kancing
blusnya dan melepas separu, menarik napas lega.
Setelah membuka setelan jas hitamnya, Rink menggulung lengan
kemeja. Ia berdiri di salah satu sudut jendela yang tinggi. Satu
tangan dimasukkan ke saku celana, tangan yang lainnya sesekali
mendekatkan gelas minuman ke bibirnya. Ini pertama kalinya
mereka berduaan sejak me‐ninggalkan rumah sakit dua malam yang
lalu. Sepertinya mereka tak punya bahan obrolan.
Perlahan mata Caroline membuka. Diamatinya Rink dari
seberang ruangan. Asyik ia memper‐hatikan siluet tubuh Rink di saat
malam mulai menjelang itu.
Rambutnya yang hitam tampak kontras sekali dengan kerah
kemejanya yang putih. Bahunya bidang. Caroline memerhatikan
garis rompi yang dikenakan Rink sampai ke pinggangnya. Bokong‐
nya kecil tapi kelihatan bagus di balik celana yang dijahit rapi itu,
pahanya kencang, ramping lagi panjang. Tak ada hal lain yang
diinginkan Caroline saat itu kecuali mendekatinya. Ia bisa
merasakan bagaimana tangannya menyelinap di antara kemeja
Rink, memeluk erat perutnya yang ia tahu rata tapi keras. Caroline
merasakan dadanya sesak karena menekan keinginan merasakan
kekokohan punggung Rink yang bersentuhan dengan payudaranya.
Ia ingin meletakan pipinya di bahu laki‐laki itu, menikmati bau
tubuhnya, menghirup aroma tubuhnya, setiap nuansa diri‐
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
nya.
Selagi Caroline asyik mengamatinya, mendadak Rink tampak
tegang dan mengumpat, "Apa‐apaan mereka itu?" Rink meletakkan
gelas mi‐numan di meja antik lalu menghambur ke luar ruangan. Air
mukanya tampak tegang. Karena terkejut, Caroline melompat dari
sofa dan cepat‐cepat lari ke jendela.
Tampak Steve dan Laura Jane di halaman. Mereka berjalan
perlahan menuju rumah. Tangan Steve merangkul pundak Laura
Jane, tubuh me‐reka rapat. Laura Jane merebahkan kepala di dada
Steve. Steve menunduk, menempelkan kepalanya ke kepala Laura
Jane. Caroline melihat bibir Steve bergerak‐gerak, berbicara pada
gadis itu dengan lembut. Kemudian dilihatnya bibir Steve mengecup
pelipis Laura Jane, memberikan ciuman lembut.
Caroline menghambur ke luar dengan kaki yang hanya
mengenakan stoking, karena tahu apa yang dilihat Rink. Ia harus
mengejar Rink sebelum,...
Caroline bisa membayangkan apa yang bakal terjadi, ia
mendengar pintu kasa depan dibanting Rink keras‐keras,
langkahnya menggema di lantai teras rumah. "Laura Jane!" seru
Rink.
Caroline mengejar Rink, tergesa‐gesa menuruni anak tangga.
"Rink, jangan."
Laura Jane mengangkat kepala dari dada Steve, tetapi tidak
kelihatan ia hendak menjauhkan diri dari Steve. Sebaliknya, ia malah
menggan‐deng Steve ke hadapan Rink yang memanggilnya. Caroline
melihat langkah Steve yang bimbang. Steve bukanlah orang lugu
seperti Laura Jane. Seketika ia menangkap kegusaran yang terkan‐
dung dalam suara Rink. Namun Steve tidak mengalihkan pandangan
dari Rink ketika mereka mendekati pria itu. "Ya, Rink?" ujar Laura
Jane. "Dari mana kau?"
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Aku dari tempat tinggal Steve, nonton tele‐visi." Laura Jane
tersenyum pada Steve. "Steve ingin menghiburku, melupakan
kedukaanku ka‐rena ditinggal Daddy."
Api kemarahan yang menggelora dalam hati Rink seperti disiram
bensin. "Hmmm, kau tahu ini sudab larut malam. Sebaiknya kau
cepat pergi tidur."
"Tadi Steve juga bilang begitu padaku," jawab Laura Jane sambil
menarik napas. "Selamat ma‐lam, semuanya." Laura Jane tersenyum
manis pada Steve sebelum masuk rumah.
Rink membiarkan beberapa detik berlalu, sam‐pai akhirnya
terdengar suara pintu depan ditutup Laura Jane. Kemudian ia cepat‐
cepat mendekati Steve. "Jangan pernah sentuh adikku lagi, paham?
Jika aku melihatmu menyentuhnya sekali lagi, kau akan kehilangan
pekerjaan dan langsung harus pergi dari sini."
"Aku tidak mengerayangi Laura Jane, Mr. Lancaster," jawab
Steve dengan nada datar. "Aku hanya ingin menghiburnya. Ia sedih
karena ke‐hilangan ayah dan... beberapa hal lainnya."
"Hmmm, tapi ia tidak perlu 'hiburan' dari‐mu."
"Rink," sela Caroline sambil memegang ta‐ngan Rink,
mengingatkan. Rink menepis tangan Caroline.
"Apa maksud__"
"Kau tahu apa yang kumaksud. Kau pura‐pura menghiburnya,
padahal kau menginginkannya."
Steve menggigit bibir bawahnya. Caroline tahu hanya karena
takut kehilangan pekerjaan, harus meninggalkan The Retreat dan
Laura Jane‐lah yang menyebabkan Steve tidak menanggapi kata‐
kata Rink.
"Terserah apa yang Anda pikirkan tentang saya, Mr. Lancaser,
tetapi begitulah faktanya. Saya tak pernah melakukan sesuatu yang
me‐nyakiti Laura Jane, dan takkan pernah."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Rink menatap Steve dengan marah. "Kalau begiru, berarti tak
ada masalah, bukan? Tetapi untuk lebih meyakinkan, jangan sampai
aku salah paham apa yang kaulakukan, jauhilah Laura Jane." Setelah
mengatakan itu Rink berbalik dan masuk ke rumah.
Setelah melempar pandang minta maaf pada Steve, Caroline
buru‐buru mengejar Rink. Ia berhasil mengejarnya ketika sampai di
teras, di‐tariknya tangan Rink berbalik menghadap ke arahnya. "Kau
keterlaluan! Apakah memuntahkan kemarahanmu pada Steve
memberikan kepuasan padamu? Kau merasa lebih enak sekarang?"
"Tidak juga."
Rink membalik situasi, kini ia yang menjadi penyerang.
Dicengkeramnya kedua lengan Caroline, didorongya masuk sampai
ke ruang tamu, lalu ditutupnya pintu ruang tamu. Di‐pepetnya
Caroline ke dinding dengan tubuhnya, mukanya ditundukkan sampai
dekat sekali de‐ngan wajah Caroline, napasnya memburu. Ia
bertanya, "Bagaimana kau bisa sampai hati tidur dengan ayahku?
Bagaimana mungkin, Caroline?"
Bab 8
CIUMAN Rink makin lama makin liar. Bibirnya berputar‐putar di
bibir Caroline, memaksa Caroline membuka mulut dan mem‐biarkan
lidahnya masuk ke mulutnya. Pahanya dimajukan, menghimpit
tubuh Caroline. Satu tangannya yang bebas meremas payudara
Caroline. Rink melakukannya tanpa kelembutan sedikit pun. Yang
sengaja dilakukan Rink untuk merendahkan Caroline.
Caroline meronta‐ronta. Tangannya yang bebas mendorong dada
Rink yang kokoh dan me‐mukul‐mukuli bahunya. Ia berusaha
menghindar‐kan bibirnya dari ciuman Rink, tetapi sia‐sia. Teriakan
Caroline dibungkam bibir Rink.
Ini bukan Rink. Caroline yakin, Rink takkan pernah menyakitinya
seperti ini. Rink bertingkah seperti orang kesetanan karena
perasaan marah yang dipendam selama bertahun‐tahun. Musuh
besarnya sudah mati, yang menyebabkan ia tak tahu lagi siapa yang
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
harus diajak bertengkar. Frustrasi yang menyergap perasaannya
mendorong ia memuntahkan kemarahannya pada Caroline, yang
tanpa disadarinya diperalat untuk mewujud‐kan rencana Roscoe.
Memahami situasi itu, cara paling baik untuk membela dirinya
adaJah de‐ngan tidak melawan Rink sama sekali. Ia pasrah dalam
pelukan Rink.
Setelah beberapa saat berlalu, akal sehat Rink kembali bekerja.
Ia menyadari Caroline tidak lagi meronta‐ronta melawannya.
Bibirnya dengan lembut mencium bibir Caroline. Tangannya tidak
lagi meremas‐remas payudara Caroline, melainkan mengelusnya
dengan lembut, dan ia menarik tangannya dengan perasaan sesal.
Kelembutan seperti inilah yang harus dilawan Caroline.
Kekasaran yang dialaminya beberapa saat lalu bukanlah berasal dari
pria yang ia kenal dan cintai, melainkan dari laki‐laki yang hidupnya
hancur berkeping‐keping oleh kelicikan dan kegetiran hidup. Kini
sentuhan Rink adalah sentuhan yang amat dikenalnya, yang
mengingat‐kannya akan kenangan manis di musim panas itu,
sentuhan yang telah menawan hatinya.
"Rink." Panggilan itu lebih mirip desah lem‐but, menyiratkan
kerinduan dan keputusasaan.
"Apakah aku menyakitimu?"
"Tidak."
"Aku tidak bermaksud begitu"
"Aku tahu."
Rink mencondongkan tubuh ke depan, me‐letakkan tangannya,
dari siku sampai ke ujung jari, ke dinding di belakang Caroline.
Dahinya disandarkan pada dinding di atas kepala Caroline. Embusan
napas Rink menyentuh rambut Caroline. "Mengapa keinginanku
tidur denganmu melebihi keinginanku bernapas? Mengapa aku
tidak bisa melupakanmu? Setelah semua yang terjadi saat ini,
mengapa aku masih saja ingin memilikimu?"
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
Rink merapatkan tubuh ke tubuh Caroline. Posisi tubuh seperti
itu jelas membuat mereka bergairah, membuat jantung mereka
berdebar‐debar. "Seharusnya kita bisa berbaring di ranjang dengan
posisi seperti ini kan, Caroline?"
"Oh, Tuhan." Caroline menenggelamkan hi‐dungnya ke leher
Rink. "Jangan bicara seperti itu, Rink."
"Itu yang kaubayangkan. Itu yang aku bayang‐kan."
"Jangan membayangkannya." "Aku selalu membayangkannya."
Tubuh mereka saling memancarkan panas. Dada Caroline rapat
menekan dada Rink yang bidang. Perut mereka saling menggesek
diiringi tarikan napas berat. Rink memperbaiki posisi tubuhnya
sehingga Caroline bisa merasakan dorongan hasratnya yang
menggebu. Kejantanan Rink menutup kewanitaan Caroline. Paha
mereka saling menekan.
Dengan masih berpakaian, masih berdiri, tanpa bergerak,
mereka bercumbu. Mereka bercinta.
Keintiman rohaniah, bukan jasmaniah. Namun masing‐masing
merasakan kenikmatan yang jauh lebih dalam dibanding percintaan
nyata.
Rink membenamkann wajahnya ke rambut Caroline,
menelusupkan hidungnya di antara helai‐helai rambut Caroline.
Berulang‐ulang Rink menggumamkan nama Caroline. Emosi mereka
yang menggelora membuat tubuh mereka ge‐metar. Kemudian
mereka diam tak bergerak.
Menit‐menit berlalu dan mereka masih saja tidak bergerak atau
bicara. Mereka hanya berdiri dalam diam, menikmati kedekatan
tubuh satu sama lain, menyesali apa yang tak pernah terjadi,
meratapi mimpi yang takkan pernah terwujud.
Perlahan‐lahan Rink menarik tubuhnya, sampai tubuh mereka
tak lagi bersentuhan. Rink menatap wajah Caroline dengan sorot
mata penuh kemarahan dan tuntutan. Caroline menengadah‐kan
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
kepala, balik menatap Rink. "Bagaimana kau bisa hidup bersamanya,
Caroline?" tanya Rink. Rink menjauhkan diri dari dinding dan
menyibakkan rambut. Ia tidak mengulang per‐tanyaannya, tetapi
ekspresi mukanya yang tegang menuntut Caroline menjawab
pertanyaannya.
"Ia suamiku." Pernyataan sederhana yang di‐ucapkan Caroline itu
cukup menjawab semua pertanyaan Rink. Tetapi ternyata
pernyataan itu malah menyulut kemarahan Rink.
"Mengapa kau menikah dengannya? Mengapa, oh Tuhan?
Setelah apa yang terjadi di antara kita, bagaimana bisa kau
menikah‐dengan ayah‐ku?"
"Kau tidak fair, Rink!" tukas Caroline, yang tersulut kemarahan
juga. "Kau yang meninggal‐kan aku, bukan sebaliknya."
"Kau tahu apa sebabnya aku kawin dengan Marilee."
"Tidak tahu, sebelum kejadian dua hari yang lalu, aku tidak
tahu."
Rink meletakkan tangan di paha dan menatap Caroline marah.
"Jadi, kau menganggap aku main‐main dengan perempuan lain,
sementara aku menantang semua, bahkan akal sehatku, demi
memilikimu?"
Kekasaran sikap Rink mendorong Caroline untuk menantang
balik. "Bagaimana seharusnya aku bersikap? Kau meninggalkan aku
tanpa pesan satu kata pun. Aku dengar kau menikah dengan
Marilee George karena ia hamil. Apa lagi yang harus kupikirkan?"
Rink mengumpat dan membalikkan badan karena tidak ingin
mendengar alasan yang di‐kemukakan Caroline. "Aku tidak bisa
menemui‐mu untuk menyampaikan kenyataan itu. Kau tidak akan
percaya padaku, sebagaimana yang lainnya."
"Aku mungkin bisa."
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
"Kau bisa?" tanya Rink sambil membelalakkan mata ke arah
Caroline. Mata Caroline menentang tuduhan Rink. "Tidak, tidak
mungkin kau percaya," ujar Rink pada Caroline. "Kau akan ber‐
anggapan seperti yang lain, bahwa akulah ayah si bayi itu."
Rink berjalan ke sofa dan mengempaskan tubuhnya di situ.
Kakinya diselonjorkan. Ia menggosok‐gosok mata dengan ibu jari
dan jari tengahnya. "Selain itu, aku takut kau terlibat terlalu jauh,
bila aku mencoba menemuimu lagi. Aku tahu, orang di kota ini suka
bergosip dan aku diawasi seperti pesakitan. Segala yang kulaku‐kan
akan dilaporkan. Aku tidak mau mengambil risiko melibatkanmu
dalam kesulitan."
Caroline berjalan keliling ruangan, mengum‐pulan kartu‐kartu di
karangan bunga yang di‐kirimkan sebelum pemakaman. "Jadi siapa
ayah bayi itu, Rink?" Dengan acuh tak acuh Rink menyebutkan nama
seorang pria. Caroline ber‐balik karena terkejut. "Bukankah dia pria
yang menikah dengan Marilee setelah kau bercerai?"
Rink tertawa. "Marilee ingin segera kembali kepada kekasihnya.
Tetapi sebelum perceraian, ia menguras uangku. Itulah hukuman
yang harus kuterima karena tidak menginginkannya."
"Kau pernah menginginkannya," ujar Caroline dengan suara lirih
yang hampir tak terdengar, teringat yang dikatakan Rink pada
malam mereka berada di kamar Roscoe di rumah sakit.
Rink mendongak. "Kau menuduhku begitu? Astaga, waktu itu aku
masih muda, Caroline." Rink kelihatan tersinggung. "Sekadar
mengumbar nafsu—Ya, aku kencan dengannya beberapa kali. Setiap
laki‐laki di kota pernah kencan dengannya. Tetapi aku masih ingat
untuk memakai kontra‐sepsi, agar ia tidak hamil. Teman‐teman
mainku yakin aku tak pernah ingin menikahinya."
Caroline menunduk, mengamati ibu jarinya. "Benarkah kau
tidak...."
"Caroline." Kepala Caroline terangkat men‐dengar panggilan Rink
yang lembut. "Kau ingin tahu apakah aku kencan ketika
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
bersamamu?" Mata Caroline nanar menatap Rink. "Tidak," jawab
Rink. "Aku tidak bersama perempuan lain sepanjang musim panas
itu."
"Apakah kau benar‐benar mengatakan kepada Ros... ayahrcm...
kau ingin rnenikah dengan aku?"
"Ya. Aku mengatakan padanya aku sudah menemukan gadis yang
ingin kunikahi."
Mereka saling pandang beberapa saat, sebelum Caroling
mengangkat kepala dan berbalik. "Bayi‐nya, Alyssa?"
Rink tersenyum, sebelum berkata dengan air muka sedih, "Ia
gadis baik."
Suara Rink yang lembut membuat Caroline kembali menghadap
ke arahnya.
"Kau menyayanginya?" tanya Caroline.
Tanpa malu‐malu Rink mengangkat wajahnya. "Ya," jawabnya,
sambil tertawa kecil. "Sinting, ya? Tetapi setelah ia lahir, aku ingin
membesar‐kannya."
Hati Caroline tersentuh mendengar perkataan Rink. Ia duduk di
sebelah Rink di sofa. "Bukan ingin ikut campur urusanmu, Rink.
Tetapi bila lcau bersedia menceritakannya padaku, aku akan
mendengarkan."
Rink memandang wajah Caroline. "Kau selalu bersedia
mendengarkan. Coba ceritakan, apakah lcau duduk di dekat kaki
Daddy dan mendengar‐kan baik‐baik ketika ia mencurahkan isi
hatinya padamu?"
Caroline menggumamkan suara seperti tercekik sambil berdiri.
Rink menangkap tangannya dan memintanya tetap duduk di sofa.
"Maafkan aku. Duduklah." Ketika Caroline meronta berusaha
melepaskan tangannya, dengan gerakan cepat Rink menariknya dan
mendudukkannya kembali di sofa. "Aku sudah minta maaf. Aku tak
Dewi KZ & Titi Zhu
Tiraikasih website http://kangzusi.com
sengaja, itu kebiasaan yang sulit kuhilangkan. Bila kau ingin
mendengar cerita tentang perkawinanku yang menyakitkan itu, aku
bersedia menceritakan‐nya pada,mu. Kau sudah tahu tentang
kebreng‐sekan diriku yang lainnya, kau juga harus tahu soal itu."
"Sudah kubilang, aku tidak ingin ikut campur urusanmu."
"Dan aku percaya," potong Rink. "Oke?" Setelah Caroline
mengangguk, Rink melepaskan genggamannya pada tangan
Caroline. "Marilee tidak lagi mencintaiku, seperti yang kuharapkan.
Roscoe benar tentang hal itu. Ia mengakui ia harus mengatakan aku
ayah anaknya hanya agar tidak dibuang keluarganya. Akhirnya kami
me‐ninggalkan kota ini, yang tak bisa ditolaknya, kami pindah ke
Atlanta. Di sana aku harus bekerja karena tidak ingin minta satu sen
pun dari ayabku. Perkawinan kami memburuk, tetapi aku sangat
menyayangi Alyssa. Begitu bayi itu dilahirkan, ayah kandungnya
muncul lalu ia dan Marilee membawanya pergi."
"Kau tidak keberatan?"
"Tidak. Aku juga ingin cepat‐cepat terbebas darinya. Tetapi aku
mengkhawatirkan bayi itu. Marilee bukanlah ibu yang baik. Ketika ia
mengajukan gugatan cerai dengan alasan men‐dapatkan penyiksaan
mental, aku tidak menyang‐kal, tetapi ia masih belum puas. Ia
menuntut uang jaminan. Di satu sisi, aku ingin membiar‐kan ia dan
kekasihnya yang brengsek itu. Pendek cerita, aku harus kerja siang‐
malam bertahun‐tahun hanya agar terbebas darinya. Aku sedih
harus kehilangan Alyssa, tetapi Marilee menuntut anak itu di bawah
asuhannya."
"Apa Alyssa tahu kau bukan ayah kandung‐nya?" Caroline tidak
dapat menahan rasa ingin tahunya tentang gadis yang terpaksa
hidup ter‐pisah dengan ayah kandung yang tak pernah dilihatnya.
"Oh ya," jawab Rink kesal. "Usia Alyssa ham‐pir tiga tahun ketika
surat cerainya keluar. Ia menangis, memelukku erat‐erat ketika
Marilee menariknya dari dekapanku. Mereka kembali ke
Winstonville, aku tetap tinggal di Atlanta. Alyssa memanggilku
Dewi KZ & Titi Zhu