The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Creative, 2021-10-21 03:17:41

digital Book GAME-ONLINE-21-okt-OK

digital Book GAME-ONLINE-21-okt-OK

Interaksi antara para

aktor pengguna teknologi telah
membentuk lingkungan manusia
dan sebaliknya manusia juga
memberikan pengaruh kepada
lingkungan pada saat yang sama.

Terkait hal ini, artikel dari Harian Kompas,
Minggu, 13 September 2015, yang mengangkat
kisah seorang pecandu game online dari
Bandung menjadi menarik untuk dicermati.

38

Mumu lengket dengan game sejak kelas IV sekolah
dasar. Segala jenis game pernah ia coba, mulai dari
gamebot, Nintendo, Sega, Playstation 1,2 dan 3, hingga
game online. Saking tergila-gilanya, sebagian besar
waktunya habis untuk bermain game. Akibatnya,
ia malas berkomunikasi dengan orang-orang
disekitarnya, termasuk keluarga. Mumu lebih fasih
berkomunikasi dengan sesama “gamer”.

Adiksi Mumu semakin menjadi-jadi ketika gagal masuk
perguruan tinggi negeri (PTN) incarannya. Ia justru
meminta dibelikan komputer agar bisa puas bermain
game online Mumu menyalurkan rasa frustasinya gagal
masuk PTN idamannya dengan bermain game dan mogok
kuliah. Ia bisa bermain dengan nonstop 30 jam hanya
diselingi makan. Meski ditentang keras oleh keluarga,
Mumu selalu beralasan bisa memperoleh penghasilan
dari game online. Ia pun merasa tidak butuh bergaul
dengan sekitar karena di dunia maya ia populer dan
merasa dibutuhkan. Teman-temannya dari dunia maya
berasal dari sejumlah negara.

“Kalau sehari saja tidak muncul, banyak yang
mencari-cari dan mengirim pesan di kotak surat,”
kata pria yang bernama lengkap Muhamad Nur
Awaludin. Hingga pada Desember 2009, Mumu mengalami
kecelakaan motor. Ia pun tidak sadarkan diri dengan
tangan retak. Sembuh dari sakit, Mumu ternyata masih
bisa bermain game Namun, pertemuan dengan seorang
teman yang tengah menyusun skripsi menyadarkan
Mumu untuk mulai kuliah. Sayang, belum kelar kuliah,
sang ibu meninggal. “Selama beberapa hari saya
seperti hilang arah dan semangat. Baru terbayang
semua cinta dan jasa Ibu yang dahulu jarang terasa
oleh saya. Menyesal tanpa henti, itu yang saya
rasakan,” ungkap Mumu.

39

Mumu bukan satu-satunya orang yang
mendapatkan pengalaman yang berbeda terkait
berkomunikasi melalui Internet. Ratusan tahun
lalu, filsuf Yunani, Plato, sudah berdebat
mengenai isu komunikasi yang dimediasi oleh
teknologi, seperti tulisan. Plato mengkhawatirkan
bahwa “mediasi” tersebut memiliki kekuatan
untuk menipu publik secara luas, sekaligus
menghilangkan unsur kebijaksanaan yang hadir
melalui komunikasi tatap muka. Bagi Plato, teks
tidak akan mampu merepresentasikan diri yang
seutuhnya. Individu dalam konsepsi Plato harus
mampu mengkomunikasikan pikirannya secara
langsung untuk mengkonfrontasi problematika
sosial sekaligus mempertahankan idealisme diri.

Dewasa ini yang justru terjadi adalah manusia
dikelilingi oleh alat yang didesain untuk
menangkap, mengarang, dan mengubah kata-
kata, bahkan berperan menjadi perpanjangan
tangan (extension) manusia. Kenneth Gergen
(2007) menyebutnya sebagai fenomena
multiphrenia, yaitu sebuah kondisi dimana
identitas diri ditentukan dan dibentuk oleh
terlalu banyaknya pilihan untuk mengekspresikan

40

diri. Tidak mengherankan jika seorang Mumu pun
menemukan kesenjangan perilaku “offline” VS
“online” bersama keluarganya. Kehangatan yang
begitu kuat dipancarkan melalui teks misalnya,
justru tidak akan tampak dalam pertemuan tatap
muka. Satu hal yang dirasakan justru nuansa kering
dan dingin.

Websites are like shifting sands. The
Average life of a web page is 100 days.
After that either it’s changed or it
disappears. So our intellectual society
is built on sand. Brewster Kahle (Marks,
2002)

Teknologi Internet dan turunannya, sebagai sebuah
teknologi sosial telah mengubah teknik dan budaya
komunikasi. Para pengguna Internet telah hadir dalam
ekosistem komunikasi yang diselimuti oleh atmosfer
deras dialog dan debat yang dikenal dengan istilah
“blogosphere”. Manusia yang satu dengan yang lain
terhubung dan membentuk semacam superorganisme
yang senantiasa bertumbuh dan secara dramatis telah
mengubah hidup kita. Hal ini mendorong terciptanya
komunitas-komunitas sosial organik yang tumbuh bersama
dengan hadirnya inovasi teknologi. Beberapa komunitas
virtual ini berorientasi konsumtif.

41

Tidak hanya itu, komunitas-komunitas
itu merupakan bagian dari dorongan
konsumerisme dan kebebasan komersial untuk
melakukan komunikasi secara massal dan
masif.

The Internet revolution has prompted
an unprecedented proliferation of
virtual communities all over the
world, and the exchange of information
and knowledge through these
communities has dramatically changed
our lives. Some virtual communities
are consumption oriented; these are
partly consumer driven and thus free
from the influence of commercial
interests. There are no commercial
motives behind the advice given and
the discussion is concentrated on a
specific product or service topic.
(Chen, M., Chen, C., & Farn, C., 2010)

42

Pola komunikasi kolaborasi telah memunculkan
semangat komunalitas baru di berbagai komunitas
online. Dalam hal ini, sebut saja komunitas game online.
Komunitas game online disatukan dalam jalinan gaya
hidup baru, yaitu bermain game online.

Teknologi membuat siapa

pun (tidak dibatasi oleh usia,
profesi, suku, agama, ras, dan
negara) dapat menjadi bagian
dari komunitas online dan
berkomunikasi dengan bebas di
antara anggota komunitas.

Meskipun demikian, perkembangan teknologi baru
ternyata tidak meningkatkan kebebasan manusia secara
absolut. Kebebasan yang “diberikan” kepada pasar
global, justru mendorong lahirnya kembali sejarah
“perbudakan” dalam catatan peradaban manusia (Han,
2012: 220). Hal semacam ini tampak pada komunitas
game online. Mereka seperti “budak”, yang terperangkap
dalam dunia game online.

43

Sejumlah penelitian sejenis sering dan biasanya dilakukan di
negara-negara dengan tingkat kecanduan yang semakin tinggi,
misalnya di negara maju. Berikut adalah beberapa contohnya.

1. Judul penelitian: Awareness of
Risk Factors for Digital game
Addiction (2014)

Peneliti: Julia Kneer, dkk
Metode: survei
Tujuan: memperlihatkan kesadaran
di antara pemain game dan para
konselornya terhadap risiko bermain
game
Fokus penelitian: kesadaran risiko
kecanduan game online
Hasil: para pemain menyadari risiko
kecanduan game online
Kritik: penelitian ini berupa
penelitian deskriptif yang hanya
mengungkap variabel
persepsi dan tidak mengungkap
hubungannya dengan variabel lain

44

2. Judul penelitian: Determinants
of Internet game Addiction
(2015)

Peneliti: Sooyoung Sul
Metode: survei
Fokus: determinan kecanduan game
online
Hasil: karakteristik pribadi, rumah
tangga, dan gender berpengaruh
terhadap kecanduan
Kritik: Sul membatasi diri untuk
tidak mengeksplorasi dinamika sosial
dan kejiwaan para pemain

45

3. Judul penelitian: Excessive
Computer game Playing (2005)

Peneliti: Grusser, dkk
Metode: pendekatan interpretatif
dengan wawancara mendalam
Fokus: motivasi bermain game online
Hasil: pemain mencoba mengatasi
emosi negatif dengan bermain game
online
Kritik: penelitian tidak
menggambarkan dinamika yang
berlangsung di ruang game
online itu sendiri

46

4. Judul penelitian: A Qualitative
Analysis of Online Gaming
Addicts in Treatment (2010)

Peneliti: Beranuy, dkk
Metode: pendekatan interpretatif
dengan wawancara mendalam
Hasil: para pemain game online adalah
orang-orang yang tercerabut dari
lingkungannya
Kritik: penelitian tidak
menggambarkan dinamika yang
berlangsung di ruang game
online itu sendiri

47

5. Judul penelitian: Problematic
Internet Use and Psychosocial
Well-Being (2009)

Peneliti: Caplan, dkk
Metode: pendekatan interpretatif
dengan wawancara mendalam
Fokus: kembali pada isu motivasi
bermain game online
Hasil: pemain berusaha mencari dan
memperluas jaringan pertemanan
dengan bermain game online
Kritik: penelitian tidak
menggambarkan dinamika yang
berlangsung di ruang game online itu
sendiri.

48

Sementara itu, untuk masalah kecanduan, penulis menemukan
empat penelitian sebagai acuan model dan karakter penelitian
kecanduan. Keempat penelitian itu adalah sebagai berikut.

1. Judul penelitian: Semiotics of
Cultures: The Social Addiction of
Smoking (2005)

Peneliti: Antikainen, dkk.,
Fokus: pemaknaan sosial merokok dan
kecanduan
Metode: pendekatan interpretatif
melalui pengamatan
Hasil: pemaknaan sosial terhadap
merokok menyebabkan terjadinya
kecanduan
Kritik: terlalu spekulatif, umum dan
abstrak karena tidak didasarkan pada
kajian lapangan

49

2. Judul penelitian: Social,
Addiction, Feeling and Experience:
An Analytical Study on Cyber
Behavior of Students (2012)

Peneliti: Jain dan Nair
Fokus: determinan sosial dari
kecanduan Internet
Metode: survei
Hasil: kecanduan Internet dipengaruhi
oleh kondisi sosial yang dialami murid
Kritik: peneliti kurang cermat dalam
memilah responden

50

3. Judul penelitian: Online Social
Networking and Addiction—A
Review of the Psychological
Literature (2011)

Peneliti: Kuss dan Griffiths
Fokus: tinjauan terhadap kajian
jejaring sosial dan kecanduan
Metode: pendekatan interpretatif
melalui tinjauan pustaka
Hasil: kecanduan jejaring sosial
belum tentu berbahaya dan bisa jadi
malah bermanfaat
Kritik: hasil kajian belum
didasarkan dari penelitian empiris,
melainkan hanya melalui review dari
penelitian-penelitian sebelumnya

51

4. Judul penelitian: A Ludicrous
Discipline? Ethnography and
game Studies (2006)

Peneliti: Boellstorff
Fokus: merumuskan cara meneliti
permainan game secara etnografi
Metode: pendekatan interpretatif
Hasil: game memunculkan satu
ruang sosial dan permasalahan
baru yang perlu dipecahkan
bersama
Kritik: tidak menghasilkan satu
elaborasi yang mantap untuk
penelitian etnografi permainan

52

Selain itu, berikut adalah beberapa penelitian tentang etnografi
dalam permasalahan kehidupan digital yang dikaji oleh penulis.

1. Judul penelitian: A Connective Ethnography
of Peer Knowledge Sharing and Diffusion in a
Tween Virtual World (2009)

Peneliti: Fields
Fokus: merumuskan etnografi konektif
Metode: pengamatan
Hasil: temuan bahwa yang penting
diperhatikan dalam penelitian etnografi
konektif adalah persebaran pengetahuan
Kritik: persebaran infrastruktur juga
penting untuk diperhatikan, namun tidak
dilibatkan dalam pengamatan

2. Judul penelitian: Virtual Video Ethnography:
Towards a New Field of Internet Cultural
Studies(2007)

Peneliti: Strangelove
Fokus: cara melakukan penelitian terhadap
Internet secara etnografi
Hasil: etnografi Internet merupakan lahan
baru yang masih harus dikembangkan secara
intensif
Kritik: masih terlalu umum, tidak
menyertakan contoh yang sudah banyak
berkembang saat penelitian berlangsung

53

Dari penelitian-penelitian tersebut, kita bukan hanya dapat
menemukan negara di mana permainan online menjadi satu
diskursus yang secara bersama dicermati secara serius,
melainkan bagaimana fenomena ini dipandang sebagai sebuah
problem bahkan sebelum ia diidentifikasi secara matang.

Richard Wood (2008) memberikan satu komentar bahwa
problem dari sebagian kajian perihal kecenderungan
sekelompok orang yang menghabiskan waktu cukup lama
untuk bermain video game online adalah terbawa pretext
dari pandangan publik yang serta-merta menganggapnya
sebagai persoalan yang mesti dituntaskan. Wood (2008), juga
sebaliknya, berargumentasi bahwa bermain game online pun
memiliki beberapa keuntungan.

Selain meningkatkan kecerdasan
motorik, pada berbagai kasus,
bermain game online tidak benar-
benar mengganggu keseharian
produktif dari para pemainnya.
Kenyataan itu tak diulas dalam
penelitian-penelitian yang
sudah banyak dilakukan sejauh
ini karena para akademisi
cenderung tergiring kepanikan
moral yang dikembangkan oleh
media-media massa.

54

Berbagai penelitian tersebut tampaknya berangkat dari
asumsi yang relatif sama satu sama lain. Akibatnya,
satu aspek yang krusial dari fenomena ini justru tidak
terperhatikan. Mengingat asumsi yang mendahului kajian-
kajian tersebut adalah video game merupakan persoalan
kecanduan. Asumsi itu juga yang mendorong kajian-
kajian yang ada untuk cenderung mengabaikan struktur
sosial yang terbangun dalam jejaring permainan online
itu sendiri. Alhasil, kajian-kajian yang dilangsungkan
terhadap kecanduan video game online menjadi tidak
dapat dibedakan secara khas dibandingkan fenomena-
fenomena kecanduan lainnya.

Kecenderungan deduktif dalam
mendefinisikan kecanduan video
game ini mengakibatkan ranah
sosial yang terjalin di antara
para pemainnya yang diwadahi
oleh teknologi bersangkutan
menjadi tidak diulas.

Padahal dalam hal ini kecanduan bukanlah persoalan
utamanya melainkan sekadar gejala yang ada di
permukaan. Kenyataan ini menjadi salah satu kekurangan
yang dapat diidentifikasi dan berimplikasi serius.

55

Apabila disarikan, berikut adalah matriks penelitian-
penelitian terdahulu terhadap kecanduan video game
online.

Matriks Penelitian game
Online, Kecanduan, dan
Etnografi

Peneliti/ Institusi/ Hasil Perbedaan
Judul/Tahun/Metode

J.Kneer/Department Para pemain Metodologi yang
of Media and
Communication, sadar dengan dipakai pada penelitian
Erasmus, University
Rotterdam/ Awareness risiko kecanduan ini adalah metode
of Risk Factors for
Digital Game Addiction: game online. etnografi, sedangkan
Interviewing Players and
Counselors/ Springer metodologi yang
Science+Business
Media, New York, 2014/ dipakai Kneer adalah

Kuesioner & Wawancara kuesioner dan

Singkat wawancara singkat.

56

Peneliti/ Institusi/ Hasil Perbedaan
Judul/Tahun/Metode

Sooyoung Sul/ Karakteristik Penelitian ini
berfokus kepada
Department of Sport pribadi, penerapan terapi
dalam keluarga.
Management, Kyonggi rumah tangga, Peneliti telah
mengeksplorasi
University/ Determinants dan gender persepsi mengenai
game online dan
of Internet Game berpengaruh adiksinya dari sudut
pandang orang
Addiction and Therapeutic terhadap pertama, yakni sudut
pandang mereka
Role of Family Leisure kecanduan. yang mengalaminya
sendiri.
Participation/ Springer

Science+Business Media,

Dordrecht, 2015/ Koleksi

Data dari Survei Tentang

Remaja dan Game di Korea

Selatan pada 2009 oleh

Institut Kebijakan Pemuda

Nasional

Beranuy dkk/ Faculty of Pemain adalah Penelitian ini tidak
Psychology, Education orang-orang menggambarkan
and Sport Sciences, yang tercerabut dinamika yang
Universitat Ramon Llull, dari lingkungan. berlangsung dalam
Barcelona, Spain/ A ruang game online itu
Qualitative Analysis of sendiri. Sementara
Online Gaming Addicts itu, peneliti telah
in Treatment/ Springer mengeksplorasi
Science+Business persepsi mengenai
Media, New York, 2012/ game online dan
Studi Kualitatif adiksinya dari sudut
pandang orang
pertama, yakni sudut
pandang mereka yang
mengalaminya sendiri.

57

Peneliti/ Institusi/ Hasil Perbedaan
Judul/Tahun/Metode

Scott Caplan/ Pemain Penelitian ini tidak

University of Delaware, berusaha menggambarkan

USA/ Problematic mencari dan dinamika yang

Internet Use and memperluas berlangsung

Psychosocial Well-Being pertemanannya dalam ruang game

Among MMO Players/ dengan bermain online itu sendiri.

Elsevier, Computersin game online. Peneliti bermaksud

Human Behavior, 2009/ mengeksplorasi

Surveidan Koleksi Data persepsi mengenai

Milik Pihak Komersial game online dan

Terkait Para Pemain Per adiksinya.

Jam Permainannya

Dhiraj Jain dan K Sanal Kecanduan Penelitian ini
menggunakan metode
Nair/ Pasific Institute Internet survei. Sementara itu,
peneliti menggunakan
of Management, dipengaruhi metode etnografi.

Udaipur (Rajastan)/ oleh kondisi

National Conference sosial yang

on Paradigm for dialami murid.

Sustainable Business—

Addiction, Feeling

and Experience: An

Analytical Study on

Cyber Behavior of

Students, 2013/Survei

58

Peneliti/ Institusi/ Hasil Perbedaan
Judul/Tahun/Metode

Daria J. Kuss dan Kecanduan Hasil dalam penelitian
ini belum didasarkan
Mark D./ Griffiths, jejaring sosial dari penelitian
empiris, melainkan
Psychology Division, belum tentu review.Peneliti telah
turun ke lapangan
Nottingham Trent berbahaya dan dan menggali data
menggunakan metode
University, Nottingham, bisa jadi malah etnografi.

United Kingdom/ bermanfaat.

Networking and

Addiction—A Review

of the Psychological

Literature, 2011/Kajian

Literatur

Tom Beollstorff/ Permainan game Tidak menghasilkan
University of
California, memunculkan satu elaborasi
Irvine/A Ludicrous
satu ruang yang mantap untuk
Discipline?Ethnography
and Game Studies/ sosial baru dan penelitian etnografi
Games and Culture,
Volume 1, Number permasalahan permainan. Peneliti
1 January, Sage
Publication, 2006 baru yang perlu dengan menggunakan
(29-35)/ Pengamatan
dipecahkan metode penelitian
(Participant
bersama. etnografi hybrid,
Observation)
diharapkan mampu

menyusun elaborasi

yang lebih mendalam.

59

Peneliti/ Institusi/ Hasil Perbedaan
Judul/Tahun/Metode

Deborah A. Fields/ Hal yang penting Persebaran

University of California, diperhatikan infrastruktur

Los Angeles/ A dalam penelitian sebenarnya juga

Connective Ethnography etnografi penting untuk

of Peer Knowledge konektif adalah diperhatikan,

Sharing and Diffusion in persebaran sayangnya tidak

a Tween Virtual World/ pengetahuan. dilibatkan dalam

International Society of pengamatan Deborah.

the Learning Sciences, Dari pengalaman

Inc.; Springer Science riset ini, peneliti akan

+ Business Media, LLC, berupaya memastikan

2008/Pengamatan infrastruktur teknologi

menjadi salah satu

titik tolak penelitian.

Michael Strangelove/ Etnografi Arahan masih terlalu

University of Ottawa, Internet umum dan tidak

Department of merupakan menyertakan contoh

Communication/ Virtual lahan baru yang yang sudah banyak

Video Ethnography: masih harus berkembang pada

Towards a New Field of dikembangkan masa penulisan. Oleh

Internet Cultural Studies/ secara intensif. karena itu, peneliti

Revista do Programa akan perlu untuk

de Pós-Graduação mengoptimalkan

emComunicação metode etnografi

e Linguagens yang peneliti pilih.

Universidade Tuiuti

do Paraná, 2007/

Pengamatan

60

Sebagai satu kajian yang ingin
memahami secara spesifik alasan-
alasan yang tak dapat dikaburkan
dengan gejala kecanduan pada
umumnya dari keterhanyutan para
pemain dalam video game online,
buku ini berusaha menggunakan
kerangka teori dan metodologi
interpretatif yang berorientasi
pada interaksi para aktor dalam
konteks sosialnya secara khas.
Kita akan menjumpai hal-hal ini
terpapar dalam sejumlah sub-bab
berikutnya.

61

Lalu, apa yang membuat penulis akhirnya
memutuskan untuk melakukan penelitian?

Penelitian ini berusaha mengisi ceruk yang masih belum
diisi oleh penelitian-penelitian terdahulu. Penelitian-
penelitian sebelumnya masih memiliki kecenderungan
mengevaluasi efek dari video game dari sudut pandang
pihak ketiga. Pengertian kecanduan juga masih berpijak
dari pengertian kecanduan yang sudah lazim dipahami
khalayak.

Kecanduan game online

dianggap sama dengan kecanduan
lain, seperti kecanduan alkohol atau
pornografi. Pemikiran seperti itu
tidak sepenuhnya salah, tapi agak
riskan jika mengabaikan dinamika
yang berlangsung dalam permainan
video game online yang justru
menimbulkan kecenderungan pada
diri seseorang untuk tenggelam di
dalamnya.

Terkait dengan hal ini, persoalan lainnya yang dapat
muncul adalah penelitian yang dilangsungkan akan
sulit merekonstruksi tatanan sosial yang terbentuk dari
permainan ini. Kita berhenti pada upaya mencermati

62

gejala, alih-alih konteks yang memungkinkan gejala
tersebut bukan hanya muncul melainkan juga berlaku,
bekerja, dan bahkan menjadi satu normalitas tersendiri.
Berkat insentif yang disediakan dan dinamika yang
bergulir di antara para pemainnya, video game online
mungkin menjadi satu bentuk semesta tersendiri yang
menyita orang-orang dan membenamkannya dalam
situasi yang juga lazim disebut sebagai deep play (Geertz,
1973). Seorang pemain terlibat dalam satu pengejaran,
persengketaan dan pertaruhan akan nilai—sebuah
dinamika insentif dan disinsentif—yang disadari atau
tidak menghilangkan persentuhannya dengan realitas
sosial utamanya dan menjadikannya bagian dari sebuah
permainan besar bersama pemain-pemain lainnya.

Teori insentif yang digunakan dalam penelitian ini tidak
lebih sebagai alat bantu penjelas. Pasalnya, dalam konteks
video game online, bentuk dan kontur dari insentif itu
sendiri pada akhirnya dikonstruksi oleh sistem yang
dibangun oleh pengembang dan kemudian diperkokoh
maknanya, atau dimaknai ulang dalam drama dan
pergulatan di antara para pemainnya.

Insentif dalam hal ini adalah

gambar bergerak di depan layar yang
awalnya bisa dikoordinasi dengan
papan ketik bukannya tidak mungkin
bisa menjadi sebuah masyarakat
virtual tersendiri.

63

Penulis menggunakan pendekatan etnografi untuk
memperoleh gambaran utuh dari sudut pandang pelaku
permainan game online ini. Jadi, hasil penelitian bukan
berdasarkan rumusan yang telah disusun oleh peneliti
yang kemudian diuji di lapangan. Mulyana dan Solatun
(2008) menyebutkan, bahwa dalam penelitian kualitatif,
teori bukanlah hal yang utama, melainkan sebuah panduan
dan bingkai yang longgar. Teori juga bukan sebagai alat
yang bermaksud untuk mengukur, menjaring, atau bahkan
menaklukkan data.

Upaya untuk menangkap makna dari para komunitas
virtual ini tidaklah sesederhana sebagaimana yang
diungkapkan oleh Hollan (dalam Mulyana & Solatun
2008:17). Peneliti kualitatif akan dihadapkan pada
rumitnya hubungan antara perilaku terbuka dan
pengalaman yang dirasakan oleh subjek penelitian. Oleh
karenanya, Hollan menyarankan agar peneliti tidak hanya
mengamati perilaku yang sedang berlangsung dalam
konteks-konteks sosial dan ranah-ranah kultural berlainan.

Dalam hal ini, peneliti pun

harus aktif menggali pikiran dan
pengalaman subjek penelitian lewat
penuturan mereka.

64

Teori-Teori yang
Digunakan

Penulis ingin membagikan beberapa teori yang dapat
digunakan untuk menelaah tentang game online, yaitu:

1. Teori Interaksi Simbolik

Teori ini berasal dari perspektif psikologi sosial
yang secara khusus relevan dengan fokus sosiologi.
Teori ini tidak memfokuskan diri pada individu dan
karakter pribadinya atau situasi sosial seperti apa
yang membentuk karakter seseorang, tapi pada
interaksi alami yang terjadi di antara personal dalam
sebuah aktivitas sosial (Charon, 1979:23). Interaksi
simbolis bersandar pada ide mengenai diri seseorang
dan hubungannya dengan masyarakat tempat dia
hidup dan berinteraksi (West, 2010). Esensi interaksi
simbolis yang berasal dari pemikiran Herbert Mead
ini adalah pada aktivitas komunikasi atau pertukaran
simbol yang diberi makna (dalam Mulyana, 2013).

Mead dalam bukunya Mind, Self and Society
menyampaikan bahwa seorang individu, selain
memiliki kesadaran individual terhadap dirinya,
juga memiliki kesadaran terhadap individu lainnya.

65

Kesadaran ini menjadi penting bagi perkembangan
dirinya maupun perkembangan masyarakat di mana ia
berinteraksi dengan individu lainnya (Mead, 1934).
Brym (2013) menambahkan bahwa teori ini
menekankan upaya kreativitas individu dalam
melekatkan makna kepada lingkungan sosial mereka.
Mereka fokus kepada upaya yang biasanya dilewatkan
oleh individu untuk kemudian dimodifikasi dari nilai-
nilai dan peran yang diajarkan oleh otoritas kepada
individu. Blumer (1969) menjelaskan bahwa teori ini
memiliki tiga asumsi utama:

Manusia bertindak terhadap

manusia lain berdasarkan makna
yang diberikan orang lain terhadap
dirinya.

Makna yang diberikan oleh manusia tersebut berasal atau
muncul dari interaksi sosial yang dilakukannya dengan
orang lain.

66

Makna tercipta dan

dimodifikasi dari proses
interpretasi yang dilakukan seorang
individu terhadap situasi yang
dihadapinya.

Interaksi sosial sering dinilai sebagai sesuatu yang
alamiah (taken for granted). Dalam teori interaksi simbolik,
interaksi sosial adalah interaksi antara para aktor bukan
antar faktor-faktor yang mendorong interaksinya. (Blumer,
1969:8).

Proses sosial dalam kehidupan masyarakat menghasilkan
makna dan melahirkan panduan-panduan dalam
berinteraksi. Bagi para pengikut interaksi simbolik,
masyarakat adalah proses dari interaksi simbolik itu
sendiri (Mulyana, 2013:70).

Menurut para penganut teori ini, kehidupan sosial pada
dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan
simbol-simbol.

Tindakan manusia

pada dasarnya merupakan hasil
dari interpretasi manusia atas
lingkungan sekitarnya.

67

Hal ini berseberangan dengan para pengikut aliran
behavioristik atau struktural yang meyakini bahwa
tindakan manusia merupakan produk pembelajaran
individu dan penentuan dari struktur yang ada di
masyarakat (Mulyana, 2013).

Dalam buku Mind, Self and Society, teori ini memberikan
pemahaman tentang pentingnya simbol yang terjadi
dalam komunikasi antarmanusia. Konsepsi pertama dari
teori Mead ialah pikiran (Mind). Pikiran bukanlah benda,
tetapi sebuah proses. Menurut Mead, melalui bahasa
dan interaksi dengan individu lain, seseorang akan
mampu membangun pikirannya. Seorang individu dapat
menciptakan “setting interior” bagi masyarakat yang ada
di luar individu itu sendiri.

Meski begitu, pikiran

manusia tidak hanya tergantung
setting masyarakat yang
ditangkapnya. Pikiran juga memiliki
kemampuan menghadirkan kehidupan
sosial itu sendiri.

Mengingat di dalam pikiran ada konsep pemikiran
(thought) yang merupakan dialektika internal dalam diri
seseorang. Mead juga menggarisbawahi bahwa, tanpa
adanya interaksi komunikasi dengan orang lain, dialektika

68

internal tidak akan ada ataupun mempertajam dialektika
tersebut (West, 2010).

Dalam diri individu

terjadi proses saling mempengaruhi
antara merespons orang lain dan
merespons diri sendiri. Inilah salah
satu konsep penting dalam teori
Mead, yaitu self.

Seorang individu memiliki self karena ia dapat merespons
dirinya sendiri sebagai objek. Seseorang kadang-kadang
bereaksi terhadap dirinya sendiri, seperti marah, sedih,
ataupun merasa bangga. Manusia dapat marah dan kecewa
dengan dirinya sendiri. Di sisi lain, manusia juga dapat
menilai dirinya melalui orang lain. Konsep ini disebut
taking the role of others. Konsep inilah yang membawa
seorang individu memiliki konsep diri (Littlejohn, 1999).

Konsep lain tentang diri ialah generalized other, yaitu
persepsi secara keseluruhan dari orang lain terhadap
diri seseorang tersebut. Seorang individu belajar tentang
gambaran dirinya selama bertahun-tahun dari interaksi
simbolis dengan orang-orang yang hadir dalam hidupnya.
Sementara itu, significant other adalah orang-orang

69

terdekat dari seorang individu, yang reaksinya terhadap
diri seseorang sangat penting dan mempengaruhi hidup
seorang individu (Littlejohn, 1999:158).
Diri juga memiliki dua aspek, yaitu I dan Me. I mewakili
diri seorang individu yang spontan, impulsif, tidak dapat
terduga, tidak terkelola, dan tidak terarah. Setiap perilaku
individu dimulai dari dorongan oleh I, kemudian dikontrol
oleh me. I adalah dorongan untuk melakukan aksi,
sedangkan me menyediakan panduan dan arahan untuk
bertindak bagi I. Mead menggunakan konsep me untuk
menjelaskan perilaku sosial kita yang berkompromi dengan
harapan masyarakat. I digunakan oleh Mead sebagai cara
menjelaskan dorongan-dorongan kreatif dan tidak terduga
dari seorang individu (Littlejohn, 1999).
Penyesuaian diri (me) terhadap dengan orang lain dalam
konsep interaksi simbolik disebut dengan aksi kolektif.

Menurut teori ini, aksi kolektif
bukanlah hasil dari dorongan
lingkungan atau pengaruh eksternal,
tetapi hasil dari penyesuaian
individu satu dengan individu
lainnya.

70

Memang penyesuaian ini berangkat dari interpretasi
proses role-taking seorang individu. McHugh dalam Fisher
(1978) menjelaskan bahwa seorang individu yang sedang
berupaya mendefinisikan sebuah situasi akan berupaya
mencari kesamaan atau penyesuaian dengan orang lain
dan secara tidak sadar melakukan penyesuaian dengan
pola perilaku atau aturan homogen dari orang lain (Fisher,
1978:173).

Tindakan kolektif merupakan filosofi dasar dari teori
interaksi simbolik. Dalam interaksi sosial, aturan (rule)
adalah konsep yang lebih tepat untuk menjelaskan
konformitas sikap di antara para individu dalam aksi
kolektif dibandingkan konsep dari hukum (law), yang
merupakan produk dari figur otoritatif tertentu.
Sebagaimana yang disampaikan Blumer: “It is the social
process in group life that creates and upholds the rules,
not the rules are principles that create and uphold group
life.” (Fisher, 1978).

Bahkan menurut Mead, pikiran tidak akan
dapat termanifestasi dan muncul tanpa
berada di dalam lingkungan sosial (Thorpe,
2015). Hanya dengan mengambil peran
orang lainlah (taking the role of others),
individu mampu kembali kepada dirinya
sendiri (Ritzer, 2003:282).

71

Bagaimana teori interaksi simbolis dapat menjelaskan
fenomena kecanduan game online? Dorongan awal dari
dalam diri seseorang untuk bermain game dalam temuan
awal peneliti bersifat spontan, impusif, tanpa direncana,
bahkan sebagian mengklaimnya sekadar mencari hiburan
dan mengisi waktu serta mengisi kebosanan dalam
beraktivitas sehari-hari. Saat mereka melakukan interaksi
dalam permainan game online yang memang memfasilitasi
interaksi banyak pemain, sisi me dari individu mulai
berkompromi dengan situasi sosial dalam komunitas virtual
ini. Sebagaimana yang disampaikan oleh Faris dalam Ritzer
(2003:270) bahwa preferensi Mead mungkin bukan pikiran
yang pertama kali hadir, kemudian masyarakat. Namun,
menurutnya, masyarakatlah yang pertama kali hadir,
setelah itu baru pikiran muncul dalam masyarakat”.

Oleh karena itu, dalam

proses interaksi para pemain
game online, antar-individu dalam
komunitas virtual memberikan
panduan dan arahan tentang
bagaimana mereka dapat terus
melewati tahapan demi tahapan
dalam permainan.

72

Melalui proses interaksi inilah, seorang individu secara
perlahan menemukan kenyamanan dan keasyikan dalam
bermain game online dan tindakan individu itu kemudian
menjadi bagian dari tindakan kolektif para pemain game
online lainnya.

Kehadiran masyarakat game online-
lah yang membangun satu per satu
kesadaran baru dari individu-
individu yang bermain game online
untuk terus masuk dalam proses
permainan.

Berbagai aturan main, seperti bekerja sama, saling
membantu melumpuhkan lawan, dan sebagainya dalam
komunitas virtual game online ini tidak merupakan sebuah
protokol resmi yang kemudian harus dipatuhi sebagai
sebuah mandatori (kewajiban) dari pimpinan komunitas
virtual game. Namun, aturan tersebut berkembang
secara bertahap saat para individu saling berinteraksi
dan menjadi semacam aturan bersama selama permainan
berlangsung.

73

Dalam konteks masyarakat virtual yang bersifat sangat
cair, konsep diri seorang individu menjadi lebih lentur.
Dalam hal ini, seseorang memiliki peluang untuk bisa
menyusun sebuah konsep diri yang bebas, kemudian
menyesuaikan dengan beragam komunitas masyarakat
yang ada (Brym, 2013).

Kim, dkk. pada tahun 2008 dalam
kajian berjudul The Relationship
Between Online game Addiction
and Aggression, Self-Control and
Narcissistic Personality Traits
menyebutkan bahwa salah satu jenis
permainan game online yang dikenal
adalah MMORPGs, perkembangan
terkini dari jenis-jenis game online
dengan lingkungan narasi yang
berbeda.

Salah satu karakter permainan ini adalah para pemain
dalam komunitas virtual dapat mengambil peran sesuai
dengan hasratnya yang kemudian berkolaborasi dengan
pemain lainnya untuk mencapai tujuan dan menyelesaikan
misi, bahkan melakukan transaksi yang melibatkan aset
nyata dan virtual mereka.

74

Jenis permainan yang menghibur, interaktif, dan realtime
ini telah menjadi “aplikasi pembunuh” utama di Internet
yang membuat banyak remaja bisa menghabiskan waktu
sehari-hari hanya untuk bermain game online jenis
MMORPGs ini. Individu pemain game ini menjadi “korban”
dari pgymalion effect para pemain dalam komunitas
virtual lainnya. Ketika pemain yang satu mengharapkan
pemain lain mampu menjadi “pembunuh” yang hebat
sebagaimana pemain lainnya, maka dalam prosesnya, ada
seorang individu yang berhasil memenuhi harapan anggota
komunitas virtual (generalized other) lainnya. Menurut
pandangan Mead,

“Diri mencapai perkembangan sempurna
dengan mengorganisasi sikap individual
orang lain menjadi sikap kelompok atau
organisasi sosial, dengan demikian menjadi
suatu refleksi individual terhadap pola
sosial sistematis umum atau perilaku
kelompok di mana ia dan yang lainnya
ada di dalamnya. Terkait hal ini, pola
yang dimaksud adalah pola yang masuk
secara keseluruhan ke dalam pengalaman
individu dalam sikap organisasi kelompok
yang diambilnya untuk dirinya sendiri,
sebagaimana ia menerima sikap individual
orang lain (Mead, 1934)” dalam Ritzer
(2003:284).

75

Dengan kata lain, untuk menjadi diri yang sempurna,
seseorang harus menjadi anggota sebuah komunitas
dan ditunjukkan dalam kesamaan sikapnya dengan sikap
komunitas tempat ia berinteraksi. Dalam berinteraksi
dengan orang lain, Mead memperkenalkan konsep
bermain-main (play) dan permainan (game). “Pada tahap
bermain-main, seseorang mengambil sikap orang lain
tertentu untuk dijadikan sikapnya sendiri. Dalam tahap ini,
seorang individu belum secara utuh memahami pengertian
yang lebih umum dan terorganisasi mengenai diri mereka
sendiri. Sementara itu, tahapan permainan adalah tahapan
yang sangat dibutuhkan oleh seorang individu untuk
mengembangkan diri mereka sendiri. Dalam tahap ini,
seorang individu telah mampu mengambil peran individu
mana pun yang terlibat dalam interaksi. Seseorang sudah
berfungsi di dalam kelompok terorganisasi, dan yang
paling penting mulai mampu menentukan apa yang mereka
kerjakan dalam kelompok khusus.

Bermain-main (play) hanya
memerlukan potongan-potongan
diri, sedangkan permainan (game)
memerlukan diri yang saling
berhubungan (Ritzer, 2003: 283-284).
Fenomena inilah yang tergambar
dengan baik dalam interaksi
komunikasi para pemain game online
yang penulis kaji.

76

2. Teori Konstruksi Sosial Realitas

Teori berikut yang dapat mendukung penelitian tentang
game ialah teori konstruksi sosial realitas. Konstruksi
sosial realitas merupakan teori yang dikemukakan oleh
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1966). Menurut
keduanya, teori ini terkait dengan apa yang kita terima
sehari-hari sebagai kenyataan yang sifatnya berada di luar
diri, objektif, dan terbentuk melalui proses sosial. Dalam
hal ini, proses sosial itu mencakup tiga proses dalam
tahapan pertamanya, institusionalisasi.

Tiga proses tersebut, antara lain eksternalisasi, objektivasi,
dan internalisasi.

Seseorang bertindak dengan

satu intensi tertentu dan tindakan
yang dijumpai oleh orang-orang lain
ini disebut eksternalisasi.

Apabila diterima sebagai tindakan yang menyiratkan
norma tertentu, tindakan ini akan mengobjektivasi suatu
kode dan sudah tentu kode ini akan mengalami objektivasi.
Selepas proses objektivasi bergulir dan dianggap
sebagai sebuah aturan bersama, kode tadi tertanam
pada diri individu atau mengalami sesuatu yang disebut
internalisasi.

77

Tahapan kedua dari proses konstruksi sosial realitas
adalah legitimasi. Setelah mengalami pengerasan sehingga
diterima dan tidak dipertanyakan oleh sekelompok
orang, sebuah kenyataan yang berawal dari kode tadi
perlu dipertahankan. Dalam hal ini, khususnya setelah
kebakuan sosial ini coba disampaikan kepada mereka
yang tak mengalami proses pembentukan awalnya. Proses
legitimasi berlangsung lewat bahasa. Bahasa memberikan
label terhadap sesuatu yang menyebabkan orang tak usah
berusaha meraba-raba arti dari benda tersebut, tinggal
menerimanya.

Selain bahasa, sekumpulan

orang membentuk organisasi
di mana seseorang hanya perlu
menerima peran dan tak harus
mempertanyakannya lagi. Terkait
hal ini, tidak ketinggalan juga
terjadi “pemistikan”, di mana
pengetahuan yang ada diimprovisasi
dengan berbagai takhayul sehingga
orang-orang yang menerimanya jauh
lebih mudah menganutnya.

78

Bagaimanakah proses tadi berlangsung dalam sebuah
permainan online? Proses tadi berlangsung dengan sangat
mulus. Seorang pemain pertama-tama dipastikan akan
mempelajari bagaimana permainan tersebut mengatur cara
untuk naik level, mengalahkan musuh, dan bekerja sama
dengan pemain lain.

Proses pembelajaran

dari peraturan dasar ini tidak
bisa disamakan apabila seseorang
melakukannya dalam kehidupan
nyata. Apabila seorang pemain game
online tidak mengikutinya sejak
awal, ia tidak akan bisa terlibat
dalam permainan tersebut sama
sekali.

Di sini, pemain akan mengalami apa yang disebut dengan
objektivasi. Ia mempelajari aturan-aturan tertentu sebagai
kenyataan yang berlaku dalam permainan yang diikutinya.

79

Selain aturan yang ditetapkan oleh pengembang game dan
tak bisa dilanggar, para pemain akan menyusun semacam
kode di antara mereka. Hal ini bisa diartikan bahwa dalam
permainan dapat ditemukan dua derajat aturan yang
berbeda—aturan yang diciptakan pengembang yang tak
dapat dilanggar dan aturan yang lebih menyerupai norma.
Keduanya, sebenarnya saling berhubungan, baik saling
memperkuat atau merevisi.

Dalam aturan semacam norma

ini, seorang pemain memperoleh
kaidah yang etis terkait bagaimana
cara berkawan, bekerja sama, dan
berkolaborasi dengan individu lain.

Hal ini ditunjukkan melalui interaksi-interaksi dalam
ranah permainan online bersangkutan dan oleh satu pihak
sebagai sesuatu yang sudah galib atau lazim diterima
secara sosial. Aturan itu mengalami eksternalisasi,
kemudian menjadi sesuatu yang dipahami dan berlaku
objektif atau mengalami objektivasi, dan lantas dianut
oleh individu yang terlibat di dalamnya atau mengalami
internalisasi.

80

Adanya hukuman, baik yang diberikan oleh sesama pemain
maupun pengembang yang dapat berupa larangan bermain
atau pengucilan, memastikan agar aturan yang telah
dikembangkan secara bersama terus-menerus diterima dan
dijalankan.

Hukuman, tentu saja, dapat

berupa kehilangan sesuatu yang
bernilai ketika sedang bermain.
Apabila pemain tersebut tak
mengikuti cara-cara yang
ditentukan atau dianggap efektif
untuk menyelesaikan tantangan yang
diberikan, ia tak akan bisa naik
level.

Bisa pula yang terjadi, ia tak akan pernah menyelesaikan
misi yang digariskan oleh pengembang. Pada saat
tergabung di dalam ranah permainan, para pemain game
online tak akan memusingkan arti dari satu tindakan
atau tindakan yang lain. Dirinya hanya akan terbawa
oleh tujuan, drama, intrik, dan dinamika yang menyertai
permainan yang dia ikuti. Di sinilah ia sudah menjadi
kenyataan tersendiri.

81

3. Teori Penjulukan (Labelling)
Teoriti ketiga ialah teori pelabelan atau penjulukan. Teori
ini menunjukkan bahwa perilaku individu dipengaruhi
oleh klasifikasi yang diterima olehnya (Mead dan
Becker, 2013). Proses pembentukan watak dari seorang
insan secara sosial tidak terbatas karena ia diarahkan
atau ditanamkan sikap tertentu oleh para aktor yang
mengelilingi kehidupannya. Tabiat dan identifikasi dirinya
pun tak muncul hanya karena adanya larangan, hukuman,
dan sosialisasi. Pelekatan-pelekatan dari pihak luar pun,
dalam situasi wajar, mempengaruhi bagaimana seseorang
memandang, mengatribusi, dan mengidentifikasi dirinya.

Teori pelabelan

merupakan bagian dari pendekatan
interaksionisme simbolis yang
digunakan untuk memahami tindakan
penyimpangan atau kejahatan.

Teori ini berasal dari seorang sosiolog, Horward S. Becker
(2003), terkait studinya tentang penggunaan marijuana,
sebagai aktivitas yang dilakukan oleh sub-budaya tertentu,

82

bukan karena sebuah pilihan gaya hidup. Becker (2003)
menemukan bahwa menjadi pengguna marijuana didorong
oleh tiga aspek, yaitu penerimaan seorang individu dalam
kelompok, asosiasi yang melekat dari pengalaman individu
yang menggunakan marijuana, dan sikap pengguna
marijuana terhadap orang yang tidak memakai marijuana.

Menurut Becker (2003),

penyimpangan yang dilakukan oleh
seseorang atau kelompok bukanlah
karakter yang memang melekat pada

seorang individu atau kelompok
tertentu, melainkan penyimpangan
tersebut sebagai hasil dari proses
interaksi antara pelaku penyimpangan

dengan individu lain yang tidak
menyimpang.

Dalam kasus marijuana tersebut, bukan perilaku
menggunakan marijuana yang membuat seseorang menjadi
menyimpang, namun reaksi orang lain terhadap individu
yang menggunakan marijuana, yang membuat perilaku
penggunaan marijuana menjadi menyimpang (Giddens,
dkk., 2005:177).

83

Label pelaku penyimpangan

atau kriminalitas tidak secara
otomatis melekat pada diri seseorang.
Beberapa individu kerap melakukan
tindakan menyimpang, namun terbebas
dari label pelaku penyimpangan atau
kriminal.

Disisi lain, ada sebagian orang yang tidak melakukan
tindakan atau perilaku menyimpang, namun dilabeli atau
dijuluki sebagai pelaku penyimpangan (Matsueda dalam
Brym, 2013:104). Praktik ini sering dipertontonkan
di dunia peradilan, di mana seorang pengacara yang
andal dapat membuat argumentasi pembelaan bagi
seorang pemerkosa, dengan mengatakan bahwa pelaku
pemerkosaan ini sebenarnya adalah korban dari provokasi
orang yang diperkosanya, yakni akibat yang diperkosa
menggoda pelaku pemerkosaan.

Menurut Cicourel dalam Brym, labelling atau pelabelan
telah dipraktikkan lebih dari 40 tahun dalam merespons
kenakalan remaja. Ada potensi pelabelan yang dilakukan
oleh sebagian polisi bahwa anak-anak yang berasal
dari keluarga yang bercerai pasti melakukan tindakan
kenakalan remaja.

84

Tidak bisa menutup mata, ada juga hakim yang juga
cenderung memberikan hukuman lebih berat kepada anak
yang berasal dari keluarga yang bercerai dibandingkan
anak yang berasal dari keluarga yang utuh terkait kasus
kenakalan remaja. Dalam kasus ini, tindakan penjulukan
telah mempraktekkan proses self-fulfilling prophecy,
sebuah konsep dari Cooley, yang kali pertama digunakan
oleh Mead (Brym, 2013:104).

Teori pelabelan atau

penjulukan juga sangat lazim
digunakan dalam menelaah praktik

stereotip dari sekelompok orang
terhadap kelompok yang lain. Salah

satu contoh yang paling mudah
dijumpai adalah pencirian kelompok

etnis tertentu oleh kelompok etnis
yang lain.

Di luar negeri misalnya, berkembang satu ciri bahwa orang
Yahudi merupakan orang yang ekonomis. Di Indonesia, ciri
ini acap dilekatkan pada mereka yang berasal dari etnis
Padang atau Tionghoa. Pelabelan ini tentu saja belum tentu

85

benar. Meski begitu, klasifikasi ini mempunyai daya untuk
membentuk kecenderungan seseorang atau sekelompok
orang bertingkah laku. Lantaran dianggap lekat dengan
dunia kriminalitas misalnya, orang-orang kulit hitam di
Amerika Serikat mengalami kesulitan untuk menemukan
pekerjaan yang layak hingga akhirnya terperosok dalam
dunia yang dilekatkan dengannya tersebut. Orang-orang
kulit hitam ini, dengan alasan tertentu juga menjadi
terpacu untuk terlibat dalam dunia olahraga.

Tokoh kedua dari penganut teori labelling ialah
Edwin Lamert yang membagi penyimpangan menjadi
penyimpangan utama dan sekunder.

Penyimpangan utama

ialah ketika kejahatan atau
perilaku lainnya dilakukan,
namun pelakunya tidak secara
resmi dinyatakan sebagai pelaku
penyimpangan atau kejahatan.

Hal ini dapat terjadi, antara lain karena perilaku tersebut
tidak disadari oleh pihak lain atau dianggap sebagai
sesuatu di luar karakternya. Sementara itu, penyimpangan
sekunder adalah dampak dari reaksi masyarakat terhadap

86

seseorang (Thorpe, 2015:283).

Bagaimana penerapan teori ini dalam konteks permainan
online? Dalam konteks permainan online, pelabelan adalah
hal yang cukup lumrah dijumpai. Pelabelan dilakukan
dari satu pihak kepada pihak lain hingga mengakibatkan
masing-masing pihak menjalankan perannya secara
tersendiri.

Dalam temuan awal

peneliti, banyak di antara pemain
game online ini yang sebenarnya
belum menjadi pecandu game online
Namun, karena beberapa alasan,
teman-temannya kerap mengatakan
bahwa mereka adalah pecandu. Salah
satu alasannya, misalnya beberapa
pertemuan dilewatkan begitu saja
karena mereka sibuk bermaingame
online Alhasil, lambat laun tanpa
disadari mereka justru mengekalkan
label pecandu game online sebagai
sebuah kenyataan.

Perspektif lain terkait teori penjulukan dalam kasus
pecandu game online adalah mereka yang dianggap berada

87


Click to View FlipBook Version