Perbedaan Gender dalam
Kecanduan Internet
Sebagian besar penelitian menemukan bahwa anak
laki-laki cenderung lebih memilih game online
daripada anak perempuan. Anak perempuan lebih
sering melakukan aktivitas blogging, dengan tujuan
menjadi sarana representasi diri dan menjaga
hubungan sebagai ganti komunikasi tatap muka dan
berhubungan dengan orang lain.
Berdasarkan penelitian
di Eropa, penggunaan interaksi sosial
online ini telah dikaitkan dengan
kesehatan psikologis.
Sebaliknya, obrolan online, seperti pesan cepat
terkait dengan penggunaan Internet yang kompulsif
dan kesejahteraan psikososial yang buruk, seperti
kesepian dan depresi. Selain itu, kesepian dikaitkan
dengan kecenderungan untuk mencari teman dan
berteman secara online. Persentase mencari teman
dan mengobrol online pada anak perempuan SMP
lebih tinggi dari anak laki-laki SMP. Namun pada
kasus kecanduan game online, anak laki-laki SMP
mendapat persentase yang lebih tinggi dibanding
anak perempuan.
238
Perbedaan Usia dalam Pengaruh
Harapan (Ekspektasi) terhadap
Ketergantungan atau Kecanduan
Internet
Efek dari ekspektasi pada kecanduan Internet
semakin kuat di kalangan siswa SMA. Temuan ini
konsisten dengan efek usia yang ditemukan untuk
ekspektasi terhadap alkohol. Secara khusus, saat
siswa sekolah menengah atas mengembangkan
fungsi kognitif yang lebih baik dan memperoleh
lebih banyak pengalaman berinternet, ekspektasi
mereka terhadap Internet semakin besar sehingga
menghasilkan efek ekspektasi yang terukur.
Menurut penelitian,
harapan tersebut mempengaruhi
prognosis pengobatan gangguan
adiktif.
239
Bab 7
Gaming sebagai
Sebuah Media
Interaksi
serupa sosial
media
240
Gaming yang selama ini dipandang secara konvergen,
atau sebagai entitas hiburan semata, nyatanya
menyimpan sisi sosial yang dikembang oleh para gamers.
Adiksi yang timbul akibat gaming menumbuhkan sebuah
komunitas baik dalam Social Network Service (SNS) atau
dalam sebuah aplikasi game itu sendiri, tercipta sebuah
interaksi sosial. Berikut penjabarannya.
Ruang Lingkup dan Cakupan
Situs Internet
Perkembangan kecanduan Internet mencakup tiga faktor
utama, yaitu:
a. Faktor individu
b. Faktor lingkungan
c. Faktor obat yang akhirnya
memengaruhi perilaku
Hal tersebut terkait dengan penggunaan berbagai
aplikasi Internet, seperti:
a. Gaming
b. Jejaring sosial
c. Perjudian
241
Secara keseluruhan, penyimpangan
penggunaan aplikasi dikaitkan dengan faktor
adiktif. Konvergensi media juga dibahas dalam
konteks aplikasi Internet dan kegiatan, seperti
streaming dan game yang diiklankan melalui
smartphone. Kurangnya pengetahuan tentang
aplikasi yang berbeda menyebabkan perilaku
ya kecanduan Internet pun terbatas.
Berbagai pendekatan teori dinilai belum cukup
menjelaskan mekanisme pola penggunaan
Internet secara umum sebagai berlebihan,
penyalahgunaan, dan kecanduan.
242
Dari sudut pandang teoretis, terdapat tiga D
faktor yang menjelaskan kecanduan Internet. t
Mengikuti asumsi awal Kielholz dan Ladewig t
(1973), gangguan kecanduan, tidak peduli m
apakah zat tersebut terkait atau tidak, dipupuk k
oleh: M
K
a. Faktor individu (misalnya (
kepribadian, gaya kognitif, diri) k
p
b. Faktor lingkungan (misalnya t
struktur keluarga, norma sosial, t
variabel sosio-ekonomi)
c. Faktor obat (misalnya konten,
efek, ketersediaan, iklan)
243
Ada banyak penelitian mengenai faktor pribadi
yang berpotensi menyebabkan penggunaan Internet
adiktif. Misalnya rasa malu, ketidakamanan
sosial, kerentanan yang tinggi terhadap stres, dan
faktor kepribadian tertentu yang mempengaruhi
kecanduan. Pada penelitian lain, faktor lingkungan
juga diteliti. Namun, terdapat dua sisi penerimaan
sosial secara umum terhadap Internet, yaitu (1)
sebagai media yang berpotensi menguntungkan,
dan (2) penggunaan Internet yang adiktif. Penelitian
terbaru semakin fokus dalam mengidentifikasi
faktor-faktor Internet dalam menjelaskan daya
tarik, serta perkembangan penyalahgunaan, dan
kecanduan Internet.
244
Para profesional setuju bahwa bukan Internet
yang bertanggung jawab atas perilaku adiktif.
Namun, konten spesifik Internet yang dianggap
berpotensi menimbulkan kecanduan. Young (1999)
pun membedakan lima jenis kecanduan Internet
Kecanduan game 1
(misalnya permainan
peran/MMORPG,
permainan pada
browser)
Net compulsion Banjir informasi
(misalnya perjudian
atau belanja online) 2 (misalnya surfing web)
3
Kecanduan cybersexual
Kecanduan hubungan 4 (misalnya seks online)
cyber (misalnya
hubungan online,
obrolan, dan jaringan
sosial) 5
245
Beda aplikasi, beda pula potensi
ketergantungannya. Pertama, game online
yang dianggap paling berbahaya terhadap
ketergantungan Internet. Sebuah penelitian di Asia
mengungkap sekitar 90% dari semua penggunaan
Internet yang berlebihan adalah orang yang
bermain game online (Ko, Kim, & Kim, 2007).
Survei epidemiologis di Eropa juga menunjukkan
bahwa game harus dianggap sebagai hal yang
paling besar dampaknya terhadap adiksi Internet
(Morrison & Gore, 2010).
Sebagian besar klien yang berobat karena
ketergantungan Internet sibuk dengan game
online, terutama Massive Multiplayer Online
Role-Playing games (MMORPG). Namun, aplikasi
berbasis komunikasi juga berperan dalam
ketergantungan Internet. Sebuah studi berskala
besar oleh Morrison dan Gore (2010), menunjukkan
penggunaan situs jejaring sosial (SNS) juga terkait
erat dengan adiksi Internet. Apalagi penggunaan
berlebihan SNS terkait dengan gejala depresi yang
meningkat. Aplikasi ketiga yang mempengaruhi
kecanduan adalah aktivitas perjudian. Meski
246
berbeda berpendapat, beberapa profesional
menyatakan perjudian yang terkait dengan
Internet dianggap lebih mengancam daripada
perjudian konvensional karena tidak ada
batasan usia dan dinamika taruhan yang
dipercepat.
Dari perspektif sosiologis,
pengaturan dan persentase mengenai
berbagai aspek diri sangat bergantung
pada situasi yang relevan, yang dimainkan
oleh faktor sosial (Strauss, 1959).
247
Permainan
Kumpulan halaman dan aplikasi yang diakses
kemungkinan dapat meningkatkan pengetahuan
dan membantu individu melakukan integrasi
ke dalam kelompok. Kombinasi tersebut
dikelompokkan menjadi “Set Diderot” (Diderot,
1992). Pengaturan kesatuan Diderot berdasarkan
situasi. Pertama, karena setiap orang bisa saja
memainkan jenis permainan yang sama namun
memiliki versi berbeda, misalnya Counter Strike
1.6 atau Counter Strike Source (CCS). Hal tersebut
dapat dikatakan sebagai perbedaan lokalisasi
sosial. Kedua, game serupa, tetapi tidak sama.
Kondisi perangkat keras tertentu juga dapat
dikatakan sebagai situasi, seperti koneksi Internet
broadband, headset, mouse game, monitor game
besar, dan komputer gaming dengan spesifikasi
bagus. gamer merasa memiliki peralatan gaming
paling mutakhir sangat penting agar dapat
menghindari kerugian selama pengalaman bermain
game. Selain perangkat keras, ada beberapa
persyaratan perangkat lunak yang harus dipenuhi,
seperti perlu adanya voice over IP program
(VoIP) yang digunakan untuk berkomunikasi dan
pengambilan keputusan.
248
Namun, ada tambahan area terkait privasi. Jika
gamer adalah anggota klan atau grup, mereka
menggunakan homepage dan forum yang
dirancang secara khusus untuk berkomunikasi dan
mengikat para gamer.
Mereka yang ambisius
merasa harus selalu mengetahui
perkembangan terbaru dan cerita
terkait game. Biasanya mereka
menggunakan majalah online yang
terkenal sebagai referensi.
Gamer melakukan pencarian untuk memperbarui
pengetahuan pribadi tentang permainan yang akan
dipilih. Pembaruan informasi ini kemungkinan dapat
mengatur posisi dalam kelompok (Schütz, 1972). Jika
gamer tidak update, mereka akan dikucilkan dari area
permainan. Kode subsistem yang dirancang oleh para
gamer sangat profesional, terpolarisasi, dan koheren
untuk menjadi sebuah subsistem sosial. Singkatnya,
anggota komunitas gamer harus dipilih dengan
menggunakan seperangkat aplikasi Internet tertentu.
249
Jaringan Sosial
Sejak kemunculan Web 2.0, Internet menjadi
semakin interaktif dan dinamis. Kini, ketika
kita berinteraksi, pengguna tidak lagi terbatas
pada obrolan singkat yang cukup lama untuk
menunggu jawaban. Jejaring sosial seperti
Facebook, MySpace dan Google+ telah menjadi
bagian integral World Wide Web. Tidak heran
bahwa Social Network Service (SNS) adalah
salah satu aplikasi Internet yang paling cepat
berkembang. Facebook saat ini memiliki share
terbesar media social (68,39%). Di urutan kedua
dan ketiga adalah Pinterest (13,61%) dan Twitter
(10,25%) (GS.statcounter.com, 2020).
Menurut studi van Rooij dan Ferguson (2017),
terjadi gejala depresif pada perilaku di media
sosial yang disertai aktivitas gaming dari
3.954 responden penelitian. Responden yang
merupakan remaja usia 12-15 tahun asal
Belanda mengungkap media sosial atau SNS
memunculkan kesepian, kecemasan, dan
martabat diri yang negatif.
Pertama, SNS menawarkan kemungkinan yang
cepat dan mudah untuk memenuhi keinginan.
250
Oleh karena itu, penelitian tentang remaja
menunjukkan bahwa 91% menggunakan SNS
untuk tetap berhubungan dengan teman yang
mereka kenal secara pribadi (dari konteks
kehidupan nyata) dan 49% lainnya, biasanya
laki-laki, termotivasi untuk menemukan teman
baru melalui SNS (Nielsen, 2009). Bagi manusia,
penting untuk menciptakan jejaring sosial, untuk
terhubung. Afiliasi sosial menekankan pentingnya
kesehatan dan kesejahteraan psikososial. Hal itu
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
kesepian emosional dan sosial dengan keadaan
kesehatan yang buruk, kemerosotan kinerja, gejala
depresi, dan penyalahgunaan zat.
Pada 2012, banyak orang mengatakan bahwa
untuk mengumpulkan komunitas yang luas
hanya berjarak satu kali klik. Sekarang, kita
dengan mudah melihat perubahan seseorang
dengan hanya membandingkan profilnya tahun
2015 dengan tahun 2018. Namun, seberapa jauh
bahaya SNS akan kesehatan psikososial? Profil
pada SNS mengubah terjadinya perbandingan
sosial menengah ke atas sebagai hal yang tak
terelakkan. Apalagi karena SNS populer, seperti
Facebook dirancang cukup seragam sehingga lebih
mudah untuk mengenali perbedaan dan kesamaan
di antara profil dengan cepat.
251
Pengguna secara otomatis
terpaksa menarik perbandingan sosial.
Orang-orang dengan self-esteem rendah
mungkin sangat rentan terhadap efek ini
(Festinger, 1954).
Sebelumnya, terdapat studi yang menunjukkan
bahwa pengguna SNS yang melihat sebuah
profil (ideal) yang sangat berbeda dengan
keadaan dirinya, akan mengalami perasaan
negatif, serta mengembangkan pandangan
yang lebih negatif terhadap diri sendiri. Efek ini
lebih terasa pada wanita daripada pria dan juga
orang dengan harga diri lemah. Hal itu karena
kurangnya pengetahuan mendalam tentang efek
umum penggunaan SNS, terutama mengenai
i aspek psikologi perkembangan dan kematangan
psikososial (Haferkamp & Krämer, 2011).
252
Sulit dikatakan sejauh mana pengaruh SNS
terhadap pembelajaran sosial pada anak-anak
dan remaja. Ini karena komunikasi yang dimediasi
komputer harus dilihat sebagai bentuk komunikasi
yang berbeda dan tidak optimal, karena tidak
dilengkapi dengan komunikasi nonverbal. Dari
sudut pandang teoretis, dapat diduga bahwa
anak-anak yang berhubungan dengan orang lain
melalui SNS mungkin memiliki kemampuan suara
memahami kompleksitas interaksi sosial (nyata)
yang kurang. Mereka pun sulit mengodekan isyarat
sosial nonverbal. Memang, sebuah studi oleh
Mittal, Tessner, dan Walker (2007) menunjukkan
bahwa remaja dengan kecenderungan Schizotypal
(gangguan kepribadian yang ditandai adanya
kebutuhan akan masalah sosial dan masalah
interpersonal) menggunakan SNS dan game online
lebih sering daripada pemain yang masih bisa
mengontrol dirinya. Faktanya, SNS berkorelasi
negatif dengan jumlah teman dalam kehidupan
nyata.
253
Untuk itu, perlu lebih banyak penelitian guna
menilai efek penggunaan SNS terhadap perilaku
sosial. Potensi adiktif SNS telah dibahas baru-baru
ini. SNS telah diteliti oleh dokter di Jerman sejak
Rumpf dkk., (2011) menerbitkan laporan akhir
studi. Fokus utama survei epidemiologi berskala
besar ini adalah untuk mengidentifikasi prevalensi
perilaku kecanduan Internet yang representatif.
Prevalensi 1% diukur di antara total sampel 15.024
peserta berusia antara 14–64 tahun. Prevalensi
keseluruhan ini kira-kira terbagi rata di antara
jenis kelamin. Ada 1,2% pria dan 0,8% wanita
pengguna Internet dengan interval kepercayaan
1,0-1,6% (pria) dan 0,6-1,1% (wanita). Dari sampel
yang dianalisis, peserta berusia antara 14–24
tahun menunjukkan peningkatan prevalensi
keseluruhan sebesar 2,4% dengan hasil yang lebih
serupa lagi mengenai perbedaan gender. 2,5% pria
dan 2,4% pengguna wanita harus diklasifikasikan
sebagai kecanduan Internet.
254
Kecenderungan ini
meningkat lagi pada remaja
14-16 tahun. Perilaku
kecanduan memiliki jumlah
4% anak di bawah umur. Di
sini prevalensinya beralih
ke dominasi perempuan.
Artinya, prevalensi kecanduan Internet di
kalangan wanita adalah 4,9% dibandingkan
dengan 3,9% pengguna pria. Hasil ini
membuktikan bahwa pengguna wanita muda
dapat dengan mudah memiliki perilaku
kecanduan Internet. Kesimpulan ini sangat
menarik ketika mempertimbangkan bahwa
jaringan sosial (77,1%), diikuti dengan mengirim
email (11,7%), yakni aplikasi yang paling relevan
untuk pengguna wanita. Pria menggunakan
jaringan sosial (64,8%) juga permainan online
tambahan (33,6%) (Rumpf dkk., 2011).
255
Namun, saat ini tidak ada investigasi mendalam
mengenai potensi adiktif SNS dan sedikit yang
diketahui tentang keduanya. Penggunaan SNS
yang adiktif mungkin harus dijelaskan dalam
kerangka model biopsikososial atau juga secara
fenomenologis. Kriteria utama penggunaan SNS
yang adiktif seperti (waktu yang dihabiskan di
SNS, memperbarui profil, melihat profil orang
lain), toleransi (meningkatkan penggunaan
SNS dari waktu ke waktu), keinginan (perilaku,
kognitif, dan keasyikan menggunakan SNS;
keterdesakan untuk memeriksa SNS), gejala
penarikan diri (mengalami gejala fisik dan
emosional yang tidak menyenangkan saat
penggunaan SNS dibatasi) dan kehilangan
kontrol. Penggunaan SNS yang berulang
menimbulkan konsekuensi negatif (kesehatan
yang buruk, konflik dengan keluarga, pengabaian
kemitraan, dan penurunan prestasi di sekolah
atau pekerjaan). Namun, tidak ada penyelidikan
klinis sistematis mengenai topik ini sehingga
sulit untuk menilai relevansi klinisnya.
256
Gambling atau Pertaruhan
Kelompok aplikasi perjudian yang digunakan
sebenarnya cukup rendah. Saat perjudian dimulai,
fase penelitian pengumpulan informasi dimulai.
Sampai penjudi profesional, jumlah aplikasi yang
digunakan akan dikurangi seminimal mungkin.
Fokus utamanya adalah aplikasi perjudian online.
Di dalam aplikasi ini, gamer mulai meningkatkan
kehadiran dan mencatat jadwal perjudian, bahkan
menggunakan lebih dari satu permainan judi pada
saat bersamaan. Penjudi poker online menggunakan
lebih banyak tabel secara bersamaan karena mereka
merasa tertantang dan ingin mendapat lebih banyak
kemenangan. Biaya sosial dan keuangan meningkat
dengan pesat (Fisher, 1999).
Seiring penelitian terhadap penjudi, ada pula yang
melakukan penelitian di Internet untuk menemukan
aliran pendapatan keuangan penjudi. Di berbagai
studi, perilaku perjudian Internet dipandang sangat
penting karena terkait dengan peningkatan risiko
kehilangan kontrol dan penggunaan yang adiktif.
257
Masih menjadi perdebatan apakah kecanduan judi
Internet adalah bentuk perjudian patologis modern
yang mengubah lingkungannya dari terestrial ke
virtual atau dianggap sebagai topik ketergantungan
pada Internet. Selain itu, peneliti memperkirakan
meningkatnya orang kecanduan judi Internet
mengacu pada tawaran yang berkembang di
Internet. Aktivitas perjudian online, di antaranya
taruhan olahraga, mesin buah virtual, permainan
kasino klasik seperti rolet, dan tentu saja sejumlah
besar situs poker.
Meskipun tidak jelas apakah
perjudian Internet menghasilkan
kasus penjudi patologis yang baru,
data klinis menunjukkan bahwa ada
banyak tumpang-tindih penjudi
patologis dengan menggunakan varian
perjudian terestrial dan online.
Investigasi terhadap klinik rawat jalan khusus
di Jerman menunjukkan bahwa sekitar 42%
penjudi patologis mengaku menggunakan tawaran
perjudian online dan reguler. Data epidemiologi
mengonfirmasi bahwa ada tumpang-tindih antara
penggunaan Internet adiktif dan perjudian pada
remaja, yang dapat terjadi karena efek konvergensi
media (King, Delfabbro & Griffiths, 2010).
258
Konvergensi Media
Saat ini, ponsel pintar menjaga hubungan real-time antara
realitas pribadi dan Internet. Perangkat kecil dan multifungsi
ini memungkinkan penggunanya memanfaatkan banyak
aplikasi dalam satu perangkat. Namun, proses penggabungan
ini bukan hanya tentang smartphone. Ini juga tentang proses
mendekatkan, dari media yang mulanya hanya digunakan
secara terpisah menjadi menyatu. Perbaikan pasar game
yang paling signifikan dimulai di Inggris pada akhir 2011.
Penyedia game streaming real time dipasang bukan sebagai
perpustakaan penjualan game, seperti Steam, melainkan
lebih jauh lagi sebagai solusi. Onlive menawarkan permainan
biasa yang dikombinasikan dengan fungsi jaringan sosial.
Mereka menyediakan permainan sesuai permintaan dengan
menyediakan aplikasi yang cocok dengan perangkat, seperti
Mac, PC, iPad, Android atau HDTV.
Dengan demikian, hal yang mudah untuk bermain game saat
ini karena kapabilitas aplikasi yang fleksibel. Persyaratan
minimum yang harus dipenuhi mencakup netbook modern
dan koneksi kabel atau WiFi minimal 2 Mbps. Ada komponen
sosial yang bermanfaat dengan menggunakan video
ShareBragClip yang terhubung ke Facebook. Tawaran
ini sebenarnya hanya tersedia di Inggris, tetapi startup
tersebut berhasil dan negara lain mengikuti. Sebagai salah
satu contoh pertama, model bisnis Onlive ini adalah era
baru penggabungan dan ketersediaan perangkat keras dan
perangkat lunak yang mewakili konvergensi media dengan
cara yang sangat holistik dan terhubung ke area sosial.
259
Game Browser di Dalam
Jaringan Sosial
SSaat ini, permainan pada browser adalah bagian
dari jaringan sosial. Hal ini memiliki keuntungan,
yaitu ikatan sosial dapat digunakan oleh pengembang
game dan produsen untuk meningkatkan jumlah uang
yang dikeluarkan pada permainan yang dipilih secara
individual. Permainan itu sendiri memiliki kesamaan
dalam penggunaan dan pendekatan dengan Multi-
User Dungeon (MUD) yang muncul di tahun 1970-an
(Barton, 2008). MUD hanya memainkan satu karakter
per akun. Sistem pertarungannya sederhana, tetapi
ada komponen interaktif yang mendorong para gamer
sehingga mereka bisa merasakan kesenangan saat
bermain dengan gamer yang berbeda.
Vanhatupa (2010) menunjukkan bahwa Earth 2025
adalah game berbasis browser pertama yang dirilis
pada Oktober 1996. Kemudian, setiap orang memiliki
kemampuan untuk membagikan permainannya
menggunakan Facebook. Kualitas grafis meningkat
lebih banyak sejak Quake3, kemudian QuakeLive
dikembangkan. Kisah sukses game browser semakin
meningkat karena Adobe Flash 11 diluncurkan pada
tahun 2011, termasuk Kit Pengembang Perangkat
Lunak yang relevan (SDK) untuk menargetkan Flash
11 dan AIR3 untuk memiliki kemampuan game 3D.
Sebagai bagian dari permainan browser dengan
peningkatan kualitas grafis secara besar dan
penghematan perangkat keras pada saat bersamaan.
260
Saat ini, Minecraft membuktikan bahwa sebuah game
yang sukses tidak perlu grafis high end atau alur cerita
yang menarik. Hal terpenting tentang kesuksesan
Minecraft adalah para gamer mendapat kemampuan untuk
menciptakan sesuatu yang baru, sesuatu yang tidak ditulis
oleh perancang game. Ini adalah tentang sesuatu seperti
membangun kembali Middle-earth Tolkien oleh kelompok
gamer yang tertarik dan terorganisasi (Beutel dkk., 2011).
Dengan demikian, harus ditunjukkan bahwa masyarakat
sosial dan interaksi mereka meningkat dengan
perkembangan teknologi. Salah satu pemimpin dunia
dari sektor permainan browser adalah Bigpoint. Pada
2011, mereka memiliki lebih dari 228.800.000 gamer
yang terdaftar. Pemain global lainnya adalah gameforge.
Mereka menerapkan perbandingan gamer. Memilih
gamer yang aktif dan jago untuk diberi ketenaran dan
kehormatan dalam komunitas di kehidupan nyata karena
pencapaian tersebut dipresentasikan gameforge secara
berurutan. Banyak permainan browser mencoba untuk
meningkatkan anggota dari masuk langsung ke game
browser tanpa perlu membuat akun. Para gamer mulai
secara langsung memiliki karakter yang dibangun sendiri
dan tidak diminta untuk memasukkan data pribadi di awal.
Cara ini digunakan
untuk membuat gamer senang
dan membawanya bergabung.
261
World of Warcraft
sebagai Jejaring Sosial
yang Tersembunyi
Gamer MMORPG memiliki kesempatan bersosialisasi
dengan gamer lain. Namun, komponen sosial tersebut
berdampak. Self-efficacy gamer meningkat karena
reputasi dan kehormatan sosial yang dibawa. gamer
memiliki upaya subliminal yang tak terelakkan
untuk berkelompok hingga bisa menyelesaikan
misi selanjutnya. Para gamer terpisah secara fisik,
tetapi tetap berinteraksi secara sosial. Mereka
adalah bagian dari “kesendirian yang kolektif”. Yang
mengkhawatirkan bahwa gamer jarang memiliki
koneksi realitas sosial (Ducheneaut, 2009).
Dari perspektif klinis, orang-orang yang kecanduan
game komputer sering menyebutnya sebagai
“keluarga maya”. Mereka harus dianggap sebagai
faktor penting yang berkontribusi terhadap
keberlangsungan perilaku adiktif. Studi menunjukkan
bahwa orang yang kecanduan game menafsirkan
kedalaman dan keintiman yang mereka alami saat
262
berinteraksi dengan orang lain secara virtual sama
dengan berinteraksi secara nyata (Hahn & Jerusalem,
2001). Pada saat yang sama, penelitian menunjukkan
bahwa gamer memiliki harapan yang meningkat untuk
bertemu dengan gamer yang berpikiran sama atau
cocok. Secara klinis, tampaknya tepat untuk merujuk
dalam konteks ‘persepsi bias pada sosial online’.
Orang-orang dengan tingkat introvert tinggi atau
bahkan ketidakamanan sosial merasa tertarik
untuk berinteraksi dengan orang lain pada tingkat
yang lebih terpisah dan terkendali. Jadi, Internet
dengan kumpulan kontak yang tak ada habisnya
dan anonimitas, serta kontrol maksimal pengguna
sangat menarik bagi mereka. Meskipun hampir sering
berinteraksi dengan orang lain melalui Internet,
tidak masalah jika di situs jejaring sosial mereka
menjadi anggota di suatu pertemuan sosial yang akan
menciptakan suasana yang menghibur, intim, dan
abadi (Psych dkk., 2013).
263
Kekayaan Sosial dan
Kecanduan Internet
Kekayaan sosial diilustrasikan sebagai salah satu
indikator penting bagi perkembangan kecanduan
Internet. Keterkaitannya dipresentasikan ke game
komputer, perjudian, dan jejaring sosial. Pada
aspek gender, kecanduan game didominasi oleh
pengguna perempuan di kelompok pengguna yang
lebih muda dalam konteks jejaring sosial.
Namun, masih ada pertanyaan yang belum
terselesaikan tentang perilaku adiktif atau
kecanduan di Internet. Meskipun ada kemajuan
dalam penelitian tentang permainan komputer
adiktif, pengetahuan mengenai bentuk atau
macam-macam kecanduan Internet masih sedikit.
Misalnya, masalah perjudian online adiktif.
Apakah kelainan klasik perjudian patologis hanya
mengubah lingkungannya.
264
Kesan pertama secara klinis dari
institusi khusus untuk pengobatan
perjudian patologis, menunjukkan
tampaknya ada sub-kelompok penjudi
yang hanya berjudi secara online.
Pasien ini mungkin dianggap sebagai
populasi klinis yang berbeda. Namun,
penelitian lebih lanjut diperlukan,
terutama mengenai kemungkinan
program pengobatan spesifik dari
sub-kelompok ini (Psych dkk., 2013).
265
Bab 8
Framing Media
pada Ekosistem
Gaming dan
Gamer
266
Ekosistem gaming dan gamers sering disorot negatif oleh
media. Perlunya penyeimbang perspektif publik pada framing
ini penting untuk dibahas. Dan dalam bab kali ini, sebuah
penelitian akan dibahas untuk menjabarkan pola framing
media tentang gaming dan gamers, terutama dalam kasus
penembakan di Columbine, Amerika Serikat.
Penelitian oleh Jung (2017) di Korea mengamati aspek
prososial dari game, seperti potensi demografis dan
komunitas game, termasuk kondisi gamer yang sadar secara
politis. Secara khusus penelitian ini membahas bagaimana
game dapat menjadi sebuah ruang belajar sosial gamer. Ada
beberapa temuan penting, yaitu sebagai berikut.
a. Media tidak hanya bergantung pada
sumber, melainkan juga interaksi dengan
aktor sosial atau kelompok, dalam hal
ini permainan.
b. Media cenderung mendefinisikan
game dan gamer dengan cara sensasional,
misalnya kekerasan/kecanduan.
c. Sementara dinamika efek media
terhadap sikap publik terhadap
peraturan permainan sangat kompleks,
paparan terhadap konten berita terkait
game berpengaruh secara signifikan
terhadap sikap public.
d. Wacana media sebagai isyarat
mobilisasi bagi para gamer berpotensi
mendorong mereka untuk melakukan
tindakan lebih lanjut.
267
e. Ekologi komunikator gamer (genre game,
media, game co-playing, diskusi permainan).
f. Partisipasi dalam budaya permainan
(sosialisasi melalui permainan) mendorong
kolaborasi (guild, keterlibatan
masyarakat) dan berpotensi menimbulkan
konsekuensi sosial politik pada permainan.
g. Modal sosial melalui permainan game
sehingga gamer memiliki implikasi
sosiopolitik yang berkontribusi secara
positif terhadap partisipasi online dan
offline...
Di A.S., industri game menyumbang $ 11,7
miliar untuk PDB A.S, dengan jumlah. pekerja
65.678 orang Amerika, dan $ 30,4 miliar untuk
belanja konsumen di tahun 2016 (Entertainment
Software Association, 2016). Di Korea,
industri game diperkirakan bernilai $ 9,48
miliar USD dengan ekspor $ 3,21 miliar pada
2015 (KOCCA). Total penjualan industri game
melebihi industri musik dan film. Di tahun yang
sama, sekitar 885 perusahaan pengembang
game atau distribusi aktif beroperasi di
Korea, dengan total 35.445 orang bekerja di
perusahaan.
268
Sementara industri game berkontribusi secara
signifikan terhadap ekonomi nasional, elite
pemerintah Korea mengatur permainan.
Penonton internasional dibuat bingung dengan
perilaku Lee, gamer profesional Korea berusia
15 tahun. Selama Kejuaraan Dunia Laga Global
StarCraft II 2012, dia memilih strategi ceroboh
sehingga membuatnya kalah dalam kejuaraan
yang sebenarnya mudah didapatkan, akibat
game Shutdown Law dari Korea. Jelas terlihat
keseriusan pemerintah menerapkan peraturan
permainan akibat dampak negatif permainan,
seperti kekerasan dan kecanduan. Studi
sebagian besar difokuskan untuk menentukan
hubungan kausal antara permainan, kekerasan,
dan kecanduan. Selain itu, studi komunikasi
menemukan konsekuensi negatif terhadap
preferensi hiburan mengenai berita tentang
aspek politik, seperti keampuhan, pengetahuan
dan partisipasi.
Beberapa penelitian
berfokus pada interaksi antara
media, kebijakan terkait wacana
media, dan opini publik mengenai
isu permainan.
269
Baik publik maupun pejabat mengandalkan
media sebagai komunikasi pusat menurut
Cook (2001). Media menjadi sumber informasi
penting mengenai isu kontroversial game dan
publik cenderung membentuk sikap terhadap
peraturan game. Sebuah penelitian diperlukan
untuk menganalisis representasi media
tentang masalah permainan, logika apa yang
digunakan oleh masing-masing media untuk
mempresentasikan posisinya, dan sumber
informasi atau opini apa yang disarankan oleh
media masing-masing agar dapat memahami
dinamika dalam menyusun peraturan
permainan dan opini publik.
Aliran wacana media tentang isu-isu
peraturan permainan di Korea cenderung
menunjukkan pengaruh elite yang kuat pada
proses pembuatan berita. Begitu para elite
membangun bingkai berita berdasarkan
implikasi negatif terhadap permainan, media
melaporkan isu-isu tersebut berdasarkan
perspektif elite berdasarkan studi dari Habel
(2012). Sementara itu, kelompok oposisi,
membangun kerangka alternatif dan medianya.
270
Dalam dinamika ini,
media telah menjadi medan
pertarungan proxy antara dua
kelompok berlawanan, yang
memberikan liputan tentang
masalah peraturan permainan
yang bersifat politis.
Selain melaporkan masalah regulasi, media
juga melaporkan masalah permainan
kecanduan sampai berpeluang menyebabkan
masalah sosial (kekerasan). Mereka bersaing
berdasarkan kecenderungan ideologis mereka,
yang sebenarnya dipengaruhi oleh peraturan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
kekuatan dan kelompok luar (sumber berita)
mempengaruhi proses pembentukan wacana
publik tentang sebuah isu. Kemudian, dengan
menetapkan label (frame) yang dominan,
akan memahami gambaran besar kontroversi
permainan sebagaimana yang disampaikan
oleh Gamson dan Modigliani (1987).
271
Sebagai strategi analisis untuk mempelajari
konten media, studi ini bertujuan untuk
menganalisis hubungan antara media, aktor
politik, dan opini publik dengan memusatkan
perhatian pada peran wartawan dalam
membangun realitas sosial melalui strategi
pembingkaian berita. Seperti argumen
Bennett dan Iyengar (2008) bahwa dinamika
kelembagaan antara negara terutama politisi
dan pemerintah, melalui kementerian dan pers,
memunculkan pembingkaian dan kelembagaan
yang berperan penting dalam pembentukan
opini publik seputar masalah game. Mengingat
media memainkan peran kunci dalam
membentuk dan menjelaskan pengembangan
kebijakan dalam konteks politik.
Secara khusus, peneliti menerapkan paradigma
efek media tradisional pada masyarakat
mengenai kontroversi permainan. Efek media
sebagai pembentuk sikap, kepercayaan, dan
perilaku sambil mempengaruhi kebijakan (pada
institusi) dengan berbagi tujuan bersama dan
konsep.
272
Peraturan Game dan Wacana
pada Media
Penelitian Jung (2017) juga memeriksa sumber
media yang beragam secara ideologis dan
perannya dalam peraturan permainan yang
berpotensi mempengaruhi persepsi masyarakat
terhadap game, berdasarkan pada framing dan
sumber berita.
Pertama, untuk lebih memahami peran elite
dan opini media publik, Jung (2017) menyajikan
perbedaan antara kasus penembakan
Columbine di Amerika Serikat tahun 1999
dan kontroversi regulasi permainan di Korea.
Dengan asumsi bahwa realitas sosial seputar
masalah peraturan permainan dipengaruhi oleh
interaksi antara elite politik dan organisasi
media, studi ini menguji hubungan antara kaum
elite, media, dan publik di bawah mekanisme
efek media dan bagaimana wacana media
dikembangkan dari waktu ke waktu.
273
Peneliti menyarankan empat mekanisme dalam
media berita dan dampaknya terhadap masyarakat.
Di antara keempatnya, penelitian secara khusus
menyoroti pengaruh kuat elite dalam pembuatan
berita dan koalisi antara elite dan organisasi berita.
Hal ini sangat relevan dengan kebijakan pemerintah
Korea tentang Hukum Shutdown game di tahun 2011
tanpa mendengar pendapat publik atau melakukan
debat publik. Pelaporan media mengenai isu
tersebut hampir secara keseluruhan berfokus pada
perspektif elite.
Peneliti menganalisis wacana media, dan menilai
keseluruhan posisi media secara ideologis, logika
atau framing yang mendukung atau menentang
posisi tersebut, dan sumber informasi (elite
pemerintah vs tingkat sipil) yang mendukung posisi
dan bingkai pemikiran. Seiring dengan pelaporan
peraturan permainan, peneliti mengeksplorasi
laporan tentang gagasan permainan sebagai
penyebab kekerasan atau kecanduan. Analisis
mencakup pandangan media tentang efek
permainan dan atribusi masalah sosial a) praktik
jurnalistik tentang masalah peraturan permainan
dan masalah sosial yang dikaitkan dengan
permainan dan b) hubungan potensial antara
laporan media dan persepsi publik terhadap
permainan game yang menyebabkan kekerasan/
274
kecanduan. Saat melaporkan game, media
telah menjadi medan perang antara dua
kelompok yang saling bertentangan. Dengan
demikian, cakupan masalah peraturan
permainan telah diperdebatkan. Ini karena
media bersaing satu sama lain untuk mewakili
posisi mengenai regulasi dan atribusi masalah
sosial terhadap game.
Jung (2017) juga berpendapat
bahwa pengaruh politik dunia
nyata terhadap kecenderungan
ideologis media mengenai
isu permainan cenderung
mempolitisasi isu gaming.Hal
ini karena peraturan memiliki
implikasi politik.
Lebih khusus lagi bahwa politik konservatif
cenderung mencoba membenarkan peraturan
melalui gagasan perlindungan anak atau
biaya sosial kecanduan atau kekerasan yang
dikaitkan oleh publik terhadap permainan.
Sebaliknya, perspektif progresif mengenai isu
ini menyoroti kebebasan individu dan ketidak-
efektifan peraturan. Selain itu, dalam konteks
Korea, media konservatif yang mendukung
275
kelompok politik dominan cenderung
mencerminkan perspektif elite. Sebaliknya,
media liberal cenderung menghadirkan suara
individu atau masyarakat sipil.
Untuk menganalisis
kerangka media yang berbeda
secara ideologis, diperiksa
gagasan untuk melawan per
aturan permainan perlu dite
liti secara khusus, penelitian
dipersempit dalam bingkai
sebagai gagasan dan tema.
Sebagai kerangka umum, peneliti menerapkan
gagasan individu. Pembingkaian sebagai
contoh untuk menafsirkan peristiwa atau
isu berdasarkan posisi media. Karena media
berita cenderung menggunakan lebih dari
satu kerangka dalam melaporkan masalah
peraturan permainan, tidak mungkin untuk
sepenuhnya menangkap kerangka berita.
Penelitian pun menganalisis jumlah frame
(keragaman logika) dan kombinasi frame (cara
media membuat argumen).
276
Kemudian, muncul pertanyaan: Apakah elite
politik memiliki pengaruh yang kuat terhadap
media dan masyarakat, terutama dalam kasus
game Shutdown Bill? Jika tidak, dapatkah
dorongan dari publik atau aktor sosial
berperan untuk proses pembuatan berita
institusional, seperti yang mungkin terjadi
dalam penundaan RUU Kecanduan game?
Dengan kata lain, mungkin saja preferensi
kebijakan para aktor mempengaruhi orientasi
media. Jika ya, seberapa besar kemungkinan
kerangka publik untuk mempengaruhi arah
kebijakan di bawah lingkungan kelembagaan
yang kuat? Dapatkah aktor sipil independen
mempengaruhi media tentang isu-isu politik
yang kontroversial, atau apakah elite politik
dari institusi yang berlawanan mempengaruhi
arahan peraturan permainan? Apakah ini
mekanisme persaingan atau koalisi di antara
politik elite, media, dan publik dalam dinamika
peraturan permainan?
277
Literatur pada
Game dan Membangun
Frame atau Bingkai
Pemikiran
Studi lain membahas mengenai insiden
penembakan di sekolah oleh Muschert (2009) dan
Chyi dan McCombs (2004). Mereka memberikan
panduan teoretis untuk kajian pembingkaian
dan pembentukan opini publik. Namun, kasus
semacam itu agak berbeda dengan penelitian
terkini mengenai proses pengembangan isu
(constructing frames) dan hubungan antara elite
dan media. Jadi, yang membedakan penelitian
ini dari penelitian sebelumnya adalah pengaruh
kelembagaan yang kuat dalam pembuatan berita.
Menurut Lawrence (2001), dalam kasus
penembakan Columbine, wartawan dilemparkan
ke dalam situasi di mana mereka harus
mengembangkan kerangka baru. Ketika
peristiwa tersebut terjadi, frame para jurnalis
merekonstruksi peristiwa itu sehingga
mempengaruhi masyarakat umum atau pembuat
kebijakan mengenai masalah pengendalian
senjata (insiden penembakan sebuah media yang
membentuk sebuah opini publik atau pembuat
kebijakan). Konflik antara pro dan kontra terhadap
kontrol senjata muncul akibat kejadian dan
framing media.
278
Meskipun kejadian tersebut cukup
mengejutkan untuk menarik perhatian
nasional, penelitian menunjukkan
bahwa kerangka media hanya
memperkuat sikap yang sudah ada
sebelumnya. Birkland dan Lawrence
(2009) menyatakan, “Pengaruh Columbine
mungkin lebih signifikan di dunia
ilmiah daripada di dunia nyata”.
Selain itu, sehubungan dengan kasus Brown vs
Entertainment Merchants Ass›n menunjukkan
bahwa masyarakat A.S. menghargai kebebasan
berbicara dalam mengatur permainan karena
aspek kekerasan bermain game. Media,
Mahkamah Agung, dan akademisi tidak
sepenuhnya menyetujui dampak permainan dapat
mengakibatkan kekerasan. Dengan demikian,
atribusi permainan sebagai penyebab masalah
sosial (dalam hal ini, penembakan di sekolah)
adalah hal yang dipercaya di A.S..
Di sisi lain, kebijakan peraturan permainan di
Korea mengasumsikan kecanduan permainan
meningkatkan kekerasan dan menyebabkan
masalah sekolah, serta sosial. Akibatnya, game
sekarang dipandang sebagai salah satu dari
empat kecanduan utama di Korea (narkoba,
alkohol, perjudian, dan game).
279
Karena kontroversi game di Korea dihasut oleh
proposisi peraturan pemerintah (berlawanan
dengan kasus Columbine), kelompok lawan
kemudian dibentuk untuk mendukung
atau menentang peraturan tersebut. Kaum
elite membangun bingkai kemudian media
melaporkan masalah ini berdasarkan perspektif
elite.
Dengan demikian, media lebih berfokus pada
definisi tentang kebijakan dan siapa yang
mendukung atau menentang undang-undang
tersebut. Namun, kurang memperhatikan
mengapa sebuah peristiwa terjadi. Padahal,
telah jelas bahwa permainan terus-menerus
sampai dengan kecanduan akan menyebabkan
masalah. Dengan demikian, pelaporan utama
media adalah pada posisi politik kelompok
terhadap RUU yang telah diajukan dan konflik
di antara kelompok sehingga liputan game
bersifat politis atau kontroversial.
280
Sikap Media Memengaruhi
Persepsi Masyarakat
Penelitian Jung (2017) yang berfokus
pada frame media tersebut secara luas
memeriksa bagaimana isu regulasi
permainan berkembang, terutama di Korea,
dan bagaimana aktivitas bermain game
mempromosikan perilaku sosial dan politik.
Pertama, dengan menganalisis isi berita, Jung
(2017) mengeksplorasi penggunaan frame dan
sumber ideologis ideal selama periode waktu
yang berbeda. Studi ini mengungkapkan bahwa
kecenderungan media untuk mewakili game
dan gamer secara negatif berdampak pada
persepsi masyarakat terhadap permainan.
Peneliti juga mengeksplorasi bagaimana
aktivitas kelompok kepentingan telah
mempengaruhi para pembuat keputusan
dan politisi untuk memanfaatkan lingkungan
terpolarisasi guna mendapatkan dukungan
kelompok kepentingan.
281
Menyadari pandangan negatif ini, peneliti
mencari data tentang aspek politik game dan
berbagai perilaku sosial dan politik gamer.
Jung (2017) secara khusus fokus pada peran
gamer individu dalam politik, memeriksa
kesadaran politik para gamer dan bagaimana
variabel permainan terkait berkontribusi
terhadap perilaku partisipatif. Peneliti
juga mengeksplorasi bagaimana perilaku
masyarakat mengatalisasi gamer untuk terlibat
dalam partisipasi teknologi digital.
Dari perspektif analitis, gagasan pembentukan
komunitas online diterapkan pada perilaku
individu berdasarkan sampel nasional yang
representatif. Penelitian ini memberi wawasan
baru tentang peran positif hiburan potensial
di era media baru dan aspek sosial politik
permainan yang belum dibahas dalam studi
komunikasi. Meskipun beberapa penelitian
menemukan bahwa konten memberikan efek
aktual media hiburan terhadap perilaku politik,
sebagian besar studi media tentang hiburan
secara miopis negatif. Selain itu, ilmuwan sains
sosial mengabaikan potensi demokratis dari
komunitas game. Sebagian besar penelitian
berpendapat bahwa hiburan memiliki dampak
yang merugikan pada demokrasi, seperti
282
menonton televisi yang merupakan kegiatan
pasif, dan sebagian besar studi komunikasi
berfokus pada efek kekerasan/kecanduan
permainan. Tak heran jika pemerintah
menerapkan peraturan untuk game online.
Studi komunikasi menemukan efek negatif
hiburan terhadap partisipasi dalam bermain
game. Namun, hasil yang disajikan dalam
penelitian ini memberi dampak yang baik
mengenai peran sosial game, sekaligus
peran sosial gamer yang positif dalam hal
permainan, seperti memberikan kenyamanan
pada komunitas dan tindakan politik. Berbeda
dengan kecemasan pemerintah, jam bermain
game benar-benar memiliki dampak positif.
Komunitas game dapat berfungsi sebagai
ruang publik di mana gamer berkomunikasi
tidak hanya mengenai topik permainan, tetapi
juga beragam masalah sosial.
Keterlibatan komunitas
dan keterikatan psikologis
terhadap komunitas pada
akhirnya membuat gamer
terlibat dalam perilaku
partisipatif.
283
Selain itu, gamer tidak hanya berpartisipasi
demi kepentingan mereka sendiri (permainan),
tetapi juga terlibat dalam berbagai kegiatan
kewarganegaraan dan politik. Seperti yang
dikatakan oleh media baru, komunitas online
(dengan bantuan teknologi digital yang sedang
berkembang) menggantikan organisasi formal
sebelumnya, misalnya media tradisional untuk
sumber informasi.
game memiliki konsekuensi sosial dalam
membangun masyarakat. Studi sebelumnya
meneliti efek pembelajaran permainan, dengan
alasan bahwa gamer belajar melalui sosialisasi
dengan anggota lain dan menciptakan norma
sosial untuk interaksi sehingga tercipta komunitas
online. Sosialisasi dan pembangunan komunitas
berkaitan dengan sifat permainan game. Budaya
permainan mendorong gamer untuk belajar
dan kolaborasi. Apalagi, lingkungan bermain
game yang unik memungkinkan gamer untuk
mengalami struktur politik seperti dunia nyata.
Misalnya, dalam MMOPRG, karena jumlah anggota
yang banyak, perlu praktik organisasi formal.
gamer dalam serikat semacam itu mengalami
proses demokrasi seperti berpartisipasi dalam
pemilihan umum atau wacana publik. game,
terutama multiplayer game, adalah mikrokosmos
masyarakat (Jung, 2017).
284
Selain itu, studi saat ini meneliti lebih
jauh tentang peran permainan. Sebagai
perpanjangan dari konsekuensi sosial
pada game, penelitian ini memberikan
temuan empiris bahwa praktik permainan
menyebabkan konsekuensi sosiopolitik di
antara para gamer. Terdapat kelangkaan
studi komunikasi tentang fungsi politik pada
komunitas game. Penelitian tentang peran
pendidikan game (gamification) terbatas pada
efek kesehatan. Padahal, gamer cenderung
menggunakan media untuk mencari informasi
dan komunitas game berfungsi sebagai
ruang publik yang mendorong komunikasi
aktif. Karena bermain game meningkatkan
pembelajaran politik, game pada akhirnya
mendorong masyarakat untuk demokratis.
Secara khusus, diskusi tentang regulasi
permainan dan pencarian informasi selama
bermain game merupakan perilaku partisipatif.
Keterlibatan komunitas game
merupakan kontributor penting
bagi partisipasi masyarakat.
Hasil ini mengingatkan
pada peran diskusi dalam
partisipasi komunikasi politik.
285
Dalam hal ini, game menjadi bagian penting
dalam komunikasi politik. Selain itu, penelitian
ini telah memperluas bidang ekologi
komunikatif dengan data empiris dan analisis
statistik. Satu kontribusi dari studi saat ini
adalah materi pelajaran. Studi ini tidak hanya
mengeksplorasi media yang ada, tetapi juga
saluran komunikasi gamer, termasuk pencarian
dalam game dan forum atau komunitas game
online.
Metodologi penelitian saat ini berkontribusi
terhadap ekologi yang komunikatif. Meskipun
sebagian besar studi tentang ekologi
komunikatif didasarkan pada metodologi
kualitatif dengan pendekatan etnografi,
penelitian ini menggunakan teknik statistik
yang memberikan perspektif baru, lebih
jauh meneliti konsep ekologi komunikator
gamer yang diterapkan pada model
mediasi komunikasi. Model ini menawarkan
pemahaman mendalam tentang berbagai
interaksi antar variabel yang belum pernah
dieksplorasi sebelumnya. Interaksi semacam
itu mencakup peran genre permainan pada
penggunaan media, diskusi, dan partisipasi,
serta ekologi komunikator gamer tentang efek
286
pembelajaran atau peran permainan.
Meskipun penelitian Jung (2017) menggunakan
jenis survei cross-sectional, bukan desain
longitudinal atau komparatif, penelitian ini
menganalisis gamer dalam sampel nasional
dan mempertimbangkan tingkat komunitas
gamer. Penelitian ini mengarahkan kita untuk
meneliti mengapa dan bagaimana warga
pada komunitas gamer berperilaku dalam
cara tertentu mengenai kebijakan pemerintah
dan perilaku partisipatif, serta dinamika
antara komunitas dan anggotanya. Selain
itu, penelitian ini melihat aspek peran gamer
yang sebelumnya tidak dieksplorasi. Terdapat
pula peran aspek emosional, keterikatan
psikologis, dan persepsi identitas sehingga
penelitian ini menggunakan teori modal sosial.
Berbagai teori, seperti teori efek media, model
mediasi komunikasi, media ekologi dan media
baru (potensi demokrasi teknologi media
baru) digabungkan dalam penelitian ini agar
gambaran penelitian semakin jelas dan luas.
Oleh karena itu, pendekatan teoritis yang
digunakan dalam penelitian ini memungkinkan
kita dapat mengetahui kompleksitas ekologi
komunikatif gamer dan peran sosial gamer.
287