The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Creative, 2021-10-21 03:17:41

digital Book GAME-ONLINE-21-okt-OK

digital Book GAME-ONLINE-21-okt-OK

Selain itu, ada beberapa insiden pembunuhan
dan bunuh diri yang dipublikasikan secara
khusus terkait dengan depresi dan permainan
yang berlebihan. Penelitian Alex Golub dan
Kate Lingley (2008) tentang seorang remaja
di Tianjin, China yang melakukan bunuh
diri dan meninggalkan empat bukti tentang
keterikatannya dengan karakter Warcraft III.
Yang paling terkenal, pada 2002 ketika seorang
pria berusia 21 tahun melakukan bunuh diri saat
masuk Everquest. Ibunya mengatakan anaknya
telah berhenti dari pekerjaannya sehingga bisa
fokus bermain dan sudah menyerah dalam
hidupnya. Dia diusir karena tidak bisa membayar
sewa dan menghabiskan seluruh waktunya
di Everquest. Dia juga didiagnosis menderita
depresi dan gangguan kepribadian skizofrenia.
Sang ibu berusaha menuntut Verant Interactive,
perusahaan induk Everquest karena berpendapat
bahwa permainan tersebut bertanggung jawab
atas kematiannya. Para psikolog berusaha
mendefinisikan adanya kelainan di balik perilaku
ini. Karena, tidak ada pemahaman universal
tentang bagaimana psikopatologi dan kebiasaan
bermain yang berlebihan.

188

Young (1998) menjelaskan konsep tersebut sebagai
kecanduan fisik yang serupa dengan kecanduan
narkoba atau judi. game internet sering disebut
sebagai komponen utama penggunaan Internet
oleh penderita kelainan atau patologis. Sebuah
istilah yang digunakan peneliti game, Young,
menggambarkan patologi yang sangat mirip dengan
diagnosis Perjumpaan Patologis dalam Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-
IV-TR; American Psychiatric Association, 2000).
Karena ini adalah penjelasan pertama dan paling
banyak diterima, topik game yang berlebihan telah
dieksplorasi dan digambarkan sebagai kecanduan
oleh sejumlah peneliti, seperti Yee (2002), Chappell
dkk., (2006), dan Chuang (2006).

Meskipun adaptasi kriteria tersebut
berperan penting dalam penelitian
di bidang ini, dibutuhkan kriteria
diagnostik yang lebih spesifik untuk
mendiagnosis.

189

Saran awal Young (1998) untuk diagnosis kecanduan
Internet terdiri atas delapan dari sepuluh kriteria
spekulasi dari patologis di DSM-IV. Seseorang harus
memenuhi lima dari delapan kriteria yang dipinjam
untuk memenuhi ambang batas kecanduan Internet.
Kriteria tersebut, yaitu

a. Keasyikan dengan
Internet.
Usaha yang gagal sebelumnya

b.untuk mengurangi penggunaan
Internet.
c. Terus meningkatnya waktu
membuka Internet agar
merasa puas.
Menderita gejala emosional
d.karena mencoba mengurangi
penggunaan Internet.
e. Online lebih lama dari
yang direncanakan.

190

Namun, orang bisa memenuhi kriteria tersebut,
tetapi tidak mengalami gangguan fungsional yang
berkaitan dengan kebiasaan bermain game. Oleh
karena itu, Beard dan Wolf (2001) menambahkan
kriteria tambahan. Mereka baru bisa dikatakan
kecanduan jika memenuhi setidaknya satu dari
kriteria berikut.

a. Pekerjaan, pendidikan, atau
hubungan yang sebelumnya
terancam karena waktu yang
dihabiskan secara online, orang
tersebut telah berbohong tentang
penggunaan Internet dengan
menyembunyikan kebiasaan
Internet yang sebenarnya.

b. Menggunakan Internet untuk
menghindari masalah atau
perasaan buruk.

Griffiths (2010) mendefinisikan enam komponen inti
dari model kecanduan tradisional dan menjelaskan
bagaimana faktor tersebut berhubungan dengan
game. Pertama, kecanduan terdeteksi ketika
gamer tidak bermain, dia menderita. Modifikasi
mood terjadi saat seseorang menggunakan game
untuk melarikan diri atau pamer. gamer akhirnya
menentukan bahwa dia harus bermain lebih sering
untuk mendapatkan tingkat kepuasan yang sangat
memuaskan. gamer juga mudah tersinggung

191

atau murung jika tidak bermain untuk jangka
waktu tertentu. Konflik fungsional terjadi di
sekolah, pekerjaan, hubungan, atau kesehatan
fisik mereka. Mereka yang kecanduan juga bisa
kambuh dan berpotensi terjerumus kembali pada
kebiasaan tersebut.
Griffiths juga mencatat MMORPG dan game
browser Internet memang menciptakan
lingkungan game yang berpotensi membuat
pemain ketagihan. Salah satu penelitian awal
tentang kecanduan MMORPG dilakukan Yee
(2002) yang terinspirasi dari laporan bunuh diri
karena kecanduan MMORPG. Di tahun 2002,
Yee mensurvei secara online untuk memahami
perspektif para gamer tentang kebiasaan dan
sikap permainan mereka sendiri terhadap
kecanduan game online.

Hasilnya menunjukkan bahwa
hampir 40% dari sekitar
2.800 pria yang disurvei
menganggap dirinya
kecanduan permainan.

192

Yee (2002) mengklaim bahwa sebagian besar Y
gamer menderita ketergantungan dan gejala s
penarikan yang sama dengan ketergantungan k
zat. Hampir 15% dari 4.000 gamer yang disurvei p
dipastikan merasa cemas, mudah tersinggung, atau k
marah jika mereka tidak dapat bermain game saat d
mereka menginginkannya. Seperempat responden d
melaporkan merasa lebih baik tentang diri mereka te
saat bermain MMORPG Everquest. 18% mengakui m
bahwa kebiasaan permainan yang berlebihan telah s
mengakibatkan masalah akademis, kesehatan, S
keuangan, atau hubungan pribadi dengan orang m
lain. Yee (2002) mencatat korelasi negatif yang m
muncul antara harga diri dan kecanduan game E
yang digambarkan sendiri. k
b
m

Sekitar 10% responden setuju

merasa gagal saat kecanduan game.
Hampir sepertiga dari responden
melaporkan terus bermain Everquest,
bahkan ketika game. tersebut tidak
lagi menjadi pengalaman yang
menyenangkan.

Mirip dengan penjudi patologis yang mendapati
dirinya tidak dapat berhenti, bahkan saat
pertaruhan tidak lagi menyenangkan atau
menguntungkan.

193

Di tahun 2006, Yee (2006b) meninjau kembali
penelitian ini di situs web. Menurutnya, istilah
kecanduan tak lagi tepat untuk menggambarkan
permainan bermasalah dan label tersebut bisa
jadi merugikan. Bagi beberapa gamer, game yang
berlebihan bisa menjadi salah satu gejala dari
masalah psikologis lainnya.

Peneliti di industri video game juga telah
menunjukkan kekhawatiran atas meningkatnya
masalah kecanduan game. Pada Januari 2003,
Asosiasi Pengembang game Internasional
menyelenggarakan sebuah panel pembicara
untuk membahas konsep kecanduan game online.
Mike McShaffry (dalam Staehlin, 2003), seorang
pengembang game, membahas biaya besar yang
dihabiskan pada permainan sehingga berakibat
kecanduan. Hal itu terjadi juga pada penjudi
patologis, yang sulit berhenti karena merasa sudah
menghabiskan banyak uang untuk pertaruhan
meski tidak berhasil.

Bagi gamer yang kecanduan, katakanlah lebih dari
satu tahun mengembangkan karakter sehingga
telah memperoleh kekuatan atau posisi tertentu,
gagasan untuk berhenti pasti sulit karena dia
telah menghabiskan begitu banyak waktu dan
usaha. Jika permainan berakhir, semua waktu
yang dihabiskan untuk mengembangkan karakter
menjadi sia-sia.

194

Semakin lama gamer bermain, semakin sulit bagi
pemain melepaskan diri dari dunia maya tanpa
merasa seolah-olah telah terjadi kerugian besar
pada waktu yang diinvestasikan. Pola pikir ini yang
membuat gamer sulit berhenti. Meski hipotesis
bahwa game yang berlebihan mirip dengan judi
yang kompulsif dalam kelainan, terdapat peneliti
yang tidak setuju. Brown (1993) mengidentifikasi
enam kriteria yang penting untuk mendiagnosis
perilaku pertaruhan yang bermasalah, yaitu
toleransi, euforia, ciri khas, konflik, penarikan, dan
kambuh.

Ada beberapa bukti yang dapat melihat
pendekatan kecanduan terhadap masalah ini
dan ada beberapa instrumen penilaian untuk
game online yang berlebihan pada anak-anak.
Berdasarkan teori ini, Hagedorn dan Young
(2011) menjelaskan bahwa game sebagai sesuatu
yang tidak baik digambarkan oleh definisi DSM-
IV tradisional tentang kecanduan. Yee (2006b)
menambahkan gamer yang bermain berlebihan
sebenarnya mengalami berbagai tekanan
psikologis, termasuk kecemasan dan depresi
sosial.

195

Konsep lain ditawarkan, mencakup
komponen teori Bandura tentang
kognisi sosial, kegagalan untuk
mengatur sendiri, teori kognisi
disonansi yang disesuaikan, dan
teori sifat.

Seay dan Kraut (2007) menyelesaikan studi longitudinal
aktivitas game online di antara hampir 2.800 responden
selama 14 bulan untuk melihat gejala kecanduan
dengan mengeksplorasi bagaimana perilaku gamer
beradaptasi dan berubah selama periode waktu tertentu.
Selain menantang model kecanduan, Seay dan Kraut,
berhipotesis bahwa faktor utama yang mempengaruhi
perilaku game yang berlebihan adalah pengaturan
diri sendiri. Gagasan tentang pengaturan diri berasal
dari teori kepribadian kognitif sosial Bandura, yang
menggambarkan individu sebagai “proaktif, mengatur
diri sendiri, dan refleksi diri” daripada organisme reaktif
semata, yang hanya bereaksi oleh kejadian atau keadaan
eksternal.

196

Konsep pengaturan diri didasarkan pada
kemampuan seseorang untuk memantau dan
menyesuaikan tingkah lakunya sendiri. Kanfer (1970),
menggambarkan faktor utama yang berkontribusi
terhadap pengaturan diri ialah motivasi diri
(pengamatan dan kesadaran introspektif), evaluasi
diri (membandingkan waktu yang dihabiskan untuk
aktivitas satu dan lainnya), dan konsekuensi diri
(kemampuan untuk memberi penghargaan atau
hukuman sendiri).

Seay dan Kraut (2007) menemukan bahwa responden
yang melaporkan adanya defisit evaluasi diri lebih
rentan terhadap pengembangan perilaku game yang
bermasalah. Hasilnya juga menunjukkan bahwa
depresi mengurangi kemampuan seseorang untuk
mengatur diri sendiri. Jika seorang gamer sudah
menderita depresi, akan lebih sulit baginya untuk
mengatur sendiri permainan. Beberapa gamer,
khususnya anak-anak, memerlukan bantuan dalam
meningkatkan kesadaran akan perilaku yang
bermasalah. Meskipun informasi ini membantu
menggambarkan perkembangan perilaku permainan
yang berlebihan, temuan Seay dan Kraut berkaitan
dengan depresi, semakin memperumit debat
mengenai apakah permainan yang berlebihan
merupakan hasil atau gejala dari psikopatologi
(kelainan psikologis).

197

Davis (2001) mengajukan model perilaku kognitif
pada penggunaan Internet. Struktur model ini
menunjukkan bahwa kombinasi rasa malu, kognisi
maladaptif (seperti identifikasi bahwa seseorang
lebih berharga secara online daripada offline), dan
depresi adalah beberapa kualitas paling penting
yang dapat menyebabkan seseorang menggunakan
Internet secara patologis.

Peneliti lain percaya bahwa penyebab bermain
game yang berlebihan karena tidak diterima di
lingkungan nyata. Kim, Namkoong, dan Ku (2008)
menggunakan teori sifat sebagai kerangka kerja
untuk mengeksplorasi hubungan antara game
online dan tiga sifat (agresi, pengendalian diri,
dan narsisme) yang merupakan karakteristik
yang dianggap berisiko pada kecanduan game.
Para gamer yang melaporkan tingkat agresi dan
narsisme yang lebih tinggi lebih rentan terhadap
kecanduan.

Gamer yang memiliki tingkat
kontrol diri lebih tinggi
cenderung tidak bermain
berlebihan.

198

Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa beberapa
ciri termasuk neurotisme, yaitu kecemasan, agresi,
dan pencarian sensasi semuanya terkait secara
signifikan dengan gamer yang kecanduan. Sifat
pencarian sensasi sangat terkait karena game
online yang berlebihan akan membantu mengatasi
kebosanan atau keinginan. Temuan ini mendukung
beberapa bukti biologis yang menunjukkan
perubahan pada pusat kerja otak yang terkait
dengan game jangka panjang.
Teori sifat juga digunakan untuk membedakan
antara gamer antusias dan gamer yang berlebihan.
Charlton dan Danforth (2010) mengeksplorasi
perbedaan ini dan menemukan ketika gamer
kecanduan MMORPG, ia menunjukkan penurunan
ekstraversi, kesesuaian, stabilitas emosional,
dan daya tarik daripada mereka yang bermain
game hanya antusias tanpa konsekuensi negatif.

199

Hasil menunjukkan bahwa ciri-ciri
tersebut menyumbang 20% jenis
pada gamer yang kecanduan dan
hanya 2% jenis pada gamer yang
antusias.

Dikombinasikan dengan penelitian sebelumnya,
walaupun pengaturan diri dan ciri kepribadian
tertentu mempengaruhi tindakan pada game yang
berlebihan, hal tersebut tidak cukup menjelaskan
fenomena sepenuhnya.
Membandingkan MMORPG, game Browser
Internet, dan Permainan console, demografi
dan motivasi beragam di antara gamer antusias
bergantung pada game pilihan mereka. Untuk
memeriksa dan memahami perbedaan motivasi
dan psikopatologi yang spesifik pada gamer yang
kecanduan media game tertentu, penting untuk
memahami rincian permainan yang membuat
masing-masing pengalaman bermain menjadi
unik.

200

Meskipun ada sedikit perbedaan dalam estetika
dan mekanika di antara permainan individu,
komponen standar dapat ditemukan di setiap
MMORPG yang terkenal. Menurut World of
Warcraft game Guide yang diposting di situs
resmi game, proses bermain game dimulai
dengan menciptakan avatar. Avatar adalah
representasi virtual pemain dan merupakan figur
sentral di mana gamer akan berinteraksi dengan
dunia online. Awalnya, game meminta pemain
untuk memilih jenis kelamin, ras, dan keselarasan
mereka (baik atau jahat). Selanjutnya, pemain
harus memutuskan kelas, atau pekerjaan tertentu
yang akan dilakukan karakter. Jenis avatar yang
dipilih pemain menentukan peran pemain di dunia
dan mengharuskan gamer untuk mengadopsi
gaya bermain yang unik agar bisa berkembang
dalam permainan. Setelah pemain menciptakan
avatar, pemain terhubung ke dunia game dengan
pemain lainnya melalui Internet (World of
Warcraft game Guide).

201

Kebanyakan MMORPG mengandung sistem
peringkat yang dimainkan masing-masing pemain
karena karakternya menjadi semakin kuat.
Mereka yang berhasil adalah yang menyelesaikan
pencarian dan perburuan monster, membunuh
faksi-faksi yang bertikai, atau menemukan lahan
baru. Pemain akan naik ke tingkat yang lebih
tinggi, memiliki keterampilan baru, senjata,
dan persenjataan yang hebat. Pemain tingkat
tinggi berusaha mendapat senjata terbaik, dan
penghargaan yang lebih baik dibandingkan
dengan rekan mereka. Fritsch, Voigt, dan Schiller
(2006), menyebutkan bahwa kompetisi sosial
ini adalah komponen penting dari pengalaman
MMORPG.

Wadley, Gibbs, dan Benda (2007), mengungkap
meski peringkat ini dapat dicapai oleh pemain
secara individual, MMORPG dirancang secara unik
untuk mendorong interaksi sosial, kerja sama,
dan persaingan antarpemain lain di dunia game.
Pada tingkat yang paling dasar, pemain dapat
berinteraksi dengan pemain lain, baik dalam
kotak teks pada chat room, lewat avatar lain yang
mereka temukan, atau dengan menggunakan
mikrofon dan headset untuk berbicara secara
verbal dengan pemain lain.

202

Interaksi ini muncul dalam berbagai bentuk,
misalnya diabaikan pemain lain, berinteraksi
hanya jika diperlukan, ataupun berinteraksi
dengan tujuan bersosialisasi. gamer didorong
untuk bergabung dengan pemain lain dan bekerja
sama untuk mencapai tujuan bersama dan bekerja
melalui ruang bawah tanah (World of Warcraft
game Guide). Kelompok pemain ini sering kali
bersifat sementara dan mungkin berakhir saat
menyelesaikan pencarian tertentu. Namun,
aliansi ini terkadang permanen, yang sering
dikenal sebagai perkumpulan atau suku. Sistem
perkumpulan ini adalah salah satu aspek sosial
MMORPG yang paling penting menurut studi
oleh Chen, Sun, dan Hsieh (2008). Perkumpulan
itu mengembangkan kepribadian mereka sendiri
dan memiliki persyaratan anggota berdasarkan
tujuan.

Terdapat banyak

variasi di antara struktur
perkumpulan tersebut karena
beberapa perkumpulan lebih
kecil jumlahnya sehingga
menyebutnya sebagai
perkumpulan keluarga.

203

Seringkali terdiri dari para pehobi
gamer yang santai dari berbagai usia,
yang mencari kelompok pecandu game
untuk berbagi pengalaman bermain.
Mereka berharap dapat membangun
hubungan lewat game dan ingin
mendapatkan lingkungan yang ramah.

Pemain lain mungkin memilih untuk bergabung
dengan perkumpulan role-play. Anggotanya
adalah para pemain yang menganggap dirinya
avatar game dengan menciptakan pengalaman
yang benar-benar mendalam. Menurut Chen,
Sun, dan Hsieh (2008) pemain jenis ini biasanya
tidak fokus pada diskusi di dunia nyata dan
lebih tertarik mengorganisasi aktivitas sosial
dalam karakter atau mengembangkan sebuah
cerita untuk karakter mereka. Bagi gamer yang
lebih serius dalam bermain, mereka tertarik
untuk menyelesaikan konten game yang paling
menantang. Fritsch, Voigt, dan Schiller (2006)
menggambarkan perkumpulan ini sebagai gamer
hardcore yang mendedikasikan waktu lebih dari
seminggu kerja penuh waktu untuk kebiasaan
bermain mingguan mereka. Mereka biasanya
merupakan pemain dengan pencapaian tertinggi
dan terkuat di dunia game.

204

Setiap grup permainan menawarkan pengalaman
bermain yang sangat berbeda. Fritsch, Voigt, dan
Schiller (2006) memperhatikan bahwa pembuatan
avatar, pemilihan kelas, pilihan gaya bermain, dan
keanggotaan guild sangat penting bagi pengalaman
MMORPG dan memberi petunjuk mengenai motivasi
para gamer. game yang paling populer, Blizzard
Entertainment World of Warcraft, pada awalnya
diluncurkan pada November 2004 dan sekarang
memiliki basis pelanggan lebih dari 11,5 juta.

Demografi MMORPG

Berbeda dengan game konsol yang bersifat hiburan
dan lebih banyak dimainkan anak-anak, Williams
menemukan bahwa rata-rata pemain MMORPG
berusia 33 tahun. Sekitar 20% populasi MMORPG
adalah perempuan.

Menurut Chappelle dkk., (2006), sebenarnya
gamer wanita dewasa cenderung lebih banyak
menghabiskan waktu bermain MMORPG
dibandingkan dengan pria remaja. Pemain MMORPG
rata-rata akan menghabiskan waktu sekitar 25
jam per minggu di dunia maya, sedangkan sekitar
10% gamer MMORPG hardcore akan bermain lebih
dari 40 jam, menurut penelitian Joshua M. Smyth
(2007).

205

Motivasi Gamer MMORPG

Gamer MMORPG memiliki motivasi yang
berbeda untuk bermain. Yee (2006b)
mengidentifikasi tiga di antaranya, yaitu
prestasi, sosial, dan keterlibatan mendalam.
Motivasi didorong oleh hasil prestasi
dalam keinginan untuk kemajuan karakter,
pemahaman, dan eksploitasi mekanika
permainan, serta tingkat persaingan yang
tinggi. Motivasi yang diatur oleh faktor sosial
mencari interaksi melalui obrolan atau kotak
suara, percakapan santai tentang permainan
dan dunia nyata, pengembangan hubungan
sosial jangka panjang, dan rasa kerja sama
dalam tim.

Akhirnya, motivasi yang banyak dipengaruhi
oleh keterlibatan mendalam pada pemain
yang menilai eksplorasi geografis dunia, role-
playing, hubungan yang kuat dengan avatar,
dan rasa pelarian. Meskipun semua gamer
termotivasi oleh semua faktor itu hingga
tingkat tertentu, Yee (2006b) menemukan
bahwa faktor-faktor yang dijelaskan

206

cenderung sama. Meskipun teori tentang motivasi
gamer dapat membantu memahami penyebab
gamer kecanduan MMORPG, sangat penting bagi
peneliti untuk mendengarkan perspektif gamer.

Chappell dkk., (2006) menggunakan forum online
untuk mendapatkan data kualitatif tentang
pengalaman pemain MMORPG. Awalnya, banyak
orang tertarik pada ide dan mekanisme di balik
permainan. Salah satu peserta berpendapat bahwa
bermain MMORPG tidak seperti pengalaman
bermain game lain karena gamer ‘direndam’ dalam
dunia yang benar-benar terbuka, dan pemain
secara bebas dapat menciptakan cerita bagi avatar
masing-masing. Peserta lain menjelaskan,

“Saya merasa bebas, bebas dari
kendala dan pedoman, bebas
menciptakan jalan karakter
saya sendiri, bukan mengikuti
jejak panduan strategi. Setiap
pencapaian adalah prestasi saya,
dan setiap prestasi membawa
kepuasan sejati.”

Kebebasan untuk mengeksplorasi dan menciptakan
dengan sedikit batasan terlihat sangat menarik
bagi gamer yang kecanduan atau tidak puas di
dunia nyata mereka.

207

Kebutuhan Sosial dan MMORPG

MMORPG dapat menjadi tempat di mana
seorang pemain dapat memiliki sejumlah
teman atau kenalan sekaligus banyak dalam
waktu singkat dibanding di kehidupan nyata.
Responden lain pada penelitian Chappell dkk.,
(2006) menjelaskan bahwa terdapat pemain
yang setelah pindah ke sebuah kota lain karena
menunaikan tugas yang bersifat sementara,
menjadikan MMORPG sebagai salah satu
dari sedikit cara untuk menjaga konektivitas
sosialnya. Penelitian Porter, dkk. (2010)
menunjukkan bahwa walaupun bisa berteman di
lingkungan MMORPG, gamer tersebut memiliki
lebih sedikit teman di dunia nyata.

Kualitas hubungan pertemanan dalam
permainan MMORPG cenderung rendah karena
anonimitas di balik avatar. Hussain dan Griffiths
(2008), mengeksplorasi interaksi antara pemain
game online. Jika interaksi tidak berjalan baik,
pemain cukup memasukkan perintah untuk
mengabaikan komunikasi dari pihak lain dengan
mekanisme log off, atau membuat avatar baru

208

yang akan memiliki riwayat baru dan bersih dari ‘sosial
online’.
Berinteraksi jadi lebih mudah karena seluruh pemain
memiliki kesempatan yang sama melalui teknologi game
untuk dengan mudah membangun sebuah hubungan.
Kemudahan ini mungkin sangat menarik bagi mereka yang
berjuang untuk menciptakan atau memelihara hubungan
di dunia nyata karena kecemasan sosial atau defisit
keterampilan sosial. Beberapa gamer percaya bahwa
hubungan yang terbentuk dan terjaga melalui MMORPG
dapat bermanfaat, memperkaya, dan sama pentingnya
dengan hubungan yang terbentuk di dunia nyata.
Selanjutnya, 28% responden mengatakan bahwa bermain
game online memenuhi beberapa jenis kebutuhan sosial
yang tidak terpenuhi dalam kehidupan nyata. Seorang
responden berkata,

“Saya bisa pergi ke mana saja
dan berbicara dengan siapa
pun dan tidak merasa aneh.”

209

Satu dari lima responden gamer lebih menyukai
sosialisasi virtual dibandingkan interaksi tatap
muka dunia nyata. Responden lain mencatat bahwa

“Orang lebih terbuka untuk saling
menerima. Baik atau buruk, Anda
dinilai berdasarkan bagaimana Anda
berinteraksi dengan peserta lain,
bukan pada penampilan fisik.”

Suasana penerimaan yang ditemukan di MMORPG
menambah daya tarik sosialnya, terutama bagi
mereka yang kurang memiliki keterampilan
sosial di dunia nyata. Karena terbentuknya
hubungan dalam game ini, muncul kesadaran
untuk melakukan sosialisasi dan interaksi di luar
bermain game MMORPG. Para gamer bisa berteman
dengan menyelesaikan pencarian bersama atau
mendapatkan pujian dari para gamer lain karena
peralatan atau kekayaan yang diakumulasikan
karena melakukan permainan yang berlebihan.
Responden lain menggambarkan bahwa daya tarik
sosial dapat lebih memikat daripada permainan itu
sendiri.

210

Apalagi kesempatan untuk
bergabung dalam permainan
serupa, lalu menjadi anggota baru
di komunitas tersebut di dunia
nyata lainnya menjadi sangat
membanggakan.

Pengalaman unik berpartisipasi dalam MMORPG
menciptakan sebuah ruang dimana responden
mampu membentuk hubungan intim dan berbagi
kemenangan, serta perjuangan dengan sebuah
kelompok. Tanggapan ini juga menunjukkan bahwa
sosialisasi tidak terbatas pada isu-isu terkait
permainan, tetapi sering kali terbentuk berdasarkan
diskusi tentang dunia nyata. Cole dan Griffiths
(2007) melakukan penelitian tentang berbagai
interaksi sosial dan dampaknya terhadap pemain
dalam komunitas MMORPG. Keduanya menyebarkan
kuesioner online yang berisi berbagai pertanyaan
tentang pengalaman sosial saat bermain MMORPG
terhadap seribu gamer dari 45 negara berbeda.

211

Hasil menunjukkan bahwa banyak gamer
menganggap hubungan sosial yang mereka
bangun melalui online adalah hubungan yang
sangat serius. 3/4 gamer yang menanggapi
penelitian ini mengatakan bahwa mereka merasa
telah berteman baik melalui partisipasi dalam
permainan game online. Hampir setengah
responden mengatakan bahwa mereka percaya
bahwa teman online mereka sebanding dengan
teman sejati mereka di dunia nyata.

Beberapa interaksi

ini tampaknya membawa beban
emosional yang sama seperti
hubungan lainnya, termasuk
hubungan romantis. Sekitar 1/3
dari responden mengatakan bahwa
mereka merasa tertarik secara
romantis pada pemain lain.

10% dari pemain ini telah memulai hubungan
fisik dunia nyata dengan pemain lain sebagai
hasilnya. Hampir 40% dari mereka yang
disurvei menunjukkan bahwa mereka merasa
lebih nyaman berbagi dan mendiskusikan
masalah pribadi yang sensitif dengan
teman online mereka dibandingkan dengan
percakapan yang sama dengan teman
kehidupan nyata mereka.

212

Dampak Bermain bagi
Kesehatan

Sebagian besar penelitian tentang permainan
yang berlebihan berfokus pada aspek kelainan
psikologis. Namun, terdapat juga penelitian
tentang risiko kesehatan yang berbeda-beda
sebagai akibat bermain MMORPG berlebihan.
Smyth (2007) menemukan kesehatan fisik yang
bermasalah berkaitan dengan bermain MMORPG.
Dalam penelitian ini, mahasiswa ditugaskan
ke salah satu dari beberapa kelompok untuk
bermain game hanya pada satu media permainan.
Kelompok yang bermain MMORPG melaporkan
bahwa mereka menghabiskan lebih banyak
waktu untuk bermain game daripada yang
diminta. Pemain MMORPG memiliki kesehatan
fisik yang buruk, kualitas tidur rendah, dan
pola makan yang kurang sehat dibandingkan
dengan kelompok gamer lainnya. Risiko fisik ini,
ditambah dengan risiko psikologis sebelumnya,
mendukung posisi bermain MMORPG yang
berlebihan dapat menjadi masalah kesehatan
serius, yang harus segera diatasi.

213

Internet Browser Gaming

meski juga dimainkan secara online,
berbeda dari MMORPG yang berdiri
sendiri. Permainan ini biasanya
bebas dimainkan. Meskipun beberapa
permainan memiliki fungsi toko online
built-in, di mana dolar dunia nyata
dapat digunakan untuk membeli barang
dalam game dengan cepat.

Dalam artikel yang mengeksplorasi daya tarik permainan browser,
Klimmt, Schmid, dan Orthmann (2009), menyebutnya sebagai
”easy-in, easy-out” karena fleksibilitasnya. gamer dapat log on
dan bermain kapanpun mereka mau dan menjadi produktif, bahkan
jika mereka hanya bisa bermain selama 5 menit setiap kalinya.
Permainan browser biasanya mengharuskan pengguna untuk
masuk, membuat keputusan pengelolaan permainan, kemudian
menunggu periode waktu tertentu sebelum pemain dapat masuk
kembali dan melihat
hasil keputusan
sebelumnya. Misalnya,
di Farmville, gamer
memelihara peternakan
virtual lengkap dengan
tanaman, hewan, dan
fasilitas sebagaimana
penelitian Wei dkk.
(2010).

214

Game dan Kualitas Hidup P
m
Penelitian ini ingin mengeksplorasi beberapa hal. b
Pertama, menentukan bagaimana permainan yang P
berlebihan atau kecanduan dapat diukur dengan pasti, b
melalui kombinasi beberapa instrumen dan alat untuk y
memberikan definisi bermain game online secara k
berlebihan yang lebih utuh. d
k
Kedua, faktor tambahan, termasuk kecemasan sosial, i
depresi, dan kualitas hidup diperiksa untuk mencoba u
membuktikan apakah permainan yang berlebihan paling d
baik dikonseptualisasikan sebagai kondisi psikologis o
yang terpisah atau gejala patologi lainnya. y

Akhirnya, perbedaan patologi di berbagai jenis gamer K
online diperiksa untuk melihat apakah kecemasan atau t
depresi sosial dapat diprediksi sebagai akibat bermain
game yang berlebihan di media game tertentu.

Beberapa penelitian

mengeksplorasi hubungan antara
tingkat keparahan kecemasan
sosial dan gejala depresi di
kalangan gamer MMORPG.

215

Hussain dan Griffiths (2008) menyampaikan bahwa
MMORPG memiliki komponen sosial yang signifikan.
Penelitian sebelumnya menyarankan agar gamer
MMORPG menggunakan game untuk mendapatkan
kebutuhan sosial dunia nyata yang tidak terpenuhi. Ada
harapan bahwa skor kecemasan sosial akan menjadi
lebih tinggi pada gamer MMORPG yang berlebihan.
Namun, hasil menunjukkan bahwa kecemasan sosial
bukanlah prediktor kuat dari keparahan bermain game.
Kenyataannya, skor game yang berlebihan juga tidak
dapat mengukur kecemasan sosial. Hasil ini kebalikan
harapan yang dinyatakan dalam hipotesis.

Skor depresi dimasukkan dalam hipotesis dengan tujuan
menyoroti bagaimana patologi yang berbeda dapat
menjadi prediktor yang lebih baik dari permainan yang
berlebihan pada pemain MMORPG. Sangat mengejutkan
bahwa skor depresi sebenarnya adalah prediktor yang
jauh lebih kuat daripada kecemasan sosial untuk tingkat
keparahan bermain yang berlebihan di antara gamer
MMORPG.

Hasil ini mendukung klaim bahwa

walaupun kombinasi skor depresi dan
kecemasan sosial adalah prediktor
perilaku game yang cukup kuat,
depresi adalah prediktor perilaku
game yang paling signifikan.

216

Di antara para gamer browser Internet, kecemasan
sosial dan depresi bahkan merupakan prediktor yang
lebih kuat dari skor game yang berlebihan daripada
pemain MMORPG. Depresi dapat menjadi prediktor
perilaku game yang lebih signifikan karena skor
depresi menyumbang hampir tiga kali lipat varian
skor game yang berlebihan daripada kecemasan
sosial. Temuan ini mendukung pernyataan Seay
dan Kraut (2007) gamer yang mengalami depresi
memiliki kemampuan mengurangi pengaturan diri.
Oleh karena itu, mereka rentan tergelincir ke dalam
kebiasaan permainan yang berlebihan. Kejadian ini
dapat dijelaskan oleh sifat ”easy-in, easy-out”.

Menurut Klimmt, Schmid, dan Orthmann (2009),
para gamer secara alami menjadikan game sebagai
«pembunuh waktu.» Para gamer yang hidup dengan
depresi memiliki kecenderungan kurang aktif
sehingga menghabiskan lebih banyak waktu duduk
di rumah dengan santai mengikuti permainan «easy-
in, easy-out» yang tidak memerlukan komitmen
waktu lama dan dapat dimainkan secara lebih pasif,
dibandingkan dengan media game lainnya yang
dieksplorasi dalam penelitian ini.

217

Pemain game browser Internet yang bermain berlebihan
mungkin mengisolasi diri, cenderung tidak produktif
(malas melakukan pekerjaan rumah, latihan olahraga,
pergi ke acara sosial), menjadikan permainan browser
Internet sebagai mekanisme pelarian. Temuan ini
mendukung penelitian sebelumnya bahwa mereka
menggunakan game sebagai strategi mengelola
sejumlah masalah psikologis. Namun, berbeda dengan
gamer MMORPG, skor kecemasan sosial merupakan
prediktor yang signifikan terhadap tingkat keparahan
bermain game yang berlebihan dalam game browser
Internet.

Hasil ini sangat mengejutkan karena game browser
Internet tidak membutuhkan interaksi sosial yang lebih
daripada MMORPG. Mungkin karena MMORPG lebih
banyak dipilih orang-orang yang tidak ingin berinteraksi
sosial. Namun, sebenarnya baik gamer browser Internet
maupun MMORPG yang kecanduan, menghindari
interaksi sosial di dunia nyata.

vs

Gamer yang Gamer yang tidak
berlebihan = 48 jam berlebihan = 33 jam
sebulan bermain game.
sebulan.
218

Tampak bahwa gamer yang kecanduan menghabiskan
waktu bermain lebih banyak daripada gamer yang tidak
kecanduan. Ini merupakan kriteria yang layak dievaluasi
saat menilai seberapa sehat kebiasaan permainan
seseorang. Meskipun cukup jelas, perlu dicatat bahwa
ada sejumlah responden yang bermain 48 jam atau lebih
dalam sebulan, tetapi tidak kecanduan. Hal ini sejalan
dengan penelitian Lafrenière dkk., (2009), menyatakan
beberapa gamer dapat bermain lebih dari 50 jam dalam
sebulan tanpa ditemukan konsekuensi negatif. Oleh
karena itu, jumlah waktu bermain bukanlah kriteria yang
tepat untuk menentukan gamer yang berlebihan.

Secara keseluruhan, kualitas hidup antara gamer yang
kecanduan lebih rendah dibandingkan mereka yang
tidak kecanduan. gamer yang kecanduan melaporkan
penurunan terhadap kesehatan, jam tidur, hubungan
pribadi, keamanan finansial, dan penampilan mereka.
Sejalan dengan penelitian sebelumnya, bahwa gamer
memiliki masalah pada kecemasan, depresi, dan
konsekuensi sosial yang lebih banyak. Temuan ini
mendukung gagasan bahwa gamer yang berlebihan
berpotensi hidup dengan berbagai keluhan dan
konsekuensi psikologis.

Penambahan kriteria dari Beard dan Wolf (2001),
serta penurunan fungsional akan lebih akurat

219

mengidentifikasi mereka yang mengalami konsekuensi
negatif akibat kebiasaan bermain game. Hasilnya
menunjukkan bahwa gamer yang berlebihan, yang
memenuhi kriteria ini dinilai secara signifikan lebih
tinggi dibanding gamer yang tidak kecanduan. gamer
yang kecanduan secara signifikan lebih cenderung
bermain lebih lama, berbohong tentang kebiasaan
bermain game, menggunakan game sebagai strategi
penghindaran untuk melakukan interaksi, kesal atau
marah saat tidak dapat bermain, dan tidak berhasil
untuk berhenti bermain.

Secara keseluruhan,

gamer yang kecanduan hampir dua
kali lebih banyak mengalami gejala
kecemasan depresi sosial.

Kecemasan sosial adalah konsekuensi terlemah dari
perilaku gamer, berlebihan atau tidak. Gejala depresi
cenderung sementara dan terlihat lebih jelas saat
seseorang mengalami kecanduan, sedangkan sifat
kecemasan sosial lebih konstan. Hasil ini, khususnya
adalah indikator terkuat dalam menunjukkan bahwa
kebiasaan bermain game yang berlebihan mungkin
merupakan gejala atau bagian dari disfungsi psikologis
yang lebih besar– terutama depresi. Meskipun tidak
mungkin untuk membuktikan sebab akibat yang

220

berkaitan dengan psikopatologi dan perilaku permainan
yang berlebihan, hasil analisis memberikan wawasan
tambahan yang terus berlanjut untuk menemukan
jawaban yang dapat ditindaklanjuti terhadap tiga
pertanyaan.
Gangguan fungsional adalah satu-satunya item
diagnostik yang dapat membedakan secara akurat game
yang berlebihan. Sekarang jelas bahwa dokter harus
bertanya tentang gangguan fungsional saat menilai
kebiasaan bermain game yang berlebihan karena
penambahan kriteria ini berhasil mengidentifikasi
keparahan kebiasaan bermain game yang berlebihan
atau kecanduan.

Tujuan menyeluruh kedua

dari proyek ini adalah untuk
memeriksa psikopatologi di
kalangan gamer yang berlebihan
di beberapa media game.

221

Hasilnya, kecemasan sosial tampaknya tidak berperan
sekuat peran saat memikirkan game yang berlebihan.
Bukti dengan hasilnya akan menunjukkan bahwa
kecemasan sosial mungkin memberi kontribusi pada
gamer yang kecanduan, tetapi ini jelas bukan yang
utama. Temuan ini bertentangan dengan stereotip si
kutu buku yang hanya bermain dan tidak memiliki
keterampilan atau keinginan untuk kontak sosial.
Seperti penelitian Davis Chappell (2006), demografi
gamer berubah. Bahkan individu yang profesional pun
rentan terhadap masalah game yang berlebihan.

Seiring berkembangnya masyarakat dan teknologi,
penting untuk tidak membuat asumsi tentang
kecanduan game. Kecemasan sosial ternyata
prediktor yang lemah dari kebiasaan bermain game
yang berlebihan. Justru depresi adalah prediktor
terkuat. Secara konsisten dan di semua media game,
depresi tampaknya memainkan peran yang sangat
berpengaruh dalam laporan kebiasaan bermain
game yang berlebihan. Awalnya, ditambahkan ke
dalam penelitian ini untuk dijadikan perbandingan
seberapa jauh tingkat kecemasan sosial yang
akan berpengaruh. Skor depresi akhirnya menjadi
prediktor game yang paling kuat.

222

gamer yang berlebihan

tampaknya mengubah paradigma
bermain game dari aktivitas yang
menyehatkan dan menyenangkan
menjadi pelarian, pengisi waktu
saat bosan, bahkan kewajiban.

Sulit menentukan apakah kebiasaan bermain
game yang berlebihan terjadi sebelum depresi
atau sebaliknya dalam penelitian ini, tetapi
penelitian selanjutnya bisa mengeksplorasi
hubungan tersebut secara lebih terperinci.
Meski terdapat beberapa perbedaan kecil dalam
demografi gamer, tampaknya permainan yang
berlebihan lebih berkaitan dengan patologi dan
keadaan individual daripada media pilihan game.
Karena pada dasarnya, tidak ada perbedaan
signifikan dalam kecemasan sosial dan skor
depresi gabungan antara MMORPG, browser
Internet, dan game konsol online, terlepas
dari status gamer yang berlebihan atau tidak
berlebihan.

223

Namun, pengecualian terhadap psikopatologi
umum di media, yaitu gamer browser Internet yang
berlebihan, secara signifikan lebih tertekan daripada
dua lainnya. Penelitian di Barat menunjukkan bahwa
gamer browser Internet lebih depresif dibandingkan
gamer lain. Posisi kedua gamer paling depresif
adalah MMORPG. Ini menunjukkan bahwa gamer
browser Internet mungkin memiliki risiko lebih
besar untuk mendapatkan gejala depresi, mengingat
mereka mungkin menggunakan media sosial, atau
chatting di saat sedang bermain game.

gamer online yang

berlebihan melaporkan kecemasan
sosial lebih banyak daripada
gamer online yang tidak
kecanduan. Namun, kecemasan
sosial bukanlah prediktor
signifikan dari game yang bisa
membuat kecanduan.

Hasil ini harus mendorong dokter untuk mengajukan
pertanyaan tentang kecemasan sosial, depresi, atau
kualitas hidup agar mendapatkan gambaran yang
lebih lengkap tentang pemain game yang kecanduan.

224

Singkatnya, jelas bahwa gamer yang berlebihan berisiko
mengalami berbagai konsekuensi psikososial negatif
yang mencakup depresi, kecemasan sosial, masalah
kesehatan fisik, hubungan yang buruk, tekanan
finansial, dan kebiasaan tidur yang tidak memuaskan.
Tampaknya, apa pun jenis game-nya, konsekuensi
psikososial ini tampaknya lebih merupakan fungsi dari
perilaku game yang berlebihan daripada dipengaruhi
oleh mekanisme game tertentu. Karena gamer yang
berlebihan melaporkan berbagai keluhan hidup,
penilaian menyeluruh yang mengambil pendekatan
holistik dapat memberikan hasil yang lebih kuat. gamer
yang kecanduan biasanya tidak melaporkan masalah
dengan game mereka. Malah mereka terganggu oleh
kehidupan di luar game mereka.

Karena generasi yang terpapar dan terhubung dengan
teknologi dan permainan video pada usia muda, dokter
sebaiknya mulai mempertimbangkan game sebagai
hobi yang bisa diterima secara luas oleh orang-orang
dari segala usia, ras, jenis kelamin, dan kelas, seperti
olahraga, bermain alat musik, scrapbooking, atau
hobi lain yang dapat diterima secara sosial. Seorang
klinis harus memahami bahwa semua hobi ini sama-
sama tidak berbahaya, tetapi bisa mengganggu fokus
terhadap diri mereka.

225

Bab 6
Kecanduan
Internet pada

Siswa

226

Penelitian mengenai kecanduan
Internet pada siswa dilakukan
pada siswa Taiwan, dengan melihat
perbandingan cross-sectional
harapan siswa, permainan online, dan
interaksi sosial berbasis online.

Penelitian oleh Lee, Ko dan Chou (2015) ini
menggunakan teori harapan (expectancy theory)
untuk menjelaskan hubungan antara harapan
terhadap Internet dan kecanduan Internet di
kalangan remaja. Hasilnya menunjukkan bahwa
Internet memprediksi sikap siswa terhadap
permainan online dan interaksi sosial online
yang menggambarkan preferensi masing-masing
perilaku tidak terkontrol dan kecanduan Internet.
Efek tidak langsung dari Internet lebih tinggi
pada kecanduan Internet melalui sikap individu
terhadap permainan online. Efek tidak langsung
menunjukkan dampak yang lebih besar pada anak
laki-laki daripada anak perempuan.

227

Para peneliti dunia (dalam Lee, Ko, dan Chou
(2015)), seperti Greydanus (2012); Andersson,
Ljotsson dan Weise (2011); serta Chou dan Peng
(2007), Chou, Wu, dan Chen (2013), dan Chou,
Yu, Chen, dan Wu (2009), mengatakan Internet
adalah salah satu bentuk media terpenting yang
merevolusi pembelajaran remaja dan komunikasi
sosial abad ke-21. Menurut Griffin, McGaw, dan
Care (2012), Internet tidak hanya memberikan
beragam informasi, tetapi juga menyediakan arena
interaksi sosial, bahkan keterampilan Internet
telah menjadi kompetensi utama abad 21.

Meskipun bermanfaat,

penggunaan Internet yang
berlebihan mengakibatkan
konsekuensi negatif. Beberapa
tahun terakhir, kecanduan Internet
telah berkembang sebagai topik
penelitian utama.

228

Young (1998) mengungkapkan bahwa kecanduan
Internet ditandai dengan penggunaan Internet
yang tidak terkontrol sehingga mengakibatkan
gangguan dan disfungsi psikologis dalam
kehidupan sehari-hari. Leung menambahkan,
jika digunakan dengan benar, Internet memiliki
hubungan positif dengan kesuksesan dan kualitas
hidup yang lebih baik. Sementara itu, Leung dan
Lee (2012) telah menemukan hubungan langsung
antara literasi informasi dan gejala kecanduan
Internet.

Kecanduan Internet

Kecanduan Internet dikenal dengan beberapa c.
nama lain, seperti penggunaan Internet yang
berlebihan, penggunaan Internet yang patologis,
penggunaan Internet kompulsif, dan gangguan
kecanduan Internet. Peneliti dari Amerika, Block
(2008) mengidentifikasi tiga subtipe kecanduan
Internet:

a. b.

Melakukan Keasyikan Email/pesan
permainan yang seksual teks dengan
teman yang
berlebihan. (melihat video berlebihan.
porno).

229

Namun, hanya gangguan game Internet yang
tercantum dalam Bagian III dari edisi terbaru Manual
Diagnostik dan Statistik Mental Disorders (DSM-
5; American Psychiatric Association 2013) yang
memerlukan penelitian lebih lanjut sebagai syarat
sebelum dapat dimasukkan sebagai gangguan formal.
Penelitian oleh Ng dan Wiemer-Hastings (2005) dan
Yang dan Tung (2007) dari Cina tentang kecanduan
Internet, mendokumentasikan efek negatif pada anak-
anak dan remaja, seperti gangguan dalam rutinitas
sehari-hari dan tugas sekolah, kemerosotan dalam
hubungan interpersonal dan keluarga, gejala depresi,
niat bunuh diri, agresi, isolasi sosial, perilaku obsesif-
kompulsif, dan self-efficacy rendah.

230

Tingkat prevalensi kecanduan Internet telah ditemukan
berkisar antara:

26,3%
20,3%

11,8%

Eropa Asia Amerika
Serikat

Tingkat prevalensi yang bervariasi dalam penelitian
mencerminkan kriteria diagnostik yang akan
memengaruhi rekomendasi program pencegahan yang
perlu disiapkan.

231

Teori Harapan dan
Ketergantungan terhadap
Internet

Teori Harapan menjelaskan ketergantungan terjadi
karena ada ‘ekspektasi’ dari individu terhadap
biaya dan dampak dari aktivitas bermain (West
dan Hardy, 2005). Menurut Lin, dkk. (2008), ketika
harapan tersebut berbuah manfaat positif, terjadi
proses kecanduan karena terjadi penurunan self-
efficacy untuk melawan penggunaan Internet.
“Harapan” dapat berkontribusi pada perilaku
adiktif melalui ingatan, sikap implisit, dan
preferensi perilaku berdasarkan penelitian Reich,
Below, dan Goldman (2010).

Penelitian Lee, Ko, dan Chou (2015) di Taiwan
melibatkan 2.253 siswa kelas lima yang
menemukan bahwa siswa memiliki harapan
atau ekspektasi positif tentang Internet dan
menganggapnya sebagai gadget multifungsi yang
membantu mereka:

- Melaksanakan proyek sekolah
- Memperoleh hiburan
- Terhubung dengan tema
- Mengungkapkan diri mereka sendiri.

232

Harapan positif terhadap penggunaan
Internet tersebut kemudian dikaitkan dengan
penggunaan Internet yang intensif, seperti
yang ditunjukkan oleh penelitian Durndell
dan Haag (2002).

Jika anak-anak

mengharapkan lebih banyak
keuntungan dari Internet,
mereka akan menghabiskan lebih
banyak waktu menggunakan
Internet sehingga berpotensi
kecanduan Internet.

233

Game Online, Interaksi Sosial
di Online, dan Kecanduan
Internet

Seiring dengan harapan positif yang meningkat,
remaja berpartisipasi lebih aktif secara online
dan menggunakan lebih banyak aplikasi Internet.
Penggunaan game online dan media sosial yang
ditemukan oleh peneliti memiliki indikasi penggunaan
yang berlebihan sebagaimana temuan peneliti dari
Eropa, seperti Tsitsika, dkk. (2008), van Rooij,
Schoenmakers, van de Eijnden, dan van de Mheen
(2010).

Menurut hasil penelitian Festl, Scharkow, Quandt
(2013) dan Kuss dan Griffiths (2012), game online
mengandung ancaman adiktif yang tinggi pada anak-
anak dan remaja. Yee (2006) menemukan bahwa
potensi prestasi yang diraih dan hubungan sosial
yang terjalin adalah komponen yang mendorong
gamer online memiliki perspektif positif.

Selanjutnya, Shek, Tang, dan Lo (2008) menemukan
bahwa keterlibatan dalam game online meningkatkan
risiko kecanduan Internet berdasarkan analisis
regresi logistik terhadap 6.151 siswa China usia 11–18
tahun. Ini menunjukkan bahwa tingkat kecanduan
game online pada remaja semakin meningkat.

234

Smahel, Brown, dan Blinka (2012) menyatakan
Internet telah membuka alternatif cara untuk
memperluas jaringan sosial dan membangun,
serta mempertahankan pertemanan. Hal itu
mendorong orientasi yang lebih kuat untuk
berteman secara online, mencari bantuan dari
teman online, dan mengungkapkan aspek diri
pengguna secara online.

Namun, menurut peneliti dari Eropa dan Amerika
seperti Bonetti, Campbell dan Gilmore (2010),
Kuss dan Griffiths (2011), dan Rosenbaum dan
Wong (2012), peningkatan penggunaan aplikasi
sosial, seperti pesan instan atau situs jejaring
sosial mengakibatkan kesepian dan penurunan
partisipasi sosial, serta prestasi akademis.
Hal tersebut merupakan indikasi kecanduan
terhadap Internet.

Dengan demikian,

sikap positif siswa terhadap
komunikasi online dan orientasi
yang lebih kuat terhadap
banyaknya teman online dapat
menyebabkan kecanduan Internet.

235

Perbedaan Jenis Kelamin dan
Usia pada Kecanduan Internet

Secara umum, lebih banyak anak laki-laki
daripada anak perempuan yang kecanduan
Internet. Gender juga memperlihatkan bahwa
laki-laki cenderung kecanduan game online,
sedangkan perempuan kecanduan interaksi
sosial melalui online. Selain itu, perbedaan
gender juga diamati dalam interaksi sosial
online dan pola game online di kalangan remaja.
Misalnya, anak laki-laki menggunakan situs
jejaring sosial (social network sites) lebih untuk
membentuk hubungan baru, sedangkan anak
perempuan menggunakannya lebih banyak
untuk mempertahankan hubungan, sebagaimana
penelitian oleh Muscanell dan Guadagno (2012).

236

Pembeda Anak Laki- Anak
laki Perempuan
Kecanduan Lebih sedikit
Internet Lebih banyak
Kecenderungan Interaksi sosial
kecanduan Game online secara online
Tujuan situs Mempertahankan
jejaring sosial Membentuk hubungan
hubungan baru

Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa
pola kecanduan yang dialami oleh anak laki-
laki dengan usia yang lebih tua, didorong oleh
rendahnya rasa puas terhadap kehidupan
mereka. Dengan bermain game, mereka
merasa memiliki prestasi yang tidak dimiliki di
kehidupan nyata. Menurut Ko, Chen, Chen dan
Yen (2005) hal yang sama tidak berlaku untuk
anak perempuan.

237


Click to View FlipBook Version