The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Creative, 2021-10-21 03:17:41

digital Book GAME-ONLINE-21-okt-OK

digital Book GAME-ONLINE-21-okt-OK

pada kelas tertentu dalam sebuah permainan online akan
dipandang memiliki karakteristik yang lekat dengannya.
Sebagai contoh, kalangan yang berangkat dari kalangan
menengah atas biasanya akan dinilai memiliki kemampuan
untuk dapat memenangkan sebuah permainan game
online dibandingkan mereka yang berasal dari kalangan
kelas bawah dan tidak bersekolah. Hal ini penting untuk
bergulirnya sebuah permainan online.

Cuff dan Payne (1981) dalam Perspective in Sociology
mengatakan bahwa proses penjulukan ini erat terkait
dengan proses sosialisasi yang terus-menerus dilakukan.
Sosialisasi menurut Becker (2003), merupakan sebuah
proses aktif yang akan mempengaruhi individu bertindak
pada masa yang akan datang.

Orientasi terhadap waktu juga
berpengaruh terhadap sikap
seseorang terhadap sebuah aksi,
yang nantinya akan mengekalkan
sebuah penjulukan.

Dalam kasus permainan game online, orientasi jangka
panjang terhadap peluang menjadi juara dan mendapatkan
insentif ekonomi berupa uang dari hasil kompetisi game,
serta pengakuan dari komunitas sebagai seseorang yang

88

“hebat” dalam game online, akan membuat pemain game
online terus mengukuhkan labelnya sebagai pecandu, yang
dalam definisi masyarakat di luar komunitas virtual dinilai
sebagai penyimpangan.

4. Perspektif Katarsis
Perspektif selanjutnya yang dapat dimanfaatkan adalah
perspektif katarsis.

Katarsis adalah kondisi di

mana seseorang mengekspresikan
emosinya secara memuncak untuk
membersihkan dirinya dari belenggu
kejiwaan tertentu.

Teori ini awalnya dicetuskan oleh Sigmund Freud
(Strickland, 2001), seorang psikoanalis. Dalam konteks
pekerjaannya sebagai seorang psikoanalis, menurutnya
situasi katarsis merupakan kondisi batin yang
penting demi menjamin kesehatan kejiwaan individual
bersangkutan. Apabila seseorang dapat mengekspresikan
renjana batinnya dan tidak menahannya setiap saat, maka
perasaan agresinya terhadap segala sesuatu justru dapat

89

dikurangi atau diredakan. Katarsis merupakan satu konsep
perubahan emosi mendadak yang mempunyai faedah untuk
memulihkan diri seseorang. Dalam hal ini, biasanya upaya
untuk menyalurkan atau melepaskan emosi dari kenangan
terkait masa lalu (Collin, 2011:99).

Katarsis lazim diekspresikan

melalui kesenian. Kesenian, dalam
kebudayaan Barat, lumrah dianggap
sebagai medium di mana ekspresi-
ekspresi kejiwaan yang gelap
ditumpahkan sekaligus sebagai
metode penyaluran kegusaran
emosional yang penting untuk
keberfungsian seseorang secara
kejiwaan.

Selain itu, katarsis bersifat sosial. Sosiolog Emile Durkheim
(1915) mengkonsepsikan bahwa katarsis yang difasilitasi
oleh keberadaan kelompok atau individu-individu lain
juga memberikan pengalaman luar biasa dan keajegan
emosional bagi seorang individu. Mekanisme ini penting
untuk kesehatan jiwa dan dipastikan setiap kelompok
memiliki cara-cara untuk melakukannya. Durkheim
merunut beberapa tahapan dalam katarsis sosial ini. Tahap

90

pertama, setelah sebuah peristiwa yang menggugah emosi
membuncah, orang-orang akan membagikan emosinya
kepada satu sama lain. Mereka akan saling menanggapi
dan memperkuat emosi yang lain. Pada tahap kedua,
katarsis mengarah pada integrasi sosial dan pengukuhan
keyakinan individual anggota kelompok tersebut. Pada
akhirnya, para anggota kelompok akan mendapatkan
suatu kepercayaan yang baru akan hidup, kekuatan, dan
kepercayaan diri.

Ilustrasi yang mudah kita

jumpai sebagai contoh katarsis
sosial adalah ekspresi keagamaan
seperti zikir. Dalam menjalankan
ritual keagamaan yang menggugah
emosi ini, seseorang biasanya tak
melakukannya sendiri. Ia akan
didampingi seorang ustad yang
memimpin doa, sementara umat
lainnya mengikutinya.

Dalam proses ini, emosi seseorang tergugah bukan sekadar
karena kalimat yang terlantun dalam doa itu sendiri. Ketika
satu orang mulai bersedih, yang lain akan ikut bersedih.
Pembawaan sang ustad pun akan sangat mempengaruhi

91

dan mengarahkan kondisi batin. Setelah zikir berakhir,
orang-orang yang mengikutinya akan mendapatkan
perasaan terbarukan. Orang-orang itu akan merasa
menjadi insan yang lebih siap menghadapi hidup dan
mengalami pencerahan. Kendati peneliti mencontohkannya
dengan zikir, banyak agama memiliki tradisi semacam
terkait katarsis.

Dalam penelitian ini, katarsis adalah pergeseran kejiwaan
yang juga dianggap dapat berlangsung melalui permainan
online.

Permainan online

memberikan sebuah ruang bagi
pemainnya untuk mencurahkan dan
merayakan sebuah emosi yang kuat
secara bersama-sama.

Di sana, pemainnya dapat melakukan pertempuran,
melawan musuh-musuh—sebuah lelaku penumpahan
dan peluapan emosi yang tempatnya hanya ada di
ruang permainan bersangkutan. Hal ini dimungkinkan
karena dilakukan bersama para pemain lain. Pada
saat emosi memuncak, ia akan mengalami pemuasan
dan peredaan tersendiri. Manakala mencapai sesuatu,

92

ia mendapatkannya bersama-sama yang lain atau
mengalahkan yang lain. Di sini, kita menemukan bahwa
ada satu hal yang terus-menerus memikatnya untuk
terlibat dan mengalami adiksi dengan permainan online
tersebut. Para pemain mencari sensasi yang lazim disebut
dengan katarsis ini.

Liu dan Chang (2016) dalam Jurnal Elsevier berjudul
Model of Online game Addiction: The Role of Computer-
Mediated Communication Motives menyebutkan bahwa
lingkungan virtual online memiliki peran untuk mengurangi
kecemasan karena para individu yang bermain game online
menggunakan permainan ini sebagai cara untuk melarikan
diri dari stres di kehidupan nyata. Hal ini terbukti dengan
sebuah kenyataan bahwa industri game terus tumbuh
bahkan di era resesi ekonomi.

5. Teori Insentif

Landasan teori selanjutnya adalah teori insentif. Dalam
teori yang telah diuji oleh sejumlah peneliti dari waktu
ke waktu ini, diasumsikan bahwa pada dasarnya manusia
termotivasi melakukan sesuatu karena adanya insentif dari
luar. Insentif ini akan diperoleh pada saat ia melakukan
satu tindakan tertentu. D. A. Bernstein (2011) menjelaskan
bahwa terdapat dua macam insentif yang senantiasa
mengarahkan satu insan dalam bertindak. Insentif pertama
adalah insentif positif yang akan mengarahkan seseorang

93

untuk melakoni satu tindakan. Sementara, insentif lainnya,
yakni insentif negatif memiliki pemahaman sebaliknya.
Kita dapat memahami penjelasan ini secara lebih mudah
dengan contoh terkait sistem pendidikan formal. Sistem
pendidikan formal, pada lazimnya, akan memberikan
nilai yang tinggi kepada mereka yang berprestasi dan
nilai buruk kepada mereka yang dianggap tidak sanggup
memahami apa yang diajarkan di ruang kelas.

Nilai tinggi tentunya akan
memudahkan mereka yang berprestasi
untuk melanjutkan pendidikan di
institusi yang lebih baik hingga
akhirnya memungkinkannya lebih
mudah mencari kerja.

Dalam hal ini, nilai tinggi merupakan insentif positif untuk
memancing mereka menjadi pelajar yang diharapkan
dalam sistem yang dibangun. Sementara itu, nilai rendah
yang merupakan insentif negatif atau disinsentif memiliki
manfaat untuk menjauhkannya dari perilaku-perilaku
seperti malas belajar yang tidak diharapkan dari seorang
pelajar.
Secara sederhana, dalam kata-kata Bernstein (2011:23)

94

sendiri, “Perbedaan dalam tingkah-polah dari satu orang
ke orang lainnya dari satu situasi ke situasi lainnya
dapat dilacak dari insentif yang terdapat dan nilai yang
disematkan oleh insan bersangkutan terhadap insentif-
insentif tersebut pada satu waktu.” Kata-kata Bernstein
tersebut juga menjelaskan bahwa teori ini tidaklah statis.
Kita tak dapat mengatakan bahwa ada satu insentif yang
berlaku untuk semua situasi.

Apa yang dianggap sebagai insentif
pada satu momen dan pelaku bisa
jadi berbeda dengan apa yang
dianggap sebagai insentif oleh
pelaku lain dan pada momen lainnya.
Nilai yang rendah, sebagai contoh,
tidak akan menjadi satu disinsentif
yang cukup kuat bagi para pelajar
yang memang tidak berniat
melanjutkan sekolah setelah jenjang
tertentu.

Kekhasan teori ini dipertegas oleh Hockenbury dan
Hockenbury (2003). Berbagai teori, khususnya dalam
ranah kajian motivasi mempunyai kecenderungan
menempatkan dorongan bertindak dalam diri individu.
Terkait hal ini, di antaranya adalah teori insting yang

95

menganggap dorongan bertindak berangkat dari insting
bawaan manusia. Teori lainnya adalah teori dorongan.
Teori ini menganggap tindakan diambil oleh manusia
untuk meredakan ketegangan internal tertentu yang
disebabkan kebutuhannya tak terpenuhi. Akan tetapi, teori
insentif menekankan bahwa dorongan bertindak tidaklah
semata berasal dari dalam, melainkan juga dari luar.
Dalam pengertian tertentu, individu tidaklah “terdorong”
melainkan “tertarik” untuk bertindak oleh tujuan-tujuan
kehidupan yang bekerja pada satu waktu. Penjelasan
Hockenbury dan Hockenbury (2003:55):

Dibangun di atas landasan
yang telah diletakkan oleh
teori dorongan, teori insentif
berkembang pada 1940-an dan 1950-
an. Teori insentif mengusulkan
bahwa perilaku didorong oleh
“tarikan” tujuan eksternal,
semisal penghargaan, uang, atau
pengakuan. Adalah hal yang mudah
memikirkan situasi-situasi di mana
tujuan tertentu, seperti kenaikan
jabatan, dapat berlaku sebagai
insentif eksternal yang membantu
mewujudnyatakan perilaku tertentu.

96

Dengan kata lain, teori ini memiliki kepekaan terhadap
konteks sosial yang senantiasa dikonstruksi oleh para
aktornya.

Salah satu kelemahan

dari teori yang bersifat
reduksionis atau menganggap setiap
tindakan manusia dapat dijelaskan
sebagai dorongan badaniah, biologis,
ataupun psikologis adalah tak
mengindahkan situasi sosial yang
tengah berlaku di luar individu
manusia itu sendiri.

Kita memang dapat menjelaskan rasa lapar sebagai daya
yang akan mendorong seseorang untuk makan, bekerja,
dan terlibat dalam aktivitas ekonomi. Akan tetapi,
persoalannya, penjelasan yang demikian tidak akan bisa
menjelaskan mengapa rasa lapar ini pada satu situasi
sosial tertentu memunculkan semangat pada orang-
orang untuk mencari pekerjaan dan pada konteks lain

97

menyebabkan pelaku lain memilih untuk mencuri.

Dengan menganggap bahwa insentif pendorong tindakan
dikonstruksi oleh keadaan eksternal—yang melibatkan
konfigurasi pelaku, momen, norma, dan situasinya masing-
masing—teori ini memungkinkan kesenjangan semacam itu
terjelaskan.

Rasa lapar akut tidak

selalu berakhir dengan tindakan
mencuri di antara orang-orang yang
sepanjang hidupnya telah membangun
reputasi baik pada insan-insan
yang dikenalnya karena ia akan
memberikan disinsentif yang
sangat buruk, yakni menghancurkan
keberadaan dirinya.

Namun, bagi seseorang yang dibesarkan dalam lingkungan
di mana mencuri menjadi satu norma dan bahkan tindakan
terpuji, mencuri justru memiliki insentif tersendiri baginya.
Terdapat satu alasan khusus lagi mengapa peneliti memilih
teori ini. Alasan tersebut terkait kesepadanan dengan
fenomena yang peneliti pilih. Dalam diskursus yang
berkembang di antara para pengembang video game itu

98

sendiri, sistem insentif sudah dikenal sebagai satu cara
yang efektif untuk mengisap pemain game terlibat di
dalamnya.

Dalam pengamatan peneliti, salah satu sistem yang paling
lama dan cukup populer di antara permainan-permainan
yang ada adalah sistem level. Apabila pemain dapat
mengalahkan musuh dan menyelesaikan petualangan
menantang sampai dengan taraf tertentu, ia akan
mencapai level selanjutnya yang lebih tinggi. Sistem ini
diadopsi dalam permainan populer seperti Mario Bros.

Dalam perkembangan selanjutnya, sistem level ini
dikembangkan dalam bentuk atribut tokoh yang dimainkan.
Apabila pemain dapat mengalahkan musuh-musuh dan
menyelesaikan tantangan sampai dengan jumlah tertentu
biasanya akan bertambah kemampuannya. Tokohnya akan
menjadi semakin kuat. Ia akan memiliki jurus-jurus baru
dan levelnya akan terus-menerus meningkat seiring dirinya
terus-menerus melampaui tantangan-tantangan baru.

Pada saat ini, seiring perkembangan
teknologi dan kompetisi sengit
industri video game, sistem level
ini sudah berkembang hingga
sedemikian beragam dan kompleks.

99

Dengan terhubungnya para pemain game melalui teknologi
Internet, pemain yang sudah berhasil mencapai level yang
tinggi kini bisa berarti ia sudah berada pada hierarki yang
tinggi di antara banyak pemain game lainnya.

Penulis melihat teori insentif tak secara diametris
bertentangan dengan paradigma interpretif dalam
penelitian sosial.

Penelitian ini berangkat

dari asumsi-asumsi interpretif dan
melihat bahwa konstruksi pemaknaan
dari dinamika, pergelutan, dan
drama para aktornya sebagai
penentu penting gejala sosial
bersangkutan.

Kendati teori yang terinspirasi dari penjelasan-penjelasan
yang bersifat psikologi ini tak sedikit yang tampaknya
cenderung positivistik—misalnya mereduksi dinamika
kemanusiaan menjadi dinamika stimulan dan respons
behavioristis—, tidak menutup kemungkinan bagi
peneliti untuk memperlakukan insentif sebagai variabel
yang berjalan karena dimaknai oleh para pelaku dalam
konteksnya.

Untuk membantu mengelaborasi poin ini, kita dapat

100

mengambil inspirasi dari gagasan Clifford Geertz (1973).
Kendati dianggap sebagai salah seorang perintis tradisi
interpretatif, ia tidak pernah menampik bahwa manusia
memiliki kecenderungan biologis, disposisi perseptual yang
mendorong tindakan dan memungkinkan kehidupannya
terselenggara. Mengejar insentif dalam hal ini anggap
saja merupakan bagian dari kecenderungan bawaan
manusia. Akan tetapi, pemaknaan yang terjadi kemudian
mengorganisasi bawaan-bawaan lahiriah manusia tersebut
sehingga manifestasinya dalam kebudayaan akan berbeda
dari satu kolektivitas ke kolektivitas yang lain dan
melakukan penelitian terhadap kecenderungan itu sendiri
dengan mengabaikan konteks artikulasinya menjadi hal
yang tak banyak menjelaskan apa-apa.

Kita dapat memahami poin ini dengan lebih baik, misalnya
jika kita bicara terkait kecanduan video game dan judi.

Upaya meneliti kecanduan sebagai
insentif yang terisolasi dari
konteks sosialnya tidak akan dapat
menjelaskan perbedaan kecanduan
video game dan judi.

Pasalnya, keduanya sama-sama memberikan insentif.
Akan tetapi, bentuk insentif dari masing-masing aktivitas

101

sosial tersebut dengan mudah dapat kita pastikan berbeda,
dan menjadi insentif karena pemaknaan yang dilekatkan
oleh para pelakunya terhadapnya. Jadi, kendati dorongan
memperoleh insentif merupakan bawaan lahiriah manusia,
pada akhirnya pemaknaan para aktornya menentukan
bagaimana ia dilakoni atau bagaimana ia dieksploitasi
sehingga memantapkan satu pola kecanduan tertentu.

Dalam penelitian ini, ia adalah
kecenderungan yang dimanfaatkan
untuk memantapkan permainan
online sebagai satu lingkungan maya
tersendiri.

Pada pokoknya, peneliti melihat apa yang memungkinkan
para pemain untuk terus-menerus terhisap di dalamnya tak
lain adalah adanya satu insentif imajiner yang disediakan
para pengembang game dan terus-menerus dimaknai oleh
dinamika para pemain yang terlibat di dalamnya. Berkaca
dari situasi yang demikian, peneliti mengira bahwa teori
insentif merupakan salah satu penjelasan yang mengena
untuk membantu kita menjelaskan fenomena kecanduan
video game dan memungkinkan kita tak menjelaskannya
lagi melalui sudut pandang orang luar melainkan sudut
pandang pelaku itu sendiri.

102

Variabel-Variabel yang Mempengaruhi Kecanduan
game Online

Kenyataan
yang dikonstruksi

Pelabelan Kecanduan Katarsis
atau
Game
Online pelepasan

Insentif

Apa Landasan Konseptualnya?

1. Video game

Video game sendiri merupakan satu tema yang sudah
nyaris umum, namun rasanya perlu sekilas diulang untuk
memperlihatkan batasan dari penelitian ini. Menurut
Merriam-Webster, video game merupakan “permainan
elektronik di mana pemain mengendalikan gambar di
layar televisi atau komputer.” Sejauh ini, definisi ini masih
mengena. Akan tetapi, kita juga perlu menambahkan

103

definisi online karena permainan yang menjadi arena
penghubung para pemain terkoneksi secara masif
melalui jaringan Internet. Dengan demikian, video game
online merupakan permainan elektronik di mana pemain
mengendalikan gambar di layar televisi atau komputer
yang terhubung dalam sebuah arena kontestasi dengan
pemain-pemain lainnya.

2. Komunitas Virtual
Menurut Porter (1997:13), beberapa pakar teknologi
melihat komunitas virtual (virtual community) sebagai
komunitas ilusi di mana tidak ada orang yang benar-benar
nyata dan komunikasi yang benar-benar terjadi. Hal ini
menurut Porter (1997) adalah sebuah kegagalan dari upaya
memahami karakter komunitas virtual yang sebenarnya
tidak berbeda dengan komunitas-komunitas offline atau
nyata lainnya.

Teknologi hanya sebagai

medium yang memfasilitasi
komunikasi di antara anggota
komunitas.

104

Bagi Porter (1997), komunitas virtual adalah sebuah
realitas sosial, yang upaya untuk mendefinisikannya sudah
barang tentu tidak dapat menggunakan pendekatan pada
masa lalu, di mana semangat desentralisasi jaringan
bercirikan multitasking, time-sharing machines, dan
human-machines interface.sabtrock

3. Tindakan
Tindakan sebagaimana yang dijelaskan oleh Mead berbeda
dengan definisi tindakan dari para teoritikus behavioris
yang memusatkan perhatian pada mekanisme rangsangan
yang kemudian menghasilkan respons yang otomatis tanpa
perhitungan dan pertimbangan. Mead melihat rangsangan
sebagai sebuah kesempatan atau peluang untuk
merespons, bertindak, dan bukan dalam kerangka paksaan
atau perintah (dalam Ritzer, 2003:274).

Mead (dalam Ritzer, 2003 : 274)
mengidentifikasi empat basis
dan tahap tindakan yang saling
berhubungan. Keempat tahap itu
mencerminkan satu kesatuan organik.

105

“Tahap pertama ialah impuls, sebuah dorongan hati yang
meliputi stimulasi/rangsangan spontan yang berhubungan
dengan alat indera dan reaksi aktor terhadap rangsangan,
kebutuhan untuk melakukan sesuatu terhadap rangsangan
tersebut.

Rasa lapar adalah contoh dari
impuls. Manusia secara spontan dan
tanpa pikir memberikan reaksi
terhadap impuls, tetapi lebih besar
kemungkinannya akan memikirkan
reaksi yang tepat.

Manusia tidak hanya mempertimbangkan situasi kini,
tetapi pengalaman masa lalu dan mengantisipasi akibat
dari tindakan di masa depan tersebut.”
Tahap kedua respons terhadap stimulus menurut Mead
(dalam Ritzer, 2003 : 274) adalah persepsi. “Manusia akan
me nyelidiki sebelum bereaksi terhadap rangsangan yang
berhubungan dengan impuls.

106

Manusia memiliki kapasitas

untuk merasakan dan memahami
stimulus melalui panca inderanya.
Manusia tidak hanya tunduk
terhadap rangsangan dari luar,
tetapi secara aktif memilih
rangsangan tertentu dari
sekumpulan rangsangan.

Manusia memiliki kecenderungan untuk menolak dan
memisahkan orang dari objek yang mereka pahami.
Tindakan objek itulah yang menyebabkan sesuatu menjadi
objek bagi seseorang. Pemahaman dan objek tidak dapat
dipisahkan satu sama lain.”

Tahap ketiga adalah manipulasi. “Setelah impuls
menyatakan dirinya sendiri dan objek telah dipahami,
langkah selanjutnya adalah memanipulasi objek,
mengambil tindakan, atau mengambil tindakan berkenaan
dengan objek itu.

107

Tahap manipulasi merupakan
tahapan jeda yang penting dalam
proses tindakan agar tanggapan tak
diwujudkan secara spontan. Memberi
sela waktu dengan memperlakukan
objek, memungkinkan apakah
seseorang akan melakukan tindakan,
baik masa lalu dan masa depan
dilibatkan.” (Ritzer, 2003:275)

Tahap keempat ialah konsumasi. “Tahap ini merupakan
tahapan pelaksanaan atau konsumasi, atau mengambil
tindakan yang memuaskan dorongan hati yang sebenarnya.
Manusia dalam melakukan tindakan berbeda dengan
binatang yang menerapkan mekanisme trial dan error.
Metode inilah yang sering menempatkan binatang dalam
situasi berbahaya, yang dapat mengancam kelangsungan
hidup binatang tersebut.” (Ritzer, 2003:276)

4. Tindakan
Motivasi sebagai salah satu landasan konseptual yang
peneliti gunakan sangat dekat dengan kajian psikologi.
Menurut Santrock (2005:470), dalam psikologi sendiri,

108

pendekatan terhadap motivasi terbagi atas lima teori
utama berikut.

• The Evolutionary Approach
• Drive Reduction Theory
• Optimum Arousal Theory
• The Cognitive Approach
• Maslow’s Hierarchy of Human Needs

Peneliti memilih untuk menggunakan pendekatan
kontemporer the cognitive approach. Teori ini secara umum
menjelaskan bahwa motivasi adalah dorongan yang timbul
pada diri seseorang untuk melakukan suatu tindakan
dengan tujuan tertentu.
Dorongan ini dapat timbul, baik secara sadar maupun
tidak, juga dapat timbul karena adanya rangsangan dari
luar (ekstrinsik) dan tanpa adanya perangsang dari dalam
(intrinsik). Dari beberapa kajian terdahulu didapati potensi
bahwa rangsangan dari luar, seperti tenggat waktu,
pengawasan, dan ganjaran kekerasan, dapat mengurangi
kenyamanan motivasi dari dalam diri seseorang.

109

Sebagai contoh, beberapa psikolog berargumentasi bahwa
pendorong atau rangsangan yang nyata (tangible), seperti
uang atau hadiah, dapat mengurangi motivasi internal.
Sebaliknya, penguatan verbal seperti penghargaan justru
akan memperkuat motivasi internal seseorang (Carton,
1996 dalam Santrock, 2005).

Rangsangan memberikan uang
terhadap anak untuk membaca justru
mengurangi ketertarikan anak
untuk membaca, tetapi memuji dan
menghargai perilaku membaca anak
justru akan mendorong anak menjadi
gemar membaca.

Dalam kaitannya dengan kecanduan game online,
salah satu motivasi pemain, seperti yang sudah pernah
disebutkan sebelumnya, adalah faktor insentif. Insentif
merupakan bentuk penghargaan yang diberikan untuk
merangsang kualitas ataupun kuantitas suatu pekerjaan
atau aktivitas agar semakin meningkat. Kedua definisi ini
disarikan dari buku Hockenbury dan Hockenbury (2003).

110

5. Kecanduan
Landasan konseptual tentang kecanduan bermain game
datang dari artikel jurnal yang disusun oleh Griffiths, dkk
(2004). Griffiths, dkk. (2004) membedakan bermain game
berlebihan dengan kecanduan.

Dua pemain game mungkin bermain
dalam waktu yang sama, namun
bukannya tidak mungkin motivasi
yang menggugah mereka berbeda.
Demikian juga dengan bagaimana
mereka memaknai game tersebut
dalam kehidupan mereka.

Dengan demikian, kecanduan bermain game dapat
didefinisikan sebagai kecenderungan bermain game yang
berdampak negatif terhadap aspek lain dari kehidupan
mereka dan bukan didefinisikan dari jam bermain mereka.

111

Konstruksi game Online sebagai Kenyataan Sosial

+ -

Adiksi: Non-adiksi:

• Mempengaruhi • Tidak mempengaruhi
kehidupan lain pelaku kehidupan lain pelaku
secara negatif secara negatif

• Menjadikan pelaku tidak • Tidak mempengaruhi
produktif produktivitasnya

• Mengisolasinya dari • Tidak mempengaruhi
kehidupan sosial wajar kehidupan sosial

Weng, dkk. pada tahun 2013 dalam European Journal of
Radiology menyebutkan bahwa perkembangan komputer
dan jaringan teknologi telah mendorong permainan online
menjadi aktivitas rekreasi utama di kalangan pengguna
Internet.

112

Sayangnya, permainan online juga
telah memberikan kontribusi
kepada kebiasaan negatif dalam
perilaku kecanduan bermain game
online.

Menurut Weng, kecanduan game online ini ditandai oleh
ketidakmampuan individu dalam mengontrol kebiasaannya
untuk terus bermain game online.
Hasil survei yang dilakukan terhadap remaja di China pada
tahun 2010 menemukan bahwa pengaruh luas kecanduan
Internet adalah sejumlah 14% atau 24 juta remaja.
Permainan online menjadi penyebab utama kecanduan
Internet pada remaja.

Kecanduan game online juga telah
menyebabkan masalah psikologis dan
sosial serius yang mengakibatkan
kehidupan sehari-hari dan hubungan
sosial mereka memburuk.

Hasil yang sama juga diperoleh dari survei yang dilakukan
terhadap 174 mahasiswa Taiwan yang bermain game
online. Mereka mengaku memiliki hubungan pribadi

113

yang buruk dan kecemasan yang tinggi seiring dengan
meningkatnya waktu permainan online yang mereka
lakukan.

Lemos, dkk. pada tahun 2016 dalam
jurnal Elsevier, menyebutkan bahwa
The Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders (DSM-5)
telah memasukkan fenomena bermain
game yang berlebihan dalam seksi
III yaitu kelainan permainan
Internet (Internet Gaming Disorder).
Kelainan ini telah banyak
diasosiasikan dengan kelainan
depresi diri, kelainan kecemasan
sosial, penurunan prestasi akademik,
dan pemicu berbagai masalah
lainnya.

Pendapat serupa disampaikan sebelumnya oleh Kim,
dkk. pada tahun 2008 dalam jurnal yang sama bahwa
American Psychiatric Association telah mempertimbangkan
kecanduan bermain video game, termasuk game online,
sebagai kelainan.

114

Secara umum, berikut adalah lima peneliti yang telah
merumuskan ciri-ciri dari pecandu game online.

Griffiths, LaRose et al. Stojakovic, Xu et al., Kang et al.
2013
1996 2003 2011 2012 √

Tolerance √ √
Salience √
Withdrawal √√ √
Conflict √
Relapse √√ √
Mood modification
Lost of control √√
Preoccupation
Life consequences √√ √
Concealment
Escapism √
Depression
Anxiety √
Time loss
Sleeping problems √
Failure in school
Euphoria √
Immersion
Compulsion √
Association












115

Bab 3
Efek Negatif
Passion terhadap
Game Online
pada Hubungan
Interpersonal



116

Beberapa penelitian seputar game online pernah
dilakukan di seluruh dunia. Penelitian-penelitian itu
menghasilkan temuan-temuan yang dapat memberikan
alternatif pemikiran mengenai bagaimana dunia game
online memberikan dampak pada kehidupan personal
orang yang memainkan dan lingkungan sosialnya.

Bagian ini akan membahas seputar
ranah kajian interpersonal. Peneliti
memeriksa efek passion obsesif
dan harmonis untuk pemain game
(khususnya MMORPG) mengenai jumlah
dan kualitas pertemanan online dan
offline.

Passion adalah gairah. Gairah obsesif diartikan sebagai
dorongan yang tidak tertahankan untuk terlibat
dalam suatu kegiatan. Sementara itu, gairah harmonis
merupakan dorongan keterlibatan yang bersifat sukarela
dalam suatu aktivitas. Survei online ini melibatkan
406 pemain MMORPG. Terdapat perbedaan hubungan
antara gairah obsesif dan harmonis yang mempengaruhi
kuantitas dan kualitas terhadap persahabatan online
dan offline. Hasilnya menunjukkan efektivitas model
dualisme gairah sebagai indikator penelitian bermain
game online.

117

Bagaimana Passion Bermain
Game Online Berpengaruh
terhadap Hubungan
Interpersonal

Waktu Habis untuk Main

Game War of Warcraft

Kategori massively online
role-playing games (MMORPGs)

Brian & rata-rata rata-rata Nicholas
Peter Yee
Wiemer- >20 >10
Hasting
jam/hari jam/hari

Penelitian game sering kali mengungkap dampak
negatif bermain game, seperti kesepian, penurunan
harga diri, atau agresi, seperti dalam penelitian Colwell
dan Kato (2003), Colwell dan Payne (2000), Ferguson,
Coulson, dan Barnett (2011), Kim, Namkoong, Ku, dan
Kim (2008), Lemmens, Valkenburg, & Peter (2011b), dan
Young (2009). Namun, ada juga penelitian tentang efek
positif bermain game online, di antaranya pertemanan
secara online yang telah membangun kehidupan sosial
lain dari pemain game (Cole & Griffiths (2007), Trepte,
Reinecke, & Juechems, (2012), dan Zhong 2011)).

118

Menyatukan hasil

penelitian yang kontras
terbilang sulit dilakukan
karena penggunaan pendekatan
psikologis yang berbeda.

Pendekatan tersebut sering tumpang-tindih—misalnya,
kecanduan game dikaitkan dengan penyakit pada
tubuh. Oleh karena itu, peneliti menggunakan model
gairah dualistik yang menyajikan kerangka kerja
teoritis menyeluruh.

Menurut Robert J. Vallerand (2008) dalam bukunya
On The Psychology of Passion, model gairah dualistik
umumnya membedakan gairah obsesif dan harmonis
yang terlepas dari objek atau perilaku pemicunya.
Gairah obsesif digambarkan sebagai hal yang
mendesak dan kompulsif, sedangkan gairah harmonis
merupakan keterlibatan sukarela dalam suatu
aktivitas.

Banyak penelitian

tentang kecanduan game melihat
adanya efek intrapersonal,
seperti kesehatan fisik atau
psikologis. Namun, game juga
dapat berdampak pada hubungan
yang dimiliki pemain dengan
individu lain.

119

Latar Belakang Teoretis

Penulis sebelumnya sepakat dengan hasil-hasil
penelitian mengenai pengaruh kecanduan bermain
,)2008( .MMORPG yang, antara lain dilakukan oleh Kim dkk
,)2009( Young ,)2009( Lemmens, Valkenburg, dan Peter
2011b), ,2011a( dan Lemmens dkk )2011( .dan Ferguson dkk
yaitu meneliti mengenai efek permainan game online yang
berlebihan, terutama efek negatif. Tetapi, ada masalah
dengan model ini, yaitu bahwa definisi kecanduan itu
cenderung mengarah pada vonis negatif. Misalnya, Co-
Founder Quantic Foundry mendefinisikan kecanduan
sebagai perilaku berulang yang tidak sehat atau merusak
diri sendiri di mana individu mengalami kesulitan untuk
.mengakhiri bermain game

Kecanduan bermain game online dianggap sama dengan
kecanduan dalam definisi patologis, yaitu semacam
penyakit atau kelainan sehingga kecanduan dimaknai
sebagai sesuatu yang tidak dapat dikendalikan. Menurut
Yee (2002), konotasi negatif dari kecanduan pada game
online juga menciptakan adanya liputan media yang
negatif mengenai fenomena ini. Perlu diingat bahwa efek
kecanduan diambil dari konteks klinis, seperti kecanduan
alkohol dan obat-obatan. Jadi, media memandang bahwa
kecanduan game online memiliki makna yang sama dengan
kecanduan alkohol atau obat-obatan.

120

Dalam ranah psikologi klinis dan psikiater, fenomena
kecanduan game online memang berpeluang untuk ditangani
secara klinis. Masalahnya, konsep klinis untuk berbagai
model kecanduan mungkin tidak selalu sesuai dengan konteks
klinis. Dalam arti bahasa sehari-hari, istilah kecanduan dan
ketergantungan tersebut menggambarkan perilaku non-
patologis. Dalam penelitian-penelitian yang dilakukan, tingkat
kecanduan yang dilaporkan tergantung dari skala kecanduan
yang digunakan. Sebuah meta-analisis oleh Profesor di Stetson
University Christopher J. Ferguson dkk. (2011) mengungkapkan
prevalensi 3,1% untuk game patologis. Prevalensi kecil
semacam itu semakin mengurangi upaya untuk mempelajari
efek game secara keseluruhan.

Grusser, Thalemann, and Griffiths (2006) berpendapat
bahwa permainan yang berlebihan berpotensi menimbulkan
kecanduan. Sementara peneliti lain, yaitu Cowley, Charles,
Black, dan Hickey (2008) menemukan adanya korelasi positif
dari game yang berlebihan dengan pengalaman. Peneliti asal
Hong Kong Wan dan Chiou (2006) menghubungkan temuan
korelasi positif dari game dan pengalaman dengan model dua
faktorial, yang terdiri dari faktor kepuasan dan ketidakpuasan.
Konsep dualistik seperti ini mungkin lebih membantu daripada
konsep satu dimensi. Studi lain dari Sabine Trepte dkk.
(2012), profesor di University Of Hohenheim, meneliti bahwa
permainan memicu sifat kolektif dan klan (berkelompok).

121

Penelitian tentang game

sangat dinamis karena kecanduan
game bukanlah sesuatu yang mudah
diukur. Untuk itu, model gairah
dualistik adalah kerangka kerja
yang dapat digunakan untuk secara
integratif membedah kasus-kasus
kecanduan atau ketergantungan
bermain game.

122

Model Gairah Dualistik

Robert J. Vallerand dkk. (2006) membedakan antara gairah
obsesif dan gairah harmonis. Keduanya menggambarkan
kecenderungan kuat terhadap aktivitas yang individu sukai,
yang penting bagi mereka sehingga rela menginvestasikan
waktu dan energinya.
Ahli psikologi ini menunjukkan dalam tiga penelitian
bahwa kepribadian otonom atau mandiri memprediksi
perkembangan gairah yang harmonis, sedangkan
kepribadian terkontrol mendorong perkembangan gairah
obsesif. Karakteristik kepribadian ini mengacu pada
motivasi intrinsik atau eksternal dan pengaturan diri
individu.

Kepribadian otonom

sudah terbentuk sejak kecil,
yang menjadikan anak-anak atau
remaja mandiri.

123

Sementara dukungan orang tua cenderung
mengembangkan gairah yang harmonis untuk
berbagai aktivitas (misalnya, memainkan alat
musik atau olahraga). Jika orang tua terlalu
memberi tekanan pada aktivitas anaknya maka
mereka cenderung mengembangkan gairah
obsesif.

Gairah harmonis dan obsesif saling berhubungan,
tetapi tidak sama. Vallerand, dkk. (2003)
melaporkan korelasi sebesar 16 sampai 0,38 untuk
gairah harmonis dengan komponen tidak adanya
kesadaran diri, kontrol, dan tantangan. Gairah
obsesif tidak berhubungan dengan variabel ini.
Wang dan Chu (2007), menemukan korelasi positif
kecanduan game hanya untuk gairah obsesif.
Karena, permainan yang berlebihan bisa bersifat
memaksa dan terkadang patologis.

Dengan demikian, gairah harmonis dan gairah
obsesif mewakili mekanisme psikologis yang
berbeda. Selanjutnya, Vallerand dkk. (2003)
menyatakan bahwa gairah harmonis berkorelasi
dengan hasil positif, sedangkan hasil gairah
obsesif sebaliknya.

124

Perbedaan Gairah Harmonis dan Obsesif
Menurut Vallerand, dkk. (2003)

Pembeda Gairah Gairah
Harmonis Obsesif
Kepribadian
Faktor pengembang Kepribadian terkontrol
otonom/mandiri Cenderung dibentuk
orang tua
Kapan terbentuk Sejak kecil Negatif

Berkorelasi dengan Positif
hasil

Selain itu, Profesor Andrew Przybylski dkk.
(2009) menemukan bahwa kebutuhan dasar
pada kepuasan berkorelasi positif dengan gairah
harmonis, tetapi berkorelasi negatif dengan
gairah obsesif. Gairah harmonis mengindikasikan
keinginan untuk bermain, sedangkan gairah
obsesif menggambarkan dorongan yang sangat
kuat untuk bermain (biasanya tanpa henti
dan tidak mengenal waktu). Przybylski dkk.
(2009) juga melaporkan adanya korelasi positif
antara gairah obsesif dan ketegangan postplay,
serta hubungan negatif gairah obsesif dengan
kesehatan mental dan fisik. Gairah yang harmonis,
berhubungan positif dengan kegembiraan
permainan, energi postplay, dan kepuasan hidup.

125

Marc-Andre Lafreniere, dkk. (2009) menemukan
hubungan antara gairah harmonis terhadap
game dengan pengaruh positif, kepuasan hidup,
dan realisasi diri. Sementara gairah obsesif
menimbulkan dampak negatif, seperti perilaku
bermasalah misalnya, mudah tersinggung, dan
gejala fisik misalnya, gangguan tidur.

Secara keseluruhan,

ada bukti bahwa model dualistik
gairah dapat menjelaskan efek
gairah terhadap aktivitas pada
hubungan interpersonal. Selain itu,
telah berhasil diterapkan untuk
menguji efek intrapersonal dari
bermain game.

126

Pengaruh Penggunaan Internet
dan MMORPG terhadap Hubungan
Interpersonal

Antonia Abbey, David Abramis, dan Robert Caplan
(1985) dalam artikel jurnal berjudul “Effects on
Different Sources Of Social Support and Social Conflict”
menyatakan bahwa manfaat yang didapat individu
dari jejaring sosial (milik mereka) merupakan dasar
kehidupan sosial setiap individu.

Dasar sosial terdiri dari ikatan dan adanya penghubung
modal sosial. Dasar ikatan ini berasal dari ikatan kuat
yang dimiliki dengan teman dekat dan anggota keluarga
mereka, sedangkan modal penghubung itu timbul dari
hubungan yang lebih lemah, seperti dengan kenalan
mereka. Dasar ikatan kuat memberi orang dukungan
secara emosional.

Dukungan tersebut berfungsi

penting sebagai penghambat stres,
serta berkontribusi terhadap
kesejahteraan mental dan fisik.
Di sisi lain, hubungan yang lemah
memberi orang informasi yang
tidak berlebihan, misalnya saat
mencari rumah atau pekerjaan.

127

Sejak awal kehadiran Internet, terdapat spekulasi tentang
konsekuensi interpersonal dari teknologi. Profesor
Komunikasi dan Sosiologi di University Of Southern
California, James Beniger (1987) menyampaikan sentimen
skeptis yang menganggap komunitas virtual sebagai
komunitas semu atau palsu sehingga dapat membuat
orang kesepian dan mengurangi modal sosial mereka.
Sebaliknya, Robert E. Kraut dkk. (2002) menemukan bahwa
penggunaan Internet pada orang kesepian malah dapat
membangkitkan dunia sosial mereka.
Berkenaan dengan efek interpersonal bermain MMORPG,
penelitian sebelumnya menelurkan hasil yang beragam. Di
satu sisi, dikatakan bahwa MMORPG bersifat sosial karena
banyak misi membutuhkan kolaborasi, serta para pemain
diatur dalam serikat pekerja. Apalagi banyak pemain
MMORPG berteman di dalam game.

128

Cole dan Griffiths (2007) menyatakan bahwa dalam
permainan kolektif terdapat keterlibatan serikat dan
tugas kolaboratif yang dapat menghasilkan ikatan online
dan meningkatkan dasar hubungan. Trepte dkk. (2012)
juga menemukan bahwa keterlibatan dalam grup di game
tertentu, selain membangun dasar sosial di dalam grup,
dapat pula menjadi dukungan sosial di kehidupan offline.

Disisi lain, juga diperdebatkan bahwa waktu yang
dihabiskan untuk bermain game bisa menggantikan
waktu dengan teman di dunia offline. Sebuah studi
longitudinal menguji hubungan kausal antara game
dan kesepian dengan menggunakan model persamaan
struktural autoregressive Jeroen S. Lemmens dkk.
(2009). Pendukung hipotesis perpindahan ini,
menemukan bahwa kecanduan Internet berkorelasi
dengan kesepian di dunia offline. Terdapat bukti proses
timbal balik, yaitu kesepian yang mengarah pada
patologis (kelainan) dari bermain game, yang akhirnya
meningkatkan kesepian itu sendiri. Studi lain pada
gamer oleh Williams (2006) juga mendeteksi penurunan
interaksi tatap muka dan berkurangnya kedekatan
dengan beberapa teman offline.

129

Kesimpulannya, terdapat

efek positif dan negatif dari
permainan (berlebihan) pada
hubungan interpersonal. gamer
sering membentuk hubungan online
dengan pemain lain, tetapi game
yang berlebihan seringkali
memiliki dampak negatif pada
hubungan offline.

130

Manfaat Model Dualistik

Model dualistik memiliki manfaat untuk melihat kecanduan
dan patologis atau kelainan pada game, kemudian ditemukan
hanya sedikit sekali pemain yang mencetak gol pada atau
di atas titik tengah skala passion obsesif. Pada saat yang
sama, mayoritas pemain menunjukkan tanda-tanda gairah
yang harmonis. Dengan demikian, skala gairah yang harmonis
memperlihatkan bagaimana mayoritas dari pemain game
online merasakannya, yaitu mereka suka bermain MMORPG
dan menghabiskan banyak waktu bermain, namun tetap dapat
menggabungkan aktivitas ini dengan aktivitas lain dalam
kehidupan mereka.

Penelitian ini menunjukkan bahwa waktu yang dihabiskan
untuk bermain game tidak lagi berpengaruh signifikan
terhadap jumlah teman offline, tetapi justru pada gairah
obsesif. Permainan yang berlebihan mempengaruhi
persahabatan offline secara negatif jika permainan dilakukan
tidak terkendali. Pengaruh waktu yang dihabiskan untuk
bermain game signifikan terhadap jumlah dan kualitas
pertemanan di online, namun gairah harmonis juga memiliki
pengaruh yang kuat. Hal ini menegaskan temuan sebelumnya
oleh Utz (2000) yang menyatakan bahwa dibutuhkan
waktu untuk membangun persahabatan online, namun juga
menunjukkan bahwa persahabatan intim lebih mungkin
dibangun jika para pemain mampu mengintegrasikan
MMORPG secara otonom ke dalam identitas mereka.

131

Ada juga efek positif dari hasrat obsesif untuk bermain
game online, yaitu banyaknya jumlah persahabatan di
dunia online. Namun, gairah obsesif tidak berpengaruh
positif pada kualitas pertemanan offline. Dengan demikian,
pemain yang obsesif memanggil lebih banyak teman untuk
bermain, tetapi jika menyangkut dukungan emosional,
pemain dengan gairah obsesif tidak dapat terikat secara
mendalam. Vallerand dkk. (2003) menemukan meskipun
hasil penelitian tidak dapat mengukur emosi selama dan
setelah bermain, pekerjaan lain telah menunjukkan bahwa
orang dengan gairah obsesif sedikit memiliki emosi positif
selama aktivitas dan malah lebih banyak memiliki emosi
negatif.

Penjelasan lain yang dapat

digunakan untuk memaparkan
hasil dari model dualistik
adalah teori emosi positif. Teori
ini menunjukkan bahwa orang-
orang yang memiliki gairah
obsesif tinggi memiliki lebih
sedikit persahabatan offline
yang memuaskan dan kesulitan
untuk membangun persahabatan
intim di dunia maya, yang dapat
menggantikan persahabatan offline.

132

Seperti yang diprediksi, gairah harmonis hanya terkait
dengan tujuan persahabatan online dan sama sekali bukan
untuk tujuan mencari persahabatan offline. Yang terakhir
ini sejalan dengan temuan sebelumnya bahwa orang-orang
dengan hasrat harmonis terhadap suatu aktivitas dapat
mengelola beberapa domain kehidupan mereka dengan
sukses. Namun, hasil saat ini menunjukkan bahwa individu
pada waktu bersamaan berhasil menjalin pertemanan
dalam permainan.
Menurut Andrew Przybylski dkk. (2009) gairah harmonis
untuk suatu aktivitas menghasilkan emosi positif dan
negatif selama permainan. Temuan Robert E. Kraut
dkk. (2002) menemukan bahwa pemain dengan gairah
harmonis untuk MMORPG mendapat keuntungan dengan
memiliki lebih banyak teman (tidak hanya pertemanan
di dunia offline, tetapi juga online). Penelitian di masa
depan diharapkan dapat melihat lebih dekat hubungan
gairah harmonis dan obsesif, juga proses yang mendasari
pembentukan pertemanan online.

133

Penelitian belum dapat melihat pengaruh gaya bermain
dan variabel khusus permainan lain dalam penelitian ini.
Studi terbaru dari Trepte dkk. (2012) dan Zhong (2011)
menemukan bahwa permainan kolektif atau keterlibatan
dalam perkumpulan, mendorong perkembangan dasar
dunia sosial. Temuan ini harus mampu membuat pemain
menumbuhkan gairah harmonis untuk MMORPG. Bahkan
mungkin berguna untuk menilai jenis gairah MMORPG
yang lebih spesifik, seperti hasrat untuk terlibat dalam
permainan untuk membunuh monster/permainan
kompetitif.

Dalam konteks gairah untuk olahraga, bermain musik,
atau menari, orang tua memiliki peran yang sangat
berpengaruh pada anak mereka, namun tidak mungkin
orang tua mendorong anak mereka bermain game.
Berkenaan dengan variabel kontrol, ditemukan bahwa
wanita memiliki kualitas pertemanan yang lebih tinggi
dengan para pemain game lainnya. Perbedaan jenis
kelamin serupa juga pernah disampaikan oleh Nick Yee
(2006a), peneliti bidang gaming. Perempuan rata-rata
lebih sosial daripada laki-laki dan karena itu juga lebih
tertarik pada aspek sosial MMORPG.

134

Pemain muda yang

berpartisipasi dalam penelitian
terbaru memiliki lebih banyak
teman. Bukan tidak mungkin
pemain muda yang tumbuh dengan
teknologi Internet memiliki lebih
banyak teman melalui online.

Oleh karena itu, mereka mungkin lebih baik dalam
berteman secara online (generasi Internet saat ini).
Penelitian selanjutnya harus menjawab pertanyaan
tersebut. Pra-penelitian yang dikirim hanya terfokus
pada ikatan dasar sosial. Mungkin menarik untuk
melihat juga dampaknya dari hubungan dasar sosial.
Dasar dari ikatan adalah memperoleh dukungan sosial
emosional dan oleh karena itu lebih erat kaitannya dengan
kesejahteraan. Ellison, Steinfield, dan Lampe (2007)
dalam artikel jurnalnya yang berjudul “Effects of Social
Networking Site” menunjukkan bahwa situs jejaring sosial
(Facebook) menggunakan peningkatan modal sosial yang
menjembatani individu dengan self esteem rendah.

135

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa orang tua dan
guru khawatir tentang kesehatan anak-anak mereka,
khususnya para pemain game yang masih muda. Oleh
karena itu, penting untuk mengidentifikasi individu yang
mengalami risiko negatif secara offline. Waktu yang
dihabiskan untuk bermain game jelas bukan indikator
terbaik untuk mengidentifikasi keterikatan individu pada
permainan game. Namun, yang jauh lebih penting adalah
menemukan bagaimana cara seseorang tergabung dalam
identitas sebuah grup.

Hasil penelitian lain menun-

jukkan bahwa skala gairah obsesif bisa
menjadi alat pendeteksi yang lebih ber-
manfaat. Pelatihan dan intervensi dapat
berfokus pada pengembangan dan pengua-
tan kepribadian secara otonom. Diperlu-
kan kembali studi longitudinal untuk
menguji arah sebab akibat yang menggu-
nakan sampel lebih beragam, tidak hanya
terbatas pada pemain game laki-laki.

136

Game dan Hubungan Pertemanan

Konseptualisasi gairah ganda menurut Vallerand
dkk., (2003) adalah kerangka kerja yang berguna
untuk memeriksa dampak game pada persahabatan.
Penelitian sebelumnya di wilayah intrapersonal menuju
domain interpersonal dengan mempelajari konsekuensi
bermain MMORPG untuk pertemanan secara online dan
offline. Penelitian lain menemukan bahwa waktu yang
diinvestasikan dalam game berkorelasi positif dengan
jumlah dan kualitas pertemanan online mereka.

Gairah harmonis

berhubungan positif dengan jumlah
dan kualitas pertemanan online,
tetapi tidak terkait dengan jumlah
dan kualitas persahabatan offline.

Meski gairah obsesif berhubungan positif dengan jumlah
pertemanan online, tidak terkait dengan kualitas. Yang
lebih penting, hal itu berhubungan negatif dengan
jumlah dan kualitas persahabatan offline.

Pengaruh waktu yang

dihabiskan untuk bermain game
signifikan terhadap jumlah dan
kualitas pertemanan online,
tetapi gairah harmonis juga
berpengaruh kuat.

137


Click to View FlipBook Version