301 Nisa terdiam tak menjawab, lalu tak lama kemudian suaranya muncul “iya asep.. kalau mau pulang, pulang aja.. hati-hati di jalan.” Ucap nisa. Asep kembali mengetuk pintu beberapa kali. “kamu ga mau buka pintu dulu? Aku pulangnya lama loh “ ucap asep. “nggak sep! aku lagi ga bisa diganggu.” Ucap nisa. “ooh. ya udah. aku pulang ya. aku minta maaf kalau aku punya salah, semoga aku bisa balik lagi ke sini.” Tutur asep. Nisa berkata dengan pelan namun tegas “kamu harus balik lagi sep!” dia sangat sedih karena tidak mau kehilangan teman nonton TV-nya, teman belajar, teman mengobrol, teman satu rumah yang sangat berharga. “yey maksa! gimana kalau kereta yang aku naikin tabrakan?” asep terdiam sejenak, dia tertawa kecil lalu melanjutkan kata-katanya “insyaallah aku balik lagi. Jangan nakal kamu nis, harus hormat sama abi dan ummi!” lanjut asep. “iya pak ustad! ya udah pulang sana.” Ucap nisa. Setelaj itu Asep melangkahkan kakinya keluar dari rumah tersebut. Di depan rumah dia berhenti sejenak dan menatap kembali rumah itu.
302 “tidak terasa, tiga tahun aku tinggal di rumah ini. sebenarnya aku senang tinggal di sini, tapi aku harus kembali tinggal di kampung, di sana ada nenek.. aku tidak sabar untuk cerita-cerita sama nenek.. banyaaak sekali yang akan ku ceritakan.” pikir asep. Di bagian lain rumah itu ada nisa yang sedang bersedih. dia merasa sedih karena kehilangan saudaranya. Mereka memang sudah seperti adik dan kakak, sehingga nisa sangat merasakan sekali perpisahan itu, terlebih lagi dia tidak tahu kapan asep akan berkumpul kembali dengan keluarganya. Asep menghela nafas dalam-dalam, menghirup wangi rumah tersebut. Kemudian dia melangkahkan kakinya di pekarangan kecil rumah itu. lalu dia menjauh, dia menjauh menuju perjalanan panjang yang kembali dia tempuh. Dia bersabar dalam sebuah angkot yang merayap dalam kemacetan, tersenyum dalam kereta yang menyajikan pemandangan alam. Berjam-jam dia lewati hingga tibalah dia dipersimpangan jalan menuju desa. Ada pangkalan ojek di sana, dia bergegas naik salah satu ojek. Tersisa seorang tukang ojek, motornya pun sudah tua. Akhirnya Berangkatlah asep menuju neneknya, di atas sebuah motor, menutup matanya seakan menghayati alam raya. “waaaw.. ademnyaaa.. selamat datang kembali asep.. inilah rumah.. kali ini aku akan lama di sini..
303 nenek lagi apa ya? Dia pasti ga nyangka sekarang aku pulang..” pikir asep. Tinggal beberapa meter menuju rumah nenek. Terdengar suara adzan berkumandang, asep bangun dari lamunannya dan meminta agar tukang ojek itu mempercepat motornya. Beberapa detik kemudian tibalah dia di rumah lamanya, dia kembali menghirup udara yang lama dia rindukan. Namun ada yang aneh, lingkungan itu sangat sepi, tidak ada seorang pun di jalan. Dia berjalan menuju rumahnya. “assalamu ‘alaikum nek, asep pulang nek!” ucap asep. Asep sudah tidak sabar ingin bertemu dengan neneknya. Namun pintu itu belum juga di buka, dia tidak berani menerobos masuk pintu yang terkunci. “kenapa nenek tidak membalas salam? apa dia sedang ke kebun? Hhh.. kemana ya.. oh iya.. aku tanya mang udin ah..” Pikir asep. Asep berlari menuju rumah mang udin, meninggalkan tasnya yang berat di depan rumah nek minah. di rumah mang udin ada beberapa orang yang sedang merokok di pekarangannya, dan ada lebih banyak orang lagi yang di dalam rumah, namun semuanya orang tua.
304 “ada apa ini? kok rame gini.. wah jangan-jangan mang udin nikah nih.. hebat deh.. lagian dia udah tua.. hihiihii.. nenek pasti ada di sini.” pikir asep. “Nenek.. nenek.. asep pulang nek..” teriak asep sambil bergegas mendekat. Tiba-tiba dari rumah itu ada seorang perempuan yang menyambut asep. Semakin dekat, dan makin jelaslah bahwa perempuan itu adalah ibunya vita. Kali ini ibu vita memakai kerudung, itu tidak seperti biasanya. Namun dia terlihat lebih rapih dan cantik dengan kerudung itu. Ibu vita menghampiri asep. “asep, kamu baru pulang ya nak? main ke rumah tante yuk, ada vita loh, dia nanyain kamu terus tuh.” Ucap ibu vita. “wah ada vita! alhamdulillah.. akhirnya bisa ketemu juga, yes!” pikir asep. Asep terdiam sejenak. Lalu berkata “beneran ada vita? Waah! tapi aku lagi nyari nenek dulu, rumahku dikunci. nanti aku pasti main ke vita!” Ucap asep. “nak asep. aduh ibu bingung mau mulai dari mana.” Ujar ibu vita. “ada apa? Kok bingung?” tanya asep. Pandangan asep melihat ke sekeliling rumah. Dia mencari sosok nenek yang dia rindukan. Pikirannya juga masih menerka-nerka ada apa di rumah mang udin.
305 “ibu ga tahu harus ngomong gimana ke kamu.” Ucap ibu vita. Tiba-tiba sebuah keranda mayat dibopong keluar dari rumah mang udin. Asep kaget melihat hal itu, dia menanyakan hal itu kepada ibu vita. Asep sangat kaget. Banyak hal yang berkecamuk dalam otaknya, apa yang terjadi dengan guru ngajinya tersebut. Mang udin yang selama ini membantu dia dan neneknya, mang udin yang telah mengajari banyak ilmu kepadanya. “siapa yang meninggal? Kenapa mang udin?!” tanya asep dengan suara yang keras. Ibu vita terdiam cukup lama. “itu..” ucap ibu vita. Asep hendak berlari mengejar keranda mayat itu, namun ibu vita menghentikannya. Dia menarik asep agar tidak mendekat ke sana. “itu siapa!?” asep berteriak keras sekali kepada ibu vita. dia ingin segera tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi. Banyak hal yang berkecamuk dalam hatinya. Ibu vita memegang kedua pundak asep yang tegap. Lalu ibu vita berkata “itu nenek!” begitu pelan namun menghancurkan seluruh kekuatan, melemahkan sekujur tubuh asep.
306 “nenek..! yang berbaring di sana itu nenek.. nenek.. ga mungkin nenek.. beberapa bulan lalu nenek masih sehat..” pikir asep. Asep semakin tidak terkendali. Dia membentak dengan suara yang keras “jawab yang jujur! jangan main-main!” Ibu vita menangis di hadapan asep. “ibu sudah jujur. hanya itu yang bisa ibu katakan. sabarlah nak, tenangkan dirimu.” Ucap ibu vita. dia terus menangis di hadapan asep. Dia mencoba menenangkan asep, namun justru dia sendiri tidak dapat menahan kesedihan yang memberontak di dalam hatinya. Asep terdiam. Entah apa yang dia pikirkan, terlalu rumit, terlalu sulit dipercaya, dia termenung. Berdiri di jalan desa, kosong sudah pikirannya. Deru angin sampaikan pesan kepiluan, menusuk pada pendengaran yang lemah. lolongan hatinya menjauh dan makin hilang, bersembunyi dari ramainya sapaan. Tak peduli siapa tersenyum di depan, tak peduli siapa memeluk dari belakang, asep telah hanyut dalam kesedihannya. Tubuhnya terasa lemas, kemudian asep kehilangan kesadaran. Dia jatuh lunglai ke atas kerikil jalanan, tak mampu menahan badai batin yang menerpa sangat kencang. Beberapa jam kemudian asep sadar kembali, Kemudian mang udin menghampirinya. “asep.. sudah bangun nak. sabar yaa. ini takdir. kamu pasti paham
307 tentang itu. Kamu makan dulu ya nak!” ucap mang udin. Asep tetap diam, dia tidak berbicara sepatah kata pun. “Ya Allah.. cobaan macam apa yang kau berikan padaku.. belum cukupkah kau ambil kedua orang tuaku? Aku masih ingin bertemu dengan nenek.. kembalikan dia Ya Allah!” pikir asep. “kenapa kamu diam nak? jawab pertanyaan mamang. Mamang jadi takut kalau melihat kamu seperti ini. ayo! mamang antar kamu ke makam nenek. Kita doakan dia. kamu jangan terlalu bersedih.” Ajak mang udin. “nenek.. wahai nenek.. kenapa engkau pergi saat aku ingin melihatmu bangga padaku. Aku lulus nek.. nilaiku bagus.. aku juga punya banyak cerita.. aku belum percaya semua ini nyata.. aku ingin bangun dari mimpi ini.. nenek.. panggil aku seperti tadi malam.. seperti tadi malam nek! ..bangunkan aku dari mimpi yang menyedihkan ini.. bangunkan aku nek..” pikir asep. Mang udin kemudian membimbing langkah asep, dia membawanya ke depan kuburan neneknya. Secara perlahan asep mulai bisa tenang, dia mulai menyadari bahwa neneknya telah benar-benar pergi. Asep adalah seorang yang tidak mau larut dalam kesedihan, namun cobaan kali ini memang sangatlah
308 berat. Seorang wanita yang merawatnya dari kecil, ketika dia masih belajar bicara sampai dia besar seperti sekarang, wanita itu telah berbaring di bawah tanah. Terkubur raganya, terasingkan jiwanya dari dunia. Mang udin melihat asep sangat tenang berdiam diri di depan kubur, kemudian memutuskan untuk pulang lebih dulu. Dia meninggalkan asep sendirian di tanah kuburan neneknya yang masih basah. terlihat beberapa kelopak bunga, sebuah nisan menjulang di dekat kepala asep. nisan nek minah, Nenek yang telah lama merawatnya. “ya udah mamang pulang dulu ya sep, kamu jangan terlalu bersedih! nenekmu disana pasti mendapat tempat yang baik. nanti kamu pulang ke rumah mamang aja ya. Kamu belum makan dari tadi siang. mamang hawatir.” Ucap mang udin. Mang udin pun meninggalkan asep. Asep terus meneteskan air mata meski bibirnya tak berbicara, hatinya terus bergoncang meski tubuhnya diam. Matahari hendak ditelan malam, senja menyapanya dalam kesendirian, menumpahkan merah sewarna darah ke tanah pekuburan. “aku tidak boleh larut dalam kesedihan.. aku pasti bisa melewati cobaan ini..aaaaarrgghh.. apakah aku bisa.. sepertinya aku tidak bisaa.. aku tidak bisa.. ini terlalu berat untuk ku hadapi.. apakah aku harus ikut mati.. nenek.. aku tidak bisa nek..” pikir asep.
309 Hari semakin sore, gelap mulai menyapa. Asep berjalan pulang, tubuhnya ingin terus melawan kesedihan itu. ketika itu dia tidak langsung ke rumah mang udin, dia kembali ke rumah nenek dulu untuk mengambil tas yang tadi dia tinggalkan. Dia berusaha untuk menenangkan dirinya dan perlahan menghapus air matanya. Dia pun tiba di depan pintu rumah. Terlihat pintu rumah yang sudah berlubang-lubang kecil dimakan rayap. Gagangnya sudah hampir lepas menjuntai ke bawah. Asep yang sedang menatap pintu itu tiba-tiba menangis. Dia menangis lebih haru dibanding sebelumnya. Dia tak kuasa menahan kesedihan, ada ingatan masa lalu yang terbayang di hadapan matanya, rumah itu membuatnya merasakan sesuatu yang kini tiada. Rumah itu adalah kebahagiaan yang pernah dia rasakan, dan kini membuatnya sangat kesakitan. Asep sama sekali tidak menyentuh tasnya, dia sudah lupa akan tas itu. asep menyandarkan keningnya ke daun pintu yang tertutup, menekuk punggungnya hingga membungkuk. Sementara matanya terus meneteskan air mata, dia membiarkannya mengalir, mengalir dan tidak habishabis. “neneeeek.. seandainya aku bisa.. aku ingin menjerit.. aku pun ingin menyusulmu ke sana..” pikir asep.
310 Bab 26 3 hari pertama Asep telah kehilangan neneknya. Mang udin yang mendapati asep dalam keadaan buruk kemudian membawa asep ke rumahnya. Mang udin membiarkan asep merenungkan kenyataan yang ada karena asep juga terlihat tenang baginya. dia yakin orang seperti asep pasti akan cepat bangkit kembali. Hari pertama asep lewati tanpa berbicara pada seorang pun, dia masih tetap membisu. dia mengisi do’anya dengan semua hal yang ingin dia katakan kepada neneknya, dia berharap Tuhan menyampaikan kata-katanya kepada nenek. Hari ke-2 setelah kematian nenek. Asep duduk di sebuah kamar di rumah mang udin, sedangkan pikirannya melayang ke negeri yang tidak dikenal. Dia masih belum berbicara, menutup rapat mulutnya dengan segumpal pilu yang lengket. Asep hanya berdiam diri dalam ruangan, ketika waktu makan datang maka mang udin yang akan mengantar sepiring nasi dan lauk kepada asep. Terkadang asep memakannya, namun dia lebih sering tidak makan. Mang udin masih menganggap wajar hal ini, dia membiarkan asep mengobati dirinya sendiri, dia yakin asep sudah dewasa. Namun mang udin terus mengawasi asep, dia menjaga jangan sampai asep berbuat sesuatu yang melebihi batas. Asep itu masih
311 seorang pemuda yang jiwanya labil, dia masih mudah tergoncang. Mang udin juga sebenarnya sangat bersedih, namun dia sudah mampu mengendalikan dirinya. Hari ke-3 setelah kematian nenek. Asep mengeluarkan suara pertamanya. Saat dia keluar dari kamarnya, mang udin yang saat itu sedang berada di ruang tengah. Mang udin sangat senang melihat asep akhirnya bergerak. “mang aku pamit mau pulang.” Ucap asep. Mang udin bangun dari duduknya, dia menghampiri asep yang sedang berjalan keluar rumah. “kamu mau ke rumah nenek? Kenapa tidak di sini saja, di sana kamu Cuma sendirian.” ucap mang udin. “ga apa-apa mang. aku sudah besar, aku juga ga mau ngerepotin.” Ucap asep dengan pelan. “ya sudah kalau memang itu mau kamu. Tapi inget, jaga diri dan tetep ibadah pada Allah. yang sabar ya nak ya!” ucap mang udin. Dia lalu mengambil sebuah kunci di atas meja kayu. Dia memberikan kunci itu kepada asep. “iya mang.” Asep berusaha menyembunyikan kesedihannya, dia tidak mau merepotkan mang udin. Dia pun akhirya kembali ke rumah nenek. Membawa tasnya yang berisi baju dan buku, di sepanjang jalan menuju rumah dia berusaha untuk tidak terlihat murung. Meskipun dalam hatinya dia masih sangat
312 bersedih. Dan kesedihan kali ini akan sangat sulit untuk dia hapuskan. Setelah dia sampai di depan rumah, dia membuka pintu dengan sangat perlahan. Dia berdiri sejenak, dan terlihat sangat ragu ketika melangkahkan kakinya untuk masuk. Dia merasakan sekali nostalgianya dengan sang rumah, saksi bisu masa lalu, yang juga semakin rapuh dan berdebu. Asep melangkahkan kakinya menuju kamar nenek, dia kemudian duduk di atas ranjang, mengusap kasur tipis itu dengan kedua tangannya. Terasa sentuhan balasan yang sangat dingin, tercium rasa kerinduan yang pedih. Kemudian dia menjatuhkan tubuhnya ke ranjang, sehingga dia tertidur menyamping, menatap kosong ke depan hingga dia beristirahat di sana. *** Keesokan harinya. Mang udin datang untuk membawakan makanan, dia memanggil asep namun asep sama sekali tidak menjawab. Mang udin menganggap bahwa asep sedang tidur, kemudian dia meninggalkan sebungkus makanan itu di depan pintu, dia pun kembali pulang. Asep yang mendengar panggilan mang udin tetap diam, dia masih tidak bisa untuk menggerakkan lidahnya. Terasa berat baginya, seperti ada kunci yang sulit untuk terbuka.
313 Tak lama setelah mang udin pergi. Ada sesseorang yang kembali memanggil asep dari luar rumah. “Asep! ini aku. buka pintunya sep! aku mau ngobrol.” Ucap orang tersebut. “Itu vita..” pikir asep. “Asep. jangan mengurung diri begini sep! aku mau ketemu sama kamu sep.” ucap vita. “siapa yang kamu cari vit, di sini ga ada siapasiapa..” pikir asep. Vita terdiam di depan pintu rumah. Dia terdiam cukup lama menunggu jawaban dari asep. Lalu dia kembali berkata “baik! kalau kamu memang lagi ga mau ngobrol. Besok aku ke sini lagi. besok itu terakhir aku di sini, lusa aku udah mulai kuliah di kota.” Ucap vita. “terserah kamu vit..” pikir asep. *** Keesokan harinya. Asep mengeluarkan barang-barang yang ada di tasnya. Dia mulai merapihkan rumah, dia menyimpan bajunya ke dalam lemari, dia mengeluarkan buku-buku dan menyimpannya di atas meja. Kemudian dia melihat buku catatannya. Dia terdiam lama melihat buku itu. buku yang tidak sempat dibaca oleh neneknya. Asep kemudian membuka lagi buku itu, dia mulai membaca langkah awalnya ketika memulai buku itu.
314 namun yang muncul hanyalah kilasan-kilasan masa lalu tentang neneknya. Buku itu sama sekali sudah tidak berarti baginya. Tak lama kemudian vita kembali mengunjungi asep. Dia melihat bungkusan nasi yang kemarin masih ada di depan pintu, tidak bergerak sama sekali. “assalamu ‘alaikum asep. kamu ada di dalam kan? Aku mau ngobrol, buka sep pintunya!” ucap vita dengan harapan kali ini asep akan membalas panggilannya. “anak itu datang lagi.. mau apa sih dia!?” pikir asep. Asep tidak menghiraukan vita, dia tetap diam. Vita yang sangat ingin mengobrol dengan asep kemudian mencari cara untuk masuk. Kemudian dia mencoba masuk lewat pintu dapur. Dan ternyata pintu itu memang tidak dikunci, mungkin asep belum sempat masuk ke dapur atau memang lupa menguncinya. Vita kemudian membuka tirai tiap kamar, hingga dia menemukan asep yang sedang duduk bengong di sebuah ranjang reyot, asep hanya diam menatap kosong ke depan. Lalu vita membentak asep “jadi begini kegiatan kamu sehari-hari!”. Suaranya cukup keras sehingga asep seketika itu juga menoleh kepadanya.
315 Asep menatap vita, dia membalas ucapan vita dengan bentakan yang labih keras “siapa suruh kamu masuk!!” Vita terdiam cukup lama, matanya mulai berlinang air mata. Siapa sangka seorang asep yang tadinya lembut dan penuh semangat kini menjadi seorang lelaki yang begitu kasar. Vita berteriak “dasar anak kampung! Kamu boleh sedih, tapi jangan begini. Kamu bahkan ga makan dari kemarin! Kamu mau mati!” dia berusaha untuk tetap membentak asep meski kata-katanya diselingi cegukan-cegukan kecil tangisannya sendiri. “apa urusanmu!? Aku ga peduli mati!” jawab asep dengan suara yang keras. Vita tersentak. dia terdiam cukup lama. Lalu dia kembali berbicara “ya sudah lah. aku juga capek. terserah kamu sep. aku kecewa sama kamu.” Vita berlari meninggalkan asep. Dia sepertinya benarbenar kecewa, dia tidak menyangka asep akan memperlakukannya seperti itu. asep yang ini sangat berbeda, dia tidak seperti dulu. “jangan kembali lagi!” teriak asep. Asep sangat kacau. dia kemudian melemparkan buku catatannya keluar dari kamar. Entah kemana buku itu melayang, dia sama sekali sudah tidak peduli. Masa lalu itu sudah tidak lagi penting. Sudah tidak penting lagi baginya membantu orang lain yang tidak peduli
316 pada dirinya sendiri. Sekarang asep hanya ingin sendiri dan tidak diganggu oleh siapapun. Bab 27 Hidup baru Bulan demi bulan asep lalui, tahun pun silih berganti. kini asep hidup layaknya warga kampung yang lain, berkebun dan memelihara ternak. dia merawat kebun nenek yang di seberang sungai, namun dia lebih banyak berdiam di rumah, merawat kebun kecil dan ayamnya. Asep masih menyimpan kesedihan yang mendalam, setiap satu bulan sekali dia pasti pergi ke kuburan nenek untuk membersikannya. Dia masih sering melihat bayangan nenek yang memeluknya, dia masih berbicara kepada pohon cabai dan kodok berharap mendapatkan jawaban kekosongan hariharinya, dia tidak mampu lepas dari kesedihan. Di umurnya yang sudah mennyentuh usia dua puluhan, rahangnya mulai ditumbuhi janggut tipis, baju-bajunya mulai kusam, rumah yang ditinggali sudah makin rusak, namun dia sama sekali tidak peduli. Dia tetap hidup dengan segala yang ada disekelilingnya, dia tidak merubah apapun yang ada di rumah itu.
317 *** Asep sedang mencangkul di kebun kecil samping rumah. Saat itu sangat sunyi, hanya suara cangkul yang beradu dengan tanah dan beberapa ekor burung walet yang menontonnya dari atas atap rumah. tiba-tiba ada suara motor yang berhenti di depan rumahnya. Setelah itu ada suara panggilan yang terdengar tidak asing baginya, memanggilnya dengan pelan. “Assalamu ‘alaikum.. nak asep.” Asep menghentikan pekerjaannya. “wa ‘alaikum salam warahmatullah.” Jawab asep. Asep meletakkan cangkulnya, menghampiri orang tersebut lewat samping rumah, melangkah pelan sambil mengusap keringat dengan handuk kecil di tangan kirinya. “abi!” sahut asep. Kang jalal kaget melihat asep yang justru muncul dari samping rumah, dia juga merasa asing melihat asep. Asep terlihat sangat kumal, tidak bercahaya seperti dulu. Wajahnya terlihat lebih tua dari umurnya. Asep kemudian mempersilahkan kang jalal untuk masuk. Dia mempersilahkan duduk dan memberi kang jalal sepiring kecil goreng singkong yang sudah dingin dan segelas air putih yang sedikit berbau asap kayu bakar. Kang jalal sudah terlihat
318 lebih tua, di wajahnya mulai tergambar rona kelemahan. “gimana kabar kamu sep?” tanya kang jalal. “alhamdulillah baik abi. kalau abi?” ucap asep. Asep duduk bersandar di dekat pintu kamarnya, sedangkan kang jalal duduk di ruang tengah. Mereka mengobrol berjauhan. “alhamdulillah baik juga. Maaf ya abi baru sempet nengokin kamu. abi sibuk. kamu kenapa masih di sini? kenapa tidak kuliah? Di sana nisa nungguin kamu terus.” Tutur kang jalal. “aku sudah malas kuliah, ini hidupku yang baru.” Ucap asep. Kang jalal meneguk air dari gelas. Lalu berkata “kamu mau terus seperti ini? kamu kemana kan ilmu yang selama ini kamu dapat?” “aku sudah tenang seperti ini, aku tidak butuh apaapa lagi.” Ujar asep. Kang jalal terdiam sejenak, dia menyandarkan tubuhnya ke dinding rumah. “nenek pasti kecewa sama kamu. jika dia melihatmu seperti ini, dia pasti menangis. kamu mau tahu cerita tentang nenek? Kamu pasti belum tahu masa mudanya?” ujar kang jalal. “untuk apa abi? apa masih penting?” ucap asep.
319 “cukup dengarkan. Abi merasa harus menceritakan ini.” tutur kang jalal. Bab 28 Aminah yang mulia Mungkin sekitar 33-an tahun yang lalu. Waktu itu aku masih seorang anak kecil yang berkeliaran di jalanan ibu kota. Tidak punya orang tua yang jelas, aku mengemis kepada setiap orang yang berbaju rapih. Hingga suatu ketika seorang wanita muda memungutku dari jalanan dan merawatku di rumahnya. Entah mengapa, saat itu aku percaya saja padanya, aku yakin bahwa dia itu bermaksud baik, kata-katanya lembut dan penuh kasih sayang. Dia sangat baik, setiap hari aku diberi nasihat, aku diberi makanan sehat, aku hidup berkecukupan. Tahun demi tahun aku lewati dengannya, aku makin kagum kepada dia. Dia yang tidak pernah mengeluh meski tubuhnya sangat kecil, dia terus bekerja. Dia mengajariku caranya bergaul, belajar dari orang lain, berusaha, dan dia menjawab semua pertanyaan yang aku berikan. Wanita itu begitu pintar.. Sepertinya dia bekerja sebagai seorang penulis, karena setiap hari dia pasti menulis. namun
320 aku tidak pernah tahu apa yang dia tulis, aku tidak pernah membacanya, aku juga tidak tahu buku apa saja yang sudah dia buat. Dia juga sering membaca, bahkan sangat-sangat sering, dan dia juga mengajariku membaca, itulah mungkin saat-saat yang paling indah dalam hidupku.. ketika aku duduk di hadapannya saat dia mengeja huruf demi huruf untuk mengajariku. Dia hidup berdua denganku, hanya berdua. yang aku tahu, dia itu tidak bersuami, aku tidak pernah melihat seorang lelaki pun di rumah kami. Aku terus tumbuh dalam bimbingannya, dia mengajariku berdagang, dia mengajariku mengatur uang. Saat itu umurku masih muda, mungkin sekitar 15 tahun, dia mengusirku dari rumah, dia memasukkan aku ke sebuah pesantren. Aku sangat sedih, namun aku terus belajar semampuku. Beberapa bulan sekali aku akan mengunjunginya, bercerita pengalamanku padanya, bertanya segala hal yang mengganggu pikiranku. Ketika umurku sudah lumayan dewasa, sekitar 20 tahun. Dia mengatakan padaku bahwa dia akan pindah ke desa, dia akan meninggalkan kota untuk selamanya. Dia memberikan rumahnya ke padaku, memberikan aku sejumlah uang untuk membuka usaha. Dia sangat berharap agar aku bisa berguna bagi lingkunganku, aku pun sangat ingin
321 membuatnya bangga. Namun ternyata yang ku mampu hanya sebatas menjadi penjual kain. Kemudian Dia pergi ke desa dengan seorang anak bayi yang tidak ku tahu namanya, anak itu bahkan belum bisa bicara. Entah kenapa dia memutuskan untuk pindah, aku pun tidak tahu dan tidak pernah mencari tahu. Aku tidak berani untuk mengganggu keputusannya, meskipun saat itu aku sedih. Ketika dia sudah pindah ke desa, Aku selalu ingin mengunjunginya, namun dia seringkali melarangku, dia melarangku untuk bertemu dengannya, entah karena apa. Mungkin Cuma 2 atau 3 kali aku bertemu dengannya di kampung, itupun di rumah pak RT. Di pertemuan terakhir itu dia berpesan padaku. Bahwa kelak dia akan menyerahkan seorang anak laki-laki kecil kepadaku, dia meminta aku agar merawatnya, menjaganya, membimbingnya. Dia juga telah menyiapkan biaya untuk pendidikan anak tersebut, sepertinya dia sudah merencanakan itu dengan rapih. Saat anak itu benar-benar diserahkan padaku, aku sungguh takjub pada anak itu. Dia sangat cepat belajar, dia cerdas, dia jarang mengeluh, sepertinya wanita itu menurunkan semua ilmunya pada anak kecil itu. Aku pun berusaha agar
322 anak itu tetap pada jalurnya, bersemangat dalam belajar dan rajin beribadah. Aku sangat kagum kepada wanita tersebut. Dia sangat kuat, dia sangat sabar. Dia itu manusia yang mulia di mataku, di hatiku, aku tidak membayangkan apa jadinya diriku jika tidak ada dia, aku pasti hanya jadi seonggok muntah di samping tempat sampah. Saat yang paling membuatku sedih, ya.. benar.. itulah saat yang paling sedih dalam hidupku. Waktu itu aku mendengar kabar bahwa dia meninggal dunia. Aku sangat sedih, aku menangis dalam do’aku. Seandainya saja waktu itu aku hanya sendirian di rumah, aku pasti sudah meraung-raung seperti bocah, dan nyatanya, aku memang menangis sangat kencang dalam hatiku. Dia itu sangat baik. Entah berapa kali harus ku katakan, dia itu sangat baik, sangat-sangat baik. Dia sekarang pasti sudah duduk di tempat yang terbaik, penuh cahaya dan wewangian. Aku pun sudah membuang kesedihanku, aku tidak egois, dia memang akan lebih bahagia di sana, aku yakin. Dia sudah lelah dengan dunia, dia pasti merasa asing dengan dunia ini, dunia yang menyisakan sedikit cahaya. Di hadapanku sekarang, sedang duduk seorang anak yang jadi harapannya di dunia. Wanita itu sangat ingin agar anak ini menjadi orang yang
323 berguna, agar anak ini tidak hanyut dalam kesenangan ataupun kesedihan, agar anak ini berguna bagi orang lain. Dia ingin anak ini menjadi cahaya bagi dunia, bagi bangsa ini khususnya. Dia ingin agar anak ini meneruskan kerja kerasnya, bahkan ingin agar anak ini lebih baik dari dia. Aku tahu, karena aku pernah jadi anaknya.. Itulah dia, Dia itu ibuku, namanya aminah. aminah yang mulia.. Kang jalal menyudahi ceritanya, kemudian menghapus air mata di pipinya. Tak jauh dari kang jalal ada asep yang sedang menangis. Dia menangis tersedu-sedu, tangisan yang sangat haru, bahkan akan membuat orang yang melihatnya ikut bersedih. Tangisan itu menguras hatinya yang tenggelam, mengeluarkan air mata yang sudah lama memelihara duri-duri tajam. Segala jenis rasa berkecamuk dalam dirinya, dia berusaha untuk bangkit, bangkit yang benar-benar bangkit. “nenek.. maafkan aku.. atas kebodohan.. yang telah aku perbuat.. maaf..” ucap asep dengan suara yang lirih. Asep berusaha menghentikan tangisannya. Sementara itu dalam hatinya ada rasa bangga bercampur sedih tentang sang nenek. Dia tidak menyangka bahwa neneknya lebih baik dari perkiraannya selama ini. dia tidak menyangka bahwa nenek punya harapan yang besar terhadap dirinya.
324 Asep lalu bertanya kepada kang jalal “abi. Siapa ibuku?” Kang jalal terdiam sejenak, lalu menjawab “abi tidak tahu pasti siapa ibumu. Dulu nenek pernah cerita bahwa kamu itu diambil dari jalanan juga, sama seperti abi.” Ketika asep sedang merenungi kehidupannya, kang jalal kembali berbicara “nak, ada beberapa hal lagi yang ingin abi katakan.” Ucap kang jalal. Asep menghapus air matanya. “apa itu abi?” tanya asep. “sebenarnya ada dua hal yang ingin abi katakan.” Kang jalal terdiam sejenak. Lalu melanjutkan perkataannya “yang pertama. Ketika nenek pindah ke desa, dia menitipkan sejumlah uang kepada abi. Uang itu untuk kamu nak, untuk biaya hidup kamu.” Ucap kang jalal. Lalu kang jalal menyodorkan sebuah kartu ATM. “di dalam tabungan itu mungkin masih ada uang sekitar 15 juta. Itu uangmu. Gunakan sebaik mungkin.” Tutur kang jalal. “abi serius? Uang nenek sebanyak itu?” tanya asep tidak percaya. Nenek yang selama ini hidup dalam keterbatasan, ternyata telah membuat rencana untuknya. Nek minah telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk asep, sulit bagi asep untuk menerima kenyataan yang penuh kejutan itu.
325 “iya, itu uangmu nak! Tadinya uang itu untuk biaya sekolah dan kuliah. Tapi sekarang itu terserah kamu. Abi yakin kamu sudah tahu apa yang terbaik untukmu.” ucap kang jalal. Lalu kang jalal kembali berkata “dan hal yang ke-dua adalah. Abi ingin bertanya padamu nak. apakah kamu mau menikah dengan nisa? Dia sudah dewasa dan sangat patuh pada agama. Dia menyerahkan masalah pendamping hidupnya kepada abi. karena itu abi tidak mau anak kesayangan abi jatuh ke orang yang salah.” Tutur kang jalal. Asep sangat terkejut mendengar perkataan kang jalal. Begitu tiba-tiba. dia terdiam cukup lama. “apa abi tidak salah bicara? Abi.. Nisa itu sudah seperti saudaraku sendiri.” Ucap asep. “Pikirkanlah dulu! Ini nomer abi! Disitu juga ada nomer pin ATM yang tadi. Tenang saja nak, tidak usah terburu-buru. Pikirkan ini baik-baik.” ucap kang jalal seraya menyerahkan secarik kertas berisi nomer telepon dan nomer pin ATM. Lalu dia melanjutkan perkataannya “berpikirlah dengan matang! Abi tidak memaksa, itu hanya tawaran. Toh jodoh sudah ada ditentukan oleh Allah.” ucap kang jalal. “aku bukanlah orang yang pintar dalam hal agama. Dan aku tidak mungkin menikahi seorang yang sudah seperti saudariku sendiri.. ini tidak mungkin. Tapi akan kemana aku setelah ini, akan kemana aku melangkah? Apa lagi yang akan aku cari dalam hidup ini?” Pikir asep.
326 “abi.. Aku pikir-pikir dulu, sekarang aku masih bingung.” Jawab asep. “baiklah. Abi tunggu kabarnya ya nak. Ya sudah abi hendak pulang lagi ya nak. Di jakarta abi sedang sibuk.” Ujar kang jalal. Kang jalal pun akhirnya kembali ke jakarta. Meninggalkan asep yang baru saja sadar dari penjara kesedihan. Bab 29 Yang terlewatkan Pagi hadir dengan cerah. Asep bangun dengan semangat baru yang tertanam dalam dirinya. Telah lama dia kehilangan senyumnya, pagi ini dia menemukan kembali senyum itu. senyum yang dulu pernah hilang di balik sebuah kesedihan. kesedihan yang menenggelamkannya ke arus yang dalam. sekarang dia tengah mencoba menemukan kembali jalan hidupnya. “apa yang harus aku lakukan sekarang? Terlalu banyak yang sudah terlewat dan terlupakan. Dari mana akan ku mulai lagi hidup ini? ...iya.. aku ingat.. dulu aku adalah seorang pemuda yang berusaha menjadi berguna. Itu yang nenek inginkan.. itu juga yang memang harus aku lakukan sebagai manusia..
327 namun bagaimana caranya aku bisa jadi berguna jika aku terus seperti ini? hhh.. terlalu banyak orang yeng kesulitan di lingkunganku ini. sepertinya aku harus benar-benar menjadi orang yang pintar agar mampu mengangkat orang lain dari lumpur kebodohan. Sepertinya aku harus menjadi orang yang kaya agar mampu melepaskan orang lain dari jerat kemiskinan. Dan aku yakin! aku harus menjadi orang kaya yang pintar agar mampu menyelesaikan permasalahan itu dengan benar.” Pikir asep. Asep mengambil kartu ATM yang diberikan oleh kang jalal. “apa yang bisa aku lakukan dengan uang ini? oiya! Buku catatanku!” pikir asep. Asep mengambil koper nek minah yang berada di kolong ranjang. Seingatnya dia telah memasukkan buku cacatan itu ke dalam koper tersebut, namun dia lupa. Kala itu dia telah melemparkan buku itu keluar rumah. Asep membuka koper itu dan mengeluarkan semua isinya. Ada banyak buku-buku besar yang sudah berdebu dan berlubang, namun buku catatannya tidak ada sama sekali. “hhh.. buku catatan itu tidak ada.. entahlah, mungkin aku lupa menyimpannya. Sudah terlalu lama aku membiarkan diri ini hilang kesadaran.. terlalu lama aku melupakan duniaku sendiri..” pikir asep.
328 asep termenung di atas ranjang nek minah. Dia terdiam cukup lama, mengingat-ingat kembali masa lalu yang belum cukup lama, namun masa lalu itu sudah terkubur sangat dalam di dalam pikirannya. “..vita, bagaimana kabarnya? Mungkinkah dia sudah menikah dan punya keluarga yang bahagia. Imam, di mana dia? rumahnya dekat tapi aku sudah lama tidak menjumpainya.. apakah dia masih ada di rumahnya? Hhh.. betapa bodoh diri ini! kenapa aku bisa bodoh seperti ini.. aaarrgh.. aku harus memperbaiki ini semua.. banyak pekerjaan yang harus ku lakukan.. di jakarta ada abi sudah menunggu kabar dariku.. apa aku pergi saja ke jakarta, menikah dengan nisa, aku catat lagi segala permasalahan lingkunganku, lalu aku selesaikan semampuku..” Asep berpikir sambil merapihkan buku-buku yang tadi dia keluarkan dari koper. “..aku akan membuka sebuah toko buku di sana.. aku bisa mencari uang sambil terus belajar dan mendapat ilmu.. aku juga bisa mengajari beberapa anak jalanan untuk membaca.. suatu saat nanti aku pasti menjadi orang yang benar-benar kuat dan bisa berbuat banyak! ..aku sudah terlalu tua untuk kuliah.. ..pasti tidak harus menjadi seorang presiden jika ingin membuat perubahan.. sekarang pun aku bisa! iya aku yakin tentang hal itu.. sekarang pun aku bisa membuat perubahan!” pikir asep.
329 Asep bangkit dari duduknya. Dia mengambil tas, memasukkan beberapa buah baju yang masih layak pakai, dan dia merapihkan dirinya. Dia telah siap untuk kembali ke jakarta. Meneruskan tujuan hidup yang selama ini terlupakan. Dia rapihkan rumah ne minah, karena akan dia tinggalkan untuk waktu yang lama. Setelah itu dia mulai melangkahkan kakinya keuar dari rumah. Dia tatap rumah itu dari jalan desa. Cukup lama dia berdiri di sana, menatap dengan senyum harapan untuk menjejakkan lagi kakinya menuju kehidupan. “aku harus pergi ke rumah imam dan vita dulu.. harus memperbaiki hubungan yang sempat terputus.. iya, bagaimana pun mereka itu adalah teman.. hhh.. sudah seperti apa ya mereka?” Pikir asep. *** “Assalamu ‘alaikum..” salam asep. Dia berdiri di depan rumah imam. Rumah yang telah banyak berubah. Rumahnya lebih bagus, ada pekarangan yang rapih dengan bunga-bunga kecil yang berwarnawarni. Asep merasa asing dengan rumah itu, namun dia yakin bahwa itu adalah rumah imam. “wa ‘alaikum salam.” Jawab seseorang di dalam rumah.
330 Tak lama kemudian ada seorang wanita membuka pintu. Wanita itu adalah ibu imam, asep masih mengingat wajahnya dengan jelas. “imamnya ada bu?” tanya asep. “imam baru saja berangkat kerja ke kebun teh. Sore nanti dia baru pulang. Ke mana saja kamu sep? baru kelihatan lagi?” ucap ibu imam. “saya di rumah aja kok.. ya sudah, terima kasih ya bu. Saya susul dia ke kebun teh deh.” Ucap asep. “ke sana saja. Sekarang imam sudah jadi mandor kebun, jadi tidak terlalu sibuk.” Ucap ibu imam. “mandor? ..alhamdulillah.. ternyata imam jadi mandor kebun. Kalau tidak salah memang itulah cita-citanya.. hmm.. dia berhasil!” pikir asep. Asep melanjutkan kembali langkahnya. Kali ini dia menuju rumah vita. dia sangat berharap vita ada di rumah. Berharap dia bisa mengobrol dan meminta maaf karena pernah berlaku kasar kepada vita. *** “assalamu ‘alaikum..” salam asep. Dia berdiri di depan rumah vita. berbeda dengan rumah imam yang rapih dan lebih baik. Rumah vita justru terlihat tidak terawat. Rumput-rumput di halaman depan terlihat sudah lebat. Tidak ada bunga dan kupu-kupu yang
331 dulu sering terlihat. Kini suasananya berubah menjadi sangat dingin. “wa ‘alaikum salam..” jawab ibu vita dari dalam rumah. Setelah itu pintu mulai terbuka. Terbuka dengan sangat perlahan, seakan pintu itu begitu berat untuk digerakkan. Mulai terlihat sosok ibu vita. wajahnya kehilangan cahaya, dia terllihat begitu lelah, entah beban apa yang menggelayuti hidupnya. “ada perlu apa kamu nak?” tanya ibu vita dengan nada datar. “maaf tante.. vitanya ada? Saya mau ketemu vita.” ucap asep. “untuk apa?” tegas ibu vita. “ada apa sebenarnya? Kenapa rumah ini jadi begitu dingin?” tanya asep dengan suara yang pelan. “baiklah. masuk! Ibu akan bicara serius denganmu.” Ucap ibu vita. Asep masuk ke dalam rumah. Sudah lama dia tidak duduk di kursi itu. ada kilasan-kilasan kenangan indah yang terlintas di pikirannya. Masa kecil yang pernah dia lalui denngan vita, perasaan cinta yang dulu begitu membara. Kini semua itu hanya kenangan, asep sedah tidak lagi memikirkan vita layaknya dahulu.
332 Asep duduk berhadap-hadapan dengan ibu vita. “vita di mana tante? Apa dia sudah menikah?” Ibu vita terdiam sejenak. “vita sedang jalan-jalan dengan calon suaminya.” Ucap ibu vita. “Calon suami? Siapa?” tanya asep. Terkejut mendengar ucapan ibu vita. Lalu ibu vita mulai berbicara kembali “ibu akan bercerita beberapa hal. Sudah lama kamu tidak kesini, ada banyak hal yang kamu belum tahu.” Dia terdiam cukup lama. Matanya menitikkan air mata, tubuhnya terlihat gemetar. Asep semakin bingung dengan apa yang dia lihat, ibu vita terlihat seperti sedang menghadapi suatu ketakutan. Kemudian ibu vita melanjutkan perkataannya “ibu masih sangat ingat hari itu. beberapa hari setelah nenekmu meninggal. Hari itu vita kembali ke rumah dalam keadaan yang kacau, dia menangis, mngurung diri di kamar, entah apa yang terjadi padanya. Ibu mencoba untuk menenangkan, namun selalu gagal. Hampir dua hari dia mengurung diri, ibu telepon ayahnya yang sedang di kota..” ceritanya kembali terhenti, matanya kembali menitikkan air mata, bahkan lebih banyak dibanding sebelumnya. “ketika ayahnya pulang. Dia mendobrak pintu, lalu, vita sedang menangis, dia terus menangis di dalam kamarnya. ibu tidak mengerti apa yang dia tangisi, dia tidak menjawab meski berkali-kali ditanya.” Tutur ibu vita lalu terdiam, dia mengusap air matanya yang terus saja mengalir.
333 “tante tidak apa-apa?” tanya asep. ibu vita kemudian dia melanjutkan ceritanya “vita tidak mau bicara.. dia tidak mau makan.. akhirnya ayahnya memutuskan membawa dia ke rumah sakit.” terdengar cegukan tangisan yang menghentikan lidahnya untuk berkata. dia terlihat begitu sedih. “hari itu mereka kecelakaan!” tegas ibu vita. Asep terkejut mendengar ucapan tersebut. “siapa yang kecelakaan?” tanya asep dengan panik. “vita dan ayahnya..” tutur ibu vita dengan lirih. “kamu pergi ke kebun sana.. mereka ada di sana. hibur vita! ibu tak kuasa lagi melihat dia yang seperti itu. Ibu sangat sedih..” ucap ibu vita. “mungkinkah? Waktu itu vita sedih karena kelakuanku? Karena aku waktu itu kasar sekali.. Aaaargh tidak mungkin! Tidak mungkin bisa separah itu!” pikir asep. Asep terdiam. Hatinya ikut bersedih. Ternyata telah banyak hal yang terlewatkan olehnya. “pergilah! Ke vila tempatmu bermain dulu! Pergilah! Kamu itu temannya, semoga dia bisa menjadi lebih baik.” Ujar ibu vita. Asep bergegas pergi ke kebun teh. Dia berlari sekuat tenaga. Kebun yang tidak begitu jauh, namu lumayan menguras tenaga untuk sampai di sana. Jalan yang luas, rapih dari susunan batu-batu bata,
334 terasa lebih berliku ketika pikirannya ditunggangi kebingungan, ketika hatinya menerka bahwa dia telah berbuat kesalahan. Semua itu membuat tubuhnya lemas, semakin lemas ketika semakin dekat menuju kenyataan. *** Langkah kaki asep menjadi pelan. Dia sudah dekat dengan sebuah rumah kecil. Dari kejauhan samar-samar terlihat seorang wanita duduk di depan rumah itu. seorang wanita yang masih dia kenal, meski hanya sedikit yang masih dia ingat. asep mendekatinya dengan perlahan. Semakin jelas bahwa wanita itu adalah vita. wajahnya terlihat sangat lelah, dia duduk di sebuah kursi roda. Matanya menatap kosong kebun teh yang masih berembun, tubuhnya dibalut baju putih yang tebal, dengan sebuah syal berwarna abu-abu di lehernya. “Vita!” sapa asep. Asep memperhatikan vita dengan sangat dekat. Dia tahu itu vita, namun ada banyak perubahan dalam diri vita yang membuatnya terlihat asing. Dia terlihat sangat lemah. Asep melihat vita sedang menggenggam sebuah buku kecil di tangannya. Buku yang tidak asing bagi asep. Buku itu adalah buku catatan yang pernah dia buang. Terlintas kembali kenangan ketika dia membuang buku itu, ketika dia memarahi vita dengan sangat kejam.
335 “vita!” asep kembali menyapa vita. mereka hanya berjarak empat langkah. saling berhadapan namun vita sama sekali tidak menatap wajah asep. Asep sungguh kebingungan. Dia hanya berdiri menatap vita, sedang dalam hatinya berecamuk rasa bersalah. Dia mulai sadar semua itu adalah akibat perbuatannya. Asep melepaskan tasnya yang berat. Dia mendekati vita langkah demi langkah, hingga dia benar-benar berhadapan dengannya. Vita masih saja menundukkan pandangannya seakan begitu takut untuk menatap asep. Tangannya menggenggam buku itu dengan begitu erat, terlihat air mata yang menetes ke buku tersebut. Titik-titik air mata itu berjatuhan, tidak berbicara namun mengatakan kepedihan. Lemah jari-jari itu bergetar, tidak menampar namun menyimpan kemarahan. “Vit! Katakan sesuatu vit! Apa semua ini salahku?” tanya asep. Dia menggenggam kedua tangan vita dengan begitu erat, hingga dia bisa merasakan dinginnya air mata vita yang menetes. Asep tidak menitikkan air mata, namun dia begitu sedih ketika melihat seorang perempuan yang dicinta kini telah duduk lemah, tak berdaya, diam megunci lidahnya. “maafkan aku vit..” ucap asep dengan lirih. “selama ini, aku berhasil menjaga hati ini agar tidak terlalu mencintai wanita.. namun aku gagal menjaga hati wanita yang justru mengasihiku.. aku gagal! Aku gagal menjaga hati orang lain.. Tanpa sadar, aku pasti telah menanam duri di hatinya.. maafkan aku
336 vita.. apa yang harus aku perbuat untuk mengganti semua ini? aku merasa sangat bodoh!!” pikir asep. “vita.. aku mohon bicaralah. jangan buat aku semakin merasa bersalah. adakah sesuatu yang bisa aku perbuat? Katakan vit! Katakan!” ucap asep. Vita sama sekali tidak menjawab kecuali dengan tetesan air mata. Dia bahkan belum menatap asep. Asep kemudian berusaha mengambil buku catatannya dari tangan vita. buku itu masih dalam keadaan yang baik, dengan sampul yang sama, hanya saja kali ini sudah ada sebuah judul di sampul depannya. “IKRO”, begitulah tertulis dengan jelas. Berwarna hitam, besar dan sangat tegas. Asep menggenggam buku itu dengan sangat erat. Tiba-tiba ada seseorang yang menarik asep dari belakang, hingga asep terpelanting. Buku catatannya juga terbuang menjauh. “jangan ganggu dia!” orang tersebut berteriak kepada asep. Asep berusaha untuk bangun, dia menatap orang itu dengan jelas-jelas. “imam?” ucap asep. Dia semakin bingung dengan semua yang terjadi. “mam.. ini aku asep mam! Ada apa ini sebenarnya? Kenapa vita?” asep berbicara dengan suara cukup keras. “kenapa!?” ucap imam seraya menatap asep. “harusnya aku yang bertanya kenapa? Vita selalu menangis ketika mendengar namamu! Dia juga terus-
337 terusan membaca bukumu yang tidak berguna itu!” lanjut imam. Dia berbicara dengan suara yang keras. Vita menjauh dari mereka berdua. Dia masuk ke dalam rumah, meninggalkan asep dan imam di halaman depan. Dia masih menangis, entah apa yang dia rasakan. “aku sadar mam.. aku yang salah.” Tutur asep. Dia terdiam sesaat. “bantu aku mam. apa yang harus aku lakukan?” ucap asep dengan suara yang semakin lemah. “lalu di mana calon suaminya? Apa dia ada di sini?” tanya asep. “sudah tidak ada yang bisa kamu lakukan! Aku calon suaminya!” ujar imam. Asep kembali terkejut mendapati kenyataan yang baru dia dengar. “kenapa selama ini kamu tidak cerita mam? Kenapa kamu tidak cerita kalau keadaan vita seperti ini?” tanya asep. “apa kamu tidak sadar sep! bangun sep! bagaimana keadaanmu waktu itu? kemana saja kamu selama ini? hah!?” teriak imam. “aku tidak mau vita terus menangis gara-gara kamu! Makanya aku tidak cerita! Kamu itu bodoh sep!” imam terdiam sejenak, dia menghela nafas sekan ingin menenangkan dirinya. “aku sep! aku lah yang setiap hari membawanya ke sini, aku lah yang setiap pagi memberinya seikat bunga, aku lah yang setiap sore membawanya pulang! Aku yang selalu berusaha membuatnya
338 tersenyum! Ambil buku bodohmu itu dan pergi dari sini!” ucap imam. “aku tidak bisa mam! Aku tidak bisa meninggalkan dia seperti itu. aku sadar aku lah yang salah. Bantu aku untuk merubah semua ini..” ucap asep. Imam terdiam lama, dia terlihat kebingungan. Dia menyandarkan punggungnya ke tiang rumah itu, mengusap wajahnya dengan perlahan. Dia sangat terlihat kebingungan, Kemudian dia kembali berbicara “entahlah sep. mungkin ini juga salahku. aku juga sadar bahwa aku tidak bisa membuatnya bahagia, tapi.. kamu itu sep.. bodoh!” imam tiba-tiba masuk ke dalam rumah, dia membawa vita kembali ke depan. Dia mendorong kursi roda itu dengan pelan, mereka berhadap-hadapan. Reuni yang sangat di luar dugaan. “berjanjilah sep! bahagiakan vita dan tinggalkan buku bodohmu itu! tinggalkan semua kegiatanmu yang sok pahlawan!” ucap imam, wajahnya terlihat lebih ramah. Vita masih diam di atas kursi rodanya, dia belum berbicara sepatah kata pun. Imam lalu berbicara “aku sudah membaca buku itu. aku sadar betapa dunia ini sudah hancur. Tapi sep.. Lihat semua masalah itu, itu bukan tanggung jawabmu!” dia terdiam sesaat. “lihat keadaan vita sekarang! kamu tidak mungkin bisa menemani keduanya bersamaan! jika kamu ingin mengobati semua kesalahanmu, maka temani vita dengan sungguh-sungguh! Lupakan semua tujuanmu di buku itu!” ucap imam.
339 “aku..” “apakah akan seperti ini akhirnya.. apakah memang tidak mungkin untuk melanjutkan cita-cita itu.. aaarrghh.. aku sangat bersalah pada vita.. aku juga sayang dia.” pikir asep. “aku pasti bisa menjaga kedua-duanya! Aku bisa membahagiakan vita sekaligus meneruskan perjuanganku untuk bangsa ini! aku yakin mam!” ucap asep dengan tegas. Tiba-tiba vita berbicara. “kamu hanya manusia biasa sep!”. vita lalu berbicara kepada imam “sudahlah! Ini semua sudah cukup! Tolong bawa aku pergi dari sini mam!” ucap vita. Imam mulai menjalankan kursi roda vita, dia berhenti sejenak ketika berada di hadapan asep, lalu berbicara sangat pelan kepada asep “nikahi vita.. lamar dia malam ini juga, atau jangan pernah temui dia lagi!”. Kemudian imam membawa vita pergi menjauh, meninggalkan asep yang berdiri sendirian dalam kebingungan. ***
340 Bab 30 Keputusan Takdir tak memberi kabar, waktu tak pernah sejenak pun bersandar. Asep duduk merenung di kamarnya. Siang ini terasa sangat berat. Dia telah membaca kembali buku catatannya meski banyak hal yang sedang dia pikirkan. Dia harus mengambil keputusan dalam waktu yang singkat, sementara memilih diantara keduanya adalah sesuatu yang berat baginya. satu sisi dia punya keinginan untuk membuat neneknya bangga, dia tidak mau menyianyiakan perjuangan yang sudah dilakukan nek minah untuknya. di sisi lain ada seorang wanita yang terluka akibat perbuatannya, wanita itu harus dijaga dan dirawat dengan penuh kesungguhan. “kesalahan yang tidak pernah ku sangka.. aku memang salah, aku sudah kasar pada vita.. waktu itu dia masih labil, masih mudah goyah.. aaarrgh sudahlah, untuk apa memikirkan yang lalu.. apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku nikahi vita lalu lupakan lingkunganku untuk selamanya.. aku tidak mungkin melakukan itu.. aku tidak mungkin membiarkan bangsa ini hancur sementara aku hanya menonton.. seingatku aku tidak punya salah kepada bangsa ini, aku justru punya salah kepada vita.. aku punya tanggung jawab untuk mengobati kesalahan yang
341 telah ku perbuat pada vita.. bangsa ini punya kewajibannya sendiri untuk berubah.. tapi bangsa ini sedang mabuk.. dia tidak sadar bahwa dia sedang menuju kehancuran.. aaarrghh, aku harus tetap mengingatkan bangsa ini.. ya.. benar.. ..aku cukup mengingatkan bangsa ini.. biar mereka yang mengambil langkah selanjutnya.. mereka juga manusia yang pasti punya hati.. tidak usah diancam agar sadar.. Hhmmm.. lalu bagaimana cara mengingatkan mereka.. Apakah akan ada gunanya jika aku mengirim buku ini ke presiden? agar dia yang menyampaikan pesan buku ini.. Dia adalah orang yang paling mampu untuk meneruskan itu semua.. tapi aku sendiri belum yakin apa dia akan mau untuk memperjuangkannya.. dia pasti sudah punya tujuan lain. hhhh.. atau aku kirimkan saja buku ini ke penerbit, siapa tahu nanti bisa diterbitkan.. tapi sepertinya tidak mungkin.. penerbit mana yang tertarik dengan buku yang isinya Cuma masalah? Entahlah.. Tapi apa salahnya jika aku mencoba.. iya.. aku belum mencoba, aku tidak boleh terlalu cepat menyimpulkan.. aku harus kirim buku ini ke presiden dan ke penerbit.. berdo’a semoga mereka peduli.. setelah itu aku harus telepon abi, aku harus kabari dia bahwa aku tidak bisa menikah dengan nisa.. setelah itu aku lamar vita malam ini.. ya.. mungkin begitulah akhirnya..
342 Semua ini tak semudah yang ku bayangkan.. hhh.. Ya Allah maafkan atas segala salahku.. sudah! Sudah cukup pikiran ini berputar, sekarang waktunya kaki yang berjalan!” pikir asep. Seketika itu juga dia bangkit. Dia ambil tasnya yang tergeletak di lantai. Dia keluarkan lagi baju-baju yang sempat dirapihkan dalam tas lalu memasukkan buku catatannya. Sesampainya dia di warnet terdekat. Dia baca kembali buku itu, dia buat kesimpulan, lalu dia ketik huruf demi huruf hingga tidak tertinggal satu pun. Siang itu dia sangat bergegas, segala sesuatunya dia buat dengan cepat namun tetap dengan rapih. Dia masuki kantor pos terdekat. Dia kirim buku itu bersama segenap harapannya, segenap rasa cintanya kepada lingkungan. Dia kirim buku itu dengan harapan tidak ada satu pun yang nanti akan menyianyiakannya. dengan harapan tidak ada satu pun yang Cuma memperdebatkan. Dan Dengan harapan semua orang bisa menyampaikan sendiri pesan buku itu kepada hatinya masing-masing. Tanpa harus diteriaki atau dijajah. *** “Assalamu ‘alaikum abi” salam asep. Dia sedang menelepon di salah satu bilik di wartel.
343 “wa ‘alaikum salam.. ini siapa? Nak Asep ya?” jawab kang jalal di ujung telepon. “iya abi..” terdiam sesaat, lalu asep melanjutkan perkataannya “abi, maaf abi. Sungguh sulit untukku mempertimbangkan semua ini. takdir memang tak bisa ditebak. Abi pasti paham akan hal itu. abi. aku punya kesalahan pada orang lain yang harus aku selesaikan. Aku tidak bisa meninggalkannya.” Terdiam sesaat. “sepertinya aku tidak bisa menikahi nisa..” ucap asep. “ooh. Ya sudah nak. Jangan terlalu diambil pusing. Abi selalu yakin bahwa jodoh itu sudah diatur, bahkan dari pertama kita lahir. Sudah nak, kamu sudah sangat dewasa. jalani saja yang terbaik untukmu, kamu sudah punya jalanmu sendiri. Abi selalu mendukung.” Ucap kang jalal. “terima kasih abi. Sampaikan salamku kepada nisa dan ummi. Aku sayang kalian.” Ucap asep. “iya nak. Pasti abi sampaikan. Kami juga menyayangimu. Beri kabar jika hendak menikah, kami adalah keluargamu.” Ucap abi. “pasti abi. Ya sudah abi, aku sedang buru-buru. Nanti aku kabari lagi. Assalamu ‘alaikum.” ucap asep. “wa ‘alaikumussalam.” Jawab kang jalal.
344 Obrolan itu pun usai. Asep sangat lega, satu demi satu urusannya terselesaikan tanpa masalah. Dia bergegas kembali ke kampung. *** Asep tidak pulang ke rumah. Hari sudah mulai gelap, tak lama kemudian adzan maghrib pun terdengar. dia bergegas menuju surau yang dulu jadi tempatnya menuntut ilmu. Dia shalat mahrib. Selesai shalat dia melihat ada yang berbeda di surau itu, kini sudah tidak ada lagi yang mengaji setelah shalat maghrib, anak-anak kecil pedesaan mungkin sudah melupakan kewajiban untuk mengaji. Di barisan depan asep melihat mang udin yang sedang duduk seraya tangannya memutar tasbih. Asep bangkit dari duduknya, dia bergegas untuk segera pulang. Namun tiba-tiba mang udin memanggilnya. “asep! Kemari nak!” Asep berbalik. Dia menghampiri mang udin. Lalu berkata “ada apa mang?”, dia sangat tergesa dan berharap mang udin tidak berlama-lama. Ada apa nak? Kamu terlihat bingung?” mang udin balik bertanya kepada asep. Asep tiba-tiba ingin menangis. Namun dia mencoba untuk menahannya. Wajahnya terlihat sendu meski dia berusaha menyembunyikannya. Kemudian asep menunduk, lalu berkata “entahlah mang. Aku
345 bingung.”. keyakinan yang dia dapati tadi siang kembali menguap. Dia kembali kebingungan untuk mengambil langkah. Berhadapan dengan mang udin membuat asep mengingat kembali neneknya. kini mang udin terlihat seperti jelmaan sang nenek yang hendak menanyainya. asep malu. Dia malu pada diri yang tidak bisa berbuat banyak. “Apa kamu sudah mencari jawaban kebingungan itu dalam Al-Qur’an? Apa yang membuatmu bingung nak?” tanya mang udin. “aku bingung. Mana yang sebenarnya harus aku lakukan? Aku takut salah dalam melangkah.” Jawab asep. “mamang masih ingat ketika kamu masih kecil dulu. Kamu begitu berani dalam bertanya, berpendapat. Kamu juga cepat dalam belajar. Yang paling mamang ingat itu ketika kamu bertanya soal ayat pertama AlQur’an. “iqra”, membaca alam. apa kamu sudah bisa membaca alam nak? Jika sudah, lalu kenapa kamu masih kebingungan?” tanya mang udin. “mang.. mungkin aku akan jarang kembali ke sini lagi. Jadi tolong jelaskan ayat terakhir yang diturunkan oleh Allah. Tentang apakah ayat itu? atau bacakan ayat mana saja. Berikanlah aku nasihat. ” pinta asep seraya menatap mang udin. Mang udin kemudian mengambil sebuah Al-Qur’an kecil dari pojok surau. Dia kembali mendekat pada
346 asep, lalu mulai memberi nasihat. “diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah, daging hewan yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali kamu sempat menyembelih hewan itu. diharamkan juga bagimu hewan yang disembelih untuk berhala. Diharamkan juga mengundi nasib dengan anak panah. Mengundi nasib dengan anak panah adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk mengalahkan agamamu. Karena itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang..” mang udin terdiam sesaat. “itu ayat terakhir yang diturunkan Allah. Apa kamu sudah temukan jawabannya?” tanya mang udin. Asep terlihat menitikkan air mata. Wajahnya menunduk. Dia kemudian berkata “terima kasih mang.. jawaban itu lebih dari cukup. Sekarang aku yakin langkah mana yang akan aku ambil.” “berterima kasihlah pada Allah. Dia sekarang pasti sedang menatapmu hingga ke lubuk hati paling dalam. Jangan ragu-ragu dalam melangkah, namun jangan pula tergesa-gesa. Hidup ini memang penuh
347 pilihan. Jangan sesali yang sudah berlalu, jangan pula berandai-andai akan hal yang tidak mungkin untuk dilakukan.” Ucap mang udin. Dia menatap asep, lalu kembali berkata “pilihlah yang terbaik, jalani dengan sungguh-sungguh. Allah pasti tidak akan menyianyiakan usaha hamba-Nya.” tegas mang udin. Asep terus menitikkan air mata. entah bagaimana caranya, mang udin sepertinya tahu apa yang sedang asep hadapi sekarang. Asep lalu berkata pelan, “terima kasih mang. Sekarang aku harus memperjuangkan pilihanku. Semoga Allah memaafkan aku.” Asep kemudian menjabat tangan mang udin. Mang udin menepuk pundak asep seraya berkata “jaga dirimu baik-baik. Jadilah orang yang berhati besar, bukan hanya tujuan yang besar. Relakanlah suatu kegagalan untuk satu keberhasilan di sisi yang lain, karena hidup itu pilihan nak. Hidup itu tentang pilihan dalam kebaikan.” Asep meninggalkan mang udin dan surau itu. lalu dia berjalan menuju rumah imam. “semua ini harus menjadi jelas, agar tidak ada yang mengganjal di masa yang akan datang. Aku sudah cukup belajar, sekarang aku harus lebih berhatihati.” Pikir asep. Sesampainya di rumah imam asep langsung mengetuk pintu rumahnya dan mengucap salam.
348 Hingga tak lama kemudian imam keluar, dan dia langsung memeluk asep. Imam tiba-tiba menjadi begitu baik, ini sangat diluar dugaan asep. “kenapa mam?” tanya asep. “Masuklah! Aku ingin bicara denganmu.” Ucap imam seraya mengajak asep masuk ke dalam rumahnya. Mereka duduk di ruang tengah. Lalu imam melanjutkan perkataannya, “sep.. maafkan aku karena aku pernah membohongi kamu dan vita. mungkin semua ini adalah salahku. Jika saja aku jujur, kalian berdua pasti sudah bahagia.” Asep kaget mendengar ucapan imam. “kapan kamu berbohong? Lalu kenapa? Aku ingin semua ini jadi jelas.” Ucap asep. “aku sering berbohong waktu kamu bertanya tentang vita. aku juga pernah berbohong ke vita waktu dia bertanya tentang kamu.. aku suka vita sep. tapi semakin lama aku menjaga dia, aku sadar bahwa dia itu selalu menunggu kamu.. dan aku seringkali berkata bahwa kamu itu tidak ada di rumah. Maafkan aku sep. maaf.” terang imam. Dia meminta maaf dengan sangat tulus, berharap asep tidak menjadikannya sebagai musuh. Asep terdiam lama. Lalu berkata “hhh, ya sudah lah mam. terima kasih kamu sudah mau jujur. Semua ini sudah terjadi, Aku sudah memaafkan kamu, semoga vita juga sama. Mam, antar aku ke rumah vita ya! kita jelaskan ini semua.” Ucap asep.
349 “aku tidak berani sep. terlalu banyak salahku, dia pasti akan membenciku. Aku tidak bisa melihat dia yang bersedih karena aku. Pergilah sendiri! petiklah beberapa kuntum bunga di halaman depan, dia sangat suka yang berwarna putih. Pergilah sep! Suatu saat nanti aku pasti minta maaf langsung. Nikahi dia sep. jangan berbuat bodoh, jangan teruskan cita-citamu untuk menjadi presiden atau orang besar sep, biarkan orang lain yang melakukan itu. aku titipkan perasaanku padamu, aku tidak mau membuatnya bersedih lagi.” Tutur imam. “semoga pilihanku ini adalah yang terbaik.” Ucap asep. Asep pergi ke rumah vita. dia memetik beberapa tangkai bunga, mencampur warna putih dengan merah. Lalu berjalan perlahan menuju rumah vita, seraya memikirkan kata-kata yang tepat untuk menenangkan vita. vita, wanita idamannya selama ini. wanita yang sempat terlupakan namun bukan berarti dilupakan. Yang sempat tersakiti namun bukan berarti disakiti. *** Vita sedang duduk di kursi rodanya. Dia sendirian di depan rumah menatap kosong ke langit malam. Hari-hari sepi yang selama ini dia rasakan membuatnya kehilangan senyuman. Keindahan bintang yang bertaburan terlihat hampa tanpa rasa.
350 Asep melihat vita. dia melangkah masuk pelan-pelan ke halaman rumah. Menghampiri vita dengan tenang, lalu menyapanya. “vita.. aku punya segenggam bunga untukmu. Terimalah..” ucap asep. Dia berdiri empat langkah di hadapan vita, lalu menyerahkan bunganya. “untuk apa kamu kesini sep?” ucap vita seraya menepis bunga pemberian asep. dia terlihat lebih tenang dibanding tadi pagi, namun masih menyimpan rasa pedih. “mundur sep!” pinta vita. Asep menjauh beberapa langkah dari vita. lalu berkata “aku tidak bisa merubah yang sudah terjadi, aku tidak bisa menyembuhkan luka tubuhmu. Namun aku punya masa depan vit, aku punya keinginan untuk menyembuhkan luka hatimu. Beri aku kesempatan.” Tutur asep. “tidak ada gunanya. Sudah cukup sep. aku sudah sering mengharapkan sesuatu dari kamu, tapi akhirnya pasti menyedihkan. Kamu tidak usah purapura peduli!” Ucap vita. “maafkan aku vit, aku memang salah, aku sudah kasar padamu waktu itu. Tapi aku ingin menjelaskan sesuatu, aku mohon dengarkan baik-baik.” Asep terdiam sejenak, lalu melanjutkan perkataannya, “Selama ini imam membohongi kita. Dia mengatur agar kita tidak bertemu, dia membohongi kamu, dia juga bohong padaku.” Asep kembali terdiam. “Vit, yang kita jalani selama ini, sakit, pedih, kecewa, itu bukanlah akhir vit, itu adalah proses. Proses dari