101 kamu kan Cuma mengganggu tanaman lain. Apakah yang akan terjadi jika aku terus mencabut kamu dan teman-temanmu? Coba jawab pertanyaanku.. aku tidak ingin merusak alam.” pikir asep. “nak! ambilkan nenek tomat, dua buah saja.” Pinta nek minah. Suara nenek dari dalam dapur memutus lamunan asep. Asep segera memetik dua buah tomat yang sudah memerah. Kemudian dia berlari memberikan tomat kepada neneknya. “iya nek, tunggu sebentar.” Jawab asep. Dia berlari kecil menyerahkan buah tomat itu kepada nenek. Setelah itu asep kembali membersihkan lingkungannya. Kebun kecil sudah bersih, kemudian dia membersihkan pohon-pohon pisang dari bekicot, dan membuang daun-daunnya yang sudah kering. Dia menarik daun-daun tersebut, lalu memotongnya dengan parang, menumpuk daun tersebut dan membakarnya. “wahai pohon pisang.. apa yang kamu rasakan ketika bekicot itu memakan daunmu? Apakah kamu rela? Dan untukmu wahai bekicot.. apakah kamu sangat lapar hingga memakan daun yang masih muda? Kenapa tidak kamu makan saja daun yang sudah kering? yang tidak ada getahnya. Dan untuk kalian berdua.. coba jawab! Apakah aku sudah benar? Aku tidak ingin ada salah paham diantara kita, aku tidak ingin melukai kalian. Karena aku sadar aku pun berasal dari tanah, namun kita jarang berbincang-bincang. aku memiliki akal,
102 sedang kalian memiliki bahasa yang tidak aku mengerti. Aku menangis, tertawa, mencoba mengerti, sedangkan kalian diam saja.. Bagaimana aku bisa memahami kalian!? Apa sudah benar caraku ini.. ayolah jawaab.. aku ini sedang belajar membaca alam..” pikir asep. Nek minah tiba-tiba kembali memutus lamunan asep. “nak! pisang itu bukannya sudah cukup tua? Tebang saja. nanti malam takut ada kelelawar yang mampir, nanti kita cuma kebagian kulitnya.” Perintah nek minah kepada sep. lalu nenek kembali berkata “Hatihati nebangnya!” ucap nek minah. “tapi nek. apa pohon pisang ini tidak merasa sakit kalau ditebang? Asep kasihan, dia kan punya anak yang masih kecil-kecil.”ucap asep. “kamu masih ingat perkataan nenek yang lalu, ketika kamu menyiram pohon cabe dengan air yang terlalu banyak.” Tanya nek minah. “ingat nek!” jawab asep seraya menatap pohon pisang yang ada di hadapannya. “kemari nak!” Ucap nek minah. Asep kemudian kembali masuk ke dalam dapur dan menghampiri nek minah. Nenek menghentikan pekerjaannya dan mulai memberi asep nasihatnya. “Nak, alam ini sudah terikat dengan aturannya sendiri, mereka tidak punya akal namun mereka tidak
103 akan salah dan tidak boleh disalahkan. kita juga bagian dari alam, dan yang membuat kita terikat dengan aturan alam adalah akal dan hati. bijaksanalah dalam memanfaatkan alam, pohon pisang itu tidak akan bersedih ketika kamu menebangnya untuk kamu makan, batangnya yang membusuk akan jadi tempat tinggal cacing, daunnya pun akan jadi santapan kambing, tidak ada yang sia-sia dan tidak ada yang serakah. Naah! Jika nanti alam ini mulai rusak, berarti ada yang salah dengan manusia.” Terang nek minah. “berarti harus memanfaatkan alam sebaik mungkin ya nek, secukupnya aja gitu?” tanya asep. “iya nak, jangan serakah. Karena kita tinggal di bumi ini tidak sendirian.” ucap nek minah. “oooh.. tapi tetap aja kasihan.. parang itu kan tajam, apa tidak sakit kalau ditebang?” pikir asep. Nenek kembali melanjutkan perkataannya. ”dengarkan ini baik-baik. ada beda antara pohon dengan manusia. Anak pohon pisang itu akan tumbuh dengan baik meskipun tanpa orang tua, beda dengan manusia, manusia punya akal dan hati yang harus dibimbing dan dikembangkan, jika tidak dibimbing maka keduanya bisa mati atau tumbuh kearah yang salah, dan akhirnya akan merusak alam. Makanya nenek selalu membimbing kamu, nenek tidak ingin kamu salah dalam menggunakan akal dan hatimu.
104 sudah cepat tebang pohon pisangnya, dia tidak akan sedih!” tegas nek minah. Asep menganggukkan kepalanya, lalu berkata “ooh.. aku mulai mengerti. jadi kalau aku salah menggunakan akal maka aku bisa merusak alam ya nek. hmm, oke oke aku paham nek.” Asep berlari keluar dapur, dia kembali memperhatikan pohon pisang tersebut. Batangnya cukup besar, sedikit miring ke barat. buahnya sangat banyak, menggantung di ujung pohon seakan hendak terjatuh. “wahai pohon pisang.. aku harus menebangmu, dan memakan buahmu. Semoga kamu bisa terus berguna untuk lingkunganmu, hingga serat yang terakhir. Semoga bekicot itu masih mau pada daunmu yang layu. Maafkan aku.. Bismillahirrahmanirrahim..” pikir asep. Asep pun menebang pohon pisang itu, buahnya sudah tua dan mulai menguning. Dia ayun parangnya, tebasan demi tebasan menghujam, baja tajam itu akhirnya membuat pohon pisang tumbang. Asep membawa buah pisang itu ke pojok dapur, lalu dia kembali keluar dan merapihkan batang pohon pisang yang sudah tumbang itu. dia memotongnya menjadi bagian-bagian pendek, menyusunnya membentuk persegi, dengan potongan-potongan itu dia mampu membuat pagar untuk tunas pisang yang masih kecil. Asep telah menyelesaikan pekerjaan kebunnya pagi itu, dia duduk beristirahat di dekat
105 pintu dapur sambil memperhatikan lingkungan di sekitarnya. “kalau aku pikir.. Allah benar-benar hebat. Dia menjadikan pohon pisang berbuah manis, pohon cabe berbuah pedas, pohon teh berpucuk wangi, pohon padi berbuah enak. Mereka semua punya rasanya masing-masing, mereka semua punya manfaatnya masing-masing. Padahal mereka berakar diatas tanah yang sama dan menyerap air yang sama-sama tawar. Hmmm... Aku juga tercipta dari tanah, dan juga minum air, jika aku berbuah, maka rasa apa buahku itu?” asep kembali merenung. Semakin hari asep semakin sering merenungkan segala hal yang ada di sekitarnya. Ketika dia bingung, sering kali dia bertanya kepada nek minah. Nek minah juga sering kali kewalahan meladeni pikiran anak ini yang sangat peka dan penuh rasa ingin tahu. Bab 8 Belajar bersama Hari silih berganti, minggu ditukar minggu, hingga bulan hampir menjadi tahun. Tidak lama lagi Asep dan teman-temannya akan segera mengikuti ujian nasional, kelas 3 yang penuh dengan pelajaran yang sulit akan segera berakhir. kini tinggal satu
106 minggu lagi hingga saat ujian yang sesungguhnnya tiba. Ujian nasional adalah pintu. pintu dari perpustakaan yang kecil menuju perpustakaan yang lebih besar. Pintu yang memiliki satu kunci yang tersembunyi diantara buku-buku perpustakaan. Dari sekian banyak tumpukan buku, harus dibaca, dipahami, dan berharap di halaman terakhir akan menemukan kunci pintu tersebut. Sungguh malang orang yang tidak beruntung, membaca sekian banyak buku, namun ternyata kunci yang dibutuhkan ada buku terakhir yang belum dia baca. tidak sempat dibaca karena perpustakaan itu lebih dulu runtuh, mengubur setiap orang dan harapan yang ada di dalamnya. Asep, vita, dan imam. Mereka bertiga akan menghadapi ujian nasional, mereka diliputi ketegangan, ada harapan besar agar mereka bisa lulus, namun mereka juga diselimuti kehawatiran menghadapi ujian, karena harus mempelajari lagi pelajaran dari semenjak mereka mulai masuk SMP, cukup banyak hingga menguras tenaga dan pikiran. Hari ini asep berencana belajar bersama vita dan imam. Mereka janji belajar di rumah vita. Asep berjalan membawa tasnya yang berisi bermacammacam buku pelajaran, dia datang lebih awal ke rumah vita dibanding imam.
107 “assalamu ‘alaikum..” salam asep seraya mengetuk pintu. “wa ‘alaikum salam..” jawab seseorang dari dalam rumah, lalu pintu itu terbuka. “nak asep mau belajar bareng vita ya, mari masuk nak, sebentar ya ibu panggil vitanya.” Ucap ibu vita. Tidak terasa hampir tiga tahun berteman dengan vita, sudah hampir satu tahun dia mengantar vita pulang mengaji. namun asep hanya mengantarnya sampai gerbang rumahnya dan inilah untuk pertama kalinya asep masuk ke dalam rumah vita, menginjakkan kaki di lantai yang tadinya hanya dia lihat dari balik pagar. Asep dipersilahkan menunggu di ruangan yang sangat luas, dia bertahta di atas sofa yang sangat empuk, di hadapannya ada televisi yang sangat besar, tidak henti-hentinya dia mengarahkan pandangan, seakan mencari-cari segala hal yang belum dia kenal sebelumnya. Anak kampung ini memang masih baru dengan hal-hal yang berkilau dan empuk seperti yang ada di rumah vita. “hai sep! mana imam?” sapa vita. “eh vita, imam belum nyampe vit. Dia mungkin masih di jalan.” Ucap asep. Dia berusaha menyingkirkan pandangannya dari vita. Vita terlihat sangat cantik hari itu, ditambah lagi dengan keadaan rumah yang bersih dan bercahaya, vita semakin terlihat penuh sinar keindahan.
108 “kita belajar apa hari ini?” tanya vita. “eh. bahasa inggris aja ya vit. Aku kan kurang ngerti sama pelajaran itu, kalau kamu kan pinter banget.” Ucap asep yang sedang diliputi rasa aneh, berdua dengan seseorang yang dia sukai. “vita sih setuju aja sep. tapi kita tunggu imam dulu ya, kasian dia kalau ketinggalan.” Jawab vita. tangannya menyalakan televisi, pandangannya mulai teralih dari asep. Asep sangat senang ketika TV itu menyala, karena dia sangat jarang menonton TV. dia hanya menonton TV seminggu dua atau tiga kali, itupun hanya pada jam-jam tertentu. biasanya asep menonton TV di rumah imam, televisi 14 inci dengan kualitas gambar yang kurang bagus, dan dengan pencahayaan yang remang-remang. Yang ada di rumah vita ini sangat berbeda, ukurannya besar, gambarnya terang, dan suaranya juga jelas. “vit! cari berita tentang ujian nasional ada ga?” ucap asep yang berusaha untuk terlihat biasa dan tenang. “biasanya sih ada, kemaren aja di berita ada yang demo menolak ujian nasional.” Jawab vita. “kok demo, emang ujian itu apa salahnya?” tanya asep. “kan rugi sep kalau kita ga lulus. belajarnya udah 3 tahun, kalau ga lulus bisa stress nih otak.” Jawab vita,
109 sedang tangannya masih tetap menggenggam remote dan memindah-mindah channel. “iya juga ya. Tapi kalau ga ada ujian, nanti yang ga belajar juga bisa lulus vit, ga adil buat yang belajar dong.” Tegas asep. Dia mulai mencairkan suasana yang tadinya sangat terasa kaku dan aneh. “ya ga apa-apa lah sep, kalau bisa tuh lulusin aja semuanya.” Tertawa kecil. “Yang penting kan kita lulus karena kita belajar, kalau ada orang ya ga belajar terus lulus juga, ya ga apa-apa lah. itu urusan mereka.” Ucap vita. “hmmm. jadi harusnya lulusin aja semuanya. enaknya sih emang begitu. tapi di ijazahnya itu di kasih tingkatannya vit.” Terdiam sejenak. “Contohnya yang nilainya bagus itu lulus dapet tingkat A, yang nilai sedang dapet tingkatan B, dan seterusnya. kan jadi adil tuh.” Tutur asep. “nah setuju tuh aku. Ngomong-ngomong mana beritanya ya, kayanya ga ada deh sep.” terang vita yang dari tadi mencari channel berita tentang ujian nasional. “assalamu ‘alaikum..” suara seseorang dari depan rumah. “wah kayaknya suara imam tuh vit.” Ucap asep dengan cepat. dia merasa senang akhirnya anak itu
110 datang untuk menyudahi ketegangan yang dia rasakan karena bersama vita. “akhirnya datang juga. dasar pemalas tuh anak.” Jawab vita seraya berjalan menuju pintu. Vita membukakan pintu untuk imam. Siang itu imam hanya membawa dua buah buku yang ditenteng di tangan kirinya. Anak itu memang tidak bersungguh-sungguh dalam belajar, dia hanya bersemangat ketika dijanjikan hadiah oleh orang tuanya, di usianya yang masih muda dia sudah memikirkan uang dan uang. Dia sangat terobsesi untuk menjadi orang kaya yang mempunyai banyak harta benda. “silahkan masuk mam.” Ucap vita kepada imam yang sedang berdiri dekat pintu. “asep mana vit, jadi kita berdua aja nih belajarnya?” ucap imam. “asep udah dateng duluan, kamu telat tau mam. Huuuh!” ledek vita kepada imam. “oh aku telat, maaf ya. Hehe..” imam hanya tertawa menanggapi ledekan vita yang terlihat kesal padanya. Mereka telah berkumpul dan mulai belajar, perlahan, juga serius. Mereka Membahas isi tiap halaman. Salah seorang mengutarakan pertanyaan, yang sudah mengerti memberikan jawaban. Mereka
111 berbagi dan mendapatkan jawaban. Hingga otak mereka benar-benar jenuh, dan tanpa sadar mereka sudah dalam posisi menonton tv sambil mengobrol. Asep sudah duduk di lantai, bersandar ke sofa di depan televisi. Vita duduk di atas sofa, sedangkan imam tengkurap di lantai. Lalu setelah itu, ibu vita tiba-tiba menghampiri mereka dari belakang, dia membawa 3 gelas jus jeruk dan beberapa roti isi coklat. Lalu berkata “kok pada ngobrol, udahan ya belajarnya?” tanya ibu vita. Vita mengambil segelas jus yang dibawa ibunya “udahan mah, udah puyeng nih.”. lalu dia meminum jus tersebut. “ya sudah lanjutkan aja ya ngobrolnya. Mamah masih masak di dapur. asep, imam, ayo diminum jusnya, jangan malu-malu.” Ucap ibu vita. “iya bu.” Asep dan imam menjawab serentak. Imam pun bangun dari posisinya, dia duduk dan meghadap pada dua buah jus jeruk. Imam berbisik kepada asep “cepat minum jusnya sep”. Asep berbisik juga kepada imam “kamu duluan mam, aku malu.” Ucap asep yang tidak pandai berbisik. Suaranya terlalu keras dan terdengar oleh vita “heh! kok bisik-bisikan, ngomongin apaan? Diminum tuh jusnya, kalian pasti haus kan dari tadi belajar terus?” ucap vita. Vita sadar bahwa kedua anak ini
112 merasa malu. Dia mengambil satu dari dua gelas yang tersisa, kemudian memberikannya kepada asep. Asep menerima dengan malu-malu dan mulai meminumnya sedikit demi sedikit. Baru saja asep meletakkan gelasnya kembali, ternyata imam sudah meminum habis jusnya. “enak ya jusnya. Hehe..” ucap imam seraya tertawa kecil. Dia mengelap bibirnya yang basah oleh jus dengan tangan. Vita hanya tertawa kecil melihat tingkah kedua anak kampung ini. mereka kembali ceria setelah penat sempat menyandera pikiran mereka. Obrolan pun berlanjut dengan lebih santai dan penuh canda. “cita-cita kamu apa vit?” tanya asep kepada vita. “aku mau jadi dokter, bisa ngobatin orang, bisa nyembuhin orang, dan lain-lain. Kalau kamu mau jadi apa?” tanya vita. Seraya meletakkan gelas jusnya ke meja kecil di hadapannya. “kalau aku tuh mau jadi mandor di kebun teh, pasti seru.” Jawab imam yang memotong pertanyaan vita yang ditujukan kepada asep. “kalau aku mau jadi orang yang berguna.” Jawab asep.
113 “ih si imam, cita-citanya ga keren. papaku aja punya kebun teh.” Vita tertawa kecil meledek imam, sedangkan imam tetap saja cuek dengan ledekan temannya itu. lalu vita menyambung perkataannya “tapi sep, berguna itu kan masih umum, kamu harus punya cita-cita yang jelas. Contohnya jadi dokter, mandor, presiden, polisi. Gitu sep!” tegas vita. “aku nggak begitu vit! yang penting itu berguna. Jadi apapun aku nanti. mau jadi dokter atau polisi atau presiden, yang terpenting itu aku ingin jadi orang yang berguna untuk lingkunganku. jika aku jadi presiden, maka aku ingin jadi presiden yang berguna. Jika aku jadi dokter, maka aku ingin jadi dokter yang berguna. Jika aku jadi polisi, maka aku ingin jadi polisi yang berguna. Hmm keren ga?” terang asep yang bersemangat sekali menjelaskan tujuan hidupnya. “ooh.. aku ngerti maksud kamu. Lumayan keren sih daripada imam.” Jawab vita seraya kembali meledek imam. Imam dengan cepat membalas ledekan vita, dia berkata “kalau begitu, aku mau jadi mandor kebun yang berguna aja. Hehe.. keren kan vit?” ucap imam. “iya mam keren tuh! Nanti kamu pake baju yang keren, dandan, terus ke kebunnya naik kuda. Pasti banyak yang jatuh cinta tuh sama kamu.” Ucap vita membuat mereka semua tertawa.
114 “eh vit, lulus SMP nanti kamu mau lanjut ke mana?” tanya asep kepada vita. “hmm.” Terdiam cukup lama. “kayaknya aku masih sekolah di sekitar sini sep. Setelah lulus SMA nanti baru deh rencananya aku kembali ke kota, di sini kan ga ada tempat kuliah yang deket.” Ujar vita. “wah, nanti kita bakalan berpisah nih. tapi aku juga belum tau sih mau kemana. Suatu saat nanti kalau kita ketemu, kita bakal saling kenal ga ya.” Tutur asep yang diselingi tawa kecil. “pastilah sep! masa sih aku bisa lupa sama kalian.” Ucap vita. Disaat vita dan asep sedang mengobrol, imam sibuk memakan roti yang tadi disuguhkan oleh ibu vita. Tembok malunya sudah benar-benar roboh, yang tadinya sungkan, kini perlahan menghabiskan semua yang ada di hadapan mata. Sore itu imam dan asep memutuskan untuk segera pulang. Acara belajar telah selesai untuk hari ini, mereka keluar rumah dengan menebar senyum bahagia. Satu orang yang tersenyum karena mendapat ilmu baru, sedang yang satu lagi tersenyum karena memakan makanan yang enak. Pengalaman yang suatu saat nanti mungkin akan diperbincangkan. ***
115 “Assalamu ‘alaikum.. nenek..” sahut asep seraya mengetuk pintu rumah. “Wa ‘alaikum salam.. masuk nak” jawab nek minah dari dalam rumah. Asep lekas mencium tangan nenek. dia lalu pergi mandi dan shalat ashar. Asep sudah disiplin waktu tanpa merasa ada beban keterpaksaan. Selepas menegakkan shalat ashar, dia keluar dari kamarnya dan kembali menghampiri nenek yang sedang di kamarnya. “nek, aku tadi dari rumah vita. Ruang tamunya itu luas banget nek, pokoknya bagus lah. televisinya juga besar nek, seandainya kita punya televisi seperti itu ya nek.” ujar asep dengan cepat dan bersemangat. “rumah ini juga sudah cukup nak. satu lagi, televisi itu banyak sisi buruknya nak. Tidak baik jika terlalu banyak menonton tv, kita harus menyaring-nyaring acaranya.” Ucap nek minah. “iya sih. Tapi rumahnya itu terang banget nek.” duduk di samping nenek. di pinggiran ranjang yang sudah reyot. Lalu berkata “nek, emang tv itu buruk kenapa?” “lihat keadaan sekitar kita nak. Anak-anak kecil yang tadinya ramai mengaji di surau, sekarang sudah sepi. Salah satu penyebabnya adalah televisi. Kini mereka
116 lebih senang menonton tv dan meninggalkan kegiatan mengaji.” Tutur nek minah. “benar juga ya nek. sekarang yang ngaji itu tambah sepi aja nek.” ujar asep. “di televisi juga ada banyak acara-acara yang tidak mendidik ke arah yang baik. ada gosip-gosip, lawakan-lawakan yang tidak ada habisnya. jika kamu setiap hari menonton itu semua dan menikmatinya, kamu bisa jadi manusia yang kehilangan kepedulian terhadap lingkungan sekitar.” Tegas nek minah. “kenapa begitu?” tanya asep keheranan. “Karena kebanyakan acara yang ada di televisi itu adalah hiburan untuk para penonton, dan mata pencaharian bagi para pembuatnya. Semakin penonton terhibur, pembuat acara tv itu akan semakin untung.” Terdiam sesaat. “Makanya para pembuat tv itu selalu saja memberikan hiburan-hiburan. Nah, hiburan-hiburan itu bisa membuat penonton tv menjadi lupa akan lingkungan sekitarnya. Jadi hanyut dalam kesenangan. Paham tidak nak?” terang nek minah. “aku agak paham. Tapi Apa separah itu ya nek? berarti jaman sekarang sudah banyak orang yang ga peduli kepada lingkungan ya nek. kan sudah banyak yang nonton tv.” Tanya asep.
117 “sudah banyak sekali. Jadi, kalau kamu sedang menonton tv, di manapun itu, kamu harus pintarpintar memilih acara. Carilah berita-berita tentang lingkungan, tentang alam, keadaan bangsa kita, acara-acara yang menginspirasi kita agar semakin bersemangat, yang pasti acara yang mengandung pegetahuan yang baik.” Terang nek minah. “yah nenek, aku jarang nonton tv, tenang aja.” Ucap asep sambil tertawa. “terus kalau kita ga nonton tv, apa kita pasti akan jadi orang yang peduli?” asep kembali bertanya. “tidak juga. Pada dasarnya manusia itu punya perasaan yang membuatnya peduli, namun ada halhal yang bisa menghapuskan rasa kepedulian itu. Salah satunya adalah televisi.” Ucap nek minah. “selain televisi apalagi nek? kalau aku tau kan aku bisa jaga-jaga, supaya rasa peduliku ga hilang gitu nek.” tanya asep. Asep sangat serius mendengarkan nek minah, hingga semut yang menggerayangi kakinya tidak dia rasa sama sekali. “intinya hanyut dalam cinta dunia. Itulah hal yang paling berbahaya.” Jawab nek minah. “wah kalau begitu, aku tidak boleh senang dong nek? kok mencintai dunia itu buruk, memangnya apanya yang salah?” asep kebingungan dengan jawaban neneknya.
118 “cinta dunia itu menghanyutkan, bisa membuat kamu lupa akan kewajibanmu sebagai manusia yang beragama. Kesenangan dunia bisa membuat kita lupa kepada orang lain. Contohnya itu hura-hura, maen terus dan malas mengaji, segala macam makanan dimakan, tidak peduli halal atau haram, dan lain sebagainya. Kamu harus bentengi dirimu dengan shalat dan harus selalu yakin bahwa Allah itu melihatmu. Setuju!” tegas nenek. “setuju!” jawab asep dengan bersemangat, lalu dia kembali berkata “tapi pasti susah juga ya nek, untung saja di kampung kita belum banyak yang persoalan seperti itu.” ujar asep. Jam menunjukkan pukul 17.45, asep pun pamit kepada nenek untuk berangkat mengaji. Langkah-langkah pasti seorang anak lelaki sedang diukir saat ini, asep kecil semakin tumbuh seiring berjalannya waktu. Kini dia tidak melihat apapun yang mampu menghalangi jalannya untuk terus maju. semakin hari, dia pun semakin tenang dalam menghadapi masalah tentang keberadaan kedua orang tuanya.
119 Bab 9 Hari kelulusan Jam 5 pagi. asep membuka mata, dia bangkit dari ranjang bambunya. Dengan cekatan dia merapihkan kasur tipis yang menjadi alas tidur dan melipat selimut kesayangannya yang tebal. Dia mulai melangkahkan kakinya menuju kamar mandi, kebiasaan ini sudah menjadi keseharian asep, dia tidak harus dibangunkan oleh apapun atau siapapun agar bisa bangun pagi. Dia sadar jika waktunya bangun telah tiba, kemudian diambilnya segayung air, membasuh anggota wudlu hingga rukun yang terakhir. Setelah shalat subuh, dia memanjatkan do’a yang lebih panjang dari biasanya. Mengharapkan ketenangan dari Allah, mengharapkan kelulusan diberikan kepada dia dan semua teman-temannya. Ketika do’a telah selesai dipanjatkan. mentari sudah mencapai lubang jendela, Ayam-ayam sudah mulai bermain di sekitar rumah, meramaikan suasana pagi yang istimewa. Asep pun sudah siap dengan seragamnya, dia sudah rapih dan siap berangkat ke sekolah. “asep, kemari nak.” Nek minah memanggil asep yang sedang berada di kamar.
120 “iya nek.” asep menghampiri nenek yang sedang di lantai ruangan depan. Dia duduk bersila di samping nenek, seraya menggenggamkan kedua tangannya menjadi satu. “nek, do’akan asep supaya lulus.” Lanjut asep. “sudah nenek do’akan. Kamu tidak usah tegang nak, kamu pasti lulus.” Ucap nek minah mencoba memberi semangat kepada asep. “bagaimana jika aku tidak lulus?” ucap asep. “bersabar dan tetap bersyukurlah. meskipun kamu tidak lulus, ilmu yang selama ini kamu dapat tidak akan gugur nak. Kelulusan itu hanya penilaian yang dilakukan oleh orang lain terhadap kamu, padahal orang itu adalah orang asing. Kalau menurut penilaian nenek, kamu itu sudah lulus dengan nilai yang besar, percayalah. Jangan takut ya nak!” tutur nek minah. “semoga aku lulus. udah nek, aku berangkat dulu! assalamu ‘alaikum.” Ucap asep. “amin. wa ‘alaikum salam. hati-hati di jalan ya nak.”ucap nek minah. Meskipun nek minah sudah memberikan nasihat, asep tetap saja merasa tegang menghadapi pengumuman kelulusannya. Pagi itu dia berangkat ke sekolah bersama-sama dengan vita dan imam. Vita dan imam, mereka berangkat lebih pagi dari
121 biasanya, dan merasakan ketegangan yang sama seperti asep. Sesampainya di sekolah, mereka dikumpulkan di lapangan voli. Kepala sekolah dan guru-guru memberikan sambutan dan kata-kata perpisahan. Ketika guru-guru itu selesai dengan sambutannya Suasana pun kembali berisik. suara-suara kepanikan tidak bisa dibungkam, mereka berbicara seakan tengah menghadapi perang. Saat pegumuman itu pun tiba. Seorang guru memanggil nomer ujian seorang anak, anak itu perlahan maju, dia menerima sebuah amplop putih yang hanya bertuliskan nomer ujiannya. Bergetar tangannya menerima amplop tersebut, seakan terasa berat menahan sebuah amplop kertas. Nomer berikutnya dipanggil, seorang anak kembali maju dan mengambil amplopnya. Mereka yang sudah mendapatkan amplopnya sangat penasaran dengan isi amplop tersebut, namun mereka belum diijinkan membuka amplop itu hingga semua anak mendapatkan amplopnya masing-masing. Begitu seterusnya, sang guru membagikan amplop hingga anak yang terakhir mengambil amplopnya. Pak guru pun kembali menenangkan suasana, memberikan kata-kata yang baik untuk menguasai murid-muridnya yang sedang merasa resah.
122 “bagaimana jika aku tidak lulus? Pasti nenek kecewa.. aku juga akan kecewa pada diriku sendiri. Di dalam amplop ini ada masa depanku, aku tidak mungkin gagal.. apa jadinya nanti kalau aku gagal.. aku tidak mau terus mencabuti rumput.. Aku adalah orang yang dibutuhkan oleh lingkungan.” pikir asep. “anak-anak, di dalam amplop kalian ada pengumuman hasil ujian. Nanti di dalamnya ada dua kata yang di cetak besar dan dipisahkan oleh garis miring, dua kata itu adalah lulus dan tidak lulus. Jika yang dicoret adalah kata tidak lulus, itu berarti kalian lulus. Tapi jika yang dicoret adalah lulus, maka kalian dinyatakan tidak lulus. Bisa dimengerti?” ucap pak guru tersebut. paham pak! Pahaam!” semua anak menjawab. “baiklah! sebelum kita membuka amplop tersebut, mari kita berdoa terlebih dahulu. Berdo’a mulai.” Ucap pak guru, Mereka lalu berdoa dengan hening sekitar 10 detik. “selesai!” tegas pak guru. Lalu dia kembali berkata “baik! bapak mulai aba-abanya. Tenangkan dulu diri kalian, buka amplop tersebut pada hitungan ke-tiga. Siap! Satu... dua... tiga... silahkan buka!” aba-aba dari pak guru membuat suasana kembali riuh. Asep dengan cepat membuka amplop tersebut, ada selembar kertas yang dilipat rapih didalamnya. Asep mengintip kertas tersebut perlahan,
123 darahnya terasa semakin mendidih, tubuhnya berkeringat dan bergetar, dia begitu takut untuk melihat isi dari kertas tersebut. Dan akhirnya tulisan itu pun muncul. “Alhamdulillah! aku luluuuss..” teriak asep. Dia segera mencari teman-temannya, namun suasananya sangat kacau. Dia mendengar orang berbicara dimana-mana. Namun ada yang aneh di sana, sepertinya tidak ada wajah bahagia diantara temantemannya. “punyaku mana?! punyaku mana?!” teriakan yang keluar dari mulut teman-temannya. Asep melihat kembali kertas miliknya, dia membacanya lebih teliti, mulai dari bagian paling atas. Dia terhenyak, ketegangan kembali menggelayut, ternyata kertas yang ada di tangannya bukanlah miliknya. ada nama orang lain yang tercantum disana. Kekacauan pun dimulai kembali. Asep dan para murid yang lain merasa kebingungan mencari kertas miliknya, mereka sibuk dengan kepentingannya masing-masing. Berputarputar di tengah lapangan voli, sedangkan para guru tersenyum manis menonton dari pinggir lapangan. Mereka sepertinya sudah mengetahui apa yang sedang terjadi. Tiba-tiba seseorang memanggilmanggil nama asep. Asep mencari sumber suara
124 tersebut, sambil mencari-cari vita untuk menyerahkan kertas miliknya. Ketika dia menoleh ke bagian kanan, tiba-tiba vita sudah ada di depannya. Dia kaget karena bisa sedekat itu, namun seketika ada sesuatu yang menenangkan hatinya. dalam keriuhan suara temantemannya, asep dan vita berbincang seakan tiada suara lain disekitar mereka. “asep! ini kertas punyamu.” Vita menyerahkan secarik kertas kepada asep. “selamat ya kamu lulus.” Ucap vita terdengar dengan sangat lembut, mengalahkan teriakan yang ada disekitar mereka. Vita lalu melanjutkan perkataaannya “tapi aku masih harus mencari kertas punyaku. Dah asep!” Vita sangat tergesa-gesa, dia membalikkan badannya dan hendak melangkahkan kakinya kembali. Namun baru saja dia mulai melangkah saat itu asep menghentikan langkahnya. “eh tunggu vit, ini vit.. kayaknya punyamu ada di aku.” Ujar asep, dia kembali mengecek kertas yang ada di tangannya. “Kamu lulus juga! selamat ya!” lanjut asep seraya tersenyum kepada vita. “hah! beneran sep? alhamdulillah ya Allah. mana kertasnya aku pengen liat?” pinta vita. “Heh gimana, kalian lulus ga?” tiba-tiba imam datang dari samping mereka. Membuat suasana yang tenang
125 menjadi terasa sangat ramai, bahkan lebih ramai dari sebelumnya. Sudah banyak tawa dan sorak bahagia orang-orang di sekitar mereka. “Kami lulus..” jawab vita dan asep secara bersamaan. “kamu lulus mam?” tanya asep. “pasti atuuh, imam kan pinter!” jawab imam seraya menunjukkan kertas kelulusannya. Suasana gembira menyelimuti mereka, membuang ketegangan tanpa sisa. Usaha selama tiga tahun ini tidak berakhir sia-sia, ada hasil yang pantas bagi mereka. Tak lama setelah itu seorang guru kembali mengambil alih keadaan. “alhamdulillah. untuk tahun ini, semua murid dinyatakan lulus. Dan saya mewakili para guru, meminta maaf kepada kalian. sebagai seorang guru kami sadar selama ini kami penuh dengan kekurangan. Kami mohon jangan menghujat kami baik di dunia maupun akhirat, maafkan segala salah kami.” Ucap guru tersebut. Acara pengumuman itu pun ditutup dengan acara doa bersama, kemudian bersalam-salaman kepada semua yang hadir di sana. Rasa senang begitu kental, rasa haru perpisahan juga menggelora. kala itu semua orang hanyut dalam suasana suka kemenangan dan duka perpisahan yang bercampur layaknya permen aneka rasa.
126 Asep kembali ke rumahnya dengan kepala tegak. Langkah kakinya begitu mantap, seakan ingin memberitahu seisi alam bahwa dia telah berhasil melewati ujian. “assalamu ‘alaikum nek!” salam asep. “wa ‘alaikum salam, masuk nak!” jawab nek minah dari dalam rumah. “aku lulus nek!” asep berlari menuju nenek. dia dengan cepat menunjukkan kertas pengumuman yang sedari tadi terus dia pegang. “alhamduillah. kamu sudah bersyukur pada Allah?” tanya nek minah. “sudah nek! hmmm. aku senaaang sekali nek.” ucap asep. “iya nenek paham. Tapi jangan pernah merasa puas dalam belajar, kamu harus terus belajar.” Tegas nek minah yang ingin mengingatkan asep yang begitu terlihat bahagia. “iya nek. siap!” jawab asep.
127 Bab 10 Kota Jakarta 2 minggu setelah acara perpisahan itu asep akhirnya menerima ijazah. Dia mulai memikirkan langkah apa yang akan dia ambil selanjutnya. Nenek belum memberinya saran apapun, asep pun tidak berani mengusulkan kemauannya untuk melanjutkan sekolah kepada nenek. Dia sadar bahwa tidak ada dana untuk membiayai sekolahnya. dia tidak mungkin melanjutkan sekolah dengan keadaan seperti itu. Sore itu turun hujan. Asep duduk di ranjang bambunya, menghadapkan wajah keluar jendela. Menangkap kegiatan-kegiatan binatang saat bulirbulir air menusuk daratan. Dia merenung dalam kebingungannya menentukan langkah selanjutnya. “jika aku menjadi seorang petani, apa yang mampu aku lakukan untuk orang lain? jika aku membagibagikan hasil panen kepada tetangga, apa saat itu aku telah menjadi berguna? Sedangkan nenek ingin agar aku menjadi seorang yang berguna bagi lingkunganku. aku juga ingin menjadi orang yang berguna. aku masih ingin mencari ilmu.. ya Allah.. berikan jawaban pada pertanyaan-pertanyaanku.. akan kemana aku ini..” Pikir asep.
128 “krok.. krok.. krok.. wribik.. wribik..” suara kodok saling menyahut. Asep mencari-cari letak si kodok. Dia mendengar suaranya sangat nyaring, seakan kodok itu langsung bersuara di samping telinganya, namun dia tidak dapat melihat kodok tersebut. Dia menatap ke arah selokan air yang sedang banjir, ke arah lubang-lubang dan ke bawah daun-daun kopi yang berjatuhan. “wahai kodok penghuni lubang dan selokan.. keluarlah! tunjukkan wajahmu! Aku sedang bingung. jelaskan padaku apa yang kamu katakan. Kenapa kau begitu berisik saat hujan begitu deras. Apakah kamu sedang berpesta? Ataukah kamu sedang mencerca? Tunjukkan wajahmu dan jelaskan padaku! Tahukah kamu bahwa aku sedang bingung, aku mau terus belajar tapi keadaannya sangat tidak mungkin.. saat ini aku tidak mungkin berbicara pada nenek..” pikir asep. Seekor kodok keluar dari persembunyiannya. Kodok itu terus mengeluarkan suara dengan lehernya yang kembang kempis. Kodok itu semakin mendekat ke samping rumah dan suaranya semakin berisik. “kodok ini keluar dari sarangnya, dia menatapku seakan peduli padaku.. Tapi apa yang kodok ini katakan? Sepertinya dia mengerti isi pikiranku, namun aku tidak mengerti bahasanya... tapi apa bisa
129 dia mengerti pikiranku. hey kodok! Bagaimana caraku untuk mengerti maksudmu? Apakah aku bisa mempelajari bahasamu? Apakah sebenarnya alam ini memang bisa dibaca?” pikir asep. Saat sedang serius-seriusnya asep memperhatikan kodok, tiba-tiba nenek memanggilnya. “asep. kemari nak!” ucap nek minah. “iya nek, tunggu sebentar.” Jawab asep. Asep segera keluar dari kamarnya dan menghampiri nenek. “kamu mau lanjut sekolah kemana? Apa kamu mau masuk pesantren saja?” tanya nenek seakan mengerti apa yang sedang dipikirkan asep. “aku bingung nek.” jawab asep. dia tidak berani mengutarakan keinginannya, karena dia takut akan membuat neneknya menjadi bingung. “kalau kamu bingung, nenek punya saran. Kamu kan sudah cukup besar, tidak lagi butuh nasehat-nasehat dari nenek. Bagaimana kalau kamu melanjutkan sekolah ke jakarta, di sana ada banyak hal yang bisa kamu pelajari.” Tutur nek minah. Pelan namun sangat mengagetkan. Asep langsung balas berkata “tapi nek. biaya sekolahnya?”. Dia masih kebingungan dengan saran neneknya.
130 ”kamu nanti belajar yang benar! jangan kebanyakan main! urusan biaya itu sudah nenek atur.” Jawab nek minah dengan sangat tegas. Asep merasa heran, nenek terdengar begitu yakin dengan kata-katanya. Dari mana nenek mendapatkan uang, hidup mereka berdua saja sangat pas-pasan. Namun asep menyimpan rasa penasarannya. “terus nenek di sini tinggal sama siapa?” tanya asep. “kamu tidak usah hawatir, warga kampung sini baikbaik. Kalau nenek sakit, pasti mereka bantu nenek. kan ada mang udin juga yang biasa bantu nenek.” terang nek minah. “tapi jakarta itu kehidupannya kayak apa nek? apa nanti aku ga apa-apa hidup disana?” tanya asep. “kamu sudah banyak belajar di sini, kamu juga sudah besar. Sekarang waktunya untuk lebih berkembang. Kamu bisa belajar dan mulai mengenali lingkungan di sana. Pesan nenek, jangan biarkan lingkungan buruk mempengaruhimu. Pengaruhilah lingkungan itu dengan kebaikan yang kamu miliki! sekuat mungkin!” tegas nenek. Asep termenung. Dia melihat tantangan besar yang akan dihadapinya. Jangankan ke kota jakarta, keluar dari lingkungan desa saja dia jarang. Dia tidak mengerti kenapa nenek memintanya sekolah di kota jakarta, dia juga tidak tahu dari mana nenek
131 mendapatkan uang untuk membiayainya. Dia ingin sekolah namun tidak ingin pergi dari rumahnya, dia ingin terus tinggal dengan neneknya. Keesokan harinya, asep melakukan rutinitas pagi seperti biasa. Dia memberi makan ayam-ayam peliharaannya dengan beberapa genggam gabah dan menyiram tanaman dengan air yang cukup. Tiba-tiba nenek memanggilnya. “nak, kamu siapkan bajumu! hari ini kamu akan berangkat ke jakarta!” tegas nek minah. “hah?!” asep sangat terkejut mendengar perkataan neneknya. Dia berlari masuk ke dalam rumah, lalu menghampiri neneknya yang sedang merapihkan bajunya. “mendadak amat nek? apa semuanya sudah dipersiapkan nek?” ucap asep. “nenek tidak mau kamu terlalu bingung dengan ini semua, cepat kemas baju dan semua barangbarangmu! masukan ke dalam tas, kalau tasnya kurang besar, bungkus sisanya dengan kantong plastik! tapi dilapis supaya tidak sobek.” Tegas nek minah. “nenek serius? Sepertinya aku belum siap nek? aku pikir-pikir lagi, lebih baik aku belajar sama nenek dulu, setelah aku siap baru aku berangkat ke jakarta.” Ucap asep. Asep terkejut dengan pemberitahuan nenek yang mendadak. Tiba-tiba dia sangat tidak
132 ingin pergi dari desanya, dia tidak ingin pergi dari sisi neneknya. Kota yang asing itu tergambar sangat menyeramkan di pikiran asep. “kapan kamu akan siap?” ucap nek minah dengan suara yang keras seakan membentak. “Sampai kapanpun akan begitu jika kamu tidak yakin dengan diri sendiri!” nenek terdiam. “Nak! meninggalkan tempat yang kita cintai memang sulit. Tapi jika kita hanya berdiam diri, kita tidak akan tahu kemampuan kita yang sebenarnya. Kamu harus terus berkembang. Sudah! Cepat kemasi barangmu, ini tidak akan sulit. Nanti kamu diantar mang udin.” Ucap nek minah dengan tegas. Asep terdiam lama. Dia berjalan perlahan masuk ke dalam kamarnya, namun kemudian diam di depan lemari bajunya. “hhh. baiklah! Aku harus yakin.” Tutur asep yang mencoba untuk meyakinkan dirinya sendiri. “aku tidak mengerti kenapa nenek menyekolahkanku ke jakarta.. bukankah aku lebih baik tinggal di sini.. hhh.. kota itu seperti apa ya.. tapi nenek pasti tahu yang terbaik buatku.. sudahlah!” pikir asep. Asep mulai merapihkan pakaiannya, memasukkannya ke dalam tas. Dia juga membawa Al-Qur’an, beberapa buku tipis, dan tentunya ijazah dan surat-surat penting lainnya. Inilah pilihan yang sebenarnya dia inginkan meski dia merasa belum
133 siap. Dan pada akhirnya dia harus siap, harus memperjuangkannya dengan sungguh-sungguh. “sudah siap nak?” tanya nenek yang berdiri di pintu kamar asep. “aku siap!” jawab asep yang sedang meyakinkan dirinya sendiri. “Bawa uang ini!” nenek menghampiri asep yang sedang duduk di ranjangnya. Dia memberikan beberapa lembar uang sepuluh ribuan. “sesampainya kamu di stasiun kota jakarta, nanti mang udin akan menyerahkan kamu kepada seorang lelaki. Lelaki itu seumuran dengan mang udin, nanti orang itu yang akan membantumu di jakarta. Jangan hawatir ya nak! nenek sudah memikirkan ini semua. ini yang terbaik untuk kamu. ya sudah cepat berangkat, takut ketinggalan kereta.” Ucap nenek seyara menggenggam pundak asep dengan erat. Lalu dia membangunkan asep dari duduk, membawanya keluar kamar. Asep berjalan dengan wajah yang menunduk, matanya menitikkan air mata. Begitu sulit baginya untuk meninggalkan nenek dan lingkungan yang sangat dia sukai. Nenek merangkul asep ke dalam pelukannya, merangkul lebih erat dari sebelumnya. Ini perpisahan yang tidak dia sukai, namun harus dia lakukan.
134 ”dalam hidup ini kita harus berani! tegakkan wajahmu! jangan menangis! Kamu bukan anak kecil lagi! inilah pilihan. harus diperjuangkan dengan penuh kesungguhan. Bukankah kamu ingin menjadi orang yang berguna? Iya kan? Jangan cengeng! cepat berangkat!” ucap nek minah dengan sangat tegas. Dia berjongkok di hadapan asep, menggoyang-goyangkan badan asep agar kambali menemukan semangatnya. Nenek juga berusaha menahan air matanya, dia tidak mau terlihat cengeng saat ini, dia harus memberikan semangat kepada asep. Sedang asep sendiri merasa heran kenapa neneknya begitu tenang melepas kepergiannya. “aku belum tahu kota nek.. aku hawatir nanti banyak hal yang tidak menyenangkan.“ pikir asep. Mang udin tiba-tiba muncul di depan pintu yang memang dari tadi sudah terbuka. Dia mengucapkan salam kepada asep dan nenek. “assalamu ‘alaikum.. sudah siap belum?” tanya mang udin. “wa ‘alaikum salam. sudah din. Kamu antar dia ya, dan pastikan dia sampai ke sana.” Ujar nek minah. Seraya membimbing asep keluar dari rumah. “iya nek, udin paham.” Jawab mang udin. Mang udin pun menggenggam pundak asep. Dia membawa asep menjauh dari rumahnya, nenek mengikuti hingga ke pinggir jalan desa. Terucap salam pamit dari asep
135 yang mulai melepaskan rasa takutnya. Dengan wajah tegak dia melangkahkan kakinya menuju perpustakaan yang lebih besar, perpustakaan ilmu yang harus dia rapihkan. Dia berusaha untuk benarbenar siap, meski terasa berat namun itu bukanlah alasan untuk mengurungkan niat. “tiba-tiba saja kemauanku terwujud. Tapi kenapa ketika ini menjadi mudah, aku justru menjadi lemah. Aaah.. ini begitu cepat, bahkan aku tidak sempat mengabari vita, imam, ubed, mereka teman-teman terbaikku.. tapi ini pasti akan membuatku lebih pintar. Aku yakin!” pikir asep. Mang udin dan asep naik ojek menuju stasiun kereta. Setibanya di sana, mang udin bergegas membeli tiket, sedangkan asep masih diam dalam keramaian dan kekisruhan orang-orang yang tidak dia kenal. Kereta yang mereka tunggu-tunggu akhirnya tiba, ini pertama kalinya asep naik kereta api. Asep biasanya sangat antusias terhadap sesuatu yang baru, namun kali ini sesuatu yang baru itu tidaklah menarik. pikirannya tiada henti memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya, dia hawatir kota jakarta akan tidak baik kepadanya. Sekitar 3 sampai 4 jam perjalanan yang ditempuh di atas kereta, akhirnya mang udin dan asep tiba di stasiun jakarta kota. Tempat yang sangat asing, kereta-kereta yang berjejer, orang-orang yang sibuk dan tergesa-gesa, suara-suara yang sangat
136 berbeda dari yang pernah asep dengar selama ini. baru saja keluar dari pintu stasiun, asep kembali mendapati sesuatu yang baru dalam pandangannya. Begitu ramai kendaraan lalu-lalang. Ada klakson yang sahut-menyahut. Biasanya asep hanya melihat beberapa mobil perkebunan yang lewat di jalan desa, dan mendengae suara-suara kodok di samping rumah. Kota ini begitu ramai. “assalamu ‘alaikum mang udin..” seseorang menyapa mereka. Dengan perawakan yang besar, terlihat agamis dengan baju kokonya yang putih dan sebuah peci. “wa ‘alaikumussalam. wah jalal! gimana kabar antum? Sehat?” jawab mang udin. Dia langsung menjabat tangan seseorang yang dia sebut dengan jalal itu. “alhamdulillah sangat-sangat sehat, kabarmu? Masih jadi guru ngaji?” tanya jalal sambil menepuk pundak mang udin. “alhamdulillah sehat. masih mengajar anak-anak kampung mengaji atuh. Insyaallah yang satu itu akan terus dilakukan selama badan ini mampu.” Jawab mang udin. “asep! paman ini namanya kang jalaluddin, dia yang akan merawatmu di sini.” Tutur mang udin kepada asep.
137 “asep sudah besar ya.” Ucap jalal seraya tersenyum. “kang. saya dan nenek titip asep ke antum. Dijaga dan dididik ya.” Ucap mang udin. “siap mang siap! serahkan sama saya.” Ujar jalal. Suasana antara jalal dengan mang udin penuh dengan canda, namun asep justru kebingungan melihat keakraban mereka berdua. “oiya! ada salam dari nenek buat antum.” Tutur mang udin kepada jalal. “alaikassalam. salam balik ya buat nenek.” jawab jalal. “insyaallah. dan satu lagi. asep alergi udang, tapi udang sungai, mungkin beda dengan udang kota. Tapi untuk amannya, lebih baik jauhkan saja makanan yang satu itu. Oke kang!” ucap mang udin. “oke oke.” Ucap jalal. “ya sudah! urusan kita sudah beres. Saya pamit pulang, jaga asep baik-baik!” ucap mang udin. Mang udin membalas menepuk pundak jalal. Dia mengucapkan salam perpisahan. Kala itu asep dilingkupi perasaan takut, dia tidak mengenal orang baru yang kini bersamanya. Namun tidak ada yang bisa dia perbuat selain mengikuti orang tersebut. “insyaallah. hati-hati di jalan ya mang.” Ujar jalal.
138 *** Asep dibawa oleh jalal naik ke dalam sebuah mobil angkot. Suasananya sangat panas, dan jalanan juga macet, sekitar 3 jam perjalanan sudah ditempuh, barulah mereka turun dari mobil tersebut. Kemudian jalal membawa asep ke pemukiman warga yang cukup padat. Rumah-rumah yang dindingnya saling menempel dengan rumah tetangga. selokan yang dihuni oleh sampah plastik dan anak nyamuk. Banyak anak-anak kecil bermain di depan rumah hingga ke jalan-jalan. Setelah berjalan sekitar 20 meter berjalan, asep tiba di sebuah rumah yang tidak lain adalah rumah jalal. Asep pun di persilahkan masuk, dia mencoba untuk menikmati keadaan. Perlahan asep mulai nyaman dengan jalal, dia terlihat rapih dan sopan. Rumahnya pun sangat bagus bagi asep, lantainya putih dan dindingnya cerah. Asep duduk di ruang tamu, menggenggamkan kedua tangannya diantara lututnya. ruangan itu nyaman dan lumayan besar, ada banyak benda yang dipajang diruangan tersebut. ada kaligrafi-kaligrafi arab di dinding, sebuah fhoto keluarga dan ada sepasang pedang yang dibentuk menyilang. Asep terus memperhatikan sekelilingnya, dan berusaha menikmati suasana.
139 “nisa! bawakan segelas air minum dan makanan ke depan! kita kedatangan tamu.” Ucap kang jalal. “iya abi! Tunggu sebentar.” Jawab seseorang dari ruangan lain. suaranya terdengar lembut, asep mulai menerka-nerka siapakah orang dengan suara itu, dia memikirkan apalagi yang akan dia temukan di hari ini. “nak asep. Ini rumah saya. mulai sekarang kamu akan tingal di sini. Jangan sungkan-sungkan, anggap saja rumahmu sendiri. Nanti setelah shalat dzuhur saya ajak kamu keliling, supaya kamu lebih mengenal rumah ini dan isinya.” Tutur jalal. Melihat asep yang hanya diam, dia kembali berkata “Nak, Gimana kabar kampung dan nenek?”. “alhamdulillah nenek sehat.” Jawab asep. Kemudian seorang perempuan muda datang ke ruang tamu, membawa nampan dengan dua gelas air putih di atasnya. Dia kembali pergi, dan kembali lagi dengan se-toples kacang goreng dan sepiring kue bolu bakar. “silahkan diminum airnya nak. Perjalanan kamu tadi jauh, pasti kamu sangat lelah.” Ucap kang jalal. “terima kasih om.” Ucap asep. Dia lalu meminum air yang ada di hadapannya.
140 “oya! kita belum berkenalan secara lebih jelas. Nama saya jalaluddin, biasa dipanggil kang jalal. Kalau kamu tersesat di daerah sini, minta ke orang supaya diantar ke rumah kang jalal, mereka pasti bantu. Jangan malu-malu ya nak. rumah ini rumahmu juga. siapa nama lengkap kamu?” tanya kang jalal. “asep ihwanudin om.” Jawab asep. “kamu jangan panggil dengan sebutan om ya! terdengar kaku. Lebih baik panggil abi, sekarang kan kamu sudah jadi bagian keluarga ini nak.” Jalal tersenyum kepada asep, namun asep masih bingung dan canggung dengan keadaan yang sekarang dia hadapi. “iya..” jawab asep dengan singkat. “abi.. orang ini adalah orang baru saja aku kenal.. namun dia begitu ramah.. beruntungnya aku.. mungkin aku akan betah tinggal bersamanya..” pikir asep. Asep mendapati suatu perasaan yang aneh ketika dia harus memanggil lelaki itu dengan sebutan abi. Hatinya begitu nyaman, tapi pikirannya masih terus mengacau. Lingkungan ini adalah dunia baru yang perlahan harus mulai dia pelajari. Kang jalal berusaha membuat asep nyaman berada di rumah barunya. Dia kemudian mengajak asep shalat berjama’ah bersama dengan keluarganya.
141 Mengenalkan pada keluarganya, mengajaknya berkeliling rumah, sore harinya mereka berkeliling lingkungan sekitar rumah. Mulai tercipta hubungan diantara asep dengan kang jalal, asep mulai membuka diri dan tidak lagi diam. Asep sedang duduk di beranda depan rumah. Kemudian kang jalal keluar dari rumah dan duduk di kursi sebelah asep. “maaf. kenapa di sini kok air selokannya kotor ya?” tanya asep kepada jalal secara tiba-tiba. “ooh. itu air limbah dari kamar mandi. terus tercampur dengan sampah. Ya begitu jadinya.” Jawab kang jalal. “kenapa tidak dibersihkan?” tanya asep. “hmmm.” Jalal terdiam sejenak. “itu sudah terlalu kotor nak. Orang-orang juga sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu.” jawab kang jalal. “tapi bau lingkungannya jadi kurang enak. maaf ya abi aku banyak nanya.” Ucap asep. Kang jalal tertawa mendengar perkataan asep. “tidak apa-apa nak. Abi senang kalau kamu terus bertanya dan semakin banyak tahu. lingkungan ini kan banyak orangnya, mereka itu punya banyak kegiatan dan kadang-kadang lupa menjaga kebersihan.” Terang kang jalal.
142 “ooh. kalau di kampung, aku pasti ditegur nenek kalau ngotorin halaman. Di sini airnya aja udah hitam begitu.” Tutur asep. Dia terdiam sesaat, lalu berkata “mungkin lama-lama desaku juga bisa jadi begini, orang itu kan terus bertambah. terus tambah penuh, kebersihan tidak terjaga. pasti nanti semuanya jadi bau seperti di kota ini.” ucap asep. “warga desa bisa saja menjaganya. mulai dari sekarang harus membiasakan diri menjaga kebersihan.” Ucap kang jalal. “tapi kan orang itu terus bertambah?” tanya asep. “masalah utamanya itu bukan orang yang bertambah, tapi tidak adanya kesadaran dan pedulian. begitu nak!” terang kang jalal. “oooh.. iya iya, aku paham.” Ucap asep. Asep kemudian berjalan kembali ke kamarnya. Hari-hari pertama berlangsung dengan lancar. Asep mampu merasa tenang dalam lingkungan baru. Dia menjalankan rutinitas paginya seperti biasa. Hanya saja dia sekarang jarang bermain. Dia lebih sering membaca buku-buku yang ada di kamarnya. Kamar asep sungguh rapih. Ada sebuah tempat tidur yang empuk, sebuah meja belajar, sebuah lemari baju dan sebuah kipas angin lantai. Di atas meja belajarnya juga sudah ada banyak buku.
143 Mungkin itu buku-buku kang jalal yang memang sudah tidak dibacanya kemudian diberikan kepada asep. Kebanyakan dari buku-buku itu adalah buku tentang islam, beberapa hari ini asep sudah mulai membacanya. Kini membaca adalah rutinitas pengganti bermain bagi asep. Bab 11 Keluarga Jalal Keesokan harinya asep berkumpul dengan keluarga barunya di ruang tengah. Di ruangan itu ada sebuah aquarium berisi ikan-ikan kecil yang berwarna-warni, kemudian ada sebuah tv berukuran 21 inci dengan merek yang terkenal dan ada sebuah kulkas dengan dua pintu. Tidak terlalu luas namun tertata rapih. Asep dan keluarga kang jalal sedang bersenda gurau sambil menonton tv. Keluarga ini terbiasa menyempatkan diri ketika ada waktu. Sang Ayah yang sibuk bekerja, ibu yang menjaga rumah dan sang anak yang masih sekolah. mereka sering kali terpisah dan memanfaatkan waktu berkumpul untuk bersenda gurau. Tiba-tiba anak perempuan kang jalal yang bernama Chairunnisa mengutarakan pertanyaan yang
144 serius. “abi! bagaimana tentang sekolahku?” tanya nisa kepada kang jalal. Nisa adalah seorang anak perempuan, berwajah manis, berperilaku sangat baik dan ramah. Dia selalu memakai kerudungnya bahkan ketika dia di dalam rumahnya sendiri. Nisa seumuran dengan asep, masih muda dan senang belajar. “semalam abi sama umi sudah berunding. Kalau saran abi dan umi, kamu sekolah di SMA yang paling dekat ke rumah saja, supaya lebih mudah untuk pulang. abi dan umi juga jadi tidak terlalu hawatir.” Terang kang jalal. “kalau nisa sih terserah abi sama umi. sekolah dimana pun sama aja” tutur nisa. Kemudian kang jalal mengaihkan pertanyaan nisa tersebut kepada asep. “alhamdulillah kalau begitu. kalau asep mau sekolah dimana?” tanya kang jalal. “hmm.” Asep terdiam, lalu berkata “aku bingung, belum tau mau kemana.” “di jakarta ini ada STM, SMEA, SMA, MA, dan jumlahnya banyak. Kamu bisa memilih salah satu, nanti abi yang ngurusin.” Ucap kang jalal. “yang mana ya? Asep bingung.” Ucap asep.
145 “bagaimana kalau kamu sekolah bareng nisa, di SMA daerah sini. Lebih mudah jalan pulangnya.” Ucap kang jalal. “hmmm. Iya deh abi.” Ucap asep. Kang jalal atau ayah nisa, adalah seorang pedagang kain. Dia memiliki toko di sebuah pusat perbelanjaan modern dan berjualan dibentu oleh seorang pegawai. dia adalah sosok lelaki yang berwibawa, namun tetap memperlihatkan kelembutan di hadapan anaknya. Kang jalal kembali memulai perbincangan, kali ini menasehati asep dan nisa. “ngomong-ngomong kalian berdua sudah ngobrol belum? Sudah beberapa hari tapi kok masih cuekcuekan? Kalian harus akrab, supaya nanti bisa saling bantu.” Tegas kang jalal kepada asep dan nisa. “iya abi! nanti juga akrab kok.” Jawab nisa seraya tersenyum. “kalian berdua harus akur. kalau ada masalah juga harus cerita sama umi atau abi, jangan dipendem. umi mau masak dulu deh, udah siang.” Ucap ibu nisa, setelah itu dia beranjak pergi dari tempat duduknya. “iya ummi. abi. nisa udah paham kok!” ucap nisa yang merasa malu karena terus dibicarakan. Ibu nisa adalah seorang wanita yang cantik dan selalu berpakaian rapih. Dia pemilik karakter
146 seorang ibu yang sejati, dia berperilaku sangat baik, perhatian pada anaknya, pintar mengurus keluarga dan rumahnya. Keluarga jalal adalah keluarga yang religius ditengah kepungan setan di langit kota. Keluarga ini adalah keluarga yang hangat di atas dinginnya tanah jakarta. Keluarga ini adalah keluarga yang menjaga agar hidup benar-benar penuh syukur dan rasa bahagia. Asep sangat beruntung karena tinggal serumah dengan sebuah keluarga yang dipenuhi berkah. Kali ini asep merasa benar-benar nyaman berada di sekitar mereka. Keluarga yang harmonis, religius, dan sangat lembut memperlakukannya. Namun dia masih mengingat dan hawatir akan keadaan nenek, dia terus bertanya-tanya apa yang mungkin sedang terjadi pada nenek yang hanya tinggal seorang diri. “bagaimana ya kabar nenek.. apa dia bisa di rumah sendirian.. oh iya.. bagaimana ayam-ayamku, jangan-jangan nenek lupa kasih makan.. hhh..” pikir asep. Kang Jalal kemudian berkata “besok abi dan kalian berdua akan pergi ke sekolah kalian yang baru, kita kesana buat daftar. Gimana, setuju?” ajak kang jalal. “setuju!” asep dan nisa menjawab serentak.
147 Mereka pun tersenyum bahagia. asep kini menemukan sosok ayah dan ibu yang mampu menambal lubang kerinduannya selama ini. keluarga ini memberi kehangatan baginya padahal baru sesaat saja dia mengenal mereka. Bab 12 Masa Orientasi Siswa Hari-hari berlalu, asep dan nisa sudah semakin akrab. Pagi, siang, sore, mereka selalu bertemu di dalam rumah. Asep pun mulai sering menonton TV, belajar menggunakan mesin cuci, kompor gas, dan segala macam yang tadinya belum pernah dia miliki dan belum pernah dia pelajari. Masa-masa liburan itu pun sudah hampir berakhir. asep dan nisa dihadapkan pada sebuah kebiasaan sekolah-sekolah yang ada di kota, yaitu masa orientasi siswa. Kegiatan ini bermaksud mengenalkan para murid baru kepada lingkungan belajarnya yang baru. Ada acara-acara menarik yang biasanya dilaksanakan dalam kegiatn tersebut. Nisa sangat antusias ingin segera memulai masa-masa belajarnya yang baru. “ummi! nisa sama asep berangkat ya.” Ucap nisa kepada ibunya.
148 “iya nak, hati-hati di jalan ya. Kalau ada masalah SMS umi!” jawab ibu nisa. Dia sedang memasak di dapur, sedangkan nisa dan asep sudah ada di ruang tengah bersiap untuk berangkat. “iya ummi. assalamu ‘alaikum.” Mereka pun memulai langkah pertamanya menuju lingkungan mereka untuk tiga tahun ke depan. Ada rasa tegang di hati nisa karena kegiatan ini pasti penuh dengan kejailan. Masa orientasi siswa hari pertama. Mereka menggunakan atribut yang bermacam-macam. mereka menggunakan kaus kaki yang berwarna berbeda antara kanan dan kiri, sebuah karton persegi panjang bertuliskan nama digunakan di dada mereka, dan atribut lainnya. Mereka dikumpulkan di sebuah lapangan basket, diberi pengarahan kemudian dibagi menjadi beberapa kelompok. Beruntung bagi asep dan nisa karena mereka berdua ada dalam kelompok yang sama. Para senior mulai memberi tugas dan permainan-permainan. Kadang mereka tertawa, namun kadang juga merasa malu dan tegang. Banyak orang-orang baru yang tidak mereka kenal sama sekali, dan itu terkadang membuat mereka canggung. Jam 2 siang telah tiba, kegiatan orientasi Hari pertama telah usai. Semua siswa dipulangkan, Asep
149 dan nisa yang kelelahan, berdiri di gerbang sekolah. mereka menunggu angkot seraya menyantap es serut untuk menyegarkan badan yang kelelahan. “nis!” sapa asep. Dahinya mengkerut karena suasana siang itu panas dan berdebu. “iya sep.” jawab nisa. “apa semua sekolah di kota itu selalu begini?” tanya asep. Seraya menyandarkan tubuhnya ke tembok gerbang sekolah. “maksud kamu begini gimana?” nisa balik bertanya kepada asep. “maksudku acara seperti ini! bercanda, dijailin, terus dikasih tugas yang aneh-aneh.” terang asep seraya mengambil nafas panjang. “iya lah sep. acara seperti ini tuh selalu ada. Kenapa emangnya? Kamu ga suka ya?” tanya nisa. “aku heran. Kenapa kita ga langsung belajar, acara kaya gini malah bikin capek.” “nanti juga belajar sep. Ini kan perkenalan dulu, supaya kita punya temen, terus kita juga bisa kenal sama sekolahan kita yang baru.” Terang nisa. “kalau teman itu nanti juga bisa kenal. Di kelas juga kan nanti kumpul, terus nanti kenal dengan
150 sendirinya. Ini sih Cuma main-main doang, bikin capek. Terus kita juga dikasih tugas-tugas yang aneh, apa gunanya semua itu? Hasilnya Cuma capek kan?” tanya asep dengan nada yang tegas. “iya juga sih. Tapi nanti juga beres kok sep, Cuma empat hari doang.” Jawab nisa. “kalau aja empat hari itu buat sesuatu yang lebih berguna, pasti lebih baik. Contohnya kegiatan ramahtamah, perkenalan dengan guru-guru, pemberian materi-materi yang baru, kalau itu capek juga berguna. Kita jadi lebih siap buat belajar.” Tegas asep. “kita kan masih muda sep, jadi wajar kalau masih main-main.” Ucap nisa. “kita sudah cukup besar vit, sudah tau lah mana yang penting sama yang nggak. senior-senior itu apalagi, mereka sudah lebih tua dari kita. Tapi kenapa mereka masih senang dengan hal-hal yang seperti ini, aku heran. apa gunanya gitu.” Ucap asep. Dia merasa kecewa kepada kegiatan masa orientasi siswa yang menurutnya tidak memberi pengajaran apapun. “terus mau gimana lagi sep? kita kan junior, jadi kita ga bisa protes. ya udah lah, ayo kita pulang. Umi pasti udah nungguin.” Ucap nisa. Sesampainya di rumah, mereka langsung disambut oleh senyum manis umi. Di atas meja