Aku tak membalasnya hanya mencebik kesal
menatapnya. Biar saja gila, toh itu juga demi
kebahagiaanku. Terkadang apa yang kita halukan
bisa saja terjadi di dunia nyata. Entah setahun ke
depan atau beberapa tahun ke depan nantinya. Dan
juga, halu ... adalah bagian dari keseharianku.
Tentang Penulis
Adeline_ adalah nama pena dari
gadis kelahiran tahun 2002 ini. Kini ia
tengah menempuh pendidikan di UIN
Raden Intan Lampung semester 5.
Dengan memiliki hobi menulis, ia
ingin mengembangkan bakatnya pada
even-even kepenulisan hingga sukses. Penulis bisa
dikontak melalui WA atau Intagram: @adeline15_1
40
LUCUNYA GAJIKU
Oleh: Adhe Fhitree
Sore yang dingin, jalan masih terlihat basah
akibat hujan yang baru saja berlalu. Harum bau
tanah masih menyeruak menerebos indra
penciuman Siti. Menikmati siomay adalah hal paling
menyenangkan dan mengenyangkan setelah hujan.
Siti masih saja betah duduk di kedai Siomay Quimby
yang terletak di sudut lapangan yang tak jauh dari
rumahnya.
Hari ini Siti tak terlihat sendiri. Dia sedang
bersama Mila dan dua ibu-ibu yang masih berseragam
cokelat. Meski rintik hujan terus saja berjatuhan dari
langit yang masih terlihat mendung, tapi tak
menyurutkan cerita keempat wanita yang terlihat
asyik menikmati Siomay Quimby itu. Keempat
wanita itu mempunyai profesi yang sama, yaitu
seorang pengajar. Bedanya dua ibu-ibu itu berstatus
41
Pegawai Negeri Sipil (PNS), sedangkan Siti dan Mila
masih menyandang status sebagai guru honorer.
Salah satu guru PNS yang diketahui bernama
Wati itu terus saja bercerita bagaimana sulitnya
perjalanan hidupnya sampai akhirnya dia mencapai
titik yang sekarang ini. Guru PNS yang satu pun tak
ingin kalah, dia bercerita bagaimana dia harus
menempuh puluhan kilometer dengan jalanan yang
bisa dikatakan tak layak demi mengajar anak-anak
yang tinggal di pelosok kota. Sementara Sita dan Mila
terlihat serius menyimak kisah dari kedua PNS
tersebut. Sesekali keduanya ikut tertawa jika ada hal
lucu dari cerita kedua PNS itu.
Tiba-tiba salah satu guru PNS membahas
tentang penggajian di sekolahnya. Ibu Wati juga ikut
menimpali, bahwa di sekolahnya lebih loyal dalam
hal penggajian. Siti dan Mila masih asyik
mendengarkan kedua guru PNS bercerita. Sampai
Wati betanya tentang penggajian bulanan pada
keduanya. Siti terlihat menundukan kepalanya.
Pertanyaan seputar pendapatan seseorang memang
hal yang privasi. Tapi bagi keempatnya mungkin tak
masalah karena mereka sudah mengenal sangat akrab
satu sama lainnya.
Mila dengan semangat menjawab nominal
pendapatannya dalam tiap bulan. Sementara Siti
42
masih asyik menundukan kepalanya. Melihat hal
tersebut, ketiganya menatap Siti dengan rasa
penasaran. Sampai Wati kembali bertanya.
“Ti kamu digaji berapa per bulannya?”
Siti dengan ragu mengangkat kepalanya yang
sejak tadi tertunduk.
“Hmm… Lima ratus ribu,” Jawab Siti ragu.
Ketiganya memasang wajah terkejut.
“Wow, banyak, ya,” celetuk Mila.
“Per tiga bulan,” lanjut kata Siti.
Mendengar itu, entah kenapa mereka malah
tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya.
Sementara Siti kembali menundukan kepalanya. Lalu
terdengar celetuk salah satu guru PNS.
“Mending tidur, deh.”
Mendengar itu Siti menarik napasnya dengan
kasar sambil meratapi bagaimana ironisnya
kehidupannya.
43
Tentang Penulis
Fitriani Jamaluddin lahir pada tanggal 23
september. Adhe Fhitree, nama penanya. Penyuka
hujan dan paling takut dengan petir dan kilat. Ia
sedang belajar menyusun aksara dan mewarnai
kanvas. Jejaknya bisa ditemukan di akun Instagram
@Fitriani2392 dan karyanya yang lain bisa dibaca di
Wattpad @Adhe_Fhitree2392.
44
REFLEKSI DIRI
Oleh: Afrita Heksa
Seorang bocah mengisi waktu luang dengan
kegiatan mendaki gunung bersama ayahnya.
Dia masih berusia 13 tahun. Ayahnya
menawarkan untuk hiking sekadar menyalurkan hobi
sambil memberikan beberapa pengalaman hidup
kepada buah hatinya. Entah mengapa tiba-tiba si
bocah tersandung akar pohon dan jatuh.
“Aduh!”
Jeritannya memecah keheningan suasana
pegunungan. Si bocah amat terkejut ketika
mendengar suara di kejauhan menirukan teriakannya
persis sama, “Aduhh!”
Dasar anak-anak, ia berteriak lagi, “Hei, siapa
kamu?”
Dan jawaban yang terdengar adalah, “Hei,
siapa kamu?”
45
Lantaran kesal mengetahui suaranya ditirukan,
si anak berseru, “Pengecut kamu!”
Lagi-lagi ia terkejut ketika suara dari sana
membalasnya dengan umpatan serupa. Ia bertanya
kepada sang ayah, “Apa yang terjadi?”
Dengan penuh kearifan, sang ayah tersenyum,
“Anakku, coba perhatikan!” lelaki itu berkata keras,
“Saya kagum padamu!” suara di kejauhan menjawab,
“Saya kagum padamu!”
Sekali lagi sang ayah berteriak, “Kamu sang
juara!”
Dan suara itu kembali menjawab, “Kamu sang
juara!”
Sang bocah sangat keheranan. Meski demikian,
ia tetap tidak mengerti. Lalu sang ayah menjelaskan,
“Suara itu adalah GEMA, tetapi sesungguhnya itulah
KEHIDUPAN.”
“Kehidupan memberikan umpan balik atas
semua ucapan dan tindakanmu, Nak,” jelas sang
ayah.
“Dengan kata lain, kehidupan kita adalah
sebuah pantulan atau bayangan atas tindakan kita.
Bila kamu ingin banyak mendapatkan cinta di dunia
ini, ciptakanlah cinta di dalam hatimu. Bila kamu
menginginkan tim kerjamu punya kemampuan tinggi,
tingkatkanlah kemampuan di dalam dirimu. Hidup
46
akan memberikan kembali segala sesuatu yang telah
kauberikan padanya. Ingat anakku, hidup bukan
sebuah kebetulan, tetapi sebuah bayangan dari dirimu
sendiri,” tutur sang ayah.
“Ketenangan hidup itu tergantung orangnya
jika banyak bersyukur pasti akan merasa hidup ini
penuh keberuntungan. Sebaliknya, jika banyak
mengeluh yang ada hanya merasa kekurangan dan
ketidakberuntungan. Hidup sudah ada yang
mengatur, manusia hanya menjalani dan sabar
menerima ketentuan hidup, tetapi tetap harus
berusaha dan optimis menjalaninya. Nenekmu selalu
berpesan kepadaku. Nak, tertawalah riang di hadapan
ayahmu manakala beliau pulang ke rumah karena
dunia luar itu begitu kejamnya sehingga dapat
membahayakan ayahmu. Tahukah kau, Nak? Apa
beda ibu dengan ayah? Ibu membawamu
(mengandungmu) di dalam rahim selama 9 bulan,
tetapi ayahmu membawamu seumur hidupnya, tanpa
kausadari. Ibu berupaya kuat agar kau tak merasa
lapar, tetapi ayahmulah yang mengajarimu agar kau
tak kelaparan lagi, tanpa kaupahami. Ibu
menggendongmu (dengan memelukmu) di dada,
tetapi ayahmu menggendongmu di punggungnya,
tanpa kauperhatikan. Cinta ibu ini sudah kaukenali
semenjak kau lahir, tetapi cinta ayahmu 'kan
47
kauketahui setelah kau menjadi seorang ayah. Karena
itu, bersabarlah. Ibu memang tak ternilai harganya,
sementara ayahmu, tak ‘kan bisa dikembalikan oleh
waktu.”
48
Tentang Penulis
Afrita Heksa adalah putri
keenam dari Bapak Achmad (alm.)
dan Ibu Yusani (alm.). Ia lahir di
Padang pada 23 April 1976. Afrita
Heksa merupakan putri keenam dari
tujuh bersaudara. Memulai
pendidikan di SD Negeri 1 Purwanegara. Ia
melanjutkan SMP di SMP Negeri 9 Purwokerto. Pada
1994 ia lulus dari SMA Muhammadiyah 1
Purwokerto. Kemudian melanjutkan Pendidikan di
Universitas Negeri Malang di Fakultas Pendidikan
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FPMIPA)
dengan mengambil Jurusan Pendidikan Biologi lulus
Tahun 1999. Saat ini Afrita Heksa adalah seorang
guru SMP Negeri 2 Cilongok. Melalui buku cerita
mini ini penulis berharap dapat menginspirasi teman-
teman seperjuangan sesama guru agar bisa terus
berkarya dan berkreasi. Afrita Heksa dapat dihubungi
melalui HP 082243386386 atau alamat email
[email protected].
49
AKIBAT BERGADANG
Oleh: Afrizal Hani Arifin
Suatu pagi, Berli bangun kesiangan. Malam
sebelumnya, dia begadang nonton TV hingga
larut malam. Dia belum tidur sampai pukul dua
belas malam. Padahal, esok paginya dia harus
sekolah.
Meskipun ibunya sudah mengingatkan, Berli
tidak mendengar. Dia sudah disuruh tidur sebelum
pukul sepuluh malam. Namun, Berli menganggapnya
angin lalu. Dia malah asyik menonton sambil makan
kacang.
Berli mandi cepat dengan beberapa guyuran
saja. Bahkan, dia hanya menyabun tubuh bagian perut
dan lengan. Tidak semua bagian tubuhnya terkena
sabun. Mandinya tidak bersih karena tergesa-gesa.
Setelah memakai seragam dan sepatu, Berli
berpamitan kepada ibunya.
50
“Kamu enggak sarapan dulu, Nak?” tanya ibu.
“Enggak, Bu. Sudah siang. Kalau sarapan bisa
terlambat. Nanti aja di sekolah.”
“Ya sudah, bawa bekal saja buat dimakan di
sekolah! Sebentar ibu siapkan!”
“Ah, lama, Bu. Kasih uang saja buat jajan di
sekolah. Dua puluh ribu cukup, kok!”
“Hah? banyak amat segitu! Sepuluh ribu aja,
nih!” ucap ibunya sambil menyodorkan uang saku
untuk Berli.
Setelah itu, Berli bergegas mencium tangan
ibunya. Sambil memakai tas di punggung, dia
berkata, “Pamit dulu, ya, Bu. Udah siang banget,
nih!”
“Ya sudah. Hati-hati, ya! Enggak usah terburu-
buru. Terlambat dikit engak apa-apa. Besok-besok
enggak usah nonton TV sampai malam lagi!” ucap
ibunya berpesan sambil menepuk pundak anaknya.
Siswa kelas enam itu lalu berjalan cepat menuju
sekolahnya. Berli tidak ingin terlambat. Dia
mengambil jalan pintas melewati gang sempit di
tengah permukiman warga. Jika melalui jalan yang
biasanya, dapat memakan waktu sekitar sepuluh
menit. Namun, apabila dia melintasi jalan pintas
dapat menghemat lima menit.
51
Saat melintasi kubangan, dia jatuh terpeleset
karena tergesa-gesa. Baju dan celananya kotor
terkena tanah. Ditambah lagi, telapak tangannya lecet
karena menahan tubuh saat terjatuh. Dia sempat
mengerang kesakitan. Lalu, dia bangkit untuk
melanjutkan perjalanan.
“Duh! Gimana, nih?” Berli menggerutu kesal
sambil menepuk bagian pantat yang terkena tanah
basah. Hal itu malah membuat kotoran di celananya
semakin melebar. Dia menjadi tambah kesal karena
baju putihnya juga terkena noda.
Berli sempat melihat jam dinding di rumah
warga menunjukkan pukul tujuh tepat. Dia semakin
was-was karena bel sekolah pasti sudah berbunyi.
Lalu, dia putuskan untuk berlari ke sekolahnya yang
berjarak tinggal dua ratus meter.
Sesampainya di sekolah, Berli disambut Bu
Heni di pintu gerbang sekolah, “Berli, kamu lupa
jadwal lagi, ya? Hari ini kan jadwalnya daring. Kamu
enggak perlu datang ke sekolah.”
52
PERUSAK KEBAHAGIAAN
Oleh: Afrizal Hani Arifin
Bu Suci senyum-senyum sendiri saat
memasuki ruang kelas tiga. Dia sedang
bahagia. Pasalnya, malam sebelumnya ada
lelaki yang datang melamarnya. Wanita tiga puluh
tahun yang masih lajang itu sudah tidak sabar untuk
melanjutkan ke jenjang pernikahan.
“Bu Suci, kenapa senyum sendiri?” tanya Abi
sang ketua kelas setelah memimpin teman-temannya
memberi salam dan berdoa.
“Hahaha…, masa, sih? Kamu kok perhatian
banget, Bi?” Bu Suci bertanya balik sambil
tersenyum ke arah murid-muridnya yang ikutan
tersenyum dan bahkan ada yang tertawa.
“Ya, enggak seperti biasanya aja, Bu,” celetuk
siswa lain yang bernama Intan, “Ibu ‘kan sering
marah-marah.” Ucapan Intan disambut gelak tawa
53
siswa lainnya. Mereka puas menertawakan wali
kelasnya. Namun, Bu Suci kali itu tidak marah. Dia
tetap tersenyum ramah.
“Enggak, ah. Bu Suci enggak akan marah-
marah kalau kalian enggak bikin ulah, kok. Yang
penting, kalian nurut aja sama Bu Suci, ya!
Mumpung Bu Suci lagi happy, nanti semua Bu Suci
traktir es krim. Mau, enggak?”
Sontak saja semua siswa yang berjumlah 27
anak langsung menyahut kompak tanda setuju.
Mereka senang mendapatkan bagian dari
kebahagiaan gurunya.
“Ya sudah, tunggu nanti pulang sekolah ibu
belikan es krim. Kita mulai pelajaran aja, ya! Siapa
yang tidak masuk hari ini?”
Kompak terdengar hampir semua siswa
menyebut nama Doni. Dia adalah siswa paling nakal
di kelas tiga. Anak lelaki bertubuh gemuk itu sering
tidak masuk sekolah. Dia juga tidak jarang datang
terlambat. Kalau dia masuk, pasti ada siswa yang
menangis karena ulahnya. Dia terkenal sebagai siswa
biang kerok.
Dalam hati, Bu Suci mengucap syukur atas
ketidakhadiran Doni. Dia merasa lega karena hari itu
tidak ada anak yang bisa merusak kebahagiaannya.
54
Wanita bertubuh tinggi langsing itu lalu mengawali
pembelajaran dengan riang.
Tidak berselang lama, ada yang membuka pintu
kelas. Saat Bu Suci menoleh, Doni langsung masuk
kelas tanpa permisi. Itu sudah menjadi kebiasaan
Doni jika datang terlambat. Dia kemudian duduk di
bangku kosong barisan belakang.
“Wah, Doni terlambat, ya?” Bu Suci merespons
kehadiran murid nakal itu dengan tenang. Biasanya,
dia marah saat ada anak masuk kelas tanpa
mengucapkan salam atau permisi. Namun, kali itu
berbeda. Kebahagiaannya masih tebal, sehingga dia
tidak mudah marah.
Pelajaran pun dilanjutkan. Baru lima menit
berada di kelas, Doni membuat ulah. Dia mau
meminjam pensil milik Intan. Namun, Intan menolak.
Sehingga Doni merebut pensil, lalu mematahkannya
yang membuat Intan menangis.
Bu Suci kesal melihat kejadian itu. Akan tetapi,
dia masih sabar karena efek bahagia yang dirasakan.
Setelah menenangkan Intan, dia lalu memanggil Doni
untuk dinasihati.
“Doni, lain kali jangan begitu, ya. Kalau kamu
enggak bawa pensil, pinjam saja sama ibu. Enggak
boleh merebut punya teman!”
55
Doni tidak menggubris kata-kata gurunya, dia
malah berkata, “Bu Guru tahu enggak? Kata Ayah,
sebentar lagi aku mau punya ibu baru, lo. Ayahku
sebentar lagi mau menikah.”
Mendengar jawaban muridnya, tiba-tiba
hatinya mencelos. Bu Suci sadar belum mengenal
latar belakang lelaki yang datang melamarnya. Pelan-
pelan dia bertanya, “Eh, siapa nama ayahmu?”
“Imam Prasojo. Bu Guru kenal?”
Bu Suci lemas seketika saat tahu nama lelaki
yang datang malamarnya sama dengan nama ayah
Doni.
56
UPACARA BENDERA DUKA
Oleh: Afrizal Hani Arifin
Pagi itu, Senin yang mendung di awal Oktober
sekolah kami berduka. Upacara bendera kala
itu dilaksanakan dengan derai air mata.
Hampir semua siswa menangis. Tidak sedikit juga
guru yang terisak menahan haru. Pasalnya, ada dua
siswa yang menjadi korban kerusuhan di Stadion
Kanjuruhan pada Sabtu malam.
“Pagi ini, tidak seperti biasanya,” ucap Pak
Wardiman selaku kepala sekolah sekaligus inspektur
upacara. Beliau menyeka air mata sebelum
melanjutkan kata-katanya. Aku dapat melihat
kesedihan di raut muka lelaki berusia lima puluhan
tahun itu.
“Biasanya, kita mengheningkan cipta untuk
mengenang dan mendoakan arwah para pahlawan
yang telah gugur mendahului kita. Namun, kali ini
57
kita menundukkan kepala memanjatkan doa untuk
teman kalian yang juga anak didik kami tercinta.
Marilah kita semua, dengan sungguh-sungguh berdoa
untuk Ananda Ilham Bagus Perkasa dan Jaya Forza
Arema kelas IX-C. Semoga mereka diampuni
dosanya dan diterima semua amal ibadahnya.
Mengheningkan cipta mulai!”
Perintah yang tegas dan jelas itu tidak disambut
dengan keheningan. Hampir semua peserta upacara
menyambutnya dengan tangisan. Bahkan, ada
beberapa siswi kelas IX yang berteriak histeris. Di
barisan guru, aku dapat melihat Bu Fitri, wali kelas
IX-C yang terus meneteskan air mata, jatuh pingsan.
Beruntung, beberapa guru langsung memapahnya
meninggalkan lapangan upacara. Bahkan, paduan
suara yang biasanya langsung bernyanyi ketika aba-
aba dirijen diangkat, kali itu tidak menunjukkan
kemampuannya dengan baik. Beberapa anak
mencoba tenang dengan memejamkan mata dan
menarik napas dalam-dalam. Namun, hanya sedikit
anak yang mampu bernyanyi lagu Mengheningkan
Cipta. Itu pun dengan suara lirih dan serak.
Petugas kesehatan yang berdiri di belakang
barisan peserta upacara, semakin kewalahan.
Pasalnya, banyak siswa yang tidak sadarkan diri.
Dengan sigap, mereka membopong siswa yang tidak
58
bisa berdiri. Jika masih bisa berjalan, mereka dituntun
untuk berpindah ke tempat yang lebih teduh.
Suasana upacara menjadi tidak khidmat.
Namun, Pak Wardiman tetap melanjutkan sesuai
dengan protokoler yang berlaku. Berkali-kali beliau
terlihat menghirup napas panjang kemudian
menghelanya pendek penuh embusan. Aku jadi dapat
merasakan sesak yang ada di dalam dadanya.
Hingga saat waktu amanat inspektur upacara
tiba, beliau tidak banyak menyampaikan sambutan.
Beliau hanya berpesan, “Ini pelajaran berharga bagi
kita semua. Ke depannya harus lebih berhati-hati
dalam setiap kerumunan. Karena kita tidak tahu
bahaya apa saja yang mengancam. Tetap jaga diri dan
jaga hati.”
Pak Wardiman lalu menutup pidato dengan
ajakan untuk hadir di rumah duka guna menghibur
keluarga yang ditinggalkan. Beliau juga berpesan
untuk menyisihkan uang jajan dan dikumpulkan agar
bisa disalurkan.
Upacara pagi itu pun diakhiri dengan tangisan.
Siswa-siswa dan guru berpelukan untuk saling
menguatkan. Hatiku bergetar menyaksikannya.
Dalam hati, aku berharap menjadi korban terakhir
yang meregang nyawa di stadion. Semoga, sepak bola
59
Indonesia tidak lagi menumbalkan jiwa-jiwa tidak
berdosa seperti kami.
Tentang Penulis
Penulis ini bernama lengkap
Afrizal Hani Arifin. Sehari-hari, dia
mengabdi di SD Negeri Magelang 3
sebagai Guru Bahasa Inggris sejak
2012. Ketertarikannya di dunia
literasi bermula dari keinginannya
memiliki hobi pada 2018. Setelah
mencoba berbagai kegiatan, dia akhirnya tertarik
pada dunia membaca dan menulis. Harapannya, dia
dapat menjadi contoh yang baik bagi anak didiknya
agar bisa mengasah kemampuan dengan membuat
karya tulis. Ada pun motonya saat menulis yaitu, “Do
the best, let God do the rest.”
60
MILO DAN ROBOCON PADA
TAHUN 2500
Oleh: Agitia Ayu Prastiwi
Milo bangun pagi dengan hati yang bahagia.
Hari ini hari pertama liburan sekolah.
Dibukanya jendela kamarnya, angin sejuk
langsung menyelimuti tubuhnya. Mamanya sedang
pergi ke Jogja dan Milo diberi tugas untuk merawat
tanaman-tanaman yang ada di rumahnya.
Tiga hari setelah mamanya pergi ke Jogja, Milo
belum ingat tugasnya dan pesan mamanya untuk
menyirami tanaman. Namun, hari keempat ketika dia
bangun tidur dan membuka jendela, tampak di depan
jendela kamarnya rumput-rumput yang tadinya hijau
segar, terlihat sedikit menguning. Milo langsung
kaget dan berlari ke tamannya. Dia memutar kran dan
mengalirkan selang untuk menyiram. Air kran tidak
juga mengalir. Milo lalu mencoba memutar-mutar
61
krannya. Tiba-tiba sebuah benda berukuran kecil
terjatuh dirumput. Ketika Milo akan mengambilnya,
benda itu semakin membesar hingga tubuhnya
seukuran dirinya, dan berbentuk robot. Milo kaget
bukan main, dia mengucek matanya, bagaimana bisa
sebuah robot ada depannya dan tersenyum ke
arahnya.
“Halo Milo, perkenalkan namaku Robocon, aku
datang dari tahun 2500,” kata robot itu dengan bahasa
robotnya.
Robot itu membuyarkan lamunan Milo. “Tahun
2500? Mana mungkin? Siapa kau?” tanya Milo
sambil terbata-bata karena takut.
“Ya, aku adalah robot dari tahun 2500. Ayo,
ikut aku, pegang tanganku,” kata Robocon
mengulurkan tangannya.
Karena penasaran, Milo mengikuti perintah
Robocon. Kemudian Robocon menekan tombol
merah di tangan kanannya. Seketika itu juga Milo dan
Robocon berputar-putar menuju tahun 2500.
Sampailah mereka di tahun 2500. Milo sedikit
merasa panas, lebih panas dari kotanya Jakarta, ketika
dia sampai di tahun 2500. Milo yang masih bingung
mengikuti Robocon berjalan ke arah sebuah rumah.
Betapa terkejutnya Milo, ternyata rumah itu terbuat
dari bahan-bahan teknologi yang sangat canggih.
62
Untuk masuk ke rumah itu, tak perlu memencet bel,
karena di bagian depan sebelah pintu, terdapat sebuah
kamera kecil yang ketika tombol di bagian bawahnya
ditekan, maka akan tersambung ke dalam rumah.
Di rumah itu terdapat layar monitor berukuran
sedang. Robocon menekan beberapa tombol dan
muncullah sebuah gambar. Gambar para penebang
pohon ilegal yang sedang menebang pohon-pohon di
hutan.
“Inilah kondisi saat ini, pada tahun 2500 ini,
hutan semakin sedikit, udara semakin panas, bencana
di mana-mana,” kata Robocon.
Milo menyaksikan tayangan monitor di
depannya dengan ngeri, para perampok pohon liar
menebangi pohon tempat hidup hewan-hewan. Milo
melihat keluarga burung yang menghuni sebuah
pohon tampak bingung membawa pergi anak-
anaknya. Seekor bajing yang hidup di pohon itu
seakan terusik dan bingung lari ke mana.
“Ini salah satu kesalahan pada tahun 2022-an,
anak-anak sudah tidak mau lagi menjaga alamnya,”
kata Robocon.
Milo teringat, dia kini hidup di tahun 2022. Dia
ingat belum menyirami tanaman-tanaman di
rumahnya.
63
Milo dan Robocon kemudian terbang. Dari atas,
terlihat rumah-rumah elektronik pada tahun 2500.
Milo begitu takjub melihat kotanya pada tahun itu.
Macet tidak hanya di darat, tetapi di udara juga.
Ternyata pada tahun 2500, mobil juga bisa terbang.
“Keren,” kata Milo.
Tapi tunggu dulu, dia melihat kotanya kini
sangat panas, rumah-rumah menggunakan AC
berkekuatan super agar tidak kepanasan. Ketika
mereka melewati kebun binatang, dilihatnya hewan-
hewan banyak yang sakit dan hampir mati karena
udara yang panas. Anak-anak seakan tak pernah
melihat keindahan alam lagi, karena taman-taman di
sana sudah diubah menjadi taman digital. Semuanya
serba teknologi. Milo sedih melihat itu semua, dia
melihat begitu banyak anak-anak yang tidak bisa
bermain sepak bola di tempat yang layak karena
rumput-rumput di lapangan mati.
“Milo, sekarang kita harus Kembali,” kata
Robocon membuyarkan lamunan Milo.
Akhirnya mereka sampai di halaman rumah
Milo lagi.
“Milo, semoga hari ini kamu belajar sesuatu.
Mungkin kita tidak bisa mengubah takdir, Milo, tetapi
kita masih bisa mencegahnya,” kata Robocon sambil
memegang pundak Milo.
64
Robocon kemudian pamit dan melambaikan
tangan ke arah Milo, kemudian berubah menjadi
benda kecil seperti semula.
Setelah itu Milo langsung menyiram tanaman,
dia juga belajar menanam tanaman. Sepulangnya dari
Jogja mama Milo kaget dan bahagia melihat tanaman-
tanamannya terawat dan bertambah. Mama Milo
hanya tersenyum, sebenarnya dia heran juga kenapa
Milo bisa berubah seperti itu, tapi dalam hatinya
bahagia. Milo sekarang mencintai lingkungannya dan
mengajak teman-temannya untuk ikut menjaga
lingkungan.
Tentang Penulis
Penulis adalah Agitia Ayu
Prastiwi. Penulis adalah seorang guru di
SDN Kaliputih Kecamatan Selomerto
Kabupaten Wonosobo. Penulis lahir di
Temanggung, 13 Desember 1993.
Penulis saat ini tinggal di Depok, Selomerto,
Wonosobo.
65
NENEK
Oleh: Agivia Permata Ranjani
Sore itu langit perlahan mulai gelap. Sepulang
sekolah aku tidak langsung kembali ke rumah,
melainkan pergi untuk mengikuti les malam
yang berada tak jauh dari sekolah. Dengan
menyandang tas yang berisi banyak buku di bahu, aku
segera berjalan dari kelas menuju pintu gerbang.
Terlihat ada beberapa siswa yang menunggu untuk
dijemput.
Haaahhh... Dengan menghela napas aku pun
melangkah ke luar dari pintu gerbang.
Di perjalanan, embusan angin malam
menggelitik tubuhku. Suara pohon-pohon yang
tertiup angin mengisi keheningan malam. Sesekali
kupejamkan mata untuk melepas rasa penatku setelah
seharian menuntut ilmu. Tak lama tetes air hujan
66
mulai membasahi tubuhku. Karena takut bukuku
basah, aku segera berlari menuju ke tempat les.
Sesampainya di tempat les, hanya ada aku dan
Kak Ghea guru lesku.
“Oh, Nita, kamu sudah datang. Ayo, masuk
dulu.” Ajakan Kak Ghea untuk masuk ke dalam
rumah.
Malam itu hujan turun dengan sangat lebat, aku
duduk di bangku dekat jendela yang memperlihatkan
halaman rumah.
“Nita, kamu tunggu teman-temanmu dulu, ya?
Mereka mungkin terlambat karena terhalang hujan,”
ucap Kak Ghea.
“Oke, Kak, tentu aku akan menunggu mereka
sampai dating,” jawabku sembari menyiapkan
perlengkapan yang akan digunakan untuk belajar
nanti.
Selagi menunggu, aku menaruh kepalaku di
atas meja dengan beralaskan kedua tanganku.
Pandanganku tertuju pada rintik hujan yang tak
kunjung berhenti. Saat aku mengedipkan mata, aku
merasa ada sosok seperti wanita bungkuk di balik
derasnya hujan. Dan sepertinya sosok itu memegang
sebuah tongkat sebagai penyangga badan. Aku tak
bisa melihat wajahnya karena tertutup derasnya
hujan. Sosok itu berdiri diam dan seperti memandang
67
ke arahku. Dengan rasa penasaran sekaligus takut,
aku hanya bisa memandangnya dari dalam ruang les.
Dan saat aku mengedipkan mata, sosok tadi telah
menghilang dari pandanganku.
Waktu berlalu, teman-teman lesku semuanya
sudah datang. Kami belajar dengan sangat serius dan
mendengarkan penjelasan Kak Ghea. Ruangan itu
menjadi sangat hening, sehingga hanya terdengar
suara hujan dan petir dari luar. Saat aku tengah
mencatat penjelasan Kak Ghea, tiba-tiba aku merasa
merinding setelah kulihat sosok bayangan melewati
jendela dari luar. Bayangan itu berjalan persis di luar
jendela.
Barusan siapa yang lewat? Batinku ketakutan.
Jantungku berdegup kencang dan sempat pikiranku
kacau. Aku cepat-cepat menenangkan diri dan
pikiranku setelah kejadian tersebut. Lalu kembali
mengikuti pembelajaran.
Dua jam berlalu, hujan pun mulai berhenti.
Saatnya aku dan teman-teman pulang kembali ke
rumah masing-masing. Saat aku ingin berpamitan,
terlihat Kak Ghea membersihkan sebuah foto.
Terkejutnya aku saat melihat foto yang dipegang Kak
Ghea. Foto itu merupakan foto neneknya yang sudah
lama sakit dan berada di rumah sakit. Aku tertegun
dan berkeringat dingin saat melihat foto nenek Kak
68
Ghea yang memegang tongkat persis seperti sosok
yang kulihat dari jendela.
Tentang Penulis
Agivia Permata Ranjani adalah
seorang Siswi yang berusia 16 tahun.
Agivia Permata Ranjani lahir di
Salatiga, 11 Maret 2006. Saat ini
menempuh pendidikan di SMA
Negeri 1 Salatiga sebagai siswi kelas
X. Karya “Nenek” merupakan karya
cerita mini keduanya setelah karya cerita mini yang
berjudul “Ruang Tanpa Suara”.
69
PITUTUR
Oleh: Agripina Agatha Kiosa
Pukul 8 malam Rara baru akan mengerjakan
tugas. Mulai dari menyusun jadwal
dilanjutkan mengecek tugas yang akan di
bahas besok. Rara mulai mengerjakan satu tugas
dilanjutkan tugas lainnya. Hingga pukul 9 malam
kurang 15 menit, Rara menepuk dahi, “Aduh, aku
lupa, gimana ini? Rara berkata dengan panik. Rara
baru ingat besok ia harus membawa cat air.
Dengan tergesa Rara berlari ke arah lemari
mengambil jaket. Berlari ke arah bagasi sambil
menyambar kunci motor yang ada di atas meja. Rara
membuka pintu garasi sambil mengintip keluar
mengecek cuaca.
“Yah, gerimis, tapi kalau enggak beli, besok
enggak bisa ikut praktik.” Rara bimbang.
70
Tak ada pilihan lain. Rara bergegas
mengeluarkan motor dari garasi. Ia terlalu panik
hingga Rara melupakan sesuatu.
Gerimis mengguyur tubuh Rara yang terlapisi
jaket bermotif panda miliknya. Rara tetap melajukan
motor menembus gerimis menuju toko alat tulis.
Sesampainya di depan toko, Rara memarkirkan motor
dan melepas helm yang menempel pada kepalanya.
Hanya butuh 5 menit Rara membeli cat air tersebut.
Dan dalam waktu 5 menit itu gerimis tadi telah
berganti menjadi hujan.
Rara menengok bagasi motornya. Kosong,
takada sesuatu yang di dalamnya. Rara lupa
memasukkan mantol ke dalam bagasi saat berangkat
tadi karena terlalu panik. Seharusnya Rara berteduh
terlebih dahulu, tetapi Rara nekat. Ia tetap melajukan
motornya di tengah derasnya hujan saat perjalanan
pulang.
Setibanya di rumah, Rara disambut dengan
wajah penuh khawatir ibunya.
“Ya ampun, Rara! Kenapa basah kuyup begini?
Kamu dari mana saja?” ucap Ibu.
Sebelum Rara menjawab pertanyaan itu, Ibu
sudah terlebih dahulu memotongnya.
“Sudah, sana kamu bersih-bersih dahulu supaya
tidak kedinginan,” tutur Ibu.
71
Rara menganggukkan kepalanya dan berjalan
menuju kamar mandi untuk membersihkna diri.
Selesai mandi, Rara menuju kamar dan berbaring
dengan tubuh yang berbalut selimut. Sehabis mandi
tubuhnya tersa dingin dan kepalanya berdenyut-
denyut.
Pintu kamar Rara terbuka memperlihatkan Ibu
yang berjalan masuk sambil membawa secangkir teh
hangat untuk Rara. Rara menerima cangkir tersebut,
diminumnya seseruput lalu diletakkan di nakas
samping tempat tidur.
Ibu memegang dahi Rara yang hangat sambil
berkata, “Lain kali kalau menyiapkan tugas jangan
terlalu malam agar saat perlu sesuatu belinya tidak
kemalaman.”
“Iya Bu,” jawab Rara.
“Jika terjadi hujan saat sedang di luar rumah
dan tidak membawa mantol, sebaiknya menepi
dahulu agar tidak membahayakan dirimu,” lanjut Ibu
sambil menepuk-nepuk badanku.
Tiba-tiba ada yang memanggil Rara, “Mbak!
Mbak! Bangun, ini sudah larut malam.” Rara tersadar
sambil terkejut. Ternyata itu hanya mimpi. Rara
masih berada di depan toko sejak hujan mulai
mengguyur.
72
“Rara rindu Ibu,” ucap Rara dengan air mata
yang meluncur.
Rara mengusap pipinya yang basah karena air
mata sambil berkata, “Kata Ibu, Rara enggak boleh
jadi anak yang cengeng.”
Lalu Rara berjalan menuju motornya yang
basah dan mulai menjalankannya menuju rumahnya
yang sepi itu setelah kepergian ibunya.
Tentang Penulis
Agripina Agatha Kiosa, biasa
dipanggil Tata. Lahir di Salatiga, 6
Desember 2006. Tata adalah anak
pertama dari 4 bersaudara. Saat ini Tata
belum bekerja dan masih menjadi
seorang pelajar yang bersekolah di
SMAN 1 Salatiga. Tata memiliki hobi mendengarkan
musik dan membaca novel.
73
DIA BUKAN CUCUKU
Oleh: Agus Budiyanto
Suasana tampak sangat ramai. Hari Minggu ini
di sebuah tempat wisata air di Banjarnegara.
Banyak orang tua membawa anak-anak
mereka berwisata di tempat ini. Anak-anak kelihatan
asyik bermain di kolam renang didampingi para orang
tua mereka. Aku beserta anak-anak memasuki arena
taman bermain tersebut setelah membayar tiket
masuk.
“Ayo, anak-anak! Siap-siap main di kolam
renang yang tidak terlalu dalam, ya.” Aku mengajak
ketiga anakku.
“Ayah pinjam ban dua, ya, Yah,” pinta anak-
anak.
“Iya, sebentar, ya,” jawabku.
74
Setelah kuberikan ban ke anak-anak
selanjutnya mereka asyik bermain di air berbaur
dengan pengunjung yang lain. Saking asyiknya
bermain air, salah satu ban diambil pengunjung lain
karena kebetulan sedang tidak dipakai anak-anak.
“Ayah, itu bannya diambil orang, Yah!” teriak
salah satu anakku.
“Tidak apa-apa, biar dipinjam dulu, ya. Kalian
bisa main bareng-bareng,” jawabku.
Sepertinya orang yang mengambil ban
mendengar teriakan anakku dan mendekat ke kami.
“Oh, maaf, ya, Mas, adik pinjam sebentar, ya,”
kata orang itu.
“Oh, iya monggo, Bu. Enggak apa-apa, ini
masih ada satu, kok,” kataku.
Namun, anakku malah menangis mintaku
menyewa ban lagi dan tidak harus meminta ban yang
sedang dipinjam anak lain.
Mendengar anakku menangis, akhirnya ibu itu
mengembalikan ban tersebut meskipun gantian
anaknya yang merengek nangis minta ban.
“Ini saya kembalikan bannya, ya, Pak. Terima
kasih sudah pinjam sebentar tadi,” katanya.
“Oh, iya, Bu. Maafkan anak saya, ya, Bu. Dia
malah nangis minta bannya tadi.”
75
Setelah itu ibu tersebut pinjam ban di tempat
sewa dan anaknya tidak nangis lagi. Mereka
kemudian bermain air bersama dalam suasana yang
gembira. Kami para orang tua mengawasi anak-anak
dari pinggir kolam renang.
“Mumpung masih liburan sekolah, nggih, Bu.”
Aku melanjutkan obrolan dalam suasana santai.
“Iya, betul, Pak, kita ajak anak-anak bermain air
di sini,” sambung ibu tersebut.
Di saat kami ngobrol, tiba-tiba ibu tersebut
bertanya pada saya, “Pak, itu tadi yang nangis minta
ban anak atau cucu Bapak?”
Sebelum sempat menjawab, dalam hati aku
membatin, sudah nampak begitu tuakah aku?
“Itu anak saya yang ragil, Bu,” jawabku agak
lirih.
Temtang Penulis
Agus Budiyanto, Kepala SMP Negeri 3
Kaliwiro. Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa
Tengah
76
JAGOAN
Oleh: Agus Suprayitno
Rasa lelah mulai mendera tubuh Rio setelah
berjalan agak jauh. Dilihatnya ada dangau
kecil di tepi jalan. Beberapa orang berada di
sekitarnya. Namun, hanya seorang laki-laki tua yang
duduk bersila sendirian di dangau. Laki-laki itu
berambut sebahu yang sebagian rambutnya menutupi
sebagian wajah.
Tanpa ragu Rio langsung menuju dangau
karena tak tahan dengan panasnya mentari. Sekalian
berteduh, begitu pikir Rio. Ia tersenyum sembari
berkata, “Permisi, Pak! Boleh saya duduk di sini?”
Laki-laki tua itu tak menjawab. Hanya
tangannya mengembang seolah mempersilakan Rio
untuk duduk. Rio mengangguk dan langsung duduk
di samping laki-laki itu.
“Anda dari mana?” tanya laki-laki itu pada Rio.
77
“Saya jalan-jalan saja, Pak! Ingin tahu lokasi
cerita warga desa sebelah.”
“Cerita apa?”
“Katanya di daerah sini dulu banyak begal. Tapi
sejak ada seorang jagoan tempat ini jadi aman
tenteram. Bapak pernah dengar cerita itu?”
“Tidak! Bagaimana ceritanya?”
Rio tertawa mendengar pertanyaan laki-laki itu.
Dalam hatinya ia berpikir, bagaimana mungkin laki-
laki itu tak tahu cerita yang disampaikannya. Berarti
cerita dari warga desa sebelah hanyalah bualan
belaka.
“Kata warga sebelah jagoan itu sudah tua tapi
bisa mengalahkan para begal yang jumlahnya banyak
serta lebih muda. Si jagoan sempat tersabet parang di
wajah dan kakinya sehingga pincang. Saya sendiri
sebenarnya tidak percaya cerita itu, Pak! Mana
mungkin orang tua bisa mengalahkan kekuatan
beberapa anak muda. He ... he ... he ...!”
Rio terkekeh, sementara laki-laki tua itu hanya
tersenyum.
“Iya, mungkin cerita itu hanya bualan agar
orang tak lewat daerah sini. Ah, sudahlah! Aku mau
pergi dulu. Ada urusan yang harus aku selesaikan.
Tidak apa-apa kan kalau saya tinggal?” kata laki-laki
itu.
78
“Tidak apa-apa, Pak! Silakan kalau ada urusan,
nanti saya juga akan melanjutkan perjalanan,” balas
Rio.
Laki-laki itu menyibak rambut yang menutup
sebagian wajah dan menampakkan condet penghias
wajah. Langkah kakinya terpincang-pincang saat
menjauhi gubuk. Rio tertegun sejenak melihat kondisi
laki-laki tua yang baru saja berlalu.
Tiba-tiba beberapa orang yang tadi ada di
sekitar dangau mendekati Rio. Wajah mereka
berubah sangar. Beberapa orang mengeluarkan
parang yang disembunyikan dari balik bajunya. Rio
gemetar saat salah seorang berteriak lantang.
“Hey! Cepat serahkan barang-barangmu!”
Bondowoso, 17 Oktober 2022
79
PERSEKONGKOLAN
Oleh: Agus Suprayitno
Seno terlihat sangat gelisah. Pria itu berjalan
mondar-mandir di dekat jembatan. Wajahnya
celingak-celinguk seperti sedang mencari
sesuatu. Saat itulah ia melihat Karto sedang berjalan
menuju ke arahnya.
Karto tampak serius sedang menelepon
seseorang. Ia tak menyadari keberadaan Seno, hingga
namanya dipanggil.
“Karto!” teriak Seno memanggil.
Tangannya dilambai-lambaikan supaya Karto
paham tentang keberadaannya. Karto tersenyum
melihat kawannya itu. Handphone yang semula
menempel di telinga kanannya langsung dimasukkan
begitu saja dalam saku. Sambil tersenyum ia balas
melambai ke arah Seno kemudian berlari kecil.
80
“Gimana, Bro? Sudah kamu jual barangnya?”
tanya Seno.
“Sudah, dong! Barusan aku telponan kalo ada
barang lagi bakal aku jual ke dia!” jawab Karto santai
“Emangnya laku berapa? Jangan-jangan laku
murah, ya!”
“Tenang aja! Laku lumayan mahal, kok!”
Karto mengeluarkan segepok lembaran uang
kertas berwarna merah dari kantong jaketnya. Uang
itu kemudian dikipas-kipaskan ke wajahnya. Karto
dan Seno jadi semringah.
“Ingat, ini rahasia kita berdua! Jangan sampai
ada yang tahu kalau semalam kita sudah merampok
rumah Pak Haji!”
“Bereeess ...!”
Tiba-tiba beberapa orang polisi berseragam dan
berpakaian preman berlari ke arah Seno dan Karto
sembari menodongkan pistol.
“Angkat tangan! Kalian ditangkap!” teriak
salah satu polisi berpakaian preman.
Seno dan Karto sangat terkejut dan tak bisa
berbuat apa-apa selain mengangkat kedua tangan.
Wajah keduanya pucat pasi.
“A-apa salah kami, Pak?” tanya Karto gugup.
81
“Kalian ditangkap dengan dugaan telah
merampok rumah Pak Haji Samir tadi malam!” kata
Pak Polisi.
“Tapi, Pak! Kami tidak melakukannya!
Sumpah, Pak! Kami semalam nonton bioskop,” elak
Seno beralasan.
“Nanti kalian bisa jelaskan di kantor polisi!”
sahut Pak Polisi sambil meringkus Seno dan Karto.
Kedua tangan Seno dan Karto langsung
diborgol dan digiring ke kantor polisi. Sebelum pergi,
salah seorang polisi itu berkata pada seorang laki-laki
yang ikut penangkapan.
“Terima kasih banyak atas bantuan Saudara
telah memberi tahu kami,” kata pak polisi.
“Sama-sama, Pak! Untung tadi telepon si Karto
belum dimatikan, jadi saya bisa mendengar
persekongkolan mereka. Makanya saya langsung
lapor polisi.”
Bondowoso, 17 Oktober 2022
82
Tentang Penulis
Penulis yang bernama Agus
Suprayitno, S.Pd.I. adalah seorang
pendidik di SDN Kotakulon 1
Bondowoso dan sangat menyukai
dunia literasi. Ratusan karyanya
telah diterbitkan dalam buku antologi
bersama para penulis nusantara. Beberapa kali pula ia
telah memperoleh penghargaan dalam even menulis
puisi maupun cerpen. Hingga kini ia telah berhasil
menerbitkan 4 buah buku, yaitu kumpulan cerpen
Teror Horor terbitan Tidar Media Yogyakarta, novel
Simpul Mati terbitan Rofsikaha Media Jember, dan
antologi puisi Kitab Kematian terbitan IA Publisher
Lamongan.
Agus bisa dihubungi melalui FB: Agus Suprayitno,
IG: @agus.suprayitno020875, atau WA:
081937575709
83
ULANG TAHUN PAK SLAMET
Oleh: Agus Susanto
Pak Slamet adalah seorang pendidik yang
sangat ditakuti oleh siswa. Ketika ia mengajar,
tidak ada yang berani bermain, kecuali Adi
dan Rio yang duduk di bangku belakang. Mereka
anak yang bandel dan suka usil. Ketika Pak Slamet
sedang mengajar di depan kelas, Adi dan Rio yang
menganggu temannya. Hal ini membuat Pak Slamet
menegur dan mendekati Adi.
“Adi, Rio, apa yang kamu lakukan?” ujar Pak
Slamet
“Eemm, main, Pak,” jawab Adi.
“Iya, Pak, kami sedang main,” kata Rio
menambahkan.
“Kenapa kamu main terus? Bukankan ini
sedang pelajaran?” tanya Pak Slamet.
84
“Lah, Pak Slamet kenapa marah?” Adi
menjawab dengan wajah tanpa dosa.
Hal tersebut membuat Pak Slamet marah
kepada Adi dan Rio.
“Adi! Rio! Keluar kalian!” ujar Pak Slamet
dengan nada tinggi.
“Tidak mau, Pak. Saya mau di sini saja sama
Adi,” kata Rio.
Teman yang lain melihat dan menengok ke arah
Adi, Rio dan Pak Slamet. Tiba- tiba Tina pamit keluar
kelas untuk buang air kecil.
“Pak, izin keluar kelas, mau ke kamar kecil.”
“Silakan, Tina,” jawab Pak Slamet.
Adi yang suka usil itu pun diminta menemui
Pak Slamet nanti di kantor, tapi dia tidak mau karena
mau bermain dengan Rio. Hal tersebut membuat Pak
Slamet tambah marah ke Adi dan Rio. Tiba-tiba Tina
membuka pintu sambil membawa kue ulang tahun
yang sudah disiapkan sebelumnya bersama teman
sekelasnya dan guru lain yang sengaja tidak
memberitahukan Pak Slamet sebelumnya.
Kelas yang tadinya hening itu berubah menjadi
riuh dan menyanyikan lagu ulang tahun kepada Pak
Slamet. Di sini Pak Slamet merasa heran dan tidak
jadi marah. Apalagi disusul Pak Saparman yang juga
ikut masuk kelas tersebut. Air mata Pak Slamet pun
85
jatuh ke lantai karena ia baru sadar bahwa ini
hanyalah setingan Pak Saparman dan anak-anak di
kelas 4.
“Dari mana kalian tahu, Nak?” ujar Pak Slamet.
“Dari Pak Saparman, Pak,” jawab Tina.
“Saya minta maaf, ya, Pak?” jawab Adi dan Rio
bersamaan.
“Iya, Nak, bapak juga minta maaf.”
Akhirnya mereka saling berpelukan dan
bersalaman.
“Maaf, Pak, saya dan anak-anak merencanakan
ini untuk memberikan kejutan ke Bapak, selamat
ulang tahun yang ke 54 tahun, ya, Pak.”
Dengan tepuk tangan, akhirnya kado ulang
tahun yang sudah siapkan diberikan ke Pak Slamet
sambal diiringi nyanyian ulang tahun.
Tentang Penulis
Agus Susanto, S.Pd.Jas. adalah seorang penulis
pemula kelahiran 11 Mei 1986 yang berprofesi
sebagai guru di SD Negeri 3 Tlogo Kecamatan
Sukoharjo, Kabupaten Wonosobo. Menulis cerita
mini ini adalah pengalaman pertama kali. E-mail:
[email protected].
86
SAINGAN DAN BOS
Oleh: Agustanti
Akmal mengabaikan seruan istrinya untuk
sarapan dulu sebelum berangkat kerja.
Akmal harus segera menyelesaikan
pekerjaan yang luamayan banyak. Sementara jarak
tempuh dari rumah ke tempat kerja jauh. Ia pun
bergegas berangkat.
“Nanti sarapan di kantor saja, Mah.”
Akmal mengendarai mobilnya dengan kencang
agar bisa segera sampai di kantor dan bisa
menyerahkan bahan meeting hari itu ke atasannya,
Pak Faiz. Ia lembur menyelesaikannya sehingga
bangunnya kesiangan. Namun, jalanan macet, ada
antrean kendaraan dan dijaga polisi. Mungkin ada
kecelakaan, batin Akmal.
Meski merayap, mobilnya terus jalan pelan
berderetan dengan pengendara di depannya. Akmal
87
mengintip spion, ternyata di belakangnya juga banyak
mobil yang membuntutinya. Semakin mendekati
tempat kejadian, ternyata memang ada kecelakaan.
Dia melirik ke kiri jalan, terlihat sepeda motor yang
sudah diletakkan di tepi jalan. Tiba-tiba hatinya
berdegup kencang. Di sebelahnya tergeletak seorang
wanita yang dia kenal. Wanita yang belum pergi dari
hatinya meski istrinya saat ini sangat ia sayangi.
Wanita yang memberi motivasi, semangat, dan selalu
menghiasi bibirnya tertawa mengisi hari-hari
indahnya saat masih kuliah.
Mobil Akmal segera menepi dan berhenti.
Namun, sudah ada yang mengangkat wanita tersebut
ke ambulans. Untuk mengurangi rasa penasaran,
Akmal mengikuti mobil ambulans tersebut sampai ke
rumah sakit. Petugas sudah menyiapkan tandu.
“Kenapa dia, Mas?” tanya Akmal kepada laki-
laki yang tadi mengangkat wanita tersebut setelah
turun dari mobilnya.
“Motornya kesrempet mobil saat parkir tadi.”
Laki-laki itu menjawab tanpa memperhatikan siapa
yang bertanya dan tetap sibuk dengan memberesi tas
dan barang bawaan wanita tersebut.
“Bagaimana keadaannya?”
“Alhamdulillah, hanya lecet, tapi akan
diperiksa dulu karena merasakan pusing.”
88
Oh, syukurlah, gumam Akmal dalam hati. Rasa
lega menyejukkan tenggorokan yang kurang asupan
air karena kepanikan perasaan, tetapi Akmal tak
berdaya karena ada laki-laki lain yang menolongnya.
“Lho! Pak Akmal di sini? Bukankah harus
segera menyerahkan bahan untuk meeting hari ini? O,
ya, saya sudah mendelegasikan Pak Farhan untuk
mewakili saya karena saya harus memastikan istri
saya tidak apa-apa.”
“Iya, Pak. Saya pamit dulu. Semoga istri Bapak
baik-baik saja.”
89