The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Puji Narimawati, 2022-11-23 16:46:06

DI PARKIRAN MALL PDF

DI PARKIRAN MALL PDF

KENANGAN

Oleh: Amelia Wulan Dhamayanti

Gedung di pusat Kota Hegern itu tampak
berdiri gagah. Menjulang tinggi hampir
menyamai sang bumantara dengan cat krem-
biru menyertainya. Atap kaca mempersilakan sinar
mentari masuk menyinari ruangan gedung hingga
lantai terbawah. Satu-dua burung singgah menghiasi
kaca yang terbuka di lantai tiga, tak lupa kicauan
merdunya.

Deretan rak menjulang berisikan barisan buku
yang tersusun amat rapi, mengelilingi seisi ruangan
dari lantai dasar hingga lantai atas. Gadis berusia
sekitar 17 tahun yang mengenakan dress hijau
bergambar kupu-kupu itu berjalan mengitari rak di
lantai tiga dengan earphone di telinganya.

“Helya.” Dengan pelan, seseorang memanggil
sembari menepuk pundaknya.

190

Helya melepas salah satu earphone di
telinganya. Menengok, memastikan siapa yang
menepuk pundaknya.

“Iya? Naeni! Kamu Naeni, khan? Kenapa kita
bisa berjumpa dan …” Kata-katanya terputus.

Anggukan dengan senyum manis di wajah
Naeni begitu khas.

“Aku selalu ingat kalau Helya yang satu ini
senang dengan warna hijau dan selalu memakai
earphone, jadi aku coba panggil saja. Eh, ternyata
benar kalau itu kamu. Ha… ha… ha….”

“Ah, kamu ini. Bisa saja.”
Enam bulan berlalu, kedua sahabat ini
dipertemukan kembali setelah Naeni pindah sekolah
pondok di Kota Frelo.
“Sudah lama, ya, kita tidak berjumpa. Emm,
bagaimana kabarmu dengan Hans?” Naeni asal
bertanya. Pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh
Naeni membuat Helya tersenyum tipis. Sebenarnya
Helya ingin menjawab bagaimana kabar dirinya
sekarang, tetapi urung. Perasaannya tidak enak.
Hans, lelaki kutu buku itu selalu mewarnai hari-
hari Helya dengan sejuta ceritanya. Ketika jam
istirahat tiba, Hans selalu bercerita, apa pun itu. Hans
juga sangat pandai fisika, dialah yang mengajari

191

Helya bagaimana menghitung daya pada generator
dengan tepat.

“Dia sudah tidak bersamaku,” jawab Helya
singkat sembari berjalan menuju bangku di ujung
perpustakaan. Duduk.

“Maksudnya?”
“Dia sudah tenang di sana, Na,” Helya
memandang langit-langit, “dia sudah tiada.”
Mata Naeni terbelalak, mengelus dadanya
sendiri. Dahinya mengernyit,
“Bagaimana bisa?”
“Sehari setelah kau pamit, aku dengan Hans
pergi ke tempat ini. Dari pagi hingga sore kami
menghabiskan waktu bersama. Ah, dia ini senang
sekali ke perpustakaan. Entah mengapa, di hari itu dia
bercerita amat banyak — berlipat-lipat dari
biasanya.” Kalimatnya terhenti, Helya teringat.
“Lalu?”
“Ya. Hari sudah sore, hari itu mendung. Kami
masih berada di lantai tiga. Listrik juga tiba-tiba
padam. Amat gelap. Senter di handphone Hans rusak,
sedangkan handphone-ku sudah habis baterai.
Singkat cerita, saat menuruni tangga, dia tersandung
sepatunya sendiri. Dia terjatuh sampai tangga
terbawah. Kepalanya menghantam anak tangga
hingga bocor. Pengunjung yang di bawah tertuju

192

padanya. Setelah dicek, sayang sekali nyawanya tidak
bisa diselamatkan.” Air mata Helya menetes.

“Ya Allah, kejadian yang sungguh tak
disangka.”

Naeni memeluk Helya dengan hangat,
mengusap wajah Helya dari air mata yang mengalir
bagai air terjun.

Hans, tak disangka telah berpulang dalam
waktu yang singkat.

Tentang Penulis
Namanya Amelia Wulan

Dhamayanti. Lahir di Salatiga, 15
Januari 2007. Seorang pelajar kelas
10 ini sedang menempuh
pendidikannya di SMAN 1 Salatiga.
Membaca, menggambar, dan
memotret itulah hobinya. Ia senang mengabadikan
momen dan diunggah di media sosial Instagram
@sskiesse. “Kenangan” adalah cerita mininya yang
kedua setelah ia menulis cerita mini berjudul “Tak
Terduga”.

193

LAKI-LAKI BOLEH MENANGIS

Oleh: Ana Kuswandari

Di ruang ujian ini Ibrohim menjadi peserta
terakhir yang masih mengerjakan soal tes.
Hal itu dikarenakan dia harus mengerjakan
beberapa ujian susulan yang belum pernah dia ikuti.
Wajah letih dan gestur bosan mulai terlihat. Di
sampingnya, Bu Anjani masih setia menuntunnya
mengoperasikan komputer yang sepertinya masih
asing dalam jamahannya.

“Brohim, untuk hari ini cukup sekian saja kamu
mengerjakan soal-soal tes ini, ya. Besok dilanjutkan,
ya.” Suara lembut Bu Anjani berusaha menyentuh
sanubari murid istimewanya yang hanya dibalas
dengan anggukan acuhnya.

“Brohim, sambil menunggu bapakmu
menjemput, bolehkan saya temani duduk?” rajuk Bu

194

Anjani yang lagi-lagi hanya dijawab dengan
anggukan ragunya.

“Brohim, kalau boleh tahu sebenarnya Brohim
masih ingin sekolah tidak?” tanya Bu Anjani setelah
sampai di lobi dan duduk di sana.

“Saya tidak mau sekolah, Bu,” jawabnya
singkat, tegas, dan lirih.

“Mengapa? Apa kamu tidak sayang sama
hidupmu? Sama masa depanmu? Sementara di luar
sana banyak anak-anak yang nasibnya lebih kurang
beruntung secara ekonomi daripada kamu?” Bu
Anjani mencoba masuk dalam pikiran muridnya
sambil melihat reaksinya.

Melihat Brohim tidak bereaksi, Bu Anjani
melanjutkan perkataannya.

“Brohim ‘kan masih mempunyai bapak yang
bertanggung jawab, yang secara ekonomi sanggup
membiayaimu sekolah bahkan nanti sampai
perguruan tinggi. Kalau tidak mau sekolah, Brohim
mau apa?”

Mendengar kata-kata itu seperti ada emosi yang
bangkit dari dalam dada Brohim. Ia langsung
menyahut, “Bapak saya yang tadi ibu bilang
bertanggung jawab, yang seakan-akan orang baik
dalam pandangan Ibu bukanlah seperti itu dalam
pandangan saya. Perlu ibu tahu, ibu saya meninggal

195

gara-gara Bapak. Saya dendam sama Bapak saya,
saya benci Bapak saya!” Mata Brohim mulai
memerah, napasnya terasa agak berat. Tak disangka
anak yang dikira polos dan tidak bisa banyak bicara
ini ternyata menyimpan sesuatu. Bu Anjani semakin
penasaran kepada misteri muridnya ini.

“Mengapa bisa kamu berkata seperti itu?”
“Ibu saya meninggal gara-gara bapak kawin
lagi! Bapak saya memang seperti itu. Kalau sudah
menikah lagi, istri yang sebelumnya sudah tidak
diurus lagi. Ibu saya sakit karena terlalu lelah mencari
uang untuk menghidupi saya,” Brohim mulai
mengalir ceritanya.
“Saya masih ingat betul, Bu, ketika ibu saya
sedang bertengkar dengan Bapak, “Eling-elingen,
Mas, sok nek anakku wes gedhe, anakku le arep
mbalesna dendamku karo kowe, Mas!” Mata Brohim
mulai basah, pipinya memerah menahan supaya tidak
ada bulir bening yang akan keluar dari matanya. Ia
masih menjaga wibawanya.
“Ibu tahu bagaimana rasanya mengumpulkan
uang untuk hidup sendiri?”
“Bukannya bapakmu memberimu uang untuk
hidupmu sehari-hari? Untuk sekolah, untuk jajan?”

196

“Bohong! Selama ini saya hidup sendiri. Bapak
saya sudah asyik dengan istri mudanya lagi!” Nada
bicara Brohim meninggi.

“Kalau saya tidak bekerja, saya makan apa? Ibu
tidak tahu bagaimana saya bekerja keras untuk dapat
mengumpulkan uang demi bisa makan? Itulah
alasannya mengapa selama ini saya sering tidak
masuk sekolah.”

Bu Anjani pun tak kuasa membendung air
matanya. Tangis Brohim mulai meledak. Terlintas
dalam benaknya sosok ibu yang sudah beberapa tahun
ini meninggalkannya. Meninggal dalam kondisi dia
belum siap untuk ditinggal.

“Tidak apa-apa Brohim, menangislah, luapkan
keluh-kesahmu, luapkan kerinduanmu pada ibumu.
Jangan malu untuk menangis. Laki-laki boleh
menangis,” tutur lembut Bu Anjani membelai murid
yang dahaga akan kasih sayang itu.

Tentang Penulis
Ana Kuswandari merupakan guru di SMPN 2

Garung, Wonosobo

197

DIARY HITAM

Oleh: Anastasya Rachel

Entah, sekarang sudah berbeda. Hari demi hari
rasa bosan itu semakin timbul di benak Putri.
Dahulu rasanya antusias sekali untuk
mengirim dan membalas pesan yang lelaki itu kirim.
Namun, sekarang sudah tidak lagi.

Siang itu, Putri mendapat pesan dari seorang
lelaki yang kira-kira tingginya sekitar 173cm dan
memiliki rambut hitam ikal.

Aku masih kamu butuhin lagi, nggak, sih?
Sepertinya kalau tidak ada aku pun kamu baik-baik
saja. Begitulah susunan kata yang dikirimnya.

Seketika Putri terdiam membaca pesan yang
muncul di benda tipis miliknya itu, tapi sejujurnya
sekarang Putri merasa enak kalau tidak menyukai
siapa pun dan tidak terikat dengan hubungan
percintaan. Namun, Putri juga tidak ingin menyesali

198

lagi perbuatannya yang telah menolak satu lelaki
yang baik dan setia menunggunya. Di benak Putri, dia
merasa kalau ingin juga bebas berteman dengan siapa
saja tanpa merasakan perasaan bersalah dan tidak
mau melihat lelaki panas hati. Pada akhirnya Putri
memilih untuk tidak ingin melanjutkan lagi
hubungannya itu.

Ya, gimana, ya. Kalau kamu sudah lelah
denganku yang seperti ini terus, lebih baik tidak usah
dilanjutin lagi. Begitulah balasan pesan yang Putri
kirim untuk lelaki itu.

Kamu membalas pesanku seperti itu supaya
aku yang mundur terlebih duhulu ‘kan? Iya ‘kan, itu
yang kamu mau?

Oh iya, bersama denganmu aku sering
menggambar dan menulis tentangmu. Sebenarnya
aku ingin memberikan buku ini saat hari ulang
tahunmu, tapi pada akhirnya seperti ini, ya, mau
bagaimana lagi? Sekarang mungkin saat yang tepat
untukku memberikan buku ini. Kamu free kapan?

Seperti itulah respon dari lelaki tersebut.
Putri terkejut hingga meneteskan air mata. Tak
disangka lelaki itu membuatkan dirinya sebuah buku.
Aku hari ini free jam 4 sore, balas Putri.
Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 4
sore. Terdengar motor berhenti tepat di depan rumah,

199

Putri pun bergegas keluar untuk menemui lelaki itu.
Putri membukakan pintu untuk lelaki itu, tetapi lelaki
itu menolak dan hanya ingin memberikan buku itu. Ia
bergegas pergi pulang.

Suara motor perlahan mulai menghilang dari
telinga Putri. Dengan perlahan, Putri menutup pintu
lalu berjalan menuju kamarnya untuk membuka tas
kecil yang terbuat dari kertas yang berisi buku diary
berwarna hitam. Putri mulai membuka buku diary itu.
Lembar demi lembar, Putri membaca buku diary itu.
Banyak sekali lukisan wajah dan cerita tentang Putri.
Dan, di halaman akhir buku itu terdapat kalimat
“Mencintaimu akan kujadikan karya.”

Tak terasa air mata Putri turun membasahi
halaman buku itu. Rasa sesal kembali dirasakan oleh
Putri. Namun, hal itu tidak bisa mengubah keadaan
apa pun.

Tentang Penulis
Anastasya Rachel Milannisti kelahiran 21

Agustus 2007 yang sekarang ini menetap dikota
Salatiga dan yang saat ini bersekolah di SMA Negeri
1 Salatiga. Cerita ini merupakan cerita kedua yang
dibuat oleh dirinya sendiri.@kelneo_chel

200

BEDA

Oleh: Andra

Di tempat ini aku tak mengira bisa berbicara
akrab dengannya, dia yang biasanya cuek
tiba-tiba bisa ramah berbicara bersamaku
bahkan sebelumnya menatap wajahku saja tidak ada
di benaknya. Aku tak tahu apa yang terjadi pada
dirinya, hatiku senang sekaligus heran melihat
sikapnya itu.

Beda banget, kenapa, ya? Hatiku berbicara.
Sore itu merupakan sore yang takbisa aku
lupakan sepanjang hidupku. Biasanya pada waktu
sore aku selalu berdoa untuknya kepada Tuhan agar
selalu diberi perlindungan dan dipermudah agar
selalu ada di sisiku.
Setelah melewati sore itu, entah mengapa di
hari-hari berikutnya ia sudah tak lagi memalingkan
wajahnya kepadaku dan mulai menyapaku ketika

201

bertemu. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan dan
semenjak itu aku pun bekerja keras untuk
mendapatkan hatinya.

***
Tentang Penulis

Saya Danendra Fayruzidane, murid kelas 10 di
SMAN 1 Salatiga, lahir di Salatiga pada tanggal 19
Juli 2007.

202

RINTIK JANJI

Oleh: Andromeda

Pagi ini kuawali dengan segelas susu hangat.
Bersiap untuk pergi tamasya bersama teman
masa kecilku, Rania. Aku memang sudah
berjanji kepadanya dan aku sangat tidak sabar untuk
bersenang-senang dengannya. Aku pun berangkat ke
stasiun untuk menemuinya. Semilir angin berembus
seraya membelai lembut helai rambutku. Mentari
yang hangat ikut berbahagia bersamaku. Kuharap hari
ini menjadi hari yang damai tanpa masalah apapun.

Sesampainya di stasiun, aku pun bertemu
Rania.

“Halo! Sudah ready kah?” sapaku.
“Iya, aku sudah siap,” jawab Rania dengan
wajah lesu.
“Kamu terlihat letih, apakah kamu baik-baik
saja?” tanyaku khawatir.

203

“Ah, tidak apa, aku hanya sedikit Lelah,”
jawabnya.

Meskipun begitu aku tetap khawatir. Mungkin
saja Rania belum sarapan, pikirku. Aku pun pergi
membeli roti dan kopi. Setelah beberapa waktu, Rania
kembali membawa tiket. Kami pun duduk seraya
menunggu kereta datang. Namun, aku heran melihat
Rania yang terdiam sambil memegang rotinya.

“Mengapa kamu tidak makan, Rania?” tanyaku.
Rania tetap diam, hanya memandangi roti keju
yang ia punya. Suasana menjadi canggung.
“Nona ini sedang memikirkan apa, sih?” Aku
mencoba untuk menggodanya, tetapi Rania masih
merenung.
Karena lelah menunggu kereta. Aku dan Rania
pergi menuju tepi rel kereta api. Tiba-tiba datang
kerumunan dari arah tangga timur.
“Ah! Ramai sekali!”
Aku terpisah dengan Rania. Aku berusaha
keluar dari kerumunan itu, tetapi mereka selalu
mendorongku ke tengah kerumunan. Setelah
bersusah payah akhirnya aku keluar dari kerumunan
itu. Aku mencari Rania, tetapi aku tidak melihat dia.
Aku mencoba melihat ke arah seberang.
BUK!

204

Tiba-tiba ada yang memukul kepalaku dari
belakang. Aku hilang keseimbangan dan jatuh ke rel
kereta api. Aku menyadari bahwa Ranialah yang telah
memukulku.

TUT! TUT!
Terdengar suara kereta api melaju dari arah
barat dengan sangat kencang. Aku pun tertabrak.
Tubuhku hancur, genangan darahku memenuhi rel.
Aku tidak menyangka Rania menusukku dari
belakang. Aku berlinang air mata, mengingat janji
dan kenangan yang sudah kami lalui. Ternyata selama
ini hanyalah senyuman palsu yang telah
kaurencanakan. Rania tersenyum jahat di tengah
kerumunan. Orang-orang terlihat tidak peduli,
sungguh manusia memanglah naif. Ya Tuhan,
mengapa dunia ini sangat kejam?

Tentang Penulis
Andromeda Adighana Subasti

adalah seorang pelajar yang berasal dari
SMAN 1 Salatiga. Lahir di Kabupaten
Semarang pada tanggal 5 Maret 2007.
Hobi yang disukainya adalah
mendengarkan musik. Rintik Janji adalah cermin
kedua yang telah ia buat.

205

AIR MATA SANG DARA

Oleh: Angellita

Hening. Hanya kata itu yang dapat
mendeskripsikan ruangan ini. Dan hanya
suara detak jantungnya yang ditampilkan di
layar monitor yang dapat kudengar. Aku duduk dan
menatap wanita tua yang tertidur lemas penuh dengan
alat-alat yang asing bagiku. Ia tertidur sangat pulas,
bagaikan putri tidur yang tidak pernah menemukan
pangerannya.

Aku keluar ruangan dingin itu dengan lunglai.
Aku jongkok di depan pintu ruangan itu dan
menelungkupkan muka sampai menyentuh lututku.
Aku menangis. Menangis begitu dalam sampai aku
tidak sadar ada orang yang berdiri di hadapanku. Aku
mendongakkan kepalaku, dan melihat pria tua yang
sedang menatapku dengan tatapan redup. Dia duduk
dan menyamakan tingginya denganku.

206

“Aku tidak tahu apa yang sedang kaualami,
Nak, tetapi hanya satu pesanku, janganlah kamu
berhenti berserah kepada-Nya.”

Setelah mengucapkan kata-kata itu, dia berdiri
dan langsung pergi dari hadapanku. Aku hanya
terdiam dan bingung.

Apa yang dimaksud pria itu? batinku.
Aku masuk ke dalam ruangan dingin itu lagi.
Saat hendak menutup pintu, aku tidak mendengar
suara detak jantung yang teratur lagi, melainkan suara
alat yang sangat nyaring dan panjang. Aku tahu apa
artinya. Aku sangat panik seketika dan memanggil
dokter.
“Dokter...! Dokter...!” Aku berteriak sepanjang
koridor dan tak lama yang aku harapkan datang.
Dokter segera memeriksa keadaannya.
Melakukan segala cara dengan sangat sigap. Aku
melihat dengan tatapan panik dan hanya bisa berharap
semua akan baik-baik saja. Namu, sesaat kemudian
dokter hanya terdiam. Aku merasa kesal kenapa
dokter itu hanya diam. Aku mendekati dokter itu dan
berkata
“Dok, kenapa diam saja? Ayo, lakukan sesuatu
untuk ibuku! Selamatkan ibuku. Aku mohon!” kataku
sambil mengguncang tubuh sang dokter.

207

Dokter itu hanya mengembuskan napas dengan
berat. Tak lama ia menatapku dan berkata, “Maafkan
saya, saya sudah berusaha semaksimal mungkin.
Tuhan berkehendak lain.”

Aku langsung jatuh, jatuh lemas seakan tidak
ada tenaga di lututku untuk menahan tubuhku. Aku
menangis dan berteriak-teriak seperti orang gila. Ya,
aku gila. Separuh jiwaku pergi meninggalkanku.

“Kenapa, Tuhan?” hanya itu yang dapat aku
ucapkan.

Aku membuka pintu usang gereja tua itu. Aku
berjalan lemas dengan tatapan kosong. Saat sampai di
depan, aku menjatuhkan tubuhku ke lantai dan
menangis sejadi-jadinya.

“Tuhan, kenapa Engkau mengambil ibuku?
Apa yang Kau rencanakan? Ini sungguh menyiksaku.
Kau tidak mengerti aku,” kataku sambil menangis
tersedu-sedu.

Pada saat itu juga, seseorang yang menepuk
pundakku. Aku menoleh ke arah belakang. Aku
melihat orang yang tak asing bagiku. Ya, pria tua itu
yang menepuk pundaku. Aku tidak mengerti kenapa
dia bisa menemukan aku di sini, aku tidak ingin
mengambil pusing masalah itu.

208

Dia duduk di sampingku tanpa menoleh ke
arahku. Dia hanya menatap ke depan, ke arah patung
salib yang terkena sinar matahari.

“Tuhan itu baik,” kata pria tua itu.
Aku menertawakan perkataannya.
“Dengan mengambil ibuku?” Aku menatapnya,
dia menatapku balik.
“Iya,” jawabnya mantap.
“Omong kosong,” jawabku.
Pria itu mengambil sesuatu dari sakunya. Aku
melihat buku kecil yang sudah usang. Aku tahu buku
itu pasti sering ia gunakan.
“Buku inilah yang membuatku percaya bahwa
Tuhan itu baik. Apa pun yang aku alami. Aku
mengasihi-Nya bukan agar Dia mengasihiku, tetapi
karena Dia sudah mengasihiku terlebih dahulu. Dia
mengasihimu. Percayalah kepadaku. Tuhan
mengambil ibumu agar semua rencana-Nya bisa
terjadi di hidupmu. Ia mempunyai rencana yang luar
biasa untukmu. Kau tak perlu khawatir.” Pria tua itu
mengucapkan setiap kata-katanya dengan sangat
yakin dan lembut.
Hatiku terenyuh oleh kata-katanya. Tak sadar
air mataku sudah bercucuran. Hatiku sangat hangat
mendengarkan setiap kata yang diucapkan oleh pria

209

tua itu. Aku sungguh lega dan mulai menerima apa
yang telah terjadi padaku.

Aku menelungkupkan wajah di lututku. Aku
sungguh lelah. Saat hendak mengucapkan terima
kasih, aku mendongakkan wajahku, tetapi pria tua itu
sudah hilang. Hanya buku kecil usang yang tersisa
bersamaku. Aku membuka buku itu dan membaca
tulisan di halaman pertamanya.

Hadiah untuk putriku, Annisa Dara Magnolya.
Jakarta, 27 Mei 1998.

Aku menatap tulisan itu dengan tak percaya.
“Ayah?”

Tentang Penulis
Saya Angellita Christine lahir di Salatiga, 1

Desember 2006. Saya adalah pelajar di SMAN 1
Salatiga. Cerita ini adalah cerita fiksi.

210

PR PASCAPANDEMI

Oleh: Anggita D. Anindyajati

Besok mulai kegiatan belajar mengajar
(KBM) luar jaringan (luring) perdana.
Pascapandemi ini akhirnya para guru dan
murid bisa tatap muka langsung di sekolah. Sudah
100% luring untuk kabupatenku.

Sekarang hari Senin. Seharusnya ada KBM
dalam jaringan (daring) terakhir, tapi diliburkan
untuk rapat guru dan tata usaha. Rapat ini membahas
hal konsep sampai teknis, termasuk evaluasi KBM
daring dan persiapan KBM luring. Sangat detail dan
cukup lama. Mulainya tepat pukul 9.00. Sampai
pukul 12.30 ini masih belum selesai.

“Berdasarkan hasil survei, mata pelajaran yang
paling sulit dipahami selama KBM daring itu
pelajaran Matematika, ya. Terutama pada anak-anak
kelas X. Semoga saat KBM luring nanti bisa lebih

211

baik dan lebih efektif. Bagaimana Bapak-bapak dan
Ibu-ibu yang mengajar Matematika? Apakah ada
tanggapan terkait hal ini?” tanya Bu Sinta, Kepala
Sekolah SMA Maju Sejahtera.

Kulihat Pak Eko mengacungkan tangan. Beliau
guru Matematika yang merangkap jadi wali kelas X
IPA 2.

“Bu Sinta dan Bapak Ibu sekalian. Saya kira
bukan hanya pemahaman murid terhadap Matematika
yang menjadi PR utama kita pascapandemi ini. Boleh
saya tampilkan di layar proyektor, Bu?”

Bu Sinta mengangguk. Pak Eko segera berjalan
menuju operator LCD.

“Tadi selama rapat saya off HP dan baru saja
saya aktifkan. Berikut saya buka lewat WhatsApp
web saja. Saya kira, ini adalah salah satu PR terbesar
kita pascapandemi, Bapak dan Ibu sekalian.”

Isi chat WhatsApp Pak Eko dengan ketua kelas
X IPA 2 terpampang di layar proyektor. Semua yang
ada di ruangan dapat membacanya:

Hari ini
Assalamu’alaikum pak
8.50

Wa’alaikumsalam
8.55

212

Pak, di grup kls tmn2 nanya. Bsk jd ulangan gak?
8.56

Insyaa Allah jadi. Seperti yang
bapak umumkan dua hari lalu,
ulangan BAB 7 & 8. Semua
bahan belajar sudah bapak
kirim ke grup kelas bersamaan
dengan pengumuman itu.
Silakan kalian persiapkan
baik-baik ya.
Wkwkwk
Pak, kok bab 8 jg sih?
Bab 7 aja kami masih ada yg bingung,
apalagi tambah bab 8
9.00
Pak, tlg cek grup kelas ya. PENTING!
10.15
Tmn2 nanyain ada kisi2 gak buat ulangannya?
Kalau ada tlg kirimin ke grup ya pak.
Biar kami lbh gampang belajarnya.
Makasih ya pak sebelumnya.
Maaf ngerepotin.
10.30
P
10.55
P

213

11.32
Panggilan suara tak terjawab pukul 11.45
Panggilan suara tak terjawab pukul 11.55
Panggilan suara tak terjawab pukul 12.05

214

(HANYA) MENDENGAR DAN
MENDOAKAN

Oleh: Anggita D. Anindyajati

Prang!
Piring ketiga yang pecah di ruang tengah.
Suami istri itu bertengkar lagi.
“Kubilang aku tidak akan menceraikanmu!”
ujar si suami.
“Kaupikir itu mauku? Semua ‘kan salahmu!
Lagi pula empat bulan lalu kau yang mau pisah!”
timpal sang istri.
“Itu sudah lama. Toh dulu kau yang merengek-
rengek tak mau cerai. Sekarang aku mencalonkan diri
jadi lurah. Nama baikku harus dijaga agar terpilih!”
“Astaga! Kalau kau sampai memikirkan sejauh
itu, seharusnya tak usah main-main di belakangku.
Urus saja pekerjaanmu dan anak-anak. Lagi pula aku

215

tidak pernah menuntut apa pun darimu. Cuma
kesetiaan dan peduli dengan keluarga!”

“Kau ngaca! Kau sendiri selalu tak ada waktu
saat aku membutuhkanmu, berangkat habis subuh dan
pulang selalu sore-sore. Malam tidur cepat. Aku yang
beres-beres rumah, hah!” suara si suami makin tinggi.

“Jadi, karena itu kau menikah diam-diam lalu
menelantarkan keluarga yang belum kaubangun
dengan baik sebelumnya? Tidak tanggung jawab!
Kaupikir aku pulang sore untuk apa? Kerjaan
kantorku banyak. Harusnya kau bersyukur setidaknya
ada satu orang yang punya pekerjaan tetap untuk
menafkahi keluarga di rumah ini!” pungkas sang istri
tak mau kalah.

Plak.
Aku tahu suara apa itu.
Braakkk.
Pintu dibanting. Ada yang keluar rumah. Lalu
terdengar isak tangis dari ruang tengah.
Tidak hanya dari ruang tengah, tapi dari kamar
ini juga. Diani─anak pertama suami-istri yang
bertengkar itu─juga menangis karena pertengkaran
tersebut.
Sejam lalu Diani membaca pengumuman di
internet kalau dirinya lolos wawancara dan diterima
jadi pegawai tetap di salah satu instansi pemerintah.

216

Tadinya ia ingin segera sampaikan kabar itu ke
ibunya. Namun, nanti saja.

Sebelum diterima di tempat kerja barunya ini,
ia sempat curhat kepada sahabat lamanya, betapa
beratnya jadi pegawai honorer di suatu perusahaan. Ia
juga bercerita soal atasan laki-lakinya yang “jahil”
padanya. Ditambah lagi setelah pulang kerja, ia harus
bergantian merawat adiknya yang jadi korban tabrak-
lari sepeda motor. Kejengkelannya memuncak saat
bapaknya membanding-bandingkannya dengan anak
tetangga yang kerja di salah satu perusahaan BUMN.
Juga ada beberapa orang yang meremehkannya.
Sempat ia berkeinginan untuk mengakhiri hidup, tapi
tak jadi. Akal sehatnya mengatakan kalaupun ia dapat
menghindari rasa sakit di dunia, bagaimana akibatnya
di akhirat?

Diani mengakui dirinya mengalami depresi.
Hatinya yang mudah tergores itu bahkan baru saja
kulihat bisa memunculkan rasa jengkel luar biasa
pada sahabat lamanya akibat suatu nasihat lewat
telepon, “Kamu sudah punya pekerjaan tetap
sekarang. Bersyukurlah. Kamu bisa hidup mandiri.
Bahkan dengan gajimu yang tiga kali lipat gaji ibumu
itu, kamu bisa mulai menabung dan membantu
keluargamu. Orang-orang yang tadi kamu sebutkan
menyakitimu itu biarkan, maafkan saja. Kamu tidak

217

bisa mengendalikan perilaku mereka. Sekarang fokus
saja pada dirimu.”

Aku tidak keberatan mendengar keluh kesah
Diani hari-hari. Hanya saja, mungkin ada benarnya
ucapan bibinya yang menginap di kamar ini semalam:
mungkinkah masalah-masalah itu akan selesai jika
setiap orang tidak ada yang mau berubah? yaitu tetap
hidup dengan ego masing-masing, terus mengeluh,
saling mendendam dan menyalahkan?

Yah, tak ada yang bisa kulakukan selain
mendengar mereka. Semoga ke depan aku dengar
kabar baik. Dan sebaiknya aku fokus urus masalahku
sendiri: perut laparku.

Nging…, nging..., nging....
Hap!
Akhirnya berhasil nyamuk itu aku tangkap
dengan lidahku!

218

MENGATUR TUHAN

Oleh: Anggita D. Anindyajati

“Kamu jangan pergi. Pak Kiai bilang kamu
jangan naik kereta naas itu,” ujar emak
memberiku wanti-wanti.
“Mak, sudahlah. Dosa percaya begituan. Aku
tetap berangkat kerja sore ini.”

“Eh, dibilangin orang tua kok ngeyel. Itu Pak
Kiai udah biasa nerawang orang dan bener
terawangannya. Pokoknya kamu tidak boleh
berangkat!”

Sedih juga aku dengan kondisi emakku yang
begini sejak bapak meninggal dan sangat jarang ikut
pengajian mingguan. Emak dan beberapa penduduk
kampung memang menyebutnya “Pak Kiai”, tapi
tetap saja itu dukun.

219

Dari tadi siang emak terus membujukku dengan
berbagai cara agar aku tetap tinggal. Namun,
bagaimana ini? Aku harus sampai ke kota besok pagi.

Kupegang kedua lengan emak bagian atas. Lalu
kugoyangkan pelan.

“Mak, besok itu aku mau ketemu klien pagi-
pagi. Kami sudah janjian. Janji penting soal kerjaan.
Jadi aku harus berangkat sekarang. Emak doakan saja
aku selamat sampai tujuan ya?”

“Tidak. Kamu berangkat besok saja. Tadi Pak
Kiai itu jelas-jelas bilang kalau kamu mau selamat,
sebaiknya menunda keberangkatan. Kamu akan mati
kalau naik kereta itu sore ini. Bahaya, ini urusan
nyawa. Jangan main-main. Kamu nurut saja.”

Emak meninggalkanku menuju dapur.
Kulirik jam tanganku. Sekarang pukul 16.00.
Setengah jam lagi keretaku berangkat. Kalau mau
agak ngebut naik ojek dari kampungku, 20 menitan
sebetulnya sudah bisa sampai ke stasiun. Namun apa
daya kalau emak sudah kukuh begini. Restu emak
adalah segalanya bagiku. Kuhela napas panjang.
Mungkin sebaiknya aku menyerah. Ya Tuhan,
aku tidak jadi berangkat saja. Bukan karena yakin
pada ramalan itu, tapi hanya karena emak
memerintahkanku untuk tidak berangkat. Kuletakkan
tas ransel, handphone, dan tiket keretaku di meja

220

ruang tamu. Baiklah, akan segera kutelpon klienku
untuk mengundurkan waktu pertemuan. Namun,
sekarang aku harus hubungi bosku dulu.

Sejenak kemudian, kulihat emak masuk lagi ke
ruang tamu membawa dua gelas teh.

“Sudah sini duduk saja, temani emak nonton
TV. Besok saja ya berangkatnya.”

Aku cuma mengangguk pelan, lalu duduk
sambil menunggu balasan pesan dari bos. Emak
nyeruput teh hangat di kursi sebelahku sambil nonton
sinetron kesukaannya. Selang 30 menit kemudian,
ada liputan berita kecelakaan kereta. Ya Tuhan, itu
keretaku! Emak kaget sekaligus lega karena aku
membatalkan kepergianku.

“Nah benar ‘kan! Untunglah kamu tidak jadi
berangkat!” katanya sambil mengeraskan volume
TV.

Stasiun TV itu memutarkan rekaman video
yang didapat reporternya dari penumpang kereta yang
selamat. Duuuaaaaaaar. Terdengar keras sekali suara
bom meledak dari dalam kereta. Aku kaget bukan
main. Seketika itu juga jantungku berhenti berdetak.

221

Tentang Penulis

Penulis bernama lengkap

Anggita D. Anindyajati, biasa

dipanggil Anggi atau Eng.

Berasal dari Kabupaten

Purworejo, Jawa Tengah. Penulis

memiliki hobi di membaca,

menulis, menggali ide kreatif, dan sangat senang

membersamai anak-anak.

Rumah Literasi Masyarakat merupakan wadah

yang penulis coba rakit bersama masyarakat untuk

menggiatkan literasi di masyarakat. Komunitas

Literasi Cokroyasan bekerja sama dengan

Perpustakaan “Mrica” Desa Cokroyasan merupakan

bagian dari Rumah Literasi Masyarakat. Penulis

dapat dihubungi melalui akun Instagram pribadi:

@ada_anggi, Instagram Rumah Literasi Masyarakat:

@rumah_literasiku01, E-mail:

[email protected], YouTube Rumah

Literasi masyarakat: Rumah Literasi Masyarakat

Official atau Link layanan/medsos lengkap :

linktr.ee/halalismyway.

Pengembangan minat dan keterampilan penulis

dalam dunia literasi diharapkan dapat membawa

manfaat dan inspirasi kebaikan untuk diri penulis

222

sendiri, keluarga, anak-anak, serta masyarakat luas.
Insyaallah.

223

PENDAKI GUNUNG

Oleh: Anggraini Pratiwi

Linda sedang melamun sambil menatap ke luar
jendela. Kebetulan hari itu hujan turun
dengan lebatnya, disertai angin yang
berembus kencang. Suhunya sangat dingin di situ
karena Linda sedang berada di rumah neneknya yang
berada di pegunungan.

Linda semakin terhanyut dengan lamunannya,
hingga tiba-tiba nenek Linda memanggilnya.

“Linda, jangan terlalu lama duduk di situ,
apalagi dengan memakai pakaian pendek seperti itu.
Kamu akan terkena flu nanti,” kata neneknya.

Seketika Linda tersadar dari lamunanya dan
menjawab ucapan neneknya.

“Iya, Nek, Linda baru sadar kalau belum pakai
jaket,” jawab Linda kepada neneknya.

224

“Setelah itu, bantu nenek untuk menyiapkan
makan malam ya?” ujar neneknya.

“Iya, nenekku sayangg,” jawab Linda sedikit
menggoda.

Linda langsung menuju ke dapur dan mulai
membantu neneknya memasak makanan untuk
makan malam nanti. Satu jam berlalu, Linda dan
neneknya mulai memindahkan masakannya yang
sudah matang ke atas meja makan. Ketika hendak
kembali ke dapur, Linda mendengar ada suara
ketukan dari pintu yang berada di ruang tamu.

Siapa yang datang sore-sore begini? batin
Linda.

Linda tetap menuju ke pintu itu. Dengan penuh
rasa penasaran, Linda membuka pintu perlahan.
Linda pun terkejut, dia mendapati ada 2 orang yang
sedang menggendong seperti tas carrier. Wajah
keduanya pun terlihat pucat.

Nenek Linda langsung menyuruh para pendaki
itu untuk masuk ke dalam rumah. Mereka langsung
dipersilakan duduk dan diberi pakaian hangat oleh
nenek Linda. Tidak lama kamudian, Linda pun datang
membawa 2 cangkir minuman hangat untuk kedua
pendaki itu.

“Terima kasih sudah mengizinkan kami untuk
berteduh di sini,” ucap pendaki A.

225

“Benar, kami sangat beruntung sekali bisa
bertemu dengan kalian,” tambah pendaki B.

“Tentu saja tidak, kami malah senang dapat
membantu. Jarang-jarang seseorang yang tersesat ke
sini,” jawab nenek Linda.

Kedua pendaki itu membalas ucapan nenek
Linda dengan terseyum. Setelah perbincangan
singkat itu, nenek Linda mengajak para pendaki itu
untuk makan malam bersama. Setelah itu, nenek
Linda menyuruh mereka untuk bermalam saja di sini,
karena hari sudah malam. Linda dan neneknya pun
pergi ke kamar untuk mengambil beberapa alat tidur
untuk para pendaki itu.

Saat kembali ke ruang tamu, Linda dan
neneknya pun terkejut karena mereka melihat bahwa
ruang tamu itu kosong, tidak ada seorang pun di sana.
Di tengah kebingungan itu, Linda melihat secarik
kertas yang sepertinya ada sebuah kalimat di situ.
Linda pun mulai membacanya,

“Terima kasih sekali kalian sudah mau
membantu kami yang sudah lemas ini. Maaf kami
pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal. Maaf
jika perilaku kami ini kurang sopan. Semoga
kebaikan kalian akan mendapat balasan yang baik
juga dari Yang Di Atas.”

226

Linda pun terkejut dengan semua ini, neneknya
juga ikut terkejut setelah membacanya.

Pagi harinya, Linda dan neneknya sedang
menonton televisi bersama. Saat mereka mengganti
saluran ke channel berita, mereka berdua terkejut
karena di pojok televisi itu terdapat 2 foto yang tidak
asing bagi mereka dan di samping foto tersebut
terdapat tulisan:

“DUA JASAD PENDAKI GUNUNG
DITEMUKAN DI JALAN DEKAT JURANG”

Tentang Penulis
Anggraini Pratiwi adalah siswa

SMAN 1 Salatiga dan sekarang duduk
di bangku kelas fase E/X.7. Ia lahir
pada tanggal 18 Januari 2007 di
Salatiga. Ini adalah cermin kedua yan
ia buat.

227

FADIL

Oleh: Anik Setyawati

Di sudut posko pencarian korban kecelakaan
di Gunung Kidul, dua perempuan duduk
meringkuk. Ini hari kedua mereka setia
duduk di sudut posko tersebut menanti pencarian dua
korban yang belum ditemukan. Salah satu korban
adalah calon suami salah satu perempuan tersebut.

“Sudah, sudahlah berhenti menangisinya, Sa.
Berdoa semoga Mas Fadil segera ditemukan,” bisik
Vivi di telinga Elisa yang terus terisak menangis.

Sambil menghibur Elisa, Vivi mengusap usap
punggung Elisa sahabatnya.

“Hiks... hiks... hiks, satu bulan lagi, Vi. Tinggal
satu bulan lagi. Hiks... hiks... hiks,” suara parau Elisa
di tengah tangisnya.

“Iya, aku tahu, aku tahu, Sa. Satu bulan lagi
kalian menikah, tapi ... Ah, sudahlah yang penting

228

sekarang kita berdoa semoga Mas Fadil ditemukan
dalam kondisi selamat dan kalian sebulan lagi resmi
nikah.” Vivi yang sedikit hilang kesabarannya
berusaha menghibur Elisa.

Dari bawah terdengar suara riuh, ternyata dua
korban yang terakhir sudah ditemukan, satu korban
tidak bisa dikenali lagi karena sebagian tubuhnya
hancur termasuk bagian kepala. Elisa dan Vivi berlari
mendekat ke arah datang korban, tangisan Elisa
semakin menjadi-jadi. Dia tidak bisa mengenali
korban tersebut satu korban tersebut, sedang korban
yang satu luka parah langsung di bawa ambulan ke
rumah sakit terdekat.

“Mas Fadil!” Elisa menjerit.
“Mas Fadil, kamu di mana? Hiks... hiks... hiks
... Itu bukan Mas Fadil, Vi. Hiks... hiks... itu bukan
Mas Fadil ‘kan Vi?” suara lirih Elisa karena sudah
lemah.
“Sabar, Sa. Sabar, ya, Sa. Semoga itu bukan
Mas Fadil,” jawab Vivi menenangkan Elisa.
“Terus Mas Fadil di mana, Vi? Mas Fadil di
mana, Vi? Di mana?” tanya Elisa sambil
mengoncang-goncangkan tangan Vivi, dan akhirnya
Elisa pingsan.

229

Vivi dan beberapa orang yang ada di dekat
tempat tersebut segera memberi pertolongan pada
Elisa agar segera sadar.

“Sa, sadar, Sa. Ayo, bangun, Sa!” Suara Vivi
sampil memijit-mijit pelipis Elisa agar sadar dari
pingsannya sambil diolesi minyak kayu putih di
hidungnya.

Yang lain ada yang memijit tangan ada yang
memijit kaki Elisa. Lama juga Elisa belum sadar
sudah limabelas menit lebih, segala upaya diusakan
sebagian orang yang ada di tempat itu. Vivi kelihatan
gelisah sekali. Tidak dia sadari ternyata air matanya
mulai mengalir di pipi. Vivi menangis.

“Mbak jangan nangis, temanmu hanya pingsan,
nanti juga akan sadar.” Seorang perempuan berbaju
putih mencoba menghibur Vivi, ternyata petugas
medis yang ikut rombongan tim SAR.

“Tapi, Bu. Ini sudah seperempat jam lebih
belum sadar juga teman saya ini,” jawab Vivi sambil
mengusap air mata yang semakin banyak di pipinya.

Vivi terisak dan terus memijit-mijit Elisa
sambil bicara dengan Elisa.

Benar juga kata petugas tersebut selang lima
menit kemudian tangan Elisa bergerak-gerak
kemudian matanya terbuka. Vivi segera memeluk

230

Elisa karena bahagia sahabatnya akhirnya siuman
dari pingsannya.

“Alhamdulillah, Sa. Aakhirnya kamu sadar
juga. Ayo, Sa, kamu kuat, kamu bisa melalui semua
ini,” kata Vivi sambil memberi minum teh hangat.

“Kamu harus bangkit!” lanjut Vivi.
Kemudian Vivi memeluk dan mengelus
punggung Elisa untuk menguatkan Elisa.
Ketika Vivi sedang memeluk Elisa dari arah
samping ada seorang yang lari tergopoh-gopoh dan
terdengar suara yang bernada khawatir.
“Sa, kamu kenapa? Kamu kenapa? Sa, kamu
sakit?”
Vivi dan Elisa kaget karena mengenal suara
tersebut, seketika keduanya melepaskan pelukannya
dan menoleh ke arah datangnya suara tersebut.
“Mas Fadil!!!” teriak Elisa yang hampir
berbarengan dengan suara Vivi.
“Fadil, kamu Fadil?” tanya Vivi dengan suara
hampir tidak terdengar.
Sementara Elisa berusaha berdiri untuk
nyambut kehadiran Fadil yang tidak terduga. Belum
sempat bisa berdiri Fadil sudah memeluk calon
istrinya yang masih lemah.
“Alhamdulillah, Mas Fadil kamu selamat.
Kamu masih hidup,” kata Elisa dalam pelukan Fadil.

231

Tak lama Elisa pingsan lagi dalam pelukan
Fadil karena kaget dan bahagia.

Sambil menyadarkan Elisa dari pingsannya,
Vivi bertanya pada Fadil, “Dil, ceritakan kejadiannya
kamu selamat dari kecelakaan ini?”

“Saya tidak jadi ikut bis itu, Vi. Setengah jam
sebelum berangkat saya dijemput kakak saya dengan
mobil temannya. Jadi saya membatalkan naik bis naas
itu. Kebetulan di tempat paman sinyal tidak ada jadi
saya tidak bisa menghubungi Elisa dan keluarga.
Berita tentang kecelakaan ini baru tadi pagi saya tahu
ketika sampai di rumah.” Fadil menjelaskan kepada
Vivi.

232

SNACK ARISAN

Oleh: Anik Setyawati

“Min nanti snack-nya apa saja untuk
acara kita?” tanya Widuri.
“Aku tidak tahu, Wid, yang
pesen Ella,” jawab Mimin.

“Kalau yang ngurusin dan pesen si Ella pastilah
enak, tapi anggaran juga Meletus. Eh, meledak,”
seloroh Dona si tukang makan yang duduk tidak jauh
dari widuri.

Memang kalau urusan konsumsi ditangani Ella
dipesankan snack yang enak-enak, bahkan sering
melebihi anggaran dengan konsekwensi Ella mau
tombok. Dona senyum-senyum membayangkan nanti
makan enak.

Acara arisan rutin tiap bulan karyawan kantor
PT Angkasa Raya yang jadwalnya nanti sepulang jam
kantor. Untuk pertemuan kali ini rencana

233

dilaksanakan di lobi kantor PT Angkasa Raya selepas
jam kerja.

Setengah jam lagi, jam kerja usai. Beberapa
karyawan sudah siap-siap bebenah persiapan pulang
dan arisan. Hanya ada beberapa orang yang masih
berkutat dengan laptopnya menyelesaikan
pekerjaannya.

Waktu pun tiba. Semua langsung keluar
kantor dan menuju lobi. Suasana lobi riuh, hampir
semua sudah kumpul dan menempatkan diri di tempat
yang tersedia, kecuali beberapa karyawan yang masih
menyelesaikan pekerjaannya. Ada tiga orang yang
belum kumpul, Ella, Mimin, dan Satrio karena
pekerjaannya belum selesai.

Untuk menghemat waktu acara pun dimulai,
tidak menunggu tiga orang yang belum kumpul.
Acara pertama, kedua, dan ketiga lancer. Tibalah
pembagian snack yang kali ini dikemas dalam kardus
dibagikan oleh Widuri dan Dona karena Ella sebagai
petugas belum datang. Semua karyawan yang sudah
datang mendapat snack tersebut. Bersamaan dengan
kedatangan Ella dan tiga temannya di lobi pembagian
snack selesai. Mereka asyik menyantap sambil
ngobrol. Ella yang baru tiba di tempat pertemuan
langsung ditarik Widuri dan Dona ke tempat yang
agak jauh. Dona langsung menyodorkan kotak snack

234

bagiannya sambil berkata, “La, ketika saya bagikan
snack ini tadi ada lima kardus yang seperti ini. Coba
kamu buka lihat apa isinya!”

“Maksudnya apa Wid?” tanya Ella kelihatan
bingung.

Ella mengikuti perintah Dona membuka kardus
snack tersebut. Ella terbelalak terkejut sambil
berkata, “Kok bisa begini, tadi saya terima dari
katering semua lengkap.”

“Tapi buktinya ada lima kardus yang seperti ini,
zonk.” Sungut Dona yang kecewa karena batal
makam enak.

“Bener aku tidak bohong. Tadi aku bersama
Mimin yang terima dari katering dan mengeceknya.
Kalau enggak percaya, sana gih tanya Mimin,”
sanggah Ella.

“Terus siapa yang iseng mengambil?” sungut
Dona semakin kecewa.

“Mana aku tahu,” balas Ella.
Siapa, ya, yang mengambil? Aneh, tadi
lengkap, kok bisa hilang lima isinya? Kata Ella dalam
hati sambil mengingat-ingat tadi siang waktu
menerina snack dari katering.

Ternyata ada lima kotak snack yang kosong
tanpa isi yang oleh Widuri tadi tidak dibagikan ke
teman-teman yang lain. Sementara Dona semakin

235

mendongkol hatinya. Widuri mengajak kedua
temannya kembali ke tempat semula untuk
melanjutkan acara.

“Sudah. Ayo, kita kumpul sama temen di sana.
Soal itu kita bicara lagi nanti.”

“Ada apa sih kalian? Satu seperti orang
bingung, yang satunya manyun berat,” kata Satrio
mengomentari, “mana snack-ku?” lanjut Satrio.

“Ya, gara-gara itu kita …,” ucap Dona yang
dipotong Widuri.

“Ntar Trio, bagianmu nanti aja, ya,” ucap
Widuri sambil memberi kode ke SarRio.

Satrio bingung. Dona sewot dengan tindakan
Widuri. Ella sendiri masih berpikir dan bertanya
dalam hati siapa yang ambil snack itu.

Acara pun dilanjutkan karena waktu semakin
sore. Tibalah pengundian arisan. Yang beruntung
mendapat arisan adalah Satrio. Acara ditutup dengan
doa. Selesai doa Satrio menahan semua hadirin untuk
tidak pergi dulu.

“Maaf, teman-teman. Sebentar jangan pulang
dulu. Ada yang mau saya sampaikan. Sebelumnya
saya minta maaf kepada tim konsumsi yang saat ini
mungkin penuh tanda tanya mengapa snack-nya ada
yang zonk isinya. Maaf, Ibu Ella. Itu saya yang ambil
tadi.”

236

“Hu….” Dona langsung memukul lengan
Satrio bertubi-tubi.

“Tunggu dulu, jangan marah gitu, dong, Bu
Dona. Dengar penjelasan saya dulu. Saya
bertanggung jawab atas perbuatan saya tadi, akan
saya ganti sekarang juga.” Satrio langsung berdiri
pergi keruang satpan di sebelah kanan lobi. Tidak
lama Satrio kembali ke lobi dan membawa kardus
besar.

Dona si tukang makan langsung berdiri dan
membuka kardus di tangan Satrio sambil
menghidupkan korek api untuk menyalakan lilin.
Kemudian dia mengajak semua hadirin menynyikan
lagu selamat ulang tahun. Satrio dan Dona mendekat
ke arah Ella dan mengucapkan, “Selamat ulang tahun,
Ella. Semoga panjang umur, sehat selalu, dan cepak
jodoh.”

Dona memeluk Ella memberi ucapan selamat.
Sementara Ella berkaca-kaca karena terharu.

237

Tentang Penulis
Anik Setyawati, sering dipanggil Bu Anik

adalah seorang guru di salah satu SMP Negeri di
Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Lahir di
Sukoharjo, tanggal 25 Agustus 1969 merupakan anak
pertama dari lima bersaudara. Pertama kali menulis di
kegiatan K'GUM dalam pelatihan menulis 'Cermin'.
Tulisan kedua dalam kegiatan Pelatihan Menulis
’Cermin’ menyambut hari Guru Nasional Bersama
Duta Baca Indonesia. Cita-citanya sejak kecil
menjadi guru. Alhamdulillah, terwujud. Prinsip
hidupnya adalah jalani hidup dengan selalu bersyukur
dan dalam kesederhanaan.

238

CERMIN DALAM KARDUS

Oleh: Anin Dwi Ratna

Bel masuk berbunyi. Semua siswa bergegas
masuk ke dalam kelas dengan penuh
semangat.
“Selamat pagi, anak-anak,” sapa Bu Ida.
“Selamat pagi, Bu Guru. Jawab anak-anak.
“Anak-anak, ibu punya sebuah kardus. Di
dalam kardus ada sebuah foto siswa yang paling rajin
di kelas 6 ini. Kalian penasaran tidak, ya?” tanya Bu
Ida.

“Kami mau melihat fotonya, Bu!” seru anak-
anak.

Bu Ida kemudian meletakkan kardus itu di atas
meja. Anak-anak maju satu per satu melihat foto
tersebut. Setiap anak yang telah melihat foto di dalam
kardus itu selalu tersenyum sambil memandang Bu
Ida dengan rasa malu. Setelah semua siswa maju, Bu

239


Click to View FlipBook Version