“Mereka itu sedang pacarana, Eneng.” Lisa
menunduk, aku tahu karakter Lisa tidak pernah
berbohong, kami adalah teman satu kelas.
“Apa? Kenapa bisa? Bukannya Arjun
mencintaiku, dia pun menembak meminta agar aku
jadi pacarnya?” tanyaku bertubi-tubi.
“Tolong jangan bilang ke Zaza, ya. Neng! Zaza
taruhan dengan Arjun, Eneng. Sebab Eneng terkenal
cewek anti pacaran mereka mau mengujimu,” jelas
Lisa dengan suara berbisik, aku mendengarnya jadi
geram dan sakit hati.
Teganya hati Zaza berbuat seperti itu padauk.
Aku sekarang tahu mana wajah teman sesungguhnya!
Aku kira dia seperti peri penolong untuk hubungan
aku dan Arjun. Namun, ternyata dia musuh dalam
selimut.
Palembang, 17 Oktober 2022
140
SIAPA PEMBUNUHNYA?
Oleh: Aisyah Kho
Entah, sudah beberapa lama aku tertidur di
kursi. Beberapa akhir bulan ini sering sekali
aku lupa dan terlelap sendiri. Terdengar suara
ramai manusia di ruang bawah. Tiba-tiba gagang
pintu bergerak. Bang Riko masuk bersama dua lelaki
berseragam.
“Mas, Mama meninggal,” ucap Riko, kakak
saudara kembarku.
“Apa yang kamu lakukan sejak tadi?” tanyanya
sembari memperhatikan meja belajarku.
“A-Ku ….” Lidahku kelu, penyakit gagap dan
cacat pada kaki ini menjadi faktor kebencian buat
Mama dan abangku itu.
“Sudahlah, Pak! Dia tidak mungkin membunuh
Mama, pintu kamarnya selalu dikunci Mama. Ini juga
kita dapatkan kunci itu masih di saku baju Mama.”
141
Bang Rio menghentikan tanya dua lelaki itu. Mereka
mengamati sekeliling kamar, jendela pun tidak luput
dari pengawasan mereka.
“Tunggulah di sini! Ini roti untukmu,” ucap
Bang Rio sebelum keluar bersama dua lelaki itu.
Umurku sudah dewasa layaknya Bang Rio yang
sudah bekerja di kantor BUMN. Namun, nasib kami
berbeda. Takdir membawaku terasingkan di sini,
hanya diberi kesempatan untuk sekolah
homeschooling. Seperti anak tiada berguna aku sering
diabaikan.
Setelah mereka pergi. Di bawah ranjang tangan
ini memungut kotak kecil berisi sesuatu makanan
ingin kulahap hingga tandas. Rasanya enak dengan
tekstur kenyal makanan berwarna merah itu
kukunyah bersama roti pemberian Bang Rio. Aku
tersenyum riang penuh kebahagiaan. Saat kutatap
benda itu ingin mengingat di mana dan kapan bisa ada
di kamar, sedangkan kamarku dikunci.
Suara televisi terdengar masih menyala jam
satu malam setelah pemakaman Mama, perutku
merasa lapar mengetuk pintu. Bang Rio tidak
mendengarkannya, aku pun mengantuk dengan perut
yang kosong.
142
Beberapa jam kemudian aku sudah
mendapatkan lagi roti di atas ranjang, ada sercarik
kertas tertuliskan sebuah puisi.
Pergi menjauh
Memberi noda merona
Salam perpisahan terindah
Cinta sepanjang netra
Aku suka dunia sastra baik itu puisi, menulis
nonfiksi, dan fiksi. Puisi ini kapan aku tulis? Kadang
otakku tidak mampu diajak bekerja sama dalam
mengingat.
Aku tertidur lagi, kini terbangun di sebuah
ruangan yang tidak pernah kutempati. Dinding bercat
putih dengan lampu menyala, lagi dan lagi dua lelaki
itu masuk mewawancarai diriku.
“Mama dan Abang Rio sudah meninggal, kamu
tahu pelakunya?” tanya mereka mengancam.
Aku hanya menggelengkan kepala, lalu
berkata, “A-K-U.”
Meja di depan kursi yang kududuki itu dipukul
lelaki bertubuh gempal itu.
“Kamu, harus mengaku. Cepat!” Lelaki itu
mengejarku, tetapi ditahan temannya.
Aku bersembunyi bergegas di bawah kolom
meja, mereka pun keluar ruangan itu. Setelah merasa
aman aku pun keluar, berbaring di pojok ruangan itu.
143
Beberapa jam kemudian saat terbangun, aku sudah
bersama beberapa lelaki berseragam kepolisian,
mereka seakan berjaga-jaga. Tubuhmu diikat
dihidupkan rekaman video. Aku menonton video itu,
bagaimana bisa aku berkaki cacat ini bisa begitu
lincahnya membunuh abangku. Bahkan, terpurung
kepalanya aku pecahkan. Isi otaknya kulahap
bersama sekatup roti tawar. Aku tertawa terbahak-
bahak. Kutatap bergiliran lelaki berseragam di
samping tempat dudukku.
“Iya, kau pembunuh Mama dan abangmu! Kau
punya kepribadian ganda psikopat dan kanibal!
Karena cacatnya ingatan di otakmu, kau tidak
menyadari atas perbuatanmu sendiri!” berang polisi
itu menatapku tajam.
“Bersiaplah! Besok hakim akan
menghukummu dengan hukuman mati!” teriak polisi
bertubuh gempal itu.
Satu per satu mereka keluar di ruangan itu
meninggalkan aku sendiri.
Palembang, 17 Oktober 2022.
144
KENTONGAN
Oleh: Aisyah Luthfi Hasanah
Malam ini, langit dihiasi oleh awan abu-abu
yang menggumpal. Tetesan air mulai
menimbulkan aroma petrichor. Bapak-
bapak penjaga pos ronda mulia mengeratkan sarung
yang dikenakan nya.
“Sial betul malam ini, Yud. Suasananya tidak
mendukung sekali.”
Roni menendang kaleng di samping kakinya.
“Harusnya malam ini aku sudah bisa kelon
sama istriku di rumah, apalagi ini malam Jumat, wes
lah, sunah rosul kui.”
Roni dan Yudi masih menggerutu mengasihani
kesialan mereka yang harus jaga ronda malam ini.
Berbeda dengan Bambang yang sedari tadi hanya
duduk diam sembari menggenggam pemukul
145
kentongan dan berkali-kali membenarkan sarungnya
yang terus melorot.
“Udahlah, mending ngopi saja. Nih aku
bawakan gorengan pisang ala istriku, rasanya
maknyus.”
Roni mengeluarkan bungkusan kresek hitam
yang sudah kucel dari balik sarungnya. Yudi segera
duduk menghampiri, Bambang pun sama, ia berdiri.
Namun, tidak untuk memakan gorengan pisang dari
Roni. Ia memukul kentongan berkali-kali.
Tok, tok, trok, trok, tok, tok, ….
Ia memukulnya keras sekali.
“Hussh, kamu ngapain, Mbang, ora ilok (tidak
baik), nanti kita dimarahi warga.”
Bambang bergeming, ia terus memukul
kentongan berkali-kali.
“Sudahlah, biarkan saja. Memang rada-rada itu
si Bambang, kurang kerjaan sepertinya,” seloroh
Yudi yang dibalas tawa menggelegar dari Roni.
Bambang pun segera meletakkan pemukul
kentongan dan bergabung bersama kedua temannya.
Mereka sama-sama menikmati gorengan dan
secangkir kopi sebagai pengusir hawa malam yang
menantang.
146
Tiba-tiba warga mulai bergerombol datang,
mereka berjalan terburu-buru, bahkan ada yang
setengah berlari.
“Kan, apa aku bilang. Warga pasti bakal marah
gara-gara suara kentongan yang dipukul Bambang
tadi, bikin susah aja kamu tuh, Mbang.” Roni dan
Yudi masih saja terus menggerutu kesal.
“Mas Roni, Mas Yudi, lha kok masih di sini?
Ayo, ke tempat Pak Bambang, beliau baru saja
kecelakaan bersama keluarganya, kabarnya tidak ada
yang selamat.”
Mereka saling berpandangan, meratap ke arah
kentongan yang masih bergoyang dan secangkir kopi
yang masing-masing hanya menyisakan pekatnya
ampas.
147
Tentang Penulis
‘Aisyah Luthfi Hasanah atau
yang kerap disapa dengan panggilan
‘Aisyah atau Lutpik merupakan
seorang mahasiswi di Universitas
Ahmad Dahlan. Ia adalah gadis
kelahiran Gunungkidul 21 tahun
yang lalu. Hobinya dalam dunia kepenulisan mulai
ditekuni ketika ia duduk di kelas 2 SMP. Sudah
banyak event kepenulisan yang diikutinya. Karya
pertamanya tertuang dalam antologi puisi yang
berjudul My Dream, yang diselenggarakan oleh
komunitas Azra Publisher. Sampai saat ini sudah ada
beberapa antologi puisi dan cerpen yang di dalamnya
memuat karyanya. Jika ingin berkomunikasi dengan
‘Aisyah, dapat melalui akun Instagram nya
@lh.aisyah atau melalui e-mail
[email protected].
148
FRIDAY THE 13TH
Oleh: Aisyah Nur Fitria Wati
Hari ini adalah hari Jumat, tepatnya tanggal
tiga belas. Aku terbangun dari alam
mimpiku karena kucing bergumul. Ketika
aku bangun dan beranjak dari tempat tidur, cacing-
cacing di perutku ribut alias aku lapar. Kususuri
setiap sudut ruangan rumah tapi aku tidak
menemukan tanda-tanda ibuku.
Aku memutuskan untuk ke depan dan memberi
makan ikan-ikanku. Tiba-tiba ada seorang nenek
lewat di depan halaman rumahku yang kurasa tidak
asing dan dia menyapaku dengan ramah.
“Eh, Melva, rajinnya kasih makan ikan.” Nenek
itu menegurku.
“Hehehe, iya, Nek. Sambil nunggu Ibu, enggak
tahu di mana,” jawabku dengan sopan.
149
“Oh, ibumu. Dia sedang ada di pemakaman.
Kalau begitu nenek mau pulang dulu, ya?” Aku
mengangguk dan tersenyum manis kepadanya.
Dia bernama Nenek Ijah. Usianya memang
terbilang sudah tua, tetapi anehnya terakhir kali aku
melihatnya dia menggunakan kursi roda, tapi, ya
sudahlah mungkin dia sudah sembuh. Beberapa menit
kemudian Ibu datang dengan menggunakan baju
hitam. Aku cemberut karena Ibu tidak mengabariku
dan tidak ada makanan di atas meja.
“Tumben ngasih makan ikan, lagi menunggu
ibu?” tanya Ibu sambil menghampiriku.
“Iyalah, aku memang menunggu Ibu. Di atas
meja aja enggak ada makanan. Ngomong-ngomong
Ibu habis dari pemakaman, Bu?” tanyaku sambil
melanjutkan memberi makan ikan.
“Iya, kamu tahu? Tadi siang itu Nenek Ijah
meninggal karena serangan jantung.”
Mataku melotot dan menatap ibu seakan tidak
percaya. Terus yang mengajak aku bicara tadi siapa?
150
TATAPAN SEORANG LELAKI
Oleh: Aisyah Nur Fitria Wati
Sore ini terlihat sinar oranye menyilaukan mata.
Angin berembus lembut dengan ditemani
senyum malaikatnya adalah perpaduan yang
cocok. Terlihat seorang tersenyum manis menatapku
dari balik kaca spion motor merah khasnya itu.
Jangan tanya mengapa aku bisa sejatuh cinta ini
padanya.
Hari ini terlihat cerah. Aku mengelilingi kota
bersama lelaki pemilik senyum malaikat itu. Dia El,
temanku sewaktu di sekolah menengah pertama yang
sering usil padaku. Kalau ingat masa dulu, rasanya
kami seperti kucing dan tikus, tetapi mengapa hari ini
aku berjalan bahkan menghabiskan waktu seharian
dengannya? Hahaha… lucu bukan?
Kulihat dari kejauhan, El tampak
memposisikan motor kesayangannya itu di halaman
151
restoran. Selang beberapa menit, dia menghampiriku
dan mengajakku memasuki restoran tersebut. Ketika
aku menginjakkan kaki di sana, satu kata yang
terlintas di pikiranku, yaitu ramai!
Aku memasuki ruang demi ruang dan kulihat
sudut demi sudut memang tampak menarik, tetapi aku
salah fokus pada satu hal. Sejak aku masuk ada hal
janggal yang sedikit mengusikku. Ada seorang lelaki
memperhatikanku dengan saksama dari ujung rambut
sampai ujung kaki. Aku tidak ambil pusing. Aku tidak
menghiraukannya dan terus berjalan.
Kami duduk agak jauh dari lelaki itu karena aku
juga merasa tidak nyaman. Seperti biasa El
menarikkan kursi untukku. Salah satu alasan
mengapa aku bisa menjatuhkan hatiku ini padanya
karena dia sangat perhatian. El duduk di hadapanku
dan mata kami bertemu. Aku melemparkan senyum
manisku dan terlihat senyum Malaikat itu muncul
lagi.
Oh, My God, bisa gila aku gara-gara dia,
batinku.
“Seperti biasakah?” tanyanya setelah melihat
buku menu.
“Iya, Cintaku,” jawabku sedikit menggoda dan
dibalas senyuman tipis darinya.
152
Makanan sudah sampai dan kami memakannya
dengan lahap. Setelah selesai makan aku
memperhatikan sekitar. Tak kusangka lelaki tadi
masih memperhatikanku dan tatapan kami bertemu.
Lelaki itu berusaha mendekatiku. Dia berpindah
tempat duduk dan sekarang kami berjarak hanya satu
meja saja. Situasi ini membuatku benar-benar tidak
nyaman. El menyadari hal tersebut. Alhasil dia kesal
dan memutuskan untuk menghampiri lelaki itu.
“Maksud Mas perhatiin cewek saya, apa, ya?”
El menegurnya dengan nada sedikit tinggi.
“Oh, itu cewek kamu?” Kudengar pertanyaan
dari mulut lelaki itu.
“Iya! Jangan berani macam-macam, ya, Mas!”
El mengancam.
“Aku bukan perhatiin cewek kamu, kok, tapi
aku perhatiin kamu dan tertarik sama kamu yang
cakep ini,” kata lelaki itu tak berkedip.
Suasana hening seketika.
153
Tentang Penulis
Hai, semuanya! Kenalin aku
Aisyah Nur Fitria Wati, umurku 15
tahun pada 11 Juli 2022 lalu. Aku
masih duduk di bangku putih abu-
abu, tepatnya di SMAN 01
Salatiga. Aku terbilang masih
penulis awal. Jadi, aku mau menambah pengalaman
dalam menulis.
154
KITA TANPA KATA
Oleh: Aji Kharismawan
Ruas tol Bawen-Ngawi, sebuah minibus
melaju kencang. Pohon-pohon di samping
kiri dan kanan jalan serasa sebuah bayangan,
menjauh dari mobil yang Harits dan keluarganya
tumpangi.
“Astaghfirullah!” kata Mita, istri Harits.
Seketika Harits mengurangi laju mobilnya.
Sepertinya baru saja terjadi kecelakaan hebat
yang melibatkan sebuah minibus dengan sebuah truk.
Tampak dalam kerumunan beberapa mobil patroli
jalan tol dan mobil polisi berhenti. Beberapa polisi
mengecek TKP. Beberapa petugas patroli jalan tol
mengurai kemacetan karena kecelakaan tersebut.
“Ngeri, ya, Ma! Mudah-mudahan perjalanan
kita selalu dilindungi Allah, selamat sampai tujuan,”
kata Harits sambil menenangkan istriku.
155
Harits, pria asli Wonosobo. Sedangkan Mita,
asli Ngawi. Mereka sedang dalam perjalanan ke
Ngawi. Mereka hendak menghadiri resepsi
pernikahan saudara Mita. Mereka mengajak buah
hatinya, Lugas Kata Perbawa. Harits dan Mita biasa
memanggilnya Kata. Kata adalah anak yang aktif dan
ceria. Di dalam mobil pun, kata tak pernah bisa diam.
Jok tengah mobil Harits sulap menjadi kamar pribadi
untuk Kata. Ada kasur, bantal, dan beberapa mainan
kesukaan Kata.
“Ma! Bosen!” celetuk Kata.
“Sabar, ya, Sayang! Sebentar lagi kita sampai,”
jawab Mita sembari memperhatikan layar HP
berselancar di Instagram kegemarannya.
“Ma! YouTube!” pinta Kata sembari
memperhatikan gadget di tangan ibunya.
“Nanti, ya, Sayang!” jawab Mita sekenanya.
“Ma, cepetan!” Kali ini Kata tidak bisa
menahan kesabarannya lagi dan mulai rewel.
Sementara Mita masih belum berpaling dari layar
gadgetnya.
“Ma! Tolong, dong. Kata diurusin dulu, jangan
mengabaikan anak,” ucap Harits tanpa mengalihkan
pandangannya ke jalan.
“Mama sudah bilang nanti, Pa!” Rupanya Mita
juga mulai sewot.
156
Mita memang tipikal wanita yang keras kepala.
Tak jarang mereka mengalami perselisihan karena
hal-hal kecil. Seperti sekarang, mereka mulai saling
balas argumen.
“Eh, Pa! Ada kecelakaan lagi, tuh! Coba pelan-
pelan,” ucap Mita.
“Ya, Allah! Lihat, Ma! Mobilnya ringsek gitu,
ada anak kecil digendong polisi.”
Harits memperlambat laju mobil ketika
melewati kerumunan kecelakaan.
“Mama kayak nggak asing sama anak yang
digendong polisi itu, ya, Pa?” kata Mita.
“Iya, kok mirip Kata, ya, Ma. Mirip sama
kecelakaan yang tadi kayaknya.” Haris mulai
kebingungan.
“Pa! Kata kok dari tadi diem aja, ya?” tanya
Mita.
“Ketiduran kali. Coba mama cek,” jawab
Harits. Lagi-lagi tanpa menoleh.
“Pa! Kata ilang, Pa!” Mita histeris.
“Yang bener kamu, Ma!” ujar Harits sambil
menengok ke bangku di belakang supir.
“Awas, Pa!” Mita berteriak, dan ….
Ciiiiiiiitt! Brak!
157
Mobil dengan kecepatan tinggi itu tak kuasa
menghindar ketika sebuah truk oleng karena pecah
ban depannya.
Kecelakaan di ruas tol Bawen-Ngawi KM 507
melibatkan sebuah mini bus hitam dan truk kargo
yang pecah ban. Dua korban dinyatakan meninggal
dunia, yaitu Harits Sabda Alam dan Hayumita Putri.
Sedangkan anaknya, Lugas Kata Perbawa selamat
dalam insiden tersebut.
Demikian berita terkini yang menghiasi
beberapa layar televisi siang ini.
158
PAK GURU, I LOVE YOU!
Oleh: Aji Kharismawan
Hari kelulusan siswa kelas XII telah tiba. Di
aula sekolah terlihat Rudi dan beberapa guru
sibuk menyiapkan acara. Sesekali
pandangan Rudi tertuju pada tamu undangan yang
telah hadir. Beberapa orang tua murid terlihat gelisah
menunggu pengumuman kelulusan. Namun,
kegelisahan mereka tak sebanding dengan getaran
hati Rudi setiap kali berada di Aula ini. Ingatannya
kembali pada 17 tahun yang lalu.
“Anda Rudi Febriansyah, ‘kan?” Seseorang
membuyarkan lamunan Rudi.
“Betul! Maaf, Ibu siapa, ya?” tanya Rudi
penasaran dengan perempuan berniqab di
hadapannya.
159
“Maaf, tentu kamu lupa padaku. 17 tahun yang
lalu kita duduk di sini. Sama-sama dapat ijazah,
sama-sama nangis.”
Rudi memandang lekat-lekat mata perempuan
itu. Sepasang mata indah itu tidak asing baginya.
“Fani?” tanya Rudi dengan suara bergetar.
Meskipun mengenakan niqab, tetapi terlihat
kalau perempuan itu tersenyum.
Ya, Tuhan!
Perempuan yang saat ini sedang ada dalam
lamunannya, kini berada tepat di hadapannya. Pikiran
Rudi kembali pada 17 tahun yang lalu.
“Rud! Mungkin ini pertemuan terakhir kita,
maafin aku, ya, kalau ada salah.”
“Fan! Aku sayang kamu! Aku terima apa
adanya kamu!”
“Maaf, Rud! Aku nggak pantes buat kamu!”
Fania Maheswari. Bidadari yang selalu muncul
dalam setiap angan Rudi. Kehormatannya telah
dirusak oleh Reno Smith. Teman band mereka yang
blasteran Bali-Inggris. Dan parahnya, Reno hilang
entah ke mana. Papanya yang pengusaha besar asal
Inggris menyembunyikan anak kesayangannya itu.
“Fani! Aku mau melamarmu!”
“Rud! Kamu selalu baik padaku!”
160
Rudi teringat bagaimana air mata Fani
membasahi pipinya. Demi cintanya kepada Fani,
Rudi mengutarakan niatnya kepada ayah dan ibunya.
Tentu saja keingina Rudi ditolak. Rudi tidak
menyerah. Ia mengunjungi rumah keluarga Fani
sendirian. Ternyata rumah itu telah kosong.
“Setelah upacara kelulusan, keluargaku
memutuskan untuk pindah ke Gresik.”
Fani memulai ceritanya dengan suara bergetar.
Tujuh bulan setelah itu Fani melahirkan. Keluarganya
menitipkan bayinya di kota ini bersama saudara. Fani
depresi, Ia dimasukkan ke salah satu pesantren di
Gresik. Setelah kondisinya stabil, Fani dinikahi anak
pimpinan pesantren.
“Di sini masih ada laki-laki yang setia
menunggumu, Fani!”
“Maaf, Rud! Aku nggak pantas untukmu. Aku
sudah menikah dengan Mas Ahmad. Sudah saatnya
kamu move on.” Mata Fani berkaca-kaca. Namun,
tatapannya penuh ketegasan.
Sejak lulus dari sekolah ini, Rudi melanjutkan
studi. Ia tetap bermain band meskipun tanpa Fani
sang vokalis dan Reno sang drummer. Setelah lulus
S-1 Rudi mengabdikan diri di sekolah ini menjadi
guru Seni Musik. Hingga usianya 35 tahun, Rudi
masih melajang.
161
“Ada seorang gadis yang diam-diam menaruh
hati padamu, Rud! Gadis itu sangat berharga buatku,”
kata Fani seraya menyerahkan sebuah amplop kepada
Rudi.
“Aku merestui kalian. Datanglah ke Gresik
untuk melamarnya.”
Setelah itu Fani meninggalkan Rudi yang masih
terpaku memegang amplop itu.
Di kejauhan terlihat seorang gadis menunggu
Fani. Ia tersenyum kepada Rudi. Ia pun masuk ke
Alphard. Fanesya Maheswari, aku mengajarnya di
kelas musik. Seorang gadis yang cantik dan juga
pintar. Ia menjadi primadona di sekolah ini.
Kubuka amplop dari Fani pelan-pelan.
Pak Guru, I love You
Fanesya
Degub jantungku semakin kencang mengiringi
Alphard yang melaju pelan dan menghilang di
perempatan jalan.
162
OH, TERNYATA!
Oleh: Aji Kharismawan
Hujan deras, angin bertiup kencang. Sesekali
terdengar deritan seng yang dihentak-hentak
angin, berusaha lepas dari paku yang
membelenggunya.
“Kamu lagi ngintip siapa, Len?” Sebuah suara
mengagetkanku.
“Mama! Bikin kaget aja!” jawabku ketika
melihat mama berdiri di belakangku.
“Habis dari tadi mama perhatiin kamu berdiri
terus di depan jendela,” ujar mama.
“Lihat, deh, Ma! Leni perhatiin orang itu.
Kayaknya mencurigakan,” ucapku tanpa
mengalihkan pandangan dari balik jendela.
Mata mama mengikuti arahan jariku, menyapu
ke seberang jalan di depan rumah kami. Tampak
seorang pria sedang berteduh di bawah pohon.
163
Pakaiannya lusuh, tangan kirinya memegang sebuah
karung besar. Entah apa isi dalam karung yang
menggembung hampir penuh.
“Cuma pemulung yang berteduh, Len!” ucap
mama.
“Siapa pun orang tak dikenal yang masuk ke
daerah sini wajib dicurigai, Ma! Sebulan yang lalu
motor Pak Danu blok C hilang, seminggu yang lalu
sepeda Polygon Mas Rudi blok E raib juga. Sampai
saat ini polisi belum menemukan siapa pelakunya.
Kompleks perumahan kita sedang tidak aman, Ma!”
jawabku berargumen.
“Iya, ibu detektif! Waspada boleh saja, yang
penting tidak suuzon,” mama mencubit kecil
hidungku.
“Ih! Sakit, Ma!” teriakku sambil mengelus-elus
hidungku yang berharga.
“Kamu keasyikan ngintip pemulung sampai
lupa. Tuh, mi rebusmu!” ujar mama mencibir.
“Astaga!” Aku baru ingat kalau sedang
merebus mie instan.
“Udah mama habisin!” Mama mengejekku
sambil berlalu.
“Mama …!” teriakku sambil mengejar mama.
Namaku Rena Novaleni, kelas XI sebuah SMA
Favorit di kota ini. Kata orang-orang aku cantik, putih
164
dan tinggi semampai. Mirip model iklan di televisi.
Yah, itu hanya kata orang-orang. Dan tahukah siapa
orang-orang yang berkata seperti itu? Mereka adalah
papa dan mamaku. Meski dikatakan mirip model, aku
malah bercita-cita menjadi polisi wanita. Rasanya
keren aja pakai seragam lalu memecahkan sebuah
kasus kriminal. Seperti sekarang ini, sedang marak
terjadi pencurian di kotaku. Insting kepolwananku
meronta-ronta ingin ambil bagian dalam penyelidikan
kasus tersebut.
“Ma! Kemarin aku ketemu beberapa polisi yang
melakukan penyelidikan di rumah Mas Rudi. Kata
mereka pelaku pencurian tampaknya tahu benar
seluk-beluk perumahan ini,” kataku sambil
menyumpit mi instan yang hampir gagal kumasak.
“Kalau seperti itu, bisa jadi pelakunya orang
yang sering berkeliaran di perumahan ini, ya,” mama
menanggapi ceritaku sambil sesekali menyendok mi
instanku.
“Itu makanya aku curiga sama pemulung yang
akhir-akhir ini sering keluar masuk kompleks kita,
Ma! Bisa jadi dia informan atau malah pelakunya,
‘kan?” Panjang lebar penjelasanku.
Sreett .... brak!
“Jangan bergerak!”
“Dor!”
165
Seketika mukaku dan mama pucat. Mendadak
suasana di depan rumahku gaduh. Banyak orang
berdatangan. Dengan gemetar, aku dan mama
mengintip dari balik jendela lalu pelan-pelan kubuka
pintu dan keluar. Aku dan mama berusaha menyibak
kerumunan tetangga. Di tengah kerumunan tergeletak
Nmax kesayanganku dan seorang pria bermasker
yang mengangkat tangan. Di dekatnya berdiri
pemulung yang dari tadi kuawasi. Kali ini ia tidak
membawa karung besar melainkan sebuah pistol yang
ditodongkan ke arah kepala pria bermasker.
“Alhamdulillah, Mbak Leni! Hampir saja motor
Mbak Leni dicuri orang,” ujar seorang tetangga.
Mukaku pucat. Aku tertunduk, tak kuasa
kutatap pria pemulung itu.
166
Tentang Penulis
Aji Kharismawan Cipto Budi,
S.Pd. lahir di Wonosobo, 15 Juni
1986. Ayah dua anak ini merupakan
lulusan SD Negeri 1 Wonosobo
(1999), SMP Negeri 1 Wonosobo
(2002), SMA Negeri 1 Wonosobo
(2005), dan Universitas Kristen
Satya Wacana (UKSW) Salatiga (2010). Aji
merupakan anak pertama dari dua bersaudara,
pasangan H. Ismail dan Hj. Wilis Puji Astuti,
S.Pd.MM. Melalui kedua orang tuanya lah Aji
mengenal moto “tugas adalah kepercayaan”,
sehingga pantang baginya menolak tugas yang
diberikan oleh atasan. Bendahara BOS, operator
sekolah, petugas pengurus barang, dan admin PIP
merupakan tugas yang biasa dilakoninya. Kariernya
sebagai tenaga pendidik dimulai sejak
pengangkatannya sebagai ASN di SDN Balekambang
(2010-2013), SDN 2 Bumitirto (2013-2017), dan
sejak tahun 2017 hingga saat ini Aji dipercaya
sebagai guru kelas VI SDN Sinduagung Kecamatan
Selomerto Kabupaten Wonosobo.
Aji dapat dihubungi melalui:
Whatsapp : 085643989278
Facebook : Aji Jea Kharismawan
167
Instagram : @akharismawan
Email : [email protected]
168
TUKANG ‘GHOSOB’1
Oleh: Ake Aulia Fitriana
Aish! Ini hari Minggu, seharusnya tidurku
masih bisa berlanjut setidaknya sampai
menjelang Asar. Namun, kenyataan berkata
lain. Tidurku buyar, berkali-kali ponselku berdering
ada panggilan masuk.
“Hah?! Rapat pengurus? Kenapa harus tiba-tiba
coba? Mana lima belas menit lagi dimulai.”
Kantukku seketika sirna. Dengan tergesa-gesa
aku menyambar jilbab dan tak lupa memoles bibir
dengan gincu andalan. Setelahnya, terbirit-birit
keluar kamar.
‘Ealah, sandalku ke mana nih?’ sampai di
depan kamar aku kebingungan karena satu-satunya
sandal yang kupunya tak tampak di rak, tempat
1Memakai barang orang tanpa izin.
169
bermukimnya. Kutelusuri satu per satu dengan
saksama. Dari atas ke bawah, dari bawah ke atas, tapi,
tetap tiada.
“Ada apa, Us?” Wati, seorang santri putri yang
sekamar denganku tiba-tiba muncul di bingkai
jendela sambil menguap lebar. Romannya dia baru
bangun tidur.
“Liat sandal ustazah?”
“Tidak, Us. Pakai sandal Wati aja dulu, tapi
nanti Wati nggak salat Asar di masjid, yah. Hehe…,”
jawab Wati dengan cengiran lebar sambil mengucek
kedua mata.
“Ck! Pasti si tukang ghosob, nih! Awas aja
nanti.” Gerutuku tanpa menghiraukan Wati. Tanpa
berpikir panjang, aku langsung mengambil sepatu
selop dan berlari sekuat tenaga menuju madrasah
yang berdiri tepat di seberang asrama putri. Untung
saja kamarku berada di lantai dasar. Jadi, tak
membutuhkan banyak tenaga untuk sampai sana.
Sampai di ruang pertemuan, tepat saat aku
membuka pintu, suara basmallah menggema dari
dalam. Itu artinya rapat dimulai. Sontak, saat itu pula
semua pasang mata langsung menatap ke arahku
dengan ekspresi terkejut. Namun, mengumpat tawa.
Ya, kecuali dia. Ketua pengurus yang berdiri di
170
depan. Raut wajahnya dingin, tatapannya tajam,
bagaikan elang yang siap menerkam.
“Tamatlah riwayatku!” umpatku dalam hati
sambil tertunduk dalam.
***
“Semuanya, kumpul ke sini! CEPAT
KUMPUL!” Emosiku langsung meledak begitu
sampai di kamar.
Para penghuni kamar yang mulanya sudah
bersiap tidur di ranjang masing-masing, langsung
panik mengerubung di ruang tengah, berbaris sejajar
di hadapanku. Siapa yang tidak murka, hanya karena
tragedi sandal aku jadi terlambat rapat. Kuyakin ada
salah satu anak di kamar yang memakai sandalku
tanpa izin. Dan amat kuyakini orangnya tak lain
adalah dia, si anak berdarah Bugis. Bocah yang
terkenal hobi meng-ghosob barang milik orang lain.
“Nurul, maju sini! Sudah diingatkan beribu
kali, masih saja diulangi! enggak kapok dihukum,
hah?!”
Wajah anak Bugis itu mendadak pucat. Eh,
bukan dia saja sih. Tapi seluruhnya.
“Ta-”
171
“Apa? Hah?! Setidaknya kalau pinjam barang
orang itu bilang! B-I-L-A-N-G! Apa susahnya, sih?!”
“Ta-ta-tapi hari ini ana gak pinjam barang si-
siapa-siapa, Us,” sanggahnya terbata-bata.
“Enggak usah bohong! Sok merasa nggak
bersalah lagi! Kalau kamu nggak ngaku, malam ini
silakan TIDUR DI LUAR!” bentakku tepat di depan
mukanya.
Tiba-tiba terdengar isak tangis.
Bukan. Bukan Nurul yang menangis. Tapi,
Wati.
‘Eh? Ada apa nih anak?’
Teman yang di sampingnya berusaha
menenangkan. Namun, dia malah beringsut ke luar
kamar. Masuk lagi membawa sandal. Mataku
terbelalak. Wati, yang selama ini terkenal dengan
julukan anak alim, kok dia…
“Us, hiks… Ta-tadi siang, hiks... ana lupa. Sa-
sa-sandal Ustazah. Hiks… a-a-na cucikan karena
tampak kotor sekali. Af-af-afwan. Hiks....” Wati
menyodorkan sandalku dengan gemetar dan tersedu-
sedan. Aku tertegun sesaat. Selang beberapa menit
wajahku basah.
172
Tentang Penulis
Ake Aulia Fitriana, atau lebih akrab
disapa Bu Lia adalah seorang guru
di sebuah madrasah ibtidaiyah.
Gadis kelahiran 5 Maret 1998 ini
berasal dari sebuah desa kecil di
kawasan Kabupaten Semarang.
Jika ingin mengenal penulis lebih
lanjut bisa mengunjungi instagram @aul53lia,
berkirim e-mail ke [email protected] atau
menghubungi nomor WA 083842148319.
173
GADIS DI NEGERI PAMAN SAM
Oleh: Alifia Naila Azzahra
Nadine, seorang gadis yang rela
meninggalkan tanah kelahirannya demi
mengejar cita-citanya. Anak mana yang
tidak sedih ketika meninggalkan orang tuanya. Rasa
cemas dan khawatir yang kini ia rasakan. Walaupun
ia berasal dari orang mampu, tetapi ia juga tak ingin
menyia-nyiakan beasiswa yang telah diimpikannya
sedari duduk di bangku sekolah dasar itu.
Sesampainya di bandara, ia berpamitan dengan
kedua orang tuanya dengan penuh kesedihan yang
telah dipendamnya.
“Ma, Pa, Nadine berangkat dulu, ya. Doakan
Nadine bisa bertahan di negeri orang dan pulang
membawa gelar B. Bus. (Bachelor of Business).”
“Akan papa doakan terus, Nak. Kami berdoa
yang terbaik untukmu.”
174
Terlihat mata mama Nadine menahan
bendungan air mata, bagaimana tidak anak
perempuan satu-satunya akan meninggalkan mereka
pergi dalam waktu yang cukup lama. Lalu pelukan
hangat terasa di tubuh Nadine. Kecupan hangat ia
rasakan dari kedua orang tuanya itu. Setelah pelukan
tersebut berlangsung cukup lama, Nadine
melambaikan tangannya dan menuju ke gate
penerbangannya. Selama di pesawat tak terasa air
matanya menetes, ia sudah risau dengan kedua orang
tuanya itu.
Setelah perjalanan cukup lama akhirnya ia
sampai ke Negeri Paman Sam, tempatnya menimba
ilmu selama 3–4 tahun ke depan. Rasa senang dan
sedih yang kini ia rasakan.
“Bismillah, I’ll start my new journey here,” ujar
Nadine sembari melangkahkan kaki menuju taksi
yang sudah menunggunya di depan pintu kedatangan
nondomestik. Selama di perjalanan ia melihat
gedung-gedung megah di kota yang akan ia huni 3–4
tahun ke depan.
Setelah ia melewati hari-harinya menjadi anak
kuliahan, Nadine merasa sangat enjoy dengan
aktivitas barunya itu. Tibalah di fase skripsinya.
Sepertinya ia mendapat ujian dari Tuhan, di saat ia
memusingkan isi skripsinya, pandemi melanda
175
seluruh dunia, tidak hanya di Amerika. Pandemi
tersebut mengakibatkan seluruh dunia hanya dapat
berdiam diri di rumah sembari berdoa dan hanya
dapat keluar rumah jika ada urusan penting saja. Ia
berharap cemas dan selalu berkabar dengan orang
tuanya sembari mengerjakan tugas akhirnya tersebut.
Di suatu siang, lagi-lagi ia sedang mengerjakan
tugas akhirnya sembari menikmati secangkir kopi
hangat ia mendapat telepon dari orang tuanya.
Bersegeralah ia mengangkat telepon tersebut.
Terdengar suara seseorang sedang menangis. Lalu ia
bertanya,
“Halo, Ma? Siapa itu yang menangis?” Tidak
ada jawaban dari pertanyaan Nadine hingga ia
mengulang pertanyaan itu beberapa kali.
“Din, papamu meninggal karena wabah virus
cirune.” Nadine yang mendengarnya langsung shock,
tetapi ia berusaha menenangkan dirinya dan
menenangkan ibundanya. Lalu Nadine menjawab lagi
degan suaranya yang terisak dan pipi yang telah
dipenuhi air matanya
“Ma, Nadine ingin pulang, ingin melihat papa
untuk yang terakhir kali, tetapi tidak ada penerbangan
di sini.”
“Doakan saja dari sana, Nak. Insyaallah,
papamu sudah tenang.”
176
Hari itu Nadine terus merenungi harinya karena
ayah terbaiknya telah meninggalkannya untuk
selama-lamanya.
Tentang Penulis
Alifia Naila Azzahra adalah siswi SMA Negeri
1 Salatiga. Lahir di Wonogiri pada tanggal 12
Desember 2006. Saat ini ia masih dalam tahap belajar
dalam pembuatan cerita mini. Beberapa aktivitas dan
kegemarannya sering ia unggah dalam laman sosial
medianya, @alifianailaa
177
TAMAN BUNGA
Oleh: Alisha Farzana Balqis
Musim liburan telah tiba. Mira tidak pernah
ragu menentukan tempat yang akan ia
kunjungi. Gadis manis ini amat menyukai
taman bunga di pinggir kota. Ia selalu pergi
berkunjung di penghujung bulan Desember.
Udara sejuk sudah menyambutnya sejak Mira
melangkahkan kakinya memasuki taman bunga.
Pengunjung berlalu lalang keluar masuk bergantian.
Angin sepoi-sepoi bertiup membuat rerumputan
bergerak seirama. Sebuah tempat yang tenang di
tengah hiruk-pikuk kota.
Tidak banyak yang berubah sejak terakhir kali
Mira datang berkunjung. Ia mencari bangku yang
kosong, lalu mengeluarkan buku sketsanya, dan
mulai menggoreskan penanya. Menggambar
hamparan bunga di seluruh penjuru taman. Setelah
178
itu, ia menutup buku sketsanya dan mulai menatap
sekitar. Udara semakin terasa sejuk. Mira
menyelipkan tangannya di saku.
Mira berjalan menghampiri sudut taman yang
merupakan tempat kesukaannya. Ia mengusap batu
nisan yang sudah lama, terukir nama indah sang
Kakak. Mira tersenyum tipis. Di benaknya terputar
memori pahit empat tahun yang lalu.
“Kak, hari ini Mira sudah berumur 18 tahun.”
“Sekarang umur kita sama, ya, Kak? Semoga
Kakak juga sama, berbahagia di sana,” kata Mira
sambil tersenyum.
Batinnya sudah lega. Ia memang sudah berniat
untuk memaafkan memori pahit yang telah terjadi.
Mira meletakkan sekuntum bunga mawar di samping
batu nisan. Dalam hati muncul rasa rindu senyum
manis dan tawa riang kakaknya.
Mira menyebutnya taman bunga karena ia ingin
tempat ini menjadi tempat peristirahatan terakhir
yang indah. Mira berjalan keluar dengan udara dingin
yang menyelimutinya. Ada rasa damai di hatinya.
179
Tentang Penulis
Alisha Farzana Balqis yang
biasa dipanggil Alisha adalah
seorang siswi SMA Negeri 1
Salatiga. Lahir di Salatiga pada
Agustus 2007. Alisha Memiliki
hobi membaca dan mendengarkan
musik.
180
WARNA BAJUKU SAMA DENGAN
GAUN PENGANTIN
Oleh: Amalia
Nasywa merasa penasaran ingin segera
membuka undangan pernikahan Riza,
mantannya yang selama 4 tahun menjalin
hubungan semasa kuliah. Mereka putus hubungan
satu tahun lalu. Nasywa akhirnya bertemu dengan
Ilham, laki-laki idaman yang sekarang menjadi
suaminya.
Perasaan bahagia dan haru menyelimuti relung
hati Nasywa karena Riza akhirnya menemukan
wanita pilihannya. Menebak-nebak dalam hati,
seperti apa wanita yang akan menjadi istri Riza.
Nasywa memberi tahu surat undangan
pernikahan Riza kepada Ilham, suami yang
menikahinya 1 tahun lalu. Tanpa banyak tanya, Ilham
mengiyakan. Ilham tidak mengetahui bahwa Riza
181
adalah mantan Nasywa semasa kuliah. Di awal
pernikahan Nasywa dan Ilham sepakat dengan
komitmen, bahwa masa lalu biarkan berlalu, karena
masing- masing di antara mereka pasti membawa
masa lalu dan tidak akan membahas dan tak mau
cerita masa lalu masing-masing.
Pagi hari sebelum berangkat ke pernikahan
Riza, Nasywa mempersiapkan baju yang akan dipakai
ke pesta mantannya itu. Dipilihlah baju warna orange
salem, warna favorit suaminya. Tidak jarang Ilham
memuji Nasywa ketika mengenakan baju itu.
Dengan perasaan sedikit grogi karena selain
akan ketemu mantannya, Nasywa juga akan bertemu
anggota keluarga Riza yang sudah mengenalnya.
Setelah 1 jam perjalanan, sampailah Nasywa dan
Ilham di gedung tempat pesta pernikahan Riza.
Hiasan taman yang indah berwarna warni macam
bunga asli dan semerbak mewangi, memanjakan
pandangan mata. Penerima tamu yang ramah
menyambut para undangan masuk ke ruang
pelaminan.
Sejumlah mata memandang dengan ekspresi
yang mengganggu perasaan Nasywa, ditambah
dengan senyum aneh ketika Nasywa bertemu dan
salam dengan keluarga Riza. Terdengar suara
berbisik-bisik tentang warna baju Nasywa. Timbullah
182
rasa tidak percaya diri pada Nasywa dan langsung
evaluasi tentang bajunya.
Adakah yang salah dengan bajuku? Nasywa
bergumam dalam hati.
Suami Nasywa yang sudah melihat gaun
pengantin wanita dari kejauhan berbisik pada
Nasywa, “Warna bajumu sama dengan warna gaun
pengantin.”
Bak tersundut api, hati Nasywa menghangat.
Kaget dan merasa lucu. Tidak ingin terlihat aneh di
hadapan suaminya, langsung saja Nasywa menuntun
tangan Ilham naik ke atas pelaminan Riza dan
istrinya. Senyum merekah terlihat di wajah Riza,
seakan memberi kode ketika melihat warna baju
Nasywa, dipandanginya Nasywa dari atas ke bawah.
Sontak pengantin wanitanya berkata sambal tertawa
kecil, “Wah, warna baju kita sama.”
Nasywa membalas senyum pengantin wanita
sambil berkata dalam hatinya, kamu nggak tahu kalau
aku adalah mantan Riza, ya?
183
KARTU SAKTI
Oleh: Amaliah Karim
Teng ....
Bel masuk berbunyi ketika aku sedang
menautkan tali sepatuku. Aku bergegas menuju kelas.
Namun, terdengar seseorang menyapaku.
“Assalamu’alaikum.”
Aku mendongak. Ternyata Bu Cici, guru
Kimiaku. Segera kubalas salamnya.
“Wa'alaikumussalam, Bu,” jawabku sambil
menyalami tangannya.
“Naya, kemarin tugas ibu dikerjakan di buku
tulis, ya? Ke mana LKS-nya?” tanya Bu Cici heran.
“Maaf, Bu. Saya …, saya belum punya LKS,”
jawabku lirih.
Kulihat Bu Cici mulai menggerakkan
kacamatanya. Hatiku berdebar. Apakah Bu Cici akan
marah?
184
“Kenapa belum punya?” tanya lagi.
Mendengar pertanyaan itu entah kenapa air
mataku serasa ingin meluncur.
“Maaf, Bu. Saya belum punya uang,” jawabku
pelan.
“Berapa LKS lagi yang kamu belum punya?”
tanya Bu Cici lagi.
Aku terhenyak. Dari dua belas mata pelajaran,
aku baru punya dua LKS, Matematika dan Agama.
Aku mulai berpikir, apakah Bu Cici akan tersinggung
karena aku seperti lebih mementingkan membeli
buku yang lain? Ah, tidak-tidak. Aku tidak boleh
berpikir buruk. Aku belum beli buku yang lain karena
memang belum punya uang. Kerjaan menjahit ayah
masih sepi sudah hampir sebulan ini. Bahkan, untuk
mengganjal perutku di waktu istirahat, aku harus
pergi ke masjid. Meluapkan doa dan melahap
hidangan kata lewat buku-buku yang terjejer rapi di
perpustakaan masjid.
“Masih ada sepuluh LKS lagi, Bu,” jawabku.
Bu Cici menangguk-angguk. Tak lama ia
merogoh dompetnya, lalu memberiku selembar kertas
berbentuk kartu.
“Naya, sekarang kamu ke koperasi. Minta
sepuluh buku yang belum kamu punya. Nanti
185
bayarnya pakai kartu ini, ya,” ujar Bu Cici sambil
merangkulku.
“Terima kasih, Bu, tapi saya ....”
“Sudah, jangan pikirkan itu. Ini hadiah. Yang
penting kamu semangat belajar, ya!”
Aku terhenyak. Nyaris tidak percaya. Bulir
mataku pun meluncur tak terbendung. Ah, betapa
buruknya aku telah berpikir yang tidak-tidak. Bu Cici
sangat baik. Meski terkenal tegas, ternyata hatinya
sangat perhatian.
“Ibu mau ke kelas dulu, ya. Ayo, segera ke
koperasi. Tunjukkan kartu saktinya, ya. Sudah bel
masuk sekarang,” ucap Bu Cici sambil tersenyum.
“Baik, Bu. Terima kasih. Semoga Allah balas
yang lebih baik lagi untuk Ibu sekeluarga,” ujarku
sambil menyalaminya.
“Aamiin,” balas Bu Cici menyalamiku, lalu
beranjak pergi.
“Hei, masuk! Nanti lagi main basketnya!”
teriak Bu Cici kepada anak-anak berseragam yang
masih asyik bermain basket. Sepertinya kakak tingkat
kelas 12. Sontak, mendengar suara Bu Cici, mereka
langsung bubar tanpa tapi.
Aku tersenyum. Sambil berjalan, kupandangi
kartu yang baru saja diberikan Bu Cici. Hmmm … di
186
balik ketegasan Bu Cici, ada perhatian dan kebaikan
yang menyelimuti hatinya.
Tentang Penulis
Amaliah Karim, penulis asal Majalengka.
Alhamdulillah, saat ini telah dikaruniai dua orang
putra. Penulis memiliki hobi membaca dan menulis.
Penulis kini beraktivitas mengajar bahasa Indonesia
di salah satu MTs swasta di Kabupaten Bogor.
187
SEPOTONG KUE
Oleh: Amanda Mozza
Ami dan Nala, sepasang sahabat sejak sekolah
dasar. Mereka sudah terbiasa bersama,
hingga menganggap satu sama lain seperti
saudara. Mereka berdua memiliki hobi yang sama,
“baking” atau membuat kue. Namun, hanya Nala
yang mau menyicipi potongan kue hasil buatan
mereka karena Ami tidak boleh makan yang manis-
manis. Nala tidak tahu alasannya kenapa. Ami dan
Nala tak lupa membagikan potongan kue itu kepada
teman-teman mereka. Karena teman-teman Ami dan
Nala suka, mereka membujuk Ami dan Nala untuk
menjualnya. Terbukti bahwa kue mereka selalu laris
diserbu siswa lain.
Saat Ami dan Nala masuk ke jenjang
perkuliahan, mereka memutuskan untuk membuka
toko kue kecil-kecilan. Setiap pagi, mereka pergi ke
188
toko itu sebelum melakukan aktivitas lain untuk
membuat kue yang “fresh from the oven”. Aktivitas
itu mereka lakukan setiap pagi tanpa terkecuali. Sama
seperti saat SMA, kue mereka selalu ludes bahkan
kurang dari 12 jam. Pada suatu pagi Ami tak kunjung
berangkat hingga pukul 7. Tidak biasa bagi Ami
sudah berada di toko kue itu sejak pukul 6.
“Tumben Ami belum datang jam segini,” Nala
kebingungan sambil tetap membuat adonan kuenya.
Chat WhatsApp yang ia kirimkan pun tidak dibalas.
Hingga akhirnya jawaban tentang mengapa Ami tak
kunjung dating pun terbalas. Nada dering telepon
pintar Nala bersuara, dari Arman, ayah Ami. Nala
segera menerima panggilan tersebut.
“Ami meninggalkan dunia setelah berusaha
hidup dengan penyakit yang tidak diketahui olehmu.
Maafkan kesalahan Ami selama ini, Nala.”
(Amanda Mozza)
189