Ida bertanya, “Anak-anak foto siapa yang kalian lihat
di dalam kardus ini?”
“Foto saya, Bu!” seru anak-anak.
“Nah, berarti kalian semua adalah anak yang
rajin di kelas ini,” jawab Bu Ida.
Tentang Penulis
Anin Dwi Ratna, lahir di
Temanggung pada 13 Juni 1987. Saat
ini bekerja di Wonosobo. Anin
menyelesaikan pendidikan dasar di SD
Negeri Barang 1999, melanjutkan di
SMP Negeri 1 Jumo tahun 2002,
kemudian SMA di SMA Negeri 1 Parakan
Temanggung tahun 2005. Ia menempuh pendidikan
Diploma Dua di STAINU Temanggung jurusan
PGSDI/MI tahun 2007 mengambil jurusan
Pendidikan Guru Sekolah Dasar di Universitas
Terbuka 2014.
240
KERIKIL PONDASI RUMAH
Oleh: Anis Surofah
Rafa meletakkan tas sekolahnya dan segera
menuju dapur. Sebuah piring polos
berdiameter tujuh belas sentimeter dan
sebuah sendok yang terbuat dari stainless. Sebuah
entong nasi pun diraih guna mengambil butiran putih
di dalam penanak nasi.
“Umi, lauknya di mana?” tanyanya kepada ibu.
“Ada di meja makan, Le,” jawab ibu.
Sepiring nasi lengkap dengan lauknya, lahab
dimakan Rafa setelah mencuci tangan dan berdoa.
Kletuk, kletuk …
Terdengar bunyi dari mulut Rafa.
Merasa terganggu dengan bunyi tersebut, Rafa
mencoba mencari sumber bunyi tersebut dari
mulutnya. Ia korek dengan lidah makanan yang ia
kunyah. Selang beberapa detik ditemukanlah sebuah
241
kerikil. Rupanya ada kerikil yang tercampur dalam
beras yang dimasak hingga matang.
“Umi, ada batu di dalam nasi,” teriak Rafa
seraya mengadu.
“Kumpulkan hingga dapat tiga truk, Le! Nanti
bisa kita pakai untuk bahan pondasi rumah,” sahut ibu
sembari melontarkan senyum dan menyodorkan truk
mainannya untuk tempat kerikil yang telanjur masuk
ke dalam nasi.
Tentang Penulis
Anis Surofah, seorang guru
sekolah dasar di Desa Suci,
Kecamatan Manyar, Kabupaten
Gresik. Anis belajar menulis di
Komunitas Aksara Bermakna
yang dikomandoi oleh Kak Usrotun Hasanah dari
Wonosobo. Pada kesempatan ini, Anis mencoba
menulis cerita mini yang merupakan pengalaman
keduanya setelah menulis puisi. Anis siap melalui
segala proses untuk menjadi penulis yang baik dan
menghasilkan buku-buku yang bermanfaat.
242
ALHAMDULILLAH, SAH
Oleh: Anisa Endah
“Saya terima nikahnya Aini Fatmawati binti
Sudjiwo dengan mas kawin tersebut dibayar
tunai.”
“Sah!”
“Sah!”
“Sah!”
Para saksi dan hadirin bersahutan mengucap
kata yang sama sah dan Alhamdulillah.
“Selamat,” ucap salah seorang sahabat padaku.
Kupandang wanitaku sekali lagi. Begitu cantik
dengan riasan pengantin dan gaun akad putih suci.
“Selamat sudah lulus jurusan jagain jodoh
orang, Bro.”
Mendengar itu, aku hanya sanggup tersenyum
kecut. Ya, wanitaku bukanlah milikku lagi. Seorang
lelaki baru saja mengikatnya dengan ikatan suci yang
243
diridai Sang Ilahi. Dan, aku hanyalah pecundang yang
masih menyesalkan, mengapa tidak dari dulu aku
halalkan, sebelum lelaki lain datang melayangkan
lamaran dan menawarkan kepastian?
Tentang Penulis
Anisa Endah Febriani, gadis asli Banjarnegara,
pengagum langit, salju, dan semesta. Lahir 20 tahun
lalu pada 27 Februari 2002. Mencintai dunia literasi,
serta penikmat secangkir kopi di malam hari.
Jejaknya bisa dilacak di akun Instagram
@snowflakesofthebluesky atau facebook Anisa
Endah. Tulisan absurdnya bisa diintip di akun
Wattpad @NaufalHabibie.
244
PEMANDANGAN
Oleh: Anisa Fitrianingtyas
Hari ini, untuk pertama kalinya aku bisa
melihat dunia luas tanpa ada halangan. Aku
bisa memandangi murid-murid Karto yang
duduk rapi di dalam kelas. Tak seperti apa yang
dibayangkan, kelas itu cukup ramai. Biasanya aku
hanya mendengar suara Karto menggema di langit-
langit kelas.
“Bapak ulangi sekali lagi, ya. Dalam sebuah
resistor ada empat gelang,” ujar Karto sambil
menghadap ke sebuah papan berwarna putih.
“Iya, Pak,” jawab murid-murid serempak.
“Coba Lina, apa saja warnanya?” tanya Karto.
Murid yang bernama Lina hanya tersenyum.
Karto menggaruk kepalanya yang tidak gatal,
kemudian membuka buku panduan di atas meja.
245
“Coba Lina dibaca, halaman dua puluh lima,”
kata Karto.
Murid yang bernama Lina itu lalu membaca
keras-keras sambil beberapa kali menahan tawanya.
Entah apa yang murid ini tertawakan, setiap kali aku
keluar. Setelah beberapa menit pembelajaran
berlangsung, Karto menyampaikan kembali pidato
yang dia sampaikan tadi di lapangan upacara.
“Jadi, bapak hanya ingin memberi pengertian
pada Anda semua kalau dilarang melempar barang ke
atas atap, mengerti kalian?” kata Karto sambil
mengangkat tangannya.
Aku bisa melihat dengan jelas, anak didik Karto
cekikikan. Tiap Karto mengangkat tangannya dan aku
terlihat.
“Bapak tahu, seusia kalian memang hobi
bereksplorasi, tapi tolong genteng-genteng itu
menjadi pecah, ada ban sepeda di atas atap, ada
sempak juga, bapak bingung dengan kalian,” lanjut
Karto semakin bersemangat.
Karto melanjutkan orasinya sambil terus
menerus membuatku bisa bernafas dan melihat
dengan bebas. Bel berdentang, saatnya pelajaran
berganti. Karto membuatku semakin basah dan aku
bisa merasakan senyumnya mengembang.
246
Kebahagiaan Karto hanya semu, ketika seorang anak
perempuan menghampiri Karto di ambang pintu.
“Maaf, Pak. Mohon maaf sebelumnya,
mengganggu Bapak,” kata anak perempuan itu ragu.
“Ada apa, Nak?” tanya Karto.
“Anu, Pak. Sebaiknya Bapak jangan
mengangkat tangan,” kata anak itu setengah berbisik.
“Memang mengapa, Nak?” kata Karto.
“Anu, Pak... anu,” kata anak perempuan itu
ragu.
“Tidak mengapa, katakan saja, Nak. Bapak siap
mendengarkan,” kata Karto lagi.
“Anu, Pak... ketiak Bapak sebelah kanan
bolong,” bisik anak itu.
“Sejak kapan?” tanya Karto.
“Sejak upacara bendera tadi, Pak,” kata anak
perempuan itu kemudian berlalu.
Aku terkejut, kebebasan melihat aneka
pemandangan sekolah terenggut akibat perkataan
anak perempuan tadi.
247
Tentang Penulis
Anisa Fitrianingtyas.
Perempuan penyuka buku ini lahir
5 Maret di Sragen. Menyelesaikan
pendidikan S-1 di sebuah
Perguruan Tinggi Negeri di
Semarang. Tinggal di Tandang,
Tembalang, Semarang. Mulai
menulis sejak kematian menyapa adiknya. Admin
cadangan Semarang Hobby, Drone and Service
Centre. Beberapa pemikirannya dapat dibaca di
instagram @thesocasstory.
248
ANANTARA
Oleh: Annisa Aurelia Shafira
Matahari mulai tenggelam. Udara sejuk
terasa sore itu. Rama, pria berumur 30
tahun sampai di rumahnya setelah pergi
bekerja. Ia sudah sangat rindu pada kehangatan di
rumahnya.
“Ana, ayah pulang, Nak. Ayo, ayah buatkan
nasi goreng kesukaan kamu.”
“Iya, Ayah. Ana tunggu nasi gorengnya, ya!”
seru Ana.
Dengan senang hati ia membuatkan nasi goreng
untuk putri kesayangannya. Tak lama setelah itu nasi
goreng Rama pun siap disantap.
“Putri ayah, nasi gorengnya sudah jadi. Ayo,
kita makan bersama.”
Di malam itu mereka pun menikmati nasi
goreng bersama di ruang makan sederhana mereka.
249
Terdengar suara ayam berkokok, hangatnya
matahari menyelimuti kedua penghuni rumah itu.
“Selamat pagi, Ana. Hari ini ayah pulang sore
lagi, ya, Nak,” sambutnya.
“Siap, Ayah. Oh, iya, jangan lupa membelikan
Ana tirai bermotif bunga, ya.”
“Baik, putri cantikku.”
Kala waktu menunjukkan sore hari, Rama
bergegas pulang ke rumahnya dengan membawa
plastik berisikan tirai permintaan Ana.
“Ana, Ayah pulang! Ini yang kaupinta sudah
ayah bawakan.”
“Hore… terima kasih Ayah ganteng!” seru
gadis cilik itu.
Rama tersenyum lebar melihat Ana yang
kegirangan. Pemandangan yang ia saksikan saat ini
adahal hal indah dalam hidup Rama. Sebagai seorang
ayah, setiap menit, setiap detik ia terbayang-bayang
akan paras cantik putrinya yang membuat rasa rindu.
Ya, paras cantik Ana menurun dari ibunya, sosok
yang berhasil mendapatkan hati Rama. Namun, naas
istrinya meninggalkan mereka pada saat Ana
dilahirkan. Itulah mengapa kebahagian putrinya
adalah yang terpenting saat ini.
Tibalah hari itu, betapa campur aduk rasanya
Rama akan menyambut hari itu. Bagaimana tidak?
250
Tepat 10 tahun lalu ia menangis bahagia menyambut
malaikat kecilnya lahir ke dunia. Namun, pada saat
itu juga ia menangis pilu kehilangan bidadarinya, ibu
dari Ana. Rama sangat membenci dunia karena ia
merasa dunia mempermainkannya.
Gelisah, gundah, itulah yang Rama rasakan hari
ini. Terlintas dalam benaknya untuk mengunjungi
suatu tempat. Di tengah perjalanan dilihatnya penjual
boneka yang menarik perhatian. Ia pun memutuskan
untuk membeli boneka kelinci berwarna merah muda.
“Pak, saya beli boneka kelinci itu satu, ya, Pak.”
“Baik, Mas, pasti bonekanya buat anak Mas,
ya.”
“Ah, tidak, Pak. Anak saya sudah meninggal
satu tahun lalu.”
Hatinya teriris bila mengatakan hal ini. Tak
banyak yang ia pikirkan, akhirnya ia segera
melanjutkan perjalanannya.
Disapanya tempat itu, “Selamat pagi istriku
yang cantik dan Ana putri kesayangan ayah... kalian
apa kabar? Ayah sangat merindukan kalian, rumah
kita terasa sepi tanpa kalian,” ucapnya.
Sambil mendekap boneka yang ia beli, tangisan
pria berumur 30 tahun itu terdengar di depan kedua
nisan yang ditaburi bunga. Semasa hidupnya ia
menyesal tidak pernah menyayangi putrinya, ia tidak
251
pernah membuatkan nasi goreng kesukaan Ana, ia
tidak pernah membelikan tirai permintaan Ana,
bahkan ia juga tidak pernah merayakan ulang tahun
putrinya itu. Setiap malam ia merasakan sesak, rasa
menyesal. Ia membenci dirinya sendiri bagaimana
bisa ia gagal menjadi seorang ayah. Sudah biasa
baginya mendengar cacian bahwa ia seperti orang tak
sadar. Dalam kehidupan sehari-hari, Rama bertindak
seakan ia masih bersama putrinya. Ia selalu berharap
keajaiban datang dan waktu bisa terulang kembali.
Sudah saatnya ia merelakan semuanya.
“Ayah sayang kalian. Istriku dan Anantaraku.”
***
Tentang Penulis
Annisa Aurelia Shafira atau kerap dipanggil
Sasa merupakan penulis dari cermin berjudul
“Anantara”. Lahir di Salatiga, 28 Juni 2006. Ia adalah
anak pertama dari dua bersaudara. Saat ini ia berada
di bangku SMA kelas 10. Hobinya adalah menari dan
membaca buku.
252
KUNJUNGAN RUMAH
Oleh: Annisa Citra Sparina
“Assalamualaikum...,” ucap Bu Atun sambil
mengetuk pintu.
Takada jawaban.
“Assalamualaikum... Seli..., Seli....” Bu Atun
kembali mengulang salamnya. Kali ini dibarengi
dengan mengetuk pintu lebih keras dari sebelumnya.
Aku mengintip, menerawang lewat jendela,
berusaha menangkap keadaan di dalam rumah. Yang
membuatku heran, rumah gedongan seperti ini tidak
dipasang bel, menyusahkan tamunya saja.
“Eh, Bu, di dalam ada orang, lho,” kataku
ketika melihat sekelebat pergerakan seseorang di
dalam. Sepertinya dia Seli, murid yang ingin kami
temui.
Hampir tiga minggu Seli tidak masuk sekolah
tanpa keterangan. Aku selaku wali kelasnya sudah
253
jenuh mendengar keluhan dari beberapa guru.
Sebagian besar guru bercerita bahwa dia tidak pernah
memperhatikan saat kegiatan belajar berlangsung.
Tatapannya kosong, seperti memikirkan hal lain di
luar pelajaran. Tak hanya itu, tugas-tugasnya pun
banyak yang belum dilengkapi.
“Seli! Seli! Bukakan pintu! Ibu tahu kamu ada
di dalam!” teriak Bu Atun. Beliau ini guru BK yang
memang terkenal dengan suara lantang dan tegas
menindak siswa jika kurang disiplin.
“Seli, kami ingin bertemu denganmu. Tidak
usah takut! Tolong bukakan pintu, ya, Nak!” timpalku
mencoba membujuk.
Tak lama kemudian terlihat Seli berjalan
menuju pintu. Membukakan pintu, mempersilakan
kami masuk dan duduk. Kuamati keadaan, rumah
mewah ini tampak tak terawat. Mungkin Seli dan
ibunya kurang bisa menjaga warisan ayahnya ini.
Pabrik olahan carica peninggalan sang ayah juga
dikabarkan gulung tikar karena manajemen yang
buruk.
“Seli, ke mana saja kamu selama ini? Tidak ada
kabar sama sekali! Ditelpon dan di-chat tidak ada
respon, sementara kamu sedang online. Teman dan
guru yang berusaha menghubungimu kauhiraukan!”
Bu Atun menginterogasi.
254
Seli yang duduk di depanku hanya menunduk
dengan tatapan kosong seperti biasa.
“Ayo, ganti baju, kita ke sekolah sekarang.
Teman-temanmu sedang mempersiapkan diri untuk
penilaian tengah semester minggu depan,” ajakku.
Masih menunduk, Seli menggeleng.
“Hah, maksudnya apa? Tidak mau sekolah?
Mau jadi apa kamu?” ucap Bu Atun dengan nada
tinggi.
Aku masih mencoba bersabar dengan Seli yang
hanya menunduk sepanjang kedatangan kami.
“Ibumu di rumah, atau sedang nge-job?”
tanyaku.
Ibunya cantik, seorang penari lengger idola.
Aku bertemu saat pengambilan rapor semester lalu.
“Di rumah,” jawab Seli dengan lirih, sambil
berpaling meninggalkan kami menuju sebuah ruang.
Kurasa dia akan memanggil ibunya untuk menemui
kami.
Kemudian samar terdengar isak tangis dari
dalam. Sesaat aku dan Bu Atun saling pandang. Aku
menyusul Seli masuk ke ruangan yang ternyata
adalah sebuah kamar.
“Ibu sedang sakit, sudah satu bulan lamanya,”
Seli mencoba bercerita padaku dengan terisak berat.
255
Tangis Seli makin kencang, membuat Bu Atun
berlari menuju tempat kami berada. Kupeluk Seli,
berusaha menenangkannya.
Bu Atun mendekat ke arah ibu Seli yang sedang
menggigil kejang. Kemudian dituntunnya ibu Seli
mengucap kalimat tauhid, “Laa ilaaha illallaah....”
“Innalillahiwainailaihirojiun....” Kudekap Seli
erat.
Tentang Penulis
Annisa Citra Sparina, perempuan
yang akrab disapa dengan Bu Citra ini
adalah seorang guru sekolah
menengah pertama di Kabupaten
Wonosobo. Perempuan kelahiran
1990 ini menamatkan studi S-1
Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Negeri
Semarang. Ia pernah beberapa kali memenangkan
lomba menulis, tetapi vakum beberapa saat karena
kesibukannya. Melalui cerita mini pertamanya ini, ia
mencoba membangkitkan kembali hobi menulisnya.
Pembaca bisa lebih dekat dengan penulis lewat akun
media sosial instagram miliknya yaitu @citrasparina.
256
GADIS IMPIANKU
Oleh: Antok Dany Santoso
Saat tiba di warung makan, kucoba melihat
makanan yang ada di pajangan. Perut yang
terasa lapar kucoba memesan makanan yang
paling pojok kanan. Itu adalah makanan kesukaanku,
sambal telur dan tempe. Tidak lupa aku memesan
segelas kopi hitam agak pahit.
Setelah kunikmati makanan yang disuguhkan
penjual, sambil makan kubuka saku tas, kuambil
handphone. Sambil kulihat status di WA dan
menunggu balasan WA gadis yang baru kukenal dua
hari yang lalu.
Sambil makan alangkah gembiranya aku,
melihat WA sudah dibaca dan mulai membalas.
Tidak lama nasi habis. Kulanjutkan ngopi dan
membaca balasan WA dari gadis itu.
257
Aku lagi di rumah, Mas, sebentar lagi juga mau
keluar mencari makan.
Aku semakin semangat membalas pesan dari
gadis tersebut.
Rasa kopi pahit membawaku fokus
berkomunikasi dengan gadis yang baru kukenal.
Sesekali aku senyum sendiri.
“Nang, kok ngguya ngguyu wae,” kata penjual
nasi
“Iya, lagi senang,” jawabku jujur.
Tidak lama kemudian datanglah seorang gadis
ke warung tersebut. Dari jauh kelihatan kalau dia
gadis yang baru saja WA aku. Kuperhatikan dari jauh
ia semakin mendekati warung ini. Aku semakin
gugup. Kok dia tahu aku, batinku.
Aku membuka minyak wangi, kusemprotkan
ke bajuku.
“Ehem, ehem.” Sesekali penjual nasi
berdeham, meledekku.
Sampailah gadis itu di depan warung. Dan, dia
disambut laki-laki tua botak. Mereka masuk mobil.
Aku hanya bisa melotot. Seketka badanku loyo dan
lemas.
258
KARENAMU
Oleh: Anzalna
Malam itu adalah malam yang paling buruk
sepanjang hidupku. Malam itu adalah
malam yang mengubah semuanya. Malam
yang membuatku menjadi orang yang berbeda.
Namaku Reza Trisakti, remaja yang duduk di
bangku SMA, kelas 11. Aku pernah memiliki seorang
teman, teman yang sangat baik. Lebih dari baik,
namanya Arseka Tarzea, biasa dipanggil Seka.
Hari itu, sepulang sekolah Seka mengajakku
untuk pergi ke mal. Dia tidak membawa kendaraan
sendiri, dia memboncengku.
Sesampainya di tempat parkir, Seka berkata,
“Za, kalo aku sampe kenapa-napa, kuharap kamu
bisa nemuin kebahagiaan lain. Jangan sama aku
terus,” kata Seka.
259
“Apa sih Seka? Astaga, alay tahu!” Kujawab
dengan percaya diri.
Setelah ketidakjelasan Seka, kami akhirnya ada
di perjalanan. Semuanya berjalan lancar sesampainya
kami di mal. Aku menyuruh Seka turun dari motor
sejenak, sedangkan aku mencari tempat untuk parkir
di basement. Tiga puluh detik kemudian, aku
mendengar suara BRUKK.
Setelah kuparkir motorku aku langsung menuju
sumber suara kencang dari atas. Kaget dan takutnya
aku, ternyata suara itu berasal dari Seka yang
tertabrak mobil Alphard dengan kecepatan lumayan
kencang.
Seka terjatuh telentang di lantai, tidak berdaya,
dan badannya berdarah. Aku langsung lari
mendatanginya, mengangkat kepalanya, dan teriak.
“Telpon ambulans! Apa yang kalian tunggu?”
Orang di sekitar ricuh menelpon ambulans sat
per satu hingga akhirnya setelah 6 menit ambulans
datang.
Mal yang kami tuju tidak jauh dari rumah sakit.
Aku mengikuti mobil ambulans dari belakang,
mengendarai motor dan diikuti mobil Alphard yang
tadi menabrak Seka.
“Kenapa sih mobil itu ngebut di parkiran?
Nggak hati-hati banget!”
260
Sesampainya di rumah sakit, Seka langsung
ditangani oleh dokter. Aku dan pengemudi mobil tadi
menunggu di ruang tunggu. Kuperhatikan orang itu
kurang lebih berusia 40 tahun.
“Pak, tadi kenapa ngebut di tempat parkir?
Bukannya di situ ramai orang? Mengapa Bapak tidak
waspada sedikit pun?” tanyaku kesal.
Aku ingin bertanya lebih kepadanya, tapi
melihatnya panik dan takut, kuurungkan niatku.
Setelah menunggu sekitar 17 menit, dokter
yang menangani Seka keluar dari kamar periksan.
Aku menyambutnya dengan penuh harapan dan
kekhawatiran.
“Maaf, kami sudah berusaha semampu kami,”
ucap dokter.
“Hah? Pak? Bapak bercanda? Tabrakan tadi
tidak terlihat separah itu, Pak,” ujarku panik dan
terkejut.
“Iya, kau benar, kecelakaan tersebut tidak
mengakibatkan luka fatal, tetapi kanker pada otaknya
sepertinya sudah parah.”
“Nggak mungkin! Kenapa dia tidak bilang
kepadaku?”
Aku teringat kata-kata yang Sela ucapkan
sebelum kami ke mal. Tenyata kata-kata itu bukan
261
gurauan. Badanku lemas, aku tidak bisa berkata kata
lagi.
Mengingat kata-kata Seka, aku mendapat
sedikit pencerahan. Meski susah, aku harus bangkit
lagi. Meski masih lemas, aku mencoba duduk di kursi
ruang tunggu.
Seka, karenamu aku masih semangat, karenamu
aku kuat.
Tentang Penulis
Anzalna Jagad Raul Tertiade
adalah seorang pelajar di SMA Negeri
1 Salatiga. Lahir di Salatiga pada
tanggal 14 Oktober 2006. Hobi yang
selama ini digelutinya adalah basket,
badminton, dan mendengarkan musik.
262
KEBINGUNGANKU
Oleh: Apri Rarasati
Tak terasa memasuki bulan Oktober minggu
kedua. Pada tahun-tahun sebelumnya bulan
Oktober masih musim kemarau, tetapi
sekarang sudah mulai hujan. Hujan datang setiap hari
dari pagi sampai malam. Tiada hari tanpa hujan.
Matahari yang biasanya muncul kini enggan keluar.
Setiap orang rindu akan hadirnya sinar matahari.
Rintikan hujan selalu setia turun setiap hari. Jarum
jam menunjukan pukul 04.30. Saatnya aku bergegas
melaksanakan rutinitas pagi. Padahal biasanya aku
bangun lebih awal. Mungkin karena hujan semalam
suntuk dan cuaca yang dingin sehingga aku tertidur
pulas. Seperti biasa aku melanjutkan aktivitas pagi
menyiapkan segala keperluan keluarga kecilku.
Mulai dari menyiapkan makan pagi, keperluan suami,
263
keperluan anak-anak, dan tak lupa keperluanku
sendiri.
Aku bekerja sebagai tenaga pendidikan di salah
satu sekolah negeri di kota pengunungan Jawa
Tengah.
Aaaa…
Terdengar suara tangisan anak salihahku.
Padahal aku baru saja mau mulai rutinitas pagi, tapi
anak salihah sudah bangun. Sedangkan anak salehku
masih tidur karena kebetulan hari ini sekolahnya
libur. Anakku yang kedua umurnya belum genap 2
tahun. Ia masih menyusu. Kuneneni putri salihahku
terlebih dahulu. Setelah beberapa menit ia terlihat
sudah kenyang. Ia pun kusambi menyelesaikan
rutinitas pagi yang sempat tertunda.
Seperti biasa ada beberapa pekerjaan pagi yang
harus aku selesaikan bersama suami sebelum kami
berangkat kerja. Sebetulnya ada asisten rumah tangga
yang membantu, tetapi pekerjaan yang bisa kami
selesaikan, kami sepakat selesaikan dahulu.
Pukul 06.00 anak salehku bangun. Hari ini ia
libur karena ada kegiatan rapat di sekolahnya. Aku
pikir anak saleh akan bangun siang, tapi ternyata
bangun lebih awal. Anak-anak bermain bersama, ini
kesempatan emas bagiku untuk mandi.
264
Pagi hari serasa jam berjalan dengan cepat
sekali. Waktu menunjukkan pukul 06.15. Artinya,
aku segera siap-siap berangkat kerja karena jarak
tempuh rumah ke sekolah yang lumayan jauh sekitar
30 menit. Memang agak jauh, tetapi jalan yang halus
jadi tidak terasa jauh dan aku sudah terbiasa jadi
serasa biasa.
Aku sudah bersiap mengenakan seragam dan
siap untuk berangkat. Dan kebetulan asisten rumah
tangga sudah datang. Seperti biasa aku berpamitan
kepada suami dan anak-anak. Suami juga sudah
bersiap untuk berangkat kerja. Aku dan suami bekerja
seprofesi cuma berbeda jenjang dan berbeda daerah.
Aku berpamitan dengan anak saleh, lalu dengan putri
salihahku. Putri salihahku menangis kencang. Ia
minta ikut aku, padahal waktu sudah mepet sekali.
Jujur aku berada pada posisi bingung, apakah aku
menggendong putri salihahku terlebih dahulu atau
membiarkan putri salihahku menangis? Aku bingung
mana yang harus aku korbankan.
265
Tentang Penulis
Apri Rarasati, S.Pd., ibu rumah
tangga yang mempunyai 2 anak juga
menjadi Tenaga Pendidik di SMP
Negeri 5 Kepil Kabupaten Wonosobo,
Jawa Tengah. Suka membaca cerita dan
novel dan mulai belajar menulis cerita.
266
DI PERSIMPANGAN INDOMARK
Oleh Aprilia Eka W.
“Aku tunggu di persimpangan Indomark,
ya, Mas,” pesannya.
Malam telah naik. Tidak dingin, justru
gerah. Sesuai janji, kami bertemu di tempat itu, yang
disebutnya sore tadi.
“Malam ini ke mana, Mas?” tanyanya manja.
Perlahan, tangannya melilit perutku.
“Hmm, maunya ke mana?”
“Ke mana saja asal sama kamu, Mas.”
“Ya, sudah, sambil dipikir kita putar-putar dulu.
Sudah makan?”
“Sudah. Mas belum makan?”
“Sudah.”
Kubelai lembut jemarinya. Dia semakin
mengeratkan pelukannya di lingkar pinggangku.
“Mas, ke penginapan saja,” bisiknya merayu.
“Tidak apa-apa?”
267
Aku ingin memastikan. Jangan sampai terjadi
masalah setelah ini.
“Hari ini, Mas Tyok dinas malam. Tapi besok
pagi-pagi sekali antarkan aku pulang ya, Mas.”
“Iya, Sayang.”
Dia bergelayut mesra di punggungku.
Terkadang, karena sikap manjanya seperti ini aku
berdebar. Tidak seperti wanita lainnya, yang datang
lantas tertidur setelah kelelahan, lalu pergi usai
melunasi kewajibannya. Dia berbeda.
Dia selalu membacakan dongeng sebelum tidur
untukku. Lalu terlelap, saling berpelukan, seperti
sepasang kekasih pada umumnya. Intim.
Pukul 4, pagi hari, di persimpangan Indomark.
Aku menurunkannya di situ. Tempat yang sama, tiap
kali kami berjumpa.
“Terima kasih, Mas,” ucapnya diiringi sebuah
kecup manis di pipiku.
“Minggu Mas ke rumah. Arisan keluarga besar
bulan ini di rumahmu ‘kan? Aku sama Nana datang.”
“Iya, Mas mau menu apa? Nanti aku buatkan,
sesuai selera Mas.”
“Terserah, apa pun buatanmu, Mas suka.”
Kami berpisah, di persimpangan Indomark, di
pagi yang sejuk.
268
KANAN DAN KIRI
Oleh Aprilia Eka W.
Ira dan Hadi berjalan pelan melewati gang kecil
perkampungan padat yang kanan kirinya terdapat
selokan kecil, baunya menyengat hidung. Jalan
paving menjadi saksi berat langkah mereka setiap
harinya. Tidak banyak percakapan. Hanya suara
langkah kaki keduanya atau riuh anak-anak kecil
bermain di jalanan ditemani ibu-ibu yang sibuk
berdiskusi tentang sinetron kemarin malam.
Mentari menunjukkan meganya yang teduh.
Terangnya tidak terlalu menusuk seperti siang tadi
tapi masih terasa gerah. Hadi mengusap keringat yang
mulai menetes di pelipisnya. Ira melirik sedikit,
dengan sigap mengambil tisu di saku terluar tasnya.
Hadi menerima dengan senang.
“Terima kasih!” Senyum keduanya sama-sama
mengembang.
269
Jalan masih panjang. Ira sedikit bertanya
tentang hari ini kepada Hadi. Hadi menjawab dengan
ceria. Ira menyimak antusias. Kemudian, Hadi
melengos jika pembicaraan sudah tidak ada lagi, Ira
terdiam.
Meski begitu, keduanya sangat menikmati
waktu mereka. Setiap pagi dan sore, mereka saling
menunggu agar bisa berangkat dan pulang
berbarengan. Kira-kira sudah 10 tahun begini. Warga
sekitar pun sudah hafal dengan kedekatan mereka.
“Sahabat sejati,” kata mereka.
Tai kucing! Begitu pikir Hadi.
Amarah selalu memuncak dalam dadanya
ketika mendengar itu. Tubuh cekingnya menegang,
bisa terlihat dari lekukan urat-urat yang menonjol di
lengannya. Belum lagi rahang kotaknya yang
semakin kaku menahan gemeretak gigi.
Ira yang selalu tahu akan hal itu berusaha
tersenyum semanis mungkin, menenangkan Hadi.
Sorot matanya yang lembut perlahan mampu
meredakan emosi Hadi.
Jalanan gang semakin terasa sempit ketika
menemui ujungnya, mentok di pos kamling. Di
tempat itu, Ira dan Hadi selalu bertemu dan berpisah.
Arah mereka selalu berbeda. Ira ke kanan, Hadi ke
kiri
270
Mereka berhenti sebentar dan saling bertatapan.
Mata Ira yang sendu membuat Hadi merasa bersalah,
lagi. Hadi menyampirkan jaket, mengeluarkan
sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah permen, warna
merah muda, rasa stroberi dan susu. Kedua sudut
bibir Ira membentuk cekungan manis membuat
jantung Hadi berdegup kencang.
Pemandangan luar biasa, batin Hadi.
“Nanti malam, makan permen saja kalau lagi
lembur.”
“Iya, terima kasih, ya, Hadi.”
Keduanya salah tingkah. Namun, senyum
mereka kembali tenggelam mengingat sudah
waktunya berpisah. Anak-anak kecil beserta ibu
mereka sudah masuk ke rumah bersamaan
terdengarnya suara orang mengaji yang disiarkan
pengeras suara masjid. Membuyarkan aktivitas
warga.
“Ra, hari raya kapan?”
“Lusa. Kamu?”
“Besok.”
Keduanya mengangguk pelan dan berbalik
menuju ke jalannya masing-masing. Ira dan Hadi
menyeret langkah pelan dan berat. Rumah keduanya
jauh di ujung jalan yang berbeda.
Langit semakin temaram.
271
Sudah 10 tahun seperti ini. Malam selalu
menertawai mereka yang hanya dapat bertemu di pagi
dan sore hari. Serta, jalan sempit ini menjadi saksi,
bahwa kanan dan kiri adalah Ira dan Hadi.
***
272
TAMU ISTIMEWA
Oleh: Aprilia Eka W.
Pukul 08.16, rapat dimulai, jumlah peserta 58
orang.
Rapat diawali dengan pengantar oleh si
pembawa acara, dilanjutkan menyanyikan lagu
Indonesia Raya, beberapa menit sambutan oleh
orang-orang penting serta pembukaan oleh orang
yang jabatannya paling tinggi, dan terakhir adalah
pembacaan doa. Inti sesungguhnya, baru dimulai
kira-kira 17 menit setelah semua protokoler tersebut
dilaksanakan. Dengan cermat semua peserta
memperhatikan lembaran-lembaran bahan paparan
yang sudah disiapkan sebelumnya, rapi tertata di meja
masing-masing.
Selesainya pemapar menjelaskan detail, sesi
selanjutnya adalah tanya jawab dan diskusi. Jelas,
urutan akan dimulai dari perwakilan dinas yang
273
diundang terlebih dulu, kemudian si pemapar dan tim
akan menjawab sampai menemui titik penyelesaian.
Lalu, pejabat-pejabat penting yang akan mengakhiri
sesi tanya jawab.
“Saya ada sedikit pertanyaan.”
“Oh, silakan, Pak.”
“Baik. Setelah saya teliti, ada rencana
pembangunan jalan tol, ya?”
“Iya, Pak. Melewati beberapa kecamatan,
menghubungkan jalan provinsi.”
“Apaka itu tidak masalah melewati wilayah
hutan? Nanti pasti butuh izin atau surat penetapan
dari Kehutanan ‘kan?”
“Sebenarnya, bukan masalah serius, Pak.
Rencana ini sudah dikoordinasi dengan beberapa
pihak dan ke depannya bisa dilaksanakan
pengembangan mengikuti beberapa ketentuan khusus
agar tidak mengganggu kelestarian hutan. Serta jalur
yang dilewati tol ini berada di zona terluar hutan. Jadi
semuanya bisa berjalan sesuai rencana, Pak.”
“Hm … Tapi kalau bentuknya seperti itu, coba
tunjukkan petanya dan diperkecil. Nah, jalur yang di
situ ‘kan sepertinya malah kurang efisien sepertinya.
Maksud saya, kenapa tidak membuat jalur yang lebih
ringkas saja?”
“Tapi, Pak …”
274
“Bisa ‘kan kalau kita bikin jadi lebih pendek,
biar efisien. Jalan tolnya tidak usah melengkung
seperti itu, bisa ditarik garis lurus saja, jadinya ‘kan
tidak melewati wilayah hutan. Lebih mudah
urusannya.”
“Maaf, Pak. Penetapan rencana pengembangan
jalan tol ini sudah dibuat dari tahun-tahun
sebelumnya. Jadi …”
“Tapi belum sampai ke Pusat ‘kan? Baru mau
diurus toh, sesuai penjelasan Masnya tadi. Harusnya
bisa ini dirombak sedikit. Mumpung belum diusulkan
ke Pusat.”
“Rencana ini sudah masuk daftar usulan di
Pusat, Pak.”
“Ah, gampang. Bisa nanti kami bantu urusnya.
Minggu depan saya ke Pusat. Nanti saya sampaikan
usulan jalur tol yang baru. Bisa ‘kan hari Selasa depan
selesai?”
“Hm … tapi, Pak …”
“Justru lebih mudah kalau saya bantu di Pusat.”
“I-iya, Pak. Kami usahakan.”
“Bagus. Kalau begitu, silakan pertanyaan dari
yang lainnya.”
Aku, si notulen, yang duduk tepat di sebelah
pemapar, lantas berbisik pelan dan lirih.
“Mas, di jalur itu ada apa?”
275
“Ada industri besar. Makin ruwet kalau tidak
lewat hutan.”
“Kenapa kok ngotot sekali bapaknya? Masa
bapaknya tidak paham kondisi di sekitar itu?”
“Ssst. Di sebelah utara industri, ada rumah
beliau.”
Aku terbelalak. Kami masih diam-diam
berbisik samar.
“Kenapa Pak Bup mau rumahnya dilewati tol?
Apa tidak takut digusur?”
“Kompensasi.”
“Oh …”
Pukul 12.34, rapat selesai.
276
Tentang Penulis
Aprilia Eka W. Lahir dan besar
di Palangka Raya, adalah seorang ibu
dan pekerja lepas “urban planner.”
Tulisan pertama berupa puisi dimuat di
koran saat SMP. Karya tulis lainnya
meliputi naskah lakon “Panggung” dan
“Tulah” (dipentaskan Teater Tiyang Alit ITS tahun
2010 & 2011), cerpen Ikan Paus (sayembara antologi
cerpen Cempluk Aksara 2020), Sepuluh Ibu (Juara 1
Lomba Cerpen PEKI 2022), cerpen lainnya
diterbitkan Kalana Publishing (Penjara Sunyi, Jalan
Yang Asing, Memburu Hujan, Penunggang Kuda
Perang, Hormat untuk Jenderal, Kardus dan Botol
Plastik, Sekoci, dan lainnya). Penulis dapat dihubungi
melalui email [email protected].
277
BUNGKUSAN MISTERIUS
Oleh: Aprilia Ningrum
Hari ini, hari pertamaku masuk kerja di salah
satu perusahaan tekstil di Jogja. Dengan
penuh semangat aku bersama temanku yang
bernama Sandra berangkat dengan mengendarai
sepeda motor. Berhubung rumah kami berdekatan,
pagi itu kami memutuskan untuk berangkat bersama
dengan berboncengan.
“Semoga kita nanti sampai di perusahaan tidak
telat, ya, San!” ujarku saat di perjalanan.
“Semoga saja tidak Haura, kita ‘kan sudah
berangkat pagi-pagi dari rumah. Perkiraan lama
perjalanan kita tiga puluh menit. Jadi, nanti kita
sampai di perusahaan sekitar pukul 07.00 WIB. Kita
masih punya sisa waktu lima belas menit untuk
persiapan sebelum masuk ruang kerja.”
278
“Iya, San,” balasku sambil konsentrasi
mengendarai sepeda motor.
Sampai di tengah perjalanan, tiba-tiba kami
dikejutkan oleh kemacetan yang terjadi di
perempatan jalan raya yang kami lewati.
“Haura, kira-kira ada apa, ya? Jalannya kok
macet seperti ini? Tidak biasanya loh di daerah sini
macet seperti ini. Bisa-bisa kita nanti terlambat,”
gumam Sandra kebingungan.
“Aku juga heran, San. Ada apa, ya?” tanyaku.
Kami memutuskan untuk berhenti.
“Maaf, Pak. Mau tanya, ada apa, ya, Pak? Di
depan kok terjadi kerumunan hingga macet seperti
ini?” tanya Sandra kepada salah seorang yang berdiri
di pinggir jalan.
“Oh, itu, Nak. Di tengah jalan tepatnya di depan
kita itu, ada bungkusan misterius. Sekarang
bungkusan itu baru mau diamankan oleh petugas
keamanan. Mereka butuh kehati-hatian dalam
mengamankan bungkusan itu. Mereka curiga dengan
bungkusan itu. Diduga bungkusan itu adalah bom.
Wujudnya juga mencurigakan,” kata bapak itu.
“Waduh, menakutkan sekali, ya, Pak,” kata
Sandra sambil menunjukkan kegelisahannya.
279
“Iya, Nak, yang penting kita hati-hati saja,
semoga bom tersebut bisa segera diamankan oleh
petugas keamanan.”
“Iya, Pak. Terima kasih atas informasinya,”
kataku.
“Sama-sama, Nak.”
Kami melaju pelan-pelan melanjutkan
perjalanan. Terlihat jelas kerumunan yang terjadi di
depan kami, tepatnya di perempatan jalan tersebut.
Kami pun penasaran dengan keadaan tersebut.
Akhirnya kami memutuskan untuk berhenti sejenak
sambil mengamati kerumunan tersebut. Terdengar
suara petugas yang mengimbau orang-orang untuk
menjauhi benda tersebut.
“Ibu-ibu, Bapak-bapak, Saudara-saudara.
Mohon jangan mendekati bungkusan kotak itu, kami
mohon untuk segera menjauhinya karena kami
khawatir bungkusan itu adalah bom. Ayo, semuanya
segera menjauh dari lokasi ini.”
Empat petugas keamanan tampak serius dalam
menangani bungkusan yang diduga bom tersebut.
Bungkusan tersebut berbentuk kotak seperti kardus,
dibungkus kain bermotif kotak-kotak dan diletakkan
di tengah jalan tepatnya di perempatan jalan.
Saat petugas berusaha mengamankan benda
tersebut dengan beberapa alat khusus untuk
280
menjinakkan bom, tiba-tiba ada laki-laki paruh baya
mendekat dengan tergesa-gesa sambil berteriak.
“Permisi! Permisi! Saya mau lewat! Saya mau
mengambil barang saya yang tadi jatuh di perempatan
sini. Itu bungkusan saya, Pak. Saya tadi lewat jalan
ini, tapi ternyata bungkusan tersebut jatuh tanpa
sepengetahuan saya, Pak. Bungkusan tersebut isinya
baju-baju ibu saya yang mau saya bawa ke rumah
sakit,” kata laki-laki itu kepada petugas keamanan.
Sontak kami semua yang berada di situ kaget
dan tertawa karena apa yang kami duga salah,
ternyata bungkusan misterius itu milik laki-laki paruh
baya yang berisi baju yang terjatuh di jalan tersebut.
281
Tentang Penulis
Aprilia Ningrum, lahir di Bantul,
18 April 1988. Ia telah menyelesaikan
pendidikan S-1 jurusan PGSD di FIP
Universitas Negeri Yogyakarta pada
2010. Sejak 2011 sampai saat ini
Aprilia mengajar di SD Negeri 2
Lengkong Kecamatan Garung Kabupaten Wonosobo.
Menjadi orang yang selalu bermanfaat bagi orang-
orang di sekitarnya adalah harapannya. Menjadi
orang yang beruntung dunia akhirat adalah
impiannya.
282
PERSAHABATAN
Oleh: Aprilin
Betapa bahagianya hati Ani membaca
pengumuman SNMPTN yang tertera di
website. Serasa melonjak kegirangan. Hal
yang sepertinya tak mungkin terjadi akhirnya
terwujud. Alhamduliah, ibu tampak senang
mendengar cerita Ani.
“Ani, syukurlah kamu diterima di Fakultas
Kedokteran UI sesuai cita-citamu.”
Ani mencium tangan ibu, tampak riang sekali.
“Terima kasih doa dan semangat dari Ibu.”
Ani putri satu-satunya yang tinggal bersama
ibu. Di SMA dia memilih jurusan MIPA. Ia berharap
dapat masuk kedokteran. Hal yang membahagiakan
dan menyedihkan karena harus berpisah dengan
ibunya dan Lita, sahabatnya.
283
Lita sahabat Ani sejak SMP. Lita selalu
menemani Ani dalam keadaan suka maupun duka.
Lita diterima di Fakultas Ilmu Budaya Unair melalui
jalur SBMPTN. Mereka bergembira mendapatkan
tempat kuliah yang diinginkan.
Tak terasa air mata Lita dan Ani menetes,
mengingat mereka akan berpisah. Mereka tinggal di
Sidoarjo, Jatim. Pasti untuk bertemu dapat dilakukan
jika mereka libur semester. Mereka saling berpelukan
serasa tak ingin melepas, kesedihan mulai tampak di
wajah mereka.
“Aku tak ingin berpisah sama kamu, Ani,” kata
Lita sambil sesengukkan mengusap air mata.
“Aku juga.” Ani menjawab lirih.
Setelah bertemu dengan Lita, Ani pulang
dengan berjalan kaki. Pikirannya melayamg
memikirkan akan berpisah dengan sahabatnya.
Teet… teet…
Terdengar suara klakson mobil. Tiba-tiba
semuanya menjadi hitam dan gelap bagi Ani. Saat ia
membuka mata, di sekelilingnya terlihat gelap. Hanya
terdengar suara-suara orang-orang yang tidak
dikenal.
“Di mana saya? Kenapa semua gelap?”
“Kamu di rumah sakit karena tertabrak mobil.”
284
“Oh…,” keluh Ani, “mengapa semua gelap?”
lanjutnya.
“Kepalamu terkena benturan sehingga saraf
penglihatan yang berada di belakang saraf bola mata
terganggu.”
Dunia seakan runtuh bagi Ani setelah
mendengar penjelasan tadi.
Setelah itu terasa Ani merasakan pelukan ibu
yang hangat, tak terasa menetes air matanya jatuh.
“Ibu, sampai kapan Ani seperti ini, Bu?”
“Sabar, anakku, Allah akan mendengar doa-
doamu.”
Hari-hari demi hari dilalui dengan kesedihan
dan duka yang mendalam bagi Ani. Saat masuk
kuliah pertama kali sebagai MABA yang sangat
diharapkan di kampus tercinta UI gagal sudah. Cita-
cita menjadi dokter tidak mungkin terwujud.
Sahabatnya Lita setiap hari berkunjung untuk
menguatkan semangatnya. Ada kesedihan dan ada
gembira karena mereka masih bisa bersama. Tidak
terpisahkan jarak dan waktu. Kesedihan dirasakan
mereka berdua karena cita-cita yang diharapkan
teman dekatnya tidak dapat tercapai.
285
Tentang Penulis
Aprilin Astuti dan tinggal di
Sidoarjo, mempunyai media sosial
Instagram aprilin_astuti dan
mempunyai email
[email protected].
286
GATE 13
Oleh: Ari Etsoe
Marni mengedarkan pandangannya ke
sekeliling lapangan. Tampak sekali para
penonton begitu antusias sementara
pertandingan bola belum dimulai. Sebenarnya dia
enggan datang ke stadion pada saat pertandingan bola
dari kesebelasan favorit, tapi apa mau dikata.
Kekasihnya memaksanya untuk ikut. Karena Wiga
merupakan koordinator lapangan supporter
kesebelasan kotanya. Bukan berarti kedatangannya
kali ini dengan mudah mengikuti ajakan Wiga, tetapi
selama tiga hari setiap bertemu selalu berdebat antara
ikut dan tidak sampai akhirnya Marni bosan menolak
ajakan kekasihnya itu. Kalau tidak sedang berlaga sih
Marni selalu menemani Wiga nonton kesebelasan
favorit kotanya ini. Namun, Marni tidak pernah mau
jika kesebelasannya main dalam sebuah even liga.
287
“Ni, kamu duduk di sini dulu, ya. Aku mau
koordinasi dengan tim kecil supporter,” kata Wiga
tepat di telinga Marni karena riuhnya penonton
menyebabkan suara sangat bising.
Marni hanya mengangguk dan memandang
Wiga yang turun dari tribun.
Sampai peluit tanda dimulainya pertandingan
Marni tidak melihat Wiga kembali ke tribun
tempatnya duduk. Dilihatnya tampak Wiga duduk di
barisan depan dengan beberapa tim supporter
komunitasnya yang sedang memainkan genderang
penyemangat.
Suara supporter ketika bola masuk ke gawang
seperti hendak merobohkan stadion ini. Marni mulai
bosan melihat permainan yang memang tidak
disukainya itu. Jadi, untuk menghilangkan kejenuhan
dia mulai memperhatikan sisi-sisi stadion yang
dianggapnya menarik. Sesekali dia dikejutkan dengan
suara teriakan atau lompatan penonton di samping
kiri dan kanannya. Kata-kata kecewa kadang juga
Marni dengar dari bangku belakangnya.
Kembali Marni mengedarkan pandangannya
ke sekeliling stadion. Pandangannya kini terpaku
pada tulisan besar pada dinding tembok stadion. Exit
Gate 11, Exit Gate 12. Tulisan itu ada di sisi kiri
Marni duduk. Kini dia mengarahkan kepalanya ke
288
arah kanan. Dilihatnya tulisan Gate 13 berada tepat di
sisi kanan barisan dia duduk. Oh, jadi nanti di situ
jalan keluarnya, gumam Marni dalam hati.
Tiba-tiba ada pengumuman permainan akan
berakhir 15 menit lagi. Tanpa sengaja Marni melihat
ke arah Exit Gate 13. Tampak beberapa panitia di
depan Exit Gate 13. Entah kenapa tiba-tiba Marni
bangkit dan menuju ke Gate 13. Sesampai di depan
lorong Marni menaiki tangga. Salah satu dari lima
orang panitia di situ mendekatinya.
“Mbak mau keluar? Pintu masih belum dibuka,
Mbak. Sepuluh menit lagi baru dibuka,” jelas panitia
itu.
“Iya, tidak apa-apa saya tunggu di sini, takut
kejebak nanti,” Marni memberikan alasan.
“Sudah buka sajalah, sudah berlangsung kurang
lima belas menit,” kata salah satu panitia menyuruh
temannya untuk membuka pintu Gate 13.
Akhirnya Marni pun keluar melalui Exit Gate
13 sebelum peluit dibubarkan. Anehnya petugas tadi
menutup kembali pintu itu setelah Marni di luar.
“Aneh, kok bukanya manual, ya? Bukannya
dibuka secara central?!” gumam Marni sambil
melihat pintu di belakangnya tertutup rapat kembali.
Dengan lega akhirnya Marni menuju ke sebuah
lapak di luar stadion menunggu Wiga. Sambil
289