The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Puji Narimawati, 2022-11-23 16:46:06

DI PARKIRAN MALL PDF

DI PARKIRAN MALL PDF

KADO ISTIMEWA

Oleh: Agustina Dwi Nugraheni

Bu Nola terbangun saat jam dinding
menunjukkan waktu pukul 04.15. Nola
segera beranjak dari tempat tidur untuk
mengambil air wudu dan hendak salat Subuh. Bu
Nola adalah seorang guru di desa terpencil, ia terkenal
dengan guru yang sabar dan penyayang pada murid-
muridnya. Selain penyayang, Bu Nola terkenal
salehah. Tak heran karena kebaikan Bu Nola, setiap
hari selalu dinanti-nanti kehadirannya di sekolah. Jika
ada masalah yang dihadapi muridnya, Bu Nola selalu
menyelesaikan dengan tenang dan sabar hingga
masalah itu bisa teratasi dengan baik.

Pagi itu tepatnya hari Selasa, seperti biasa
murid-murid menanti kehadiran Bu Nola. Lima
menit, sepuluh menit, limabelas menit berlalu. Bu
Nola tidak kunjung datang.

90

“Apakah Ibu Nola sakit?” tanya salah satu
murid Bu Nola, Andi namanya, sang ketua kelas.

“Mudah-mudahan Bu Nola baik-baik saja,”
kata Chindy, murid Bu Nola lainnya.

Setelah beberapa saat murid-murid menanti, Bu
Nola tidak kunjung hadir. Ada seorang guru, Pak
Handoko namanya. Pak Handoko lewat dan bertanya,
“Ada apa? Ini kok ngumpul di depan kelas?
Bukannya sekarang sedang pelajaran?”

“Kami sedang menunggu Bu Nola. Dari tadi
kok tidak hadir. Kalau boleh tahu, Bu Nola kenapa,
Pak?” tanya Andi dan teman-temannya.

“Apa kalian belum tahu alasan Bu Nola hari ini
tidak ke sekolah? Bu Nola hari ini sedang sakit. Kita
doakan bersama semoga Bu Nola lekas sehat
Kembali,” kata Pak Handoko.

Sesaat sebelum Pak Handoko meninggalkan
murid-murid Bu Nola, Pak Handoko berkata,
“Silakan kalian masuk ke kelas. Belajar sendiri
sambil menunggu guru piket.”

Setelah mendapat jawaban dari Pak Handoko
murid-murid bergegas masuk kelas.

Hari telah berlalu murid-murid agak kecewa
karena tidak bertemu dengan guru favoritnya, Ibu
Guru Nola yang penyayang dan penyabar yang selalu
dirindukan kehadirannya.

91

Hari Kamis murid-murid kembali gembira
karena Bu Nola telah hadir di hadapan mereka dengan
sehat.

“Selamat pagi, Bu Nola. Kami merindukan
Ibu,” kata Andi, “Bu Nola sudah baikan?” lanjutnya.

Dengan suara lembut Bu Nola menjawab,”
Alhamdulillah, saya sudah sehat, hanya masuk angin
biasa dan sudah berobat.”

Selang beberapa saat Chindy maju dan minta
izin ke toilet.

“Maaf, Bu. Saya izin ke toilet,” kata Chindy.
“Iya, Mbak Chindy, silakan,” jawab Bu Nola.
Disusul Andi mendekati Bu Nola sambil
berkata, “Bu, sebenarnya kemarin ada permasalahan
yang hari ini juga harus diselesaikan.”
“Permasalahan apa? Kok tidak ada yang
memberi informasi kepada ibu?”
“Kami tidak mau membuat Ibu kecewa karena
selama ini tidak pernah ada masalah.”
“Coba sampaikan masalahnya apa?”
“Nanti, Bu. Menunggu Chindy karena yang
tahu persis permasalahannya dia.”
Beberapa saat Chindy masuk dengan membawa
kue ulang tahun sambil memberi kode teman-
temannya untuk menyanyikan lagu Selamat Ulang
Tahun. Sontak teman-temannya menyanyikannya.

92

“Selamat Ulang Tahun, Bu Nola, semoga ibu
sehat selalu, tetap semangat membimbing kami,” kata
Andi mengawali dan disusul teman-temannya.

Dengan mata berkaca-kaca, Bu Nola
mengucapkan terima kasih. Ternyata Bu Nola lupa
kalau hari ini adalah hari ulang tahunnya sehingga
terkejut dengan kado istimewanya.

Tentang Penulis

Nama Agustina Dwi Nugraheni sebagai

pemberian dari orang tua. Lahir di Wonosobo, 11

Agustus 1968, dengan nama panggilan Agustin. Ikut

CERMIN agar bisa mulai menulis dan bisa

mengembangkannya. Alamat E-mail:

[email protected].

93

ANGKOT JURUSAN DERITA

Oleh: Ahmad Hidayat

Kegiatan organisasi mahasiswa telah berakhir
pada pukul 19.00 WIB. Mirza memutuskan
untuk segera pulang. Sesampai di jalan raya,
ia kemudian naik angkot 07 jurusan terminal-
Wanaraja yang saat itu berpenumpang dua orang.
Angkot pun melaju. Di tengah perjalanan, kedua pria
yang sama-sama sebagai penumpang itu mendekati
Mirza. Ia bertanya dengan penuh akrab. Mirza pun
tak menaruh kecurigaan apa pun. Ia menjawab
serangkaian pertanyaan dengan penuh kejujuran. Tak
lama kemudian, kedua pria tersebut meminta tas,
handphone, serta barang bawaan lainnya. Tanpa
berpikir panjang, Mirza pun menyerahkan semuanya.
Setelah menerima barang-barang tersebut, keduanya
bergegas turun. Tak lama kemudian, Pak Sopir
bertanya kepada Mirza.

94

“Mau ke mana, Mas?” Mirza pun terperanjat
sadar.

Ia kaget, semua barang bawaannya raib. Dalam
keadaan mulai panik, mirza menjawab, “Saya mau ke
Kampung Wates, Pak. Maaf, Pak. Mau tanya, kalau
kedua bapak-bapak tadi turunnya di mana? Ini semua
barang bawaan saya raib, sepertinya dibawa oleh
mereka. Saya terkena hipnotis. Uang untuk ongkos
pun ikut raib!”

“Oh, kedua orang tadi sudah turun di belakang.
Kenapa tidak hati-hati. Saya tidak mau tahu, yang
penting kamu bisa bayar ongkos, kalau tidak bisa,
terpaksa harus turun di sini,” kata Pak Sopir.

Maksud hati Mirza mau minta tolong kepada
Pak Sopir, tetapi belum sempat berkata, angkot pun
berhenti. Lalu Pak Sopir meminta Mirza untuk turun
dengan nada memaksa. Tak banyak bicara, Mirza
langsung turun. Angkot kembali melaju kencang
meninggalkan Mirza.

Untuk menenangkan pikiran, Mirza duduk di
atas trotoar. Belum juga hatinya tenang, datanglah
angkot berikutnya lalu berhenti di depan Mirza.
Seorang lelaki dari pintu angkot menawarkan diri
untuk menolong Mirza. Mirza pun mulai tenang dan
merasa senang karena ada orang yang peduli mau

95

menolongnya. Lalu ia masuk ke dalam angkot
tersebut.

“Terima kasih, Pak. Bapak telah sudi mau
menolongku, semoga Allah membalasnya dengan
berlipat ganda.”

Lalu orang itu meminta nomor kontak keluarga
yang bisa dihubungi dengan alasan untuk
memberitahukan keluarga tentang peristiwa yang
dialami oleh Mirza. Mirza yang sudah hafal nomor
kontak ayahnya, tanpa berpikir panjang ia langsung
memberikan nomor kontak ayahnya itu. Setelah
selesai dicatat lalu orang tersebut menelpon ayahnya.
Jelas terdengar di telinga apa yang dikatakan oleh
orang tersebut. Ia meminta uang tebusan sebesar 10
juta, jika tidak, Mirza akan diculik. Belum selesai
menelponnya, Mirza reflek berteriak, “Jangan, Ayah!
Dia penipu!”

Orang tersebut langsung mematikan
teleponnya, lalu lari keluar meninggalkan angkot. Dia
berlari karena waktu berteriak ada pengendara lain
yang lewat. Ketika dia lari Mirza sempat melihat
wajahnya. Ternyata dia salah satu dari bapak-bapak
yang menghipnotis Mirza. Sambil bersandar di kursi,
Mirza bergumam, “Kupikir ia benar-benar akan
menolong, tetapi ternyata ia hanya menjadi pelengkap
derita.”

96

DI BALIK RAHASIA

Oleh: Ahmad Hidayat

Zaenudin seorang remaja rumahan. Ia jarang
main ke luar apalagi sengaja keluyuran. Pada
suatu hari, ia meminta uang kepada ibunya
untuk membeli tiket sekaligus meminta izin untuk
menonton. Ibunya merasa kaget, anak yang tidak suka
sepak bola dan jarang keluar rumah apalagi malam-
malam, tiba-tiba meminta izin.

“Enggak salah kamu, Nak? Tiba-tiba ingin
menonton, sedangkan kamu enggak suka sepak bola,”
tanya ibu.

“Zae mau mencoba aja, Bu. Teman-teman Zae
begitu ramainya membicarakan tentang pertandingan
nanti malam, sepertinya akan seru. Jadi Zae merasa
tertarik,” kata Zae.

Walaupun ada perasaan kaget, sang ibu tetap
berprasangka baik dengan mengizinkan anaknya

97

pergi menonton. Saat berangkat, wajah Zaenudin
tampak terlihat sayu. Sorot matanya seperti habis
memandang jejak kenangan. Seiring berangkatnya
Zainudin, perasaan kaget dan khawatir ibunya mulai
hilang.

Tiba malam hari, saat berlangsungnya sepak
bola, ia mengirim pesan kepada ibunya lewat
WhatsApp.

“Ibu, di sini ada ribuan orang, tapi kenapa, ya,
hati Zae terasa sepi.”

“Mungkin karena kamu tidak terbiasa aja,
coba ikutan bersorak-sorai, pasti akan seru dan tak
akan kesepian.”

Setelah itu, Zaenudin tak membalas lagi. Tiga
puluh menit dari selesainya jam tanding telah
terlewati. Namun, Zaenudin tak kunjung datang. Rasa
khawatir pun mulai menyapa kalbu ibunya. Tak
berselang lama, teman akrab Zaenudin datang ke
rumah memberi kabar bahwa Zaenudin telah
meninggal dalam sebuah tragedi di stadion. Ia
mengatakan bahwa saat hendak pulang terjadi
kericuhan di pintu keluar dikarenakan adanya
himpitan dan saling dorong. Saat ia hendak
menyelamatkan diri, tampak seorang anak kecil
terjebak, menangis, dan meminta tolong. Zaenudin
yang ada di sampingnya berusaha memberikan

98

pertolongan. Saat anak kecil berhasil diselamatkan,
justru Zaenudin terjatuh lalu terinjak-injak hingga ia
tak bisa menyelamatkan diri. Ketika dievakuasi oleh
petugas sudah dalam keadaan meninggal.

99

HATI BERGETAR

Oleh: Ahmad Hidayat

Seorang perempuan paruh baya dengan tas
hitamnya yang ia dekap sedang duduk di
pinggir gang. Raut wajahnya terlihat kusut
seperti lagi menanggung beban masalah. Saat aku
lewat hendak belanja, aku mencoba menyapa
perempuan tersebut.

“Lagi apa, Bu? Maaf izin lewat, ya.”
Namun, perempuan tersebut hanya
menganggukkan kepala sambil tersenyum, tanpa
mengeluarkan sepatah kata pun. Kubalas senyumnya
sambil melanjutkan perjalanan hingga tiba ke tempat
yang kutuju. Lima menit kemudian, aku kembali,
rupanya perempuan paruh baya tersebut belum
beranjak. Ia masih berada di tempat semula. Saat aku
lewat di hadapannya, aku kembali pemisi numpang

100

lewat. Lagi-lagi perempuan tersebut hanya
menganggukkan kepala sambil tersenyum.

Sesampai di rumah, kubuka barang belanjaan.
Rupanya ada satu barang yang ketinggalan. Aku
segera kembali untuk mengambilnya. Baru buka
pintu rumah, aku teringat pada perempuan tadi.
Hatiku merasa iba dan bermaksud untuk memberi
makanan.

“Semoga perempuan tadi masih ada.”
gumamku.

Aku membawa makanan dan kuberikan
kepadanya.

“Ibu, maaf. Ini ada sedikit makanan, mohon
diterima, ya. Semoga bermanfaat buat Ibu!”

Sambil menerima pemberianku, perempuan itu
lagi-lagi hanya menganggukkan kepala sambil
tersenyum. Aku pun pergi. Sambil berjalan, banyak
tanya bermunculan dalam benakku, perempuan itu
siapa, ya? Musafirkah atau siapa? Setiap kusapa,
mengapa ia hanya mengangguk sambil tersenyum.
Semoga ia orang baik.

Sepulang belanja, perempuan itu terlihat
memegang pulpen dan secarik kertas yang berisi
tulisan. Rupanya ia baru selesai menulis ketika aku
pergi tadi. Saat aku lewat di depannya, ia memberikan
kertas itu kepadaku. Hatiku sangat penasaran, ada apa

101

dengan ibu ini, tiba-tiba memberikan secarik kertas.
Kuterima dan kubaca kertas itu.

Maaf, ya, Mas. Saya menjawab sapamu tanpa
kata dan suara karena saya seorang tunawicara. Saat
ini saya sedang mencari anakku tercinta. Sudah
seminggu enggak pulang ke rumah. Annakku senang
mengembara di jalanan. Takutnya ia belum mandi
dan tidak makan.

Selesai baca tulisan itu, kutatap wajah
perempuan itu, kuberikan senyuman dan tetesan air
mata haru. Hatiku bergetar, menahan sejuta kata yang
ingin kuungkapkan. Namun, takbisa kusampaikan.

102

Tentang Penulis
Ahmad Hidayat, lahir di Garut,

26 September 1986 ini merupakan
alumnus dari Sekolah Tinggi Agama
Islam (STAI) Al- Musaddadiyah
Garut lulusan tahun 2014 dengan
predikat cumlaude. Sekarang ia
tinggal di Jln. Ahmad Yani No. 314-A, RT 04 RW 01
Koropeak Desa Suci Kec. Karangpawitan Kab. Garut.
Saat ini penulis aktif mengajar di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Islam Terpadu Assalam dan SMPIT
Alkhoiriyyah. Selain itu, ia sedang menekuni tulis-
menulis yang hasil tulisannya termuat di beberapa
buku antologi puisi, cerpen, dan artikel. Agar lebih
dekat dengan penulis, para pembaca bisa
menghubungi nomor kontak WA: 082240822901 dan
melalui e-mail: [email protected].

103

HAJAR, BRO!

Oleh: Ahmad Jaelani

Pagi di sebuah sekolah menengah kejuruan atau
nama zaman dulu itu STM alias Sekolah
Teknik Menengah. Bisa dibayangkan sebuah
sekolah yang kebanyakan muridnya adalah cowok.
Rame itu pasti, intimidasi juga sering kali terjadi.
Pagi ini Toni dan Budi, dua bocah yang ngantukan,
tidak mudengan, dan super jahil ini mengikuti
pelajaran seperti hari-hari yang lain. Tiba pada jam
pelajaran Pak Hadi, guru matematika yang terkenal
ngantuki bagi dua bocah ini. Tidak perlu menunggu
lama, dua bocah ini pasti akan mencari alasan untuk
keluar kelas. Dan benar, sejurus kemudian mereka
sudah ada di toilet untuk sekadar pelarian dari
pelajaran.

“Bro, bagi rokoknya, dong!”

104

“Cuman punya sebatang, Cuy! joinan aja
gimana? Mau, enggak? Tapi jangan di sini, Oon! kita
bisa ketahuan guru. Kita ke toilet aja, yuk!

Akhirnya mereka berdua pun merokok, kebal
kebul dengan nikmatnya sambil mengobrol ngalor
ngidul.

Tiba-tiba terdengar suara dari luar.
“Pagi, Pak Andre!”
“Pagi juga, Kemal.”
“Ssssttt…, jangan berisik Bro! Rokoknya
matiin! Ada si Kemal,” bisik Tono kepada Budi.
Tiba-tiba dari pintu toilet sebelah terdengar
kriiiet…, cekrek…!
“Bro, si Kemal pasti lagi boker, tuh! Kita jahilin
aja, yuk!” bisik si Toni.
Sambil melihat ke atas, budi berkata, “Siram
aja pakai air seember, Cuy! Tuh, lewat atas tembok.”
“Okay, hajar, Broooo,” bisik Toni.
Sejurus kemudian Toni mengambil air di ember
dan menyiramkan ke toilet sebelah.
Byuuuurrrrrr…
“Mampus, Lu….”
“Kurang ajar!” terdengar teriakan dari toilet
sebelah dan langsung mengetuk pintu toilet Budi dan
Toni.
“Keluar, kalian!”

105

Toni dan Budi pun membuka pintu.
“Kalian berdua ikut saya ke ruang BP!”
Ternyata yang mereka siram adalah Pak Juman,
guru olah raga.
“Mampus kita, Bro!”

106

KAIN KAFAN

Oleh: Ahmad Jaelani

Grumbul Dekem adalah sebuah wilayah di
sebuah desa terpencil bernama Datar. Untuk
mencapai desa ini harus berjalan kaki selama
dua hari. Sudah menjadi kebiasaan mingguan
penduduk setempat untuk membawa hasil kebun ke
kota dan membeli berbagai keperluan. Maka dari itu
penduduk selalu membeli berbagai kebutuhan dalam
jumlah banyak. Salah satu kepercayaan penduduk
setempat adalah jika ada warga yang meninggal maka
harus dikuburkan segera. Menjadi pamali jika mayat
harus menginap di rumah duka.

Suatu malam ada seorang warga yang
meninggal. Warga pun sudah tanggap dengan
keadaan. Ada yang menyiapkan liang lahat,
membantu keluarga duka memandikan jenazah, dan
memasak untuk para warga yang membantu. Kondisi

107

saat itu gerimis dengan petir yang menyambar-
nyambar. Tanpa banyak komando, jenazah langsung
dimandikan dan segera dibungkus kain kafan.
Ternyata stok kain kafan yang disediakan di balai
dusun habis. Untuk mendapatkanya harus beli ke kota
dengan waktu dua hari pulang pergi, sedangkan
jenazah harus dimakamkan malam itu juga. Salah
satu warga melihat ada kain kelambu penutup dipan.

“Mohon maaf, Pak Kadus. Bagaimana kalau
jenazah kita bungkus dengan kain kelambu saja
daripada harus menunggu besok hari untuk ke kota,”
kata salah seorang warga.

“Tapi warnanya nggak putih ini, masa
dibungkus pakai kain warna hitam,” jawab Pak
Kadus.

“Lha, terus gimana, Pak Kadus? Enggak ada
pilihan lain, Pak.”

“Ya, sudah. Bungkus pakai kain kelambu saja,”
perintah Pak Kadus.

Setelah jenazah dibungkus kemudian diadakan
upacara pemberangkatan jenazah. Upacara tersebut
diawali sambutan kepala dusun dan keluarga duka.
Saat jenazah akan diberangkatkan tiba-tiba ada suara,
pakai hitam, siapa takut….

108

Tentang Penulis
Ahmad Jaelani lahir di Banyumas
pada tanggal 21 Januari 1983.
Ahmad Jaelani yang biasa
dipanggil Elan merupakan guru di
sekolah dasar. Memulai karirnya
pada 2005. Pendidikan SD ia

tempuh di SDN 4 Rawalo, SMP di SMPN 1
Jatilawang, sedangkan SMU di SMU 1 Wangon. Elan
menyelesaikan D-3 Bahasa Inggris pada 2006,
kemudian selesai S-1 Pendidikan Bahasa Inggris pada
2013, dan S1 PGSD pada 2019. Penulis yang
mempunyai hobi bersepeda dan musik ini sampai saat
aktif mengajar di SDIT Muhammadiyah Rawalo.

109

NAMA YANG TERCECER

Oleh: Ai Sumarni

Bu Sum berdiri di depan kantor kepala
sekolah. Kakinya berat untuk melangkah. Di
ruangan itu, hanya ada Pak Sudir, pimpinan
di sekolah ini. Beliau sedang duduk sambil
memegang beberapa lembar kertas.

Tidak sembarang orang boleh memasuki
ruangan ini, kecuali ada urusan yang penting. Entah
ada apa yang membuat Bu Sum dipanggil menghadap
kepala sekolah. Pak Aldi yang ditugaskan
memanggilnya pun tidak memberi tahu alasannya.

“Assalaamualaikum. Maaf, Pak. Kata Pak Aldi,
Bapak memanggil saya?” Bu Sum masuk dengan
langkah ragu-ragu.

“Waalaikumussalam. Betul, Bu!” Suara Pak
Sudir sangat tegas. Tatapannya tak lepas dari kertas
yang dipegangnya.

110

“Nama Bu Sum, kok, tidak ada di rekap ini?
Apa masih di sekolah lama? Berarti, Ibu harus segera
urus masalah ini!”

Bu Sum belum duduk, tetapi pertanyaan kepala
sekolah bertubi-tubi meyambut Bu Sum. Bu Sum
kebingungan.

“Maksud Bapak direkap mana, Pak? Info
GTK-nya ‘kan sudah dicetak dan di situ tertera nama
SD kita, Pak,” ujar Bu Sum.

“Entahlah, kata Pak Aldi tadi gitu, nama Bu
Sum enggak ada, saya pun kurang tahu. Mana Pak
Aldi sekarang? Dia yang manggil Ibu tadi, kok malah
menghilang,” ujar Pak Sudir dengan nada kecewa.

“Kalau nama Ibu, tidak ada di sini, terpaksa
harus melapor ke Dinas Pendidikan, Bu, mungkin
nama Ibu masih terekap di SD lama Ibu.”

“Enggak mungkin, lah, Pak, kalau nama saya
masih di sana, kan, sudah masuk dapodik di sini.
Buktinya, saya buka info GTK dengan akun yang
dibuat Pak Aldi,” kata Bu Sum berusaha menjelaskan
kepada Pak Sudir.

“Nanti tanya langsung Pak Aldi saja, Bu. Saya
pun kurang paham dengan masalah dapodik.”

“Baik, Pak. Boleh, saya duduk, Pak.” Tanpa
menunggu diiyakan, Bu Sum langsung duduk di kursi

111

tamu di ruangan itu dan berusaha menenangkan diri.
Bu Sum heran, mengapa namanya tidak ada.

Tak lama muncul Pak Aldi bersama Bu Indah.
Mereka seperti membicarakan hal yang serius.

“Maaf, Pak Aldi. Maksudnya nama saya
enggak ada di mana, Pak? Bukannya data sudah
valid? Bahkan sudah dikumpulkan tadi sama Bapak.”
Bu Sum langsung memotong pembicaraan mereka.

“Oh, iya, Bu, di sini, Bu, di rekap untuk meng-
upload bahan sertifikasi itu, nama Ibu, tidak ada.
Seharusnya nama-namanya di sini ada empat belas
orang, ternyata hanya ada tiga belas. Setelah saya cek,
nama Ibu yang tidak muncul,” jelas Pak Aldi,
operator sekolah.

“Masa, sih, Pak, boleh saya lihat, Pak?” Bu
Sum penasaran sambil beranjak mendekati laptop
yang ditunjuk Pak Aldi.

“Lha, ini, nama saya, ada, Pak.”
“Mana, Bu? Oh, iya, ya, ini nama Ibu, ada.
Tadi, kok, bisa enggak kelihatan. Jadi, nama siapa
yang tidak ada?” tanya Pak Aldi sambil tertawa,
“maaf, ya, Bu.”
Bu Sum tertawa lepas, sambil melirik ke arah
Pak Sudir, “Jadi, saya enggak harus ke Dinas ‘kan,
Pak?”

112

Pak Sudir pun ikut tertawa, sambil
menggelengkan kepalanya. Padahal tadi wajahnya
kelihatan tegang dan marah sama Bu Sum. Pak Sudir
mengira, selama ini Bu Sum belum dikeluarkan dari
dapodik di SD lamanya.

“Tolong diteliti lagi, Pak Aldi, nama siapa yang
tercecer, jangan salah panggil lagi!” kata Pak Sudir.

113

SEPATU YANG HILANG

Oleh: Ai Sumarni

Pagi itu, giliran Bu Marni piket bersama Bu
Asni. Mereka kelihatan sedang asyik
memperhatikan siswa-siswa yang sedang
bergotong royong membersihkan halaman sekolah.

Tiba-tiba datang dua orang bapak-bapak
dengan tampang sangar. Keduanya merupakan orang
tua wali murid di sekolah itu. Yang keriting
rambutnya biasa dipanggil Pak Gendut dan satu lagi
Pak Samson, bapaknya Ida. Bu Marni segera
menyambut kedatangan mereka dan mempersilakan
masuk ke ruangan.

Akan tetapi, Pak Samson tanpa basa basi
langsung marah-marah sambil menunjukkan jari
telunjuknya ke arah Bu Marni.

“Sekolah apa ini? tidak bisa mendidik anak-
anaknya dengan baik, sepatu anak saya hilang, ada

114

pencuri di sekolah ini, berarti gurunya enggak becus
mengajar.”

“Maaf, ada apa, ya? Sebaiknya Bapak masuk
dulu, nanti kita bicarakan baik-baik,” kata Bu Marni
dengan tenang.

“Enggak bisa, saya kecewa dengan sekolah ini,
sudah berapa kali sepatu anak saya hilang, tetapi
pihak sekolah tidak pernah bertanggung jawab. Ibu,
guru baru di sini, ‘kan? Pasti belum tahu, seperti apa
sekolah ini.” Sambil bertolak pinggang Bapak itu
terus berbicara.

Bu Asni yang dari tadi diam, terpancing
emosinya ketika mendengar sekolahnya dihina,
“Bapak, kok, bicara seperti itu? Setahu kami, jika ada
sepatu anak yang hilang, pasti ada laporan dari anak
tersebut, dan selama ini kami selalu berusaha untuk
mencarinya, Pak. Bahkan jika ada yang ketinggalan,
kami yang menyimpannya dan mengembalikan
kepada yang punya.”

Keributan kecil terus berlangsung, perdebatan
antara guru dengan orang tua murid tak bisa
dihindarkan. Selain tidak bisa diajak damai, Pak
Samson tetap tidak terima kalau sepatu anaknya
hilang di sekolah. Mereka menyangka pihak sekolah
tidak mau bertanggung jawab dan membiarkan siswa

115

berperilaku tidak baik. Bahkan mereka mengancam
akan melaporkan masalah itu ke kantor polisi.

Bu Marni pun sempat emosi. Di depan anak-
anak, kedua orang itu tidak ada rasa segan memaki-
maki guru. Apalagi Pak Gendut yang hampir
menampar Bu Marni, katanya selama ini di sekolah
ini tidak ada yang berani melawannya. Apalagi
dengan bangganya Pak Gendut bilang, kalau dia
punya saudara polisi.

Bu Marni tak menghiraukan ancaman Pak
Gendut, beliau membalikkan badannya,
pandangannya tertuju kepada anak-anak yang sedang
berkumpul di depan kantor guru. Beliau merasa heran
karena tidak melihat Ida di antara mereka, padahal
hampir semua siswa telah tiba di sekolah. Kepada
salah satu anak, Bu Marni memintanya untuk
mencarikan Ida supaya datang menghadap sekarang
juga.

Tak lama kemudian, seorang anak maju dengan
baju lusuh, rambut tergerai acak-acakan mendekati
Bu Marni. Langkahnya seperti ketakutan, wajahnya
tertunduk ke lantai.

“Sini, Ida, enggak usah takut, ibu hanya mau
bertanya. Apakah betul, sepatumu hilang, Nak?”
tanya Bu Marni sambil mengelus rambut anak itu.

116

Ida hanya menganggukkan kepalanya, dia
melirik ke arah bapaknya, kemudian menunduk lagi.

Bu Marni terus bertanya, “Di mana hilangnya
sepatumu, Nak?

“Di rumah, Bu,” jawab Ida, “sebenarnya
sepatuku digigit anjing, lalu di bawa pergi.”

“Lho, jadi sepatumu enggak hilang di sekolah,
Nak?” Bu Marni menoleh ke arah bapaknya Ida.

“Tuh, Pak. Kata Ida, sepatunya hilang di rumah.
Kenapa Bapak menyalahkan pihak sekolah? Apakah
Bapak enggak tanya Ida dulu?”

“Kata Bapak, kalau bilang hilang di sekolah,
nanti diganti,” jawab Ida polos.

Tentang Penulis
Ai Sumarni, lahir di Sukabumi

tahun 1976. Ia sebagai guru SDN 012
Surya Indah Kecamatan Pangkalan
Kuras Kabupaten Pelalawan. Pernah
mengikuti kelas menulis cerpen di
Komunitas Menulis Asyik (KMA) dan
Akademi Puisi Multimedia (APM I). Alumni
pelatihan Belajar Menulis PGRI gelombang 25. WA
085265152414, e-mail: [email protected]
dan IG. Aisumarni_

117

RAHASIA CINTA

Oleh: Aida Febri

Ada rasa yang tidak mampu aku ucapkan. Ada
sebuah ungkapan kebahagian yang ingin aku
ceritakan. Ada duka yang akan aku
lampiaskan.

Tiga tahun telah berlalu. Semua rasa itu masih
rapi tersimpan dalam angan. Semenjak kejadian tiga
tahun yang lalu, si senyum manis tak lagi terlihat. Si
pemilik senyuman itu menghilang bagai ditelan bumi.

Namaku Keyanya Kanza biasa dipanggil Keke.
Umurku 16 tahun. Sekarang aku kelas 2 SMA. Aku
dahulu adalah orang yang introver, tetapi semua rasa
introverku perlahan memudar saat aku duduk di kelas
2 SMP. Saat itu aku bertemu dengan Marino Putra
Hendrawan, si pemilik senyuman manis. Marino
berbeda, ia sangat terbalik denganku. Dia orang yang
ekstrover, dia mempunyai banyak teman, dia pandai

118

bergaul, dia anak yang cerdas, dan dia sangat baik.
Marino mengajakku untuk berteman dengannya dan
mengajarkanku untuk bisa berbaur dengan teman
teman yang lain. Kami berteman baik, kami selalu
bersama, kami suka cerita banyak hal, selalu bercanda
dan tertawa bersama. Namun, semua itu berubah
ketika ibunda Marino meninggal, Marino ditinggal
sang bunda saat kenaikan kelas 3 SMP.

Sampai sekarang Marino masih menjadi
pendiam dan sangat dingin denganku. Aku sedih dia
melupakan aku dan menjadi pribadi yang seperti itu.
Sebenarnya ada sebuah ungkapan rasa sayang yang
ingin aku ungkapkan padanya, rasa sayang yang
melebihi dari sekadar sahabat.

Jam menunjukan pukul 9 malam, aku harus
tidur. Namun, aku tetap melanjutkan menulis semua
cerita rahasia cinta di dalam diary mungil ini.

Beberapa menit kemudian.
Tok, tok, tok….
Terdengar ada sebuah ketokan dari balik pintu
kamarku.
“Masuk,” kataku.
Pintu pun terbuka. Ternyata Bunda.
“Ada temanmu datang kemari, temui dia, gih!”
kata Bunda memberi tahu.

119

“Emang siapa, Bun yang datang malam malam
begini? Ganggu aja!” tanyaku menggerutu sebal.

“Lihat dan temuilah dulu. Kau pasti akan
terkejut melihatnya,” jawab Bunda sambil tersenyum

Aku tak menghiraukan jawaban Bunda dan
memilih turun ke bawah untuk melihat siapa yang
datang malam-malam begini. Sampai di tangga
bawah terakhir aku melihat punggung laki-laki
berdiri tegap membelakangiku. Aku tetap
melanjutkan jalan menuju ruang tamu, di mana orang
itu berada. Aku pun dibuat terkejut ketika orang itu
membalikkan badannya.

“Marino!” ucapku kaget.
Marino tidak merespon, tetapi malah membuat
aku terkejut karena tiba-tiba Marino memelukku
sambil menangis. Lima detik kemudian aku balas
pelukannya dan menenangkannya.
“Sudah. Cup, cup, tenang. Semua akan baik-
baik aja, tenangkan dirimu,” ucapku menenangkan
Marino.
“Hancur hidupku, Ke.” Satu kalimat terucap
dari mulut Marino.
Suara itu, suara yang aku rindukan selama ini
yang membuat jantung ini berdenyut kencang.
Tangisan dan pelukan itu kini mereda. Marino beralih
menatap mataku.

120

“Ke!” Marino memanggilku.
“Iya,” jawabku.
“Aku rindu kamu, Ke,” kata Marino.
“Aku juga sangat merindukanmu, Mar. Banyak
rahasia yang ingin aku ceritakan padamu, Marino,”
jawabku jujur.
Kring… kring….
Alarm berbunyi menyadarkanku bahwa itu
semua hanyalah mimpi. Bertemu Marino hanyalah
mimpi. Dia sudah tidak ada di dunia ini.
Marino aku sayang sama kamu, ucapku lirih
dalam hati dan terasa sakit.

121

PINJAM UANG

Oleh:Nur Aini Melayu

Biyan uring-uringan.
“Heran, aku lihat istri Kusnadi. Wajah pas-
pasan pun masih belagu. Kalau istriku nanti
seperti istri si Kusnadi itu, langsung kuceraikan.
Pokoknya mulai hari ini, aku pantang ke rumah
Kusnadi. Malas aku jumpa dengan perempuan
banyak aturan seperti si Asih,” celoteh Biyan sembari
menyeruput kopi yang masih tersisa.

“Yakin nggak mau ke rumah Kusnadi? Selama
ini kau yang sering ke sana dibanding kami,” ledek
Amat disambut anggukan Bardi.

“Yakin! Daripada jumpa istrinya, terus ditanya
kayak wartawan. Seolah-olah yang memengaruhi
Kusnadi sering keluar malam, itu aku.”

“Lah, memang iya, toh?” timpal Bardi disambut
tawa Amat.

122

Biyan kesal. Beberapa saat kemudian nada
handphone berdering dari saku celana Jeans-nya.
Sejurus ia mengambil handphone-nya.

Assalamu’alaikum, Bu….
Iya, Bu.…
Iya… Aku usahakan.…
Iya Bu… Iya….
Wa’alaikumsalam.
“Ibuku sakit dan butuh biaya. Uangku tidak
cukup. Bisa aku pinjam dulu uangmu, Mat? Gajian
nanti kuganti.”
Amat menghela napas. Ia tidak punya cukup
uang untuk membantu Biyan.
“Maafkan aku, Yan. Saranku coba kautanya
Kusnadi. Dia yang paling berada di antara kita.”
Awalnya Biyan malu karena baru saja gibahin
istri Kusnadi. Namun, demi kesembuhan ibunya, ia
berusaha membuang rasa malu. Beberapa saat
kemudian setelah percakapan dengan Kusnadi
ditutup.
“Ah, syukurlah. Untung tak disuruhnya aku ke
sana.”
Tak menunggu lama Kusnadi datang, uang 2
juta rupiah pun berpindah tangan. Biyan senang
bukan main.

123

“Tak sia-sia aku mempunyai teman baik dan
kaya seperti Kusnadi. Sayangnya Kusnadi punya istri
yang …,” gumam Biyan.

“Terima kasih banyak, Kus. Tak kusangka aku
bisa mendapatkannya dengan mudah. Besok pagi
segera kukirim pada ibuku. Sekali lagi terima kasih.
Bulan depan pasti kubayar,” Biyan menggenggam
erat tangan Kusnadi.

Kusnadi mengangguk penuh arti.
“Itu bukan uangku, tapi simpanan Asih.
Berterima kasihlah padanya.”
Biyan tertegun. Amat dan Bardi menahan tawa.

124

Tentang Penulis
Nur Aini Melayu, S.Pd., lahir pada tanggal 13

Juni 1972 di Kuala Simpang, Aceh Tamiang. Penulis
yang akrab dipanggil Aini ini menyelesaikan studi S-
1 di IKIP Negeri Medan pada 1995. Sekarang penulis
menjadi tenaga pengajar bidang studi Matematika di
MTsN Tebing Tinggi, Sumatera Utara. Sejak duduk
di bangku SMA (1988), Aini sudah menyukai dunia
menulis. Awalnya hanya mengisi majalah dinding
sekolah dengan cerpen remaja. Namun, karena
melanjutkan kuliah dan diterima sebagai seorang
PNS di lingkungan Kementerian Agama, kegiatan
menulis pun terhenti. Untuk mengasah
kemampuannya menulis, Aini masih aktif membantu
bagian humas dalam menulis berita kegiatan di
sekolah.

125

MANIS

Oleh: Aisha Syahla Fawnia Dwinanta

Pelajaran Fisika pada jam terakhir
menimbulkan rasa bosan yang menghampiri
diriku sore itu. Tak berselang lama, rasa
bosanku tergantikan dengan perasaan bergemuruh di
dadaku kala mendengar suara bel pulang sekolah.
Aku segera memasukkan peralatan sekolahku ke
dalam tas, ingin bergegas untuk segera pulang.

Aku menggendong tas biruku sembari
bersenandung pelan di koridor sekolah. Kulihat
punggung tegapmu dari kejauhan dan aku pun berlari
kecil menghampirimu. Kutepuk pundakmu dan
kuberikan senyum termanisku padamu.

“Selamat sore, Askal!” ucapku berseru.
Kulihat matamu yang membentuk bulan sabit
menandakan bahwa kamu juga tersenyum kepadaku.

126

“Selamat sore juga, Keysha. Mau pulang
bareng?”

Tentu saja aku menganggukkan kepalaku kala
dirimu melontarkan pertanyaan itu kepadaku. Askal
mengusak rambutku gemas dan tersenyum.

Aku dan Askal kini sedang berjalan menuju
parkiran motor. Seperti biasa aku menunggu Askal
mengeluarkan vespa kesayangannya dari barisan
motor lainnya di depan pos satpam.

“Lagi nunggu Askal, ya, Neng Keysha?” Aku
menoleh, dan mendapatkan Pak Hadi, satpam di
sekolah bertanya kepadaku. Aku menganggukkan
kepalaku

“Iya, Pak! Itu Askal udah ke sini, duluan, ya,
Pak Hadi.” Pak Hadi hanya tersenyum memandang
ke arahku dan Askal.

Angin sepoi-sepoi sore itu membuat daun-daun
di atasku dan Askal menari-nari. Aku sungguh senang
pulang bersama Askal dengan vespa putih
kesayangannya ini. Langit senja yang begitu cantik.
Dengan perpaduan warna orange dan pink menambah
kesan manis sore ini. Obrolan-obrolan tak penting
yang kami lakukan. Dengan senda gurau membuat
sore ini begitu sempurna di mataku.

127

“Aku pamit duluan, ya, Keysha. Selamat
istirahat, sampai bertemu esok hari.” Askal
mengucapkannya setelah sampai di rumahku.

“Ya, Askal. Hati-hati di jalan, sampai bertemu
besok.”

Kulihat Askal menganggukkan kepalanya.
Namun, tiba-tiba handphone Askal berdering.
Kulihat nama bertuliskan Cherry di layar handphone-
nya.

“Halo? Iya, setelah ini aku akan segera ke
rumahmu.”

“Siapa?” Itu pertanyaan pertama yang keluar
dari mulutku kepada Askal.

“Pacarku, baru 2 hari kami berpacaran. Sudah
ya, aku keburu ditunggu, nih. Besok sepulang sekolah
akan kuceritakan kepada sahabat cantikku ini.” Askal
tersenyum manis ke arahku.

Kupandangi punggung tegapnya menjauh
dengan senyum getirku. Mataku berkaca-kaca dan
dada sebelah kiriku terasa sakit. Ternyata Askal
dengan segala sikap manisnya tak bermakna apa pun.

128

Tentang Penulis
Aisha Syahla Fawnia Dwinanta,

atau yang lebih akrab disapa Fania
adalah seorang pelajar yang masih
duduk di bangku kelas 10 SMAN 1
Salatiga. Lahir di Salatiga, 4
November 2006. Hobinya adalah
bermain musik dan mendengarkan lagu. Aisha bercita
cita menjadi seorang jurnalis.

129

KLISE

Oleh: Aisifa Oktaviane

Kafe itu ramai dengan riuh rendah suara
setelah penampilan memesona di atas
panggung. Perempuan yang berdiri di
panggung itu sesaat begitu sendu, kesepian, dan
kosong. Namun, setelah lagu itu berakhir tanpa semua
orang sadari, aura itu menghilang digantikan dengan
aura gemerlap. Seberkas aura adikuasa memancar
begitu lagu diakhiri. Sepersekian detik, hingga semua
orang tak menyadarinya. Atau hampir.

Dengan gitar yang tersampir di bahunya,
mengakhiri lagu dengan penuh khidmat. Lagu yang
diciptakannya khusus untuk kekasih hatinya.
Rangkaian melodi menyayat hati, dan lirik yang bagai
mampu mendeskripsikan begitu nyata hingga mereka
seakan menonton diorama kisah cinta Apollo yang
tragis. Lagu dewata yang membuat makhluk fana

130

mana saja yang mendengarnya akan merasakan
kesedihan tak terperi, ledakan emosi yang tak dapat
dibendung sehingga, Cantika perlu menyadarkan
mereka.

“Cantik,” ucap Rei dengan mata berbinar
sembari ia meneguk segelas tequila di depannya. Ia
melihat betapa sendunya sosok yang
menghampirinya.

“Aku tahu aku salah, Rei. Maafin aku.” Cantika
meraih tubuh Rei, memeluknya erat, merenungi
kesalahan yang ia buat.

“Kesalahan apa?” tanya Rei lirih.
“Aku tahu kamu udah tahu semuanya.”
“Can....”
“Apa? I made a big mistake, Rei!” Cantika
memegang kedua bahu Rei, menahan tubuh Rei yang
sudah rapuh di hadapannya.
“It’s okay, everything will be fine... aku maafin
kamu, Can. Gimana kalau kita ulang lembaran baru?
Lembaran yang lebih baik dari sebelumnya, kita
berdua bisa.” Rei meraih tangan halus kekasihnya, ia
merasakan getaran di sana.
“Kita bisa mulai lembaran baru itu, dengan aku
jauh dari kamu. Aku nggak mau kamu makin sakit
hati kalau aku terus di sisi kamu. Kamu orang terbaik
yang pernah aku kenal.” Kaki Cantika pelahan

131

melangkah menjauh, menjauhi sosok lelaki dengan
kaos hitam legam dan surai ikalnya yang khas.

“CANTIKA!” Rei mencoba mengejar
kekasihnya yang sudah terlebih dahulu menghilang
dari pandangannya.

Cantika berlari di bawah derasnya hujan, frasa
meracun hati sangat lekat dengannya saat ini.
Seandainya ia tak bercumbu dengan lelaki jangkung
yang ia temui di kafe yang sama hari itu, pasti semua
akan baik-baik saja, tanpa terkecuali.

Tentang Penulis
Aisifa Oktaviane lahir

di Jakarta 03 Oktober 2006.
Aisifa merupakan seorang
siswi di SMA Negeri 1
Salatiga. Cerita ini ditulis
berdasarkan pengalaman
penulis saat menulis di platform online yang disebut
Wattpad.

132

BAHAN BULLY

Oleh: Aisyah Kho

Lidahku selalu gatal ingin membalas geng sok
terkaya di sekolah baruku. Dia mengejek
profesi ayahku sebagai tukang sol sepatu.
Masih kuingat dalam ingatan ini, kemarin dia
ingin menjahit sol sepatu lepas. Dengan sombongnya
melempar uang merah satu lembar ke wajahku.
Sedangkan sepatu yang sudah diperbaiki tidak
diambilnya. Semua adegan itu untuk keperluan
rekaman video mereka untuk mem-bully aku di
sekolah.

Sedihnya, Ibu hanya memintaku sabar,
sedangkan Ayah tidak menanggapi semua
curhatanku. Menurut Ayah, tidak ada manfaatnya
menghiraukan hinaan mereka.

Aku hanya bisa menarik napas panjang saat
melihat ekspresi ayahku yang santai. Aku kesal!

133

Kenapa harus menjadi anak tukang jahit sol sepatu,
sih! Dulu di tempat lama jualan bakso keliling, suka
sekali panas-panasan hingga kerja larut malam
menikmati profesinya itu. Apa Ayah tidak pernah
berusaha untuk bisa bekerja di belakang meja saja?
Aku juga mau seperti teman sekolah lain, teman-
temanku yang lain. Membanggakan pekerjaan ayah
mereka.

“Gita, cepatan habisin sarapanmu! Kamu nanti
bisa telat, loh,” ucap Ibu menepuk pundakku
menyadarkan dari lamunan.

Aku malas menghabiskan sarapan ini kalau
tidak ingat pagi ini ada mata pelajaran olahraga.

“Gita, sudah siap kamu? Ikut gerobak ayah
berangkat kerja, yuk!” ajak Ayah tersenyum.

“Gita tidak mau diantar ke sekolah, Ayah. Gita
malu dengan profesi Ayah.” Aku menolak ajakan
ayah.

“Lagian, getol amat cari duit! Kerja utama
Ayah cuma satu, satunya lagi cuma sampingan, tapi
makin lama kok yang sampingan malah jadi lebih
ditekuni?” ucapku kesal kepada Ayah.

“Itu semua pekerjaan halal, Gita. Tidak perlu
kamu malu, Nak,” jelas ayah dengan lembut.

“Stop kerjaan ini, Yah! Aku malu! aku tuh
sering jadi bahan ejekan dan jadi bahan bully teman

134

sekelas. Mereka enggak tahu saja aslinya,” sungutku
sambil menangis berlari meninggalkan Ayah yang
masih terpaku di ruang makan. Aku berangkat
sekolah tanpa diantar oleh ayah.

Sudah hampir tiga bulan kami tinggal di
kontrakan ini. Dusun Sukamaju yang berada tepat di
bawah kaki Gunung Slamet. Dusun dengan mayoritas
petani sayur ini menjadi tempat tinggal kami saat ini.
Lahir dan dibesarkan di kota membuatku butuh waktu
lebih lama untuk beradaptasi dengan lingkungan yang
ramah dibandingkan kondisi lingkunganku dulu saat
masih tinggal di komplek.

Pekerjaan ayah membuat kami mau tidak mau
dan suka tidak suka harus mengikuti jejaknya yang
terus berpindah-pindah tempat tinggal. Jujur saja, aku
lelah dan capai mengikutinya, ditambah dengan
pekerjaannya yang sungguh membuatku tertekan.
Meski begitu, membayangkan hidup tanpa dia
membuatku juga taksanggup menghabiskan hari,
begitu cintanya kepada orang tuaku.

“Gita, maafin Ayah. Bagaimana pun ini sudah
tugas yang harus ayah jalani. Bersabarlah, Sayang,”
ucap Ayah menghentikan gerobaknya, berlari
menghampiri aku di seberang jalan.

“Ayah, apa tidak bisa tanya ke atasan untuk bisa
kerja di kantor saja? Setiap hari aku harus menahan

135

jengkel melihat pekerjaan sampingan Ayah jadi
bahan olokan teman sekelasku.” Aku menunggu
jawaban ayah dengan harapan.

“Maafin, Ayah.” Mendengar ucapan itu aku
langsung masuk ke sekolah meninggalkan ayah.

Dompetku terjatuh, netra menangkap foto yang
menjadi kebanggaan aku dan keluargaku —Foto
kelulusan Ayah dari Kepolisian—

Ayah begitu gagah, tetapi Ayah harus
menyembunyikan itu demi tugas negaranya, bisikku
dalam hati.

Palembang, 17 Oktober 2022

136

MUSUH DALAM SELIMUT

Oleh: Aisyah Kho

Aroma parfumnya mencuat ke hidung, netra
kami tidak sengaja beradu saat di depan
lorong. Wajah tampan dengan kulit putih
membuatku terpesona, lelaki itu masuk ke rumah
Mbak Irma tetangga di depan rumahku.

“Neng, kenapa belum ganti baju?” tanya Emak
saat melewati ruang tamu mengambil jemuran
pakaian di luar.

“Emak itu tadi ada lelaki masuk rumah Mbak
Irma, siapa toh dia itu, Mak?” tanyaku penasaran.

“Itu anak bos Mbak Irma dulu waktu kerja di
kota, tapi bosnya sudah meninggal bersama suaminya
saat kecelakaan. Nama anaknya Arjun, kenapa,
Neng?” selidik Emak.

137

“Kagak, kenapa, Mak. Nanya doang tidak apa
‘kan?” tanyaku balik ke Emak biar tidak terkesan jadi
detektif.

“Ganti bajulah sono, Neng! Itu emak masak
semur jengkol kesukaanmu,” ucap Emak
menggodaku sambil melihatkan wajan yang
melambai-lambai semur jengkolnya.

**
“Eneng ada salam dari Arjun. Lelaki yang
tinggal di depan rumahmu, dia mantan anak bos
Mbak Irma.” Zaza duduk di sebelahku saat memesan
es cendol di kantin.
“Beneran, dia nitip salam untukku, Zaza?”
tanyaku bersemangat, Zaza mengangguk.
Arjun tinggal sudah seminggu di rumah Mbak
Irma, kami hanya sering berpapasan dan saling
lempar senyum. Aku takut sama Abang Ronaldo bisa
kena pentul kepala kalau ketahuan pacaran.
Kutatap wajah di depan cermin sudah
bertaburan dengan bedak, harus tampil cantik dong
malam ini nge-date pertamaku. Zaza temanku paling
baik, dia merencanakan ini semua agar aku dan Arjun
bisa bertemu. Malam ini kami sudah meminta izin
pergi ke pasar malam semua berjalan mulus. Abang
Ronaldo sedang di luar kota, sedangkan Emak dan
Abah tidak mau ikut karena ingin menonton sinetron

138

tersayangan mereka. Kami pergi bersama Mbak Irma
dan keluarga Zaza.

Saat yang lain sibuk main lempar gelang, kami
bertiga naik roda kincir.

“Kamu cantik sekali malam ini, Eneng.” Pujian
Arjun membuat hatiku jadi berbunga-bunga.

Arjun pun menembakku malam itu juga, tetapi
belum bisa kujawab.

Seminggu kemudian dia pulang ke kota, aku
demam karena kasmaran sampai rindu ini menyiksa
diri.

Bulan berikutnya aku tetap menunggu dengan
sabar. Hari Senin sepulang sekolah hidungku
mencium aroma parfum milik Arjun. Aku mengintai
sosoknya tidak ada di rumah Mbak Irma, tetapi sangat
dekat sekali.

“Apa dia di rumah, Zaza?” gumamku.
Ada Lisa baru keluar dari rumah Zaza yang
berdampingan dengan rumahku. Aku pun menarik
tangannya masuk ke rumah.
“Di rumah Zaza ada Arjun, ya? Mereka
ngapain berduaan di ruang atas rumahnya Zaza? Apa
yang mereka sembunyikan dariku, tolong jawab,
Lisa!” tanyaku sambil memasang muka mengemis.
Ini kejadian aneh bagiku, tumben Zaza tidak
memanggilku.

139


Click to View FlipBook Version