• Nyeri terutama ketika melakukan aktivitas berdiri dan meluruskan lutut secara aktif. • Tempurung lutut yang bengkak dan goyang. • Terdapat perlunakan di sekitar tempurung lutut. • Adanya rasa tidak stabil atau tidak mampu menahan ketika berdiri. • Kelemahan otot quadriceps7. C. Diagnosis Anamnesa • Gejala yang dialami saat ini • Riwayat trauma atau cedera • Mekanisme dan proses terjadinya trauma atau cedera • Kapan terjadinya trauma atau cedera • Riwayat pengobatan • Riwayat penyakit terdahulu • Riwayat penyakit pada keluarga Pemeriksaan Fisik • Look: melihat adanya perubahan bentuk, adanya memar, bengkak pada daerah sekitar lutut, adanya luka luar pada bagian lutut. • Feel: terdapat nyeri tekan di bagian lutut, teraba benjolan, dan perubahan suhu akibat pembengkakan • Move: mencoba menggerakkan lutut untuk melihat ROM normal atau terbatas, melakukan patellar apprehension test dan membandingkannya dengan lutut yang satunya. Pemeriksaan Penunjang • X-Ray : untuk melihat adanya tulang yang retak atau patah Gambar 34, X-ray dislokasi patella • Ct-scan : digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan struktur di sekeliling tempurung lutut atau pada permukaan sendi patella, seperti lesi osteokondral yang sering terjadi.
Gambar 35, CT scan dislokasi patella (axial view) • MRI : untuk melihat struktur jaringan lunak yang mengalami kerusakan D. Penatalaksanaan1,7,8 Pre Hospital: • Primary survei • Imobilisasi pasien • Pemberian analgetik • Pastikan pusat trauma yang terverifikasi dan tersedia dokter spesialis. • Transportasi segera ke fasilitas terdekat yang sesuai Hospital : Fase Akut Selama fase akut dari cedera tujuan langsung adalah untuk mengurangi peradangan, meredakan nyeri dan menghentikan aktivitas yang memberikan beban berlebihan pada sendi patellofemoral. Pasien dengan dislokasi patella akut umumnya dievaluasi di bagian kegawatdaruratan, dengan evaluasi radiografik dan seringkali mendapatkan konsultasi dengan dokter ortopedi untuk menilai patologi intraartikular. Penanganan fase akut harus menggunakan prinsip PRICE: proteksi sendi yang cedera, relative rest (istirahat relatif), ice (es), compression (kompresi), dan elevasi untuk mengendalikan peradangan. Penanganan definitive untuk reduksi patella yang tidak kembali secara spontan hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan profesional atau yang terlatih. Fisioterapi Sebagian besar pasien dengan dislokasi patella akan merasa lebih baik dalam beberapa menit setelah reduksi. Akan tetapi rehabilitasi akan memerlukan setidaknya enam minggu untuk mencegah dislokasi berulang.
Penanganan bertujuan untuk: • Mengurangi nyeri dan peradangan. • Melindungi patella dengan menggunakan taping atau brace patella. • Menormalisasi kisaran gerak sendi. • Menguatkan lutut terutama otot quadriceps medial (VMO). • Menguatkan tungkai bawah: otot betis, panggul dan pelvis. • Memperbaiki kesejajaran patellofemoral (tempurung lutut). • Menormalisasi panjang otot dan retinaculum. • Memperbaiki propriosepsi, ketangkasan dan keseimbangan. • Memperbaiki teknik dan fungsi gerakan lutut misalnya berjalan, berlari, berjongkok, melompat dan mendarat. • Meminimalisasi kemungkinan terjadinya dislokasi berulang. Operatif Mayoritas pasien dengan dislokasi patella merespons baik dengan penanganan konservatif. Akan tetapi pada beberapa kasus, pembedahan dapat diperlukan untuk memperbaiki kerusakan tulang atau ligamen yang signifikan karena dislokasi. Kerusakan ini dapat mencakup cedera pada otot dan ligamen patella medial, permukaan sendi tempurung lutut atau melakukan pelepasan ligamen lateral. Pada fase akut, intervensi pembedahan dilakukan untuk dislokasi yang rumit dengan fraktur yang berkaitan. Cedera tulang rawan yang paling sering adalah fraktur osteokondral dari facet patella medial atau retakan pada bagian tengah kubah patella. Cedera kartilaginosa juga sering dijumpai pada condylus lateralis femoris. Artroskopi dapat memperbaiki atau membuang fragmen fraktur. Meskipun begitu, intervensi pembedahan akut tidak diperlukan pada sebagian besar kasus.7,8 E. Komplikasi • Awal : cedera ligament medial patellofemoral, cedera retinaculum, fraktur osteokondral • Lanjut : dislokasi berulang, anterior knee pain, kekakuan sendi (joint stiffness) 3.6. Dislokasi Knee4 A. Definisi : Dislokasi lutut adalah cedera traumatis yang ditandai dengan tingkat cedera vaskular yang tinggi. Dislokasi lutut terjadi ketika tiga tulang lutut keluar dari tempatnya dan tidak sejajar sebagaimana mestinya. Sering kali dislokasi lutut terjadi saat peristiwa traumatis mendorong tulang di sendi lutut keluar dari tempatnya dengan kekuatan besar. Ini bisa dibilang kondisi darurat, dan sangat menyakitkan.
Dislokasi lutut traumatis merupakan cedera yang mungkin mengancam anggota tubuh, karena sering disertai cedera neurovaskular oleh sebab itu harus diperlakukan sebagai keadaan darurat ortopedi. Kebanyakan dislokasi lutut disebabkan oleh cedera berenergi tinggi, seperti kecelakaan kendaraan bermotor atau industri. Hal ini juga dapat terjadi pada cedera berenergi rendah, seperti yang terjadi saat olahraga. Gambar 36 Anatomi Dislokasi Knee(kiri) & Foto Klinis (kanan) ANATOMI • Ginglymoid (sendi engsel) terdiri dari tiga artikulasi: (1) patellofemoral, (2) tibiofemoral, dan (3) tibiofibular. Dalam pembebanan normal, lutut mungkin mengalami beban hingga lima kali berat badan per langkah. Rentang gerak normal adalah dari ekstensi 0 derajat hingga fleksi 140 derajat dengan rotasi 8 hingga 12 derajat melalui busur fleksi-ekstensi. Stabilitas dinamis dan statis lutut diberikan terutama oleh jaringan lunak (ligamen, otot, tendon, meniskus) selain artikulasi tulang. • Cedera jaringan lunak yang signifikan diperlukan untuk dislokasi lutut, termasuk pecahnya setidaknya tiga dari empat struktur ligamen utama lutut. Ligamentum cruciatum anterior dan posterior (ACL dan PCL) terganggu pada sebagian besar kasus, dengan tingkat cedera yang bervariasi juga pada ligamen kolateral, elemen kapsuler, dan meniskus. • Kumpulan pembuluh darah poplitea berjalan melalui terowongan fibrosa setinggi hiatus adduktor. Di dalam fossa poplitea, lima cabang genikulatum dilepaskan, setelah itu struktur pembuluh darah berjalan jauh ke soleus dan melalui kanal fibrosa lainnya, hal inilah yang membuat pembuluh darah poplitea rentan terhadap cedera, terutama pada saat terjadi dislokasi. • Fraktur terkait pada eminensia tibialis, tuberkulum tibialis, kepala atau leher fibula, dan avulsi kapsuler sering terjadi dan harus dicurigai.
Gambar 37, Anatomi lutut B. Mekanisme Cidera • Energi tinggi: Kecelakaan kendaraan bermotor termasuk dengan cedera “dashboard” akibat benturan lutut mengenai dashboard mobil yang menyebabkan pembebanan aksial pada tulang tibia atau jatuh dari ketinggian dengan lutut dalam posisi fleksi. • Energi rendah: Ini termasuk cedera atletik dan jatuh pada pasien obesitas. • Cedera Hiperekstensi pada lutut dengan atau tanpa varus/valgus menyebabkan dislokasi anterior. • Cedera dengan arah gaya ke posterior pada proksimal tibia menyebabkan dislokasi posterior (cedera dashboard). Gejala Dislokasi Lutut • Menyebabkan nyeri hebat di lutut. • Terlihat deformitas pada daerah lutut. • Lutut akan membengkak karena cairan di lutut dan nyeri saat melakukan gerakan apa pun. • Gejala yang sangat serius termasuk hilangnya denyut nadi di bawah lutut atau hilangnya perasaan atau gerakan di bawah lutut. C. Diagnosis Anamnesa • Gejala yang dialami saat ini • Riwayat trauma atau cedera • Mekanisme dan proses terjadinya trauma atau cedera • Kapan terjadinya trauma atau cedera • Riwayat pengobatan • Riwayat penyakit terdahulu • Riwayat penyakit pada keluarga
Pemeriksaan Fisik • Look: tampak perubahan bentuk lutut (genu recurvatum), adanya memar, lutut membengkak, dapat disertai adanya luka pada bagian lutut, dimple sign • Feel: melakukan pemeriksaan untuk mengevaluasi adanya cedera vaskular dengan melakukan perabaan pada a. dorsalis pedis, lakukan pemeriksaan fungsi sensorik dan motorik n. peroneal dan n. tibialis. • Move: mengevaluasi apakah pasien dapat menggerakkan lututnya baik aktif maupun pasif untuk melihat fungsi ROM normal atau terbatas. Jika kondisi lutut memungkinkan dapat dilakukan varus/valgus tes untuk melihat adanya cedera ligamentum kolateral serta pemeriksaan ACL dan PCL untuk menilai stabilitas dari lutut yang cedera Pemeriksaan Penunjang • X ray : dapat tampak normal pada kasus yang mengalami reduksi spontan, untuk melihat fraktur avulsi pada tibia • Ct-scan : digunakan untuk melihat konfigurasi dari fraktur, kerusakan struktur di lutut atau pada permukaan sendi lutut seperti lesi osteokondral yang sering terjadi. • MRI : untuk melihat struktur jaringan lunak seperti ligament dan meniscus yang mengalami kerusakan D. Klasifikasi Gambar 38, Klasifikasi Dislokasi Lutut Klasifikasi Dislokasi Lutut (Kennedy classification). Berdasarkan arah pergeseran tulang tibia terhadap femur : • Anterior : 50% dari semua kasus dislokasi lutut • Posterior : 30-40% kasus dislokasi ini paling sering menyebabkan cedera vaskular • Lateral : 13% kasus disebabkan gaya varus atau valgus • Medial : 3% kasus disebabkan gaya varus atau valgus • Rotational : 4% kasus biasanya sulit untuk direduksi secara tertutup
E. Penatalaksanaan Pre Hospital: • Primary survei • Imobilisasi pasien • Pemberian analgetik • Pastikan pusat trauma yang terverifikasi dan tersedia dokter spesialis. • Transportasi segera ke fasilitas terdekat yang sesuai Hospital : Reduksi tertutup segera sangat penting bahkan di lapangan dan terutama pada yang mengalami gangguan. Tekanan langsung pada ruang poplitea harus dihindari selama atau setelah reduksi. Manuver reduksi untuk masing-masing dislokasi lutut : • Anterior: Traksi ekstremitas aksial dikombinasikan dengan pengangkatan femur distal. • Posterior: Traksi ekstremitas aksial dikombinasikan dengan ekstensi dan pengangkatan tibia proksimal. • Medial/lateral: Traksi ekstremitas aksial dipadukan dengan translasi tibia ke lateral/medial. • Rotasi: Traksi ekstremitas aksial dikombinasikan dengan derotasi tibia. Lutut harus diimobilisasi dengan posisi fleksi 20 hingga 30 derajat. Pendekatan ini lebih baik untuk lutut yang sangat tidak stabil serta melindungi pembuluh darah. Imobilisasi dapat dilakukan selama 6 minggu dengan latihan ROM lutut untuk mencegah kekakuan sendi. Dislokasi posterolateral diyakini “tidak dapat direduksi” karena adanya lubang kancing pada kondilus femoralis medial melalui kapsul medial, sehingga menimbulkan tanda lesung (dimple sign) pada aspek medial ekstremitas; itu membutuhkan reduksi terbuka. Indikasi tindakan operatif dislokasi lutut meliputi: • Reduksi tertutup yang gagal • Interposisi jaringan lunak • Cedera terbuka • Cedera pembuluh darah Cedera pembuluh darah memerlukan fiksasi eksternal dan perbaikan pembuluh darah dengan cangkok vena safena terbalik dari kaki kontralateral; tingkat amputasi setinggi 86% telah dilaporkan bila terjadi penundaan lebih dari 8 jam dengan adanya gangguan vaskular pada ekstremitas. Fasiotomi harus dilakukan pada saat perbaikan vaskular untuk iskemia ekstremitas yang lebih lama dari 6 jam. Perbaikan ligamen masih kontroversial: Literatur saat ini mendukung perbaikan akut ligamen
lateral yang diikuti dengan gerakan awal dan penyangga fungsional. Waktu perbaikan bedah tergantung pada kondisi pasien dan anggota tubuh. Cedera meniskus juga harus ditangani pada saat operasi. F. Kompikasi Awal : • Rentang gerak terbatas: • Kelemahan dan ketidakstabilan ligamen • Gangguan pembuluh darah • Cedera traksi saraf Lanjut : • Kekakuan sendi • Post-traumatic Osteoarthritis • Chronic Instability 3.7. Dislokasi Ankle1,2,4 A. Definisi Dislokasi adalah kondisi dimana terdapat pemisahan abnormal antara tulangtulang pada satu sendi. Ketika hal ini terjadi pada sendi pergelangan kaki, maka hal ini disebut dengan dislokasi pergelangan kaki. Hal ini termasuk suatu cedera yang berat. Terdapat 3 tulang yang membentuk sendi pergelangan kaki yaitu: • Tulang tibia (tulang kering) • Tulang fibula (tulang betis) • Tulang talus (tulang kaki) Sendi pergelangan kaki memungkinkan kaki Anda untuk bergerak ke atas dan bawah. Normalnya satu set ligamen yang kuat akan menahan semua tulang ini pada tempatnya. Cedera berat dapat menarik atau merobek ligamen ini sehingga akan menyebabkan timbulnya ruang abnormal antara satu atau lebih tulang pada sendi tersebut. Dislokasi pergelangan kaki sering terjadi bersamaan dengan patahnya satu atau lebih tulang pergelangan kaki. Pada beberapa kasus, suatu dislokasi pergelangan kaki dapat terjadi tanpa disertai patah pada tulang pergelangan kaki. Pada kasus ini, dislokasi pergelangan kaki terjadi bersama dengan sprain atau cedera ligamen yang berat.
Gambar 39, Anatomi Dislokasi Ankle Pada kebanyakan kasus, cedera akan mengakibatkan tulang talus berada di belakang tulang pergelangan kaki yang lain. Namun, tulang talus dapat terdorong ke salah satu sisi, ke atas, ataupun ke depan. Dislokasi pergelangan kaki dapat terjadi pada semua orang dengan usia berapapun. B. Mekanisme Cedera Dislokasi ini dapat terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor, selain itu bisa juga terjadi saat berolahraga, terutama yang melibatkan gerakan melompat dan terjadi ketika kaki Anda menekuk ke bawah saat mendapat tekanan (posisi ankle plantar fleksi). Gambar 40, Foto Klinis Dislokasi Ankle Faktor Risiko Anda dapat berisiko lebih tinggi untuk mengalami dislokasi pergelangan kaki, jika:
o Anda melakukan banyak aktivitas atletik, terutama olahraga yang melibatkan gerakan sisi-ke-sisi dan melompat (sepak bola, basket, rugby) o Anda pernah mengalami cedera ligamen, fraktur, atau dislokasi pergelangan kaki sebelumnya o Anatomi pergelangan kaki yang tidak normal sejak lahir o Anda memiliki kondisi yang menyebabkan ligamen lebih longgar, seperti sindrom Ehlers-Danlos o Obesitas o Pemakaian sepatu yang tidak tepat Gejala Dengan adanya cedera pada pergelangan kaki, Anda akan mengalami gejala seperti: o Nyeri yang segera dan berat o Bengkak dan memar mendadak pada sendi o Nyeri tekan pada pergelangan kaki o Ketidakmampuan untuk memberi beban pada kaki o Gangguan menggerakan pergelangan kaki atau kaki o Bentuk pergelangan kaki berubah o Tulang menonjol pada kulit C. Diagnosis Anamnesa o Gejala yang dialami saat ini o Riwayat trauma atau cedera o Mekanisme dan proses terjadinya trauma atau cedera o Kapan terjadinya trauma atau cedera o Riwayat pengobatan o Riwayat penyakit terdahulu o Riwayat penyakit pada keluarga Pemeriksaan Fisik o Look: melihat perubahan bentuk pergelangan kaki, adanya memar, pergelangan kaki yang membengkak, perubahan warna, dapat disertai adanya luka pada bagian pergelangan kaki. o Feel: melakukan pemeriksaan untuk mengetahui adanya nyeri tekan pada bagian tertentu dari pergelangan kaki, mengevaluasi vaskularisasi pada kaki dengan melakukan pemeriksaan CRT atau mengukur saturasi O2 pada jari
kaki, melakukan pemeriksaan fungsi saraf (apakah ada rasa baal atau kesemutan) akibat tarikan saraf tertentu pada daerah sekitar pergelangan kaki. o Move: mencoba menggerakkan pergelangan kaki untuk melihat fungsi ROM normal atau terbatas. Pemeriksaan Penunjang o Rontgen : bila dokter mencurigai adanya tulang yang retak atau patah Gambar 41, X-ray dislokasi ankle o CT (Computerized Tomography) Scan : untuk melihat apakah ada fraktur avulsi atau lesi osteokondral o MRI (Magnetic Resonance Imaging) : untuk melihat kerusahkan pada jaringan lunak (ligament dan tendon) disekitar ankle D. Penatalaksanaan Pre Hospital : o Primary survey o Imobilisasi pasien o Pemberian analgetik o Pastikan pusat trauma yang terverifikasi dan tersedia dokter spesialis. o Transportasi segera ke fasilitas terdekat yang sesuai Hospital : Melakukan tindakan mengembalikan posisi tulang ke posisi normal kemudian dilanjutkan dengan penanganan fase akut harus menggunakan prinsip PRICE: proteksi sendi yang cedera, relative rest (istirahat relatif), ice (es), compression (kompresi), dan elevasi untuk mengendalikan peradangan. Penanganan definitive untuk reduksi ankle yang tidak berhasil hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan profesional atau yang terlatih. Imobilisasi dapat dilakukan dengan splint atau bootcast. Operasi emergensi dilakukan pada beberapa kasus cedera yang lebih berat dan
kasus yang disertai fraktur. Rehabilitasi akan dibutuhkan setelah periode pembatasan pergerakan kaki atau operasi untuk mengurangi pembengkakan dan mengembalikan ruang gerak, kekuatan, dan keseimbangan. Hal ini harus dilakukan di bawah supervisi terapis fisik. E. Komplikasi Awal: • Cedera saraf • Cedera vascular • Nyeri pergelangan kaki • Instabilitas sendi Lanjut: • Post-traumatic Osteoarthritis • Kekakuan pada sendi (joint stiffness) • Nyeri sendi kronik (Persistent pain) Pencegahan Untuk mencegah dislokasi pergelangan kaki, hal yang dapat Anda lakukan adalah: • Lakukan pemanasan dan peregangan yang baik sebelum beraktivitas • Gunakan alat pelindung dan pendukung, seperti ankle brace • Gunakan teknik yang baik saat berlari, melompat, dan memotong • Pertahankan kondisi, fleksibilitas, dan kekuatan otot yang baik
BAB IV TRAUMA VASKULER (Traumatic Amputation & Crush Injury) 4.1. Tujuan Untuk dapat mengidentifikasi trauma vaskuler secara tepat hingga bagaimana penatalaksanaannya pada kasus ini. Pendahuluan Dan Definisi Trauma vaskuler merupakan salah satu trauma yang memiliki andil dalam kasus trauma yang berhubungan dengan kematian. Lebih dari 20% kasus trauma yang berhubungan dengan kematian diakibatkan oleh trauma vaskuler. Trauma pada sistem vaskuler sebelumnya ditatalaksana dengan mengligasi arteri yang trauma, namun karena dampak morbiditas dan mortalitas yang diakibatkan dengan metode ini cukup besar, maka pada tahun 1759, dikembangkanlah teknik memperbaiki vaskuler tanpa merusak lumen pembuluh darah yang dipelopori oleh dr. Richard Lambert. Trauma vaskuler dapat terjadi pada warga sipil ataupun pada saat adanya perang. Persentase kejadian trauma vaskuler paling banyak terjadi pada saat perang dimana 79% diantaranya berhubungan dengan trauma pada esktremitas, dan 66% nya terjadi pada ekstremitas bawah. Jika trauma vaskuler yang diakibatkan cukup parah hingga merusak struktur otot dan pembuluh darah, maka kejadian ini dapat diklasifikasikan menjadi crush injury. Istilah Crush injury pertama kali dideskripsikan pada tahun 1941. Fenomena ini terjadi akibat adanya kompresi mekanikal yang biasanya berbeban berat pada anggota tubuh. Cedera ini pertama kali disadari pada pasien dengan cedera kompresi yang telah menjalani stabilisasi pada hemodinamiknya namun mengalami gagal ginjal beberapa hari setelahnya. Manifestasi klinis pada crush injury disebut dengan crush syndrome. Oleh karena itu, perlu adanya pemantauan pada pasien dengan crush injury. Hal lainnya yang harus dipertimbangkan adalah apakah ekstremitas yang terkena trauma masih dapat diselamatkan atau perlu dilakukan amputasi. Amputasi juga adalah salah satu cedera traumatik yang dapat menyebabkan disabilitas dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Sayangnya cedera ini masih sering dijumpai. Amputasi didefinisikan sebagai cedera pada ekstremitas yang menyebabkan putusnya anggota tubuh akibat kecelakaan atau hal lainnya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Lee dkk, ditemukan risiko dilakukannya amputasi meningkat jika terdapat fraktur terbuka, fraktur tibia atau fibula, kontaminasi luka, trauma jaringan yang ekstensif, status syok, terapi dengan agen inotropik, dan transfusi pRBC. Cedera amputasi sampai saat ini tetap menjadi sebuah tantangan dalam penanganannya. Dibutuhkan tim yang lengkap baik dari medis maupun non medis untuk memberikan pelayanan secara holistik mengingat hilangnya anggota tubuh akibat trauma vaskuler mudah terjadi jika terdapat keterlambatan hingga ketidaktepatan diagnosis.
Blast injury adalah trauma yang disebabkan oleh ledakan baik high order explosives (gelombang tekanan supersonik) maupun low order explosives (gelombang tekanan subsonik). Blast injury terbagi menjadi beberapa macam yaitu: • Blast injury primer Disebabkan oleh gelombang ledakan yang datang ke tubuh seseorang. Blast injury primer biasanya disebabkan oleh high order explosives. Ledakan akan menyebabkan kerusakan terutama pada organ yang berisi udara berlebih. Barotrauma yang terjadi dapat mempengaruhi paru, organ auditori, mata, otak, dan saluran pencernaan. Blast injury primer dapat tidak terlihat dan tidak terlihat segera setelah trauma. Yang termasuk dalam blast injury primer adalah blast ear, blust lung, blust eye, blust brain, dan blast belly. • Blast injury sekunder Disebabkan oleh karena debris dari ledakan yang melakukan penetrasi atau interaksi dengan permukaan tubuh. Blast injury sekunder lebih sering terjadi daripada blast injury primer dan merupakan penyebab utama kematian korban ledakan. • Blast injury tersier Disebabkan oleh karena terbenturnya tubuh korban dengan objek lain atau karena runtuhnya bangunan baik dalam luka tajam maupun luka tumpul. Kekuatan ledakan menentukan tingkat keparahan luka. • Blast injury kuerternari Disebabkan oleh trauma lain yang tidak termasuk dalam blstt premer, sekunder, dan tersier Gambar 1. Blast Injury
4.2. Mekanisme Cedera Etiologi dari trauma vaskuler terbagi menjadi tiga, berdasarkan mekanisme trauma, lokasi anatomi, dan penemuan intraoperatif. Berdasarkan mekanisme trauma disebakan oleh trauma tumpul (fraktur atau dislokasi), trauma tusuk (trauma tusuk akibat peluru, pecahan ledakan, pisau, gantungan baju), atau keduanya. Berdasarkan lokasi anatomi terbagi menjadi ekstremitas atas dan ekstremitas bawah. Sedangkan berdasarkan penemuan intraoperatif terbagi menjadi cut injury, laserasi, dan crush injury. Suatu trauma dapat dikatakan cut injury jika trauma yang ditimbulkan bersifat bersih dan tajam, dan laserasi jika luka trauma yang terbentuk ireguler dan luka pada pembuluh darah yang terkena tidak rapi. Namun, jika trauma yang dihasilkan cukup berat hingga merusak struktur otot hingga pembuluh darah, maka trauma ini dapat disebut crush injury. Mekanisme trauma yang sering terjadi pada anak maupun dewasa ialah akibat tabrakan kendaraan bermotor, senjata api, penusukan, dan jatuh. Pada kasus fraktur dan dislokasi, terdapat risiko terjadinya trauma vaskuler berdasarkan lokasi anatomi terjadinya trauma (Tabel 1). Trauma Skeletal Risiko Vaskuler yang Trauma Fraktur Klavikula / Iga pertama Pembuluh darah subklavia, plexus brachialis Humeral neck Arteri dan nervus aksilaris Humeral diafisis dan suprakondilar Arteri brachialis, nervus radialis acetabulum Iliac eksternal, pembuluh darah gluteus superios dan femoralis, nervus sciatic Femoral shaft Arteri femoralis superfisial Suprakondilar femur Pembuluh darah popliteal Tibia proksimal Arteri popliteal, tibioperoneal trunk, arteri tibialis, arteri peroneal, nervus peroneal Tibia distal Arteri tibialis atau peroneal Cervical spine Arteri vertebralis Thoracic spine Aorta desendans Lumbar spine Aorta abdominal Dislokasi Dislokasi bahu (anterior) Arteri dan nervus aksilaris
Dislokasi elbow Arteri brachialis, nervus radialis, ulnaris, dan medianus Dislokasi pinggul Arteri femoralis, nervus sciatic Dislokasi lutut Arteri popliteal, nervus peroneal dan tibia Dislokasi ankle Arteri tibialis posterior, nervus tibialis posterior Tabel 1. Struktur vaskuler yang berisiko trauma berdasarkan trauma skeletal Gambar 2. Ilustrasi Perbedaan Cut Injury (kiri) dan Laserasi (kanan) Terjadinya trauma vaskuler dapat mengakibatkan perdarahan dan atau oklusi hingga mengakibatkan terjadinya iskemia. Iskesmia yang berkepanjangan dapat menyebabkan gangguan pada membran pembuluh darah karena adanya deplesi pada energi ATP. Sel endotelial yang mengalami iskemia akan memproduksi radikal bebas yang berpengaruh pada aktivasi neutrofil. Neutrofil yang teraktivasi akan meningkasi adhesi sel yang memperparah kerusakan sel endotelial yang memiliki implikasi pada peningkatan permeabilitas vaskular, pembengkakkan sel, edema, dan perubahan pada vasomotor tone. Durasi penyelamatan pada seseorang yang terkena trauma vaskuler penting untuk menilai sebesar apa kerusakan yang terjadi. Pada penelitian terbaru, dikatakan bahwa threshold iskemia pada ekstremitas yang mengalami trauma hingga terjadinya sel nekrosis ialah kurang dari lima jam, namun jika terdapat syok hemoragik maka menurun menjadi kurang dari tiga jam. Pada beberapa kasus dengan trauma berat seperti pada crush injury, sel otot akan mengalami peregangan. Membran plasma serat otot yaitu sarkolema akan mengalami kebocoran dan mengeluarkan substansi nefrotoksik seperti myoglobin, urate, fosfat dan kardiotoksik seperti kalium. Adanya kebocoran pada sarkolema membuat terjadinya perpindahan cairan, kalsium, dan natrium dari ruang ekstraselular ke dalam sel sehingga membuat otot menjadi bengkak dan volume intravaskular berkurang hingga akhirnya terjadi syok hipovolemik. Pada kasus crush injury biasanya diawali dengan hypovolemia, hiperkalemia, dan asidosis metabolic setelah itu akan muncul gagal ginjal akut yang diakibatkan oleh myoglobinuria dan uricosuria.
Mekanisme terjadinya cedera amputasi juga berbeda pada tiap kelompok umur. Sebagai contoh, pada populasi pediatri penyebab tersering amputasi adalah jari yang terjepit pintu atau alat berat, diikuti dengan kecelakaan sebesar 8%. Sedangkan pada populasi dewasa, sebanyak 43% disebabkan oleh kecelakan. Perlu diketahui mekanisme cedera dalam menangani kasus-kasus amputasi. Dengan mengetahui mekanisme trauma yang jelas, maka penanganan kasus amputasi dapat dilakukan dengan lebih baik. Mekanisme trauma dapat menentukan sejauh mana keterlibatan dari jaringan lunak, kulit, tulang, dan jaringan lainnya pada kasus tersebut. Beberapa mekanisme amputasi adalah: ● Amputasi guilotine Amputasi jenis ini seringnya diakibatkan oleh peralatan industri, seperti gurinda atau gergaji. Pada kasus ini tepi potongan yang terjadi cukup jelas dan tingkat cedera terjadi pada level yang sama. Replantasi pada kasus ini cenderung yang termudah untuk dilakukan. Gambar 3. Amputasi Guilotine (a – d : sebelum replantasi, e – h : setelah replantasi) ● Amputasi avulsi Terjadi akibat adanya tarikan dan robekan jaringan. Kasus ini menyebabkan degloving injuries. Mekanisme tarikan pada jaringan ini menyebabkan cedera terjadi pada tingkat yang berbeda-beda. Hal ini menyebabkan replantasi cenderung lebih sulit untuk dilakukan.
Gambar 4. Degloving Injuries ● Amputasi akibat ledakan Mekanisme amputasi ini adalah yang paling parah dibandingkan dengan mekanisme lainnya. Pada amputasi jenis ini, dikarenakan amputasi diakibatkan oleh peledak, maka cedera yang terjadi lebih kompleks dan terdapat gangguan jaringan yang lebih global. 4.3. Assessment A. Anamnesis Pemeriksaan dimulai dari anamnesis, menyangkut riwayat pasien mengenai kapan trauma terjadi, bagaimana mekanisme trauma, dan dimana trauma terjadi. Ketiga hal ini penting untuk ditanyakan untuk mengetahui risiko infeksi dan tingkat keparahan trauma. Selain itu, usia dan riwayat penyakit pasien seperti adanya penyakit diabetes, jantung atau ginjal juga perlu ditanyakan terutama pada pasien lanjut usia. B. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik dengan prinsip life before limb, pastikan tidak ada trauma lainnya yang mengancam nyawa. Pemeriksaan fisik pada ekstremitas yang trauma dapat dinilai dari posisi anatomi, postur ekstremitas, warna kulit, capillary refill time, dan kedalaman luka. Posisi anatomi dan postur dapat menggambarkan adanya fraktur atau trauma pada tendon. Warna kulit yang lebih pucat dapat menggambarkan adanya devaskularisasi. Pemeriksaan denyut nadi juga dilakukan walaupun ditemukan denyut nadi normal dengan trauma vaskuler pada 5- 15% pasien. Setiap pemeriksaan fisik dilakukan juga pada sisi kontralateral. Jika terdapat perubahan pada hasil pemeriksaan fisik setelah dilakukan intervensi maka diperlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menyingkirkan trauma vaskuler iatrogenik. Pada kasus fraktur atau dislokasi setelah dilakukan intervensi berupa reduksi, biasanya terdapat perbaikan pada hasil pemeriksaan fisik. Hal lainnya yang perlu mendapatkan perhatian ialah pemeriksaan stabilitas sendi lutut. Jika terdapat peningkatan kelemahan pada sendi lutut maka perlu dicurigai adanya dislokasi lutut.
Hal ini penting dikarenakan berdasarkan lokasi anatomi, dislokasi lutut khususnya bagian posterior berhubungan dengan trauma arteri popliteal. Gambar 5. Crush injury pada dorsum palmar. Postur fleksi pada jari tangan mengindikasikan tendon masih intak (A,B,C). V-sign (C) antara jari telunjuk dan jari lainnya menandakan fraktur metacarpal. Foto X-ray tangan (D) Pada trauma vaskular, pemeriksaan fisik juga diklasifikasikan menjadi hard or overt signs dan soft signs. Klasifikasi hard signs dan soft signs dijabarkan pada tabel 2. Tabel 2. Hard signs dan soft signs pada trauma vaskuler Pada pasien dengan hasil pemeriksaan mengarah ke hard signs, ditemukan bahwa tingkat insidensi terjadinya trauma vaskular cukup tinggi, yaitu lebih dari 90%. Sehingga, pada kasus serupa, operasi segera pada ekstremitas yang trauma perlu Hard signs Soft signs Tidak ada denyut (Pulselessness) Riwayat perdarahan saat transit Pallor Proximity-related injury Parestesia Kelainan neurologis dari saraf yang berdekatan dengan arteri yang trauma Nyeri (Pain) Hematoma pada arteri yang trauma Paralisis Hematoma yang berkembang pesat Perdarahan massif Palpable thrill / audible bruit
dilakukan. Namun jika terdapat hard signs selain hematoma dan perdarahan eksternal, maka perlu dilakukan rapid duplex ultrasound (DUS) terlebih dahulu untuk melokalisasi defek sebelum dilakukannya insisi. Berbeda dengan soft signs, tingkat insidensi trauma vaskuler cukup rendah, yaitu 3-25%. Maka diperlukan pemeriksaan komprehensif seperti arterial pressure index (API) atau injured extremity index (IEI) dan ankle-brachial index (ABI). Jika didapatkan indeks =0.9 maka tidak perlu dilakukan pemeriksaan pencitraan dikarenakan tingkat sensitivitas dan spesifisitas cukup tinggi yaitu lebih dari 95%. Namun jika hasil ABI/API =0.1 maka perlu dilakukan pemeriksaan pencitraan. Pada pasien stabil namun hasil pemeriksaan fisik abnormal perlu ditambah dengan pemeriksaan penunjang seperti arteriography, CT arteriography, atau duplex ultrasound untuk mencari lokasi trauma. Kejadian trauma berat pada ekstremitas, perlu dipertimbangkan apakah ekstremitas tersebut dapat diselamatkan atau tidak. Beberapa parameter yang dapat digunakan untuk membantu penentuan ialah Mangled Extremity Severity Score (MESS), Predictive Salvage Index, NISSSA score, Limb Salvage Index and Hannover Fracture Index. MESS merupakan parameter yang paling sering digunakan untuk penentuan dilakukan atau tidaknya amputasi, dimana jika skor lebih dari 7, maka tindakan amputasi perlu dilakukan. (Tabel 3) Mangled Extremity Severity Score (MESS) 1. Skeletal/Soft Tissue Injury 1. Low energy (stab wound, simple fracture, low energy gunshot wound) 2. Medium energy (open or multiple fractures, dislocation) 3. High energy (high speed motor vehicle collision or rifle gunshot wound) 4. Very high energy (above plus gross contamination) 2. Limb ischemia (score doubled for ischemia time >6 hours) 1. Pulse reduced or absent but perfusion normal 2. Pulseless; paresthesia, diminished capillary refill 3. Cool, paralyzed, insensate, numb 3. Shock 0. Systolic blood pressure always > 90 mmHg 1. Systolic blood pressure transiently < 90 mmHg 2. Systolic blood pressure persistently < 90 mmHg 4. Age (years) 0. < 30 1. 30-50
2. > 50 Tabel 3. Mangled Extremity Severity Score (MESS) Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang paling sering digunakan untuk kasus trauma vaskuler ialah angiografi, CT angiografi (CTA), dan duplex ultrasound (DUS). CTA merupakan alat diagnostik yang sering dipilih dikarenakan diagnosisnya yang cepat untuk menilai ada tidaknya trauma vaskuler dan disaat yang bersamaan dapat melihat gambaran tulang dan jaringan disertai durasi prosedur yang cepat, tidak perlu tambahan personal radiologi, dan efektif dalam pembiayaan. Namun perlu diperhatikan adanya kekurangan seperti artifak pada hasil pencitraan dan potensi gagal ginjal akibat kontras. DUS yang merupakan kombinasi antara real-time B mode ultrasound dan pulsed Doppler flow detection memiliki sensitivitas 50-100% dan spesifisitas lebih dari 95% namun karena durasi penggunaannya yang lama dan operator-dependent maka DUS jarang dipakai. Pada kasus crush injury, pemeriksaan penunjang seperti X-ray penting untuk dilakukan. X-ray dilakukan pada ekstremitas yang trauma dan juga pada bagian yang teramputasi. Pemeriksaan X-ray sebaiknya dilakukan saat pre operatif dimana pasien sudah mendapatkan anestesi sehingga ekstremitas dapat diposisikan tanpa pasien merasakan nyeri dan hasil X-ray yang didapat lebih baik. Gambar 6. Crush Injury pada Jari Keempat Tangan Kiri
4.4. Klasifikasi Berdasarkan patologi, trauma vaskuler terbagi menjadi lima tipe, antara lain (1) trauma intima (flaps, disruptions, subintima, dan hematoma intramural); (2) Defek dinding vaskular komplit disertai pseudoaneurisma atau perdarahan; (3) complete transection dengan perdarahan atau oklusi; (4) arteriovenous fistula; dan (5) spasm. Defek pada intima dan subintima hematoma dengan kemungkinan oklusi sekunder biasanya disebabkan oleh trauma tumpul, sedangkan defek dinding vaskuler, complete transection, dan arteriovenous fistula disebabkan oleh trauma tusuk. Spasm dapat terjadi karena trauma tumpul ataupun trauma tusuk. Pada pedoman praktik 2011 yang dikeluarkan oleh The Society of Vascular Surgery, menyetujui klasifikasi yang dikeluarkan oleh Azizzadeh yang memiliki empat level, yaitu intimal tear, intramural hematoma, pseudoaneurysm, dan ruptur. (Gambar 1) Gambar 7. Klasifikasi trauma vaskuler 4.5. Management Penentuan tingkat amputasi biasanya didasari oleh ada tidaknya potensi untuk merekonstruksi jaringan yang rusak dibandingkan dengan trauma skeletal. Pada kasus polytrauma, sisa tungkai yang lebih pendek lebih sering dipilih karena untuk menghindari prosedur operasi berulang. Hal lain yang dipengaruhi ialah usia pasien, jika trauma terjadi pada seseorang usia muda yang aktif, amputasi midfoot dan ankle disarticulation dihindari dengan tujuan untuk menghasilkan hasil fungsional yang lebih baik. Pada kasus amputasi transtibia, biasanya sisa tungkai terlalu panjang sehingga
ketebalan otot yang digunakan untuk menutupi tibia distal berkurang sehingga tidak ada ruang lagi untuk prostetik. Sisa tibia yang ada sebaiknya sepanjang 2,5 cm setiap 30 cm dari tinggi badan pasien, yang diukur dari medial joint line. Sendi lutut juga disarankan untuk dibiarkan dengan tujuan untuk meningkatkan hasil fungsional. Distraction osteogenesis dapat dipertimbangkan untuk memperpanjang tibia yang pendek. Tatalaksana dimulai saat pasien ditemukan. Tatalaksana pertama yang dapat diberikan ialah primary survey. Pastikan bahwa airway, breathing, dan circulation sudah terstabilisasi. Setelah itu, tatalaksana dilanjutkan pada tatalaksana crush injury berupa pengontrolan pendarahan eksternal, stabilisasi ortopedi, dan trauma jaringan. Pengontrolan perdarahan eksternal yang efektif merupakan salah satu upaya lifesaving. Crush injury sering ditemukan pada kasus bencana alam, sehingga manajemen nyeri yang baik dalam proses penyelamatan juga berperan penting dalam proses evakuasi pasien. Penggunaan analgesik yang sering digunakan ialah Opiate dan Ketamine. Namun karena depresi napas akibat penggunaan opiate dapat terjadi, maka ditambahkan juga penggunaan Ketamine sebagai tambahan analgesik untuk mengurangi dosis opiate. Dosis ketamine yang digunakan ialah 0.1-0.2 mg/kg secara intravena atau intraoseus. Ketamine dapat diberikan secara intranasal jika akses evakuasi sulit. Pada kasus bencana alam dengan jumlah korban yang banyak, proses evakuasi dapat memakan waktu yang tidak singkat hingga beberapa hari. Pemberian antibiotik, tetanus toxoid atau tetanus immunoglobulin, dan perawatan luka (pada kasus trauma jaringan dan fraktur terbuka) diharapkan dapat diberikan jika kondisi memadai. Pada kasus trauma akibat ledakan, perlu diberikan profilaksis HIV, HBV, dan HCV dan surveilan post trauma mengingat kemungkinan adanya kontaminasi silang dari korban lainnya. Jika ada kecurigaan adanya kejadian sindrom kompartemen, maka tindakan resusitasi cairan, monitoring, dan menjaga posisi ekstremitas tetap setingkat dengan jantung menjadi langkah yang lebih baik dibandingkan dengan field fasciotomy. Perdarahan dianggap sebagai perdarahan yang berat atau mengancam jiwa jika bagian tungkai yang terpotong seluruhnya atau sebagian berada di atas pergelangan tangan / kaki, perdarahan tidak membaik dengan bebat tekan, dan perdarahan dengan tanda-tanda syok. Penanganan perdarahan menjadi prioritas dibandingkan dengan intervensi airway dan breathing jika perdarahan berat / mengancam nyawa.. Beberapa metode yang dapat dilakukan unttuk mengendalikan perdarahan adalah : • Metode penekanan langsung : Metode ini merupakan metode pertama yang dilakukan untuk mengendalikan perdarahan. Pada metode ini, dilakukan penekanan secara langsung dengan tangan di titik perdarahan untuk menghentikan perdarahan. Jika perdarahan tidak berhenti, gunakan pad kedua dan perban yang lebih kencang di atas luka. Jika perdarahan masih tidak berhenti, pastikan bahwa pad dan perban sudah digunakan tepat di atas titik perdarahan. Dengan tekanan yang lebih kuat, menggunakan 1 - 2 pad di atas area yang kecil
memberikan tekanan di atas titik perdarahan dengan lebih baik dibandingkan dengan terus menumpuk pad. Pasien diminta untuk berbaring dan tidak bergerak (batasi pergerakan dengan imobilisasi tungkai yang mengalami perdarahan) Gambar 8. Prinsip bebat tekan • Benda yang tertanam Jika ada benda yang tertanam dan menyebabkan perdarahan, berikan penekanan di sekitar benda tersebut. Jangan cabut benda yang tertanam karena benda tersebut dapat membantu mengendalikan perdarahan. Berikan bantalan di sekitar benda disertai dengan penekanan. • Turniket arteri Turniket arteri digunakan hanya untuk perdarahan dari tungkai yang mengancam nyawa (tidak dapat dikendalikan dengan penekanan langsung). Turniket sebaiknya tidak digunakan tepat di atas persendian atau luka, dan turniket tidak boleh ditutup oleh perban atau kain. Saat menggunakan turniket, pastikan posisi dan penggunaan turniket sudah sesuai. Turniket vena elastis (turniket yang digunakan untuk membantu mengambil sampel darah) tidak dapat digunakan sebagai turniket arteri.
Gambar 9. Turniket Arteri • Hemostatic dressing Mengandung produk kaolin dan chitosan untuk mengendalikan perdarahan. Biasanya digunakan untuk mengendalikan perdarahan pada pebedahan dan seting militer namun saat ini sudah mulai digunakan untuk warga sipil. Gambar 10. Kasa yang Mengandung Kaolin (agen hemostatik) Gambar 11. Flow Chart Pertolongan Pertama Perdarahan Eksternal
Tatalaksana Definitif • Tatalaksana crush injury di rumah sakit Setelah pasien sampai di rumah sakit, pemeriksaan primary survey dilakukan dan resusitasi cairan dilanjutkan dengan diikuti pemantauan urine output. Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan, pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dan X-ray perlu dilakukan. Laboratorium yang perlu diperiksakan ialah elektrolit (Natrium, Kalium, dan Bikarbonat), kreatinin, gas darah arteri, dan myoglobin pada urin. Tatalaksana operasi pada kasus crush injury juga terbagi menjadi primer dan sekunder. Pada operasi primer, berfokus pada proses debridemen, stabilisasi tulang, revaskularisasi, skin cover, rekonstruksi tendon atau saraf hingga bone graft. Sedangkan, operasi sekunder biasanya dilakukan setelah enam minggu operasi primer dilakukan, diharapkan sudah terjadi penyembuhan secara sempurna. Pada operasi sekunder lebih berfokus pada meningkatkan fungsi dan penampilan dari esktremitas yang trauma. • Tatalaksana crush injury dengan kecurigaan Crush syndrome Tatalaksana pasien crush injury dengan kecurigaan crush syndrome terbagi menjadi dua. Pertama yaitu pencegahan morbiditas dan mortalitas dari kejadian hipotensi mendadak dan gagal jantung dan kedua yaitu pencegahan terjadinya gagal ginjal. Durasi yang diperlukan hingga terjadinya kejadian tersebut belum diketahui secara pasti, namun dilaporkan bahwa rhabdomyolysis traumatik dapat terjadi dalam kurang dari 1 jam. Prinsip utama penanganan crush syndrome ialah dengan resusitasi cairan isotonik secara intravena. Resusitasi cairan dimulai dengan 1,000 ml/jam pada dua jam pertama (15-20 ml/kg/jam pada anak) dan diturunkan menjadi 500 ml/jam (10 ml/kg/jam pada anak). Endpoint resusitasi pada kasus ini masih belum dapat dipastikan, namun saat ini beberapa indikator yang digunakan ialah tren denyut nadi, target tekanan darah sistolik, dan pulse oximetry waveform, dan urine output. Hiperkalemia pada crush syndrome dapat diterapi menggunakan beta-2 agonis inhalasi yang diberikan sebanyak 5 mg setiap beberapa jam, namun jika ketersediaan obat memadai, dapat diberikan glukosa secara intravena atau intraoseus dan pemberian insulin secara regular. Selain hiperkalemia, metabolik asidosis juga dapat terjadi. Oleh karena itu, penanganan alternatif yang dapat diberikan ialah dengan Sodium bikarbonat 50 mEq yang dicampur kedalam 1 Liter NaCl 0.45% yang diberikan secara intravena. Pemberian sodium bikarbonat juga dapat mengalkalinisasi urin, hal ini memiliki efek protektif pada ginjal terhadap substansi nefrotoksik. Adanya myoglobinuria pada crush injury dapat menyebabkan gagal ginjal. Hal ini dapat dicegah dengan renal replacement therapy (dialisis peritoneal, hemofiltrasi, dan hemodialisis). Pemberian mannitol di awal juga memiliki efek nefroprotektif. Mannitol bekerja dengan mengurangi volume interstitial dan mengurangi tekanan kompartemen yang dapat membantu perfusi renal.
Pemberian mannitol yang dianjurkan ialah 0.5 mg/kg mannitol 20% (jika diberikan secara tunggal) atau dengan 20-30 gram mannitol dan sodium bikarbonat 50 mEq yang dicampurkan ke dalam 1 liter NaCl 0.45% yang diberikan melalui infus atau bolus intermiten. • Tatalaksana pada kasus amputasi Terapi pada kasus amputasi perlu dilakukan secara cepat dan efisien. Protokol trauma tetap perlu dilakukan, mengingat sebagian besar kasus amputasi disebabkan oleh kecelakaan. Kasus amputasi sering diasosiasikan dengan cedera pembuluh darah dan berpotensi menyebabkan kehilangan darah yang banyak. Perhatian khusus perlu diberikan untuk menghentikan perdarahan. Berikan tekanan pada daerah perdarahan aktif menggunakan kassa / kain bersih. Setelah semua keadaan yang mengancam nyawa telah teratasi, tugas berikutnya adalah menjaga bagian amputasi. Pada kasus amputasi akibat avulsi, perlu diperhatikan agar ekstremitas tetap stabil dan berada pada posisi sebelum terjadinya amputasi. Bagian tubuh yang teramputasi perlu ditutup dengan kassa steril lembab dan ditutup dengan perban elastis. Perlu diingat bahwa hanya bagian yang teramputasi saja yang perlu ditutup dengan kassa steril untuk mencegah terjadinya maserasi. Setelah kondisi secara keseluruhan telah stabil, perhatian berikutnya ditujukan untuk bagian yang teramputasi. Hal ini dilakukan karena ada potensi untuk dilakukannya revaskularisasi dan replantasi dari bagian teramputasi. Sisa potongan amputasi dapat ditutup dengan kassa steril kering dan dimasukkan kedalam kantung plastik dan tetap dijaga agar tetap kering. Kemudian bagian potongan tersebut diletakkan pada tempat berisi es. Terdapat dua strategi amputasi dalam keadaan akut, pertama ialah eksisi jaringan yang mati lalu konstruksi sisa tungkai dari area trauma dan kedua ialah eksisi dan rekonstruksi proksimal dari area trauma. Terapi operatif biasanya dilakukan dalam 12 jam pertama sejak terjadinya kecelakaan. Terapi operatif dilakukan untuk revaskularisasi jaringan. Jaringan yang telah nekrosis dan terkontaminasi berat harus dieksisi. Reseksi tulang hanya dilakukan pada area yang memang terkontaminasi secara makroskopik dan dilakukan pada saat luka sudah menutup secara definitif untuk mencegah kolonisasi mikroorganisme pada permukaan korteks tulang yang direseksi. Pada awal operasi, luka pada sisa tungkai tidak boleh ditutup dan topical negative pressure (TNP) sementara harus digunakan. TNP digunakan pada area jahitan untuk mempercepat penyembuhan dan menghindari terbentuknya eksudat. Dressings digunakan selama dua minggu dan direkatkan dengan kuat untuk mencegah ooze. Drainase pada sisa tungkai dipasang selama 24-48 jam untuk mencegah hematoma atau mengumpulnya seroma. Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan sebelum melakukan replantasi antara lain seperti umur, level amputasi, dan kondisi potongan amputasi menjadi pertimbangan sebelum dilakukannya replantasi. Apabila faktor-faktor tersebut
optimal untuk dilakukannya replantasi maka tulang pada potongan amputasi akan disejajarkan dan pembuluh darah akan dianastomosis. Namun apabila replantasi tidak memungkinkan maka skin graft atau stump closure dapat dilakukan. Beberapa teknik operasi yang biasa dilakukan ialah transtibia, knee disarticulation, dan transfemoral. • Prinsip Amputasi 1. Panjang sisa tungkai (residual limb) Salah satu prinsip dari amputasi tungkai ialah memperoleh sisa tungkai sepanjang mungkin. Namun, terdapat beberapa pengecualian pada kasus tertentu seperti amputasi parsial pada kaki (partial foot amputees) yang memiliki energi ekspenditur yang lebih besar dibandingkan dengan amputasi transtibia. 2. Weight bearing Beban berat terdistribusi pada sisa tungkai yang ada khususnya pada socket interface. Oleh karena itu, pada beberapa prosthesis dalam kasus amputasi transtibia, socket pada lutut dibentuk untuk fleksi sekitar 5 hingga 10 derajat sehingga tumpuan beban melalui tendon patella. Prinsip disini ialah setiap adanya penonjolan tulang harus dilindungi oleh lapisan otot untuk mencegah gesekan dan penekanan yang berlebihan hingga menyebabkan ulserasi. 3. Muscle balancing Otot yang tidak melekat pada struktur apapun dapat kehilangan fungsi dan menjadi atrofi. Untuk menghindari kejadian ini, maka perlu dilakukan myodesis atau myoplasty. Myodesis ialah pelekatan langsung antara struktur otot dan tulang sedangkan myoplasty adalah pelekatan antara dua otot yang saling berlawanan. • Penanganan amputee Setelah terjadi amputasi, potongan amputasi perlu disimpan dengan baik tanpa melihat seberapa parah kerusakan / viabilitas dari bagian amputasi tersebut. Penyimpanan potongan amputasi mempengaruhi keberhasilan replantasi. Jika potongan amputasi disimpan dengan baik, maka jaringan mampu bertahan hingga 18 jam dengan tingkat keberhasilan replantasi paling tinggi jika dilakukan dalam waktu 4-6 jam. Prosedur untuk menyimpan potongan amputasi adalah • Jika terkontaminasi, bersihkan bagian yang terkontaminasi secara peralahan dan siram dengan cairan normal saline jika perlu. • Tutup bagian amputasi dengan kasa steril yang telah dibasahi dengan normal saline dan simpan di dalam kantong kedap udara • Siapkan es batu dan air dengan perbandingan 1:3 lalu rendam kantong yang berisi bagian amputasi ke dalam air es.
• Jika tidak ada air es, jaga bagian amputasi agar tetap sejuk dan hindari sumber panas. • Hindari adanya potongan amputasi yang basah, beku, atau mengalmi cold burn. Gambar 12. Ilustrasi penyimpanan bagian amputatum Jika tidak dilakukan replantasi, perlu dilakukan manajemen pada bagian yang teramputasi (stump) untuk mengoptimalkan pemulihan pasien paska operasi amputasi. Beberapa cara yang dapat dilakukan adalah: a) Desensitasi à Desensitasi dilakukan untuk meminimalisir atau menghilangkan respon fisik atau psikologis dari stump yang menjadi lebih sensitif paska operasi terhadap stimulus. Desensitasi dilakukan dengan masase ringan, vibrasi, light tapping, tekanan konstan, dan pemakaian kain pada stump. b) Penyusutan dan pembentukan stump setelah amputasi à bagian penting dari rehabilitasi sebelum pemakaian prosthesis. Terdapat 4 metode yaitu pemakaian soft dressing, semi-rigid dressing, rigid dressing, atau temporary prosthesis (nilon). c) Pemeliharaan range of motion dan pencegahan deformasi d) Latihan fisik sebelum pemakaian prosthesis e) Perawatan kulit • Tatalaksana blast injury Tatalaksana blast injury melibatkan tim interprofesional seperti dokter spesialis bedah plastik, bedah umum, telinga hidung dan tenggorok (THT), mata, anestesi, dan emergensi medik. Konsultasi terkait maslah jiwa juga perlu dilakukan karena adanya risiko mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD). Perlu dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik menyeluruh serta pemantauan terutama pada pasien yang mengalami trauma mayor.
4.6. Komplikasi a. Physiologic instability Ketidakstabilan fisiologis seperti kebutuhan akan produk darah khususnya pada pasien polytrauma sehingga harus disiapkan untuk mempersingkat prosedur operasi. b. Dehisensi luka dan infeksi Jika luka terbuka Kembali maka segera lakukan eksplorasi dan eksisi pada jaringan yang terinfeksi atau nekrosis di ruang operasi. Pertimbangkan untuk memperbaiki hingga ke level proksimal atau penggunaan alat plastic untuk menutup luka. c. Mobile soft tissue envelope Pertimbangkan myodesis dan myoplasty beberapa bulan setelah sisa tungkai mengalami maturasi. d. Prominensi tulang Pertimbangkan untuk dilakukan eksisi pada tulang yang prominen untuk meningkatkan cakupan jaringan yang lebih baik. e. Neuroma yang nyeri Jika terdapat nyeri neuroma maka perlu dilakukan pemeriksaan ultrasound dengan injeksi anestesi lokal. Transeksi saraf perlu dilakukan ulang pada level yang lebih proksimal dan bagian akhir dari transeksi harus terletak dibawah otot. f. Osifikasi heterotopik yang nyeri Pada beberapa area, dengan load distribution dapat mengurangi keluhan nyeri. Pertimbangkan penggunaan osseointegration untuk penyesuaian prostetik. g. Phantom pain Sensasi “electric shock” pada tungkai yang hilang dan biasanya dikonsulkan pada dokter dengan spesialisasi nyeri. h. Folikulitis Perlu dilakukan pemeriksaan sendi dengan keadaan prostetik terpasang untuk menentukan lokasi prostetik yang tidak sesuai. Pertimbangkan osseointegration jika tidak membaik. i. Kaku sendi bagian proksimal Lakukan fisioterapi untuk pencegahan kontraktur sendi.
BAB V SOFT TISSUE INFECTIONS 5.1. Supurative Tenosynovitis A. Definisi Tenosynovitis supurativa akut adalah penyakit infeksi ruang tertutup yang melibatkan selubung tendon yang dapat menjadi morbiditas berat apabila tidak ditangani dengan baik. Diagnosa ini cukup sering ditemui, sekitar 9% dari semua penyakit infeksi pada tangan adalah tenosynovitis supurativa. Diagnosa tenosynovitis supurativa cukup dengan menggunakan pemeriksaan fisik. Tanda kardinal yang ditemui pada kasus ini adalah Kanavel sign. Pasien yang datang <48 jam sejak onset pertama kali dapat diobati dengan imobilisasi dan antibiotic intravena. Penanganan yang terlambat membutuhkan tatalaksana lebih invasif, dan apabila sudah sangat terlambat maka amputasi mungkin dilakukan. Saat Kanavel pertama kali mendeskripsikan penyakit ini, antibiotic belum ditemukan, sehingga satu-satunya tatalaksana yang dapat dilakukan adalah dengan terapi operatif drainase. Saat ini tatalaksana non operatif dengan pemberian antibiotic sudah tersedia, namun diperlukan identifikasi awal dan cepat, sebab identifikasi yang lambat membutuhkan terapi operatif. B. Mekanisme Cedera Pemahaman mengenai anatomi selubung tendon penting untuk penanganan tenosynovitis supurativa akut. Secara garis besar, setiap selubung tendon memiliki dua lapisan, yaitu lapisan dalam viseral, dan lapisan parietal. Lapisan viseral melapisi tendon secara langsung, membentuk epitenon. Sedangkan lapisan parietal bergabung bersama dengan pulley. Diantara kedua lapisan parietal dan visceral, terdapat rongga synovium yang terisi cairan synovium. Infeksi pada rongga ini menyebabkan tenosynovitis. Fungsi utama dari selubung tendon adalah untuk membantu pergerakan tendon dan jaringan sekitarnya. Selubung tendon membuat tendon bergerak
sesuai jalur dan fungsinya saat kontraksi otot. Rongga synovium dan cairan synovium membantu tendon bergerak didalam selubungnya. Kebanyakan pasien akan datang dengan luka tusukan yang melibatkan selubung tendon. Luka tersebut menyebabkan inokulasi bakteri langsung pada selubung tendon. Selain inokulasi langsung akibat trauma, infeksi pada selubung tendon juga dapat terjadi akibat infeksi sekunder dari struktur sekitar. Penyebaran infeksi hematogen jarang terjadi. Infeksi yang terjadi akan menimbulkan akumulasi pus terutama pada rongga synovium. Akumulasi pus tersebut menyebabkan tekanan tinggi pada rongga tertutup tersebut. Akibat tekanan tinggi tersebut, peredaran darah pada selubung tendon akan terganggu, yang pada akhirnya menyebabkan luka dan robekan pada tendon. Agen kausatif utama dari tenosynovitis ini adalah Staphylococcus aureus, angka kejadian infeksi S. Aureus, mencapai hingga 75% dari total semua kasus, dan 29%nya adalah MRSA. Etiologi lainnya yang dapat dijumpai seperti Staphylococcus epidermidis, grup A Streptococcus, dan Pseudomonas aeruginosa. Apabila pada anamnesis didapatkan adanya riwayat trauma akibat gigitan maka bakteri yang mungkin adalah Eikenella corrodens atau Pasteurella multocida. Gambar 1. Anatomi selubung tendon tangan
C. Assessment a. Anamnesis Dari anamnesis perlu digali informasi mengenai : • Riwayat penetrating injury pada tangan di aspek volar jari. Cedera dapat memberi petunjuk untuk identifikasi organisme penyebab infeksi. Penetrating injury pada tangan biasanya terjadi sebelum munculnya gejala dalam 2-5 hari. Namun, durasi ini bisa lebih lama pada pasien dengan gangguan imunitas dan pasien diabetes. Terkadang penetrating injury dianggap hal yang sepele dan sering diabaikan. • Durasi timbulnya gejala pada pasien harus diidentifikasi secara tepat. Pilihan pengobatan dapat dibantu oleh durasi dan tingkat keparahan gejala supuratif tenosynovitis. Keterlambatan pemberian pengobatan pada pasien dikaitkan dengan outcome yang buruk dan peningkatan risiko amputasi jari. • Riwayat sosial yang diperoleh harus mencakup pekerjaan pasien dan tangan dominannya, dan informasi ini akan memandu persyaratan rehabilitasi dan dukungan pasca operasi. • Penyakit komorbid harus dikenali dan dioptimalkan sebelum intervensi bedah dilakukan. Selain itu, telah dilaporkan bahwa pada pasien yang mengidap supuratif tenosinovitis dengan riwayat medis diabetes melitus, gagal ginjal, dan atau penyakit pembuluh darah perifer mempunyai risiko lebih tinggi untuk outcome yang buruk. b. Pemeriksaan Fisik Kasus tenosynovitis supurativa umumnya dapat didiagnosa melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Terdapat tanda kardinal pada kasus tenosynovitis ini, yaitu Kanavel sign. Kanavel sign terdiri dari 4 tanda kardinal yaitu, (1) posisi fleksi, (2) nyeri pada peregangan pasif, (3) pembengkakan simetris sepanjang selubung tendon, dan (4) nyeri sepanjang selubung tendon. Tanda pertama yang muncul adalah nyeri saat peregangan pasif, dengan nyeri sepanjang selubung tendon menjadi tanda terakhir yang dijumpai.
c. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan sebagai penunjang diagnostik. Pemeriksaan radiologi konvensional seperti foto AP/Lateral/Obliq perlu dilakukan untuk menyingkirkan corpus alienum. Apabila pada pemeriksaan X-ray ditemukan gambaran osteomyelitis, maka sangat mungkin infeksi yang terjadi sudah kronis. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah dengan ultrasound. Pemeriksaan USG dapat memvisualisasikan selubung tendon dan bukti infeksi dapat berupa akumulasi cairan pada selubung tendon. MRI dapat dilakukan juga, namun sangat jarang diperlukan karena tidak bisa membedakan proses inflamasi akibat infeksi atau bukan. Walaupun diagnosis tenosynovitis supurativa umumnya ditegakkan melalui pemeriksaan fisik, namun terkadang pemeriksaan penunjang berupa analisis darah dapat digunakan untuk menjadi penanda objektif dalam diagnosanya. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan antara lain seperti kultur, dan pemeriksaan penanda inflamasi seperti Leukositosis, LED, dan CRP. Leukositosis didapati pada sebagian besar kasus, dan sering dikorelasikan dengan respon inflamasi dan infeksi, namun penanda ini tidak sensitif. CRP adalah pemeriksaan yang dapat dilakukan pada masa akut penyakit (<48 jam), pemeriksaan CRP dinilai cukup sensitif sebagai penanda inflamasi akut. Berbeda dengan CRP, hasil pemeriksaan LED baru akan terlihat pada kondisi yang lebih kronis, diperkirakan 5-7 hari setelah infeksi LED baru akan meningkat, sehingga pemeriksaan LED pada kasus akut kurang sensitif apabila dibandingkan dengan CRP. Secara garis besar, pemeriksaan laboratorium sebagai penunjang diagnosis cukup akurat untuk dilakukan. Gambar 2. Gambaran klinis tenosinovitis supurativa
D. Management Terapi tenosynovitis supurativa dapat terbagi menjadi operatif dan non operatif. a. Terapi non operatif Tenosynovitis dapat diterapi secara non operatif apabila pasien datang pada fase akut dibawah <48 jam, dengan tanda Kanavel yang tidak terlalu nyata. Terapi utama yang digunakan adalah dengan antibiotik intravena, elevasi tangan dan splinting. Antibiotik yang disarankan adalah antibiotik dengan spektrum luas seperti golongan cephalosporin generasi ketiga, sementara menunggu hasil kultur keluar. Dosis yang dapat diberikan sebesar 1-2g IV setiap 24 jam. Pada terapi non operatif ini perlu adanya pengawasan ketat pada tangan yang terinfeksi, terutama untuk memonitor penyebaran dan progresi dari penyakit. Apabila terdapat perburukan maka terapi operatif perlu dilakukan. Posisikan tangan terelevasi dengan penyangga, posisi tangan terjaga dengan pergelangan tangan sedikit ekstensi dan MCP fleksi penuh. Sendi IP pada posisi ekstensi dan ibu jari terabduksi. Gambar 3.A. Foto volar tangan kanan yang terkena supuratif tenosynovitis B. Gambar USG volar sagital dari jari yang terkena menunjukkan pengumpulan cairan sinovial di atas dan di bawah tendon.C. Foto punggung tangan kanan yang terkena dampak diperlihatkan. D. Gambar USG punggung sagital dari jari yang terkena menunjukkan pengumpulan cairan sinovial di atas dan di bawah tendon diilustrasikan. Indeks: “x” mengidentifikasi tendon. “^’ mengidentifikasi selubung tendon. “*” Mengidentifikasi cairan selubung tendon
Stadium Intraoperatif Temuan Klinis Rekomendasi tatalaksana Stage 1 Peningkatan cairan di selaput tendon, sebagian besar serous Drainage minimal invasif, irigasi menggunakan kateter. Stage 2 Kumpulan cairan purulent, keruh, granulomatous Drainase minimal invasif, irigasi menggunakan kateter ukuran besar Stage 3 Septic, nekrosis jaringan tendon (pulley atau selubung) Debridement terbuka, kemungkinan untuk amputasi Tabel 1. Klasifikasi Michon untuk derajat tenosinovitis supurativa b. Terapi operatif Terapi operatif tenosynovitis supurativa dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Salah satu caranya adalah dengan membuat dua insisi pada sisi volar dan dilakukan irigasi, dengan metode lainnya yang lebih invasif digunakan pada kasus yang lebih parah dengan keterlibatan jaringan nekrotik. Irigasi selubung tendon dilakukan dengan membuat insisi pada sisi volar sebanyak dua buah. Insisi pada bagian proksimal dibuat setinggi level A1, dengan insisi distal pada sisi lipatan interphalang distal. Pada saat membuat insisi perlu Gambar 4. Posisi imobilisasi tangan
diperhatikan untuk tidak merusak jaringan sekitar, terutama jaringan neurovaskular. Sampel pus diambil untuk dilakukan kultur. Kateter ukuran 16G / 18G dilewatkan pada insisi dan irigasi dilakukan dengan NaCl 0.9% steril. Pada kasus yang lebih parah, debridement perlu dilakukan. Debridement dapat dilakukan melalui insisi tunggal pada sisi volar untuk mengekspos keseluruhan selubung tendon. Selubung tendon yang sudah terekspos kemudian dibersihkan dan dicuci secara seksama. Perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya bowstringing pulley A2 dan A4 harus dijaga. Gambar 6. Terapi operatif dengan irigasi selubung tendon Gambar 5. Lokasi insisi pada tangan
E. Komplikasi Dan Prognosis i. Komplikasi Terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat penyakit ini. ii. Stiffness pada jari dan gangguan ROM Komplikasi ini bisa terjadi akibat dua hal, proses infeksi atau akibat tindakan operatif. Inflamasi yang terjadi akibat infeksi menyebabkan perlengketan pada selubung tendon, penebalan kapsul sendi, dan kerusakan pada pulley. iii. Luka pada tendon dan ruptur berulang Akumulasi tekanan pada rongga tertutup akibat akumulasi pus membuat gangguan pada aliran darah di selubung tendon, hal ini menyebabkan tendon menjadi kurang viable dan mudah untuk terjadi ruptur. iv. Nekrosis jaringan lunak dan iskemia Tekanan tinggi menyebabkan gangguan aliran darah, sehingga mengakibatkan iskemia. v. Horshoe abscess Penanganan yang terlambat dapat menyebabkan pernyebaran infeksi dari jari ke struktur lainnya. Infeksi tenosynovitis pada ibu jari dapat menyebar ke jari kelingking apabila seseorang memiliki ulnar dan radial bursa yang terkoneksi. vi. Prognosis Terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat penyakit ini. Komplikasi tersering yang dapat terjadi berupa kekakuan sendi-sendi tangan, dan ROM yang terbatas. Patofisiologi terjadinya adalah akibat adanya penebalan tendon dan perlengketan akibat inflamasi. Tatalaksana komplikasi ini adalah dengan melakukan tenolysis pada tendon yang terkena setelah proses inflamasi reda. Komplikasi terburuk dari penyakit ini adalah amputasi. 5.2. Necrotizing Fasciitis A. Definisi Necrotizing fascitis adalah infeksi nekrotik yang secara pesat dapat mengenai kulit, jaringan subkutan, dan fascia namun tidak mengenai otot. Penyakit ini berhubungan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi karena bisa mengakibatkan sepsis yang cukup berat. Necrotizing fascitis biasanya berhubungan dengan Riwayat trauma atau penggunaan jarum suntik yang tidak steril. Berdasarkan penyebab bakteri, necrotizing fascitis terbagi menjadi dua, Tipe 1 diakibatkan oleh kedua bakteri aerobic dan anaerobic merupakan tipe tersering. Sedangkan, tipe 2 diakibatkan oleh grup A Streptokokus saja atau kombinasi dengan Staphylococcus. Necrotizing fascitis yang diakibatkan jamur jarang terjadi, namun meningkat pada pasien dengan imunokompromais.
B. Diagnosis a. Anamnesis Menanyakan adanya riwayat penggunaan jarum tidak steril hingga keadaan imunokompromais b. Pemeriksaan Fisik Gejala-gejala Necrotizing Fasciitis berikut dikumpulkan dari Center for Disease Control and Prevention and the National Necrotizing Fasciitis Foundation: Gejala awal (biasanya dalam waktu 24 jam): • Biasanya telah terjadi trauma ringan atau luka terbuka lainnya (luka tidak selalu muncul terinfeksi. • Beberapa nyeri umumnya di area cedera. Belum tentu di tempat cedera, tetapi di daerah atau ekstremitas tubuh yang sama. • Rasa sakit biasanya tidak proporsional terhadap cedera dan mungkin awalnya dirasakan sebagai sesuatu yang mirip dengan tarikan otot, tetapi menjadi lebih dan lebih nyeri lagi. • Seperti gejala flu mulai terjadi, seperti diare, demam, mual, bingung, pusing, kelemahan, dan malaise. • Dehidrasi. Gejala lanjutan (biasanya dalam 3-4 hari): • Tungkai atau daerah yang nyeri mengalami mulai membengkak, dan menunjukkan ruam keunguan. • Tungkai mungkin mulai memiliki tanda besar gelap, yang akan menjadi lepuh berisi cairan kehitaman. • Lukanya mulai nekrotik dengan bintik-bintik seperti sisik berwarna kebiruan, putih atau gelap. Pada awal infeksi, necrotizing fascitis mirip dengan selulitis. Adanya area yang eritema dan edema disertai dengan nyeri tekan. Namun, dapat dibedakan dengan adanya edema non pitting hingga diluar dari area yang eritema. Diluar area tersebut, biasanya kulit menyerupai orange-peel appearance (peau d’orange skin) namun seiring berjalannya infeksi, warna kulit berubah dari kemerahan menjadi ungu hingga dusky blue-gray. Kulit menjadi hipoestetik atau anestetik. Setelah itu, akan terdapat patchy necrosis pada area kulit. Pada klinis dapat terdapat bullae hingga hemoragik. Pada pemeriksaan radiologis biasanya ditemukan gas di dalam jaringan.
c. Pemeriksaan Penunjang Gold standard untuk mendeteksi infeksi necrotizing jaringan lunak adalah biopsi jaringan yang diperoleh pada saat eksplorasi luka dan debridement. Dari biopsy jaringan ditemukan adanya trombosis obliterans pada pembuluh darah yang berlubang dan infiltrasi masif pada sel polimorfonuklear. Adanya nekrosis fasia dan myonecrosis adalah indikasi dari necrotizing fasciitis, selain itu prosedur diagnosis bed side yang dapat membantu adalah finger test, yaitu dengan membuat sebuah sayatan 2 cm ke fasia profunda dibuat di bawah anestesi lokal, dan tingkat fasia dangkal kemudian diperiksa. Kurangnya perdarahan, nanah berbau 'air cucian' busuk, dan resistensi jaringan minimal untuk diseksi jari menunjukkan tes jari positif, dan dianggap diagnostik necrotizing fasciitis. Perlu diperhatikan, necrotizing fascitis dapat memburuk dalam hitungan jam. Dehidrasi, gangguan elektrolit, dan hipotensi dapat terjadi dari perpindahan cairan akibat edema. Tanda-tanda infeksi sistemik juga dapat muncul hingga ke syok sepsis. Gambar 7. Karakteristik necrotizing fascitis Gambar 8. Finger Test untuk Diagnosis Necrotizing Fascitiis
C. Tatalaksana Pasien dirawat dalam ruang perawatan intensif. Penggunaan antibiotic broad spectrum IV dan operasi wajib dilakukan. Tindakan debridemen penting dilakukan karena dengan tindakan ini dapat mengkontrol infeksi. Debridemen yang dilakukan harus ekstensif dan biasanya ditemukan cairan eksudat seperti dirty dishwasher. Luka dibiarkan terbuka dan ditutup dengan kassa lembab. Evaluasi ulang pada luka dalam 24 jam setelah operasi wajib dilakukan. Jika setelah debridemen, kondisi pasien tidak ada perbaikan atau infeksi mengenai area otot, perlu dipertimbangkan untuk dilakukan amputasi. Pasien perlu dipantau mengenai status cairan dan elektrolitnya pada perawatan intensif. Resusitasi cairan yang diberikan sama seperti perawatan pada pasien luka bakar derajat 3. 5.3. Abscess A. Definisi Abses adalah kumpulan nanah di ruang jaringan terbatas, biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri. Gejalanya meliputi nyeri lokal, nyeri tekan, hangat, dan bengkak (jika abses berada di dekat lapisan kulit) atau gejala konstitusional (jika abses dalam). Pencitraan seringkali diperlukan untuk diagnosis abses dalam. Perawatannya adalah drainase bedah atau aspirasi jarum perkutan dan seringkali antibiotik. Abses dapat terjadi di semua jenis jaringan, namun paling sering terjadi di permukaan kulit (dapat berupa pustula superfisial yang dikenal sebagai bisul atau abses kulit dalam), di paru-paru, otak, gigi, ginjal, dan amandel. Komplikasi utama mungkin termasuk penyebaran isi abses ke jaringan yang berdekatan atau jauh, dan kematian jaringan regional yang luas (gangren). Gejala dan tanda abses kulit dan subkutan adalah nyeri, panas, bengkak, nyeri tekan, dan kemerahan. Abses Biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri.Seringkali berbagai jenis bakteri terlibat dalam satu infeksi.Di banyak wilayah di dunia, bakteri yang paling umum terdapat adalah Staphylococcus aureus yang resisten terhadap metisilin.Jarang sekali, parasit dapat menyebabkan abses; ini lebih umum terjadi di negara berkembang. B. Diagnosis a. Anamnesis Secara umum, pendekatan anamnesis yang perlu dilakukan dengan menanyakan : area mana yang terkena, unilateral atau bilateral, onset, sifat keluhan yang dirasakan, gejala penyerta, factor yang memperingan dan memperberat dan memperingan.
b. Pemeriksaan Fisik Gejala dan tanda utama abses adalah kemerahan, panas, bengkak, nyeri, dan hilangnya fungsi. Suhu tinggi (demam) dan menggigil juga mungkin terjadi. Jika superficial, abses mungkin berfluktuasi saat dipalpasi, gerakan seperti gelombang ini disebabkan oleh pergerakan nanah di dalam abses. Abses internal lebih sulit diidentifikasi, namun tanda-tandanya meliputi nyeri di area yang terkena, suhu tubuh tinggi, dan perasaan tidak enak badan secara umum. Abses internal jarang sembuh dengan sendirinya, jadi perhatian medis segera diperlukan jika dicurigai adanya abses. Abses berpotensi berakibat fatal tergantung di mana lokasinya. c. Pemeriksaan Penunjang Dalam kebanyakan kasus, abses kulit dapat didiagnosis secara klinis berdasarkan pemeriksaan fisik saja. Harus hati-hati dalam membedakan antara selulitis dan abses, karena pengobatan selulitis adalah terapi antibiotik tanpa drainase. Biasanya abses akan berfluktuasi pada pemeriksaan. Dalam kasus temuan klinis yang samar-samar, ultrasonografi dapat digunakan untuk menilai adanya abses, selain memberikan informasi mengenai ukuran dan lokasi. Penelitian telah dilakukan untuk membandingkan penggunaan pemeriksaan fisik dan ultrasonografi dalam mendeteksi abses. Sebuah studi prospektif pada populasi anak-anak mengungkapkan bahwa dalam kasus ketika abses tidak dapat didiagnosis secara klinis, USG di samping tempat tidur memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan pemeriksaan saja. Dalam penelitian yang sama, tidak ada perbedaan sensitivitas dan spesifisitas antara pemeriksaan dan USG ketika abses didiagnosis secara klinis. Dalam hal perbedaan hasil (yaitu, kegagalan pengobatan), terdapat penelitian yang menilai tingkat kegagalan Gambar 9. Gambaran klinis abses
pengobatan sepuluh hari setelah I&D. Pasien yang didiagnosis dengan USG selain pemeriksaan fisik memiliki tingkat kegagalan pengobatan yang lebih rendah sepuluh hari setelah I&D dibandingkan dengan pasien yang dievaluasi hanya dengan pemeriksaan. Hal ini menunjukkan bahwa melakukan USG untuk mengevaluasi abses meningkatkan hasil pengobatan; hal ini tentu saja bergantung pada ketersediaan teknisi dan ahli radiologi yang berpengalaman. C. Tatalaksana Insisi dan drainase (I&D) adalah prosedur yang banyak digunakan di berbagai rangkaian perawatan, termasuk unit gawat darurat dan klinik rawat jalan. Ini adalah pengobatan utama untuk abses kulit dan jaringan lunak, dengan atau tanpa terapi antibiotik tambahan. Kegiatan ini akan fokus secara khusus pada penggunaannya dalam pengelolaan abses kulit. Berdasarkan data tahun 2013 dari CDC, abses kulit menyumbang sekitar 2% dari seluruh pasien yang datang ke unit gawat darurat. Data yang sama melaporkan bahwa 0,9% dari seluruh pasien yang datang ke unit gawat darurat menjalani insisi dan drainase. Pada populasi anak-anak, kejadian infeksi kulit dan jaringan lunak (SSTI) meningkat, dan rawat inap akibat SSTI meningkat dua kali lipat dalam 20 tahun terakhir.Abses yang dalam kadang-kadang dapat dikeringkan secara memadai dengan aspirasi jarum perkutan (biasanya dipandu oleh ultrasonografi atau CT); metode ini sering kali menghindari kebutuhan akan drainase bedah terbuka. Ruptur dan drainase spontan dapat terjadi, terkadang menyebabkan pembentukan sinus drainase kronis. Tanpa drainase, abses kadang-kadang sembuh secara perlahan setelah pencernaan nanah secara proteolitik menghasilkan cairan encer dan steril yang diserap ke dalam aliran darah. Resorpsi yang tidak sempurna Gambar 10. Gambaran abses pada pemeriksaan USG
dapat meninggalkan lokulasi kistik di dalam dinding fibrosa yang dapat mengalami kalsifikasi. Kebanyakan orang yang menderita abses kulit tanpa komplikasi sebaiknya tidak menggunakan antibiotik.Antibiotik selain sayatan dan drainase standar direkomendasikan pada orang dengan abses parah, banyak tempat infeksi, perkembangan penyakit yang cepat, adanya selulitis, gejala yang menunjukkan penyakit bakteri di seluruh tubuh, atau kondisi kesehatan yang menyebabkan imunosupresi Orang yang sangat muda atau sangat tua mungkin juga memerlukan antibiotik. Jika abses tidak sembuh hanya dengan sayatan dan drainase, atau jika abses berada di tempat yang sulit dilakukan drainase seperti wajah, tangan, atau alat kelamin, maka antibiotik dapat diindikasikan. Dalam kasus abses yang memerlukan pengobatan antibiotik, bakteri Staphylococcus aureus adalah penyebab umum dan antibiotik anti-staphylococcus seperti flucloxacillin atau dicloxacillin digunakan. Infectious Diseases Society of America menyatakan bahwa pengeringan abses tidak cukup untuk mengatasi Staphylococcus aureus (MRSA) yang resisten terhadap methisilin yang didapat dari komunitas, dan dalam kasus tersebut, antibiotik tradisional mungkin tidak efektif. Antibiotik alternatif yang efektif melawan MRSA yang didapat dari komunitas sering kali mencakup klindamisin, doksisiklin, minosiklin, dan trimetoprim-sulfametoksazol. American College of Emergency Physicians menyarankan bahwa kasus abses akibat MRSA yang umum tidak mendapat manfaat dari pengobatan antibiotik selain pengobatan standar. Jika kondisi ini dianggap sebagai selulitis dan bukan abses, pertimbangan harus diberikan pada kemungkinan spesies strep sebagai penyebabnya, yang masih sensitif terhadap agen anti-staphylococcus tradisional seperti dikloksasilin atau sefaleksin. Hal ini terjadi pada orang yang mampu mentoleransi penisilin. Terapi antibiotik saja tanpa drainase bedah pada abses jarang efektif karena antibiotik seringkali tidak dapat masuk ke dalam abses dan tidak efektif pada tingkat pH rendah. Kultur luka tidak diperlukan jika perawatan lanjutan standar dapat diberikan setelah sayatan dan drainase. Melakukan kultur luka tidak diperlukan karena jarang memberikan informasi yang dapat digunakan untuk memandu pengobatan. 5.4. Cellulitis A. Definisi Selulitis merupakan infeksi bakteri pada kulit yang diakibatkan karena adanya kerusakan pada barrier kulit. Penyebab bakteri tersering ialah A beta-hemolytic streptococcus. Kerusakan tersebut membuat bakteri mudah masuk ke dalam lapisan dermis dan subkutan. Saat bakteri melewati epidermis, akan terjadi respon berupa produksi sitokin dan netrofil. Selain itu, juga akan terjadi proliferasi keratinosit dan terproduksinya antimicrobial peptides. Hal ini yang mengakibatkan terjadinya gejala klinis berupa eritema, hangat, edema, dan nyeri tekan.
B. Diagnosis a. Anamnesis Pada anamnesis perlu ditanyakan mengenai keluhan berupa bengkak pada area kulit disertai gejala konstitusional berupa malaise dan demam. Perlu juga ditanyakan mengenai Riwayat bepergian, Riwayat trauma, penggunaan obat IV, dan adanya Riwayat terkena gigitan serangga. b. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik, saat inspeksi akan ditemukan eritema dan bengkak pada area kulit yg terkena. Pemeriksaan palpasi akan ditemukan adanya rasa hangat, nyeri tekan, hingga adanya cairan purulent yang keluar area luka Plak eritema biasanya memiliki batas ireguler. c. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis selulitis adalah : pemeriksaan darah rutin, LED, C-Reactive Protein. Dimana didapatkan hasil berupa peningkatan leukosit, LED dan C-Reactive Protein. Namun hasil normal pada pemeriksaan penunjang ini tidak menyingkirkan kemungkinan selulitis. Hasil positif pada pemeriksaan kultur darah kurang dari 5%. C. Tatalaksana Selulitis ringan dan tanpa adanya gejala sistemik dapat diatasi dengan pemberian antibiotic selama minimal 5 hari. Pada selulitis non purulent dapat diberikan Cephalexin 500 mg setiap 6 jam atau Clindamycin 300 mg – 450 mg setiap 6 jam. Pada kasus selulitis purulent dengan Methicillin-resistant staph aureus (MRSA) disertai abses dapat diatasi dengan penambahan trimethoprim sulfamethoxazole 800 mg / 160 mg sebanyak dua kali sehari selama 5 hari. Pemeriksaan kultur darah dilakukan jika terdapat tanda-tanda systemic toxicity atau tidak ada perbaikan dengan Gambar 11. Eritema dengan batas ireguler disertai vesikel dan blister superficial pada ekstremitas bawah
terapi antibiotik. Tatalaksana lainnya ialah elevasi pada area yang terkena dan hidrasi kulit untuk memperbaiki barrier kulit. 5.5. Diabetic foot A. Definisi Patofisiologi diabetic foot berhubungan dengan tiga hal yaitu neuropatik, vascular, dan sistem imun. Pada keadaan hiperglikemia, saraf akan mengalami stress oksidatif yang berujung ke keadaan neuropati dan iskemia. Kerusakan pada sel saraf dapat berdampak pada fungsi motorik, sensorik, dan otonomik. Penurunan fungsi motoric dapat mempengaruhi muskulatur kaki yang membuat terjadinya ketidakseimbangan, turunnya fungsi otonomik membuat kelembaban kaki berkurang sehingga mudah terjadi kerusakan pada bagian epidermis, dan penurunan fungsi sensorik membuat sensasi perifer pada bagian kaki berkurang, sehingga pasien terkadang tidak menyadari adanya luka pada kaki. Iskemia pada diabetic foot juga dipengaruhi oleh disfungsi sel endotel. Pada keadaan ini terjadi penurunan pada vasodilator dan peningkatan pada level plasma thromboxane A2 sehingga vasokonstriksi dan hiperkoagulasi terjadi. Hal ini juga dapat meningkatkan risiko terjadi ulcer. Selain neuropatik dan vascular, juga terdapat peningkatan pada apoptosis limfosit T sehingga respon penyembuhan terhadap luka juga menurun. B. Diagnosis a. Anamnesis Anamnesis dimulai dari menentukan ada tidaknya faktor risiko diabetic foot ulcer (Riwayat ulcer, neuropati sensorik, abnormal pulses, atau penyakit vascular perifer, deformitas kaki, usia 65 tahun, kontrol glikemik yang buruk, end-organ damage, dan penyakit ginjal. b. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik mencakup pemeriksaan adanya penyakit vascular perifer dan neuropati sensorik disertai evaluasi derajat keparahan ulcer. Perlu diperhatikan apakah ada mengarah ke arah osteomyelitis. Pemeriksaan ABI juga dilakukan. Diagnosis diabetic foot dimulai dari tanda-tanda inflamasi pada superficial soft tissue infection hingga kearah adanya osteomyelitis. Superficial soft tissue infection seperti rubor, calor, dolor, tumour, atau sekresi purulen. Disertai adanya tanda sekunder seperti discoloured granulation tissue, nekrosis dan kegagalan penyembuhan luka. Pada keadaan osteomyelitis terdapat tanda inflamasi pada ulcer di area penonjolan tulang. Namun manifestasi klinis tersebut tidak selalu berhubungan dengan diagnosis. Hal ini yang membuat penegakkan diagnosis pada osteomyelitis pada diabetic foot cukup sulit.
c. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk menunjang diagnosis ialah probeto-bone test, LED, CRP, hingga procalcitonin, dan pemeriksaan penunjang lainnya seperti X-ray dan MRI. Akurasi diagnosis pemeriksaan x-ray juga cukup rendah dikarenakan bone loss membutuhkan waktu sekitar 2 minggu untuk dapat terlihat. MRI memiliki tingkat akurasi yang paling tinggi dalam penegakkan osteomyelitis, namun disini tidak dapat melihat keparahan iskemia yang terjadi. Gold standard penegakkan diagnosis osteomyelitis ialah dengan pemeriksaan histologis. C. Tatalaksana Tatalaksana dimulai dari manajemen perawatan luka. Luka dijaga agar tetap lembab, dihindari dari risiko infeksi dan jika terdapat jaringan nekrosis maka di debridement. Hal lain yang dapat membantu ialah penggunaan padding, orthotics, therapeutic footwear, walking boots, total contact casts, dan Achille’s tendon lengthening. Gambar 12. Gambaran Manifestasi Kaki Diabetik Gambar 13. Pengukuran Ankle Brachial Index
Jika terdapat superficial soft tissue infection dapat diatas dengan antimikroba topical selama 2 hingga 4 minggu. Jika terdapat osteomyelitis maka minimal 6 minggu. Terapi hiperbarik oksigen dapat mencegah terjadinya amputasi. Namun jika infeksi terlalu dalam maka perlu dilakukan debridement surgical hingga amputasi digital. 5.6. Gangrene A. Definisi Gangren adalah suatu kondisi klinis jaringan iskemik dan nekrotik, seringkali mengenai sekitar jari atau ekstremitas. Kondisi ini ditandai oleh jaringan yang berubah warna atau menjadi hitam dan disertai pengelupasan jaringan disekitarnya. Tiga jenis utama gangren adalah gangren basah, gangren kering, dan gangren gas. Gangren kering adalah jaringan iskemik dehidrasi yang disebabkan oleh iskemia progresif arteri distal yang sering kali merupakan perkembangan penyakit arteri perifer. Gangren basah, terbentuk dari gangrene kering dengan komplikasi infeksi sekunder, disertai edema dan eritema tetapi tidak disertai krepitasi. Gangren gas adalah jenis infeksi nekrotikans spesifik dengan edema, krepitasi, dan gas pada radiografi. Infeksi jaringan lunak nekrotikans tumpang tindih dengan penyebab infeksi gangren dan melibatkan lesi kulit nekrotik yang dapat meluas hingga ke subkutan, fasia, dan kompartemen otot. Hilangnya jaringan akibat gangren dapat menurunkan kualitas hidup secara signifikan karena nyeri yang terkait, terbatasnya mobilitas, dan peningkatan risiko rawat inap. Kondisi ini juga dapat berkembang menjadi morbiditas dan mortalitas yang besar, dengan risiko beberapa kali operasi dan kematian seiring dengan perkembangan penyakit. Gambar 14. Gangren pada kaki
B. Diagnosis a. Anamnesis Pasien dengan Critical Limb Ischemia/Chronic Limb-Threatening Ischemia (CLI/CLTI) yang berisiko mengalami gangren, akan mengalami nyeri ekstremitas yang berkembang dari klaudikasio intermiten saat aktivitas menjadi nyeri kronis saat istirahat. Rasa sakitnya mungkin memburuk pada kaki yang ditinggikan dan membaik pada posisi tergantung karena gangguan aliran darah. Jika terdapat neuropati yang terjadi secara bersamaan (paling sering disebabkan oleh diabetes), maka mungkin tidak terdapat riwayat nyeri yang konsisten, dan hilangnya jaringan mungkin merupakan gejala pertama dari iskemia. Gangren basah harus dicurigai jika terdapat drainase dan edema yang berhubungan dengan pasien yang pernah mengalami ulkus kaki atau cedera jaringan akibat diabetes atau iskemia. Selain itu, nyeri tekan plantar meningkatkan kekhawatiran akan kemungkinan terjadinya abses kaki yang dalam dan harus dievaluasi secara menyeluruh. Iskemia ekstremitas akut yang parah akan muncul dengan nyeri ekstremitas bawah yang signifikan, kehilangan sensorik (mulai dari kerusakan ringan pada jari kaki hingga kerusakan saraf difus permanen), dan kelumpuhan pada ekstremitas yang terkena. Aliran arteri pada awalnya tidak terdengar, diikuti oleh aliran vena yang tidak terdengar seiring perkembangan proses penyakit. Gangren gas muncul dengan gejala nyeri, edema, berkembangnya bula hemoragik, dan perubahan warna mulai dari warna pucat hingga warna merah perunggu keunguan. Pasien sering kali memiliki riwayat trauma atau intervensi bedah baru-baru ini.Infeksi jaringan lunak nekrotikans, terutama yang disebabkan oleh Streptococcus pyogenes(streptokokus grup A), dapat dimulai sebagai lesi awal eritematosa dan berkembang menjadi warna kulit kehitaman dengan bula hemoragik di atasnya dalam waktu 24 hingga 72 jam setelah cedera. Ketika kulit menjadi gangren dan mulai mengelupas, terdapat risiko kematian yang tinggi. Pasien dengan infeksi nekrosis jenis apa pun sering kali mengalami edema, demam, malaise, dan nyeri yang tidak sebanding dengan temuan pemeriksaan – gambaran halus ini meningkatkan risiko keterlambatan diagnosis, dan kecurigaan klinis yang tinggi sangat penting. b. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan gangren iskemik akan memiliki rubor pada ekstremitas yang terkena bila tergantung, dan pucat dini jika elevasi. Aliran darah kapiler akan berkurang, dan mungkin terjadi kerontokan rambut di atasnya. Denyut nadi pergelangan kaki sering tidak ada. Lokasi hilangnya jaringan dapat membantu mengidentifikasi penyebabnya; hilangnya jaringan iskemik biasanya melibatkan jari kaki dan kaki bagian distal; ulserasi vena sering menutupi malleoli; Ulserasi neuropatik biasanya dimulai pada area yang bertekanan dan juga telapak kaki. Pemeriksaan lengkap pada ekstremitas yang terkena harus mencakup identifikasi neuropati apa pun dan tes pemeriksaan ke tulang jika terjadi ulserasi
atau kehilangan jaringan untuk mengidentifikasi kedalaman cedera jaringan dan risiko osteomielitis. c. Pemeriksaan Penunjang Tes lain yang direkomendasikan untuk gangren iskemik difokuskan pada identifikasi tingkat dan kompleksitas penyakit arteri, yang akan membantu mempersempit pilihan pengobatan. Pengujian non-invasif seperti indeks pergelangan kaki-brachial (ABI) sangat penting untuk identifikasi dini PAD pada pasien dengan kehilangan jaringan dan dianggap abnormal jika kurang dari 1,0. Tekanan pergelangan kaki di bawah 40-60 mmHg juga konsisten dengan iskemia kritis, dan jika terjadi kehilangan jaringan, <70 mmHg dianggap abnormal. Jika ABI konsisten dengan penyakit arteri, maka pencitraan tambahan digunakan untuk melokalisasi lesi – USG dupleks, angiografi subtraksi digital, CT angiografi, dan MRA merupakan pilihan yang bisa dilakukan. Jika ABI tidak meyakinkan, yang umum terjadi pada pasien diabetes dan pasien lanjut usia karena kompresibilitas pembuluh darah mungkin terpengaruh, pengujian non-invasif tambahan dapat mencakup tekanan pergelangan kaki, tekanan jari kaki, dan tekanan oksigen transkutan. Jika dicurigai adanya gangren gas atau basah, pewarnaan Gram dan kultur luka dapat membantu mengidentifikasi penyebab bakteri untuk memandu terapi antibiotik, namun diagnosis biasanya dibuat secara klinis. Usap luka permukaan jarang membantu karena potensi kontaminasi bakteri kulit, dan sampel harus diperoleh dari usapan dalam atau aspirasi cairan bernanah. Gambar 15. Pemeriksaan Pulsasi Arteri Dorsalis Pedis