Gambaran klinis dari soft tissue sindrom kompartemen pada proximal tibia fibula. 2. Patofisiologi sindrom kompartemen
3. Konfirmasi menggunakan teknik infus Whiteside: Ambang batas iskemik otot normal tercapai apabila tekanan di dalam kompartemen meningkat hingga 20 mmHg di bawah tekanan diastolik atau 30 mmHg di bawah rerata tekanan darah arteri (J Am Acad Orthop Surg 2005; 13:436-444) 4. Lakukan rontgen pada ekstremitas yang cedera. 5. Pemeriksaan laboratorium: • Creatine phosphokinase: menggambarkan nekrosis otot sebagai indikator sindrom kompartemen • Urinalisis: hematuria sebagai tanda mioglobulimenia • Fungsi ginjal: Ureum dan kreatinin untuk penanda gagal ginjal akut 10.4. Management Awal : 1. Melakukan survei primer dan survei sekunder sesuai dengan protokol ATLS Survei Primer: • Airway: evaluasi obstruksi jalan napas, jenis obstruksi jalan napas, total dan parsial (berkumur, mendengkur, mengi). • Breathing: evaluasi pernapasan, laju pernapasan, pergerakan hemithoraks. • Circulation: mengevaluasi perfusi perifer, denyut nadi, waktu isi ulang kapiler, mengukur tekanan darah. • Disability: evaluasi GCS. 2. Survei Sekunder: • Pemeriksaan yang menyeluruh. • AMPLE (Allergy, Medication, Past illness, Last meal, Events). 3. Analgetik : Diberikan setelah menegakkan diagnosis sindrom kompartemen, terkait dengan tingkat visual analog scale 4. Renal protector: indikasi untuk rhabdomylosis. • Memperbaiki hipovolemia dengan larutan kristaloid • Masukkan 500 mL/jam larutan kristaloid dan 22,4 mEq bikarbonat (12 L/hari agar diuresis sekitar 8 L/hari) • Jika diuresis kurang dari 300 mL/jam, berikan dosis manitol 1 g/kg • Jika pH darah lebih besar dari 7,45, berikan 250 mg acetazolamide • Memantau tanda-tanda vital dan tingkat pH urin serta volume setiap jam • Melakukan penilaian osmolaritas dan elektrolit serta gas darah arteri setiap 6 jam
Definitif : Rujuk ke dokter bedah Orthopaedi untuk melakukan fasiotomi emergensi (dekompresi)
Komplikasi: • Kontraktur iskemik Volkmann • Sindrom referfusi • Cedera neurovaskular • Infeksi • Amputasi • Kematian
BAB XI FAT EMBOLI SYNDROME 11.1. Pendahuluan Fat emboli syndrome (FES) merupakan kumpulan gejala klinis akibat adanya gelembung lemak yang memasuki sirkulasi darah.1 Kondisi ini berkaitan dengan trauma dan prosedur operasi orthopaedi yang melibatkan medulla tulang panjang dan merupakan kondisi yang mengancam nyawa dengan angka mortalitas hingga 20%, karena itu penting untuk dapat mengenali dan melakukan pencegahan. Terdapat triad gejala dari FES: gangguan pernapasan, gangguan neurologis, dan ruam petechiae pada kulit. Insidens dari emboli lemak pada fraktur tulang panjang adalah 0.9 – 2.2%. Umumnya kejadian emboli lemak pada tindakan orthopaedi terjadi pada insersi dari stem prostetik pada total hip arthroplasty dan pada saat reaming dari medula pada nailing intrameduler.2 Penelitian lainnya melaporkan insidens dari FES mencakup 0,17% dari seluruh fraktur tulang panjang dengan fraktur tulang femur menjadi yang paling umum dengan insidens mencapai 0,54%.1 Perkembangan ilmu yang mempelajari mengenai FES berawal pada 1861 ketika Zenker menemukan adanya gelembung lemak pada kapiler paru saat autopsi pasien yang meninggal akibat crush injury. Meskipun demikian, temuan ini tidak dianggap bermakna hingga pada tahun 1865, Wagner menjelaskan korelasi antara temuan gelembung lemak pada kapiler paru tersebut diakibatkan oleh fraktur tulang Panjang. Laporan kasus FES pertama dilakukan oleh Von Bergmann pada 1873. Dalam publikasinya, Von Bergmann melaporkan seorang pasien fraktur femur kominutif akibat jatuh dari ketinggian yang meninggal 19 jam pasca trauma dan pada autopsi didapatkan emboli lemak masif pada parunya. Hingga pada 1920-an, penyebab kondisi ini masih dianggap tidak jelas sampai akhirnya Gauss menjelaskan teori mekanikal serta Lehman and Moore menjelaskan teori biokimia. Pada 1970, Gurd mencetuskan terminologi Fat Embolism Syndrome (FES) dan mempublikasikan hasil temuannya mengenai kriteria diagnostik untuk mendiagnosis FES.1 Dalam penanganan FES, klinisi kerap dihadapkan oleh tantangan-tantangan, mulai dari pencegahan, penegakan diagnosis, hingga tatalaksananya. Meskipun telah dikatakan terdapat triad FES, ruam petechiae hanya muncul pada 20%-50% pasien saja.1 Selain itu, gejala serupa juga dapat ditemukan pada pasien dengan sepsis dan
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC). Tantangan lain adalah rendahnya angka insidensi yang menyebabkan klinisi kurang memberikan perhatian pada kasuskasus FES. Ditambah lagi, penangan difokuskan pada terapi suportif dengan angka mortalitas yang mencapai 20% membuat FES ini tidak tertangani dengan baik. Oleh karena itu, penting bagi klinisi untuk mengetahui secara menyeluruh mengenai FES. 11.2. Patofisiologi Terdapat dua teori yang menjelaskan pathogenesis terjadinya FES: teori mekanikal dan teori biokimia. Teori mekanikal dijelaskan oleh Gauss pada 1924 sementara teori biokimia dijelaskan oleh Lehman dan Moore pada 1927 Teori Mekanikal Pada teori mekanikal, Gauss menjelaskan bahwa FES terjadi akibat adanya trauma, terutama pada fraktur tulang panjang. Ketika terjadi fraktur tulang panjang, gelembung lemak yang normalnya terdapat pada medulla tulang menjadi rusak dan terpapar oleh ujung kapiler tulang. Hal ini menyebabkan gelembung lemak dapat memasuki sirkulasi darah dan beredar ke seluruh tubuh. Akhirnya, gelembung lemak akan mencapai kapiler dan terjadi penyumbatan kapiler di berbagai organ, terutama otak dan paru, Akumulasi lemak di pembuluh darah ini dapat menyebabkan sumbatan pada sirkulasi darah dan mencetuskan proses peradangan.1, 3 Teori Biokimia Teori kedua adalah teori kimia yang menghubungkan FES dengan perubahan kimia dalam jaringan tubuh. Trauma fisik atau cedera yang serius dapat memicu pelepasan gelembung lemak yang kemudian masuk sirkulasi. Gelembung lemak ini kemudian menyumbat kapiler, salah satunya kapiler paru. Dalam parenkim paru, terdapat enzim lipase yang kemudian menguraikan lemak menjadi asam lemak bebas dan trigliserida. Asam lemak bebas memiliki sifat toksik terhadap endotel pembuluh darah, sehingga menyebabkan edema vasogenik dan bercak perdarahan. Setelah proses peradangan terinisiasi, muncul sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-1, dan IL6 yang dapat menyebabkan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Selain itu, gelembung lemak yang bersirkulasi memiliki sifat protrombotik sehingga mencetuskan serangkaian proses hemostasis dan dapat berujung pada Disseminated Intravascular Coagulation (DIC). 1, 3
Kedua teori patogenesis ini menekankan peran utama lemak dalam proses FES. Namun, penting untuk diingat bahwa FES adalah kondisi yang kompleks dan mungkin melibatkan interaksi berbagai faktor lain, termasuk peradangan, respons sistem kekebalan tubuh, dan perubahan kimia dalam darah. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami dengan lebih baik mekanisme yang mendasari terjadinya sindrom emboli lemak ini. Gambar 1. Patogenesis FES1 11.3. Etiologi FES sering dikaitkan dengan trauma orthopaedi, dengan kejadian tertinggi pada fraktur tulang panjang tertutup dan/atau multipel, terutama pada tulang ekstremitas bawah seperti tulang femur. Pemasangan implant intramedula (Intramedullary nailing, Total Hip Replacement) menimbulkan peningkatan risiko FES. Nailing rongga medula yang kuat selama pemakuan intramedullary dan peningkatan celah antara nail dan tulang kortikal menempatkan pasien pada risiko tinggi terkena FES.4 Selain itu, individu dengan usia 10 hingga 40 tahun dan laki-laki lebih berisiko.
Penyebab nontraumatik dari FES dapat meliputi pankreatitis, liposuction (sedot lemak), transplantasi sumsum tulang, penyakit sel sabit, dan penyakit hati.5 11.4. Assessment Anamnesis Tanda dan gejala FES biasanya muncul dalam 24-48 jam setelah trauma. Secara klasik, tanda dan gejala FES muncul dengan perubahan yang memengaruhi sistem pernapasan, neurologis, dan dermatologis. FES juga dapat muncul lebih parah dengan emboli paru, gagal ventrikel kanan, dan kolaps kardiovaskular.6 Tanda dan gejala pernapasan adalah manifestasi klinis dari FES yang paling sering. Gejala yang timbul dapat berupa gangguan pernapasan sementara hingga kegagalan pernapasan berat. FES juga sering menyebabkan gejala neurologis, seperti gangguan status mental ringan (bingung, lupa, dll) hingga koma. Karena diagnosis dini dan pengobatan menyeluruh dapat meningkatkan prognosis, FES harus dicurigai pada pasien dengan fraktur tulang panjang yang memburuk secara neurologis tanpa gangguan pernapasan. Ruam petekie adalah karakteristik dari FES. Ruam ini biasanya dapat dilihat di kepala, leher, toraks anterior, dan aksila. 6 Pemeriksaan Fisik Pada pasien yang diduga menderita FES, tanda dan gejala berikut dapat ditemui: • Ruam petekie: Predileksi ruam ini biasanya terdapat pada konjungtiva dan dapat muncul di bagian tubuh lainnya seperti kepala, leher, toraks anterior, dan aksila, namun jarang didapatkan di punggung. Hal ini diduga karena posisi pasien paling sering adalah berbaring, sehingga gelembung lemak akan bergerak naik. 1 • Hipoksia: Oksimetri dapat menunjukkan adanya penurunan saturasi oksigen, seperti yang terlihat pada kasus di mana saturasi oksigen turun hingga 70% di udara ruangan. • Gangguan status mental: Pasien mungkin menunjukkan gejala neurologis seperti kebingungan dan kejang. • Sesak napas dan nyeri dada: Gejala-gejala ini dapat berkembang sebagai akibat keterlibatan paru.7
Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Temuan umum pada hasil laboratorium meliputi anemia, trombositopenia, dan peningkatan penanda inflamasi. Selain itu, peningkatan lipase serum dapat menyebabkan hipokalsemia. Albumin berikatan dengan asam lemak bebas yang menyebabkan penurunan albumin bebas.1,8 Sitokin proinflamasi juga telah diamati sebagai prediktor FES. Berdasarkan korelasi antara FES dan inflamasi sistemik, Prakash et al. menganalisis kadar IL-6 pada pasien trauma dan menemukan bahwa 12 jam setelah cedera, kadar IL-6 meningkat secara signifikan pada pasien yang didiagnosis dengan FES menggunakan kriteria Gurd. Lavage bronkoalveolar juga dapat membantu mendukung diagnosis. Sejumlah penelitian mencoba memastikan jumlah dan komposisi yang tepat dari lemak ini di FES. Tiga puluh persen makrofag alveolar pada lavage bronkus FES mengandung inklusi lipid, dibandingkan dengan 13% hingga 15% pada ARDS dan 2% pada kelompok kontrol. Selain itu, kolesterol total (10,2 mg/mg fosfolipid pada FES dibandingkan dengan 3,7 hingga 4,2 pada ARDS dan 2,0 pada kontrol) dan ester lipid meningkat secara bermakna.9 Radiografi Radiografi dada pada pasien FES umumnya menunjukkan opasitas difus pada bilateral hemitoraks yang menyebar atau tidak merata (Gambar 2), namun hal ini juga dapat ditemukan pada kasus ARDS, edema paru, aspirasi, atau infeksi.10 Gambar 2. Radiografi dada pasien dengan fat embolism syndrome (FES)
High-resolution CT High-resolution CT menunjukkan hasil yang lebih spesifik dengan menunjukkan ground glass opacities yang ireguler dan konsolidasi dengan penebalan interlobular, yang dikenal sebagai "Crazy paving pattern". Luasnya lesi ini berkorelasi dengan tingkat keparahan penyakit.10 Gambar 3. Potongan axial dari CT-Scan dada menunjukkan penebalan paru bilateral anterior yang disebut sebagai “crazy paving pattern” MRI Gambar T2-weighted biasanya menunjukkan "pola bintang" dengan lesi multipel, kecil, nonkonfluen, dan hiperintens pada MRI, yang lebih sensitif. Lesi ini tampak gelap pada rangkaian susceptibility-weighted sequences, namun tampak bercahaya diffusion-weighted sequences. (Gambar 2)11
Gambar 4. MRI Otak dari pasien dengan fat embolism syndrome (FES) menunjukkan lesi nonkonfluen kecil multiple pada periventricular dan subkortikal pada substansia alba. A. Tampak terang pada T2-sequences dan B. gelap pada susceptibility-weighted sequences Kriteria Diagnosis 1. Kriteria Gurd dan Wilson Pertama kali mengidentifikasi kriteria diagnostik berdasarkan serangkaian 100 pasien. Membagi pengamatannya menjadi kriteria mayor dan minor dan menyarankan agar diperlukan setidaknya satu temuan mayor dan empat temuan minor (Tabel 1)12 2. Kriteria Schonfeld Bobot pada temuan berdasarkan spesifisitas yang diamati dan memilih skor 5 atau lebih untuk mendefinisikan FES. Meskipun kriteria ini telah mencoba untuk membakukan diagnosis, semuanya didasarkan pada serangkaian kecil, dan tidak ada yang divalidasi secara prospektif. (Tabel 1)13 3. Kriteria Lindeque Berfokus pada gejala pernafasan dan membuat kriteria berdasarkan serangkaian kecil 55 pasien dengan patah tulang panjang dan penurunan saturasi oksigen.Lindeque menyarankan kriteria untuk diagnosis sindrom emboli lemak yang didasarkan pada perubahan pernapasan. Jika setidaknya salah satu kriteria terpenuhi, diagnosis FES disarankan.3,13 (Tabel 1)
Tabel 1. Diagnosis kriteria dari fat embolism syndrome (FES) 11.5. Manajemen Prinsip tatalaksana umumnya adalah perawatan suportif dengan tujuan mempertahankan oksigenasi dan ventilasi, mendukung hemodinamik, dan melakukan resusitasi dengan cairan dan tranfusi darah. Dimulai pada tahun 1950- an, beberapa terapi yang ditargetkan telah dicoba, termasuk heparin, glukosa hipertonik, peningkatan asupan cairan, aspirin, dan kortikosteroid, semuanya tanpa manfaat yang pasti.13 Perawatan suportif Satu-satunya pengobatan FES adalah perawatan suportif dari sistem organ yang terlibat. Sebagai contoh, bila didapatkan pasien dengan desaturase maka diperlukan oksigen tambahan untuk meningkatkan oksigenasi. Saat pasien pulih
dari cedera paru-paru, diperlukan ventilasi mekanis jika mereka mengalami ARDS. Untuk mencegah syok, pasien mungkin juga memerlukan cairan intravena untuk resusitasi. Dalam kasus yang parah, di mana emboli paru lemak menyebabkan, dukungan ionotropik kegagalan ventrikel kanan dengan dobutamin mungkin diperlukan. Pasien dengan manifestasi neurologis memerlukan pemeriksaan neurologis yang sering dan dokumentasi Skala Koma Glascow (GCS) untuk menilai kerusakan neurologis. Perburukan klinis yang dramatis dapat disebabkan dari peningkatan edema serebral.14 Intervensi Farmakologis Perawatan terapeutik yang dikembangkan secara khusus untuk FES sebagian besar tidak berhasil. Dengan membatasi kadar asam lemak bebas, menstabilkan membran, dan mencegah agregasi leukosit yang dimediasi komplemen, terapi kortikosteroid telah diusulkan sebagai terapi potensial untuk FES. Namun, ini semua masih kontroversial. Dosis steroid yang paling umum adalah metilprednisolon, yang berkisar antara 6 hingga 90 mg/kg.14 Waktu Fiksasi Penelitian yang dilakukan pada tahun 1976 oleh Riska dkk.15 untuk menguji pengaruh waktu terhadap sindrom emboli lemak (FES) pada pasien trauma dengan patah tulang panggul atau tulang panjang. Penelitian ini dilakukan dari tahun 1967 hingga 1974 dan melibatkan transisi dari pengobatan non-bedah ke pengobatan bedah patah tulang di institusi tempat penelitian dilakukan. Para peneliti mencatat bahwa seiring dengan meningkatnya jumlah patah tulang yang diobati dengan fiksasi bedah dini, jumlah kasus FES menurun.15 Studi ini melaporkan bahwa tingkat FES adalah 22% pada kelompok non-bedah dibandingkan dengan 4,5% pada kelompok bedah bila dikelompokkan berdasarkan jenis pengobatan. Penting untuk dicatat bahwa penelitian ini tidak dilakukan secara acak, dan tindakan suportif serta resusitasi juga diubah pada periode yang sama.15 Namun, penelitian ini adalah yang pertama memberikan wawasan mengenai masalah waktu fiksasi fraktur dan pengaruhnya terhadap FES. Penelitian ini dilanjutkan dengan uji coba prospektif acak pada tahun 1989 yang membandingkan pasien dengan patah tulang femur terisolasi dengan pasien dengan banyak cedera. Dalam setiap kelompok, pasien diacak untuk dilakukan
fiksasi sebelum 24 jam atau setelah 48 jam. Studi ini menemukan bahwa stabilisasi yang terlambat menyebabkan komplikasi paru yang jauh lebih besar baik pada kasus patah tulang femur terisolasi maupun pada kelompok cedera multipel.16 Studi-studi ini menjadi dasar prinsip perawatan total dini, yang menekankan pentingnya fiksasi bedah dini pada pasien trauma dengan patah tulang untuk mencegah FES. Pape et al17 merekomendasikan penggunaan temuan syok, koagulopati, suhu, dan cedera jaringan lunak untuk membuat stratifikasi risiko pasien dan memandu pengobatan dengan Early total care (ETC) versus Damage Control Orthopaedic (DCO). Konsep ini telah didukung oleh berbagai studi klinis, yang menunjukkan hasil yang lebih baik dengan menggunakan algoritma serupa. Mengikuti rekomendasi ini membantu menyeimbangkan keinginan untuk mencegah FES dengan kemampuan fisiologis pasien untuk menjalani fiksasi bedah.18 Dengan kata lain, walaupun mencegah FES itu penting, hal ini tidak boleh menjadi satu-satunya pertimbangan ketika memutuskan waktu stabilisasi fraktur pada pasien multitrauma. Faktor lain seperti kesehatan pasien secara keseluruhan dan kemampuan menjalani operasi juga harus dipertimbangkan. Metode Fiksasi Fraktur diafisis femur dapat dilakukan fiksasi dengan reamed intramedullary nailing dan dianggap sebagai pengobatan definitif. Reaming intramedulla merupakan tindakan bedah orthopaedi dimana medulla tulang panjang dilakukan pengeboran dengan tujuan untuk memperlebar ukuran medulla sehingga implant dapat dimasukkan dengan diameter yang lebih besar. Prosedur ini meningkatkan tekanan intramedulla dan menstimulasi respons inflamasi, seperti yang ditunjukkan dalam penelitian pada hewan dan manusia. Secara teoritis, kondisi ini dapat menyebabkan peningkatan kejadian FES dibandingkan dengan metode fiksasi lainnya, namun hal ini belum ditunjukkan secara meyakinkan dalam studi klinis. Bosse dkk19 melakukan penelitian yang membandingkan reamed intramedullary nail dengan plating pada 453 pasien dan tidak menemukan perbedaan yang signifikan pada komplikasi paru atau mortalitas. Namun, penelitian ini dilakukan di dua rumah sakit berbeda, yang mungkin menimbulkan variabel perancu.19 Pape et al17 melakukan penelitian secara acak pada banyak
pasien cedera dan menemukan insiden cedera paru akut enam kali lebih besar pada kelompok nail intramedullary, namun tidak ada perbedaan dalam ARDS atau mortalitas. Reamed nail versus unreamed nail juga telah diteliti, dan manfaat yang disarankan dari reamed nail mencakup tingkat penyatuan tulang yang lebih baik, kemampuan untuk memasang implan yang memiliki keunggulan biomekanik, diameter yang lebih besar, dan menahan beban lebih awal tergantung pada pola patahnya.20 Pencegahan Pencegahan sangat penting dalam mengelola emboli lemak dan FES. Stabilisasi fraktur dini pada kasus trauma telah terbukti menurunkan angka FES. Dalam artroplasti, teknik seperti navigasi komputer dan cementing technique yang baik telah dieksplorasi untuk mengurangi embolisasi lemak, walaupun implikasi klinisnya masih belum jelas. Kortikosteroid profilaksis telah diteliti, namun profilaksis rutin tidak dianjurkan karena kurangnya bukti berkualitas tinggi dan potensi risiko.21,22 Prognosis FES memiliki hasil yang baik dengan perawatan dan fiksasi awal. Sebagian besar pasien dapat mengharapkan pemulihan lengkap dari gangguan paru-paru, neurologis, dan retina, meskipun morbiditas yang paling signifikan dikaitkan dengan perkembangan ARDS. Dalam penelitian kontemporer yang menggunakan tindakan suportif dan fiksasi operatif dini, tingkat mortalitas FES berkisar antara 7% dan 10%. 14
BAB XII ARTRITIS SEPTIK ANAK 12.1. Pendahuluan dan Definisi Artritis septik didefinisikan sebagai inflamasi pada sendi sinovial yang terjadi akibat infeksi bakteri, jamur, mikrobakteria, virus, dan patogen langka lainnya. Kondisi ini lebih banyak terjadi pada usia bayi dan anak-anak dibandingkan dengan usia dewasa. Septik artritis merupakan sebuah kondisi emergensi pada orthopaedi yang dapat menyebabkan kerusakan sendi permanen dan disabilitas apabila tidak ditangani secara cepat dan tepat.1, 2 Artritis septik primer merupakan hasil dari penyebaran secara hematogen atau inokulasi langsung, sedangkan artritis septik sekunder terjadi saat infeksi menyebar ke sendi (contoh : osteomielitis pada tulang metafisis yang bersifat intra-artikular menerobos korteks tulang sehingga terjadi penyebaran ke sendi).3, 4 Usia terbanyak pada kasus ini berkisar antara 2 – 6 tahun, dimana insidensinya mencapai 10 per 100.000 anak-anak pada negara dengan sumber daya baik dan 5- 20 per 100.000 anak-anak pada negara dengan sumber daya kurang baik. Sendisendi besar pada ekstremitas bawah (80% kasus melibatkan sendi panggul atau lutut) lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi ini. Namun demikian, kondisi ini dapat terjadi pada sendi manapun, mulai dari sendi bahu, siku, maupun sendi facet pada tulang belakang.3 12.2. Etiologi1 Usia Organisme Penyebab 0-2 bulan Staphylococcus aureus Streptococcus agalactiae Bakteri gram (-) Neisseria gonorrhoeae Candida 2 bulan – 5 tahun Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus Streptococcus pyogenes Kingella kingae
Haemophilus influenzae tipe B (pada anak-anak yang tidak mendapatkan imunisasi) > 5 tahun Staphylococcus aureus Streptococcus pyogenes Remaja/Adolescent Neisseria gonorrhoeae Berkaitan dengan kondisi imunosupresi Coccidioides immitis Blastomyces dermatitidis Histoplasma capsulatum Cryptococcus neoformans Bakteri gram (-) Berkaitan dengan daerah endemic, paparan terhadap kutu dan tikus, riwayat berpergian Borrelia burgdorferi (penyakit Lyme) Mycobacterium tuberculosis Streptobacillus moniliformis Penyebab langka Virus (rubella, parvovirus B19, varicella zoster, hepatitis) Candida Bakteri anaerob Brucella sp 12.3. Patofisiologi Patogenesis dari artritis septik bersifat multifaktorial dan luaran klinis (outcome) bergantung dari interaksi antara respons imun dengan patogen. Pada sebagian besar kasus, artritis septik pada anak-anak timbul secara sekunder akibat penyebaran secara hematogen pada membran sinovial. Kurangnya membran pembatas pada sinovium membuat sendi sinovial lebih rentan terhadap penyebaran secara hematogen.1, 2 Pada tulang metafisis yang berada di intra-kapsular (sendi panggul, ankle, bahu, siku), fokus primer dapat berlokasi di metafisis, yang kemudian menyebar ke sendi (Gambar 1). Pembuluh darah trans-physeal pada anak-anak berusia di bawah 18 bulan dapat menyebabkan infeksi menyebar dari tulang metafisis ke sendi ataupun sebaliknya (Gambar 2).1, 2
Pada sebagian besar kasus, host akan memiliki respons inflamasi yang kuat dan cepat terhadap patogen sehingga akan menyebabkan resolusi dari infeksi. Namun, pada kasus dengan bacterial load yang lebih tinggi dan/atau host dengan imunosupresi, resolusi dari infeksi membutuhkan waktu yang lebih panjang, dan akan menyebabkan aktivasi yang lebih lama dari sistem imun disertai dengan level sitokin (IL-1, IL-6, TNF-α) dan spesies oksigen reaktif yang lebih tinggi. Hal ini pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya kerusakan sendi. Respons dari sel-sel polimorfonuklear (PMN) dengan melepaskan enzim-enzim proteolitik akan menghasilkan kerusakan permanen pada kartilago intra-artikular dan tulang subkondral dalam 3 hari.1, 2 Gambar 1. Metafisis dari radius proximal (A), humerus proximal (B), femur proximal (C), tibia dan fibula distal (D) bersifat intraartikular. Osteomielitis pada lokasi-lokasi ini dapat menyebabkan penyebaran mikroorganisme ke sendi dan menghasilkan septic artritis5 Gambar 2. Sendi panggul dari neonatus, dengan pembuluh darah trans-physeal dan metafisis yang bersifat intraartikular (A), sendi lutut dari anak-anak, dimana metafisis bersifat extraartikular serta memiliki pembuluh darah metafisis dan epifisis yang terpisah (B).6 A B
12.4. Assessment Diagnosis yang tepat sangat penting dalam menghasilkan outcome yang baik, dan dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan laboratorium, serta aspirasi sendi.3 Anamnesis Gejala biasanya terdiri dari nyeri yang bersifat akut, edema, imobilisasi dari sendi, dan bila terjadi pada ekstremitas bawah, pasien menolak untuk menumpu berat bedan. Demam dapat terjadi maupun tidak. Riwayat cedera atau jatuh dapat dialami oleh pasien. Malaise dan rasa gelisah dapat merupakan satu-satunya gejala yang timbul pada bayi. Anamnesis lengkap harus dilakukan dan meliputi usia, riwayat prematuritas, obat-obatan, riwayat berpergian, kontak dengan orang sakit, status imunisasi, sakit yang dialami, paparan terhadap binatang, serta paparan terhadap produk yang tidak dipasteurisasi.3 Pemeriksaan Fisik Sendi panggul merupakan predileksi dari kondisi ini, diikuti dengan sendi lutut. Sendi terasa nyeri dan pasien akan mempertahankan posisi sendi panggul dalam posisi fleksi, abduksi, dan eksternal rotasi (posisi dengan volume intra-kapsular paling besar) (Gambar 3). Pemeriksaan fisik lain akan didapatkan efusi, eritema, panas pada perabaan, nyeri tekan, serta tidak dapat menumpu berat badan dan cara berjalan yang berubah jika terjadi pada ekstremitas bawah.2, 3, 6 Gambar 3. Gambaran klinis klasik pada septik artritis sendi panggul. Posisi fleksi, abduksi, dan eksternal rotasi pada sendi panggul sebelah kanan.6
Gejala Klinis pada Neonatus1 • Sendi yang edema dan hangat, disertai eritema di sekitarnya • Demam (inkonsisten; contoh : septik artritis akibat MRSA) • Mengenai beberapa sendi • Pseudo-paralysis • Range of motion (ROM) pasif menimbulkan rasa nyeri yang hebat • Sendi panggul dipertahankan dalam posisi fleksi, abduksi, dan eksternal rotasi (yang pada akhirnya akan menjadi adduksi dan internal rotasi saat sendi panggul mengalami subluksasi) Gejala Klinis pada Anak-Anak1 • Presentasi klasik : sendi yang edema, merah, dan nyeri • Demam (inkonsisten) • Pseudo-paralysis • ROM pasif menimbulkan nyeri yang hebat • Menolak untuk menumpu berat badan Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan x-ray direkomendasikan sebagai lini pertama pada kasus suspek infeksi sendi. Pada setting akut, x-ray akan menunjukkan hasil yang normal, karena infeksi umumnya membutuhkan waktu 7-10 hari untuk menimbulkan perubahan pada tulang yang dapat dideteksi oleh x-ray. Pada pasien anak-anak, ossification center dapat belum terbentuk, sehingga membatasi penggunaan x-ray. Temuan x-ray awal dapat berupa edema jaringan lunak dan pelebaran celah sendi. Sedangkan temuan x-ray lanjutan meliputi reaksi periosteal, osteolisis, serta penyempitan celah sendi (Gambar 4).2, 3 Gambar 4. Gambaran x-ray pada septik artritis sendi panggul kanan. Didapatkan penyempitan celah sendi, destruksi dari acetabular roof, serta osteolisis pada kaput femur.
Ultrasound merupakan pemeriksaan yang aman dan mudah untuk mengkonfirmasi suatu efusi. Namun, pemeriksaan ini tidak dapat membedakan cairan steril, purulen, dan hemorrhagik. Efusi pada pemeriksaan ultrasound disertai dengan kecurigaan klinis yang tinggi terhadap artritis septik merupakan suatu indikasi untuk melakukan aspirasi sendi (dimana dapat dibantu dengan menggunakan ultrasound). Kelemahan dari modalitas ini adalah sifatnya yang user-dependent (Gambar 5).2, 3 Jika diagnosis belum dapat terkonfirmasi, MRI dapat digunakan untuk melihat gambaran keseluruhan dari infeksi (Gambar 6). Contoh dari penggunaan MRI adalah untuk membedakan antara septik artritis sendi panggul dengan suatu abses psoas. Namun demikian, MRI membutuhkan biaya yang besar dan mungkin tidak tersedia pada beberapa tempat, sehingga dibuat suatu algoritma untuk penggunaan modalitas ini (Gambar 7).2, 3 Gambar 5. Gambaran MRI T2 axial pada lutut kanan anak laki-laki berusia 16 bulan dengan septik artritis yang terkonfirmasi dengan kultur (A), pemeriksaan ultrasound pada lokasi yang sama menunjukkan efusi yang besar dan fluid level (B), pemeriksaan ultrasound pada lutut kontralateral yang menunjukkan hasil normal (C).3
Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan meliputi pemeriksaan darah lengkap dengan differential count, pemeriksaan kimia darah, C-reactive protein (CRP), laju endap darah (LED), dan kultur darah. Kultur darah sebaiknya dilakukan sebelum inisiasi antibiotik. CRP lebih sensitif untuk monitor respons awal pasien terhadap terapi antibiotic yang diberikan, sedangkan LED lebih efektif dalam memantau respons pasien terhadap terapi antibiotik dalam jangka waktu yang lebih lama. Kriteria Kocher (leukosit serum > 12.000 sel/μL, menolak untuk menumpu berat badan, demam > 101.3oF [38.5oC], LED > 40 mm/jam) dapat digunakan untuk membantu diagnosis septik artritis (0 kriteria – 0.2%; 1 kriteria – 3%; 2 kriteria – 40%; 3 kriteria – 93%; 4 kriteria – 99% probabilitas septik artritis).1, 3, 6, 7 Gambar 7. Gambaran MRI potongan sagittal (A), axial (B), dan koronal (C) yang menunjukkan septik artritis pada sendi lutut dan osteomielis pada tibia yang disertai dengan adanya abses subperiosteal.6 Evaluasi 5 variabel Usia > 4 tahun; CRP > 13.8 mg/L; Pasien dengan gejala septik artritis ≥ 3 variabel (+) MRI pre-operatif < 3 variabel MRI tidak dilakukan; (+) Gambar 6. Algoritma untuk menentukan penggunaan MRI pada kasus septik artritis. ANC, absolute neutrophil count.3
Pemeriksaan Aspirasi Sendi Pada seluruh kasus suspek artritis septik, pada sendi dengan efusi yang jelas, pada sendi dengan ≥ 3 kriteria Kocher dan/atau CRP > 2 mg/dL maka pemeriksaan aspirasi sendi sebaiknya dilakukan (Gambar 8). Cairan sendi yang berawan, keruh, dan purulen disertai dengan viskositas yang rendah (string sign (-)) mengarah pada diagnosis septik artritis. Analisis cairan sendi kemudian dilakukan disertai dengan penghitungan sel dan differential, pewarnaan gram, glukosa, serta kultur aerob dan anaerob. Nilai cut-off dari analisis cairan sendi masih bersifat kontroversial (leukosit > 50.000 mm3 dan > 75% PMN vs leukosit > 100.000 mm3 dan > 90% PMN). 2, 3 12.5. Management Tatalaksana sebaiknya dilakukan dengan melakukan pendekatan multidisiplin. Diagnosis yang tepat, tatalaksana, kontrol nyeri, dan rehabilitasi diharapkan akan dapat menghasilkan hasil klinis yang baik.2, 3 Tatalaksana Operatif Drainase, dekompresi, irigasi, dan debridement merupakan tatalaksana operatif yang direkomendasikan pada kasus septik artritis. Dekompresi sangat penting dilakukan terutama pada sendi panggul karena resiko osteonekrosis. Drain kemudian ditempatkan dan dilepaskan setelah 2-3 hari post-operatif. Jika produksi drain (+) dan tidak didapatkan perbaikan secara klinis atau laboratorium, maka kembali dilakukan tindakan debridement dan irigasi, selain itu MRI juga dapat dipertimbangkan untuk dilakukan. Tindakan operatif serial direkomendasikan hingga terdapat perbaikan secara klinis. Debridement dan irigasi pada sendi lutut juga dapat dilakukan dengan menggunakan artroskopi (Gambar 9).2, 3, 8 Gambar 8. Aspirasi cairan sendi. Gambar 9. Debridement dan irigasi dengan menggunakan artroskopi pada kasus septik artritis di sendi lutut.
Antibiotik Terapi antibiotik sebaiknya dimulai setelah dilakukan kultur darah dan aspirasi cairan sendi pada pasien dengan kondisi stabil.2, 3 Namun, pada pasien dengan septikemia atau infeksi yang progresif, terapi antibiotik empiris harus dilakukan sesegera mungkin. Pilihan antibiotik empiris sebaiknya ditentukan berdasarkan kecurigaan terhadap patogen sesuai dengan usia, status imunisasi, dan kondisi komorbiditas lainnya.1 Terapi antibiotik jangka pendek telah terbukti tidak menimbulkan rekurensi atau infeksi yang persisten. Antibiotik awalnya diberikan secara intravena selama 2-4 hari, kemudian dilanjutkan secara oral apabila respons pasien baik secara klinis dan terjadi perbaikan kadar CRP. Durasi pemberian antibiotik selama 2 minggu dinilai cukup baik pada kasus yang tidak mengalami komplikasi. Jika septik artritis melibatkan tulang yang berdekatan, maka durasi pemberian antibiotik disarankan hingga 3 minggu. Patogen MRSA harus ditatalaksana selama minimal 4 minggu.1 Penghentian terapi antibiotik didasarkan pada perbaikan klinis (contoh : demam dan gejala klinis lainnya membaik) dan kadar CRP mengalami perbaikan menjadi < 20 mg/dL, tanpa melihat hasil LED. Namun apabila keadaan klinis belum mengalami perbaikan, serta kadar CRP tetap tinggi, maka antibiotik tetap diberikan hingga kadar CRP normal dalam 2x pemeriksaan secara berturut-turut.1 Rekomendasi Antibiotik Empiris pada Septik Artritis Anak6, 8 Usia Antibiotik Empiris Intravena < 1 bulan Ampicillin-sulbactam + gentamycin 1-3 bulan Vancomycin + ceftriaxone Anak-anak dan remaja (adolescent) Cefazoline or cefuroxime Clindamycin (daerah endemik MRSA) Vancomycin (daerah endemic MRSA; resistensi clindamycin; infeksi berat) Rekomendasi Antibiotik Spesifik untuk Patogen pada Septik Artritis Anak6, 8 Patogen Antibiotik Empiris Intravena Staphylococcus aureus Penicillin, Cephalosporine generasi pertama
Clindamycin (sensitif MRSA) Vancomycin (sensitif MRSA) Daptomycin (resistensi vancomycin) Linezolid (resistensi vancomycin) Streptococcus pyogenes Penicillin Ampicillin Amoxicillin Streptococcus pneumoniae Ampicillin dan amoxicillin Cephalosporine generasi kedua atau ketiga Vancomycin dan linezolid Haemophilus influenzae tipe B Amoxicillin-clavulanate Ampicillin-sulbactam Cephalosporine generasi kedua Kingella kingae Penicillin, cephalosporine generasi pertama Amoxicillin-clavulanate Ampicillin-sulbactam Salmonella Ceftriaxone atau cefotaxime Pseudomonas Piperacillin-tozobactam Ciprofloxacin Escherichia coli Amoxicillin-clavulanate Neisseria gonorrhoeae Ceftriaxone Cefotaxime Cephalosporine generasi ketiga
Aspirasi Serial Pada kasus sederhana, atau pada pasien dimana tatalaksana operatif merupakan kontraindikasi, aspirasi sendi terapeutik merupakan suatu alternatif. Indikasi dari tindakan ini adalah efusi sendi ≥ 5 mm dari pemeriksaan ultrasound. 2 Gambar yang menunjukkan algoritma pengambilan keputusan pendekatan manajemen pengobatan untuk arthritis septik pada anak. CBC = complete blood count, CRP = C-reactive protein, ESR = erythrocyte sedimentation rate, SA = septic arthritis, PCR = polymerase chain reaction, US = ultrasound, USG = ultrasonography, WBC = white blood cell. 6 Secara klinis dicurigai Sep0c Arthri0s Demam, sendi yang sakit 0dak mampu menahan berat tubuh, ruang lingkup sendi teerasa terbatas karena nyeri, bengkak dan berwarna merah pada sendi yang terlibat Pada bayi baru lahir, irritability, malaise, muntah, dan menolak untuk makan, merupakan gejala yang terlihat Pemerikasaan fisik,radiologi dan lab (CRP, LED, dan kultur darah ³ 3/4Kocher kriteria pada panggul atau CRP³2 mg/dl, LED³40 mm/h (semua sendi) YA Tidak Aspirasi sendi (USG Guiding), perwarnaan Gram, kultur dengan/atau PCR Secara klinis dicurigai SA dan Osteomyeli0s lakukan MRI Start empiric An0bio0k USG/MRI (+) dijumpai efusi sendi Aspirasi Sendi USG/MRI (-) dijumpai efusi sendi Monitor Pasien secara klinis, demam, CRP, dan WBC Reevaluasi potensial kemungkinan Differensial Perwarnaan gram (+) atau Diagnosa yang lain secara klinis di curigai SA Start an0bio0c empirik Tindakan Pembedahan Irigasi dan Debridement
Diagnosis Banding6 • Transient synovitis • Juvenile idiopathic arthritis • Penyakit Lyme • Hemofilia • Penyakit Kawasaki • Osteomielitis • Artritis reaktif post virus • Artritis reaktif post streptococcal 12.6. Komplikasi Komplikasi yang berkaitan dengan septik artritis meliputi sepsis, artritis prematur, osteonekrosis dari femur proximal, penutupan epifisis, gangguan pertumbuhan, sinovitis, artrofibrosis, kaku sendi, infeksi yang persisten, hingga dapat menimbulkan kematian (Gambar 10-11).5 Gambar 10. Progresi dari septik artritis yang terlambat ditatalaksana. Pelebaran celah sendi (panah merah). Debridement dan irigasi dilakukan, namun tampak sudah terjadi avaskular nekrosis (panah kuning) dan destruksi sendi (panah jingga). Fusi kemudian dilakukan. Gambar 11. Klasifikasi dari sekuele septik artritis sendi panggul (Choi). Klasifikasi ini menunjukkan bahwa nekrosis awal (merah) menentukan keparahan dari deformitas yang akan terjadi.
BAB XIII ARTRITIS SEPTIK PADA DEWASA 13.1. Tujuan Artritis septik merupakan kondisi medis yang berbahaya dimana dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan.1 Artritis septik sendi umumnya dianggap sebagai kondisi darurat medis yang memerlukan intervensi bedah yang mendesak untuk membantu mengurangi kerusakan kartilago dan menjaga fungsi sendi dalam jangka panjang. Hal yang tidak dapat diabaikan ialah pentingnya mendiagnosis dan merawat artritis septik dengan cepat dan tepat guna mencegah disabilitas jangka panjang.2 Oleh karena itu, penting untuk memahami ciri-ciri riwayat penyakit, temuan pemeriksaan fisik, uji diagnostik, dan pilihan penanganan agar dapat memberikan perawatan optimal bagi para pasien ini. Dengan pemahaman yang tepat, para penyedia layanan kesehatan dapat melakukan penanganan yang tepat bagi para pasien dan mengurangi resiko komplikasi dari kondisi yang mengganggu ini.3 Definisi Nyeri sendi merupakan keluhan umum yang paling sering dijumpai pada unit gawat darurat dan dapat disebabkan oleh berbagai etiologi mulai dari yang ringan hingga yang mengancam jiwa. Salah satu penyebab yang paling berbahaya adalah artritis septik. Arthritis septik adalah infeksi pada sendi. Infeksi dapat disebab kan oleh bakteri, virus, atau lebih jarang disebabkan oleh jamur/parasit. Biasanya infeksi melibatkan satu sendi besar, seperti lutut, tetapi banyak sendi bisa saja terjadi. Proses infeksi awalnya dapat dimulai di tempat lain di tubuh dan berjalan melalui aliran darah ke persendian, sumber infeksi lain termasuk luka terbuka yang terkontaminasi, pembedahan dan suntikan yang tidak steril dapat menyebabkan timbulnya arthritis septik. 3,4 Arthritis septik jarang terjadi dibandingkan arthritis lainnya, ada beberapa faktor resiko yang dapat meningkatkan kejadiaannya seperti kondisi kekebalan tubuh yang melemah (diabetes, masalah ginjal dan hati, HIV, dan konsumsi obat immunosupressan), konsumsi obat-obatan terlarang dan alkohol, menderita keganasan, kondisi yang mempengaruhi sendi sebelumnya (radang sendi, operasi pada daerah sendi, pengantian sendi dan cedera pada sendi. Angka kejadian arthritis
septik diperkirakan sekitar 2-10 kasus per 100.000 orang pertahun. Terlepas dari kemajuan dalam Teknik diagnostik (khususnya dibidang pencitraan) dan munculnya antibiotik baru, kejadian arthritis septik nampaknya telah meningkat selama beberapa tahun terakhir, jumlah populasi manula yang meningkat, meluasnya penggunaan terapi immunosupressan dan meningkatnya resistensi antibiotik adalah salah satu penyebab utama peningkatan ini. 4 Keadaan artritis septik bakterial yang akut dapat menjadi kedaruratan medis karena potensi morbiditas dan mortalitas yang dapat ditimbulkannya. Namun, untuk mendiagnosanya juga merupakan hal yang sulit, mengingat gejala seperti nyeri dan panas pada lutut bisa disebabkan oleh infeksi maupun berbagai penyebab non-infeksi seperti osteoartritis, artritis gout, dan beberapa gangguan inflamasi sistemik. Oleh karena itu, diagnosa yang akurat pada pasien dengan artritis septik pada lutut merupakan hasil dari evaluasi menyeluruh terhadap riwayat klinis pasien, temuan pemeriksaan fisik, dan uji diagnostik yang sesuai.1,5 Lutut adalah sendi yang paling sering terinfeksi, karena mencapai 45% kasus, ada 4 sendi besar lainnya yang sering terinfeksi termasuk pinggul (15%), pergelangan kaki (9%), siku (8%), pergelangan tangan (6%), bahu (5%). Arthritis Septik pada daerah cartilage dari tulang axial skeleton jarang terjadi kecuali pada kasus bakterimia dan penggunaan obat-obatan terlarang intravena, pada populasi ini, sendi simfisis pubis, sternoklavikular dan sakroiliaka mungkin saja terkena. 6 Gambar 1. Sendi yang sering terkena Arthritis Septik
13.2. Etiologi Berbagai organisme telah ditemukan sebagai penyebab arthritis septik. Dari penyebabnya bakteri, yang paling umum adalah staphylococcus aureus, yang menyumbang sekitar 41% kasus, ditemukan juga bahwa Methicillin-resistant Staphylococcus aureus telah meningkat kasusnya. Staphylococcus dan streptococcus gram positif merupakan mayoritas kasus sendi arthritis septik dan sering dikaitkan dengan penyalahgunaan obat, selulitis, abses, endocarditis dan osteomyelitis. Streptococcus beta hemolitik (32%) sering bersifat poliartikular dan berhubungan dengan tingkat kematian yang tinggi. Streptococcus pneumonia terdiri dari sekitar 6% kasus. Gram negative basili membentuk kelompok paling umum berikutnya dan berhubungan dengan infeksi saluran kemih, penggunaan obat intravena, imunosupresi, dan infeksi kulit, dari gram negative basili, dua mikroorganisme yang paling umum adalah Peusedomonas dan Escheria Coli. 6 Arthritis septik akut dapat berkembang melalui mekanisme berikut, inokulasi hematogen, inokulasi langsung, penyebaran yang berasal dari sumber infeksi yang berdekatan, dan inokulasi iatrogenic. Synovium adalah struktur dengan vaskularisasi yang baik, dan ini memungkinkan akses yang mudah oleh bakteri. Begitu bakteri masuk kedalam ruang sendi, kondisi pergeseran cairan yang rendah memungkinkan perlengketan bakteri, selain itu produksi protein oleh synovium dapat mempercepat proses infeksi.7 Gambar 2. Profil Organisme pada Arthritis Septik
13.3. Assesment Anamnesis Pasien dapat datang dengan beragam gejala, termasuk demam, nyeri sendi, penolakan untuk berjalan, atau rentang gerakan terbatas pada sendi yang terkena. Temuan yang paling sensitif termasuk nyeri saat sendi bergerak, rentang gerakan terbatas, nyeri tekan pada sendi, pembengkakan sendi baru, dan efusi baru. Sayangnya, anak-anak yang lebih muda dan bayi baru lahir sering mengalami keterlambatan dalam diagnosa karena mereka menunjukkan gejala yang lebih atipikal dan mungkin tidak dapat memberikan riwayat atau pemeriksaan yang dapat diandalkan.4,11 Ada beberapa faktor resiko penting untuk berkembangnya arthritis septik diantaranya ialah usia >60 tahun, riwayat bakteremia baru-baru ini, diabetes, kanker, sirosis, penyakit ginjal, penyalahgunaan obat atau alkohol, riwayat injeksi kortikosteroid, cedera atau prosedur pembedahan, operasi arthroplasty, dan riwayat rheumatoid arthritis. Penyakit Sendi Sebelumnya Penyakit Kulit Kondisi Medis Obat obatan yang berhubungan Lainnya Rematoid Arthritis Psoriasis Diabetes Melitus Kortikosteroid Tindakan Penggantian Sendi Penumpukan Kristal Sendi Eksema Sirosis Obat Anti Rematik Obat Intravena Osteoarthritis Ulkus Kulit Gagal Ginjal Kronis Kortikosteroid Intraartikular Konsumsi Alkohol Lupus Eritematosus Sistemik Infeksi Kulit HIV, AIDS, dan Penyakit Imunitas Lainnya Obat Imunosupresif Lainnya Gigitan Manusia
Trauma Bacteremia Tingkat Ekonomi yang rendah Pembedahan sebelumnya Tabel 1. Faktor resiko untuk terjadinya Arthritis Septik Pemeriksaan Fisik Arthritis septik adalah salah satu dari sedikit kegawatdaruratan bedah ortopedi karena resiko komplikasi yang dapat ditimbulkannya. Pengobatan yang cepat dan tepat dapat mencegah morbiditas lebih lanjut dari kerusakan sendi dan bahkan kematian. Presentasi arthritis septik pada pasien dewasa sering subakut dan sulit untuk didiagnosa, gold standard untuk mendiagnosis tidak hanya melalui nilai laboratorium tetapi juga bergantung kepada gejala klinis, dengan demikian mengumpulkan riwayat medis yang rinci juga sangat penting. Diagnosis yang tepat waktu dari arthritis septik sangat bergantung dari kombinasi antara pemeriksaan klinis, laboratorium dan radiologi. Manifestasi klinis yang paling sering dan umum terjadi adalah nyeri sendi akut, efusi atau pembengkakan sendi, eritema, atau terasa hangat ketika di raba, immobilitas dari sendi, pada anggota gerak bawah juga dijumpai adanya ketidakmampuan untuk menopang berat badan, gejala konstitusional lainnya seperti demam, menggigil, atau kekakuan. Penting untuk diingat bahwa sensitivitas demam dan menggigil kurang cukup dalam mendeteksi arthritis septik karena demam hanya terjadi pada 58% kasus, dan menggigil pada 25% kasus. Meskipun biasanya arthritis septik bersifat monoarticular, tidak tertutup kemungkinan melibatkan banyak sendi hingga 20%, terutama jika terdapat bakteremia. 6 Pemeriksaan fisik harus digunakan untuk membantu menentukan apakah pembengkakan dan peradangan bersifat intraarticular atau periarticular, seperti bursitis parapatellar. Selain itu eritema dan juga kulit terasa hangat dapat mengindikasikan selulitis, namun perlu dicatat bahwa arthritis septik masih mungkin ada pada kasus selulitis. Nyeri ketika gerakan pasif dari sendi adalah salah satu tes yang dapat membantu membedakan antara arthritis septik dan selulitis atau bursitis, dimana kedua itu tidak menimbulkan rasa nyeri Ketika menggerakkan sendi. Selain itu immobilitas sendi sering terjadi pada kasus arthritis septik karena sendi sering
berada dalam posisi untuk memaksimalkan ruang intraarticular, misalnya, lutut dalam posisi 30° fleksi dan eksternal rotasi serta pinggul diabduksi untuk menampung cairan sendi dalam jumlah maksimum. 5,6 13.4. Pemeriksaan Penunjang Tes Laboratorium Pemeriksaan darah saja tidak cukup untuk menyingkirkan artritis septik. Analisa cairan sinovial adalah gold standard untuk mendiagnosis artritis septik. Tes laboratorium secara rutin mencakup jumlah sel darah lengkap, panel metabolisme lengkap, laju endap darah (LED), dan C-reactive Protein, Li dkk, melakukan penelitian retrospektif yang mengidentifikasi 61 (84%) dari 73 pasien dengan arthritis septik yang terbukti secara hasil kultur, dari pasien ini mereka menemukan bahwa sensitivitasnya adalah 48% untuk sel darah putih tepi (peripheral WBC) >11.000 cell/mm3, 64% untuk sel putih synovial (WCC) > 50.000/mm3, dan 96% untuk LED > 30mm/jam. White Cell Count (WCC) synovial telah diteliti sebagai pengukuran yang berpotensi untuk mendiagnosa arthritis septik secara definitif. C-reactive Protein paling sering digunakan untuk melihat efektivitas pengobatan dan diperkirakan akan kembali normal antara 1-2 minggu setelah pemberian antibiotik atau tindakan irigasi, walaupun LED dapat digunakan tetapi nilai serum mungkin masih meningkat selama berharihari bahkan berminggu-minggu setelah inflamasi nya reda.5 Analisa cairan synovial Aspirasi sendi yang terlibat harus dilakukan pada pasien dengan kecurigaan infeksi atau yang memiliki penanda serum inflamasi yang meningkat. Aspirasi dilakukan dalam kondisi steril menggunakan alkohol dan povidone iodine dan menyesuaikan lokasi jalur akses ke sendi langsung sambil menghindari lokasi infeksi sekitar lainnya apabila ada. Hal ini dapat dilakukan dibawah panduan USG. Cairan synovial harus dikirim untuk dianalisa melihat jumlah leukosit, Analisa kristal, perwarnaan gram dan kultur. Apabila dijumpai jumlah sel lebih besar dari 50.000/mm3 dan jumlah sel polimorfonuklear lebih besar dari 90% berkorelasi langsung dengan arthritis septik. Sedangkan apabila jumlah sel 0-2000 sel/mm3 sesuai dengan etiologi noninflamasi dan jumlah sel 2000-50.000/mm3 mewakili inflamasi arthropathy. Selain
jumlah leukosit synovial, leukosit esterase (LE) dapat menjadi tes yang berguna. Cairan synovial sering dikirim untuk di kultur, terdapat juga 20% kasus memiliki hasil yang negative. Beberapa kemungkinan yang bisa menyebabkan hal tersebut, termasuk terapi antibiotik yang terlalu dini, volume cairan yang tidak mencukupi, durasi inkubasi yang tidak memadai. Sebuah studi oleh hindle dkk menunjukkan bahwa pemberian antibiotik premature menurunkan hasil kultur dari 79% menjadi 28%, menunjukkan bahwa pemberian antibiotik harus dihindari bila memungkinkan sampai kultur diisolasi.6 Menurut guideline management of septic arthritis in native joint yang dipublish pada 2023 dikatakan bahwa direkomendasikan untuk pengambilan cairan synovial untuk kultur mikrobiologi, dibutuhkan setidaknya 2 sampel (aerob dan anaerob) dari kultur darah yang dilakukan pada pasien yang demam dengan sangkaan septikemia atau sepsis. Biopsi dari jaringan synovial juga bisa dilakukan dengan pasien sangkaan TB untuk dilakukan kultur mikrobiologi atau analisis histopatologi.11 Tehnik aspirasi sendi membutuhkan tindakan aseptik yang ketat, untuk menghindari kontaminasi sendi dan bahan sampel. Tempat tusukan jarum perlu dilakukan desinfeksi dan kulit harus benar-benar kering sebelum memasukkan jarum. Tusukan jarum kedalam sendi melalui area abses subkutan atau daerah selulitis harus di hindari. USG guiding, fluroskopi atau CT dapat membantu untuk mendokumentasikan posisi jarum intraarticular. Injeksi saline untuk meningkatkan hasil biakan tidak dianjurkan.11 Tindakan aspirasi sendi juga beresiko untuk menimbulkan iatrogenic infeksi (0,01%) dan dapat meningkat pada pasien dengan immunocompromised (0,05%). Resiko lain yang dapat terjadi adalah perdarahan.5
Tabel 2. kategori cairan synovial pada monoarticular arthritis Gambar 3. Proses Tindakan Aspirasi pada Sendi Lutut16 Kategori Hasil Pemeriksaan Cairan Sinovial Cairan Sinovial Normal Noninflammatory Perdarahan Peradangan Septik Warna Bening Kuning Merah Kuning Kehijauan Kecerahan Jernih Jernih Berdarah Keruh Keruh Sifat Kental Tinggi Tinggi Bervariasi Rendah Bervariasi Sel Darah Putih 0- 2000/mm3 0-2000/mm3 0- 2000/mm3 2000- 50.000/mm3 >50.000/mm3 Persentase PMN <25% <25% 50-75% >50% <75-80% Kultur Negatif Negatif Negatif Negatif Positif
Radiologi Radiografi polos pada tahap awal memperlihatkan gambaran pelebaran ruang sendi, dan pembengkakan jaringan lunak, sedangkan perubahan tulang subkondral, osteoporosis juksta-artikular, erosi, dan penyempitan ruang sendi dengan kerusakan tulang kortikal dapat dijumpai pada tahap lanjut. Radiografi polos yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan artritis septik. Ultrasonografi berguna untuk mengidentifikasi dan mengukur efusi sendi serta membantu dalam aspirasi jarum pada sendi. Ultrasound juga merupakan alat pencitraan yang menarik karena kemampuannya untuk memberikan informasi secara real-time, dan tidak ada resiko paparan radiasi kepada pasien, dan juga dari segi biaya lebih murah.5 MRI sensitif untuk deteksi dini cairan sendi dan dapat mengungkapkan kelainan pada jaringan lunak dan tulang sekitarnya, serta memetakan sejauh mana keterlibatan kartilago. Pencitraan MRI sangat baik dalam mendeteksi kelainan dalam jaringan lunak dan edema tulang dan berguna dalam mengidentifikasi osteomyelitis yang bisa terjadi bersamaan. Pemindaian tulang atau Bone Scan tidak spesifik dan tidak dapat membedakan infeksi dari proses steril. Namun, mereka berguna saat mengevaluasi infeksi terlokalisasi pada sendi seperti sakroiliak atau pinggul.4,5 Secara keseluruhan pemeriksaan radiologi membantu dokter dalam mengidentifikasi kelainan struktural, efusi dan tingkat peradangan, tetapi tidak dapat memberikan diagnosis defenitif dari arthritis septik5 Gambar 4. laki-laki 29 tahun dengan gambaran arthritis septik dari lutut kiri. A. Proyeksi AP menunjukkan penyempitan celah sendi dengan gambaran irregularitas dari permukan sendi (tanda panah). B, gambar MRI T1, menunjukkkan efusi dari sendi (tanda bintang) dengan penebalan irregular dari dinding synovial (tanda panah tebal), abses intramuscular dalam otot gastrocnemius (panah melengkung) 9
13.5. Klasifikasi Pada tahun 1985, Gächter menggambarkan klasifikasi infeksi sendi berdasarkan temuan anatomopatologis dari artroskopi. Kriteria Gächter dapat diterapkan pada setiap penyakit sendi yang signifikan, tetapi sebagian besar studi yang memperhitungkan kriteria ini terkait dengan artritis septik pada lutut. Untuk Gachter stadium 1,2 dan bahkan 3 dianjurkan pembedahan debridment arthroscopic sebagai pilihan bedah awal. Sedangkan pada Gachter stadium 3,4 debridement terbuka (Open Arthrotomy) merupakan pilihan yang terbaik. 5,8 Klasifikasi Gächter pada Artritis Septik Sendi Lutut Stadium Klinis Arthroskopi Klinis Radiologis I Kejernihan cairan, kemerahan dari membran synovial Tidak ada perubahan II Inflamasi berat, penumpukan fibrin dan cairan pus Tidak ada perubahan III Penebalan membran sinovial, pembentukan kompartemen Tidak ada perubahan IV Pembentukan Pannus yang agresif dengan infiltrasi hingga merusak tulang rawan Osteolisis subchondral, Erosi tulang dan kista Tabel 3. Klasifikasi Gächter pada Artritis Septik Sendi Lutut 13.6. Penatalaksanaan Arthritis septik dapat menyebabkan hilang nya fungsi sendi dan morbiditas yang signifikan. Kunci dari penanganan arthritis septik adalah mendiagnosa lebih awal, aspirasi sendi, antibiotik dan perawatan supportif. Pengobatan artritis septik mencakup terapi antimikroba dan drainase cairan sendi (arthrotomi, artroskopi, atau aspirasi jarum). Terapi antimikroba intravena secara empiris harus segera dimulai setelah aspirasi sendi selesai dilakukan dan kultur diperoleh. Cakupan antibiotik empiris meliputi cakupan antistafilokokus (nafcillin, oksasilin, atau vankomisin) untuk semua kelompok usia dan risiko. Antibiotik empiris untuk artritis septik non-gonokokus biasanya melibatkan penggunaan vankomisin intravena yang ditujukan untuk
organisme gram positif terutama jika terdapat kecurigaan MRSA berdasarkan data komunitas dan institusi.10,11 Manajemen Antibiotik Sangat penting untuk memulai antibiotik sesegera mungkin ketika diduga arthritis septik, adalah tindakan yang tepat untuk mendapatkan hasil kultur darah dan sampel cairan synovial sebelum pemberian antibiotik. Rekomendasi saat ini adalah bahwa rejimen awal didasarkan pada organisme yang dicurigai. Sedangkan rejimen antibiotik definitif harus ditentukan berdasarkan hasil kultur. Pada pasien dengan kecurigaan tinggi untuk arthritis septik dengan hasil kultur negative tetapi memberikan hasil respon baik dengan antibiotik empiris, mungkin harus secara bijaksana menentukan menyelesaikan terapi berdasarkan pasien per pasien.5 Pada kasus dengan sepsis atau sepsis syok, pengobatan antibiotik empiris harus dimulai sesegera mungkin sesuai dengan pedoman sepsis institusional. Tidak ada uji klinis yang mengevaluasi durasi total pengobatan antimikroba atau durasi pengobatan antibiotik intravena dan oral pada orang dewasa dengan arthritis septik. Disaran kan penggunaan antibiotik intravena selama 1-2 minggu dan beralih ke oral segera setelah tanda dan gejala klinis infeksi dan biomarker darah (jumlah leukosit dan CRP) menunjukkan hasil yang memuaskan.11
Gambar 5. Algoritme pengobatan untuk diagnosis dan penanganan dugaan Arthritis Septik5 Tabel Regime Antibiotik Sesuai Organisme dalam Tatalaksana Artritis Septik Organisme Regime Antibiotik MRSA Vancomycin 1g/12j atau Linezolid 600mg/12j Coagulase-negative Staphylococcus species Vancomycin 1g/12j atau Linezolid 600mg/12j Klinis pada Artri-s Sep-k Hasil Lab CRP, LED, LEU, Kultur Darah Aspirasi Sendi - Pewarnaan Gram, Hitung Jenis, Kultur, Glukosa, Kristal Pencitraan - Radiografi, Hasil MRI Sinovial Laktat (Posi8f jika >10mmol/L), IL-6 (Nega8f jika <7000 ng/mL) Pemberian An8bio8k disertasi Aspirasi Sendi Posi8f pada Pewarnaan Gram Mulai pemberiaan An-bo-k dengan Gram Spesifik Persiapkan untuk tatalaksana Pembedahan (sesuai hasil kultur) Arthroskopi Arthrotomi Aspirasi Serial Op-masi pemberiaan an-bio-k berdasarkan kultur Pantau gejala dan hasil lab untuk perkembangan Nega8f pada Pewarnaan Gram Leukosit Sinovial >50.000Cell/mm3 Mulai pemberiaan An-bio-k Empiris Spektrum Luas Leukosit Sinovial <50.000Cell/mm3 Follow up Kultur dan hasil Lab lainnya Hasil Posi8f Mulai pemberiaan An-bio-k Empiris Hasil Nega8f Differensial Diagnosa Lainnya
Methicillin-sensitive S. aureus (MSSA) Nafcillin 2g/6j atau Clindamycin 900mg/8j Coagulase-negative Staphylococcus species Nafcillin 2g/6j atau Clindamycin 900mg/8j Group A streptococci, S. pyogenes Penicilin G 2 Juta unit/4j atau Ampicilin 2g/6j Group B streptococci, S. agalactiae Penicilin G 2 Juta unit/4j atau Ampicilin 2g/6j Enterococcus species Ampicilin 2g/6j atau Vancomycin 1g/12j Escherichia coli Ampicilin-Sulbactam 3g/6j Proteus mirabilis Ampicilin 2g/6j atau Levofloxacin 500mg/24j P. vulgaris, P. rettgeri, Morganella morganii Cefotaxime 2g/6j, Imipenem 500mg/6j, atau Levofloxacin 500mg/24j Serratia marcescens Cefotaxime 2g/6j Pseudomonas aeruginosa Cefepime 2g/12j, Piperacilin 3g/6j, atau Imipenem 500mg/6j Neisseria gonorrhea Ceftriaxone 2g/24j atau Cefotaxime 1g/8j Bacteroides fragilis Clindamycin 900mg/8j atau Metronidazole 500mg/8j Tabel 4. Regime Antibiotik Sesuai Organime pada Artritis Septik Tatalaksana Definitif Manajemen Pembedahan Arthritis Septik adalah suatu keadaan darurat orthopedi, dan penundaan pengobatan dapat menyebabkan kerusakan sendi, osteonecrosis, dan instabilitas dari sendi. Tujuan tindakan pembedahan meliputi dekompresi, lavage, debridemen, dan
dalam beberapa kasus berupa synovectomy. Pilihan tindakan yang dilakukan dapat berupa arthrotomy, debridemen arthroscopic, dan aspirasi jarum tertutup serial.5 Aspirasi jarum tertutup serial adalah salah satu metode pengobatan artritis septik yang sering dikutip dalam bidang rheumatologi dan literatur medis. Tindakan arthroscopic memberikan hasil yang baik oleh karena pemulihan fungsional lebih baik disebabkan jaringan parut yang lebih sedikit pada permukaan sendi, dan juga kemampuan untuk melakukan debridemen lengkap dari jaringan synovium dengan tingkat morbiditas yang rendah. Baik tehnik open arthrotomy maupun arthroscopic biasanya dapat memberantas infeksi dengan sekali prosedur saja pada pasien-pasien yang didiagnosis dini dan juga menerima terapi antibiotic yang tepat.5 Pasien dengan faktor resiko tertentu dapat mengalami infeksi berulang bahkan dengan tindakan arthrotomy debridemen, menurut Hunter dkk, dari 132 kasus pasien arthritis septik ditemukan bahwa 49 pasien (38%) membutuhkan tindakan debridemen berulang. Mereka menemukan 5 faktor yang paling memprediksi kegagalan tersebut, Riwayat artropati inflamasi, keterlibatan sendi besar (lutut, bahu, atau pinggul), jumlah sel cairan synovial > 85.00o sel/mm3, isolasi S. aureus dan Riwayat diabetes.5 Pembedahan terbuka atau artroskopi mendesak kini lebih umum digunakan sebagai pengobatan definitif. Tujuan dari pengobatan bedah meliputi dekompresi, irigasi, debridemen, dan dalam beberapa kasus, sinovektomi. Beberapa studi dalam beberapa tahun terakhir telah dilakukan untuk memvalidasi penggunaan pembedahan artroskopi yang kurang invasif untuk pengobatan sendi yang terinfeksi.13,14 Sejumlah uji klinis yang membandingkan artroskopi vs. artrotomi dalam pengobatan artritis septik lutut telah dipublikasikan. Namun, hasil yang kontroversial ada mengenai pendekatan yang ideal untuk artritis septik lutut. Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa artroskopi dan artrotomi memiliki hasil pascaoperasi yang sebanding.14,15 Penanganan Arthritis TB pada tahap awal harus ditangani secara medikamentosa. Intervensi bedah harus dihindari pada fase aktif arthritis TB, dan tindakan debridement atau synovectomy hanya boleh dipertimbangkan pada kasus dengan abses yang luas atau tulang mengalami destruksi dimana tidak memberikan respon terhadap terapi medikamentosa. Terapi medikamentosa awalnya terdiri dari
rifampisin, isoniazid, etambutol dan pirazinamid selama 2 bulan, setelah 2 bulan bisa dilanjutkan dengan isoniazid dan rifampicin. Direkomendasikan lamanya pemberian regimen TB selama 6 bulan atau 9-12 bulan tergantung respon pengobatan.11 Menilai tingkat keberhasilan manajemen arthritis septik direkomendasikan untuk mencari tanda-tanda berikut yang menunjukkan kegagalan pengobatan: nyeri terus menerus dan atau adanya tanda inflamasi lokal (termasuk adanya secret purulent) dan atau tanda infeksi sistemik dan atau fungsi sendi yang memburuk, disertai juga CRP dan jumlah leukosit yang tidak menurun atau malah meningkat. Melakukan aspirasi ulang cairan synovial dan menilai adanya peningkatan atau penurunan dari jumlah sel darah putih dan presentase leukosit PMN, serta kultur mikroba yang terus menerus positif.11 13.7. Komplikasi Komplikasi yang berpotensi untuk terjadi dari artritis septik termasuk osteomielitis, bakteremia, dan sepsis, serta kerusakan langsung pada sendi. Penghancuran kartilago dan tulang di sekitar juga dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan (pemendekan anggota gerak), dislokasi sendi, prematur osteoartritis degeneratif, kehilangan fungsi sendi, dan juga kematian3,5 Artritis septik yang disebabkan oleh infeksi MRSA (Staphylococcus aureus resisten metisilin) berhubungan dengan peningkatan risiko abses subperiosteal, serta tingkat septic shock yang lebih tinggi, lama rawat inap yang lebih lama, intervensi bedah yang lebih banyak, dan risiko yang lebih tinggi terhadap sekuele jangka panjang.2,3
BAB XIV FRAKTUR PATOLOGI 14.1. Definisi Fraktur biasa terjadi akibat kerusakan pada tulang yang normal. Sedangkan Fraktur patologi didefinisikan sebagai fraktur yang terjadi pada tulang yang sebelumnya sudah “abnormal” dalam artian tulang abnormal ini adalah tulang yang sudah menderita penyakit sebelumnya dan lebih gampang terjadi fraktur pada tulang tersebut. Fraktur patologi ini bisa disebabkan oleh trauma dengan energi rendah, atau bahkan dengan aktivitas ringan sekalipun.1 14.2. Etiologi Fraktur Patologi bisa disebabkan oleh tulang yang sebelumnya sudah tidak normal. Tulang dapat menjadi tidak normal dalam proporsi strukturalnya sebagai akibat dari proses lokal atau umum yang melemahkan tulang. Setiap fraktur yang terjadi dengan mekanisme cedera yang tidak sesuai atau ringan, harus dicurigai sebagai kemungkinan fraktur patologi. Beberapa kondisi yang menyebabkan tulang sudah mulai rapuh adalah osteoporosis, osteomalacia, penyakit metabolik, radiasi, infeksi dan tumor. 1 Penyebab fraktur patologi yang paling sering dijumpai adalah metastasis dari kanker dan neoplasma pada tulang. Dan umumnya fraktur patologis lebih sering berasal dari lesi yang bermetastasis daripada tumor tulang. Ada lima karsinoma yang diketahui paling sering bermetastasis ke tulang termasuk ca paru-paru, payudara, tiroid, ginjal, prostat, dan multiple myeloma.2 Penyebab Fraktur Patologi:2,14 1. Metastasis Keganasan primer tersering yang bermetastasis ke tulang adalah karsinoma payudara, paru-paru, ginjal, prostat, dan tiroid yang mencakup 80% dari metastasis tulang. Metastasis tulang sebagian besar multifokal, meskipun beberapa tumor seperti karsinoma ginjal dan tiroid dapat menghasilkan lesi tulang soliter. 2. Keganasan Pada Tulang
Sarkoma tulang terjadi jauh lebih jarang, meskipun kemungkinan bahwa fraktur patologis melalui lesi tulang soliter bisa menjadi tanda dari suatu sarkoma pada tulang. 3. Penyakit metabolik pada tulang Pada osteoporosis terjadi karena adanya peningkatan resorpsi pada tulang. Selain itu, pada osteomalacia juga dijumpai penurunan mineralisasi osteoid yang baru terbentuk di tempat pergantian tulang. 4. Infeksi (osteomyelitis) Proses destruktif yang disebabkan oleh osteomyelitis dapat menyebabkan defek pada tulang, defek ini mengurangi kekuatan tulang dengan menyebabkan tekanan yang tidak merata saat tulang dibebani, yang dapat mengakibatkan fraktur patologis.15 5. Kelainan kongenital (osteogenesis imperfecta) Osteogenesis imperfecta adalah suatu penyakit genetic atau herediter yang ditandai dengan kerentanan terhadap patah tulang dengan tingkat keparahan yang bervariasi yang disebabkan oleh defisit biosintesis kolagen. 6. Osteonecrosis Terjadinya fraktur patologik pada osteonecrosis ini disebabkan oleh penurunan dari kualitas tulang diakibatkan oleh karena avaskularisasi. Tanda dan Gejala Fraktur patologis terjadi terutama pada femur (72,5%) dan humerus (18,1%) dan pada tulang belakang (2,7%). Beberapa gejala dan tanda yang dialami adalah:6 • Nyeri. Ini adalah gejala yang paling umum pada fraktur patologis • Pada beberapa pasien dijumpai fraktur komplit yang terjadi tanpa adanya trauma • Night Pain • Deformitas berupa pemendekan dan angulasi • Penurunan berat badan yang tidak disengaja • Keringat malam • Dan beberapa gejala khas dari masing-masing penyakit penyebabnya Diperlukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan menyeluruh serta informasi yang diberikan oleh pasien dan keluarga pasien untuk menyingkirkan beberapa diagnosa banding penyebab dari fraktur patologi. Seperti beberapa diantaranya yaitu : beberapa
lesi tertentu terjadi pada usia kelompok umur tertentu, karakteristik rasa nyeri yang dirasakan, dan tanda khas seperti demam dan berwarna kemerahan bisa mengarah kepada infeksi.1 14.3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang ini lebih berfungsi untuk mencari penyebab terjadinya fraktur patologis. Laboratorium Pemeriksaan laboratotrium harus dilakukan secara lengkap untuk mengidentifikasi etiologi penyakit sebelumnya dan menentukan stadiumnya. Pemeriksaan yang dilakukan diantaranya:6,13 • Darah Lengkap • Panel Metabolik • CRP (C reaktif Protein)/ LED (Laju Endap Darah) • Urinalisa • Prothrombin/INR • Protein elektroforesis • Tumor marker Dalam semua kasus fraktur patologi, akan berguna untuk menyingkirkan infeksi tulang yang menyebabkan patah tulang dengan melakukan pemeriksaan laboratorium (leukosit, C-rekatif protein). Kadar vitamin D diperlukan untuk kasus ricketsia. Pemeriksaan Radiologi X-Ray X-ray pada tulang yang terkena lesi secara menyeluruh. Karena foto x- ray tersebut merupakan modalitas yang penting untuk mendapatkan suatu informasi tentang lesi patologi tersebut. Ada sejumlah penilaian gambaran agresif yang menunjukkan lesi patologis yang dapat diidentifikasi pada x-ray, yang meliputi: diameter lesi > 5 cm, interupsi kortikal, reaksi periosteal, dan fraktur patologis terkait. Ukuran lesi dimana lesi yang besar akan menunjukkan perilaku yang agresif dari lesi. Respon tulang terhadap lesi juga dapat menunjukkan keagresifan dari lesi dimana jika tulang membentuk dinding kortikal yang tebal disekitar lesi diduga proses yang lambat dan tidak agresif sedangkan apabila dinding korteks yang menipis dan melebar menunjukkan proses yang cepat dan agresif.6
Gambar 1. Osteolisis pada Proximal Femur pada pasien usia 55 tahun dengan Kanker paru Gambar 2. Gambaran multiple lesi lytic pada shaft humerus yang disertai gambaran fraktur patologis pada penderita MBD (Ca Thyroid) CT Scan Computed tomography (CT) dada, perut, dan panggul (terutama pada paru, payudara dan ginjal,prostat) dengan kontras oral dan intravena harus diperoleh untuk tujuan penentuan stadium. Skintigrafi tulang seluruh tubuh juga harus diperoleh. Pemindaian tulang (Bone Scan) sangat berguna untuk mengidentifikasi aktivitas osteoblastik.6
Gambar 3. CT Scan Menunjukkan adanya gambaran fraktur patologis pada collum femur CT Scan lanjutan dari ekstremitas dapat dimasukkan untuk perencanaan sebelum operasi atau jika ada kekhawatiran akan sarkoma tulang primer. Alasan lain untuk mendapatkan pencitraan CT lokal adalah untuk mengevaluasi tingkat osteolisis dan untuk lebih memahami anatomi lesi 3-dimensi, terutama di daerah dengan anatomi dimensi yang kompleks seperti panggul. Strategi komprehensif ini adalah standar emas dan berhasil mengidentifikasi asal lesi pada 85% kasus.6,7 MRI MRI bermanfaat untuk mempertimbangkan pencitraan resonansi magnetik (MRI) dari ekstremitas adalah untuk mengevaluasi tingkat keterlibatan jaringan lunak serta keterlibatan dari neurovaskular. Peran MRI juga untuk membantu menggambarkan sumsum tulang serta keterlibatan dari lesi intraosseus. Pertimbangkan mamografi untuk pasien yang terindikasi ketika ada kemungkinan mengarah ke karsinoma payudara.6 Gambar 4. Gambaran MRI menunjukkan abses jaringan lunak (gambar panah kecil) dan fraktur patologis (gambar panah besar) dari tulang femur. Biopsi Biopsi hanya dilakukan ketika seluruh pemeriksaan laboratorium dan radiografi sudah dilakukan dan sudah mengarah ke suatu diagnosis. Ada 3 tipe biopsy yang bisa dilakukan:6,8 • Fine Needle Biopsy Aspiration • Core Needle Biopsy
• Open Biopsy 14.4. Penatalaksanaan Pada semua kasus fraktur patologis, perlu dipahami bahwa patah tulang merupakan gejala dari diagnosis primer. Dokter yang merawat tidak hanya harus mengobati patah tulang tersebut tetapi juga memahami penyebab patah tulang dan proses pemicunya. Pada Tahap awal penanganan fraktur patologis menyerupai penanganan fraktur lainnya yaitu 4R (Recognition, Reduction, Retention, dan Rehabilitation), dimana pada recognition dilakukan assesmen keadaan fraktur, reduction dimana posisi fragmen fraktur perlu dilakukan reposisi untuk mendapatkan posisi yang dapat diterima, atau mendapatkan alignment yang lebih baik, dimana selanjutnya dilakukan retention yaitu immobilisasi fraktur sementara bisa dengan menggunakan bidai atau pun plester cast.1 Penatalaksanaan pada mengacu pada 2 keadaan yaitu: Impending fracture dan fraktur patologi. Impending Fracture adalah suatu keadaan dimana secara biomekanik tulang tersebut sudah lemah dan mempunyai resiko besar untuk terjadinya fraktur dengan kekuatan yang lebih sedikit untuk dibutuhkan untuk terjadinya fraktur pada tulang normal ini disebabkan oleh adanya penyakit yang mendasarinya. Fraktur ini mungkin memerlukan fiksasi profilaksis, yang berarti intervensi bedah dalam bentuk fiksasi internal sebelum kejadian fraktur sebagai sarana untuk memperkuat tulang yang lemah dan mencegah kegagalan di masa mendatang.6 .
Ada dua sistem klasifikasi yang diakui untuk Impending Fracture: 1. Kriteria Harrington:9 Tabel 1. Kriteria Harrington Tetapi klasifikasi ini hanya bisa digunakan pada proximal femur 2. Kriteria Mirel:10 Tabel 2. Kriteria Mirel Jika skor >8 artinya membutuhkan profilaksis fiksasi internal. Manfaat fiksasi profilaksis adalah fiksasi elektif menghilangkan rasa sakit dan morbiditas yang terkait dengan fraktur patologis yang sebenarnya dan memfasilitasi manajemen bedah yang lebih mudah.6 Fraktur patologis dapat terjadi sekunder akibat lesi jinak, metastasis, lesi tulang primer, atau kelainan tulang metabolik. Pengobatan fraktur patologis ditentukan oleh patofisiologi lesi penyebabnya dan kelangsungan hidup yang diharapkan.6 Medikamentosa: • Kemoterapi Kemoterapi bisa dilakukan dengan indikasi kriteria mirel <8 Peran kemoterapi bervariasi berdasarkan keganasan primer. Keganasan tertentu bersifat kemosensitif, sementara yang lain bersifat
kemoresistensi. Secara umum, protokol kemoterapi dirancang menggunakan banyak agen. Kemoterapi, bila diindikasikan, dapat dilakukan dalam pengaturan neoadjuvant (pra operasi) atau adjuvant (pasca operasi). Risiko dan manfaat kemoterapi harus dipertimbangkan mengingat komorbiditas, usia, dan status fungsional pasien.11 • Radioterapi Radioterapi umumnya dilakukan secara adjuvant atau pasca operasi untuk mencegah perkembangan penyakit lokal. Sangat berguna untuk terapi pada pasien yang sudah terkena metastasis.11 • Terapi pada tulang Bertujuan untuk mengobati penyakit yang didasarkan oleh tulang yang porotik (osteoporosis,osteomalacia) cth: Bifosfonat dan denosumab Pada suatu meta analisis dijumpai menunjukkan bahwa denosumab mengurangi kemungkinan fraktur patologis sebesar 14% dibandingkan dengan bifosfonat dalam pengobatan metastasis tulang.12 Pembedahan Intervensi bedah untuk fraktur patologis hanya boleh dipertimbangkan setelah pemeriksaan lengkap dan sudah melakukan biopsi lesi. Prinsip umum fiksasi internal dapat diterapkan tetapi mungkin berbeda ketika melibatkan fraktur patologis. Misalnya, pemilihan implan umumnya harus mengikuti pedoman berikut:6 • Implan yang tahan lama dengan tujuan bertahan sesuai dengan masa hidup pasien dan perkembangan penyakitnya • Stabilitas langsung yang memungkinkan untuk segera menahan beban • Panjang implan harus melewati lesi dengan dua kali dari diameter kortikal • Augmentasi semen bila diperlukan