The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

1st Trial for Orthopaedic and Traumatology FKUI Residents

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by marcom paboi, 2024-02-02 19:44:08

Orthopaedic and Traumatology Emergency Course [OTEC] Trial

1st Trial for Orthopaedic and Traumatology FKUI Residents

Keywords: PABOIPUSAT

C. Tatalaksana Pengobatan gangren iskemik difokuskan pada pemulihan aliran darah untuk membantu mengurangi nyeri saat istirahat dan menyembuhkan luka iskemik. Setelah ulkus berkembang menjadi gangren kering, kecil kemungkinannya bahwa jaringan akan pulih sepenuhnya, namun kehilangan jaringan dapat diminimalkan dengan penanganan medis dan bedah. Perawatan medis untuk gangren iskemik mencakup penggunaan terapi antiplatelet dengan aspirin atau clopidogrel dan pengobatan hipertensi dengan beta-blocker dan inhibitor enzim pengubah angiotensin. Hiperlipidemia harus diobati dengan statin sesuai kebutuhan, dan pasien diabetes harus mencapai kontrol glukosa yang memadai, idealnya pada hemoglobin A1C kurang dari 7%. Berhenti merokok sangat penting untuk mengurangi risiko perkembangan penyakit. Gambar 16. Gambaran USG Doppler Sebelum dan Sesudah Terapi Reperfusi Gambar 17. Gambaran Hasil Pemeriksaan CT-Angiografi


Perawatan bedah iskemia ekstremitas difokuskan pada revaskularisasi untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah kehilangan anggota tubuh. Pada keadaan iskemia akut, trombolisis intravaskular berbasis kateter dapat digunakan. Jika tidak, revaskularisasi dapat dilakukan dengan intervensi endovaskular dengan angioplasti balon (dengan atau tanpa stent), dan terapi bedah dapat melewati area stenotik atau langsung menghilangkan penyumbatan. Keputusan untuk menjalani pengobatan bypass atau endovaskular bergantung pada lesi dan penyakit penyerta pasien, dan keterlibatan dini dalam tim vaskular multidisiplin, jika tersedia, sangat disarankan. Amputasi primer (amputasi sebelum upaya revaskularisasi) direkomendasikan jika terdapat nekrosis yang signifikan pada bagian kaki yang menahan beban, nyeri yang tidak dapat disembuhkan, sepsis/infeksi yang tidak terkontrol, paresis pada ekstremitas, atau harapan hidup yang terbatas. Seringkali, amputasi di atas pergelangan kaki dianjurkan jika terdapat nekrosis kaki yang luas. Autoamputasi juga mungkin terjadi, pemisahan spontan jaringan yang tidak dapat hidup dari jaringan yang dapat hidup; namun, serangkaian kasus pasien dengan gangren kering terkait diabetes menemukan bahwa hanya 1 dari 12 pasien yang mengalami autoamputasi – semua pasien lainnya memerlukan amputasi bedah. Jika lebih dari dua amputasi sinar digital diperlukan untuk mengobati nekrosis, disarankan untuk mempertimbangkan amputasi transmetatarsal pada kaki depan untuk mempertahankan fungsinya – amputasi beberapa jari kaki dapat berdampak buruk pada distribusi tekanan dan mengakibatkan cedera tekanan yang semakin parah. Pengobatan dengan terapi oksigen hiperbarik telah diusulkan sebagai metode untuk meningkatkan tekanan oksigen pada jaringan iskemik. Belum ada manfaat yang ditunjukkan pada iskemia ekstremitas kritis (CLI). Perawatan eksperimental potensial lainnya mencakup penggunaan faktor pertumbuhan dan terapi sel induk untuk mendorong angiogenesis; namun, data klinisnya kurang. Perawatan ini saat ini terbatas pada uji klinis. Jika infeksi dicurigai sebagai gangren basah, baik berdasarkan tanda-tanda infeksi sistemik, eritema/drainase lokal, atau nyeri plantar kaki, drainase bedah segera dan debridemen (mungkin dengan amputasi ringan) diindikasikan. Pengobatan antibiotik harus dimulai untuk semua pasien dengan dugaan iskemia yang mengancam ekstremitas kronis (CLTI) dan infeksi tambahan pada kaki dalam atau gangren basah. Pembalut yang sesuai harus digunakan untuk mempertahankan kelembapan tanpa menambahkan maserasi. Pilihan antibiotik empiris harus bergantung pada faktor risiko pasien dan tingkat kerentanan lokal; Cakupan gram positif biasanya diindikasikan, dengan cakupan yang diperluas pada pasien diabetes dengan mencakup potensi MRSA atau cakupan gram negatif. Gangren gas, yang terkait dengan eksotoksin, bisa menjadi sangat agresif dengan angka kematian yang tinggi jika pengobatan ditunda. Oleh karena itu eksplorasi bedah dan debridemen direkomendasikan sesegera mungkin untuk mengukur tingkat infeksi dan mendapatkan spesimen untuk kultur/pewarnaan Gram. Lokasi pembedahan awal sering kali perlu dievaluasi ulang dan dilakukan debridemen beberapa kali. Pembedahan dalam waktu 24 jam setelah masuk rumah sakit dikaitkan dengan peningkatan kelangsungan hidup. Fasiotomi juga akan membantu


mendekompresi kompartemen fasia dan meningkatkan aliran darah. Gangren pada batang tubuh tidak dapat diamputasi, sehingga diperlukan debridemen yang agresif. Pengobatan antibiotik terhadap gangren gas dan infeksi jaringan lunak nekrotikans harus disesuaikan dengan organisme penyebab sesegera mungkin; namun, dalam evaluasi awal segera, pengobatan spektrum luas yang mencakup bakteri gram positif, gram negatif, dan anaerobik harus digunakan. Jika streptokokus grup A atau Clostridium teridentifikasi, pengobatan yang dianjurkan adalah penisilin dengan klindamisin selama 10 hingga 14 hari; klindamisin terutama dianjurkan untuk mengurangi produksi toksin. Monoterapi dengan klindamisin tidak dianjurkan karena meningkatnya angka resistensi yang dapat diinduksi. Pasien dengan infeksi nekrotikans seringkali sakit secara sistemik dan harus ditangani berdasarkan pedoman sepsis untuk resusitasi cairan dan pengobatan kerusakan organ terkait


BAB VI TRAUMA TULANG PANGGUL (Pelvic Trauma) 6.1. Tujuan • Peserta mengetahui dan mampu menegakkan tanda, gejala dan kegawatan pada kasus patah tulang panggul • Peserta mampu melakukan diagnosis dan pemeriksaan lanjutan pada kasus patah tulang panggul • Peserta mampu melakukan tatalaksana non-operatif pada kasus patah tulang panggul • Peserta mengetahui pilihan manajemen operasi pada kasus patah tulang panggul • Peserta mengetahui dan mampu melakukan tatalaksana pada komplikasi ikutan pada kasus patah tulang panggul • Peserta mengetahui dan mampu melakukan tatalaksana pada rehabilitasi paska tindakan pada kasus patah tulang panggul Pendahuluan dan Definisi Pasien dengan cedera cincin panggul (pelvic ring injuries) dengan ketidakstabilan hemodinamis merupakan kondisi kritis yang perlu mendapat perhatian khusus pada pasien trauma panggul kompleks. Trauma panggul kompleks didefinisikan sebagai cedera tulang panggul disertai cedera jaringan lunak atau trauma organ retroperitoneal. Cedera ini berpotensi mengancam nyawa dengan tingkat kematian sebesar 20%. Pasien dengan cedera cincin panggul yang secara hemodinamik dan mekanis tidak stabil (hemodynamically and mechanically unstable) sering disebut "pasien dalam keadaan ekstrem (patients in extremis)" dan oleh karena itu memerlukan konsep utama yang baik dalam manajemen perdarahan yang tidak dapat dihentikan dikaitkan dengan tingkat kematian yang tinggi dalam 24 jam pertama setelah trauma. Sejak tahun 2007, beberapa pusat penelitian dan rumah sakit Eropa telah membahas rekomendasi manajemen pada pasien trauma yang tidak stabil secara hemodinamik. Rossaint dkk. dan Spahn dkk. merekomendasikan penutupan dan stabilisasi cincin pelvis segera pada pasien yang secara hemodinamik tidak stabil dengan cedera cincin pelvis yang diikuti dengan pembungkusan pelvis praperitoneal awal, embolisasi angiografi, dan/atau kontrol perdarahan bedah ketika ketidakstabilan hemodinamik masih berlanjut.


Pedoman Skandinavia untuk pasien perdarahan masif merekomendasikan pendekatan panggul kontrol kerusakan, di mana pengemasan panggul ekstraperitoneal lebih disukai pada pasien yang ekstrem dan angiografi untuk pasien stabil yang membutuhkan ≥4 PRBC/24 jam setelah pengecualian sumber perdarahan toraks dan / atau abdomen setelah fiksasi pengikat panggul awal. Geeraerts dkk. terutama mengusulkan angiografi dengan embolisasi arteri sebagai pengobatan pilihan yang dilengkapi dengan perangkat fiksasi eksternal panggul untuk memfasilitasi hemostasis vena, sedangkan pada hematoma retroperitoneal mayor, operasi panggul kontrol kerusakan dengan pengepakan panggul dan klem C panggul adalah pilihan yang efektif. Pedoman terbaru dengan jelas memberikan pernyataan berikut ini: • Pengikat panggul (pelvic binder) harus digunakan untuk membatasi perdarahan yang mengancam jiwa dengan adanya dugaan fraktur panggul pada pengaturan pra-bedah • Pasien dengan gangguan cincin panggul dan syok hemoragik memerlukan penutupan dan stabilisasi cincin panggul segera • Kontrol perdarahan bedah dini dan/atau preperitoneal packing dan/atau embolisasi angiografi direkomendasikan pada pasien dengan ketidakstabilan hemodinamik, meskipun stabilisasi cincin panggul telah dilakukan dengan baik • Oklusi balon endovaskular resusitasi aorta (REBOA) hanya dipertimbangkan dalam kondisi ekstrem untuk menambah waktu hingga tindakan pengendalian perdarahan yang tepat dapat dilakukan Tiga metode utama untuk stabilisasi mekanis panggul tersedia : • Bebat pengikat/pelapis panggul (Pelvic binders/sheets) • Fiksasi eksternal panggul (Pelvic external fixation) • Penjepit C panggul (Pelvic C-Clamp) 6.2. Mekanisme Cedera Mekanisme utama cedera pada cedera cincin panggul adalah karena benturan energi tinggi seperti jatuh dari ketinggian, olahraga, tabrakan lalu lintas jalan (pejalan kaki, pengendara sepeda motor, kendaraan bermotor, pengendara sepeda), orang yang tertabrak kendaraan. 10-15% pasien dengan patah tulang panggul datang ke UGD karena syok dan sepertiga dari mereka akan meninggal mencapai angka kematian dalam laporan yang lebih baru sebesar 32% atau > 20%. Penyebab kematian sebagian besar diwakili oleh perdarahan yang tidak terkontrol dan kelelahan fisiologis pasien. Cedera cincin panggul dapat menciptakan ketidakstabilan cincin itu sendiri dan akibatnya meningkatkan volume internal.


Terdapat 4 mekanisme cedera cincin panggul yaitu 1. Kompresi lateral (Lateral compression) 2. Kompresi anterior-posterior (Anteroposterior compression) 3. Pergeseran vertikal (Vertical shearing force) 4. Gaya inferior (Inferior force) Mekanisme kompresi lateral dan anterior-posterior sering terjadi pada kasus kecelakaan lalu lintas dan belum tentu menyebabkan kondisi tidak stabil pada tanda vital maupun kestabilan pelvis. Mekanisme pergeseran vertikal menyebabkan sebagian besar datang dengan kondisi yang tidak stabil karena pergeseran hemipelvis dari tulang sacrum/komponen tulang belakang yang menyebabkan robekan anyaman vena pada dinding dalam pelvis. Mekanisme tersering pada pergeseran vertikal akibat jatuh dari ketinggian, dimana salah satu ekstimitas jatuh terlebih dahulu. Sedangkan mekanisme gaya inferior terutama terjadi akibat jatuh terduduk dengan area ischium yang menjadi tumpuan. 6.3. Assessment Menurut konsep Advanced Trauma Life Support (ATLS), sangat disarankan untuk melakukan pendekatan yang sistematis dan terorganisir untuk menangani pasien patah tulang panggul. Melakukan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan pada pasien yang diduga mengalami patah tulang panggul merupakan bagian penting dari penilaian awal. Fraktur panggul dapat dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Berikut panduan langkah demi langkah tentang cara melakukan pemeriksaan fisik untuk dugaan patah tulang panggul: 1. Anamnesis Cedera panggul dapat terjadi karena berbagai penyebab, termasuk trauma, terjatuh, dan kondisi medis. Berikut adalah beberapa kemungkinan penyebab umum cedera panggul: • Kecelakaan kendaraan bermotor: Tabrakan berkecepatan tinggi dapat memberikan tekanan yang signifikan pada panggul, menyebabkan patah tulang atau dislokasi. • Jatuh dari ketinggian: Jatuh dari ketinggian dapat menyebabkan patah tulang panggul. • Cedera olahraga: Olahraga berdampak tinggi atau kecelakaan selama aktivitas fisik dapat menyebabkan cedera panggul. • Kecelakaan pejalan kaki: Tertabrak kendaraan saat berjalan dapat menyebabkan trauma panggul.


• Kecelakaan industri: Pekerja di industri seperti konstruksi dan manufaktur berisiko mengalami cedera panggul jika mengalami kecelakaan yang melibatkan alat berat atau terjatuh. • Penting untuk diingat bahwa cedera panggul dapat bervariasi tingkat keparahannya, mulai dari memar atau ketegangan panggul ringan hingga patah tulang atau dislokasi parah 2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan menyeluruh pada seluruh area panggul sangat penting, karena beberapa tanda klinis dapat menunjukkan adanya cedera panggul. Pemeriksaan meliputi inspeksi atau look adanya jejas dan luka pada area perut hingga paha. Perabaan dan manipulasi melihat adanya tanda nyeri dan ketidakstabilan disekitar panggul • Inspeksi • Inspeksi primer pada pasien yang tidak mengenakan pakaian harus fokus pada asimetri panggul, perbedaan panjang tungkai, cedera jaringan lunak panggul di sekitar panggul lengkap, termasuk perineum, mencari perdarahan uretra atau vagina, dan mencari perbedaan warna kaki, yang mungkin menunjukkan indikasi gangguan pembuluh darah (gambar) • Adanya kontusio, lecet, pembengkakan skrotum, dan hematoma dapat memberikan informasi tambahan tentang arah dan besarnya gaya yang terlibat serta struktur terdekat yang mungkin mengalami cedera. 3. Pemeriksaan Penunjang Rekomendasi diagnostik pada Trauma Panggul • Waktu antara kedatangan di Unit Gawat Darurat dan pengendalian perdarahan definitif harus diminimalkan untuk meningkatkan hasil dari pasien dengan fraktur panggul yang tidak stabil secara hemodinamik • Laktat serum dan defisit basa merupakan penanda diagnostik yang sensitif untuk memperkirakan tingkat syok hemoragik traumatik, dan untuk memantau respons terhadap resusitasi. • Penggunaan X-ray Pelvis dan E-FAST di Unit Gawat Darurat direkomendasikan pada pasien yang tidak stabil secara hemodinamik dan mekanik dengan trauma pelvis dan memungkinkan untuk mengidentifikasi cedera yang memerlukan stabilisasi pelvis dini, angiografi dini, dan manuver reduktif yang cepat, serta laparotomi • Pasien dengan trauma panggul yang berhubungan dengan normalitas atau stabilitas hemodinamik harus menjalani pemeriksaan diagnostik lebih lanjut dengan CT-scan multi-fase dengan kontras intravena untuk menyingkirkan perdarahan panggul.


• CT-scan dengan rekonstruksi tulang 3-Dimensi mengurangi kerusakan jaringan selama prosedur invasif, risiko gangguan neurologis setelah fiksasi bedah, waktu operasi, dan penyinaran serta keahlian yang diperlukan. • Uretrogram retrograd atau/dan uretrokistogram dengan kontras CT-scan direkomendasikan jika terdapat hematoma klinis perineum lokal dan gangguan panggul pada rontgen panggul. • Pemeriksaan perineum dan rektal digital wajib dilakukan jika terdapat kecurigaan yang tinggi terhadap cedera rektal. • Jika pemeriksaan rektal positif, proktoskopi direkomendasikan. 4. Klasifikasi Berdasarkan mekanisme cedera yang bekerja pada panggul (kompresi anterior-posterior, kompresi lateral, dan geseran vertikal), yang telah dijelaskan sebelumnya. Tile mengembangkan klasifikasi berbasis ketidakstabilan, yang difokuskan pada keterlibatan dan integritas struktur cincin panggul posterior. Klasifikasi ini terdiri dari tiga jenis fraktur/cedera utama, yaitu tipe A, B, dan C dengan meningkatnya ketidakstabilan mekanis cincin panggul: • Tipe A: fraktur yang bergeser minimal dan stabil. • Tipe B: ketidakstabilan rotasi, stabilitas vertikal. • Tipe C: ketidakstabilan vertikal. Subklasifikasi lebih lanjut dari jenis-jenis fraktur ini dilakukan, tergantung pada tingkat keparahan cedera panggul. • Tipe A: Stabil, Pergeseran dan patah tulang Minimal Cedera tipe A dibagi lagi menjadi: • Tipe A1: tidak ada keterlibatan cincin panggul (fraktur sayap iliaka yang terisolasi, fraktur avulsi). • Tipe A2: fraktur cincin panggul yang tidak bergeser dan stabil. • Tipe B: Tidak Stabil Secara Rotasi, Stabil Secara Vertikal Cedera tipe B dibagi lagi berdasarkan mekanisme cedera utama: rotasi eksternal (cedera buku terbuka) dan rotasi internal (cedera kompresi lateral). Cedera buku terbuka tipe B1 adalah hasil dari rotasi eksternal dengan gangguan yang paling sering terjadi pada simfisis. Kelompok ini terdiri dari tiga tahap, tergantung pada gaya yang ditransfer ke panggul: • Tipe B1.1: pemisahan simfisis <2,5 cm pada foto rontgen panggul, tidak ada lesi cincin panggul posterior. • Tipe B1.2: pemisahan simfisis >2,5 cm pada rontgen a.p. panggul; gangguan unilateral pada liga sakroiliaka anterior dan dugaan cedera pada ligamentum sakrospinosus.


• Tipe B1.3: pemisahan simfisis >2,5 cm pada rontgen panggul; cedera posterior bilateral dengan gangguan pada ligamen sakroiliaka anterior dan dugaan cedera pada kedua ligamen sakrospinosus. Tipe B2 dan B3 adalah hasil dari kompresi lateral/rotasi internal. Kompleks cincin posterior menunjukkan impaksi tanpa deformitas translasi: • Cedera tipe B2 muncul dengan fraktur rami pubis anterior ipsilateral dan cedera himpitan posterior (fraktur sakral anterior); jarang terjadi simfisis pubis yang tumpang tindih atau cedera simfisis gabungan dengan fraktur rami pubis, yang terakhir kadang-kadang menciptakan "fraktur miring" (lonjakan kemaluan). • Cedera tipe B3 disebabkan oleh pukulan langsung ke puncak iliaka yang mengakibatkan cedera kontralateral (pegangan ember: rotasi hemipelvis anterior-superior); keterlibatan cincin anterior biasanya kontralateral dengan lesi posterior tetapi dapat diamati bahkan secara bilateral. • Tipe C: Tidak Stabil Secara Rotasi dan Vertikal Definisi cedera tipe C termasuk dugaan gangguan lengkap ligamen dasar panggul (ligamen sakrospinosus/sakrotuberosus) dan gangguan cincin panggul posterior lengkap dengan pergeseran hemipelvik> 1 cm, avulsi proses transversal L5 (ligamentum iliolumbal), dan / atau avulsi tulang pada sakrum lateral atau tuberositas iskia (ligamentum panggul). ligamen dasar panggul). Tiga subkelompok dibedakan: • Tipe C1: cedera tipe C posterior unilateral. • Tipe C2: cedera tipe C posterior bilateral. • Tipe C3: cedera tipe C dengan asetabular terkait patah tulang.


Gambar Klasifikasi cedera cincin panggul berdasarkan klasifikasi Tile 6.4. Management Penatalaksanaan trauma panggul seperti pada semua pasien politrauma lainnya perlu memberikan perhatian yang definitif secara holistic. Tujuan awal dari penatalaksanaan trauma bertujuan untuk mengembalikan fisiologi yang telah berubah dengan mengontrol perdarahan dan stabilisasi status hemodinamik, pemulihan gangguan koagulasi akhirnya dan integritas mekanik dan stabilitas pelvic ring, dan mencegah komplikasi (septik, urogenital, usus, vaskular, fungsi seksual, berjalan); kemudian untuk menstabilkan panggul secara definitive Dalam kasus cedera panggul yang tidak stabil, stabilisasi panggul dapat dicapai dengan pelvic binder. Penerapan kompresi panggul eksternal non-invasif direkomendasikan sebagai strategi awal untuk menstabilkan cincin panggul dan mengurangi jumlah perdarahan panggul pada fase resusitasi awal. Pelvic binder lebih unggul daripada pelvic sheet dalam efektivitas panggul. Perangkat kompresi panggul eksternal non-invasif harus dilepas sesegera mungkin secara fisiologis, dan diganti dengan fiksasi panggul eksternal, atau stabilisasi panggul definitif, jika diindikasikan Kewaspadaan terhadap patah tulang panggul Checklist tanda-tanda klinis pada pasien dengan gangguan kesadaran dapat mencakup: • Memar atau bengkak pada tonjolan tulang, pubis,perineum, atau skrotum • Perbedaan panjang kaki • Deformitas rotasi pada tungkai bawah (tanpa fraktur pada ekstremitas itu)


• Luka di sekitar panggul • Perdarahan dari rektum, vagina, atau uretra pasien • Kelainan neurologis Algoritme penanganan Trauma Panggul pasien yang stabil secara hemodinamik dan tidak stabil secara mekanis tanpa lesi lain yang memerlukan penanganan dan dengan hasil CT-scan negatif, dapat langsung melanjutkan ke stabilisasi mekanis definitif. MTP: Protokol Transfusi Masif, FAST-E: Eco-FAST Extended, UGD: Unit Gawat Darurat, CT: Computed Tomography, NOM: Manajemen Non Operatif, Kestabilan Hemodinamik adalah kondisi di mana pasien mencapai tekanan darah yang konstan atau membaik setelah pemberian cairan dengan tekanan darah >90 mmHg dan denyut jantung <100 bpm; Kestabilan hemodinamik adalah kondisi di mana pasien memiliki tekanan darah sistolik masuk <90 mmHg, atau >90 mmHg tetapi membutuhkan infus/transfusi bolus dan/atau obat vasopressor, atau defisit dasar masuk (BD) >6 mmol/l, atau indeks syok >1, atau membutuhkan transfusi setidaknya 4-6 Unit sel darah merah yang dikemas dalam 24 jam pertama)


Tindakan pemasangan bebat pengikat/pelapis panggul Peran pengikat panggul pada fraktur panggul yang tidak stabil secara hemodinamik • Penerapan kompresi pelvis eksternal non-invasif direkomendasikan sebagai strategi awal untuk menstabilkan cincin pelvis dan mengurangi jumlah perdarahan pelvis pada fase resusitasi awal. [ • Pengikat panggul lebih unggul daripada pembungkus lembaran dalam hal efektivitas pengendalian perdarahan panggul • Alat kompresi panggul eksternal non-invasif harus dilepas segera setelah dapat dibenarkan secara fisiologis, dan digantikan dengan fiksasi panggul eksternal, atau stabilisasi panggul definitif, jika diindikasikan • Pengikat panggul harus diposisikan dengan hati-hati pada wanita hamil dan pasien lanjut usia • Pada pasien dengan pengikat panggul kapan pun memungkinkan, pemindahan awal dari papan tulang belakang akan mengurangi secara signifikan lesi tekanan kulit Tatacara pemasangan pelvic binder : 1. Pilih perangkat stabilisasi panggul yang tersedia dan sesuai (gambar x) 2. Identifikasi landmark untuk aplikasi, dengan fokus pada trokanter mayor yang lebih besar (gambar x). 3. Putar secara internal dan lawan pergelangan kaki, kaki, atau jempol kaki menggunakan selotip atau kasa gulung. 4. Geser perangkat dari caudal ke cephalad, pusatkan di atas trokanter mayor. 5. Dua orang di sisi yang berlawanan memegang perangkat di bagian bawah dan atas dan mengayunkannya ke posisi proksimal. Atau, atau letakkan perangkat di bawah pasien sambil membatasi gerakan tulang belakang dan dengan manipulasi minimal pada panggul dengan memutar pasien ke samping. 6. Tempatkan perangkat terlipat di bawah pasien, menjangkau sejauh mungkin di bawah pasien. 7. Putar ke arah lain dan tarik ujung perangkat. Jika menggunakan sprei, silangkan ujung sprei dan kencangkan dengan klem atau klem handuk. 8. Gulung pasien kembali ke posisi terlentang dan kencangkan perangkat ke depan. 9. Pastikan perangkat diamankan secara memadai dengan ketegangan yang sesuai, 10.Pastikan rotasi internal ekstremitas bawah, yang menunjukkan penutupan panggul


Gambar x. pilihan bahan pelvic binder Gambar x. cara pemasangan pelvic binder


BAB VII TRAUMA TORAKOLUMBAL Outline o Tujuan ▪ Learning objective dan Jam pembelajaran o Assessmen ▪ Anamnesis ▪ Pemeriksaan Fisik ▪ Pemeriksaan Penunjang ▪ Klasifikasi o Management o Tata laksana definitif o Komplikasi o Referensi 7.1. Tujuan Learning objective Jam Pembelajaran Definisi, mekanisme Cedera Torakolumbal 15 menit Evaluasi dan klasifikasi dan penentuan level cedera Torakolumbal 30 menit Tatalaksana dan komplikasi cedera Torakolumbal 45 menit Total 60 menit A. Pendahuluan dan Definisi Cedera torakolumbal merupakan suatu cedera yang terjadi pada daerah thorakolumbal yang terdiri dari tiga regio anatomi diantaranya regio thoracic (T1–T9), thoracolumbar (T10–L2), dan lumbar (L3–L5)1. Torakolumbal merupakan zona transisi yang memiliki karakteristik fleksibilitas dan ROM yang lebih besar, namun memiliki risiko cedera yang lebih besar. Mayoritas trauma pada thorakolumbal terjadi pada T11 sampai dengan L2. Bentuk kurva regio toraks tersususn kyphosis pada regio


ini memiliki mobilitas /pergerakan sendi yang minimal namun memiliki fungsi pergerakan rotasi yang mobile. Pada daerah ini merupakan lokasi kanalis spinalis tersempit dan memiliki pembuluh darah yang lebih sedikit sehingga memiliki kecenderungan trauma dengan outcome yang lebih buruk. Pada vertebrae lumbal setingkat L1-L2 terjadi transisi menjadi conus medularis dan cauda equina. Pada regio lumbar, daerah ini merupakan segmen yang paling mobile, memiliki kanalis spinalis yang lebih lebar sehingga memiliki kecenderungan rendah untuk mengalami komplikasi akibat cedera tulang belakang1,2. Kolum spinal dapat mengalami satu atau kombinasi arah gaya luar diantaranya kompresi aksial, flexion, ekstensi, shear, dan rotasional. Arah gaya saat posisi kepala fleksi dapat mengakibatkan gangguan pada vertebrae anterior kondisi ini disbut juga dengan wedge-shaped fractures/fraktur kompresi yang biasanya bersifat stabil1,2,3,4,5,6. Tatalaksana awal dari kasus trauma spinalcord adalah dengan membatasi gerak, pemberian cairan, pemberian obat, dan pemindahan pasien ketempat lebih aman untuk penaganan lebih lanjut . Pada setting tempat diluar rumah sakit, pencegahan gerakan pada tulang belakang dilakukan sampai dengan adanya fraktur. Hal ini dapat dilakukan dengan menempatkan pasien pada posisi supine tanpa melakukan rotasi dan bending dari kolom spinal pada permukaan yang keras dengan ukuran yang pas dan ditempatkan pada collar neck yang kaku. Pada temuan dengan deformitas seperti kasus tortikolis atau adanya bentukan degeneratif pada tulang belakang tidak disarankan untuk direduksi. Dalam proses pemeriksaan tulang belakang pasien dapat dilakukan manuver logroll . 7 Pasien dengan adanya kecurigaan fraktur dan adanya defisit neurologis dapat dipindahkan ke tingkat lebih lanjut. Prosedur teraman untuk memindahkan pasien adalah dengan stabilisasi pada papan yang keras dengan collar neck yang kaku .7 Pada pasien dengan kondisi hipotensi dan tidak mengalami perbaikan klinis setelah dilakukan fluid challenge dan juga tidak ditemukan adanya perdarahan disarankan untuk diberikan akses cairan segera dan dibantu dengan pemberian vasopressor untuk membantu meningkatkan tekanan darah pasien dan menghindari terjadinya edema paru karena kelebihan cairan. 7 Pemindahan pasien ke fasilitas lanjutan dibutuhkan untuk penanganan definitif. Pasien dengan fraktur tulang belakang atau adanya gangguan neurologis dapat disegerakan untuk mengurangin cedera sekunder. Prosedur pemindahan dilakukan dengan berkomunikasi terlebih dahulu dengan spesialis tulang belakang atau leadere


tim trauma. Stabilisasi pasien dilakukan dengan splint, papan, atau semirigid collar neck. Cedera pada level C6 dapat menebabkan gangguan respirasi. Intubasi sebelum dilakukan pemindahan disarakan untuk menghindari distress nafas saat dalam perjalanan. 7 7.2. Assesment (Anamnesis, Pemeriksaan Fisik dan Penunjang) Pasien dengan trauma torakolumbal dilakukan penilaian primary survey (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure) sesuai dengan ATLS. Dokter harus dapat memeriksa dan memastikan keamanan jalan napas dengan restriksi pergerakan servikal. Pada breathing, dokter harus dapat mengevaluasi pernapasan dan ventilasi pasien. Jika jalan napas dan penapasan serta ventilasi sudah dipastikan aman, secara berkesinambungan dilakukan penilaian pada sirkulasi pasien dengan kontrol perdarahan. Dokter juga dapat melakukan penilaian status neurologis pada primary survey dan dilanjutkan dengan exposure untuk memastikan cedera di tempat lain.11 Pada anamnesis dokter harus dapat mengevaluasi keluhan utama dan tambahan pasien, menentukan onset terjadinya trauma, mekanisme trauma, besarnya energi trauma yang terjadi apakah trauma termasuk trauma high energy (kecelakaan kendaraan bermotor) atau low energy (terpeleset). Pasien dengan fraktur pada thoracolumbar junction memiliki keluhan berupa nyeri tulang belakang, dengan status/fungsi syaraf normal atau terjadi defisit neurologis komplet dan inkomplet. Cedera yang terjadi diatas T10 memiliki kecenderungan lebih besar mengalami cedera medula spinalis komplit, sedangkan pada cedera dibawah L1 gejala yang timbul dominan adalah radikulopati, dikarenakan posisi conus medullaris berada pada L12,5,7. Pada pemeriksaan fisik dibagi menjadi beberapa tahapan, yaitu:12 1. Pemeriksaan status lokalis pada area tulang belakang Pada status lokalis, perlu dilakukan pemeriksaan look, feel, dan movement. Pada look, dokter perlu memeriksa apakah ada luka, kelainan kulit, kelainan bentuk atau penonjolan pada tulang belakang. Pada feel, dokter perlu memeriksa apakah ada nyeri tekan pada daerah tulang belakang dan sekitarnya serta apakah ada gibus atau tidak. Jika terdapat luka, perlu dinilai konfigurasi lukanya. Pada movement¸dokter dapat mengevaluasi pergerakan dari tulang belakang. Jika pergerakan dapat menimbulkan efek yang lebih berbahaya pada pasien, pemeriksaan movement tidak dapat dilakukan (do no harm).


Gambar 1. Gambar klinis pasien dengan trauma torakolumbal 2. Pemeriksaan neurologis lengkap serta harus dievaluasi berkala dalam hari pertama terjadinya trauma. Setiap dermatome, myotome dan reflek fisiologis maupun patologis serta sacral sparing perlu diperiksa. Komponen yang perlu dinilai untuk melihat fungsi medulaspinalis diantaranya traktus kortikospinal (korda posterolateral, motorik ipsilateral), traktus spinotalamikus (korda anterolateral, nyeri dan suhu kontralateral) dan kolumna posterior (proprioseptif ipsilateral), Sacral sparing juga perlu diperiksa, pemeriksaan dilakukan diantaranya adalah pergerakan dorsifleksi ibu jari kaki, refleks bulbocavernosus yang positif (pada pemeriksaan rectal toucher/RT) dan sensasi pada perianal yang normal adalah petanda bahwa fungsi sacral sparing masih berfungsi dengan baik. 5 Pada pemeriksaan neurologis lengkap, dokter dapat membedakan cedera tulang belakang bersifat komplit dan tidak. Pada cedera tulang belakang yang komplit, dokter dapat menemukan kehilangan total dari sensorik dan motorik pasien di bawah dari level cedera, tanpa adanya syok spinal. Lama kembalinya fungsi dari syok spinal adalah selama 48 jam pada fase akut. Pada cedera komplit, tidak ada sensorik dan motorik pada segmen bawah dari sacral, seperti tidak ada sensasi halus di dekat anal mucocutaneous junction, tidak terdapat sensasi dan tidak ada kontraksi volunter pada external anal sphincter pada pemeriksaan rectal toucher. Pada cedera tulang


belakang yang inkomplit, dokter dapat menemukan sensori dan atau motorik yang masih ada sebagian. Setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, langkah selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan penunjang, beberapa pilihan penunjang diantaranya X-ray, CT Scan, dan MRI. Pemeriksaan X-ray mampu menunjukan kelainan tulang torakolumbal dengan jelas pada view anteroposterior menunjukan adanya loss of height corpus vertebra. Pelebaran jarak antara pedicles pada satu level, atau peningkatan jarak antara processes spinosus, dan berhubungan dengan kerusakan kolum posterior. Pada view lateral dilakukan evaluasi pada alignment, outline tulang, integritas struktural, defek diskus dan abnormalitas pada jaringan soft-tissue. Evaluasi adanya retropulsi fragmen ke spinal canal melalui pengamatan pada dinding posterior corpus vertebrae. CT scan merupakan pemeriksaan yang lebih superior dalam mendeteksi kelainan struktur tulang belakang dibandingkan dengan pemeriksaan Xray. MRI diindikasikan jika terdapat defisit neurologis dan dapat mengevaluasi struktur jaringan lunak seperti diskus intervertebralis, lig. longitudinal dan posterior ligament complex (PLC)5. Gambar 2. Pemeriksaan xray pada traumatorakolumbal


Cedera torakolumbal dievaluasi dengan perhitungan menggunakan Thoracolumbar Injury Classification and Severity Score (TLICS) untuk menentukan tatalaksana pada cederea tersebut.12 FRACTURE MORPHOLOGY Score Compression Burst Translation-Rotation Distraction 1 2 3 4 NEUROLOGIC STATUS Intact Nerve root injury Complete cord injury Incomplete cord injury Ongoing compression with deficit 0 2 3 2 3 POSTERIOR LIGAMENTOUS COMPLEX INTEGRITY Intact Indeterminate Disrupted 0 2 3 Tabel 1. Thoracolumbar Injury Classification and Severity Score (TLICS) system 7.3. Klasifikasi Ada beberapa sistem klasifikasi yang dapat digunakan untuk dalam cedera torakolumbal, diantaranya adalah pembagian kolum berdasarkan dennis, morfologi berdasarkan McAffee dan scoring Thoracolumbal Cervical Injury Classification scoring system (TLICS). Denis membagi tulang belakang torakolumbal menjadi 3 kolum yaitu anterior, middle, dan posterior, berikut pembagian berdasarkan Denis 1,4:


• Kolum anterior terdiri dari anterior longitudinal ligament (ALL), setengah anterior corpus vertebrae, dan setengah diskus vertebrae. • Kolum medial terdiri dari setengah posterior corpus vertebrae, dan setengah diskus vertebrae dan posterior longitudinal ligament (PLL). • Kolum posterior terdiri dari pedicles, facet joints, laminae, dan posterior ligament complex (PLC). Gambar 4 Klasifikasi Kolum vertebrae berdasarkan Denis Mc Affee mengklasifikasikan cedera torakolumbal menjadi enam pola berdasarkan morfologi cedera yang terjadi1: • Fraktur kompresi: Fraktur pada struktur kolumna anterior karena adanya gaya kompresi yang mengakibatkan fleksi korpus vertebre. Dapat disebut juga sebagai wedge compression fracture. • Fraktur Burst stabil: Fraktur pada struktur kolumna anterior dan tengah tanpa mengenai kolumna posterior karena adanya kompresi/beban aksial pada tulang. • Fraktur Burst tidak stabil: Fraktur pada kolumna anterior dan tengah akibat kompresi/beban tekan disertai dengan adanya fleksi lateral atau rotasi.


• Chance fracture: Fraktur horizontal di sekitar anterior dari ligament longitudinal anterior, sehingga tidak dapat menarik kolumna anterior, tengah, dan posterior serta terdapat gangguan pada tulang, struktur ligament dan/atau diskus intervertebral. • Cedera flexion-distraction: Cedera yang terjadi akibat fleksi di sekitar posterior dari ligament longitudinal anterior, sehingga mengakibatkan gangguan kompresi pada kolumna spinalis anterior dan tidak dapat menarik kolumna tengah dan posterior • Cedera translational: Cedera yang diakibatkan adanya malalignment dari kanalis saraf akibat pergeseran vertebra secara transversal. Pola cedera meliputi dislokasi dan fraktur-dislokasi Gambar 5 Klasifikasi McAfee untuk patah tulang torakolumbal. (A) Fraktur kompresi. (B) Fraktur burst stabil. (C) Fraktur burst stabil. (D) Fraktur Chance. (E) Cedera Fleksi distraksi (F) fraktur dislokasi atau cedera transisional1. Pada sistem skoring TLICS terdapat tiga aspek penilaian utama untuk membantu menganalisis dan menilai pola fraktur, yaitu morfologi cedera, integritas dari kompleks ligament posterior, dan status neurologis. Morfologi fraktur ditentukan dari radiografi, MRI, CT scan dan dikategorikan menjadi tiga kategori morfologi yaitu


kompresi, burst, translasi, rotasi, serta distraksi. Integritas posterior ligament complex dikategorikan menjadi intak, terganggu atau tidak dapat ditentukan. Status neurologis dikategorikan menjadi intak, cedera serabut saraf, cedera medulla spinalis total, atau cedera medulla spinalis parsial. Skor TLICS digunakan/menjadi pedoman dalam menentukan apakah pasien akan mendapatkan terapi konservatif dan pembedahan. Pasien dengan skor 3 atau kurang biasanya dapat diberikan tatalaksana non-operatif tergantung pada jenis cederanya. Pasien dengan skor 5 atau lebih pilihan terapinya adalah pembedahan. Pasien dengan skor 4 tatalaksana dapat dipertimbangkan sesuai dengan keputusan dokter bedah1,4. TLICS (Thoracolumbal Cervical Injury Classification scoring system) Score1 INJURY MORPHOLOGY SCORE SCORE Compression Burst Rotation/translation Distraction 1 2 3 4 POSTERIOR LIGAMENTOUS COMPLEX INTEGRITY None Indeterminate Disrupted 0 1 2 NEUROLOGIC STATUS Intact Nerve Root injury Incomplete cord injury Complete cord injury Cauda Equina Injury 0 2 3 2 3


7.4. Management Prinsip tatalaksana pada kasus cedera torakolumbal terdiri dari1,7: ● Dekompresi: Dekompresi kanalis spinalis dindikasikan pada pasien dengan defisit neurologis, terutama yang bersifat progresif. ● Re-alignment: re-alignment tulang belakang dapat tercapai melalui stabilisasi dengan instrumen spinal/tulang belakang ● Stabilisasi: Kombinasi antara instrumentasi dan fusi spinal dapat mengembalikan stabilitas segmen tulang belakang yang cedera. ● Meminimalisir morbiditas pembedahan: Membatasi panjang konstruksi implant dan jumlah dari fusi spinal. ● Meminimalkan komplikasi: Optimalisasi pasien pra-operasi, operasi dan waktu operasi yang tepat, dan manajemen paska operasi yang teliti dapat mengurangi tingkat komplikasi dan memungkinkan untuk mengenali lebih dini dan menatalaksana komplikasi yang terjadi. Gambar 6. Thoracolumbal brace - Korset (A) sarcoiliac , (B) Lumbosacral, (C) Thoracolumbosacral Gambar 7. Body jacket


Tatalaksana definitif 1,8 1. Fraktur Kompresi Pada kasus fraktur kompresi single column injury dimana tidak terjadi gangguan stabilitas pasien dilatih untuk early mobilization dengan tanpa brace. Injury diatas T11 dapat ditangani tanpa pengguanan brace karena mendapatkan support stabilisasi dari dinding dada beberapa pilihan brace dapat dipertimbangkan seperti Jewett brace, thoracolumbosacral orthosis (TLSO) sampai nyeri berkurang, kemudian dilakukan pengamatan secara klinis dan x-ray. 2. Burst fracture stabil Tatalaksana burst fracture stabil biasanya dilakukan secara non-operatif diantaranya reduksi imobilisasi dengan body casting dan TLSO. Casting/brace dipasang selama 3 bulan kemudian dilakukan evaluasi klinis dan radiologis, jika terjadi perburukan nyeri, dan perburukan alignment. 3. Patah tulang chance Tatalaksana pasien dengan patah tulang chance dilakukan posterior stabilisasi (instrumentasi spinal posterior dengan atau tanpa fusi) dengan konstruksi instrumentasi segmen pendek yang menimbulkan gaya kompresi pada fracture site. 4. Cedera fleksi distraksi Cedera fleksi distraksi merupakan cedera tidak stabil dan tatalaksana pada kasus ini adalah stabilisasi dengan menggunakan instrumen dengan atau tanpa fusi posterior. Fraktur dengan defisit neurologis, kompresi kanal spinal, memerlukan Tindakan dekompresi dan rekonstruksi pada kolum spinal anterior. 5. Cedera Translasi Cedera translasi memerlukan tindakan pembedahan melalui stabilisasi, apapun status neurologis pasien, Tindakan pembedahan dilakukan dengan cara realignment stabilisasi posterior dengan fiksasi 2-3 level diatas dan dibawah level cedera. Rekonstruksi anterior kolum diindikasikan apabila terdapat fragmen tulang kominutif yang berat.


7.5. Komplikasi9,10 Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada kasus cedera torakolumbal terutama dengan cedera medula spinalis (spinal cord injury) diantaranya9,10: 1. Infeksi Komplikasi infeksi sering terjadi pada pasien cedera torakolumbar. Infeksi yang terjadi umumnya menyerang saluran pernapasan bawah sehingga menyebabkan pneumonia. Selain itu, infeksi juga dapat terjadi pada saluran kemih. 2. Gagal Napas Sekitar 65% pasien SCI torakolumbar T1 hingga T12 mengalami komplikasi respirasi berat termasuk gagal nafas. 3. Syok neurogenik Sama halnya dengan cedera tulang belakang sevikal, pada cedera tulang belakang torakolumbar, beberapa pasien juga mengalami syok neurogenik (3%) akibat ketidakseimbangan sistem saraf otonom akibat kerusakan pusat kontrol simpatetik. 4. Tromboemboli Pasien dengan trauma servikal yang mengalami komplikasi cedera medula spinalis memiliki risiko tinggi mengalami tromboemboli hal ini terjadi akibat inaktivitas fisik yang lama, terjadi stasis vena dan penurunan aktivitas fibrinolotik serta peningkatan aktivitas prokoagulan seperti faktor VIII. Kondisi ini mendukung terjadinya trombosis vena dalam (DVT) dan emboli paru pada pasien dengan SCI. Studi menunjukkan sekitar 15% pasien dengan SCI mengalami DVT dan 5% kasus mengalami komplikasi emboli paru. 5. Ulkus dekubitus Komplikasi ini terjadi pada pasien SCI akibat penurunan aktivitas tubuh /imobulisasi yang lama sehingga terjadi stasis pada pembuluh darah yang berujung pada pembentukan luka pada bagian-bagian tubuh yang mengalami penekanan (pressure injury). 6. Komplikasi Muskuloskeletal dan Metabolik Pasien SCI pada segmen torakolumbal dapat mengalami atrofi otot akibat penurunan aktivitas tubuh. Studi menunjukkan bahwa pasien dengan SCI sering mengalami “metabolic chaos”, yaitu periode dimana terjadi proses katabolisme


yang meningkat akibat turunnya aktivitas fisik pada otot, sendi, dan ligamen. Hal ini menyebabkan demineralisasi tulang. 7. Neuritis Kerusakan blood-spinal cord barrier menyebabkan infiltrasi leukosit pada medulla spinalis dan meningkatkan aktivitas matrix metalloproteinase (MMP) di dalam medulla spinalis. Enzim ini merangsang terjadinya proses inflamasi. Proses inflamasi ini menyebabkan munculnya nyeri neuropatik pada pasien.


BAB VIII TRAUMA SERVIKAL Outline o Tujuan § Learning objective dan Jam pembelajaran o Assessment § Anamnesis § Pemeriksaan Fisik § Pemeriksaan Penunjang § Klasifikasi o Management o Tata laksana definitif o Komplikasi o Referensi 8.1. Tujuan Learning objective Jam Pembelajaran Definisi, mekanisme Cedera Servikal 15 menit Evaluasi dan klasifikasi dan penentuan level cedera servikal 30 menit Tatalaksana dan komplikasi cedera servikal 45 menit Total 60 menit A. Pendahuluan dan Definisi Cedera servikal secara umum dapat dibagi menjadi cedera pada segmen atas (Upper cervical spine injury) dan cedera subaksial (subaxial injury). Cedera servikal bagian mengenai struktur occiput sampai C2 dan subaksial dari mulai C3 sampai T1. Trauma servikal merupakan trauma yang paling sering terjadi dibandingkan trauma pada bagian tulang belakang lainnya, yaitu Sekitar 55% dengan angka kejadian trauma pada regio thoraks, thoracolumbal dan lumbosacral masing-masing sekitar 15 persen1,2,3,4.


Cedera servikal pada anak memiliki karakteristik tersendiri, dimana anak dengan usia kurang dari 8 tahun memiliki kecenderungan untuk mengalami trauma upper cervical spine sedangkan pada anak lebih dari 8 tahun memiliki kecenderungan mengalami trauma subaxial1,5. Hal ini disebabkan pada anak kurang dari 8 tahun memiliki rasio diameter kepala dan tubuh lebih besar, otot-otot leher yang lebih lemah, Fulcrum/tumpuan pergerakan berpusat pada C2-3, laxity pada struktur ligament dan kapsul, orientasi horizontal sendi facet osifikasi incomplete pada odontoid1. 8.2. Mekanisme Cedera Cedera syaraf terbagi menjadi dua kategori utama, injuri primer merupakan suatu cedera pada syaraf diakibatkan karena cedera langsung/gaya mekanik yang mengakibatkan kerusakan pada jaringan syaraf. Dan injury sekunder merupakan kerusakan jaringan syaraf diakibatkan respon biologis seperti hipotensi yang mengakibatkan penurunan tekanan perfusi pada jaringan saraf5,6,7. Cedera servikal dapat diakibatkan oleh satu atau kombinasi beberapa mekanisme trauma diantaranya axial loading, fleksi, ekstensi, rotasi, lateral bending, and distraksi. Jenis cedera tulang belakang leher yang spesifik diantaranya adalah dislokasi atlanto-oksipital, fraktur atlas (C1), subluksasi C1, dan fraktur aksis (C2)7. Tatalaksana awal dari kasus trauma spinalcord adalah dengan membatasi gerak, pemberian cairan, pemberian obat, dan pemindahan pasien ketempat lebih aman untuk penaganan lebih lanjut . Pada setting tempat diluar rumah sakit, pencegahan gerakan pada tulang belakang dilakukan sampai dengan adanya fraktur. Hal ini dapat dilakukan dengan menempatkan pasien pada posisi supine tanpa melakukan rotasi dan bending dari kolom spinal pada permukaan yang keras dengan ukuran yang pas dan ditempatkan pada collar neck yang kaku. Pada temuan dengan deformitas seperti kasus tortikolis atau adanya bentukan degeneratif pada tulang belakang tidak disarankan untuk direduksi. Dalam proses pemeriksaan tulang belakang pasien dapat dilakukan manuver logroll . 7 Pasien dengan adanya kecurigaan fraktur dan adanya defisit neurologis dapat dipindahkan ke tingkat lebih lanjut. Prosedur teraman untuk memindahkan pasien adalah dengan stabilisasi pada papan yang keras dengan collar neck yang kaku .7 Pada pasien dengan kondisi hipotensi dan tidak mengalami perbaikan klinis setelah dilakukan fluid challenge dan juga tidak ditemukan adanya perdarahan


disarankan untuk diberikan akses cairan segera dan dibantu dengan pemberian vasopressor untuk membantu meningkatkan tekanan darah pasien dan menghindari terjadinya edema paru karena kelebihan cairan. 7 Pemindahan pasien ke fasilitas lanjutan dibutuhkan untuk penanganan definitif. Pasien dengan fraktur tulang belakang atau adanya gangguan neurologis dapat disegerakan untuk mengurangin cedera sekunder. Prosedur pemindahan dilakukan dengan berkomunikasi terlebih dahulu dengan spesialis tulang belakang atau leadere tim trauma. Stabilisasi pasien dilakukan dengan splint, papan, atau semirigid collar neck. Cedera pada level C6 dapat menebabkan gangguan respirasi. Intubasi sebelum dilakukan pemindahan disarakan untuk menghindari distress nafas saat dalam perjalanan. 7 8.3. Assessment (Anamnesis, pemeriksan fisik dan penunjang) Pemeriksaan pasien dengan cedera servikal harus didasarkan pada prinsipprinsip ATLS yang terdiri dari pemeriksaan trauma secara menyeluruh terhadap terutama primary survey (Airway/ jalan napas, pernapasan, sirkulasi, disabilitas dan eksposure). Cedera pada tulang belakang leher berpotensi mengganggu fungsi pernapasan dan kardiovaskular dan bahkan setelah stabil, sehingga diperlukan monitoring secara ketat dan evaluasi berkala kondisi pasien dan komplikasi yang mungkin terjadi diantaranya perubahan pola pernapasan dan kardiovaskular. Kemudian dilanjutkan anamnesis dan evaluasi status neurologis yang terdiri dari fungsi motorik, sensorik ekstremitas atas dan bawah, dan fungsi vegetatif. Kemudian evaluasi skor ASIA, suatu system skoring untuk mengevaluasi fungsi/tingkatan cedera tulang belakang7. Pada pasien-pasien yang tidak sadarkan diri dan mengalami politrauma kita harus mencurigai adanya kelainan pada tulang belakang sampai terbukti memang tidak terdapat kelainan/cedera tulang belakang. Pada pemeriksaan fisik kita mengevaluasi secara menyeluruh head to toe. Pada regio leher perlu dilakukan pemeriksaan apakah terdapat deformitas, bruising, hematoma atau trauma tajam, dilakukan manuver log roll untuk memeriksa bagian leher, pundak dan punggung tanpa menimbulkan/meminimalisir pergerakan pada tulang belakang, kemudian diperiksa apakah terdapat tenderness, haematoma, gap atau step off yang menandakan adanya injury/instabilitas pada daerah tersebut. Kemudian dilakukan


pemeriksaan status neurologis termasuk fungsi motorik, sensorik, reflek fisiologis, reflek patologis dan fungsi vegetative. Pada pemeriksaan fisik, dokter dapat membedakan cedera tulang belakang bersifat komplit dan tidak. Pada cedera tulang belakang yang komplit, dokter dapat menemukan kehilangan total dari sensorik dan motorik pasien di bawah dari level cedera, tanpa adanya syok spinal. Lama kembalinya fungsi dari syok spinal adalah selama 48 jam pada fase akut. Pada cedera komplit, tidak ada sensorik dan motorik pada segmen bawah dari sacral, seperti tidak ada sensasi halus di dekat anal mucocutaneous junction, tidak terdapat sensasi dan tidak ada kontraksi volunter pada external anal sphincter pada pemeriksaan rectal toucher. Pada cedera tulang belakang yang inkomplit, dokter dapat menemukan sensori dan atau motorik yang masih ada sebagian. Cedera yang inkomplit diidentifikasi dan digambarkan dalam 6 (enam) jenis, yaitu: 1. Cruciate Paralysis Kerusakan dari anterior spinal cord pada level C2, dengan hilangnya fungsi motorik yang lebih hebat pada ekstremitas atas dibandingkan dengan ekstremitas bawah dan dapat juga disertai dengan kehilangan sensoris atau deficit dari saraf otak. 2. Central cord syndrome Kerusakan pada central spinal cord di bawah level C2 dengan hilangnya fungsi motorik yang lebih hebat pada ekstremitas atas (terutama tangan) dibandingkan dengan ekstremitas bawah dengan dapat juga disertai kehilangan sensoris, setidaknya pada sacral sparing, dan kerusakan pada fungsi BAB dan BAK. 3. Anterior cord syndrome Kerusakan pada anterior spinal cord dengan preservasi relatif dari propriosepsi dan variasi kehilangan sensasi nyeri, suhu, dan fungsi motorik.


4. Brown-Sequard syndrome Kerusakan pada sebagian sisi lateral dari spinal cord dengan preservasi relatif dari propriosepsi ipsilateral dan kehilangan motorik dan kehilangan sensasi nyeri dan suhu kontralateral. 5. Conus medullaris syndrome Kerusakan pada segmen sacral yang berlokasi pada conus medullaris dengan manifestasi khas yaitu tidak ada refleks pada usus dan kandung kemih, kehilangan sensoris dari ektremitas bawah, dan parapeglia inkomplit. 6. Cauda equina syndrome Kerusakan pada lumbosacral nerve roots sepanjang neural canal dengan manifestasi kehilangan sensoris dan motoric pada ekstremitas bawah yang berariasi, disfungsi usus dan kandung kemih, serta terdapat saddle anaesthesia. Gambar 1. Gambar klinis pasien dengan trauma servikal Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang kita melakukan perhitungan dengan menggunakan Subaxial Cervical Injury Classification scoring system.2,5,7 FRACTURE MORPHOLOGY SCORE Score No injury Compression Burst Distraction 0 1 2 3


Rotation/translation 4 DISCO-LIGAMENTOUS COMPLEX INJURY None Indeterminate Disrupted 0 1 2 NEUROLOGIC FUNCTION Intact 0 Root injury 1 Complete cord injury 2 Incomplete cord injury 3 Ongoing compression with deficit 11 0 1 2 3 +1 Tabel 1. Subaxial Cervical Injury Classification scoring system Saat melalukan evaluasi pasien dengan cedera servikal jika kita menemukan adanya paraplegia, quadriplegia atau tetraplegia sehinga pada pasien tersebut dicurigai adanya instabilitas. Dalam menentiukan perlu atau tidaknya evaluasi radiologis dapat menggunakan Canadian C-Spine Rule atau NEXUS. Pasien yang dengan tidak memiliki keluhan neurologis, sadar penuh tidak disertai nyeri pada bekang leher, midline tenderness, memeiliki kecenderungan tidak memiliki kelaihan pada regio servikal7. Dalam menilai perlu atau tidaknya pemiksaan X ray pada kasus cedera servikal kita dapat menggunakan 2 clinical screening decision tools diantaranya Canadian CSpine Rule dan National Emergency X-Radiography Utilization Study (NEXUS).


Diagram 1. Canadian C Spine Rule (Michael) Nexus Criteria 1. No posterior midline cervical spine tenderness 2. No evidence of intoxication 3. Normal level of alertness 4. No focal neurologic deficit 5. No painful distracting injuries Tabel 2. Kriteria Nexus Pada diagram Canadian C Spine Criteria, mengikuti alur panah pada skema, pada kriteria NEXUS pasien tidak perlu dilakukan pemeriksaan X ray jika pasien memenuhi seluruh kriteria diatas. Terdapat 2 pilihan penggunaan sarana penunjang pada pasien-pasien dengan cedera servikal, jika pada fasilitas Kesehatan tersebut dapat melakukan pemeriksaan CT scan makan penggunaan CT scan dari C1 ke T1 menjadi pemeriksaan yang utama, namun jika tidak tersedia pemriksaan X ray dari C1 ke T1 anteroposterior (AP), Lateral dan open-mouth odontoid view. Dapat juga


dilakukan pemeriksaan x ray dengan swimmer view jika pada pemeriksaan lateral view kita tidak dapat menidentifikasi struktur T1/inadekuat. Pada pemeriksaan openmouth odontoid view harus tervisuaslisasi semua bagian odontoid process dan artikulasi C1 dan C2 kanan dan kiri. Pada AP view kita dapat mengidentiifkasi dislokasi facet unilateral. Saat melakukan tindakan X ray jangan melepas cervical collar brace sampai terbukti tidak terdapatnya gangguan neurologis5,7. Gambar 2. Pemeriksaan xray pada trauma servikal 8.4. Klasifikasi Lokasi cedera dan morfologi merupakan dua faktor penting dalam evaluasi cedera tulang belakang leher. Tulang belakang servikal subaksial dibagi kedalam empat column: anterior column (ligamen longitudinal anterior dan posterior, badan vertebra, diskus, prosesus unsinatus, dan prosesus transversus), lateral column kanan dan kiri (pedikel, facet joint superior dan inferior, kapsul facet joint, dan massa lateral), dan posterior column (lamina, prosesus spinosus, ligamentum flavum, dan posteroligament complex)1. Terdapat enam pola trauma berdasarkan Allen et al, berdasarkan posisi tulang belakang saat terjadinya trauma (fleksi/ekstensi) dan mekanisme trauma tulang belakang (kompresi atau distraksi)4.


1. Distraksi/Fleksi 2. Distraksi 3. Distraksi/Ekstensi 4. Fleksi 5. Fleksi/Kompresi 6. Kompresi 7. Ekstensi 8. Ekstensi Kompresi Gambar 1. Mekanisme cedera servikal Klasifikasi ini penting dalam tatalaksana cedera tulang belakang, dimana prinsip tatalaksana didasarkan pada arah gaya dan mekanisme trauma, contohnya pasien dengan cedera fleksi-distraksi mengakibatkan gangguan pada posterior


ligament dan kapsul facet, sehingga tatalaksana yang dilakukan adalah mengembalikan fungsi tension band melalui approach posterior4. Selain klasifikasi diatas terdapat klasifikasi dari AO Spine Thoracolumbar Spine Injury Classification. Terdapat 3 kategori klasifikasi AO 5: 1. Tipe A. Cedera kompresi dengan struktur tension band yang intak 2. Tipe B, terjadi cedera pada anterior /posterior tension band yang terjadi melalui mekanisme distraksi 3. Tipe C, adalah cedera yang mengakibatkan translasi pada beberapa aksis tulang belakang. Gambar 2 Klasifikasi dari AO Spine Thoracolumbar Spine Injury Classification5.


8.5. Tatalaksana Prinsip tatalaksana pada kasus cedera tulang belakang servikal terbagi menjadi dua jenis2,7: 1. Cedera tulang belakang stabil: Pasien dapat dilakukan tatalaksana secara konservatif dan rehabilitasi sesegra mengkin, penyebab tersering dari cedera tulang belakang stabil seperti luka tusuk, luka tembak yang mencederai syaraf namun tidak menggangu stabilitas struktur tulang belakang 2. Cedera tulang belakang tidak stabil: Apabila tidak memungkinkan untuk dilakukan tatalaksana pembedahan maka tatalaksana konservatif dapat dilakukan. Namun pilihan ini menjadi opsi paling terakhir karena akan menimbulkan beberapa masalah seperti tirah baring yang lama, peningkatan biaya rawat inap, penundaan rehabilitasi dan risiko nyeri dan deformitas yang progresif pada spinal. Cedera diskoligamen membutuhkan stabilisasi karena bersifat tidak stabil, selain untuk stabilisasi tujuan lainnya adalah untuk mencegah progresivitas deformitas. Berbeda dengan cedera medulla spinalis tipe inkomplit, cedera tipe ini membutuhkan stabilisasi. Indikasi yang mutlak untuk pembedahan segera adalah kerusakan neurologis yang progresif didukung dengan bukti pencitraan (MRI atau CT scan) adanya kompresi medulla spinalis. Terdapat beberapa modalitas penanganan awal cedera servikal diantaranya yang penting dilakukan untuk mencegah terjadinya cedera lebih lanjut, diantaranya adalah2: A. Neck Collar. Terdapat beberapa jenis neck collar, Soft Collars memberika sedikit support stabilisasi, penggunaannya terbatas pada cedera ringan, digunakan selama beberapa hari pertama setelah cedera. Semi-rigid collars lebih sering digunakan dalam keadaan akut, namun tidak cukup rigid untuk menangani cedera yang tidak stabil. Four-poster braces memiliki kelebihan yaitu lebih stabil, keterbatasan brace tipe ini tidak nyaman dan jika pasien berbaring di tempat tidur dapat menyebabkan luka akibat tekanan pada area suboksipital.


B. Tongs Prinsip penggunaan tongs pada kasus cedera servikal adalah untuk mereduksi patah tulang servikal melalui traksi secara longitudinal sehingga dapat menjaga posisi tulang servikal tetap stabil dan tereduksi. Sebuah pin dimasukkan ke meja luar di setiap sisi tengkorak, lalu dipasang pada sepasang penjepit lalu dilakukan traksi sehingga dapat mempertahankan posisi setelah direduksi dan mengurangi fraktur atau dislokasi servikal. Gambar 3. Insersi pin terdapat pada perpotongan garis yang melawati meatus auditori eksternal dan garis 1 cm diatas pinna telinga. C. Halo Ring Prinsip penggunaan halo ring sama seperti tongs yaitu reduksi melalui traksi longitudinal. Pin yang berjumlah minimal empat dimasukkan ke meja luar dari tengkorak, lalu dipasang sebuah ring/cincin. Bahan Pin dan ring yang digunakan disarankan menggunakan bahan titanium atau grafit agar memungkinkan untuk dilakukan pemindaian MRI. Halo ring dapat digunakan untuk traksi awal dan reduksi fraktur atau dislokasi, selanjutnya ditempelkan pada plaster vest atau orthosis. Hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah posisi dan tekanan pada pin. Penggunaan halo vest juga memiliki risiko komplikasi seperti pin yang loosening, infeksi di tempat insersi pin, dan gangguan pernapasan yang dapat terjadi pada pasien lanjut usia.


Tatalaksana Definitive 5,8 I. Fraktur kompresi subaksial (Klasifikasi AO Tipe A) Tipe A1 (fraktur kompresi, cedera endplate tunggal) dan cedera A2 (fraktur koronal atau fraktur kompresi yang melibatkan kedua endplate) tidak melibatkan vertebra posterior. Pasien dengan cedera torakolumbal tipe A dan tidak adanya kerusakan tulang yang luas dapat diobati dengan orthosis pada tahap awal penyakit. Pasien yang gagal dalam perawatan dengan konservatif atau sudah terjadi komplikasi herniasi diskus traumatik dilakukan operasi dengan dekompresi servikal anterior, fusi, dan stabilisasi menggunakan instrumentasi (implant). Fraktur tipe A3 dan A4 adalah fraktur burst yang melibatkan satu atau kedua endplates vertebra posterior dengan keterlibatan corpus vertebrae tetapi tanpa gangguan pada posterior band. Kompresi pada medulla spinalis dan cedera neurologis sering terjadi pada cedera tipe A3 dan A4. Terapi pembedahan sering kali diperlukan dengan indikasi adanya deficit neurologis dan / atau kerusakan tulang yang luas dan Tindakan yang paling sering terdiri dari korpektomi anterior, penempatan cangkok penyangga anterior atau alat untuk mengganti corpus vertebrae, dan fiksasi implant anterior. Dalam beberapa kasus, tambahan fiksasi posterior dapat dipertimbangkan. Pada pasien yang secara neurologis utuh dengan retropulsi minimal dapat dilakukan tatalaksana non-operatif dengan orthosis. Fraktur burst yang terjadi bersamaan dengan cedera pita tegangan posterior akibat pembebanan fleksi-aksial dapat diklasifikasikan sebagai cedera tipe B.


II. Cedera subaxial servikal tipe tension band (Klasifikasi AO Tipe B) A. Tipe B1 Stabilisasi bedah dapat Dapat dilakukan melalui pendekatan anterior atau posterior untuk cedera dengan tulang yang bergeser, pasien dengan defisit neurologis, dan kegagalan pengobatan nonoperatif. Cedera B1 pada pasien dengan tulang belakang yang kaku (pengubah M3) sangat tidak stabil dan perawatan bedah direkomendasikan pada sebagian besar pasien. B. Tipe B2 Perawatan melibatkan penyelarasan kembali dengan menggunakan traksi yang diikuti dengan operasi. Pilihan untuk operasi termasuk prosedur anterior dengan korpektomi, pencangkokan penyangga dan fiksasi implant, prosedur posterior yang melibatkan konstruksi sekrup, atau pendekatan operasi secara gabungan C. Tipe B3 Stabilisasi dapat dilakukan melalui operasi dengan pendekatan anterior atau posterior untuk cedera yang bergeser, pasien dengan defisit neurologis, dan kegagalan pengobatan nonoperatif. Cedera B1 pada pasien dengan tulang belakang yang kaku (pengubah M3) sangat tidak stabil dan operasi sangat direkomendasikan pada sebagian besar pasien. III. Cedera Facet Subaksial (Klasifikasi AO Tipe F)5,8 A. Tipe F1 Tatalaksana awal yang dapat diberikan berupa pemasangan rigid collar serta pemantauan yang baik, jika tidak didapati adanya radikulopati, listesis, atau fracture comminution. Jika terdapat subluksasi atau radikulopati, tatalaksana yang dapat diberikan berupa fusi instrument single-level anterior atau posterior. B. Tipe F2 Pada tipe ini, risiko kegagalan dari tatalaksana non-operatif lebih tinggi dibandingkan tipe F1 sehingga tatalaksana yang direkomendasikan berupa pembedahan. Pembedahan secara anterior maupun posterior dapat dilakukan apabila


telah dilakukan MRI dan tidak terdapat herniasi diskus yang menyebabkan kompresi saraf. C. Tipe F3 Pada cedera tipe F3 terjadi kerusakan pada pedikel dan lamina ipsilateral yang terjadi disosiasi pada articular process superior dan inferior, dan memiliki indikasi untuk dilakukan pembedahan. Pembedahan dapat dilakukan dengan instrumentasi anterior atau posterior dengan fusi pada dua segmen. D. Tipe F4 Pada fraktur tipe F4 terjadi subluksasi dan dislokasi sendi facet yang dapat terjadi secara unilateral atau bilateral, pembedahan pada tipe ini perlu dilakukan. 8.6. Komplikasi 9 1. Syok Neurogenik Syok neurogenik terjadi akibat hipotensi berat dan bradikardia setelah cedera servikal yang disertai dengan cedera medulla spinalis (SCI). Hal ini terjadi karena kerusakan pada pusat kontrol simpatis medulla spinalis, sedangkan pengaruh parasimpattis dari saraf vagus masih intak. Hal ini menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan sistem saraf otonom. Berdasarkan studi, 19,3% pasien dengan cedera servikal mengalami syok neurogenik. 2. Penyakit Kardiovaskular Pada fase akut, SCI pada bagian servikal dapat menyebabkan ritme jantung yang ireguler seperti bradiaritimia (14-77%), termasuk escape rhythm, supraventricular ectopic beats (19%), ventricular ectopic beats (18-27%), hipotensi ortostatik (33-74%), peningkatan refleks vasovagal, vasodilatasi, dan stasis. 3. Regulasi Temperatur SCI pada bagian servikal menyebabkan berkurangnya input sensorik yang masuk ke pusat pengaturan suhu tubuh. Selain itu, hal ini juga disebabkan karena adanya kerusakan pusat kontrol simpatetik pada regulasi sekresi keringat dan suhu. Beberapa studi melaporkan pasien dengan SCI servikal mengalami poikilotermia,


yaitu ketidakmampuan tubuh mempertahankan suhu inti tubuh dengan konstan pada suhu lingkungan yang berubah-ubah. 4. Komplikasi pernafasan Cedera servikal memiliki efek signifikan pada sistem pernapasan. Komplikasi respirasi menjadi salah satu penyebab kematian yang sering terjadi pada pasien SCI servikal. Studi menunjukkan bahawa 67% pasien SCI mengalami komplikasi respirasi, di antaranya atelektasis (36,4%), pneumonia (31,4%), dan gagal napas (22,6%). Pada fase akut, 84% pasien dengan SCI di atas C4 dan 60% pasien dengan SCI di C5-C8 mengalami gangguan respirasi. Studi lain menunjukkan terdapat penurunan kapasitas vital paru-paru sebesar 30-50% pada pasien SCI servikal C5- C6. Medulla spinalis servikal merupakan bagian vital yang menjadi pusat dari berbagai aktivitas tubuh, di antaranya pusat pengaturan saraf simpatis, pusat pengatur suhu, respirasi, dan kardiovaskular. Walaupun jarang terjadi, namun kerusakan pada medulla spinalis servikal memiliki implikasi yang sangat fatal. Kerusakan pada pusat pengatur simpatis menyebabkan terganggunya keseimbangan otonom tubuh dalam meregulasi tekanan darah dan sekresi keringat serta pengaturan suhu inti tubuh. Selain itu, hal ini juga menyebabkan penurunan laju jantung dan kapasitas vital paru-paru.


BAB IX TRAUMA MULTIPEL DAN POLITRAUMA Tujuan : • Peserta mampu menegakkan diagnosis politrauma. • Peserta dapat mengetahui penanganan awal darurat pada pasien poltrauma. • Peserta dapat menjelaskan dan melakukan penanganan syok hemoragik pada pasien poli trauma. • Peserta dapat mengetahui perawatan ortopedi pengendalian kerusakan pada pasien poli trauma. Waktu: 15-20 menit 9.1. Pendahuluan Sindrom cedera multipel yang melebihi tingkat keparahan berupa Injury Severity Score (ISS) >17 dengan reaksi sistemik yang dapat menyebabkan disfungsi atau kegagalan organ dan sistem vital, yang sebelumnya belum pernah cedera Injury Severity Score (ISS) ISS dibagi berdasarkan bagian tubuh : • Kepala atau leher - termasuk tulang belakang servikal • Wajah - termasuk tengkorak, hidung, mulut, mata, dan telinga • Dada - tulang belakang torakal dan diafragma • Isi perut atau panggul - organ perut dan tulang belakang lumbal • Ekstremitas atau korset panggul – tulang panggul • Eksternal Perhitungan: Penjumlahan dari tiga skor abbreviated injury scale (AIS) yang dikuadratkan (ISS = A 2 + B 2 + C 2 dimana A, B, C adalah skor AIS pada 3 bagian tubuh yang cedera)


Skor total ISS : 3 – 8 : Ringan 9 -15 : Sedang 16 -24 : Serius 24 -29 : Berat 50 -74 : Kritis 75 : Maksimum 9.2. Tatalakasana Awal Kegawatdaruratan • Protokol ATLS


Management airway dan cervical spine control dengan hard collar neck pada primary survey ATLS : • Survei primer (ABCDE) dengan resusitasi segera pada pasien dengan cedera yang mengancam jiwa • Tambahan untuk survei utama dan resusitasi (mengukur parameter fisiologi) a) EKG b) Oksimetri c) Kateter saluran kemih dan lambung d) Rontgen toraks dan pemeriksaan diagnostik (FAST, DPL) -> jangan tunda resusitasi karena rontgen • Pertimbangan tentang perlunya pemindahan pasien • Survei sekunder (AMPLE, mekanisme Cedera dan evaluasi secara menyeluruh) • Tambahan untuk survei sekunder a) Pemeriksaan x ray: regional/ekstremitas b) CT Scan kepala, toraks, abdomen c) Urografi d) Ultrasonografi transesofagus e) Bronkoskopi • Pemantauan dan evaluasi ulang pasca resusitasi lanjutan • Perawatan definitif Tatalaksana Syok Hemoragik


• Prinsip dasar: Menghentikan pendarahan dan ganti volume yang hilang • Tujuan: Mengembalikan perfusi organ dan oksigenasi jaringan • Manajemen awal: a) Airway: Intubasi (GCS <8) b) Breathing: Menjaga saturasi oksigen lebih dari 95% c) Sirkulasi: Resusitasi cairan, pengendalian perdarahan termasuk tekanan langsung ke lokasi perdarahan, tourniquet dan pelvic binder. d) Disabilitas : pemeriksaan neurologis e) Paparan : pemeriksaan lengkap, mencegah hipotermia f) Dilasi lambung: dekompresi -> mencegah aspirasi g) Kateterisasi saluran kemih untuk memantau keluaran urin. Terapi Pengganti untuk Syok: • Akses vaskular: 2 akses perifer lubang besar 18G. Pilihan lain: akses vena sentral, akses intraosseus. • Larutan isotonik hangat 1 L untuk orang dewasa dan 20 mL/kg untuk anak < 40 kg (resusitasi agresif sebelum mengontrol perdarahan akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas). • Ukur respons setelah bolus larutan isotonik • Tidak responsif terhadap kristaloid awal menandakan perlunya transfusi darah. • Transfusi masif: 10 unit RRT dalam 24 jam setelah masuk atau 4 unit RRT dalam 1 jam setelah masuk • PRC: Plasma : Trombosit = 1 : 1 : 1→ pemberian trombosit dan plasma secara dini bersamaan dengan sel darah merah berhubungan dengan peningkatan luaran koagulopati yang diakibatkan oleh trauma.


Damage Control Orthopaedic


Konsep Damage Control: • Pembedahan resusitasif untuk pengendalian perdarahan yang cepat • Pemulihan parameter fisiologis normal • Manajemen bedah definitif Pasien dengan politrauma dengan cedera abdomen, pelvis dan ekstremitas bawah sehingga dilakukan Damage Control Abbreviated Laparotomy dengan abdominal packing untuk kontrol perdarahan organ internal abdomen , Damage Control Orthopaedic dengan pemasangan anterior frame external fixator dan pelvic packing untuk mengurangi volume pelvis dan perdarahan pada tahap awal life saving procedure dan stabilisasi ekstremitas dengan menggunakan Illizarov External Fixation. Berdasarkan konsep Damage Control, maka dengan prinsip yang sama, Damage Control Orthopedic (DCO) dibagi menjadi 3 tahap: • Stabilisasi sementara fraktur yang tidak stabil dan kontrol perdarahan • Penyelamatan pasien di ICU dan optimalisasi kondisi mereka • Menunda penanganan fraktur definitif bila kondisi pasien memungkinkan


Kasus politrauma dengan ankle fracture dislocation dapat dilakukan dengan closed reduction dan backslab untuk pengananan awal sebagai damage control orthopaedic. Kasus politrauma dengan open fracture segmental tibia fibula dapat dilakukan dengan debridement , open reduction dan external fixation untuk pengananan awal sebagai damage control orthopaedic.


BAB X SINDROM KOMPARTEMEN Tujuan : • Peserta dapat menjelaskan temuan klinis sindrom kompartemen. • Peserta dapat menegakkan diagnosis sindrom kompartemen. • Peserta dapat menjelaskan teknik pengukuran tekanan kompartemen. • Peserta dapat mengetahui penanganan darurat untuk sindrom kompartemen. • Peserta dapat menjelaskan komplikasi sindrom kompartemen. Waktu: 15-20 menit 10.1. Pendahuluan • Sindrom kompartemen adalah peningkatan tekanan intersisial dalam kompartemen osseofasial tertutup yang mengakibatkan gangguan mikrovaskular. "Mubarak & Hargens (1983, dikutip Edwards 2004:32)" • Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi ketika sirkulasi dan fungsi jaringan di dalam ruang tertutup terganggu oleh peningkatan tekanan di dalam ruang tersebut. "Matsen (1975, dikutip Singh, Trikha & Lewis 2005:468)" 10.2. Mekanisme Cedera dan Etiologi: • Trauma langsung atau tidak langsung (patah tulang, crush injury) • Memar • Luka tembak • Gips, pembalut, atau pembungkus luar yang ketat • Ekstravasasi infus intravena • Luka bakar • Gangguan perdarahan (cedera arteri) 10.3. Assesment 1. Secara klinis, terdapat 5 P: • Nyeri tidak proporsional dan atau nyeri pada peregangan pasif • Paraesthesia • Paresis/ paralisis • Denyut nadi tidak teraba • Pucat


Orthopaedic and Traumatology Emergency Course [OTEC] Trial

Enter your Authorization ID to access.

Enter
Click to View FlipBook Version