The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

1st Trial for Orthopaedic and Traumatology FKUI Residents

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by marcom paboi, 2024-02-02 19:44:08

Orthopaedic and Traumatology Emergency Course [OTEC] Trial

1st Trial for Orthopaedic and Traumatology FKUI Residents

Keywords: PABOIPUSAT

A B Gambar 68. Fraktur spiral distal fibula, (A) proyeksi AP tidak menampakkan garis fraktur, tapi (B) proyeksi lateral menampakkan garis fraktur. Gambar 69. Proyeksi (A) AP dan (B) lateral fraktur malleolus medial, distal fibula, dan pinggir posterior tibia


Gambar 70. Proyeksi (A) AP dan (B) lateral dari fracture-dislokasi dengan fraktur malleolus media, tongkat fibula, dan pergeseran tibia ke anteromedial di atas talus Gambar 71. Proyeksi AP dengan beban menunjukkan pelebaran sendi di sisi lateral yang mengindikasikan ruptur ligamen lateral 16.4.7. Fraktur Kaki • Talus o Fraktur pada talus lebih jarang ditemukan dibandingkan calcaneus. o Komplikasi yang sering terjadi pada leher talus adalah avascular necrosis pada fragmen proksimal talus


o Fraktur osteochondral juga mungkin terjadi bila fragmen terbalik dan tidak dapat menyatu kembali. Gambar 72. Fraktur vertikal melalui badan talus Gambar 73. fraktur avulsi ujung lateral maleolus dan fraktur osteochordral sisi lateral artikulasi talus. Posisi fragmen terbalik sehiengga penyembuhan sampai penyatuan kembali tidak terjadi • Calcaneus o Mayoritas penyebab fraktur calcaneus adalah kejatuan dari tempat tinggi. Sebagian kasus fraktur bilateral dan kasus lain disertai fraktur torakolumbal o Mayoritas fraktur calcaneus meluas sampai sendi subtalar posterior dan dapat terlihat melalui proyeksi lateral


o Pengukuran “Boehler’s angle” dapat digunakan untuk menilai depressed fracture kecil. Sudut pengukuran seharusnya tidak dibawah 25 derajat. Batas normal adlah 25-40 derajat o Fraktur di luar sendi pada calcaneus meliputi: fraktur tuberositas, fraktur avulsi insersi tendon achiles, dan stress fracture Gambar 74. (A) gambar skematik Boehler's angle. (B) proyeksi lateral menunjukkan boehler's angle yang mendatar sehingga mengindikasikan depressed fracture pada calcaneus Gambar 75. Depressed fracture komunitif berat pada calcaneus Gambar 76. Avulsi tendon achiles pada sisi posterosuperior calcaneus


• Navicular o Fraktur pada navicular jarang terjadi. Trauma berat dapat menyebabkan fraktur vertikal dan horizontal badan navicular atau dislokasi sendi talonavicular Gambar 77. fraktur vertikal displaced navicular Gambar 78. proyeksi (A) PA dan (B) oblique dislokasi sendi talonavicular


• Tarsometatarsal o Dislokasi sendi ini sering terlewatkan. Penting untuk memperhatikan: § Melalui proyeksi AP, batas medial dasar metatarsal kedua harus segaris dengan batas medial cuneiform tengah § Melalui proyeksi oblique, batas medial metatarsal ketiga harus segaris dengan batas medial cuneiform lateral § Bila ditemukan fraktur pada salah satu dasar 4 metatarsal yagn terlihat, curigai fraktur-dislokasi o Dislokasi tarsometatarsal dengan dislokasi lateral metatarsal ke2 sampai ke-5 umumnya disertai dengan beberapa avulsi/chip fracture Gambar 79. Fraktur-dislokasi tarsometatarsal. Ditemukan pelebaran antara dasar metatarsal pertama dan kedua, dan fraktur dan pergeseran dasar metatarsal kedua di atas cuneiform tengah • Forefoot o Sebagian besar fraktur metatarsal dan phalang disebabkan oleh trauma jatuhnya benda ke bagian depan kaki o Avulsi tendon peroneus brevis dapat disertai dengan fraktur dasar metatarsal kelima


Gambar 80. fraktur avulsi metatarsal kelima A B C Gambar 81. (A) Fraktur transvers metatarsal ketiga. (B) fraktur oblique metatarsal kedua dan ketiga. (C) fraktur spiral incomplete pada metatarsal kelima Gambar 82. proyeksi (A) PA dan (B) oblique fraktur undisplaced pada dasar metatarsal kedua dan ketiga


Gambar 83. Fraktur oblique phalanx proksimal. (B) fraktur dari proksimal sampai sendi interphalangeal yang terdislokasi 16.5. Pitfalls ekstermitas bawah 16.5.1. Tulang aksesori • Os acetabuli: adalah pusat osifikasi sekunder di tepi asetabulum yang tidak menyatu dengan acetabulum Gambar 84. Bilateral os acetabuli (panah kuning) disertai dengan deformitas piston grip pada kolum femur kiri (panah biru)


16.5.2. Varialis anatomi tulang sesamoid • Tulang sesamoid adalah tulang-tulang aksesori yang sering kali multipartite, sehingga sulit membedakan fraktur dengan anatomi normal • Untuk membantu mendiagnosis dengan tepat, bandingkan foto klinis, dan antisipasi bentuk variasi normal tulang sesamoid. • Perhatian khusus diberikan kepada pelari dengan nyeri kaki akibat stress fracture karena memungkinkan adanya cedera sesamoid. Gambar 85. wanita 38 tahun dengan nyeri kaki setelah bermain sepak bola. radiografi menunjukkan sesamoid medial bipartid. Pada sisi proksimal ditemukan fraktur avulsi (panah) dan sesamoid terretraksi ke arah distal 16.5.3. Apofisis • Apofisis adalah zona pertumbuhan tulang yang normal. Ukurannya berbeda-beda dan memiliki pusat osifikasinya masing-masing. • Secara umum lokasinya terletak pada insersi ligamen/tendon Gambar 86. radiografi anak berusia 6 tahun (A) radiografi lateral. (B) MRI satila STIR menemukan pusat osifikasi apofisis (panah) terletak di 1/3 bawah calcaneus. Signal konsisten dengan calnaneus.


16.5.4. Pembuluh darah arteri pada tulang • Arteri pada tulang femur adlaah pembuluh darah paling jelas terlihat pada tulang. • Sering kali pembuluh darah arteru terdeteksi sebagai garis radiolusen oblique atau longitudinal melalui radiografi, sehingga bisa disalahartikan sebagai fraktur Gambar 87. Proyeksi lateral tulang femur. Nutrient foramen atau vascular channel adalah terowongan kecil untukmasuknya pembuluh darah ke dalam rongga medula yang dapat disalahartikan sebagai fraktur 16.6. Spine Emergency Cedera tulang belakang umumnya ditemui dalam situasi trauma dengan perkiraan 150.000 kasus spinal cord injury dan 13.050 kasus cedera traumatic spine cord (SCI) yang dilaporkan pada tahun 2016. Morbiditas dan mortalitas cedera tulang belakang berhubungan langsung dengan tingkat gangguan neurologis. Oleh karena itu, identifikasi dan intervensi cedera tulang belakang


secara cepat dan akurat sangat penting dalam mencegah kerusakan neurologis lebih lanjut. 16.7. Cervical Spine Clearance National Emergency X-Radiogrphy Utilization Study (NEXUS) adalah kriteria untuk melakukan pencitraan tulang belakang leher dalam kasus trauma. NEXUS menyatakan bahwa pencitraan tulang belakang leher diindikasikan dalam situasi trauma kecuali pasien memenuhi 5 kriteria: tidak ada nyeri tekan tulang belakang leher di garis tengah posterior, tidak ada tanda-tanda keracunan, tingkat kewaspadaan normal, tidak ada defisit neurologis fokal, dan tidak ada cedera yang mengganggu dan menyakitkan. 16.8. Thorcolumbar Spine Clearance Berbeda dengan tulang belakang leher, tidak ada pedoman yang ditetapkan untuk tulang belakang torakolumbar. Namun, konsep serupa juga berlaku. Pasien dengan status mental cukup dan pemeriksaan klinis negatif dapat dieksklusi dari pencitraan tulang belakang tambahan. Pasien yang mengalami trauma tumpul dengan gejala nyeri punggung, nyeri tekan, defisit neurologis, perubahan status mental, cedera yang mengganggu, cedera kepala, atau mekanisme cedera energi tinggi harus menjalani pencitraan tulang belakang torakolumbal tambahan. Cedera tulang belakang multilevel dan tidak berdekatan sering terjadi, sehingga patah tulang pada tingkat tulang belakang mana pun, terutama tulang belakang leher harus segera dilakukan pencitraan tambahan pada tulang belakang torakolumbaris. 16.9. Modalitas Pencitraan 16.9.1. Radiografi Sensitivitas untuk mengidentifikasi cedera tulang serviks akut melalui radiografi untuk pasien berusia lebih dari 14 tahun rendah (43-89,4%). Oleh karena itu, American College of Radiology (ACR) merekomendasikan radiografi hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki kecurigaan rendah terhadap cedera tulang serviks atau ketika CT tidak tersedia. Pemeriksaan radiografi 3 tampilan, yaitu anteroposterior (AP), lateral, dan AP odontoid mulut terbuka dapat dilakukan untuk memberi penilaian awal sebelum CT scan dapat dilakukan. Radiografi tulang serviks fleksi dan ekstensi hanya dilakukan bila pasien masih menunjukkan gejala nyeri leher akut mereda. Proyeksi oblique untuk mengevaluasi neural foramina dan sendi apofiseal jarang dilakukan dan tidak direkomendasikan dalam kondisi trauma. Serupa denga tulang servikal, radiografi torakulombal harus dilakukan pada pasien dengan kecurigaan cedera yang rendah atau jika CT tidak dapat dilakukan tepat waktu. Seringkali, radiografi terpisah pada tulang belakang torakolumbal mungkin tidak diperlukan karena gambar yang diformat ulang dapat diambil dari CT dada, perut, dan panggul yang dilakukan untuk evaluasi cedera lainnya. Radiografi adalah skrining utama untuk anak-anak berusia di bawah 14 tahun untuk mengetahui dugaan cedera pada tingkat tulang belakang manapun. Cedera


tulang belakang paling sering dijumpai di persimpangan kraniovertebral yang dapat didagnosis dengan radiografi dengan sensitivitas tinggi. • Cervical Spine Teknik radiografi tulang servikal terdiri dari 3 sisi yaitu AP, lateral dan AP mulut terbuka. Mulut terbuka tidak selalu mendapatkan hasil klinis yang tinggi pada pasien kesadaran rendah, memakai kolar servikal, atau dengan tuba yang menghalangi oronasopharynx. o Proyeksi lateral memiliki sensitivitas paling tinggi untuk mendeteksi abnormalitas tulang servikal. o Proyeksi AP melihat dari C3 sampai T2 tetapi mulai dari C2 atau C1 untuk pasien pediatri. Rotasi harus diminimalisir dengan melihat prosesus spinosus dan sendi sternoclavicular berjarak sama dari sisi lateral tulang belakang o Proyeksi mulut terbuka melihat badan C2, massa lateral dari C1 dan C2, dan sendi apofisis C1-C2. Rotasi harus diminimalisir karena kesalahan ini dapat menyerupai patologi melalui jarak massa lateral C1 dan odontoid yang tidak sama. A B C Gambar 88. Radiograf tulang servikal. (A) proyeksi lateral, (B) proyeksi AP, (C) proyeksi AP mulut terbuka  


• Thoracic Spine Tiga proyeksi diperlukan untuk evaluasi tulang belakang thorax. o Proyeksi AP harus mencakup seluruh vertebra yang menopang tulang rusuk dan sendi intervertebralis o Proyeksi lateral harus menggambarkan semua vertebra yang menopang tulang rusuk dengan tampilan terbuka pada sendi intervertebralis dan foramina saraf (Gbr. 2B). o Proyeksi perenang (swimmer’s view) dilakukan secara rutin sebagai bagian dari protokol radiografi tulang belakang toraks karena vertebra toraks bagian atas sering tidak tervisualisasi dengan baik pada tampilan lateral karena struktur yang tumpang tindih. Proyeksi perenang adalah proyeksi lateral yang dimodifikasi dengan lengan yang paling dekat dengan detektor diabduksi, dan lengan kontralateral ditempatkan dalam posisi adduksi dan dipindahkan ke posterior. A B C Gambar 89. Radiograf tulang belakang thorax. (A) proyeksi AP, (B) proyeksi lateral, (C) proyeksi perenang • Lumbar Spine Tiga proyeksi diperlukan untuk evaluasi tulang belakang lumbar o Proyeksi AP dan lateral harus menggambarkan seluruh tulang belakang lumbar dari vertebra yang mengangga tulang rusuk terakhir dan L1 hingga L5-S1. o Tampilan lateral yang mengerucut pada sambungan lumbosacral membentuk menggambarkan spondilolistesis dan harus menggambarkan segmen lumbal L4-5 bawah hingga sacrum atas dengan sendi lumbosacral di tengah radiograf                                         


A B C Gambar 90. radiograf tulang belakang lumbar. (A) proyeksi AP, (B) proyeksi lateral, (C) proyeksi lumbosacral


16.9.2. Computed Tomography Pasient sering menjalani CT dada, perut, dan panggul sebagai bagian dari “pan-scan” dalam keadaan trauma. Gambar tulang belakang torakolumbaris yang diformat ulang dari protokol CT untuk organ viseral sudah cukup untuk mengevaluasi tulang belakang torakolumbar. Dimanapun tingkat cedera tulang belakangnya, seluruh tulang belakang harus dicitrakan karena sering ditemukan cedera yang tidak berdekatan. CT scan tulang belakang leher dilakukan dengan menggunakan helical scanner dengan ketebalan irisan 1,25mm dan interval 1,25mm dari dasar tenggorokan hingga pertengahan badan vertebra T1. Pencitraan tulang belakang toraks dan lumbar dilakukan dari pertengahan C7 hingga pertengahan L1, dan dari pertengahan T12 hingga pertengahan sacrum. Pemindaian dilakukan dengan 140 kVp dengan ketebalan irisan dan interval 0,625mm. reformat jaringan lunak dan tulang aksial dilakukan dengan ketebalan 1,25mm. rekonstruksi multiplanar sagittal dan koronal harus dilakukan pada semua pemeriksaan untuk meningkatkan identifikasi dan karakterisasi fraktur dan subluksasi. Semua rekonstruksi koronal dan sagittal dilakukan pada ketebalan 2mm. 16.9.3. Magnetic Resonance Imaging MRI rutin tulang belakang dalam kondisi trauma masih menjadi topik perdebatan. Dalam mendeteksi cedera ligamen, MRI memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan tingkat yang dilaporkan masing-masing sebesar 91% dan 100%. Namun, MRI juga memiliki tingkat positif palsu yang tinggi dengan kelainan ligamen yang ditemukan pada saat operasi. Direkomendasikan MRI dilakukan pada: • Pasien yang morfologi cederanya tidak terlihat pada CT dengan nyeri persisten atau defisit neurologis • Pasien yang tidak dapat diperksa setidaknya selama 48 jam • Untuk tujuan perencanaan perawatan pada tulang belakang yang tidak stabil secara mekanis • Pasien dengan temuan klinis atau pencitraan yang menunjukkan cedera ligamen • Pasien dengan morfologi cedera signifikan pada CT. Contoh morfologi cedera CT yang dicurigai sebagai penyebab cedera ligamen dan saraf spinalis adalah flexion teardrop fracture pada tulang servikal bawah. MR tulang belakang non-kontras dilakukan pada kondisi trauma. Urutan pemeriksaan tulang belakang leher adalah sagittal T1 weighted fluid attenuation inversion recovery (FLAIR), sagittal T2 weighted fast recovery fast spin echo (FRFSE), sekuens sagittal short tau version recovery (STIR), axial T2 gradient echo (GRE) dengan evaluasi multi-angles dan multi-blocks, dan axial T2 turbo spin echo (TSE) utuk gambar aksial blok tunggal dari oksipital ke C7. Untuk tulang belakang torakolumbalis, dilakukan T2 sagital, T1 FLAIR, T2 TSE sagittal, T1 FLAIR sagittal, T2 TSE aksial, melalui discs, dan TSE T2 aksial untuk gambar blok tunggal


16.10. Fraktu Stabil vs Tidak Stabil 16.10.1. Fraktur stabil • Ligamen posterior masih intak. • Contoh: fraktur kompresi, avulsi prosesus transvers dan spinosus, fraktur osteofit, dan cedera tulang trabekular 16.10.2. Fraktur tidak stabil • Ligamen posterior robek dan rentan melukai korda spinalis dan akar saraf. • Contoh: crush fracture, cedera korda spinalis, dan heatoma paraspinal • Ketika 2 kolum tulang belakang terganggu, tulang belakang dianggap tidak stabil. Ketika 3 kolum terganggu, pasti tidak stabil Gambar 91. perbandingan fraktur vertebra thorakal stabil dengan tidak stabil 16.11. Craniovertebral Junction 16.11.1. Occipital Condyle Fracture • Fraktur kondilus oksipital adalah cedera traumatis yang melibatkan artikulasi antara dasar tengkorak dan tulang belakang leher. • Meskipun fraktur avulsi di kondilus oksipital bisa didiagnosis dengan CT, tapi CT kurang sensitive untuk mendeteksi cedera ligamen alar. Evaluasi melalui MRI dibutuhkan untuk evaluasi struktur ligamen pada fraktur kondilus oksipital Stable Unstable


A B B Gambar 92. fraktur kondil oksipital. (A) average intensity projection (AvelP) CT axial dari fraktur kondilus oksipital tipe 2 (panah). (B) fraktur kondilus oksipital tipe 3 dengan avulsi kondilus oksipital kiri (panah). (C) axial T2 ligamen alar yang edema tanpa disrupsi. Ligamen transvers masih intak (panah hitam) 16.11.2. Atlanto-Occipital Dissociation • Disosiasi atlanto-oksipital terjadi bila ada gangguan pada membrane tektorial dan ligamen alar. Bentuk cedera yang ringan berupa disosiasi atau subluksasi unilateral yang mengakibatkan pemisahan kranioserviks ringan • Disosiasi atlanto-oksipital dapat didiagnosis pada radiografi dan CT. Disosiasi dan subluksasi unilateral yang halus lebih baik dievaluasi dengan CT. Temuan pada radiografi dan CT adalah pelebaran basion-dens dan interval atlantooccipital.


A B C D Gambar 93. Disosiasi Atlanto-oksipital. (A) peningkatan interval basion-dens (panah putih 2 sisi), peningkatan power ratio (panah hitam 2 sisi), dan (B) fraktur kondilus oksipital bersamaan dengan perpindahan fragmen fraktur ke anterior (panah putih). Persimpangan atlanto-oksipital terpelihara (panah hitam). (C) disosiasi atlanto-oksipital dengan peningkatan interval basion-dens (panah putih 2 sisi), peningkatan interval atlanto-dens (panah hitam) dan (D) peningkatan interval atlanto-oksipital (panah putih 2 sisi) 16.11.3. Atlas fracture • Bentuk fraktur C1 yang paling umum adalah fraktur pecah (burst fracture) atau dikenal sebagai “Jefferson fracture”. Fraktur ini memiliki 4 fragmen dan 2 fraktur melalui arkus anterior dan posterior. Bentuk fraktur yang kurang umum adalah fraktur transversal tunggal pada lengkung anterior akibat ketegangan dari ligamen longus coli / ligamen antatoaxial dan fraktur massamassa lateral/laminae


A B C Gambar 94. Jefferson's fracture. (A) fraktur 3 bagian dari C1 dengan fraktur tunggal ada anterior (kepala panah) dan fraktur bilateral pada lengkung posterior (panah). (B dan C) urutan STIR sagital dari pasien berbeda dengan fraktur Jefferson menunjukkan pelebaran interval atlanto-dens dengan cairan dan edema (panah) dengan struktur ligamen yang utuh. Ligamen tektorial tetap utuh (panah). (D) ligamen transversal utuh (panah) dan edema dalam interval atlanto-dens (panah) seperti terlihat pada sequens T2 axial. 16.11.4. Kelainan pada Axis (C2) • Odontoid process fracture o Fraktur ini adalah jenis fraktur paling umum di prosesus odontoid dan sering ditemukan pada lansia.


A B C Gambar 95. berbagai jenis dens fracture. (A) tipe 1 dengan distraksi superior dan angulasi anteiror pada ujung dens (panah). (B) farktur dens tipe 2 dengan pergeseran ujung posterior tanpa stenosis kanal spinal. (C) fraktur dens tipe 3 dengan pergeseran dens dan anterior C2 ke anterior (panah). Disertakan dengan burst fracture di C7 (panah) • Hangman fracture o Fraktur ini adalah fraktur bilateral dari pars interartikularis.


A B C Gambar 96. "Hangman fracture" tipe 2a. (A) foto radiografi tulang servikal poyeksi lateral menunjukkan translasi anterior C2 dibandingkan dengan C3 (panah). (B) CT axial menunjukkan fraktur melalui pedikel bilateral (panah) dan lamina kanan (kepala panah). (C) CT sagittal menunjukkan translasi anterior badan C2 (panah) 16.11.5. Atlantoaxial dislocation • Dislokasi ini akibat dari hilangnya sendi normal C1 dan C2 disertai ketidakstabilan. • Dapat menyebabkan penyempitan ruang spinal cord yang diukur dari tepi posterior dens dan tepi anterior arkus posterior C1.


A B Gambar 97. fiskasi rotasi atlantoaxial tipe 2. (A) rekonstruksi volumetrik 3D menunjukkan dislokasi bifaset dan rotasi abnormal atlas terhadap sumbu. (B) CT dengan pengaturan average-intensityprojection IP axial menunjukkan hubungan abnormal atnara atlas (panah putih) ke sumbu (panah hitam) dengan rotasi sekitar 64°. Interval atlanto-dens kurang dari 5mm. MRI selanjutnya tidak menunjukkan cedera ligamen alar dan transversal (tidak ditampilkan) 16.11.6. Atlantoaxial rotatory fixation injury • Lebih sering ditemukan pada pasien pediatri yang disebabkan oleh trauma atau infeksi. • Rotasi sudut sendi atlantoaxial lebih dari 63-64° disertai dengan tortikolis atau hasil CT pergeseran signifikan persimpangan atlantoaxial sangat mengarah pada AARF 16.12. Subaxial cervical dan Thoracolumbar injury 16.12.1. Pola cedera • System SLIC dan TLIC menggunakan morfologi cedera yang sama, yaitu compression, burst, translation/rotation, dan distraction. Compression fracture adalah hilangnya tinggi tulang belakang atau gagnguan pada end plate (Gambar58). • Burst fracture adalah fraktur yang melibatkan korteks posterior korpus vertebra dengan derajat retropulsi korpus vertebra yang patah ke dalam kanalis spinalis (Gambar59). Compressed fracture yang parah di bidang koronal lebih dari 15 derajat dapat diartikan sebagai burst fracture menurut kriteria SLIC dan TLICS • Distraction injury adalah disosiasi aksis vertikal dengan gangguan pada struktur ligamen atau tulang, atau kombinasi keduanya (Gambar60). • Melalui CT scan, distraction injury dapat dibuktikan dengan melebarkan ruang diskus atau melalui facet joint bila fraktur anterior dan posterior tidak ada. penumpukan permukaan artikuler facet kurang dari 50%, diastasis facet lebih dari 2 mm, pelebaran angulasi ruang sendi posterior lebih dari 11 derajat dapat dianggap sebagai distraction injury.


• Morfologi translation dan rotation injury masuk dalam kelompok yang sama menurut klasifikasi SLIC dan TLICS. Ambang batas rotasi yang diterima adalah 11 derajat atau lebih. Translation injury adalah translasi di bidang horizontal apa pun yang terlihat dan tidak berhubungan dengan penyebab degeneratif dari satu segmen vertebra terhadap segmen lainnya (Gambar61). • Untuk menyederhanakan evaluasi CT scan spine untuk hubungan tulang yang abnormal, Daffner dan Harris menjelaskan “Rule of 2s”, yang menyatakan bahwa jarak interspinosus interlaminar, interpedicular, dan juga lebar sendi facet tidak normal jika perbedaan parameter antara segmen yang berdekatan lebih dari 2 mm. 16.12.2. Cedera Ligamen • Cedera ligamen selalu terjadi bila terdapat pelebaran ruang interspinous yang signifikan. • Bila tidak ada kelainan yang tampak pada tulang dalam radiograf atau CT, atau ditemukan bentuk fraktur yang berhubungan dengan cedera ligamen, MRI dapat digunakan untuk menentukan adanya gangguan ligamen • Penggunaan MRI dengan T2 weighted disaraknkan bila ada robekan atau edema • Pada tulang servikal, integritas discoligamentous complex (DLC) yang menyangkut kompleks ligamen anterior dan posterior haris ditentukan. DLC terdiri dari diskus intervertebralis, anterior longitudinal ligament (ALL), posterior longitunidal ligament (PLL), ligamen flavum, ligamen interspinous, ligamen supraspinous, dan sendi facet. • Pada tulang belakang torakolumbar, hanyak integritas posterior ligamentous complex (PLC) yang dipertimbangkan karena PLC adalah pemeran utama dalam stabilitas mekanis tulang belakang torakolumbar


Gambar 98. Diskontinuitas ligamentum flavum 16.12.3. Status Neorologis • Kelainan neurologis paling sering ditemukan dalam spinal cord injury (SCI) adalah tetraplegi inkomplit, diikuti oleh paraplegi inkomplit, paraplegi komplit, dan tetraplegi komplit. • Menurut SLIC dan TLICS, penilaian status neurologis melalui diagnosis klinis, bukan radiologis. Namun temuan abnormal dapat membantuk mengkorelasi temuan fisik dengan penatalaksanaan bedah. • Penggunaan MRI menggantikan myelografi dan CT myelografi dalam menilai kompresi korda spinalis. Pemeriksaan MRI pada periode akut diperlukan pada setiap pasien yang mengalami defisit neurologis persisten setelah trauma tulang belakang.


A B C Gambar 99. (A) tidak ditemukan fraktur atau subluksasi, (B) namun ditemukan edema di dalam korda spinalis pada level C3-4 (panah) dan edema paravertebra. (C) MRI T2 weighted dengan fat suppression menunjukkan kompresi korda spinalis


16.12.4. Subaxial cervical fracture Compression fracture A B C D Gambar 100. compression fracture C6. (A) Radiografi tulang belakang servikal menunjukkan fraktur kompresi anterior yang halus (panah). (B) CT sagital menunjukkan deformitas kompresi ringan pada C6 dengan fragmen fraktur kecil pada endplate anterior superior (panah). (C) MRI dengan sinyal T1


menunjukkan kelainan pada C6 (panah) dengan (D) STIR menunjukkan pengingkatan sinyal dalam ligamen interspinosus (panah). Ligamen interspinosus adalah yang paling lemah di dalam kompleks ligamen posterior. • Burst fracture • Translation/rotation fracture A B C Gambar 101. translation/ratation dan distraction injury. (A) potongan sagital CT menunjukkan translasi anterior C5 pada C6 (panah hitam) dan pelebaran jarak interspinosus (panah dua sisi). (B) Tampilan sagital menunjukkan facet unilateral yang melompat (panah) yang diartikan sebagai translational injury menurut SLIC. (C) pemformatan volumetric 3D dari facet yang dilompati (panah).


• Distraction injury 16.12.5. Thoracolumbar fracture • Compression fracture Gambar 102. Fraktur kompresi (Magerl A1) dengan edema sum-sum tulang di korpus vertebra T12 dari pria berusia 47 tahun yang mengalami kecelakaan sepeda motor dengan nyeri punggung yang tidak dapat diobati dengan terapi medis. (A) MRI dengan T1 weighted menunjukkan korpus vertebra 12 hipointens, (B) dengan T2 weighted menunjukkan hiperintens, dan (C) penyembuhan short tau inversion. • Burst fracture Gambar 103. Burst fracture L3. Hilangnya ketinggian vertebra dengan retropulsi fragmen fraktur posterior ke kanalis spinalis


Gambar 104. Burst fracture L1 dari seorang laki-laki berusia 30 tahun terlibat dalam kecelakaan sepeda motor. (A-D) CT scan dengan pengaturan multiplanar reformatted dan 3-dimensional volume rendering reconstruction menunjukkan fraktur L1 (kelas Magerl tipe A2) dengan dislokasi fragmen tulang posterior ke kanalis spinalis. (E-G) MRI mengonfirmasi burst fracture L1 dengan kompresi korda spinalis sedang. • Translation/rotation fracture • Distraction injury A B Gambar 105. distraction injury. (A) CT sagital menunjukkan peningkatan jarak antara badan vertebra posterior (panah) dan prosesus spinosus di tulang belakang torak tengah (panah dua sisi). (B) STIR menunjukkan transeksi korda spinalis lengkap (panah hitam) dengan gangguan pada PLL (panah) dan ligamen flavum (panah).


16.13. Radiologi Pediatri 16.13.1. Pertumbuhan normal tulang pediatri • Pertumbuhan longitudinal tulang Panjang didasarkan pada osifikasi endokondral. Di dalamnya, pembentukan tulang berganting pada transformasi berurutan dari prekursor tulang rawan. Lokasi prekursor ini berada di fisis atau lempeng pertumbuhan yang terletak di antara tulang rawan epifisis dan metafisis. • Lempeng pertumbuhan pada anak-anak memungkinkan terjadinya patah tulang unik yang tidak terjadi pada orang dewasa. Gangguan pasokan vaskular di metafisis dapat mengganggu apaptosis normal kondrosit di zona hipertrofik fisis dan mencegah mineralisasi normal yang menyebabkan gangguan pertumbuhan 16.13.2. Penyembuhan fraktur pada cedera trauma pediatri • Anak-anak memiliki kapasitas penyembuhan patah tulang lebih besar daripada orang dewasa karena aktivitas dan potensi osteogenik di periosteum yang lebih besar. Periosteum pada anak-anak lebih tebal dan memiliki vaskular lebih banyak dan lebih lancar di sekeliling tulang sehingga mengakomodasi fraktur yang lebih stabil. Gambar 106. bayi baru lahir setelah persalinan sungsang. (A) foto radiograf awal menunjukkan fraktur transvers shaft tulang humerus. (B) radiograf setelah 21 hari menunjukkan produksi kalus dan reaksi periosteal yang konsisten dengan waktu penyembuhan


16.14. Pilihan Modalitas 16.14.1. Radiografi konvensional • Radiografi konvensional adalah alat pencitraan utama untuk menilai cedera traumatis pada anak-anak. Kebanyakan cedera tulang traumatis akut dapat didagnosis dengan radiografi konvensional. Posisi dan Teknik sangat penting untuk diagnosis fraktur halus dan gangguan sendi dengan akurat. • penggunaan radiografi secara rutin masih menjadi topik kontroversi. Menurut penulis, radiografi untuk membandingkan sendi dengan kontralateralnya pada anak kecil tidak selalu diperlukan dan dapat meningkatkan paparan radiasi pengion yang tidak perlu. Pendekatan yang lebih masuk akal adalah evaluasi gambar awal dan memutuskan keperluan perbandingan gambar dari sendi kontralateral. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip “as low as reasonably achievable (ALARA)dalam penggunaan radiasi pengion secara bijak pada pasien anak. 16.14.2. Ultrasonografi • Saat ini penerapan ultrasonografi pada cedera muskuloskeletal khususnya cedera traumatis spesifik untuk pasien anak-anak dan remaja sedang berkembang. • Penggunaan USG memiliki beberapa kelebihan seperti evaluasi cedera jaringan lunak dengan dinamis, ketersediaan ekstremitas kontralateral sebagai perbandingan, minimalnya paparan radiasi, dan penghindaran anestesi umum • Namun seperti semua modalitas pencitraan dengan aplikasi baru, pengalaman dan data normatif USG pada tulang yang masih bertumbuh diperlukan sebelum memperluas indikasi USG pada cedera traumatis pediatri 16.14.3. CT scan • Penggunaan CT scan telah melalui banyak pengawasan karena risiko radioasi pengion pada pasien anak-anak. • Namun manfaat rekontruksi CT 3 dimensi berperan penting dalam evaluasi pasien dengan multiple trauma dan fraktur kompleks yang memerlukan perencanaan bedah darurat seperti fraktur transisi tibia distal, fraktur panggul kompleks, dan fraktur tulang belakang tidak stabil. • Refrensi terkini untuk kriteria dan dosis radiasi yang optimal untuk pasien anak-anak diambil dari Image Gently Alliance 16.14.4. MRI • Penggunaan MRI diindikasikan pada pasien pediatri untuk fraktur yang samar-samar terlihat di radiografi dengan nyeri persisten, penilaian potensi gangguan jaringan lunak, komplikasi dari trauma sebelumnya seperti penutupan epifisis premature, dan kelainan pertumbuhan tulang. MRI juga sangat baik dalam membedakan trauma berulang kronis dengan cedera akut terkait olahraga. • Namun ketersediaan alat dalam situasi trauma akut, biaya, dan potensi sedasi dan anestesi umum pada pasien merupakan pertimbangan penting ketika menggunakan MRI untuk menilai cedera muskuloskeletal.


16.15. Tipe Fraktur • Fraktur tulang panjang dapat diklasifikasikan menjadi deformasi plastik, fraktur greenstick, fraktur buckle, fraktur fisis (klasifikasi Salter Harris), fraktur komplit. • Property mekanik tulang anak-anak bergantung pada komposisi material dan kompleksitas arsitekstur. Tulang anak-anak lebih lunak dibandingkan tulang dewasa sehingga mampu menyerap energi lebih tinggi sebelum patah, sehingga tulang anak-anak memiliki kapasitas deformasi plastik lebih besar. 16.15.1. Deformasi plastik • Deformasi ini lebih saring terlihat di lengan bawah, khususnya ulna. Tekanan longitudinal sampai ke ujung tulang panjang dan melengkung akan menyebabkan derajat deformitas yang bervasiasi sebanding dengan besar dan durasi gaya yang diterapkan. • Gaya sedang yang tidak melewati kapasitas kekuatan tulang dapat menyebabkan fraktur mikroskopik dan deformasi plastik dengan mengingkatnnya bowing. Kasus paling sering menunjukkan bowing satu tulang dan fraktur di tulang lainnya (Gambar63). • Radiografi beberapa minggu setelah deformasi plastik akut menunjukkan tidak ada atau sedikit pembentukan tulang baru. Jika deformitas terjadi pada anak-anak berusia di bawah 4 tahun atau deformitas kurang dari 20 derajat, maka biasanya angulasi terkoreksi dengan pertumbuhan. 16.15.2. Fraktur greenstick • Fraktur ini sering terjadi pada tulang panjang, khususnya radius dan ulna. Ini adalah fraktur tidak komplit yang disebabkan oleh karakteristik tulang anakanak yang mampu menyerap energi. • Hal ini menyebabkan deformitas pada sisi yang terkompresi dan fraktur pada sisi tulang yang tertegang (Gambar63) 16.15.3. Fraktur buckle • Fraktur ini disebabkan oleh gaya kompresi pada zona transisi metafisis dan diafisis. Gaya kompresi longitudinal di metafisis lebih besar dibandingkan densital diafisis, menyebabkan korteks tulang menekuk (Gambar63 dan 64). • Bila fraktur ini mengelilingi regio metafisis, dinamakan fraktur torus, karena menyerupai pita pada pilar bangunan Yunani kuno. • Fraktur ini lebih sering terjadi pada radius dan ulna distal, radius proksimal, tibia dan fibula distal, serta tulang-tulang kecil pada tangan dan kaki. • Fraktur ini bisa bisa susah terlihat. Fraktur ini dicurigai bila ada peningkatan angulasi atak konveksitas kecil di persimpangan metafisis dan diafisis pada anak kecil.


• Gambar 107. Fraktur tulang panjang apa anak-anak. (A) proyeksi lateral radiograf lengan bawah menunjukkan deformitas plastik radius (kepala panah), dan fraktur transvers pada ulna (panah). (B) proyeksi lateral radiograf lengang bawah menunjukkan fraktur greenstick di shaft radius distal dengan dikontinuitas korteks di sisi radius (panah) dan bowing pada sisi ulnar (kepala panah). (C) proyeksi lateral lengan bawah menunjukkan fraktur buckle di radius distal bagian metafisis (panah) dan fraktur avulsi styloid ulna (kepala panah) Gambar 108. Fraktur buckle tibia proksimal akibat cedera trampilo pada anak berusia 5 tahun. Radiograf (A) proyeksi frontal dan (B) proyeksi lateral didapatkan 4 minggu setelah cedera menunjukkan buckling kecil korteks tibia proximal dengan sclerosis transversal yang padat (panah) dan reaksi periostela posterior (kepala panah). Radiograf awal menunjukkan hasil normal (tidak ditampilkan).


16.15.4. Fraktur Fisis (klasifikasi Salter Harris) • Fisis menyediakan tulang rawan untuk proses osifikasi endokondral dan pertumbuhan tulang. Namun bagian tulang rawan di fisis lebih lemah dibandingkan tulang sekitarnya sehingga lebih terpapar pada cedera sebelum fisis menutup. • Lokasi paling umum terjadinya fraktur ini adalah radius distal. • Cedera pada fisis dapat menyebabkan pertumbuhan abnormal, penutupan lempeng pertumbuhan premature, panjang tungkai tidak seimbang, deformitas progresif yang melengkung, dan sendi yang tidak seimbang. • Fraktur fisis diklasifikasikan ke dalam 5 kelompok (Gambar65-68): o Tipe 1: garis fraktur di mengikuti sepanjang fisis dan ada jarak antara fisi dengan metafisis • Gambar 109. Fraktur di kaput radius dengan Salter Harris tipe 1 pada anak laki-laki berusia 10 tahun dengan trauma tumpul pada siku kanan setelah terjatuh. Radiofrafi (A) proyeksi lateral dan (B) frontal dari siku kanan menunjukkan pemisahan lengkap fisis dari kaput radialis dan perpindahan ke arah posterior pusat osifikasi sekunder ke dalam sendi (panah) disertai efusi sendi (kepala panah). (C) gambar fluoroskopi lateral setelah reduksi (panah)


o Tipe 2: garis fraktur keluar dari fisi dan masuk ke daerah metafisis Gambar 110. Fraktur Salter-Harris tipe 2. Proyeksi oblique pergelangan kaki menunjukkan garis fraktur melalui fisis dan metafisis. fraktur pada fibula distal juga terlihat o Tipe 3: garis fraktur ada di dalam sendi (intraartikular) dari epifisis menuju fisis.


• Gambar 111. Fraktur Salter Harris tipe 3 pada tibia proksimal kanan pada anak laki-laki berusia 14 tahun setelah tekel sepak bola. Radiografi (A) proyeksi frontal dan (B) oblique menunjukkan pelebaran fisis medial (panah) dengan farus fraktur lucent epifisis (panah). (C) MR sagittal intermediate-weighted fat saturated mengonfirmasi garis fraktur (panah) yang memanjang dari fisis posterior ke dalam epifisis. Terjdapat gangguan dan retrasi superior periosteum tibialis posterior (panah)


Gambar 112. Fraktur tibia distal (fraktur tillaux) dengan Salter Harris tipe 3 pada fibula distal pada wanita gymnastik berusia 16 tahun. Gambar CT scan (A) aksial, (B) koronal, dan (C) sagittal) pada tibia menunjukkan fraktur SH tipe 3 melintasi daerah fisis tibialis distal secara anterolateral dan epifisis secara vertikal (panah). Fisis bagian medial menunjukkan penutupan yang fisiologis (panah putus-putus). Terdapat perpindahan sekitar 3 mm pada pada permukana articular tibia distal. (D) gambar CT sagittal fibula distal menunjukkan fraktur SH tipe 2 yang melintasi fisis tibia distal dan metafisis posterior (kepala panah). o Tipe 4: garis fraktur di dalam sendi (intraartikular) dari epifisis menuju metafisis dan melewati fisis


Gambar 113. Fraktur Salter-Harris tipe 4. Proyeksi AP, oblique, dan lateral menunjukkan fraktur vertikal epifisis distal, fraktur transvers melalui fisis, dan fraktur oblique melalui metafisis o Tipe 5: Ini adalah fraktur kompresi/crush di fisis. Fraktur ini berpotensi menggangu matriks sel germinal, regio hipertrofik, dan pasokan vaskular sehingga berpotensi menghentikan pertumbuhan tulang.


Gambar 114. Fraktur Salter-Harris tipe 5. Foto ankle dan wrist proyeksi AP menunjukkan fraktur impaksi epifisis distal tibia dan radius Gambar 115. Gambar skematik klasifikasi Salter Harris


16.15.5. Complete Fracture • Fraktur lengkap terdiri dari fraktur spiral, oblique, dan transvers. • Fraktur spiral umumnya terjadi pada trauma dengan kecepatan rendah dan Gerakan yang berputar • Fraktur oblique umumnya memiliki garis fraktur dengan sudut kemiringan 30 derajat. Umumnya disertai dengan kerusakan jaringan lunak dan periosteum • Fraktur transvers umumnya terjadi akibat pembengkokan 3 titik. Periosteum di sisi berlawanan umumnya robek. 16.15.6. Cedera Apofisis • Apofisis adalah pusat osifikasi sekunder yang berfungsi sebagai tempat insersi tendon pada tulang anak-anak. Aposisis memiliki fisis terkait pembentukan tulang tapi tidak berkontribusi pada kepanjangan tulang. • Gangguan pada musculotendinous dan kerapuhan fisis membuat apofisis rentan cedera. Trauma atau kontraksi otot tidak seimbang dapat menyebabkan avulsi apofisis dan berpotensi mencederai ligamen. • Lokasi umum: epikondilus medial humerus, prosesus stiloideus ulna, apofisis sekitar panggul, sisi inferior patella, tuberositas tibia di lutut, dan maleolus medial dan lateral Gambar 116. Fraktur trokanter minor perempuan usia 15 tahun akibat jatuh. (A) proyeksi frontal pelvis dan panggul pada evaluasi awal menunjukkan perpindahan superior apofisis trokanter minor kanan pada insersi distal otot iliopsoas (panah). (B) proyeksi frontal 3 bulan setelah cedera menunjukkan pembentukan kalus (panah putus-putus) sesuai dengan penyembuhan. 16.15.7. Cedera Chondro-osseous dan ligamen • Pada tulang anak-anak, fisis lebih rapuh daripada struktur ligamen. • Cedera ACL adalah cedera paling umum di lutut. Pada anak-anak cedera ini dapat berupa avulsi tibial spine. Fraktur avulsi tibial spine jarang terjadi bersamaan dengan cedera ACL. • Avulsi tibial spine susah terlihat melalui radiografi konvensional dan hanya menunjukkan efusi sendi. Proyeksi oblique dan tunnel view membantu menilai fraktur ini. Untuk memastikan derajat perpindahan fragmen fraktur


dapati menggunakan MRI. Cedera ini umumnya berkaitan dengan ligamen kolateral dan meniscus Gambar 117. Fraktur avulsi tibial spine pada anak laki-laki berusia 14 tahun setelah terjadi bermain basket. (A) radiofrafi proyeksi frontal lutut menunjukkan fraktur avulsi (panah) dari tibial spine (panah putus-putus), dan fraktur Segond di tibial lateral. (B)MRI sagittal dengan intermediate-weighted memastikan avulsi lengkap (panah) spina tibia dengan ACL (panah putus-putus) yang utuh. Hemarthrosis terlihat (kepala panah) 16.15.8. Abnormalitas pertumbuhan dan penutupan lempeng pertubuhan • Penutupan lempeng pertumbuhan pada anak-anak paling sering disebabkan oleh trauma. Hal ini dipengaruhi oleh usia anak, tulang yang bersangkutan, dan lokasi trauma • Pasien yang lebih muda dengan potensi pertumbuhan lebih besar memiliki risiko lebih tinggi mengalami komplikasi pertumbuhan tulang yang lebih parah. Jembatan tulang di pinggiran fisis dapat menyebabkan kelainan bentuk sudut, dan jembatan tulang di tengah fisis dapat menyebabkan terhentinya pertumbuhan dan panjang ekstremitas yang tidak seimbang. • Femur distal dan tibia proksimal dan distal memiliki kecenderungan paling besar untuk komplikasi abnormalitas pertumbuhan karena kontur fisisnya tidak beraturan dan potensi pertumbuhan yang tinggi • Radiografi konvensional menunjukkan jembatan tulang 6-12 bulan setelah cedera. MRI dengan pengaturan 3-dimensi spoiled gradient recalled echo sequences with fat suppression menunjukkan diskontinuitas fisis lebih awal dan memberikan informasi prognostik.


Gambar 118. Penutupan fisis premature pada tibia distal dengan deformitas pembengkokan dan perbedaan panjang tungkai. (A) gambar CT frontal dan (B) sagittal menunjukkan fraktur kompleks Salter Harris tipe 4 (panah) pada tibia distal dan fraktur kecil SH tipe 2 (kepala panah) pada fibula distal saat anak berusia 3 tahun. (C) radiofrafi lateral pergelangan kaki diperoleh 6 bulan setelah cedera menunjukkan penutupan premature sebagian fisis (panah putus-putus) dengan deformitas varus sendi pergelangan kaki terkait dengan pertumbuhan fisis fibula distal yang terbuka (panah). (D) gambar CT sagital menunjukkan jembatan tulang (panah putus-putus). (E) orthoroentgenogram diperoleh setelah 7 tahun cedera menunjukkan perbaikan deformitas varus pergelangan kaki kiri, namun terdapat perbedaan panjang kaki sebesar 3 cm dan kemiringan panggul ke arah kanan, sekunder akibat penutupan fisis tibia distal kiri secara premature. 16.15.9. Fraktur patologis • Fraktur patologis dapat diakibatkan tumor jinak dan ganas. • Unicameral bone cyst adalah kesi jinak yang cukup umum pada anak-anak yang berhubungan dengan kecenderugan fraktur patologis. • Ciri radiografis: lokasi intramedular sentral dengan penipisan korteks yang berdekatan dengan metafisis humerus atau femur proksimal. Setelah fraktur patologis, fragmen kecil korteks bergantung dapat dilihat di bagian tengah rongga cairan lesi kistik.


Gambar 119. Anak berusia 13 tahun dengan nyeri ekstremitas atas setelah terjatuh. (A) proyeksi frontal bahu kanan menunjukkan fraktur patologis kominutif dengan fragmen korteks di dalam les bone cyst (panah). (B) MRI koronal STIR memastikan fragmen (panah) berada di dalam unicameral bone cyst. Subperiostela hematoma (kepala panah) terlihat 16.16. Pitfalls 16.16.1.Variasi anatomi dengan gejala simptomatis • Ada beberapa variasi muskuloskeletal kongenital dan variasi pertumbuhan dan berhubungan dengan nyeri. o Meniscus lateral discoid bisa menyebabkan knee locking dan nyeri sendi lateral. Mesniskus ini rentan robek. Kriteria pencitraan MRI untuk diagnosis ini meliputi perluasan meniscus ke medial sendi (>13 mm transversal, atau 2 mm lebih besar dalam ketinggian di bidang koronal, dan adanya 3 atau 5 mm potongan berurutan yang menunjukkan kontinuitas anterior dan posterior horn pada bidang sagittal


Gambar 120. anak berusia 7 tahun dengan nyeri lutut kiri dan sensasi locking akibat meniskus lateral diskoid. MRI koronal dengan sequens intermediate-wheighted menunjukkan pembesaran meniscus lateral (panah) di bagian tengah dari kondilus femur lateral. Diameter transvers terukur 20 mm. o Tarsal Coalition adalah abnormalitas umum dari hindfoot. 50% koalisi bersifat bilateral. Koalisi talocalcaneal dan calcaneonavicular adalah koalisi tarsal yang paling umum. Gambaran radiografi dari koalisi kalkaneonavikular mencakup visualisasi perubahan tulang atau fibrokartilaginosa abnormal antara kalkaneus dan navikuler pada radiografi oblique medial kaki, dan pemanjangan prosesus anterior kalkaneus pada proyeksi lateral. Dorsal beaking talus dan continuous Csign dapat dilihat pada radiografi lateral dengan adanya koalisi talocalcaneal. Pencitraan CT dan MRI lebih sensitif dibandingkan radiografi dan dapat digunakan secara efektif untuk evaluasi pengobatan koalisi subtalar


Gambar 121. Koalisi talocalcaneal pada anak perempuan berusia 12 tahun dengan nyeri pergelangan kaki kiri dan keram. (A) Radiografi proyeksi lateral menunjukkan dorsal beaking (panah) talus dan continuous C-sign (kepala panah). (B) MRI koronal T1 weighted memastikan koalisi lengkap tulang (panah putus-putus) antara talus dan calcaneus. o Bipartide, Tripartide patella adalah kegagalan fusi nukleus osifikasi aksesori patella dengan pusat osifikasi primer pada anak remaja. Nukleus osifikasi asesori ini muncul sekitar anak berusia 12 tahun dan menjadi simptomatik bila terlalu sering digunakan, terkena trauma, atau melakukan kegiatan atletik yang berat. Gambar 122. Radiofrafi anterior dan skyline lutut. (A dan B) menunjukkan garis radiolusen antara 2 fragmen patela dengan margin yang tegas dan sklerotik , merupakan gambaran bipartide patella


BAB XVII PRINSIP RESUSITASI PADA POLITRAUMA 17.1. Pendahuluan Trauma masih menjadi penyebab utama kematian pada populasi usia muda (< 40 tahun) di seluruh dunia, serta memberikan dampak yang signifikan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Sekitar 40% kematian yang terjadi pada kasus trauma disebabkan karena perdarahan yang hebat.1 Tingkat mortalitas ini selanjutnya dapat meningkat hingga 90% pada negara dengan pendapatan per kapita menengah bawah.2 Trauma tumpul dada sendiri dapat menyumbang hingga 20-25% kematian yang terjadi akibat trauma. Secara statistik, kejadian trauma tumpul cenderung lebih sering terjadi dibandingkan dengan trauma tembus, serta umumnya disertai dengan cedera pada ekstremitas (terutama patah tulang panjang dan patah tulang panggul) dan batang tubuh (regio toraks, abdomen, dan tulang belakang). Peningkatan kualitas dari sistem kesehatan masyarakat dan tatalaksana pra rumah sakit bagi pasien trauma meningkatkan jumlah pasien dengan trauma berat yang dapat diselamatkan. Hal ini seiring dengan semakin banyaknya pasien yang dapat mencapai rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan lebih lanjut.3 Pasien dengan trauma berat seringkali mengalami cedera pada beberapa organ tubuh (politrauma) yang disertai dengan perdarahan hebat dan berujung pada kondisi syok. Kombinasi dari kondisi asidosis, hipotermia, dan koagulopati yang terjadi pada kasus trauma berat dikenal dengan istilah lethal triad atau triad of death. Acute traumatic coagulopathy (ATC) merupakan gangguan koagulasi yang terjadi pasca trauma. Secara patofisiologi, ATC merupakan kombinasi antara respons alami tubuh terhadap kejadian trauma dan akibat dari tatalaksana resusitasi trauma yang dilakukan dengan cara yang tidak tepat. Hal ini yang kemudian mendasari munculnya paradigma resusitasi baru yang dikenal dengan istilah Damage Control Resuscitation (DCR), yaitu suatu strategi resusitasi yang bertujuan untuk mencegah kejadian triad of death dan membatasi gangguan fisiologi berat yang menyertainya.4 Kejadian politrauma seringkali bersifat kompleks dan mengancam nyawa, seringa dalam penanganannya membutuhkan pendekatan khusus. Penilaian derajat


2 keparahan pada pasien politrauma merupakan hal yang sangat krusial karena sangat menentukan perencanaan dari tindakan selanjutnya yang perlu dilakukan dengan segera. Meski begitu, hingga saat ini masih belum ada standarisasi penilaian yang sifatnya baku. Menurut konsensus terbaru, kejadian politrauma merujuk pada trauma yang menyebabkan dua atau lebih cedera dengan nilai abbreviated injury score (AIS) ≥ 3 disertai dengan satu atau lebih diagnosis tambahan, yaitu hipotensi, penurunan kesadaran, asidosis, koagulopati, dan geriatri.5 Pembedahan definitif yang bertujuan untuk mengoreksi seluruh cedera dalam satu sesi dapat berakibat fatal apabila dilakukan pada kasus trauma dengan manifestasi triad of death. Rekomendasi dalam menangani kondisi yang mengancam nyawa ini merupakan suatu pendekatan bedah yang dikenal dengan istilah damage control surgery (DCS). Prinsip dari DCS cenderung lebih mengutamakan pemulihan dari fungsi fisiologis dibandingkan dengan perbaikan anatomis, serta bertujuan untuk mengendalikan perdarahan dan kontaminasi dalam waktu singkat. Setelah terkendali, target selanjutnya dari DCR adalah memperbaiki fungsi fisiologis pasien untuk selanjutnya dilakukan terapi definitif. Implementasi DCS terbukti mampu meningkatkan kelangsungan hidup secara dramatis pada pasien yang mengalami cedera yang sangat berat.4 Tatalaksana fraktur pada pasien dengan cedera berat di beberapa bagian tubuh, seperti kepala, toraks, abdomen, atau pelvis, yang disertai dengan perdarahan telah mengalami perubahan yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Pada awal tahun 1970, tatalaksana utama bagi pasien dengan fraktur tulang panjang merupakan stabilisasi dengan menggunakan metode traksi.6 Namun, imobilisasi yang berkepanjangan akibat pendekatan ini menimbulkan berbagai komplikasi, seperti pneumonia, atrofi otot, dan kejadian tromboemboli.7 Prinsip tatalaksana tersebut kemudian digantikan dengan aarly total care (ETC) yang terbukti dapat menurunkan angka kejadian komplikasi paru, serta memperpendek lama perawatan di unit perawatan intensif maupun di rumah sakit secara keseluruhan. Beberapa studi lainnya juga telah mengonfirmasi bahwa fiksasi fraktur yang lebih awal memungkinkan dilakukannya mobilisasi secara dini, sehingga menurunkan risiko hilangnya massa otot, penggunaan farmakoterapi tangka panjang, serta kejadian infeksi pada daerah


3 luka operasi.8,9 Konsep ini kemudian menjadi standar dalam tatalaksana politrauma pada tahun 1980 hingga 1990 awal dan menjadi semakin populer karena didukung oleh kemajuan dari teknik osteosintesis dan implan pada masa tersebut. Namun demikian, pendekatan ETC selanjutnya juga menuai kritik dari beberapa ahli karena dianggap kurang tepat dan berbahaya apabila diterapkan pada kelompok pasien tertentu. Hal ini karena pendekatan ETC dapat memicu terjadinya respon inflamasi yang tidak terkendali, sehingga memicu terjadinya acute respiratory distress syndrome (ARDS) dan multiple organ failure (MOF) yang pada akhirnya justru meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas.10–12 Beberapa bukti klinis menyatakan bahwa stabilisasi definitif yang bertujuan untuk mengoreksi seluruh fraktur dalam satu sesi tindakan pada pasien dengan cedera berat justru dapat berdampak buruk. Hal ini selanjutnya menggeser paradigma dalam menangani pasien dengan cedera ektremitas berat menjadi damage control rrthopaedic (DCO) yang merupakan modifikasi dari konsep DCS.13,14 Pendekatan DCO membedakan tatalaksana dari kelompok pasien yang dapat menoleransi prosedur pembedahan jangka panjang dan kelompok pasien dengan hemodinamik tidak stabil yang membutuhkan prosedur pembedahan yang lebih singkat.15 Hingga saat ini, konsep DCO telah diterima secara luas untuk menangani pasien dengan luka berat yang cenderung tidak stabil karena memberikan luaran klinis yang lebih baik. Prinsip dasar DCO meliputi stabilisasi kondisi umum pasien terkait cedera yang mengancam nyawa dengan melakukan fiksasi terhadap fraktur tulang panjang menggunakan kerangka eksternal yang bersifat invasif minimal. Selanjutnya, tatalaksana berupa fiksasi definitif terhadap fraktur baru akan dilakukan setelah gangguan fungsi metabolik dan kejadian gagal organ telah teratasi.5 Selain resusitasi yang tidak adekuat, teknik resusitasi yang tidak tepat juga dapat menimbulkan masalah baru bagi pasien dengan politrauma. Resusitasi klasik dengan mempertahankan patensi jalan napas, pemberian terapi oksigen dan dukungan pernapasan, resusitasi cairan, serta tatalaksana terhadap kejadian syok tetap menjadi prosedur resusitasi utama dalam menaganani pasien dengan trauma berat. Meski begitu, penerapan konsep DCR dalam menangani pasien dengan trauma yang kompleks terbukti mampu menghasilkan luaran klinis yang lebih baik.16 Kualitas


4 perawatan bagi pasien trauma dengan perdarahan dapat dinilai dengan menilai kepatuhan terhadap pelaksanaan standar berikut: (1) jeda waktu antara dimulainya intervensi pembedahan atau embolisasi untuk menghentikan perdarahan pada pasien dengan hipotensi yang tidak berespons terhadap resusitasi awal, (2) jeda waktu antara kedatangan pasien di rumah sakit sampai dengan didapatkannya hasil pemeriksaan faal koagulasi, yang meliputi hitung darah lengkap (DL), waktu protrombin, fibrinogen, kalsium, dan tes viskoelastik (bila tersedia), (3) proporsi pasien yang menerima terapi secara tepat berdasarkan hasil pemeriksaan kimia darah dan faal koagulasi, (4) proporsi pasien yang menerima asam traneksamat dalam rentang waktu 3 jam setelah terjadinya cedera, (5) implementasi DCS sesuai dengan rekomendasi yang tersedia, serta (6) implementasi terapi tromboprofilaksis sesuai dengan rekomendasi yang tersedia.17 Bukti dan teori yang telah berkembang hingga saat ini menunjukan bahwa tatalaksana awal bagi pasien trauma sangat menentukan luaran klinis pada fase selanjutnya. Tatalaksana pasien trauma idealnya dimulai sejak periode pra rumah sakit karena resusitasi awal yang tidak adekuat dan sistem penanganan trauma yang tidak baik dapat menyebabkan kejadian hipoksia yang berkepanjangan, sehingga meningkatkan angka kejadian morbiditas dan mortalitas. Sistem penanganan trauma pada negara dengan pendapatan menengah ke bawah masih menjadi suatu masalah yang besar. Keterlambatan transportasi, ketidakmampuan dalam melakukan pemeriksaan penunjang diagnosis secara cepat, keterbatasan dalam menyediakan darah dan komponen darah, serta buruknya organisasi penanganan trauma selama di rumah sakit maupun fase pra rumah sakit masih menjadi masalah serius yang sulit untuk diselesaikan hingga saat ini. Topik bahasan dalam bab ini meliputi resusitasi pada kejadian politrauma yang diharapkan dapat menambah wawasan pembaca dalam memperbaiki luaran klinis dari kondisi pasien dengan politrauma. 17.2. Patofisiologi Hipoksia Pada Trauma Oksigen merupakan akseptor karbon yang berperan penting menjadi bahan bakar bagi berbagai metabolisme yang menghasilkan energi. Oleh sebab itu, pengaturan konsumsi oksigen (VO2) pada pasien sehat tanpa trauma atau sepsis cenderung sangat ketat. Perdarahan yang terjadi pada kasus trauma menyebabkan


5 terjadinya defisit intravaskular (hipovolemia), sehingga menurunkan aliran darah dan suplai oksigen (DO2) ke jaringan. Penurunan DO2 hingga mencapai batas kritis menunjukan bahwa ekstraksi oksigen tidak lagi dapat ditingkatkan sehingga akan terjadi penurunan jumlah konsumsi oksigen (VO2) jaringan. Hal ini akan menyebabkan terjadinya kondisi syok dan perubahan metabolisme menjadi metabolisme iskemik (anaerob). Keadaan ini tidak hanya disebabkan oleh karena syok hipovolemik, namun juga syok kardiogenik, vasodilatasi, ataupun obstruktif yang mungkin menyertai kejadian trauma.18 Oxygen debt (O2D) terjadi ketika penggunaan oksigen telah mencapai tingkat kritis. Dalam literatur, istilah oxygen debt maupun defisit oksigen seringkali digunakan secara bergantian dan didefinisikan sebagai perbedaan integral antara VO2 normal selama fase istirahat sebelum terjadinya perdarahan dan/atau trauma dengan VO2 ketika telah terjadi hipovolemia akibat perdarahan. Derajat keparahan dari O2D dapat dinilai dengan mengukur peningkatan dari kadar laktat selama proses metabolisme anaerob. Perhitungan derajat syok iskemik secara tepat pada hewan dan manusia dapat dilakukan oleh karena adanya kaitan yang sangat erat antara O2D dan asidemia.18 Nilai VO2 istirahat pada pria sehat usia muda rata-rata bernilai 140 ml/menit/m2. Penurunan nilai VO2 yang terjadi akibat berkurangnya aliran darah ke jaringan menyebabkan perfusi oksigen ke jaringan menjadi terganggu. Perbedaan antara kebutuhan oksidatif yang diperlukan untuk metabolisme dengan suplai oksigen mengakibatkan terjadinya O2D. Secara fisiologis, keadaan oxygen debt dapat ditangani secara cepat apabila resusitasi dilakukan ketika kejadian metabolic debt belum mencapai ambang batas yang bersifat fatal. Hal ini diseabkan karena pada keadaan tersebut, perbaikan VO2 dapat mengalami overshoot oleh karena terjadinya metabolisme oksidatif pada periode reperfusi terhadap produk asam metabolik yang sebelumnya tidak dapat dimetabolisme. Proses tersebut dipengaruhi oleh peningkatan DO2 yang terjadi akibat peningkatan curah jantung selama keadaan hiperdinamik.18,19


Orthopaedic and Traumatology Emergency Course [OTEC] Trial

Enter your Authorization ID to access.

Enter
Click to View FlipBook Version