The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Prosiding Industri Hijau 2021 - BSKJI Kemenperin

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by boejanxelana, 2021-09-26 20:43:31

Prosiding Seminar Industri Hijau

Prosiding Industri Hijau 2021 - BSKJI Kemenperin

Keywords: industri,hijau

PROSIDING

SEMINAR INDUSTRI HIJAU 2021

Tema:

“Pembangunan Industri Berkelanjutan
Melalui Penerapan Industri Hijau”

Jakarta, 14 Juli 2021

BALAI RISET DAN STANDARDISASI INDUSTRI BANJARBARU
BADAN STANDARDISASI DAN KEBIJAKAN JASA INDUSTRI

KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN
2021

PROSIDING
SEMINAR INDUSTRI HIJAU 2021

“Pembangunan Industri Berkelanjutan Melalui Penerapan Industri Hijau”

STEERING COMMITTEE

Pengarah : Dr. Ir. Doddy Rahadi, M.T.
(Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri)
Penanggung jawab : Budi Setiawan, S.T., M.M
(Kepala Balai Riset dan Standardisasi Industri Banjarbaru)

ORGANIZING COMMITTEE : Ratri Yuli Lestari, S.Hut., M.Env.
Ketua Panitia : Muhammad Khalish Hafizh, S.T.
Sekretaris
Mochamad Fathi Rizqullah, S.Si.

Seksi Acara dan Materi : Dr. Evy Setiawati, S.Si., M.T.
Dr. Nazarni Rahmi, S.TP., M.Si.
Nurhidayati, S.Si., M.T.
Hari Wisnu Murti, ST
Hamlan Ihsan, S.Si.
Rais Salim, S.Hut.
Kartika Inderiani, S.Si.

Seksi Informasi Teknologi dan Multimedia : Vembi Danang Nuryuono, A.Md.

M. Isa Ansari

Seksi Publikasi dan Sertifikat : Muhammad Sobirin, A.Md.

Muhammad Khalish Hafizh, S.T.

Mochamad Fathi Rizqullah, S.Si.

SCIENTIFIC COMMITTEE : Dr. Evy Setiawati, S.Si., M.T.
Ketua Tim Editor : Dr. Nazarni Rahmi, S.TP., M.Si.
Tim Editor
Nurhidayati, S.Si., M.T.
Ratri Yuli Lestari, S.Hut., M.Env.
Rais Salim, S.Hut.
Hamlan Ihsan, S.Si.

Tim Reviewer : Dr. Aris Mukimin, S.Si.., M.Si.
Dr. Evy Setiawati, S.Si., M.T.

i

Layout dan Desain Grafis Prof. Sunardi, S.Si., M.Sc., Ph.D.
Dedy Widya Asiyanto, S.Si., M.Si.
Nurhidayati, S.Si., M.T.
Ratri Yuli Lestari, S.Hut., M.Env.

: Muhammad Sobirin, A.Md.
Muhammad Khalish Hafizh, S.T.
Mochamad Fathi Rizqullah, S.Si.

ISBN 978-602-73575-2-7

Penerbit:
Balai Riset dan Standardisasi Industri Banjarbaru
Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri
Kementerian Perindustrian

Redaksi:
Jalan Panglima Batur Barat No 2. Banjarbaru
Kalimantan Selatan 70711
Telp. (0511) 4774861
Fax. (0511) 4772115
Email: [email protected]

Cetakan pertama, Agustus 2021

ii

KEPALA BADAN STANDARDISASI DAN KEBIJAKAN JASA INDUSTRI
KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN
KATA SAMBUTAN

Assalamu’alaikum wr. wb,-
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga Prosiding Industri Hijau 2021 oleh Kementerian
Perindustrian dapat diterbitkan. Prosiding ini merupakan hasil seminar yang
telah diselenggarakan secara daring pada tanggal 14 Juli 2021.

Sesuai dengan salah satu tujuan pembangunan industri yang
diamanatkan pada Undang-Undang No 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian
yaitu mewujudkan industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju, serta
industri hijau. Pembangunan industri hijau secara spesifik bertujuan untuk
mewujudkan industri yang berkelanjutan dalam rangka efisiensi dan
efektivitas penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan sehingga
mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan kelangsungan dan kelestarian fungsi
lingkungan hidup dan memberikan manfaat bagi masyarakat.

Sejalan dengan kesepakatan Paris Agreement, Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa
Industri (BSKJI) aktif menjalankan amanat pembangunan industri hijau dan mendukung pencapaian
target net zero emission melalui langkah-langkah penyiapan standardisasi, penguatan lembaga
sertifikasi, dan pembinaan perusahaan industri untuk dapat memenuhi sertifikasi industri hijau serta
penyiapan kebijakan dan aktivitas jasa industri untuk industri hijau.

BSKJI melalui satuan Kerja Pusat, Balai Besar dan Baristand Industri terus aktif menjalankan
peran standardisasi dan kebijakan jasa industri hijau melalui aktivitas optimalisasi pemanfaatan
teknologi industri sehingga mampu menjadi Technology Provider dan Konsultan Teknologi, sebagai
Training Center dan Lembaga Sertifikasi, serta sebagai Konsultan Manajemen Sistem SDGs dan
Lembaga Penilai Kesesuaian SDGs dan Lembaga Validasi dan Verifikasi (LVV): Energi dan Gas
Rumah Kaca.

Akhir kata, Kegiatan seminar dan penerbitan prosiding ini kami harapkan memberikan
kontribusi dalam pembangunan industri hijau kepada masyarakat dan mengakselerasi adaptasi
pengetahuan dan wawasan CPNS untuk mendukung tugas dan fungsi BSKJI.

Wassalamu’alaikum wr. wb,-

Jakarta, 14 Juli 2021
Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri

Dr. Ir. Doddy Rahadi, MT.

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang selalu mencurahkan
rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua, serta atas ijinNya Seminar Industri Hijau
2021 dengan tema “Pembangunan Industri Berkelanjutan Melalui Penerapan Industri Hijau”,
dapat terlaksana dengan baik dan Prosiding ini dapat diterbitkan.

Tema tersebut dipilih supaya kebijakan industri hijau lebih mudah dipahami bersama oleh
seluruh pegawai di lingkungan Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI)
dengan satu kata dan satu langkah dalam menjalankan pembangunan industri hijau yang
merupakan amanat pembangunan industri dalam Undang-Undang No 3 Tahun 2014
tentang Perindustrian.

Seminar yang diselenggarakan pada tanggal 14 Juli 2021 secara virtual ini diikuti oleh 94
(Sembilan puluh empat) orang Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di lingkungan BSKJI
sebagai pemakalah oral dan 200 orang undangan. Adapun peserta pemakalah yang dibagi
menjadi 24 (dua puluh empat) kelompok dengan 7 (tujuh) sub tema, terdiri dari teknologi
proses industri yang efektif dan efisien; teknologi pengolahan limbah produksi industri;
circular economy; energi baru dan terbarukan; kebijakan iklim usaha untuk mendorong
pembangunan berkelanjutan; teknologi industri 4.0 untuk mendorong industri hijau, dan
mitigasi perubahan iklim di sektor industri.

Untuk meningkatkan capaian ekonomi dan pertumbuhan industri hijau, Kementerian
Perindustrian telah menetapkan target dan rencana aksi untuk tahun 2021 – 2030 untuk
penguatan kebijakan, peningkatan infrastruktur, peningkatan penerapan industri hijau.
Dalam mencapai kegiatan tersebut, beberapa hal yang dapat dilaksanakan, antara lain
penyusunan standard industri hijau, penunjukkan lembaga sertifikasi industri hijau baru,
penyusunan pedoman penerapan industri hijau, sosialisasi dan promosi industri hijau,
bimbingan teknis penerapan industri hijau, pelatihan dan pendampingan sertifikasi industri
hijau, dan pelaksanaan program nasional seperti penurunan emisi gas rumah kaca,
pengelolaan sampah, circular economy). Diharapkan dengan rencana aksi tersebut, mampu
meningkatkan daya saing industri, efisiensi sumber daya alam, penurunan tingkat
pencemaran dan pemenuhan program nasional.

Atas terselenggaranya seminar dan terselesaikannya prosiding ini, panitia menyampaikan
penghargaan setinggi-tingginya disertai ucapan terimakasih kepada Kepala Badan
Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri yang telah berkenan memberikan arahan dan
membuka secara resmi seminar industri hijau, Sekretaris BSKJI, Kepala Pusat, Kepala
Satker di lingkungan BSKJI dan semua pihak yang telah membantu kelancaran kegiatan ini,
terutama kepada para keynote speaker atas motivasinya, dan kepada para reviewer atas
masukannya, kepada para pemakalah atas kontribusi pemikirannya, dan kepada para
peserta atas partisipasinya. Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa meridhoi semua
usaha baik kita.

Akhir kata, panitia menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas segala
kekurangan dalam penyelenggaraan seminar ini, mulai saat kegiatan hingga terbitnya
prosiding ini.

Jakarta, Juli 2021

Tim Redaksi

iv

DAFTAR ISI

TIM REDAKSI.................................................................................................................. i
KATA SAMBUTAN KEPALA BSKJI…………….……....………………………………… iii
KATA PENGANTAR TIM REDAKSI………………………………………………………. iv
vi
DAFTAR ISI…………………….………………………………………………………….......

TEKNOLOGI PROSES INDUSTRI YANG EFEKTIF DAN EFISIEN 1-14
Teknologi dan proses industri yang efektif dan efisien dalam upaya penurunan
emisi gas CO2……………………..……...………………………………………………. 15-24
25-36
Sirkularitas dalam produk, proses, dan layanan kimia hijau: Rute inovatif 37-44
berdasarkan desain ramah lingkungan dan sistem solusi
terintegrasi (Review)...................................................................................................

Penggunaan Pelarut Organosolv Sebagai Upaya Peningkatan Efektifitas
dan Efisiensi Teknologi Proses Industri Pulp ………...…………………………………

Penurunan Downtime Pengelasan Radiator Akibat Water Hammer
Pada Area Flash Dryer Mesin Produksi Tapioka ………..…………………………….

TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH PRODUKSI INDUSTRI 45-56
Potensi Ozonasi Katalitik dalam Pengolahan Air Limbah Industri Tekstil di 57-68
Indonesia (Review)……..……………………………………………….………............... 69-78

Potensi Teknologi pada Unit Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sebagai 79-84
Solusi Pengolahan Air Limbah pada Industri Tekstil di Indonesia ..………..............

Teknologi Pengolahan Limbah POME (Palm Oil Mill Effluent) dengan Sistem
Anaerobik di Industri Kelapa Sawit………………..…………………………................

Teknologi Pengolahan Kandungan Kromium pada Limbah Industri Penyamakan
Kulit dengan Metode Koagulasi……………………………….....................................

CIRCULAR ECONOMY (4R)
Penerapan circular economy pada proses penyamakan kulit dengan metode
reduce, recycle, recovery dan reuse……..…………..…………………………............. 85-92

4R Pengolahan Limbah Plastik Sebagai Campuran Aspal..…………………………… 93-102

Identifikasi penerapan circular economy pada teknologi destilator limbah plastik
muryani sebagai alternatif bbm……………………..…………………………………….. 103-112

Penerapan circular economy pada limbah kertas dan kardus menjadi
penyerap sisa fluida cair dalam industry………..……………………………………….. 113-124

ENERGI BARU DAN TERBARUKAN

Kultivasi Botryococcus braunii dengan Optimasi Intensitas Cahaya untuk 125-134

Meningkatkan Biomassa dan Produksi Hidrokarbon…….……………….……………

Pengembangan Dan Efisiensi Penggunaan Bioenergi Sebagai Energi Alternatif 135-148
Pengganti Energi Fosil Di Masa Depan (Review)………………………………………

Pemanfaatan limbah septik-tank sebagai potensi sumber energi biogas….……….. 149-158

KEBIJAKAN IKLIM USAHA UNTUK MENDORONG PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN

Kebijakan Sustainable Develoments Goals (SDGs) yang Berwawasan
Lingkungan Indonesia di Era New Normal Covid 19..……………………………....... 159-172
Quality Assurance Berbasis Industri Hijau Pada IKM Pangan…….…...…..…………. 173-180

v

TEKNOLOGI INDUSTRI 4.0 UNTUK MENDORONG INDUSTRI HIJAU
Penerapan teknologi pemantauan air limbah berbasis real time Application
of real time based wastewater monitoring technology……...…………………………… 181-190
Smart Water Monitoring, Pemantauan kualitas air secara real time yang

berbasis IoT………………...……………………………………………………………….. 191-202
Implementasi Internet of Things pada Pengelolaan Emisi Gas Rumah Kaca
di Industri (Review)………………...……………………………………………………….. 203-218

MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI SEKTOR INDUSTRI
Penggunaan Teknologi Carbon Capture dengan Fotobioreaktor Mikroalga Untuk
Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca………………………………………………………… 219-226
Reklamasi Lahan Eks Tambang Untuk Mitigasi Perubahan Iklim Mendukung
Keberlanjutan Pembangunan di Sektor Pertanian…………………...…......…………. 227-236
Strategi menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada industri pupuk………… 237-250

vi

vii

TEKNOLOGI PROSES INDUSTRI
YANG

EFEKTIF DAN EFISIEN



Teknologi dan proses industri yang efektif dan efisien dalam upaya penurunan …..Febrian Dwi Surya, et al.

Teknologi dan proses industri yang efektif dan efisien dalam upaya
penurunan emisi gas CO2

Technology and industrial process that effective and efficient in efforts to reduce
CO2 gas emissions

Febrian Dwi Suryaa,*,Adityo Danujo Utomob,Friendly Permadi Simamorab,
Ayu Sarah Safitric

a Balai Besar Bahan dan Barang Teknik
Jl. Sangkuriang No.14, Kota Bandung, Indonesia

b Balai Besar Kerajinan dan Batik
Jl. Kusumanegara No.7, Kota Yogyakarta, Indonesia

c Balai Riset dan Standardisasi Industri Surabaya
Jl. Jagir Wonokromo No. 360, Kota Surabaya, Indonesia

*[email protected]

ABSTRAK

Global warming yang menjadi permasalah lingkungan dalam beberapa tahun
terakhir ini diakibatkan oleh meningkatnya efek gas rumah kaca. Indonesia berkomitmen
untuk menurunkan gas rumah kaca sebesar 26% pada tahun 2020 sebagai bentuk
partisipasi pengurangan emisi gas rumah kaca. Gas rumah kaca yang memiliki global
warming potentials (GWPs) dengan konsentrasi terbanyak di atmosfer adalah gas CO2.
Gas CO2 dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil, kegiatan proses produksi dan
industri, aktivitas pertanian, limbah, serta perubahan penggunaan lahan. Karya tulis ini
merupakan hasil dari studi literatur yang membahas tentang emisi gas CO2 pada industri
berserta peluang-peluang untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pada proses
industri dan penggunaan teknologi proses industri sebagai upaya mengurangi emisi gas
CO2.

Kata Kunci : global warming, gas rumah kaca, efektif, efisien

ABSTRACT

Global warming which has become an environmental problem in recent years is
caused by the increasing effect of greenhouse gases. Indonesia is committed to reducing
greenhouse gases by 26% by 2020 as a form of participation in reducing greenhouse gas
emissions. The greenhouse gas that has global warming potentials (GWPs) with the
highest concentration in the atmosphere is CO2. CO2 gas is produced from the burning of
fossil fuels, production process and industrial activities, agricultural activities, waste, and
changes in land use. This paper is the result of a literature study that discusses CO2 gas
emissions in industry along with opportunities to increase effectiveness and efficiency in
industrial processes and the use of industrial process technology as an effort to reduce
CO2 gas emissions.

Keywords : global warming, greenhouse gases, effective, efficient

I. PENDAHULUAN
Istilah global warming atau pemanasan global sudah menjadi isu yang telah

diperbincangkan selama bertahun-tahun terakhir. Pemanasan global berkaitan erat
dengan Gas Rumah Kaca (GRK). Namun, pemahaman tentang gas rumah kaca masih
belum bisa dipahami dengan benar oleh masyarakat.

GRK pada lapisan atmosfer bagian bawah dekat dengan permukaan bumi berfungsi
untuk menyerap sebagian radiasi inframerah sinar matahari yang dipancarkan kembali
dari bumi sehingga menimbulkan efek panas yang kita kenal dengan Efek Rumah
Kaca. Konsentrasi GRK semakin meningkat akibat kegiatan manusia (antropogenik).

Hal |1

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 1 - 14
Konsentrasi yang semakin meningkat inilah yang kemudian menimbulkan global warming
yang bertahun-tahun terakhir diperbincangkan akibat panas dari Efek Rumah Kaca yang
semakin meningkat (Kementerian Lingkungan Hidup 2012).

GRK pada atmosfer yang memiliki global warming potentials (GWPs) yang memiliki
kandungan terbanyak di atmosfer adalah CO2, kemudian disusul oleh CH4 dan N2O.
Ketiga GRK ini dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil, kegiatan proses produksi
dan industri, aktivitas pertanian, limbah, serta perubahan penggunaan lahan (Wei,
Yerushalmi, and Haghighat 2008). Kegiatan manusia (antropogenik) telah dibagi dalam 4
sektor, yaitu penggunaan energi; proses industri dan penggunaan produk; pertanian,
kehutanan dan penggunaan lahan; serta limbah telah berperan besar dalam
menghasilkan CO2, CH4 dan N2O (Penman et al. 2006). Gambar 1. merupakan ilustrasi
dari kegiatan manusia yang menghasilkan CO2, CH4 dan N2O secara langsung maupun
tidak langsung.

Gambar 1. Emisi CO2, CH4 dan N2O secara langsung dan tidak langsung (IPCC 2008)

Pada tahun 2012, konsentrasi CO2 di atmosfer adalah sekitar 383 ppm (part per
million) atau sekitar 0.0383% volume atmosfer (Kementerian Lingkungan Hidup 2012).
Sedangkan pada tahun 2015, konsentrasi CO2 sudah mencapai 399 ppm. Rata-rata
peningkatan CO2 sekitar 2%/tahun pada 10 tahun terakhir (International Energy Agency
2016). Para ilmuwan berpendapat batas aman konsentrasi CO2 di atmosfer adalah 350-
550 ppm untuk mencegah pencairan es di kutub (Rockstorm et al. 2013). Konsentrasi gas
CO2 akan semakin meningkat di atmosfer tiap tahunnya yang diakibatkan oleh aktivitas
manusia (Subkhan 2017). Cina, Amerika, India, Rusia, dan Jepang adalah lima negara
sebagai kontributor utama dalam penghasil emisi gas CO2 dengan kontribusi lebih dari
setengah hasil emisi gas CO2 di seluruh dunia dilakukan oleh kelima negara ini sehingga
kelima negara ini seharusnya bertanggungjawab dalam penanganan emisinya (Boubou et
al. 2021). Sedangkan Indonesia berada pada peringkat 12 dalam penggunaan total
energy supply di dunia (International Energy Agency World Energy Balances 2020).
Tentunya, penggunaan energi ini akan menghasilkan emisi gas CO2. Tabel 2
menunjukkan persentase total energy supply per negara dari seluruh total total energy
supply dunia dalam juta ton. Gambar 2 menunjukkan trend emisi gas CO2 di dunia dari
tahun 1990.

Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26% pada
tahun 2020 (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional 2011), oleh karena itu
perlu aksi nyata supaya gambaran dan pelaksanaan komitmen itu dapat terwujud, yaitu
dengan meningkatkan proses industri sehingga lebih efektif dan efisien serta penerapan
teknologi-teknologi proses industri dalam upaya penurunan emisi gas CO2. Dalam jurnal
ini akan dipaparkan beberapa upaya pengurangan emisi gas CO2 dengan meningkatkan

Hal | 2

Teknologi dan proses industri yang efektif dan efisien dalam upaya penurunan …..Febrian Dwi Surya, et al.

efektifitas dan efisiensi melalui analisa proses industri seperti pada industri gula di Pabrik
Gula Lestari PT. Perkebunan Nusantara X (Persero) Tbk. Jurnal ini memaparkan
perhitungan emisi karbon dari pengiriman bahan hingga proses pengolahan gula
(penggunaan bahan bakar dan energi listrik yang turut menghasilkan CO2) serta upaya
yang bisa dilakukan Pabrik Gula Lestari untuk mengurangi emisi karbon dalam produksi
pembuatan gula. Selain itu pada jurnal lainnya yang membahas mengenai teknologi yang
dapat membantu mengurangi emisi gas CO2 di bidang proses industry,yaitu Calcium
Looping Technology (Teknologi Pengulangan Kalsium) dan Carbon Capture Storage.
Calcium Looping Technology ini dimaksudkan untuk memisahkan karbon dioksida murni
dari cerobong pembuangan menggunakan kalsium oksida. Karbon dioksida murni yang
berhasil dipisahkan dari gas pembuangan dapat disimpan, digunakan dalam proses EOR
(Enhanced Oil Recovery) atau dapat digunakan sebagai bahan baku kimia. Sedangkan
Carbon Capture Storage adalah sebuah teknologi atau metode untuk mengurangi emisi
CO2 dengan cara mengumpulkan gas-gas CO2, kemudian diangkut dan disimpan menuju
lokasi penyimpanan yang terletak di dalam tanah, laut, atau bisa digunakan kembali pada
proses industry.

Tabel 1. Persentase total energy supply per negara dalam juta ton (International energy

agency world energy balances 2020)

Negara TES Share in world TES
(Mtoe)
1971 2018

RRC 3196 7.1% 22.4%

Amerika Serikat 2231 28.8% 15.6%

India 919 2.8% 6.4%

Rusia 759 - 5.3%

Jepang 426 4.8% 3.0%

Jerman 302 5.5% 2.1%

Kanada 298 2.6% 2.1%

Brazil 287 1.3% 2.0%

Korea 282 0.3% 2.0%

Iran 266 0.3% 1.9%

Perancis 246 2.9% 1.7%

Indonesia 231 0.6% 1.6%

Dunia 14282 100.0% 100.0%

Gambar 2. Emisi gas CO2 di dunia dari tahun 1990 (Demirbas 2005)

Hal |3

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 1 - 14
II. Teknologi dan Proses Industri Dalam Upaya Penurunan Emisi Gas CO2
2. 1. Peluang Reduksi Emisi CO2 pada Proses Industri di Pabrik Gula Lestari

Gas rumah kaca pada industri gula berasal dari proses industrinya yang
menggunakan energi listrik, pembakaran bahan bakar fosil, serta pengolahan limbahnya
(Sihombing 2012). Emisi gas CO2 di Pabrik Gula Lestari dimulai dari pemasokan bahan
utama, proses produksi, dan proses pembakaran. Pemasokan bahan utama (tebu)
dilakukan dengan distribusi melalui transportasi darat dari berbagai kota diantaranya
Nganjuk, Kediri, Madiun, Blitar, Sidoarjo, Malang, Lamongan, dan Tuban. Proses
distribusi inilah yang kemudian melepas gas CO2 ke atmosfer. Ada 83.132 unit truk dari
semua daerah pemasok tebu selama musim giling 2013 dengan kapasitas 6 ton, 7 ton,
dan 8 ton. Selama musim giling 2013 Pabrik Gula Lestari telah memproduksi emisi CO2
sebesar 337.586,69 tCO2.

Gambar 3. Grafik hasil emisi CO2 dari transportasi (Avista, Ridho, and Hamidah 2014)
Emisi gas CO2 pada proses produksi diperoleh dari penggunaan listrik oleh mesin-

mesin produksi. Mesin-mesin produksi di Pabrik Gula Lestari memiliki motor-motor listrik
dengan efisiensi 72%-88%. Konsumsi listrik Pabrik Gula Lestari selama musim giling
2013 sebesar 17.134.898,9 kWh. Pabrik Gula Lestari pada tahun 2013 telah
memproduksi gula sebanyak 41.460,1 ton gula kristal putih dengan waktu operasi
3.441,08 jam selama 155 hari. Dari proses ini diperoleh emisi gas CO2 sebesar 15.320,79
tCO2 selama musim giling 2013.

Gambar 4. Grafik hasil emisi CO2 dari proses produksi (Avista et al. 2014)
Emisi gas CO2 pada proses pembakaran diperoleh dari pembakaran bahan bakar
stasiun ketel untuk keperluan pembakit listrik. Solar dan ampas tebu (bagasse) yang
merupakan hasil sisa proses penggilingan adalah bahan bakar yang digunakan pada
boiler. Proses pembakaran ini menghasilkan emisi gas CO2 sebesar 141.074,49 tCO2.
Dari data yang diperoleh, dapat dihitung hasil emisi gas CO2 dengan penjumlahan emisi
gas CO2 pada tiap proses, sehingga diperoleh total emisi gas CO2 sebesar 493.983,76
tCO2 (Avista et al. 2014).

Hal | 4

Teknologi dan proses industri yang efektif dan efisien dalam upaya penurunan …..Febrian Dwi Surya, et al.

Gambar 5. Grafik hasil emisi CO2 dari pembakaran (Avista et al. 2014)

Dengan menganalisa hasil emisi gas CO2 pada setiap proses dari Pabrik Gula
Lestari tahun 2013 dapat dilakukan reduksi emisi gas CO2 yang diperoleh dengan
peningkatan efektivitas maupun efisiensi dari setiap prosesnya. Menurut Avista et al
(2014) hal-hal tersebut adalah sebagai berikut. Pada proses pemasokan bahan utama
diketahui bahwa emisi gas CO2 terjadi akibat transportasi darat yang memakai bahan
bakar. Oleh karena itu, emisi gas CO2 dapat dikurangi dengan jarak tempuh yang lebih
dekat. Opsi lainnya yang bisa diterapkan adalah mengurangi jumlah unit pengangkut
bahan baku dengan menggunakan truk berkapasitas 8 ton semua, yang sebelumnya
menggunakan truk berkapasitas 6 ton dan 7 ton. Dimana jika hal ini dilakukan maka dapat
diperoleh penurunan emisi CO2 sebesar 96.672,45 tCO2 atau sebesar 24.7% dari total
emisi yang dihasilkan sebelumnya pada proses ini yakni sebesar 391.602,52 tCO2. Pada
proses produksi, penggunaan energi listrik sangat besar karena banyak mesin-mesin
produksi yang menggunakan motor listrik dengan efisiensi yang rendah. Oleh karena itu,
dengan peningkatan efisiensi motor-motor listrik atau mengganti motor-motor listrik yang
memiliki efisiensi yang rendah dengan motor listrik dengan efisiensi tertinggi yang dimiliki
Pabrik Gula Lestari yaitu 88%, maka penggunaan daya akan berkurang yang akhirnya
juga akan mengurangi emisi gas CO2. Jika dihitung, dengan menghemat listrik sebesar
12.358.712,18 kWh atau 27,87% dari penggunaan listrik sebelumnya yang sebesar
17.134.898,9 kWh maka emisi CO2 yang dapat direduksi adalah sebesar 4.283,28 tCO2
atau sekitar 27,96 % dari 15.320,79 tCO2 total emisi CO2 yang dihasilkan sebelumnya.
Pada proses pembakaran, emisi CO2 dapat direduksi dengan meningkatkan efisiensi
pada setiap ketel atau mengganti ketel yang sudah tua (berusia 30 tahun atau lebih)
sesuai dengan aturan pemerintah sehingga efisiensi akan meningkat. Hal ini dikarenakan
boiler yang berusia ± 15 tahun masih dapat menghasilkan efisiensi sebesar 70% dan
bahkan untuk boiler baru efisiensi mampu mencapai 89%. Jika memakai efisiensi 70%
maka dapat menghemat bahan bakar sebesar 15.969,1 ton bagasse sehingga emisi CO2
yang dapat direduksi adalah sebesar 13.292,32 tCO2 atau sama dengan 9,42% dari hasil
emisi CO2 sebelumnya.

2. 2. Dekarbonisasi Energi Fosil pada Proses Industri Menggunakan Calcium
Looping Technology (Teknologi Pengulangan Kalsium)
Dalam upaya untuk membatasi perubahan temperatur hingga 1.5 °C kita harus

menghilangkan 100-1000 GtCO2 dalam abad ini (Delbeke et al. 2019). Salah satu upaya
untuk menyerap karbon dioksida dalam jumlah besar adalah Calcium Looping yang
merupakan proses penyerapan CO2 menggunakan sorben padat baik natural maupun
sintetis untuk menangkap karbon dioksida dari pipa pembuangan. Dalam hal ini sistem
calcium looping disimulasikan melalui pengujian yang didasarkan pada konsep desain
dari proses siklus kalsium regeneratif menggunakan dua reaktor fluida terpisah. Gas yang
akan diproses akan masuk pada reaktor karbonasi, dimana kalsium oksida (CaO) akan
bereaksi dengan karbon dioksida (CO2) membentuk kalsium karbonat (CaCO3). Pada

Hal |5

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 1 - 14
reaktor selanjutnya, yaitu reaktor kalsinasi dengan bantuan panas tinggi akan terjadi
reaksi kebalikan yang meregenerasi sorben dan melepaskan kembali CO2. Namun
terdapat permasalah utama pada sistem penangkapan CO2 yaitu konsumsi energi untuk
melakukan penangkapan karbon yang dapat menurunkan efisiensi sistem dekarbonisasi
secara keseluruhan. Dekarbonasi kalsium karbonat bersifat eksotermis, masukan panas
tambahan harus diberikan ke reaktor kalsinasi. Paling umum, hal ini dilakukan melalui
pembakaran oxy-fuel (Astolfi, De Lena, and Romano 2019). Nilainya mencapai 10 poin
persentase bersih pada penyerapan gas-cair reaktif dan 7 poin persentase bersih pada
teknologi CaL. Suhu operasional pada pengoperasian teknologi CaL juga cukup tinggi
yaitu 500-650 °C pada reaktor karbonasi dan 850-1000 °C pada reaktor kalsinasi
(Cormos 2020).

Gambar 3. Desain konseptual dari sistem CaL untuk proses penangkapan CO2 pasca
pembakaran (Cormos et al. 2021)

Hasil simulasi dalam jurnal ini membandingkan tiga skenario operasional, kasus
pertama tanpa proses penangkapan CO2, kasus kedua dengan penangkapan CO2 pasca
pembakaran menggunakan CaL, kasus ketiga dengan penangkapan CO2 pasca
pembakaran menggunakan penyerapan gas-cair berbasis MEA (Monoethanolamine).
MEA merupakan larutan amina yang digunakan untuk melakukan penyerapan CO2 pasca
pembakaran yang membutuhkan energi regenerasi yang tinggi (Luis 2016). Pada
skenario kasus dengan simulasi penangkapan karbon baik menggunakan CaL maupun
penyerapan gas-cair berbasis MEA tingkat penangkapan karbonnya sebesar 90%.

Aplikasi penggunaan calcium looping ini disimulasikan menggunakan ChemCAD.
Model yang dikembangkan divalidasi dengan data eksperimen. Sebagai contoh ilustrasi
Gambar 4 menyajikan hasil eksperimen vs. simulasi siklus calcium looping (Cormos
2020). Grafik menunjukkan korelasi yang baik antar data. Hasil simulasi kemudian
digunakan untuk kuantifikasi indeks kinerja utama seperti konsumsi bahan bakar,
konsumsi daya tambahan, efisiensi energi keseluruhan, tingkat penangkapan karbon,
emisi CO2 spesifik dll.

Gambar 4. Validasi model siklus calcium looping

Hal | 6

Teknologi dan proses industri yang efektif dan efisien dalam upaya penurunan …..Febrian Dwi Surya, et al.

Dalam jurnal ini terdapat tiga jenis industri yang dilakukan uji simulasi data yaitu:
pembangkit listrik tenaga batubara 1000 MW (Astolfi et al. 2019); pabrik semen 4
Mt/tahun (IEAGHG, 2013); dan pabrik besi dan baja 1 Mt/tahun (IEAGHG, 2008). Dimana
ketiga sektor industri tersebut menghasilkan banyak emisi karbon.

Tabel 1. Nilai emisi CO2

Unit Tanpa proses Calcium Gas-cair
berbasis
penangkapan looping
MEA
CO2 (CaL) 90.05

Pembangkit listrik kg/MWh 801.75 78.12 55.87
tenaga batubara
kg/t 770.39 58.37 833.61
Pabrik semen semen 2092.53 640.05
kg/t HRC
Pabrik besi dan baja

Dalam Tabel 1 merupakan hasil simulasi terhadap nilai emisi CO2 dapat dilihat
bahwa penurunan emisi CO2 yang signifikan setelah dilakukan penangkapan CO2 pasca
pembakaran baik dengan menggunakan CaL maupun menggunakan gas-cair berbasis
MEA. Pada pembangkit listrik tenaga batu bara penurunan jumlah emisi CO2 mencapai
90% dengan menggunakan calcium looping (CaL) dan penurunan emisi sebesar 89%
dengan menggunakan penyerapan pasca pembakaran gas-cair berbasis MEA. Pada
pabrik semen penurunan emisi dari 770.39 kg/t semen menjadi 55.87-58.37 kg/t semen,
nilai ini mencapai 92% penurunan dengan menggunakan CaL dan 93% menggunakan
penyerapan gas-cair berbasis MEA.Sedangkan pada pabrik besi dan baja penurunan dari
2092.53 kg/t HRC menjadi 640.05 kg/t HRC (69%) dan 833.61 kg/t HRC (60%). Meskipun
pada pabrik semen penurunan emisi karbon menggunakan penyerapan gas-cair berbasis
MEA menunjukkan penurunan yang lebih banyak dibandingkan CaL, namun rata-rata
penggunaan CaL menunjukkan tingkat penurunan emisi karbon yang lebih tinggi.

Tabel 2. Efisiensi energi keseluruhan

Unit Tanpa proses Calcium Gas-cair
berbasis
penangkapan looping
MEA
CO2 (CaL) 34.18

Pembangkit listrik tenaga % 43.33 35.95 8.61
27.17
batubara

Pabrik semen % - 10.10

Pabrik besi dan baja % 32.12 28.06

Dalam hal efisiensi energi pabrik secara keseluruhan seperti yang ditunjukkan pada
Tabel 2 proses calcium looping menunjukkan nilai efisiensi energi yang lebih tinggi
dibandingkan penggunaan gas-cair berbasis MEA yaitu sekitar 2-3 poin persentase
efisiensi bersih.

Secara ekonomi, teknologi CaL diharapkan dapat bersaing terutama nilai ekonomi
antara biaya teknologi dengan pajak CO2 (pajak karbon). Jika teknologi CaL diterapkan
maka biaya yang harus dikeluarkan dengan tarif listrik berkisar 76€/MWh diperkirakan
adalah sebesar 27€/tCO2 (Romano et al. 2013). Teknologi ini akan terlihat bersaing jika
pajak karbon yang diterapkan pada negara dimana industri tersebut berada memiliki nilai
diatas 27€/tCO2 (mengingat pajak karbon berbeda tiap negara dan perlu diperhatikan juga
bahwa nilai 27€/tCO2 dapat juga berubah terhadap perbedaan tarif listrik pada tiap
negara).

Pada tahun 2017-2021, industri semen telah melakukan pilot project berskala
industri menggunakan teknologi CaL dengan Technology Readiness Level (TRL) bernilai
7 yang dinamakan CLEANKER (CLEAN clinKER production by calcium looping process).

Hal |7

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 1 - 14
Projek yang dibiayai oleh European Union's Horizon ini diharapkan dapat menangkap
lebih dari 90% CO2 buangan industri semen. Industri semen sendiri di dunia berkontribusi
terhadap 27% emisi CO2 dari sektor industri dan 7% emisi CO2 secara keseluruhan sector
(Fantini et al. 2020).

Gambar 5. CLEANKER (Fantini et al. 2020)
2. 3. Penggunaan Teknologi Carbon Capture and Storage dalam Upaya Mengurangi

Emisi CO2 pada Industri Pembangkit Listrik Tenaga Uap
Carbon Capture and Storage atau bisa disingkat dengan CCS adalah sebuah
teknologi atau metode untuk mengurangi emisi CO2 dengan cara mengumpulkan gas-gas
CO2, kemudian diangkut dan disimpan menuju lokasi penyimpanan yang terletak di dalam
tanah, laut, atau bisa digunakan kembali pada proses industri.
Industri pembangkit listrik berbahan bakar fosil menyumbang 42% emisi gas karbon
dioksida di seluruh bumi (International Energy Agency 2016). Industri yang menerapkan
teknologi CCS mampu untuk menangkap gas CO2 sebesar 85-95%, sehingga gas yang
terbuang ke atmosfer menjadi jauh lebih bersih, namun energi yang digunakan menjadi
lebih besar sekitar 10-40% dibandingkan dengan industri yang langsung membuang gas
sisa produksi ke udara tanpa proses apapun (IPCC 2005).

Gambar 6. Perbandingan industri dengan CSS dan tanpa CSS (IPCC 2005)

Hal | 8

Teknologi dan proses industri yang efektif dan efisien dalam upaya penurunan …..Febrian Dwi Surya, et al.

Metode proses penangkapan CO2 pada proses produksi di industri pembangkit
listrik ada 3, yakni: post-combustion, pre-combustion, dan oxyfuel combustion system
(IPCC 2005)
a. Post-combustion

Adalah pemisahan CO2 dari flue gas yang dihasilkan dari pembakaran bahan
batubara oleh udara. Penggunaan cairan pelarut diperlukan untuk menangkap
sebagian kecil dari CO2, contoh pelarut adalah monoethanolamine (MEA).
b. Pre-combustion
Gas CO dan H2 dihasilkan dari bahan bakar utama bersama uap dan oksigen. CO
yang dihasilkan, kemudian direaksikan dengan uap air sehingga membentuk H2
tambahan dan CO2. Gas H2 dan CO2 dipisahkan, dimana gas CO2 ditangkap dan
disimpan dan H2 digunakan sebagai bahan bakar.
c. Oxyfuel combustion
Dalam proses ini, polutan dan gas yang tidak bisa dimampatkan seperti N2 harus
dipisahkan. Uap air dapat dipisahkan dengan proses pendinginan dan kompresi
aliran gas. Proses ini dapat memisahkan CO2 hingga sebesar 80%

Gambar 7. Proses penangkapan CO2 (Firlina 2016)

Proses pengangkutan adalah langkah selanjutnya setelah proses penangkapan
dilakukan. Proses pengangkutan perlu dilakukan bila lokasi penangkapan CO2 tidak
berdekatan dengan lokasi penyimpanan. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam
proses pengangkutan adalah metode, keselamatan, keamanan lingkungan, dan biaya.
Terdapat 2 metode pengangkutan yakni melalui sistem perpipaan dan pengangkutan
menggunakan kapal laut.
a. Sistem perpipaan

Sistem perpipaan adalah sistem yang paling popular untuk digunakan. Untuk
mencegah aliran 2 fasa, gas CO2 harus dikompresi hingga memiliki tekanan lebih dari
8 MPa. Jika ingin mempermudah proses pengangkutan dan penekanan biaya, maka
tingkat densitas CO2 ditingkatkan.
b. Penggunaan kapal laut

Untuk bisa menggunakan metode ini, pertama gas CO2 perlu diubah menjadi
fase cair pada temperatur dan tekanan yang sangat rendah atau biasa disebut dengan
Liquified Petroleum Gases (LPG). CO2 diangkut pada temperatur -20°C dan tekanan 2
MPa. Namun, metode tersebut tidak ekonomis jika dibandingkan dengan sistem
perpipaan dan kapal laut kecuali untuk skala kecil (IPCC 2005).

Hal |9

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 1 - 14

Gambar 8. Hubungan biaya pengangkutan CO2 dengan jarak dan metode yang
digunakan (IPCC 2005)

Proses penyimpanan CO2 adalah tahap yang paling penting, karena tahap ini
adalah tahap yang mana CO2 dapat bisa dikatakan dihilangkan dari atmosfer bumi.
Proses penyimpanan berprinsip bahwa gas CO2 disuntikkan di bawah lapisan batuan
yang padat dengan kedalaman 1 km dibawah permukaan tanah atau dasar laut. Proses
penyuntikkan/injeksi ini sebenarnya sudah dilakukan sejak beberapa dekade lalu pada
proses Enhanced Oil Recovery (EOR). Pada tahun 2014, The Global CCS Institute
menyebutkan bahwa terdapat 65 proyek berskala besar yang sedang dijalankan di
seluruh dunia untuk menerapkan proses CCS dengan skala minimal 800.000 ton CO2/Th
untuk industri pembangkit listrik dan 400.000 ton CO2/Th untuk industri lain (The Global
CCS Institute 2014). Contoh penempatan untuk proses penyimpanan yaitu di bawah
lapisan bumi (Geological Storage) dan di dalam laut (Ocean Storage)
a. Penyimpanan di bawah lapisan bumi (Geological Storage)

Terdapat 3 tipe struktur geologi yang mampu untuk dijadikan sebagai tempat
penyimpanan, yakni oil and gas reservoir, deep saline formation, dan unmineable coal
beds. Penggunaan teknologi untuk penyimpanan ini sama dengan teknologi yang
digunakan untuk eksplorasi dan pengambilan minyak bumi dan gas, sehingga ini
membuktikan bahwa teknologi penginjeksian ke lapisan bumi telah terbukti untuk
dilakukan pada skala industri.

Penyimpanan CO2 pada reservoir dan deep saline formation dilakukan di
kedalaman 800 m dibawah permukaan tanah. Kondisi gas CO2 di titik ini menjadi
superkritikal dan berwujud cairan. Densitas CO2 menjadi 50-80% dari densitas air
sehingga menyebabkan timbulnya gaya angkat yang mendorong CO2 untuk kembali
naik ke atas. Sehingga, untuk mencegah CO2 kembali ke permukaan , dilakukan
proses injeksi di bawah lapisan batu yang sangat padat (cap rock).

Gambar 9. Metode penyimpanan CO2 di bawah lapisan bumi (Firlina 2016)

Hal | 10

Teknologi dan proses industri yang efektif dan efisien dalam upaya penurunan …..Febrian Dwi Surya, et al.

Resiko yang dapat ditimbulkan jika CO2 terlepas kembali ke permukaan yakni,
resiko global dan resiko lokal. Resiko global dapat menambah kontribusi pada
perubahan iklim sedangkan resiko lokal berdampak pada kesehatan manusia, masalah
ekosistem, dan pencemaran air tanah.

b. Penyimpanan di dalam laut (Ocean Storage)
Meskipun masih dalam tahap penelitian, metode ini memiliki potensi yang baik

karena permukaan bumi 70% adalah permukaan laut. CO2 yang diinjeksikan akan larut
dan terdispersi sehingga menjadi bagian dari siklus karbon.

CO2 merupakan gas yang larut dalam air sehingga secara alami terjadilah
perpindahan gas CO2 antara atmosfer dengan air hingga mencapai keadaan
setimbang. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan pH di permukaan air laut
sebesar 0,1 akibat terbentuknya larutan asam. Namun, perubahan ini tidak berlaku
untuk laut bagian dalam dan dalam jumlah besar tidak akan mengganggu ekosistem
laut.

Gambar 10. Metode penyimpanan CO2 di dalam laut (IPCC 2005)

III. KESIMPULAN DAN SARAN
Ada berbagai cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi emisi gas CO2 yang

dihasilkan oleh bidang industri. Dalam kasus Pabrik Gula Lestari hal yang dilakukan
diantaranya adalah mengurangi jarak tempuh kendaraan pemasok dan menggunakan
kendaraan dengan kapasitas yang lebih besar. Dari segi produksi hal yang dapat
dilakukan adalah mengganti mesin-mesin dengan efisiensi rendah dengan mesin-mesin
dengan efisiensi yang lebih tinggi. Selain itu pada pabrik Gula Lestari juga mengganti
ketel yang sudah berusia lebih dari 30 tahun dengan tujuan yang sama yaitu
meningkatkan efisiensi energi.

Dalam kasus lain, pengurangan CO2 yang dihasilkan oleh proses industri dilakukan
menggunakan Calcium Looping Technology (CaL). Teknologi ini memanfaatkan proses
kimia dengan menggunakan kalium oksida (CaO) untuk mendapatkan karbon dioksida
murni dari cerobong pembuangan. Dimana karbon dioksida yang sudah dipisahkan dapat
disimpan, digunakan dalam proses EOR (Enhanced Oil Recovery) atau dapat digunakan
sebagai bahan baku kimia. Dari hasil uji simulasi menunjukkan penggunaan CaL dapat
mengurangi emisi karbon dioksida hingga 90%. Selain itu penggunaan teknologi CaL jika
dibandingkan dengan metode lain yang sudah ada yaitu penyerapan gas cair berbasis
MEA menunjukkan keunggulan selain dari rata-rata tingkat penyerapan karbon dioksida
yang lebih tinggi, juga memiliki tingkat efisiensi energi keseluruhan yang lebih tinggi

H a l | 11

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 1 - 14

antara 2-3 poin persentase efisiensi (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional
2011).

Carbon Capture and Storage (CCS) sangat cocok digunakan dalam industri-industri
berskala besar di Indonesia dikarenakan penggunaan bahan bakar batubara masih akan
menjadi bahan bakar utama disetiap industri yang menggunakan proses pembakaran
mengingat sumber daya alam batubara di Indonesia adalah salah satu yang terbesar di
dunia. Mengingat, juga bahwa wilayah Indonesia yang luas sehingga kemungkinan untuk
mencari letak penyimpanan CO2 yang baik menjadi lebih besar persentase
keberhasilannya. Hanya saja, diperlukan pemercepatan penelitian sehingga metode CCS
ini dapat diaplikasikan dalam waktu yang dekat.

Secara garis besar terdapat 3 proses utama dalam metode CCS ini, yakni proses
pengumpulan CO2 yang dihasilkan oleh industri, proses pengangkutan CO2 menuju ke
tempat penyimpanan, dan yang terakhir adalah proses penyimpanan gas CO2. Lokasi-
lokasi yang mungkin dipakai untuk proses penyimpanan adalah di bawah permukaan
tanah dan di bawah permukaan lautan dalam. Proses penyimpanan CO2 dengan
menginjeksikan gas CO2 ke dalam permukaan tanah sehingga gas CO2 tidak lagi
terlepas ke permukaan bumi atau atmosfer.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terdapat banyak pihak yang membantu hingga review jurnal ini dapat terwujud.
Pertama kami ucapkan terimakasih kepada saudara I Made Arya dari Balai Besar
Kerajinan dan Batik yang telah memberikan banyak masukan dalam penyusunan karya
tulis ini. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada bapak Sunardi dari Universitas
Lambung Mangkurat dan bapak Dedy Widya Asiyanto dari BBTPPI Semarang sebagai
tim reviewer atas masukannya untuk menjadikan karya tulis ini lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Astolfi, Marco, Edoardo De Lena, and Matteo C. Romano. 2019. “Improved Flexibility and
Economics of Calcium Looping Power Plants by Thermochemical Energy Storage.”
International Journal of Greenhouse Gas Control 83(October 2018):140–55. doi:
10.1016/j.ijggc.2019.01.023.

Avista, Rendra, Hantoro Ridho, and Nur Laila Hamidah. 2014. “Analisis Produksi Emisi
CO 2 Pada Industri Gula Di PT. Perkebunan Nusantara X (Persero) Tbk. (Studi
Kasus Di Pabrik Gula Lestari).” Jurnal Teknik Fisika 2(3(1)):1–6.

Boubou, Hayyan, Review Article, Keywords Co, and J. E. L. Classification. 2021. “A
REVIEW OF GLOBAL CO2 EMISSIONS AND TOTAL ENERGY.” IX(26):135–42.

Cormos, Calin-cristian, Ana-maria Cormos, Letitia Petrescu, and Cristian Dinca. 2021.
“Decarbonization of Fossil Energy-Intensive Industrial Processes Using Innovative
Calcium Looping Technology.” 86(January):937–42. doi: 10.3303/CET2186157.

Cormos, Calin Cristian. 2020. “Techno-Economic Implications of Flexible Operation for
Super-Critical Power Plants Equipped with Calcium Looping Cycle as a Thermo-
Chemical Energy Storage System.” Fuel 280(May):118293. doi:
10.1016/j.fuel.2020.118293.

Delbeke, Jos, Artur Runge-Metzger, Yvon Slingenberg, and Jake Werksman. 2019. “The
Paris Agreement.” Towards a Climate-Neutral Europe: Curbing the Trend 24–45. doi:
10.4324/9789276082569-2.

Demirbas, Ayhan. 2005. “Potential Applications of Renewable Energy Sources, Biomass
Combustion Problems in Boiler Power Systems and Combustion Related
Environmental Issues.” Progress in Energy and Combustion Science 31(2):171–92.
doi: 10.1016/j.pecs.2005.02.002.

Fantini, Martina, Maurizio Spinelli, Francesco Magli, and Stefano Consonni. 2020.
“Calcium Looping Technology Demonstration in Industrial Environment: The

Hal | 12

Teknologi dan proses industri yang efektif dan efisien dalam upaya penurunan …..Febrian Dwi Surya, et al.

CLEANKER Project and Status of the CLEANKER Pilot Plant.” E3S Web of

Conferences 197(August). doi: 10.1051/e3sconf/202019708006.
Firlina, Mardika. 2016. “Pemanfaatan Teknologi Carbon Capture and Storage Pada PLTU

Dalam Upaya Mengurangi Emisi Gas Buang CO2 Ke Atmosfer.” (November

2016):0–7.
International Energy Agency. 2016. “CO2 Emissions From Fuel Combustion Highlights.”

International Energy Agency 2016(1).

International Energy Agency Greenhouse Gas R&D Programme (IEAGHG). 2008.

“Carbon Dioxide Capture in the Cement Industry.” (July):1–180.
International Energy Agency Greenhouse Gas R&D Programme (IEAGHG). 2013. “‫ا‬Iron

and Steel CCS Study (Techno-Economics Integrated Steel Mill).”
International Energy Agency World Energy Balances. 2020. “World Energy Balances

2020: Overview.” 703.

IPCC. 2005. IPCC Special Report on Carbon Dioxide Capture and Storage. edited by B.

Metz, O. Davidson, H. de Conick, M. Loos, and L. Meyer. New York: Cambridge

University Press.
IPCC. 2008. “2006 IPCC Guidelines for National Greenhouse Inventories – A Primer,

Prepared by The National Greenhouse Gas Inventories Programme.” Iges 20.
Kementerian Lingkungan Hidup. 2012. “Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas

Rumah Kaca Nasional.” Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca

Nasional 116.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. 2011. Pedoman Pelaksanaan

Rencana Aksi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca.
Luis, Patricia. 2016. “Use of Monoethanolamine (MEA) for CO2 Capture in a Global

Scenario: Consequences and Alternatives.” Desalination 380:93–99. doi:

10.1016/j.desal.2015.08.004.
Penman, J., Michael Gytarsky, T. Hiraishi, W. Irving, and T. Krug. 2006. “2006 IPCC -

Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories.” Directrices Para Los

Inventarios Nacionales GEI 12.

Rockstorm, Johan, Will Steffen, Kevin Noone, Asa Persson, Eric F. Chapin, Timothy M.
Lenton, Marten Schffer, Carl Folke, and Hans Joachim Schellnhuber. 2013. “A Safe

Operating Space for Humanity.” (January).

Romano, Matteo C., Maurizio Spinelli, Stefano Campanari, Stefano Consonni, Giovanni
Cinti, Maurizio Marchi, and Enrico Borgarello. 2013. “The Calcium Looping Process
for Low CO2 Emission Cement and Power.” Energy Procedia 37:7091–99. doi:

10.1016/j.egypro.2013.06.645.
Sihombing, S. R. .. 2012. “Potensi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Pada Industri Gula

( Studi Kasus Pt Pg Rajawali Ii Unit Pg Subang ).” Skripsi. Fakultas Teknologi

Pertanian, ITB.
Subkhan, Akhmad. 2017. “Kajian Emisi Co2 Dari Pemanfaatan Energi Rumah Tangga Di

Kelurahan Candi Kota Semarang.” Geo-Image 6(2):147–57. doi:

10.15294/geoimage.v6i2.19058.

The Global CCS Institute. 2014. Status of CCS Project Database. Vol. 2.
Wei, Y., L. Yerushalmi, and F. Haghighat. 2008. “Estimation of Greenhouse Gas

Emissions by the Wastewater Treatment Plant of a Locomotive Repair Factory in

China.” Water Environment Research 80(12):2253–60. doi:

10.2175/106143008x304811.

H a l | 13

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 1 - 14

Hal | 14

Sirkularitas dalam produk, proses, dan layanan kimia hijau: Rute inovatif.….Novita, et al.

Sirkularitas dalam produk, proses, dan layanan kimia hijau: Rute inovatif
berdasarkan desain ramah lingkungan dan sistem solusi terintegrasi -
Tinjauan

Circularity in green chemical products, processes, and services: Innovative routes
based on integrated eco-design and solution systems - A Review

Novitaa, Erdin Wahyudina, Anggie Prasetyaa, Putri Wahyu Tatib
aBalai Besar Kimia dan Kemasan, Jl. Balai Kimia No.1, Jakarta 13710, Indonesia
bBalai Besar Bahan dan Barang Teknik, Jl. Sangkuriang No. 14, Bandung 40135

*Email: [email protected]

ABSTRAK

Pengambilan keputusan untuk desain berkelanjutan memerlukan evaluasi berbagai
opsi yang mempertimbangkan semua dimensi keberlanjutan secara bersamaan: ekonomi,
lingkungan, dan sosial. Setiap dimensi memiliki kepentingan relatif tertentu, yang
tergantung pada proses yang sedang dinilai. Meskipun banyak perusahaan masih
percaya bahwa strategi lingkungan pasif sudah cukup, penting bahwa mereka bergerak
melampaui keyakinan ini dan mengambil sikap proaktif untuk menciptakan lingkungan
yang berkelanjutan. Dalam jurnal ini, kami berusaha untuk memperluas sistem komersial
yang diterapkan saat ini dalam desain ramah lingkungan terintegrasi dengan
mempertimbangkan berbagai sistem solusi dan ukuran kinerja. Kami berhipotesis
hubungan antara sirkulasi sumber daya loop tertutup serta kontribusi untuk mengurangi
emisi gas rumah kaca dapat dipahami sebagai model untuk memberikan kinerja sistemik
yang lebih baik dengan memanfaatkan teori pemangku kepentingan dan pandangan
berbasis sumber daya alam. Penekanan akan diberikan untuk membangun hubungan
baru dengan produk, bahan, energi dan, sebagian besar, kerjasama jangka panjang dan
model integrasi di antara semua mitra yang terlibat. Menariknya, hasil penelitian
menunjukkan bahwa desain produk hijau mungkin tidak berdampak langsung pada kinerja
keuangan.

Kata Kunci: kimia hijau dan berkelanjutan, sumber hayati, bio massa, dan rantai pasokan
ramah lingkungan

ABSTRACT

Decision-making for sustainable design requires evaluating various options that
consider all dimensions of sustainability simultaneously: economic, environmental and
social. Each dimension has a certain relative importance, which depends on the process
being assessed. While many companies still believe that a passive environmental strategy
is sufficient, it is important that they move beyond this belief and take a proactive stance
towards creating a sustainable environment. In this paper, we seek to expand the
currently applied commercial system in an integrated eco-design by considering various
system solutions and performance measures. We hypothesize that the relationship
between closed-loop resource circulation as well as the contribution to reducing
greenhouse gas emissions can be understood as a model for delivering better systemic
performance by leveraging stakeholder theory and a natural resource-based view.
Emphasis will be placed on building new relationships with goods, materials, energy and,
to a large extent, long-term cooperation and integration models among all partners
involved. Interestingly, our results also suggest that green product design may not have a
direct impact on financial performance.

Keywords: green and sustainable chemistry, bioresources, biomass, green supply

H a l | 15

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 15 - 24

I. PENDAHULUAN

Masalah lingkungan telah dipandang sebagai ancaman utama bagi profitabilitas
perusahaan karena mengelola lingkungan membutuhkan investasi besar dalam teknologi.
Namun, para peneliti termasuk Christmann (2000) dan Porter dan van der Linde (1995)
melaporkan bahwa perusahaan semakin mempertimbangkan lingkungan alam sebagai
sumber utama keunggulan kompetitif. Para ahli juga berpendapat bahwa perusahaan
dapat menciptakan peningkatan nilai melalui penggunaan sumber daya mereka secara
efektif dan efisien (misalnya Bansal, 2005; Darnall dan Edwards, 2006). Pendekatan 'lebih
hijau' seperti itu dapat muncul dari kegiatan seperti pengurangan limbah, pengurangan
polusi dan pengurangan sumber daya. Alih-alih pola linear dan take-use-disposal, sumber
daya digunakan, dipulihkan, dan diperbarui dalam siklus internal selama mungkin, dapat
menciptakan nilai maksimum lebih lanjut. Ketika ada sirkulasi sumber daya loop tertutup
yang lebih luas, serta kontribusi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, sistem alami
dapat dipahami sebagai model untuk memberikan kinerja sistemik yang lebih baik.

Banyak penelitian telah mencoba menjawab pertanyaan, Apakah layak untuk
menjadi hijau? Berdasarkan meta-analisis dari studi semacam itu, Golicic dan Smith
(2013) menyimpulkan bahwa menjadi hijau memang bermanfaat. Selain itu, berdasarkan
meta-analisis studi yang berfokus pada hubungan antara daya tanggap lingkungan dan
kinerja keuangan perusahaan, daya tanggap lingkungan cenderung dikaitkan dengan
kinerja keuangan yang lebih baik. Tetapi pada saat yang sama, beberapa teori masih
mempertahankan bahwa perusahaan sering dipaksa untuk mengadopsi praktik
lingkungan, meskipun praktik tersebut mungkin memiliki dampak yang tidak pasti atau
bahkan negatif pada kinerja mereka (misalnya Hahn et al., 2010; Winn, Pinkse, dan Illge
2012). Beberapa studi terbaru juga menyiratkan bahwa praktik lingkungan terkait rantai
pasokan dapat meningkatkan kinerja perusahaan, meskipun secara tidak langsung
(Pullman, Maloni, dan Carter, 2009; de Giovanni, 2012; Sameer, Teichman, dan
Timpernagel, 2012; Zhu, Sarkis, dan Lai, 2012).

Transisi dari mode ekonomi sirkular linier saat ini ke ekonomi sirkular yang lebih
kuat menuntut keterlibatan transdisipliner yang ambisius, mengubah sistem berdasarkan
“lebih besar-lebih cepat- lebih aman” (dan lebih kompetitif) dan kepemilikan melalui
penjualan barang sebagai layanan perusahaan dalam bentuk sewa, bagi hasil, maupun
dengan bisnis model lainnya yang legal. Hasil yang kontradiktif ini bisa jadi merupakan
hasil dari peningkatan fokus pada pengendalian polusi ujung pipa, daripada adopsi
inisiatif keberlanjutan proaktif yang berfokus pada pencegahan polusi. Inisiatif proaktif
tersebut dapat mencakup proses rantai pasokan hijau (Green Supply Chain
Process/GSCP) – pembelian ramah lingkungan, sistem informasi hijau dan manufaktur
hijau, serta desain produk ramah lingkungan yang diarahkan pada pengurangan dampak
lingkungan dan sosial. Dalam skenario lanjutan, produsen memiliki produk, proses untuk
mendapatkannya dan sumber daya yang menyusunnya (yaitu, bahan, energi,
pengetahuan yang terwujud, dan lain-lain), tetapi juga tanggung jawab yang terkait
dengan biaya dan risiko yang terkait dengan apa yang disebut limbah. Hal ini dapat
mendorong keuntungan dari kecukupan dalam skala yang lebih besar yang melibatkan
beberapa sektor masyarakat.

II. FAKTOR YANG DIPERTIMBANGKAN

Orientasi lingkungan mencerminkan tingkat keterlibatan perusahaan dalam
mengatasi degradasi lingkungan (Fraj-Andrés, Martinez-Salinas, dan Matute-Vallejo,
2009). Banerjee (2001) menunjukkan bahwa orientasi lingkungan tidak hanya
mencerminkan tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan alam, tetapi juga
menunjukkan berbagai tindakan yang diambil perusahaan untuk mengurangi dampak
lingkungan yang berbahaya dari kegiatan sehari-hari mereka. Dengan demikian, orientasi
lingkungan perusahaan dapat difokuskan secara eksternal atau internal dan biasanya

H a l | 16

Sirkularitas dalam produk, proses, dan layanan kimia hijau: Rute inovatif.….Novita, et al.

merupakan bagian dari pernyataan misi perusahaan (Banerjee, 2001). Dimensi pertama
dari orientasi lingkungan adalah orientasi lingkungan eksternal. Ini mengacu pada aspek
orientasi lingkungan perusahaan yang berfokus pada hubungannya dengan pemangku
kepentingan eksternal termasuk pemangku kepentingan masyarakat dan lembaga
pemerintah. Ini panggilan untuk menyeimbangkan perlindungan lingkungan dengan
tuntutan pemangku kepentingan eksternal lainnya untuk menjamin kesehatan ekonomi
dan kelangsungan hidup perusahaan (Banerjee, Iyer, dan Kashyap 2003). Dimensi kedua
adalah orientasi lingkungan internal yang mencerminkan nilai-nilai internal perusahaan,
standar perilaku etis dan komitmennya terhadap standar ekologi dan lingkungan
(Shrivastava 1995). Hal ini sering tercermin dalam pernyataan misi lingkungan organisasi.
Ini mencakup langkah-langkah yang diambil oleh semua departemen, unit dan area
fungsional untuk berperilaku secara etis dan bertanggung jawab untuk melindungi
lingkungan.

Gambar 1. Model Hipotesis (Li, et al. 2015)
Sementara pengembangan layanan ramah lingkungan sangat penting bagi
perusahaan yang mencoba untuk melayani konsumen yang sadar lingkungan yang terus
meningkat, ini hanya mungkin terjadi jika perusahaan berfokus pada penghijauan proses
rantai pasokan. Dalam studi ini, kami membuat konsep GSCP untuk memasukkan tiga
aspek utama: green purchasing, green manufacturing dan green IS. Pembelian ramah
lingkungan mengacu pada praktik pembelian yang berfokus pada pengurangan sumber
limbah serta mempromosikan daur ulang dan reklamasi bahan yang dibeli tanpa halangan
terhadap kebutuhan kinerja bahan tersebut (Min dan Galle, 2001). Organisasi tidak dapat
melihat proses mereka sebagai ramah lingkungan tanpa berhasil mengintegrasikan tujuan
lingkungan perusahaan dengan aktivitas pembelian (Hollos, Blome, dan Foerstl, 2012).
Selain memilih pasokan ramah lingkungan, pembelian ramah lingkungan juga berfokus
pada evaluasi kinerja lingkungan dari pemasok tersebut dan memberi mereka saran
tentang cara meningkatkan kinerja mereka. Selain itu, seperti yang ditunjukkan oleh Hines
dan Jones (2001), fungsi pembelian yang sadar lingkungan semakin mengasumsikan
peran pendampingan yang dapat menciptakan hubungan yang saling menguntungkan
antara pembeli dan pemasok. Pembelian ramah lingkungan dengan demikian dapat
memainkan peran penting dalam memastikan bahwa pemasok juga mengembangkan
kemampuan berorientasi lingkungan (Blome, Hollos, dan Paulraj, 2014).
Dalam mempelajari interaksi antara keberlanjutan dan rantai pasokan, perusahaan
telah memperluas rantai pasokan inti untuk memasukkan produk sampingan manufaktur,
produk sampingan yang dihasilkan selama penggunaan produk, akhir masa pakai produk,
dan proses pemulihan pada akhir masa pakai (Linton, Klassen, dan Jayaraman, 2007).
Dalam rantai pasokan yang diperluas, perusahaan telah mengurangi dan menghilangkan
limbah produk sampingan menggunakan teknologi proses yang lebih bersih (Johansson,

Hal | 17

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 15 - 24

1992) dan melalui adopsi inisiatif produksi yang berkualitas dan ramping (King dan Lenox,
2001; Zhu dan Sarkis, 2004; Narasimhan dan Schoenherr, 2012). Area lain dari
manufaktur hijau adalah melalui penggunaan teknik perpanjangan umur produk.
Beberapa perusahaan yang sadar lingkungan telah memanfaatkan peluang yang
diciptakan oleh perpanjangan umur produk (Guide, Jayaraman, dan Linton, 2003;
Jayaraman, 2006; Guide dan Van Wassenhove, 2009); ini telah menyebabkan usaha
bisnis yang sangat menguntungkan di bidang-bidang seperti remanufaktur (Lund 1983).
Green IS sebagai 'desain dan implementasi sistem informasi yang berkontribusi pada
proses bisnis yang berkelanjutan'. Thibodeau (2007) menunjukkan bahwa CIO memilih
Green IT sebagai inisiatif strategis yang paling penting. Watson et al. (2008) berpendapat
bahwa IS, 'mengingat pandangan lintas fungsi dari seluruh organisasi dan kemampuan
untuk memahami, mengubah dan menemukan kembali proses bisnis untuk lebih
mendukung praktik berkelanjutan', memiliki peran sentral untuk dimainkan di setiap
perusahaan yang sadar lingkungan. Sistem informasi juga dapat memfasilitasi
penatagunaan produk dengan menyediakan informasi penting untuk upaya daur ulang
dan produksi ulang organisasi. Oleh karena itu, IS hijau memainkan peran utama dalam
upaya perusahaan menuju GCSP.

Selain membutuhkan ide-ide baru, desain produk hijau juga harus menghadapi
kendala yang ditimbulkan oleh lingkungan. Desain produk hijau semakin diperumit oleh
tren dan peraturan lingkungan yang terus berkembang. Dengan mempertimbangkan
komplikasi ini, Kleindorfer, Singhal, dan van Wassenhove (2005) menggambarkan
keuntungan penggerak pertama sebagai satu di mana perusahaan memperkenalkan
inovasi hijau dalam desain produk dan mendapatkan manfaat termasuk menerima royalti
untuk lisensi teknologi baru, mengembangkan kemampuan manufaktur yang tak ada
bandingannya dan menciptakan informasi kepemilikan. yang pada akhirnya dapat
memberikan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Krikke, Bloemhof-Ruwaard, dan
Van Wassenhove (2003) berpendapat bahwa desain modular telah terbukti memfasilitasi
kemampuan remanufaktur dan memperkenalkan diagnosis masalah secara otomatis.
Teknik seperti penilaian siklus hidup (Rebitzer et al. 2004) digunakan untuk membantu
dalam desain produk yang juga meminimalkan dampak lingkungan selama siklus hidup
yang dapat digunakan serta akhir masa pakai (Kärn dan Heiskanen 1998).

III. PENGAMBILAN SAMPEL DAN PENGUMPULAN DATA

Data untuk penelitian ini dikumpulkan dari perusahaan teknologi tinggi di Cina.
Seperti yang disarankan oleh Hart (1995) dan Lewis dan Harvey (2001), industri teknologi
tinggi dipengaruhi secara signifikan oleh tantangan yang ditimbulkan oleh lingkungan
alam. Kami mensurvei responden kunci dari setiap organisasi. Kami hanya mensurvei
manajer senior (dalam rantai pasokan, pembelian dan/atau fungsi operasi) karena mereka
memegang posisi pengambilan keputusan kunci di organisasi mana pun (Hambrick dan
Finkelstein, 1987; Thomas, Clark, dan Gioia, 1993; Roth dan Menor, 2003). Kerangka
sampling termasuk perusahaan Cina yang berlokasi di Zona Teknologi Tinggi Chengdu.
Zona ini diratifikasi pada tahun 1991 oleh Dewan Negara. Ini adalah salah satu dari enam
zona percontohan yang didirikan di bawah proyek 'Inisiatif Taman Kelas Satu Dunia' yang
disponsori oleh Kementerian Sains dan Teknologi dan berada di peringkat keempat di
antara 55 zona teknologi tinggi tingkat negara bagian China. Selain itu, zona ini dipilih
karena diawasi secara ketat oleh badan lingkungan Cina (Dutton 1998).

IV. HASIL PENELITIAN

Hipotesis yang menghubungkan orientasi lingkungan dengan konstruksi rantai
pasokan hijau (H1 dan H2) secara statistik signifikan dan dalam arah yang diharapkan.
Secara khusus, jalur dari orientasi lingkungan ke (1) desain produk hijau (b = .80; t =

H a l | 18

Sirkularitas dalam produk, proses, dan layanan kimia hijau: Rute inovatif.….Novita, et al.

11.30; p < .01) dan (2) GSCP (b = .82; t = 12.03; p < .01) adalah signifikan secara
statistik. Orientasi lingkungan juga ditemukan memiliki pengaruh tidak langsung yang
signifikan pada faktor orde pertama GSCP: pembelian hijau (b = .66; t = 12.03; p <.01),
manufaktur hijau (b = .56; t = 11,58; p < .01) dan IS hijau (b = .57; t = 11.65; p < .01).
Hipotesis H3 dan H4 menghubungkan desain produk hijau dan GSCP dengan kinerja
lingkungan, masing-masing. Hubungan antara desain produk hijau (b = .23; t = 2.97; p <
.01) dan GSCP (b = .54; t = 6.64; p < .01) terhadap kinerja lingkungan juga ditemukan
signifikan. Selain itu, hipotesis H5 dan H6 menghubungkan desain produk hijau dan
GSCP terhadap kinerja keuangan, masing-masing. Sementara hubungan antara desain
produk hijau dan kinerja keuangan ditemukan tidak signifikan (b = -.05; t = 0,50; ns),
hubungan antara GSCP dan kinerja keuangan ditemukan signifikan (b = 0,42; t = 4,26 ; p
< .01). Estimasi parameter signifikan ditemukan untuk efek tidak langsung dari orientasi
lingkungan pada kinerja lingkungan (b = 0,62; t = 10,97; p < 0,01) dan pada kinerja
keuangan (b = 0,31; t = 5,06; p < 0,01). Pendekatan struktural persamaan model (SEM)
yang disarankan oleh James, Mulaik, dan Brett (2006) digunakan sebagai uji awal
mediasi (yaitu H7 dan H8). Secara khusus, kami memutar ulang model mediasi penuh
yang dihipotesiskan (Gambar 1) setelah menghubungkan orientasi lingkungan dengan
ukuran kinerja lingkungan dan keuangan. Sementara indeks kecocokan model serupa
dengan model yang dihipotesiskan, model yang direvisi ternyata lebih unggul dari model
yang dihipotesiskan dalam hal kriteria informasi Akaike (AIC) dan nilai kriteria informasi
Akaike (CAIC) yang konsisten. Penggunaan kriteria informasi (AIC dan CAIC) dianggap
sebagai pendekatan terbaik dalam membandingkan SEM (Paulraj, Lado, dan Chen 2008).
Meskipun tidak ada batasan khusus untuk AIC dan CAIC, nilai yang lebih kecil
menunjukkan kesesuaian yang lebih baik (Bozdogan 1987). Jika dibandingkan dengan
model yang dihipotesiskan, nilai AIC dan CAIC untuk model yang dimodifikasi masing-
masing berkurang 10,51 dan 1,42. Namun jalur yang menghubungkan orientasi
lingkungan dengan lingkungan (b = -.30; t = 1.76; p < .10) dan kinerja keuangan (b = -.34;
t = 1.67; p < .10) ternyata negatif, meskipun sedikit signifikan. Menariknya, meskipun
orientasi lingkungan memiliki efek langsung negatif pada kedua ukuran kinerja, efek tidak
langsungnya positif pada: (1) kinerja lingkungan melalui desain produk hijau dan GSCP
dan (2) kinerja keuangan melalui GSCP (sebagai efek langsung dari produk hijau). desain
pada kinerja keuangan tidak signifikan).

Meskipun analisis SEM menunjukkan bahwa efek tidak langsung dari orientasi
lingkungan pada kedua ukuran kinerja yang signifikan, tidak termasuk pengujian formal
peran mediasi desain produk hijau dan GSCP. Oleh karena itu, kami menggunakan
pendekatan bootstrap untuk menguji secara formal hipotesis (H7 dan H8) yang terkait
dengan efek mediasi (misalnya Malhotra et al., 2014; Rungtusanatham, Miller, dan Boyer
2014). Mengingat bahwa model kami menyertakan beberapa mediasi (yaitu desain
produk hijau dan GSCP), pendekatan bootstrap yang direkomendasikan oleh Preacher
dan Hayes (2008) diadopsi dengan 5000 sampel ulang bootstrap. Bootstrapping
menyediakan metode yang paling kuat untuk mendapatkan batas kepercayaan untuk efek
mediasi tertentu ketika ada banyak mediator (Preacher dan Hayes 2008; Malhotra et al.
2014). Ini adalah prosedur non-parametrik di mana kumpulan data berulang kali diambil
sampelnya (dalam kasus kami 5000 kali) dan efek mediasi diperkirakan. Signifikansi efek
mediasi diuji dengan menggunakan interval kepercayaan 95% (CI); efek mediasi
signifikan jika CI tidak mengandung nol (Zhao, Lynch, dan Chen 2010). Analisis dilakukan
dengan menggunakan SPSS; dua model terpisah diuji menggunakan kinerja lingkungan
dan keuangan sebagai variabel hasil. Kami menggunakan skor rata-rata penjumlahan dari
indikator yang mendasari untuk setiap faktor laten orde pertama. Dalam kasus GSCP,
kami menggunakan skor rata-rata penjumlahan untuk faktor laten orde pertama. Hasil dari
analisis bootstrap disajikan pada Tabel 3. Efek mediasi desain produk hijau dalam
hubungan antara orientasi lingkungan dan kinerja lingkungan signifikan secara statistik
pada p < 0,01 dengan 95% CI yang berkisar antara 0,0468 dan 0,2553. Di sisi lain, efek

Hal | 19

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 15 - 24

mediasi desain produk hijau dalam hubungan antara orientasi lingkungan dan kinerja
keuangan tidak signifikan. Hasil ini memberikan dukungan parsial untuk hipotesis H7.
Efek mediasi GSCP dalam hubungan antara orientasi lingkungan dan kinerja lingkungan
secara statistik signifikan pada p <0,01 dengan CI 95% antara 0,2123 dan 0,4587.
Demikian pula, efek mediasi GSCP dalam hubungan antara orientasi lingkungan dan
kinerja keuangan juga signifikan secara statistik pada p <0,01 dengan 95% antara 0,0989
dan 0,3973. Hasil ini memberikan dukungan yang cukup untuk hipotesis H8.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Di antara hubungan hipotesis, kami menemukan efek langsung dari desain produk
hijau pada kinerja keuangan menjadi tidak signifikan (H5). Atau, GSCP ditemukan
memiliki dampak positif yang signifikan terhadap kinerja keuangan. Analisis mediasi juga
menunjukkan bahwa GSCP bisa menjadi mediator yang lebih baik secara signifikan dari
efek orientasi lingkungan daripada desain produk hijau. Secara kolektif, hasil ini
menunjukkan bahwa kemampuan rantai pasokan hijau yang berfokus pada pengurangan
material, limbah, energi, dan emisi dapat menghasilkan pengurangan biaya, sehingga
mengarah pada kinerja keuangan yang lebih baik. Mengingat bahwa inefisiensi proses
jauh lebih mudah untuk diidentifikasi dan diperbaiki, tampaknya perusahaan dapat
dengan mudah mengumpulkannya manfaat finansial dari 'buah menggantung rendah'
terkait dengan pengurangan limbah, bahan, emisi dan energi (Hart dan Ahuja 1996).
Lebih penting lagi, dari perspektif teoretis, efek diferensial (langsung dan mediasi) dari
kemampuan terkait produk dan proses pada kinerja keuangan menunjukkan perlunya
penelitian di masa depan untuk memisahkan berbagai jenis kemampuan rantai pasokan
hijau dan mempelajari efek individualnya pada ukuran kinerja. . Dengan demikian,
penelitian dapat menjelaskan teka-teki seputar hubungan antara orientasi lingkungan,
kemampuan hijau dan kinerja keuangan. Secara praktis, studi ini menunjukkan
pentingnya mengembangkan kemampuan ramah lingkungan termasuk desain produk
ramah lingkungan dan GSCP. Lebih khusus, manajer harus memusatkan perhatian dan
sumber daya mereka pada (1) memodifikasi proses manufaktur mereka sehingga mereka
dapat memenuhi kebutuhan produk hijau, (2) mengembangkan kemampuan sistem
informasi hijau yang dapat memberikan informasi lingkungan pada produk serta proses
dan (3) mengasah kemampuan desain produk hijau yang dapat menghasilkan produk
unggulan lingkungan. Selain berfokus pada pengembangan kemampuan tingkat
perusahaan ini, manajer juga harus mendukung fungsi pembelian yang sadar lingkungan
yang dapat memusatkan perhatiannya pada pemilihan, pengembangan, dan
pengendalian kemampuan lingkungan dari basis pasokan, sehingga berdampak positif
terhadap kinerja lingkungan perusahaan.

Oleh karena itu, karena banyak perusahaan di negara berkembang masih dalam
pencegahan reaktif dan polusi bertahap, saran yang dapat kami berikan yaitu dengan
adanya pendekatan sukarela untuk meminimalkan degradasi lingkungan dikombinasikan
dengan penegakan peraturan konvensional yang ketat dapat mendorong kinerja
keuangan yang lebih baik. Ini adalah area lain untuk penyelidikan di masa depan di mana
persepsi perusahaan yang beroperasi di negara maju dan berkembang, kecil dan besar,
dapat dieksplorasi karena hasil dari negara berkembang mungkin tidak dapat
digeneralisasikan ke sistem ekonomi yang lebih besar dan maju. Secara khusus, akan
bermanfaat bagi para peneliti untuk mengumpulkan data dari beberapa negara maju dan
berkembang serta menguji model yang dihipotesiskan menggunakan analisis SEM multi-
kelompok. Selain itu, karena kami secara khusus berfokus pada perusahaan teknologi
tinggi, hasil kami hanya dapat digeneralisasi untuk perusahaan-perusahaan ini. Oleh
karena itu, kami merekomendasikan penelitian masa depan untuk memasukkan
perusahaan dari industri lain sehingga dapat meningkatkan generalisasi hasil kami.
Terlepas dari keterbatasan ini, kami percaya bahwa penelitian kami berkontribusi pada

H a l | 20

Sirkularitas dalam produk, proses, dan layanan kimia hijau: Rute inovatif.….Novita, et al.

penelitian yang masih ada yang berfokus pada hubungan antara kemampuan lingkungan
proaktif dan kinerja perusahaan.

UCAPAN TERIMAKASIH

Kami menyadari bahwa penyusunan paper review ini dapat berjalan dengan baik
karena adanya dukungan dari berbagai pihak. Maka dengan rendah hati kami sampaikan
ucapan terimakasih kepada :

1. BSKJI yang sudah menyelenggarakan seminar Industri Hijau ini sehingga
bertambah pengetahuan kami mengenai Industri Hijau sebagai bekal kami
melangkah sebagai pegawai ASN dilingkungan Kemenperin

2. Seluruh panitia yaitu Baristand Banjarbaru yang sudah menyelenggarakan dan
menuntun acara ini dengan sangat baik.

3. Rekan – rekan CPNS BSKJI yang sudah berkenan saling tukar pendapat dan
saran dalam penyusunan paper review ini.

4. Terimakasih juga kami sampaikan kepada reviewer yang sudah berkenan
memberikan perbaikan dan saran dalam proses penyusunan paper review.

Semoga memberikan manfaat untuk seluruh pihak yang terlibat dan pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Bansal, P. (2005). Evolving Sustainably: A Longitudinal Study of Corporate Sustainable
Development. Strategic Management, 26 (3), 197–218.

Banerjee, S. B. (2001). Managerial Perceptions of Corporate Environmentalism:
Interpretations from Industry and Strategic Implications for Organizations.
Management Studies, 38 (4), 489–513.

Banerjee, S. B., E. S. Iyer, and R. K. Kashyap. (2003). Corporate Environmentalism:
Antecedents and Influence of Industry Type. Marketing, 67 (2), 106–122.

Blome, C., D. Hollos, and A. Paulraj. (2014). Green Procurement and Green Supplier
Development: Antecedents and Effects on Supplier Performance. Production
Research, 52 (1), 32–49.

Bozdogan, H. 1987. Model Selection and Akaike’s Information Criterion (AIC): The
General Theory and its Analytical Extensions. Psychometrika, 52 (3), 345–370.

Christmann, P. (2000). Effects of ‘Best Practices’ of Environmental Management on Cost
Advantage: The Role of Complementary Assets. Academy of Management Journal
43: 663–680.

Darnall, N., and D. Edwards. (2006). Predicting the Cost of Environmental Management
System Adoption: The Role of Capabilities, Resources and Ownership Structure.
Strategic Management , 27 (4), 301–320.

de Giovanni, P. (2012). Do Internal and External Environmental Management Contribute
to the Triple Bottom Line?. Operations & Production Management, 32 (3), 265–290.

Dutton, J. E. (1998). The Green Bottom Line. Management Review, 87 (9), 59–63.
Fraj-Andrés, E., E. Martinez-Salinas, and J. Matute-Vallejo. (2009). A Multi-dimensional

Approach to the Influence of Environmental Marketing and Orientation on the Firm’s
Organizational Performance. Business Ethics, 88 (2), 263–286.
James, L. R., S. A. Mulaik, and J. M. Brett. (2006). A Tale of Two Methods. Organizational
Research Methods, 9 (2), 233–244.
Golicic, S. L., and C. D. Smith. (2013). A Meta-analysis of Environmentally Sustainable
Supply Chain Management Practices and Firm Performance. Supply Chain
Management, 49 (2), 78–95.

Hal | 21

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 15 - 24

Guide, V. D. R., V. Jayaraman, and J. Linton. (2003). Building Contingency Planning for
Closed-loop Supply Chains with Product Recovery. Operations Management, 21 (3),
259–279.

Guide, V. D. R., and L. N. Van Wassenhove. (2009). OR FORUM—The Evolution of
Closed-loop Supply Chain Research. Operations Research, 57 (1), 10–18.

Hahn, T., F. Figge, J. Pinkse, and L. Preuss. (2010). Trade-offs in Corporate
Sustainability: You Can’t have your Cake and Eat It. Business Strategy and the
Environment,19, 217–229.

Hambrick, D. C., and S. Finkelstein. (1987). Managerial Discretion: A Bridge between
Polar Views of Organizational Outcomes. Research in Organizational Behavior,
edited by L. L. Cummings and B. M. Staw, 369–406. Greenwich, CT: JAI Press.

Hart, S. L. 1995. A Natural Resource Based View of the Firm. Academy of Management
Review, 20 (4), 986–1014.

Hart, S., and G. Ahuja. (1996). Does it Pay to be Green? An Empirical Examination of the
Relationship Between Emission Reduction and Firm Performance. Business
Strategy and the Environment, 5 (1), 30–37.

Hines F, and R. Jones. (2001). Environmental Supply Chain Management: Evaluating the
Use of Environmental Mentoring through Supply Chain. In The 9th International
Conference Proceedings of the Greening of Industry Network, Bangkok, Thailand,
January 21–25.

Hollos, D., C. Blome, and K. Foerstl. (2012). Does Sustainable Supplier Co-operation
Affect Performance? Examining Implications for the Triple Bottom Line. Production
Research, 50 (11), 2968–2986.

Johansson, A. (1992). Clean Technology. Boca Raton, FL: Louis Publishing.
Kärnä, A., and E. Heiskanen. (1998). The Challenge of ‘Product Chain’thinking for Product

Development and Design–The Example of Electrical and Electronic Products.
Sustainable Product Design, 4, 26–36.
King, A. A., and M. J. Lenox. (2001). Lean and Green? An Empirical Examination of the
Relationship between Lean Production and Environmental Performance. Production
and Operations Management, 10 (3), 244–256.
Kleindorfer, P. R., K. Singhal, and L. N. van Wassenhove. 2005. Sustainable Operations
Management. Production and Operations Management, 14 (4), 482–492.
Krikke, H., J. Bloemhof-Ruwaard, and L. N. Van Wassenhove. (2003). Concurrent Product
and Closed-loop Supply Chain Design with an Application to Refrigerators.
Production Research, 41 (16), 3689–3719.
Lewis, G. J., and B. Harvey. (2001). Perceived Environmental Uncertainty: The Extension
of Miller’s Scale to the Natural Environment. Management Studies, 38 (2), 201–234.
Lund, R. 1983. Remanufacturing: United States Experience and Implications for
Developing Nations. Washington, DC: The World Bank.
Linton, J. D., R. Klassen, and V. Jayaraman. (2007). Sustainable Supply Chains: An
Introduction. Operations Management, 25,1075–1082.
Malhotra, M. K., C. Singhal, G. Shang, and R. E. Ployhart. (2014). A Critical Evaluation of
Alternative Methods and Paradigms for Conducting Mediation Analysis in
Operations Management Research. Operations Management, 32, 127–137.
Min, H., and W. Galle. (2001). Green Purchasing Practices of US Firms. Operations &
Production Management, 21 (9), 1222–1238.
Narasimhan, R., and T. Schoenherr. (2012). The Effects of Integrated Supply
Management Practices and Environmental Management Practices on Relative
Competitive Quality Advantage. Production Research, 50 (4), 1185–1201.
Paulraj, A., A. A. Lado, and I. J. Chen. (2008). Inter-organizational Communication as a
Relational Competency: Antecedents and Performance Outcomes in Collaborative
Buyer–Supplier Relationships. Operations Management, 26 (1), 45–64.

H a l | 22

Sirkularitas dalam produk, proses, dan layanan kimia hijau: Rute inovatif.….Novita, et al.

Pullman, M. E., M. J. Maloni, and C. R. Carter. (2009). Food for Thought: Social Versus
Environmental Sustainability Practices and Performance Outcomes. Supply Chain
Management, 45 (4), 38–54.

Preacher, K. J., and A. F. Hayes. (2008). Asymptotic and Resampling Strategies for
Assessingand Comparing Indirect Effects in Multiple Mediator Models. Behavior
Research Methods, 40 (3), 879–891.

Rebitzer, G., T. Ekvall, R. Frischknecht, D. Hunkeler, G. Norris, T. Rydberg, W. P.
Schmidt, S. Suh, B. P. Weidema, and D. W. Pennington. (2004). Life Cycle
Assessment: Part 1: Framework, Goal and Scope Definition, Inventory Analysis, and
Applications. Environment International, 30 (5), 701–720.

Rungtusanatham, M., J. W. Miller, and K. K. Boyer. (2014). Theorizing, Testing, and
Concluding for Mediation in SCM Research: Tutorial and Procedural
Recommendations. Operations Management, 32, 99–113.

Roth, A. V., and L. J. Menor. 2003. Insights into Service Operations Management: A
Research Agenda. Production and Operations Management, 12 (2), 145–165.

Sameer, K., S. Teichman, and T. Timpernagel. (2012). A Green Supply Chain is a
Requirement for Profitability. Production Research, 50 (5), 1278–1296.

Serna, J., M, E.N.D., R, P.C.N., Camargo, M., Galvez, D., Orjuela,A. (2016). Multi-criteria
Decision Analysis for the Selection of Sustainable Chemical Process Routes During
Early Design Stages. Chemical Engineering Research and Design, 1-42.

Shaorui, L., Vaidyanathan, J., Antony, P., & Kuo-chung, S. (2015). Proactive
Environmental Strategies and Performance: Role of Green Supply Chain Processes
and Green Product Design in the Chinese High-tech Industry. Production Research,
1-17.

Shrivastava, P. (1995). The Role of Corporations in Achieving Ecological Sustainability.
Academy of Management Review, 20 (4), 936–960.

Thomas, J. B., S. M. Clark, and D. A. Gioia. (1993). Strategic Sense Making and
Organizational Performance: Linkages among Scanning, Interpretation, Action and
Outcomes. Academy of Management Journal, 36, 239–270.

Thibodeau, P. 2007. Gartner’s Top 10 Strategic Technologies for 2008. Computerworld,
October 9.

Vintila, I. (2011). Ecological Footprint and Carbon Footprint of Organic and Conventional
Agrofoods Production, Processing and Services. Research in Organic Farm, 33-58.

Watson, R. T., M.-C. Boudreau, A. Chen, and M. H. Huber. (2008). Green IS: Building
Sustainable Business Practices. In Information Systems: A Global Text, edited by R.
T. Watson. 1–17. Athens, GA: Global Text Project.

Winn, M., J. Pinkse, and L. Illge. (2012). Case Studies on Trade-offs in Corporate
Sustainability. Corporate Social Responsibility and Environmental Management, 19
(2), 63–68.

Zhu, Q., J. Sarkis, and K.-H. Lai. 2012. Examining the Effects of Green Supply Chain
Management Practices and their Mediations on Performance Improvements.
Production Research, 50 (5), 1377–1394.

Zhu, Q., J. Sarkis, and K.-H. Lai. (2012). Examining the Effects of Green Supply Chain
Management Practices and their Mediations on Performance Improvements.
Production Research, 50 (5), 1377–1394.

Zuin, V.G. (2016). Circularity in green chemical products, processes and services:
innovative routes based on integrated eco-design and solution systems, Current
Opinion in Green and Sustainable Chemistry, 1-16.

Zhao, X., J. G. J. R. Lynch, and Q. Chen. 2010. Reconsidering Baron and Kenny: Myths
and Truths about Mediation Analysis. Consumer Research, 37 (2), 197–206.

Hal | 23

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 15 - 24

H a l | 24

Penggunaan pelarut organosolv sebagai upaya peningkatan efektifitas.….Sidna Kosim A, et al.

Penggunaan pelarut organosolv sebagai upaya peningkatan efektifitas dan
efisiensi teknologi proses industri pulp

Use of organosolv solvent as an effort to increase the effectiveness and efficiency
of pulp industry process technology

Sidna Kosim Aa.*, Bukhori Muslim Sb, Inda Rosnawindab, Rd. Anton Julianto Pc
aBalai Besar Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri
Jalan Ki Mangunsarkoro No.6, Semarang
bBalai Besar Pulp dan Kertas
Jalan Raya Dayeuhkolot No. 132, Bandung
cBalai Besar Bahan dan Barang Teknik
Jalan Sangkuriang No.14, Bandung
*[email protected]

ABSTRAK

Industri pulp dan kertas adalah salah satu sektor industri yang mendapatkan
prioritas dalam perkembangannya pada kebijakan industri nasional di Indonesia sehingga
efektifitas dan efisiensi dari industri tersebut menjadi perhatian. Proses pembuatan pulp
terdiri atas 4 kategori, yaitu secara mekanis, semi kimiawi, biologi dan kimiawi. Pulping
mekanis digunakan untuk membuat produk yang bersifat kaku dan tidak memerlukan
brightness tinggi. Pulping kimiawi sering digunakan karena menghasilkan produk lebih
stabil secara brightness, lebih teratur secara fisik dan lebih rata secara tekstur.
Sedangkan pulping semi kimiawi digunakan untuk memperoleh produk yang memerlukan
sebagian sifat dari proses mekanis dan juga proses kimiawi. Pulping kimiawi yang
mayoritas digunakan industri adalah proses Kraft dan Sulfit. Produk yang dihasilkan
memiliki rendemen rendah dan limbah yang tidak ramah lingkungan. Peningkatan
efisiensi dan efektivitas dengan menaikkan rendemen dapat dilakukan dengan beberapa
metode. Pulping secara organosolv merupakan upaya yang paling banyak dikembangkan
saat ini, dengan bahan pelarut lignin menggunakan bahan kimia organik. Pulping secara
organosolv lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan proses Kraft dan Sulfit karena
memperoleh rendemen lebih tinggi mencapai lebih dari 80% dan lebih ramah lingkungan.

Kata Kunci: pulp, pulping, efektivitas, efisiensi, organosolv

ABSTRACT

The pulp and paper industry is one of industrial sectors that gets priority in its
development in the national industrial policy in Indonesia so that the effectiveness and
efficiency of the industry must be the concern. The pulping process consists of 4
categories, they are mechanical, semi-chemical, biological and chemical. Mechanical
pulping is used to make rigid products and do not require high brightness. Chemical
pulping is often used because it products are more stable in brightness, more physically
organized and more even in texture. While semi-chemical pulping is used to obtain
products that require some of the properties of a mechanical process as well as a
chemical process. The chemical pulping mostly used in industry is the Kraft and Sulfit
process. The resulting product has a low yield and the waste is not environmentally
friendly. Increasing efficiency and effectiveness by increasing the yield can be done by
several methods. Organosolv pulping is the most widely developed effort at present, with
lignin solvents using organic chemicals. Organosolv pulping more effective and more
efficient than the Kraft and Sulfit process because it obtains a higher yield of more than
80% and is more environmentally friendly.

Keywords: pulp, pulping, effectivity, efficiency, organosolv

H a l | 25

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 25- 36

I. PENDAHULUAN

Berdasarkan berita nasional kementerian perindustrian tahun 2017, industri pulp
dan kertas merupakan salahsatu sektor yang mendapat prioritas dalam
pengembangannya pada kebijakan industri nasional. Hal ini karena Indonesia mempunyai
potensi terutama terkait bahan baku dimana produktivitas tanaman di Indonesia lebih
tinggi dibandingkan negara-negara pesaing yang beriklim subtropis. Selain itu, industri
pulp dan kertas memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian nasional.
Berdasarkan kinerja ekspornya, industri kertas berhasil menduduki peringkat pertama dan
industri pulp menduduki peringkat ketiga untuk ekspor produk kehutanan selama tahun
2011-2017.

Menurut Jayanti (2018), pulp adalah bubur kertas yang sering digunakan untuk
bahan pembuatan kertas yang dibuat dari bahan baku yang mengandung selulosa. Bahan
baku yang digunakan oleh industri pulp dapat berupa kayu gelondongan yang telah
dikupas kulitnya terlebih dahulu. Selain itu, telah berkembang juga penelitian dengan
memanfaatan bahan baku selain kayu berupa limbah hasil pertanian dan gulma perairan.
Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki kekayaan sumber hayati serat alam yang
melimpah (Rayhan et al, 2020).

Proses pembuatan pulp (pulping) dapat dilakukan secara mekanis, semikimiawi,
biologi, maupun kimiawi (Rayhan et al, 2020). Pembuatan pulp secara mekanis tidak
menghilangkan kandungan lignin atau hanya menghilangkan sebagian kandungan lignin
sehingga pulp yang dihasilkan mempunyai kandungan selulosa yang sedikit dan
menyebabkan produk bersifat kaku dan rapuh. Pembuatan pulp secara semikimia
merupakan kombinasi dari proses mekanis dan kimia. Serpihan kayu atau bahan berserat
lainnya terlebih dahulu dilunakkan di dalam digester menggunakan bahan kimia yang
kemudian diikuti dengan aksi mekanis menggunakan Refiner. Proses pembuatan pulp
secara biologi menggunakan sejumlah mikroorganisme berupa jamur perusak kayu yang
mampu mendegradasi lignin secara alami. Namun, jamur perusak kayu ini dapat
menyerang komponen non lignin seperti hemiselulosa dan selulosa sehingga mengurangi
kualitas pulp yang dihasilkan (Balai Besar Pulp dan Kertas., 2006).

Dari beberapa proses tersebut, proses pulping secara kimia lebih sering digunakan,
terutama proses kraft dengan solvent NaOH (Rayhan et al, 2020). Hal ini karena
lembaran pulp yang dihasilkan lebih stabil secara brightness, lebih teratur secara fisik dan
lebih rata secara tekstur. Inti dari pulping secara kimia adalah delignifikasi, yaitu
melarutkan lignin sebagai perekat antar serat sehingga komponen selain selulosa dapat
terdegradasi. Namun, kekurangan dari proses kraft adalah rendemen yang dihasilkan
rendah dan bahan-bahan yang digunakan tidak ramah lingkungan (Rayhan et al, 2020).

Berbagai upaya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses produksi pulp
telah dilakukan, yaitu dengan melakukan modifikasi proses, teknik RDH (Rapid
Displacement Heating), teknologi ITC (Isothermal Cooking), teknologi Lo-Solids, pulping
secara organosolv, dan pulping secara bio-kimia (Balai Besar Pulp dan Kertas., 2006).
Pulping secara organosolv merupakan upaya yang paling banyak dikembangkan saat ini.

Menurut Hidayati (2018), pulping secara organosolv terus mengalami
perkembangan di beberapa negara karena mempunyai beberapa keuntungan, baik
terhadap produk pulp yang dihasilkan maupun dampak terhadap lingkungannya. Hal ini
membuka peluang untuk proses peningkatan efektivitas dan efisiensi pada teknologi
proses pembuatan pulp di industri maupun terhadap produk penelitian pembuatan pulp
yang telah dikembangkan dari bahan baku lainnya.

II. PROSES PRODUKSI PULP DI INDUSTRI

Pulp terdiri atas bahan kayu atau lignoselulosa lain yang telah dihancurkan secara
fisik dan/atau kimiawi sehingga serat diskrit terlepas dan bisa dilarutkan dalam air serta
dapat dibentuk ulang seperti jaring. Terdapat empat katagori umum dari proses

H a l | 26

Penggunaan pelarut organosolv sebagai upaya peningkatan efektifitas.….Sidna Kosim A, et al.

pembuatan pulp, yaitu: kimiawi, biologi, semikimiawi (kombinasi kimia-mekanis) dan
mekanis yang berurutan sesuai naiknya energi mekanis yang diperlukan untuk
memisahkan serat dan berkurangnya ketergantungan akan reaksi kimia. Pemilihan jenis
proses pembuatan pulp tergantung pada spesies kayu yang tersedia dan penggunaan
akhir dari pulp yang diproduksi disajikan pada Tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1. Penggunaan dan spesies bahan baku untuk pemilihan proses pulping

Proses Penggunaan Spesies Bahan Baku

Pulping Mekanis1 Koran, Buku, Majalah Kayu keras atau kayu
lunak dengan warna

cerah

Pulping Kertas medium bergelombang Kayu keras
Semikimiawi2

Pulping Kimiawi2 Proses Kraft: kantong kertas, kertas Semua jenis kayu
pembungkus, kertas lainer, kertas cetak
(bleached) Kayu Keras, atau kayu
lainnya dengan basis
Proses Sulfit/Asam: Fine Paper, tisu, bahan kimia Mg2+
glassine, penambah kekuatan kertas
koran.

Sumber: 1)Jayanti.,2018; 2)Krahmer R.L. dan A.C. VanVliet (1983) dalam Bajpai (2018) dengan penyuntingan

Pembuatan pulp secara mekanis dilakukan hanya dengan menggunakan reduksi
mekanis untuk membuat lignoselulosa menjadi pulp tanpa menggunakan bahan kimia
selain air dan uap. Pada pembuatan pulp mekanis, lignin tidak dihilangkan atau hanya
dapat dihilangkan sebagian. Produk pulp akan menghasilkan lembaran kertas yang tebal
dan memiliki opasitas yang baik karena serat-serat pulp masih menyatu dengan
komponen lignoselulosa yang lain. Nilai rendemen (Yield) pulp yang dihasilkam berada
diantara 90%-95% dan termasuk tinggi. Rendemen mengindasikan banyaknya material
yang didapatkan setelah proses tertentu dibandingkan dengan jumlah bahan baku
sebelum proses tersebut.

Proses semikimiawi merupakan kombinasi antara proses kimiawi dan mekanis,
sehingga sifat-sifat dan rendemen yang dihasilkan pun merupakan nilai tengah antara
kedua proses tersebut dengan rendemen berkisar antara 70%-80%. Proses ini
dibutuhkan untuk mendapat kertas yang kaku namun masih dapat dibentuk dengan
cetakan.

Menurut Hidayati (2018), proses kimiawi merupakan proses yang paling
mendominasi dan banyak digunakan di industri pembuatan pulp. Secara umum jenis
proses pembuatan pulp dengan kimia terdiri dari proses alkali (soda, sulfat, dan kraft),
proses asam (sulfit) dan proses organosolv. Prinsipnya, pemrosesan secara kimia adalah
pelarutan lignin (perekat antar serat) dengan bahan kimia sehingga disebut delignifikasi.
Dengan proses tersebut, serat pulp yang dihasilkan lebih panjang dan utuh, lebih
fleksibel, serta kuat bila dibandingkan dengan pemrosesan secara mekanis. Susunan
pulp yang diperoleh secara kimiawi memiliki opasitas lebih rendah dan lebih stabil.
Rendemen yang dihasilkan bervariasi dari 45%-70% tergantung bahan kimia yang
digunakan, serta dilakukan atau tidaknya pemutihan (bleaching) pada produk yang
dihasilkan nanti. Rendemen dan sifat pulp dari proses tersebut disajikan pada Tabel 2.

H a l | 27

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 25- 36

Tabel 2. Rendemen dan Sifat Pulp

Proses Sifat Pulp Rendemen
92%-96%
Pulping Mekanis1 Opasitas, kelembutan, dan bulkiness
tinggi, kecerahan dan kekuatan rendah

Pulping Semikimiawi2 Kekakuan yang baik namun dapat 70%-80%
dicetak

Pulping Kimiawi2 Kraft Process: kekuatan tinggi, 65%-70% (kertas
berwarna coklat bila tidak di-bleach coklat),
47%-50% (pulp yang
dapat di-bleach);
46%-48% setelah
bleaching

Proses Sulfit/Asam: berwarna coklat Kayu Keras:
muda (tanpa bleaching), mudah di- 48%-51% (pulp yang
bleach hingga kecerahan tinggi, lebih dapat di-bleach);
rapuh dibanding proses kraft namun 46%-48% setelah
rendemennya lebih tinggi. bleaching.
bila menggunakan kayu lunak warna Kayu Lunak:
akan lebih muda. 50%-51% (pulp yang
dapat di-bleach);
48%-50% setelah
bleaching.

Sumber: 1)Sharma et al., 2020; 2)Krahmer R.L dan A.C. Van Vliet (1983) dalam Bajpai (2018) dengan
penyuntingan.

2.1 Proses Pembuatan Pulp Secara Kimiawi Menggunakan Larutan Alkali
Proses pembuatan pulp menggunakan larutan alkali terbagi menjadi 2 yaitu dengan

menggunakan soda dan sulfat atau disebut juga proses kraft. Proses menggunakan
bahan berjenis soda (NaOH) sudah banyak ditinggalkan karena terbatas hanya untuk
bahan baku yang mudah diproses seperti jerami, sehingga beralih ke proses kraft.
Perkembangan terbaru adalah dengan penggunaan oksigen di prosesnya.

Proses Sulfat menggunakan bahan kimia pemasak Na2S dan NaOH yang bereaksi
dengan komponen-komponen kimia lignin dan selulosa dalam kayu. Hasilnya akan
membentuk persenyawaan lignin yang larut, metil merkaptan (CH3SH), dan dimetil sulfida
(CH3SCH3) yang menjadi sumber bau dalam proses Pulping. Sisa bahan kimia pemasak
berbentuk cairan yang disebut lindi hitam (black liquor). Bahan kimia pemasak ini dapat
diperoleh kembali melalui proses daur ulang dalam chemical recovery plant untuk
pemasakan berikutnya. Lignin dan bahan organik lainnya dapat digunakan sebagai bahan
bakar (energi). Emisi gas yang yang dihasilkan dari recovery boiler berupa debu, NOx,
SO2, TSR (total reduced sulphur), dan CO2, serta limbah padat berupa dreg dan grit.

Salah satu kelebihan proses proses kraft adalah bisa digunakan untuk berbagai
jenis kayu baik kayu keras maupun lunak, bahkan untuk bisa untuk beberapa jenis non
kayu sepeti jerami. Namun, penggunaan kraft untuk bahan non kayu tidak umum
digunakan karena kekuatan pulp yang dihasilkan proses ini lebih rendah dibandingkan
jika menggunakan proses soda (Liu et al.,2018).

Menurut Ndukwe et al. (2008), yield dari proses Pulping dipengaruhi oleh kadar
selulosa dan hemiselulosa serta kadar dan jenis lignin dalam bahan baku. Berdasarkan
perbandingan beberapa persentase hasil Pulping dari berbagai jenis kayu di Norwegia,
yield yang diperoleh dari proses kraft berkisar pada 39% sampai 50%.

H a l | 28

Penggunaan pelarut organosolv sebagai upaya peningkatan efektifitas.….Sidna Kosim A, et al.

2.2 Proses Pembuatan Pulp Secara Kimiawi Menggunakan Asam (Sulfit)
Proses Sulfit merupakan proses pulping secara kimia menggunakan campuran

asam sulfit (H2SO3) dan ion bisulfit (HSO3) sebagai larutan pemasak. Ion kalsium,
magnesium, natrium dan ammonium adalah beberapa bahan kimia dasar untuk bisulfit.
Lignin akan terlarut dan berikatan dengan sulfit menghasilkan garam dari asam
lignosulfonik dalam larutan pemasak pada proses asam sulfit. Selain itu, proses sulfit
dapat diterapkan pada berbagai kondisi pH. Namun, proses pulping menggunakan sulfit
akan menghasilkan sulfur bebas berlebih (pH 1-2). Pulp yang dihasilkan dari proses ini
berwarna lebih cerah dibanding dengan pulp kraft dan lebih mudah di bleaching, namun
lembaran kertasnya lebih lemah (Hidayati et al, 2018).

Proses Sulfit memiliki beberapa jenis proses berdasarkan kondisi pH pemasakan.
Asam sulfit proses menggunakan larutan pemasakan dengan pH 1.5-2, Bisulfit proses
memiliki rentang pH 3-4, proses ini memberikan yield 57%-75%, lalu Netral Sulfit berkisar
pada pH 7-8, dan yang terakhir Alkaline Sulfite dengan pH 10-13.5 Proses ini memiliki
kelebihan pulp yang tidak berbau jika dibandingkan dengan proses kraft (Bajpai, 2018; Liu
et al., 2018). Tabel 3 menunjukkan keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan
proses kraft dan sulfit.

Tabel 3. Keuntungan Proses Kraft dan Sulfit

No Proses Kraft Proses Sulfit

1 Pulp yang dihasilkan lebih kuat Pulp yang dihasilkan lebih cerah

2 Bahan kimia dapat digunakan kembali Pulp lebih mudah di-bleach

3 Berbagai spesies kayu dapat digunakan Menghasilkan pulp yang di-bleach

digunakan sebagai bahan baku dengan yield yang lebih tinggi

4 Dapat mentolerir kulit kayu dalam proses Pulp lebih mudah dimurnikan

Sumber: Smook (2002) dalam Hidayati et al. (2018)

Selain beberapa keuntungan di atas, pulping dengan proses soda, kraft dan sulfit
juga mempunyai bebepa kekurangan mulai dari yiel yang dihasilkan rendah karena
sebagian selulosa terdegradasi selama proses, proses Kraft menghasilkan pulp yang
berbau, memerlukan biaya produksi tinggi karena meggunakan bahan kimia dalam jumlah
besar, dan berpotensi mencemari lingkungan (Hidayati, 2018; Sharma, 2020; Bajpai,
2018).

III. PROSES PULPING ORGANOSOLV

Pulping secara organosolv merupakan salahsatu proses pembuatan pulp secara
kimiawi menggunakan bahan kimia organik seperti metanol, etanol, aseton, asam asetat,
dan lain-lain (Rayhan et al., 2020). Proses ini telah terbukti memberikan dampak yang
baik bagi lingkungan (Muis, 2013). Hal ini disebabkan Rendemen pulp yang tinggi,
recovery larutan sisa (black liquor) lebih mudah dan tanpa unsur sulfur sehingga lebih
ramah lingkungan merupakan beberapa keuntungan dari proses pulping secara
organosolv. Pulping secara organosolv tidak menimbulkan pencemaran seperti gas-gas
berbau yang disebabkan oleh belerang seperti pada proses kraft (Muis, 2013). Hasil
samping berupa lignin dan hemiselulosa didapatkan dengan konsentrasi yang tinggi.
Tahapan proses pulping secara organosolv disajikan pada Gambar 1 sebagai berikut:

H a l | 29

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 25- 36

Gambar 1. Proses Pulping Secara Organosolv
Pulping secara organosolv dapat menggunakan larutan pemasak berupa alkohol
yang disebut dengan proses alcell (alcohol cellulose). Proses alcell menggunakan alkohol
dapat ditambahkan HCl sebagai katalis. Proses ini sangat efisien apabila digunakan pada
bahan baku kayu keras, cemara, dan tanaman herba. Biaya yang dikeluarkan oleh indusri
lebih efisien dan volume black liquor yang dihasilkan lebih kecil. Solvent berupa etanol
dapat memisahkan lignin dari kayu. Etanol mampu mendelignifikasi kayu softwood
maupun hardwood pada konsentrasi 40%-70% (Prahmana et al, 2020;Corry et al., 2019).
Selain itu, dapat juga menggunakan larutan pemasak asam asetat yang disebut
dengan proses acetosolv/acetocell (Rayhan et al., 2020). Lignin, selulosa dan
hemiselulosa dapat dipisahkan oleh asam asetat secara selektif dari berbagai biomassa,
termasuk kayu lunak dan kayu keras. Proses acetocell menggunakan asam asetat dapat
ditambahkan asam klorida atau asam sulfat sebagai katalis. Proses ini telah digunakan
pada berbagai bahan baku seperti ampas tebu, kayu keras, kayu lunak, pinus, dan lain-
lain (Jayanti, 2018). Proses ini dapat dilakukan juga pada suhu tinggi tanpa
menambahkan katalis dan dilakukan pada tekanan atmosfer.
Pabrik percontohan di Amerika Serikat telah mengembangkan proses alcell pada
pulping secara organosolv. Pabrik percontohan di Kanada dan Jerman telah mampu

H a l | 30

Penggunaan pelarut organosolv sebagai upaya peningkatan efektifitas.….Sidna Kosim A, et al.

menghasilkan pulp yang setara dengan kekuatan pulp kraft serta menghasilkan rendemen
dan recovery yang tinggi menggunakan proses acetocell (Syamsu et al., 2013).

IV. EFISIENSI DAN EFEKTIFITAS PULPING SECARA ORGANOSOLV

Pembuatan pulp akan optimal apabila diperoleh pulp dengan penurunan kadar lignin
yang tinggi sehingga kadar selulosa yang dihasilkan meningkat. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi proses pulping yaitu jenis dan konsentrasi solvent, rasio antara bahan
baku dengan solvent, temperatur, waktu digesting, jenis serta ukuran bahan baku (Rayhan
et al., 2020). Rendemen perolehan pulp pada industri pulp kimia berikisar antara 35%
sampai dengan 53% dan kandungan α-selulosa harus lebih besar dari 80% (Muis, 2013).

Muis (2013) telah melakukan penelitian proses pulping secara organosolv
menggunakan bakan baku jerami dan larutan pemasak etanol dengan konsentrasi yang
divariasikan. Perbandingan jerami dan etanol adalah 20:1. Autoclave digunakan sebagai
digester dan dioperasikan pada tekanan 14 psi (1 atm) dan temperatur 120oC. Selain
variasi konsentrasi etanol, dilakukan juga variasi terhadap waktu. Terdapat tiga hal yang
diamati dari hasil penelitiannya, yaitu pengaruh konsentrasi etanol dan waktu digesting
terhadap perolehan pulp, pengaruh konsentrasi dan waktu pemasakan terhadap
kandungan α-selulosa serta pengaruh waktu pemasakan dan konsentrasi etanol terhadap
kandungan lignin.

Perolehan pulp tertinggi diperoleh pada waktu pemasakan 125,9 menit dengan
konsentrasi etanol 50%. Sedangkan perolehan pulp terendah diperoleh pada waktu
pemasakan 140 menit dengan konsentrasi etanol 64,1%. Kandungan α-selulosa tertinggi
diperoleh pada konsentrasi etanol 64,1% dengan waktu pemasakan 140 menit, yaitu
sebesar 83,3%. Sedangkan kandungan α-selulosa terendah diperoleh pada konsentrasi
etanol 50% dengan waktu pemasakan 125,9 menit, yaitu sebesar 68,7%. Maka pada
waktu pemasakan 140 menit dengan konsentrasi etanol 50% dan 64,1% telah
menghasilkan kandungan α-selulosa yang sesuai standar industri kimia. Kandungan lignin
tertinggi diperoleh pada waktu pemasakan 125,9 menit dengan konsentrasi etanol 50%,
yaitu sebesar 9,4%. Sedangkan perolehan pulp terendah diperoleh pada waktu
pemasakan 140 menit dengan konsentrasi etanol 64,1% yaitu sebesar 2,2%.

Glenn et al., (2020) telah melakukan penelitian proses pulping secara organosolv
dengan bahan baku daun nanas kering dan basah menggunakan solvent etanol 70% serta
asam asetat 75%. Temperatur yang digunakan adalah 118oC pada tekanan 1 atm. Rasio
antara solvent dengan bahan baku adalah 10:1. Parameter yang diamati adalah jenis
solvent, waktu pemasakan dan tingkat kekeringan daun. Alat digester yang digunakan
merupakan digester tertutup yang ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Digester Tertutup (Glenn et al.,2020)

H a l | 31

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 25- 36
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa faktor yang paling berpengaruh pada

pulping secara organosolv adalah jenis solvent. Kondisi operasi optimum diperoleh ketika
menggunakan solvent etanol 70% dengan waktu digesting 60 menit, temperatur 118oC
dan tekanan 1 atm dengan bahan baku daun nanas basah. Kadar selulosa yang
diperoleh adalah 96,31% serta penurunan kadar lignin 17,80%.

Dari hasil penelitian diatas, produk pulp yang diperoleh sudah memenuhi standar
industri pulp, bahkan rendemen pulp yang diperoleh lebih tinggi daripada proses kraft dan
sulfit. Dengan hasil yang lebih tinggi tersebut, maka penggunaan bahan baku pembuatan
pulp lebih efisien jika menggunakan proses organosolv.

Salah satu industri di Indonesia yang memproduksi pulp adalah PT Riau Andalan
Pulp and Paper (RAPP). Proses produksi pulp di PT RAPP terbagi menjadi 4 garis
produksi. Garis produksi pada PT RAPP dikenal dengan sebutan fiberline. Fiberline 1 dan
3 memproduksi pulp berbahan baku kayu jenis akasia dengan kapasitas produksi masing-
masing 2600 dan 2100 ton/hari. Fiberline 2 memproduksi pulp berbahan baku kayu jenis
mix hardwood dengan kapasitas produksi 3400 ton/hari. Sementara Pin Chip Digester
khusus untuk memproduksi pulp yang berasal dari chip kayu akasia dan MHW yang
berukuran 3-7 mm dengan kapasitas produksi 450 ton/hari.

Secara garis besar, proses produksi pulp pada departemen fiberline terbagi menjadi
4 tahap utama yaitu woodyard and chip screening, digesting, washing dan bleaching.
Setelah melalui proses produksi, pulp kemudian dikeringkan di area pulp dryer.

PT RAPP menggunakan proses Kraft untuk mengkonversikan kayu menjadi pulp,
dimana pada proses ini, digunakan bahan kimia berupa white liquor untuk
menghancurkan lignin yang terdapat di dalam kayu. Senyawa aktif yang berperan untuk
mengurai lignin dari kayu pada white liquor adalah Na2S dan NaOH. Proses digesti di PT
RAPP untuk fiberline 1 dan 2 menggunakan digester mode super batch sementara untuk
fiberline 3 dan Pin Chip Digester menggunakan digester mode kontinu. Secara garis
besar, proses produksi pulp di PT RAPP dapat dilihat pada gambar 3 sebagai berikut.

Gambar 3. Proses Produksi Pulp PT RAPP (aprilasia.com/id/produk/produk-pulp)

Berdasarkan Tabel 2, maka PT. RAPP hanya mendapatkan rendemen pulp sebesar
46%-48% setelah proses bleaching, karena proses pulping yang digunakan adalah
proses Kraft. Hal ini dapat ditingkatkan efisiensi produksinya dengan mengganti proses
Kraft dengan proses Organosolv. Selain itu, jumlah digester yang digunakan sebanyak 28
buah dengan mode super batch dan kontinu. Digester yang paling banyak adalah digester
yang digunakan untuk mode super batch karena harus dibagi-bagi proses digesting nya
ke dalam beberapa tahapan. Tahap-tahap tersebut kemudian dilakukan secara berurutan
pada satu unit digester secara bergantian. Hal ini menyebabkan jumlah digester terlalu
banyak sehingga jumlah energi yang dipakai pun sangat besar. Selain itu, efektifitas
personel berkurang karena harus mengendalikan pengoperasian mode super batch dan
kontinu.

Sinta et al., (2015) telah melakukan penelitian terkait peningkatan efisiensi dan
efektifitas proses produksi industri pulp kimia secara organosolv dengan tahapan proses
pre-treatment, proses digesting, proses bleaching dan proses post-treatment. Diagram alir
rancangan proses tersebut disajikan pada Gambar 4 sebagai berikut:

H a l | 32

Penggunaan pelarut organosolv sebagai upaya peningkatan efektifitas.….Sidna Kosim A, et al.

Gambar 4. Peningkatan efisiensi dan efektifitas produksi pulp (Sinta at al., 2015)

Dari gambar 4, terlihat bahwa digester yang digunakan hanya digester kontinu.
Larutan digesting yang digunakan adalah asam asetat 85%. Perbandingan larutan
digesting dengan bahan baku yang digunakan adalah 1:12. Kondisi operasi yang
digunakan adalah temperatur 170oC, waktu digesting selama 2 jam dan tekanan 8 bar.
Tekanan 8 bar ini dapat diturunkan menjadi 1 bar (1 atm), tergantung dari banyaknya
bahan baku yang akan diolah. Dari hasil penelitian ini, selain mengganti dengan pelarut
organosolv, jumlah digester dapat dikurangi dengan hanya menggunakan digester kontinu
sehingga proses produksi lebih efisien.

V. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil review yang dilakukan, proses pulping secara organosolv lebih efektif dan

efisien jika dibandingkan dengan proses pulping secara kimia lainnya seperti proses Kraft
dan proses Sulfit. Rendemen pulp yang diperoleh lebih dari 80% sehingga efisiensi
penggunaan bahan baku akan meningkat. Selain itu, pengurangan jumlah digester yang
digunakan pada proses pulping dapat mengurangi pemakaian energi dan menciptakan
cost reduction. Efektifitas personel juga semakin meningkat apabila digunakan satu tipe
digester saja, yaitu digester kontinu. Dari hasil review tersebut, penulis memberikan saran
untuk meneliti lebih lanjut mengenai efektifitas solvent organosolv yang digunakan. Hal ini
karena solvent organosolv memiliki volatilitas yang tinggi sehingga pada saat proses
digesting, solvent organosolv akan menguap dalam jumlah yang tidak sedikit dan
bagaimana cara untuk mengendalikan laju penguapannya tersebut agar pulping lebih
efektif dan efisien. Kemudian, dilakukan penelitian mengenai efektifitas penggunaan jenis
digester yang digunakan selain mempertimbangkan kebutuhan energi seperti bentuk
digester dan konstruksi digester.

UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas

rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. Penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada Bapak/Ibu peneliti dan perekayasa di B4T, BBPK dan
BBTPPI yang telah membantu penulis dalam studi literatur dan memberikan arahan
penulisan naskah review. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada CPNS
kelompok 3 yang selalu saling memberikan motivasi untuk menyusun karya tulis ilmiah ini
agar memberikan hasil yang optimal. Semoga karya tulis ini bermanfaat untuk pihak-pihak
yang membutuhkan dan sebagai literatur untuk mengembangkan penelitian terkait.

H a l | 33

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 25- 36
DAFTAR PUSTAKA

A. Gunawan, D.E. Sihotang, & M.Y. Thoha, 2012, Pengaruh Waktu Pemasakan dan

Volume Larutan Pemasak Terhadap Viskositas Pulp Dari Ampas Tebu, Jurnal

Teknik Kimia. 2 (18), 1-8. [Online].

Bajpai, Pratima. 2018. Biermann’s Handbook of Pulp And Paper: Raw Material and Pulp

Making. United State: Elsevier.

Balai Besar Pulp dan Kertas. (2006). Panduan Penerapan Teknologi Ramah Lingkungan

pada Industri Pulp dan Kertas. Bandung : Tim.

Coniwanti, P.; Novalina, S.; Putri, I. K. (2009). Pengaruh Konsentrasi Larutan Etanol,

Temperatur Dan Waktu Pemasakan Pada Pembuatan Pulp Eceng Gondok Melalui

Proses Organosolv. Jurnal Teknik Kimia 16(4), 34-41.

Corry P.S, I. Wayan, & Sri Widyani. 2019. Pengaruh konsentrasi etanol terhadap aktivitas

antioksidan dan ekstrak rimpang ilalang pada ekstraksi menggunakan gelombang

ultrasonik. ISSN:2527-8010.

G. Anggista, I.T. Pangestu, D. Handayani, M.E. Yulianto, S. Kusuma, 2019, Penentuan

Faktor Berpengaruh Pada Ekstraksi Rimpang Jahe Menggunakan Extraktor

Berpengaduk, Gema

Teknologi. 20(3), 80-84. [Online].

H. Kirci, & M. Akgul, 2002, Production of Dissolving Pulp from Poplar Wood by

EthanolWater Process, Turk. J. Agric. For, 26:239-245.

Hidayati, Sri, Wisnu Satyajaya dan Dewi Agustina Iryani. 2018. Teknologi Pulp dan Kertas

Pulping Non Kayu. Yogyakarta: Graha Ilmu.

https://kemenperin.go.id/artikel/19890/Industri-Pulp-dan-Kertas-Dipacu-Manfaatkan-

Teknologi-Ramah-Lingkungan, diakses 28 Juni 2021

https://www.aprilasia.com/id/produk/produk-pulp, diakses 29 Juni 2021

I. Wibisono, H. Leonardo, Antaresti, Aylianawati, 2011, Pembuatan Pulp dari Alang-Alang,

Widya Teknik, 10(1) : 11-20.

Istiadi Pratama (2015). Laporan kerja praktik PT. Riau Andalan Pulp and Paper (Laporan

Kerja Praktik). Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Jayanti, C. D., (2018). Pembuatan Pulp Dari Limbah Sabut Kelapa Muda Dengan Metode

Organosolv Menggunakan Pemanas Microwave. Universitas Muhamadiyah

Surakarta.

Kementrian Perindustrian. 2017. Produksi Pulp dan Kertas Manfaatkan Bahan Non Kayu,

Berita Industri

Liu, Zhong, Wang, Huimei & Hui, Lanfeng. (2018). Pulping and Papermaking of Non-

Wood Fibers.

Muis, L. (2013). Pulpinisasi Jerami Pada Menggunakan Metode Organosolv. Jurnal

Sainmatika 7(1), 1-6.

Muurinen, E. (2000). Organosolv Pulping: A Review and Distillation Study Related to

Peroxyacid Pulping. Oulu: University of Finland.

Ndukwe, N.A, Jenmi, F.O., Okiei dan Alo, B.I. (2008). Comparative Study of Percentage

Yield of Pulp from Various Nigerian Wood Species Using The Kraft Process.

Nuclea, S.; Hariandini, D. K.; Prajitno, D. H. (2015). Pabrik Pulp Dari Tandan Kosong

Kelapa Sawit (TKKS) Dengan Proses Acetocell. Institut Teknologi Sepuluh

November.

Nurhidayani; Tamboesai, E. M. (2013). Perbandingan Metode Sulfat (kraft) Dan

Organosolv Dalam Pembuatan Pulp Berbahan Baku Daun Nanas (ananas

comusus meer). Universitas Riau.

Pramana, A.; Cahyanto, M. N.; Adhianata, H.; Zalfiatri, Y. (2020). Karakteristik Fisik

Ligninpada Serat Tandan Kosong Kelapa Sawit PT. Tunggal Perkasa

Plantation Provinsi Riau Menggunakan Metode Organosolv. Jurnal

Pengendalian Pencemaran Lingkungan. 2(1), 44-49.

H a l | 34

Penggunaan pelarut organosolv sebagai upaya peningkatan efektifitas.….Sidna Kosim A, et al.

Rayhan, G. M.; Fachrina, S.; Amalia, R. (2020). Desain Eksperimental Faktorial Untuk
Penentuan Faktor Paling Berpengaruh Pada Proses Pulping Organosolv

Berbahan Baku Limbah Daun Nanas. Gema Teknologi 20(4), 120-124.
Rehman, N., Miranda, M., Rosa,S S., Pimentel, S., Nachtigall. 2014. Cellulose and

nanocellulose from maize straw : an insight on the crystal properties. Journal
polymer Environ. 22: 252-259.
Rodrigues, A.; Espinosa, E.; Dominguez-Robles, J.; Sanchez, R.; Bascon, I.; Rosal, A.,
(2018). Different Solvents for Organosolv Pulping. InTech Open 33-54.
Sharma, Nidhi, Bhawana, Godiyal, R.D dan Thapliyal B.P. (2020). A Riview on Pulping,
Bleaching and Papermaking Process.
SNI 8429:2017. Lignin tidak larut asam dalam kayu dan pulp (T 222 om-15, IDT). Diakses
pada 02 Juli 2021 dari http://sispk.bsn.go.id/SNI/DetailSNI/11513.
Sugesty, S., Kardiansyah, T., dan Pratiwi, W. 2015. Potensi acacia
crassiacarpa sebagai bahan baku pulp untuk hutan tanaman industri.
Jurnal Selulosa. 5:21-32
Syamsu, K.; Roliadi, H.; Candra, K. P.; Arsyad, A. J. (2013). Kajian Proses Produksi Pulp
Dan Kertas Ramah Lingkungan Dari Sabut Kelapa. Jurnal Teknologi Pertanian.
9(1), 16-25.
Widarta, I.W.R dan I.W Arnata. 2017. Ekstraksi komponen bioaktif daun alpukat dengan
bantuan ultrasonik pada berbagai jenis dan konsentrasi pelarut. Jurnal AGRITECH
37(2):148-157.

H a l | 35

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 25- 36

H a l | 36

Penurunan downtime pengelasan radiator akibat water hammer pada ….Tri Muhadi Rahman, et al.

Penurunan downtime pengelasan radiator akibat water hammer
pada area flash dryer mesin produksi tapioka

Reduced radiator welding downtime due to water hammer in the flash dryer area of
tapioca production machines

Tri Muhadi Rahmana,*, Dede Ardiansyah Ha, Catur Puspitasarib, Riska Wahyu Arum
KSb

a Balai Besar Industri Hasil Perkebunan
Jalan Prof. Abdurrahman Basalamah 28 Makassar
b Balai Besar Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri

Jalan Ki Mangunsarkoro No. 6 Kota Semarang
*[email protected]

ABSTRAK

Seiring dengan kemajuan teknologi, industri manufaktur dituntut untuk menerapkan
efektivitas dan efisiensi dalam proses produksinya. Hal ini sejalan dengan program
industri hijau yang terdapat di dalam peta jalan Making Indonesia 4.0. Pada salah satu
industri manufaktur yang memproduksi tepung tapioka, terdapat masalah dalam proses
produksinya yaitu adanya downtime pengelasan radiator bocor dalam mesin produksi
yang disebabkan oleh water hammer pada area flash dryer. Masalah ini tentunya
memberikan dampak terhadap efektivitas dan efisiensi produksi, salah satunya yaitu
menurunnya kuantitas produk jadi. Penyebab dari radiator bocor adalah desain pipa outlet
kondensat yang tidak sesuai menyebabkan jalur kondensat tidak lancar dan header
radiator yang bertingkat dan tegak lurus menyebabkan kondensat tergenang, kapasitas
steam trap yang tidak mencukupi (hanya ada 1 unit steam trap yang terpasang
sedangkan ada 5unit heat exchanger), material pipa steam header yang tipis
menyebabkan kebocoran ketika ada tekanan tinggi dari steam. Penyelesaian dari
masalah-masalah tersebut adalah dengan cara penggantian desain pipa outlet kondensat
agar laju alir kondensat lancar, penambahan steam trap dengan menggunakan plat
orifice, dan mengganti material pipa steam header dari ketebalan 5 mm menjadi 10 mm.
Dengan begitu tidak akan terjadi downtime pengelasan radiator bocor akibat water
hammer dan proses produksi akan berjalan lebih efektif dan efisien.

Kata Kunci : downtime, water hammer, steam trap, heat exchanger, plat orifice

ABSTRACT

Along with technological advances, the manufacturing industry is required to
implement effectiveness and efficiency in its production process. This is in line with the
green industry program contained in the Making Indonesia 4.0 roadmap. In one of the
manufacturing industries that produce tapioca flour, there is a problem in the production
process, namely the downtime of leaking radiator welding in the production machine
caused by water hammer in the flash dryer area. This problem certainly has an impact on
the effectiveness and efficiency of production, one of which is the decrease in the quantity
of finished products. The cause of a leaky radiator is an inappropriate design of the
condensate outlet pipe causing the condensate path to run not smooth and the radiator
headers which are stratified and perpendicular to cause condensate to be flooded,
insufficient steam trap capacity (only 1 steam trap is installed while there are 5 heat
exchangers), the thin steam header pipe material causes leakage when there is high
pressure from the steam. The solution to these problems is by changing the design of the
condensate outlet pipe so that the condensate flow rate is smooth, adding a steam trap
using an orifice plate, and changing the steam header pipe material from a thickness of 5

H a l | 37

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 37- 44

mm to 10 mm. That way there will be no downtime of leaking radiator welding due to
water hammer and the production process will run more effectively and efficiently.

Keywords : downtime, water hammer, steam trap, heat exchanger, orifice plate

I. PENDAHULUAN

Dalam pengelolaan proses produksi, perusahaan-perusahan manufaktur dituntut
untuk dapat mengelolanya agar lebih efisien dan efektif. Hal ini sejalan dengan praktek
industri hijau yaitu salah satu program prioritas yang terdapat di dalam peta jalan Making
Indonesia 4.0. Industri hijau sendiri merupakan sebuah ikon industri yang harus dipahami
dan dilaksanakan, yaitu industri dalam proses produksinya menerapkan upaya efisiensi
dan efektivitas terhadap penggunaan sumber daya secara berkelanjutan (Kemenperin,
2020).

Salah satu industri yang bergerak di bidang produksi bahan makanan yaitu industri
tapioka. Industri tapioka merupakan salah satu jenis industri hasil pertanian yang cukup
banyak tersebar di Indonesia. Banyaknya industri tapioka ini didorong oleh keadaan
produksi ubi kayu di Indonesia khususnya di Jawa Barat. Industri tapioka di Indonesia
terbagi menjadi industri berkapasitas kecil, menengah, dan besar yang beroperasi secara
nasional. Industri tapioka skala kecil adalah industri yang menggunakan teknologi proses
dan peralatan tradisional dengan kemampuan produksi 5ton bahan baku per hari. Skala
menengah adalah industri yang menggunakan teknologi proses dan peralatan yang lebih
sederhana dibandingkan industri skala besar serta mempunyai kemampuan produksi
sampai 20ton bahan baku per hari. Skala besar adalah industri yang menggunakan
teknologi proses produksi mekanis penuh dan mempunyai kemampuan produksi diatas
200ton bahan baku per hari, (Indrasti & Fauzi, 2009).

Dalam proses produksi tepung tapioka pada salah satu perusahaan manufaktur,
terdapat salah satu masalah yang membuat proses kurang efisien, yaitu hilangnya waktu
produktif karena terjadinya downtime sehingga hal ini memberikan dampak buruk dalam
beberapa aspek. Downtime merupakan berhentinya proses produksi, yang bisa
disebabkan oleh hal-hal yang direncanakan (scheduled seperti penggantian atau
perawatan peralatan yang terjadwal), atau hal yang tidak direncanakan (unscheduled
akibat kerusakan peralatan, kekurangan operator, atau kesalahan bahan baku)
(Soemohadiwidjojo, 2017). Downtime akibat dari pengelasan radiator yang seringkali
bocor pada mesin produksi di pabrik tapioka ini termasuk downtime unscheduled. Hal ini
menyebabkan berkurangnya kuantitas produk jadi tepung tapioka, berpotensi kehilangan
margin, biaya maintenance yang cukup besar, proses produksi menjadi terhambat,
semangat kerja karyawan menurun akibat pengerjaan radiator yang susah dan lama jika
terjadi kebocoran, suara bising yang dapat menyebabkan lingkungan kerja tidak nyaman
serta hentakan water hammer yang besar dapat berpotensi menyebabkan ledakan. Dari
berbagai aspek tersebut, mulai dari kualitas, biaya, keamanan, lingkungan, dan lain-lain,
maka untuk meningkatkan produktivitasnya perusahaan perlu melakukan perbaikan-
perbaikan dalam proses produksinya.

II. BAHAN DAN METODE

Proses produksi tepung tapioka adalah dimulai dengan menginput raw material
(bahan baku) singkong yang sebelumnya sudah disimpan di ruang bahan baku.
Kemudian dilanjutkan dengan proses washing, singkong dimasukkan ke dalam alat
pengupas kulit sekaligus mesin pembersih yang bertujuan untuk memisahkan singkong
dari kotoran-kotoran yang melekat di kulit singkong. Biasanya jenis singkong yang akan
digunakan salah satunya adalah singkong jenis kasetat dan thailand karena jenis
singkong tersebut mengandung kadar aci yang tinggi. Proses selanjutnya yaitu milling and
rasping (penggilingan dan pemarutan), bertujuan untuk memperkecil ukuran singkong

H a l | 38


Click to View FlipBook Version