The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Prosiding Industri Hijau 2021 - BSKJI Kemenperin

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by boejanxelana, 2021-09-26 20:43:31

Prosiding Seminar Industri Hijau

Prosiding Industri Hijau 2021 - BSKJI Kemenperin

Keywords: industri,hijau

Penurunan downtime pengelasan radiator akibat water hammer pada ….Tri Muhadi Rahman, et al.

serta untuk menghancurkan singkong agar diperoleh hasil yang maksimal. Setelah itu
proses extracting atau pemerasan, yang bertujuan untuk memisahkan cairan yang
mengandung pati dengan ampas. Bubur singkong disaring, kemudian cairan pati yang
dihasilkan ditampung dalam penampung. Proses berikutnya adalah refining atau
pemisahan, bertujuan untuk memisahkan cairan pati yang kental dengan cairan yang
ringan (air limbah) dengan cara pengendapan. Proses selanjutnya adalah dewatering and
drying (pengeringan), pati yang masih basah selanjutnya dikeringkan menjadi tepung.
Hasil pengeringan berupa gumpalan tepung kasar yang kemudian digiling dan diayak
untuk mendapatkan tepung tapioka yang halus sebagai produk jadi. Proses yang terakhir
adalah packing (pengemasan), tepung tapioka yang sudah jadi kemudian dikemas
dengan menggunakan karung dari nilon dan siap dipasarkan ke berbagai tempat.

Metode yang kami gunakan dalam pelaksanaan riset ini sebagai berikut:
1. Menentukan pokok permasalahan
2. Menentukan penyebab-penyebab dari pokok permasalahan
3. Menyusun rencana perbaikan terhadap penyebab permasalahan
4. Melaksanakan rencana perbaikan yang telah disusun
5. Melakukan evaluasi terhadap hasil perbaikan

Berikut adalah lama waktu downtime untuk setiap kategori masalah yang terjadi
pada pabrik tapioka selama 3 bulan.

Tabel 1. Daftar Kategori Masalah dalam Proses Produksi beserta Downtime

Kategori Masalah Downtime (menit)

Pengelasan radiator 1414

Cut flash dryer menumpuk 1041

Block screw feeder 510

Baut coupling section fan patah 178

Air locker block 118

Screw conveyor block 655

Pompa pengisapan vacuum trip 599

Belt conveyor vacuum robek 559

Starch sifter bergeser 268

Total 5342

Berdasarkan tabel di atas, downtime terbesar adalah saat pengelasan radiator
akibat dari kebocoran pada pipa heat exchanger yang terjadi pada area drying. Masalah
tersebut terjadi disebabkan oleh beberapa faktor pada kondisi aktual pada pabrik tapioka
ini, salah satunya yaitu pada mesin. Desain pipa outlet kondensatnya tidak sesuai karena
terbagi menjadi 2 bagian sehingga membuat jalur kondensat tidak lancar. Kemudian
untuk header radiator dibuat bertingkat dan tegak lurus sehingga menyebabkan
kondensat tergenang. Selain hal tersebut, kapasitas steam trap pada pabrik tapioka ini
tidak mencukupi, hanya ada 1 unit steam trap yang terpasang sedangkan ada 5 unit heat
exchanger.

Gambar 1. Steam Trap pada Pabrik Tapioka

H a l | 39

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 37- 44

Steam trap merupakan alat yang berfungsi sebagai tempat terakumulasinya uap air
yang terkondensasi dan secara otomatis dibuang menuju tangki. Sedangkan heat
exchanger adalah tempat terjadinya proses perpindahan panas dan bisa berfungsi
sebagai pemanas maupun pendingin. Dalam proses industri, perpindahan panas antara
dua fluida umumnya dilakukan di heat exchanger. Jenis yang paling umum adalah cairan
panas dan dingin tidak bersentuhan langsung satu sama lain tetapi dipisahkan oleh
dinding tabung atau permukaan datar atau melengkung. Perpindahan panas dilakukan
dari fluida panas ke dinding atau permukaan tabung secara konveksi, kemudian melalui
dinding tabung atau pelat dengan konduksi, setelah itu dengan konveksi ke fluida dingin
(Geankoplis, 1993). Jumlah steam trap yang kurang dan tidak sebanding dengan jumlah
heat exchanger menyebabkan aliran kondensat terhambat, saling bertubrukan sehingga
menghasilkan water hammer, menyebabkan valve by pass harus dibuka sehingga
mengakibatkan steam terbuang. Water hammer merupakan fenomena hidrolik pada suatu
pipa akibat penutupan aliran secara tiba-tiba, sehingga menyebabkan desakan air ke
seluruh permukaan dinding pipa (Zaruba, 1993).

Selain pada mesin, penyebab lainnya adalah dari faktor material. Material pipa
steam header yang tipis mengakibatkan pipa sering bocor ketika ada tekanan tinggi dari
steam, sehingga banyak ditemukan bekas pengelasan pada pipa untuk menanggulangi
kebocoran tersebut dan membuatnya tidak layak pakai.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari berbagai masalah di atas, disusunlah rencana perbaikan dalam penyelesaian
masalah. Untuk masalah desain awal pipa outlet kondensat yang tidak sesuai, dilakukan
penggantian desainnya agar aliran kondensat tidak terhambat sehingga tidak
menimbulkan water hammer yang menyebabkan kebocoran pada outlet header radiator.
Salah satu hal yang harus diperhatikan pada saat pemasangan desain yaitu sudut
kemiringan dari outlet header agar lajur pembuangan kondensat berjalan lancar.

Gambar 2. Desain Outlet Kondensat Awal dan Desain Perbaikan

Untuk masalah ketebalan pipa outlet header radiator yang tergolong agak tipis,
dengan ketebalan hanya 5 mm diganti dengan material yang lebih tebal yaitu 10 mm,
sehingga tidak mudah mengalami kebocoran ketika ada tekanan tinggi dari steam dan
tidak ada lagi pengelasan akibat material tipis. Proses pengerjaannya sendiri meliputi
beberapa tahap yaitu pembuatan bagian input header dengan ketebalan 10mm,
pengaturan posisi pipa, pengelasan, kemudian yang terakhir pembuatan lubang.

Ketebalan Ketebalan
5 mm 10 mm

Gambar 3. Ketebalan Material Pipa Sebelum dan Sesudah Perbaikan
H a l | 40

Penurunan downtime pengelasan radiator akibat water hammer pada ….Tri Muhadi Rahman, et al.

Untuk masalah kurangnya steam trap yang tidak sebanding dengan jumlah heat
exchanger terdapat 2 alternatif penyelesaian masalah yaitu pertama melakukan
penambahan steam trap sebanyak jumlah heat exchanger, kedua mengganti sistem trap
dengan plat orifice. Untuk solusi pertama yaitu dengan penambahan steam trap dirasa
kurang efektif, karena selain biayanya yang relatif mahal, kurang lebih 118 juta rupiah,
dan waktu pemesanannya juga lebih lama.

Solusi kedua dirasa lebih efektif karena dapat langsung dilakukan dan biayanya
jauh lebih murah daripada membeli steam trap, bahkan plat orifice dapat dibuat sendiri
dengan memanfaatkan plat stainless bekas yang tersedia di pabrik, dan biaya yang
dikeluarkan hanya sekitar 1,7 juta rupiah. Plat orifice sendiri merupakan salah satu alat
ukur primer yang digunakan untuk mengukur aliran fluida dalam pipa. Prinsip dasar
pengukuran plat orifice adalah penyempitan aliran yang menyebabkan timbulnya suatu
perbedaan tekanan pada fluida yang mengalir. Bentuk plat orifice ini adalah berupa
piringan berlubang (konsentrik, eksentrik, dan segmental) yang mempunyai dimensi
tertentu dan dipasang tegak lurus pada sumbu pipa (Asrori, 2021). Karena geometrinya
sederhana, biayanya rendah dan mudah dipasang atau diganti maka pembuatan plat
orifice dengan memanfaatkan plat stainless bekas merupakan pilihan yang sangat efektif
dan efisien. Untuk tahapan pengerjaannya yaitu meliputi pembuatan sketsa orifice pada
plat stainless, kemudian pemotongan plat, lalu penambahan packing teflon, setelah itu
dilanjutkan dengan pemasangan plat ke mesin. Kendala yang dihadapi dalam pembuatan
plat orifice ini adalah menentukan diameter lubang dan jumlah lubangnya di setiap orifice.
Cara mengatasi kendala tersebut adalah dengan melakukan trial untuk mengetahui
apakah diameter lubang sudah sesuai atau belum, didengar dari dentuman water hammer
di heat exchanger, dan dilihat dari kebocoran pada packing outlet header.

Heat Exchanger

Gambar 4. Penggantian Sistem Trap dengan Plat Orifice

Dampak positif setelah dilakukannya perbaikan yaitu sudah tidak ada downtime
akibat dari kebocoran radiator, dan dari waktu downtime keseluruhan awal sebelum
perbaikan yaitu 5342 menit turun menjadi 716 menit. Biaya maintenance berkurang,
lingkungan kerja nyaman karena sudah tidak ada suara bising, dan aman karena
hentakan water hammer sudah hilang. Semangat kerja juga bertambah karena kurangnya
problem terkait perbaikan radiator dan bobot lembur berkurang. Potensi keuntungan
saving investment sebesar sekitar 116 juta rupiah, untuk investment steam trap.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Penggantian desain pipa outlet kondensat, penambahan steam trap dengan

menggunakan plat orifice, dan mengganti material pipa steam header dari ketebalan 5
mm menjadi 10 mm adalah langkah-langkah penyelesaian dalam mengatasi masalah
downtime pengelasan radiator bocor akibat water hammer di area flash dryer pada proses

H a l | 41

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 37- 44

produksi tepung tapioka. Salah satu efisiensi yang dilakukan dalam langkah tersebut
adalah penambahan steam trap menggunakan plat orifice dengan memanfaatkan plat
stainless bekas. Dengan langkah-langkah tersebut proses produksi akan berjalan lebih
efektif dan efisien. Saran untuk ke depannya adalah dilakukan maintenance rutin
terhadap komponen-komponen tersebut agar terawat dengan baik dan bisa bekerja
maksimal.

UCAPAN TERIMAKASIH

Pertama-tama kami panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat-Nya, tim penyusun dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. Tim penyusun
juga mengucapkan terimakasih kepada:

1. Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri, yang telah
memberikan kesempatan kepada kami untuk membuat karya tulis ilmiah ini,
sehingga kami dapat menambah wawasan yang lebih luas.

2. Bapak dan Ibu panitia pelaksana yang telah mempersiapkan acara dengan
sangat matang.

3. Bapak dan Ibu reviewer yang telah membantu dalam penyusunan karya tulis
ilmiah ini.

4. Teman-teman CPNS yang senantiasa saling memberikan motivasi untuk
menyusun karya tulis ilmiah ini agar memberikan hasil yang maksimal.

5. Kepada pihak pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan riset ini sehingga
dapat berjalan dengan lancer sampai akhir pelaksanaan.

Kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan karya tulis
ilmiah ini. Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun kami harapkan agar dapat
menyempurnakan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ilmiah ini bermanfaat bagi
pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Adesina, B., & Bolaji O. (2013). Effect of Milling Machines and Sieve Sizes on Cooked
Cassava Flour Quality. Nigerian Food Journal 31 (1) 115-119. doi: 10.1016/s0189-
7241(15)30065-5.

Asrori., Sugeng, Hadi S., Yudiyanto, E., & Gumono. (2021). Mekanika Fluida Dasar.
Pasuruan: Qiara Media.

Awoyale, W., Adetunji, M., Edet, M., Diallo T., Kolawole, P., Kawalawu, W., & Asiedu, R.
(2020). Upscaling Cassava Processing Machines and Products in Liberia. Croatian
Journal of Food Science and Technology 12(1) 20-26.
doi: 10.17508/cjfst.2020.12.1.04.

Breuninger, William F., Piyachomkwan, K., & Sriroth, K. 2009. Strach Chemistry and
Technology. Cambridge: Academic Press.

C, Geankopolis. 1993. Transport Processes and Unit Operations 3rd ed. Englewood Cliffs:
Prentice-Hall International, Inc.

Damayanti, R. (2016). Application Machine Dryer Mechanical Forced Convection I the
Process of Drying Cassava Chip. Journal of Innovation and Applied Technology 2
(2) 319-327. doi: 10.21776/ub.jiat.2016.002.02.11.

Fayose, F., Ogunlowo, A., & Agbetoye, L. (2017). The Design, Fabrication and
Preliminary Testing of an Indigenous Single Screw Extruder. Journal of Engineering
Science and Technology 12(10) 2585-2598. ISSN: 18234690.

International Application. 2012. Process For Producing Cassava Flour. Ohio: Patent
Cooperation Treaty.

H a l | 42

Penurunan downtime pengelasan radiator akibat water hammer pada ….Tri Muhadi Rahman, et al.

Kandil, M., Kamal, A., & El-Sayed, T. (2020). Effect of Pipematerials on Water Hammer.
International Journal of Pressure Vessels an Piping 179.
doi: 10.1016/j.ijpvp.2019.103996.

Kementerian Perindustrian. (2020). Kemenperin Komit Wujudkan Industri Hijau. Jakarta:
Neraca.

Kolawole, P. (2014). Cassava Processing and the Environmental Effect. The 4th World
Sustainability Forum session Sustainable Use of the Environment and Resources.
doi: 10.3390/wsf-4-a004.

Kuye, A., Raji A., Otuu O., Kwaya E., Asiru W., Kareem, I., … Sanni, L. (2017). Design,
Fabrication and Drying Performance of Flash Dryer for High Quality Cassava Flour.
AMA-Agricultural Mechanization in Asia Africa and Latin America 48 (3) 63-70.
ISSN: 0084-5841.

Nastiti, Indrasti S., & Fauzi, Anas M. 2009. Produksi Bersih. Bogor: Penerbit IPB Press.
Nwaigwe, K., Nzediegwu, C., & Ugwuoke, P. (2012). Design, Construction and

Performance Evaluation of a Modified Cassava Milling Machine. Research Journal
of Applied Sciences, Engineering and Technology 4 (18) 3354-3362. ISSN:
20407459.
Ohu, Eugene A. (2017). Ibrahim - the Cassava Starch Processor. Emerald Emerging
Markets Case Studies 7(1) 1-26. doi: 10.1108/EEMCS-03-2016-0021.
Oladipo, N., Adebija, J., Opadotun, O., Adamade, C., & Ogunjinrin, O. (2017).
Development of a Spring Loaded Cassava Dewatering Press. International Journal
of Scientific & Engineering Research 8(4) 409-419. doi: 10.14299/ijser.2017.04.006.
Sajeev, M., Nanda, S., & Sheriff, J. (2012). An Effective Blade Type Rasper for Cassava
Strach Extraction. Journal of Root Crops 38(2) 151-156.
https://www.mendeley.com/catalogue/e2f598e6-7ab9-338b-8d4f-8011698bec7a/.
Shittu T., Alimi B., Wahab B., Sanni L., & Abass A. 2016. Cassava Flour and Starch:
Processing Technology and Utilization. Hokoben: Wiley Blackwell.
Soemohadiwidjojo, Arini T. 2017. Key Performance Indicator untuk Perusahaan Industri.
Jakarta: Raih Asa Sukses.
Sulistiadi, S., Aprilliani, F., & Kurniawan, A. (2021). Rancang Desain Alat Pengayak
Modified Cassava Flour (Mocaf) Berdasarkan Analisis Kebutuhan, Morfologi dan
Teknik. Jurnal Teknik Pertanian Lampung (Journal of Agricultural Engineering 10 (1)
73. doi: 10.23960/jtep-l.v10i1.73-84.
Twyman, J. (2018). Water Hammer in a Pipe Network Due to a Fat Valve Closure. Revista
Ingenieria de Construccion 33(2) 193-200. doi: 10.4067/s0718-
50732018000200193.
Wan, W., Zhang, B. & Chen, X. (2019). Investigation on Water Hammer Control of
Centrifugal Pumps Inwater Supply Pipeline Systems. Energies 12(1).
doi: 10.3390/en12010108.
Witdarko, Y., Bintoro, N., Suratmo, B., & Rahardjo, B. (2016). Pemodelan Proses
Pengeringan Mekanis Tepung Kasava dengan Menggunakan Pneumatic Dryer:
Hubungan Kapasitas Output dengan Variabel Proses Pengeringan (Modelling on
Mechanical Cassava Flour Drying Process By Using Pneumatic Dryer: Correlation
of Output Capacity and Drying Process Variabels). Jurnal Agritech 36(02) 233.
doi: 10.22146/agritech.12869.
Yang, Z., Zhou, L., Dou, H., Lu, C., & Luan, X. (2020). Water Hammer Analysis When
Switching of Parallel Pupms based on Contra-Motion Check Valve. Annals of
Nuclear Energy 139. doi: 10.1016/j.anucene.2019.107275
Yusuf, A., Sugandi, W., & Z, Tua C. (2017). Rancang Bangun Mesin Pengolah Ganyong
Multi Fungsi (Design of Multifunctional Canna Machine). Jurnal Ilmiah Rekayasa
Pertanian dan Biosistem 5 (2) 462-471. doi: 10.29303/jrpb.v5i2.61.
Zaruba, Josef. 1993. Water Hammer in Pipe Line System. Amsterdam: Elshevier Science
Publisher.

H a l | 43

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 37- 44
H a l | 44

TEKNOLOGI PENGOLAHAN
LIMBAH PRODUKSI INDUSTRI



Potensi ozonasi katalitik dalam pengolahan air limbah tekstil ….Kevin Addery, et al.

Review

Potensi ozonasi katalitik dalam pengolahan air limbah industri tekstil di
Indonesia

Potential of catalytic ozonation in industrial textile wastewater treatment in
Indonesia

Kevin Adderya, Yuliana Nur Amanahb,*, Rendi Parisab, Ginanjar Waluyab
a Balai Besar Logam dan Mesin

Jl. Sangkuriang No.12, Dago, Kota Bandung, Jawa Barat 40135, Indonesia
b Balai Besar Tekstil

Jl. Jendral Ahmad Yani No.390, Kebonwaru, Kota Bandung, Jawa Barat 40272, Indonesia
*[email protected]

ABSTRAK

Industri tekstil merupakan salah satu industri manufaktur unggulan indonesia, tetapi
dalam prosesnya menghasilkan air limbah dengan kandungan pencemar yang tinggi
dalam jumlah yang besar. Kandungan senyawa yang sangat kompleks dalam bentuk
partikel zat padat yang tidak larut, garam, zat warna dan logam berat menyebabkan air
limbah tekstil sulit untuk didegradasi dan berpotensi mencemari lingkungan bila tidak
diolah dengan baik. Pengolahan secara konvensional tidak dapat menghilangkan seluruh
warna dan mikro polutan. Metode ozonisasi katalitik berpotensi untuk mengeliminasi
kontaminasi organik pada air limbah, hingga efluen dapat digunakan kembali pada proses
di industri tekstil tanpa mempengaruhi kualitas produk. Artikel ini membahas mengenai
prinsip ozonisasi katalitik pada pengolahan air limbah industri tekstil, peluang serta
hambatan penerapannya pada skala industri. Metode yang digunakan adalah review dari
beberapa sumber pustaka dengan melakukan studi literatur terhadap beberapa penelitian
yang pernah dilakukan. Ozonisasi katalitik merupakan teknologi yang menggabungkan
ozonasi dan katalisis. Teknologi ini merupakan alternatif yang baik untuk metode
pengolahan secara oksidasi karena ozonisasi katalitik memberikan kemampuan
degradasi yang tinggi untuk hampir segala jenis polutan.

Kata Kunci : air limbah tekstil, proses oksida lanjut, ozonisasi katalitik

ABSTRACT

The textile industry is one of Indonesia's leading manufacturing industries, but in the
process, it produces wastewater with a high content of pollutants in large quantities. Very
complex compounds in the form of insoluble solid particles, salts, dyes, and heavy metals
make textile wastewater hard to degrade and potentially pollute the environment if not
treated properly. Conventional processing cannot remove all colors and micropollutants.
The catalytic ozonation method has the potential to eliminate organic contamination in
wastewater so that the effluent can reuse in processes in the textile industry without
affecting product quality. This article discusses the principle of catalytic ozonation in textile
industry wastewater treatment, the opportunities and obstacles to its application on an
industrial scale. The method used is a review of several library sources by conducting a
literature study on several studies that have been carried out. Catalytic ozonation is a
technology that combines ozonation and catalysis. This technology is a good alternative to
oxidizing treatment methods because catalytic ozonation provides high degradation
capability for almost all types of pollutants.

Keywords : textile wastewater, advanced oxidation processes, catalytic ozonation

H a l | 45

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 45 - 56

I. PENDAHULUAN

Industri tekstil merupakan industri manufaktur yang telah mendapat prioritas
pembangunan sesuai dengan rencana aksi “Making Indonesia 4.0”. Industri tekstil perlu
melakukan beberapa perubahan mendasar dengan mengoptimalkan penggunaan
teknologi otomasi untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas secara efektif. Industri
tekstil menjadi sumber utama penerimaan devisa, dengan nilai ekspor tertinggi
dibandingkan tahun sebelumnya. Dampak dari proses produksi ini adalah menghasilkan
limbah. Jenis limbah tersebut dapat berupa limbah, limbah gas, dan limbah padat. Dari
proses industri untuk mendapatkan 1 ton produk, dapat menghasilkan air limbah hingga
100 meter kubik. Oleh karena itu, dalam satu tahun, satu industri dengan 1 ton produk
industri tekstil akan menghasilkan hingga 36.500 meter kubik air limbah setiap tahun.
Kapasitas produksi tekstil Indonesia diperkirakan mencapai 13, juta ton pada 2018
(Rame, Purwanto, & Sudarno, 2020). Perkembangan ini akan dibarengi dengan
peningkatan risiko kerusakan lingkungan akibat pengolahan limbah, karena prosesnya
menggunakan air dan bahan kimia yang cukup banyak (Riyanto, 2013).

Khusus di industri tekstil, yang terdapat unit pencelupan dan penyempurnaan dalam
proses produksi, mempunyai potensi sebagai pencemar air yang memiliki kandungan
amonia yang tinggi. Rata-rata air limbah dari pabrik tekstil mengandung zat warna,
Chemical oxygen demand,, bahan kimia berbahaya, asam, garam anorganik dan amonia
tingkat tinggi (Verma, Kumar, Dash, & Bhunia, 2012). Di antara berbagai bahan yang
terkandung dalam limbah tekstil tersebut, limbah pewarna tekstil merupakan limbah dan
sumber pencemaran yang paling berbahaya.Jika zat warna ini bercampur dengan air
bersih. Hal ini dapat menyebabkan pencemaran air bersih, sehingga mengandung bahan
kimia berbahaya dan mengurangi kandungan oksigen (Duarte, Morais, Maldonado-
H_odar, & Madeira, 2013). Selain itu, limbah dari pabrik tekstil sangat beracun bagi
kehidupan flora dan fauna yang menggunakan air yang terkontaminasi (Wang, Luan, Wei,
Li, & Liu, 2009).

Ancaman terbesar terhadap kelestarian lingkungan disebabkan oleh jumlah air yang
dikonsumsi sebagai bahan utama, yang banyak digunakan dalam industri tekstil, yang
menyebabkan menipisnya persediaan air bersih yang tersedia. Pertumbuhan industri
yang semakin signifikan akan menyebabkan peningkatan penggunaan air bersih,
sehingga mengurangi pasokan air (Parvathi, Maruthavanan, & Prakash, 2009).
Berkenaan dengan permasalahan ini, mendorong peneliti untuk mengembangkan
teknologi untuk mengolah air limbah dari industri tekstil agar tidak terlalu berbahaya.
Tujuan utamanya adalah mengembangkan teknologi pengolahan air limbah industri tekstil
yang ramah lingkungan, yang juga dapat mengurangi berbagai polutan yang terkandung
dalam limbah tekstil industri, menjadikan limbah memenuhi baku mutu pada saat di buang
dan tidak mencemari lingkungan. Pengolahan limbah ini juga harus dibarengi dengan
daur ulang air untuk industri tekstil, yang sangat penting bagi perkembangan sektor
industri dan negara secara keseluruhan ke depan.

II. AIR LIMBAH INDUSTRI TEKSTIL

2.1. Karakteristik Air Limbah Industri Tekstil
Pada proses industri tekstil air banyak digunakan untuk membersihkan bahan baku

dan proses yang memerlukan pembilasan, seperti, bleaching, dyeing, washing,
neutralization, desizing, dan mercerizing. Proses-proses tersebut merupakan proses
manufaktur tekstil yang menggunakan air dalam jumlah besar. Namun, seperti disebutkan
di atas, jumlah air yang digunakan dalam setiap proses berbeda. Misalnya, operasi
tertentu, seperti pencelupan dan pencucian, membutuhkan lebih banyak air daripada
yang lain. Aspek lain yang mempengaruhi penggunaan air adalah pemilihan bahan baku.
Bahan baku seperti wol mengkonsumsi lebih banyak air selama pemrosesan lebih lanjut
daripada serat sintetis (Kevino, 2016). Selain itu, peralatan yang berbeda juga memiliki

H a l | 46

Potensi ozonasi katalitik dalam pengolahan air limbah tekstil ….Kevin Addery, et al.

kebutuhan air sesuai dengan kebutuhan alat tersebut. Sebagai contoh, mesin hank
mechines dan dyeing machines merupakan peralatan yang paling banyak mengkonsumsi
air, dengan konsumsi air antara 0,02-0,03 m3/kg (Volmajer Valh, A. Majcen Le Marechal,
Vajnhandl, Jeri, & Simon, 2011.). Oleh karena itu, komposisi dan karakteristik limbah
tekstil sangat bervariasi karena dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor ini termasuk
jenis dan jumlah bahan baku yang digunakan, komposisinya, dan efek ekotoksikologi dari
air limbah tekstil yang dibuang dari berbagai sumber, yang dapat dikaitkan dengan
berbagai faktor. Parameter tersebut meliputi jenis dan dosis yang ditetapkan oleh para
ahli dari masing-masing pabrik untuk mendapatkan kualitas akhir dari produk tekstil yang
dibutuhkan oleh industri tekstil (Kevino, 2016).

Salah satu contoh karakteristik air limbah tekstil, industri tekstil yang terlibat dalam
banyak proses pencelupan benang mengandung cukup banyak warna, dan sangat
berbahaya bagi lingkungan jika dibuang ke badan air. Rasio COD/BOD limbah jenis ini
umumnya lebih besar dari 6. Rasio COD/BOD yang begitu besar membuat jenis limbah ini
sulit dibiodegradasi. Limbah cair salah satu industri pencelupan benang di pinggiran kota
Surabaya memiliki kadar COD 1700 ppm, pH 8.62-11.4, kadar total padatan tersuspensi
17180 ppm, dan BOD 250 ppm (Riadi, 2013).

2.2. Pengolahan Air Limbah Industri Tekstil
Pengolahan air limbah tekstil dilakukan dengan metode kimia, fisika dan biologi.

Beberapa penelitian sebelumnya telah melaporkan metode yang digunakan untuk
mengolah limbah tekstil, antara lain fotodegradasi (Prasetya, Nor, Abdul, & Gunawan,
2012), penyerapan lumpur aktif (Yuanita, Dewi, Endang, & Sulistyani, 2014), dan
penggunaan jamur pendegradasi (Sastrawidana, I.D.K, Siti, & I.N., 2012), proses oksidasi
menggunakan oksidan kuat, seperti ozon dan hidrogen peroksida, atau proses oksidasi
lanjutan yang lebih dikenal luas (Nugroho, Rudi, & Ikbal, 2018). Namun, banyak metode
yang digunakan masih memiliki banyak kekurangan. Misalnya, proses pengolahan
biologis seperti sistem lumpur aktif (Lotito et al., 2011) atau pengolahan anaerobik air
limbah tekstil menggunakan proses bioremediasi (Turgay et al., 2011) mempunyai
kekurangan fleksibelitas. Hal ini karena komponen biologis yang terkandung dalam air
limbah menyebabkannya terus beregenerasi dalam limbah, yang mengarah pada
perubahan nilai pH, suhu, dan konsentrasi air limbah dalam limbah tekstil secara terus
menerus. Selain itu, metode pengolahan biologis ini tidak membawa lengkap kontaminan
ke pewarna. Oleh karena itu, limbah yang dibuang biasanya dipengaruhi oleh
kemampuan kontaminan biologis untuk meregenerasi komponen organik pewarna tekstil.
(Kevino, 2016). Metode alternatif lain untuk pengolahan limbah industri (seperti tekstil)
adalah proses pengolahan limbah menggunakan elektrolisis, yang dianggap lebih
menguntungkan dan semakin banyak digunakan. Metode ini dinilai sangat cocok untuk
pengolahan limbah tekstil yang banyak mengandung zat warna organik, karena mudah
terjadi degradasi pada anoda. Selain itu, metode elektrolisis tidak memerlukan bahan
kimia tambahan, tidak memerlukan proses pemisahan katalis, dan mudah digunakan
(Riyanto, 2013).

Pengolahan air limbah berwarna di industri tekstil merupakan kebutuhan yang
signifikan saat ini, sehingga diperlukan pengembangan teknologi pengolahan yang baru,
inovatif, dan efisien serta ekonomis. Pemisahan dan penggunaan kembali air olahan dari
air limbah industri tekstil dapat menjadi keuntungan tambahan mengingat nilai ekonomi
dari air proses. Kombinasi proses ozonasi dan katalitik merupakan salah satu pendekatan
teknologi Advanced Oxidation Process yang ramah lingkungan (Duprez & Fabrizio, 2018).
Ozonasi katalitik dapat mereduksi senyawa sintetik, senyawa organik, dan warna pada air
limbah (Wang, et al., 2019). Selama ozonisasi katalitik, O3 molekul mengoksidasi molekul
organik melalui reaksi radikal selektif atau non-selektif. O3 molekul juga selektif
menyerang obligasi kromofor tak jenuh melalui substitusi elektrofilik atau non-selektif
melalui pembentukan senyawa antara dalam bentuk radikal hidroksil, yang dihasilkan

H a l | 47

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 45 - 56

dalam hilangnya warna dilanjutkan dengan degradasi kontaminan organik lainnya yang
tidak biologis terurai (Hassaan, Mohamed, & Ahmed, 2017). Beberapa penelitian terbaru
menunjukkan bahwa ozonasi katalitik dapat meningkatkan konsentrasi radikal hidroksil
untuk meningkatkan mineralisasi cemaran organik (Ma, et al., 2018)

III. OZONISASI KATALITIK

Teknologi ozonisasi telah dikenal secara luas karena kemampuan oksidasinya yang
kuat, dan dapat menyisihkan banyak kontaminasi pada pengolahan air limbah secara
ramah lingkungan. Ozon dapat bertindak sebagai oksidator yang kuat dengan potensial
oksidasi sebesar 2,07 eV (Tabrizi 2013). Namun penerapan ozonisasi pada pengolahan
limbah masih terbatas, karena reaksi selektifnya dengan polutan organik (Beltran, Rivas,
and Montero-de-Espinosa 2003). Ozonisasi juga tidak cukup untuk mengurai hasil
samping proses ozonisasi secara total (Ichikawa, Mahardiani, and Kamiya 2014).

Teknologi inovatif yang dapat mengatasi permasalahan tersebut adalah Proses
Oksidasi Lanjut atau Advanced Oxidation Processes (AOPs). AOPs merupakan proses
yang melibatkan pembentukan radikal aktif hidroksil (HO*) untuk proses penguraian air
limbah dengan menggunakan oksidator kuat (Augustia, Letari, and Rani 2018). Tabel 1
menunjukan nilai potensial oksidasi dari beberapa oksidator kimia.

Tabel 1. Potensial Oksidasi dari Beberapa Oksidan

Agen Pengoksidasi Potensial Oksidasi
Elektrokimia (EOP, V)

Florin 3,06

Radikal Hidroksil 2,80

Oksigen (atomik) 2,42

Ozon 2,08

Hidrogen Peroksida 1,78

Hipoklorit 1,49

Klorin 1,36

Klorin Dioksida 0,93

Oksigen (molekular) 0,90

Dibandingkan dengan pengolahan air limbah secara konvensiobal, AOPs memiliki
keunggulan yang signifikan, seperti tidak terbentuknya lumpur dan produksi sejumlah
besar radikal hidroksil yang sangat reaktif, non-selektif, dan lebih kuat dari ozon. AOPs
dapat dilakukan dengan penggunaan ozon bersama dengan beberapa bahan kimia atau
kombinasi dengan radiasi UV dan beberapa bahan kimia [O3/H2O2, O3/UV, O3/H2O2/UV]
(Zaikov and Rakovsky 2009). Salah satu Proses AOPs yang paling efisien adalah
Ozonisasi Katalitik atau Catalytic Ozonation Process (COP). Ozonisasi katalitik dapat
menurunkan kandungan senyawa sintesis, senyawa organik, dan warna di air limbah
(Wang et al. 2019).

Selama ozonisasi katalitik, molekul O3 mengoksidasi molekul organik melalui reaksi
radikal secara selektif atau non-selektif. Molekul O3 juga secara selektif menyerang ikatan
kromofor tidak jenuh melalui subtitusi elektrofilik atau secara non-selektif melalui
pembentukan senyawa intermediet berupa radikal hidroksil, menghasilkan dekolorisasi
kemudian dilanjutkan degradasi kontaminan organik lain yang tidak terurai secara biologis
(Hassaan and Nemr 2017).

Karena ozon adalah molekul yang tidak stabil, ozon harus diproduksi pada titik
aplikasi dimana akan digunakan. Ozon umumnya dihasilkan dengan mereaksikan oksigen
radikal bebas (Pers.1) dengan oksigen diatomik (Pers. 2), reaksi ini bersifat endotermik
dan membutuhkan energi yang cukup besar (Hassaan and Nemr 2017). Ozon dapat
diproduksi dengan beberapa cara, tetapi umunya metode yang digunakan di industri

H a l | 48

Potensi ozonasi katalitik dalam pengolahan air limbah tekstil ….Kevin Addery, et al.

adalah corona discharge. Dilakukan dengan melewatkan gas yang mengandung oksigen
melalui dua elektroda (satu elektroda tegangan tinggi dan satu elektroda tegangan
rendah), yang dipisahkan oleh media dielektrik dan disediakan celah pelucutan muatan.
Ketika elektroda diberikan tegangan, aliran elektron akan melewati celah dan
menyediakan energi untuk memecah molekul oksigen untuk membentuk ozon (Waluyo,
Permana, and Saodah 2015).

O2 + e- (energi tinggi) → 2O* + e- (energi rendah) [1]
O* + O2 → O3 [2]

Faktor yang dapat mempengaruhi dekomposisi ozon pada ozonisasi katalitik adalah
jenis katalis, waktu tinggal, keasaman (pH) dan komposisi kimia pada air limbah. Laju
disintegrasi ozon dalam air meningkat dengan meningkatnya pH. Contohnya, pada pH 10,
waktu paruh ozon dalam air menjadi kurang dari 1 menit. Sebagai hasil dari kombinasi
reaksi dengan molekul ozon dan reaksi dengan radikal OH, oksidasi dapat terjadi. Reaksi
yang melibatkan ion hidroksida dan ozon mengarah pada pembentukan radikal anion
super-oksida O2 dan radikal hidroperoksil HO2. Reaksi ozon dan radikal anion super-
oksida menghasilkan radikal anion ozonida O3. Radikal langsung meluruh melepaskan
radikal OH. Tiga molekul ozon menghasilkan dua radikal OH (Hassaan and Nemr 2017).

3O3 + OH- + H+ → 2OH* + 4O2 [3]

Terdapat dua sistem katalis yang mungkin digunakan pada proses ozonisasi
katalitik, yaitu homogenik dan heterogenik. Pada sistem homogenik, kation logam transisi
seperti Cr3+, Mn2+, Fe2+, Ni2+, dan Zn2+ dapat digunakan sebagai katalis. Ozonisasi
katalitik homogen memiliki dua mekanisme utama. Pertama, penguraian ozon oleh ion
logam yang mengakibatkan produksi radikal bebas. Dan yang kedua pembentukan
kompleks antara katalis dan molekul organik setelah oksidasi kompleks (Nawrocki and
Kasprzyk-Hordern 2010)

Pada ozonisasi katalistik sistem heterogenik, katalis yang digunakan berupa bahan
padat. Katalis heterogenik diantaranya ada oksida logam, mineral, material karbon, dan
logam dengan penyangga (Nawrocki and Kasprzyk-Hordern 2010). Dibandingkan dengan
ozonisasi katalitik homogen, ozonisasi katalitik heterogen lebih menguntungkan karena
reaksi berkelanjutan melalui permukaan aktif tidak membutuhkan penambahan reagen
secara terus menerus. Selain itu, lebih mudah untuk memisahkan katalis padat setelah
proses pengolahan (Wang et al. 2019).

3.1. Ozonisasi Katalitik pada Pengolahan Air Limbah Tekstil
Proses produksi pada industri tekstil dimulai dari scouring, bleaching, dyeing,

printing, dan finishing membutuhkan air, bahan kimia, dan energi yang sangat banyak.
Industri tekstil menghasilkan air limbah dalam jumlah yang besar, dengan kandungan
warna, salinitas, Biological Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD),
Total Dissolved Solid (TDS), Total Nitrogen (TN), Total Phosphorus (TP), dan logam
berat. Dari semua parameter, polutan yang paling menimbulkan masalah adalah warna
dan senyawa organik (COD) (Rame et al. 2021).

Zat warna tekstil di air limbah tekstil sulit untuk diolah karena pewarna sintestik
memiliki struktur molekul yang kompleks, sehingga lebih stabil dan sulit didegradasi
(Bouraie & Din, 2016). Bahan organik dalam air limbah tekstil umumnya memiliki
biodegradabilitas yang rendah (rasio [BOD5]/[COD] < 0,1) (Holkar et al. 2016).

Ozonisasi saja tidak cukup untuk mineralisasi COD refraktori dalam limbah tekstil,
selain produk samping yang dihasilkan dalam sistem O3 sulit untuk dihilangkan.
Penelitian yang dilakukan oleh (Paździor, Bilińska, and Ledakowicz 2019) mengenai
AOPs dengan berbasis ozon menunjukan bahwa pemecahan kromofor yang

H a l | 49

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 45 - 56

menghasilkan penghilangan warna, hanyalah tahap awal dari dekomposisi zat warna. By-
product tidak berwarna yang dihasilkan akan tetap terakumulasi pada air limbah dan
menjadi mikropolutan. Ozonisasi katalitik menjadi alternatif yang dibutuhkan untuk
menyisihkan hasil samping yang dihasilkan secara efisien.

Telah banyak penelitian dilakukan mengenai ozonisasi katalitik, tetapi hanya sedikit
yang membahas tentang kemungkinan terbentuknya produk samping dari pengolahan air
limbah dan itupun terbatas pada penelitian yang menggunakan air limbah sintetis.
Penelitian harus lebih difokuskan mengenai detoksifikasi dan mineralisasi, tidak hanya
pada penghilangan warna (Bilińska et al. 2020).

Berbagai penelitian mengenai penggunaan macam-macam katalis pada proses
ozonisasi katalitik yang telah dipublikasikan ditunjukan pada Tabel 2.

Tabel 2. Potensial Oksidasi dari Beberapa Oksidan

Katalis Influen Hasil Referensi
Fe2+ dan nZVI (Malik et al.
(nano zero Air limbah Penyisihan COD, warna, dan toksisitas
valent iron, 2018)
Fe0) tekstil mencapai 73,5%, 87%, dan 92%.
(Rame,
Fe2O3 dan Air limbah Degradasi warna 100% Purwanto,
Al2O3 tekstil Kondisi optimum (t = 20 menit; dosis = and Budiarto
1000 g; laju alir ozon = 2 L/min)
2017)
Alumina Air Limbah Menyisihkan TOC sebesar 34,8%; COD (Polat, Balcı,
tekstil sebesar 40,2%; dan 75,1% pewarna biru and Özbelge
Kondisi optimum Alumina pada pH 10
2015)

MgO Air limbah Dekolorisasi air limbah sebesar 92,2% ± (Fouda et al.

tekstil 0,3% 2021)

Ag-Fe2O3/CA Limbah tekstil Efisiensi penurunan COD meningkat (Hu et al.

(Ag-Fe2O3 sintetik sebesar 30% dibandingkan metode 2018)

pada Carbon ozonisasi tanpa katalis

Aerogel) Efluen memenuhi standar untuk

digunakan kembali.

Carbon-doped Air limbah Aktivitas katalitik C-MgO 5,7 kali lebih (Bagheri et

nano tekstil tinggi dari MgO/O3 al. 2020)

magnesium Berdasarkan Fractional Factorial Design

oxide (C-MgO) didapat aktivitas maksimum katalis terjadi

pada pH = 8,11; kons. ozon = 15,74

mg/menit; dosis = 3 g/L; waktu = 19 menit

C-MgO-EMP Air Limbah Tingkat degradasi dan mineralisasi (Asgari et al.

(Eggshell tekstil sebesar 93% dan 78% 2019)

Membrane Laju 9,05 kali lebih tinggi daripada proses

Powder) CAC/O3

CoO- Limbah tekstil Penyisihan COD dengan katalis sebesar (Hu et al.

Co2O/MCA sintetik (RB-5) 46% dan tanpa katalis sebesar 29% 2016)

(Mesoporous setelah 60 menit waktu reaksi.

Carbon

Aerogel)

Granular Limbah tekstil Penurunan parameter warna dari 15.000 (Ayuningtyas

Activated sintetik (Fenol) Pt-Co menjadi 15 Pt-Co dan kadar fenol 2020)

Carbon dari 0,099 mg/L menjadi 0,0002 mg/L

(O3/GAC)

H a l | 50

Potensi ozonasi katalitik dalam pengolahan air limbah tekstil ….Kevin Addery, et al.

Umumnya, suatu zat yang meningkatkan laju reaksi keseluruhan dapat dianggap
sebagai katalis. Namun, aktivitas katalis bersifat selektif yang berarti bahwa hanya tahap
reaksi tertentu yang dapat ditingkatkan dalam sistem kimia yang kompleks. Dalam hal
ozonisasi katalitik, katalis umumnya bekerja dengan meningkatkan dekomposisi ozon
untuk menghasilkan produksi radikal hidroksil (OH*) (Nawrocki 2013).

Katalis O3/Fe2+ dalam ozonisasi katalitik menurut Malik et al. (2018) memberikan
efisiensi penyisihan COD dan warna lebih tinggi dari proses ozonisasi. Terlihat dari
peningkatan nilai BI (Biodegradability Index). Fe2+ atau Fe3+, menghasilkan mineralisasi
dan degradasi senyawa organik dengan membentuk komplek logam oksalat atau melalui
produksi OH* yang lebih banyak. Dalam proses O3/Fe(II), ion besi dapat mendorong
pemecahan ozon yang mengarah pada pembentukan radikal hidroksil. Sedangkan nano
zero valent Iron (Fe0) berpengaruh terhadap peningkatan sisi aktif atau luas permukaan
reaktif.

Katalis oksida logam yang paling umum digunakan adalah TiO2, MnO2, Fe2O3 dan
Al2O3. Permukaan oksida logam memiliki banyak gugus hidroksil yang mempengaruhi
jumlah dan sifat hidroksil yang dihasilkan (Wang et al. 2019). Cara kerja katalis jenis
oksida logam didasarkan pada sifat adsorpsi yang terkait dengan pusat aktif pada
permukaan oksida. Pada saat yang sama, hidroksil yang menutupi permukaan oksida
logam juga dianggap sebagai pusat adsorpi karena sifat pertukaran ionnya (Nawrocki
2013). Penelitian terkait katalis oksida logam diantaranya, Fe2O3 dan Al2O3 (Rame et al.,
2017), MgO (Fouda et al. 2021), Mangan Oksida (MnO2, MnO2, MnO2) (Nawaz et al.
2016), dan TiO2 (Song et al. 2010). Oksida besi dan oksida logam adalah katalis yang
paling banyak diteliti. Oksida mangan menunjukan aktivitas katalitik yang tinggi, tetapi ion
mangan rentan terhadap pencucian yang dapat mengakibatkan polusi kedua (Chen et al.
2015).

Logam maupun oksida logam dengan penyangga juga banyak digunakan sebagai
katalis pada proses ozonisasi. Sudah banyak penelitian terkait diantaranya, Ag-Fe2O3/CA
(Hu et al. 2018), C-MgO-EMP (Asgari et al. 2019), dan MnOx/SBA-15 (Q. Sun et al. 2015).
Menunjukan katalis dengan penyangga dapat mempengaruhi adsorpsi dan pembentukan
radikal hidroksil. Selain itu, logam berpenyangga seperti Cu-Al2O3, Ru/CeO2-TiO2, atau
Ce/MCM-48 juga dapat digunakan pada proses ozonisasi (Munoz 2010). Beberapa bahan
berpori seperti karbon aktif, karbon nanotube, zeolit, dan keramik dikembangkan sebagai
penyangga katalis untuk meningkatkan kekuatan mekanik dan stabilitas oksida logam
transisi (Gao et al. 2017).

Terdapat dua fenomena pada katalis logam dengan penyangga, yaitu yang pertama
polutan (molekul organik) teradsorpsi oleh katalis dan kemudian dioksidasi oleh ozon atau
OH*. Lalu yang kedua, dekomposisi ozon dengan transfer elektron melalui reduksi atau
oksidasi logam yang ada pada permukaan bahan penyangga (Nawrocki and Kasprzyk-
Hordern 2010).

Salah satu material karbon, yaitu karbon aktif, banyak digunakan sebagai katalis
pada proses ozonisasi katalitik karena ketersediaannya yang luas, biaya yang rendah,
dan luas permukaan berpori yang tinggi. Karbon aktif dapat meningkatkan oksidasi
senyawa organik dengan meningkatkan dekomposisi ozon. Permukaan karbon aktif dapat
bertindak sebagai inisiator/promotor dekomposisi ozon. Tetapi, terdapat studi yang
menyebutkan karbon aktif memiliki stabilitas katalitik yang buruk karena perubahan kimia
pada permukaannya (Bakht Shokouhi et al. 2020). Karbon aktif memiliki kemampuan
adsorpsi yang tinggi tetapi kekuatan mekanik yang rendah dan mudah teroksidasi selama
reaksi (Rekhate and Srivastava 2020).

Ozonisasi berbasis O3/GAC dapat mempercepat terbentuknya senyawa radikal
pada degradasi senyawa fenol. Didapat penurunan parameter warna dari 15.000 Pt-Co
menjadi 15 Pt-Co dan kadar fenol dari 0,099 mg/L menjadi 0,0002 mg/L dengan waktu
dan dosis optimum 90 menit dan 2,0 gram (Ayuningtyas 2020). Kemampuan adsorpsi

H a l | 51

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 45 - 56

yang tinggi dari karbon aktif terbukti dapat membantu degradasi dan dekolorisasi pewarna
tekstil (Buthiyappan, Abdul Aziz, and Wan Daud 2016).

Penggunaan katalis yang berbentuk partikel halus atau bahkan berukuran nano
dapat meningkatkan aktivitas katalis, tetapi menimbulkan permasalahan lain yaitu
pemisahan katalis padat setelah proses akan lebih sulit. Pemisahan magnetik
menggunakan material magnetik atau external magnetic field dapat menjadi solusi
permasalahan ini. Oleh karena itu, kombinasi dengan material magnetic menjadi
pendekatan yang menjanjikan. Beberapa contoh yang memiliki sifat magnetik
diantaranya, Fe3O4, - Fe3O4, FeCo. CoFe2O4, NiFe2O4, dan MnFe2O4. Selain itu, material
magnetik dapat berperan juga sebagai katalis karena sifat elektriknya. Contohnya, Fe2O3
menjadi katalis berdasarkan transfer elektron ion Fe2+ dan Fe3+, yang dapat meningkatkan
konversi ozon menjadi radikal hiroksil (Bai, Yang, and Wang 2016). Oksida bimetalik
memiliki keadaan multivalen dan dapat meningkatkan transfer elektron selama reaksi
redoks dari ozonisasi katalitik (Hu, Shang, and Chiu 2019).

Penelitian Hu et al. (2019), menggunakan katalis magnetik MnFe2O4 yang dimuat
pada aerogel karbon (MnFe2O4@CA) untuk mendegradasi pewarna pada air limbah
pembilasan industri tekstil melalui ozonisasi katalitik. Hasilnya menunjukan bahwa katalis
yang dikembangkan secara signifikan mendorong degradasi kontaminasi pewarna, dari
segi penghilangan warna maupun penyisihan COD. Efisiensi penyisihan COD meningkat
sebesar 25% dibandingkan proses ozonisasi pada kondisi operasi yang sama. Selain itu,
efluen yang dihasilkan mampu mengganti fresh water tanpa memberikan perbedaan yang
signifikan pada kualitas warna kain (∆Ecmc (2:1) = <1,0). Menunjukan bahwa kain yang
diolah dengan air hasil daur ulang limbah menunjukan reproduktifitas warna yang dapat
diterima.

Penggunaan diffuser mikro pada reaktor katalitik dapat menghomogenkan interaksi
antara katalis, ozon, dan cemaran dalam air limbah, sehingga meningkatkan efisiensi
reaksi oksidasi terhadap cemaran (Rame et al., 2017). Microbubbles digunakan untuk
meningkatkan homogenitas ozon didalam air, karena ozon memiliki kelarutan yang
rendah dalam air. Penurunan ukuran gelembung meningatkan koefisien perpindahan
massa karena area kontak gas-cair yang lebih tinggi, sehingga meningkatkan efisiensi
ozonisasi (Khuntia, Majumder, and Ghosh 2016).

Teknologi ozonisasi katalitik pada pengolahan air limbah lebih dipilih karena
menggunakan gas ozon untuk mendegradasi bahan organik untuk menghilangkan
kemungkinan adanya polutan sekunder yang timbul akibat penambahan bahan kimia
makromolekul eksternal dibandingkan bila harus menambahan bahan kimia
makromolekul (Hu et al. 2019).

Metode ozonisasi katalitik telah terbukti efektif untuk mengeliminasi kontaminasi
organik pada air limbah, hingga efluen dapat memenuhi standar untuk digunakan kembali.
Penambahan proses ozonisasi katalitik sebagai pengolahan lanjutan, dapat meningkatkan
volume air yang dapat digunakan kembali dan meningkatkan kualitas efluen dalam hal
warna, sisa polutan organik kompleks, dan pemusnahan mikroorganisme (Rame et al.,
2021).

Selain dari aspek teknis, teknologi ozonisasi memiliki beberapa keuntungan
tambahan dari sudut pandang teknik. Alat ozonisasi umumnya berukuran kecil dan
serbaguna, sehingga dapat terintegrasi lebih mudah dengan unit pencelupan.
Karakteristik ini memudahkan ozonisasi untuk digunakan sebagai pengolahan secara on-
site. Jika reaktor ozonisasi terhubung ke mesin pencelupan, limbah yang dihasilkan dapat
diolah secara on-site, daripada harus ditransfer ke unit pengolahan air limbah terlebih
dahulu. Teknologi ozonisasi katalitik on-site dapat mempersingkat waktu dan
memfasilitasi quality control air limbah sebelum direcycle (Hu et al. 2019).

H a l | 52

Potensi ozonasi katalitik dalam pengolahan air limbah tekstil ….Kevin Addery, et al.

IV. APLIKASI OZONISASI KATALITIK PENGOLAHAN LIMBAH SKALA INDUSTRI

Meskipun sangat berhasil dilakukan pada skala laboratorium, studi lebih lanjut
dibutuhkan untuk mengevaluasi penerapannya pada skala industri. Kelangsungan
ekonomi dan efisiensi adalah faktor utama yang membatasi aplikasi di industri.

Pengembangan katalis untuk memiliki aktivitas katalis yang tinggi dengan biaya
yang lebih murah sangat dibutuhkan agar lebih praktis untuk diterapkan di industri. Selain
itu, adanya leaching spesies katalitik aktif oleh senyawa intermediet merupakan
mketerbatasan utama dari katalis heterogen yang perlu diatasi untuk aplikasi katalis
dalam air limbah nyata. Perlu pengembangan terhadap katalis agar mudah untuk di
recovery dan digunakan kembali (Buthiyappan et al. 2016).

Penelitian dengan menggunakan air limbah tekstil yang nyata perlu lebih banyak
dilakukan. Air limbah tekstil memiliki kontaminan yang kompleks, sehingga pengetahuan
tentang pengolahan air limbah yang nyata dan konstituen diperlukan. (Bilińska et al.
2020), mencoba berbagai jenis katalis untuk mengolahan air limbah tekstil dan
menemukan kemampuan adsorptif katalis menurun karena adanya residu surfaktan yang
umum digunakan pada proses pencelupan di industri tekstil.

Hambatan lain dari aplikasi ozonisasi katalitik pada skala industri adalah kebutuhan
energi listrik yang besar untuk generator ozon. Integrasi teknologi ozonisasi katalitik
dengan sumber listrik eksternal yang melimpah sangat penting untuk keberhasilan
menerapkan ozonisasi katalitik pada skala besar (Rame et al., 2021).

Penelitian terhadap desain reaktor kontinyu untuk pengolahan limbah industri tekstil
melalui teknologi ozonisasi katalitik dan sensor teritegrasi dengan sumber energi
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) telah dilakukan oleh Rame et al. (2021). Lebih
lanjut disebutkan bahwa penggunaan PLTS sebagai sumber energi dapat menghemat
biaya operasional unit pengolahan limbah, dan dengan proses yang dikontrol secara real
time diharapkan efluen yang dihasilkan dapat memenuhi standar untuk digunakan
kembali.

Inovasi ini dapat memberikan solusi pada permasalah di industri tekstil yaitu,
pemenuhan air proses dan biaya pengolahan air limbah. Efluen pengolahan air limbah
yang dapat di gunakan kembali dapat mengurangi biaya produksi, dan biaya operasi unit
pengolahan air limbah pun dapat berkurang karena penggunaan energi PLTS.

Kombinasi ozoniasasi dengan pengolahan biologis aerobik dapat menghasilkan
sistem yang lebih baik untuk menghilangkan warna, TOC, COD, dan toksisitas.
Pendekatan pengolahan gabungan tidak hanya memungkinkan pencapaian dekolorisasi
dan efisiensi biodegradabilitas yang lebih baik, tetapi juga berkontribusi terhadap
pengurangan biaya perawatan (Rekhate and Srivastava 2020).

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Ozonisasi katalitik merupakan teknologi yang menggabungkan ozonasi dan
katalisis. Teknologi ini merupakan alternatif yang baik untuk metode pengolahan secara
oksidasi karena ozonisasi katalitik memberikan kemampuan degradasi yang tinggi untuk
hampir segala jenis polutan. Saat ini penelitian yang banyak dilakukan masih dalam skala
laboratorium dan pilot plant. Untuk diterapkan secara komersil pada skala industri, perlu
perhatian khusus terutama dari segi ekonominya. Perlu adanya studi lebih lanjut untuk
mendapatkan kondisi optimum untuk ozonasi katalitik pada air limbah tekstil. Selain itu,
perlu dilakukan penelitian lebih mendalam mengenai ketahanan katalis, dan tingkat
aktivitasnya pada air limbah tekstil yang nyata.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak terkait yang membantu
dalam proses penulisan, serta kepada Balai Riset dan Standarisasi Industri Banjarbaru
selaku panitia Seminar Industri Hijau yang telah memfasilitasi kegiatan ini.

H a l | 53

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 45 - 56

DAFTAR PUSTAKA

Asgari, Ghorban, Javad Faradmal, Hassan Zolghadr Nasab, and Hamied Ehsani. 2019.
“Catalytic Ozonation of Industrial Textile Wastewater Using Modified C-Doped MgO
Eggshell Membrane Powder.” Advanced Powder Technology 30(7):1297–1311. doi:

10.1016/j.apt.2019.04.003.
Augustia, Venitalitya A. S., Inggit Dwi Letari, and Maulita Dian Rani. 2018. “Degradasi

Limbah Zat Warna Direk Dengan Metode Advanced Oxidation Processes (AOPs)
Kombinasi H2O2/MnO2 Dengan Parameter Uji BOD, COD, Dan PH.” Eksergi 15:5–8.
Ayuningtyas, Endah. 2020. “Penurunan Kadar Warna Dan Fenol Aair Limbah Batik
Menggunakan Metode Advanced Oxidation Processes ( AOPs ).” 20(2):31–37.

Bagheri, Marzieh, Ghodratollah Roshanaei, Ghorban Asgari, Sona Chavoshi, and Maryam
Ghasemi. 2020. “Application of Carbon-Doped Nano-Magnesium Oxide for Catalytic
Ozonation of Real Textile Wastewater: Fractional Factorial Design and Optimization.”
Desalination and Water Treatment 175:79–89. doi: 10.5004/dwt.2020.24893.

Bai, Z. Y., Q. Yang, and J. L. Wang. 2016. “Fe3O4/Multi-Walled Carbon Nanotubes as an
Efficient Catalyst for Catalytic Ozonation of p-Hydroxybenzoic Acid.” International
Journal of Environmental Science and Technology 13(2):483–92. doi:

10.1007/s13762-015-0881-3.

Bakht Shokouhi, Sepideh, Reza Dehghanzadeh, Hassan Aslani, and Najmeh Shahmahdi.
2020. “Activated Carbon Catalyzed Ozonation (ACCO) of Reactive Blue 194 Azo Dye

in Aqueous Saline Solution: Experimental Parameters, Kinetic and Analysis of
Activated Carbon Properties.” Journal of Water Process Engineering 35:101188. doi:

10.1016/j.jwpe.2020.101188.

Beltran, Fernando J., Fransisco J. Rivas, and Ramon Montero-de-Espinosa. 2003.
“Ozone-Enhanced Oxidation of Oxalic Acid in Water with CObalt Catalysts. 2.
Heterogeneous Catalytic Ozonation.” Industrial & ENgineering Chemistry Research
42(4):3218–24.

Bilińska, Lucyna, Kazimierz Blus, Magdalena Bilińska, and Marta Gmurek. 2020.
“Industrial Textile Wastewater Ozone Treatment: Catalyst Selection.” Catalysts

10(6):611. doi: 10.3390/catal10060611.

Buthiyappan, Archina, Abdul Raman Abdul Aziz, and Wan Mohd Ashri Wan Daud. 2016.
“Recent Advances and Prospects of Catalytic Advanced Oxidation Process in
Treating Textile Effluents.” Reviews in Chemical Engineering 32(1):1–47. doi:

10.1515/revce-2015-0034.

Chatzisymeon, Efthalia, Nikolaos P. Xekoukoulotakis, Alberto Coz, Nicolas Kalogerakis,
and Dionissios Mantzavinos. 2006. “Electrochemical Treatment of Textile Dyes and
Dyehouse Effluents.” Journal of Hazardous Materials 137(2):998–1007. doi:

10.1016/j.jhazmat.2006.03.032.
Chen, Jun, Shuanghong Tian, Jiang Lu, and Ya Xiong. 2015. “Catalytic Performance of

MgO with Different Exposed Crystal Facets towards the Ozonation of 4-
Chlorophenol.” Applied Catalysis A: General 506:118–25. doi:

10.1016/j.apcata.2015.09.001.

Christian, Handy, Tomy A. Ferdian, Tjandra Setaiadi, and Edy Suwoto. 2007.
“Kemampuan Pengolahan Warna Limbah Tekstil Oleh Berbagai Jenis Fungi Dalam
Suatu Bioreaktor.” in Seminar Nasional Fundamental & Aplikasi Teknik Kimia 2007.

Fouda, Amr, Saad El-Din Hassan, Mohamed Ali Abdel-Rahman, Mohamed M. S. Farag,

Amr Shehal-deen, Asem A. Mohamed, Sultan M. Alsharif, Ebrahim Saied, Saad A.
Moghanim, and Mohamed Salah Azab. 2021. “Catalytic Degradation of Wastewater
from the Textile and Tannery Industries by Green Synthesized Hematite (α-Fe2O3)
and Magnesium Oxide (MgO) Nanoparticles.” Current Research in Biotechnology
3:29–41. doi: 10.1016/j.crbiot.2021.01.004.
Gao, Guoying, Jimin Shen, Wei Chu, Zhonglin Chen, and Lei Yuan. 2017. “Mechanism of

H a l | 54

Potensi ozonasi katalitik dalam pengolahan air limbah tekstil ….Kevin Addery, et al.

Enhanced Diclofenac Mineralization by Catalytic Ozonation over Iron Silicate-Loaded
Pumice.” Separation and Purification Technology 173:55–62. doi:

10.1016/j.seppur.2016.09.016.
Hassaan, Mohamed A., and Ahmed El Nemr. 2017. “Advanced Oxidation Processes for

Textile Wastewater Treatment.” International Journal of Photochemistry and
Photobiology 2(3):85–93. doi: 10.11648/j.ijpp.20170203.13.

Holkar, Chandrakant R., Ananda J. Jadhav, Dipak V. Pinjari, Naresh M. Mahamuni, and
Aniruddha B. Pandit. 2016. “A Critical Review on Textile Wastewater Treatments:
Possible Approaches.” Journal of Environmental Management 182:351–66. doi:

10.1016/j.jenvman.2016.07.090.

Hu, Enling, Songmin Shang, Xiaoming Tao, Shouxiang Jiang, and Ka Lok Chiu. 2018.
“Minimizing Freshwater Consumption in the Wash-Offstep in Textile Reactive Dyeing
by Catalytic Ozonation with Carbon Aerogel Hosted Bimetallic Catalyst.” Polymers

10(2). doi: 10.3390/polym10020193.

Hu, Enling, Xinbo Wu, Songmin Shang, Xiao-ming Tao, Shou-xiang Jiang, and Lu Gan.
2016. “Catalytic Ozonation of Simulated Textile Dyeing Wastewater Using
Mesoporous Carbon Aerogel Supported Copper Oxide Catalyst.” Journal of Cleaner
Production 112:4710–18. doi: 10.1016/j.jclepro.2015.06.127.

Hu, Shang, and Chiu. 2019. “Removal of Reactive Dyes in Textile Effluents by Catalytic
Ozonation Pursuing On-Site Effluent Recycling.” Molecules 24(15):2755. doi:

10.3390/molecules24152755.
Ichikawa, Sho-ichi, Lina Mahardiani, and Yuichi Kamiya. 2014. “Catalytic Oxidation of

Ammonium Ion in Water with Ozone Over Metal Oxide Catalysts.” Catalysis Today
232:192–97.
Khuntia, Snigdha, Subrata K. Majumder, and Pallab Ghosh. 2016. “Catalytic Ozonation of
Dye in a Microbubble System: Hydroxyl Radical Contribution and Effect of Salt.”
Journal of Environmental Chemical Engineering 4(2):2250–58. doi:

10.1016/j.jece.2016.04.005.

Malik, Sameena N., Prakash C. Ghosh, Atul N. Vaidya, and Sandeep N. Mudliar. 2018.
“Catalytic Ozone Pretreatment of Complex Textile Effluent Using Fe2+ and Zero
Valent Iron Nanoparticles.” Journal of Hazardous Materials 357:363–75. doi:

10.1016/j.jhazmat.2018.05.070.

Munoz, Maria S. G. 2010. Catalytic Ozonation of Pharmaceuticals in Aqueous Solution.

Madrid.

Nawaz, Faheem, Yongbing Xie, Hongbin Cao, Jaidong Xiao, Zahid Ali Ghazi, Zhuang
Guo, and Yue Chen. 2016. “The Influence of the Substituent on the Phenol Oxidation
Rate and Reactive Spesies Ini Cubic MnO2Catalytic Ozonation.” Catalysis Science
and Technology 7875–2884.

Nawrocki, Jacek. 2013. “Catalytic Ozonation in Water: Controversies and Questions.
Discussion Paper.” Applied Catalysis B: Environmental 142–143:465–71. doi:

10.1016/j.apcatb.2013.05.061.
Nawrocki, Jacek, and Barbara Kasprzyk-Hordern. 2010. “The Efficiency and Mechanisms

of Catalytic Ozonation.” Applied Catalysis B: Environmental 99(1–2):27–42. doi:

10.1016/j.apcatb.2010.06.033.
Nugroho, Rudi, and Ikbal Mahmud. 2018. “Pengolahan Air Limbah Berwarna Industri

Tekstil Dengan Proses AOPs.” Jurnal Air Indonesia 1(2). doi: 10.29122/jai.v1i2.2344.
Paździor, Katarzyna, Lucyna Bilińska, and Stanisław Ledakowicz. 2019. “A Review of the

Existing and Emerging Technologies in the Combination of AOPs and Biological
Processes in Industrial Textile Wastewater Treatment.” Chemical Engineering Journal

376. doi: 10.1016/j.cej.2018.12.057.
Polat, Didem, İrem Balcı, and Tülay A. Özbelge. 2015. “Catalytic Ozonation of an

Industrial Textile Wastewater in a Heterogeneous Continuous Reactor.” Journal of
Environmental Chemical Engineering 3(3):1860–71. doi: 10.1016/j.jece.2015.04.020.

H a l | 55

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 45 - 56

Prasetya, Nor Basid Adiwibawa, Abdul Haris, and Gunawan. 2012. “Pengaruh Ion Logam

Cd(II) Dan PH Larutan Terhadap Efektivitas Fotodegradasi Zat Warna Remazol Blck
B Menggunakan Katalis TiO2.” Molekul 7(2):143–52.
Pratiwi, Yuli. 2010. “Penentuan Tingkat Pencemaran Limbah Industri Tekstil Berdasarkan
Nutrition Value Coeficient Bioindikator.” Teknologi 3(3):129–37.
Rame, R., R. Yuliasni, N. I. Pratiwi, N. I. Handayani, and N. I. Setianingsih. 2021. “A

Continuous Mode Reactor Design for Industrial Textile Wastewater Treatment
through Catalytic Ozonation.” IOP Conference Series: Earth and Environmental

Science 623(1). doi: 10.1088/1755-1315/623/1/012085.
Rame, Rame, Agus Purwanto, and Agung Budiarto. 2017. “Pengolahan Air Limbah Tekstil

Berbasis Ozonisasi Katalitik Dengan Katalis Besi(III) Oksida (Fe2O3) Dan Aluminium
Oksida (Al2O3) Menggunakan Difuser Mikro.” Jurnal Riset Teknologi Pencegahan
Pencemaran Industri 8(2):67–75. doi: 10.21771/jrtppi.2017.v8.no2.p67-75.
Rekhate, Chhaya V., and J. K. Srivastava. 2020. “Recent Advances in Ozone-Based
Advanced Oxidation Processes for Treatment of Wastewater- A Review.” Chemical

Engineering Journal Advances 3(June):100031. doi: 10.1016/j.ceja.2020.100031.

Riyanto. 2013. Elektrokimia Dan Aplikasinya. 1st ed. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sastrawidana, I. D. K., Siti Maryam, and I. N. Sukarta. 2012. “Perombakan Air Limbah

Tekstil Menggunakan Jamur Pendegradasi Kayu Jenis Polypors Sp Teramobil Pada
Serbuk Gergaji Kayu.” Journal of Environment 12(2).

Song, Shuang, Zhiwu Liu, Zhiqiao He, Angliang Zhang, Jianmeng Chen, Yueping Yang,
and Xinhua Xu. 2010. “Impacts of Morphology and Crystallite Phases of Titanium
Oxide on the Catalytic Ozonation of Phenol.” Environmental Science & Technology
44(10):3913–18. doi: 10.1021/es100456n.

Sun, Faqian, Bin Sun, Jian Hu, Yangyang He, and Weixiang Wu. 2015. “Organics and

Nitrogen Removal from Textile Auxiliaries Wastewater with A2O-MBR in a Pilot-
Scale.” Journal of Hazardous Materials 286:416–24. doi:

10.1016/j.jhazmat.2015.01.031.

Sun, Qiangqiang, Yu Wang, Laisheng Li, Jishuai Bing, Yingxin Wang, and Huihua Yan.
2015. “Mechanism for Enhanced Degradation of Clofibric Acid in Aqueous by
Catalytic Ozonation over MnO /SBA-15.” Journal of Hazardous Materials 286:276–84.

doi: 10.1016/j.jhazmat.2014.12.050.

Tabrizi, M. T. F. 2013. Decoluration of Reactive Dyes with Ozone in a Semi Batch and

Continuous Stirred Tank Reactor. Johannesburg.
Verma, Akshaya Kumar, Rajesh Roshan Dash, and Puspendu Bhunia. 2012. “A Review

on Chemical Coagulation/Flocculation Technologies for Removal of Colour from
Textile Wastewaters.” Journal of Environmental Management 93(1):154–68. doi:

10.1016/j.jenvman.2011.09.012.

Volmajer Valh, J., A. Majcen Le Marechal, S. Vajnhandl, T. Jeri C, and E. Simon. 2011.
“Water in the Textile Industry, Reference Module in Earth Systems and Environmental
Sciences.” Pp. 685–706 in Treatise on Water Science.

Waluyo, Deril Alvian Permana, and Siti Saodah. 2015. “Perancangan Dan Realisasi

Generator Ozon Menggunakan Metoda Pembangkitan Tegangan Tinggi Bolak-Balik
(AC).” Elkomika 1(3):38–51.

Wang, Bing, Huan Zhang, Feifei Wang, Xingaoyuan Xiong, Kun Tian, Yubo Sun, and
Tingting Yu. 2019. “Application of Heterogeneous Catalytic Ozonation for Refractory
Organics in Wastewater.” Catalysts 9(3). doi: 10.3390/catal9030241.

Yuanita, Dewi, Endang Widjajanti, and Sulistyani Sulistyani. 2014. “Penggunaan Lumpur
Aktif Sebagai Material Untuk Biosorpsi Pewarna Remazol.” Molekul 9(2):93. doi:

10.20884/1.jm.2014.9.2.155.

Zaikov, Gennady E., and Slavcho K. Rakovsky. 2009. Ozonation of Organic and Polymer

Compounds. Shawbury Uk: iSmithers.

H a l | 56

Potensi teknologi pada unit instalasi pengolahan air limbah (IPAL).…. Erica M.P., et al.
.

Potensi teknologi pada unit instalasi pengolahan air limbah (IPAL) sebagai
solusi pengolahan air limbah pada industri tekstil di Indonesia

Potential technology of wastewater treatment plants (WWTP) as solutions for
wastewater treatement of textile industry in Indonesia

Erica M.P.a,*, Reza D.A.a, Arianto D.U.b, Ibnu S.b
a Balai Besar Tekstil

Jl. Jendral Ahmad Yani No. 390, Bandung, Indonesia
b Balai Besar Logam dan Mesin

Jl. Sangkuriang No.12, Bandung, Indonesia
*[email protected].

ABSTRAK

Industri Tekstil di Indonesia menjadi salah satu sektor manufaktur yang ditetapkan
pengembangannya sebagai prioritas pada peta jalan Making Indonesia 4.0. Hal tersebut
dikarenakan tekstil merupakan bahan utama dalam kebutuhan dasar manusia yakni
kebutuhan sandang. Perkembangan industri tekstil di Indonesia dinilai berkembang
secara pesat akibat banyaknya permintaan pasar ekspor baik untuk skala rumahan
ataupun Industri. Meningkatnya industri tekstil dalam negeri memberikan sisi positif dalam
meningkatnya pendapatan devisa negara dan penyerapan tenaga kerja. Namun dibalik
sisi positif yang dihasilkan dari industri tekstil, terdapat pula efek negatif yaitu adanya air
limbah industri yang dihasilkan oleh industri tekstil dan bisa membahayakan lingkungan.
Air limbah industri tekstil jika tidak dilakukan pengolahan secara tepat akan berdampak
terhadap rusaknya lingkungan. Saat ini, hampir disetiap industri tekstil telah
menggunakan unit Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) untuk pengolahan air
limbahnya. Meskipun demikian penggunaan IPAL harus disesuaikan dengan jenis air
limbah yang dihasilkannya sehingga telah dilakukan berbagai penilitian dan aplikasi untuk
mendapatkan teknologi yang efektif dan efisien dalam pengolahan air limbah industri
tekstil yang berperan penting untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup di Indonesia.
Artikel ini disusun untuk memberikan pengetahuan dan mendapatkan teknologi-teknologi
sebagai solusi terhadap proses pengolahan air limbah industri tekstil yang terbarukan
sehingga dapat dimanfaatkan oleh Pelaku Industri Tekstil dalam negeri untuk
mewujudkan terbentuknya Industri Hijau pada Industri Tekstil di Indonesia.

Kata Kunci : industri tekstil, air limbah, pengolahan air limbah, teknologi pengolahan air
limbah

ABSTRACT

The textile industry in Indonesia is one of five manufacturing sectors that are set to
be a priority in its development on the Making Indonesia 4.0 roadmap. This is because
textiles are the main ingredient in basic human needs, namely the need for clothing. The
development of the textile industry in Indonesia is considered to be growing rapidly due to
the large demand for the export market for both home and industrial scale. The increase
in the domestic textile industry provides a positive side in increasing the country's foreign
exchange earnings and employment. However, behind the positive side generated from
the textile industry, there is also a negative effect, namely the presence of industrial
wastewater produced by the textile industry and can harm the environment. Textile
industry wastewater if not treated properly will have an impact on environmental damage.
Currently, almost every textile industry has used a Waste Water Treatment Plant (IPAL)
unit for its wastewater treatment. However, the use of WWTP must be adjusted to the type
of wastewater it produces, so that various studies and applications have been carried out
to obtain effective and efficient technology in textile industry wastewater treatment which
plays an important role in preserving the environment in Indonesia. This article is prepared

H a l | 57

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 57 - 68

to provide knowledge and obtain technologies as solutions to the textile industry's
renewable wastewater treatment process so that it can be utilized by domestic Textile
Industry Players to realize the formation of a Green Industry in the Textile Industry in
Indonesia.

Keywords : textile industry, wastewater, wastewater treatment, wastewater treatment
technology

I. PENDAHULUAN

Industri Tekstil di Indonesia merupakan salah satu sektor Industri yang
pengembangannya menjadi prioritas dalam Making Indonesia 4.0 yang telah dirancang
oleh Kementerian Perindustrian. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Industri
Tekstil menopang kenaikan IBS Indonesia pada kuarta 1/2019 sebesar 29,19% karena
melimpahnya permintaan terutama terhadap pasar ekspor. Pada Industri Tekstil, terjadi
pengolahan dengan proses penenunan pada benang yang meliputi beberapa tahapan
yaitu penyulaman, kemudian penjahitan dan pengikatan, serta cara penekanan. Industri
tekstil di Indonesia telah “menjamur” dari skala rumahan hingga skala industri (Rohayati et
al., 2017). Selain itu, Industri tekstil juga menggunakan bahan dengan jumlah yang
banyak bahan kimia seperti air dan zat pewarna untuk memberikan hasil produk tekstil
yang bergambar dan berwarna seperti batik.

Proses produksi pada Industri tekstil juga memberikan dampak negatif terhadap
lingkungan akibat dari limbah yang dihasilkannya yang sampai saat ini masih menjadi
permasalahan jika limbah tersebut tidak diolah atau dimanfaaatkan dengan baik. Limbah
tekstil yang sangat disoroti oleh pemerhati lingkungan adalah air limbah yang dibuang
oleh Industri Tekstil. Air limbah tekstil dihasilkan akibat dari proses pengkanjian,
penghilangan kanji, pengelantangan, proses pemasakan, proses merserisasi, proses
pewarnaan, proses pencetakan serta proses penyempurnaan sebuah bahan tekstil
(Khasanah & Arumsari, 2020). Air limbah harus telah melalui serangkaian pengolahan
menggunakan teknologi untuk mendapatkan air limbah yang memiliki kadar sesuai
dengan nilai ditetapkan disetiap daerah (baku mutu). Karena jika tidak diolah dengan
benar atau bahkan langsung dibuang begitu saja akan berdampak terhadap pencemaran
lingkungan.

Teknologi dalam pengolahan air limbah pada industri tekstil terus berkembang
akibat adanya perbedaan karakteristik air limbah yang variative serta juga bertambahnya
kebutuhan, sehingga penggunaan teknologi pada pengolahan air limbah pada industri
tekstil-pun harus dapat menyesuaikan terhadap pihak industri tersebut sesuai dengan
kemampuan dan produksinya. (Muzakky et al., 2016). Oleh karena itu, tujuan dari
dibuatnya artikel ini adalah untuk mendapatkan dan membahas teknologi-teknologi
pengolahan air limbah pada industri tekstil yang terbaruka yang lebih efektif dan efisien
serta dapat dimanfaatkan secara langsung oleh industri tekstil di Indonesia sehingga air
limbah yang dihasilkan dapat memenuhi baku mutu yang ditetapkan dan mengurangi
pencemaran terhadap lingkungan.

II. TEKNOLOGI PROSES PENGOLAHAN

Penggunaan IPAL yang didesain sesuai dengan jenis air limbah yang dihasilkan
merupakan metode yang seringkali digunakan oleh industri tekstil untuk mengolah air
limbah dari hasil produksinya sebelum dibuang ke alam bebas. Indrayani (2019)
melakukan penelitian pembuatan IPAL yang terdiri dari 8 (delapan) proses pengolahan
pada setiap bak yaitu bak penangkapan limbah lilin batik, bak ekualisasi dan sedimentasi
awal, bak pengolahan kimia, bak pengering lumpur, bak pengolahan secara biologi pada
kondisi anaerob, bak pengolahan fisika-kimia dengan adsorbs arang, dan bak kontrol
seperti yang terlihat pada Gambar 1.

H a l | 58

Potensi teknologi pada unit instalasi pengolahan air limbah (IPAL).…. Erica M.P., et al.

Gambar 1. Tampak Samping IPAL (Sumber: Indrayani, 2019)

Penggunaan metode IPAL yang meliputi proses fisika, kimia dan biologi dalam
pengolahan limbah cair industri batik sangat efektif untuk mengurangi kadar zat – zat
pencemar yang sebelumnya di atas baku mutu yang ditentukan menjadi di bawah nilai
baku mutu tersebut. Pada dasarnya air limbah industri tekstil memiliki kandungan zat
organik yang memiliki kadar yang berbeda-beda dan tidak sesuai dengan baku mutu yang
ditentukan (Indrayani, 2019). Penggunaan IPAL sebagai proses pengolahan limbah
industri tekstil, telah dilakukan dengan berbagai penilitian dan inovasi disetiap
pengolahannya yang dilakukan untuk menurunkan kadar kandungan pada limbah cair
tersebut. Adapun pembagian pengolahan tersebut berdasarkan proses atau alat dan
bahan yang digunakan pada kegiatan tersebut, terbagi menjadi tiga jenis pengolahan
yang urutannya sesuai pada bak IPAL yaitu pengolahan kimia, pengolahan biologi, dan
pengolahan fisika-kimia.

2.1. Pengolahan Kimia
Pengolahan pertama pada metode IPAL adalah pengolahan dengan mekanisme

kimia yang didalamnya dilakukan berbagai proses menggunakan bantuan bahan kimia
dan proses kimia seperti netralisasi, koagulasi, dan flokuasi. Berbagai teknologi dalam
pengolahan kimia telah dilakukan penelitian untuk menjadikan dan mendapatkan proses
yang efektif dan efisien diantaranya:

2.1.1. Metode Elektroflotasi
Elektroflotasi dilakukan untuk memisahkan polutan yang terdapat dalam air yang

dilakukan dengan cara diapungkannya polutan yang terdapat di dalam cairan tersebut,
oleh gaya angkat gelembung gas O2 dan H2. Metode elektroflotasi mempunyai kelebihan,
diantaranya: ukuran gelembung gas lebih kecil dan bisa dikontrol, dan kemungkinan
tumbukan gelembung gas dan polutan menjadi lebih besar. Cara kerja elektroflotasi
dalam mengolah air limbah tergantung pada pengukuran pengoperasian.

Haryono et al., (2018) menerapkan metode elektroflotasi pada pengolahan air
limbah zat warna tekstil yang terdispersi. Dari penelitian tersebut, didapatkan bahwa
penggunaan metode elektroflotasi efektif untuk menurunkan nilai COD dan TSS yang
terdapat dalam air limbah, sehingga dapat mengikuti standar sesuai dengan Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup No. 51/MENLH/10/1995.

2.1.2. Metode Elektrokoagulasi dan Fotokatalitik
Elektrokoagulasi dilakukan dengan memakai electrode yang berasal dari materi

yang memproduksi coagulant. Fotokatalitik dilakukan dengan mengurai organic polutant
menjadi H2O dan CO2 menggunakan katalisator yang diaktifkan oleh cahaya matahari.
Gambar 2. memperlihatkan rangkaian alat yang digunakan dalam proses elektrokoagulasi
dan fotokatalitik.

H a l | 59

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 57 - 68

Gambar 2. Rangkaian Alat Proses Elektrokoagulasi dan Fotokatalitik
(Sumber: Sutanto et al., 2012)

Sutanto et al., (2012) melakukan penelitian dimulai dari dialirkannya air limbah yang
berasal dari bak penampungan air limbah ke dalam bak elektrokoagulasi. Keadaan air
limbah yang dimasukkan mengandung Rhodamine B 950 mg/l, Na 490 mg/l, Mg 30,34
mg/l, Fe 2,1 mg/l, Mn 9,5 mg/l, kekeruhan 52,4 NTU dan pH 6,1. Kemudian arus listrik
dialirkan 0,05 ampere selama 10 menit pada jam 11 siang dan jam 3 sore. Air dari bak
elektrokoagulasi selanjutnya mengalir ke bak pengendapan. Dari hasil penelitian tersebut,
diperoleh kesimpulan bahwa metode elektrokoagulasi dan fotokatalitik bisa menghasilkan
penurunan kandungan zat warna Rhodamine B, Fe dan mengurangi keruhnya air limbah.
Semakin besar arus listrik yang digunakan, semakin berkurangnya kandungan
Rhodamine B, Fe dan juga mengurangi keruh yang terdapat dalam air limbah. Hasil
terbaik dicapai pada pemakaian arus listrik 0,3 ampere, TiO2 sebanyak 1,0gram dan
waktu proses selama 1 jam 50 menit dengan hasil akhir Fe 0,02 mg/l, Rhodamine B 3
mg/l dan kekeruhan 0,6 NTU pada air limbah.

Wayan Yuningrat et al., (2018) juga melakukan penelitian dengan menggunakan
reactor photokatalitik fixed bed. Dengan menggunakan reaktor fotokatalitik fixed bed
TiO2-batu apung akan berjalan baik apabila sinar matahari cukup. Adapun tahapan
persamaan reaksi kimianya sebagai berikut:

TiO2 + hν (energy foton) → TiO2 (e- + h-) (1)
TiO2 (h+) + H2O → TiO2 + H+ + + •OH (2)
TiO2 (e-) + O2 → TiO2 + •O2- (3)
•OH, h+ atau •O2- + zat warna → produk terdegradasi (4)

Sehingga dapat disimpulkan zat warna tekstil terurai dan menghasilkan senyawa yang
lebih ramah terhadap lingkungan seperti CO2, N2 anorganik dan H2O.

2.1.3. Metode Oksidasi Katalitik

Di masa sekarang ini, air limbah tekstil diolah dengan metode AOPs, yaitu Advance

Oxidation Process. Metode AOPs mengkombinasikan beberapa proses oksidasi seperti

ozon, H2O2, sinar UV, TiO2, fotokatalitik, sonolisis, berkas elektron, untuk memproduksi
OH•. Metode AOPs ini dapat digunakan untuk menurunkan baik senyawa beracun

maupun material yang tidak dapat didegradasi yang terdapat di dalam air limbah dengan
kisaran pH (1 ≤ pH ≤ 10,5) (Anipsitakis and Dionysiou, 2004).

Beberapa penelitian telah menggunakan proses katalitik dengan kombinasi antara
peroxymonosulfate dan katalis homogen ion logam (Fe2+, Mn2+, Ni2+, Co2+, Cd2+, Cu2+,
Ag+1, Cr3+, Zn2+) (Klamerth, 2011), namun ternyata kurang efektif karena waktu yang

H a l | 60

Potensi teknologi pada unit instalasi pengolahan air limbah (IPAL).…. Erica M.P., et al.

diperlukan lebih panjang dan pemakaian ion logam seperti Co, dianggap berbahaya bagi
kesehatan manusia (Hamilton, 2003). Maka dari itu, Sri Meilani et al., (2017) melakukan
penelitian dengan memakai katalis heterogen Nano-Mn/Carbon Sphere (Nano-Mn/CS)
untuk memproduksi senyawa radikal yang dapat menurunkan senyawa organik.
Penelitian ini dilakukan dengan memanaskan 500ml larutan berisi 10 gr D-glucose
(99,5%) dan aquadest, yang telah terlebih dulu diaduk selama 4 jam dengan magnetic
stirrer selama 4 jam, di dalam Teflon-lined autoclave pada temperatur 180o C selama 18
jam. Lalu larutan tersebut didinginkan pada suhu ruang dan karbon hitam yang dihasilkan
disaring dan dicuci dengan aquadest, dan dikeringkan pada suhu 105o C. Setelah itu,
karbon hitam diimpregnasi dengan melarutkan Mn (NO3)2.4H2O dalam akuades, diaduk
selama 24 jam, dikeringkan pada suhu 105o C, dikalsinasi dengan Nitrogen pada suhu
500o C selama 4 jam, dan dikarakterisasi dengan metode difraksi sinar X.

Berdasarkan penelitian tersebut, dapat ditarik kesimpulan yaitu katalis Nano-Mn/CS
dapat mengaktifkan peroxymonosulfate dengan sangat baik untuk menurunkan
kandungan metilen biru yang terdapat di dalam air limbah. Hasil optimal dicapai dengan
kombinasi 2 gr/L peroxymonosulfate dengan 0,4 gr/L katalis Nano-Mn/CS dalam waktu 2
jam, yakni penurunan kandungan metilen biru dari 25 ppm menjadi 2,23 ppm dengan
efisiensi 91,07%. (Meilani et al., 2017)

2.1.4. Metode Ozonasi
Metode ini dilakukan oleh Ekstikarini et al., (2016) yang menggunakan ozonasi

untuk mengolah air limbah industri tekstil secara kimia. Ozon yang digunakan bersumber
dari generator ozon hasil dari proses injeksi gas oksigen. Penilitian tersebut
menggunakan dosis ozon sebanyak 24 ppm dan 32 ppm yang mempengaruhi
terbentuknya radikal hidroksi. Banyaknya dosis ozon yang digunakan maka tingkat ozon
yang kontak secara langsung dengan senyawa organik juga akan semakin tinggi pada air
limbah yang akan mendegradasi zat – zat organik pada limbah tersebut. Penggunaan
dosis ozon 32 ppm selama 180 menit dapat membantu mendegradasi kadar COD hingga
90,5% sedangkan kombinasi dengan proses filtrasi dapat mendegradasi kadar TSS
hingga 97,2%. Penggunaan metode ozonasi pada dasarnya dilakukan sebelum proses
filtrasi, dalam penelitian yang dilakukan oleh Ekstikarini et al., (2016) proses filtrasi
dilakukan menggunakan karbon aktif. Sehingga, dengan adanya kombinasi variasi
penggunaan media filtrasi dapat membantu penurunan kandungan zat organic berbahaya
pada limbah cair industri tekstil.

2.2. Pengolahan Biologi
Setelah melalui proses pada bak pengolahan kimia, selanjutnya limbah akan

dilakukan proses pengolahan secara biologi dengan berbagai jenis metode yang telah
dilakukan penelitiannya sebagai berikut:

2.2.1. Menggunakan Mikroorganisme
Pengolahan limbah cair tekstil secara biologis dapat menggunakan mikroorganisme

indigenous yang dijalankan secara aerob, yaitu dengan metode lumpur aktif (active
sludge). Jannah & Muhimmatin, (2019) melakukan penelitian pengolahan air limbah,
dimana kondisi air limbah awalnya memiliki pH 11, Dissolved Oxygen (DO) 8,6 mg/l, dan
berwarna biru kehitaman, dengan menggunakan mikroorganisme indigenous (bakteri
proteolitik dan selulolitik) dan metode lumpur aktif, terjadi penurunan baik pada pH
menjadi 7, DO menjadi 7,6 mg/L, serta warna limbah menjadi lebih cerah. Hal ini
disebabkan oleh kemampuan mikroorganisme dalam mendegradasi limbah cair. Bakteri
indigenous memiliki kemampuan yang tinggi dalam mendegradasi senyawa organik dan
mampu menghasilkan perbandingan Carbon/Nitogen (C/N) yang tinggi. Dalam bak aerasi,
mikroorganisme aerob menghidrolisa senyawa organik dalam air limbah dengan
menggunakan enzim hidrolitik selanjutnya mengoksidasi senyawa organik tersebut

H a l | 61

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 57 - 68

menjadi H2O dan CO2. Reaksi hidrolisa atau penguraian terjadi melalui reaksi enzimatis
dengan melibatkan enzim yang terdapat dalam mikroorganisme yang mengkatalisis
terjadinya reaksi oksidasi-reduksi. Setiap mikroba potensial mempunyai kemampuan yang
berbeda-beda dalam proses hidrolisa atau penguraian. Mikroba potensial tersebut akan
memanfaatkan molekul zat pewarna sebagai sumber karbon, nitrogen dan energi secara
sempurna, sehingga diperoleh penurunan konsentrasi polutan yang terdapat dalam air
limbah.

2.2.2. Menggunakan Tanaman Air dan Bioaugmentasi Bakteri
Dalam penelitian ini dilakukan penyisihan warna metil violet dengan konsentrasi 23

mg/L pada fito pengolahan oleh tanaman air E.Crassipes dan bioaugmentasi bakteri B.
Subtilis selama 5 hari. Tanaman air E. Crassipes memiliki nilai efisiensi 85%, dimana
pewarna bakteri hanya memiliki efisiensi sebesar 62%. Dan pewarna tanpa perlakuan
memiliki efisiensi 32%.

2.3. Pengolahan Fisika-Kimia
Pengolahan fisika-kimia yang dilakukan pada bak IPAL setelah proses pengolahan

secara biologi yaitu dengan menambahkan adsorbsi dan filtrasi untuk mengikat logam
berat dan zat lainnya, supaya kualitas efluennya menjadi lebih baik (Sausan et al., 2021).
Berbagai penelitian telah dilakukan juga untuk mendapatkan metode yang efektif dan
efisien dengan menggunakan media filter yang berbeda-beda, diantaranya:

2.3.1. Penggunaan Karbon
Penggunaan karbon sebagai media filtrasi bertujuan untuk mengurangi waktu dan

beban pada proses air limbah pada industri tekstil yang memiliki kandungan zat organik,
logam berat, dan partikel padatan dengan jumlah kadar yang besar. Adapun jenis karbon
yang dapat dijadikan sebagai media filtrasi yaitu karbon non-aktif seperti limbah batu bara
dan karbon aktif seperti arang aktif, berikut merupakan penjelasan dari penggunaan
karbon sebagai media filtrasi:

a. Bottom ash Limbah Batubara
Rosyida, (2011) menyebutkan bahwa penggunaan limbah batubara yaitu Bottom
Ash sebagai media filtrasi dinilai sangat efektif untuk mengurangi nilai ppm dari
TSS, COD, BOD, dan kandungan Cr pada limbah cair industri tekstil. Bottom ash
Batubara rata – rata dapat mengurangi sebanyak 32,5% TSS (mg/L), 54,1% COD
(mg/L), 58,9% BOD (mg/L), dan 80,8% Cr (mg/L). Limbah batubara Bottom ash
merupakan hasil dari pembakaran batubara dengan suhu yang sangat tinggi
berkisar antara 1100°C hingga 1400°C sehingga por-pori yang dimiliki oleh bottom
ash berskala mikro dengan jumlah yang lebih banyak dibandingkan pori makronya.
Adanya kandungan zat SiO2 dan Al2O3 pada limbah batu bara tersebut juga dapat
membantu untuk menarik dan mengadopsi senyawa pencemar lainnya.
Penggunaan bottom ash limbah batubara memiliki nilai ekonomis yang tinggi
dikarenakan limbah tersebut tersedia secara melimpah dan belum dapat
dimanfaatkan secara benar serta telah dilakukan penilitian oleh Tanzis (2007)
dikatakan bahwa bottom ash tidak termasuk dalam kategori limbah toksik dan
dapat dilakukan pemanfaatan pada limbah batu bara tersebut.
b. Arang Aktif
Christiany et al., (2019) melakukan penelitian menggunakan arang aktif untuk
melakukan kajian potensi teknis dan ekonomis daur ulang air limbah
menggunakan arang aktif. Analisis inlet – outlet dapat mengukur efektivitas nilai
karbon aktif untuk menurunkan COD (permintaan kimia oksigen), warna, TDS
(Total padatan terlarut), TSS (Total padatan tersuspensi), dan pH. Proses karbon
aktif menurunkan cemaran COD hingga 96%, dengan nilai COD rata-rata 97 ppm

H a l | 62

Potensi teknologi pada unit instalasi pengolahan air limbah (IPAL).…. Erica M.P., et al.

menjadi 5,5 ppm. Proses karbon aktif menurunkan TSS hingga 92%, dari rata-rata
12 ppm menjadi 1 ppm. Sistem ini juga dapat menurunkan rata-rata warna 98%,
dari rata-rata 226 ppm menjadi 4 ppm. Proses karbon aktif memiliki pengaruh yang
kecil pada TDS dan pH, namun nilai TDS dan pH masih memenuhi standar.
Perhitungan nilai ekonomi yang diperoleh dari perhitungan proyeksi karbon aktif
yang menggunakan proyeksi 12,5 m3/jam menunjukkan biaya sebesar 3.800 per
m3. Proses daur ulang ini dapat meningkatkan efisiensi proses dan menghemat
biaya produksi, harga air perkotaan untuk industri sekitar 12.000 per m3, yang
berarti menghemat biaya produksi sekitar Rp8.200 per m3.

2.3.2. Penggunaan Membran
Bahan membran sangat berpengaruh terhadap pemilihan teknologi yang akan

digunakan untuk pengolahan air limbah dan bahan membran tersebut mempunyai
perilaku tertentu baik berupa kimia, fisik, mekanik, kekuatan pada panas dan kemudahan
membran terhadap pengotoran. Ukuran pori membran berpengaruh terhadap zat yang
bisa melewati membran. Hal-hal yang mesti diberikan perhatian dalam pengolahan
konsentrat diantaranya berupa biaya, efisiensi, energi, dan juga keramahlingkungan
sebelum residu dari membran dibuang. Sebagai contoh, pembuangan langsung dari
metode nanofiltrasi dan reverse osmosis mengakibatkan keluaran yang merusak karena
terdapat unsur organik diantaranya pewarna dan aditif (Hasan, 2016). Beberapa jenis
membran yang dapat digunakan untuk filter yaitu:

a. Mikrofiltrasi
Dikarenakan mikrofiltrasi memiliki kemiripan dengan proses filtrasi konvensional
maka untuk aplikasi dalam pengolahan air limbah tekstil memiliki keterbatasan.
Ukuran pori pada membran mikrofiltrasi umumnya memiliki ukuran 0,1-10 µm.
Karena itu umumnya mikrofiltrasi digunakan sebagai metode pra-perlakuan
sebelum melakukan proses nanofiltrasi dalam pengolahan air limbah tekstil.
Komparasi hasil pengolahan limbah dengan cara lama seperti koagulasi/flokulasi
jika dikomparasikan dengan mikrofiltrasi / nanofiltrasi yang mempunyai pengaruh
pengurangan jumlah yang sama sekitar 8. Hasil dari penggunaan nanofiltrasi
dengan pra-perlakuan menghasilkan 34 L/h m² , jumlah ini lebih banyak dari yang
diperoleh pada pengolahan dengan teknik koagulasi / flokulasi dengan hasil
sebanyak 14 L/h m². Maksud dari perbandingan ini untuk memunculkan metode
pengolahan air limbah tekstil yang saling melengkapi untuk menghilangkan
kandungan kontaminan dari limbah. (Fadliah Rusydi et al., 2016).

b. Ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi biasanya dipergunakan untuk memisahkan makromolekul dan koloid dari
larutan yang mengandung unsur tersebut. Sehingga hasil dari pengolahan air
limbah tekstil dengan menggunakan metode ultrafiltrasi ini hanya dapat digunakan
untuk proses yang kecil atau proses samping saja di dalam industri tekstil. Proses
ultrafiltrasi dapat digunakan sebagai pre-treatment untuk proses nanofiltrasi dan
reverse osmosis yang menghasilkan tingkat kemurnian air yang lebih tinggi
sehingga hasil akhir air pengolahan limbah memiliki mutu yang lebih baik dan laik
dipergunakan. (Sjaifudin & Sugiyana, 2016)

c. Nanofiltrasi
Bila dilihat secara sifatnya, rangkaian tindakan membran secara nanofiltrasi berada
di tengah-tengah ultrafiltrasi dengan reverse osmosis. Kemasyhuran nanofiltrasi
meningkat untuk pengolahan air limbah tekstil dikarenakan kegunaannya yang
sangat positif dalam beberapa hal seperti mengurangi pencemaran lingkungan,
mengurangi bahan kimia berbahaya, pemulihan dan penggunaan kembali air

H a l | 63

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 57 - 68
garam, pemulihan, pengurangan, dan penggunaan kembali pewarna tekstil.
Dikarenakan kualitas permeat yang dihasilkan baik, maka penggunaan air limbah
dapat dipergunakan kembali sebagai bahan dalam proses utama seperti pewarnaan
dan juga finishing. Penggunaan proses membran nanofiltrasi memiliki keuntungan
yang lain seperti tinggunya permeabilitas pelarut, memudahkan pembersihan kimia
dan kemampuan membran nanofiltrasi untuk menahan suhu sampai sekitar 70C
yang mengurangi energi yang digunakan untuk memanaskan air, retensi zat terlarut
bermuatan terlarut seperti molekul organik, dengan berat molekul yang lebih besar
dari 150 Da. (Sugiyana & Notodarmojo, 2012).

Gambar 3. Skema proses kerja Nanofiltrasi (Sumber:www.file.scirp.org)

Kiswanto et al., (2019) juga melakukan penelitian menggunakan nanofiltrasi berasal
dari Alfa Laval, Sweden, dengan ukuran pori sebesar 180 kDa yang digunakan
dengan tekanan 4, 5, dan 6 bar, kemudian dilakukan pencetakan dengan ukuran
4,22 cm serta dilakukan metode kompaksi yang bertujuan untuk menstabilkan
struktur dan pori membrane selama 30 menit. Dengan teknologi nanofiltrasi yang
memiliki pori – pori membran berskala nano, menyebabkan tertahannya zat organic
yang berukuran lebih pori-pori membran, sehingga terjadi pengurangan kadar zat
organic pada air limbah secara signifikan pada limbah cair tersebut. Semakin kecil
pori – pori pada proses filtrasi maka akan semakin tinggi nilai rejeksi yang
didapatkan. Rejeksi nilai COD, BOD, TSS, dan Pb dapat dicapai hingga 100%
disetiap operasi tekanan yang digunakan. Sehingga, limbah cair industri tekstil yang
dikeluarkan memenuhi baku mutu yang telah ditetapkan.

d. Reverse Osmosis
Reverse Osmosis merupakan proses yang manjur untuk melenyapkan makro
molekul dan juga ion yang ada di air limbah tekstil, ini dapat dilihat dari limbah hasil
proses reverse osmosis yang dihasilkan memiliki jumlah salinitas rendah dan juga
tanpa warna. Akan tetapi adanya konsentrasi garam yang tinggi akibat dari
digunakannya membran polimer padat dan tekanan osmotik tinggi membatasi fluks
permeat.
Untuk menguji efektivitas dari penggunaan membran nanofiltrasi dan reverse
osmosis, telah dilakukan penilaian komparatif dengan menggunakan pengukuran
kualitas permeat yang dihasilkan pada setiap rangkaian, pengurangan COD dan
BOD, dan isi salinasi sebagai dasar komparasi. Hasil dari tes tersebut menunjukan
bahwa didapatkan air berkualitas baik untuk dapat dipergunakan kembali dalam
proses tekstil seperti pencucian dan pewarnaan, hal ini dapat mengurangi
penggunaan air bersih dan juga membuat energi yang digunakan lebih efisien.

H a l | 64

Potensi teknologi pada unit instalasi pengolahan air limbah (IPAL).…. Erica M.P., et al.

Gambar 4. Unit RO dengan pre-treatment ekstensif (Sumber: Kevino, 2016)

a. Elektrodialisis
Proses penggunaan membran yang lain adalah dengan menggunakan elektrodialisis
yang saat ini lumayan banyak dipakai oleh industri tekstil untuk pengurangan
pencemar dalam pengolahan air limbah tekstil. Dikarenakan oleh banyaknya
penggunaan natrium klorida oleh industri tekstil, maka elektrodialisis yang
karakternya menghilangkan kandungan klorida dalam air limbah tekstil maka
penggunaan elektrodialisis menjadi populer untuk diterapkan. Selain itu, faktor lain
yang membuat elektrodialisis dengan membran bipolar menarik minat banyak pabrik
untuk diterapkan adalah karena efisiensi yang tinggi dan juga biaya yang lebih
rendah jika dibandingkan menggunakan proses membran reverse osmosis. Jumlah
muatan pada evaporator melalui pemusatan dari limbah yang dapat dikurangi dengan
menggunakan proses elektrodialisis, hal ini lebih sedikit dibandingkan dengan yang
diperoleh dari proses reverse osmosis.

b. Proses Campuran
Proses membran campuran diklaim akan berdampak positif untuk pengolahan limbah
kompleks dikarenakan selektifitas dan efektifitas pada proses hibrid ini dapat
dioptimalkan dengan permutasi dan juga kombinasi dari berbagai teknik pengolahan
yang saling melengkapi. Proses membran campuran disebut cocok untuk mengolah
limbah kompleks seperti air limbah tekstil dimana limbah tersebut sangat merugikan
disebabkan oleh adanya zat-zat yang sulit diproses seperti pewarna, garam dan juga
bahan kimia aditif.
Penggunaan membran campuran juga dilakukan untuk memastikan hasil yang ramah
lingkungan, mengurangi kontaminan yang terkandung dan juga mengurangi
pengeluaran energi. Ada beberapa percobaan yang telah dilakukan, sebagai contoh,
pencamputan antara nanofiltrasi langsung ataupun campuran antara proses
ultrafiltrasi dan nanofiltrasi yang dilakukan untuk pengolahan air limbah tekstil dengan
hasil penelitian menunjukan bahwa campuran membran ultrafiltrasi dan nanofiltrasi
bisa sampai melebihi 95% untuk pengujian retensi zat pewarna. Retensi garam
terlarut dapat mencapai 80% dan retensi ion bivalen mencapai hasil lebih dari 95%.

III. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan ulasan yang penulis lakukan terhadap berbagai jenis teknologi yang

telah yang dilakukan dalam pengolahan terhadap air limbah dari industri tekstil Indonesia
yang menggunakan unit Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dapat disimpulkan
bahwa kombinasi metode teknologi dapat dilakukan pada IPAL sehingga mendapatkan air
limbah yang sesuai dengan nilai standar yang ditetapkan meliputi kombinasi metode
pengolahan secara kimia, biologi, dan fisika-kimia. Kombinasi tersebut harus disesuaikan

H a l | 65

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 57 - 68

dengan kebutuhan dan daya dukung dari industri tekstil tersebut, dikarenakan tidak
semua teknologi pada unit IPAL bisa diaplikasikan pada semua industri tekstil.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa
Industri yang telah memberikan penugasan terhadap Seminar Industri Hijau serta kepada
seluruh panitia yang telah bekerja dan menjadi fasilitator pada kegiatan Seminar Industri
Hijau.

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, S., & Hidayati, L. (2020). Analisis Recycle Limbah Tekstil (Lace dan Tulle) dalam
Pembuatan Busana Pesta Balita Perempuan. Juranl Edisi Yudisium Periode
Agustus , 09(2), 148–156.

Christiany, A., Suprihatin, & Indrasti, N. S. (2019). Potensi Teknis-Ekonomis Daur Ulang
Efluen Air Limbah Industri Tekstil Menggunakan Aplikasi Arang Aktif. Jurnal
Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan (Journal of Natural Resources and
Environmental Management), 9(2), 229–240. https://doi.org/10.29244/jpsl.9.2.229-
240

Cundawan, M. V., & Handoko, S. H. (2019). Pemanfaatan Limbah Jeans untuk Bahan
Barang Fungsional yang dapat digunakan Sehari-hari. Seminar Nasional: Seni,
Teknologi, Dan Masyarakat, 2, 106–112.

Ekstikarini, H. D., Hadiwidodo, M., & Luvita, V. (2016). Penurunan Kadar COD dan TSS
pada Limbah Tekstil dengan Metode Ozonasi. Jurnal Teknik Lingkungan, 5(1), 1–
11.

Fadliah Rusydi, A., Suherman, D., & Sumawijaya, N. (2016). Pengolahan Air Limbah
Tekstil Melalui Proses Koagulasi-Flokulasi dengan Menggunakan Lempung Sebagai
Penyumbang Partikel Tersuspensi. Arena Tekstil, 31(2), 105–114.

Haryono, M. F., Liamita, C., & Rostika, A. (2018). Pengolahan Limbah Zat Warna Tekstil
Terdispersi dengan Metode Elektroflotasi. EduChemia (Jurnal Kimia Dan
Pendidikan), 3(1), 94–105.

Hasan, K. (2016). Pengolahan Limbah Tekstil dengan Teknologi Membran.
ResearchGate, 1–13. https://www.researchgate.net/publication/303736772

Holkar, Chanrakant R., Jadhav, Ananda., & Pinjari V. (2016). A critical review on textile
wastewaater treatments: Possible approaches. Journal of Environmental
Management Vol. 182, 351-366.

Indrayani, L. (2019). Teknologi Pengolahan Limbah Cair Batik dengan IPAL BBKB
Sebagai Salah Satu Alternatif Percontohan bagi Industri Batik. Prosiding Seminar
Nasional Teknik Kimia “Kejuangan,” H8-1-H8-9.

Jadhav, Akshay, & Nilesh C. (2021). Suistainable Technologies for Textile Wastewater
Treatments. The Textile Institute Book Series.

Jannah, I. N., & Muhimmatin, I. (2019). Pengelolaan Limbah Cair Industri Batik
menggunakan Mikroorganisme di Kecamatan Cluring Kabupaten Banyuwangi.
Warta Pengabdian, 13(3), 106–115. https://doi.org/10.19184/wrtp.v13i3.12262

Khasanah, F. N., & Arumsari, A. (2020). Pengolahan Limbah Sisa Produksi dari Modest
Wear Brand di Bandung untuk Produk Fashio berdasarkan Inspirasi Getuk Lindri. E-
Proceeding of Art & Design, 7(2), 3489–3494. https://rumahulin.com

Kiswanto, Rahayu, L. N., & Wintah. (2019). Pengolahan Limbah Cair Batik Menggunakan
Teknologi Membran Nanofiltrasi di Kota Pekalongan. Jurnal Litbang Kota
Pekalongan , 17, 72–82.

Martini, S., Yuliwati, E., & Kharismadewi, D. (2020). Pembuatan Teknologi Pengolahan
Limbah Cair Industri. Distilasi, 5(2), 26–33.

Meilani, S., Saputra, E., & Chairul. (2017). Pengolahan Limbah Tekstil Artifisial (Zat

H a l | 66

Potensi teknologi pada unit instalasi pengolahan air limbah (IPAL).…. Erica M.P., et al.

Warna Reaktif) dengan Proses Oksidasi Katalitik Menggunakan Nano-Mn/Carbon
Sphere. Jom FTEKNIK, 4(1), 1–5.
Mutia, T., Danny Sukardan, M., Novarini, E., Kasipah, C., & Wibi Sana, A. (2018).
Pemanfaatan Limbah Serat Kapas dari Industri Pemintalan untuk Felt dan Papan
Serat. Arena Tekstil, 33(1), 37–46.
Muzakky, A., Karnaningroem, N., & Razif, M. (2016). Evaluasi dan Desain Ulang Unit
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Industri Tekstil di Kota Surabaya
Menggunakan Biofilter Tercelup Anaerobik-Aerobik. Simposium I Jaringan
Perguruan Tinggi Untu Pembangunan Infrastruktur Indonesia, 75–83.
Novita. (2016). Teknologi Daur Ulang Limbah Tekstil Padat yang Dikoleksi dari Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) Gampong Jawa Banda Aceh. Jurnal Biotik, 4(2), 111–
116.
Panji Wisesa, T., & Hari Nugraha, Ms. (2015). Pemanfaatan Limbah Kain Batik untuk
Pengembangan Produk Aksesoris Fashion. Jurnal Universitas Pembangunan Jaya,
2(2), 70–87.
Rofifah, K., & Titah, H. S. (2018). Pengolahan Air Limbah Tekstil Menggunakan Tanaman
Air dan Bioaugmentasi Bakteri. Jurnal Purifikasi, 18(1), 29–38.
Rohayati, Z., Fajrin, M. M., Rua, J., Yulan, Y., & Riyanto, R. (2017). Pengolahan Limbah
Industri Tekstil Berbasis Green Technology Menggunakan Metode Gabungan
Elektrodegradasi dan Elektrodekolorisasi dalam Satu Sel Elektrolisis. Chimica et
Natura Acta, 5(2), 95–100. https://doi.org/10.24198/cna.v5.n2.14702
Rosyida, A. (2011). Bottom ash Limbah Batubara sebagai Media Filter yang Efektif pada
Pengolahan Limbah Cair Tekstil. In Jurnal Rekayasa Proses (Vol. 5, Issue 2).
Sausan, F. W., Rahma Puspitasari, A., & Yanuarita, D. (2021). Studi Literatur Pengolahan
Warna pada Limbah Cair Industri Tekstil Menggunakan Metode Proses Adsorpsi,
Filtrasi, dan Elektrolisis. Tecnoscienza, 5(2), 213–230.
Sjaifudin, A. T., & Sugiyana, D. (2016). Sintesis dan Peningkatan Performa Bahan Bakar
Briket dari Limbah Abu Dasar Batubara dan Limbah Sabut Kelapa di Industri Tekstil.
Arena Tekstil, 31(1), 43–50.
Sugiyana, D., & Notodarmojo, S. (2012). Penggunaan Katalis Komposit Terimmobilisasi
Berbasis Nanofiber TiO 2 Dalam Pengolahan Fotokatalitik Limbah Cair Berwarna
Tekstil. Jurnal Ilmiah Arena Tekstil, 27(2), 55–101.
Sutanto, Widjajanto, D., & Hidjan. (2012). Pembuatan Air Bersih Dari Air Limbah Industri
Tekstil Dengan Proses Elektrokoagulasi Dan Photokatalitik. Industrial Research
Workshop and National Seminar, 177–185.
Wayan Yuningrat, N., Putu Sri Ayuni, N., Wayan Martiningsih, N., Made Gunamantha, I.,
& Agus Beni Widana, G. (2018). Teknologi Tepat Guna Pengolahan Limbah Tekstil
Bagi Industri Tenun Bintang Timur. Jurnal Widya Laksana, 7(1), 92–99.

H a l | 67

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 57 - 68

H a l | 68

Teknologi pengolahan limbah POME (Palm Oil Mill Effluent) dengan sistem.….Fandi.P, et al.

Teknologi pengolahan limbah POME (Palm Oil Mill Effluent) dengan sistem
anaerobik di industri kelapa sawit

POME (Palm Oil Mill Effluent) waste treatment technology with anaerobic system in
the palm oil industry

Fandi.Pa,*, Nufriadi.Ta, Amelia.Rb,Dewita.I.Ub
a Balai Besar Logam dan Mesin

Jl.Sangkuriang No.12, Bandung, Indonesia
b Balai Pengembangan Produk dan Standardisasi Industri

Jl.Hang Tuah Ujung No.124, Pekanbaru, Indonesia
*[email protected].

ABSTRAK

Peningkatan produksi kelapa sawit berbanding lurus dengan peningkatan limbah
cair kelapa sawit / Palm Oil Mill Effluent (POME). Setiap 1 ton minyak sawit menghasilkan
2,5 m³ POME, sepanjang tahun 2015-2020 rata-rata produksi POME setiap tahunnya
adalah sebanyak 98,3 juta m³ yang tidak dapat langsung dibuang karena memiliki kadar
polutan yang tinggi sehingga diperlukan teknologi pengolahan limbah agar dapat
mengurangi kadar polutan tersebut. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji teknologi
pengolahan POME secara anaerobik sehingga dapat memberikan pemahaman tentang
pengolahan dan penanganan limbah cair industri kelapa sawit. Sistem anaerobik
merupakan salah satu teknologi yang banyak digunakan untuk mengolah limbah kelapa
sawit, teknologi ini mampu mengubah limbah kelapa sawit dari bahan berbahaya menjadi
limbah yang ramah lingkungan dan bahkan dapat mengubahnya menjadi produk
bermanfaat seperti biogas dengan penambahan material tertentu (Inokulasi). Pengolahan
air limbah POME secara anaerobik mampu mendegradasi dan mengkonversi hampir
keseluruhan bahan organik kompleks menjadi energi biogas. Bila ini diterapkan maka
Indonesia berpotensi menghasilkan 258 miliar m³ biogas yang dapat dimanfaatkan secara
optimal. Meskipun demikian masih diperlukan penelitian lebih lanjut terkait pemanfaatan
POME untuk biogas sehingga hasil yang didapat bisa lebih optimal.

Kata Kunci : POME (Palm Oil Mill Effluent), anaerobik, teknologi pengolahan limbah,
inokulasi, biogas

ABSTRACT

Increase in Oil palm production directly proportional with increase in liquid waste
palm oil / Palm Oil Mill Effluent (POME). 1 ton of palm oil produces 2,5 m3 liquid waste.
Throughout the year 2015-2020 average POME production is 98,3 million/year which is
not directly dispose into the river, due have high pollutant, that’s why waste treatment
technology is needed for reducing the pollutant. This article aims to review the anaerobic
POME treatment technology understanding the processing and handling of palm oil
industry liquid waste in order to provide an understanding of how to process and handle
liquid waste from the palm oil industry. Anaerobic POME wastewater treatment is able to
degrade and convert almost all complex organic matter into biogas energy. If this is
implemented, Indonesia has the potential to produce 258 billion m³ of biogas which can be
utilized optimally. However, further research is still needed regarding the use of POME for
biogas so that the results obtained can be more optimal.

Keywords : POME (Palm Oil Mill Effluent), anaerobic, waste treatment technology,
inoculation, biogas

H a l | 69

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 69 - 78

I. PENDAHULUAN

Indonesia mempunyai 8 komoditas perkebunan unggulan,yaitu: Kelapa sawit, karet,
kelapa, tebu, kopi, kakao, tembakau, dan teh. (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2021).
Berdasarkan data tahun 2015-2020, kelapa sawit memiliki pencapaian produksi paling
tinggi serta persentase paling besar. Data tersebut dapat dilihat pada tabel dan diagram
pada Gambar 1 berikut :

Tabel 1. Data Hasil Produksi Komoditas Perkebunan Tahun 2015-2020

(Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2021)

Komoditas Tahun Produksi (Ribu Ton) Total

Perkebunan 2015 2016 2017 2018 2019 2020 Produksi

Kelapa Sawit 31.070,00 31.731,00 34.940,00 42.884,00 47.120,00 48.297,00 236.041,90

Karet 3.145,40 3.307,10 3.680,40 3.630,40 3.301,60 2.884,60 19.949,50

Kelapa 2.920,70 2.904,20 2.854,30 2.840.20 2.839,90 2.811,90 17.171,20

Tebu 2.498,00 2.332,50 2.191,00 2.171,70 2.227,00 2.130,70 13.550,90

Kopi 639,40 663,90 716,10 756,00 752,50 753,90 4.281,80

Kakao 593,30 658,40 585,20 767,40 734,70 713,40 4.052,40

Tembakau 196,20 126,70 180,90 195,50 269,80 261,40 1.230,50

Teh 132,60 122,50 140,60 140,10 129,90 127,90 793,60

Total 41.195,60 41.846,30 45.288,80 53.384,80 57.375,60 57.980,70 297.071,80

4.6% 1.4% 0.4%
1.4% 0.3%

5.8%
6.7%

79.5%

Kelapa Sawit Karet Kelapa Tebu Kopi Kakao Tembakau Teh

Gambar 1. Persentase Hasil Produksi Komoditas Pekebunan Tahun 2015-2020
(Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan. 2021)

Selama periode tahun 2015 sampai 2020 produksi kelapa sawit sangatlah stabil, hal
itu ditunjukkan dengan terus meningkatnya produksi komoditas ini setiap tahunnya. Data
tersebut dapat dilihat pada grafik di Gambar 2 berikut:

H a l | 70

Teknologi pengolahan limbah POME (Palm Oil Mill Effluent) dengan sistem.….Fandi.P, et al.

Jumlah Produksi (Ribu Ton) 60,000 47,120 48,297
50,000
40,000 42,884
30,000
31,731 34,940

31,070

20,000

10,000

-

2015 2016 2017 2018 2019 2020

Gambar 2. Tren Jumlah Produksi Kelapa Sawit Tahun 2015-2020
(Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2021)

Peningkatan jumlah produksi kelapa sawit tentu akan berbanding lurus dengan
peningkatan limbah produksi. Berdasarkan bentuknya, limbah kelapa sawit terbagi
menjadi dua jenis yaitu limbah padat dan limbah cair. Limbah padat berasal dari residu
bahan padat, seperti cangkang, sabut kelapa, dan juga janjan kosong. Sementara itu
limbah cair berasal dari sisa bahan cair seperti condensat perebusan dan campuran
calcium carbonate (Melisa dan Mulono, 2020). Saat ini mayoritas pabrik kelapa sawit di
Indonesia masih mengaplikasikan penggilingan basah yang memerlukan banyak
penggunaan air pada prosesnya. Hal ini memiliki dampak terhadap masih tingginya air
limbah kelapa sawit yang dihasilkan sebagai sisa dari proses penggilingan ini (Muliari dan
Ilham, 2016).

Hanim et al. (2020) menyampaikan bahwa dalam setiap 1 ton minyak sawit dapat
menghasilkan 2.5 m³ air limbah atau POME (Palm Oil Mill Effluent) yang memiliki
kandungan Chemical Oxygen Demand (COD) rata-rata 21.280 mg/l, kandungan
Biochemical Oxygen Demand (COD) sebesar 34.730 mg/l, selain itu juga memiliki
kandungan minyak dan lemak dengan rata-rata sebanyak 3.075 mg/l serta memiliki pH
sebesar 3,5-4. Sementara itu Winanti et al. (2019) menyampaikan kandungan Total
Suspended Solid (TSS) dalam air limbah kelapa sawit sebesar 230-540 mg/l.

60,000 Jumlah Produksi (Ribu Ton) 107.2 117.8 120.7 140
50,000 120
40,000 77.6 79.3 87.3 2020 100 Air Limbah POME (juta m³)
30,000 80
20,000 2015 60
10,000 40
20
- 0

2016 2017 2018 2019
Kelapa Sawit POME

Gambar 3. Data Jumlah POME Tahun 2015-2020
(Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2021)

H a l | 71

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 69 - 78

Alkyol (Dalam Winanti et al., 2019) menyatakan bahwa air limbah kelapa sawit tidak
dapat dibuang langsung ke saluran pembuangan tanpa diolah terlebih dahulu, hal itu
disebabkan kandungan-kandungan yang dimiliki oleh air limbah dapat merusak ekosistem
dan ekologi air. Maka dari itu pemerintah sudah menetapkan standard baku mutu limbah
industi minyak sawit yang diperbolehkan untuk dibuang pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Baku Mutu Limbah Industri Minyak Sawit

Parameter Kadar Paling Tinggi Beban Pencemaran Paling

(mg/L) Tinggi (kg/ton)

BOD 100 0.25

COD 350 0.88

TSS 250 0.63

Minyak dan Lemak 25 0.063

Nitrogen Total 50 0.125
Ph 6.0 – 9.0

Debit limbah paling tinggi 2.5 m² per ton produk minyak sawit (CPO)

(Sumber : Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia No.5 (2014))

Maka dari itu pabrik-pabrik kelapa sawit harus melakukan pengolahan terhadap air
limbahnya agar dapat memenuhi standard baku mutu tersebut sebelum air limbah yang
dihasilkan dibuang melalui saluran pembuangan.

II. TEKNOLOGI PENGOLAHAN AIR LIMBAH POME

Ada tiga metode pengolahan limbah kelapa sawit Menurut Nainggolan dan
Susilawati (Dalam Ripka, 2019), yaitu dengan menggunakan sistem lahan (Land
application), sistem kolam (Ponding system), dan kolam dengan elektrokoagulasi.
Metode-metode tersebut ditujukan untuk mengurangi kandungan pada POME yang dapat
mencemari lingkungan.

Land application (Sistem lahan) merupakan proses pengolahan air limbah POME
dengan mengalirkan limbah melalui beberapa kolam namun dalam penerapan proses ini,
air limbah hanya dialirkan sampai dengan kolam anaerobik saja, karena selanjutnya
limbah yang berbentuk cair ini dipompakan ke lahan kelapa sawit sebagai pupuk (Muhadi,
2013). Kandungan organik dan unsur hara yang dimiliki oleh POME membuat sistem ini
dapat dikembangkan lebih lanjut.

Sistem kolam adalah sistem yang umum dan paling banyak digunakan oleh pabrik
kelapa sawit dalam mengolah air limbah POME. Hanim et al. (2020) menuturkan bahwa
dalam sistem ini terdiri dari beberapa kolam terbuka yaitu: kolam fat pit, kolam
pendinginan, kolam pengasaman, kolam pembiakan mikroba, kolam anaerob, kolam
aerob, kolam sedimentasi kemudian yang terakhir land application.

Sistem elektrokoagulasi merupakan sistem pengolahan lanjutan untuk mengolah air
limbah POME setelah sistem pengolahan yang menggunakan Reaktor Anaerobik Unggun
Tetap (RANUT). Hanum et al. (2015) menyampaikan bahwa karakteristik keluaran limbah
POME setelah pengolahan RANUT belum dapat memenuhi standard baku mutu yang
sudah ditetapkan pemerintah, sehingga diperlukan pengolahan limbah lanjutan setelah
proses RANUT tersebut. Sementara itu pengertian dari sistem elektrokoagulasi sendiri
adalah sebuah gabungan dari proses elektrokimia dan flokulasi koagulasi (Hanum et al.,
2015)

Metode pengolahan POME dilakukan karena POME dipandang sebagai limbah
yang dapat dimanfaatkan lebih jauh seperti yang disampaikan oleh Susilawati dan
Supijatno (2019) bahwa POME memiliki cukup banyak kandungan organik sehingga
dapat diolah menjadi pupuk. Sementara itu Hosseini dan Wahid (Dalam Melly et al., 2018)
menyampaikan bahwa POME memiliki sebuah potensi besar sebagai sumber energi yang

H a l | 72

Teknologi pengolahan limbah POME (Palm Oil Mill Effluent) dengan sistem.….Fandi.P, et al.

dapat terbarukan karena terdapat gas metana dan hidrogen yang didapat melalui proses
penguraian anaerobik namun perlu dilakukan proses yaitu dengan menangkap gas
tersebut.

Sistem anaerobik merupakan salah satu sistem dalam rangkaian metode
pengolahan air limbah POME, pada sistem ini dikenal mampu mengolah POME menjadi
hal yang bermanfaat seperti pupuk dan juga biogas. Sebelumnya POME tersebut hanya
didiamkan pada kolam-kolam terbuka kemudian dibiarkan begitu saja sampai terurai
sendiri. namun hal ini dianggap tidak efektif karena selain menghasilkan bau limbah ini
juga melepaskan gas rumah kaca (Hakim dan Lya, 2018).

Menurut Darwin (Dalam Purwanto. 2013) pengolahan air limbah secara anaerobik
merupakan sebuah proses degradasi pada senyawa-senyawa organik yang terkandung
dalam POME seperti karbohidrat. protein dan lemak yang dilakukan oleh bakteri tanpa
kehadiran oksigen. Sementara itu Winanti et al.. (2019) menerangkan bahwa proses
anaerobik adalah sebuah proses fermentasi dari bahan-bahan organik dengan aktivitas
bakteri anaerob yang dilakukan dengan kondisi tanpa adanya oksigen bebas. Dalam
pernyataan lainnya, Winanti et al. (2019) menyampaikan bahwa air limbah POME
memiliki bahan yang hampir seluruhnya dapat terbiodegradasi dan dikonversikan menjadi
biogas yang dapat dilakukan melalui proses anaerobik yang dapat mengubah bahan
organik kompleks menjadi energi.

Proses pengolahan limbah secara anaerobik memiliki beberapa tahapan yang harus
dilalui yaitu hidrolisis (Polimer rantai pendek). acidogenesis (Asidifikasi). acetogenesis
(Pembentukan asam asetat) dan methanogenesis (Pembentukan metana) (Hakim &
Agustina, 2018). Sementara itu Stronach et al (Dalam Winanti et al. 2019) menerangkan
terkait dengan proses dari degradasi anaerobic yang diawali dari substrat kemudian
secara lambat diubah menjadi bentuk glukosa. asam amino dan lemak yang dilakukan
oleh bakteri hidrolitik dengan proses yang disebut proses hidrolisis, kemudian dari hasil
proses tersebut dilakukan perubahan lagi menjadi berbagai macam bahan seperti air,
amonia, hidrogen sulfida dan ethanol dengan proses asetogenik, selanjutnya bakteri akan
mengubah bentuk-bentuk tersebut menjadi hydrogen, karbondioksida, dan asam asetat,
kemudian proses terakhir menggunakan bakteri metanogenik yang mengubah bahan
yang ada menjadi menjadi biogas, metana dan karbon dioksida.

Metode pengolahan POME terdiri diantaranya Continuous Stirred Tank Reactor
(CSTR). Anaerobic Baffled Reactor (ABR). Upflow Anaerobic Sludge Blanket (UASB).
Anaerobic Sequencing Batch Reactor (ASBR). Expanded Granular Sludge Bed Reactor
(EGSB). Anaerobic Fluidized Bed Reactor (AFBR). Upflow Anaerobic Sludge Fixed Film
(UASFF) (Hakim & Agustina, 2018). Penggunaan metode anaerobik tergantung kepada
karakteristik limbah yang akan diolah serta kemampuan pengguna dalam pengoperasian
maupun penerapan.

• CSTR adalah tangki digester yang diberi mixer (pengaduk) yang memiliki fungsi
untuk memperluas kontak area dengan biomassa sehingga dapat meningkatkan
produksi biogas. (Durrotun et al,2015)

• ABR merupakan sebuah bioreaktor yang memiliki kompartemen berupa sekat-
sekat vertikal. Reaktor tipe ABR dapat digunakan untuk mengolah berbagai
macam jenis limbah. Proses dalam reaktor ABR adalah penggabungan beberapa
proses seperti sedimentasi dengan penguraian lumpur secara parsial dalam
kompartemen yang sama. Dengan kata lain ABR ini merupakan sistem
pengolahan anaerob tersuspensi dalam bioreaktor berpenyekat. (Siti et al, 2016)

• UASB ialah salah satu jenis reaktor yang mampu membedakan pembentukan
lumpur granular dibanding dengan teknologi reaktor anaerobik lainnya. Bakteri
yang hidup di lumpur dalam reaktor UASB akan memecah bahan organik menjadi
biogas. (Surya et al, 2019)

H a l | 73

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 69 - 78
• EGSB merupakan reaktor yang memiliki kesamaan proses dengan reaktor UASB,
tetapi dengan tingkat kecepatan aliran ke atas yang lebih tinggi untuk
memungkinkan air limbah melewati tumpukan lumpur. (Winrock Internasional,
2015)
• UASFF adalah kombinasi antara UASB reaktor dan anaerobic filter. UASFF
menggabungkan keunggulan dari kedua reaktor ini dan meminimalkan
kekurangan masing-masing reaktor. (Durrotun et al, 2015)

III. TEKNOLOGI ANAEROBIK UNTUK MENGOLAH LIMBAH POME
POME memiliki bau tidak sedap dan bau tersebut bersumber dari senyawa-

senyawa gas yang dihasilkan seperti H2S dan NH3 yang menimbulkan bau busuk pada
saat berlangsungnya aktivitas bakteri (Saragih et. al., 2019), sementara itu kandungan
lain seperti gas metana merupakan salah satu penyebab utama gas rumah kaca (GRK)
yang memiliki global warming potential lebih kuat 20-30 kali dibanding gas karbon
dioksida (Porteus. dalam Sarono et al.. 2014). Namun disisi lain material ini memiliki
kandungan-kandungan yang dapat dimanfaatkan sebagai energi yang terbarukan
(Sulaiman et al.. 2011). Kolam tertutup dalam proses anaerobik berfungsi sebagai
penangkap gas metana sehingga dapat dimanfaatkan lebih lanjut sebagai sumber energi
(Irvan et al.. 2014).

POME disirkulasikan dalam tanki penampung agar menjadi limbah yang homogen
sehingga mempercepat proses pembentukan gas metana (Shintawati et al.. 2017) seperti
yang terlihat pada Gambar 3. POME dialirkan kedalam kolam tertutup dan disirkulasikan
secara periodic untuk menjaga parameter agar sesuai. (Sarono et al.. 2014)

Gambar 4. Contoh kolam anaerobik (Bioreaktor tertutup)
Sumber : Shintawati et al. (2017)

Tahap berikutnya yaitu inokulasi yang merupakan tahapan pemindahan satu
mikroorganisme ke dalam substrat yang ditandai dengan penambahan material atau
senyawa kedalam POME, sehingga mampu menstimulasi dalam pembentukan gas
metana (Winanti et al.. 2019).Terdapat beberapa material yang dapat ditambahkan pada
POME seperti yang terlihat pada Tabel 3, yaitu :

H a l | 74

Teknologi pengolahan limbah POME (Palm Oil Mill Effluent) dengan sistem.….Fandi.P, et al.

Tabel 3. Perbandingan Hasil Tipe Reaktor Anaerobik dan Material Tambahan Inokulasi

Penulis Tipe Material Parameter
(Tahun) Reaktor Tambahan
COD BOD TSS pH Biogas
(mg/L) (m³/ton)
(mg/L) (mg/L)

Riky Yonas et Reaktor Mikroalga

al. (2012) Tertutup dengan nutrient 158,33 55,41 ---

N 40 ppm

Purwanto Reaktor PAC 0,5% 59,94-65,77 28,8-31,2 48-57 6,65 -

(2013) UAF

Krismawati Fakultatis Lumpur 206,67 -

et al. (2013) Anaerobik- Anaerob 324,67 - ---

Fitoremediasi

Susilo et al. Rotating Pupuk NPK

(2016) Biological 285,6 150,1 99,9 7,8 -

Contactor

Shintawati Bioreaktor POME Segar

et al. Tertutup - - - - 2,59

(2017)

Winanti et al. Anaerobik Kotoran Sapi

(2019) Fix Bed 520 - - - 2,65

Reaktor

Amalia & Anaerobik Pupuk NPK

Panca Fix Bed 49,2 - 414 - -

(2019) Reaktor

Saragih et al. Land Kotoran Sapi - 4,74 ---

( 2019) Application

Melisa & Reaktor Mikroalga

Mulono (2020) Tertutup 319 43 - - -

Hanim et al. Kolam Klorin, al,fosfor

(2020) Tertutup 191,22 89,6 178 - -

Dari Tabel 3 tersebut dapat dilihat bahwa dengan menambahkan material yang
tepat pada saat pengolahan POME dapat menurunkan berbagai parameter baku mutu
limbah yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Sehingga air limbah yang akan dialirkan
ke saluran pembuangan menjadi lebih ramah lingkungan, selain itu penggunaan material
tambahan juga dapat menurunkan waktu proses POME.

Seperti yang disampaikan oleh Amalia dan Panca (2019) bahwa dengan
penambahan pupuk NPK dapat memaksimalkan pendegradasian pada limbah POME
sehingga dapat mempercepat waktu tinggal POME dalam reaktor. Sedangkan Susilo et
al. (2016) menambahkan bahwa pupuk NPK memiliki peran untuk memperlambat
perkembangan mikroalga selain itu penambahan pupuk NPK juga dapat memberikan
nutrisi pada bakteri pengurai.

Sementara itu Winanti et al. (2019) menyampaikan bahwa penggunaan kotoran sapi
dapat mempermudah pembentukan gas metana karena kotoran sapi mengandung poli
bakteria. Disisi lain kotoran sapi memiliki bakteri mesofilik yang dapat secara langsung
mendegradasi kandungan BOD pada limbah POME lebih effisien (Saragih et al., 2019)

Penentu suatu keberhasilan dalam pengolahan limbah POME ini memiliki beberapa
faktor, diantaranya adalah kemampuan dan keyakinan suatu instansi/perusahaan untuk
mengolah limbah tersebut berdasarkan dari jenis mikroba yang digunakan dan karakter
air limbah tersebut, karena jika suatu perusahaan mempunyai kemampuan pengelolaan
yang baik maka jika terjadi suatu masalah akan diatasi dengan cepat.

Tabel 3 juga menunjukkan hanya Shintawati et al. (2017) dan Winanti et al. (2019)
yang memberikan kesimpulan bahwa output biogas yaitu masing-masing sebesar 2,59
dan 2,65 (m³/ton) limbah cair yang diproses. Jika dirata-ratakan maka dalam setiap ton air
limbah yang diproses akan menghasilkan 2,62 m³ biogas.

H a l | 75

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 69 - 78

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Produksi kelapa sawit di Indonesia meningkat setiap tahunnya, hal tersebut
berbanding lurus dengan peningkatan jumlah limbah POME dimana dalam rentang tahun
2015-2020 Indonesia menghasilkan limbah POME rata-rata sebanyak 98,3 juta m³ setiap
tahunnya. POME merupakan material sisa dari proses pengolahan kelapa sawit yang
dikenal sebagai limbah yang memiliki kandungan membahayakan. Namun, jika dilakukan
pengolahan dengan baik maka dapat dimanfaatkan menjadi hal lain seperti pupuk dan
juga biogas.

Pemerintah sudah menetapkan standar baku mutu limbah cair kelapa sawit, hal
tersebut membuat perusahaan harus mengolah POME terlebih dahulu sebelum dibuang
ke lingkungan. Adapun metode pengolahan POME yang banyak digunakan adalah
metode anareobik terdiri diantaranya CSTR, ABR, UASB, ASBR, EGSB, AFBR, UASFF.
Selain itu terdapat penambahan material untuk meningkatkan efektivitas penurunan
parameter POME seperti kotoran sapi, pupuk NPK dan limbah POME segar. Namun
dalam penerapannya, masing-masing pengguna dapat memilih reaktor maupun material
inokulasi sesuai dengan kemampuan dan keyakinannya. Hal tersebut dikarenakan
sampai dengan saat ini tidak ada klaim yang mengatakan reaktor ataupun senyawa
tambahan yang paling baik, semua kembali kepada masing-masing pengguna.

Potensi manfaat POME menjadi biogas cukup menjanjikan, dimana pada penelitian
yang sudah dilakukan dalam setiap ton air limbah kelapa sawit akan menghasilkan 2,63
m³ biogas jika dikalkulasikan dalam rentang tahun 2015-2020 maka rata-rata setiap
tahunnya Indonesia dapat menghasilkan 258 miliar m³ biogas. Angka yang sangat besar
jika dapat dikelola dengan maksimal dan optimal.

Besarnya potensi POME menjadi biogas masih belum dapat dimanfaatkan secara
optimal hal tersebut dikarenakan masih banyak perusahaan yang belum memiliki
teknologi pengolahan limbah yang memadai. Hal tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi
para pemangku kepentingan agar dapat memberikan edukasi terkait manfaat POME.
Selain itu diperlukan riset lebih lanjut agar pemanfaatan POME sebagai energi terbarukan
bias lebih dapat dimaksimalkan.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terima kasih penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
dan rahmatNya karya tulis ini dapat diselesaikan dan kepada tim penyusun karya tulis
yang telah bekerja sama selama penyusunan dan pembuatan, kiranya karya tulis ilmiah
ini bisa bermanfaat bagi pembaca dan menambah wawasan bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

Al Hakim, H., & Agustina, L. (2018). Potensi Gas Rumah Kaca (GRK) Kolam Anaerobik
Pada Pengolahan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit
(LCPKS). Enviroscienteae, 14(3), 193-199.

Baihaqi, B., Rahman, M., Zulfahmi, I. & Hidayat, M., (2018). Bioremediasi Limbah Cair
Kelapa Sawit Dengan Menggunakan Spirogyra sp. Biotik. Jurnal Ilmiah Biologi
Teknologi dan Kependidikan, 5(2),125-134.

Bambang Trisakti, Irvan, M Taufan Anantama, Arbie Saldi Zusri, Alfian Haikel Lubis, & Sri
Eka Cahyani. (2019). Pengaruh Rasio Recycle Terhadap Produksi Biogas
Menggunakan Reaktor Tangki Berpengaduk Berbantukan Membran Ultrafiltrasi
Pada Kondisi Transisi (45°C). Jurnal Teknik Kimia USU, 8(1), 37-41

Dana Sembiring, S., Irvan, Trisakti, B., & Novita Sari Sihombing, D. (2019). Stabilitas
Reaktor Uplow Anaerobic Sludge Blanket-Hollow Centered Packed Bed dalam
Produksi Biogas pada Kondisi Ruangan. Jurnal Teknik Kimia USU, 8(2), 67-71.

H a l | 76

Teknologi pengolahan limbah POME (Palm Oil Mill Effluent) dengan sistem.….Fandi.P, et al.

Dirgantoro, M., & Adawiyah, R. (2019). Nilai Ekonomi Pemanfaatan Limbah Kelapa Sawit
Menuju Zero Waste Production. Biowallacea : Jurnal Penelitian Biologi (Journal Of
Biological Research), 5(2), 825-837.

Farida Hanum, Rondang Tambun, M. Yusuf Ritonga, & William Wardhana Kasim. (2015).
Aplikasi Elektrokoagulasi Dalam Pengolahan Limbah Cair Pabrik Kelapa
Sawit. Jurnal Teknik Kimia USU, 4(4), 13-17.

Hanim, W., Fadhliani, F. & Wibowo, S., (2020). Pengolahan Limbah Cair di PMKS PT
Sisirau Desa Sidodadi Kecamatan Kejuruan Muda Kabupaten Aceh
Tamiang. Jurnal Enviscience, 4(2), 67-76.

International, W. (2015). Buku Panduan Konversi POME Menjadi Biogas Pengembangan
Proyek di Indonesia (1st ed., 1-19). Jakarta: USAID

Maulinda, L., (2013). Pengolahan Awal Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit Secara
Fisika. Jurnal Teknologi Kima Unimal, 2(2), 31-41.

Melisa & Apriyanto, M., (2020). Pengolahan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (Studi
Kasus pada PT. Tri Bakti Sarimas PKS 2 Ibul, Riau). Jurnal Teknologi Pertanian,
9(2), 86-93.

Mellyanawaty, M., Alfiata Chusna, F. & Nofiyanti, E., (2019). Proses Peruraian Anaerobik
Palm Oil Mill Effluent dengan Media Zeolit Termodifikasi. Jurnal Rekayasa Proses,
13(1), 16-23.

Muliari, & Zulfahmi, I. (2016). Dampak Limbah Cair Kelapa Sawit Terhadap Komunitas
Fitoplankton di Sungai Krueng Mane Kabupaten Aceh Utara. Jurnal Perikanan Dan
Kelautan, 6(2), 137-146.

Nasikhah Fahmy, D., Julianto Wonokusumo, S., Winardi, S., & Nurtono, T. (2015). Studi
Awal Desain Pabrik Biogas dari Limbah Cair Kelapa Sawit. Jurnal Teknik ITS, 4(1),
1-4.

Nursanti, I. (2013). Karakteristik Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Pada Proses
Pengolahan Anaerob dan Aerob. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, 13(4),
67-73.

Pasaribu, R. (2020). Pengaruh Penambahan NPK Dalam Pendegradasian Limbah Cair
Kelapa Sawit Dengan Menggunakan Anaerobic Baffled Reactor. Inovasi
Pembangunan : Jurnal Kelitbangan, 8(03), 281. doi: 10.35450/jip.v8i03.201

Purwanto, D., (2013). Pengolahan Limbah Cair Kelapa Sawit Menggunakan Reaktor UAF
(Upflow Anaerobic Filter). Jurnal Riset Industri Hasil Hutan, 5(1), 1-7.

Saragih, G., Al-Hakim, M., Aprilia, S., & Sugiah (2017). Optimalisasi Penurunan BOD
Menggunakan Bakteri Mesofilik Untuk Land Application di Unit Pengolahan Limbah
cair Pabrik Kelapa Sawit.. Regional Development Industry & Health Science,
Technology And Art Of Life, 96-102.

Sarono, Sa'id, E., Suprihatin, & Hasanudin, U. (2014). Strategi Implementasi
Pemanfaatan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Menjadi Energi Listrik (Studi Kasus
di Provinsi Lampung). Jurnal Teknologi Industri Pertanian, 24(1), 11-19.

Shintawati, Hasanudin, U. & Haryanto, A., (2017). Karakteristik Pengolahan Limbah Cair
Pabrik Kelapa Sawit Dalam Bioreaktor Cigar Semi Kontinu. Jurnal Teknik Pertanian
Lampung, 6(2), 81-88.

Silalahi, B. & Supijatno, (2017). Pengelolaan Limbah Kelapa Sawit (Elaeis guineensis
Jacq.) di Angsana Estate, Kalimantan Selatan. Buletin Agrohorti, 5(3), 373-383.

Sucahyo, B., H, D., & Ridlo, R., R, T. (2019). Kajian Teknologi Pemanfaatan Biogas
POME (Palm Oil Mill Effluent) ke Boiler. Majalah Ilmiah Pengkajian Industri, 13(1),
43-54.

Susilawati, & Supijatno, (2015). Pengelolaan Limbah Kelapa Sawit (Elaeis guineensis
Jacq.) di Perkebunan Kelapa Sawit, Riau. Buletin Agrohorti, 3(2), 203-212.

Susilo, F., Suharto, B., & Suhanawati, L. (2015). Pengaruh Variasi Waktu Tinggal
Terhadap Kadar BOD dan COD Limbah Tapioka dengan Metode Rotating Biological
Contactor. Jurnal Sumber Daya Alam Dan Lingkungan, 2(1), 21-26.

H a l | 77

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 69 - 78
Widiastuti, L., Sulistiyanto, Y., Jaya, A., Jagau, Y., & Neneng, L. (2019). Potensi

Mikroorganisme Sebagai Biofertilizer. Enviroscienteae, 15(2), 226-234.
Yonas, R., Irzandi, U. & Satriadi, H., (2012). Pengolahan Limbah POME (Palm Oil Mill

Effluent) Dengan Menggunakan Mikroalga. Jurnal Teknologi Kima dan Industri, 1(1),
7-13.
Yusuf, A. & Nugrahini, P., (2019). Pengaruh Penambahan NPK dalam Pendegradasian
Limbah Cair Kelapa Sawit Menggunakan Biofiltrasi Anaerob dengan Reaktor Fixed-
Bed. Indonesian Journal of Chemical Science, 8(3), 191-196.

H a l | 78

Teknologi pengolahan kandungan kromium pada limbah industri….Ibnu Yudistira, et al.

Teknologi pengolahan kandungan kromium pada limbah industri
penyamakan kulit dengan metode koagulasi

Processing technology for chromium contents in tanning industry leather waste
using coagulation method

Ibnu Yudistiraa,*, Patricia Lityaningtyasb, M. Maulana Al-Firdausya, Nuris R.
Ramadhanc, Arrum Asshidiqic

a Balai Pengembangan Produk dan Standarisasi Industri Pekanbaru
Jl. Hang Tuah Ujung No. 124, Pekanbaru, Indonesia

b Balai Besar Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri
Jl. Ki Mangunsarkoro No. 6, Semarang, Indonesia
c Balai Besar Kulit, Karet, dan Plastik
Jl. Sokonandi No. 9, Yogyakarta, Indonesia
*[email protected]

ABSTRAK

Limbah Kromium sebagai limbah sisa penyamakan kulit digolongkan menjadi
limbah B3, yang mana limbah tersebut sangat berbahaya apabila tercemar di lingkungan.
Krom sisa dari penyamakan kulit sebanyak 25% terbuang sebagai limbah, perlu
penangganan serius untuk mengolah limbah. Terdapat berbagai teknik pengolahan
limbah kromium agar dapat dibuang untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan dengan
mengolah limbah secara aman, efektif, serta efisien. Metode yang akan dibahas adalah
Elektrokoagulasi yaitu proses koagulasi yang menggunakan arus searah melalui proses
elektrokimia dan dengan metode penambahan Koagulan PAC (Poly Alumunium Chloride)
dan metode koagulasi biologi dengan penambahan mikroalga. Naskah ini disusun dengan
tujuan memberikan pemahaman tentang teknologi pengolahan limbah kromium sehingga
limbahnya tidak mencemari lingkungan dalam rangka mewujudkan terbentuknya Industri
Hijau pada Industri Penyamakan Kulit di Indonesia. Hasil review menunjukkan metode
elektrokoagulasi memiliki efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan metode koagulasi
dengan penambahan PAC ataupun mikroalga untuk menurunkan kadar kromium pada air
limbah penyamakan kulit.

Kata Kunci : limbah, kromium, pengolahan limbah, elektrokoagulasi, PAC

ABSTRACT

Chromium waste as side waste of leather tanning is categorized as toxic and
hazardous waste which is dangerous to the environment. As much as 25% of the
remaining chromium from leather tanning is disposed as waste and needs serious
treatment. There are various techniques for chromium waste treatment involving safe,
effective, and efficient processes so that their disposal does not harm environmental
sustainability. The method that is discussed which is a coagulation process using direct
electric current through an electrochemical process and the addition of the PAC coagulant
(Poly Aluminum Chloride) method and bilogical coagulation method with the addition of
microalgae. This script aims to provide an understanding of chromium waste treatment
technology so that the waste does not pollute the environment in order to achieve the
Green Industry in the Indonesian Tanning Industry. The result show that the
electrocoagulation methods has a higher effectiveness than the coagulation method with
the addition of PAC or microalgae to reduce chromium levels in tannery wastewater.

Keywords : waste, kromium, waste treatment, electrocoagulation, PAC

H a l | 79

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 79 - 84

I. PENDAHULUAN

Salah satu faktor yang memegang peranan kunci dan penting dalam pembangunan
daerah adalah industri. Hampir semua negara di dunia percaya bahwa industrialisasi
adalah kondisi yang diperlukan untuk menjamin keberlanjutan jangka panjang dari proses
pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi yang cepat dan peningkatan pendapatan
per kapita tahunan (Tambunan, 2001). Tentunya dengan pesatnya pertumbuhan industri
juga akan meningkatkan jumlah limbah industri yang berbahaya dan mengancam
lingkungan, sehingga berdampak pada lingkungan sekitar. Limbah atau bahan buangan
yang langsung dibuang ke lingkungan tanpa adanya pengolahan pasti akan mencemari
dan membahayakan lingkungan. Misalnya limbah cair penyamakan kulit yang
mengandung krom (Cr).

Menurut Bacardit et al. (2014) bahan penyamak kulit yang paling banyak digunakan
yaitu krom dan hampir 85 % kulit di dunia disamak menggunakan krom. Penggunaan
krom dipilih karena memiliki keuntungan yang lebih banyak, yaitu harga murah, proses
penyamakan cepat, dan kulit dihasilkan lebih lembut, kuat, dan tahan terhadap
mikroorganisme (Sahlan et al., 2016). Industri di bidang penyamakan kulit merupakan
salah satu penghasil zat beracun atau toksisitas tinggi yang dapat menghasilkan limbah
cair kromium dengan konsentrasi sebesar 40 – 25.000 mg. Kromium sendiri pada limbah
cair industri penyamakan kulit dapat berasal dari proses beamhouse (pengerjaan basah),
tanning (penyamakan) dan finishing (proses penyelesaian).

Menurut Priyanto (2006), umumnya industri-industri kecil di Indonesia pada saat
proses produksi, sebagian besar tidak menerapkan pemisahan arus krom dengan hal dan
zat lainnya. Hal tersebut sangat berbahaya karena tingginya kadar kromium yang
dilepaskan ke sungai, lingkungan ataupun tempat pembuangan industri kecil biasanya
membuang limbah. Limbah cair yang dihasilkan dari proses penyamakan kulit
mengandung krom dalam konsentrasi yang cukup besar sehingga jika langsung dibuang
tanpa diolah terlebih dahulu akan membahayakan bagi manusia dan lingkungan. Di
Indonesia, ada peraturan tentang kandungan kromium maksimum untuk industri
penyamakan kulit. Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.
51/MENLH/10/1995, baku mutu limbah cair dari kegiatan industri adalah 0,60 mg/L. Jika
kandungan kromium melebihi baku mutu yang telah ditentukan maka harus diproses
karena sangat berbahaya bagi manusia (Wahyulis et al., 2014).

Zat buangan atau limbah yang mengandung kromium di atas nilai baku mutu perlu
dilakukannya pengolahan dan pengelolaan limbah untuk menurunkan kandungan
kromium agar tidak merusak dan mencemari lingkungan serta aman bagi kesehatan
manusia. Beberapa teknologi untuk mengelola limbah kromium untuk penyamakan kulit,
antara lain dengan koagulasi-flokulasi tambahan koagulan PAC,metode elektrokoagulasi
dan koagulasi biologi dengan penambahan mikroalga yang akan dibahas dalam review
ini. Tujuannya adalah memberikan pemahaman tentang teknologi pengolahan limbah
kromium sehingga limbahnya tidak mencemari lingkungan dalam rangka mewujudkan
terbentuknya Industri Hijau pada Industri Penyamakan Kulit di Indonesia.

II. HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Metode Koagulasi
Proses koagulasi secara umum dapat diartikan sebagai proses pembubuhan

bahan-bahan kimia ke dalam air limbah yang bertujuan untuk destabilisasi partikel yang
susah mengendap dan saling terikat yang akan membentuk flok besar dan berat,
sehingga akan mudah mengendap pada bak sedimentasi/filtrasi. Efek destabilisasi koloid
hidrofobik ditingkatkan dengan penambahan koagulan kimia (seperti aluminium dan besi).
Muatan hidrolisis ion logam yang dihasilkan oleh garam ini dalam larutan dapat
mengurangi gaya tolak menolak antar koloid melalui difusi dan kompresi lapisan ganda di
sekitar partikel. Agitasi menghasilkan gaya kontak dan interaksi partikel, yang

H a l | 80

Teknologi pengolahan kandungan kromium pada limbah industri….Ibnu Yudistira, et al.

menyebabkan partikel-partikel tersebut saling menempel menghasilkan aglomerat.
Koagulan digunakan untuk mempercepat proses flokulasi. Misalnya, polimer organik
ditempatkan pada adsorben permukaan koloid untuk membentuk jembatan antara
partikel, sehingga menghasilkan sejumlah besar zat flokulasi.

Dua faktor penting untuk menambahkan bahan koagulasi adalah pH dan dosis.
Dosis optimal ditentukan dengan uji laboratorium. Dosis yang diperlukan untuk proses
koagulasi dan flokulas (Kamulyan, 1996) dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut: 1) kualitas
air, terutama kekeruhan, pH dan alkalinitas, 2) kuantitas dan karakteristik zat koloid, 3)
karakteristik ion dalam air, 4 ) aplikasi Pengadukan, terutama untuk daya dan waktu
pengadukan yang tinggi.

Jika bahan kimia dapat berdifusi dengan cepat dalam air maka proses koagulasi
dapat berlangsung dengan baik, untuk itu diperlukan proses yang disebut mixing atau
pencampuran cepat. Idealnya, bahan kimia ini akan menyebar dengan cepat dan
langsung di dalam air. Selama proses koagulasi, reaksi kimia yang terjadi membentuk
endapan. Setelah endapan terbentuk, partikel-partikel tersebut saling bersentuhan
sehingga menggumpal membentuk partikel yang lebih besar yang disebut flok

2.2 Metode Elektrokoagulasi
Menurut Sahlan et al. (2016), elektrokoagulasi adalah sebuah proses koagulasi

dengan menggunakan arus listrik searah melalui proses elektrokimia, yang elektrodanya
terbuat dari aluminium atau besi. Proses elektrokoagulasi dapat digunakan pada limbah
cair pada penelitian Sahlan et al. (2016) dan pada limbah padat pada penelitian Wahyulis
et al. (2014). Penggunaan elektrokoagulasi pada limbah padat diperlukan proses hidrolisis
terlebih dahulu menggunakan larutan NaOH 10 % (Wahyulis et al., 2014).

Pemprosesan limbah padat hasil penyamakan kulit dapat dilakukan dengan
melakukan hidrolisis menggunakan NaOH. Menurut penelitian Puji (2012) Kondisi terbaik
untuk proses hidrolisis adalah dengan menggunakan larutan NaOH 10% untuk
menghidrolisis selama 3 jam. Proses hidrolisis ini dilakukan untuk memisahkan
kandungan kromium dari limbah padat. Filtrat hasil proses hidrolisis akan bersifat sangat
basa sehingga perlu dilakukan perlakuan penurunan pH dengan H2SO4.

Pada proses elektrokoagulasi sangat berpengaruh terhadap besaran tegangan
listrik yang digunakan dan juga lama waktu proses yang dilakukan untuk mendapatkan
hasil yang maksimal. Pada proses elektrokoagulasi dapat menggunakan dua jenis anoda
berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya yaitu berbahan besi (Fe) (Wahyulis et
al., 2014) dan berbahan alumunium (Al)(Sahlan et al., 2016). Penelitian Wahyulis et al.
(2014) dan Sahlan et al. (2016) membuktikan bahwa tegangan optimal untuk melakukan
proses eletrokoagulasi sebesar 8 volt. Pada penelitian yang dilakukan dengan tegangan 8
volt dan anoda bebahan besi (Fe) dapat memisahkan kadar kromium dalam filtrat sebesar
98,82% dan dengan anoda berbahan aluminium (Al) dapat memisahkan kadar kromium
dalam filtrat sebesar 99,77% (Tabel 1).

2.3 Metode Koagulasi Kimia dengan Penambahan Koagulan PAC (Poly Alumunium
Chloride)
Penelitian yang dilakukan oleh Devega et al. (2019) bertujuan menurunkan kadar

kromium pada air limbah penyamakan kulit dengan menggunakan metode secara
koagulasi dan flokulasi. PAC (Poly Alumunium Chloride) digunakan sebagai koagulan
atau agen pengkoagulasi pada penelitian tersebut. Kadar kromium sebelum dan setelah
penambahan PAC dengan berbagai dosis dibandingkan dan didapatkan kadar paling
efektif untuk menurunkan kadar kromium pada air limbah penyamakan kulit.

Terjadi perubahan pH sejalan dengan dosis penambahan PAC yaitu berkisar 6-8
sedangkan pH sebelum penambahan PAC yaitu 9 (basa). Nilai pH tersebut menurut
Peraturan Daerah Jawa Tengah No 5 Tahun 2012 sudah sesuai dengan baku mutu yang
ditetapkan yaitu 6-9. Hubungan antara penambahan dosis PAC dengan penurunan nilai

H a l | 81

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 79 - 84

pH air limbah penyamakan kulit yaitu berbanding terbalik. Semakin tinggi dosis maka
semakin rendah pH air limbah. Nilai pH tersebut juga efektif untuk PAC bekerja secara
optimal karena PAC merupakan agen koagulan yang bersifat asam. Penelitian Yuga
(2015) juga membuktikan bahwa nilai pH yang sebelum perlakuan bernilai 7,64 berubah
menjadi 6,09 setelah dilakukan penambahan koagulan PAC.

Penelitian Devega et al. (2019) menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar krom
pada air limbah penyamakan kulit tanpa perlakuan apapun meskipun bersifat fluktuatif.
Hal ini disebabkan karena partikel-partikel padat kromium dari air limbah mengendap
dengan gaya gravitasi dan membuat sedimen. Penelitian Fahrurrozi & Santosa (2013)
menunjukkan bahwa kadar kromium pada air limbah penyamakan kulit berbanding lurus
dengan jumlah produksi penyamakan kulit yang dilakukan. Penambahan koagulan PAC
pada air limbah penyamakan kulit diketahui dapat menurunkan kadar kromium dengan
nilai efektifitas hingga 99,72%. Nilai tersebut didapatkan dengan penambahan PAC
dengan dosis 75 g/l pada pengulangan ke-5, sedangkan nilai efektifitas rata-rata pada
dosis tersebut yaitu 99,56% (Tabel 1). Nilai rata-rata efektifitas penurunan kadar kromium
terendah yaitu sebesar 74,80% pada dosis 35 g/l. Penambahan koagulan PAC pada
limbah cair akan menetralkan partikel bermuatan negatif. Hal ini dikarenakan PAC
memiliki sifat bermuatan positif dan dapat mengikat kuat pada agregat, sehingga menarik
dan mengikat partikel-partikel yang tersuspensi dalam limbah cair (Devega et al., 2019).

2.4 Metode Koagulasi Biologi dengan Penambahan Mikroalga
Mikroalga yang dapat difungsikan untuk mengurangi kandungan logam berat yang

ada di perairan yang tercemar, antara lain Laminaria japonica, Fucus vesicularis,
Asparagopsis armata, Fucus spiralis, Spirogyra sp, dan Chlorella sp (Zeraatkar et al.,
2016). Penelitian Widiatmono et al. (2018) menggunakan biakan Chlorella sp. dengan
perlakuan yang diberikan yaitu variasi kepadatan Chlorella sp. diantaranya kepadatan
rendah, kepadatan sedang, kepadatan tinggi, dan kontrol. Secara umum, hubungan
antara kepadatan sel dan kadar krom dalam air limbah memiliki hubungan yang saling
berbanding terbalik. Semakin meningkat kepadatan sel Chlorella sp., maka kadar krom air
limbah semakin menurun. Terdapat korelasi yang kuat antara kepadatan sel dengan
penurunan kandungan kromium pada limbah cair penyamakan pada hari ketiga. Namun
penurunan kadar krom pada hari ke-7 lebih rendah dibandingkan penurunan kadar krom
pada hari ke-3. Hal ini menjelaskan bahwa semakin lama waktu bioremediasi maka
penurunan kadar krom air limbah akan semakin kecil. Pada hari ketiga, persentase
penurunan kadar kromium pada air limbah adalah 99,5% (Tabel 1) untuk densitas rendah,
96,9% untuk densitas sedang, 89,0% untuk densitas tinggi, dan 59,2% untuk kontrol.
(tanpa mikroalga).

Koagulasi menggunakan bahan biologi dapat dimaksimalkan dengan metode deep
aeration. Aerasi merupakan second treatment pengolahan air limbah dengan cara
menghembuskan udara dengan tujuan memperbanyak mikroorganisme yang ada
sehingga lebih cepat menguraikan zat organik di dalam air limbah (Ariska, 2017). Aerasi
dalam atau Deep aeration adalah metode aerasi yang menggunakan tangki aerasi yang
lebih dalam untuk mengolah air limbah. Keuntungan metode ini yaitu tingginya kapasitas
oksigen, pencampuran atau distribusi isi tangki cepat, neergi lebih efisien, biaya lebih
rendah, dan perawatan yang dibutuhkan sedikit (Jackson & Shen, 1978).

Penelitian Putri et al. (2020) menunjukkan bahwa parameter krom tanpa perlakuan
aerasi didapatkan hasil 1,058 mg/L sedangkan pada perlakuan aerasi selama 12 jam
dengan laju aerasi 180L/h yaitu 0,5008. Nilai tersebut lebih kecil dari kinerja 6 jam dan 3
jam perlakuan aerasi. Waktu kontak air limbah dari penyamakan kulit di reaktor aerasi
mempengaruhi pengurangan kandungan kromium. Hubungan antara waktu kontak dan
efektifitas penurunan kadar krom yaitu berbanding lurus. Semakin lama waktu kontak,
semakin tinggi pula efektivitas penurunan kadar krom. Namun hasil aerasi selama 12 jam
tersebut masih jauh dari baku mutu air limbah yang tidak mencemari lingkungan. Ini

H a l | 82

Teknologi pengolahan kandungan kromium pada limbah industri….Ibnu Yudistira, et al.

mungkin karena kapasitas aerasi yang terbatas untuk mengurangi air limbah. Oleh karena
itu, bahkan jika waktu kontak ditingkatkan, jika tahap saturasi tercapai, kemampuan untuk
mereduksi kandungan kromium akan berkurang. Laju efektif parameter kromium dalam
pengolahan air limbah penyamakan kulit dengan metode aerasi dalam adalah 52,6%
(Tabel 1).

Tabel 1. Persentase Efektivitas Penurunan Kadar Krom Total pada Limbah

Penyamakan Kulit menggunakan Metode Koagulasi

No Metode Persentase Referensi
Efektivitas

1 Elektrokoagulasi anoda Fe 98,82% (Wahyulis et al., 2014)

2 Elektrokoagulasi anoda Al 99,77% (Sahlan et al., 2016)

3 Koagulasi dengan penambahan 99,56% (Devega et al., 2019)
PAC

4 Koagulasi dengan mikroalga 99,5% (Widiatmono et al.,
Chlorella sp 2018)

5 Koagulasi mikrobiologi dengan 52,6% (Putri et al., 2020)
metode deep aeration

III. KESIMPULAN

Hasil review yang dilakukan, penurunan kadar kromium pada air limbah
penyamakan kulit dengan metode elektrokoagulasi memiliki persentase efektivitas yang
lebih tinggi dibandingkan metode koagulasi dengan penambahan bahan kimia PAC dan
penambahan mikroalga.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Badan Standardisasi dan Kebijakan
Jasa Industri yang telah memberikan kesempatan CPNS 2019 untuk menjadi bagian
Seminar Industri Hijau serta kepada Balai Riset dan Standardisasi Industri Banjarbaru
selaku panitia yang telah bekerja dan menjadi fasilitator pada kegiatan Seminar Industri
Hijau.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulla, H. M., Kamal, E. M., Mohamed, A. H., & El-bassuony, A. D. (2010). Chromium
Removal From Tannery Wastewater Using Chemical and Biological Techniques
Aiming Zero Discharge of Pollution. Proceeding of Fifth Scientific Environmental
Conference, Vi, 171–183.

Ariska, N. I. (2017). Perencanaan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Pabrik
Penyamakan di Desa Mojopurno Kecamatan Ngariboyo Kabupaten Magetan.
Universitas Brawijaya.

Bacardit, D., Anna, A., J van der Burgh, S., & Ollé Otero, L. (2014). New challenges in
chrome-free leathers: Development of wet-bright process.

Devega, L., Darundiati, Y. hanani, & Setiani, O. (2019). Bagian Kesehatan Lingkungan,
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro. Jurnal Kesehatan
Masyarakat, 7(5), 180–186.

Gandhi, N., Sirisha, D., & Sekhar, K. B. C. (2017). Removal of Chromium (VI) and
Fluoride by Various Treatment Methods from Industrial Effluent. Sci Revs Chem
Commun, 7(3), 114.

Jackson, M. L., & Shen, C. (1978). Aeration and mixing in deep tank fermentation
systems. AIChE Journal, 24(1), 63–71.

H a l | 83

Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 79 - 84
Pellerin, C., & Booker, S. M. (2000). Reflections on hexavalent chromium: health hazards

of an industrial heavyweight. Environmental Health Perspectives, 108(9), A402–
A407.
Priyanto, B. (2006). Uji Toksisitas Dua Jenis Surfaktan dan Deterjen Komersial
Menggunakan Metode Penghambatan Pertumbuhan Lemna Sp. 7(3), 251–257.
Puji, D. (2012). Pemisahan Kromium Dari Limbah Padat Industri Penyamakan Kulit
dengan Metode Hidrolisis NaOH. Jurusan Kimia FMIPA ITS, Surabaya.
Putri, A. I. H., Lastriyanto, A., & Sulianto, A. A. (2020). Efktivitas Pengolahan Limbah Cair
Penyamakan Kulit Terhadap Kadar BOD , COD , DO , pH , Sulfida , dan Krom
Dengan Metode Deep Aeration Effectiveness of Liquid Waste Processing in Leather
Tanning Industry Againts BOD , COD , DO , pH , Sulfide , and Chrome. 1(1), 35–45.
Sahlan, L., Radinta, S., Kholisoh, S. D., & Mahargiani, T. (2016). Penurunan Kadar Krom (
Cr ) dalam Limbah Cair Industri Penyamakan Kulit dengan Metode Elektrokoagulasi
secara Batch. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia. ISSN 1693-4393, 51, 1–7.
Tambunan, T. T. H. (2001). Perekonomian Indonesia (Teori dan Temuan Empiris).
Wahyulis, N. C., Ulfin, I., & Harmami. (2014). Optimasi Tegangan pada Proses
Elektrokoagulasi Penurunan Kadar Kromium dari Filtrat Hasil Hidrolisis Limbah
Padat Penyamakan Kulit. Jurnal Sains Dan Seni Pomits, 3(2), 9–11.
Widiatmono, B. R., Fajri Anugroho, D., & Arief T Munaf, dan F. (2018). Pengaruh
Kepadatan Mikroalga Chlorella sp. terhadap Bioremediasi Logam Krom Pada
Limbah Cair Industri Penyamakan Kulit. Sumberdaya Alam Dan Lingkungan, 5(3),
6–14.
Zeraatkar, A. K., Ahmadzadeh, H., Talebi, A. F., Moheimani, N. R., & McHenry, M. P.
(2016). Potential use of algae for heavy metal bioremediation, a critical review.
Journal of Environmental Management, 181, 817–831.

H a l | 84

CIRCULAR ECONOMY (4R)


Click to View FlipBook Version