Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 203 - 218
lingkungan. Hal ini dipicu oleh percepatan pemanasan global yang terus meningkat dari
tahun ke tahun. Berbagai dampak yang ditimbulkan dan dirasakan di berbagai belahan
dunia seperti cuaca yang tidak menentu dan perubahan iklim yang drastis. Dampak buruk
tersebut dicoba ditanggulangi oleh para kepala pemerintahan yang ada di dunia dengan
dikeluarkannya perjanjian Paris Agreement pada tahun 2015 yang berisi langkah-langkah
negara-negara di dunia untuk membantu menjaga lingkungan dan kembali
melestarikannya. Salah satu metode yang disebutkan dalam perjanjian tersebut adalah
dengan melakukan pengendalian emisi gas rumah kaca yang sangat berdampak buruk
bagi lingkungan. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) merupakan gas-gas yang berkontribusi
menyebabkan pemanasan global. Gas-gas tersebut paling banyak dihasilkan dari
kegiatan industri dan juga penggunaan kendaraan berbahan bakar minyak (Kweku et al.,
2018).
Bidang industri merupakan salah satu penggerak perekonomian di Indonesia.
Industri di indonesia memiliki berbagai macam jenis, mulai dari industri otomotif, industri
elektronika, industri tekstil, industri makanan dan minuman, industri farmasi, industri
kimia, dan masih banyak lagi jenisnya. Banyaknya industri yang berada di Indonesia juga
mempengaruhi tingkat produksi GRK di Indonesia. Pemerintah Indonesia sebagai salah
satu negara yang ikut menyetujui agenda Paris Agreement, juga telah melakukan
tindakan-tindakan untuk menurunkan tingkat emisi GRK di Indonesia. Pemerintah
Indonesia telah mengeluarkan berbagai peraturan-peraturan yang digunakan untuk
meningkatkan penanganan terhadap produksi GRK agar emisi tersebut dapat ditekan.
Industri di Indonesia telah mengalami peningkatan dari segi teknologi. Hal ini
disebabkan oleh meningkatnya pengetahuan dan adanya dorongan dari lingkungan
industri global dalam melakukan revolusi industri 4.0 agar mampu terus bersaing di pasar
global. Mantan Menteri Perindustrian, Airlangga Hartanto dalam siaran pers Kementerian
Perindustrian menyebutkan sejak tahun 2011, kita telah memasuki Industri 4.0, yang
ditandai meningkatnya konektivitas interaksi, dan batas antara manusia, mesin, dan
sumber daya lainnya yang semakin konvergen melalui teknologi informasi dan komunikasi
(Making Indonesia 4.0: Strategi RI Masuki Revolusi Industri Ke-4, 2018). Dengan revolusi
industri 4.0, maka permasalahan emisi GRK sebenarnya bisa dilakukan penanganan.
Implementasi Internet of Things dalam industri sangat membantu para pelaku industri
untuk terus meningkatkan produktivitas dan mampu membantu implementasi
pengurangan emisi GRK dengan teknologi 4.0.
Penerapan Internet of Things dianggap mampu dan berdampak besar bagi
keberlangsungan industri di Indonesia dan membantu pemerintah dalam menjaga kondisi
lingkungan. Sehingga dalam paper ini, akan dibahas beberapa penelitian yang
menunjukkan berbagai aplikasi internet of things yang telah diterapkan dan dapat
dijadikan referensi bagi industri - industri di Indonesia untuk terus berkembang, bersaing
di pasar global namun tetap dengan semangat menjaga lingkungan sekitar.
II. PERATURAN DI INDONESIA
Pada pertemuan G-20 di Pittsburgh, Amerika Serikat, 25 September 2009, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa Indonesia berkomitmen untuk
menurunkan emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2020 dari tingkat Business As Usual
(BAU) dengan usaha sendiri dan mencapai 41% apabila mendapat dukungan
internasional (Zacky et al., 2014). Untuk menindaklanjuti komitmen penurunan emisi GRK
tersebut, Rencana Aksi Nasional-Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) disusun untuk
memberikan kerangka kebijakan untuk pemerintah pusat, pemerintah daerah, pihak
swasta dan para pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan
yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan upaya mengurangi emisi GRK
dalam jangka waktu 2010- 2020 sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang
(RPJP 2005- 2025) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). RAN-GRK
H a l | 204
Implementasi internet of things pada pengelolaan emisi gas rumah kaca.….Singgih Oktavian, et al.
ini telah disahkan dalam suatu Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 (BPPN, 2011).
Peraturan tersebut diikuti dengan terbitnya Peraturan Presiden No. 71 tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) Nasional. RAN - GRK yang
mengusulkan aksi mitigasi di lima bidang prioritas (Pertanian, Kehutanan dan Lahan
Gambut, Energi, dan Transportasi, Industri, Pengelolaan Limbah) serta kegiatan
pendukung lainnya.
Selain itu, pada tahun 2016, akhirnya Indonesia mengeluarkan Undang Undang
Nomor 16 tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations
Framework Convention on Climate Change. dan Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral juga telah mengeluarkan peraturan menteri yaitu dengan Permen ESDM No. 22
tahun 2019 tentang Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi dan Mitigasi Gas Rumah
Kaca Bidang Energi. Berbagai peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan oleh
pemerintah Indonesia tersebut, menunjukan komitmen Indonesia dalam menjaga
kelestarian lingkungan dunia agar tetap dapat bertahan dari Global Warming yang
semakin mengancam.
Pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 tentang
Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, Pemerintah Indonesia telah
memberikan target penurunan Emisi Gas Rumah Kaca terutama pada emisi CO2 pada 5
bidang, yaitu bidang pertanian, bidang kehutanan dan lahan gambut, bidang energi dan
transportasi, bidang industri, dan bidang pengelolaan limbah. Target tersebut dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 1. Target Penurunan Emisi Gas CO2
Bidang Target Penurunan Emisi Target Penurunan Emisi
Tahap 1 Tahap 2
Bidang pertanian 26% (0,008 Giga ton 41% (0,011 giga ton CO2e)
CO2e)
Bidang Kehutanan dan 26% (0,672 Giga ton 41% (0,011 giga ton CO2e)
Lahan Gambut CO2e)
Bidang Energi dan 26% (0,038 Giga ton 41% (0,056 giga ton CO2e)
Transportasi CO2e)
Bidang Industri 26% (0,001 Giga ton 41% (0,005 giga ton CO2e)
CO2e)
Bidang Pengelolaan Limbah 26% (0,048 Giga ton 41% (0,078 giga ton CO2e)
CO2e)
Sumber : PerPres No. 61 (2011)
III. GAS RUMAH KACA
Perubahan iklim merupakan permasalahan lingkungan yang paling serius, sebagian
besar merupakan hasil dari pelepasan polutan yang saat ini tidak diatur, seperti karbon
dioksida (CO2) dan metana (CH4) (Delmas, Birch, & Lim, 2015), perubahan iklim tersebut
dan beberapa polutan penyebabnya disebut dengan Gas Rumah Kaca.
Gas Rumah Kaca yang dapat menyebabkan efek rumah kaca adalah CO2,
CH4,CFC, O3 dan N2O. Seberapa besar kontribusi dari masing-masing Gas Rumah Kaca
tergantung kepada lama waktu tinggal GRK di atmosfer dan besarnya nilai GWP. CO2
menjadi fenomena belakangan ini karena kontribusinya yang sangat besar terhadap efek
rumah kaca yaitu 50 % di antara GRK yang lain (SF6). Pengaruh masing-masing gas
H a l | 205
Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 203 - 218
rumah kaca terhadap terjadinya efek rumah kaca bergantung pada besarnya kadar gas
rumah kaca di atmosfer, waktu tinggal di atmosfer dan kemampuan penyerapan energi.
Peningkatan kadar gas rumah kaca akan meningkatkan efek rumah kaca yang
dapat menyebabkan terjadinya pemanasan global. Adapun gas-gas yang terdapat dalam
rumah kaca, adalah sebagai berikut :
1. CO2 (Karbon Dioksida) : Karbon dioksida dalam atmosfer berasal dari pembakaran
bahan bakar fosil, yaitu minyak bumi, batu bara, dan gas bumi. Dampak dari
meningkatnya CO2 di atmosfer antara lain: meningkatnya suhu permukaan bumi,
naiknya permukaan air laut, anomali iklim , timbulnya berbagai penyakit pada manusia
dan hewan.
2. H2O (Uap Air) : Jumlah uap air dalam atmosfer berada di luar kendali manusia dan
dipengaruhi terutama oleh suhu global . Jika bumi menjadi lebih hangat , jumlah uap
air di atmosfer akan meningkat karena naiknya laju penguapan. Ini akan
meningkatkan efek rumah kaca dan pemicu naiknya pemanasan global.
3. CH4 (Metana) : Metana (CH4) merupakan gas rumah kaca terpenting kedua setelah
karbon dioksida. Sumber penting pembentukan CH4 adalah dekomposisi anaerobik
sampah organik kota (MSW) di lokasi TPA. Metana mudah terbakar, dan
menghasilkan karbon dioksida sebagai hasil sampingan. (Suprihatin, Indrasti, &
Romli).
4. CFC (Chloro Flouro Carbon) : Chlorofluorocarbon adalah sekelompok gas buatan
yang biasa disebut freon & menghasilkan efek pemanasan hingga ribuan kali dari
CO2.
5. O3 (Ozon) : Ozon terdapat secara alami di atmosfer (troposfer, stratosfer). Di
troposfer, ozon merupakan zat pencemar hasil sampingan yang terbentuk ketika sinar
matahari bereaksi dengan gas buang kendaraan bermotor. Ozon pada troposfer dapat
mengganggu kesehatan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan (Pratama, 2019).
Meningkatnya laju emisi GRK disebabkan oleh perubahan dalam sistem ekonomi,
penggunaan konsumsi energi yang berlebih, meningkatnya emisi dari tempat
pembuangan sampah, ternak, pertanian padi, proses septik, dan pupuk serta faktor
lainnya. Peningkatan aktivitas industrialisasi, penggunaan pupuk, pembakaran bahan
bakar fosil dan aktivitas alami lainnya yang menghasilkan kenaikan suhu atmosfer di atas
rata-rata sehingga menimbulkan ancaman bagi lingkungan kita. Gas metana dan karbon
dioksida merupakan gas rumah kaca utama yang menyumbang efek terbesar pada
peningkatan pemanasan global. Karena itu, pengurangan konsentrasi metana di
atmosfer, baik dari alam maupun sumber antropogenik, sangat diperlukan untuk
mengatasi dampak negatif dari pemanasan global (Kweku et al., 2018).
IV. INTERNET OF THINGS
Pertumbuhan Internet tidak menunjukkan tanda-tanda melambat dan terus menjadi
penyebab paradigma baru yang meresap dalam komputasi dan komunikasi. Paradigma
baru ini meningkatkan Internet tradisional menjadi Internet of Things (IoT) cerdas yang
dibuat di sekitar interkoneksi cerdas dari beragam objek di dunia fisik, seperti kendaraan,
ponsel, habitat, dan penghuni habitat (Zheng, Simplot-Ryl, Bisdikian, & Mouftah, 2011).
IoT atau Internet of Things merupakan salah satu teknologi yang menjadi penggerak
revolusi industri 4.0. Dengan adanya teknologi IoT mampu mempermudah segala
kegiatan yang tadinya membutuhkan waktu cukup lama, dapat diatasi dengan cepatnya
perpindahan data secara real time. IoT memungkinkan operasi tanpa batas di beberapa
domain di mana pemantauan jarak jauh & ketika penilaian berkala terhadap mesin dan
perangkat diperlukan (Ramaswamy, 2016). Keberadaan proses seperti itu di IoT tumbuh
dalam tren terutama di bidang-bidang berikut:
H a l | 206
Implementasi internet of things pada pengelolaan emisi gas rumah kaca.….Singgih Oktavian, et al.
● Smart Roads untuk mengontrol kecepatan, sinyal lalu lintas, serta menjadi
sarana pengawas lalu lintas
● Sistem Parkir Cerdas untuk Smart City
● Memantau & Mengontrol mesin & peralatan jarak jauh
● Memantau detail sumur minyak untuk mengukur hasil
● Mobil Terhubung untuk pencegahan kecelakaan
● Mobil Otomatis atau Mobil Tanpa Pengemudi
● Analisis Prediktif untuk menghitung toleransi kesalahan
● Pencatatan terus menerus dari sistem
● Pertanian pintar mengukur kelembaban, suhu, dll.
● Penilaian waktu nyata dari penawaran versus permintaan
● Pencegahan penipuan di domain ritel
● Penegakan Peraturan & Peraturan Lalu Lintas yang efektif
IoT bertujuan untuk menerapkan koneksi dan pertukaran data yang otonom, kuat,
dan aman antara perangkat dan aplikasi dunia nyata (Lampropoulos, Siakas, &
Anastasiadis, 2019). Industrial Internet of Things atau biasa disingkat menjadi IoT serta
Industri 4.0 adalah dua istilah yang sering digunakan secara bergantian, bagaimanapun,
ada sedikit perbedaan antara mereka. Industri 4.0 adalah istilah yang diciptakan pada
tahun 2011 dan merupakan inisiatif pemerintah Jerman. Ini mengacu pada yang keempat
generasi industry - yang sekarang. Industri 4.0 terutama berfokus pada industri
manufaktur. Dengan kata lain, Industri 4.0 adalah komputerisasi manufaktur (Jazdi, 2014).
IoT adalah pertama kali diperkenalkan pada tahun 2012 oleh General Electric (GE)
sebagai Internet industri yang memerlukan adopsi IoT dalam perspektif industri secara
umum (baik manufaktur maupun non-manufaktur). Ini definisi ini didukung oleh Industrial
Internet Consortium (IIC), yang dibentuk pada tahun 2014 dengan dukungan Cisco, IBM,
GE, Intel, dan AT&T. Aktor utama dalam Industri 4.0 adalah institusi akademik.
Sebaliknya, IoT lebih berorientasi pada bisnis dengan sebagian besar perusahaan swasta
dan beberapa akademisi institusi - karenanya, lebih luas dalam aplikasi (Geissbauer,
Vedso, & Schrauf, 2016).
Industri adalah konsumen listrik terbesar di negara mana pun, dengan demikian,
memerlukan manajemen daya yang dinamis. Setiap jenis industri, konsumsi energinya
bervariasi, yang mungkin bahkan berbeda menurut musim khususnya di kasus industri
makanan dan tekstil. Konsumsi energi mempengaruhi masa pakai jaringan dan karena itu
merupakan faktor penting di IoT. Pemanfaatan teknologi IoT di industri akan sangat
berpengaruh terhadap konsumsi energi di dalam Industri. Di IoT, tidak hanya sensor
tetapi juga aktuator dan robot perangkat juga terlibat. Oleh karena itu, banyak paket data
yang terus menerus dipertukarkan menghasilkan energi yang lebih tinggi konsumsi.
Karena energi adalah sumber daya yang berharga, itu mempengaruhi sinkronisasi waktu
juga. Algoritma yang mampu menangani dengan sinkronisasi waktu dan tradeoff
konsumsi energi, lebih cocok untuk lingkungan IoT yang efektif. Mengelola daya secara
dinamis adalah elemen penting dari IoT. Mekanisme sistematis diperlukan untuk
beradaptasi dengan perubahan permintaan suatu industri, selama waktu yang berbeda
hari, sesuai dengan harga dan beban jaringan yang berbeda. Beberapa industri bahkan
dapat dijalankan pada malam hari untuk mengatasi masalah beban listrik (Aazam,
Zeadally, & Harras, 2018).
Penghijauan IoT: konsumsi energi jaringan meningkat pada tingkat yang sangat
tinggi karena peningkatan data tarif, peningkatan jumlah layanan yang mendukung
Internet dan pertumbuhan yang cepat dari perangkat tepi yang terhubung ke Internet. IoT
masa depan akan menyebabkan peningkatan yang signifikan dalam konsumsi energi
jaringan. Dengan demikian, teknologi hijau perlu diadopsi untuk membuat perangkat
H a l | 207
Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 203 - 218
jaringan sebagai hemat energi (Khan, Khan, Zaheer, & Khan, 2012). Jadi singkatnya IoT
adalah perangkat yang terkoneksi dengan jaringan internet tanpa terbatas dengan
kendala geografis. Selain menjadi faktor penting dalam transformasi digital, IoT juga
dapat memberi berbagai keuntungan untuk berbagai bisnis (Telkom Metra, 2021).
V. PENELITIAN-PENELITIAN TERKAIT PENGELOLAAN GAS RUMAH KACA YANG
MEMANFAATKAN TEKNOLOGI INTERNET OF THINGS (IoT)
Dalam penanganan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK), Industrial Internet of Things
menjadi alat yang sangat bermanfaat. Pemanfaatan IoT perlu juga diterapkan oleh
inudstri-industri di Indonesia. Berikut ini adalah beberapa penelitian terkait dengan
pemanfaatan Teknologi Internet of Things dalam pengelolaan Gas Rumah Kaca.
5.1. Kerangka Perencanaan dan Pengendalian Produksi dengan Carbon Tax
menggunakan Teknologi Industri 4.0
Industri ban merupakan industri manufaktur dengan tingkat polusi dan emisi karbon
yang tinggi. Oleh karena itu, penelitian ini mengusulkan kerangka produksi perencanaan
dan pengendalian dengan pajak karbon menggunakan teknologi Industri 4.0 dan
menggunakan industri ban sebagai ilustrasi contoh.
Dalam kerangka ini, model pemrograman matematis dengan Activity-Based Costing
(ABC) dan Theory of Constraints (TOC) untuk perencanaan produksi digunakan untuk
mencapai hasil yang optimal dan menjadi solusi berbagai kendala produksi dan penjualan
untuk menemukan bauran produk yang optimal serta memaksimalkan keuntungan. Di sisi
lain, Industri 4.0 memanfaatkan teknologi baru seperti pencetakan 3D, robot, kendaraan
berpemandu otomatis (AGV) dan menghubungkan semua komponen di pabrik dengan
menggunakan berbagai sistem sensor, Cyber-Physical Systems (CPS) dan Internet of
Things (IoT) untuk mengumpulkan dan memantau data aktivitas semua komponen secara
real-time, untuk memberikan respons cerdas untuk berbagai masalah yang mungkin
timbul di pabrik dengan hasil analisis real-time dari komputasi cloud dan big data serta
untuk meraih berbagai manfaat implementasi Industri 4.0.
Parameter dari model pemrograman matematika akan diperbarui secara berkala
dari kumpulan big data baru. Kerangka kerja ini dapat memberikan pendekatan umum
untuk membantu perusahaan mengeksekusi manajemen produksi dengan cara yang lebih
efisien, biaya lebih rendah, emisi karbon lebih rendah, dan kualitas yang lebih tinggi di
seluruh rantai nilai untuk industri ban dan industri lainnya (Wen & Yin, 2018).
H a l | 208
Implementasi internet of things pada pengelolaan emisi gas rumah kaca.….Singgih Oktavian, et al.
Gambar 1. Kerangka Penelitian-Keterkaitan Model Pemrograman Matematika
dan Industri 4.0
5.2. Sistem Pemantauan Emisi Berbiaya Rendah yang Terintegrasi menjadi Sistem
Informasi Digital
Dampak negatif emisi dari industri menjadi masalah yang signifikan bagi kualitas
udara karena pertumbuhan industrialisasi dari tahun ke tahun di Indonesia. Efek negatif
emisi membuat Pemerintah Republik Indonesia mengatur beberapa regulasi untuk
membatasi emisi dari masing-masing sektor industri. Mereka harus melaporkan evaluasi
emisi dari setiap proses pembakaran ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) setiap enam bulan sekali oleh SIMPEL (Sistem Evaluasi Elektronik Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan), ini adalah pelaporan manual berdasarkan input
formulir digital untuk setiap industri. Pada tahun 2018, KLHK mengatur Onlimo (Online
Monitoring) untuk monitoring kualitas air limbah dari beberapa sektor industri besar di
Indonesia. Sementara peraturan ini telah ditetapkan untuk air limbah, KLHK baru mulai
mengadopsi laporan emisi online berbasis pada sistem pemantauan emisi berkelanjutan
(CEM) yang terintegrasi dengan sistem informasi digital bernama SISPEK (Sistem
Informasi Emisi Industri Berkelanjutan). Baik CEM maupun SISPEK adalah sistem biaya
untuk perusahaan kecil dan sektor skala menengah karena setiap industri dapat
menginvestasikan biaya modal yang tinggi untuk setiap CEM pada setiap proses
pembakaran di industri. Biaya operasi pemeliharaan sistem yang mahal setiap tahun
adalah sebuah situasi yang buruk karena banyak industri kecil dan menengah masih
berjuang untuk memenuhi kebutuhan unit pemantauan emisi.
Kebutuhan sistem pemantauan emisi berbiaya rendah yang terintegrasi ke dalam
sistem informasi digital adalah mendesak. Dalam pandemi Covid-19 ini, industri di
Indonesia menghadapi kesulitan dalam laporan lingkungan dan evaluasi. Mereka
bergantung pada laboratorium penguji yang memiliki beberapa aktivitas yang dibatasi
selama pandemi. Industri, badan pengatur, dan badan penelitian dan pengembangan
perlu menetapkan aturan baru pendekatan dalam menerapkan sistem pemantauan
H a l | 209
Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 203 - 218
lingkungan, termasuk pemantauan emisi berbiaya rendah terintegrasi dengan sistem
informasi digital. Itu perlu digunakan melalui seluruh sektor industri, termasuk industri
kecil dan menengah. Jika pendekatan ini berhasil, dapat dikembangkan dengan
pemantauan dan peta emisi berbasis partisipatif untuk seluruh sektor industri di
Indonesia. Akhirnya, pengembangan sistem pemantauan emisi berbiaya rendah ini bisa
menjadi alat yang ampuh untuk lingkungan penelitian, memungkinkan pengukuran pada
skala komunitas industri. Pada saat yang sama, akurasi dan tuntutan stabilitas dapat
bervariasi. Ketika sensor berbiaya rendah digunakan sebagai sistem pemantauan emisi
terintegrasi menjadi digital sistem informasi, skenario rekayasa ini dapat diterapkan.
Sensor berbiaya rendah dapat dihubungkan ke modul deteksi elektronik. Papan esp32
atau Arduino dapat digunakan sebagai modul deteksi murah.
Dari modul deteksi ini, pembacaan data dari sensor kemudian ditransmisikan ke
gateway internet. Komputer mikro berbasis open source seperti raspberry pi dapat
digunakan sebagai gateway internet dengan mempertimbangkan perkembangan masa
depan. Hal ini masih dalam pengembangan kemajuan oleh produsen, kemampuan tinggi,
sistem operasi berbasis Linux, universal dan adaptif ke banyak format transmisi data
konektivitas connectivity seperti format database JSON dan SQL. Data dari gateway ini
kemudian ditransmisikan ke database server, termasuk pilihan alternatif. Dapat
dihubungkan ke server SISPEK teregulasi dengan memenuhi kebutuhan. Secara internal,
dapat diintegrasikan ke dalam dashboard digital dengan sistem informasi di bawah
aplikasi web atau sistem informasi seluler di android atau iOS. Seluruh skema ini
disarankan skenario rekayasa pemantauan emisi berbiaya rendah yang terintegrasi ke
dalam sistem informasi digital (Simbolon, Fatkhurrahman, Mariani, Sari, & Syafrudin,
2021).
Gambar 2. Skenario rekayasa skema sistem pemantauan emisi berbiaya rendah;
1. sumber emisi, 2. eliminator gangguan, 3. pompa bensin, 4. modul deteksi, 5. gateway
internet, 6. array sensor, 7. drain, 8. database server.
Berbagai transmisi data dapat diselesaikan menggunakan skenario ini, transmisi
data langsung masuk ke dalam server, kemudian ditabulasikan ke dalam database SQL,
atau menambahkan transmisi data keamanan menggunakan enkripsi data dapat
dilakukan untuk membuat sistem ini lebih dapat diandalkan.
5.3. Internet of Things dalam Sistem Pendeteksi Gas Rumah Kaca
IOT (internet of things) membantu orang untuk merepresentasikan data sensor
dengan internet yang memiliki alamat IP spesifik yang memasukkan data tersebut ke
cloud open source, ada banyak cloud open source yang tersedia di pasar saat ini
memungkinkan analisis data sensor secara real time. Jaringan sensor nirkabel (WSN)
H a l | 210
Implementasi internet of things pada pengelolaan emisi gas rumah kaca.….Singgih Oktavian, et al.
terdiri dari node sensor yang diatur secara spasial yang memiliki kemampuan minimum
komputasi, pemrosesan, dan transmisi nirkabel. Node sensor ini merasakan data real
time dari lingkungan tempat kita tinggal dan mengirimkan data yang dirasakan ke base
station atau node Penerima. Sistem secara keseluruhan terdiri dari dua bagian utama
yaitu transmitter node dan receiver node. Xbee digunakan untuk komunikasi nirkabel
dengan base station, Ethernet shield untuk memasukkan data ke dalam IOT cloud seperti
contohnya adalah ThingSpeak. GPS (sistem penentuan posisi global) ditambahkan ke
node sensor pemancar untuk menemukan lokasi node pemancar. GSM (sistem global
untuk komunikasi seluler) melindungi untuk mengirim data yang diterima ke orang yang
berwenang (Patil, Kiran, & Srinath, 2016).
Saat ini parameter lingkungan berubah dengan cepat, menjadi akar penyebab
banjir, pemanasan global dan pencairan gliserin sehingga perlu dikembangkan metode
yang sesuai untuk pemantauan dan pengendalian lingkungan dengan kinerja yang lebih
baik. Salah satu yang berkontribusi besar terhadap perubahan parameter lingkungan
adalah efek gas rumah kaca, dapat dipahami dengan cara ini “radiasi matahari yang
dipancarkan dari matahari diserap oleh bumi dan sebagian radiasi dipantulkan kembali
dari bumi, radiasi ini terperangkap oleh rumah kaca dan menjaga atmosfer tetap hangat.
Alasan utama untuk menghasilkan gas rumah kaca adalah pembakaran bahan bakar,
aktivitas pertanian yang tidak tepat, dan lain-lain. Beberapa gas rumah kaca adalah
sebagai berikut karbon dioksida, karbon monoksida, metana dan nitrous oxide.
Gambar 3. Arsitektur dari Transmission Node
H a l | 211
Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 203 - 218
Gambar 4. Arsitektur dari Receiver Node
Gambar 5. Receiver Node yang telah dirakit
IoT untuk sistem deteksi gas rumah kaca telah dibuat. Sistem tersebut membaca
nilai dengan menggunakan sensor dan diunggah ke dalam ThingSpeak cloud sehingga
pengguna yang memiliki ID dan Kata Sandi dapat mengakses cloud tersebut, melihat
berbagai intensitas gas dan SMS diteruskan ke orang yang menangani permasalahan
tentang penanganan efek gas rumah kaca. Sistem bekerja dengan baik di kisaran 90
hingga 100 meter jika terdapat penghalang dan berfungsi dengan baik di kisaran 150
hingga 250 meter di ruang terbuka.
5.4. Internet of Things sebagai Smart System Kontrol Emisi Gas CO dan CO2
Desain yang diusulkan termasuk dalam kerangka IoT. Kerangka kerja IoT, berfungsi
sebagai jalur transparan antara dunia fisik seperti objek, dan dunia sosial bersama-sama
dengan dirinya sendiri untuk membentuk sistem cerdas. Proses sistem pemantauan emisi
CO dan CO2 terdiri dari empat modul utama:
a. Sensing Control Module : Lapisan ini telah dihubungkan langsung dengan
lingkungan fisik, di mana sensor MQ135 akan mendeteksi tingkat gas CO dan sensor
MG811 akan mendeteksi tingkat gas CO2. Sinyal dihasilkan dan akan memberi tahu
jika tingkat CO maupun CO2 melebihi tingkat yang diharapkan. Sinyal-sinyal ini dikirim
ke lapisan atas.
H a l | 212
Implementasi internet of things pada pengelolaan emisi gas rumah kaca.….Singgih Oktavian, et al.
b. Data-semantic-storage module : Di sini data dari modul kontrol sensor dimasukkan
ke dalam basis data dan dianalisis secara efisien. Sebelum itu, data penginderaan
dalam bentuk sinyal analog harus diubah ke dalam format digital menggunakan ADC
(Analog to Digital Converter). Secara umum, bagian IC (Integrated Circuit) dalam ADC
terdiri dari dua bagian utama yaitu;1) Sampling dan Hold untuk menangkap tegangan
input analog sesaat sebelum diumpankan ke bagian kedua, yaitu;2) Rangkaian
Konversi Analog ke Digital (Indahwati & Nurhayati, 2012).
c. Decision-making module : Ini menggunakan data yang diabstraksi dari lapisan
semantik bawah (Data-semantic-storage module) untuk membuat keputusan.
Keputusan yang dihasilkan dari sistem akan dikirimkan ke papan kontrol pusat berupa
peringatan. Beberapa jenis papan kontrol pusat yang dapat digunakan adalah Arduino
karena memiliki hardware sekaligus software yang dapat digunakan sebagai pusat
pemrosesan data sekaligus kendali kontrol pada alat, serta NodeMCU v1.0 karena
selain memiliki software yang mudah dimodifikasi, NodeMCU v1.0 memiliki modul WiFi
yang dapat langsung disambungkan ke user interface module (Tastan & Gokozan,
2018)
d. User interface module: Modul ini berbagi antarmuka penting dengan jejaring sosial
seperti aplikasi seluler dan tampilan situs web. Di mana umpan balik dan hasil evaluasi
didapat dari control process. Keseluruhan model dibagi menjadi dua sub model, satu
adalah pemantauan dan pengendalian konsentrasi karbon monoksida (CO) dan
karbon dioksida (CO2) yang disebabkan oleh emisi kendaraan dan urbanisasi dan
modul kedua adalah pemantauan kondisi lingkungan hutan dalam upaya memprediksi
kebakaran hutan untuk mengurangi laju emisi CO dan CO2.
Keuntungan menggunakan teknologi ini adalah
● Penginderaan cerdas.
● Manajemen log yang efisien
● Sistem menampilkan status atmosfer waktu terbaru.
● Pengguna bisa mendapatkan status lingkungan saat ini menggunakan aplikasi android
dan portal web
● Buzzer yang terpasang pada sistem memberi lebih banyak alarm waspada pada
papan kontrol pusat
● Sistem yang ramah pengguna. Karena mudah digunakan.
● Hemat biaya
Tujuan utama dari sistem ini adalah untuk memantau dan mengendalikan
pencemaran udara oleh emisi karbon monoksida dan karbon dioksida dari kendaraan,
industri, dan kebakaran hutan menggunakan Raspberry pi yang disematkan ke dalam
Cloud Server. Sensor suhu, sensor kelembaban dan sensor karbon akan mendeteksi
suhu, kelembaban dan tingkat CO dan CO2 masing-masing pada interval waktu yang
ditentukan. Data yang dihasilkan diteruskan ke raspberry pi yang terhubung bersama
dengan sensor. Raspberry pi diprogram menggunakan python untuk mengirim informasi
ke server yang aman dengan protokol koneksi IPV6. Server jarak jauh mengumpulkan
semua informasi dan menyimpannya ke tabel yang sesuai dalam database yang telah
ditentukan. Pengguna dapat memeriksa riwayat dan status Atmospheric saat ini yang
disimpan dalam database. Untuk mencapai pemantauan real-time dari konsentrasi karbon
dioksida pada tempat tertentu dapat ditinjau dari perangkat komunikasi seluler, seperti
PDA, ponsel pintar, dan PC tablet untuk membantu menjaga kualitas udara tetap
terkendali (Rajkumar, Sruthi, & Kumar, 2017).
5.5. Estimasi Emisi Gas Rumah Kaca dalam Proses Pembuatan Semen Melalui
Analisis Data IoT Berbasis Blockchain dan SSL
Faktor emisi langsung yang terkait dengan penghasil gas rumah kaca di pabrik
semen adalah meliputi emisi dari fasilitas pembakaran tetap seperti boiler, emisi dari
H a l | 213
Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 203 - 218
proses manufaktur, emisi dari alat transportasi, penggunaan refrigeran untuk setiap
fasilitas, dan emisi kelalaian karena gardu induk fasilitas pemadam kebakaran, dan lain
sebagainya. Faktor emisi tidak langsung dapat juga didefinisikan sebagai pembelian
listrik, dan perbedaan antara manufaktur batas operasi proses untuk emisi langsung dan
tidak langsung dari bisnis dalam plant dalam kaitannya dengan perhitungan dapat
didefinisikan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6 (Kim, Kim, & Jeong, 2020).
Gambar 6. Batas untuk perhitungan emisi gas rumah kaca di lokasi pabrik semen
Perangkat seluler seperti smartphone dilengkapi dengan program manajemen
sehingga tim yang berhubungan dengan proses dapat memantau emisi gas rumah kaca
secara real time kapan saja, di mana saja. Dukungan layanan data server memungkinkan
ponsel pintar dapat melihat pembaruan waktu nyata hasil emisi dan menampilkan
aktivitas konstruksi secara visual yang disinkronkan dengan virtual model. Sistem ini
pertama kali diimplementasikan untuk menguji kelayakan dan penerapan dari proses
manufaktur yang sebenarnya. Hal ini didukung oleh data blockchain melalui berbagai SSL
encrypted perangkat IoT dalam tahap pembuatan dan sistem GPS dalam pembuatan
sistem geser. Implementasi dan emisi langsung dapat dipantau oleh platform komputasi
secara real time dan ditampilkan secara visual.
Hasil analisis pola dari real-time ke tahun maksimum dapat diturunkan sesuai
dengan pengaturan waktu perhitungan untuk data pengambilan, termasuk analisis emisi
karbon langsung dan tidak langsung yang sesuai dengan masing-masing sejarah
perhitungan. Sejauh ini, sistem ini telah berfungsi sebagai kesempatan untuk
mengembangkan proses perhitungan pasif dalam perhitungan emisi karbon menjadi
proses aktif.
Dalam studi ini, peneliti mengusulkan platform untuk menghitung emisi karbon
melalui manajemen data IoT andal yang mencegah modulasi data dengan menggunakan
jaringan internal SSH keamanan, rantai blok, dan analisis data transaksi yang dapat
menjamin integritas keduanya dan keandalan data IoT. Platform yang diusulkan
menjelaskan bahwa keandalan dari data terukur untuk sistem dapat diverifikasi dengan
benar, menunjukkan efisiensi dalam menghitung emisi karbon yang sesuai dari platform
yang diusulkan. Dalam masa depan, kami akan mempelajari teknologi yang mempercepat
ekstraksi data melalui pengenalan akses terdistribusi melalui komputasi tepi ke rantai blok
atau pengenalan industri 5G. Untuk meningkatkan keandalan verifikasi hasil, pemerintah
juga akan mempelajari cara untuk memasukkan beberapa verifikasi fungsi yang
H a l | 214
Implementasi internet of things pada pengelolaan emisi gas rumah kaca.….Singgih Oktavian, et al.
dilaksanakan oleh kementerian dan lembaga terkait negara ke dalam rantai blok untuk
memperluas cakupan penerapan program ke pemerintah daerah atau tingkat nasional.
5.6 Aplikasi Internet of Things (IoT) untuk Smart Grid Power System
Tren pemanfaatan energi terbarukan yang mampu menghasilkan energi listrik tanpa
menghasilkan dan meningkatkan gas rumah kaca saat ini terus meningkat yang ikut
mendorong lahirnya konsep smart grid.
Smart grid merupakan power system yang berbasis teknologi penginderaan
(sensing), komunikasi, kontrol digital, teknologi informasi (IT) dan peralatan lapangan
lainnya yang berfungsi untuk mengkoordinasikan proses yang ada dalam jaringan listrik
sehingga lebih efektif dan dinamis dalam pengelolaannya. IoT dapat digunakan untuk
memonitor pembangkit tenaga surya (Photovoltaic Generation System) khususnya
melalui Wireless Sensor Network (WSN). Melalui WSN, pusat pemantauan dan
penyimpanan data akan menerima informasi data secara real time dari instrument sensor
yang akan dikirimkan oleh data transmitter. Data tersebut meliputi temperatur panel,
tingkat radiasi matahari, kapasitas daya, data konverter, data besar tegangan dan arus
serta gangguan sistem (fault system). Data yang terkirim tersebut akan diterima oleh data
receiver yang akan dikirimkan ke server. Walaupun smart grid ini adalah konsep teknologi
jaringan listrik yang terintegrasi dan lintas disiplin ilmu yang masih dalam taraf
pengembangan. Namun demikian, perkembangan smart grid sudah harus diantisipasi dari
mulai sekarang karena akan menjadi model jaringan listrik modern yang memiliki manfaat
sangat luas. (Hidayatullah & Juliando, 2017).
Tabel 1. Perbedaan power system saat ini dengan smart grid
Power System Saat ini Smart Grid
Pembangkit terpusat Pembangkit tersebar
Komunikasi 1 arah Komunikasi 2 arah
Proteksi elektromekanika Smart proteksi
Sedikit sensor Banyak sensor
Manual kontrol Kontrol otomatis
Manual monitoring Auto online monitoring
Kurang efisien Sangat efisien
Pemadaman & Gangguan Prediktif & Preventif
Terpisah dengan RE Terintegrasi dengan RE
Alat ukur analog Alat ukur digital
Konsumen pasif Konsumen aktif
Komunikasi data konvensional Komunikasi data berbasis IT
via kabel via FO/Wifi/Radio
Smart grid akan menjadi kunci utama dalam proses transformasi di sektor energi
listrik karena beberapa manfaat yang dimilikinya, antara lain :
1. Aman dan Handal
2. Self Healing
3. Efisien dan Cerdas
4. Akomodatif
5. Ramah Lingkungan
6. Mengutamakan Kualitas dan Stabilitas
H a l | 215
Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 203 - 218
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Perkembangan industri 4.0 berhasil menciptakan teknologi Internet of Things yang
dapat diakui sebagai faktor penting dalam transformasi digital. Selain menjadi faktor
penting dalam transformasi digital, IoT juga dapat memberi berbagai keuntungan untuk
berbagai bisnis, termasuk bisnis industry. Penerapan penelitian IoT dalam pengolahan
limbah industri sebenarnya bukan tanpa tantangan, banyak penelitian yang sudah
dilaksanakan namun banyak yang masih dalam tahap pengembangan, berbagai
tantangan muncul dikarenakan hadirnya maupun implementasi dari teknologi tersebut.
Karena kehadiran teknologi ini juga harus dibarengi dengan kesiapan sumber daya
manusia sebagai pengguna dari teknologi dalam memanfaatkan data agar bisa
dimanfaatkan secara maksimal. Namun hal ini harus disiapkan dan diantisipasi dari
sekarang mengingat banyaknya manfaat yang dapat didapatkan baik untuk bisnis industri
itu sendiri maupun untuk kelestarian alam. Untuk menjawab tantangan seperti di atas,
tentu dibutuhkan faktor yang berkualitas baik dari sumber daya manusia, bahan
penelitian, maupun regulasinya.
Dari 6 penelitian yang telah dilakukan oleh berbagai peneliti dalam jurnal ini, dapat
diketahui bahwa penggunaan internet of things dalam langkah penurunan emisi gas
rumah kaca akan dapat dilakukan dan pencemaran dapat teratasi. Indonesia sebagai
salah satu negara berkembang yang akan bersaing di pasar global, harus memanfaatkan
teknologi tersebut dan menerapkannya pada industri-industri dalam negeri. Sehingga
diharapkan ketika teknologi tersebut sudah diimplementasikan, dapat menjadi peningkat
daya saing dari industri dalam negeri di pasar global namun dengan tetap memperhatikan
teknologi yang ramah lingkungan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada Bapak Januar Arif Fatkhurrahman, Ibu
Ikha, para penulis dan peneliti terkait Internet of Things pada pengolahan limbah industri
Gas Rumah Kaca yang karyanya kami jadikan bahan review dan disitasi, para panelis
Seminar Industri Hijau, dan semua rekan-rekan yang membantu dalam penyelesaian
paper ini yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
DAFTAR PUSTAKA
Aazam, M., Zeadally, S., & Harras, K. A. (2018). Deploying Fog Computing in Industrial
Internet ofThings and Industry 4.0. IEEE Transactions On Industrial Informatics.
doi:10.1109/TII.2018.2855198
Delmas, M. A., Birch, N. N., & Lim, J. (2015). Dynamics of environmental and financial
performance: The case of greenhouse gas emissions. Organization & Environment,
28(4), 374–393. doi:10.1 177/1086026615620238
Geissbauer, R., Vedso, J., & Schrauf, S. (2016). Industry 4.0: Building the digital
enterprise. PWC 2016 Global Industry 4.0 Survey.
Hidayatullah, A. N., & Juliando, D. E. (2017). Desain dan aplikasi internet of thing (IoT)
untuk Smart Grid Power Sistem. Jurnal Ilmiah Pendidikan Teknik Elektro, 2(1).
Indahwati, E., & Nurhayati. (2012). Rancang bangun alat pengukur konsentrasi gas
karbon monoksida (CO) menggunakan sensor gas MQ-135 berbasis mikrokontroller
dengan komunikasi serial USART. Jurnal Teknik Elektro, 1(1), 12-21.
Jazdi, N. (2014). Cyber Physical Systems in the Context of Industry 4.0. 2014 IEEE
International Conference on Automation, Quality and Testing, Robotics (AQTR), 2-4.
doi:10.1109/AQTR.2014.6857843
Kementerian Lingkungan Hidup. (2012). Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas
Rumah Kaca Nasional.
Khan, R., Khan, S. U., Zaheer, R., & Khan, S. (2012). Future Internet: The Internet of
Things Architecture, Possible Applications and Key Challenges. 2012 10th
H a l | 216
Implementasi internet of things pada pengelolaan emisi gas rumah kaca.….Singgih Oktavian, et al.
International Conference on Frontiers of Information Technology, 257–26.
doi:10.1109/FIT.2012.53
Kim, B., Kim, M., & Jeong, J. (2020). Estimation of Greenhouse Gas Emissions in Cement
Manufacturing Process Through Blockchain and SSL Based IoT Data Analysis.
Springer International Publishing. doi:10.1007/978-3-030-58802-1_46
Kweku, D. W., Bismark, O., Maxwell, A., Desmond, K. A., Danso, K. B., Oti-Mensah, E.
A., . . . Adormaa, B. B. (2018). Greenhouse effect: greenhouse gases and their
impact on global warming. Journal of Scientific Research & Reports, 17(6), 1-9.
doi:10.9734/JSRR/2017/39630
Lampropoulos, G., Siakas, K. V., & Anastasiadis, T. (2019). Internet of things in the
context of industry 4.0: an overview. International Journal of Entrepreneurial
Knowledge, 7(1). doi:10.2478/ijek-2019-0001
Making Indonesia 4.0: Strategi RI Masuki Revolusi Industri Ke-4. (2018, 3 20). Retrieved
from Kementerian Perindustrian: https://www.kemenperin.go.id/artikel/18967/Making-
Indonesia-4.0:-Strategi-RI-Masuki-Revolusi-Industri-Ke-4
Patil, V., Kiran, B. N., & Srinath, R. (2016). Internet of Things for Green House Gas
Detection System. International Research Journal of Engineering and Technology
(IRJET), 3(5), 3053-3055.
Pedoman Penyusunan Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. (2011).
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan
Pembangunan.
Pratama, R. (2019). Efek Rumah Kaca Terhadap Bumi. Indonesia: Universitas Islam
Sumatera Utara.
Presiden Republik Indonesia. (2011). Peraturan Presiden (PERPRES) tentang
Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional.
Rajkumar, M. N., Sruthi, S. M., & Kumar, V. V. (2017). IOT Based smart system for
controlling Co2 emission. International Journal of Scientific Research in Computer
Science, Engineering and Information Technology, 2(2).
doi:10.13140/RG.2.2.26703.33444
Ramaswamy, P. (2016). IoT Smart Parking System for Reducing Green House Gas
Emission. Chennai, India: 2016 Fifth International Conference on Recent Trends in
Information Technology, Cognizant Technology Solutions Limited.
Simbolon, A. M., Fatkhurrahman, J. A., Mariani, A., Sari, I. R., & Syafrudin. (2021).
Challenge of integrated low-cost emission monitoring system into a digital information
system. IOP. doi:10.1088/1755-1315/623/1/012076
Suprihatin, Indrasti, N. S., & Romli, M. (n.d.). Potensi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
Melalui Pengomposan Sampah. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Tastan, M. & Gokozan, H. (2018). An internet of things based air conditioning and lighting
control system for smart home. American Scientific Research Journal for
Engineering, Technology, and Sciences (ASRJETS), 50(1), 181-189.
Telkom Metra. (2021). Mengenal Peran IoT Pada Industri 4.0. . Retrieved from Telkom
Metra: https://www.telkommetra.co.id/id/publication/insight/mengenal-peran-iot-pada-
industri-40
Wen, H. T., & Yin, H. L. (2018). A Framework of Production Planning and Control with
Carbon Tax under Industry 4.0. Taiwan: Department of Business Administration,
National Central University.
Zacky, A., Supriyadi, A., R, A., Kusumawanto, A., Wicaksono, A., Maeztri, D., Nugroho,
W. A. (2014). Pedoman Teknis Perhitungan Baseline Emisi Gas Rumah Kaca Sektor
Berbasis Energi. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(BAPPENAS). Retrieved from www.bappenas.go.id
Zheng, J., Simplot-Ryl, D., Bisdikian, C., & Mouftah, H. (2011). The internet of things.
IEEE Communications Magazine, 49(11), 30-31.
H a l | 217
Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 203 - 218
H a l | 218
MITIGASI PERUBAHAN IKLIM
DI SEKTOR INDUSTRI
Penggunaan teknologi carbon capture dengan fotobioreaktor.…… Barik Maftuhina, et al.
.
Penggunaan teknologi carbon capture dengan fotobioreaktor mikroalga
untuk mitigasi emisi gas rumah kaca
The application of carbon capture technology using microalgae photobioreactor
for greenhouse gas emission mitigation
Barik Maftuhina a,*, Mira Ervianaa, Mutiara Delani Antarasa , Ananto Dwi Nugrohob
a Balai Besar Industri Agro
Jl. Ir. H. Juanda No. 11, Bogor, Indonesia
b Pusat Optimalisasi Pemanfaatan Teknologi Industri dan Kebijakan Jasa Industri
Jl. Jenderal Gatot Subroto Kav. 52-53, Jakarta, Indonesia
*[email protected]
ABSTRAK
Emisi gas rumah kaca saat ini menjadi salah satu masalah yang timbul dari proses
industri. Banyak cara yang dilakukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, salah
satunya dengan menggunakan teknologi carbon capture storage. Dengan teknologi ini,
gas CO2 dari industri dan sumber terkait energi akan dipisahkan lalu ditransportasi ke
lokasi penyimpanan. Kemudian CO2 dikompresi dan disimpan dalam formasi geologi atau
secara biologi dengan memanfaatkan proses fotosintesis mikroalga untuk menyerap CO2.
Ketersediaan mikroalga di Indonesia dapat dimanfaatkan untuk menggunakan teknologi
carbon capture storage ini. Industri yang memiliki cerobong asap dan menghasilkan
limbah cair dapat memanfaatkan teknologi carbon capture storage menggunakan
fotoreaktor mikroalga ini untuk mengurangi emisi CO2. Carbon capture storage dengan
fotobioreaktor mikroalga ini memiliki keunggulan untuk menghasilkan O2. Biomassa yang
dihasilkan mikroalga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku bioplastik, farmasi,
kosmetik, detergen, produk pakan dan bahan baku energi. Penerapan teknologi
fotobioreaktor juga mampu meningkatkan produktivitas mikroalga 2 hingga 5 kali
sehingga mikroalga dapat terus digunakan untuk penerapan teknologi ini tanpa merusak
pertumbuhannya. Berdasarkan laporan yang dikirim Indonesia ke UNFCCC pada tahun
2016, estimasi total emisi selama 2012 yang dilaporkan sebesar 1.454 juta metric tons of
carbon dioxide equivalent (MtCO2e), yang terdiri dari carbon dioksida (CO2), methane
(CH4), dan nitrogen dioksida (N2O) (Wijaya, Chrysolite, Ge, Wibowo, & Pradana, 2017).
Dengan potensi emisi gas yang ada tersebut, penggunaan fotobioreaktor menggunakan
mikroalga ini diharapkan dapat ikut andil dalam upaya mitigasi efek gas rumah kaca.
Kata Kunci : carbon capture storage, fotobioreaktor mikroalga, emisi gas CO2
ABSTRACT
Greenhouse gas emission is currently one of the problems that produced from
industrial processes. There are many ways to reduce greenhouse gas emissions, for
example using carbon capture storage technology. With this technology, CO2 gas from
industry and related energy sources will be separated and then transported to storage
locations. Then CO2 will be compressed and stored in the geological formations or
biologically by utilizing the process of photosynthesis of microalgae to absorb the CO2.
The availability of microalgae in Indonesia can be utilized for this carbon capture storage
technology. Industries that have chimneys and produce liquid waste can take advantage
of carbon capture storage technology using this microalgae photoreactor to reduce CO2
emissions. Carbon capture storage with this microalgae photobioreactor has the
advantage of producing O2. The biomass produced by microalgae can be used as raw
material for bioplastics, pharmaceuticals, cosmetics, detergents, feed products and
energy raw materials. The application of photobioreactor technology increases the
productivity of microalgae itself 2 until 5 times, so the microalgae can continue to be used
for the application of this technology without damaging their growth. Based on the report
H a l | 219
Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 119 - 226
sent by Indonesia to the UNFCCC in 2016, the estimated total emissions for 2012 were
1,454 million metric tons of carbon dioxide equivalent (MtCO2e), which consisted of
carbon dioxide (CO2), methane (CH4), and nitrogen dioxide (N2O) ) (Wijaya, Chrysolite,
Ge, Wibowo, & Pradana, 2017). Based on that report, the application of photobioreactors
using microalgae is expected to contribute to mitigate the effects of greenhouse gases.
Keywords : carbon capture storage, microalgae photobioreactor, CO2 gas emission
I. PENDAHULUAN
Emisi rumah kaca merupakan salah satu faktor yang meningkatkan pemanasan
global. Dampak pemanasan global saat ini mulai dirasakan seperti peningkatan suhu
bumi, cuaca yang tidak menentu dan kenaikan permukaan laut. Karbon dioksida (CO2),
metan (CH4), nitro oksida (N2O) merupakan gas rumah kaca yang memberikan kontribusi
sebesar terhadap efek pemanasan global secara keseluruhan (Ghani, 2017). Pemerintah
telah membuat kebijakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui Peraturan
Presiden RI No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas
Rumah Kaca (Wahyudi, 2016). Berdasarkan regulasi tersebut, pemerintah Indonesia
berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan usaha
sendiri dan 41% jika mendapat bantuan internasional pada tahun 2020. Kegiatan
penurunan emisi GRK dilakukan terhadap 5 sektor, meliputi sektor pertanian, kehutanan
dan lahan gambut, energi dan transportasi, industri, dan pengelolaan limbah. Kegiatan
industri dan sisa limbahnya merupakan salah satu penyumbang gas CO2 yang cukup
besar. Mitigasi penanganan emisi gas rumah kaca untuk sektor industri perlu segera
dilakukan. Salah satu teknologi yang dapat dilakukan untuk mengurangi gas CO2 dari
sektor industri adalah teknologi carbon capture storage memanfaatkan fotobioreaktor
mikroalga. Diharapkan dengan pemanfaatan teknologi ini, Indonesia dapat berkontribusi
dalam upaya dunia memitigasi efek gas rumah kaca, yang diprediksi pada tahun 2030
akan mencapai angka 2,88 gigatons of carbon dioxide equivalent (GtCO2e) (Wijaya et al.,
2017).
II. KELIMPAHAN DAN PROSPEK MIKROALGA
Mikroalga merupakan makhluk hidup yang berukuran 1 mikrometer hingga ratusan
mikrometer yang memiliki kloroplas (Hadiyanto dan Azim, 2012). Tidak seperti tumbuhan
terestrial, mikroalga tidak memilki akar, batang dan daun namun memiliki pigmen hijau
untuk proses fotosintesis. Mikroalga tersusun atas karbohidrat, protein, lemak/minyak,
dan sumber vitamin seperti vitamin A, B1, B2, B6, B12, C, E, nikotinate, biotin, asam folat,
dan asam pantotenat (Handayani dan Ariyanti, 2012). Komposisi kimia beberapa
mikroalga dapat dilihat pada Tabel 1. Pertumbuhan mikroalga dipengaruhi oleh faktor
abiotik (cahaya matahari, air, CO2, temperatur, salinitas, pH dan nutrien), dan faktor biotik
(bakteri, jamur,virus dan kompetisi dengan mikroalga lain) (Hindarti dan Ayuningtyas,
2020). Faktor Pertumbuhan ini akan berpengaruh terhadap komposisi kimia dari
mikroalga.
Tabel 1. Tabel Komposisi Kimia Beberapa Mikroalga (Irhamni dan Munir, 2015)
Mikroalga Protein (%) Karbohidrat (%) Lemak (%)
Anabaena cylindrical 43 - 56 25 - 30 4–7
Chlorella vulgaris 51 - 58 12 - 17 28 - 32
Chlamidomonas rheinhardii
Dunaleila salina 48 17 21
Euglena gracilis 57 32 6
Porphyridrin cruentum 39 - 61 14 - 18 14 - 20
28 - 39 40 - 57 9 - 14
H a l | 220
Penggunaan teknologi carbon capture dengan fotobioreaktor.…… Barik Maftuhina, et al.
Mikroalga Protein (%) Karbohidrat (%) Lemak (%)
Scenedesmus obliquus 50 - 56 10 - 17 12 - 14
Scenedesmus Dimorphus 8-18 21 – 52 16 – 40
Spyrogira sp 6 - 20 33 - 64 11 - 21
Spirulina maxima 31 - 33 16 - 18
Scynechococcus sp 40 - 44
63 15 11
Perairan luas yang dimiliki Indonesia menyimpan potensi kelimpahan mikroalga
yang sangat besar (Irhamni dan Munir, 2015). Iklim tropis yang dimiliki Indonesia dan
salinitas yang tinggi sangat sesuai untuk pertumbuhan mikroalga dan memiliki prospek
yang sangat baik jika dimanfaatkan secara optimal. Salah satu perairan di Indonesia yang
memiliki kelimpahan mikroalga ialah perairan sungai Kati di kota Lubuk Linggau,
Sumatera Selatan.
Ditemukan 47 spesies mikroalga yang berada di perairan tersebut diantaranya
Oocystis, Micractinium, Scenedesmus, Pediastrum, Chlorococcum, Tetraedron,
Cloesterium, Cosmarium, Gonatozygon, Ulothrix, Drafanaldia, Chlorella, Spirogyra,
Mougeotia, Zygnema, Eudorina, Chlamydomonas, Oedogonium, Microspora,
Ankistrodesmus. Tabellaria, Melosira, Navicula, Pinnularia, Asterionella, Eunotia,
Surirella, Nitschia, Pleurosigma, Synedra, Fragillaria, Gomphonema, Cylotella,
Aulacaseira dan Guinardia (Harmoko dan Sepriyaningsih, 2017). Contoh visual dari
mikroalga dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Spirulina platensis (kiri atas), Chlorella vulgaris (kanan atas),
Dunaliella salina (kiri bawah) (Hadiyanto dan Azim, 2012), Tetraselmis Chuii (kanan
bawah) (Assadad, Utomo, dan Sari, 2010)
Selain dapat mudah diperoleh dari alam, mikroalga dapat pula dibudidayakan.
Salah satu cara pembudidayaan mikroalga adalah dengan memanfaatkan teknologi
fotobioreaktor. Pemanfaatan cahaya matahari dalam proses fotobioreaktor mampu
H a l | 221
Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 119 - 226
mendegradasi karbondioksida sehingga menghasilkan biomassa dengan biodiversitas
yang tinggi.
Saat ini pemanfaatan mikroalga tidak terbatas sebagai produk pangan dan pakan,
tetapi dapat pula dimanfaatkan untuk pengolahan limbah industri baik limbah cair maupun
limbah yang berasal dari cerobong asap boiler. Mikroalga menyerap emisi gas
karbondioksida yang dihasilkan industri melalui proses fotosintesis untuk pertumbuhan
sel-sel nya (Santoso, Darmawan, dan Susanto, 2011). Kandungan pigmen hijau/klorofil
yang dimilikinya berperan dalam proses fotosintesis dimana karbondioksida dan air
diubah menjadi karbohidrat dan oksigen dengan bantuan sinar matahari (Suciati dan
Aviantara, 2020). Proses fotosintesis oksigenik terjadi pada struktur sel yang disebut
kloroplas (Astri Rinanti, 2013). Kloroplas mengandung klorofil yang dapat menyerap
energi cahaya. Reaksi fotosintesis yang terjadi diperlihatkan seperti pada persamaan
berikut:
6H2O + 6CO2 + Light ===> C6H12O6 + O2 (Irhamni dan Munir, 2015)
Reaksi fotosintesis dibagi menjadi dua tahap yaitu reaksi gelap dan reaksi terang.
Reaksi terang merupakan reaksi yang membutuhkan cahaya dimana energi cahaya
diubah menjadi energi kimia menghasilkan oksigen. Sebaliknya reaksi gelap tidak
membutuhkan cahaya, reaksi siklik yang terjadi mengubah karbondioksida menjadi
karbohidrat dengan bantuan energi yang dihasilkan dari reaksi terang (Astri Rinanti, 2013
; Abdurrachman, Mutiara dan Buchori, 2013). Fotosintesis oksigenik pada mikroalga
menjadi converter cahaya matahari yang sangat efektif. Proses ini sangat bermanfaat
untuk mendegradasi limbah yang dihasilkan industri.
Pengolahan limbah dengan memanfaatkan mikroalga memilki banyak keuntungan
diantaranya, proses pengolahannya tidak menghasilkan limbah sekunder dan
berlangsung secara alami sehingga ramah lingkungan. Selain itu, efisiensi mikroalga
dalam mengubah sinar matahari lebih tinggi dibandingkan dengan tumbuhan terestrial
dan tidak membutuhkan lahan yang luas untuk pertumbuhannya. Keuntungan lain dari
penggunaan mikroalga pada proses pengolahan limbah adalah dihasilkannya biomassa
sebagai hasil samping yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan beberapa produk
derivat bioenergi (Daniyati, Yudoyono, dan Rubiyanto, 2012). Bioenergi yang dapat
dihasilkan antara lain biodiesel, bioetanol, biobutanol dan SVO (Straight Vegetable Oil)
(Hadiyanto dan Azim, 2012). Di samping memiliki berbagai keuntungan, mikroalga
memilki kelemahan yaitu waktu pertumbuhan yang relatif lama dan faktor sinar matahari
(Santoso et al., 2011).
III. PEMANFAATAN TEKNOLOGI FOTOBIOREAKTOR MIKROALGA UNTUK
PENGIKAT CO2
Carbon capture and storage (CCS) merupakan teknologi untuk menangkap gas CO2
yang dihasilkan dari suatu proses dalam skala besar, kemudian diangkut menuju lokasi
penyimpanan (Firlina, 2016). Prosesnya meliputi pemisahan gas CO2 dari industri dan
sumber terkait energi, transportasi ke lokasi penyimpanan dan isolasi jangka panjang
dari atmosfer. CO2 kemudian dikompresi dan disimpan dalam formasi geologi, di laut,
dan dalam mineral karbonat atau untuk digunakan dalam proses industri (Astri Rinanti,
2013).
CCS dapat dilakukan dengan dua metode yaitu: pertama, secara fisik dengan
menyimpan karbon yang ditangkap ke dalam sumur-sumur geologi sebagaimana
disebutkan di atas. Kedua, pengikatan karbon dapat dilakukan secara biologi dengan
memanfaatkan proses fotosintesis mikroalga untuk menyerap CO2 (Tjahjono dan
Wibowo, 2016). Pada proses fotosintesis mikroalga, CO2 dibutuhkan sebagai bahan
H a l | 222
Penggunaan teknologi carbon capture dengan fotobioreaktor.…… Barik Maftuhina, et al.
utama untuk menghasilkan senyawa karbohidrat yang kemudian diolah menjadi
biomassa (Prayitno, 2016).
Fotobioreaktor merupakan reaktor dengan sistem tertutup yang disusun dengan
bahan tembus cahaya yang disertai dengan sistem pemasok media dan gas CO2 untuk
mendukung proses fotosisntesis. Proses fiksasi gas CO2 pada fotobioreaktor sangat
bergantung pada proses fotosintesis mikroalga sehingga perancangan reaktor
mempertimbangkan rasio luas permukaan dengan volume reaktor. Oleh karena itu ada
beberapa jenis fotobioreaktor yang digunakan, diantaranya jenis tabung, panel dan
fermentor (Prayitno, 2018).
Beberapa penelitian fotobioreaktor mikroalga dilakukan dengan spesies mikroalga
air laut seperti Phaedactylum tricornatum dan Chaetoceros sp (Tjahjono dan Wibowo,
2016), mikroalga spesies air tawar seperti Chlorella sp (Rusdiani, Boedisantoso, dan
Hanif, 2016), Scenedesmus sp (Nirwawan, 2014) dan mikroalga spesies yang bisa hidup
di air tawar dan air laut seperti Tetrashelmis chuii dan Spirrulina sp (Purba, Abdussalam,
dan K., 2017).
Fotobioreaktor memanfaatkan emisi karbon dioksida yang dimasukkan ke dalam
sistem yang berisi mikroalga dengan media air (H2O). Di dalam sistem tersebut, mikroalga
mengikat karbon dioksida dan menghasilkan oksigen dengan bantuan cahaya
(Nurrahmawati, Harmadi, dan Okta Biolita, 2018). Sumber cahaya pada fotobioreaktor
mikroalga dapat berasal dari cahaya matahari atau dari cahaya buatan (Suyatman, 2021 ;
Hindarti dan Ayuningtyas, 2020). Cahaya buatan yang digunakan dapat berupa seperti
LED, lampu neon (Fitri, 2020) dan lampu halogen (Biolita dan Harmadi, 2017).
Di dalam sistem fotobioreaktor, mikroalga membutuhkan CO2 untuk fotosintesis dan
menghasilkan materi organik (Santoso, 2010), seperti lipid, protein dan karbohidrat
(Nirwawan, 2014). Materi organik yang dihasilkan sebanding dengan jumlah CO2 yang
diserap pada proses fotosintesis. Selain bermanfaat dalam penyerapan CO2,
fotobioreaktor juga menghasilkan O2 (Santoso et al., 2011).
Pada sistem fotobioreaktor, perlu dilakukan kontrol terhadap beberapa faktor agar
kemampuan mikroalga mengikat CO2 dapat meningkat. Faktor tersebut antara lain:
intensitas cahaya dan temperatur di dalam fotobioreaktor, aliran gas CO2 (Astri Rinanti,
2013). Selain itu ada beberapa faktor yang juga perlu diperhatikan, seperti nutrisi,
salinitas, sirkulasi media, pH dan akumulasi O2 (Prayitno, 2018).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh BPPT, sistem fotobioreaktor
sistem batch dengan kultur mikroalga air tawar dan air laut memiliki efektifitas penurunan
kadar CO2 yang baik. Pada penelitian tersebut digunakan pasokan gas CO2 dengan
konsentrasi 12% dan dapat direduksi hingga mendekati 0% selama 7 hari oleh mikroalga
Chlorella sp., sementara spesies Chaetoceros sp. membutuhkan waktu hingga 13 hari
untuk mencapai hasil yang sama (Santoso, 2010).
Pemanfaatan teknologi penangkap karbon fotobioreaktor mikroalga bisa dilakukan
dengan pasokan CO2 dari cerobong asap industri (Santoso, 2010) maupun pasokan
limbah cair industri (Santoso et al., 2011). Pemanfaatan teknologi fotobioreaktor
mikroalga untuk fiksasi gas CO2 pada sektor industri menemui berbagai tantangan.
Kendala yang muncul diantaranya karena produktifitas biomassa rendah dan penyerapan
gas CO2 yang masih terlalu sedikit dibanding dengan emisi gas CO2 dari industri yang
berlebih, sehingga belum cukup untuk memenuhi kebutuhan industri. Untuk sektor
industri, fotobioreaktor dapat digunakan untuk fiksasi CO2 emisi mobil (Fitri, 2020).
Beberapa kelebihan teknologi penangkapan karbon fotobioreaktor mikroalga adalah
tidak hanya menangkap CO2 tetapi juga mengasilkan O2 , laju pertumbuhan mikroalga
tinggi, fiksasi karbon tinggi, lingkungan pertumbuhan yang dapat dikontrol. Disamping itu
biomassa yang dihasilkan mikroalga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku bioplastik,
farmasi, kosmetik, detergen, produk pakan dan bahan baku energi (Prayitno, 2016) serta
bisa menjadi sumber protein, vitamin, mineral atau sumber bahan pangan fungsional
(Nur, 2014). Penerapan teknologi fotobioreaktor juga mampu meningkatkan produktifitas
H a l | 223
Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 119 - 226
mikroalga 2 hingga 5 kali dibanding dengan kondisi alamiahnya. Pada sistem
fotobioreaktor jenis tertutup memungkinkan untuk mengendalikan kondisi dengan mudah,
sehingga dapat terhindar dari pengaruh luar yang tidak diinginkan, (Junita et al., 2020)
dan tidak membutuhkan lahan luas, bahkan bisa disimpan di dalam ruangan.
Selain itu, mikroalga sendiri memiliki keistimewaan dapat melakukan fiksasi CO2
pada kisaran 10 hingga 50 kali lebih efisien dibanding tumbuhan (Rusdiani et al., 2016).
Karbohidrat yang dihasilkan dari fotosintesis dimanfaatkan oleh mikroalga untuk
menambah populasinya. Mikroalga juga tidak menghasilkan limbah sehingga aman bagi
lingkungan tempat tinggal mikroalga, yaitu air. Proses fotosintesis juga menghasilkan lipid
atau minyak yang dapat menjadi bahan baku bioetanol (Purba et al., 2017).
Kekurangan CCS fotobioreaktor mikroalga adalah area terkena cahaya relatif lebih
kecil, perlu material khusus untuk konstruksi, mikroalga dapat menempel di dinding
(Prayitno, 2018). Pengikatan karbon secara biologi tidak hanya dapat diterapkan dengan
sistem tertutup seperti fotobioreaktor, tetapi dapat juga dengan sistem terbuka dengan
kolam kultur. Sistem kolam kultur memiliki kelebihan dari sisi biaya yang lebih murah dan
perangkatnya mudah dibersihkan. Tetapi kontrol terhadap kondisi dari gangguan
pengaruh luar (Junita et al., 2020), sulit dikulturkan dalam jangka panjang, produktifitas
rendah dan memerlukan lahan lebih luas (Prayitno, 2018).
Sebagai alternatif, pengikatan karbon dioksida juga dapat dilakukan secara fisik
yaitu dengan menginjeksi karbondioksida pada formasi geologi, di laut, dan dalam mineral
karbonat atau untuk digunakan dalam proses industri (Astri Rinanti, 2013). The Global
CCS Institute melaporkan bahwa pada tahun 2014 ada 65 proyek besar terkait CCS
dengan skala minimal 800.000 ton CO2/tahun untuk industri pembangkit energi dan listrik
dan minimal 400.000 ton CO2/tahun untuk industri lain seperti industri pengolahan gas
alam (Firlina, 2016). Akan tetapi penerapannya di industri dapat meningkatkan konsumsi
energi sebesar (10-40)% lebih banyak dibandingkan industri yang tidak menggunakan
CCS (Firlina, 2016). Melalui pemanfaatan teknologi ini, Indonesia diharapkan dapat
berkontribusi dalam upaya dunia memitigasi efek gas rumah kaca, yang diprediksi pada
tahun 2030 akan mencapai angka 2,88 gigatons of carbon dioxide equivalent (GtCO2e)
(Wijaya et al., 2017).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Sebagai penyumbang gas emisi rumah kaca nomor 6 di dunia berdasarkan
laporan dari World Resources Institute pada tahun 2015, pencemaran udara hasil limbah
industri berupa karbon dioksida sudah saatnya dikendalikan. Di Indonesia sendiri, ada
salah satu alternatif sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan yaitu mikroalga. Mikroalga
sendiri saat ini keberadaannya sangat melimpah dan pemanfaatannya belum maksimal.
Dengan penggunaan teknologi fotobioreaktor, penangkapan karbon dengan mikroalga ini
menjadi salah satu cara untuk mitigasi efek gas rumah kaca. Selain itu, letak Indonesia
yang ada di daerah tropis yang memiliki kelimpahan sinar matahari, menjadi salah satu
kunci keberhasilan pemanfaatan teknologi ini. Tidak hanya menangkap karbon, mikroalga
juga menghasilkan biomass yang dapat dimanfaatkan kembali. Sebagai contoh, untuk
mikroalga jenis Chlorella sp memiliki kandungan minyak dalam kisaran 28 – 32%. Dengan
berbagai manfaat tersebut, penggunaan teknologi fotobioreaktor mikroalga ini diharapkan
dapat ikut serta dalam upaya Indonesia untuk menurunkan angka emisi gas rumah kaca
bersama dengan program pemerintah lainnya seperti contohnya restorasi daerah aliran
sungai, restorasi hutan, dan moratorium izin hutan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Pertama-tama, kami ucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Standardisasi dan
Kebijakan Jasa Industri, bapak Doddy Rahadi, yang telah memberikan dukungan
terhadap kegiatan Seminar Industri Hijau tahun 2021 ini, sehingga kami para CPNS dapat
H a l | 224
Penggunaan teknologi carbon capture dengan fotobioreaktor.…… Barik Maftuhina, et al.
belajar lebih banyak mengenai mitigasi perubahan iklim di sektor industri. Lalu, dalam
penyusunan review ini, kami dibantu oleh Kepala Seksi Kalibrasi Balai Besar Industri
Agro, Dr. Yus Maria Novelina Sitorus. Kami ucapkan terima kasih kepada beliau yang
dengan senang hati memberikan saran dalam penyusunan review ini. Tak lupa kami
ucapkan juga terima kasih kepada segenap panitia Seminar Industri Hijau dari tim
Baristand Industri Banjar Baru, terima kasih bapak Budi Setiawan, ibu Evy, ibu
Nurhidayati, dan mbak Ratri beserta segenap tim Baristand Banjarbaru.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrachman, O., Mutiara, M., & Buchori, L. (2013). Pengikatan Karbon Dioksida
Dengan Mikroalga ( Chlorella Vulgaris, Chlamydomonas Sp., Spirullina Sp. ) Dalam
Upaya Untuk Meningkatkan Kemurnian Biogas. Jurnal Teknologi Kimia Dan
Industri, 2(4), 212–216.
Assadad, L., Utomo, B. S. B., & Sari, R. N. (2010). Pemanfaatan Mikroalga Sebagai
Bahan Baku Bioetanol. Squalen, 5(2), 51–58.
Astri Rinanti. (2013). Biotechnology Carbon Capture and Storage by Microalgae to
Enhance CO2 Removal Efficiency in ClosedSystem Photobioreactor. Intech,
32(July), 137–144. Retrieved from http://www.intechopen.com/books/trends-in-
telecommunications-technologies/gps-total-electron-content-tec-prediction-at-
ionosphere-layer-over-the-equatorial-
region%0AInTec%0Ahttp://www.asociatiamhc.ro/wpcontent/uploads/2013/11/Guide-
to-Hydropower.pdf
Biolita, N. O., & Harmadi, H. (2017). Perancangan Fotobioreaktor Mikroalga Chlorella
vulgaris untuk Mengoptimalkan Kosentrasi Oksigen (O2). Jurnal Fisika Unand, 6(3),
296–305. https://doi.org/10.25077/jfu.6.3.296-305.2017
Daniyati, R., Yudoyono, G., & Rubiyanto, A. (2012). Desain Closed Photobioreaktor
Chlorella Vulgaris Sebagai Mitigasi Emisi CO 2. Sains Dan Seni, 1(September), 2–
7.
Firlina, M. (2016). Pemanfaatan Teknologi Carbon Capture and Storage pada PLTU
dalam Upaya Mengurangi Emisi Gas Buang CO2 ke Atmosfer. (November 2016),
0–7.
Fitri, R. M. (2020). Perancangan Instalasi Sel Fotobioreaktor Mikroalga untuk Mengurangi
Emisi CO 2 pada Sirkulasi Udara Mobil. 9(2), 156–162.
Ghani, A. (2017). Pengesahan Kyoto Protocol pada tahun 2005 menjadi awal dari upaya
dunia. 2(1), 1–12.
Hadiyanto, & Azim, M. (2012). Mikro Alga sumber pangan dan energi masa depan. 1–
138.
Handayani, N. A., & Ariyanti, D. (2012). Potensi Mikroalga Sebagai Sumber Biomasa Dan
Pengembangan Produk Turunannya. Tahun, 33(2), 852–1697. Retrieved from
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=19917&val=1254&title=POTEN
SI MIKROALGA SEBAGAI SUMBER BIOMASA DAN PENGEMBANGAN PRODUK
TURUNANNYA
Harmoko, H., & Sepriyaningsih, S. (2017). Keanekaragaman Mikroalga Di Sungai Kati
Lubuklinggau. Scripta Biologica, 4(3), 201.
https://doi.org/10.20884/1.sb.2017.4.3.452
Hindarti, F., & Ayuningtyas, E. (2020). The Development of Spirulina Sp . Cultivation
Technique as. 17–24.
Irhamni, & Munir, E. (2015). Kultivasi Mikroalga Untuk Bioteknologi Biomassa Sebagai
Energi Terbarukan. Jurnal Purifikasi, 13.
Junita, E., Elektronika, L., Fisika, J., Matematika, F., Alam, P., Andalas, U., … Manis, L.
(2020). Perancangan Sistem Akuakultur pada Fotobioreaktor Mikroalga Chlorella
vulgaris. Jurnal Fisika Unand (JFU), 9(3), 345–351. Retrieved from
H a l | 225
Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 119 - 226
https://doi.org/10.25077/jfu.9.3.345-351.2020
Nirwawan, R. (2014). Reduksi Gas CO2 oleh Mikroalga Scenedesmus sp . pada
Fotobioreaktor Tertutup dengan Variasi Konsentrasi Gas CO2 The Reduction of CO2
Gas by Scendemus sp . Microalgae in Closed Photobioreactor using Variation of
CO2 Gas Concentration. 2.
Nur, M. M. A. (2014). Potency of Microalgae as Source of Functional Food in Indonesia
(Overview). Eksergi, 11(2), 1–6.
Nurrahmawati, A., Harmadi, H., & Okta Biolita, N. (2018). Rancang Bangun Alat Ukur
Konsentrasi Oksigen yang Dihasilkan oleh Fotobioreaktor Mikroalga Chlorella
Vulgaris. Jurnal Otomasi Kontrol Dan Instrumentasi, 10(1), 49.
https://doi.org/10.5614/joki.2018.10.1.5
Prayitno, J. (2016). Pola Pertumbuhan dan Pemanenan Biomassa dalam Fotobioreaktor
Mikroalga untuk Penangkapan Karbon. Jurnal Teknologi Lingkungan, 17(1), 45.
https://doi.org/10.29122/jtl.v17i1.1464
Prayitno, J. (2018). Teknologi fotobioreaktor mikroalga untuk penangkapan karbon dan
produksi biodiesel. (September), 21–26.
Purba, E., Abdussalam, S., & K., A. R. (2017). Batas Toleransi Maksimal Laju Alir Gas
Umpan dengan Konsentrasi CO2 Konstan pada Mikroalga (Tetraselmiss Chuii dan
Spirrulina Sp) dalam Fotobioreaktor. Inovasi Pembangunan : Jurnal Kelitbangan,
5(03), 206–214. https://doi.org/10.35450/jip.v5i03.45
Rusdiani, R. R., Boedisantoso, R., & Hanif, M. (2016). Optimalisasi Teknologi
Fotobioreaktor Mikroalga sebagai Dasar Perencanaan Strategi Mitigasi Gas CO2.
Jurnal Teknik ITS, 5(2), 188–192. https://doi.org/10.12962/j23373539.v5i2.16942
Santoso, A. D. (2010). 17. Teknologi Reduksi CO2 Dari Cerobong Industri Dengan Foto
Bio-Reaktor Mikroalga Sebagai Salah Satu Implementasi Green Industry.pdf.
Santoso, A. D., Darmawan, R. A., & Susanto, J. P. (2011). Mikro Alga untuk Penyerapan
Emisi CO2 dan Pengolahan Limbah Cair di Lokasi Industri. Jurnal Ilmu Dan
Teknologi Kelautan Tropis, 3(2), 62–70.
Suciati, F., & Aviantara, D. B. (2020). Green Technology Untuk Green Company Dengan
Penerapan Sistem Fotobioreaktor Penyerap Karbon Dioksida. Jurnal Rekayasa
Lingkungan, 12(1), 15–40. https://doi.org/10.29122/jrl.v12i1.3657
Suyatman, S. (2021). Menyelidiki Energi Pada Fotosintesis Tumbuhan. INKUIRI: Jurnal
Pendidikan IPA, 9(2), 134. https://doi.org/10.20961/inkuiri.v9i2.50085
Tjahjono, H., & Wibowo, K. (2016). Dasar-Dasar Pengoperasian Fotobioreaktor Skala
Laboratorium Menggunakan Mikroalgauntuk Penyerapan Emisi CO2. Jurnal
Teknologi Lingkungan, 11(3), 475. https://doi.org/10.29122/jtl.v11i3.1193
Wahyudi, J. (2016). Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca the Mitigation of Greenhouse Gases
Emission. Jurnal Litbang, XII(2), 104–112.
Wijaya, A., Chrysolite, H., Ge, M., Wibowo, C. K., & Pradana, A. (2017). How Can
Indonesia Achieve Its Climate Change Mitigation Goal? An Analysis Of Potential
Emissions Reductions From Energy And Land-Use Policies. World Resources
Institute, (September). Retrieved from https://wri-
indonesia.org/sites/default/files/WRI Layout Paper OCN v7.pdf
H a l | 226
Reklamasi lahan eks tambang untuk mitigasi perubahan iklim……… Mukhammad Sena Suratman, et al.
.
Reklamasi lahan eks tambang untuk mitigasi perubahan iklim mendukung.
keberlanjutan pembangunan di sektor pertanian
Reclamation of ex-mining land for climate change mitigation and sustainability
support of agricultural development
Mukhammad Sena Suratmana,, Egytha Prima Rahmandhab, Norasonya Dariamaliahb,
Mira Rahmayantib
a Pusat Optimalisasi Pemanfaatan Teknologi Industri dan Kebijakan Jasa Industri
Jl. Jenderal Gatot Subroto Kav. 52-53, Lt. 20, Jakarta, Indonesia
b Balai Besar Industri Agro
Jl. Ir. H. Juanda No. 11, Bogor, Indonesia
[email protected]
ABSTRAK
Perubahan iklim merupakan perubahan yang terjadi pada unsur iklim yakni
perubahan pada temperatur dan distribusi curah hujan. Anomali seperti kejadian cuaca
ekstrim dan curah hujan yang sangat tinggi dalam waktu singkat menyebabkan banjir dan
tanah longsor. Sektor pertanian termasuk sektor yang rentan terhadap perubahan iklim
dan termasuk sebagai salah satu sumber emisi gas rumah kaca. Oleh karenanya, selain
melakukan adaptasi, sektor ini mampu memitigasi perubahan iklim. Perluasan area
pertanian dengan memanfaatkan lahan eks-penambangan merupakan salah satu peluang
dalam mendukung keberlanjutan pembangunan di sektor pertanian. Makalah ini
membahas prospektif pemanfaatan lahan eks penambangan untuk perluasan areal
pertanian serta adaptasi dan mitigasi sektor pertanian terhadap perubahan iklim melalui
reklamasi lahan.
Kata Kunci : reklamasi lahan eks tambang, emisi gas rumah kaca, adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim, perluasan areal pertanian
ABSTRACT
Climate change is a change in the distribution of temperature and rainfall.
Anomalies such as extreme weather events and very high rainfall in a short period of time
cause floods and landslides. The agricultural sector is a sector that is vulnerable to
climate change and is a source of greenhouse gas emissions. Therefore, the agricultural
sector has the opportunity to mitigate climate change, beside from trying to adapt.
Utilization of ex-mining land for expansion of agricultural areas is one of the opportunities
to support sustainable development in the agricultural sector. This paper discusses the
prospective use of ex-mining land for the expansion of agricultural areas as well as
adaptation and mitigation of the agricultural sector to climate change through land
reclamation.
Keywords : reclamation of ex-mining land, greenhouse gas emissions, adaptation and
mitigation of climate change, expansion of agricultural areas
I. PENDAHULUAN
Perubahan iklim yang terjadi saat ini berkaitan erat dengan terjadinya peningkatan
pada emisi gas rumah kaca, utamanya metana (CH4), karbon dioksida (CO2), dan
dinitrogen oksida (NO2). Emisi gas rumah kaca tersebut terbentuk dari kegiatan sehari-
hari yang dilakukan manusia seperti kegiatan transportasi, industri, pertanian, rumah
tangga, pembuangan limbah yang terus meningkat, dan ketergantungan manusia dengan
H a l | 227
Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 227 - 236
bahan bakar fosil. Adaptasi perubahan iklim harus dilakukan dengan penyesuaian tempat
untuk mengurangi pengaruh negatif terhadap iklim dunia saat ini.
Mitigasi perubahan iklim sangat berpengaruh pada perekonomian terutama pada
sektor tani. Saat ini, banyak sektor pertanian mengalami gagal panen dan tanaman rusak.
Salah satu penyebabnya adalah cuaca yang tidak menentu akibat perubahan fungsi
lahan menjadi lahan industri seperti industri tambang. Saat ini, pemerintah sedang
berusaha agar industri yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan ikut andil dalam
mitigasi yaitu dengan memberikan penghargaan Proper kepada perusahaan khususnya
sektor tambang. Industri dituntut untuk melakukan reklamasi lahan pasca tambang
sebagai kontribusi nyata dalam mitigasi industri. Selain melakukan reklamasi lahan
seperti penghijauan kembali, drainase lahan atau seluruh rangkaian kegiatan penataan
ulang tehadap lahan yang rusak atau terganggu akibat kegiatan usaha pertambangan,
dengan ini industri juga memanfaatkan program Corporate Social Responsibility (CSR)
dan Enviroment Responsibility untuk menerapkan Good Corporate Governance (GCC)
dengan prinsip fairness, transparency dan accountability.
Pemerintah berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 314 juta ton
CO2 pada tahun 2030 dengan penerbitan Perpres No. 61/2011 tentang Rencana Aksi
Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Selain itu, pemerintah Indonesia juga
menerbitkan Perpres No. 71/2011 untuk mengatur teknis dari penanganan dan
pengelolaan inventarisasi gas rumah kaca nasional.
II. MITIGASI
Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, hutan yang masih terjaga
dan iklim tropis. Namun sejak revolusi industri berjalan pada 1970-an, pemanasan global
terjadi. Hal ini disebabkan oleh ketidakseimbangan penggunaan sumber daya alam yang
beralih fungsi menjadi lahan industri. Industri tambang adalah industri yang berkembang
dan menggunakan sebagian alih fungsi hutan Indonesia menjadi lahan industri tersebut.
Industri tambang menjadi penyumbang Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang merupakan
faktor perubahan iklim di Indonesia.
Indonesia secara aktif menyuarakan mitigasi untuk menunjang industri 4.0. Menurut
UU No. 24 Tahun 2007, mitigasi adalah serangkaian usaha untuk meminimalisir dampak
dari bencana yang dilakukan dengan melakukan pembangunan fisik, memberikan
kesadaran, dan meningkatkan kemampuan untuk menghadapi ancaman dari bencana.
Ada 4 tahap penanggulangan bencana yaitu (www.artikelsiana.com):
Mitigasi sebagai tahap awal untuk meminimalisir atau mengurangi dampak
bencana.
Kesiapsiagaan terhadap cara merespon suatu kejadian bencana.
Respon adalah upaya meminimalisir bahaya setelah terjadinya bencana.
Pasca yaitu pemulihan kembali untuk mengembalikan masyarakat ke kondisi
semula.
III. PERUBAHAN IKLIM
Perubahan iklim merupakan perubahan yang terjadi pada unsur iklim yaitu
perubahan pada temperatur dan distribusi curah hujan. Kondisi perubahan ini sangat
berdampak terhadap keseluruhan aspek kehidupan manusia. Secara global, perubahan
iklim memperlihatkan ragam rata-rata kondisi iklim yang terjadi pada suatu wilayah pada
rentang waktu yang lama. Selain itu, perubahan iklim juga mengakibatkan curah hujan di
wilayah tropis mengalami peningkatan secara konsisten dalam rentang 0,2-0,3%. Efek
sebaliknya terjadi di banyak wilayah Asia dan Afrika. Beberapa wilayah tersebut
mengalami peningkatan intensitas kekeringan. Adapun periode hangat yang terjadi sejak
H a l | 228
Reklamasi lahan eks tambang untuk mitigasi perubahan iklim……… Mukhammad Sena Suratman, et al.
pertengahan tahun 1970-an terus mengalami peningkatan akibat ENSO atau El Nino
Southern Oscillation.
Perubahan iklim disebabkan oleh faktor alamiah dan manusia. Perubahan iklim
secara ilmiah terjadi akibat letusan gunung merapi dan perubahan energi matahari.
Perubahan iklim akibat ulah manusia antara lain disebabkan oleh polusi dari sektor
transportasi, gas metana, pengundulan hutan dan pupuk kimia. Pengundulan hutan terjadi
karena adanya alih fungsi lahan hutan menjadi industri terutama industri tambang.
Indonesia memiliki 47 perusahaan tambang yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)
yang terdiri dari perusahaan batu bara, minyak mentah, gas bumi, mineral dan logam
serta batu galian per September 2020 (www.sahamok.net). Seperti dikutip dari
www.merdeka.com, sebanyak 1,82 Juta lahan di Kalimantan Selatan dikuasai oleh
perusahaan tambang dan kelapa sawit sedangkan sisanya yaitu sebanyak 29%
merupakan lahan yang bebas dari industri. Hal ini menyebabkan terjadinya degradasi
hutan yang turut berdampak terhadap banjir di daerah Kalimantan selatan.
Perubahan iklim yang ekstrim tersebut dapat diatasi dengan beberapa tahapan
seperti terangkum dalam Perpres No. 71/2011 tentang tata cara penyelenggaraan
inventarisasi gas rumah kaca nasional. Salah satunya adalah dengan melaksanakan
reklamasi lahan khususnya terhadap lahan bekas pakai industri tambang. Reklamasi
merupakan kegiatan yang berupaya untuk mewujudkan perbaikan atau upaya
mengembalikan fungsi lahan yang mengalami gangguan atau kerusakan akibat
dilakukannya kegiatan pertambangan.
Menurut Permen PU No. 11 tahun 2011, mitigasi perubahan iklim merupakan upaya
penanganan dan pengelolaan untuk meminimalisir dampak dari perubahan iklim dengan
melaksanakan usaha penurunan emisi atau peningkatan dari penyerapan gas rumah
kaca dari keseluruhan sumber emisi. Mitigasi perubahan iklim dilaksanakan dengan
menggunakan pendekatan reklamasi lahan.
IV. REKLAMASI LAHAN
Secara umum istilah “Reklamasi Lahan” memiliki arti ganda mengacu pada dua
kegiatan yang berbeda. Istilah reklamasi lahan dapat diartikan sebagai kegiatan
merekayasa atau mengubah jalur air sebagai lahan basah menjadi lahan yang dapat
difungsikan untuk pembangunan. Istilah reklamasi lahan dapat diartikan sebagai suatu
upaya atau tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk mengembalikan kerusakan
lahan menjadi seperti pada keadaan awalnya. Dari kedua arti dari istilah reklamasi lahan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa reklamasi lahan sama-sama merujuk pada proses
mengelola dan mengubah lahan secara mendasar dengan tujuan yang bermanfaat.
Reklamasi merupakan suatu upaya tindakan yang dilakukan akibat adanya kegiatan
pertambangan dengan cara membenahi atau menata kegunaan lahan yang terganggu.
Reklamasi lahan pasca tambang telah di atur dalam UUD Nomor 78 Tahun 2010 yang
menyatakan bahwa pemegang IUP Lahan Tambang waijb melakukan reklamasi lahan
yang terganggu oleh aktifitas penambangan terbuka mapun bawah tanah. Reklamasi
dilakukan agar struktur dan fungsi tanah menjadi stabil dan lebih produktif. Reklamasi
lahan eks tambang diharapkan dapat menunjang perekonomian bidang pertanian dan
meningkatkan kualitas lingkungan apabila dibandingkan dengan keadaan setelah
pertambangan dilakukan.
Reklamasi lahan memiliki beberapa tahapan. Namun sebelum melakukan reklamasi,
bagian top soil dari tanah yang baru ditambang harus dipisahkan di tempat yang akan
dilakukan penghijauan pasca tambang. Hal ini dilakukan agar tumbuhan pionir yang
ditanam dapat tumbuh dengan cepat dan meminimalisir resiko gangguan. Reklamasi
lahan tambang tidak hanya dilakukan dengan melakukan penanaman kembali namun
juga melakukan pembuatan saluran air dan pengelolaan limbah tambang agar tidak
mencemari daerah sekitar.
H a l | 229
Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 227 - 236
Umumnya, terdapat 3 tahap untuk melaksanakan kegiatan reklamasi yaitu tahap
menyiapkan lahan, tahap penanaman, dan tahap pemeliharaan. Tahap menyiapkan lahan
terdiri dari mengolah tanah, membuat drainase, dan memperbaiki tanah. Tahap
penanaman pohon akan berjalan maksimal jika dilakukan di permulaan atau saat musim
hujan berlangsung. Tahap pemeliharaan akan menjadi lebih mudah pelaksanaannya jika
dilakukan pengawasan, evaluasi, dan disediakan papan informasi yang mudah dibaca
masyarakat di tempat pemeliharaan dilakukan. Tahapan reklamasi yang dilakukan sesuai
dengan prosedur yang tepat akan membuat pelaksanaan reklamasi berjalan efektif.
Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan dengan proses reklamasi lahan di
antaranya, yaitu:
1. Mekanisme TOT (Tanpa Olah Tanah), mekanisme ini merupakan teknik
penanaman yang dalam kegiatannya tidak membutuhkan penyiapan lahan,
kecuali saat peletakan benih yang dilakukan dengan membuat lubang kecil.
Dengan teknologi ini, kesuburuan tanah dapat diperbaiki atau diperbaharui dan
emisi gas CO2 juga berkurang. Selain itu, produktivitas juga akan meningkat
melalui pertambahan pendapatan petani secara berkelanjutan. Dengan
mekanisme TOT, kondisi anaerob dalam tanah mampu berkurang sebanyak
30%. Oleh karena itu, mekanisme TOT merupakan teknik yang tepat untuk
digunakan dalam bidang perkebunan dan pertanian.
2. Melakukan pencegahan terjadinya alih fungsi lahan, utamanya pada lahan
produktif. Selain itu perlu dilakukan tindakan pencegahan pembakaran hutan
dengan tujuan untuk membuka lahan pertanian baru.
3. Mengarahkan perluasan lahan dengan menggunakan lahan-lahan yang telah
dibuka, namun tidak digunakan/ produktif lagi.
4. Melaksanakan reklamasi pada lahan yang rusak akibat kegiatan pertambangan.
5. Melakukan pengembangan pada sistem agroforestry yang berguna untuk
mereduksi konsentrasi karbon dioksida.
Menurut Hairiah et al (2013), agoforestri adalah suatu sistem dalam penggunaan
lahan yang terdiri dari beberapa unsur yang antara lain: (1) pemanfataan lahan oleh
manusia, (2) penggunaan teknologi, (3) terdiri atas beberapa komponen, yaitu tanaman
tahunan, tanaman semusim, dan/ atau hewan ternak, (4) dilakukan dalam satu waktu atau
secara bergantian pada rentang waktu tertentu, dan (5) adanya interaksi antara sosial,
ekologi, dan ekonomi. Agroforesti dapat dilakukan dengan penanaman pohon-pohon kayu
yang ditempatkan pada sela-sela tanaman pertanian. Tanaman tahunan ini mampu untuk
menghambat energi kinetik dari air hujan dan mampu mempercepat terjadinya penutupan
permukaan tanah, sehingga dapat mencegah erosi. Agroforestri ini dapat membuat
cadangan air tersimpan dan aliran air permukaan menjadi terhambat. Penanaman dengan
agriforestri juga berperan dalam meningkatkan cadangan karbon yang terdapat di
biomassa tanaman. Bentuk agroforestri dengan melakukan penanaman pohon pada sela-
sela tanaman semusim ini berguna bagi keberlangsungan sumber daya air tanah dan
menjadi media untuk menyerap karbon (Lal, 2004).
Kesuburan tanah turut dipengaruhi oleh adanya akar pohon. Akar pohon mampu
membuat agregat tanah menjadi lebih baik. Agregat tanah yang baik akan mendukung
tanaman untuk dapat tumbuh lebih baik dan daya cengkram tanah pun akan meningkat.
Hal ini akan membuat tanah menjadi tahan terhadap air hujan, sehingga mencegah
terjadinya erosi tanah. Penerapan agroforestri pada lereng curam cocok untuk digunakan,
karena lebih mampu menghambat erosi jika dibandingkan dengan menerapkan tanaman
semusim saja.
Melalui penerapan agroforesti, teras alami dapat terbentuk. Pembentukan teras
alami ini terjadi setelah beberapa tahun penerapan agroforesti, lama terbentuknya
tergantung pada kondisi lahan. Flemingia congesta atau pohon pagar serengan jantan
H a l | 230
Reklamasi lahan eks tambang untuk mitigasi perubahan iklim……… Mukhammad Sena Suratman, et al.
dengan sistem alley cropping atau sistem penanaman lorong di tanah Ultisol, Jasinga
mampu menahan bahan material yang terbawa aliran permukaan. Dengan demikian teras
alami pun dapat terbentuk dalam waktu 4 tahun. Selain itu, juga mampu membentuk
bahan hijauan yang berguna sebagai mulsa penutup tanah di tahun ketiga (Sutono et al.
1998).
4.1 Reklamasi Lahan Bekas Tambang
Permasalahan yang ditimbulkan dari kegiatan pertambangan yakni
kerusakan pada lahan dan terjadinya perubahan pada bentang alam. Perubahan
pada bentang alam ini dapat bersifat sementara dan pemanan. Perubahan
bentang alam yang sementara, contohnya yakni adanya timbunan limbah tailing
dan sisa galian. Sementara perubahan yang permanan contohnya yakni terjadinya
perubahan pada tanah, adanya tanah kolong yang dalam, dan habisnya
keanekaragaman hayati. Pendekatan dan teknik berbeda diterapkan pada
penimbunan lahan yang telah dieksploitasi. Pengunaan pendekatan dan teknik
tergantung pada sifat gangguan dan pemanfataan lahan setelah reklamasi
nantinya. Namun secara umum, gambaran dari beberapa tahap reklamasi adalah
sebagai berikut:
4.1.1 Konservasi Top Soil
Tanah pucuk atau lapisan tanah yang terletak di bagian teratas merupakan
lapisan tanah yang harus dipertahankan agar dapat memenuhi kebutuhannya
dengan baik untuk digunakan sebagai media untuk tanaman melakukan proses
pertumbuhan. Dengan demikian, sejak dilakukannya proses penambangan, maka
sudah seharusnya proses reklamasi sudah dilaksanakan atau dimulai. Hal ini perlu
dilakukan, karena konservasi tanah pucuk perlu dilaksanakan sejak proses
penggalian dimulai. Namun hal ini sering dilewatkan oleh perusahaan
pertambangan, sehingga untuk mendapatkan tanah lapisan atas seperti semula
perlu melakukan pengangkutan dari luar yang biayanya tinggi. Hal inilah yang
menyebabkan permasalahan pada ketersediaan lapisan tanah pucuk. Adapun hal
yang perlu diperhatikan ialah:
a) Mencegah terjadinya pencampuran antara subsoil yang didalamnya
terkandung zat beracun, seperti subsoil yang mengandung pirit, bercampur
dengan tanah pucuk. Hal ini dapat dilakukan dengan mengidentifikasi sifat
dari setiap lapisan tanah, sebelum melangsungkan penggalian.
b) Melakukan penggalian tanah pucuk hanya sampai pada lapisan yang
memenuhi kiteria tumbuh tanaman.
c) Memindahkan galian tanah pucuk ke tempat yang aman atau terhindar dari
resiko longsor dan mengalami penimbunan oleh bahan galian lain.
d) Melakukan penanaman tumbuhan legum yang proses tumbuhnya
berlangsung cepat pada tanah pucuk. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga
kesuburan tanah dan mencegah terjadinya erosi.
Salah satu contoh perusahaan tambang yang menggunakan Top Soil
sebagai media penanaman kembali adalah PT Antam Unit Bisnis Pertambangan
Bauksit Kalimantan Barat. Secara umum proses penambangannya dimulai dari
eksplorasi, staking area, land clearing stripping top soil dan OB, ore getting,
hauling, washing plant, stock Pile, kemudian menuju smelter ataupun Jetty untuk
tujuan ekspor. Berikut contoh gambar Top Soil serta pengupasannya di area
tambang salah satu BUMN :
H a l | 231
Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 227 - 236
Tanah Yang Baik
Untuk Ditanam
Kembali.
Gambar 1. Contoh Top Soil untuk Reklamasi Lahan Tambang Bauksit PT ANTAM
UBP Bauksit Kal-Bar
Pengupasan Top Soil
Gambar 2. Proses Penambangan dan Pengambilan Serta Penghamparan Top Soil
untuk Penanaman Kembali
Gambar 3. Penumpukan Top Soil untuk Dihamparkan ke Areal Reklamasi
H a l | 232
Reklamasi lahan eks tambang untuk mitigasi perubahan iklim……… Mukhammad Sena Suratman, et al.
4.1.2 Penataan lahan
Dalam upaya perbaikan kondisi bentang alam, maka diperlukan upaya
penataan lahan, seperti :
a) Melakukan penutupan lubang kolong atau galian dengan memanfaatkan
limbah tailing. Adanya lubang galian yang sangat dalam dapat menjadi
penampung air apabila dibiarkan terbuka,
b) Melakukan pengendalian kelebihan air dengan upaya pembuatan saluran
atau aliran drainase,
c) Melakukan perataan permukaan tanah agar dapat memulihkan vegetasi dan
terkendalinya erosi. Dalam hal ini, penataan lahan dapat dilakukan
bersamaan dengan upaya konservasi apabila kondisi tanah sangat
bergelombang, contohnya dengan melakukan penterasan.
d) Melakukan sistem penataan tanah pucuk. Penggunaan tanah pucuk ini dinilai
lebih efisien. Tanah pucuk biasanya dilakukan di daerah jalur tanaman,
karena jumlahnya yang terbatas. Selain itu, tanah pucuk juga dapat
dimanfaatkan di lubang tanam.
4.1.3 Mengelola sedimen dan mengendalikan erosi
Pembangunan penangkap sedimen merupakan cara yang dapat digunakan
dalam upaya mengelola sedimen, misalnya dengan rorak dan dapat membuat
penangkap yang lebih besar di daerah dekar otlet. Sedangkan untuk mencegah
dan mengendalikan erosi dapat dilakukan dengan cara vegetatif. Hal ini dapat
dilakukan khususnya pada daerah bekas tambang. Menurut Tala’ohu et al. (1998),
pencegahan dan pengendalian erosi pada daerah berkas tambang dapat
memanfaatkan strip vetiver. Penggunaan Vetiver ini dinilai efektif dalam
mengendalikan erosi karena dapat berperan sebagai tanaman pioner dan dapat
tumbuh dengan baik meskipun pada kondisi tanah yang buruk.
4.1.4 Penanaman cover crop
Dalam upaya pengendalian erosi dan pengembalian kualitas tanah, dapat
dilakukan dengan penanaman tanaman penutup atau dikenal dengan cover crop.
Tingkat keberhasilan pemulihan kegiatan pasca tambang ditentukan dari berhasil
atau tidaknya pemasangan penutup tanah. Terdapat beberapa karakteristik yang
perlu dimiliki oleh tanaman penutup, yaitu mudah melakukan dekomposisi dengan
dihasilkannya jumlah biomassa yang banyak, rapat, mudah untuk ditanam,
memiliki kemampuan tumbuh yang cepat, tidak melilit dan bersaing dengan
tanaman pokok, serta dapat mengalami simbiosis dengan jamur dan bakteri yang
menguntungkan misalnya mikoriza, frankia, rhizobium, dan azospirilium.
4.1.5 menanam tanaman pionir
Menurut Ambodo (2008) penanaman tanaman pionir sebaiknya
menggunakan lebih dari satu jenis tanaman. Upaya ini memiliki banyak fungsi
penting misalnya dapat menarik binatang penyebar benih seperti burung. Selain
itu, fungsi penting lainnya adalah dapat berfungsi untuk pencegahan dan
penguatan daya tahan terhadap penyakit dan serangan hama. Penanaman sistem
pot dapat dilakukan kepada tanaman pioner, yaitu dengan menggunakan lubang
yang diisi dengan pupuk organik dan tanah pucuk dengan dimensi lebar x panjang
x dalam yaitu sekitar 60 x 60 x 60 cm.
Adapun beberapa jenis tanaman pionir yaitu, Eucalyptus pellita, Casuarina
sp (kayu angin), Enterrolobium cylocarpum (sengon buto), Casia siamea (Johar),
dan Paraserianthes falcataria (Albizia). Kelima tanaman ini mampu memiliki
kerapatan tajuk sebesar 50% sampai 60% hanya dalam jangka waktu dua tahun.
H a l | 233
Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 227 - 236
Dengan adanya hal ini, dapat berpengaruh terhadap restorasi jenis lokas yang
biasanya memiliki sifat semitoleran sehingga terciptanya lahan yang kondusif.
4.1.6 Penanggulangan logam berat
Tindakan khusus diperlukan terhadap daerah yang memiliki kandungan
logam berat dengan kadar di atas ambang batas untuk mengurangi kadar logam
beratnya. Menurut Notohadiprawiro (2006) untuk mengurangi kandungan logam
berat dapat dilakukan upaya vegetasi penutup tanah yaitu dengan memanfaatkan
sisa hasil buangan tambang sebagai timbunan dan membangun bahan organik
yang terkandung sehingga terserap kedalam jaringan.
Penaman terhadap komoditas konsumsi sebaiknya tidak dilakukan di daerah
yang sedang di restorasi terutama pada area yang terdapat kandungan logam
berat yang tinggi. Pemilihan tanaman perlu dilakukan terhadap tanaman yang
memiliki toleransi terhadap kandungan logam berat seperti halnya yang terdapat di
Amerika Serikat, yaitu tanaman Salix spp dan Betula spp. Kedua tanaman ini
memiliki tingkat toleransi yang tinggi terhadap kandungan logam berat. Hal ini
terbukti dengan ditemukannya kedua jenis tanaman tersebut di area bekas
tambang yang memiliki kandungan Zn hingga 100.000 mg/kg dan Pb hingga
30.000 mg/kg. Kemampuan ini dikembangkan dengan mikoriza oleh Asosiasi
Pohon (Notohadiprawiro, 2006). Pada wilayah tropis seperti halnya Indonesia
diperlukan identifikasi lebih lanjut mengenai jenis tanaman lain dengan tingkat
toleransi yang tinggi terhadap kandungan logam berat.
V. Peluang dan Tantangan Pemanfaatan Reklamasi Lahan Untuk Pertanian
Budidaya pertanian dapat dilakukan pada daerah bekas tambang apabila kondisi
tanahnya telah baik dan memungkinkan untuk pertanian ataupun tindakan produktif
lainnya. Dalam upaya rehabilitasi lahan, kualitas tanah merupakan kendala utama yaitu
kondisi pH tanah,kandungan toksisitas unsur tertentu, kandungan dan kemampuan
penyerapan tanah terhadap bahan organik dan unsur hara yang rendah, serta sifat fisik
tanah yang tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan.
Pemanfaatan bekas tambang akan bermuara pada keberlanjutan ekonomi dan
masyarakat di kawasan tersebut seperti berupa penghijauan multikultural perkebunan
dengan kehutanan, tanpa mengabaikan fungsi lingkungan. Upaya ini pernah dilakukan
oleh PT Inco (Ambodo 2008) dengan pembuatan plot contoh polikultur pada tanaman
hutan lokal yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi seperti coklat. Percobaan ini dilakukan
dengan memanfaatkan cover crop seluas 1 ha untuk memberi makan 10 ekor sapi
pedaging jenis Brahman dan di sela-sela tanaman coklat ditanami pula tanaman kayu.
Hasil jangka pendeknya adalah daging sapi siap potong dan kotoran sapi yang dapat
dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman coklat. Dalam kurun waktu 3-4 tahun tanaman
coklat siap panen, dan dalam jangka waktu tersebut, tanaman kayu telah memiliki nilai
ekonomi sehingga dapat dipanen.
Lahan bekas tambang dapat diolah dan dimanfaatkan sebagai perkebunan. Selain
itu lahan bekas tambang dapat digunakan sebagai budidaya seperti padi sawah. Namun
dalam upaya ini, tentunya memiliki tantangan tersendiri, misalnya pada pengelolaan air
pada lahan sawah dengan diperlukannya lapisan tapak bajak.
Dibalik peluang yang besar dan bagus, jelas ada tantangan yang harus dihadapi.
Hal ini menyangkut perlunya koordinasi dan dukungan antar kementerian, sektor,
organisasi, dunia usaha dan lembaga pendidikan dalam rencana pelaksanaan program.
Pembuatan masterplan partisipatif dan komprehensif untuk memastikan bahwa
penggunaan lahan yang sebelumnya digunakan merupakan agenda strategis dalam
rangka pembangunan berkelanjutan, terutama di bidang pembangunan berkelanjutan,
ekonomi dan lingkungan. Tantangan yang muncul berkaitan dengan skala ekonomi dalam
pengelolaan program PPM dan kebutuhan akan dukungan politik dan hukum yang
H a l | 234
Reklamasi lahan eks tambang untuk mitigasi perubahan iklim……… Mukhammad Sena Suratman, et al.
memadai dan konsisten. Tantangan baru meliputi skala ekonomi dalam mengelola
program PPM, serta dukungan regulasi dan kebijakan yang perlu terintegrasi.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Perubahan iklim yang disebabkan oleh pencemaran udara lewat emisi gas rumah
kaca dapat diminimalisir melalui upaya reklamasi lahan. Reklamasi lahan ex-
penambangan merupakan salah satu solusi yang menawarkan potensi peluang dalam
mendukung keberlanjutan pembangunan di sektor pertanian. Proses mitigasi perubahan
iklim melalui upaya reklamasi lahan telah membuahkan hasil seperti pada percobaan
pemanfaatan reklamasi lahan dalam pertanian, dengan memanfaatkan cover crop seluas
1 ha untuk memberi makan 10 ekor sapi pedaging jenis Brahman dan penamanan
tanaman kayu pada sela-sela tanaman coklat oleh PT. Inco. Pemanfaatan lahan bekas
tambang melalui reklamasi lahan dilakukan sebagai upaya untuk memperluas area
pertanian serta upaya mitigasi dan adaptasi pada bidang pertanian terhadap perubahan
iklim selanjutnya diharapkan dapat berkembang di Indonesia sebagai bentuk upaya
perbaikan lingkungan dan pemanfaatan potensi peluang dalam mendukung keberlanjutan
pembangunan di sektor pertanian di Indonesia.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya pertama-tama kami ucapkan kepada
Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri, Bapak Doddy Rahadi, yang
telah memberikan dukungan terhadap kegiatan Seminar Industri Hijau tahun 2021 serta
memberikan kesempatan kepada kami CPNS Kementrian Perindustrian di bawah
naungan Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri, sehingga kami para CPNS
mendapatkan pembelajaran dan ilmu yang lebih banyak mengenai mitigasi perubahan
iklim di sektor industri. Ucapan terima kasih juga kami ucapkan kepada Kepala Seksi
Kalibrasi Balai Besar Industri Agro, Dr. Yus Maria Novelina Sitorus yang membantu kami
dalam penyusunan review ini. Kami ucapkan terima kasih kepada beliau yang dengan
senang hati memberikan saran dalam penyusunan review ini. Tak lupa terima kasih
sebesar-besarnya juga kami ucapkan kepada segenap jajaran panitia Seminar Industri
Hijau dari tim Balai Riset dan Standardisasi Industri Banjar Baru, terima kasih kepada
Bapak Budi Setiawan, Ibu Evy dan Ibu Ratri beserta segenap tim panitia.
DAFTAR PUSTAKA
Ambodo, A.P. 2008. Rehabilitasi lahan pasca tambang sebagai inti dari rencana
penutupan tambang. Makalah disampaikan dalam Seminar dan Workshop
Reklamasi dan Pengelolaan Kawasan Tambang Pasca Penutupan Tambang. Pusat
Studi Reklamasi Tambang. LPPMIPB. Bogor, 22 Mei 2008.
Cline, W.R. 2007. Global Warming and Agriculture. Center for Global Development,
Peterson Institute for International Economics, Washington, DC. p. 186.
D. Hermon. 2018. “Mitigasi Perubahan Iklim” Rajawali Pers
Hairiah K, Sardjono MA, dan Sabarnurdin S. 2003. Pengantar Agroforestri. Bahan Ajaran
1. ICRAF.
Isa, I.T. 2006. Strategi pengendalian alih fungsi tanah pertanian. Hlm. 17 Dalam Prosiding
Seminar Multifungsi dan Revitalisasi Pertanian. Balai Penelitian Tanah, Bogor.
Lal R. 2004. Soil carbon sequestrationimpacts on global climate change and food security.
Science 304: 1623-1627.
Mulyanto, B. 2008. Hubungan fungsi tanah dan kelembagaan pengelolaan kawasan
pasca tambang. Makalah disampaikan dalam Seminar dan Workshop Reklamasi
dan Pengelolaan Kawasan Tambang Pasca Penutupan Tambang. Pusat Studi
Reklamasi Tambang. LPPM-Institut Pertanian Bogor. Bogor, 22 Mei 2008.
H a l | 235
Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 227 - 236
Notohadiprawiro, T. 2006. Pengelolaan Lahan dan Lingkungan Pasca Penambangan,
Departemen Ilmu Tanah, Universitas Gajah Mada.
Sutono, Suhartono, dan Kurnia U. 1998. Tanaman pagar serengan jantan (Flemingia
congesta Roxb) dan pengaruhnya terhadap sifat fisika tanah ultisol Jasinga. Hal.
129-140 dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian
Tanah dan Agroklimat Bidang Fisika dan Konservasi Tanah dan Air serta Agroklimat
dan Hidrologi. Bogor, 10-12 Februari 1998. Pusat Penelitian Tanah. Bogor.
https://docplayer.info/63395974-Bab-i-pendahuluan-1-1-latar-belakang.html
Tala’ohu, S.H., S. Moersidi, Sukristiyonubowo, dan S. Gunawan. 1995. Sifat fisikokimia
tanah timbunan batubara (PT BA) di Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Hlm 39-48.
Dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah
dan Agroklimat. Buku IV. Bidang Konservasi Tanah dan Air serta Agroklimat.
Puslitbangtanak. Cisarua, 26-28 September 1995.
https://www.esdm.go.id/en/media-center/news-archives/melihat-lebih-dekat-kegiatan-
penambangan-pt-antam-ubp-bauksit-tayan
Abdillah, Andi Masoeng. 1992. Pengelolaan Lumpur Hasil Sedimentasi pada Kolam
Pengendapan
(Sediment Pond) sebagai backfilling pada Areal Reklamasi, Kalimantan Barat, Hlm 1, PT
ANTAM UBP Bauksit Kalbar, Tayan, 2019.
Kusmanto, Ahmad Fauzi2, Gembong S Wibowo3, Bayu Aji, Pengelolaan Air Dalam
Menunjang Kegiatan Pencucian Pada Proses Penambangan Bauksit, Hlm 470-473,
Tayan, 2019.
H a l | 236
Strategi menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada industri.…. Fahrizal Cahya Rumiksa, et al.
Strategi menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada industri pupuk.
Strategy for reducing greenhouse gas emissions in the fertilizer industry.
Fahrizal Cahya Rumiksaa*, Muhammad Fauzana, Ika Rustikaa, Aulia Rosalinda
Baladika Jayantib
a Balai Besar Bahan dan Barang Teknik
Jl. Sangkuriang, Bandung, Indonesia
b Sekretariat Badan Standarisasi dan Kebijakan Jasa Industri
Jl. Jendereal Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Indonesia
*E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Pemanasan global saat ini merupakan isu lingkungan yang menjadi permasalahan
dunia. Global warming terjadi karena meningkatnya Gas Rumah Kaca (GRK). Industri
pupuk menyumbang emisi GRK yang cukup tinggi dari segi pemakaian energi karena
menggunakan batubara sebagai bahan baku energi dan industri pupuk memproduksi
amonia. Emisi GRK dari industri pupuk antara lain karbon dioksida (CO2) yang dapat
merusak ozon, dan gas metana (CH4) yang menyebabkan hujan asam. Kedua gas
tersebut dihasilkan dari aktivitas penggunaan energi, proses industri, dan limbah. Dampak
perubahan iklim sangat berpengaruh pada aspek perubahan alam seperti kuantitas dan
kualitas air, hutan, kesehatan, habitat, lahan pertanian juga ekosistem wilayah pesisir.
Tujuan dari strategi jangka panjang Indonesia adalah untuk mencapai target menuju “net
zero emission” pada tahun 2050. Tujuan penelitian ini memberikan edukasi mengenai
mitigasi atau strategi yang telah dilakukan oleh industri pupuk di Indonesia dalam
berkontribusi menurunkan emisi GRK untuk perubahan iklim, dapat dijadikan referensi
untuk penelitian selanjutnya, dan mendukung misi BSKJI dalam peningkatan kompetensi
SDM dan reformasi birokrasi dalam rangka mendukung program/kegiatan. Penelitian ini
menggunakan metode dengan mengkaji secara kritis gagasan, pengetahuan dan temuan
yang ada di dalam literatur yang berorientasi akademik, dan dirumuskannya kontribusi
teoritis dan metodologis. Strategi untuk mengurangi jumlah emisi GRK akibat aktivitas
industri pupuk dapat dilakukan dengan mengganti bahan bakar, memodifikasi proses
produksi, dan membangun ruang terbuka hijau di kawasan industri. Strategi yang
dilakukan berdampak positif dan dibuktikan dengan penghargaan Emisi Korporasi 2021
kepada PT Pupuk Indonesia.
Kata kunci: gas rumah kaca, strategi, menurunkan, industri pupuk
ABSTRACT
Global warming is currently an environmental issue that is a world problem. Global
warming occurs due to the increase in Greenhouse Gases (GHG). The fertilizer industry
contributes quite high GHG emissions in terms of energy use because it uses coal as
energy raw material and the fertilizer industry produces ammonia. GHG emissions from
the fertilizer industry include carbon dioxide (CO2) which can damage ozone, and
methane gas (CH4) which causes acid rain. The impact of climate change is very
influential on aspects of natural change such as water quality and quantity, habitat,
forests, health, agricultural land as well as coastal ecosystems. The goal of Indonesia's
long-term strategy is to achieve the target of achieving "net zero emissions" by 2050. The
purpose of this study is to provide education about mitigation or strategies that have been
carried out by the fertilizer industry in Indonesia in contributing to reducing GHG
emissions for climate change, can be used as a reference for further research, and
support BSKJI's mission in increasing human resource competence and bureaucratic
reform in order to support programs/activities. The method used in this research is to
H a l | 237
Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 237 - 250
examine or critically review the knowledge, ideas, or findings contained in the body of
academic-oriented literature, and to formulate theoretical and methodological
contributions to certain topics. Strategies to reduce the amount of GHG emissions due to
fertilizer industry activities can be carried out by changing fuels, modifying production
processes, and building green open spaces in industrial areas. The strategy carried out
has a positive impact.
Keyword: greenhouse gases, strategy, reduce, fertilizer industry
I. PENDAHULUAN
Bumi adalah satu-satunya planet layak huni yang dapat menopang kehidupan. Hal
tersebut disebabkan bumi mengandung banyak air dan asam amino sebagai cikal bakal
kehidupan, kadar oksigen yang mencukupi untuk bernafas, karbon dioksida untuk
fotosintesis tumbuhan sebagai produsen makanan, dan lapisan atmosfer yang tebal
sehingga dapat melindungi makhluk hidup dari benda asing luar angkasa. Bumi yang
begitu indah saat ini sedang dikhawatirkan oleh dunia disebabkan terjadinya pemanasan
global.
Pemanasan global saat ini merupakan isu lingkungan yang menjadi permasalahan
dunia. Peneliti dari Meet Office, Leon Hermanson mengatakan bahwa “proyeksi
perbandingan temperatur periode 1980-1900 menunjukan peningkatan dan mendekati
kenaikan 1,5oC” (Shukman, 2021).
Gambar 1. Grafik rata - rata perubahan suhu global masa pra-Industrial (Sumber:
www.bbc.com/indonesia)
Berdasarkan laporan yang dipublikasikan World Meteoroligical Organization
(WMO), penelitian memperkirakan pada tahun 2025 mendatang kemungkinan 40%
temperatur bumi meningkat 1,5oC lebih panas dalam setahun dibandingkan masa pre-
industrial (Shukman, 2021). Pemanasan global disebabkan oleh GRK yang meningkat,
bersumber dari kegiatan manusia dan mengakibatkan perubahan iklim. GRK berfungsi
untuk menjaga kestabilan suhu bumi, namun saat ini konsentrasi GRK mengalami
peningkatan sehingga lapisan atmosfer menebal dan panas bumi terperangkap.
Perubahan iklim disebabkan oleh aktivitas manusia baik secara langsung maupun tidak
yang mengakibatkan perubahan konsentrasi atmosfer global (GRK- Karbon Dioksida,
Metana, Nitrogen, dsb) (Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim-kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan).
H a l | 238
Strategi menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada industri.…. Fahrizal Cahya Rumiksa, et al.
Tahun 1992, dunia mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi untuk
membahas perubahan iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change,
UNFCCC). Tujuan konvensi tersebut yaitu menentukan upaya yang dapat dilakukan dunia
untuk menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfer. Tahun 2015 konferensi UNFCC ke-21,
Presiden Joko Widodo berkomitmen bahwa Indonesia sebagai negara Non Annex ikut
berkontribusi untuk mengurangi GRK dengan presentase 29% atas usaha negara
Indonesia dan 41% atas bantuan Internasional (Patrianti, Shabana, & Tuti, 2020). Target
NDC Indonesia dalam upaya mengurangi GRK yaitu terfokus pada sektor proses industri
dan penggunaan produk, kehutanan, pertanian, energi dan limbah.
Sumber emisi GRK Indonesia salah satunya bersumber dari sektor industri.
Terdapat 3 sumber penyumbang GRK pada sektor industri, yaitu 40%penggunaan energi,
60% teknologi proses dan limbah industri. Target NDC tahun 2030 dapat menurunkan
emisi GRK pada sektor industri sebesar (0,10%). Terdapat 8 sub sektor industri
penyumbang terbesar emisi GRK, salah satunya adalah Industri Pupuk.
Sektor industri pupuk menyumbang emisi GRK yang cukup tinggi dari segi
pemakaian energi karena menggunakan bahan baku energi batubara dan beberapa
industri pupuk memproduksi amonia. Emisi GRK dari sektor industri pupuk antara lain
karbon dioksida (CO2) yang dapat merusak ozon, dan gas metana (CH4) yang
menyebabkan hujan asam. Kedua gas tersebut dihasilkan dari kegiatan penggunaan
energi, proses industri, dan limbah.
Emisi GRK industri pupuk diperkirakan akan meningkat seiring dengan kebutuhan
dalam sektor pertanian disebabkan negara Indonesia merupakan negara agraris. Upaya
yang dapat dilakukan untuk penurunan emisi GRK secara tepat dan efisien yaitu efisiensi
energi atau mencari energi alternatif seperti penggunaan solar cell, pengembangan
teknologi dan pemanfaatan hasil limbah menjadi berguna seperti “Pure Gas Recovery”.
Oleh karena itu, tujuan dari pembuatan karya ilmiah ini yaitu memberikan edukasi
mengenai mitigasi atau strategi yang telah dilakukan oleh sektor industri pupuk di
Indonesia dalam berkontribusi mengurangi emisi GRK yang berdampak pada perubahan
iklim, serta dapat bermanfaat sebagai bahan acuan penelitian berikutnya untuk pihak
industri atau pihak lainnya. Selain itu, karya ilmiah ini dibuat untuk mendukung misi BSKJI
dalam meningkatkan kompetensi SDM dan reformasi birokrasi dalam rangka mendukung
program/kegiatan.
II. EMISI GRK DAN PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA
Fenomena perubahan iklim dapat diartikan sebagai adanya perubahan unsur iklim
secara alami yaitu hujan, suhu, angin, tekanan, kelembapan dalam waktu yang cukup
panjang, (Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim-kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, 2017b). IPCC atau kepanjangan dari Intergovermental Panel on
Climate Change merupakan panel ilmiah yang dapat menjadi wadah komunikasi
internasional yang bertujuan untuk mengevaluasi resiko perubahan iklim akibat adanya
aktivitas manusia (Sibarani, 2017). Di dalam pertemuan IPCC yang membahas
perkembangan isu-isu perubahan iklim menyatakan sumber penyebabnya adalah
peningkatan suhu bumi (permukaan) atau sering dikenal sebagai global warming. Hal
tersebut terjadi karena adanya peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer
bumi. Secara alami sebenarnya gas rumah kaca dihasilkan dari sumber penguapan juga
erupsi gunung vulkanik aktif, jika dengan jumlah konsentrasi yang normal gas rumah kaca
dibutuhkan untuk menghangatkan bumi. Namun berdasarkan data dari IPCC pada tahun
2007 menyatakan bahwa meningkatnya suhu permukaan bumi lebih banyak disebabkan
karena aktivitas manusia yang berbentuk gas rumah kaca. Dari kegiatan yang
menghasilkan gas rumah kaca akan menyebabkan mematulnya radiasi matahari yang
kemudian kembali ke bumi sehingga membuat meningkatnya suhu permukaan bumi
(Purnamasari, Sudarno, & Hadiyanto, 2020).
H a l | 239
Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 237 - 250
Gambar 2. Efek Gas Rumah Kaca
(Sumber: www.kompas.com)
Perubahan iklim memiliki dampak yang berpengaruh pada lingkungan dan
kehidupan manusia. Dengan naiknya suhu permukaan bumi akan merubah sistem iklim
yang mempunyai pengaruh pada aspek perubahan alam seperti habitat, hutan, kualitas
dan kuantitas air, kesehatan, lahan pertanian juga ekosistem wilayah pesisir laut
(Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim-kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, 2017a).
Tabel 1. Dampak Perubahan Iklim
Aspek Fenomena Dampak Perubahan Iklim
No Kehidupan Perubahan Iklim
Manusia
1 Air Cuaca Ekstrim Kualitas Air menurun
Kuantitas Air berkurang
Kekeringan
2 Habitat Cuaca Ekstrim Berubahnya Habitat
Spesies punah
3 Hutan Cuaca Ekstrim Menurunnya Kualitas dan Kuantitas Hutan
Deforestasi membuat gas rumah kaca
4 Kesehatan Perubahan Curah meningkat
Hujan Wabah Penyakit meningkat
Katarak, Menurunnya Daya Tahan Tubuh
dan Kasus Kanker Kulit
5 Pertanian Perubahan Curah Berkurangnya Area Pertanian
Hujan Menurunnya Produktivitas Pertanian
6 Pesisir Kenaikan Permukaan Tenggelamnya Sebagian Daerah Pesisir
Air Laut Laut
Pulau-pulau Kecil mejadi Tenggelam
Genangan Air di Wilayah Pesisir
Intrusi Air Laut
Sumber: (Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim-kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan, 2017a)
Indonesia berkomitmen untuk berperan aktif dalam pengendalian perubahan iklim
global (Prihatno et al., 2020). Hal itu tercermin dengan partisipasi Indonesia pada
Perjanjian Paris, agar dapat diterapkan di Indonesia maka selanjutnya diratifikasi menjadi
paraturan yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Persetujuan Paris atas
H a l | 240
Strategi menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada industri.…. Fahrizal Cahya Rumiksa, et al.
Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai perubahan iklim
(Institute for Essential Service Reform, n.d.).
Indonesia menyusun dokumen Nationally Determine Contributions (NDC) pertama
tentang aksi perubahan iklim yang ditargetkan akan tercapai di tahun 2030 (Saat & Kaca,
2020). Pada NDC Indonesia disampaikan dua target, pertama target unconditional yaitu
dengan pembiayaan APBN Indonesia pengurangan emisi GRK sebesar 29%, kedua
target conditional yaitu dengan bantuan internasional pengurangan emisi gas rumah kaca
sebesar 41%.
Tabel 2. Target Indonesia pada dokumen NDC
GHG GHG Emission Level GHG Emission Reduction Annual
Emission 2030 Average
No Sector Juta Ton % of Total Growth Average
Level (Juta Ton CO2e) CO2e BAU Growth
2010 BAU 2000-2012
(2010-
Juta Ton BAU CM1 CM2 CM1 CM2 CM1 CM2 2030) 4,5%
CO2e 6,7% 4,0%
0,1%
1 Energy 453,2 1669 1355 1271 314 398 11 14 6,3% 1,3%
2,7%
2 Waste 88 296 285 270 11 26 0,38 1 3,4%
3 IPPU 36 69,6 66,85 66,35 2,75 3,25 0,1 0,11 0,4%
4 Agriculture 110,5 119,66 110,39 115,68 9 4 0,32 0,13 0,5%
5 Forestry 647 714 217 64 497 650 17,2 23
Sumber: (Saat & Kaca, 2020)
Indonesia melakukan evaluasi dan pembaruan pada dokumen NDC yang
membahas 4 pokok utama (Sibarani, 2017), yaitu :
1. Untuk menurunkan emisi GRK Indonesia akan mempertahankan target sebesar 29%
hingga 41% pada tahun 2030. Proses yang sudah dilakukan telah sejalan dengan
hasil elaborasi pada Road Map NDC Mitigasi.
2. Sesuai kondisi saat ini akan ada update informasi mengenai visi misi Kabinet
Indonesia Maju 2019.
3. Perlu penjelasan lebih rinci untuk informasi terkait elemen adaptasi dan sarana
implementasi dan kerangka transparansi, dan akan menjadi hal baru di dalam NDC.
4. Adanya komitmen baru pada NDC yang berkaitan dengan oceans dan wetland seperti
mangrove, coral atau blue carbon. Selain itu komitmen terkait pemukiman masyarakat
dalam elemen adaptasi.
Formulasi dan komunikasi mengenai strategi jangka panjang setiap negara
tercermin pada Perjanjian Paris artikel 4.19 yaitu pembangunan rendah emisi gas rumah
kaca. Untuk itu Indonesia juga telah membuat strategi jangka panjang atau Long Term
Strategies yang ditargetkan sampai dengan tahun 2070 yaitu arah kebijakan,
pembangunan yang rendah karbon dan berketahanan iklim (Krisnawati, Imanuddin,
Adinugroho, & Hutabarat, 2015). Pemenuhan target strategi jangka panjang Indonesia
akan disampaikan sebelum Conference of Parties (COP) 26 yang akan diselenggarakan
pada tahun 2021. Dalam strategi itu terdapat beberapa elemen, diantaranya: ada ambisi
untuk adaptasi dan mitigasi; ada arah untuk mitigasi; ada arah untuk adaptasi; adanya
kebijakan baik lintas sektoral dan perhitungan; adanya kemitraan internasional;
diterapkannya pendekatan; dan monitoring, review dan update.
Adapun tujuan Long Term Strategies dari Indonesia adalah untuk mencapai target
untuk menuju “net zero emission” pada tahun 2050. Dan untuk mencapai tujuan itu
diperlukan peran pemerintah pusat (Prihatno et al., 2020), diantaranya pemerintah dapat :
1. Menyelaraskan target dan tujuan mitigasi perubahan iklim dengan target pada
pembangunan nasional, sub-nasional dan internasional. Serta adanya tujuan
pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals (SDGs)).
2. Mengajak pihak non-party stakeholders, serta dikembangkannya inovasi, dan
perkuat komunitas dalam mitigasi iklim.
H a l | 241
Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 237 - 250
Kementerian Perindustrian sebagai bagian dari pemerintah pusat melakukan
langkah-langkah strategis untuk mendukung upaya mengurangi perubahan iklim. Salah
satunya adalah pengembangan sistem online yaitu Sistem Informasi Industri Nasional
atau disebut SIINas, adalah sistem pelaporan dan monitoring emisi gas rumah kaca di
sektor industri secara online dan terintegrasi (Kementerian Perindustrian, 2018). Langkah
strategis berikutnya adalah Kemenperin juga turut berperan aktif dalam Sistem Registrasi
Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI). Dan pada tanggal 16 Januari 2018
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan apresiasi kepada
Kemenperin karena telah ikut berpartisipasi dan berkontribusi dalam melakukan
pengendalian perubahan iklim dan mengisi aplikasi SRN-PPI. (Anggraeni, 2015).
III. SUMBER EMISI GRK PADA INDUSTRI PUPUK DI INDONESIA
Menigkatnya konsentrasi GRK pada atmosfer dan berdampak timbulnya
pemanasan global yang merugikan bagi manusia (Purwanta, 2019). Kandungan GRK
ialah CH4, CO2 dan N2O, pada atmosfer dari ketiga jenis gas ini yang paling banyak
adalah CO2 atau karbondioksida. Menurut data, kandungan ketiga gas tersebut pada
atmosfer sekitar 383 ppm atau sekitar 0.0383% dari volume atsmosfer. Sedangkan CH4
dan N2O 314 ppb (part per billion) dan 1745 ppb (part per billion) atau sekitar 0.0000314%
dan 0.000175% volume dari atmosfer (Kementerian Lingkungan Hidup, 2012). GRK
tersebut sebagian besarnya ditimbulkan oleh sumber emisi yang disebakan oleh kegiatan
manusia atau antropogenik (Wulandari, Hermawan, & Purwanto, 2013), salah satunya
adalah sumber emisi industri pupuk di Indonesia, di Indonesia ada PT Pupuk Indonesia
Holding Company (Persero), dimana PT. PIHC memiliki anak perusahaan yang tersebar
di Indonesia seperti PT. Petro Kimia Gresik, PT. Pupuk Sriwidjaya di Palembang, PT.
Pupuk Kalimantan Timur (Kaltim) dan PT. Pupuk Kujang di Jawa Barat.
Kegiatan industri pupuk berpotensi menimbulkan efek GRK akibat berbagai macam
kegiatan dan aktivitas di industri yang berpotensi menghasilkan emisi, beberapa sumber
emisi yang berpotensi menimbulkan emisi GRK pada aktivitas industri pupuk, diantaranya
adalah sumber emisi dan aktifitas dari sektor energi karna terjadi pembakaran pada
bahan bakar seperti batubara, gas alam dan minyak bumi. Dari sektor industri atau dari
proses produksi produk dan dari sumber emisi sektor limbah hasil produksi, baik berupa
limbah cair maupun padat.
3.1 Sumber Emisi dari Aktifitas Sektor Energi
Ada dua sumber pada aktifitas dari sektor energi, pertama sumber tetap atau tidak
bergerak disebut dengan sumbar stasioner dan yang kedua dari sumber bergerak seperti
transportasi darat. umber emisi tidak bergerak disebut sumber emisi stasioner, dalam hal
termasuk asap dari hasi proses produksi mesin pabrik, hasil pembakaran pembangkit
listrik yang memiliki prinsip kondensasi dan incedenator pada prosesnya, serta berbagai
jenis alat yang memiliki prinsip yang sama dalam proses pembakarannya. Emisi gas
rumah kaca pada sektor industri adalah emisi gas yang dihasilkan dari reaksi kimia atau
yang menimbulkan limbah atau zat sisa yang dapat dikategorikan GRK (Badan
Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri, 2012).
3.1.1 Sumber tidak bergerak (stasioner)
Industri pupuk banyak mengunakan batubara sebagai bahan bakar seperti untuk
bahan bakar pembangkit, karna industri pupuk membutuhkan energi yang sangat besar.
Selain itu, industri pupuk juga mengunakan batubara sebagai bahan bakar boiler, dari
hasil pembakaran bahan bakar batubara tersebut menilbulkan emisi CO2. Selain
mengunakan bahan bakar batubara, industri pupuk juga mengunakan bahan bakar
minyak bumi berjenis solar serta bahan bakar gas alam (Pratama, 2019). Pada batu bara,
dalam struktur kimianya terdapat hidrogen, oksigen, nitrogen, karbon serta sulfur. Pada
H a l | 242
Strategi menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada industri.…. Fahrizal Cahya Rumiksa, et al.
saat terjadinya proses dari pembakaran pada bahan bakar batu bara, terjadi penambahan
oksigen dan udara pada reaksi kimianya. Dari hasil pembakaran batu bara tersebut akan
menghasilkan gas karbondioksida ditambah energi panas, dan ini termasuk GRK.
Sebagai contoh, dibawah tabel batubara yang digunakan sebagai bahan bakar di PT.
Petrokimia Gresik (PKG), bisa dilihat dibawah:
Tabel 3. Penggunaan Batubara sebagai bahan bakar di PT. Petrokimia Gresik (PKG)
Jumlah Konsumsi (Ton) Tahun
1 215.228,47 2011
2 241.356,58 2012
3 266.857,59 2013
4 286.989,26 2014
5 193.383,57 2015
6 259.662,89 2016
Sumber: (Sarjono, 2017)
3.1.2 Sumber Non Stasioner (Bergerak)
Yang termasuk dalam sumber emisi bergerak adalah emisi dari transportasi di
kawasan PT.Petrokimia Gresik. Karena sebagian transportasi yang berada pada kawasan
pabrik PT. PKG (Petrokimia Gresik) adalah berjenis mesin diesel yang berbahan bakar
solar, seperti truk pengankut, bis, shuttle, kapal dll.
3.2 Sumber Emisi Dari Proses Industri
Ada beberapa industri pupuk yang meghasilkan bahan baku pupuk seperti amonia,
dimana amonia ini ialah bahan baku untuk berbagai jenis produk pupuk seperti pupuk
Urea, pupuk ZA, pupuk NPK. Dalam proses produksi amoniak ini, akan terjadi proses dari
sintesa gas sehingga dari proses sintesa tersebut menghasilkan gas karbondioksida
(Kementerian Lingkungan Hidup, 2013). Sebagai contoh, berikut disajikan data jumlah
produksi Amoniak pada PT. Petrokimia Gresik (PKG) bisa dilihat pada tabel dibawah.
Tabel 4. Jumlah produksi amonia di PT. Petrokimia Gresik (PKG)
Jumlah Konsumsi (Ton) Tahun
1 428085,90 2011
2 390308,00 2012
3 464757,00 2013
4 424000,00 2014
5 429015,00 2015
6 429192,00 2016
Sumber: (Sarjono, 2017)
3.3 Sumber Emisi Dari Limbah
Proses produksi pada industri pupuk menghasilkan berbagai limbah diantaranya
limbah cair, padat maupun gas. Misalnya, limbah cair yang dihasilkan dari air dari water
scrubber, blow down boiler free water, dan limbah hasil produksi. Lalu dari gas buang dari
proses produksi menghasilkan limbah gas dimana dihasilkan oleh proses scrubber, dryer,
dan absorber. Limbah padat bersumber dari pemeliharaan taman seperti bottom ash, fly
ash, serts sludge dari effluent treatment (Pudjiastuti, Santoso, & Astuti, 2013). Sumber
emisi yang ditimbulkan dari limbah industri pupuk sebagaian besar adalah metana, gas ini
dihasilkan dari pengolahan limbah pada kolam pengolahan. Gas CH4 berasal dari proses
metanogenesis pada hasil limbah proses produksi industri pupuk. Proses Metanogenesis
H a l | 243
Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 237 - 250
merupakan proses dimana bakteri metanogenik pada limbah akan mengkonversi asam
organik volatil menjadi gas metana dan karbondioksida.
3.3.1 Karbon dioksida (CO2)
Karbondioksida adalah hasil dari proses pembakaran senyawa organik dan oksigen,
dimana saat terjadi proses pembakaran dari karbon dari senyawa organik teremisikan
menjadi karbondioksida atau CO2 (IPCC, 2016). Pada Industri pupuk, gas karbondioksida
ini ditimbulkan oleh emisi hasil pembakaran batubara, minyak bumi seperti solar dan gas
alam serta hasil dari emisi proses produksi amonia.
3.3.2 Metana (CH4)
Metana adalah gas yang terbentuk dari dekomposisi anaerob limbah organik yang
juga merupakan penyumbang emisi GRK yang memiliki potensi pemanasan global 25 kali
lipat jika dibandingkan dengan karbondioksida atau CO2. Jumlah emisi yang dihasilkan
berbanding lurus dengan jumlah limbah ataupun sampah yang dimana secara teori setiap
kilogram sampah mampu memproduksi 0.5 m3 gas metana, penyumbangkan pemanasan
global sekitar 15% (Sudarman, 2015).
3.3.2 Metana (CH4)
Metana adalah gas yang terbentuk dari dekomposisi anaerob limbah organik yang
juga merupakan salah satu penyumbang emisi GRK yang memiliki potensi pemanasan
global 25 kali lipat jika dibandingkan dengan karbondioksida atau CO2. Jumlah emisi
yang dihasilkan berbanding lurus dengan jumlah limbah ataupun sampah yang secara
teori dijelaskan bahwa setiap kilogram sampah mampu memproduksi 0.5 m3 gas metana,
dengan menyumbangkan pemanasan global sekitar 15% (Sudarman, 2015).
IV. STRATEGI MENURUNKAN JUMLAH EMISI GRK AKIBAT AKTIVITAS INDUSTRI
PUPUK
Perubahan iklim akibat terus menaiknya emisi GRK harus segera ditanggapi
dengan cepat. Semua pihak dituntut untuk menentukan dan menerapkan strategi untuk
menurunkan emisi GRK sebagai bentuk respon kita akibat hal tersebut. Selain itu, strategi
dalam menurunkan GRK ini sebagai bentuk dukungan terhadap program pemerintah
dalam emisi GRK.
Industri pupuk menjadi penyumbang meningkatnya beban emisi GRK, sehingga
diperlukan strategi untuk menurunkan emisi GRK. Hal ini disebabkan, pada industri pupuk
menggunakan energi yang sangat besar dalam proses produksinya. Energi tersebut
berasal dari bahan bakar yang tidak dapat diperbaharui seperti batubara (Wahyudi, 2016).
Batubara pun banyak digunakan pada pembangkit listrik yang dimiliki industri pupuk
tersebut, di mana batubara digunakan sebagai bahan bakar boiler.
Dalam mengurangi emisi GRK pada industri pupuk, bukan hanya mengurangi emisi
pada proses produksinya tetapi juga mengurangi emisi pada proses non-produksinya.
Banyak rekomendasi untuk mengurangi emisi GRK pada industri pupuk.
4.1 Strategi Menurunkan Emisi GRK Pada Proses Produksi
Proses produksi pada industri pupuk sangat bergantung pada energi yang besar
sehingga berdampak pada emisi GRK yang tinggi. Karena hal tersebut, perlu adanya
strategi untuk menurunkan emisi GRK akibat proses produksi.
4.1.1 Penggantian bahan bakar
Penggantian bahan bakar sangat efektif dilakukan untuk menurunkan beban emisi
GRK. Perusahaan pupuk di Indonesia yang menerapkan ini adalah PT. Pupuk Kalimantan
Timur atau yang lebih dikenal dengan PT. Pupuk Kaltim. Perusahaan ini mengganti solar
dengan biodiesel sebagai bahan bakar untuk proses produksinya. Di mana, biodiesel
H a l | 244
Strategi menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada industri.…. Fahrizal Cahya Rumiksa, et al.
yang digunakan berupa minyak jelantah. Minyak jelantah tersebut didapat dari perumahan
karyawan, kantin karyawan, rumah makan sekitar perusahaan dan masyarakat sekitar
perusahaan. Penggunaan biodiesel di PT. Pupuk Kaltim sebanyak 360 l/tahun dan
menurunkan beban emisi GRK sebesar 0,74 ton CO2eq tahun 2018 (Pusat Industri Hijau,
2021).
Selain PT. Pupuk KalTim, ada juga PT. Pupuk Kujang yang berlokasi di Jawa Barat.
Dalam mendukung proses produksi, PT. Pupuk Kujang mengoperasikan pembangkit
listrik sendiri dengan bahan bakar yang digunakan adalah gas alam.
Gambar 3. Penurunan emisi PT. Pupuk Kujang
(Sumber: Sertifikasi Industri Hijau 2021)
Demi menekan beban emisi GRK, PT. Pupuk Kujang memasang solar cell dengan
rasio 11,31 % dari total energi fosil yang digunakan pada tahun 2019. Sehingga
mengurangi beban emisi GRK (Gambar 3) dan konsumsi gas alam untuk pembangkit
listrik (PT. Pupuk Indonesia, 2015).
4.1.2 Modifikasi proses produksi
Pihak Industri akan melakukan berbagai cara untuk menekan jumlah beban emisi
GRK. Memodifikasi proses produksi dinilai cukup efektif untuk menurunkan emisi GRK
tersebut. Seperti yang dilakukan oleh PT. Petrokimia Gresik yang memodifikasi dengan
membuat saluran penghubung dari Hydrogen Recovery Unit (HRU) atau Purge Gas
Recovery Unit (PGRU) ke package boiler (B-1102). Dari HRU/PGRU ini menghasilkan
purge gas amonia yang merupakan gas sisa produksi yang sifatnya mudah terbakar.
Karena sifatnya ini, purge gas dialirkan ke saluran gas masuk boiler melalui saluran
tambahan sebagai bahan bakar boiler. Selain dapat mengurangi konsumsi gas alam
untuk bahan bakar boiler, modifikasi ini (Gambar 4) dapat mengurangi emisi GRK dengan
rata-rata penurunan sebesar 8-16% dari tahun 2015-2019 (Pusat Industri Hijau, 2021).
Selain itu, CO2 yang dihasilkan dapat dijadikan dry ice yang digunakan bukan hanya
untuk komersil tetapi dibagikan juga kepada nelayan disekitar PT. Petrokimia Gresik.
Selain memanfaatkan gas sisa seperti purge gas, ada cara lain yang dapat
digunakan untuk mengurangi emisi GRK. Cara lain tersebut ialah Desulfurisasi.
Desulfurisasi ini digunakan untuk pembangkit listrik pada industri pupuk yang
menggunakan batubara sebagai bahan bakar pada boiler. Desulfurisasi ialah suatu
teknologi untuk menghilangkan Sulfur pada batubara yang dapat diaplikasikan sebelum,
saat atau setelah pembakaran (Sarjono, 2017). Teknologi ini sangat efisien karena dapat
menangkap SO2 mencapai 75%.
H a l | 245
Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 237 - 250
Gambar 4. Diagram interkoneksi purge gas amoniak ke B-1102
(Sumber: Sertifikasi Industri Hijau 2021)
Cara selanjutnya digunakan di PT. Pupuk Kujang yaitu dengan mengkoneksikan
jalur steam antara kujang 1A dengan kujang 2B pada tahun 2014. Cara ini berfungsi
untuk mempercepat proses start-up pabrik amoniak sekitar 2 jam. Cara ini mengurangi
venting CO2 selama proses start up sehingga dapat menurunkan emisi GRK sebesar
243,55 ton CO2e (PT. Pupuk Kujang, 2014).
4.2 Strategi menurunkan emisi GRK pada proses non-produksi
Proses non-produksi juga menyumbang tingginya beban emisi GRK. Emisi dari
kendaraan karyawan, kendaraan operasional kantor, bahkan emisi yang dihasilkan dari
pengolahan sampah sisa aktivitas karyawan juga menyumbang emisi GRK pada area
industri tersebut (Kustiasih, Setyawati, Anggraeni, Darwati, & Aryenti, 2014). Sehingga
perusahaan pada industri pupuk juga mengambil langkah untuk melakukan inovasi pada
proses non-produksi seperti membuat RTH. RTH atau Ruang Terbuka Hijau merupakan
lahan yang dikhususkan untuk ditanami tumbuhan atau pepohonan yang berfungsi
menyerap karbon akibat aktivitas masyarakat di perkotaan atau proses produksi.
Berdasarkan tipologi, RTH dibagi menjadi RTH alami dan RTH non alami (Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum, 2008).
H a l | 246
Strategi menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada industri.…. Fahrizal Cahya Rumiksa, et al.
Gambar 5. Tipologi Ruang Terbuka Hijau
(Sumber: Permen PU No. 5 Tahun 2008)
Sejak 2012, PT. Pupuk Kujang mengalokasikan lahan seluas 60 hektar di dalam
lingkungan Kawasan Industri Kujang Cikampek sebagai Kawasan hutan konservasi atau
RTH Alami. Pada hutan konservasi ini, ditumbuhi berbagai jenis flora dan fauna. Terdapat
sekitar 63 jenis flora dan 56 jenis fauna per Desember 2013. Di dalamnya, termasuk 19
jenis tanaman endemik di Jawa Barat dan satu spesies fauna yang dilindungi, yaitu
monyet ekor panjang. Karena dibuatnya hutan konservasi ini dan ditambah beberapa
program pengurangan emisi GRK, PT. Pupuk Kujang berhasil menurunkan sebesar
4,55% dari total emisi yang dihasilkan dari tahun 2010 s.d. 2014 (PT. Pupuk Kujang,
2014).
Gambar 6. Peta wilayah hutan konservasi PT. Pupuk Kujang
(Sumber: www. balaikliringkehati.menlhk.go.id)
Gambar 7. Hutan konservasi PT. Pupuk Kujang
(Sumber: www.republika.co.id)
V. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan yang sudah disampaikan pada Bab sebelumnya, maka
kesimpulan dari karya tulis ini terkait strategi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca
khususnya pada industri pupuk di Indonesia adalah pada proses produksi dengan
melakukan penggantian bahan bakar fosil ke bahan bakar yang lebih ramah lingkungan,
mengoperasikan pembangkit listrik dengan bahan bakar gas alam, modifikasi proses
produksi, dan memanfaatkan gas sisa buangan. Untuk proses non produksi adalah
dengan membangun ruang terbuka hijau pada Kawasan industri.
Dari strategi-strategi yang sudah diterapkan pada industri pupuk beberapa telah
berhasil untuk dalam penurunan emisi GRK. Inovasi tersebut sudah dilakukan oleh
beberapa perusahaan pupuk ternama di Indonesia sebagai bentuk tanggung jawab yang
dilakukan perusahaan terhadap lingkungan. Hal tersebut dibuktikan dengan diberikannya
penghargaan Emisi Korporasi 2021 kepada PT Pupuk Indonesia oleh BeritaSatu Media
H a l | 247
Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 237 - 250
Holding, Majalah Investorm dan PT Bumi Global Karbon. Penghargaan itu diberikan
sebagai apresiasi kepada perusahaan yang berkomitmen mengurangi emisi gas rumah
kaca untuk mencegah perubahan iklim. Sinergi antara pihak industri dan pemerintah
menjadi salah satu faktor dalam keberhasilan untuk mencapai target penurunan emisi di
Indonesia.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Y.M.E, atas berkat dan rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. Karya tulis ilmiah ini dibuat dalam rangka
berkontribusi dalam acara “Seminar Industri Hijau” dan ikut serta memberikan informasi
untuk berbagai pihak mengenai mitigasi perubahan iklim di sektor industri khususnya
sektor industri pupuk. Kami sadari bahwa dalam proses penulisan karya ilmiah ini
terdapat banyak kendala. Berkat doa, bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, karya
tulis ilmiah dapat terselesaikan dengan baik. Maka dari itu kami mengucapkan terima
kasih kepada pihak-pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan karya tulis ini.
Kami menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih memiliki kekurangan, maka
diharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dari semua pihak. Akhir kata, kami
mengucapkan terima kasih dan semoga karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat untuk
semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, D. Y. (2015). Pengungkapan Emisi Gas Rumah Kaca, Kinerja Lingkungan,
Dan Nilai Perusahaan. Jurnal Akuntansi Dan Keuangan Indonesia, 12(2), 188–209.
https://doi.org/10.21002/jaki.2015.11
Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri. (2012). Draft Petunjuk Teknis
Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di Sektor Industri.
Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim-kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. (2017a). Dampak & Fenomena Perubahan Iklim.
Ditjenppi.Menlhk.Go.Id. http://ditjenppi.menlhk.go.id/kcpi/index.php/info-
iklim/dampak-fenomena-perubahan-iklim
Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim-kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. (2017b). Kontribusi Penurunan Emisi GRK Nasional, Menuju NDC
2030. Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan.
http://ditjenppi.menlhk.go.id/berita-ppi/3150-kontribusi-penurunan-emisi-grk-
nasional,-menuju-ndc-2030.html
Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim-kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. (2017c). Mengenai Perubahan Iklim. Direktorat Jenderal Pengendalian
Perubahan Iklim-kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Institute for Essential Service Reform. (n.d.). Potensi Penurunan Emisi Indonesia Melalui
Perubahan Gaya Hidup Individu. Iesr.or.Id. https://iesr.or.id/en/pustaka/potensi-
penurunan-emisi-indonesia-melalui-perubahan-gaya-hidup-individu
Internasional Plant Protection Convention. (2016). IPCC Guidelines for National
Greenhouse Gas Inventories. Prepared by the National Greenhouse Gas
Inventories Programme, Vol. 2 (Energy, Prepared by the National Greenhouse Gas
Inventories Programme).
Kementerian Lingkungan Hidup. (2013). Pedoman teknis Penyusunan Inventarisasi Emisi
Pencemar Udara di Perkotaan.
Kementerian Perindustrian. (2018). Bentuk Komitmen Tekan GRK, Kemenperin Bangun
Sistem Pelaporan Online. Kemenperin.Go.Id.
https://kemenperin.go.id/artikel/18673/Bentuk-Komitmen-Tekan-GRK,-Kemenperin-
Bangun-Sistem-Pelaporan-Online
Krisnawati, H., Imanuddin, R., Adinugroho, W. C., & Hutabarat, S. (2015). Inventarisasi
H a l | 248
Strategi menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada industri.…. Fahrizal Cahya Rumiksa, et al.
Nasional Emisi dan Serapan Gas Rumah Kaca di Hutan dan Lahan Gambut
Indonesia.
Kustiasih, T., Setyawati, L. M., Anggraeni, F., Darwati, S., & Aryenti, A. (2014). Faktor
Penentu Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pengelolaan Sampah Perkotaan. Jurnal
Permukiman, 9(2), 78–90.
http://jurnalpermukiman.pu.go.id/index.php/JP/article/view/56
Patrianti, T., Shabana, A., & Tuti, R. W. (2020). Government Risk Communication on
Greenhouse Gas Emission Reduction to Tackle Climate Change. Jurnal Penelitian
Komunikasi Dan Opini Publik, 24(2). https://doi.org/10.33299/jpkop.24.2.3416
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum. (2008). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 5
Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau
di Kawasan Perkotaan. Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen
Pekerjaan Umum.
Pratama, R. (2019). Efek rumah kaca terhadap Bumi,Tanaman, dan Atmosfer. Efek
Rumah Kaca (Green House Effect ), 3814(Green House Effect), 120–126.
Prihatno, J., Asaad, I., Budiharto, Ratnasari, Wibowo, H., Gunawan, W., Novitri, F.,
Rosehan, A., Masri, A. Y., Oktavia, E. R., Carolyn, R. D., Precylia, V., Lathif, S.,
Asmani, R., Purnomo, H., Utomo, P., Pertiwi, S. A., Wibawanti, E., Utama, K., &
Ratnasari, L. (2020). Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan
Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV) Tahun 2019.
PT. Pupuk Indonesia. (2015). Laporan Berkelanjutan.
PT. Pupuk Kujang. (2014). Laporan Berkelanjutan 2014.
Pudjiastuti, L., Santoso, R, B., dan Astuti, R, F. (2013). dendum Andal, RKL-RPL
Pengembangan Tahap IV dan Fasilitas Penunjang Kompleks Industri PT Petrokimia
Gresik.
Purnamasari, E., Sudarno, & Hadiyanto. (2020). Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca
Sektor Pertanian di Kabupaten Boyolali. Prosiding Seminar Nasional Geotik 2019,
384–391.
Purwanta, W. (2019). Penghitungan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari Sektor Sampah
Perkotaan di Indonesia. Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol. 10.
Pusat Industri Hijau. (2021). Sertifikasi industri hijau. Kementerian Perindustrian.
Saat, P., & Kaca, G. R. (2020). Kajian Hari Bumi NDC Indonesia : Tanda Ketidakseriusan
Pemerintah dalam Menyelamatkan Lingkungan.
Sarjono, D. A. A. (2017). Strategi Reduksi Emisi Gas Rumah Kaca Dan Polutan Di Pt
Petrokimia Gresik (Unit Produksi Pupuk Pabrik I, Ii, Dan Iii). Institut Teknologi
Sepuluh Nopember Surabaya.
Shukman, D. (2021). Perubahan Iklim : Bumi makin panas, makin besar kemunkinan
sushu naik 1.5 dearajat celcius dalam setahun. BBC News Indonesia.
Sibarani, R. (2017). Tantangan Tata Kelola Kebijakan Perubahan Iklim di Indonesia (Studi
Kasus: Komparasi Antara Penerapan Desentralisasi dan Multi-Level Governance).
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, 4(1), 61–86.
https://doi.org/10.38011/jhli.v4i1.50
Sudarman. (2015). Meminimalkan Daya Dukung Sampah terhadap Pemanasan Global.
Jurnal Professional, 8, 53.
Wahyudi, J. (2016). Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca the Mitigation of Greenhouse Gases
Emission. Jurnal Litbang, XII(2), 104–112.
Wulandari, M. T., Hermawan., dan P. (2013). Kajian Emisi CO2 Berdasarkan
Penggunaan Energi Rumah Tangga Sebagai Penyebab Pemanasan Global (Studi
Kasus Perumahan Sebantengan, Gedang Asri, Susukan RW 07 Kabupaten
Semarang). Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya.
H a l | 249
Prosiding Seminar Industri Hijau Vol. I, No.1, 2021: 237 - 250
H a l | 250