NEGARA KUAT RAKYAT LEMAH
(DOMINASI DAN INTERVENSI NEGARA DALAM
MENATA KEBIJAKAN MASYARAKAT YANG
HETEROGEN DI INDONESIA 1950-1998)
oleh:
Victorius Adventius Hamel
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
2008
NEGARA KUAT RAKYAT LEMAH
(DOMINASI DAN INTERVENSI NEGARA DALAM
MENATA KEBIJAKAN MASYARAKAT YANG
HETEROGEN DI INDONESIA 1950-1998)
Disertasi ini untuk memperoleh
Derajat Doktor di Bidang Ilmu Sosial dan Politik
Program Studi Administrasi Negara pada
Universitas Gadjah Mada
Dipertahankan di hadapan
Dewan Penguji Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Gadjah Mada
Pada tanggal: 04 Juni 2008
oleh:
Victorius Adventius Hamel
Lahir
di Jakarta
“Hai anakku, jikalau engkau menerima
perkataanku dan menyimpan perintahku di
dalam hatimu, sehingga telingamu
memperhatikan hikmat, dan engkau
mencenderungkan hatimu kepada kepandaian,
ya, jikalau engkau berseru kepada pengertian,
dan menujukan suaramu kepada
kepandaian,jikalau engkau mencarinya seperti
mencari perak, dan mengejarnya seperti
mengejar harta terpendam, maka engkau akan
memperoleh pengertian tentang takut akan
TUHAN dan mendapat pengenalan akan Allah”.
(Amsal 2:2-1-5)
Disertasi ini dipersembahkan kepada:
Mama Hamel-Lahengke dan Istriku Tutin Okto
Lisa Hamel Djami, dua perempuan yang
senantiasa sabar dan setia bersama Sang
Hikmat.
KATA PENGANTAR
Perjalanan untuk menempuh studi ini sejak dari semula bukanlah hal yang mudah.
Namun demikian melewati semuanya merupakan sesuatu yang sangat indah. Termasuk
menyelesaikan Disertasi ini. Bagi penulis, menyelesaikan Disertasi ini adalah sebuah
anugerah. Hal ini tentu dengan mengingat segala keterbatasan yang penulis miliki. Studi
‘lintas ilmu’ ini telah memberikan inspirasi bagi sebuah perjuangan untuk tetap rendah hati
dan kokoh di dalam memperjuangkan sebuah cita-cita yang sejak semula tidak pernah
terbayangkan. Jika hal itu telah terwujud dalam bentuk Disertasi ini, itu semua bukan tanpa
bantuan yang dalam dari sekian banyak orang. Penulis sangat berhutang budi kepada Tim
Promotor yang bersedia membimbing penulis. Terima kasih yang sangat dalam kepada
Prof. Dr. Iclasul Amal, MA., selaku pembimbing utama yang selalu memberikan kritikan
yang tajam dalam setiap pembimbingan sehingga harus membongkar kembali setiap
pemahaman yang keliru yang penulis miliki. Hal ini akhirnya sangat berguna bagi penulis
dalam menyelesaikan penulisan Disertasi ini dengan rendah hati. Semuanya telah
menjadikan pemikiran penulis menjadi lebih terarah dalam menyelesaikan Disertasi ini.
Terima kasih yang mendalam juga kepada Prof.Dr. Warsito Utomo sebagai pembimbing
pendamping yang selalu memberikan spirit baru ketika penulis telah kehilangan jejak di
dalam belantara keilmuan. Disertasi ini tidak berarti tanpa kompas yang diberikan oleh
beliau. Begitu juga terima kasih penulis kepada Prof. Dr. Djoko Suryo, MA, yang selalu
bersahaja di dalam memahami pemikiran penulis. Terima kasih untuk seluruh
pembimbingan tanpa pamrih yang diberikan di dalam menyelesaikan Disertasi ini.
Penulis juga berterima kasih kepada tim penilai yang membaca dan memberikan
komentar-komentar terhadap Disertasi: Dr. Erwan Agus Purwanto, Dr. P.M. Laksono,
Dr. Pratikno, yang tidak saja membaca dan memberikan komentar-komentar terhadap
Disertasi ini tetapi juga telah bersedia meluangkan waktu mereka untuk berdiskusi dan
memberikan arahan-arahan bagi Disertasi agar menjadi lebih baik. Tanpa kritik dan saran
mereka tentu Disertasi tidak berarti.
Penulis juga berterima kasih yang sangat dalam kepada Dewan penguji, Dr. Purwo
Santoso, MA dan Dr. Nanang Pamuji Mugasejati, yang telah memberikan masukan-
masukan yang sangat berarti dan tajam bagi kesempurnaan Disertasi ini. Penulis sangat
vi
berterima kasih untuk semua hal tersebut. Begitu juga dengan Dekan / Penanggungjawab
S3 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Mohtar
Mas’oed, terima kasih untuk memberikan kesempatan bagi penulis untuk belajar ‘lintas
ilmu’ di Kampus yang sangat dicintai.
Penulis juga berterima kasih secara tulus kepada orang-orang yang sejak awal
mendorong semangat penulisan ini dan memberikan kritik-kritik yang tajam . Terima kasih
untuk Dr. Purwo Santoso, Prof. Irwan Abdulah, Ph.D., Prof. Wahyu Sutedja, Dr. Nico L.
Kana, Dr.Victor Silaen, Dr. George Junus Adi Tjondro, Pdt. Dr. Djaka Soetapa, Pdt.
Wiyanto, M.Th., Dr. PM Laksono, Pdt. Dr. Berthold Dowerek, Pdt. Dr. Wayan Mastra,
Pdt. Dr. Ketut Waspada, Pdt. Dr. Catra Puspitha, Prof. Dr. Sudirman, SE.,SU, Pdt. Ian
Stehbens , Pdt. Dr. Helen Richmond, Sdr. Putu Yosia Yogiartha, ST, M.Th., sahabat-
sahabat dosen di Fakultas Theologia Duta Wacana, dan setiap nama yang belum disebutkan
dalam bagian ini, terima kasih untuk persahabatan intelektual yang diberikan.
Tidak lupa juga terima kasih penulis kepada penyelenggara Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Gadjah Mada yang telah memberikan kesempatan bagi lancarnya studi ini.
Khusus kepada Direktur Sekolah Pasca Sarjana – Prof. Irwan Abdulah, Ph.D. - saya
ucapkan terima kasih yang dalam. Seluruh jajaran Direksi dan staf serta seluruh karyawan
Sekolah pasca Sarjana juga penulis haturkan terima kasih yang tidak terhingga.
Begitu juga penulis haturkan terima kasih yang sangat dalam bagi sahabat-sahabat
karyawan Perpustakaan Sospol UGM, Perpustakaan MAP, Perpustakaan Kependudukan,
Perpustakaan Antropologi UGM, Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan Pasca Sarjana
UGM, Perpustakaan Pusat Jakarta, Perpustakaan Daerah Yogyakarta, Perpustakaan Daerah
Bali, Perpustakaan Kolose Ignatius Kota Baru, Perpustakaan Universitas Kristen Duta
Wacana. Semua sahabat-sahabat ini telah sangat berjasa di dalam membentuk Disertasi ini.
Terima kasih yang dalam juga penulis sampaikan kepada Dr. Vijaya Kumar dari
Global Ministry USA sebagai penyandang Dana Beasiswa. Begitu juga kepada Majelis
Sinode Lengkap dan Majelis Sinode Harian GKPB periode 2000-2004, secara khusus
Bishop Ketut Suyaga Ayub yang dengan sense of multiculture-nya memberikan
kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi Doktoral ini. Terima kasih untuk
semua perhatiannya. Sepantasnya juga penulis menghaturkan terima kasih kepada Majelis
vii
Sinode Lengkap dan Majelis Sinode Harian GKPB 2004-2008: Bishop Suanda, M.Min.,
Sekum GKPB Pdt. Made Priana, M.Th., dan Pdt. Philipus Aryawijaya, S.Th., MA., yang
telah mendukung studi ini secara luar biasa. Demikian juga dengan seluruh staf kantor
Sinode dan sahabat-sahabat pelayan jemaat di seluruh GKPB, yang selalu bertanya :
“kapan selesai studinya?”. Terima kasih untuk perhatiannya.
Untuk Istriku, Tutin Okto Lisa Hamel-Djami yang selalu berbela rasa, selalu
mengerti dan menjadi penyejuk dalam setiap kali penulis merasa berat dan putus asa di
dalam menghadapi semuanya ini. Tanpa dampingannya penulis merasa tidak berarti apa-
apa. Disertasi sederhana ini penulis persembahkan salah satunya kepada istri tercinta.
Keluarga besar di Medan dan Pekan Baru selalu memberi dari hati yang paling
dalam. Perhatian yang tiada taranya diberikan kepada penulis. Dengan kesabaran dan
keyakinan akan ‘tiada yang mustahil bagi Dia’, telah membuat penulis sangat bangga
menjadi bagian dari keluarga besar Hamel dan Lahengke. Begitu juga keluarga besar di
Bali yang senantiasa ada di dalam setiap hari-hari penulis. Untuk Om Genes, Upik, Lentari
dan Samek, terima kasih untuk semua perhatiannya. Disertasi ini merupakan wujud
kecintaan penulis kepada mereka semua. Khusus untuk keluarga Bapak Komang Chritiana
Wahyu Abednego dan Ibu Handayani, Tika, Lia, Tannya dan si ‘Ompong’ Cinta, terima
kasih karena sudah mengisi hari-hari dengan keceriaan di rumah Gatot Kaca
Terakhir dan terutama, kepada Sang Maha Kasih yang selalu memberikan
kemampuan dan kesehatan bagi penulis untuk tetap setia dan bertanggungjawab atas semua
yang telah diberikanNya. Penulis mempersembahkan semua hidup dan pelayanan kepada
Dia.
Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Disertasi ini juga demikian adanya. Semua
masukan dan perbaikan bagi Disertasi ini adalah rahmat yang harus dimaknai dengan
kebesaran jiwa. Semoga membawa makna bagi ‘proses menjadi Indonesia’.
Singaraja, Bali, Juli 2008,
Dalam 100 Tahun Kebangkitan Nasional
Victorius Adventius Hamel
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Halaman Sub Judul ii
Halaman Persetujuan iii
Pernyataan iv
Kata Pengantar v
Daftar Isi viii
Intisari xiii
Abstract xiv
BAB I 01
04
PENDAHULUAN 04
05
A. Latar Belakang 05
B. Permasalahan 10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 38
D. Tinjauan Kepustakaan dan Kerangka Konseptual 40
1. Tinjauan Kepustakaan
2. Kerangka Konseptual
E. Metodologi Penelitian
F. Sistematika Pemelitian
BAB II 42
43
INTERVENSI NEGARA DALAM PERSOALAN KEAGAMAAN
DI INDONESIA
A. Konflik Agama dan Negara Awal Kemerdekaan: Menuju Pemberontakan
BerbasisAgama 1950-1958 (Era Demokrasi Parlemeter)
1. Menuntut Pemerintah Pusat Melalui Pemberontakan Berbasis Agama
ix
2. Gagalnya Jalan Damai dalam Mengatasi Masalah Pemberontakan berbasis
Agama 46
3. Menguatnya Peran Militer dalam Penyelesaian Konflik 49
B. Otoritarianisme dalam Menata Masyarakat Majemuk 1959-1964 52
(Era Demokrasi Terpimpin)
1. Upaya Menyatukan Kepelbagaian Ideologi: Membangun Kekuasaan 53
Tunggal 56
2. Kegagalan Membangun Politik Keseimbanagan di dalam Kemajemukan
C. Menguatnya Intervensi Pemerintah dalam Bidang Keagamaan 1967-1995 60
(Era Pemerintahan Orde Baru) 60
1. Kecurigaan Negara Atas Kekuatan Politik Agama 63
2. Politisasi Dialog Keagamaan
3. Intervensi Negara Terhadap Agama melalui Melalui Kebijakan Agama: 69
Dari yang Represif Hingga Akomodatif
a. Pemerintah Mengatur Pembangunan Rumah Ibadah: Sumber Konflik 70
Antar Agama (SKB Nomor 1/1969) 75
b. RUU Perkawinan yang Melecehkan Umat Islam
c. Penyiaran Agama yang Harus Sesuai dengan Pancasila dan P4 serta 81
Persoalan Bantuan Luar negri (Kepmen No.70/1978/Kepmen 77/1978) 86
d. Hegemonisasi Agama Melalui Ideologi dan Militerisme
e. Pendekatan yang Akomodatif Terhadap Agama: Usaha Membangun 88
Kembali Kekuatan Politik 90
1. UU No.7/1989 Tentang Peradilan Agama 97
2. Usaha (Politis) Merangkul Umat Islam: Pembentukan ICMI 102
D. Kesimpulan
x
BAB III
SENTRALITAS KEKUASAAN DALAM MENATA HETEROGENITAS
MASYARAKAT
A. Kondisi Umum Menguatnya Sentralisasi Kekuasaan dan Reaksi Kedaerahan 104
1953-1958 (Era Demokrasi Parlementer) 107
1. Ketidakadilan Ekonomi: Terpusatnya Kekuatan Ekonomi di Pusat (Jawa) 112
2. Memarginalisasikan Partai-Partai Dukungan Luar Jawa 114
3. Melemahkan Masyumi: Melemahkan Kekuatan Politik Daerah 118
4. Pemberontakan Militer Daerah: Reaksi Terhadap Sentarlisasi Kekuasaan
B. Melemahkan Kekuatan Politik Daerah 1957-1963 (Era Demokrasi Terpimpin) 129
1. Keadaan Darurat Perang: Menguatnya Posisi Militer Pusat Terhadap Daerah 129
2. Nasution dan Soekarno: Dua Kekuatan Memberangus Kekuatan Daerah 131
3. Membangun Pemerintahan yang Sentarlistik: Mengganti UU No. 1/ 1957 133
dengan Penpres No. 6 Tahun 1959 dan Penpres No.5 Tahun 1960
C. Membangun Keseragaman dan Kepatuhan Terhadap Pemerintah (Era Orde baru) 140
1. Membangun Politik Loyalitas Daerah Terhadap Pusat 1967-1992 141
2. Kepatuhan Ideologis: mempersatukan Bangsa Melalui Satu Kekuasaan 144
3. Menyeragamkan Pemerintahan Desa: Menguatnya Kontrol Pemerintah
Atas Desa (UU No.5/1979) 148
4. Membangun Infrastruktur di Daerah: Strategi Ekonomi Politik dalam Program
Pembangunan (Kasus PKT dan Inpres) 154
a. Pembangunan Kawasan Terpadu: Menciptakan Ketergantungan
Terhadap Pemerintah Pusat 155
b. Program Inpres: Mengontrol Desa melalui Alokasi Dana Pembangunan 158
D. Kesimpulan 160
xi
BAB IV
PEMERINTAHAN YANG RASIALIS DALAM MENATA MASALAH
TIONGHOA DI INDONESIA
A. Menciptakan Sistem Perekonomian Pribumi: Persaingan Kepentingan Ekonomi
Sipil dan Militer 1950-1957 (Era Demokrasi Parlementer) 162
B. Program Benteng dan Gerakan Assat 167
1. Makelar Lisensi 168
2. Pertarungan Politik dalam Kebijakan Benteng: Usaha PNI Meraup Keuntungan
Ekonomi 171
3. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme: Gagalanya Kebijakan Benteng 176
4. Gerakan Asaat: Gerakkan Rasialis Pengusaha Pribumi 179
C. Rasialisme Terhadap Orang Tionghoa Melalui UU Kewarganegaraan 182
D. Gerakan Ekonomi Politik Rasialis PP 10/1959 189
1. PP 10/1959: Demi Keuntungan Bisnis Pribumi dan Angkatan Darat 189
2. PP 10/1959: Usaha Tentara Memberangus PKI dan Bisnis Tionghoa 194
3. Sikap Oportunis dan Otoriter Soekarno dalam Konteks Kebijakan PP 10/
1959 198
E. Pemerintahan yang Rasial (Era Pemerintahan Orde Baru) 203
1. Represifitas Kekuasaan Orde Baru Melalui Politik Asimilasi 204
2. Militer Mengatur Kebijakan Ganti Nama dan Larangan Penerbitan dan
Percetakan Aksara Cina (Kepresidium No.12 U/Kep/12/1966 dan SE 02/Ditjen/
PPG/K/1968 206
3. Mengambil Keuntungan Ekonomi dengan Mengatur Adat dan Kepercayaan Orang
Tionghoa (Instruksi Presiden No.14/1967) 215
4. Mengawasi Gerak Orang Tionghoa Melalui Surat Bukti Kewarganegraan
Republik Indonesia (SBKRI) 1968-1997 219
F. Kebijakan Semu Ekonomi Pribumi 1973-1997 225
G. Kesimpulan xii
BAB V 230
KESIMPULAN
232
Daftar Pustaka
Jurnal / Makalah/ Internet 243
Surat Kabar dan Majalah 249
Lampiran 1 250
Lampiran 2 253
Lampiran 3 256
Lampiran 4 268
Lampiran 5 262
Lampiran 6 264
Lampiran 7 266
273
xiii
INTISARI
Heterogenitas yang ada dalam realitas ke-Indonesiaan merupakan sebuah identitas
bangsa. Sebagai sebuah identitas maka tidak dapat dilepaskan dari peran negara untuk menata
kehidupan masyarakat yang heterogen. Pentingnya peran negara sangat ditentukan oleh kuat
atau lemahnya negara menata akan hal itu. Pada sisi ini definisi negara kuat menjadi sangat
penting artinya. Banyak ahli mendefinisikan negara kuat sebagai negara yang mampu
memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Namun demikian penelitian ini memberikan
gambaran yang sebaliknya yaitu bahwa negara kuat adalah negara yang gagal memberikan
kesejahteraan bagi masyarakatnya. Kegagalan ini terjadi akibat kapasitas dan fungsi negara
yang begitu besar di dalam menata masyarakat yang heterogen di Indonesia. Besarnya
kapasitas dan fungsi negara tersebut telah menciptakan dominasi dan intervensi negara menjadi
sangat besar pula.
Dengan meneliti beberapa kebijakan dan kasus-kasus yang terjadi selama era
pemerintahan Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin (Orde Lama) dan Orde Baru
yang berkaitan dengan persoalan masyarakat yang heterogen, temuan yang mendasar dari
penelitian ini adalah semakin besar/kuat kapasitas negara yang bersifat dominasi dan
intervensif menata dan mengatur persoalan-persoalan masyarakat yang heterogen maka
semakin lemah masyarakat dengan segala potensi keheterogenan yang dimilikinya. Dengan
kata lain dominasi dan intervensi pemerintah terhadap penataan masyarakat yang heterogen di
Indonesia tidak memberikan manfaat yang lebih baik dalam membangun sebuah negara-bangsa
yang nota bene memiliki identitas sebagai masyarakat yang heterogen. Bahkan hal tersebut
telah menciptakan sebuah dikotomi negara kuat rakyat lemah.
Oleh karenanya pendekatan negara terhadap persoalan masyarakat yang heterogen harus
berubah dari sebuah penataan yang berorientasi pada kepentingan politik dan kekuatan yang
bersifat dominasi dan intervensif demi kepentingan negara (state center) tetapi lebih berfokus
pada masyarakat yang heterogen itu sendiri (people center) degan segala kapasitasnya. Peran
negara tetap penting untuk menata tetapi tidak bersifat dominasi dan intervensif. Kehadiran
negara dalam hal ini diperlukan sebagai fasilitator di dalam mengembangkan sebuah ruang
publik bagi perjumpaan-perjumpaan lintas kemajemukan (heterogenitas).
xvii
ABSTRACT
Heterogeneity in Indonesian context is national identity that is inseparable from the
state's role to administer its heterogeneous people. The role's significance is determined by
its organizing ability. In this regards the definition of a strong state is relevant. Many
authorities define strong states as those who can create well-being of their citizens.
However, the study describe quite the contrary: it affirms that strong nations are those who
fail to bring prosperity to people. In Indonesian context, the failure is due to the huge
capacity and function of the state, which in turn bring about large extent of state
domination and intervention.
By examining several heterogeneous people-related policies and cases during
governmental eras of Parliamentary Democracy, Old Order, and New Order, the study
basically finds that the bigger domineering and intervening capacity of the state is in
organizing and regulating the issues of heterogeneous people, the smaller the potentials of
heterogeneous society are performed. In other words, domination and intervention in
regulating heterogeneous society in Indonesia do not benefit in developing the nation-state;
instead, it creates a dichotomy of strong state-weak people.
Therefore, the state's approach to the issues of heterogeneous people must switch
focus from political interest and domination and intervention oriented regulation exercise
(state centered) to the people themselves with all their capacity (people centered). The
state's role remains important but less domineering and intervening. The state is needed as
a facilitator to create a public space to cross-heterogeneity encounters.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam suatu negara yang mempunyai tingkat heterogenitas yang tinggi seperti
Indonesia, persoalan penataan terhadap masyarakat tersebut menjadi sangat penting artinya.
Dalam kaitannya dengan negara / pemerintah maka tindakan-tindakan politik yang
berkaitan dengan penataan masyarakat yang heterogen sering disebut sebagai proses
integrasi. Namun demikian hal integrasi tersebut selalu terkait erat dengan apa yang disebut
persoalan-persoalan dis-integrasi. Aneka ragam penjelasan telah dikemukakan oleh para
ahli tentang keadaan yang mengancam integrasi Indonesia - khususnya pasca kemerdekaan
1945. Salah satu diantaranya mengaitkan masalah ini dengan perbedaan suku - termasuk
juga agama - yang memang sampai saat ini dipandang sebagai faktor yang dominan (Bahar,
1996: 16-17). Feith (1962:30-31) menghubungkan faktor rendahnya integrasi ini dengan
melihat kurangnya konsensus tentang tujuan dan gagasan dari dua kebudayaan politik yang
ditanamkan yaitu “aristokrasi Jawa” dan “kewraswastaan Islam”, atau benturan antara
ideologi Pancasila dan Islam.
Pada sisi lain konflik masyarakat yang heterogen telah menghasilkan benturan-
benturan di dalam kehidupan masyarakat. Di Indonesia konflik agama (khususnya Islam –
Kristen)1 dan juga konflik antar suku (Surata, 2001; Mas’oed, 2001) maupun etnis (pribumi
1 Lihat tulisan R.William Liddle,”Media Dakwah Scripturalism: One Form of Islamic
Political Thought and Action in New Order Indonesia” dalam Mark R. Woodward (ed),
Toward a New Paradigm, Tempe, Arizona, Arizona State University, 1996, h. 323-356.
Lihat juga tulisan Fatimah Husein,”Dry Leaves and Grass: Muslim Christian Relation in
Indonesia” dalam Norma Sullivan (ed), Religion and Conflict in Indonesia, Interface,
Vol. 4-Mei 2001, h.11-31. Atau menarik juga membaca paper dari Azyumardi Azra yang
2
dan Cina)2, telah mewarnai kehidupan kemajemukan bangsa ini. Persoalannya kemudian
menjadi sangat rumit ketika situasi tersebut masuk dalam ruang politik, yaitu bahwa
kemajemukan dengan segala konflik yang ada di dalamnya, oleh negara/pemerintah
dianggap lebih memiliki ruang-ruang konflik yang bersifat disintegratif dari pada sesuatu
yang bersifat integratif ketika bersentuhan dengan konsep politik negara sebagai kesatuan.
Pada sisi ini peranan negara/pemerintah akhirnya menjadi sangat dominan dan intervnsif
dalam mengatasi masalah-masalah tersebut.
Peranan negara terhadap penataan masyarakat majemuk di Nusantara secara historis
telah dimulai sejak masa kolonialisme Portugis, Belanda dan Jepang melalui kebijakan-
kebijakan dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan budaya. Pada masa itu inti dari
penataan tersebut adalah dalam kerangka merekayasa dan mengontrol aktivitas sosial
negara jajahan secara menyeluruh baik dalam bidang agama, ras, etnik, dan kegiatan-
kegiatan antar golongan (partai, lembaga-lembaga kemasyarakatan dan lain sebagainya).
Hal ini menjadi penting artinya bagi negara-negara penjajah guna menjaga stabilitas dan
kelangsungan penjajahan pada waktu itu. Gerakan-gerakan pemberontakan yang bersifat
dipresentasikan pada seminar The International Confrence on Religion and Culture in
Asia Pasific: Violence or Healing, RMIT, Melbourne, 22-25 Oktober 2000, yang
mengutib sebab-sebab dari konflik agama di Indoensia (khususnya Islam-Kristen), dengan
judul “Islam and Christianity in Indonesia: Violence or Healing? The Roots of Conflict
and Hostility”.
2 Kajian mengenai hal ini dapat dilihat dalam Charles A. Coppel¸ Indonesia Chinese in
Crisis, Oxford University Press, Kuala Lumpur, 1983, h.58. Lihat juga Ariel Heryanto,
“Ethnic Identities and Erasure: Chinese Indonesians in Public Cultutre”, dalam J.S. Kahn,
Southeast Asian Identities, ISEAS, Singapore, 1998, h.97. Analisis yang tajam juga
diulas dalam tulisan Arief Budiman, “Rethinking Ethnicity and Nationalism: Anti
Chinese and Anti-Australian Sentiment in Indonesia” dalam Damien Kingsbury dan Arief
Budiman (ed), Indonesia The Uncertain Trantition, Crawford House Publishing,
Australia, 2001, h.264-291. Begitu juga dengan tulisan yang sangat lengkap dari Leo
Suryadinata, Pribumi Indonesians, the Chinese Minority, Heinemann Asia, Singapore
1986, khususnya halaman 128-137.
3
primordial melawan penjajahan dianggap sebagai gerakkan yang berusaha untuk
mengacaukan eksistensi negara/pemerintah kolonial. Oleh karenanya marginalisasi
terhadap kekuatan-kekuatan primordial tersebut dianggap sebagai jalan keluar atas nama
stabilitas dan keamanan. Akibatnya, pemahaman terhadap masyarakat majemuk adalah
sebuah realitas yang dianggap peka, rentan, eksplosif, penuh resiko dan karenanya
berbahaya (Kleden, KOMPAS, 11 Desember 1998).
Era Indonesia merdeka juga tidak dapat dilepaskan dari persoalan bagaimana
pemerintah menata heterogenitas masyarakat yang ada di Indonesia. Hal penataan
masyarakat yang heterogen ini tentu merupakan sesuatu yang sangat kompleks mengingat
perbedaan-perbedaan karakter politik yang ada di Indonesia – khususnya sejak era
pemerintahan Demokrasi Parlementer hingga pemerintahan Orde Baru. Perbedaan-
perbedaan yang mencolok dari karakter politik di setiap era pemerintahan menghasilkan
pandangan dan penataan yang berbeda pula di dalam menghadapi persoalan masyarakat
yang heterogen di Indonesia. Dalam kenyataannya peran dan intervensi negara/pemerintah
di Indonesia dalam menata masyarakat yang heterogen belum dapat dikatakan berhasil
sepenuhnya menciptakan sebuah masyarakat yang madani (civil society). Hal ini karena
intervensi negara/pemerintah penataan masyarakat yang heterogen telah melemahkan
kekuatan masyarakat tersebut. Disertasi ini mengkaji bagaimana dominasi dan intervensi
negara/pemerintah di dalam melakukan penataan terhadap masyarakat majemuk di
Indonesia telah menghasilkan negara/pemerintah yang kuat – rakyat menjadi lemah.
4
B. Permasalahan
Dengan melihat latar belakang yang dikemukakan di atas pertanyaan dari
Disertasi ini adalah:
1. Bagaimankah negara/pemerintah menata persoalan masyarakat yang heterogen di
Indonesia?
2. Apakah dampaknya bagi masyarakat atas dominasi dan intervensi negara yang kuat di
dalam menata persoalan masyarakat yang heterogen di Indonesia?
3. Bagaimanakah seharusnya format negara dengan realitas masyarakat yang heterogen
tersebut?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dan manfaat yang diharapakan melalui penelitian ini adalah :
1. Mempelajari bagaimana tindakan politik dan dampak dari tindakan intervensi yang kuat
dari pemerintah terhadap persoalan masyarakat yang heterogen di Indonesia. Hal ini
dilakukan dengan cara meneliti, mengkaji, menganalisis beberapakebjakan dan kasus
yang di era pemerintahan Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin (Orde Baru)
dan Demokrasi Pancasila (Orde Lama).
2. Menekankan kembali arti pentingnya menjadi negara sebagai kesatuan yang
memberikan ruang lebih luas bagi ekspresi keheterogenan masyarakat di Indonesia.
3. Belajar memahami kegagalan sikap-sikap politik pemerintah terhadap persoalan
masyarakat heterogen di masa lalu untuk direfleksikan pada saat ini dan di masa depan.
5
D. Tinjauan Kepustakaan dan Kerangka Konseptual
1. Tinjauan Kepustakaan
Sejarah mengenai tatanan pluralitas masyarakat Indonesia tidak bisa dilepaskan dari
studi J.S. Furnivall tentang masyarakat majemuk (plural society) di Hindia Belanda.
Dalam uraiannya Furnival (1967: 446-469) menggambarkan bahwa masyarakat majemuk
adalah suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri
tanpa ada pembauran satu sama lainnya di dalam suatu kesatuan politik. Perbedaan ras
yang ada pada saat itu merupakan sebuah kenyataan yang secara ekonomi politik terpisah
satu dengan lainnya. Orang-orang Belanda merupakan golongan yang berkuasa secara
politis dan golongan Timur Asing, seperti orang-orang Tionghoa menempati kedudukan
menengah khususnya sebagai pedagang-pedagang perantara. Sedangkan orang-orang
pribumi berada pada posisi sebagai warga kelas tiga di negrinya sendiri. Kondisi semacam
ini menyebabkan terjadinya pemisahan masyarakat yang sangat kuat yang di dasarkan pada
ras. Akibatnya tidak terdapat kehendak bersama (common will) dalam kehidupan sosial
politik di negara Hindia Belanda pada saat itu. Usaha untuk mempertahankan atau
memelihara pola pikir serta cara hidup masing-masing menjadi semakin kuat dan semakin
menciptakan adanya kantong-kantong eksklusifisme sosial di antara elemen-elemen
masyarakat tersebut.
Kondisi masyarakat yang demikian kemudian menjadi semakin mengkristal di
dalam kutub-kutub masyarakat yang didasarkan atas ras guna mendapatkan sumber-sumber
ekonomi. Hal ini menyebabkan pola-pola produksi juga terbagi atas dasar perbedaan ras
serta masing-masing ras memiliki fungsi produksi. Orang Belanda dalam bidang
perkebunan, penduduk pribumi dalam bidang pertanian dan orang Tionghoa sebagai kelas
6
pemasaran yang menjadi perantara di antara keduanya. Kondisi ini menyebabkan konflik
sering tidak dapat dihindarkan. Dengan melihat kondisi masyarakat plural di zaman Hindia
Belanda seperti digambarkan oleh Furnivall (1967: 448) di atas, maka dapat dikatakan
bahwa konflik yang muncul sebagai sebuah persaingan terhadap sumber-sumber ekonomi
menemukan sifatnya lebih tajam oleh karena perbedaan kepentingan ekonomi jatuh
bersama dengan perbedaan ras.
Konsep masyarakat majemuk yang dipaparkan oleh Furnivall dengan segala resiko
konflik di dalamnya menunjukkan dengan jelas bahwa suatu masyarakat majemuk adalah
suatu masyarakat dalam mana sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang
menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikan rupa sehingga para anggota masyarakat
kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki
homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami
satu sama lain (Nasikun, 1984:35). Konsep masyarakat majemuk yang demikian tentu tidak
lagi menjiwai situasi masyarakat Indonesia yang ada saat ini. Kemajemukan tidak lagi
dilihat sebagai bagian dari eksklusifitas yang ada di dalam tatanan masyarakat tetapi lebih
merupakan eksistensi yang ada di dalam masyarakat itu sendiri, yang sudah berbaur satu
dengan lainnya. Oleh sebab itu untuk istilah masyarakat majemuk seperti yang dinyatakan
oleh Furnivall tidak tampak jelas dalam tatanan masyarakat Indonesia. Realitas
kemajemukan yang ada saat ini di masyarakat Indonesia lebih tepat dikatakan sebagai
kondisi masyarakat yang heterogen. Disertasi ini menggunakan istilah heterogenitas untuk
menyatakan kemajemukan yang ada dalam masyarakat Indonesia
Selain Furnivall, satu penelitian klasik yang terkait dengan persoalan-pesoalan
politik pluralis di Indonesia tidak bisa dilepaskaan dari studi era pemerintahan Demokrasi
7
Parlementer oleh Herbert Feith (1962). Bukunya The Decline Constitutional Democracy in
Indonesia menjadi sebuah uraian yang panjang lebar berkaitan dengan jatuh bangunnya
kabinet yang faktor-faktornya dapat dilihat dari persoalan-persoalan pluralitas yang ada di
Indonesia. Meskipun kajiannya masih tetap berorientasi pada persoalan ekonomi politik
namun dalam uaraian-uraiannya terlihat dengan jelas bagaimana faktor pluralitas menjadi
sangat dominan dalam kajiannya.
Persoalan pluralitas dalam khususnya dalam pembahasan mengenai studi integrasi
juga menjadi perhatian dari kajian yang dilakukan oleh Nazzaruddin Sjamsuddin (1989).
Nazzarudddin Sjamsuddin dalam tulisannya mengenai Integrasi Politik di Indoensia telah
menguraikan panjang lebar mengenai proses integrasi di Indonesia. Dengan memfokuskan
pada kasus-kasus seperti PRRI, GAM, GPM ia memberikan penjelasan mengenai adanya
pengaruh yang kuat terhadap solidaritas kelompok di dalam masalah integrasi dikalangan
elit dan antar elit dengan massa. Selain itu juga ia menjelaskan mengenai peran ideologi
terhadap regenerasi di Indonesia.
Masalah integrasi juga dibahas di dalam beberapa penelitian seperti kajian yang
dilakukan oleh Ichlasul Amal tentang PRRI Permesta di Sumatra Barat dan Sulawesi
Selatan (1992), Nazaruddin Sjamsuddin tentang Pemberontakan Kaum Republik di Aceh
(1990), Barbara Sillars Harvey mengenai Permesta (1989), merupakan penelitian-penelitian
yang berorientasi pada studi-studi tersebut.
Penelitian yang dilakukan Ichlasusl Amal menyimpulkan bahwa persoalan-
persoalan yang muncul pada PRRI-Permesta di dalamnya terkandung persoalan persepsi
yang berbeda antara pusat dan daerah. Pusat dalam hal ini diwakili oleh para pemimpin
politik Jawa dan daerah yang diwakili oleh para pemimpin lokal di Minagkabau dan di
8
Sulawesi Selatan. Perbedaan persepsi ini menghasilkan ketegangan-ketganagan politik
secara umum di Indonesia. Amal menyimpulkan bahwa persepsi ataupun identitas etnik
hendaknya menjadi perhatian di dalam penelitian-penelitian mengenai persoalan SARA di
Indonesia. Hal ini penting utuk diperhatikan mengingat agar penelitian-penelitian
selanjutnya tidak terjebak untuk memberikan stigma bahwa sebuah pemberontakan semata-
mata dilihat sebagai usaha untuk menghancurkan sistem pemerintahan yang ada.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Nazzaruddin Sjamsuddin (1990:339) mengenai
persoalan Aceh. Dalam kesimpulannya ia mengatakan bahwa kekecewaan yang bersifat
agama dan kedaerahan merupakan dua penyebab utama pemberontakan di Aceh.
Menurutnya friksi yang terjadi secara internal antara kaum ulebalang dan ulama - yang
disebabkan oleh kepentingan lokal - dan kepentingan pusat telah memberikan kontribusi
besar bagi terwujudnya konflik yang bersifat horizontal dan vertikal pada kasus Aceh.
Model penyelesaian konflik yang bersifat militeristik oleh pemerintah pada waktu itu
dalam kasus ini telah memberikan pemahaman bahwa telah terjadi kolonilisme Jawa
terhadap kepentingan rakyat Aceh. Hal yang terpenting dari penelitian ini adalah bahwa
Sjamsuddin – seperti Amal – menyimpulkan bahwa kepentingan etnis, agama, dan daerah
merupakan hal yang penting alam memahami masalah-masalah integrasi nasional di
Indonesia. Oleh sebab itu penelitian terhadap kasus-kasus semacam ini juga harus
memberikan perhatiannya secara penuh terhadap persoalan-persoalan etnik, agama dan
masalah lokal.
Pada sisi lain penelitian Harvey cenderung menggunakan pendekatan kasuistik yang
sangat politis. Konflik vertikal, oleh Harvey, dilihat pertama-tama sebagai protes terhadap
pandangan Soekarno mengenai Demokrasi Terpimpin. Dekatnya hubungan Soekarno dan
9
PKI telah memarginalisasikan peran kekuatan daerah secara khusus yang terwujud dengan
mengorbankan Hatta dan Masyumi sebagai representasi daerah. Dengan demikian
persoalan Permesta, bagi Harvey, merupakan imbas dari persoalan politik yang terjadi di
pusat khususnya antara kepentingan Soekarno, kaum nasionalis, PKI dan militer.
Kajian-kajian mengenai problem-problem integrasi di Indonesia dapat juga dilihat
dari beberapa pembahasan mengenai persoala masalah Tionghoa di Indonesia. Coppel dan
Mackie adalah dua nama peneliti tentang masalah Cina – selain nama-nama lainnya.
Coppel lebih banyak meneliti dan menelusuri arah kebijakan pemerintah Orde Baru
berkaitan dengan masalah Cina (Coppel, 1983), sedangkan J.A.C. Mackie (1976) yang
meneliti tentang konflik Anti Cina di Indonesia di sekitartahun 1959-1968 yang sampai
pada kesimpulan bahwa persoalan-persoalan politik, kesenjangan ekonomi dan politik luar
negri (dekatnya hubungan Indonesia dengan Peking), telah menjadi trigger bagi persoalan-
persoalan anti China di Indonesia. Begitu juga dengan tulisan-tulisan dari Leo Surjadinata
(1978, 1982, 1994, 2002) yang mengeksplorasi masalah Tionghoa di Indonesia dengan
begitu luasnya – dari berbagai aspek.
Apa yang diuraikan di dalam kajian-kajian di atas semuanya telah memberi warna
bagi persoalan-persoalan pluralitas dan masalah integrasi di Indonesia. Orientasi pada
konflik dan persoalan integrasi merupakan fokus yang dominan ketika membicarakan
mengenai persoalan pluralitas. Namun demikian, sisi lain yang ingin dikaji di dalam
Disertasi ini mengenai tindakan politik pemerintah di dalam menghadapi problem-problem
pluralitas yang ada di Indonesia yang menurut penulis semakin bersifat represif dari satu
era pemerintahan ke pemerintahan yang lainnya. Kajian utama dalam penelitian ini adalah
berfokus pada tindakan negara di dalam mengatasi problematika masyarakat heterogen di
10
Indonesia - yang memperlihatkan kuatnya negara/pemerintah di dalam menata persoalan
tersebut. Oleh karenanya penulis berusaha mengkaji beberapa persoalan-persoalan dan
kasus-kasus yang ada di beberapa pemerintahan di Indonesia khususnya kasus-kasus yang
ada di dalam era Demokrasi Pemerintahan Parlementer, Demokrasi Terpimpin (Orde
Lama) dan Pemerintahan Orde Baru.
2. Kerangka Konseptual
Nasionalisme sebagai anak sejarah peradaban Eropa abad XVIII-XIX telah menjadi
sebuah raksasa ideologi yang merasuki hampir sebagian belahan dunia ini. Secara historis
dia merupakan sebuah produk perlawanan terhadap kekuatan-kekuatan monarki dan para
tuan tanah yang bersifat anarkis (Pfaff, 1994: 6-7). Di negara-negara Eropa Barat
nasionalisme merupakan reaksi langsung terhadap otoritas monarki dan di Eropa Timur
cederung merupakan sebuah gerakan non politis yang kemudian dibelokan ke arah nation-
state yang akhinya menjadi politis juga (Suwarno, BASIS, No.35, 1985: 403).
Dalam perkembangan selanjutnya pembahasan nasionalisme sangat berhimpitan
dengan isu kolonialisme yang dilakukan oleh bangsa Eropa ke negara-negara lain
khususnya di Asia dan Afrika. Pada sisi inilah kemudian terjadi polarisasi yang sangat jelas
di antara pembentukan ide nasionalisasi di Eropa dan negara-negara jajahan. Jika di Eropa
nasionalisme merupakan reaksi terhadap kekuatan-kekuatan monarki, tuan-tuan tanah
pemilik industriali-kapitalisme -- dan dengan demikian juga merupakan sebuah produk
modernisasi -- maka pada negara jajahan (dalam hal ini Asia dan Afrika) nasionalisme
merupakan sebuah pemberontakan terhadap kolonialisme (Smith, 1971: 65-85). Dalam hal
inilah bisa dimengerti bahwa slogan-slogan tentang nasionalisme di negara-negara pasca
11
kolonial merupakan sesuatu yang lebih mengorientasikan dirinya pada persoalan
pengakuan terhadap identitas dari negara-negara pasca kolonial tersebut. Pada sisi lain
persoalan developmentalism sebagai “acuan” kemajuan bagi sebuah negara baru merdeka
telah memperlebar persoalan nasionalisasi khususnya di negara-negara pasca kolonial. Di
satu sisi persoalan identitas menjadi sesuatu yang sangat penting artinya tetapi pada sisi
lain masyarakat terobsesi akan modernitas yang telah dicapai oleh Barat. Namun
sayangnya, hal itu secara budaya tidak dilengkapi oleh prakondisi-prakondisi modernitas
yang memadai. Karena itu, nasionalisme Timur, dalam hal ini masyarakat pascakolonial,
penuh dengan ambivalensi. Pada satu sisi, dia merupakan emulasi dari apa yang telah
terjadi di Barat. Di sisi lain dia juga menolak dominasi Barat (Sulfikar Amir, KOMPAS).
Bagi sebuah negara yang baru merdeka seperti Indonesia, persoalan identitas
terfokus pada diskursus mengenai hubungan nation dan pluralitas etnik. Diskursus ini tidak
bisa dihindari mengingat di Indonesia pluralitas etnik merupakan sebuah -- meminjam
istilah Benedict Anderson (2001) -- komunitas terbayang yang berserakan dalam ranah ke-
Indonesiaan. Suku, agama, ras dan antar golongan dianggap telah menjadi sebuah
“identitas pembentuk” dari ke-Indonesiaan. Pada awalnya memang eksistensi ke-
Indonesiaa-an sangat bersifat lokal. Akan tetapi ketika kepulauan Nusantara menjadi satu
bagian yang integral dalam perdagangan Asia, dengan rute perdagangan yang merentang
dari Asia Barat Daya dan Asia Selatan ke Tiongkok dan ketika rempah-rempah dari
kepulauan Indonesia - seperti merica, cengkeh dan pala - menjadi komoditi penting dalam
ekonomi dunia, maka keterlibatan dalam perdagangan tersebut meningkatkan mobilitas
antar pulau di kalangan penduduk Nusantara (Koentjoroningrat,1993:6-7; Kartodirdjo,
12
1992). Pada situasi seperti ini kemudian terjadi interaksi satu dengan yang lainnya yang
menghasilkan sesuatu yang dinamis, rasional di dalam masyarakat.
Kondisi yang heterogen secara sosiologis kemudian membentuk kawasan Nusantara
dengan segala kelebihan dan persoalannya. Kelebihannya tentu adalah sebuah kekayaan
tentang suatu masyarakat yang heterogen, namun demikian di dalamnya terdapat juga
begitu banyak masalah yang sering disebut dengan persoalan integrasi. Dalam persoalan
integrasi ini konflik di antara elemen-elemen yang ada di masyarakat merupakan sesuatu
yang tidak dapat dihindarkan. Hal ini terkait dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat
primordialis, hirarkis yang terefleksi dalam ketegangan yang keras dan ironis yang ada di
dalam masyarakat3. Ketegangan ini dapat disebabkan oleh perasaan harkat diri masyarakat
yang bertalian erat dengan masalah hubungan daerah, ras, bahasa, kedaerahan, agama,
tradisi maupun karena kian pentingnya peranan negara berdaulat sebagai upaya dalam
mewujudkan tujuan kolektif yaitu sebuah nation building.
Pembicaraan mengenai nation mengambil bentuknya sejak awal masa
kemerdekaan Indonesia. Pembicaraan mengenai bentuk negara yang didominasi oleh isu
tentang nation (Supomo, Hatta dan Soekarno) telah “menyepakati’ bahwa konsep nation
yang dikedepankan adalah sebuah perwujudan dari konsep negara integralistik. Tetapi
sayangnya, konsep integralistik tersebut belum secara penuh terinci dan dituangkan secara
sistematis dalam UUD 1945, di mana dapat dilihat bahwa pembicaraan mengenai hak-hak
3 Studi dari Chris Barker menunjukan bahwa pluralitas ras dan etnisitas dapat menjadi
sebuah kondisi yang merugikan karena hal tersebut dilihat secara ‘hierarchy social and
material superiority and subordination’, sehingga menjadi semacam ‘social construction’
yang terbangun sedemikian rupa. Dan hal ini yang kemudian berlanjut pada sikap-sikap
rasialisme dan perpecahan yang bernuansa primordialisme. Lihat Chris Baker dalam kajian
mengenai “Ethnicity, Race and Nation” dalam Chris Barker, Cultural Studies-Theory
and Practice, Sage Publication, London, 2000, h. 193 – 198.
13
individu dan kepentingan kelas masih bersifat visioner dan ideal. Belum tampak
mekanisme yang prosedural antara kepentingan individu, kelas dan negara. Hal ini
selanjutnya telah membuka ruang interpretasi yang luas dan multidimensional berdasarkan
kepentingan-kepentingan politis yang ada (Kleden 2004: xx). Terbukanya ruang
interpretasi yang luas ini tentunya sangat berpengaruh pada pemahaman negara tentang
heterogenitas dan multikulturalisme baik dari sisi negara maupun masyarakat
Pergerakan nasionalisme Indonesia sampai menghasilkan buahnya berupa nation-
state (negara bangsa) merupakan pertarungan yang tidak dapat dikatakan mudah. Seperti
telah dinyatakan di atas bahwa perbedaan pemahaman terhadap pemaknaan konsep
integralistik tersebut – baik oleh negara maupun masyarakat – telah menghasilkan
benturan-benturan yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Hal ini karena negara-bangsa
dengan nasionalismenya hadir dalam wujudnya sebagai sebuah negara yang heterogen
(Mardiyansah, JISP, Vol.4, No.3, 2001:296). Heterogenitas masyarakat ini menjadi realitas
yang tidak dapat dihindari ketika berhadapan dengan cita-cita membangun nation building
Indonesia. Dengan demikian pembentukan nation building Indonesia menyerap begitu
banyak identitas-identitas yang bersifat heterogen dan sejak awal memiliki kekuatan-
kekuatan lokal (social forces) yang bersifat mandiri. Persoalannya adalah bagaimana
menata heterogenitas ini dalam bingkai nation building Indonesia. Hal penataan terhadap
heterogenitas ini penting sebab jika gagal akan muncul reaksi lokalitas – yang sejak awal
bersifat mandiri – berhadapan dengan otoritas negara. Atau, reaksi tersebut dapat berupa
mempertimbangkan kembali keikutsertaannya di dalam membangun sebuah nation
building. Reaksi-reaksi seperti gerakan disintegrasi dan separatisme, otonomi khusus, dan
sebagainya, muncul sebagai ujung tombak terhadap ketidakpuasan yang sering bersumber
14
pada ketidakadilan, kepincangan pembangunan, penindasan oleh otoritas penguasa negara
(Mardiyansah, ibid , 2001: 298).
Konsep yang kemudian harus dipertajam adalah bagaimana posisi negara di dalam
menata sebuah nation building yang di dalamnya tersebar realitas masyarakat yang
heterogen. Atau dengan kata lain bagaimana negara – dengan segala legitimasinya –
menata kehidupan bermasyarakat yang juga memiliki tatanan tersendiri. Lambach (2004:
5)4 mengatakan bahwa interaksi negara dan masyarakat adalah seperti sebuah kompetisi
untuk menghasilkan sebuah kontrol sosial. Negara, dengan segala otoritas yang
dimilikinya, berusaha mengatur seluruh hubungan sosial yang ada di dalam masyarakat
yang cenderung menolak akan hal itu. Pada sisi lain masyarakat – dengan segala
eksistensinya juga berusaha untuk menciptakan pola-pola ‘kekuasaannya’ agar tetap dapat
bertahan. Migdal (1988: 29) menyatakan hal ini sebagai strategies of survival.
Sejalan dengan hal tersebut di atas Migdal (1988) memperkenalkan teori state and
society relations dalam menjelaskan posisi negara dan masyarakat dalam sebuah persoalan
publik. Menurutnya, kemampuan suatu negara untuk mencapai perubahan di masyarakat
memerlukan peran pemimpin mereka untuk membuat perencanaan negara, kebijakan
publik dan tindakan aksi, termasuk juga kemampuan untuk masuk melibatkan masyarakat,
mengatur hubungan sosial, dan pengelolaan sumber daya yang ada secara baik. Negara
kuat memiliki ciri kemampuan yang tinggi untuk melengkapi perencanaan negara,
kebijakan publik dan aksi, sementara negara yang lemah memiliki kemampuan yang
rendah dalam kapasitas untuk masuk ke dalam masyarakat, membuat aturan sosial,
mengumpulkan sumber daya dan menggunakannya sesuai dengan cara yang telah
4 Lihat Paper Daniel Lambach, “State in Society: Joel Migdal and the Limits of Tate Authority”, 2004.
15
ditentukan. Selanjutnya Migdal (1988: 14) menyatakan bahwa negara menjadi lemah
karena negara tidak dapat mempersempit ruang kepentingan antara otoritas sosial dan
otoritas negara. Negara dengan segala otoritasnya sering menempatkan otoritas sosial
sebagai yang tunggal. Padahal masyarakat bukanlah sebuah entitas tunggal tetapi
merupakan “a mélange of social organizations” (Migal, 2001: 47-53).
Secara umum hubungam negara dan masyarakat bukanlah dikarateristikan sebagai
hubungan yang saling mendominasi satu dengan yang lainnya. Namun dalam kenyataannya
kedua entitas ini dapat melemahkan satu dengan yang lainnya. Negara dapat menjadi lemah
karena tidak memiliki kemampuan untuk melakukan strategies of survival berhadapan
dengan masyarakat / kekuatan sosial . Negara kehilangan kemampuan untuk melakukan
kontrol sosial – yang merupakan infrastruktur kekuasaannya - yaitu kemampuannya untuk
melakukan penetrasi sosial, mengekstrak sumber-sumber potensi yang ada di dalam negara
dan mengumpulkan atau menggunakannya sumber-sumber tersebut sesuai dengan
kebutuhan (Migdal, 1988: 22-23). Sebaliknya negara dapat dikatakan sebagai negara yang
kuat jika mampu mengoptimalkan potensinya untuk melakukan semua yang disebutkan di
atas untuk kesejahteraan masyarakatnya.
Akan tetapi saat ini negara lemah juga dapat dikarakteristikan dengan kapasitasnya
untuk melakukan penetrasi dan ekstraksi secara luas dengan segala bentuk regulasi dan
bentuk-bentuk political charity-nya, namun secara umum tidak memiliki kekuatan dan
pengaruh untuk melakukan perubahan sosial. Kondisi semacam ini oleh Lambach (2004: 6)
menjadi ciri khas di negara-negara postkolonial – khususnya di negara-negara Asia dan
Afrika (Negara Dunia Ketiga). Migdal (1988: 39) memberikan alasan mengapa negara-
negara ini menjadi negara yang lemah karena adanya persaingan yang kuat antara negara
16
dan organisasi-organisasi lokal (weblike societies) yang sudah ada sejak lama di
masyarakat dengan model-model kepemimpinannya sendiri. ‘Orang-orang kuat’ – seperti
chiefs, landlords, bosses, rich peasent, clan leaders, za’im, effendis, aghast, caciques,
kulaks, dll - dalam weblike societies ini memiliki otoritas yang besar di dalam kehidupan
masyarakat. Meskipun fragmentasi dari weblike societies ini sangat tinggi namun bukan
berarti mereka tidak dapat menata diri mereka. Tanpa sentralisasi kekuasaan, mereka secara
simultan telah menata diri mereka melalui sistem keadilan yang dimilikinya. Kondisi ini
menyebabkan terjadinya sebuah ‘persaingan’ antara negara dan kekuatan-kekuatan lokal
untuk mendapatkan peran kontrol sosial yang kuat. Kekuatan-kekuatan lokal yang telah
memiliki kontrol sosial yang kuat di masyarakat biasanya tidak menginginkan previlasi
mereka berubah menjadi ketaatan terhadap negara. Atau dengan kata lain di dalam
masyarakat sendiri sudah terdapat penataan-penataan lokal yang eksistensinya telah ada
sejalan dengan eksistensi masyarakat tersebut dan bersifat heterogen. Penataan-penataan
lokal ini berfungsi untuk menciptakan kontrol sosial di dalam kehidupan masyarakat
tersebut (Migdal, 1988:22). Pada sisi lain, negara sebagai penyelenggara pemerintahan juga
memiliki kemampuan untuk melakukan kontrol sosial sesuai dengan segala peraturan-
peraturan yang ada. Oleh karenanya pemahaman dari Migdal ini mengasumsikan bahwa
terdapat persaingan yang kuat di antara negara sebagai penyelenggara pemerintahan dan
masyarakat dengan segala eksistensi untuk melakukan kontrol sosial, di mana – pada
akhirnya - negara cenderung memenangkan pertarungan ini.
Seperti telah dinyatakan di atas bahwa secara ideal seharusnya hubungan di antara
negara dan masyarakat tidak dikarakteristikan melalui dominasi antara satu dengan yang
lainnya. Atau dengan kata lain negara saling membangun kekuatan bersama dengan
17
kekuatan sosial yang lainnya (mutually empowering) (Migdal, 1994: 4). Namun demikian
pada kenyataannya kedua entitas ini selalu mempengaruhi untuk melemahkan satu dengan
yang lainnya (Lambach, 2004:6). Hal ini terjadi karena negara pada dasarnya memiliki
kapasitas untuk melakukan penetrasi sosial ke dalam kehidupan masyarakat, mengekstraksi
sumber-sumber potensi yang ada dan menggunakannya sesuai dengan kebutuhan yang ada.
Dengan demikian negara kuat, demikian Migdal (1988:4-5), adalah negara yang memiliki
kemampuan yang tinggi untuk menata semua kemampuan yang dimiliki atas sumber-
sumber tersebut untuk mengarahkannya kepada kepentingan perubahan sosial yang lebih
baik. Sedangkan negara yang lemah adalah negara yang memiliki kemampuan untuk
melakukan penetrasi dan ekstraksi terhadap sumber-sumber tersebut tetapi tidak memiliki
dampak bagi sebuah perubahan sosial yang lebih baik. Perbedaan antara negara kuat dan
negara lemah dalam konsep Migdal adalah terletak pada bagaimana hasil yang diperoleh
masyarakat dari setiap penetrasi yang dilakukan oleh negara. Negara kuat adalah negara
yang melakukan penetrasi dengan hasil yang membawa pada perubahan sosial yang baik
sedangkan negara lemah adalah negara yang melakukan penetrasi dengan hasil yang tidak
membawa dampak pada perubahan sosial ke arah yang baik di dalam masyarakat.
Untuk hal itu Migdal (1994: 24-26) ) memberikan beberapa konsep mengenai
hubungan negara dan masyarakat:
Pertama: Tranformasi total. Di sini negara melakukan penetrasi yang kuat dan bersifat
destruktif, kooptasi, penaklukan terhadap seluruh komponen-komponen kekuatan sosial
dan melakukan dominasi terhadap kekuatan-kekuatan soaial tersebut.
Kedua: Negara menyatukan kekuatan-kekuatan sosial yang ada di dalam masyarakat. Pada
tipe ini negara melakukan sebuah penetrasi terhadap kekuatan-kekuatan sosial tersebut dan
18
menciptakan sebuah tatanan kehidupan bernegara yang baru. Penataan kehidupan
bernegara yang baru ini juga berdampak pada seluruh komponen yang dimiliki oleh negara
yang menyesuaikan dengan keadaan tersebut- merealokasi sumber-sumber kekuasaan,
membangun legitimasi dan melakukan integrated domination.
Ketiga: Kekuatan-kekuatan sosial menyatukan negara. Dalam tipe ini kekuatan sosial
memiliki peran yang signifikan untuk melakukan dominasi terhadap negara. Peran negara
menjadi sangat rendah dan dikuasai oleh kekuatan sosial yang ada. Dengan kata lain
seluruh simbol-simbol dan organisasi negara didominasi oleh lokalitas kekuatan sosial
yang ada.
Keempat: Negara dan kekuatan sosial tidak dapat mengintervensi satu dengan yang
lainnya. Pada tipe ini kedua kekuatan menjadi pesaing satu dengan yang lainnya dan
memiliki kekuatan yang signifikan untuk tidak saling dipengaruhi.
Dari keempat model hubungan di atas kesemuanya dapat menunjukan kuat
lemahnya sebuah negara atau masyarakat. Model pertama menunjukan identitas negara
yang begitu kuat tetapi bersifat dominan serta represif. Negara kuat rakyat menjadi lemah.
Model kedua memberikan gambaran bahwa negara dan masyarakat memiliki kekuatan
secara seimbang sehingga dapat menciptakan mutually empowering. Model ketiga
memberikan indikasi lemahnya sebuah negara berhadapan dengan kekuatan sosial dan
dengan demikian rakyat kuat negara menjadi lemah. Model keempat menunjukkan adanya
kekuatan yang saling dominan antara negara dan rakyat tetapi tidak menghasilkan sebuah
mutually empowering.
Melihat model-model ini maka konsep negara kuat menjadi sangat dualistik, yaitu
negara dapat dikatakan kuat karena ia dapat mengoptimalkan segala potensi untuk
19
meneyejahterkan rakyatnya tetapi pada sisi lain negara kuat juga memiliki konteks yang
negatif karena kekuatan negara digunakan untuk mengkooptasi, menaklukkan dan
mendominasi peran kekuatan sosial. Pada sisi lain rakyat kuat juga menjadi sangat
dilematis. Rakyat kuat dapat diartikan sebagai kondisi di mana rakyat dapat
menyejahterakan dirinya melalui potensi dan kekuatan sosial yang ada tetapi pada sisi lain
rakyat kuat juga berarti memarginalisasikan peran negara. Negara dibajak atau diambil alih
oleh kekuatan-kekuatan sosial guna menciptakan sebuah hirarki baru dalam tatatanan
kenegaraan yang dikuasai oleh lokalitas dari kekuatan sosial yang ada.
Sejalan dengan itu Peter Dauvergne (Pacific Economy Bulletin, Vol.13, No.1,
1998:125) mendefenisikan negara kuat sebagai berikut:
“Definitions of state strength vary somewhat, although most writers accept that it
involves, at least in part, the willingness and ability of state to maintain social
control, ensure societal compliance with official laws, act decisively, make effective
policies, preserve stability and cohesion, encourage societal participation in state
institution, provide basic services, manage and control the national economy and
retain legitimacy”
Definisi negara kuat seperti di atas berasumsi bahwa negara diharapkan mampu
melakukan sebuah penggalangan kolektif dalam rangka menciptakan sebuah kontrol sosial
yang baik, produk-produk hukum yang adil, kebijakan yang efektif, kemampuan untuk
menciptakan kohesi dari kehidupan bermasyarakat, menggalang partisipasi masyarakat,
menyediakan basis-basis pelayanan masyarakat serta menata dan mengontrol
perekonomian secara baik. Dari pemahaman ini dapat dikatakan bahwa negara yang lemah
adalah jika negara tersebut tidak dapat mengimplementasikan hal-hal di atas dengan baik.
Hal senada juga diungkapkan oleh Rotberg (2002:4, 2003:4 ) bahwa negara kuat
merupakan negara yang mampu menciptakan kedamaian dengan mengutamakan
20
keselamatan manusia, meniadakan tindak kekerasan dan kejahatan. Selain itu negara kuat
juga mampu memenuhi political good dari warga negara, diantaranya menjamin kebebasan
berpolitik dan kebebasan masyakat, lingkungan perekonomian yang kondusif, the rule of
law ditegakkan, sarana dan prasarana publik dibangun/dipelihara dengan baik, public
services (seperti layanan kesehatan dan pendidikan) dapat terpenuhi dengan baik dan
sebagainya. Negara yang seperti ini tentu dapat dilihat dengan beberapa indikatornya,
seperti GDP per Kapita, UNDP Human Development Index, Transparancy International’s
Corruption Perception Index, and Freedom House’s Freedom of the World Report.
Sebaliknya negara lemah, yang pada dasarnya kuat, hanya secara kondisional lemah oleh
keburukan-keburukan internal, cacatnya manajemen, keserakahan, kelaliman, atau diserang
dari luar dan dalam (pemberontakan). Negara yang lemah ini bercirikan suku, agama,
bahasa atau tekanan masyarakat yang meningkat ke permukaan – konflik mudah terjadi,
dan kemampuan untuk menyediakan sarana-prasarana publik yang relatif dikurangi atau
memang kurang mereka ini memang kurang dapat memenuhi political good secara baik
(Rotberg, 2002: 5-6, Wise, 2004: 2).
Namun demikian Dauvergne (1998:125-126) menyatakan harus berhati-hati dengan
definisi yang demikian, khususnya mengenai negara lemah. Hal itu karena di dalam konsep
negara lemah terdapat kekuatan yang tersembunyi - mengacu pada konsep Kohli dan Shue
(1994), sesuatu kekuatan yang disebut dengan dominasi. Dalam analisanya Dauvergne
(1998:128-129) memberikan gambaran tentang apa yang terjadi di era pemerintahan
Soeharto (kasus Indonesia) yang memperlihatkan bahwa negara tersebut dapat dikatakan
lemah karena melakukan penetrasi yang begitu kuat di segala bidang dengan memberikan
efek sosial yang kecil bagi masyarakat. Hal ini terjadi karena dasar dari penetrasi tersebut
21
adalah dengan dominasi dan represifitas. Oleh karenanya konsep negara yang demikian
oleh Dauvergne (1998: 125) dapat dikatakan sebagai negara kuat dengan pembawaan yang
lemah. Atau, demikian Dauvergne (1998:128), jika negara tersebut hendak dikatakan
sebagai negara lemah maka ia dapat dikatakan sebagai negara lemah dengan kekuatan yang
tersembunyi.
Masalah yang muncul adalah konsep manakah yang lebih tepat digunakan untuk
menjelaskan kegagalan negara di dalam menata masyarakat yang heterogen. Apakah
negara kuat atau negara lemah di dalam menata persoalan masyarakat yang heterogen,
khususnya di Indonesia? Secara prinsip kedua konsep ini mengandung makna bahwa
negara telah menjelma menjadi sebuah kekuatan impersonal yang mampu mengontrol dan
mengatasi kekuatan, meminjam istilah Migdal (1998: 39), “weblike societies yang ada di
masyarakat. Kontrol sosial yang kuat terhadap masyarakat ini berakibat munculnya sifat
ketergantungan masyarakat terhadap negara yang semakin besar. Akibatnya negara secara
mudah melakukan tindakan yang bersifat dominasi dan represif melalui instrumen
represinya yaitu birokrasi yang didukung teknokrasi dan militer (Purwo Santoso,
2004:191).
Dalam hal birokrasi, tindakan dominasi dan represif ini dapat dilakukan dengan
menciptakan regulasi-regulasi yang sejalan dengan kepentingan negara – dalam hal ini
pemerintah. Tindakan ini dapat dilakukan karena, secara teoretis maupun praktis sangat
kuat di dominasi oleh pemahaman bahwa proses perumusan kebijakan merupakan produk
yang bersifat top down dan cenderung politis. Peran pemerintah di dalam proses perumusan
kebijakan merupakan inti di dalam keseluruhan analisis kebijakan. Studi-studi yang
dilakukan oleh Yin (1980), Barret dan Fudge (1981), Alexander (1982) dan Sabatier dan
22
Mazmanian (1983), menunjukan dengan jelas pengaruh yang sangat kuat atas pendekatan
top down di dalam proses perumusan kebijakan publik. Jauh sebelumnya bahkan David
Easton (1965: 79) juga telah membuat sebuah premis yang cukup lama dipandang sebagai
“kebenaran” yaitu bahwa kebijakan merupakan produk dari kekuatan sistem di dalam
lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, administrator, raja-raja…menurutnya merekalah
orang-orang yang dalam kehidupan sesehariannya terkait dengan sistem politik yang
bertanggungjawab atas proses dan perumusan kebijakan. Akan tetapi dalam prakteknya
model perumusan kebijakan seperti ini sering menjadi sesuatu yang bersifat legal formal
dan sangat tidak berifat partisipatoris karena cenderung mengandalkan kemampuan
teknokratik semata-mata. Dengan kata lain pelaku-pelaku kebijakan adalah aktor yang
sangat berpikir rasional dengan mengandalkan pada informasi yang konprenhensif. Bahkan
Guy Peters (2001: 97-98) lebih jauh menyatakan bahwa model perumusan kebijakan-
kebijakan yang ada selama ini cenderung menghasilakan rezim regulasi dan birokratisasi
yang kemudian telah menjadi kendala bagi pemerintahan dalam menghasilkan kebijakan-
kebijakan yang visioner dan misioner. Pada sisi lain kebijakan suatu negara sangat
menekankan pada orientasi, dan visi serta nilai-nilai yang dimiliki oleh kekuatan dari
otoritas rezim yang berkuasa yang juga diharapkan akan diikuti oleh masyarakat. Konsep
ini memang sejalan dengan apa yang dikatakan oleh David Easton (1965:129) bahwa
kebijakan bukan saja merupakan kebijakan yang dibuat bagi proses implementasi semata-
mata, tetapi lebih dari pada itu ada suatu nilai kuat yang sengaja ditanamkan di dalam
masyarakat untuk mendukung kebijakan tersebut. Pertanyaannya tentu adalah mengapa
produk kebijakan publik tiba-tiba menjadi sesuatu yang cenderung berpihak pada negara?
23
Kenyataan bahwa produk kebijakan publik menjadi sesuatu yang cenderung
berorientasi kepada negara pada akhirnya tidak bisa dihindarkan mengingat kebijakan
publik berada pada ranah politik. Tentu ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh salah
seorang empu ilmu kebijakan publik, Harold Laswell , yang mengharapkan bahwa ilmu
kebijakan publik tetap berada di bawah tradisi ilmu politik dan terintegrasi melalui teori-
teori politik serta politik praktis (Lerner dan Laswell, 1951:3-15). Pemahaman yang
demikian merupakan sebuah konsekuensi, seperti yang dikatakan Sabatier (1991), bahwa
selama beberapa dekade belakangan ini telah terjadi interaksi kebijakan publik dan ilmu
politik yang menghasilkan beberapa tipe penelitian kebijakan seperti Riset Subtantantive,
Riset Evaluasi, Riset Proses Kebijakan dan Riset Disain Kebijakan. Menurutnya tipe-tipe
penelitian ini menunjukkan dengan tegas bahwa kedudukan ilmu politik dan kebijakan
publik merupakan sebuah mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Implikasi dari semuanya
ini adalah bahwa peran aktor kebijakan publik secara langsung merupakan peran dari aktor-
aktor politik. Atau dengan kata lain terdapat korelasi yang jelas antara kepentingan
kebijakan publik berhadapan dengan kepentingan politik (1, Political Science and Public
Policy, 1991:144). Bahkan, mengacu pada definisi klasik mengenai kebijakan publik oleh
Dye (1972) dinyatakan bahwa jika kebijakan publik adalah suatu pilihan tentang apa yang
tidak dilakukan maupun yang dilakukan pemerintah maka konsekuensi dari pemahaman ini
adalah besarnya peran negara, dalam hal ini pemerintah, untuk memainkan perannya dalam
proses kebijakan tersebut. Agen kebijakan publik semata-mata tertumpu pada peran
pemerintah. Dengan demikian tampak bahwa agen-agen lain seperti organisasi non
pemerintah, interest group, individu, bisnis sering dianggap tidak memainkan peran yang
penting dalam kebijakan publik. Pendekatan kebijakan publik yang demikian secara
24
teoretis sering disebut dengan pendekatan instrumentalis (Guy Peters dan Frans Nispen,
1998: 2-4) yang bersifat rasionalistik, positivistik yang cenderung menempatkan kebijakan
publik sebagai agen yang menguntungkan pihak pemerintah semata-mata serta
mengakibatkan renggangnya hubungan antara elit negara, birokrat dan kekuatan sipil yang
ada di dalam masyarakat (Keeley dan Scoones, Working Paper, 1999: 6).
Dalam kerangka teoretis yang demikian dapat dipahami kecenderungan kebijakan
publik berpihak pada kepentingan negara karena ia memiliki korelasi yang intim dengan
politik negara. Hakekat dari kompleksitas kebijakan publik dipahami sebagai sebuah proses
politik sehingga segala kompleksitas persoalan yang muncul di tingkat politik juga ditemui
pada tingkat kebijakan publik (Putra, 2001:29). Secara implementatif dapat dikatakan
bahwa kebijakan publik merupakan keseluruhan dari apa yang dilakukan oleh pemerintah
dan apa yang hendak dilakukannya kemudian dengan segala konsekuensinya.
Dukungan terhadap peran sentral birokrasi terhadap regulasi tidak dapat dilepaskan
dari instrumen-instrumen yang ada di dalam negara tersebut. Salah satunya adalah
dukungan instrumen negara yaitu militer. Wacana hubungan sipil dan militer dalam kajian
negara-negara di Barat menunjukan adanya supremasi sipil atas militer (Salim Said, 2001,
h. 302). Hal ini terjadi dalam kerangka menegakan hak-hak sipil atas militer agar tidak
terjadi kekuasaan militer atas masyarakat sipil yang cenderung menghasilkan kekerasan.
Hutington (1959:80-83) melihat pemahaman yang demikian sebagai objective civilian
control. Dalam pemahaman ini kontrol sipil atas militer dilihat sebagai pengakuan otonomi
militer profesional yang berbagi dengan profesionalitas sipil. Hasil yang diharapkan dari
hubungan seperti ini adalah munculnya supremasi sipil yang sehat.
25
Namun demikian dalam kenyataannya persoalan yang sering muncul adalah
terjadinya intervensi di antara keduanya yang saling melemahkan satu dengan yang
lainnya. Hutington (Hutington: ibid) menyatakan bahwa kuatnya kontrol sipil terhadap
militer yang tidak sehat sering disebut dengan subjective civilian control. Di sini peran sipil
meminimalkan peran militer. Akibatnya muncul reaksi untuk membebaskan diri dari
tekanan yang demikian oleh pihak militer yang sering disebut dengan intervensi militer atas
sipil. Michael Desch menyatakan bahwa kecenderungan militer untuk melakukan
intervensi atas sipil cenderung terjadi bukan karena faktor adanya musuh bersama dari luar
tetapi justru sering terjadi karena adanya persoalan internal yang mengancam (Diamond
dan Plattner, 2000:20-21). Keadaan demikian pada akhirnya memiliki kesempatan bagi
militer untuk intervensi militer atas sipil. Perlmutter (Perlmutter dan Bennett, 1980:144 -
45) menyatakan bahwa intervensi militer sering terjadi karena dua hal. Pertama, faktor
kondisi sosial yaitu lemahnya struktur formal. Hal ini mengakibatkan terhambatnya
saluran-saluran komunikasi yang kemudian memberi peluang bagi militer untuk melakukan
intervensi. Kedua, faktor politik yaitu terfragmentasinya struktur politik sipil dalam faksi-
faksi politik. Ketika perangkat-perangkat politik ini tidak berjalan maka kesempatan untuk
melakukan intervensi oleh militer menjadi sangat besar. Namun demikian Nordlinger
(1977: 452-453) berpendapat bahwa bukan saja faktor eksternal militer yang menyebabkan
keinginan intervensi militer terjadi. Baginya, intervensi militer juga tidak bisa dilepaskan
dari keinginan perwira-perwira intervensionis utuk membela kepentingan militer. Tindakan
ini dapat dilakukan meskipun berlawanan dengan konstitusi.
Faktor subjective civilian control, kondisi sosial, politik dan faktor eksternal militer
di atas menunjukkan bahwa militer mempunyai kemungkinan-kemungkinan yang sangat
26
besar untuk melakukan tindakan dominasi dan intervensi politik. Hal itu juga menjadi
semakin kuat jika secara politis negara dengan sengaja menggunakan kekuatan militer
untuk ikut campur – bahkan berkuasa – guna mengatasi masalah-masalah yang ada di
dalam menata perilaku hidup berkebangsaan. Pada sisi inilah kemudian terjadi
“perkawinan’ antara birokrasi dan militer sebagai instrumen pengendali bagi kepentingan
negara.
Apa yang terjadi dalam perpolitikan di Indonesia memberikan gambaran adanya
varian-varian mengenai hubungan sipil-militer di Indonesia sejak Indonesia merdeka.
Birokrasi berhimpitan dengan kepentingan militer dan demikian juga sebaliknya militer
memiliki kepentingan di dalam birokrasi. Konsepsi ‘Jalan Tengah’ yang merupakan cikal-
bakal Dwifungsi ABRI memberikan model bagi hubungan sipil-militer di Indonesia dengan
segala konsekuensinya sejak era Demokrasi Terpimpin hingga pemerintahan Orde Baru.
Doktrin ini bagi tentara digunakan untuk menentukan posisinya dalam sistem politik di
Indonesia dan juga keterlibatan tentara di dalam jajaran birokrasi , parlemen, korps
diplomatik, Dewan Perancang Nasional, jabatan pemerintahan yang lainnya bahkan
jabatan-jabatan di bidang ekonomi, pemimpin perusahaan negara yang diambil alih oleh
negara melalui kebijakan nasionalisasi (Sundhaussen, 1986:219). Persoalannya adalah
apakah hubungan yang demikian memberikan dampak bagi penggalangan kolektif dalam
rangka menciptakan sebuah kontrol sosial yang baik, produk-produk hukum yang adil,
kebijakan yang efektif, kemampuan untuk menciptakan kohesi dari kehidupan
bermasyarakat, menggalang partisipasi masyarakat, menyediakan basis-basis pelayanan
masyarakat serta menata dan mengontrol perekonomian secara baik atau justru sebaliknya.
27
Jika melihat konsep di atas, apakah makna menjadi negara kuat di Indonesia? Jika
mengacu dari konsep negara kuat oleh Migdal maupun Rotberg maka negara kuat adalah
negara yang mampu mengelola seluruh potensi yang ada dalam negara demi kesejahteraan
masyarakat. Namun bagaimanakah jika konsep ini diperhadapkan pada masyarakat yang
semakin kehilangan potensinya ketika berhadapan dengan negara. Dalam pengertian bahwa
kekuatan negara di dalam melakukan sebuah penetrasi sosial bagi kesejahteraan
masyarakat justru memberi dampak bagi makin lemahnya daya tawar masyarakat terhadap
negara. Sebagai contoh – khususnya di Indonesia - terjadinya pola-pola pasivikasi
nasionalisme primer dengan menggunakan instrumen-instrumen seperti militerisme,
regulasi-regulasi (kebijakan) yang berifat diskriminatif dan kekuatan ekonomi (dana-dana
pemerintah yang digulirkan secara terpusat yang menciptakan ketergantungan secara
ekonomi-politik) menunjukkan adanya dominasi dan intervensi negara yang bersifat
represif terhadap masyarakat heterogen. Kondisi ini menyebabkan negara / pemerintah
semakin kuat tetapi berbanding terbalik dengan masyarakat yang menjadi sangat lemah.
Mengacu pada wacana mengenai nasionalisme primer dan sekunder dari Ronan Paddison
(1983), ia menyatakan bahwa nasionalisme sekunder – dalam hal ini nasionalisme yang
dipahami oleh negara – memarginalisasikan peran etnik pada masyarakat yang heterogen –
sering disebut dengan nasionalisme pinggiran (primer). Nasionalisme yang demikian
diperlukan oleh negara sebagai instrumen penyelenggaraan pemerintahan guna
membangun basis legitimasi dalam penggalangan loyalitas terhadap negara (Purwo
Santoso, JISIP, Vol.4, No.3,2001:268). Selanjutnya, nasionalisme sekunder ini cenderung
bersifat hegemonik terhadap nasionalisme primer – dalam konteks Indonesia - atas nama
kesatuan dan persatuan, bhinneka tunggal ika dan sebagainya. Represifitas yang kuat
28
terhadap dinamika nasionalisme primer ini, oleh negara, sering dipahami sebagai ancaman
bagi pembentukan nasionalisme sekunder. Akibatnya adalah terciptanya pola-pola
pasivikasi nasionalisme primer oleh negara (Purwo Santoso, ibid: 270). Di sini terlihat
bahwa dalam konsep nasionalisme primer-sekunder peran negara sebagai instrumen
penyelenggara pemerintahan menempatkan posisinya sebagai entitas politik yang bersifat
impersonal dengan kekuatan untuk menggerus entitas politik lokal (masyarakat yang
heterogen) demi kepentingan negara. Konsep negara kuat dalam hal ini adalah negara yang
menggerus kekuatan lokal, yang dalam realitasnya adalah masyarakat yang heterogen.
Dengan kata lain hendak dikatakan bahwa tidak tercipta sebuah negara / pemerintah
yang kuat dengan masyarakat madani (civil society) yang kuat. Secara ideal tentu yang
diharapkan adalah munculnya sebuah negara kuat dengan masyarakat yang kuat. Namun
demikian pada kenyataannya, justru yang muncul adalah negara kuat dengan masyarakat
yang lemah.
Tabel 1. Peran Negara dan Peran Masyarakat dalam Pola Hubungan
Negara - Masyarakat
Peran negara Peran Masyarakat (Society Pola Hubungan Negara
Role) - Masyarakat
(State Role)
Strong (kuat, berdaya, Trust (saling percaya),
Strong (kuat, partisipatif, inisiatif), volountary demokrasi, civilized,
dominan, penetrasi (kemandirian) sinergi, maju bersama
dan pelibatan
Strong (kuat, Weak (lemah, subordinat, pasif) Piramid, elitis
dominan, penetrasi
dan pelibatan) Strong (kuat, berdaya, Diffused/distrust (saling
Weak (lemah), partisipatif, inisiatif), voluntary curiga)
Failure (gagal) (kemandirian)
Weak (lemah), Weak (lemah, subordinat, pasif) Anarchical/distrust
Failure (gagal) (kacau, saling curiga),
ommision (kekosongan)
29
Tabel di atas memberikan gambaran bahwa jika negara kuat dan masyarakat kuat
akan menghasilkan trust, demokrasi masyarakat yang madani dan sinergi-maju bersama.
Tetapi jika negara kuat-masyarakat lemah maka yang terjadi adalah munculnya tatanan
masyarakat yang elitis atau bersifat piramidal. Melihat ilustrasi di atas pertanyaannya tentu
adalah sisi mana yang menyebabkan kuat atau lemahnya suatu negara? Seperti telah
diuraikan secara konseptual dapat dipahami bahwa kuat atau lemahnya sebuah negara
berkaitan dengan kemampuannya untuk menerapkan kebijaksanaan sosial dan
menggerakkan masyarakat yang berkaitan dengan struktur sosial. Negara yang kuat mampu
memerintah masyarakat dengan cara yang rinci. Namun sayangnya, di negara dunia ketiga
–termasuk Indonesia - tidak begitu banyak pengendalian sosial (social control) dalam
masyarakat tetapi lebih banyak pada persoalan distribusi dan sentralisasi. Keadaan negara
yang kuat ini menghasilkan sentralisasi yang tinggi dan keadaan yang serba tidak pasti
(diffused). Maka ciri negara yang kuat yang demikian adalah tingginya kontrol sosial dalam
semua bidang kehidupan. Keadaan negara yang kuat demikian menghasilkan struktur
masyarakat yang elitis (piramidal). Dalam struktur masyarakat yang elitis (piramidal),
penataan terhadap masyarakat yang heterogen memiliki persoalan tersendiri. Persoalannya
adalah distribusi dan sentralisasi negara menjadi semakin kuat sedangkan kemampuan
masyarakat semakin melemah. Hal ini terjadi karena kekuatan distribusi dan sentralisasi
tersebut dilakukan dengan tingkatan dominasi dan hegemoni negara yang tinggi terhadap
masyarakat. Dominasi negara muncul karena negara mempunyai kekuasaan lebih (surplus
power) baik melalui birokrasi maupun melalui monopoli kekerasan oleh negara yang
terwujud dalam lembaga-lembaga militer dan polisi. Artinya negara mempunyai kekuasaan
untuk melakukan daya paksa secara fisik maupun administratif. Kekuatan dominasi juga
30
dimiliki oleh negara karena mempunyai nilai lebih (surplus value) melalui etatisme dalam
ekonomi. Kontrol negara terhadap perkembangan ekonomi bersifat langsung. Kontrol
tersebut terwujud dalam penguasaan modal pembangunan maupun penguasaan lisensi
melalui regulasi dan birokrasi. Pada sisi lain hegemoni negara terwujud dalam penguasaan
negara terhadap makna lebih (surplus meaning). Tafsir negara tentang makna kebudayaan
dan ideologi sangat dipengaruhi oleh pandangan negara, sehingga suatu pengertian atau
tafsiran tidak dilibatkan dalam konstetasi publik antara pihak-pihak yang setaraf, tetapi
cenderung diverifikasi berdasarkan kesesuaian atau penyimpangannya dari pandangan dan
tafsiran resmi pihak negara (Kleden, 2004:xxiii-xxv).
Dominasi dan hegemoni ataupun intervensi negara pada akhirnya telah
mempersempit ruang gerak masyarakat di dalam mengekspresikan heterogenitas yang
merupakan eksistensi masyarakat itu sendiri. Dengan demikian konsep negara kuat seperti
yang diharapkan oleh Migdal dan Rotberg sering kehilangan makna ketika di dalamnya
terkait secara erat dengan perilaku dominan dan intervensif dari negara. Dengan demikian
Dauvergne – khususnya di negara-negara dunia ketiga – lebih tepat mengonsepkan tentang
peran negara yang demikian yaitu sebagai negara kuat dengan pembawaan yang lemah.
Atau negara lemah dengan kekuatan yang tersembunyi. Penulis memakai konsep Dauvegne
ini untuk menempatkan posisi negara – dalam hal ini pemerintah di Indonesia - sejak era
Demokrasi Parlementer hingga Orde Baru yaitu sebagai negara kuat dengan pembawaan
yang lemah. Pemahaman kuat di sini berarti negara telah melakukan suatu tindakan-
tindakan politis yang secara langsung telah melemahkan eksistensi masyarakat, khususnya
dalam masyarakat yang heterogen.
31
Jika demikian pemahaman mengenai negara kuat dapat dilihat dalam dua sisi. Sisi
pertama adalah memberikan gambaran mengenai peran negara yang efektif di dalam
menata dan mengeksplorasi segala potensi yang ada demi kesejahteraan masyarakatnya.
Sisi yang lain adalah negara kuat dalam pengertian sebagai negara yang gagal melakukan
tindakan-tindakan demi kesejahteraan masyarakatnya. Kegagalan ini terjadi akibat fungsi
dan kapasitas peran negara terlalu kuat atau besar di dalam mengeksplorasi segala potensi
yang ada (Fukuyama, 2005-8-9). Jika demikian bagaimanakah ukuran untuk menilai
apakah negara tersebut kuat dalam pengertian yang pertama atau yang kedua?
Fukuyama (2005) dalam analisisnya memberikan gambaran yang menarik tentang
kapasitas dan fungsi negara. Dalam uraiannya memang ia tidak tidak mewacanakan secara
khusus perdebatan tentang negara kuat atau lemah. Ia hanya mewacanakan mengenai
pentingnya mengembalikan peran negara sesuai kapasitas dan fungsi-fungsi yang dimiliki
oleh negara. Namun ia juga memberikan ilustrasi yang dapat menunjukan ukuran kualitas
fungsi dan kapasitas terhadap sebuah negara di dalam menata kembali peran-perannya.
Dalam kajiannya mengenai eksplorasi terhadap persoalan ekonomi politik di sebuah
negara maka peran negara dapat diperlihatkan secara subtantif dalam matriks seperti di
bawah ini.
32
Tabel 2. Kapasitas dan Fungsi Negara
Kekuatan Lembaga-Lembaga
Negara
Kuadran I Kuadran II
Kuadran III Kuadran IV
Lingkup Fugsi Negara
Menurutnya para ahli ekonomi akan merasa optimal jika berada dalam kuadaran I,
yang memadukan lingkup fungsi negara yang terbatas dengan efektifitas kelembagaan yang
kuat. Kuadran IV adalah kondisi paling buruk dalam hal keberhasilan ekonomi, dimana
sebuah negara tidak efektif menjalankan serangkaian aktivitas ambisius yang tidak dapat
dijalankannya dengan baik. Posisi kuadran IV ini, menurutnya, justru banyak ditempati
oleh negara-negara berkembang (Fukuyama, 2005:14). Namun ia juga menyatakan bahwa
terdapat kemungkinan-kemungkinan bagi negara-negara untuk bergeser dalam kuadaran
yang lain dalam suatu waktu. Misalnya negara bekas Uni Soviet begeser dari sebuah negara
dengan lingkup yang ekstensif dan suatu derajat menengah dari kekuatan dalam
kemampuan-kemampuan administratif menjadi sebuah negara dengan lingkup fungsi yang
jauh lebih sempit dan derajat kemampuan negara yang sama-sama berkurang (Fukuyama,
2005: 16-17). Analisis terhadap pergeseran-pergeseran ini tentu menjadi sebuah analisis
yang menarik jika melihatnya dalam konteks ekonomi politik di Indonesia.
33
Mengacu pada matriks ini maka penulis meminjamnya untuk memperlihatkan
bagaiamana hal ini juga dapat mengukur potensi kualitas negara kuat yang bersifat
dualisitik tersebut. Jika Fukuyama memakai matriks ini untuk melihat potensi negara dalam
kaitannya dengan persoalan ekonomi politik suatu negara maka penulis mencoba
meminjam matriks ini untuk menjelaskan lingkup fungsi dan kapasitas negara dalam
menata heterogenitas yang ada di dalam masyarakat. Kuadran I memberikan penjelasan
mengenai kelembagaan negara yang kuat dalam lingkup yang sangat terbatas. Artinya
bahwa peran negara di sini sebatas pada menata kehidupan masyarakat di dalam
perjumpaan-perjumpaan lintas sosial. Efektifitas kelembagaan berjalan dengan baik tetapi
dengan fungsi yang sangat terbatas sehingga negara tidak dapat melakukan salah satu
fungsinya yang penting yaitu melakukan penetrasi jika hal itu diperlukan. Ruang yang
sangat bebas bagi masyarakat tidak dapat dijangkau oleh peran negara dan akibatnya dapat
terjadi konflik sosial yang berkepanjangan dalam aras horizontal. Kuadran II menunjukan
adanya kelembagaan yang kuat di dalam menata persoalan heterogenitas dan lingkupnya
menjadi sangat besar. Artinya, meskipun negara tersebut memiliki kekuatan yang baik atas
lembaga-lembaga negara tetapi tetapi fungsinya justru sangat besar. Format negara tidak
saja menata tetapi menjadi pengatur mengenai masalah-masalah heterogenitas tersebut.
Kondisi ini menyebabkan kapasitas dan fungsi negara menjadi sedemikian luas dan
akibatnya adalah peran masyarakat menjadi lemah. Demokrasi acuan bagi eksistensi
sebuah negara modern akan lenyap. Kuadran III negara mempunyai kelemahan dalam
lembaga-lembaga dan juga dengan fungsi yang terbatas. Dampak yang paling besar dari
situasi ini adalah munculnya semangat etnonasionalisme dan reaksi-reaksi lokalitas yang
anti terhadap pemerintah. Kuadran IV memberikan gambaran mengenai besarnya fungsi
34
negara dalam mengatur heterogenitas dan ini tentunya berakibat sangat buruk bagi
masyarakat tersebut karena lembaga-lembaga negara tidak berjalan secara optimal dan
efektif.
Apa yang terjadi dalam konteks Indonesia sejak era Demokrasi Parlemeneter
hingga Orde Baru dapat dilihat dalam analisis matriks di atas. Era Demokrasi Palementer
dan Demokrasi Terpimpin di mana lembaga-lembaga kenegaraan masih mencari bentuk
dan belum stabul, tetapi negara melakukan fungsinya yang besar/luas guna
mempertahankan negara sebagai kesatuan. Akibatnya ketika diperhadapkan pada persoalan
heterogenitas kecenderungan negara menjadi sangat kuat/luas dalam fungsinya dengan
menggunakan kekuatan-kekuatan penekan – seperti militer dan regulasi-regulasi yang
cenderung diskriminatif – demi menjaga keutuhan negara sebagai kesatuan (Kuadaran IV).
Dalam era pemerintahan Orde Baru tatanan kelembagaan bisa dikatakan sudah
sangat kuat dan diikuti dengan cakupan fungsi yang sangat besar pula. Konsekuensinya
adalah penetrasi sosial menjadi sangat besar dengan lembaga kenegaraan yang kuat dan
fungsi yang sangat luas. Dalam kaitannya dengan persoalan penataan masyarakat yang
heterogen kondisi ini menunjukan bahwa negara memiliki lembaga-lembaga yang kuat
dengan memiliki fungsi yang besar/luas untuk melakukan penetrasi sosial yang berakibat
potensi sosial yang bersifat heterogen menjadi menjadi sangat termarginalkan (Kuadran
II).
Disadari bahwa peran negara tetap menjadi sesuatu yang sangat penting dalam
menata persoalan masyarakat yang heterogen. Fukuyama (2005) menjelasakan betapa
berartinya mengembalikan peran negara yang hilang di era privatisasi yang mengakibatkan
dampak buruk yang luar biasa dalam suatu bangsa – khususnya di negara-negara