35
berkembang. Namun demikian dengan sangat tegas ia mengatakan bahwa persoalan peran
negara yang kuat tidak saja berkaitan dengan bentuk organisasi dan manajemen, bentuk
sistem politik, dasar-dasar legitimasi tetapi juga harus memperhatikan faktor-faktot budaya
dan struktural (Fukuyama, 2005: 28-38). Artinya bentuk-bentuk kelembagaan lokal,
struktur-struktur masyarakat lokal (kebudayaan) dengan segala potensi yang bersifat
heterogen juga harus ditempatkan secara maksimal dalam konteks kenegaraan. Kekuatan-
kekuatan atau tafsir-tafsir tunggal mengenai konsep hidup kenegaraan seharusnya
tidakmenjadi yang utama dan selanjutnya mengembangkan atau dikovergensikan dengan
memperhatikan kekuatan-kekuatan lokal yang ada. Pada sisi ini maka negara kuat adalah
sebuah negara yang telah memaksimalkan seluruh potensi heterogenitas yang ada di
dalamnya. Tetapi negara yang menghilangkan potensi heterogenitas demi menjaga
stabilitas negara sebagai kesatuan dapat juga dikatakan sebagai sebuah negara kuat. Negara
kuat dalam konteks ini adalah negara yang menempatkan fungsi dan kapasitasnya untuk
menjaga stabilitas negara sebagai kesatuan dengan cara memarginalisikan kekuatan-
kekutan potensi lokal yang ada. Dalam konteks ini negara semakin kuat – baik kapasitas
dan fungsinya tetapi masyarakat dengan segala potensi heterogenitasnya menjadi semakin
lemah.
Jadi dapat disimpulkan bahwa konsep negara kuat sangat bersifat dualistik. Pada
satu sisi banyak ahli menjelaskan negara kuat adalah suatu negara dengan kemampuan
menjamin adanya hukum dan kebijakan yang dilahirkannya ditaati oleh masyarakat, tanpa
harus menebarkan ancaman, paksaan dan kecemasan yang berlebihan (Mallarangeng,
Pengantar dalam Fukyama, 2005:xiii). Tetapi pada sisi lain negara kuat adalah suatu negara
yang memiliki kapasitas dan fungsinya yang sangat besar guna mengatasi masalah-masalah
36
yang ada di dalam masyarakat dan kekuatan tersebut justru menghilangkan potensi yang
ada di dalam masyarakat. Pada sisi lain konsep rakyat kuat juga dapat menjadi dilematis.
Rakyat dapat menjadi kuat karena dengan demikian dapat menjadi sebuah kontrol terhadap
negara. Dengan demikian peran negara dapt dikontrol secara objektif. Tetapi pada sisi lain
konsep rakyat kuat juga dapat diartikan sebagai marginalisasi peran politik negara. Negara
terbajak atau diambil alih oleh rakyat dan dengan demikian peran negara menjadi sangat
minimal dan dapat mengakibatkan munculnya keitdakteraturan di dalam kehidupan
bernegara. Dilematika seperti ini dapat digambarkan dalam diagram seperti di bawah ini
Tabel 3. Model Hubungan Negara Rakyat
Dominasi Negara
Rakyat
Negara Kuat Rakyat Negara
Rakyat Hegemoni
Kuat
37
Penelitian dalam Desertasi ini memfokuskan pada konsep negar kuat rakyat lemah.
Negara kuat yang dimaksudkan di sini adalah negara yan gagal menata masyarakat yang
heterogen di Indonesia. Dengan kata lain negara menjadi sangat dominan, intervensif dan
reprsif di dalam menata masyarakat yang heterogen yang ada di Indonesia yang berakibat
pada semakin lemanya masyarakat tersebut. Dengan demikian tesis yang dibangun di
dalam penelitian ini adalah: Semakin besar dominasi dan intervensi negara/pemerintah
terhadap persoalan-persoalan heterogenitas masyarakat maka semakin kuat / otoriter
pemerintahan tersebut dan/atau semakin lemah masyarakat. Atas dasar tesis ini maka
penulis mencoba untuk mengembangkan beberapa tesis-tesis kecil yang merupakan dasar
untuk menganalisis beberapa kasus yang ada di setiap pemerintahan di Indonesia. Tesis-
tesis kecil tersebut adalah :
a. Semakin besar dominasi dan intervensi negara/pemerintah terhadap persoalan
heterogenitas masyarakat menyebabkan semakin terbatasnya ruang gerak
masyarakat di dalam mengekspresikan nilai-nilai kehidupan yang dimilikinya
(kultur, agama, adat istiadat, dsb)
b. Semakin besar dominasi dan intervensi negara/pemerintah mengatur persoalan
heterogenitas masyarakat maka sentralitas kekuasaan negara/pemerintah
menjadi semakin besar
c. Semakin sentralistik kekuasaan di dalam mengatur persoalan masyarakat
majemuk maka hal tersebut akan memberi keuntungan-keuntungan ekonomi
politik hanya bagi segelintir kelompok.
38
E. Metodologi Penelitian
Dalam Disertasi ini penulis mencoba menguraikan peranan pemerintah di dalam
mengatasi persoalan-persoalan yang ada pada masyarakat yag heterogen di Indonesia
melalui kasus-kasus maupun kebijakan-kebijakan yang dibuat serta diimplementasikan
oleh pemerintah. Heterogenitas masyarakat yang dimaksud khususnya berkaitan dengan
persoalan kedaerahan, agama, dan ras. Persoalan hubungan pusat dan daerah tidak saja
merupakan persoalan politik tetapi juga pada kenyataannya berkaitan dengan masalah
etnisitas, khususnya sentimen Jawa dan luar Jawa. Selain itu masalah keagamaan juga tidak
lepas dari keikutsertaan negara di dalam menatanya. Persoalan rasialisme terkait dengan
masalah Tionghoa menjadi hal penting guna memperlihatkan peranan pemerintah di dalam
menata persoalan masyarakat heterogen di Indonesia.
Analisis pertama berkaitan dengan analisis dominasi serta intervensi pemerintah
terhadap persoalan-persoalan sosial khususnya masalah keagamaaan (BAB II). Bagian
kedua berkaitan dengan analisis dominasi dan intervensi pemerintah yang berdampak pada
semakin tersentralisasinya kekuatan politik pemerintah (BAB III). Bagian terakhir
berkaitan dengan analisis dominasi dan intervensi pemerintah terhadap masalah-masalah
Tionghoa yang lebih banyak menguntungkan kepentingan segelintir orang (BAB IV). Guna
mendukung analisis ketiga BAB tersebut maka dalam uraiannya penulis memfokuskan
terhadap masalah-masalah politik yang berkaitan dengan dominasi dan intervensi
negara/pemerintah secara khusus dalam persoalan militerisme, regulasi-regulasi
(kebijakan) dan masalah-masalah ekonomi politik yang ada kaitannya dengan persoalan
masyarakat heterogen di Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan seperti kapan dan bagaimana
masalah-masalah militer, regulasi dan kepentingan ekonomi politik muncul, untuk apa
39
kekuatan-kekuatan militer, regulasi dan pendekatan ekonomi politik dilakukan serta
siapa-siapa yang diuntungkan dari pendekatan-pendekatan yang bersifat militeristik,
implementasi dari regulasi-regulasi dan ekonomi politik tersebut – merupakan metode yang
secara heuristik digunakan dalam analisis untuk memperlihatkan kuatnya represifitas
negara / pemerintah di dalam menata persoalan kemajemukan di Indonesia.
Dengan memperhatikan luasnya rentang waktu persoalan-persoalan yang
berkaitan dengan masalah pluralitas di Indonesia maka dalam penelitian ini penulis
membatasi kajian ini dengan melihat persoalan politik pluralitas di Indonesia yang muncul
di era-era pemerintahan Demokrasi Parlementer (1950-1957), pemerintahan Demokrasi
Terpimpin (Orde Lama) (1958-1965) dan pemerintahan Orde Baru (1966 – 1997/1998).
Dengan menganalisa kasus-kasus dan kebijakan-kebijakan di ketiga era pemerintahan ini
diharapkan dapat memberikan kesimpulan mengenai tindakan-tindakan politik pemerintah
berkaitan dengan persoalan-persoalan masyarakat heterogen di Indonesia.
Untuk mendukung akan hal tersebut maka penggunaan data-data sekunder
khususnya buku-buku, surat kabar dan jurnal-jurnal ilmiah. Bagi surat kabar, penulis
menggunakannya secara khusus untuk mendapatkan data-data di sekitar tahun 1950-1957.
Surat-surat kabar yang penulis gunakan pada tahun-tahun tersebut seperti Antara,
Indonesia Observer, Kuang Po, Keng Po, Pedoman, Sin Po, Suara Rakyat, Mimbar
Indonesia, Merdeka, Pewarta Soerabaja, Pikiran Rakyat, Suluh Indonesia dan beberapa
yang lainnya. Data-data dari surat kabar pada tahun-tahun ini lebih banyak digunakan
untuk melihat persoalan ekonomi politik yang terkait dengan masalah Tionghoa. Era tahun
1959-1965 bagi penulis sebenarnya juga penting untuk mendapatkan datanya dari surat
kabar pada saat itu. Namun sayangnya di tahun-tahun tersebut sebagian besar masih belum
40
dapat dibaca secara luas (disimpan ditempat khusus di Perpustakaan yang untuk
membacanya harus melakukan sebuah proses birokrasi yang panjang dan memakan waktu).
Selanjutnya data-data yang ada ini kemudian di kumpulkan dan dianalisis secara
konprehensif.
F. Sistematika Penelitian
BAB I
Bagian ini memaparkan mengenai latar belakang masalah, permasalahan, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan dan kerangka konseptual, metodologi penelitian
dan sistimatika penulisan.
BAB II
Bab ini menguraikan mengenai persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hubungan
agama dan negara. Persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pemberontakan dengan
basis-basis keagamaan di era Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin dengan
konsep politik NASAKOM-nya hingga peran negara yang begitu kuat terhadap persoalan
agama di era pemerintahan Orde Baru merupakan bagian yang di analisis dalam BAB ini.
BAB III
BAB ini memaparkan mengenai persoalan hubungan pusat dan daerah yang mengarah pada
semakin menguatnya peran negara di dalam menata persoalan daerah. Di Indonesia sejak
era Demokrasi Parlementer hingga pemerintahan Orde Baru. Bab ini memberikan
gambaran mengenai kuatnya sentralisasi kekuasaan negara terhadap daerah yang cenderung
melemahkan kekuatan daerah.
41
BAB IV
Bab ini menjelaskan secara khusus mengenai masalah Tionghoa di Indonesia. Kajian
mengenai masalah Tionghoa lebih banyak dilihat dari perspektif ekonomi politik. Hal itu
tentu karena keberadaan orang Tionghoa di Indonesia – salah satunya - tidak bisa
dilepaskan dari persoalan ekonomi. Bagian ini memperlihatkan bagaimana kuatnya .negara
menata persoalan Tionghoa di Indonesia yang akhirnya menempatkan kedudukan orang
Tionghoa menjadi sangat marginal.
BAB V
BAB ini merupakan kesimpulan dari seluruh kajian yang ada pada Disertasi ini serta
memberikan rekomendasi bagi format negara dan kebijakan di dalam menata masyarakat
yang heterogen di Indonesia.
BAB II
INTERVENSI NEGARA DALAM PERSOALAN KEAGAMAAN
DI INDONESIA
Awal kemerdekaan di Indonesia ditandai dengan munculnya persoalan-persoalan
berupa pertentangan ideologis. Kuatnya pemahaman ideologi menyebabkan munculnya
kepentingan-kepentingan politik atas dasar ideologi tersebut yang saling bersaing satu
dengan yang lainnya. Agama hanyalah salah satu bagian dari kepentingan ideologis
yang memiliki sejarah panjang dalam hubungannya dengan negara. Pemberontakan
berbasis agama telah mewarnai sejarah perjalanan “menjadi Indonesia”. Persoalannya
tentu adalah bagaimana negara/pemerintah memahami dinamika sosio politik
keagamaan dalam kaitannya dengan konsep negara sebagai kesatuan.
A. Konflik Agama dan Negara Awal Kemerdekaan: Pemberontakan Berbasis
Agama 1950-1958 (Era Demokrasi Parlementer)
Konflik keagamaan di era pemerintahan Demokrasi Parlementer lebih
merupakan reaksi terhadap pemerintah yang terkesan terlalu sentralistik.
Pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintah pusat muncul dengan simbol-
simbol keagamaan. Simbol-simbol keagamaan dalam hal ini muncul sebagai sebuah
raeksi pemberontakan terhadap pemerintah pusat tidak harus diartikan sebagai usaha
daerah untuk memisahkan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia. Pemberontakan
dengan simbol-simbol keagamaan ini merupakan salah dari sebab-sebab yang sangat
kompleks di dalam setiap pemberontakan terhadap pemerintah pusat pada saat itu. Oleh
karenanya Bab ini mencoba menganalisis bagaimana negara/pemerintah menangani
persoalan-persoalan tersebut, khususnya pada tahun 1950-1958.
43
1. Menuntut Pemerintah Pusat Melalui Pemberontakan Berbasis Agama
Munculnya pemberontakan berbasis agama (etnik) disebabkan oleh beberapa
faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah persoalan
tersentralisasinya kekuasaan di Jakarta – yang nota bene dihubungkan dengan
kekuasaan orang Jawa atas daerah luar Jawa. Persoalan ekonomi politik yang terkait
dengan sumber-sumber perekonomian dengan segala kebijakannya telah mempersempit
ruang gerakan ekonomi di daerah. Tuduhan atas korupsi-korupsi yang terjadi di Jakarta
telah memberikan inspirasi untuk mengembangkan kekuatan ekonomi tanpa melibatkan
regulasi yang ada. Faktor ketiga yaitu menyangkut masalah agama dan kebudayaan.
Kasul Darul Islam, meskipun dapat dilihat dalam berbagai varian sumber konflik, salah
satu yang terpenting adalah menyangkut masalah keagamaan. Hal ini ditandai dengan
kuatnya simbol-simbol keagamaan yang muncul dalam setiap pergerakan, misalnya
konsep Negara Islam Indonesia dan (NII) Tentara Islam Indonesia (TII) dengan segala
terminologi agama yang ada di dalamnya. Setiap kategori tentunya tidak berdiri sendiri.
Semuanya dapat saling mempengaruhi dan mendukung satu dengan yang lainnya.
Sebagai contoh faktor-faktor tersebut dapat dilihat dari kasus Darul Islam Aceh1.
Dalam kasus Darul Islam di Aceh misalnya, Nazaruddin Sjamsuddin (1990)
mengungkapkan ada banyak faktor yang dapat menjelaskan mengenai sejarah
pemberontakan masyarakat Aceh. Beberapa hal dapat disebutkan misalnya bahwa
1 Sejak Kartosuwiryo memproklamirkan Negara Islam Indonesia pada tanggal 7 Agustus
1949 di Cisampah, daerah Cisayung maka sejak saat itu Darul Islam dengan Tentara
Islam Indoneisa menjadi semakin eksis keberadaanya. Apa yang terjadi di Jawa Barat
dengan gerakan Darul Islam selanjutnya mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi
gerakan-gerakan di beberapa daerah di Indonesia. Sebut saja Jawa Tengah dengan
gerakan Amir Fatah, Sulawesi Selatan dengan gerakan Kahar Muzakar, Kalimantan
Selatan dengan gerakan Ibnu Hajar dan Aceh dengan gerakan Daud Beureuh.
44
pemberontakan tersebut disebabkan adanya konflik internal yang ada di antara kekuatan
sosial masyarakat Aceh itu sendiri. Sejarah konflik antara kaum ulama dan ulebalang.
Dalam era Demokrasi Parlementer konflik ini muncul kembali dan para kaum ulama
berusaha untuk meminta bantuan bagi mereka kepada pemerintah. Namun hal ini tidak
mendapatkan respon dari pemerintah yang mengakibatkan konflik ini semakin tajam.
Akibat penolakan ini maka mereka meminta sebuah status otonomi khusus bagi Aceh.
Pada sisi lain ada anggapan bahwa konflik Aceh merupakan sebuah cerminan
dari besarnya konflik politik yang terjadi antara kepentingan Masyumi (Islam) dan PNI
(Nasionalis). Semakin kecilnya peran Masyumi pada era kabinet Ali Sastroamidjojo
telah menciptakan kegelisahan politik di Aceh hingga pecahnya pemberontakan
terhadap pemerintah pusat. Artinya jika peran Masyumi tidak disisihkan dari Kabinet
Ali pada khususnya tahun pertengahan 1953 maka mungkin pemberontakan tersebut
tidak akan terjadi (Nazzaruddin, 1990).
Hal lain yang dapat menjelaskan konflik Aceh adalah dengan melihat adanya
konflik politik antara kepentingan pemerintah pusat dan kepentingan politik di Aceh
sendiri. Bagi elit politik di Aceh kepentingan politik tersebut hendak diwujudkan dalam
otonomi daerah. Namun demikian kuatnya peran sentralistik politis pada saat itu tidak
memberikan ruang bagi keinginan para pempimpin Aceh dan masyarakat Aceh untuk
mewujudkan otonomi daerah tersebut. Bahkan kemudian pemerintah membubarkan
propinsi Aceh yang dilihat sebagai arogansi kepentingan pusat terhadap masyarakat
Aceh (Nazzaruddin, 1990:5-6).
Kekecewaan Aceh menuntut adanya otonomi daerah yang lebih luas ini tidak
sama dengan membangun sebuah negara Islam yang terpisah dari negara kesatuan
45
Republik Indonesia. Meskipun simbol-simbol ke-Islaman muncul dalam perjuangan
tersebut. Pemberontakan ini kemudian berakhir dengan pemberian status propinsi dalam
masa pemerintahan Ali Satroamidjojo kepada Aceh tahun 1957 sebagian telah
memulihkan keadaan di Aceh. Pimpinan tertinggi militer di Aceh, Sjammaun Gaharu,
telah juga memperbaiki kondisi konflik di Aceh. Pasca Ikrar Lamteh (1957), meskipun
tidak dapat dikatakan sempurna karena dari pihak Daud Beureuh sendiri sama sekali
tidak mengindahkan perundingan-perundingan yang diajukan oleh pihak pemerintah.
Hal ini mendapat tentangan juga dari pihak Darul Islam karena sebagian dari mereka
ada yang hendak menyerahkan diri. Penyelesaian masalah Aceh berangsur-angsur
membaik seturut dengan semakin kecilnya dukungan banyak pihak terhadap gerakan
Darul Islam di Aceh. Ajakan untuk menyerahkan diri dengan janji akan diberi
pengampunan (PP no.13/1961) telah memberi kesempatan bagi banyak orang untuk
tidak meneruskan pemberontakannya. Termasuk Daud Beureuh yang kemudian
melakukan Musyawarah kerukunan Rakyat Aceh (MKRA) yang berlangsung di
Blangpadang dari 18 – 22 Desember 1962. Puncaknya adalah dilakukannya Ikrar
Blangpadang yang ditandatangani oleh ratusan orang Aceh terkemuka yang hadir.
Dari hal di atas nampak dengan jelas bahwa pemberontakan daerah terhadap
pemerintah pusat – dalam kasus Darul Islam Aceh – dapat dilihat sebagai sebuah reaksi
yang wajar ketika pemerintah menjadi sangat sentralistik dan mengabaikan daerah
sebagai wilayah kesatuan Republik Indonesia. Munculnya agama sebagai alat
perjuangan tidak dapat diartikan semata-mata sebagai usaha menciptakan sebuah negara
agama (baca Islam), apalagi dalam rangka memisahkan diri dari negara kesatuan
republik Indonesia. Pemberian status Aceh sebagai propinsi telah menyelesaikan
46
masalah karena memang tuntutan utama dari masyarakat Aceh hanyalah pemberian
status yang jelas terhadap daerah tersebut. Dengan demikian istilah pemberontakan
berbasis agama tidak harus selalu dicurigai sebagai usaha membangun negara yang
berdasarkan agama di Indonesia.
1. Gagalnya Jalan Damai dalam Mengatasi Masalah Pemberontakan Berbasis
Agama
Kasus Darul Islam Aceh hanyalah salah satu persoalan yang dihadapi oleh
pemerintah pada saat itu. Sejak awal pemerintah telah melakukan berbagai upaya di
dalam menyelesaikan persoalan Darul Islam ini. Pada tanggal 14 November 1950 Natsir
menawarkan amnesti bagi semua kelompok bersenjata. Hal ini ditanggapi baik oleh
Amir Fatah, salah satu pimpinan Hizbullah di Jawa Tengah. Namun hal ini tidak dapat
diterima oleh Katrosuwiryo dan kelompoknya. Dalam tahun-tahun tersebut hanya
sedikit sekali anggota kelompok ini yang turun dari gunung (Nazzaruddin, 1990:157).
Sementara amnesti masih berjalan Panglima Teritorium III Jawa Barat mengeluarkan
instruksi mengenai 16 organisasi terlarang yang salah satu di dalamnya adalah Darul
Islam, NII dan TII. Kondisi demikian tentu semakin memojokan posisi dari kelompok-
kelompok ini dan mengakibatkan gagalnya setiap kebijakan yang dicoba dengan jalan
perdamaian neskipun Natsir dan beberapa tokoh-tokoh politik lainnya tetap berharap
bahwa masalah ini masih dapat diselesaikan dengan jalan perdamaian. Situasi semacam
ini menyebabkan tuduhan-tuduhan politis datang dari pihak militer, PNI dan PKI pada
kabinet ini, khususnya pada Natsir, yang menyatakan bahwa ia dan kabinetnya dianggap
tidak tegas dalam penyelesaian masalah ini.
47
Kabinet Sukiman juga sangat memberikan prioritas dalam penyelesaian masalah
ini, namun juga tidak mendapatkan jalan keluarnya bahkan dikatakan semakin
memburuk. Hal ini ditandai dengan terjadinya pemberontakan Batalyon 426 di Jawa
Tengah pada bulan Desember 1951 yang menggabungkan diri dengan gerakan Darul
Islam (Nazzaruddin, 1990:159). Situasi seperti ini menyebabkan oposisi terhadap
Masyumi dalam kedua kabinet ini menjadi sangat besar khususnya dari PNI dan PKI.
Kedua partai ini melihat bahwa Masyumi tidak tegas dalam menyelesaikan masalah ini
dan cenderung membela gerakan Darul Islam. Tuduhan PKI jika Masyumi memegang
pemerintahan maka isu Republik Islam akan semakin meluas di Indonesia. Tuduhan-
tuduhan semacam ini sangat kuat gaungnya menjelang pemilihan umum 1955.
Dalam kabinet Wilopo sebenarnya ada kesempatan guna menyelesaikan masalah
ini secara damai. Affandi Ridwan, wakil GPII dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Sementara Propinsi Jawa Barat dan sebagai penghubung Keamanan Rakyat (Komisi
Nasib Rakyat) pada bulan Desember besama politisi Masyumi, PSI dan Murba
mengusulkan nota keamanan yang diajukan oleh DPRS Jawa Barat kepada Dewan
Menteri di Jakarta. Isi nota tersebut adalah meminta pemerintah menyelesaikan masalah
ini tidak dengan jalan kekerasan melainkan dengan cara mengintegrasikan kembali
kelompok-kelompok dan gerombolan bersenjata ke dalam Republik. Selain itu juga
diharapkan pemerintah dapat menyediakan lapangan pekerjaan bagi bekas aparatur
negara. Dengel mencatat bahwa nota ini tidak mendapatkan respon dari pemerintah
pusat dan kemudian ia berinisiatif untuk melakukan pembicaraan dengan pihak Darul
Islam dan disepakati bahwa Darul Islam bersedia untuk berunding. Surat pernyataan
keinginan untuk berunding ini diberikan kepada wakil Perdana Menteri Prawoto
48
Mangkusasmito namun selama enam bulan surat tersebut tidak ditindaklanjuti oleh
kabinet. Bahkan kemudian Prawoto dan Affandi Ridwan ditangkap dengan tuduhan
telah memberikan bantuan kepada pihak musuh (Nazzaruddin, 1990:161-162). Hal
semacam ini telah memberi jalan buntu bagi penyelesaian masalah di daerah melalui
jalan perdamaian dan perundingan.
Presiden Soekarno juga telah memperkeruh suasana dengan pidato-pidatonya
yang seolah-olah menyudutkan umat Islam. Pidatonya di Amuntai Kalimantan Selatan
menjadi topik pembicaraan politik yang berujung pada ketegangan ideologis antara
Masyumi – PKI dan PNI. Sudah dapat dipastikan bahwa kabinet-kabinet yang ada tidak
secara tegas dapat menyelesaikan masalah ini dengan cara perdamaian. Kabinet Ali
Sastroamidjojo merupakan kabinet yang tidak memfokuskan agenda kabinetnya
terhadap persoalan-persoalan ini secara damai. Khususnya kabinet Ali II yang cendrung
kepada politik luar negeri menjadikan perhatian terhadap masalah-masalah daerah
menjadi sangat kecil. Hal ini dapat dipahami karena suasana konflik politik antar partai
menjadi sangat tajam secara khusus memasuki tahun 1957-1959. Presiden Soekarno dan
Angkatan Darat sudah memberikan warning yang jelas bahwa konsep Demokrasi
Terpimpin akan segera dilaksanakan pada saat itu. Suasana politik seperti ini
memberikan kesempatan bagi Angkatan Darat memainkan perannnya yang besar dalam
setiap penyelesaian masalah yang ada di Indonesia. Doktrin Perang Wilayah yang
dikeluarkan oleh Angkatan Bersenjata pada tahun 1958 memberikan ketegasan tentang
model penyelesaian masalah melalui jalan militer (Asmara, 1964:38). Nasution dalam
keterangannya di depan Parlemen menjelaskan bahwa tidak ada insiatif yang jelas dari
49
Darul Islam untuk meletakkan senjata2. Kekuatan Darul Islam sampai tahun 1959
diperkirakan 4200 dan diperkirakan memiliki hubungan-hubungan yang kuat dengan
daerah-daerah lainnya khususnya di Sumatra Barat.
3. Menguatnya Peran Militer dalam Penyelesaian Konflik
Peran militer menjadi sangat dominan ketika Presiden Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit kembali ke UUD 1945 pada tahun 1959. Hal ini menandai model
penyelesaian masalah kedaerahan ini dengan cara militeristik. Operasi Wilayah
GERAK, TANAH, dan GODAM merupakan operasi-operasi yang dilakukan oleh
militer. Hampir sebagian besar penyelesaian masalah ini kedaerahan ini diselesaikan
disekitar tahun 1961-1964. Penumpasan dan pengisolasian gerakan Darul Islam
dilakukan pada pertengahan tahun 1960 di Kabupaten Lebak. Selanjutnya pada tahun
1961 dengan tiga operasi yaitu operasi Tjepat I-XII, Operasi Pamungkas dan Operasi
Brata Yudha I-IV pada tahun 1962. Seluruh kegiatan militer ini dilakukan sampai
akhirnya berhasil menangkap Kartosuwiryo dalam suatu operasi yang dilakukan pada
bulan Juni 1962. Pasca penangkapan Kartosuwiryo juga dilakukan operasi lanjutan yaitu
Operasi Pamungkas yang bertujuan untuk membersihkan sisa-sisa dari pengikut Darul
Islam di Jawab Barat, Operasi Dayaguna yang bertugas untuk menyiapkan tugas-tugas
baru bagi pegawai sipil dan Operasi Bhakti dilaksanakan dengan tujuan rehabilitasi dan
normalisasi daerah-daerah yang menderita akibat gerakan Darul Islam.
Pendekatan militerisme juga sebagian besar dilakukan dalam penanganan
masalah-masalah pemberontakan di daerah lainnya. Di Jawa tengah Divisi Diponegoro
2 Keterangan pemerintah dalam sidang pleno DPR tanggal 16 Desember 1959 yang diucapkan oleh
Menteri Keamanan/Pertahanan Let.Jend. A.H. Nasution, Jakarta, Departemen Penerangan, No. 83, h. 16.
50
melancarkan gerakan besar-besaran terhadap pemberontak dan melakukan pengejaran
yang gencar. Begitu juga dengan penaklukan Batalyon 426 yang berpihak ke Darul
Islam dapat dikalahkan dan kemudian tentara melakukan pembersihan di daerah-daerah
Brebes yang merupakan basis-basis pergerakan dari Darul Islam di Jawa Tengah.
Demikian juga yang terjadi di Sulawesi Selatan terhadap gerakan Kahar
Muzakar Operasi-Operasi militer juga dilakukan guna mengatasi masalah
pemberontakan tersebut. Operasi Tumpas dan Operasi Kilat dipimpin langsung oleh
M.Yusuf sebagai Panglima Militer Sulawesi Selatan dan Tenggara. Pembentukan
Komando Pemulihan Keamanan di Sulawesi Selatan – KoDPSST – memberikan
semacam kekuatan penuh bagi militer guna mengatasi masalah-masalah pemberontakan
yang terjadi di Sulawesi Selatan. Tahun 1964-1965 gerakan-gerakan yang ada di
Sulawesi Selatan termasuk PRRI Permesta juga telah mengalami kemunduran dan pada
akhirnya dapat dikuasai sepenuhnya oleh pemerintahan dalam hal ini militer.
Hal yang sama juga terjadi dengan gerakan Darul Islam di Aceh. Usaha-usaha
untuk melakukan perdamaian selalu gagal. Usaha S.M. Amin sebagai Gubernur Sumatra
Utara sering disambut baik oleh pimpinan Darul Islam di Aceh. Dalam surat-
menyuratnya dengan para pemimpin Darul Islam nampak bahwa inisiatif untuk
melakukan perdamaian melalui jalan perundingan dapat dilakukan jika pemerintah dapat
memperlihatkan niat baik bagi perkembangan masyarakat Aceh. Pada tahun 1954
berdasarkan inisiatif SM Amin dibuat kesepakatan oleh Daud Beureuh dan Hasan Aly
dimana keduanya diharapkan berjanji untuk mengakhiri perlawanan mereka, meletakan
senjata dan bertemu dengan wakil-wakil pemerintah (van Dijk, 1983:310-311). Daud
Beureuh tidak menandatangani surat ini tetapi membuatkan sebuah draft khusus
51
mengenai keinginannya yang harus disepakati bersama dengan pemerintah khususnya
kabinet Ali II. Berkas ini dibawa oleh SM Amin ke Jakarta namun tidak mendapat
reaksi dari pemerintah. Dalam draft ini dinyatakan bahwa mereka tidak menginginkan
amnesti seperti yang ditawarkan kepada mereka tetapi yang diperlukan adalah
perundingan. Hal perundingan ini tidak menjadi agenda penting bagi pemerintah.
Agenda pemerintah baik kabinet Ali dan Burhanuddin adalah pemberian amnesti.
Dalam kasus Aceh dilakukan banyak sekali usaha untuk melakukan perdamaian tanpa
kekerasan. Namun demikian desakan untuk melakukan tindakan militer melalui
Parlemen juga sangat kuat. Pada tahun 1953 dalam perdebatan di Parlemen mengenai
pemberontakan di Aceh, Abdullah Yusuf – dari PNI – mengecam pemerintah sipil yang
mengabaikan keluhan-keluhan yang disampaikan dan informasi yang diteruskan
kepadanya mengenai kegiatan-kegiatan Daud Beureuh dan peimpin-pemimpin PUSA
lainnya pada awal tahun 1950-an. Ia memuji tentara yang merupakan lembaga satu-
satunya yang bertindak berdasarkan informasi ini dan terus-menerus merintangi rencana
PUSA. PKI melalui juru bicaranya Sarwono S. Sutarjo juga menyalahkan bahwa
pemberontakan ini sebagiannya karena kelalaian pemerintah sipil. Menurut dia,
Gubernur Sumatra Utara, Abdul Hakim, lebih menaruh percaya pada para bawahannya
di Aceh – yang dikenal sebagai pembela PUSA/Masyumi – ketimbang fakta-fakta yang
sesungguhnya (van Dijk, 1983:279). Selanjutnya bahwa gerakan militer ini menjadi
dasar bagi usaha menghalau serbuan-serbuan tentara Darul Islam di beberapa kota di
Aceh. Divisi Jawa Tengah Diponegoro digerakan untuk menumpas pemberontak-
pemberontak. Seperti diketahui bahwa pasukan ini berasal dari Jawa yang kemudian
lebih membuat sakit hati masyarakat Aceh. Seperti dikemukakan oleh Perdana Menteri
52
Ali Satroamidjojo: “Bila rumah terbakar, padamkanlah api tanpa berhenti
menanyakannya macam-macam” (van Dijk, 1983:303). Meski diakui bahwa tidak
mudah bagi tentara Republik untuk mengatasi masalah ini. Perlawanan-perlawanan yang
sengit datang silih berganti seolah tiada habisnya.
Sampai dengan berakhirnya era Pemerintahan Demokrasi Parlementer persoalan
pemberontakan berbasis agama tidak dapat diselesaikan secara utuh. Kekuatan militer
menjadi cara utama di dalam mengatasi persoalan-persoalan tersebut. Kekuatan negara
ditumpukan kepada militer sedangkan cara-cara diplomasi antara pusat dan daerah
selalu gagal. Keadaan ini memberikan kemungkinan yang besar terhadap semakin
menguatnya pemerintahan pusat yang kemudian ditandai dengan tersentralisasikannya
kekuatan negara melalui tatanan Demokrasi Terpimpin di bawah rezim Orde Lama.
B. Otoritarianisme dalam Menata Masyarakat Majemuk 1959-1964
(Era Demokrasi Terpimpin)
Persoalan hubungan agama dan politik menjadi semakin kuat di dalam era
pemerintahan Demokrasi Terpimpin. Presiden Soekarno, dengan menyadari bahwa
identitas agama tidak bisa dilepaskan dari politik di Indonesia, berusaha untuk
mlalkukan tindakan-tindakan politik menyatukan elemen-elemen yang ada di dalam
masyarakat, khususnya elemen agama. Pada era ini agama dan politik berusaha di
satukan di dalam sebuah bangkai ideologi yang disebut NASAKOM (Nasionalis,
Agama dan Komunis). Masalahnya tentu adalah mengapa Presiden Soekarno berusha
untuk menyatukan ketiga kekuatan ini dalam satu bangkai ideologi politik? Tentu hal
ini tidak bisa dilepaskan dari strategi-strategi politik yang dijalankan oleh Presiden
Soekarno gun menghadapi situasi politik pada saat itu. Apakah Presiden Soekarno
53
berhasil mengatasi konflik politik yang terjadi pada saat itu dengan melakukan
penyatuan dari ketiga elemen ini? Atau justru hal ini lebih menciptakan sebuah
otoritarianisme bagi kepemimpinan Presiden Soekarno dengan sistem pemerintahan
Demokrasi Terpimpin-nya. Tentu hal ini merupakan sebuah pertanyaan yang harus
dijawab dalam bagian ini.
1. Upaya Menyatukan Kepelbagaian Ideologi: Membangun Kekuasaan Tunggal
Nasionalis, agama dan komunis (NASAKOM) merupakan sebuah kesatuan yang
menjadi cita-cita dan harapan Presiden Soekarno dalam pemerintahan Demokrasi
Terpimpin dalam membangun bangsa Indonesia. Presiden Soekarno mengatakan bahwa
NASAKOM adalah suatu keharusan progresif. Artinya bahwa dalam melaksanakan cita-
cita revolusi Indonesia ketiga hal ini harus tetap ada bersama-sama. Tidak boleh terpisah
satu dengan yang lainnya. Keterpisahan ketiganya justru memperlemah jalannya
revolusi di Indonesia. Sebagai suatu jiwa maka NASAKOM tidak bisa dilepaskan dari
pergerakan revolusi tersebut. Banyak tuduhan terhadap NASAKOM adalah sebagai
sebuah sinkritisme politik dalam politik modern di Indonesia. Tuduhan ini tentunya
banyak datang dari kalangan Islam. Bagi banyak orang, secara khusus para politisi Islam
dan para politisi non Jawa yang pernah mengecap pendidikan barat, betapa sulitnya
untuk memahami NASAKOM. Masyumi dan partai Kristen/Khatolik (beberapa partai
nasionalis lainnya serta militer) secara tegas menolak konsep ini masuk dalam
“percaturan” politik di Indonesia pada saat itu. Namun Presiden Soekarno justru
menjadikan NASAKOM sebagai ideologi bersama-sama dengan Manipol-USDEK dan
Pancasila.
54
Dalam perjalanan politik tentu terdapat ketegangan-ketegangan yang mendalam di
antara ketiga unsur ini. Secara jelas bahwa ketegangan yang paling nyata terlihat di
antara militer -- mewakili kaum Nasionalis setelah PSI dibubarkan -- dan PKI. Partai
agama, setelah Masyumi di bubarkan, lebih banyak menjadi simpatisan sejati dari
Presiden Soekarno (baca: NU). Namun dalam sejarah demokrasi terpimpin gerak PKI
lebih banyak terlihat sebagai simpatisan aktif terhadap semua ideologi yang
dicanangkan oleh Presiden Soekarno. Nampaknya memang PKI mendapatkan
kesempatan yang sangat besar untuk mempengaruhi semua kebijakan politik negara
pada saat itu. Dengan didukungnya konsep NASAKOMisasi di segala bidang ini
kedudukan PKI di dalam jabatan-jabatan struktural pemerintahan menjadi sangat besar.
Jabatan Menteri keuangan dalam kabinet Juanda, serta masuknya Aidit dan Lukman
dalam jajaran kabinet dan diikutsertakannya mereka dalam Musyawarah Pimpinan
Negara – selain itu juga banyaknya juga para simpatisan PKI yang menduduki jabatan
struktural pemerintahan di daerah seperti jabatan wakil Gubernur di Jawa Tengah, Jawa
Barat dan Jakarta Raya. Selain itu banyak juga yang menjadi Walikota dan Bupati di
kota-kota besar dan kecil. Begitu juga keterwakilan mereka terdapat dalam Dewan
Pertimbangan Agung, Dewan Perancang Nasional dan juga Badan Musyawarah
Pimpinan Nasional (Herbert Feith, 2001:46). Meskipun pendulum politik nampaknya
berpihak kepada PKI, namun dalam kenyataannya justru hal ini yang menghambat laju
pergerakan PKI untuk menerobos dinding-dinding politik ideologi yang dipegang oleh
Presiden Soekarno secara khusus NASAKOM. PKI lebih banyak menjadi corong
ideologi Presiden Soekarno dan tidak dapat berbuat lebih banyak selain menjadi
pecundang politik atas nama ideologi Manipol USDEK dan Pancasila. Semboyan
55
seperti “kepentingan nasional di atas kepentingan partai” telah mengebiri kepentingan
politik PKI untuk memperbesar gerakan dan ideologi partai di Indonesia. Selain itu juga
peran militer yang sangat kuat untuk menjadi penyeimbang di antara Presiden Soekarno
dan PKI ternyata, demikan Feith (2001:46), telah banyak menghalangi gerak PKI untuk
mendominasi dan mengintervensi kebijakan politik Presiden Soekarno.
Dalam banyak analisis kultural penyatuan ketiga unsur ini justru memperkuat
posisi kekuasaan Presiden Soekarno agaknya dapat dibenarkan. Mengingat justru politik
keseimbangan ini telah menjadikan posisi-posisi politik dari kekuatan politik yang ada -
- dalam hal ini PKI -- telah terserap ke dalam kekuatan politik Presiden Soekarno (Feith,
2001:47). Kondisi PKI yang lebih banyak terkebiri secara politik juga sangat
dipengaruhi oleh suasana politik dalam negeri yang sedikit lebih tenang pada tahun-
tahun tersebut. Hal ini ditandai dengan berakhirnya kegiatan-kegiatan pemberontakkan
daerah-daerah. Peran militer dalam mengakhiri pemberontakan tersebut sangat besar.
Jika semua hal tersebut telah berakhir maka peran politik militer dapat lebih
dikonsentrasikan kepada kondisi politik dalam negeri secara khusus mengawasi dan
menjadi penyeimbang di antara Presiden Soekarno dan PKI.
Namun demikian secara politik, NASAKOM telah memberi ruang yang sangat
luas bagi gerak PKI yang selama ini menjadi momok bagi golongan nasionalis dan
agama. Meskipun kemudian secara de facto terjadi pengebirian politik atas nama
NASAKOM namun pemberian kesempatan yang besar bagi gerak dan kemunculan PKI
dalam pentas politik nasional di Indonesia telah memberi ruang yang besar bagi
pergerakan PKI selanjutnya di sekitar tahun 1964-1965. Kesempatan ini tentu dilakukan
berdasarkan peluang-peluang politik yang terjadi di tahun-tahun 1960-1963 dimana PKI
56
menjadi corong utama Demokrsi Terpimpin dalam mengkampanyekan ideolgi Manipol
USDEK di Indonesia.
2. Kegagalan Membangun Politik Keseimbangan di dalam Kemajemukan
Dalam kasus pembebasan Irian Barat terlihat bahwa kasus ini sangat terkait erat
dengan cita-cita Manipol USDEK yaitu sebuah perjuangan revolusi terahadap
kolonialisme. Kasus Irian Barat (dan Malaysia) merupakan case bagi kekuatan politik
Presiden Soekarno, militer dan PKI. Ketiganya, atas nama kepribadian bangsa, telah
menempatkan perjuangan terhadap perebutan Irian Barat sebagai ajang show of force
dari semua kekuatan yang ada. Konsep yang dibangun dalam perjuangan pembebasan
Irian Barat adalah isu persatuan dan kesatuan bagi seluruh bangsa Indonesia. Menurut
Presiden Soekarno pembebasan Irian Barat adalah bagian dari perjuangan melawan
imperialisme kolonialisme di seluruh dunia. Dalam merealisasikan akan hal tersebut
Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah komando yang dikenal dengan Trikomando
Rakyat yang isinya adalah pertama¸ gagalkan pembentukan negara boneka Papua
buatan kolonial Belanda; kedua, Kibarkan Sang Merah Putih di irian Barat tanah air
Indonesia; ketiga, Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan
kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa (Di Bawah Bendera Revolusi(DBR),
1964:219).
Namun demikian Presiden Soekarno memahami betul bahwa dalam situasi ini
semua kekuatan politik, dalam hal ini militer dan PKI, berusaha untuk mengambil
“keuntungan” politik. Militer, setelah berhasil meredakan pemberontakan daerah,
tentunya dengan semangat nasionalismenya akan berusaha menunjukkan kekuatannya
57
dalam kasus ini. Tetapi PKI dengan kekuatan massa yang besar tentunya tidak ingin
kehilangan momen politik kekuasaan. Pada umumnya pihak militer, dalam hal ini
Angkatan darat, lebih menyukai suatu sikap yang jelas dan tegas. Artinya penyelesaian
Irian Barat dilakukan dengan satu cara saja yaitu diplomasi atau secara militer. Pada
awalnya pimpinan militer lebih menyukai masalah Irian Barat diselesaikan dengan cara
diplomatik, tetapi ketika keadaan semakin tidak jelas militer akhirnya menghendaki cara
militer digunakan untuk menyelesaikan persoalan Irian Barat. Bagi militer tentu ini tidak
bebas dari kepentingan militer sendiri yaitu adanya alasan untuk pembelian senjata baru
secara besar-besaran. Selain itu juga memperbesar pengaruh tentara di kalangan
mahasiswa, organisasi pemuda dan kalangan sipil pada umumnya (Feith, 2001:64).
Sejalan dengan kampanye pembebasan Irian Barat maka kedudukan posisi militer
dalam politik di Indonesia semakin berjalan naik. Hal ini tentu , bagi Seokarno,
mempunyai konsekuensi yang besar dalam arti kekuasaan. Seperti yang telah
dipaparkan pada bagian sebelumnya, Presiden Soekarno secara jelas menginginkan
adanya penyelesaian Irian Barat secara militer namun tentu tidak dengan kekuatan yang
penuh. Meskipun akhirnya intervensi militer sangat besar di Irian Barat, akan tetapi
secara politik kekuasaan hal tersebut telah dibatasi dengan kebijakan yang diambil
Presiden Soekarno dengan membentuk Komando Operasi Tertinggi (KOTI) dimana
Panglimanya adalah Presiden Soekarno sendiri dan Kepala Staf nya adalah Mayor
Jendral Ahmad Yani. Sedangkan Komando Mandala dipimpin oleh Mayor Jendral
Presiden Soeharto. Posisi ini tentu membuat kedudukan Nasution sebagai kekuatan
militer yang berpengaruh pada saat itu menjadi lemah. Selain menguasai militer sudah
barang tentu Presiden Soekarno juga menggalang kekuatan sipil atau lebih tepat
58
berusaha mendapatkan dukungan sipil tetapi dengan tetap berusaha berada di dalam
kekuasaannya. Presiden Soekarno tetap menginginkan peran PKI, NU dan PNI sebagai
saluran-saluran organisasional untuk memantapkan kerja sama di antara unsur-unsur
golongan nasionalis, agama dan komunis dalam masyarakat sebagaimana yang telah
dikemukakannya dalam semboyan NASAKOM (Crouch, 1986:49). Kesatuan dari ketiga
kekuatan ini tentunya juga untuk mengimbangi kekuatan militer dalam hal ini Angkatan
Darat. Namun pada sisi lain militer juga tidak menghendaki besarnya peran sipil, dalam
hal ini secara khusus PKI, dalam menangani masalah Irian Barat. Kekuatiran ini
tentunya beralasan mengingat mobilisasi massa yang terbesar selama kampanye Irian
Barat ini justru datang dari massa PKI. Mobilisasi massa yang jumlahnya sangat besar
telah menjadi barometer kuatnya dukungan massa rakyat terhadap PKI. Secara analitis
tentu masih dapat dikritisi mengenai kesetiaan massa rakyat terhadap PKI khususnya
dengan besarnya memobilisasi massa tersebut, namun pada hakekatnya gerakan
mobiliasi tersebut sangat mempengaruhi kedudukan politis dari PKI di mata masyarakat.
Pada sisi lain Presiden Soekarno juga tidak menghendaki besarnya peran PKI
dalam hal ini. Itulah sebabnya kasus Irian Barat ini menurut penulis lebih merupakan
kepentingan kekuasaan antara Presiden Soekarno dan Angkatan Darat dari pada
Presiden Soekarno dan PKI atau PKI degan Angkatan Darat. Hal ini tentu tidak bisa
dipungkiri karena kekuatan militer yang selama ini menjadi momok bagi PKI hingga
saat itu tidak bisa ditaklukan. Dengan demikan PKI tidak bisa lebih jauh untuk bergerak
dengan leluasa mencari kekuasaan secara langsung tetapi harus dengan cara melunakan
taktik politik. Dengan kata lain situasi ini bagi PKI lebih aman karena terlindungi oleh
Presiden Soekarno meskipun tertahan oleh Angkatan Darat.
59
Sejarah mencatat bahwa Indonesia berhasil mengembalikan Irian Barat ke
pangkuan Ibu Pertiwi dengan perpaduan kekuatan diplomasi dan militer. Namun situasi
ini tidak dengan sendirinya memperbaiki kondisi politik di Indonesia pada saat itu.
Situasi kemenangan ini justru menjadi situasi yang tidak menentu dalam era Demokrasi
Terpimpin. Pihak militer secara langsung mewaspadai berkurangnya peran politik pasca
pembebasan Irian Barat -- dengan kebijakan mencabut undang-undang darurat perang
dan pengurangan anggaran belanja militer. Pada sisi lain PKI juga kuatir akan
berkurangnya simpati massa akibat tuduhan sebagai partai yang kurang radikal. Begitu
juga Presiden Soekarno takut bahwa semangat rakyat yang berkobar-kobar selama
kampanye Irian Barat akan padam sehinga menghambat usahanya untu kembali ke
semangat yang revolusioner (Ricklefs, 2005:536). Situasi demikian ini tentu sangat
memperburuk kondisi situasi ekonomi politik di Indonesia. Namun demikian kondisi ini
telah menempatkan posisi politik Presiden Soekarno lebih baik dari yang lainnya. Atau
dengan kata lain usaha memadukan ketiga unsur politik yang ada (Nasionalis, Agama
dan Komunis) berdampak secara langsung pada kekuatan politis Presiden Soekarno
secara tunggal. Meskipun tidak dapat disangkal bahwa kekuatan tunggal tersebut justru
menjadi awal bagi runtuhnya rezim Demokrasi Terpimpim. Sejarah mencatat bahwa
kejatuhan pemerintahan Presiden Soekarno tidaklah disebabkan semata-mata oleh
kegagalan kepemimpinannya tetapi karena begitu banyak kepentingan yang ada di
dalam kepemimpinan tersebut. Feith (2001) mengatakan bahwa kegagalan Demokrasi
Terpimpinan justru disebabkan oleh orang-orang yang menentang dan juga yang
mendukung nya.
60
Dari pemaparan di atas nampak bahwa kekuatan negara melalui Demokrasi
Terpimpin memberikan posisi yang sangat kuat bagi kedudukan politik Presiden
Soekarno. Bahkan NASAKOM adalah sebuah usaha politis guna memperkuat posisi
politik tersebut. Kuatnya posisi politik seperti ini tidak memberikan sesuatu yang
signifikan bagi menguatnya masyarakat yang heterogen di Indonesia. Hal ini ditandai
dengan semakin memburuknya hubungan antar elemen-elemen politik yang ada yaitu
golongan nasionalis dan komunis dan agama. Konflik-konflik politik justru terjadi
semakin lebih kuat di antara satu dengan yang lainnya. Kondisi ini memperparah
keadaan politik saat itu, yang kemudian menghasilkan runtuhnya rezim Demokrasi
Terpimpin - Orde lama – dengan munculnya pemberontakan G-30/S-PKI. Melalui
situasi ini kemudian alih pemerinthan di Indonesia terjadi dengan dimulainya sebuah
rezim baru yaitu pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.
C. Menguatnya Intervensi Pemerintah dalam Bidang Keagamaan 1967 – 1995
(Era Pemerintahan Orde Baru)
Intervensi keagamaan di Indonesia mencapai puncaknya di era pemerintahan
Orde Baru. Terdapat sekian banyak kebijakan bahkan intervensi politik yang dilakukan
oleh pemerintah berkaitan dengan penataan nilai-nilai keagamaan di Indonesia. Apakah
hal ini akan lebih menguntungkan kehidupan heterogenitas keagamaan atau hal ini
justru akan menambah ketegangan hubungan agama dan negara di Indonesia?
1. Kecurigaan Negara Atas Kekuatan Politik Agama
Sejarah runtuhnya Orde Lama telah menciptakan sebuah tatanan politik baru di
Indonesia atas nama Orde Baru yang dipimpin oleh Jendral Presiden Soeharto. Jika
61
tatanan politik Orde Lama memiliki visi yang diinspirasikan oleh sistem Demokrasi
Terpimpin maka dalam tatanan pemerintahan yang baru ini memiliki visi yang
diinspirasikan oleh sistem Demokrasi Pancasila. Disadari memang terdapat tekanan-
tekanan politis oleh pemeritah Orde baru untuk mencapai kesamaan visi dari sistem
Demokrasi Pancasila tersebut. Tekanan ini tentunya difokuskan kepada isu yang utama
yaitu menjadikan negara Indonesia sebagai sebuah negara yang bersifat multikultur dan
didasarkan pada konsepsi negara kesatuan yang bersifat integralistik (Drake, 1989:225).
Tekanan-tekanan politik ini terjadi akibat masih rawannya dinamika politik pada saat
itu. Hal tersebut dapat dilihat dengan masih tersisakannya kekuatan-kekuatan
underground PKI, kekuatan politik beberapa kelompok agama (atas nama Islam),
persoalan ideologi dan tentunya persoalan buruknya ekonomi Indonesia yang harus
segera diperbaiki. Persoalan-persoalan ini hingga tahun 1973 menjadi perhatian yang
utama dalam menjalankan roda pemerintahan Orde Baru (Elson, 2001:167-168).
Meskipun secara teoretis dalam pidato kenegaraan, khususnya pidato-pidato
tahun 1967-1971, terlihat bahwa Demokrasi Pancasila adalah sistem demokrasi yang
terbuka dimana hak-hak azasi setiap manusia dijamin sepanjang tetap dalam batas-batas
Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945 (Presiden Soeharto, 1985). Namun dalam
kenyataannya pemaknaan terhadap Demokrasi Pancasila oleh Orde Baru lebih
bernuansa otoriter atas nama stabilitas politik.
Dalam kaitannya dengan kekuatan politik agama (baca Islam), kecurigaan
pemeritah Orde Baru masih sangat tinggi. Sejarah mencatat bahwa awal pemerintahan
Orde Baru merupakan sebuah euforia bagi perpolitikan Islam di Indonesia. Dimana
represifitas terhadap golongan Islam selama masa Orde Lama – khususnya pembubaran
62
Masyumi oleh rezim Demokrasi Terpimpin – mendapatkan angin segar untuk
dihidupkan kembali. Sepanjang tahun 1968-1969 konsolidasi berbagai golongan Islam
nampak dengan jelas ditunjukan. Hal yang menjadi tujuan utama dari konsolidasi
golongan Islam ini adalah terwujudnya kembali Piagam Jakarta dalam agenda SU
MPRS 1968. Akan tetapi hal ini terhambat oleh kelompok PNI, Kristen dan ABRI.
Wacana yang berkembang selama Sidang Umum tersebut pada akhirnya mencapai jalan
buntu. Lobbying-lobbying kemudian dilakukan oleh wakil-wakil NU, PSII, Parmusi
kepada pemerintah, dalam hal ini Pejabat Presiden Presiden Soeharto. Dalam pertemuan
ini mereka meminta Presidan agar aspirasi politik umat Islam direalisasikan sebagai
politik resmi negara. Akan tetapi, seperti diungkapkan di dalam Kongres Veteran April
1968, keinginan ini kemudian oleh Presiden Presiden Soeharto tidak dikabulkan dan
menyatakan tidak bersedia untuk melaksanakan usul-usul tersebut karena tidak
ditetapkan secara resmi oleh MPRS. Kondisi sosio politik semacam ini tentunya
berdampak pada hubungan antara pemerintah dan golongan Islam serta hubungan Islam
dan Kristen. Pada satu sisi pemerintah tidak menginginkan suasana yang tidak harmonis
dengan golongan Islam. Namun pada sisi lain pemerintah juga harus tetap menjaga
hubungan yang baik antar kehidupan umat beragama. Namun dalam politik konsolidasi
yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru maka jalan satu-satunya yang harus
ditempuh adalah melakukan intervensi yang kuat bagi seluruh aspek sosial politik –
tentunya bersama ABRI sebagai alat pendukung utamanya.
Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah untuk mereduksi kekuatan politik
agama di awal pemerintahan Orde Baru. Penyederhanaan partai-partai dilakukan dimana
partai-partai Islam diharapkan bergabung kepada PPP dan partai-partai nasionalis dan
63
Kristen kepada PDI. Golkar yang tidak ingin disebut sebagai partai merupakan “partai”
utama dari kekuatan Orde Baru. Situasi ini, bagi pemerintah Orde Baru, merupakan
sebuah konsolidasi politik yang dianggap lebih cocok dengan sistem Demokrasi
Pancasila khususnya mengenai musyawarah dan mufakat. Cara ini juga dianggap sesuai
dengan strategi politik Orde baru yang ditunjukan untuk men”depolitisasi” atau men-
”deideologi” perpolitikan massa. Dalam pemikiran Orde Baru, perpolitikan massa yang
dipraktekkan pada tahun 1950-an telah membawa Indonesia pada sebuah kehancuran
sistem politik dan membawa pada konflik politik yang berbasis etnik, regional, dan
religius (Douglas E. Ramage:51). Pada sisi lain strategi “massa mengambang”, yang
tidak mengijinkan massa di aras akar rumput untuk terkait dengan partai politik
manapun, dimaksudkan untuk tetap menjaga agar tidak terjadi perselisihan komunal atas
nama etnik, religius dan regional. Namun hal ini sebenarnya merupakan alat birokrasi
pemerintahan Orde Baru untuk menjangkau konstituen masyarakat desa kepada Golkar.
Uraian ini memberikan sebuah gambaran umum bahwa pemerintahan masa awal
pemerintahan Orde Baru sangat mencurigai kekuatan politik agama (baca Islam) dan
berusaha untuk mereduksi kekuatan politik tersebut melalui instrumen-instrumen politik
yang ada.
2. Politisasi Dialog Kegamaan
Dalam bidang keagamaan, konsolidasi politik yang terjadi di tahun-tahun awal
pemerintahan Orde Baru ditandai dengan beberapa persoalan yang muncul khususnya
dalam hubungan antar umat beragama. Seperti sudah diuraikan di atas bahwa
konsolidasi politik Orde Baru, khususnya Angkatan Darat, memperlihatkan
64
keengganannya untuk melibatkan golongan Islam di dalam konstelasi politik pada saat
itu. Hal ini memberikan beberapa implikasi dalam realitas politik pada saat itu. Salah
satunya adalah peran kelompok-kelompok non Muslim dalam pemerintahan di
Indonesia. Hal ini bagi kalangan Islam dilihat sebagai over represented bagi kalangan
non Muslim. Hal ini semakin menimbulkan ketidaksukaan umat Islam terhadap
golongan non Muslim khususnya Kristen. Akibatnya selama kurun waktu 1967-1970
sering muncul konflik yang semakin tajam di antara Islam dan Kristen. Dampak konflik
tersebut kemudian mengarah pada hal-hal yang bersifat fisik yaitu dengan terjadinya
beberapa aktifitas pengrusakan rumah-rumah ibadah. Di Jawa Tengah dan Aceh terjadi
pembakaran Gereja oleh pemuda Muslim. Sebaliknya di Sulawesi Utara dan Ambon
terjadi pembakaran Mesjid oleh para penganut agama Protestan(Azyumardi Azra, 1989).
Konflik sosial semacam ini pada akhirnya memberikan dasar yang kuat bagi pemerintah
untuk ikut campur dalam urusan keagamaan di Indonesia.
Selanjutnya pemerintah memberikan perhatian yang sangat kuat di dalam
menengahi masalah-masalah antar umat beragama tersebut. Melalui Departemen Agama
ide tentang Dialog Agama mulai disosialisasikan. Bagi Menteri Agama pada saat itu,
Mukti Ali, tujuan Dialog keagamaan adalah bagaimana pemerintah menyediakan sebuah
modus vivendi yang dapat membawa komunitas agama yang berbeda-beda saling
menghormati, memahami dan menyadari bahwa mereka hidup bersama di bawah satu
payung kebangsaan ((Azyumardi Azra, 1989). Pemerintah, melalui Departemen Agama
kemudian memfasilitasi kebijakan ini dengan menghidupkan kembali Forum
Musyawarah Antar Umat Beragama yang cikal bakalnya sudah ada sejak Menteri
Agama KH Achmad Dahlan. Forum ini dimaksudkan untuk menjadi tempat
65
musyawarah, diskusi dan dialog bagi kalangan umat beragama, khususnya dalam hal
metode penyiaran agama. Pemerintah memang tidak memberikan tugas khusus kepada
forum ini namun lewat forum ini pemerintah berharap umat beragama yang berbeda-
beda dapat saling menghormati perasaan yang lain. Prinsip yang dikedepankan oleh
pemerintah ini terlihat tanpa tendensi politik di dalamnya. Namun dalam era konsolidasi
politik ini – secara praktis - ditandai dengan semakin kuatnya peran pemerintah di dalam
bidang kehidupan keagamaan khususnya melalui program dan kebijakan dialog umat
beragama.
Seperti telah dikatakan di atas bahwa program dan kebijakan dialog umat
beragama ini tidak bisa dilepaskan dari program pemerintah Orde yang berorientasi
pada pembinaan terhadap kerukunan umat beragama. Bagi pemerintah Orde Baru
pembinaan terhadap kerukunan umat beragama merupakan kunci guna mencegah
terjadinya perselisihan atau benturan antar umat beragama. Sejak Pelita I telah
diselenggarakan dialog-dialog antar umat beragama, kemudian diadakan kerja sama
sosial keagamaan antar pemuka agama3.
Secara prinsip konsep dialog keagamaan merupakan sesuatu yang sekiranya
dapat menjadi tonggak bagi kehidupan keagamaan yang lebih baik di Indonesia. Hal ini
karena konsepsi dialog keagamaan adalah mencari titik temu bagi perjumpaan iman
setiap pemeluk keagamaan. Bukan memperlebar sisi perbedaannya yang justru dianggap
dapat pula memperlebar jurang pemisah antar pemeluk agama. Pada sisi inilah
kemudian peran pemerintah menjadi sangat kuat dengan mengeluarkan konsep Trilogi
Kerukunan yaitu: kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama dan
3 Lihat Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan dalam Pembinaan Kerukunan
Hidup Beragama, Dep. Agama RI, Balitbang Agama, Proyek Kerukunan Hiudp Beragama, Jakarta,
1992/1993.
66
kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah. Pemerintah selanjutnya
merumuskan langkah-langkah kebijakan Trilogi Kerukunan tersebut dengan
menyiapkan langkah-langkah yang ditempuh seperti:
- Meningktakan pembudayaan P4 di kalangan pemuka agama dan umat beragama
melalui pintu dan bahasa agama
- Meningkatkan efektifitas forum pertemuan antara pemuka agama, cendikiawan
agama, dan dengan pemerintah dalam bentuk silaturahmi, musyawarah, kerja sosial,
pekan orientasi, seminar, diskusi dan lain sebagainya.
- Meningkatkan usaha-usaha memasyarakatkan semua bentuk peraturan perundang-
undangan dan kebijakan pemerintah yang menyangkut pembinaan kerukunan hidup
beragama baik melalui media cetak maupun lisan agar dapat dijadikan pedoman bagi
umat beragama.
- Meningkatkan kajian-kajian atau penelitian kemasyarakatan yang berkaitan dengan
kerukunan hidup beragama sebagai upaya untuk menggali dan mengembangkan
faktor-faktor budaya lokal yang mendukung atau menghambat kerukunan tersebut.
Dari langkah-langkah ini dapat dilihat bagaimana usaha pemerintah secara serius
menempatkan konsep kerukunan tersebut sebagai usaha untuk menciptakan sebuah
tatanan masyarakat yang aman dan damai. Dengan demikian nampak bahwa tahap
konsolidasi politik ini memang sangat didasarkan pada sisi stabilitas guna mencapai
tujuan yang akan ditempuh oleh pemerintah Orde Baru.
Kondisi seperti ini telah menciptakan suasana politik yang sangat represif pada
saat itu yang terkait dengan berbagai persoalan. Dalam persoalan keagamaan, politisiasi
dialog keagamaan telah menciptakan sisi-sisi yang lemah dari keagamaan itu dalam
mengkritisi keberadaan pemerintah. Era ini ditandai dengan semakin terkooptasinya
kepentingan-kepentingan keagamaan – khususnya golongan Islam - dalam
pemerintahan Orde Baru. Usaha untuk memperlemah posisi keagamaan ini terjadi
karena pemerintah Orde Baru menyadari bahwa jika peran politik agama terserap
sepenuhnya dalam sistem politik di Indonesia maka dikuatirkan hal tersebut akan
menciptakan suasana yang bersifat disintegrasi di Indonesia.
67
Pemahaman seperti ini tentu merupakan cara berpikir yang ditata sedemikian
rupa melalui pemikiran-pemikiran strategis yang ada dilingkungan sekitar Presiden
Presiden Soeharto - khususnya perwira-perwira AD yang terkait dengan Spri (Staf
Pribadi). Pada saat itu Presiden Presiden Soeharto mengangkat 12 orang perwira AD
untuk menjadi Spri dan dua orang sipil untuk urusan politik dan ekonomi. Namun dalam
perjalanannya terdapat pertentangan yang sangat kuat diantara anggota Spri tersebut.
Khsusnya persaingan antara Alamsjah vis a vis Ali Moertopo dan Sudjono Humardani
menghasilkan pilihan pilihan koalisi yang berbeda. Ali Moertopo dan Humardani
memilih untuk bersekutu dengan kelompok Khatolik dan Jawa Abangan, sedangkan
Alamsjah – meskipun tidak menyukai radikalisme Islam – tetapi jelas tidak
menginginkan lumpuhnya kekuatan politik Islam (Aminudin, 1999).
Dasar-dasar yang kuat dari pelumpuhan kekuatan politik keagamaan (baca:
golongan Islam) ini sudah nampak sejak awal pemerintah Orde Baru dalam usaha
menghidupkan kembali Masyumi. Hal pertama yang jelas dilakukan adalah dengan
tidak mengijinkan dibentuknya kembali Masyumi sebagai kekuatan politik Islam masa
lalu dan menggantinya dengan Parmusi. Pemerintah pada saat itu tidak mengijinkan
berdirinya kembali partai Islam tersebut dan juga para pemimpinya seperti Natsir,
Prawoto Mangkusasmito, Moh. Roem, dan beberapa yang lainnya. Meskipun dalam
Muktamar Parmusi di Malang pada bulan November 1968 disepakati akan menunjuk
Moh. Roem sebagai pimpinan Parmusi tetapi kemudian menjelang Muktmar berakhir
ada telegram dari Sekretaris negara bahwa pemerintah tidak menyetujui jika Moh Roem
dipilih menjadi pimpinan Parmusi. Alasan dari pemerintah – khususya ABRI - adalah
68
kuatir jika politik Islam dan organisasi-organisasi afiliasinya akan mendapatkan
kesempatan menjadikan dirinya berkuasa dalam politik4.
Selanjutnya pada tahun 1973 kembali pemerintah Orde Baru melakukan manuver
politik melalui kebijakan fusi partai dengan hanya dua partai politik dan Golkar. Partai
Islam sebagain besar masuk dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan partai
Nasional, Kristen dan Katolik masuk ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Hal
ini dilakukan dengan dasar agar stabilitas nasional dapat terjaga dengan baik. Akan
tetapi dalam prakteknya kondisi ini lebih sering dilihat sebagai cara untuk melakukan
kontrol kekuasaan terhadap partai- partai khususnya partai Islam. Kondisi semacam ini
juga tidak dapat mengangkat perolehan suara khususnya PPP dalam Pemilu 1977, 1982
dan 1987. Pada Pemilu 1977 perolehan suara PPP hanya berkisar 29,29%, Pemilu 1982
turunmenjadi 27,78% dan semakin menurun pada Pemilu 1987 sebesar 15,97%. Hal ini
menunjukan dengan jelas bahwa eksistensi partai-partai Islam pada saat itu telah
mengalami penurunan yang sangat tajam akibat represifitas politik yang dilakukan oleh
pemerintah Orde Baru.
Dari dua kasus di atas nampak dengan jelas bahwa pemerintah Orde Baru pada
saat itu telah mampu mengatasi persoalan (politik) keagamaan di Indonesia yaitu
dengan cara membatasi semaksimal mungkin peran politik keagamaan itu sendiri.
Pertanyaannya tentu adalah bagaimanakah hubungannya dengan dialog keagamaan yang
menjadi program besar pemerintah Orde Baru? Dalam kaitan dengan hal tersebut maka
dapat dipastikan bahwa dialog keagamaan juga rangkaian dari kebijakan pemerintah di
4 Pembahasan yang lebih seksama mengenai hal ini dapat dilihat dalam Kenneth. E.Ward, The
Foundation of the Partai Muslimin Indonesia, Ithaca: Modern Indonesia Project, Southeast Asia
Program, Cornel University, 1970. Lih. Juga Allan A. Samson, “Angkatan Bersenjata dan Ummat Islam
Indonesia” dalam Assiyasah, No. 3, tahun I, Mei 1973, h. 3 – 43.
69
dalam mengatasi radikalisasi keagamaan itu sendiri. Dialog keagamaan dibangun oleh
pemerintah Orde Baru sebagai bagian dari rangkaian untuk membatasi secara penuh
munculnya radikalisasi agama. Hal ini ditegaskan oleh Ali Moertopo sebagai orang yang
merumuskan strategi modernisasi Indonesia - dalam bukunya Akselerasi Modernisasi
Indonesia - menegaskan bahwa ideologi keagamaan sebagai kekuatan yang barangkali
dapat mengganggu jalannya proses pembangunan nasional (Moertopo, 1975). Dengan
demikian maka asumsinya adalah bahwa semangat ideologi keagamaan yang berkaitan
dengan fanatisme dan sektarianisme, dengan ketaatan massa yang tidak terbatas pada
pemimpinnya, oleh pemerintah harus segera dikurangi perannya secara khusus pada
partai-partai agama yang berbasis agama dan organisasi sosial kemasyarakatan. Hal
tersebut kemudian diganti dengan semangat membangun masyarakat yang religius
dengan memberikan fasilitas-fasilitas dalam meningkatkan pelaksanaan kewajiban
keagamaan (Azyumardi Azra , 1998).
3. Intervensi Negara Terhadap Agama Melalui Kebijakan Agama: Dari yang
Represif Hingga Akomodatif
Usaha pemerintah untuk mengatasi masalah keagamaan di Indonesia tidak saja
berhenti pada usaha depolitisasi kekuatan politik agama, namun lebih dari pada itu juga
memasuki ruang-ruang kehidupan keagamaan itu sendiri. Kebijakan-kebijakan
mengenai keagamaan itu sendiri diatur sedemikian rupa oleh negara misalnya penataan
terhadap rumah-rumah ibadah melalui SKB No.1/1969 Tentang Pembangunan Rumah
Ibadah, UU No.1/ 1974 mengenai Perkawinan, Kep.Men Agama No. 70/1978
mengenai Penyiaran Agama dan Kep.Men Agama No. 77/1978 Mengenai Bantuan Luar
Negeri, Kebijakan Azas Tunggal yang secara langsung berkaitan dengan pemahaman
70
keimanan dari setiap pemeluk agama, UU Peradilan Agama dan Pembentukan ICMI,
mencerminkan secara jelas betapa pemerintah Orde Baru senantiasa mengambil inisiatif
dalam hubunganya dengan keagamaan.
a. Pemerintah Mengatur Pembangunan Rumah Ibadah: Sumber Konflik
Antar Agama (SKB No.1/1969)
Surat Keputusan Bersama Menteri (Amir Machmud) Dalam Negri dan Menteri
Agama (KH. Achmad Dahlan) mengenai pengaturan pembangunan rumah ibadah tidak
bisa dilepasakan dari konsolidasi politik yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru
pada saat itu. SKB ini muncul sebagai sebuah pemaknaan yang tegas bahwa pemerintah
Orde Baru senantiasa menagambil inisiatif guna mencegah disintegrasi yang akan terjadi
di Indonesia pasca G-30 S/PKI. Dalam bidang keagamaan hal ini tampak dari usaha
pemerintah pertama-tama untuk mempertemukan berbagai agama yang ada di Indonesia
untuk bersama memikirkan usaha mencegah disintegrasi bangsa tersebut melalui
penyelenggaraan Musyawarah Antar Umat Beragama (MAUB) pada 30 November
1967. Pesertanya adalah para pemimpin dan pemuka agama di Indonesia, yaitu Islam,
Protestan, Katolik, Hindu Bali, dan Buddha. Dalam pidatonya Pejabat Presiden Jenderal
TNI Presiden Soeharto pada pembukaan MAUB itu menyatakan (Pikiran Rakyat,
Kamis, 15 Desember 2005):
"Pemerintah wajib mengambil langkah-langkah untuk menjaga keserasian
dalam pelaksanaan penyebaran agama, bahwa kewajiban memberikan bantuan-bantuan
yang diperlukan, justru dalam rangka melaksanakan tugas-tugas konstitusionalnya dan
untuk menjamin ketertiban dalam masyarakat. Oleh karena, agama tidak boleh
dipaksakan, juga tidak oleh pemerintah, maka pemerintah memang tidak berhak untuk
memaksakan pemilihan pemelukan agama kepada warga negara. Sebaliknya,
pemerintah mengharapkan agar kehidupan antaragama berjalan serasi dan hormat-
menghormati serta tidak ada usaha-usaha memaksakan pemelukan agama itu dari pihak
manapun. Akan tetapi, pemerintah wajib merasa prihatin, apabila penyebaran agama itu
71
semata-mata ditujukan untuk memperbanyak pengikut; lebih-lebih apabila cara-cara
penyebarannya menimbulkan kesan bagi masyarakat pemeluk agama yang lain, seolah-
olah ditujukan kepada mereka."
Dalam perkembangannya, MAUB itu menjadi gagal karena yang bersedia
menandatangani "Pernyataan Bersama" hanyalah peserta dari umat Islam, Hindu, dan
Buddha. Pihak lainnya – Kristen - menolak menandatangani "Pernyataan Bersama"
sehubungan adanya kalimat (klausul) yang berbunyi, "Tidak menjadikan umat telah
beragama sebagai sasaran penyebaran agama lain." Pertanyaannya tentu mengapa
pernyataan bersama ini gagal untuk ditandatangani? Hal ini karena dari pihak Kristen
menyatakan bahwa penyiaran agama itu merupakan hak dasar bagi setiap agama yang
didasarkan pada Firman Allah di dalam Kitab Suci. Hal ini secara tegas diungkapkan
oleh Dr. Tambunan--waktu itu menjadi Menteri Sosial RI-- sebagai peserta MAUB.
Ungkapan Tambunan ini kemudian mendapatkan reaksi yang keras dari Mohammad
Natsir dari pihak Islam yang menyatakan jika demikian umat Islam juga terikat pada
kewajiban berdakwah. Selanjutnya, Natsir menambahkan bahwa (Pikiran Rakyat,
Kamis, 15 Desember 2005):
"Kita sama-sama terikat kepada perintah untuk menjadi saksi sampai ke ujung
bumi dan kepada wajib dakwah, dan sekaligus kita harus hidup rukun dan
bersama-sama kita bertanggung jawab mengenai masa depan negara dan bangsa
kita".
Kegagalan pernyataan bersama ini sekaligus juga menjadi semacam keadaan yang
kritis bagi pemerintah Orde Baru secara khusus dalam menata hubungan pemerintah dan
negara di Indonesia. Hal ini secara khusus terkait dengan hubungan antara Islam dan
negara pada saat itu. Sejarah mencatat bahwa awal pemerintahan Orde Baru merupakan
sebuah euforia bagi perpolitikan Islam di Indonesia. Dimana represifitas terhadap
72
golongan Islam selama masa Orde Lama – khususnya pembubaran Masyumi oleh rezim
Demokrasi Terpimpin – mendapatkan angin segar untuk dihidupkan kembali.
Sepanjang tahun 1968-1969 konsolidasi berbagai golongan Islam nampak dengan jelas
ditunjukan. Hal yang menjadi tujuan utama dari konsolidasi golongan Islam ini adalah
terwujudnya kembali Piagam Jakarta dalam agenda SU MPRS 1968. Akan tetapi hal ini
terhambat oleh kelompok PNI, Kristen dan ABRI. Wacana yang berkembang selama
Sidang Umum tersebut pada akhirnya mencapai jalan buntu. Lobbying-lobbying
kemudian dilakukan oleh wakil-wakil NU, PSII, Parmusi kepada pemerintah, dalam hal
ini Pejabat Presiden Presiden Soeharto. Dalam pertemuan ini mereka meminta Presiden
agar aspirasi politik umat Islam direalisasikan sebagai politik resmi negara. Akan tetapi,
seperti diuangkapkan di dalam Kongres Veteran April 1968, keinginan ini kemudian
oleh Presiden Presiden Soeharto tidak dikabulkan dan menyatakan tidak bersedia untuk
melaksanakan usul-usul tersebut karena tidak ditetapkan secara resmi oleh MPRS.
Kondisi sosio politik semacam ini tentunya berdampak pada hubungan antara
pemerintah dan golongan Islam serta hubungan Islam dan Kristen. Pada satu sisi
pemerintah tidak menginginkan suasana yang tidak harmonis dengan golongan Islam.
Namun pada sisi lain pemerintah juga harus tetap menjaga hubungan yang baik antar
kehidupan umat beragama. Maka jalan satu-satunya yang harus ditempuh adalah
melakukan intervensi yang kuat bagi seluruh aspek sosial politik – tentunya bersama
ABRI sebagai alat pendukung utamanya. Kondisi seperti inimenyebabkan munculnya
SKB No. 01/BER/Mdn-Mag/ 1969 yang merupakan intervensi negara terhadap
kehidupan umat beragama di Indonesia dengan didasarkan pada alasan-alasan politis
dan keamanan.
73
SKB ini kemudian mendapatkan reaksi yang keras dari pihak Kristen-Khatolik
karena dianggap bersifat diskriminasi. Dalam memorandumnya PGI dan MAWI secara
tegas mempertanyakan relevansi SKB ini dalam kehidupan yang mejemuk di Indonesia.
Beberapa poin penting yang dinyatakan oleh PGI dan MAWI5:
- Mempertanyakan ketidakjelasan kepala daerah mana yang dimaksudkan oleh
SKB ini apakah Kepala Daerah tingkat I, II atau III. Juga belum jelas apakah di
dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan tersebut Kepala Daerah ini bertindak
sebagai pemerintah pusat atau sebagai alat pemerintah Daerah. Jika sebagai alat
pemerintah Pusat bagaimana ia mempertanggungjawabkan tindakannya nanti,
serta juka sebagai Kepala Daerah bagimana hubungannya dengan Badan
Pemerintah Harian dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
- Jikalau di dalam mengatur sesuatu yang berhuungan dengan hak azasi manusia
seperti kemrdekaan beragama yang diatur dalam UUD pasal 29, Kepala-Kepala
Daerah diberi kewenangan untuk bertindak atas dasar pendapat Kepala
Perwakilan Depateremen Agama setempat atau kondisi keadaan setempat, maka
kemungkinan akan terjadi kebijaksaan yang berbeda-beda dari satu daerah ke
daerah lain, yang dapat membahayakan cita-cita perjuangan bangsa Indonesia.
Menurut keyakinan kami, hal-hal yang bersangkutan dengan hak-hak azasi
manusia, sperti kemerdekaan beragama, tidak dapat diserahkan kepada Kepala
Daerah.
- Ketentuan yang diatur memberikesan kepada kami bahwa pelaksanaan sesuatu
HAM oleh suatu golongan yang lain, hal mana dapat membuka kemungkinan
bagi pengadudombaan antar golongan. Sedangkan hal-hal yang bersangkutan
dengan ketertiban dan kemanan harus diarahkan kepada rumusan yang sudah
diatur di dalam KUHP Pidana.
- Berdasarkan hal-hal di atas maka kami berpendapatbahwa SKB No.1/1969 tidak
dapat menjamin kemerdekaan bergama seperti yangtercantum dalam pasal 29
UUD 1945, bahkan dapat membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa
Indonesia. Pelaksanaan SKB tersebut akan menimbulkan kegelisahan di daerah-
daerah karena mengurangi kepastian hukum dalam melaksanakan hak azasi
manusia, yaitu kemerdekaan beragama. Dengan menghargai maksud pemerintah
untuk menjamin kemerdekaan beragama sesuai Pancasila dan UUD 1945, maka
memorandum ini kami mohon dengan hormat agar SKB itu ditinjau kembali.
Dari memorandum PGI dan MAWI ini nampak dengan jelas munculnya
sebuah dikotomi mayoritas dan minoritas. Persoalannya tidak saja pada umat Kristen
ditengah mayoritas umat Islam tetapi juga umat Islam yang berada ditengah-tengah
5 Tidak dikutib secara menyeluruh dari Memorandum DGI-MAWI, Jakarta, 10 Oktober 1969.
74
umat mayoritas Kristen seperti di Indonesia bagian Timur. Pada sisi inilah peran negara
– dalam hal ini kebijakan negara mengenai agama – dianggap tidak relevan dalam
negara yang bersifat heterogen. Hal ini karena negara - melalui Kepala Daerah - telah
menjadi penentu utama di dalam proses kehidupan beragama – khususnya dalam
membangun rumah ibadah umat. Hal ini terbukti di lapangan orang yang disebut
minoritas tidak pernah dengan mudah mendapat ijin untuk membangun rumah
ibadatnya. Sebab pertimbangan-pertimbangan yang terdapat pada pasal tersebut menjadi
alasan yang mempersulit keluarnya ijin. Sulitnya mendapat ijin mendorong mereka yang
minoritas untuk beribadat di rumah penduduk tempat tinggal mereka. Sebaliknya,
mereka yang mayoritas akan memprotes kegiatan beribadah tersebut karena merupakan
penyalahgunaan rumah tempat tinggal sebagai rumah ibadah. Hal ini akan terus terjadi
selama kehidupan beragama di Indonesia tetap dilihat di dalam kerangka pengaturan
negara terhadap agama secara multlak. Dengan demikian konflik keagamaan justru
terjadi akibat dari regulasi pemerintah yang dianggap tidak menjawab persoalan yang
ada di dalam umat beragama itu sendiri.
Kebijakan mengenai Pembangunan Rumah Ibadah didasarkan sepenuhnya
pada alasan-alasan politis dan keamanan. Jika menyimak beberapa pasal-pasal khusus
dalam SKB tersebut dapat terlihat dengan jelas kuatnya peran negara di dalam
mengatasi masalah kehidupan umat beragama, dalam hal ini proses pembangunan
rumah ibadah. SKB ini kemudian mendapatkan reaksi yang keras dari pihak Kristen-
Khatolik karena dianggap bersifat diskriminasi. Dalam memorandumnya PGI dan
MAWI secara tegas mempertanyakan relevansi SKB ini bagi kehidupan masyarakat
heterogen di Indonesia dan mempertanyakan mengenai dikotomi mayoritas-minoritas.
75
Persoalannya tidak saja pada umat Kristen ditengah mayoritas umat Islam tetapi juga
umat Islam yang berada ditengah-tengah umat mayoritas Kristen seperti di Indonesia
bagian Timur. Pada sisi inilah peran negara – dalam hal ini kebijakan negara mengenai
agama – dianggap tidak relevan dalam bagi negara yang heterogen. Hal ini karena
negara - melalui Kepala Daerah - telah menjadi penentu utama di dalam proses
kehidupan beragama – khususnya dalam membangun rumah ibadah umat. Hal ini
terbukti di lapangan orang yang disebut minoritas tidak pernah dengan mudah mendapat
ijin untuk membangun rumah ibadatnya. Sebab pertimbangan-pertimbangan yang
terdapat pada pasal tersebut menjadi alasan yang mempersulit keluarnya ijin. Sulitnya
mendapat ijin mendorong mereka yang minoritas untuk beribadat di rumah penduduk
tempat tinggal mereka. Sebaliknya, mereka yang mayoritas akan memprotes kegiatan
beribadah tersebut karena merupakan penyalahgunaan rumah tempat tinggal sebagai
rumah ibadah. Kondisi seperti ini akan terus terjadi selama kehidupan beragama di
Indonesia tetap dilihat di dalam kerangka pengaturan negara terhadap agama secara
multlak. Dengan demikian konflik keagamaan justru terjadi akibat dari regulasi
pemerintah yang dianggap tidak menjawab persoalan yang ada pada umat beragama itu
sendiri.
b. RUU Perkawinan yang Melecehkan Umat Islam
Memahami konflik yang terjadi di seputar persoalan RUU Perkawinan pada
tahun 1973-1974 tidak dapat dilepaskan dari persaingan-persaingan politik yang ada
pada saat itu. Persaingan-persaingan politik di sekitar orang-orang dekat Presiden
Presiden Soeharto – khususnya di lingkungan Angkatan Darat – menjadi sangat tajam.
Kelompok-kelompok Ali Moertopo dengan think-tank “Tanah Abang”nya, dianggap
76
telah menjadi produsen bagi kebijakan-kebijakan yang ada pada saat itu, khususnya
yang berkaitan dengan politik pembangunan yang dicanangkan oleh Pemerintah Orde
Baru. Meskipun dipahami bahwa titik berat pembangunan nasional yang direncanakan
oleh pemerintah Orde Baru adalah pada sektor ekonomi, namun seluruh aspek
kehidupan berbangsa terserap di dalamnya. Jadi agama juga merupakan salah satu unsur
yang terserap di dalam sistem dan konsepsi pembangunan. Jika melihat pola umum
Pelita keempat, maka tempat agama adalah sebagai berikut:
- Agama adalah sebagai salah satu variabel stabilitas nasional
- Selaras dengan penghayatan dan pengamalan Pancasila
- Kerukunan sesama interen umat beragama dan dengan sesama umat beragama
- Pembangunan agama diserasikan dengan pembangunan ekonomi
- Pembangunan sektor agama dititik beratkan pada pembangunan sarana-sarana fisik
kehiudpan beragama dan peningkatan pelayanan ibadah haji6
Dengan melihat hal-hal di atas, maka secara umum hal-hal tersebut dapat dilihat
sebagai sesuatu yang positif. Artinya strategi pembangunan yang dijalankan oleh
pemerintah Orde Baru, dianggap mampu menjawab persoalan-persoalan di sekitar
masalah keterbelakangan, kemiskinan dan sebagainya. Realitas membuktikan bahwa
pada saat itu pembangunan yang dilakukan bagi sarana-sarana keagamaan telah
dilaksanakan dengan baik. Ini membuktikan bahwa konsep pembangunan di bidang
agama memang diserasikan dengan penitikberatan pada pembangunan nasional, yaitu
bidang ekonomi.
Dalam melihat hal di atas, dalam kaitannya dengan Islam, Abdul Munir Mulkhan
(1989) menyatakan bahwa strategi yang dijalankan oleh pemerintah merupakan strategi
yang baik, itu nampak dari apa yang diungkapkannya:
6 Lihat Ketetapan MPR RI, 1985, Angka A;5,13,C;1,2,D;13, dan dalam bidang agama dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pada angka 1;a-f;a,6;c,8;6,9;b.
77
“…bahwa dengan kebijaksanaan pembangunan politik, pemerintah berusaha untuk
memperoleh citra Islam dihadapan umat dengan peningkatan sarana-sarana
kehidupan beragama dalam arti fisik, sementara sektor pembangunan yang
mengacu pada kualitas sebagai umat, seperti sektor pendidikan, tampaknya
berusaha untuk dihindari, sekali lagi dengan tetap membangun citra ke-Islaman
melalui tatanan keagamaan. Pemerintah tetap menjaga hubungan yang akrab
dengan umat tanpa berharap peningkatan hubungan yang lebih jauh, untuk
menghindari tawar menawar dalam arti politis”.
Melihat pernyataan yang pesimis di atas maka persoalan sebenarnya adalah
terletak pada masalah kepentingan. Kepentingan pemerintah atas nama pembangunan
nasional berhadapan dengan kepentingan agama atas nama teologi dan demokrasi. Atas
nama teologi, khususnya bagi golongan Islam, pembangunan dinilai tidak memiliki
keseimbangan dengan pembinaan ibadah, Atas nama demokrasi, pembangunan nasional
hanya memfoksukan pada bidang ekonomi. Nazzarddin Syamsuddin menyatakan
(1993):
“…ekonomi merupakan salah satu sub sistem dari rangkaian sistem masyarakat,
sementara politik dan sosial merupakan sub sistem lainnya. Karena sub sistem dan
kegiatan yang ada saling berkaitan maka kegiatan sub sistem lainnya saling
mempengaruhi. Pemusatan kegiatan hanya pada salah satu sub sistem selain dapat
menimbulkan kepincangan dalam pertumbuhan sistem masyarakat secara
keseluruhan, dapat pula mendesak perkembangan sub-sub sistem yang lain.
Akibatnya mungkin saja berupa adanya pengorbanan milai-nilai tertentu di dalam
masyarakat”.
Ungkapan ini sekaligus juga menandai catatan kritis kaum agamawan, khusunya
dari golongan Islam, yang menyatakan bahwa rasionalisasi dan modernisasi yang
menjadi isu utama di dalam politik pembangunan merupakan isu-isu yang diserap secara
konprehensif dari pemikiran-pemikiran barat yang bersifat sekuler. Konsep-konsep
semacam ini kemudian memasuki ruang-ruang kebijakan yang lainnya. Khususnya
bidang keagamaan. Tuduhan golongan Islam tentang adanya sekularisasi dalam
pemerintahan Orde Baru merupakan dasar yang kuat bagi usaha membendung
78
kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap bersifat sekuler. Dalam kaitannya
dengan persoalan sekularisasi tersebut maka salah satu reaksi keras dari golongan Islam
adalah dalam menanggapi munculnya RUU Perkawinan yang dianggap telah menodai
prinsip-prinsip perkawinan dalam Islam. Dari pasal-pasal yang dicantumkan terdapat
beberapa masalah yang dianggap melecehkan prinsip perkawinan dalam Islam dan
bersifat kontroversial. Beberapa pasal yang kontroversial seperti:
1. Pasal 2:1: Perkawinan adalah sah apabila dilakukan dihadapan seorang pencatat
perkawinan..
2. Pasal 3:2: Pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristri
lebih dari seorang apabila dikehendaki yang bersangkutan.
3. Pasal 7:1: Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria sudah mencapai umur 21
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 18 tahun.
4. Pasal 11:2: Perbedaan dikarenakan kebangsaan, kesukuan, tanah asal, agama,
kepercayaan dan keturunan bukan merupakan halangan untuk perkawinan.
5. Pasal 12: Bagi seorang wanita yang putus perkawinaannya berlaku jangka waktu
tunggu 360 hari, tetapi apabila dia hamil maka waktu tunggunya adalah 40 hari
setelah kelahirannya
Draft ini kemudian memancing emosi kaum Muslim Indonesia. Secara khusus
pada pasal 2 ayat 1 dianggap meremehkan hukum Islam yang mengharuskan sahnya
perkawinan seorang Muslim berdasarkan akad nikahnya yang diikuti dua orang saksi.
Sedangkan pasal pasal 11 ayat 2 dianggap berlawanan dengan hukum Islam yang
menegasakan bahwa Syariat Islam tidak membenarkan perkawinan Muslimah dengan
laki-laki bukan beragama Islam (Aminudin, 1999). Sikap penolakan tegas diperlihatkan
oleh organisasi pelajar-pelajar Islam seperti IPNU, PII, IPM yang berada dalam wadah
Badan Kontak Pelajar Islam (BKPI). Beberapa tuntutan yang dikeluarkan oleh
kelompok ini (Aminudin, 1999) :
- Menolak RUU perkawinan yang diajukan pemerintah pada DPR-RI
79
- Menuntut pada pemerintah untuk mencabut kembali RUU Pekrawinan tersebut
dengan menggantikannya dengan RUU yang tidak bertentangan dengan agama
Islam.
- Menyerukan kepada semua umat Islam di segala lapisan, di seluruh instansi sipil
mapun militer untuk tetap mempertahankan akidah dan identitas Islam dengan
konsekuen.
Puncak dari reaksi kaum Muslim ini terjadi pada saat Menteri Agama Mukti Ali
memberikan penjelasannya di depan anggota DPR mengenai RUU Perkawinan ini.
Beberapa mahasiswa dan pemuda dari berbagai perkumpulan datang dengan membawa
pamflet-pamflet dan selebaran yang sisinya memprovokasi agar draft RUU Perkawinan
tersebut tidak disahkan oleh DPR. Suasana di gedung DPR menjadi kacau bahkan
beberapa pemuda dan mahasaiswa tersebut maju ke depan anggota DPR dan naik ke
atas meja sambil membentangkan spanduk dan pamflet-pamflet yang ada. Keadaan
menjadi tidak terkendali dan pihak keamanan juga tidak dapat menguasai situasi.
Menteri Agama kemudian dibawa untuk diselamatkan, begitu juga dengan anggota DPR
yang anti RUU Perkawinan kemudian melakukan walk out. Akibatnya sidang di skors
karena suasana yang sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Pihak keamanan segera
menambah jumlah anggota dan kemudian menahan beberapa pemuda dan mahasiswa
tersebut. Hal ini juga menambah kacaunya suasana pada saat itu. Pemuda dan
mahasiswa menuntut agar rekan-rekan mereka segera dibebaskan.
Pasca demonstrasi di gedung DPR ini kemudian terjadi lobby-lobby politik dari
pemimpin-pemimpin Islam terhadap pemerintah. KH Masykur dan KH Bisri Sansuri
melakukan pendekatan yang intensif dengan pemerintah yang akhinrya disepakati
beberapa perubahan-perubahan di dalam pasal-pasal RUU Perkawinan tersebut.
Hal yang menarik bahwa perubahan-perubahan tersebut terjadi berdasarkan
kesepakatan-kesepakatan yang dilakukan oleh kelompok ABRI yang dimotori oleh
80
Jendral Soemitro (Kopkamtib) dan Soetopo Joewono ( BAKIN), bersama dengan
pemimpin Islam, PPP, dan beberapa pemimpin Islam lainnnya di luar Parlemen7. Hasil
dari pertemuan ini adalah perubahan dalam jumlah pasala yang tadinya 73 pasal menjadi
66 pasal dengan mengalami banyak perubahan secara mendasar khususnya yang
berkaitan dengan perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda, pertunangan dan
konsekuensinya, adopsi, prosedur perkawinan serta prosedur perceraian (Aminudin,
1999:104).
Keterlibatan Soemitro sebagai Kopkamtib dan Soetopo Joewono dalam
mendukung perubahan-perubahan tersebut mengindikasikan dengan jelas bahwa
terdapat persoalan-persoalan elitis dikalangan militer yang terjadi pada saat itu. Konflik
elit militer ini kemudian berpuncak pada kasus Malari yang oleh Yahya Muhaimin
mengaitkan semuanya itu dengan memberikan komentar (Aminudin, 1999:105):
“Malari mencerminkan kecenderungan konflik di kalangan elit-elit militer dan
kulminasi persengketaan di anatara sesama teknokrat. Peristiwa itu juga
menyingkapkan ketidakpuasan golongan-golongan Muslim dengan pembangunan
yang mereka anggap terlalu sekulaer dan telah mengakibatkan banyak perusahaan
orang-orang Muslim gulung tikar”.
Dari ungkapan ini nampak bahwa RUU Perkawinan tersebut tidak saja dilihat
sebagai reaksi umat Islam atas sebuah Rancangan Undang-Undang akan tetapi di
dalamnya sebenarnya nampak adanya keterkaitan politis satu dengan yang lainnya.
Keterakaitan tersebut berupa konflik elit – khususnya di kalangan militer antara Ali
Moertopo yang dinilai bersifat sekuler dengan kelompok-kelompok “Tanah Abang yang
nota bene adalah kelompok Khatolik (dan Protestan), berhadapan dengan kelompok elit
7 Kajian secara lengkap mengenai rekosntruksi gelombang protes RUU Perkawinan tersebut bisa dibaca
dalam Mohammad Atho Mudzhar, Fatwas of the Council od Indonesia Ulama: A Study of Islamic
Legal Thought in Indonesia 1975-1988, INIS, Jakarta, 1993, h. 52-53.
81
militer lainnya seperti Jendral Soemitro yang didukung oleh kelompok-kelompok Islam-
nasionalis.
c. Penyiaran Agama yang Harus Sesuai dengan Pancasila dan P4 dan Persoalan
Bantuan Luar negri (Kepmen No. 70/1978 dan Kepmen N0 77/1978)
Seperti telah diuraikan di atas bahwa represifitas politik di Indonesia pada saat ini
telah mencapai puncaknya. Pemerintah Orde Baru senantiasa mengawasi setiap kondisi
sosial kemasyarakatan dengan sangat kuat. Dalam hal keagamaan hal ini juga terlihat
dengan jelas. Ketegangan-ketegangan yang terjadi pada tahun 1973-1974 kemudian
teratasi dengan kekuatan politis yang ditopang sepenuhnya dengan kekuatan militer –
khususnya Angkatan Darat. Salah satu masalah yang tetap menjadi persoalan oleh
pemerintah adalah hubungannya dengan golongan agama khususnya Islam. Untuk
mengatasi hal tersebut maka pada tahun 1975 pemerintah mendukung untuk
didirikannya sebuah lembaga yang berfungsi untuk menjembatani komunikasi antara
pemerintah dan umat Islam. Sama seperti lembaga-lembaga keagamaan lainnya PGI,
MAWI, , WALUBI dan PHDI, maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) diharapkan dapat
menjadi organisasi yang dapat menjadi mitra dari pemerintah.
Selanjuntnya tugas MUI adalah (Deliar Noer, 1983:141) :
- Memberikan fatwa atau nasehat tentang masalah agama dan masalah-masalah
sosial.
- Meningkatkan Ukkuwah (persaudaraan) Islam serta memelihara sikap toleran
dengan kelompok agama-agama lain.
- Mewakili umat Islam dalam komunkiasi dengan pemeluk agama lain, dan
- Bertindak sebagai media komunikasi antara ulama dengan pemerintah tentang
pembangunan, agar dapat dengan mudah dipahami oleh masyarakat umum.
82
Namun demikian ketegangan antara golongan Islam dan Pemerintah tidak dengan
serta merta hilang begitu saja. Konstelasi politik yang sangat represif ini semakin kuat di
saat-saat menjelang dan pada saat Pemilu pada tahun 1977. Pemerintah, yang diperkuat
Golkar dan Militer, senantiasa ingin Pemilu 1977 tetap memiliki suara mayoritas guna
memperlancar jalannya pemerintahan ke depan. Ketegangan secara khusus terjadi
dengan PPP sebagai partai yang terdiri dari beberapa organisasi dan partai Islam pada
masa yang lalu.
Kondisi semacam ini membuat golongan Islam semakin terpencil dalam
perpolitikan di Indonesia. Perubahan format perjuangan golongan Islam kemudian
berubah pada dasar-dasar yang lebih kultural yang kemudian sering disebut dengan
“pendekatan kultural”. Kegiatan umat lebih banyak disalurkan pada kegiatan pendidikan
dan dakwah. Hal ini kemudian terlihat dengan jelas pada dasawarsa tahun 1980-an
dimana terdapat banyak santri-santri yang terdidik dengan pendidikan modern, yang
kemudian banyak dari antara mereka memasuki birokrasi, militer dan akademik serta
dunia profesi dan bisnis (Azyyumardi Azra, 1989).
Selanjutnya pemerintah, pasca terpilihnya kembali Presiden Presiden Soeharto
tahun 1978, memberikan penekanan terhadap peran agama dalam pembangunan dengan
sangat kuat di bawah tema mengenai kerukunan umat beragama. Dasar yang digunakan
adalah Pancasila dan UUD 1945. Dasar ini kemudian menjadi prioritas utama di dalam
melaksanakan tugas-tugas yang diembankan oleh Menteri Agama, Alamsjah Ratu
Prawiranegara, dimana dalam tugasnya ia menekankan tiga prioritas utamanya yaitu: 1)
menetapkan ideologi dan falsafah Pancasila dalam kehidupan umat beragama; 2)
menetapkan stabilitas dan ketahanan nasional, dan ; 3) meningkatkan partisipasi umat
83
beragama dalam menyukseskan pembangunan nasional di segala bidang yang
berkesinambungan, sehingga terjamin persatuan dan kesatuan bangsa dalam negara RI
yang utuh berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (Prawiranegara, 1982:38). Pelaksanaan
terhadap hal ini , khususnya butir satu, kemudian direalisasikan melalui program P4
yang ditetapkan pemerintah melalui TAP MPR No. II/MPR/ 1978. Meskipun pada
mulanya ketetapan ini sangat mendapat reaksi yang keras dari golongan Islam, namun
demikan pada akhirnya hal ini dapat diterima sebagai sebuah dasar bagi segala aktifitas
kehidupan bermasyarakat di Indonesia pada saat itu. Bahkan selanjutnya kegiatan
keagamaan yang berkaitan dengan dakwah dan penyiaran agama juga di dasarkan pada
nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila. Kebijakan pemerintah sebelumnya – di
bawah pengawasan Kaskopkamtib – secara tegas melarang adanya penyiaran-penyiaran
agama yang dilakukan tanpa izin oleh pemerintah, bahkan banyak dai’i yang dicekal
akibat meyiarkan agama tanpa izin pemerintah. Hal ini dilakukan oleh pemerintah
karena dikuatirkan ajaran-ajaran yang disampaikan oleh para da’i maupun pemimpin-
pempin umat beragama lainnya mendiskreditkan eksistensi dari pemerintah Orde Baru.
Namun demikian pada tanggal 20 Mei 1978 Menteri Agama Alamsjah Ratu
Prawiranegara melakukan konsultasi kepada Presiden Presiden Soeharto dan
Kaskopkamtib Sudomo dan menghasilkan kesepakatan penghapusan keharusan untuk
meminta izin di dalam pelaksanaan dakwah dan kuliah subuh di radio, melalui
keputusan Menteri Agama No. 44/ 1978. Isi keputusan tersebut adalah bahwa :1) untuk
kegiatan dakwah dan kuliah subuh tidak diperlukan izin; 2) isi dakwah dan kuliah subuh
hendaknya bersifat pembinaan ahlak serta iman kepada Tuhan Yang Maha Esa; 3)
84
dakwah dan kuliah subuh tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, serta
tidak mengganggu stabilitas nasional.
Keputusan ini pada satu sisi telah memberi angin segar bagi proses penyiaran
agama namun pada satu sisi telah dibatasi dengan ketentuan-ketentuan yang dikaitkan
secara langsung dengan nilai-nilai dan butir-butir di dalam Pancasila dan UUD 1945.
Pada era ini nampak dengan jelas para da’i dan pengkotbah-pengkotbah dari berbagai
kalangan keagamaan selalu mengkaitkan kotbah-kotbah maupun ceramah-ceramah
keagamaannya dengan Pancasila atau P4. Dalam ceramah atau kotbah-kotbah tersebut
sering dijelaskan dan ditegaskan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan agama,
karena masing-masing memiliki fungsi yangberbeda. Pancasila adalah falsafah hidup
bangsa Indonesia sedangkan agama adalah tuntunan hidup yang berasal dari Tuhan
untuk menjadi penuntun bagi pemeluk agama masing-masing. Orang yang taat
beragama dikatakan sekaligus merupakan orang yang taat untuk melaksanakan
Pancasila.
Dalam kaitannya dengan penyiaran agama, hal yang menjadi persoalan pada saat
itu adalah juga mengenai bantuan luar negari kepada lembaga-lembaga keagamaan di
Indonesia. Bantuan luar negri ini terasa sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan
misi keagamaan di Indonesia. Secara khusus dalam kaitannya dengan perkembangan
agama Kristen di Indoensia. Disinyalir bahwa ada begitu banyak dana-dana bantuan dari
luar negri yang terkait dengan bantuan bagi perkembangan gereja dan yayasan-yayasan
sosial yang bernaung di bawah payung gereja. Hal ini sering dikuatirkan sebagai cara
untuk mempercepat proses Kristenisasi di Indonesia. Asumsi-asumsi semacam ini